Anda di halaman 1dari 7

I.

Analisis masalah
1. Seorang wanita berusia 55 tahun, dikirim dari RS Kabupaten datang ke
IGD dengan utama badan lemas, keluhan tambahan mata kuning sejak 1
bulan yang lalu. Pasien juga merasa sering pusing, mata berkunang-
kunang, keringat dingin, sering merasakan jatung berdebar-debar, mual dan
tidak demam.
a. Bagaimana mekanisme mual pada kasus?
Jawab :
Hemolisis berlebihan karena autoimun › penghancuran oleh RES >
Oksigen ke jaringan saluran pencernaan berkurang > system
pencernaan tidak dapat mencerna makanan dengan baik > mual

3. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Sens cm, TD: 110/80 mmHg, Nadi: 92 x/mnt,
reguler,teratur, RR :26 x/mnt. Temp 36,7 °C
Keadaan spesifik: Kepala : konjungtiva palpebra pucat (+), sklera ikterik
(+), bibir pucat (+) Leher JVP (5-2) cmH20, pembesaran kelenjar limfe (-)
Thoraks: Jantung dbn, Paru dbn. Abdomen : Lien teraba SII, hepar tak
teraba. Ekstremitas: palmar pucat (+), pembesaran kelenjar limfe (-)
a. Apa interpretasi hasil pemeriksaan tersebut?
Jawab :

Hasil Nilai Normal Interpretasi


Tekanan Darah 100/60 - 140/90 mmHg Normal
110/80 mmHg (Smeltzer&Bare, 2012)
Nadi 92x/mnt 60-100x/mnt Normal
RR 26x/mnt 16-24 x/mnt Meningkat
(Takipneu)
Suhu 37oC 36,6-37,2oC Normal

Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Interpretasi

konjungtiva palpebra pucat (+),


Kepala sklera ikterik (+), bibir pucat Abnormal
(+)

Leher JVP (5-2) cmH20, pembesaran Normal

1
kelenjar limfe (-)

Jantung: Normal
Toraks Normal
Paru-paru: Normal

Lien teraba SII, Abnormal


Abdomen
hepar tak teraba. Normal

palmar pucat (+), Abnormal


Ekstremitas
pembesaran kelenjar limfe (-) Normal

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan tersebut?


Jawab :
i. Takipneu
Akibat terjadinya hemolisis yang berlebihan akibat reaksi
autoimun, sel darah merah yang beredar dipembuluh darah pun
jumlahnya makin menurun. Sehingga hb yang berfungsi mengikat
O2 ke jaringan akan menurun dan menyebabkan pasokan oksigen
ke jaringan juga akan menurun. Sebagai kompensasinya, paru-paru
akan mempercepat kerjanya sehingga pasokan oksigen ke jaringan
terpenuhi.

ii. Konjungtiva palpebra pucat


Hemolisis berlebihan karena autoimun › penghancuran oleh RES >
jumlah sel darah merah menurun > Hb mengandung heme sebagai
pemberi warna merah pada eritrosit > pasokan darah ke jaringan
perifer menurun > konjungtiva palpebra pucat

iii. Sklera ikterik


Hemolisis berlebihan karena autoimun › penghancuran oleh RES >
dihasilkan bilirubin indirect > bilirubin indirect terlalu banyak >
hati tidak mampu banyak memetabolisme bilirubin indirect >
peningkatan bilirubin indirect dalam darah > sklera menjadi kuning

iv. Bibir pucat

2
Hemolisis berlebihan karena autoimun › penghancuran oleh RES >
jumlah sel darah merah menurun > Hb mengandung heme sebagai
pemberi warna merah pada eritrosit > pasokan darah ke jaringan
perifer menurun > bibir pucat

v. Lien teraba sii


Hemolisis berlebihan karena autoimun › penghancuran sel-sel daah
merah yang sudah rusak melalui RES salah satunya oleh lien >
namun terlalu banyak > lien berkerja lebih keras > kompensasi
oleh lien > pembesaran lien
vi. Palmar pucat
Hemolisis berlebihan karena autoimun › penghancuran oleh RES >
jumlah sel darah merah menurun > Hb mengandung heme sebagai
pemberi warna merah pada eritrosit > pasokan darah ke jaringan
perifer menurun > palmar pucat

c. Bagaimana gambaran abnormalitas daro hasil pemeriksaan tersebut?


Jawab :
i. Konjungtiva palpebra pucat

ii. Sklera ikterik

iii. Bibir pucat

3
iv. Palmar pucat

LEARNING ISSUE
1. Anemia hemolitik autoimun
a. Patologi
Penyebab dasar produksi autoantibodi pada AIHA adalah sistem
kekebalan tubuh yang tidak dapat mengenali host atau self-antigen yang
berkaitan dengan kegagalan sel T meregulasi sel B dan cenderung
menyebabkan perubahan dalam struktur antigen pada eritrosit (Chaundhary et
al, 2014).

Proses pembentukan autoantibodi yang menyebabkan terjadinya AIHA


melibatkan peran yang besar dari sel limfosit B (Sel B). Sel B berasal dari
prekursor stem-cell hematopoetik pada sumsum tulang yang berkembang
menjadi sel pro B, sel pre B, sel B imatur, dan sel B matur. Sel B matur
kemudian meninggalkan sumsum tulang dengan antigen spesifik reseptor sel
B (BCR) pada permukaannya. Sel B mengalami pematangan dalam dua
tahap, fase pertama pematangan sel B bersifat independent-antigen.
Sedangkan fase kedua bersifat dependent-antigen, yaitu jika BCR pada sel B
matur bertemu dengan antigen yang sesuai, sel B akan berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi imunoglobulin berupa
IgM, IgG dan isotope Ig lain (seperti IgG1, IgG2), atau menjadi sel B memori
yang berumur panjang.

4
Selain berperan pasif dalam memproduksi antibodi sel B juga
berperan sebagai APC yang efisien, mengaktivasi sel T, memediasi
kerusakan akibat otoimun yang independen terhadap antibodi, serta
melepaskan molekul kostimulator dan sitokin (TNF-α, IL-4 dan 10).

Sel limfosit B memiliki berbagai antigen pada permukaannya yang


dapat digunakan sebagai penanda berbagai tingkat diferensiasinya dan
mengklasifikasikannya. Pada tahun 1980, Stashenko dkk. memperkenalkan
antigen permukaan yang spesifik pada sel B yang saat ini dikenal sebagai
CD20. Dengan pengecualian terhadap sel plasma, molekul CD20 terdapat
pada permukaan semua sel B setelah bentuk sel pro B.

Molekul CD20 adalah molekul permukaan sel tetraspan dengan berat


molekul sekitar 33-37 kDa dengan bentuk setengah lingkaran ekstraseluler
terdiri dari 44 asam amino. Ekspresinya dibatasi pada sel-B dari tahap pra-sel
B sampai akhir dalam diferensiasi. Sebagian besar sel plasma adalah CD20
negatif, meskipun sel ini dapat didorong untuk mengekspresikan CD20 oleh
kultur dengan interferon-γ.

Molekul CD20 merupakan target efektif dalam imunoterapi. Hal ini


dikarenakan molekul CD20 sangat diekspresikan pada permukaan sel B
(sekitar 100.000 molekul/sel). Selain itu molekul CD20 tidak rusak, tidak
mengalami internalisasi, dan umumnya tidak larut, dalam respon mengikat
antibodi.

Dari berbagai penelitian didapatkan peningkatan jumlah limfosit B


CD20 pada pasien AIHA maupun pada penyakit otoimun lainnya. Suatu
kasus AIHA dengan autoantibodi IgM yang reaktif pada suhu hangat
didapatkan kadar limfosit B CD20 yang meningkat hingga 34%. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Barcellini W dkk (2012) mendapatkan nilai median
dari limfosit B CD20 pada penderita AIHA adalah 180 sel/uL (range 90-490).
Pada penelitiannya terhadap pasien CAD, Berentsen melakukan pemeriksaan
limfosit B CD20 pada sumsum tulang penderita, dan mendapatkan persentase
CD20 sebanyak 24%. Sedangkan kadar IgM serum didapatkan median 5,2
g/L. Mustofa dkk (2010) juga mendapatkan peningkatan limfosit B CD20
pada suatu penyakit otoimun yaitu penderita arthritis rheumatoid, tetapi pada
penelitian ini tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada berbagai
derajat penyakit dan kelompok kontrol.

5
Aktivasi sel B diawali dengan pengenalan spesifik oleh reseptor
permukaan. Antigen dan perangsang lain termasuk Th merangsang proliferasi
dan diferensiasi klon sel B spesifik. Atas pengaruh antigen dan sel T, sel B
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mampu
membentuk dan melepas Ig dengan spesifisitas yang sama seperti reseptor
yang ada pada permukaan sel prekursornya. Biasanya sel B akan dirangsang
menjadi sel plasma yang membentuk antibodi atas pengaruh antigen yang sel
T dependen, tetapi sel B dapat pula membentuk antibodi atas rangsangan
antigen tanpa bantuan sel T (T independen). Semua sel B hanya dapat
memiliki satu jenis molekul Ig saja pada permukaannya, hanya IgM, IgG dan
sebagainya.8 Autoantibodi yang tedapat pada AIHA tipe hangat sebagian
besar merupkan IgG sedangkan pada AIHA tipe dingin sebagian besar
merupakan IgM. Das SS dkk (2009) pada penelitiannya mendapatkan 72,1%
pasien AIHA memiliki autoantibodi IgG. Selain itu juga didapatkan eritrosit
yang diselubungi dengan imunoglobulin/komplemen yang multipel dan IgG
sub klas IgG1 dan/atau IgG3 memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
mengalami hemolisis.

b. Patofisiologi
Lisis terjadi jika eritrosit mengalamai kerusakan, baik di membrannya,
hemoglobinnya maupun fleksibilitasnya. Jika sel eritrosit dilisis oleh
makrofag, ia akan pecah menjadi globin dan heme. Globin ini akan kembali
disimpan sebagai cadangan, sedangkan heme nanti akan pecah lagi menjadi
besi dan protoporfirin. Besi diangkut lagi untuk disimpan sebagai cadangan,
akan tetapi protoforfirin tidak, ia akan terurai menjadi gas CO dan Bilirubin.
Bilirubin jika di dalam darah akan berikatan dengan albumin membentuk
bilirubin indirect (Bilirubin I), mengalami konjugasi di hepar menjadi
bilirubin direct (bilirubin II), dieksresikan ke empedu sehingga meningkatkan
sterkobilinogen di feses dan urobilinogen di urin.

c. Klasifikasi
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) diklasifikasikan sebagai warm
AIHA dan cold AIHA (yang termasuk Cold Aglutinin Disease (CAD) dan
Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH)) sesuai dengan kisaran suhu
autoantibodi berikatan dengan antigen dan menyebabkan terjadinya hemolisis
(Zanella et al, 2014) dapat dilihat pada Gambar 1. Warm dan cold AIHA
dapat terjadi secara primer (idiopathic) ataupun sekunder. Autoimmune

6
Hemolytic Anemia (AIHA) sekunder lebih sering terjadi dibandingkan
dengan AIHA primer dikarenakan terdapat penyakit yang mendasari
munculnya AIHA dan perlu dilakukan pengobatan (Systemic Lupus
Erythematosus (SLE), Chronic Lymphocytic Leukemia (CLL), Hodgkin
lymphoma, dan lainnya (Lechner and Ja¨ger, 2015)). Jumlah kasus warm
AIHA diperkirakan 75% dari kasus yang ada, prevalensi cold AIHA (CAD)
diperkirakan 15% dari kasus yang ada (Berentsen and Sundic, 2015), dan
cold AIHA (PCH) diperkirakan 2-10% dari kasus yang ada (Chaundhary and
Das, 2014)

Gambar 1. Klasifikasi AIHA pada Anak (Hay, Sondheimer, and Deterding, 2008)

d. Manisfestasi Klinis
Tanda klinis yang sering dilihat adalah konjungtiva pucat, sclera berwarna
kekuningan, splenomegali, urin berwarna merah gelap.
Tanda laboratorium yang dijumpai adalah anemia normositik, retikulositosis,
peningkatan lactate dehydrogenase, peningkatan serum haptoglobulin, dan
Direct Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif

Anda mungkin juga menyukai