Anda di halaman 1dari 12

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA 2-5 TAHUN

SERTA TINGKAH LAKUNYA DALAM PERAWATAN GIGI

(GROWTH AND DEVELOPMENT OF CHILDREN AGE 2-5 YEARS


AND ITS LEVEL IN DENTAL CARE)

Disusun oleh :

NUR RAHMI

180600089

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA 2-5 TAHUN
SERTA TINGKAH LAKUNYA DALAM PERAWATAN GIGI

(GROWTH AND DEVELOPMENT OF CHILDREN AGE 2-5 YEARS


AND ITS LEVEL IN DENTAL CARE)

Nur Rahmi

180600089

Mahasiswa Fakultas Kedokteran gigi

Universitas Sumatera Utara

Jl. Alumni No. 2 Kampus USU Medan 20155

Email : nurrahmi2818@gmail.com

PENDAHULUAN

Perkembangan anak selalu diikuti oleh pertumbuhan baik fisik maupun psikis.
Pertumbuhan dan perkembangan anak berlangsung di luar kontrol anak itu sendiri. Namun
demikian, pengalaman yang didapatkan anak baik itu positif maupun negatif akan
mempengaruhi diri anak. Jadi pengaruh positif sifatnya mempengaruhi perkembangan anak,
sedangkan pengaruh negatif sifatnya menghambat perkembangan anak. Sebagaimana dalam
prinsip-prinsip perkembangan tentang hukum konvergensi yang menyatakan bahwa suatu
perkembangan anak merupakan produk interaksi antara hereditas dan lingkungan sosialnya.
Dari sinilah yang membentuk moral anak. Perkembangan dan penalaran moral dipengaruhi
oleh kematangan kognisi individu dalam menyikapi informasi-informasi yang diterima dari
luar diri individu, tidak pula ditentukan oleh umur. Perkembangan anak yang terkadang
mengalami penyimpangan itu adalah pengaruh dari beberapa faktor, yaitu; keluarga, sekolah,
lingkungan sekitar dan teman sebaya. Tingkah laku dan moral anak pada dasarnya merupakan
sesuatu yang dapat dipelajari oleh anak itu sendiri. Begitu pula tingkah laku anak dalam
perawatan gigi banyak anak-anak yang merasa kunjungan ke dokter gigi sebagai hal yang
menegangkan, ini karena didalamnya terdapat berbagai komponen yang menyebabkan stres,
seperti bertemu dengan beberapa orang dewasa yang tidak dikenal, bertemu dokter gigi, suara
dan rasa yang asing, keharusan untuk berbaring, ketidaknyamanan, dan bahkan rasa sakit.
Perilaku yang tidak kooperatif dan reaksi ketakutan merupakan sebuah hal umum yang harus
dihadapi dalam situasi klinis sehari-hari.

Pertumbuhan dan Perkembangan

Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah dan besarnya sel di seluruh bagian tubuh yang
secara kuantitatif dapat diukur. Sedangkan perkembangan adalah bertambah sempurnanya
fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh, kematangan dan belajar. Pertumbuhan
dan perkembangan berjalan menurut norma-norma tertentu Walaupun demikian seorang anak
dalam banyak hal tergantung kepada orang dewasa, misalnya mengkunsumsi makanan,
perawatan, bimbingan, perasaana aman, pencegahan penyakit dan sebaginya. Oleh karena itu
semua orang-orang yang mendapat tugas mengawasi anak harus mengerti persoalan anak yang
sedang tumbuh dan berkembang. Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan, diantaranya adalah faktor lingkungan Bila lingkungan karena suatu hal menjadi
buruk, maka keadaan tersebut hendaknya diubah (dimodifikasi) sehingga pertumbuhan dan
perkembangan anak dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.

Perkembangan Psikologis

Perkembangan psikologis anak merupakan suatu rentetan yang rumit dan sulit dipahami,
walaupun manifestasinya terlihat dari luar berupa aksi, sikap dan kepribadian anak.
Perkembangan psikologis juga erat hubungannya dengan usaha untuk memiliki pengetahuan,
keahlian dan kebutuhan emosional. Suasana pematangan psikologis dan fisik disusun menurut
suatu rencanan dan urutan yang sesuai dengan bawaan dan tidak mudah dipengaruhi oleh
pengaruh yang dapat mempercepat perkembangan itu. Seorang anak tidak dapat dilatih untuk
mempunyai tingkah laku tertentu, sebelum ia cukup matang atau sebelum ia sampai pada suatu
taraf tertentu yang memungkinkan latihan itu dapat berhasil. Meskipun urutan dan kecepatan
proses pematangan itu ditentukan oleh faktorfaktor keturunan, keadaan sekitarnya lingkungan
(lingkungan) juga mempunyai peranan sebagai pendorong dan penyesuaian dari tahap-tahap
perkembangan.
Perkembangan psikologis merupakan hasil perpaduan antara kekuatan faktor keturunan
yang ada pada diri anak dan lingkungannya. Keadaan lingkungan yang baik akan mencapai
hasil yang optimal dari kekuatan yang diperoleh dari segi keturunan dari seorang anak.
Sebaliknya bila suasana lingkungan tidak baik dapat menghambat bakat-bakat yang ada.
Tiap anak mempunyai batas psikologis dalam kesanggupannya menghadapi keadaan.
Penting bagi seorang dokter gigi untuk mengenal batasbatas relatif perkembangan psikologis
seorang anak pada berbagai usia, untuk dapat mendekati anak sehubungan perawatan gigi yang
akan dilakukan.
Teori-Teori Klasik Pada Perkembangan Paikologis :
1) Teori Tahap Perkembangan Kognisi menurut Piaget
Menurut Piaget, proses perkembangan kognisi meru pakan rangkaian yang terdiri
dari beberapa tahap. Bagi Piaget, tahap adalah periode waktu di mana pikiran dan perilaku
anak dalam beberapa situasi merupakan refleksi atau pantulan dari tipe struktur mental
tertentu yang mendasarinya. fleksi atau pantulan dari tioe struktur mental tertentu yang
mendasarinya.
Tahap perkembangan kognisi menurut Piaget :
a) Periode Sensorimotor (dari lahir sampai 2 tahun)
Bayi memahami dunia seperti yang terlihat oleh mereka dan apa saja yang
tertangkap indera mereka yang lain. Mereka berkembang dari fungsi refleks yang
sederhana, seperti menghisap, menuju kemampuan mengorganisasi skema melalui
beberapa tahap. Pada akhir tahun pertama bayi sudah mampu memunculkan respon
dalam urutan yang lebih kompleks, seperti mampu mengambil benda yang
tersembunyi dengarn meraih ke balik tutupnya atau mencari benda yang
disembunyikan di balik sapu tangan.
b) Perlode Pra-operasional (2-7 tahun)
Anak mulai mampu membuat penilaian sederhana terhadap objek dan kejadian di
sekitarnya. Mereka mampu menggunakan simbol (kata-kata, bahasa tubuh) untuk
mewakili objek dan kejadian yang mereka maksudkan. Penggunaan simbol ini
menunjukkan peningkatan kemampuan mengorganisasi informasi dan kemampuan
berpikir. Pada periode ini anak belum mampu mengembangkan konsep tentang
aturan dalam bermain, namun hanya melakukan apa yang boleh dan tidak boleh
seperti dikatakan orang dewasa di sekitar mereka. Misalnya ketika anak bermain
sepak bola. Mereka tahu tidak boleh memegang bola dengan tangan dan mereka
dapat mengikuti aturan itu ketika bermain, namun anak belum mampu menalar
mengapa aturannya seperti itu.

Tingkah Laku Anak Pada Perawatan Gigi


A. Usia 15 bulan – 2 ½ tahun (Toddlerhood)
Perbendaharaan kata bertambah banyak, dan gerakan motorik semakin sempurna
dengan bertambahnya usia. Daya tangkap masih terbatas dan perhatian masih berpindah-
pindah. Anak merasa aman bila didampingi oleh orang yang dikenal atau bila merasa
dilingkungan yang dikenalnya atau bila disekitarnya dan anak-anak yang seusianya. Pada
kelompok usia ini, anak tidak senang menunggu atau prosedur perawatan gigi yang
bertele-tele. Anak suka bermain disamping temannya tanpa harus bermain bersama disebut
gejala pararel play. Bila perlu diagnosa dapat dilakukan.
Pengelolaan : Perlu dilayani sesuai dengn pengertian anak dan anak tidak begitu rewel
bila dirawat bersama anak-anak sebaya di klinik. Perlu ditunggu orang yang dikenal atau
dipercayai dan memberi rasa tentram serta pelayanan dikerjakan dengan prosedur yang
sesingkat-singkatnya.
B. Usia Pra-sekolah (3-5 tahun)
Kemampuan bicara dan daya tangkap bertambah sesuai dengan usianya, reaksi
spontan dengan perasaan yang cepat berubah dan anak suka dipuji hingga mudah diajak
turut serta dalam suatu kegiatan. Lingkungan dan kebiasaan keluarga masih berpengaruh
besar, ibu adalah pusat dunianya, sehingga timbul gejala takut ditinggal dan tidak takut
bila lingkungan menyenangkan. Anak senang punya teman baru, suka bermain disamping
teman, mulai belajar dan banyak bertanya disebut gejala associative play.
Pengelolaan : Perlu ditunggui ibu atau orang yang dikenal, banyak dipuji, banyak diajak
bicara dan diberi pengertian serta perlu kesabaran dokter gigi.

Menurut Wright, perilaku anak diklasifikasikan menjadi:


1. Kooperatif
Anak-anak yang kooperatif terlihat santai dan rileks. Mereka sangat antusias menerima
perawatan dari dokter gigi. Mereka dapat dirawat dengan sederhana dan mudah tanpa
mengalami kesulitan, pendekatan tingkah laku (perilaku).
2. Kurang kooperatif
Pasien ini termasuk anak-anak yang sangat muda di mana komunikasinya belum baik
dan tidak dapat memahami komunikasi dengan baik. Karena umur mereka, mereka
tergolong ke dalam pasien yang kurang kooperatif. Kelompok lain yang termasuk ke
dalam pasien yang kurang kooperatif adalah pasien yang memiliki keterbatasan yang
spesifik. Untuk anak-anak golongan ini, suatu waktu tekhnik manajemen perilaku
secara khusus diperlukan. Ketika perawatan dilakukan, perubahan perilaku secara
imediat yang positif tidak dapat diperkirakan.
3. Potensial kooperatif
Secara karakteristik, yang termasuk ke dalam kooperatif potensial adalah permasalahan
perilaku. Tipe ini berbeda dengan anak-anak yang kooperatif karena anak-anak ini
mempunyai kemampuan untuk menjadi kooperatif. Ini merupakan perbedaan yang
penting. Ketika memiliki cirri khas sebagai pasien yang kooperatif potensial, perilaku
anak tersebut bisa diubah menjadi kooperatif.

Menurut Frankl, perilaku anak dibagi menjadi:


1. .Sangat negative: menolak perawatan, menangis dengan keras, ketakutan atau adanya
bukti penolakan secara terang-terangan.
2. Negative: enggan menerima perawatan, tidak kooperatif, perilaku negative tetapi tidak
diucapkan (hanya muram dan tidak ramah).
3. Positif: menerima perawatan, kadang-kadang sangat hati-hati, ikhlas mematuhi
perintah dokter gigi, kadang-kadang timbul keraguan, tetapi pasien mengikuti perintah
dokter gigi dengan kooperatif.
4. Sangat positif: sangat bagus sikap terhadap dokter gigi, tertarik dengan prosedur dokter
gigi, tertawa dan menikmati perawatan yang dilakukan dokter gigi.

Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak


a) Pertumbuhan dan Perkembangan
Perkembangan anak meliputi fisik, intelektual dan aspek emosional dari pertumbuhan.
Aspekaspek ini menunjukkan perubahan yang konstan pada ukuran dan besarnya. Pada
umur intelektual tiga tahun terlihat progress perkembangan yang menandakan suatu
kesiapan untuk menerima perawatan dental. Anak-anak yang terlihat normal secara fisik
tetapi menunjukkan perilaku atau masalah sosiologis, tipe pasien seperti ini dapat
dinamai “unnanageable”, dengan realisasi kecil yang menunjukkan anak yang behaviour
problem bisa mengesankan beberapa bentuk dari kerusakan otak.
b) Pengalaman Medis dan Pengalaman Perawatan Gigi
Keterlibatan emosional yang dibuat atau diciptakan dari pengalaman medis terdahulu dan
sikap buruk anak terhadap kunjungan ke praktek medis, dapat membentuk dan
mempengaruhi perilaku yang tidak menyenangkan pada anak. Potensial perilaku yang
tidak kooperatif bisa dihubungkan dengan ketakutan pada pengalaman dental.
c) Pengaruh Keluarga dan Teman Sebaya
Faktor psikososial adalah faktor yang sangat mempengaruhi perilaku manusia,
khususnya didalam unit keluarga. Faktor teman sebaya dan instutisional juga membentuk
perilaku individu, tetapi dalam derajat yang lebih kecil. Sikap orang tua yang membentuk
perilaku anak secara langsung pada periode awal perkembangan, dipengaruhi oleh
faktor-faktor posisi social ekonomi, perkembangan kultural dan latar belakang etnik.
Anak-anak yang berasal dari tingkat sosial ekonomi rendah cenderung takut dan kurang
kooperatif. Masalah internal keluarga akan mempengaruhi perilaku anak, dari dalam
rumah yang ditimpa perselisihan anak dapat merasakan ketidakharmonisan dengan
menjadi emosional dan frustasi. Oleh karena itu, lebih memungkinkan manajemen
problem di praktek dental.
d) Lingkungan Praktek Dokter Gigi
Dokter gigi dan staf harus memberi pengaruh positif dengan praktek dental. Secara tidak
langsung, dental team dapat menganjurkan sikap positif terhadap kunjungan dental.
Perilaku negatif, yang disebabkan oleh pengalaman medis dan pengalaman dental yang
buruk dapat dipengaruhi secara positif oleh cara bijaksana keluarga dan prosedur perilaku
yang dilakukan kembali oleh dental team.

RASA TAKUT
Rasa takut terhadap perawatan gigi dapat dijumpai pada anak-anak di berbagai unit pelayanan
kesehatan gigi misalnya di praktek dokter gigi, di rumah sakit ataupun di puskesmas. Rasa
takut adalah emosi pertama yang diperoleh bayi setelah lahir yang merupakan suatu
mekanisme protektif untuk melindungi diri dari gabungan faktor-faktor lain yang tidak
menyenangkan yang dapat mempengaruhi aktifitas susunan saraf otonom. Apabila terjadi
reaksi rasa takut yang kuat akan diikuti dengan debar jantung yang keras disertai tanda-tanda
emosi yang lain seperti perubahan tingkah laku yaitu gelisah, gemetar, serta berusaha
menghindar diri dari pihak lain yang menyerangnya.
Rasa takut merupakan salah satu dari sekian banyak emosi yang biasa diperlihatkan anak pada
perawatan gigi. Kebanyakan diperoleh pada masa anak dan remaja. Rasa takut menghantarkan
anakanak pada prosedur yang mungkin tidak menyenangkan dan selanjutnya memperbesar rasa
takut terhadap prosedur perawatan gigi. Rasa takut mempengaruhi tingkah laku dan
keberhasilan pada perawatan gigi.
Anak usia sekolah umumnya mempunyai rasa takut terhadap orang yang masih asing seperti
dokter, ataupun dokter gigi, rumah sakit, dan rasa takut ini merupakan suatu hal yang normal.
Sebagaimana diketahui bahwa peralatan yang digunakan ataupun tindakan yang dilakukan
tenaga kesehatan gigi terlihat di depan mata, di samping bunyi bur yang mengilukan
merupakan factor penyebab timbulnya rasa takut.
Rasa takut biasanya lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Anak yang
takut lebih besar kemungkinannya untuk mendapatkan pengalaman perawatan gigi yang tidak
menyenangkan dibandingkan dengan anak yang kurang takut. Orang tua tidak boleh
menggunakan perawatan gigi sebagai ancaman dan membawa anak ke dokter gigi sebagai
hukuman. Anak harus diajarkan bahwa praktek dokter gigi bukan merupakan tempat untuk
ditakuti.

Penyebab Rasa Takut


Rasa takut terhadap perawatan gigi hingga saat ini masih merupakan masalah yang penting dan
merupakan hambatan bagi dokter gigi dalam usaha peningkatan kesehatan gigi masyarakat dan
hal tersebut dapat memberi pengaruh buruk terhadap pelaksanaan prosedur pengobatannya.
Rasa takut akan mempengaruhi tingkah laku anak dan menentukan keberhasilan kunjungan ke
dokter gigi.Faktorfaktor yang menyebabkan rasa takut terhadap perawatan gigi dan mulut yaitu
rasa takut dari diri sendiri, rasa takut dari orang tua atau keluarga, dan dokter gigi.
• Rasa Takut dari Diri Sendiri
Rasa takut pada anak terhadap perawatan gigi salah satunya timbul dari dalam diri anak itu
sendiri. Beberapa hal yang dapat menyebabkan timbulnya rasa takut dalam diri anak adalah
usia, pengalaman buruk, mempunyai masalah kesehatan, dan rasa sakit.
• Rasa Takut dari Orangtua atau Keluarga
Peranan orang tua terhadap keberhasilan perawatan gigi anaknya, sangat besar. Sikap orang
tua akan berpengaruh terhadap perilaku anak selama menjalani perawatan. Pada umumnya
seorang ibu dengan tingkat kecemasan yang tinggi, ketika anaknya dirawat akan menunjukkan
sikap yang tidak menguntungkan yang dapat mempengaruhi keberhasilan perawatan. Orang
tua yang takut terhadap perawatan gigi akan mempengaruhi anaknya ketika dilakukan
perawatan gigi.
• Dokter Gigi
Rasa takut pada anak dapat disebabkan oleh pengelolaan yang kurang tepat oleh dokter gigi.
Sikap dokter gigi yang kaku atau keras, kurang sabar, kurang menunjukkan kehangatan dan
perhatian dapat menyebabkan anak bersikap negatif. Dokter gigi harus bersikap lembut ketika
merawat pasien anak, mempunyai wibawa serta dapat menjelaskan perawatan yang akan
dilakukan dengan cara yang tidak membuat anak merasa takut. Selain itu, ruangan praktek yang
dianggap asing oleh anak dapat dibuat menjadi lebih aman. Misalnya ruang tunggu yang
dilengkapi beberapa mainan, gambar maupun buku yang berhubungan dengan anak.

Tipe Rasa Takut


Rasa takut adalah respons emosional dan merupakan suatu mekanisme protektif untuk
melindungi seseorang dari ancaman atau bahaya dari luar. Rasa takut tidak diwariskan tetapi
diperoleh setelah lahir. Rasa takut anak diperoleh secara objektif atau subjektif.
• Rasa Takut Objektif
Rasa takut objektif merupakan respons dari stimulus yang dirasakan, dilihat, didengar, dicium
dan merupakan hal atau keadaan yang tidak enak atau tidak menyenangkan. Rasa takut objektif
ditimbulkan oleh rangsangan langsung yang diterima organ perasa dan secara umum bukan
bersumber dari orang lain. Rasa takut objektif dapat disebabkan karena perasaan yang tidak
menyenangkan terhadap perawatan gigi.
• Rasa Takut Subjektif
Rasa takut subjektif merupakan rasa takut yang didapat dari orang lain dan anak tersebut tidak
mengalaminya sendiri. Anak kecil sangat mudah dipengaruhi, sehingga anak kecil yang tidak
berpengalaman ketika mendengar pengalaman yang tidak menyenangkan atau situasi yang
menimbulkan rasa sakit yang dialami oleh orang tua mereka, dengan segera akan menimbulkan
rasa takut pada dirinya. Hal-hal yang dapat menimbulkan rasa takut akan disimpan dalam
ingatannya, dengan segala imajinasi yang dimilikinya, dan rasa takut menjadi bertambah hebat.

Pengendaliam Tingkah Laku


Pengendalian tingkah laku pada pasien anak bertujuan untuk memodifikasi tingkah laku pasien
kearah yang ideal melalui suatu seri langkah-langkah pada jalur menuju tingkah laku yang
diinginkan. Tingkah laku yang ideal ditunjukkan oleh pasien yang menjaga kebersihan
mulutnya dengan sangat baik dan santai serta kooperatif selama perawatan gigi.
Pada perawatan gigi operatif, pembentukan tingkah laku didasarkan pada prosedur rencana
perawatan pendahuluaan yang diinginkan, sehingga anak perlahan-lahan dilatih untuk
menerima perawatan dalam keadaan santai dan kooperatif. Langkah-langkah yang dapat
merupakan perawatan pendahuluaan pada rata-rata anak usia sekolah adalah pemeriksaan dan
profilaksis, fissure sealant dan pemberian flour topical, restorasi oklusal yang kecil pada gigi
susu tanpa anastesi local, dan bloc pada saraf gigi bawah dan restorasi.
Pendekatan bertahap dalam pembentukan tingkah laku ini dapat menunda kemajuan
perawatan, tetapi apabila kerjasama yang penuh dari anak dapat diperoleh, penundaan tentu
lebih bermanfaat karena waktu yang dilewatkan tersebut dianggap sebagai investasi yang
nyata.
Beberapa metode pendekatan dalam pengendalian tingkah laku anak selama perawatan gigi
antara lain :
1) Tell Show Do
Caranya melalui TSD, yaitu:
 TELL yaitu menerangkan perawatan yang akan dilakukan pada anak dan bagaimana
anak tersebut harus bersikap.
 SHOW yaitu menunjukkan atau mendemostrasikan pada anak apa saja yang akan
dilakukan terhadap dirinya.
 DO yaitu anak, dilakukan perawatan gigi sesuai dengan hal yang diuraikan atau
didemostrasikan.
2) Penguatan (reinforcement)
Penguatan dapat diartikan sebagai pengukuhan pola tingkah laku yang akan meningkatkan
kemungkinan tingkah laku tersebut terjadi lagi dikemudian hari. Hampir semua benda
menjadi penguat dokter gigi sehingga dapat meningkatkan hubungan social dengan cara
memberikan perhatian, doa, senyum, dan pelukan. Benda penguat yang dapat diberikan
misalnya sticker, pensil, dan lain-lain.
3) Desensitisasi
Tujuan: untuk mengurangi rasa takut dan cemas seorang anak dengan jalan memberikan
rangsangan yang menghilangkan cemas sedikit demi sedikit yang disebut dengan istilah
“systemic desentisization” karena ada tiga tahap yaitu:
 Latih pasien untuk santai dan rileks.
 Susun secara berurutan hal-hal yang membuat pasien cemas dan takut (dari yang paling
menakutkan sampai yang tidak menakutkan).
 Rangsangan ditingkatkan sedikit demi sedikit.
4) Modeling
Tujuan: untuk mengurangi dan menghilangkan rasa takut dan rasa cemas yang tinggi.
Modeling dan imitasi adalah suatu proses sosialisasi yang terjadi baik secara lagsung dalam
interaksinya dengan lingkungan sosial. Ada empat komponen dalam proses belajar:
• Memperhatikan
• Mengancam
• Memproduksikan gerak dengan cepat
• Ulangan penguasaan dan motivasi proses meniru akan berhasil dengan baik
5) Hand Over Mouth Exercise (HOME)
HOME digunakan apabila beberapa cara lain dalam menciptakan komunikasi yang baik
mengalami kegagalan sehingga tingkah laku anak tidak terkendali. HOME dilakukan pada
anak sejak kunjungan pertama menunjukkan sikap tidak kooperatif, tidak mengerti dengan
penjelasan atau bujukan, keras kepala, menolak perawatan, menangis meronta-ronta.
Tindakan ini dilakukan pada anak sehat berumur 3-6 tahun.
6) Sedasi (Farmakologi)
Teknik ini efektif digunakan pada anak-anak yang kurang kooperatif dan tidak mau
dilakukan perawatan. Obat-obatan yang bersifat sedative dapat digunakan dalam beberapa
cara yaitu secara oral, intravena, intramuscular, dan inhalasi. (andlaw). Banyak obat-obatan
dan kombinasinya telah digunakan untuk sedasi anak yang cemas, misalnya barbiturate,
kloral hidrat, hydroxyzine, neprobamate, dan diazepam.
PEMBAHASAN
Dalam merawat pasien anak-anak dibutuhkan komunikasi atau pendekatan khusus
terhadap anak-anak, khususnya anak-anak yang memiliki masalah dengan kooperatif atau
tidaknya mereka. Perilaku anak-anak di tempat praktek dokter gigi dipengaruhi oleh hubungan
antara dokter gigi – pasien anak – orang tua/ orang yang mendampingi anak tersebut (one to
two relationship). Selain itu juga terdapat faktor lain yang mempengaruhi perilaku anak yaitu
pertumbuhan dan perkembangan, sosial budaya, keluarga, pengalaman medis dan dental
sebelumnya, tempat praktek dokter gigi, persiapan sebelum perawatan dan sumber tingkah laku
yang tidak kooperatif dalam keluarga. Strategi pengendalian tingkah laku anak yang dapat
diterapkan dalam praktek kedokteran gigi adalah strategi modeling, desensitisasi dan
kombinasinya. Metode Tell-Show-Do dan reinforcement dapat digunakan untuk melengkapi
strategi diatas. Sedangkan Hand Over Mouth Exercise jangan dilakukan pada anak yang
mengalami rasa takut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Allo, C.B.B., Benedicditus S. Lampus, Paulina N. Gunawan. 2016. “Hubungan


Perasaan Takut Anak Terhadap Perawatan Gigi Dengan Kebersihan Gigi dan Mulut
di RSGM Unsrat Manado”: Jurnal e-Gigi (eG) Volume 4 (Hal. 166-170).

2. Karimah D, N. Nurwati, G.G. Kamil Basar. 2014. Pengaruh Pemenuhan Kesehatan


Anak Terhadap Perkembangan Anak. Proceeding of, Hal. 1-146.

3. Kent, G.G. dan A.S. Blinkorn. 2005. Pengelolaan Tingkah Laku Pada Praktik Dokter
Gigi. Edisi Kedua, Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

4. Mulyati, Sri dan Nindy Amita. 2013. “Praktek Merawat Gigi Pada Anak”: Jurnal
Inovasi dan Kewirausahaan Volume 2 (Hal.130-135).

5. Nuryanti, Lusi. 2008. Psikologi Anak. Jakarta: PT Indeks.

6. Nirwesti, Rati. 2009. Aspek Psikologis Penatalaksanaan Tingkah Laku Pada Perawatan
Gigi Anak: Jurnal MIGKI Volume 11 (Hal. 83-86).

7. Pay, Mery Novaria, Sri Widiati, Niken Widyanti Sriyono. 2016. “Identifikasi Faktor
Yang Mempengaruhi Perilaku Anak Dalam Pemeliharaan Kebersihan Gigi dan Mulut”:
Majalah Kedokteran Gigi Volume 2 (Hal. 27-34).

Anda mungkin juga menyukai