Anda di halaman 1dari 30

PROPOSAL

KEGIATAN PELATIHAN GURU


PENDIDIKAN INKLUSIF TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
KELOMPOK KERJA MADRASAH
MADRASAH IBTIDAIYAH NEGERI 2 LOMBOK TENGAH
(KKM-MIN 2 LOMBOK TENGAH)
TAHUN 2018

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna
jika dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia diberikan akal dan fikiran
untuk menjalani kehidupannya di muka bumi sebagai khalifah. Dengan kelebihan
itu manusia diharapkan mampu mengembangkan potensi diri dengan
menggunakan kemampuan berfikir, berusaha dan bekerja, berinteraksi dan
bersosialisasi melalui ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tersebut diperoleh
melalui pendidikan melalui proses pembelajaran yang dibangun secara sistematis
dan berkelanjutan sehingga manusia dapat mengembangkan potensi pada dirinya
dan juga mampu mengubah karakter pada manusia itu sendiri. Dengan kata lain
manusia sangat membutuhkan ilmu pengetahuan untuk dirinya sendiri dan juga
untuk orang lain sehingga hubungan harmonis terbangun dengan baik demi
kelangsungan hidupnya di muka bumi.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mencanangkan pendidikan yang merata dan berkeadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pendidikan tersebut diharapkan mampu mengatasi kesenjangan sosial
melalui pemerataan pendidikan bagi usia pra-sekolah dan kanak-kanak, usia
sekolah SD-SMP-SMA, hingga pendidikan yang ditempuh melalui perguruan
tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan persebaran jumlah lembaga pendidikan
baik formil maupun non formildi berbagai daerah menunjukkan angka cukup
signifikan yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Disamping jumlah lembaga
pendidikan yang meningkat angka jumlah siswa, tenaga pendidik, kebutuhan
fasilitas yang memadai di lembaga pendidikan mengharuskan pemerintah untuk
mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN sebesar 20% untuk biaya
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Selain dana yang berasal dari pemerintah pusat, pembiayaan pendidikan
di Indonesia juga merupakan tanggungjawab dari pemerintah daerah sehingga
layanan pendidikan berjalan dengan baik dan peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia mudah terwujud.
Pemerataan kesempatan belajar yang dicanangkan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan tidak hanya berlaku bagi anak normal,tetapi juga
mencakup anak dengan keistimewaaan-keistimewaan yang dimilikinya termasuk
anak dengan kebutuhan khusus. Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua atau sekedar
memenuhi hak. hak asasi manusia dan hak hak anak, tetapi lebih penting lagi
demi kesejahteraan anak dan kehidupannya di masa datang.
Keberadaan individu atau anak-anak berkebutuhan khusus, secara riil juga
dapat kita jumpai di lembaga pendidikan Islam seperti di Madrasah Ibtidaiyah..
Dalam kenyataannya, begitu banyak anak-anak berkebutuhan khusus sehingga
menyebabkan guru mengalami kesulitan untuk mengenalinya. Sebut saja anak-
anak tunagrahita ringan dengan tingkat kecerdasan atau IQ 70/75 dan anak
berkesulitan belajar spesifik. Kondisi dan keberadaan anak ini di sekolah tentu
secara fisik tidak akan menampakkan perbedaannya secara signifikan. Untuk
itulah guru-guru di Madrasah Ibtidaiyah tersebut mengalami kesulitan dalam
mengenalinya.
Dengan adanya ketidaktahuan dalam mengenali anak-anak berkebutuhan
khusus di madrasah atau di kelasnya, maka hal ini akan berdampak bagi guru
dalam memberikan layanan pendidikan melalui pembelajaran yang baik.
Layanan pendidikan yang salah dan kurang tepat bagi anak-anak berkebutuhan
khusus dapat merugikan orang laindan juga berdampak pada pengembangan
potensi bangsa yang sebagaimana diharapkan. Untuk mengatasi hal tersebut
penanganan yang tepat pada anak berkebutuhan khusus sejak usia dini dapat
mengurangi resikoyang lebih tinggi, dan pendidikan inklusimemberikan
keuntunganlebih besar baik kepada anak normal maupun bagi anakberkebutuhan
khusus. Program inklusi merupakan cara hidup(way of life) yang terbaik, dimana
anak hidup dan belajar bersama, menerima dan merespon setiap kebutuhan
individualyang sangat beragam dengan terbuka. Perluasan dan pemerataan
layanan pendidikan bagi anak bangsa juga menjadi tanggungjawab Kementerian
Agama yang menaungi semua lembaga pendidikan swasta maupun lembaga
pendidikan negeri.
Sejalan dengan hal tersebut, Kelompok Kerja Madrasah Ibtidayah Negeri
2 Lombok Tengah (KKM-MIN 2 Loteng) sebagai lembaga pendidikan negeri
yang membina 60 madrasah swasta tersebar di 3 kecamatan yaitu Jonggat,
Pringgarata dan Praya Barat Daya akan menyelenggarakan kegiatan Pelatihan
Pendidikan Inklusi bagi Anak Berkebutuhan Khusus Tahun 2018.
Tujuan dari pelatihan tersebut adalah memahami dan memiliki keterampilan
terkait strategi pembelajaran melalui pendekatan diferensiasi-Instruksional dan
pembelajaran kooperatif di kelas serta guru yang mengikuti pelatihan ini
diharapkan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan program pembelajaran
sesuai dengan kemampuan anak.

B. Dasar Hukum
1. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Pemerintah Provinsi
dan Kabupaten/Kota.
3. Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonom.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru
7. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 1 29a/U/2004 tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan.
8. Permendikbud no. 23 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Permendiknas no.
15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di
Kabupaten/Kota

C. Tujuan
Tujuan dari kegiatan pelatihan ini adalah terlaksananya pelatihan bagi guru
Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Lombok Tengah adalah :
1. Mengenalkan pendidikan Inklusif terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di
KKM-MIN 2 Lombok Tengah
2. Menerapkan model pembelajaran yang inovatif terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus di KKM-MIN 2 Lombok Tengah
3. Menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan, minat, inovasi, dan
kreativitas para guru KKM-MIN 2 Lombok Tengah.
4. Meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran yang
terarah untuk peningkatan profesionalisme secara berkelanjutan.
5. Membuka wawasan tentang pembelajaran saintifik dalam penerapannya
pada Pembelajaran Inklusif
6. Memberi motivasi kepada guru dalam pelaksanakan pembelajaran secara
bermakna sehingga peningkatan pengetahuan, sikap, keterampilan siswa
sesuai dengan yang diharapkan.
D. Rasional
Melalui diklat ini, peserta akan dilatih untuk memahami dan memiliki
keterampilan terkait strategi pembelajaran melalui pendekatan diferensiasi-
Instruksional dan pembelajaran kooperatif di kelas serta guru yang mengikuti
pelatihan ini diharapkan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan program
pembelajaran sesuai dengan kemampuan anak.
E. Sasaran
Sasaran penggunaan dan pemanfaatan pendidikan Inklusi terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus adalahguru Madrasah Kecamatan Jonggat dan Pringgarata
sebanyak 30 orang.

F. Hasil yang Diharapkan


1. Meningkatnya kemampuan, minat, inovasi, dan kreativitas para guru di
Madrasah Ibtidaiyah kecamatan Jonggat dengan menerapkan pembelajaran
Inklusi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di KKM-MIN 2 Lombok tengah
2. Meningkatnya kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran yang terarah
dan profesionalisme secara berkelanjutan.
3. Terbukanya wawasan guru tentang implementasi kurikulum 2013 terhadap
pendidikan Inklusi bagi Anak Berkebutuhan Khusus
4. Kelompok Kerja Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Lombok Tengahakan
memiliki siswa yang siap untuk menhadapi masa depannya dalam
membangun Bangsa Indonesia umumnya, membangun daerahnya pada
khususnya.
5. Mendorong Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Lombok Tengah kecamatan
Jonggatdan anggota KKM menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi
dengan karakter yang memadai untuk melajutkan pendidikan yang lebih
tinggi.
G. Fasilitator dan Waktu Pelaksanaan
Fasilitator pada Pelatihan Pendidikan Inklusi terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus di MIN 2 Lombok tengah adalah narasumber dari Widyaiswara LPMP
Prov.NTB, Fasilitataor Daerah Pendidikan Literasi Kab. Lombok tengah dan
pengawas madrasah di lingkup Kementerian Agama Kab.lombok Tengah.
Lama kegiatan direncanakan berlangsung selama 3 bulan yaitu bulan Nopember
2018 s/d Januari 2019
BAB II
KEGIATAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN

A. Metode Pelatihan
Workshop terdiri dari teori dan praktek dengan komposisi 30% untuk teori dan
70% untuk praktek. Adapun mekanisme kegiatan wokshop sebagai berikut.
1. Ceramah Umum
a. Kebijakan Pemerintah Pusat terhadap dunia pendidikan,
b. Kebijakan Pemerintah daerah Kabupaten Lombok tengah,
c. Pendidikan Inklusif terhadap perkembangan kemajuan madrasah,
2. Materi
a. Pendidikan Inklusif dan Disabilitas
a.1 Gambaran pendidikan Inklusif
a.2 Pemahaman tentang disabilitas dan cara identifikasi
a.3 Profil siswa dan Rencana Tindak Lanjut
b. Strategi Pembelajaran Inklusif
b.1 Strategi pembelajaran Inklusif
b.2 Penyesuaian pembelajaran dan dukungan
b.3 Simulasi pembelajaran kooperatif
b.4 Pengaturan ruang kelas dan Rencana Tindak Lanjut
c. Setting kelas dan Adaftasi Pembelajaran
c.1 Gender dan Social Inklusi
c.2 Manajemen Perilaku
c.3 Adaftasi Rencana Pembelajaran
c.4 Rencana Tindak Lanjut
d. Presentasi umum
e. Pembentukan kelompok kerja
f. Prraktek pembuatan Silabus, dan Rencana Pembelajaran
g. Evaluasi hasil capaian pelatihan
B. Jadwal Pelaksanaan

No Kegiatan Waktu

1 Persiapan penyusunan proposal 22-24Oktober 2018

November 2018 s/d Januari


2 Pelaksanaan kegiatan Pelatihan
2019
BAB III
RENCANA ANGGARAN
A. RancanganAnggaran Biaya
Kegiatan Diklat ini direncanakan memerlukan biaya sebesar Rp.
45.000.000,- (Empat Puluh Lima Juta Rupiah) meliputi, kegiatan persiapan,
Pelatihan, dan Pelaporan
B. Rincian Rencana Anggaran Biaya
Vo Harga
No Uraian Jumlah
l satuan
A. PERSIAPAN
1 ATK 1 Keg 100.000 200.000
2 Transportasi 1 Org 1 Hr 1 OH 200.000 200.000
B. PELATIHAN
1 Honor Fasilitator 4 Org 24 JP 96 JP 100.000 9.600.000
2 Transport Peserta 30 Org 12 Hr 360 OH 50.000 18.000.000
3 Honor panitia 3 Org 12 Hr 36 OH 50.000 1.800.000
4 Transport Panitia 3 Org 12 Hr 36 OH 50.000 1.800.000
5 Konsumsi Peserta 30 Org 12 Hr 360 OH 25.000 9.000.000
6 Konsumsi Fasilitator 4 Org 12 Hr 48 OH 35.000 1.680.000
ATK Peserta 30 Org 1 Ke 30 Ke 50.000 1.500.000
7
g g
C. PELAPORAN
1 ATK 1 Keg 1.000.000 500.000
2 Transportasi 1 Org 1 Hr 1 OH 200.000 200.000
3 Dokumentasi,dll. 1 Keg 1 Keg 1 keg 554.000 520.000
JUMAH Rp. 45. 000.000

Demikian proposal ini kami buat agar dapat dipertimbangkan demi peningkatan
kompetensi guru yang diharapkan. Atas perhatiannya kami sampaikan terimakasih.
UNIT 1

Pendidikan Inklusif dan


Disabilitas/Berkebutuhan Khusus

Modul
Inklusif - Literasi Dasar
Pendahuluan

Salah satu perwujudan dari


pendidikan untuk semua (Education
For All) diantaranya
penyelenggaraaan pendidikan
inklusif. Pendidikan inklusif tidak
hanya berarti pengintegrasian anak
disibilitas terkait fisik,sensori, sosial
intelektual ke dalamsekolah reguler,
atau hanya akses pendidikan bagi anak yang terkucilkan.Inklusi merupakan
sebuah proses dua arah untuk meningkatkan partisipasi dalam belajar dan
mengidentifikasi serta mengurangi atau menghilangkan hambatan untuk
belajar dan berpartisipasi, hal ini tentunya salah satu tujuannya adalah untuk
meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi anak berkebutuhan khusus
di sekolah khususnya di sekolah dasar.

Pengetahuan dan keterampilan guru dalam mengidentifikasi kesulitan dan


kemampuan siswa dalam belajar dan berpartipasi erupakan faktor kunci
keberhasilan siswa di kelas, hal ini tentunya akan membantu bagi guru untuk
dapat memberikan pembelajaran yang responsif melalui pendekatan
pembelajaran yang kooperatif dengan mengadaptasi materi dan variasi
strategi dalam proses pembelajaran.

Penyelenggaran pendidikan inklusif bukan hanya memberi manfaat bagi anak


berkebutuhan khusus, namun juga manfaat bagi guru dalam meningkatkan
komptensinya melalui pengayaan variasi rencana dan strategi pembelajaran
yang dapat menciptakan lingkungan dan kelas yang ramah bagi semua anak.
Di sisi lain siswa non-disabilitas juga menerima manfaat dengan arah berpikir
yang lateral dan kemampuan sosial yang lebih baik1

Tujuan

Setelah mengikuti sesi ini, peserta diharapkan mampu:


1. Memahami konsep penyelenggaraan pendidikan Inklusif
2. Memahami dan memiliki keterampilan dalam menyusun Profil
BelajarSiswadisabilitas/berkebutuhan khusus

1
Stubbs, S (2008) Inclusive Education: Where there are few resources, Atlas Alliance, Norway.
ww.eenet.org.uk
Sumber dan Bahan
Sumber dan bahan yang disiapkan dalam melaksanakan unit ini adalah
1. Tayangan Power Point Unit 1;
2. ATK: lem, gunting, kertas plano, post it, latban kertas, kertas HVS
putih, spidol warna ukuran besar dan kecil

Waktu - 180Menit

Garis Besar Kegiatan(Tayangan 5)

Pre-test dan Pendahuluan – 20’

1. Fasilitator membagikan lembar instrumen pre test kepada peserta.


2. Fasilitator meja mendampingi peserta di kelompok untuk dalam
mengisi instrumen
3. Setelah 15 menit, fasilitator meja mengumpulkan instrumen.
4. Fasilitator memberikan gambaran kepada peserta tentang latar
belakang modul, seperti berikut:(Tayangan 2)

a) Peningkatan kompentensi guru dalam meningkatkan hasil


belajar siswa di kelas awal yang terintegrasi dengan literasi
dasar.
b) Adanya anak berkebutuhan khusus pada sekolah reguler yang
belum mendapatkan dukungan pembelajaran di kelas.
c) Pemahaman guru dalam mengidentifikasi perbedaan kebutuhan
dan kemampuan siswa, termasuk siswa disabilitas dalam
menerapkan pembelajaran yang akomodatif untuk melibatkan
semua siswa.
5. Fasilitator menyampaikan bahwa;
a. Modul ini merupakan bagian dari “Modul Literasi Dasar yang
diterapkan di KKG sekolah. (Tayangan 3)
b. Modul ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan
keterampilan bagi guru dalam membantu anak disabilitas atau
berkebutuhan khusus dalam meningkatkan kemampuan literasi
dan partisipasi siswa pada proses pembelajaran di kelas awal.
6. Fasilitator menyampaikan tujuan unit satu dari Modul terkai dengan
Unit 1 dari “Modul Inklusif-Literasi Dasar” akan berfokus pada
penyamaan persepsi tentang pendidikan inklusif dan Disabilitas/
anak berkebutuhan khusus dan membuat Profil Belajar Siswa.
(Tayangan 4)
7. Fasilitator menyampaikan alur dan alokasi waktu kegiatan selama
unit 1. (Tayangan 5)

Aplikasi – 85’

Kegiatan I: Gambaran Pendidikan Inklusif- 20’

1. Fasilitator mengajukan pertanyaan terkait;(Tayangan 6)


a) Apakah bapak/ ibu pernah mendengar istilah pendidikan
inklusif?
b) Apa yang bapak ibu ketahui tentang pendidikan inklusif?
2. Fasilitator menyampaikan pada sesi ini kita akan membaca dan
berdiskusi tentang cerita yang telah disiapkan. (Tayangan 7)
3. Fasilitator memastikan peserta dibagi dalam 4 atau maksimal 5
kelompok
4. Fasilitator meminta kepada fasilitator meja untuk membagikan
Lembar Kerja 1.1 kepada setiap peserta di dalam kelompok.
5. Fasilitator menyampaikan bahwa kisah-kisah ini diambil dari
beberapa media cetak dan online, secara umum kisah tersebut
menggambarkan kondisi penyelenggaraan pendidikan inklusif dari
perspektif anak, orang tua, guru dan kepala sekolah.
6. Fasilitator meja memastikan bahwa setiap peserta dalam satu
kelompok mendapatkan topik cerita yang sama dan setiap
kelompok mendapat topik cerita yang berbeda.
7. Sebelum kegiatan dimulai, Fasilitator memberikan instruksi tentang
beberapa langkah-langkah kegiatan;
a) Pilihlah satu orang menjadi notulen dan satu orang lainnya
sebagai moderator dari setiap kelompok.
b) Fasilitator menyampaikan bahwa moderator harus dapat
memastikan setiap orang mendapatkan kesempatan dan
berkontribusi dalam diskusi.
c) Silahkan bapak/ ibu membaca cerita yang telah dibagikan.
d) Fasilitator meminta peserta berdiskusi, menyimpulkan serta
menuliskan3pointerkait pandangan terhadap siswa
berkebutuhan khusus, Dukungan pembelajaran di kelas dan
Sikap guru, orang tua serta kepala sekolah.(Tayangan 8)
e) Fasilitator meminta Notulen menulis tiga poin hasil diskusi
tersebut pada kertas atau post it yang telah disediakan.
f) Fasilitator meminta kepada setiap orang dalam kelompok
untuk menuliskan 3 poin hasil diskusi pada kertas yang
disediakan, 3 poin tersebut harus sama dengan yang telah
dituliskan Notulen.
8. “ROTASI PESERTA”- Fasilitator menyiapkan kupon huruf/angka
yang sama sesuai jumlah kelompok yang akan dibuat.untuk
membuat 4 atau 5 kelompok baru dengan ragam peserta yang
berbeda.
a. Fasilitator meja membagikan kupon kepada peserta.
b. Fasilitator meminta setiap orang berpindah meja membentuk
kelompok baru sesuai alphabet ( huruf A dalam satu meja,
huruf B dan C di satu meja lainnya, dst. )
c. Fasilitator meminta masing-masing kelompok memilih seorang
notulen, moderator dan presenter (yang tidak menyelesaikan
tugas pada meja sebelumnya-fasilitator harus memperhatikan
waktu dengan baik).
d. Fasilitator meminta kelompok baru, berdiskusi, dan berbagi
satu sama lainnya tentang 3 poin penting dan gambaran
umum cerita yang dibaca sebelumnya. Dan meminta
moderator agar dapat memastikan semua peserta mendapat
kesempatan untuk berbagi dan berdiskusi.
e. Selanjutnya Fasilitator meminta peserta dalam kelompok untuk
mendiskusikan tiga pertanyaan tentang; (Tayangan 9)

 Apa poin yang sama dari beberapa cerita?

 Apakah poin yang bertentangan atau berbeda yang


ditemukan?

 Apa yang menjadi tantangan jika dikaitkan dengan kondisi


nyata di sekolah anda?
f. Fasilitator meja mendampingi proses diskusi kelompok
kegiatan.
g. Setelah diskusi selesai. Fasilitator meminta kepada masing-
masing presenter di setiap kelompok untuk memaparkan Hasil
diskusi dalam kelompok.

Pemaparan1: Gambaran Pendidikan Inklusif- 15’


1. Fasilitator menyampaikan bahwa dari berbagi cerita ada tiga hal
penting yang harus kita sadari bersama tentang pendidikan inklusif
(PI). (Tayangan 10)
• PI memungkinkan semua anak untuk mendapatkan
pendidikan di sekolah di lingkungan sekitar mereka, sekolah-
sekolah yang mereka datangi, jika anak tidak memiliki
disabilitas, maka ditempatkan pada kelas yang sesuai dengan
usia mereka.
• PI adalah sebuah proses yang berfokus dan merespon
keberagaman kebutuhan peserta didik.
• PI memberikan merencanakan atau menyesuaikan cara
mengajar untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan siswa
yang berbeda.
2. Fasilitator memberikan gambaran tentang sistem pendidikan,
yaitu;(Tanyangan 11-14)
a.) Segregasi, anak disabilitas/ABK mendapatkan sistem
pendidikan/ kurikulum yang berbeda dengan anak lainnya atau
berada di luar sekolah reguler.
b.) Integrasi, anak disabilitas/ABK sudah masuk dalam sistem
pendidikan/ kurikulum namun mereka harus beradaptasi
dengan sistem yang ada.
c.) Inklusif, anak disabilitas/ABK medapatkan hak dan
berpartisipasi penuh dalam sistem pendidikan/ kurikulum dan
terakomodasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya
d.) Ekslusif, Anak non disabilitas menganggap bahwa anak
disabilitas/ ABK diperlakukan secara istimewa. Sehingga
terkesan sekolah menitikberatkan pendidikan dan kebutuhan
kepada anak disabilitas/ ABK

Catatan untuk fasilitator

1. Fasilitator memberikan penekanan tentang sistem pendidkan/ kurikulum


segregasi atau tujuan pendidikan khusus dan pendidikan reguler atau
“Normal”. Pada sistem ini ABK dipisahkan dengan anak lainnya, pada saat itu
cara ini dianggap tepat bagi anak berkebutuhan khsusus.
2. Analogi yang sama, dimana tiang persegi dibentuk menjadi tiang bulat. Atau
anak dipaksa untuk menyesuaikan dengan sistem pendidikan/ kurilukum yang
ada, jika anak mampu beradaptasi, maka ia akan berhasil, jika tidak maka
anak akan gagal (seperti ujian bernyanyi pada anak yang memiliki kesulitan
berbicara), atau anak dengan kursi roda berusaha keras untuk bisa masuk
toilet dan lainnya.
3. Fasilitator menekankan konsep pendidikan inklusif, guru meyakini bahwa
semua anak berbeda dan semua anak mampu belajar dengan caranya,
sistem pendidikan/ kurikulum sepatutnya disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan siswa sehingga membuat semua anak berpatisipasi penuh
dalam pembelajaran di kelas.

3. Fasilitator menyampaikan manfaat pendidikan inklusif. (Tayangan


15 – 16)
a) Siswa dengan disabilitas dapat masuk ke sekolah sekitar
lingkungannya dan tinggal bersama keluarga, bukan tinggal
jauh dari keluarga dan masuk ke sekolah khusus.
b) Mempromosikan kelas dengan kegiatan kooperatif, kolaboratif
dan menanamkan nilai sebagai komunitas yang saling
berketergantungan, dibutuhkan untuk kehidupan yang damai
dan beragam.
c) Dapat mengurangi tanggung jawab pengasuhan berbasis
rumah dari keluarga anak disabilitas, sehingga dapat
meningkatkan peran keluarga di sekolah secara keseluruhan;
sehingga kapasitas penghasilan keluarga dapat meningkat
karena pengasuh memiliki lebih banyak waktu untuk
memperoleh penghasilan sementara anak berdada di sekolah.
Diskusi 1: Gambaran Pendidikan Inklusif- 5’
1. Fasilitator meminta perhatian dari seluruh peserta.(Tayangan 17)
2. Fasilitator membaca satu persatu poin skrip cerita dengan gaya
bercerita dengan ekspresi tentang “Pengalaman Pengucilan
Terhadap Sebuah Keluarga”
3. Setelah Fasilitator menyampaikan sumber skrip cerita tersebut.
4. Fasilitator meminta peserta berdiskusi di dalam kelompok tentang
skrip cerita.
5. Fasilitator memaparkan 3 pertanyaan yang harus didiskusikan
dalam kelompok.(Tayangan 18)
6. Fasilitator meminta Hasil diskusi dituliskan ke dalam kertas plano,
7. Fasilitor meminta setiap kelompok untuk menyampaikan hasil
diskusi.
8. Fasilitator menutup sesi ini dengan memberikan penjelasan
gambaran tentang bagaimana tingkatan perubahan yang kita
harapkan. Dimana kita menginginkan bukan hanya solusi yang
partial (solusi yang setengah-setengah) tetapi solusi yang
menyeluruh. (Tayangan 19)

Kegiatan 2: Mengamati Video Disabilitas - 10’


1. Fasilitator memberikan Instruksi untuk menyimak tayangan
video.(Tayangan 21)
2. Fasilitator menyampaikan sumber video (Lihat Catatan Fasilitator)
3. Fasilitator meminta peserta untuk mengamati hambatan atau
kesulitan serta kemampuan anak yang terlihat pada video.
4. Fasilitator meminta 1 atau 2 orang perserta untuk menyampaikan
hasil pengamatannya (pilihan, fasilitator meminta peserta lain yang
berbeda hasil pengamatannya)

Catatan untuk fasilitator


Fasilitator menyampaikan bahwa Video tersebut bersumber dari UNICEF,
dan telah dikoordinasi dengan pihak UNICEF Indonesia

Pemaparan2: Pemahaman Disabilitas- 15’


1. Fasilitator menyampaikan pengertian Disabilitas menurut WHO;
(Tayangan 22 )
a) Poin a adalah Disabilitas dapat terkait dengan tidak berfungsi
tubuh atau struktur yang berbeda.
b) Poin b adalah Disabilitas dapat terkait keterbatasan individu
dalam melakukan aktifitas, tugas atau tindakan.
c) Poin c adalah Disabilitas dapat juga terkait dengan
kesulitan/masalah individu dalam keterlibatan/ keikutsertaan
pada situasi kehidupan.
d) Namun Biasanya Poin a,b,c itu sangat dipengaruhi dengan
faktor lingkungan, hingga membuat benar – benar disabilitas
bahkan terdiskriminasi
2. Fasilitator diharapkan memberikan contoh yang relevan dengan
keadaan sekolah. Seperti anak yang tidak dapat bersekolah karena
stigma negative, atau anak dengan kursi roda yang ada di sekolah
namun sulit untuk masuk ke dalam kelas, sulit bergerak di dalam
kelas. maka stigma negative tersebut merupakan faktor lingkungan
yang benar-benar membuat anak disabilitas.
3. Fasilitator menyampaikan tidak fair atau benar jika sekolah diminta
untuk mengidentifikasi penyebab dan bagaimana kerusakan organ
tubuh, tapi akan lebih valid jika guru dapat memberikan informasi
tentang kesulitan anak di sekolah atau kelas. karena guru di sekolah
bukan dokter atau terapis. (Tayangan 23)
4. Fasilitator juga mengaitkan kata “kesulitan” dengan poin-poin pada
kotak sisi kanan tayangan.

Catatan untuk fasilitator


Fasilitator menekankan bahwa :
a. seharusnya yang diperhatikan pada anak adalah kesulitan
dan kemampuan anak dalam berkegiatan dan partisipasi
seharusnya yang dilihat bukan disabilitasnya.
b. Saat mulai berfikir tentang apa kesulitan anak dalam
melakukan aktifitas, atau bagaimana membuat anak dapat
berpartisipasi, bukan melihat atau mengidentifikasi kenapa
bagian anggota tubuh tidak berfungsi, apa penyebabnya dsb.
5. Fasilitator menyampaikan bahwa hasil identifikasi guru tentang
kesulitan anak akan sangat membantu penyusunan “Profile Belajar
Siswa” (Tayangan 24)

6. Fasilitator menjelaskan gambaran dan tujuan “Profil Belajar Siswa”.

Catatan untuk fasilitator

Fasilitator menyampaikan gambaran dan tujuan tentang profil


belajar siswa yang juga akan diintegrasi dalam Sistem Dapodik
dan EMIS.

7. Fasilitator menyampaikan tentang uraian fungsional kesulitan yang


harus kita ketahui padasetiap karakteristik anak. (Tayangan 25 –
32)

Catatan untuk fasilitator

Fasilitator harus selalu mengingatkan peserta terkait kesulitan


kemampuan anak dalam beraktifikas, dengan;
1. Menggunakan gambar yang ada di setiap tanyangan dengan
kemampuan anak dalam berpartisipasi dan beraktifitas dalam
membaca buku, menulis, berbicara.
2. Menggunakan gambar, perlu dijelaskan bahwa anak dengan
kesulitan tertentu hanyan membutuhkan penyesuaian dalam
perencanaan, proses dan evaluasi hasil belajar, termasuk penataan
kelas, sekolah dan bantuan alat.

Kegiatan 3: Panduan/Acua mengidentifikasi Kesulitan - 30’


1. Fasilitator membagikan LK.1.2 dan potongan-potongan kertas yang
akan digunakan dalam kegiatan kepada setiap kelompok.(Tayangan
33 – 34)
2. Fasilitator menyampaikan bahwa format yang potongan kertas yang
berisi tulisan merupakan panduan/ acuan kita dalam
mengidentifikasi kesulitan siswa
3. Fasilitator menjelaskan bagaimana LK.1.2 dikerjakan dalam
kelompok, yaitu;
1. Lembar Kerja pada “kertas manila” merupakan sebuah format
acuan identifikasi yang terdiri dari kolom kesulitan, pengertian
umum dan tingkat kesulitan. Lembar ini sudah dipersiapakan.
2. Selanjutnya perserta diminta untuk menempatkan potongan
kertas yang berisi tulisan pada format pada “kertas manila”
sesuai dengan kolom dan baris yang menurut peserta tepat.
3. Fasilitator Meja mendampingi kelompok dalam menyelesaikan
tugas kelompok
4. Setelah peserta melengkapi format “Panduan Identifikasi”,
Fasilitator membagikan format “panduan identifikasi” yang benar
kepada setiap kelompok.
5. Fasilitator meminta kelompok untuk melihat hasil kerja
kelompok dan membandingkan dengan “Panduan Identifikasi”
yang dibagikan, jika ada yang kurang tepat, kelompok dapat
memperbaiki sesuai dengan “Panduan Identifikasi”

Catatan untuk fasilitator

 Fasilitator menjelaskan bahwa Format Panduan identifikasi kesulitan


disabiltas merupakan dokumen yang bersumber dari Washington
Group (WG) yang sudah diadaptasi dengan kontek pendidikan di
sekolah dan pengembangan alat identifikasi pada ujicobaPilot
SETARA di Lombok Tengah.

 Badan Statistik Indonesia juga menggunakan Format WG dalam


mengidentifikasi Disabilitas di masyarakat

 WG merupakan salah satu bentu kegiatan dunia termasuk pakar


disabilitas dibawah komisi statistik PBB

6. Fasilitator menyampaikan beberapa hal yang harus diingan


dalam Panduan Identifikasi yang akan digunakan, yaitu;
a. Jika kesulitan anak masih tergolong pada katagori “tidak
ada kesulitan” dan/atau “Sedikit Kesulitan” maka dapat
dipastikan bahwa anak tersebut tidak masuk dalam katagori
berkebutuhan khusus atau Disabilitas.
b. Namun jika keseulitan anak tergolong pada katagori
“Banyak kesulitan” dan/atau “Kesulitan Total maka anak
kemungkinan besar dapat disebut anak berkebutuhan
khusus atau Disabilitas. Dan dalam peningkatan
kemampuan belajar anak membutuhkan program
pembelajaran individual.
c. Program tersebut dapat berkaitan dengan pengembangan
kemampuan literasi siswa (seperti; Braille, Bahasa isyarat,
orientasi mobilitas dll), kecakapan hidup (seperti terapai,
keterampilan dasar, memkai baju, makah, toilet dll)
d. Panduan identifikasi sebaiknya ditempel di dinding ruang
guru atau meja guru, agar jika ditemui kecurigaan disabilitas
anak, maka guru dapat merujuk pada panduan tersebut.
e. Panduan tersebut bertujuan untuk menghilangkan labelling
terhadap ABK dengan mudah. Sebagai guru kita cukup
mengatakan anak mengalami sedikit/banyak/total kesulitan
dalam melihat, mendengar, belajar, motrik dll.
Pemaparan3: Profile Belajar Siswa - 10’
1. Fasilitator memperlihatkan Format Profil Siswa dan menjelaskan
bagian bagian dari format tersebut.(Tayangan 35)
2. Fasilitator menjelaskan keterkaitan format “Acuan Identifikasi”
dengan format “Profil Belajar Siswa”.
Kegiatan4: Membuat Profil Belajar Siswa - 50’
1. Fasilitator membagikan LK.1.3 kepada peserta didampingi fasilitator
meja.
2. Setiap kelompok diminta untuk mengisi dan membuat dua profil
belajar siswa dengan karakteristik yang berbeda, sebaiknya
informasi berasal dari siswa sendiri, jika tidak ada maka mereka
bisa membayangkan siswa disabilitas lainnya didampingi fasilitator
meja
3. Jika sudah selesai fasilitator meminta kelompok untuk
mempresentasikan hasil latihan masing-masing.
4. Fasilitator Meja bertugas memastikan kelompok memahami
bagaimana cara mengisi format profil belajar siswa. Serta
memastikan kelompok mengisi dengan benar.
5. Jika kelompok sudah melakukan presentasi, maka fasilitator
memberikan pertanyaan prompts;
a) Apakah bertanya kepada anak/siswa yang bersangkutan akan
membantu anda?
b) Sejauh mana peran orang tua/wali dalam membantu anda
dalam membuat profile?
c) Fasilitator membuat kesepakatan dengan peserta tentang
rencana tindak lanjut di kelas/sekolah masing-masing, terkait
pembuatan profil siswa.
Refleksi dan Penguatan - 10’

Refleksi
Fasilitator mengajukan pertanyaan untuk merefleksi pemahaman
peserta.
1. Apakah bapak/ ibu telah memahami konsep penyelenggaraan
pendidikan Inklusif?
2. Apakah bapak ibu telah memiliki keterampilan dalam menyusun profil
pembelajaran anak disabilitas/ anak berkebutuhan khusus

Penguatan
Fasilitator memberikan penguatan dengan hal-hal berikut terkait
pendidikan inklusif.
 Pendidikan Inklusif merupakan sebuah sistem yang mengakomodir
keberagaman kebutuhan semua siswa di dalam kelas, termasuk anak
disabilitas/ABK unutk mendapatkan hak dan berpartisipasi penuh
dalam sistem pendidikan/ kurikulum.
 Untuk dapat mengakomir kebutuhan siswa sesuai dengan layanan
yang dibutuhkan maka kita perlu membuat “Profil Belajar SIswa” yang
akan menggambarkan Informasi untuk mengidentifikasi klasifikasi
disabilitas/kebutuhan dan tingkatannya. Informasi untuk
mengidentifikasi pembelajaran dan kebutuhan bantuan (termasuk alat
bantu, seperti kursi roda dan akomodasi yang layak seperti tambahan
waktu atau notulensi selama ujian) danInformasi untuk mengakses
layanan rujukan PI adalah sebuah proses yang berfokus dan
merespon keberagaman kebutuhan peserta didik. Untuk mengisi profil
tersebut kita membutuhkan panduan identifikasi, agar kita tidak
mudah melabel anak dengan berbagai istilah.
 Faktor lingkungan sangat mempengaruhi seseorang menjadi
disabilitas, ketika lingkungan masih memiliki stigma negatif, maka
kesulitan partisipasi terus akan terjadi.
 Guru memiliki peran yang penting dalam mengembangkan literasi
siswa.ngkungan belajar yang literat sangat mendukung
keterampilasiswaDuatanraat dibutuhkan.
Bahan Bacaan

A. Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif


Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya
diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark,
Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden
Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke
Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive
environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat.
Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan
adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran
model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke
integratif.

Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata


terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada
tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di
Bangkok yang menghasilkan deklarasi ’education for all’. Implikasi dari
statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak
tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan
layanana pendidikan secara memadai.

Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994


diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang
mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal
dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.

Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang


pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan
konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan
komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.

Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada


tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan
menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain
menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif
sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar
memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
B. Gambaran tentang anak berkebutuhan khusus/Disabilitas
1. Penglihatan
Kesulitan penglihatan adalah istilah yang menggambarkan orang yang
tidak dapat melihat dengan baik bahkan dengan pembetulan (Farrell,
2017). Anak dengan gangguan penglihatan biasanya diklasifikasikan
kepada tiga kategori berdasarkan kemampuan mereka menggunakan
penglihatan mereka yaitu buta total (totally blind), buta secara
fungsional (functionally blind) dan mempunyai penglihatan yang
rendah (low vision) (Gargiulo & Metcalf, 2017).
Seseorang yang diidentifikasi sebagai otang yang mengalami buta
total (totally blind) kemampuan perabaan (taktil) dan pendengaran
sebagai sumber utama pembelajaran. Mereka mungkin memiliki
sedikit cahaya atau persepsi bentuk atau mungkin sama sekali tanpa
penglihatan. Braille atau media perabaan lainnya biasanya merupakan
sumber literasi yang dipilih. Pelatihan orientasi dan mobilitas sangat
diperlukan untuk semua anak yang mengalami buta total. Murid
dianggap buta secara fungsional (functionally blind) saat saluran
utama belajar melalui taktil atau alat pendengaran. Mereka
menggunakan sisa-sisa penglihatan mereka untuk mendapatkan
informasi tambahan tentang lingkungan sekitar. Anak ini biasanya
menggunakan braille sebagai media literasi utama (metode membaca
yang paling sering dibaca) dan memerlukan latihan orientasi dan
gerak tubuh. Selanjutnya seseorang digambarkan memiliki
penglihatan yang lemah (Low Vision) saat gangguan penglihatan
berinteraksi dengan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari.
Sumber utama pembelajaran mereka adalah melalui sarana visual
dengan perangkat resep dan non resep (kaca mata atau lainnya).
Media literasi sangat bervariasi sesuai dengan masing-masing individu
sesuai dengan penggunaan penglihatan yang tersisa dan penggunaan
alat bantu lihat. Pelatihan orientasi mobilitas diperlukan agar siswa
dapat belajar menggunakan sisa penglihatan (penglihatan yang dapat
digunakan).
2. Pendengaran
Gargiulo & Metcalf (2017) dalam bukunya menjelaskan bahwa anak
dengan gangguan pendengaran diklasifikasikan kepada dua kategori
berdasarkan penyebabnya yaitu kehilangan pendengaran konduktif
(conductive hearing loss) dan kehilangan pendengaran
sensorineutral (sensorineural hearing loss).
Kehilangan pendengaran konduktif disebabkan oleh penyumbatan
atau penghalang kepada penghantaran bunyi melalui telinga luar atau
tengah. Akibatnya, bunyi seringkali lembut atau dilemahkan dalam
beberapa cara untuk pendengar tetapi dapat didengar dengan jelas
apabila bersuara cukup kuat. Kehilangan pendengaran sensorineural
biasanya disebabkan oleh gangguan pada telinga bagian dalam
(cochlea), saraf pendengaran yang mentransmisikan impuls ke otak,
atau keduanya. Jenis gangguan pendengaran ini biasanya mencakup
tidak hanya hilangnya sensitivitas pendengaran namun juga
penyimpangan dan kurangnya kejelasan suara yang didengar.
Owen et al. (2015) dan Buethe et al. (2013) mengklasifikasikan tingkat
masalah pendengaran sebagai berikut:
a) Ringan (mild) kehilangan 26-40 dB.
b) Sedang (moderate) kehilangan 41-55dB.
c) Sedang ke parah (moderate to severe) kehilangan 56-70dB.
d) Parah (severe) kehilangan 71-90 dB.
e) Sangat parah (profound) kehilangan 91 dB dan lebih tinggi.

3. Motorik
Hambatan ortopedi (orthopedic impairment) mengacu pada kondisi
yang biasa disebut cacat fisik dan yang lainnya disebut hambatan fisik
(physical impairment). Individu dengan kondisi ini memiliki masalah
dengan struktur fungsi tubuh mereka Bryant et al. (2015). Anak yang
mempunyai masalah fisik mungkin terdiri dari pada orang-orang yang
mempunyai keadaan fisik parah sehingga tidak mampu untuk
berbicara, berjalan, menunjuk, atau melakukan pergerakan yang
bertujuan untuk anak tersebut dengan hanya beberapa kesulitan
berjalan atau kelainan pada kerangka tubuh yang tidak terlihat.
Termasuk gangguan yang disebabkan oleh anomali congetinal
(misalnya kaki pengkor, tidak adanya beberapa anggota tubuh),
gangguan yang disebabkan oleh penyakit (misalnya poliomielitis,
tulang), dan penurunan fungsi penyebab lainnya (misalnya cerebal
palsy, amputasi, dan patah tulang atau luka bakar yang berkontraksi)
(Gargiulo & Metcalf, 2017).

Hambatan ortopedi mengacu pada gangguan tulang dan sendi dan


otot, otot daging dan terkait ligamen, dan fisik misalnya kelengkungan
tulang belakang, kaki berubah dari posisi yang normal dan
menyebabkan nyeri, pembengkakan dan kekakuan pada sendi yang
berkepanjangan (juvenile idiopathic arthritis). Kelainan motorik dapat
dikaitkan dengan gangguan neuromotor yang melibatkan sistem saraf
pusat dan mempengaruhi kemampuan anak untuk menggunakan,
merasakan, mengendalikan dan memindahkan bagian tubuh tertentu.
Contohnya adalah distrofi otot, cerebal palsy dan cacat tabung saraf
(Farrell, 2017). Di bawah ini akan dijelaskan kondisi yang
menyebabkan kerusakan fisik.

Kondisi yang mengakibatkan


kerusakan fisik

Neumotor impairment Muscular/ skeletal condition


 Cerebral palsy (CP)
 Multiple sclerosis  Juvenile arthritis
 Susunan otot (Muscular  Limb deficiencies
dystrophy)  Kerusakan kerangka tubuh
 Kejang (Seizure disorder) (Skeletal disorder)
 Kelainan sumsum tulang
belakang (Spinal
corddisorder)

Sumber: Bryant et al. (2015).

4. Belajar
Pada hambatan belajar mencakup kepada lamban belajar, tunagrahita
dan kesulitan belajat spesifik seperti disleksia, diskalkulia, dan
disgraphia.
a. Tunagrahita
Seorang anak yang tidak memenuhi dua standar deviasi di bawah
rata-rata sering diidentifikasi sebagai anak dengan Intellectual
Disability atauhambatan itelektual (IQ di bawah 70). Seorang anak
yang lamban tidak memenuhi kriteria untuk hambatan intelektual
juga sering disebut mental retardation (keterbelakangan mental).
Namun, dia belajar lebih lambat dari rata-rata siswa dan akan
membutuhkan bantuan tambahan untuk menuju kesuksesan
(Williamson & Field, 2014). Bryant et al. (2015) membagi
mengklasifikasikan anak dengan gangguan kognitif kepada empat
bagian yaitu;

Kisaran Yang dapat dilakukan


No Kategori
IQ
1) Retardasi mental 50-69  Kesulitan belajar, mampu
ringan (mild mental bekerja, menjaga
retardation) hubungan sosial yang baik,
berkontribusi pada
masyarakat.
2) Retardasi mental 35-49  Penundaan perkembangan
sedang (moderate yang ditandai selama masa
mental retardation) kanak-kanak, tingkat
kemandirian dalam
perawatan diri,
kemampuan komunikasi
dan akademis yang
memadai, memerlukan
berbagai tingkat dukungan
dan bantuan untuk hidup
dan tinggal di masyarakat.
3) Retardasi mental 20-34  Perlu adanya dukungan
parah (severe dan bantuan secara terus
mental retardation) menerus.

4) Retardasi mental Di  Keterbatasan dalam


yang sangat parah bawah perawatan diri, penjagaan,
(profound mental 20 komunikasi, dan mobilitas,
membutuhkan dukungan
retardation)
dan bantuan terus-
menerus.
Sumber: diadaptasi dari Bryant et al. (2015).

b. Kesulitan Belajar Spesifik


Definisi umum kesulitan belajar yang ada pada saat ini berfokus
pada keterampilan akademis yang kurang, seperti : kemampuan
yang tidak sempurna untuk, berpikir, berbicara, menulis, mengeja,
atau melakukan perhitungan matematik (Sharfi & Rosenblum, 2015;
Wilson et al., 2015; Cortiella & Horowitz, 2014).
1) Disleksia
Disleksia mengacu pada anak-anak yang memiliki kesulitan
dalam menguasai hubungan antara pola ejaan kata-kata dan
pengucapannya. Anak-anak ini biasanya membaca dengan
suara keras secara tidak akurat dan perlahan, dan mengalami
masalah tambahan dengan ejaan. Disleksia nampaknya muncul
terutama dari kelemahan dalam keterampilan fonologis (speech
sound). Bentuk lain dari kesulitan membaca adalah membaca
gangguan pemahaman.

Anak-anak ini membaca dengan lantang dengan akurat dan


lancar, namun sulit memahami apa yang telah mereka baca.
Kelemahan pemahaman baca tampaknya muncul dari
kelemahan dalam berbagai keterampilan bahasa lisan termasuk
pengetahuan kosa kata yang buruk, keterampilan gramatikal
yang lemah dan kesulitan dalam pemahaman bahasa lisan
(Snowling & Hulme, 2012). Cortiella & Horowitz (2014)
menyebutkan karakteristik umum disleksia meliputi;
a. Kesulitan dengan kesadaran fonemik (kemampuan untuk
memperhatikan, memikirkan dan bekerja dengan suara individu
dalam kata-kata).
b. Proses fonologis (mendeteksi dan membedakan perbedaan fonem
atau suara ucapan), dan
c. Kesulitan dengan kata decoding, kelancaran membaca, tingkat
membaca, intonasi membaca, ejaan, kosakata, pemahaman dan
ekspresi dalam mambaca.

2) Diskalkulia
Diskakulia adalah istilah yang terkait dengan kesuliatan belajar
spesifik dalam matematika (Cortiella & Horowitz, 2014). Adapaun
karakteristik umumnya meliputi;
a. Kesulitan dalam menghitung, mempelajari fakta jumlah dan
melakukan perhitungan matematika.
b. Kesulitan dengan pengukuran, menjelaskan waktu, menghitung
uang dan menghitung jumlah kuantitas, dan
c. Masalah dengan matematika dasar dan strategi pemecahan
masalah.
3) Disgraphia
Disgraphia adalah kelainan neurologis yang mengganggu proses
penulisan. Bisa melibatkan kesulitan dengan aspek fisik penulisan
(misalnya canggung menggunakan pensil atau buruknya
tulisannya), ejaan, atau pemikiran di atas kertas (Fuchs et al.,
2004). Mengganggu keterbacaan dan otomatisitas tulisan tangan
dan/ atau ejaan, terlepas dari kemampuan siswa untuk membaca
atau memahami dan meskipun memiliki kecerdasan yang memadai
(Berninger et al., 2006). Cortiella & Horowitz (2014) menyebutkan
karakteristik umum disgraphia meliputi;
a. Pegangan pensil terlalu kuat dan canggung dan posisi
tubuh.
b. Merasa cepat lelah saat menulis, dan menghindari tugas
menulis atau menggambar.
c. Kesulitan membentuk bentuk huruf serta jarak antar huruf
atau kata yang tidak konsisten.
d. Lambat dalam menulis.
e. Kesulitan menulis atau menggambar pada garis atau
margin,
f. Mengatasi masalah pikiran di atas kertas.
g. Kesulitan mencatat pikiran yang sudah ditulis
h. Kesulitan dengan struktur sintaks dan tata bahasa, dan
i. Kesenjangan besar antara gagasan dan pemahaman
tertulis ditunjukkan melalui ucapan.

5. Emosi dan Perilaku


Wagner et al. (2005) menjelaskan bahwa anak dengan hambatan
emosi dan perilaku sering mengalami kesulitan itu yang membatasi
fungsi yang memadai dalam setting sekolah reguler, seperti;
1) Masalah sosial
2) Kesulitan beradaptasi
3) Kesulitan dalam konsentrasi, dan
4) Kesulitan dalam motivasi.
5) Dalam hambatan emosi dan perilaku ada dua kategori yaitu
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan Autism
Spectrum Disorders (ASD). ADHD dan ASD adalah gangguan
perkembangan masa anak-anak yang paling umum (Bush, 2010).
Menurut kriteria DSM-IV-TR American Psychiatric Association
(APA) (2000), Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
ditandai oleh masalah seperti aktivitas motorik yang berlebihan,
ketidakmampuan untuk mempertahankan perhatian, kesulitan
dalam bergiliran, dan mengganggu orang lain karena impulsif.

6. Hambatan Komunikasi
Hambatan komunikasi terbagi kepada dua bagian yaitu hambatan
bicara dan hambatan bahasa. Hambatan bicara adalah produksi
bahasa verbal, sedangkan bahasa adalah proses konseptual
komunikasi. Bahasa meliputi bahasa reseptif (pengertian) dan
bahasa ekspresif (kemampuan menyampaikan informasi, perasaan,
pikiran, dan gagasan) (Leonard, 2014).
7. Interaksi Sosial
Interaksi sosial adalah kebutuhan yang sangat penting, karena anak
yang memiliki masalah sosial di sekolah akan membawa resiko
terhadap kemampuan akademiknya, serta masalah penyesuaian
serius saat mereka meninggalkan sekolah (Morgan et al., 2008).
Anak yang memiliki ketidakmampuan dalam interaksi sosial akan
berakibat terhadap perilaku di kelas, keterampilan interpersonal,
penyesuaian peribadi dan psikologis (Kauffman & Landrum, 2009).
Akhirnya, anak memiliki kurang kepercayaan untuk bertindak pada
pengetahuan mereka dalam situasi sosial, khususnya jika mereka
memiliki sejarah penolakan sosial atau kurangnya kesempatan
untuk interaksi sosial (Friend & Bursuck, 2013).
Daftar Pustaka

American Psychiatric Association. APA (2000). Diagnostic and statistical manual


of mental disorders. DSM-IV-RT.

Berninger, V. W., Rutberg, J. E., Abbott, R. D., Garcia, N., Anderson-Youngstrom,


M., Brooks, A., & Fulton, C. (2006). Tier 1 and Tier 2 early intervention for
handwriting and composing. Journal of School Psychology, 44(1), 3-30.

Bryant, D. P., Bryant, B. R., & Smith, D. D. (2015). Teaching students with special
needs in inclusive classrooms. Sage Publications.

Cortiella, C., & Horowitz, S. H. (2014). The state of learning disabilities: Facts,
trends and emerging issues. New York: National Center for Learning
Disabilities, 2-45.

Fuchs, D., Deshler, D. D., & Reschly, D. J. (2004). National research center on
learning disabilities: Multimethod studies of identification and
classification issues. Learning Disability Quarterly, 27(4), 189-195.

Direktorat Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus. (2011). Pedoman Umum


Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Kemendikbud: Jakarta.

Farrell, M. (2017). Educating special children: an introduction to provision for


pupils with disabilities and disorders (3th Ed.). Routledge.

Gargiulo, R. M., & Metcalf, D. (2017). Teaching in today’s inclusive classrooms: A


universal design for learning approach. Nelson Education.

Hallahan, D. P., Kauffman, J. M., & Pullen, P. C. (2013). Exceptional Learners:


Pearson New International Edition: An Introduction to Special Education.
Pearson Higher Ed.

International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF) (World


Health Organization, 2001)

Kauffman, J. M., & Landrum, T. J. (2009). Politics, civil rights, and disproportional
identification of students with emotional and behavioral
disorders. Exceptionality, 17(4), 177-188.

Sharfi, K., & Rosenblum, S. (2015). Sensory modulation and sleep quality among
adults with learning disabilities: A quasi-experimental case-control design
study. PloS one, 10(2).

Smith, D. D. (1998). Introduction to special education: Teaching in an age of


challenge. Allyn & Bacon

Snowling, M. J., & Hulme, C. (2012). Annual Research Review: The nature and
classification of reading disorders–a commentary on proposals for
DSM‐5. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 53(5), 593-607.
Stubbs, S (2008) Inclusive Education: Where there are few resources, Atlas
Alliance, Norway. www.eenet.org.uk

UNICEF Philippine, see what children with disabilities can do,


https://www.youtube.com/watch?v=rkRyetRMrjQ

Wagner, M., Kutash, K., Duchnowski, A. J., Epstein, M. H., & Sumi, W. C. (2005).
The children and youth we serve: A national picture of the characteristics
of students with emotional disturbances receiving special
education. Journal of emotional and behavioral disorders, 13(2), 79-96.

Williamson, W. J., & Field, J. C. (2014). The case of the disappearing/appearing


slow learner: An interpretive mystery. Journal of Applied
Hermeneutics,(3).

Anda mungkin juga menyukai