BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna
jika dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia diberikan akal dan fikiran
untuk menjalani kehidupannya di muka bumi sebagai khalifah. Dengan kelebihan
itu manusia diharapkan mampu mengembangkan potensi diri dengan
menggunakan kemampuan berfikir, berusaha dan bekerja, berinteraksi dan
bersosialisasi melalui ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tersebut diperoleh
melalui pendidikan melalui proses pembelajaran yang dibangun secara sistematis
dan berkelanjutan sehingga manusia dapat mengembangkan potensi pada dirinya
dan juga mampu mengubah karakter pada manusia itu sendiri. Dengan kata lain
manusia sangat membutuhkan ilmu pengetahuan untuk dirinya sendiri dan juga
untuk orang lain sehingga hubungan harmonis terbangun dengan baik demi
kelangsungan hidupnya di muka bumi.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mencanangkan pendidikan yang merata dan berkeadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pendidikan tersebut diharapkan mampu mengatasi kesenjangan sosial
melalui pemerataan pendidikan bagi usia pra-sekolah dan kanak-kanak, usia
sekolah SD-SMP-SMA, hingga pendidikan yang ditempuh melalui perguruan
tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan persebaran jumlah lembaga pendidikan
baik formil maupun non formildi berbagai daerah menunjukkan angka cukup
signifikan yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Disamping jumlah lembaga
pendidikan yang meningkat angka jumlah siswa, tenaga pendidik, kebutuhan
fasilitas yang memadai di lembaga pendidikan mengharuskan pemerintah untuk
mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN sebesar 20% untuk biaya
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Selain dana yang berasal dari pemerintah pusat, pembiayaan pendidikan
di Indonesia juga merupakan tanggungjawab dari pemerintah daerah sehingga
layanan pendidikan berjalan dengan baik dan peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia mudah terwujud.
Pemerataan kesempatan belajar yang dicanangkan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan tidak hanya berlaku bagi anak normal,tetapi juga
mencakup anak dengan keistimewaaan-keistimewaan yang dimilikinya termasuk
anak dengan kebutuhan khusus. Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua atau sekedar
memenuhi hak. hak asasi manusia dan hak hak anak, tetapi lebih penting lagi
demi kesejahteraan anak dan kehidupannya di masa datang.
Keberadaan individu atau anak-anak berkebutuhan khusus, secara riil juga
dapat kita jumpai di lembaga pendidikan Islam seperti di Madrasah Ibtidaiyah..
Dalam kenyataannya, begitu banyak anak-anak berkebutuhan khusus sehingga
menyebabkan guru mengalami kesulitan untuk mengenalinya. Sebut saja anak-
anak tunagrahita ringan dengan tingkat kecerdasan atau IQ 70/75 dan anak
berkesulitan belajar spesifik. Kondisi dan keberadaan anak ini di sekolah tentu
secara fisik tidak akan menampakkan perbedaannya secara signifikan. Untuk
itulah guru-guru di Madrasah Ibtidaiyah tersebut mengalami kesulitan dalam
mengenalinya.
Dengan adanya ketidaktahuan dalam mengenali anak-anak berkebutuhan
khusus di madrasah atau di kelasnya, maka hal ini akan berdampak bagi guru
dalam memberikan layanan pendidikan melalui pembelajaran yang baik.
Layanan pendidikan yang salah dan kurang tepat bagi anak-anak berkebutuhan
khusus dapat merugikan orang laindan juga berdampak pada pengembangan
potensi bangsa yang sebagaimana diharapkan. Untuk mengatasi hal tersebut
penanganan yang tepat pada anak berkebutuhan khusus sejak usia dini dapat
mengurangi resikoyang lebih tinggi, dan pendidikan inklusimemberikan
keuntunganlebih besar baik kepada anak normal maupun bagi anakberkebutuhan
khusus. Program inklusi merupakan cara hidup(way of life) yang terbaik, dimana
anak hidup dan belajar bersama, menerima dan merespon setiap kebutuhan
individualyang sangat beragam dengan terbuka. Perluasan dan pemerataan
layanan pendidikan bagi anak bangsa juga menjadi tanggungjawab Kementerian
Agama yang menaungi semua lembaga pendidikan swasta maupun lembaga
pendidikan negeri.
Sejalan dengan hal tersebut, Kelompok Kerja Madrasah Ibtidayah Negeri
2 Lombok Tengah (KKM-MIN 2 Loteng) sebagai lembaga pendidikan negeri
yang membina 60 madrasah swasta tersebar di 3 kecamatan yaitu Jonggat,
Pringgarata dan Praya Barat Daya akan menyelenggarakan kegiatan Pelatihan
Pendidikan Inklusi bagi Anak Berkebutuhan Khusus Tahun 2018.
Tujuan dari pelatihan tersebut adalah memahami dan memiliki keterampilan
terkait strategi pembelajaran melalui pendekatan diferensiasi-Instruksional dan
pembelajaran kooperatif di kelas serta guru yang mengikuti pelatihan ini
diharapkan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan program pembelajaran
sesuai dengan kemampuan anak.
B. Dasar Hukum
1. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Pemerintah Provinsi
dan Kabupaten/Kota.
3. Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonom.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru
7. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 1 29a/U/2004 tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan.
8. Permendikbud no. 23 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Permendiknas no.
15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di
Kabupaten/Kota
C. Tujuan
Tujuan dari kegiatan pelatihan ini adalah terlaksananya pelatihan bagi guru
Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Lombok Tengah adalah :
1. Mengenalkan pendidikan Inklusif terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di
KKM-MIN 2 Lombok Tengah
2. Menerapkan model pembelajaran yang inovatif terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus di KKM-MIN 2 Lombok Tengah
3. Menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan, minat, inovasi, dan
kreativitas para guru KKM-MIN 2 Lombok Tengah.
4. Meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran yang
terarah untuk peningkatan profesionalisme secara berkelanjutan.
5. Membuka wawasan tentang pembelajaran saintifik dalam penerapannya
pada Pembelajaran Inklusif
6. Memberi motivasi kepada guru dalam pelaksanakan pembelajaran secara
bermakna sehingga peningkatan pengetahuan, sikap, keterampilan siswa
sesuai dengan yang diharapkan.
D. Rasional
Melalui diklat ini, peserta akan dilatih untuk memahami dan memiliki
keterampilan terkait strategi pembelajaran melalui pendekatan diferensiasi-
Instruksional dan pembelajaran kooperatif di kelas serta guru yang mengikuti
pelatihan ini diharapkan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan program
pembelajaran sesuai dengan kemampuan anak.
E. Sasaran
Sasaran penggunaan dan pemanfaatan pendidikan Inklusi terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus adalahguru Madrasah Kecamatan Jonggat dan Pringgarata
sebanyak 30 orang.
A. Metode Pelatihan
Workshop terdiri dari teori dan praktek dengan komposisi 30% untuk teori dan
70% untuk praktek. Adapun mekanisme kegiatan wokshop sebagai berikut.
1. Ceramah Umum
a. Kebijakan Pemerintah Pusat terhadap dunia pendidikan,
b. Kebijakan Pemerintah daerah Kabupaten Lombok tengah,
c. Pendidikan Inklusif terhadap perkembangan kemajuan madrasah,
2. Materi
a. Pendidikan Inklusif dan Disabilitas
a.1 Gambaran pendidikan Inklusif
a.2 Pemahaman tentang disabilitas dan cara identifikasi
a.3 Profil siswa dan Rencana Tindak Lanjut
b. Strategi Pembelajaran Inklusif
b.1 Strategi pembelajaran Inklusif
b.2 Penyesuaian pembelajaran dan dukungan
b.3 Simulasi pembelajaran kooperatif
b.4 Pengaturan ruang kelas dan Rencana Tindak Lanjut
c. Setting kelas dan Adaftasi Pembelajaran
c.1 Gender dan Social Inklusi
c.2 Manajemen Perilaku
c.3 Adaftasi Rencana Pembelajaran
c.4 Rencana Tindak Lanjut
d. Presentasi umum
e. Pembentukan kelompok kerja
f. Prraktek pembuatan Silabus, dan Rencana Pembelajaran
g. Evaluasi hasil capaian pelatihan
B. Jadwal Pelaksanaan
No Kegiatan Waktu
Demikian proposal ini kami buat agar dapat dipertimbangkan demi peningkatan
kompetensi guru yang diharapkan. Atas perhatiannya kami sampaikan terimakasih.
UNIT 1
Modul
Inklusif - Literasi Dasar
Pendahuluan
Tujuan
1
Stubbs, S (2008) Inclusive Education: Where there are few resources, Atlas Alliance, Norway.
ww.eenet.org.uk
Sumber dan Bahan
Sumber dan bahan yang disiapkan dalam melaksanakan unit ini adalah
1. Tayangan Power Point Unit 1;
2. ATK: lem, gunting, kertas plano, post it, latban kertas, kertas HVS
putih, spidol warna ukuran besar dan kecil
Waktu - 180Menit
Aplikasi – 85’
Refleksi
Fasilitator mengajukan pertanyaan untuk merefleksi pemahaman
peserta.
1. Apakah bapak/ ibu telah memahami konsep penyelenggaraan
pendidikan Inklusif?
2. Apakah bapak ibu telah memiliki keterampilan dalam menyusun profil
pembelajaran anak disabilitas/ anak berkebutuhan khusus
Penguatan
Fasilitator memberikan penguatan dengan hal-hal berikut terkait
pendidikan inklusif.
Pendidikan Inklusif merupakan sebuah sistem yang mengakomodir
keberagaman kebutuhan semua siswa di dalam kelas, termasuk anak
disabilitas/ABK unutk mendapatkan hak dan berpartisipasi penuh
dalam sistem pendidikan/ kurikulum.
Untuk dapat mengakomir kebutuhan siswa sesuai dengan layanan
yang dibutuhkan maka kita perlu membuat “Profil Belajar SIswa” yang
akan menggambarkan Informasi untuk mengidentifikasi klasifikasi
disabilitas/kebutuhan dan tingkatannya. Informasi untuk
mengidentifikasi pembelajaran dan kebutuhan bantuan (termasuk alat
bantu, seperti kursi roda dan akomodasi yang layak seperti tambahan
waktu atau notulensi selama ujian) danInformasi untuk mengakses
layanan rujukan PI adalah sebuah proses yang berfokus dan
merespon keberagaman kebutuhan peserta didik. Untuk mengisi profil
tersebut kita membutuhkan panduan identifikasi, agar kita tidak
mudah melabel anak dengan berbagai istilah.
Faktor lingkungan sangat mempengaruhi seseorang menjadi
disabilitas, ketika lingkungan masih memiliki stigma negatif, maka
kesulitan partisipasi terus akan terjadi.
Guru memiliki peran yang penting dalam mengembangkan literasi
siswa.ngkungan belajar yang literat sangat mendukung
keterampilasiswaDuatanraat dibutuhkan.
Bahan Bacaan
3. Motorik
Hambatan ortopedi (orthopedic impairment) mengacu pada kondisi
yang biasa disebut cacat fisik dan yang lainnya disebut hambatan fisik
(physical impairment). Individu dengan kondisi ini memiliki masalah
dengan struktur fungsi tubuh mereka Bryant et al. (2015). Anak yang
mempunyai masalah fisik mungkin terdiri dari pada orang-orang yang
mempunyai keadaan fisik parah sehingga tidak mampu untuk
berbicara, berjalan, menunjuk, atau melakukan pergerakan yang
bertujuan untuk anak tersebut dengan hanya beberapa kesulitan
berjalan atau kelainan pada kerangka tubuh yang tidak terlihat.
Termasuk gangguan yang disebabkan oleh anomali congetinal
(misalnya kaki pengkor, tidak adanya beberapa anggota tubuh),
gangguan yang disebabkan oleh penyakit (misalnya poliomielitis,
tulang), dan penurunan fungsi penyebab lainnya (misalnya cerebal
palsy, amputasi, dan patah tulang atau luka bakar yang berkontraksi)
(Gargiulo & Metcalf, 2017).
4. Belajar
Pada hambatan belajar mencakup kepada lamban belajar, tunagrahita
dan kesulitan belajat spesifik seperti disleksia, diskalkulia, dan
disgraphia.
a. Tunagrahita
Seorang anak yang tidak memenuhi dua standar deviasi di bawah
rata-rata sering diidentifikasi sebagai anak dengan Intellectual
Disability atauhambatan itelektual (IQ di bawah 70). Seorang anak
yang lamban tidak memenuhi kriteria untuk hambatan intelektual
juga sering disebut mental retardation (keterbelakangan mental).
Namun, dia belajar lebih lambat dari rata-rata siswa dan akan
membutuhkan bantuan tambahan untuk menuju kesuksesan
(Williamson & Field, 2014). Bryant et al. (2015) membagi
mengklasifikasikan anak dengan gangguan kognitif kepada empat
bagian yaitu;
2) Diskalkulia
Diskakulia adalah istilah yang terkait dengan kesuliatan belajar
spesifik dalam matematika (Cortiella & Horowitz, 2014). Adapaun
karakteristik umumnya meliputi;
a. Kesulitan dalam menghitung, mempelajari fakta jumlah dan
melakukan perhitungan matematika.
b. Kesulitan dengan pengukuran, menjelaskan waktu, menghitung
uang dan menghitung jumlah kuantitas, dan
c. Masalah dengan matematika dasar dan strategi pemecahan
masalah.
3) Disgraphia
Disgraphia adalah kelainan neurologis yang mengganggu proses
penulisan. Bisa melibatkan kesulitan dengan aspek fisik penulisan
(misalnya canggung menggunakan pensil atau buruknya
tulisannya), ejaan, atau pemikiran di atas kertas (Fuchs et al.,
2004). Mengganggu keterbacaan dan otomatisitas tulisan tangan
dan/ atau ejaan, terlepas dari kemampuan siswa untuk membaca
atau memahami dan meskipun memiliki kecerdasan yang memadai
(Berninger et al., 2006). Cortiella & Horowitz (2014) menyebutkan
karakteristik umum disgraphia meliputi;
a. Pegangan pensil terlalu kuat dan canggung dan posisi
tubuh.
b. Merasa cepat lelah saat menulis, dan menghindari tugas
menulis atau menggambar.
c. Kesulitan membentuk bentuk huruf serta jarak antar huruf
atau kata yang tidak konsisten.
d. Lambat dalam menulis.
e. Kesulitan menulis atau menggambar pada garis atau
margin,
f. Mengatasi masalah pikiran di atas kertas.
g. Kesulitan mencatat pikiran yang sudah ditulis
h. Kesulitan dengan struktur sintaks dan tata bahasa, dan
i. Kesenjangan besar antara gagasan dan pemahaman
tertulis ditunjukkan melalui ucapan.
6. Hambatan Komunikasi
Hambatan komunikasi terbagi kepada dua bagian yaitu hambatan
bicara dan hambatan bahasa. Hambatan bicara adalah produksi
bahasa verbal, sedangkan bahasa adalah proses konseptual
komunikasi. Bahasa meliputi bahasa reseptif (pengertian) dan
bahasa ekspresif (kemampuan menyampaikan informasi, perasaan,
pikiran, dan gagasan) (Leonard, 2014).
7. Interaksi Sosial
Interaksi sosial adalah kebutuhan yang sangat penting, karena anak
yang memiliki masalah sosial di sekolah akan membawa resiko
terhadap kemampuan akademiknya, serta masalah penyesuaian
serius saat mereka meninggalkan sekolah (Morgan et al., 2008).
Anak yang memiliki ketidakmampuan dalam interaksi sosial akan
berakibat terhadap perilaku di kelas, keterampilan interpersonal,
penyesuaian peribadi dan psikologis (Kauffman & Landrum, 2009).
Akhirnya, anak memiliki kurang kepercayaan untuk bertindak pada
pengetahuan mereka dalam situasi sosial, khususnya jika mereka
memiliki sejarah penolakan sosial atau kurangnya kesempatan
untuk interaksi sosial (Friend & Bursuck, 2013).
Daftar Pustaka
Bryant, D. P., Bryant, B. R., & Smith, D. D. (2015). Teaching students with special
needs in inclusive classrooms. Sage Publications.
Cortiella, C., & Horowitz, S. H. (2014). The state of learning disabilities: Facts,
trends and emerging issues. New York: National Center for Learning
Disabilities, 2-45.
Fuchs, D., Deshler, D. D., & Reschly, D. J. (2004). National research center on
learning disabilities: Multimethod studies of identification and
classification issues. Learning Disability Quarterly, 27(4), 189-195.
Kauffman, J. M., & Landrum, T. J. (2009). Politics, civil rights, and disproportional
identification of students with emotional and behavioral
disorders. Exceptionality, 17(4), 177-188.
Sharfi, K., & Rosenblum, S. (2015). Sensory modulation and sleep quality among
adults with learning disabilities: A quasi-experimental case-control design
study. PloS one, 10(2).
Snowling, M. J., & Hulme, C. (2012). Annual Research Review: The nature and
classification of reading disorders–a commentary on proposals for
DSM‐5. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 53(5), 593-607.
Stubbs, S (2008) Inclusive Education: Where there are few resources, Atlas
Alliance, Norway. www.eenet.org.uk
Wagner, M., Kutash, K., Duchnowski, A. J., Epstein, M. H., & Sumi, W. C. (2005).
The children and youth we serve: A national picture of the characteristics
of students with emotional disturbances receiving special
education. Journal of emotional and behavioral disorders, 13(2), 79-96.