Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan teknologi yang semakin baik memerlukan peraturan-peraturan untuk menunjang


keamanan dari suatu sistem. Pelanggaran dari peraturan ini yang mudah menyebabkan terjadi yang
namanya kecelakaan. Misalnya saja kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan akibat kerja. Kecelakaan
ini biasanya menyebabkan trauma yang menyebabkan tingkat kesakitan dan kematian yang cukup
tinggi.

Kesakitan dapat disebabkan karena patah tulang atau sendi yang kemudian tidak dapat
sembuh dengan sempurna dan menyebabkan terjadi kecacatan. Kematian bisa terjadi karena
hilangnya banyak darah yang menyebabkan terjadinya syok.

Di Indonesia tingkat kecelakaan lalu lintas cukup tinggi. Dalam satu hari dapat terjadi 6
hingga 8 kecelakaan yang diterima di Instalasi Gawat Darurat. Sebagai dokter umum yang mungkin di
tempatkan di daerah atau bahkan yang di rumah sakit terutama di IGD, harus mengerti bagaimana
mengatasi masalah ini. Misalnya saja jika terjadi syok, atau patah tulang. Apa yang harus dilakukan
dan bagaimana meminimalisir terjadi kesakitan lebih lanjut dengan melakukan penanganan awal yang
sebaik-baiknya.

.
1.2 Manfaat

Manfaat dari modul ini yaitu untuk mengetahui penanganan klinis sebagai seorang dokter
umum dalam menangani kasus-kasus multiple trauma.

1
BAB II

PEMBAHASAN

SKENARIO

Seorang laki laki 20 tahun bernama Tn X dibawa oleh polisi ke UGD karena mengalami kecelakaan.
Tn X tidak sadar saat tiba di UGD. Hasil pemeriksaan dokter menunjukkan Tanda Vital: Nadi lemah
100 kali per menit. Pernapasan: 28 kali permenit Tekanan Darah: 80/60mmHg dengan akral dingin
pada ekstremitas. Ditemukan krepitasi dan luka robek pada tulang paha kiri dan kanan. Terdapat
krepitasi dan memar pada dinding dada diatas iga 3 dan ke 4 kanan.

STEP 1 : IDENTIFIKASI ISTILAH

Krepitasi : Suara yang di hasilkan antara segmen jaringan tulang ( krek krek )

Akral : Bagian perifer tubuh ( ujung ujung jari )

STEP 2 : IDENTIFIKASI MASALAH

1. Apa penyebab tuan X tidak sadar ?

2. Apa interpretasi dari hasil pemeriksan tuan X ?

3. Apa yang terjadi jika tuan X terlambat atau tidak di tangani ?

4. Apa pemeriksaan yang bisa di lakukan ?

5. Bagaimana bisa terjadi memar ?

6. Bagaimana bisa terjadi krepitasi ?

7. Apa tanda tanda fraktur ?

8. Apa penatalaksanaan ?

2
STEP 3 : ANALISA MASALAH

1. bisa terjadi karena multiple trauma sehingga bukan hanya cedera pada extremitas saja tapi bisa
terjadi cedera kepala dimana ARAS dan korteks seberi yang merupakan pusat kesadaran di otak
terganggu , selain itu juga bisa terjadi perdarahan yang hebat yang bisa menyebabkan perfusi ke otak
menurun sehingga kehilangan kesadaran

2. Nadi : Normal
pernafasan : meningkat
tekanan darah 80/60 : hipotensi
akral dingin
jadi dari vital sign yang di dapatkan bahwa tuan X mengalami Syok.

3.apabila tuan X terlambat ditanganin bisa menyebabkan : emboli lemak , infeksi yang

bisa menyebabkan sepsis dan nekrosis pembuluh darah yang bisa berujung kepada

kematian

4. pemeriksaan yang bisa dilakukan dengan cara


Look - Feel - and movement
bisa ct scan

5. Benturan > respon tubuh > inflamasi - trauma tumpul > injury pada kapiler > darah menunpuk
tidak bisa menuju ke intrasel > gunpalan > hipoksemia > biru ( memar )

6. benturan / trauma > segmen jaringan tulang terpisah > terjadi gesekan

7. - deformitas
-krepitasi
-pembengkakan
-nyeri
-perubahan ukuran

8. - Airways
-Breathing
-Circulation
-Disability
-Exposure
- resusistasi
- transfuse

3
STEP 4 : STRUKTURISASI KONSEP

Trauma

Fraktur

Kerusakan Jaringan
Sekitar Kerusakan Tulang

Primary Survey

Resusitasi

Secondary Survey

Terapi

4
STEP 5 : LEARNING OBJECTIVE

1. Identifikasi Kegawat daruratan Multiple Trauma muskuloskeletal dan Penanganan Multiple


Trauma
2. Menjelaskan tentang Fraktur

STEP 6 : BELAJAR MANDIRI

Pada step ini masing-masing anggota kelompok belajar secara mandiri dan mencari materi
yang membahas keseluruhan learning objective yang telah ditentukan pada DKK I, sesuai dengan
literatur dan referensi yang ilmiah serta sesuai dengan pokok bahasan.

STEP 7 : SINTESIS

Melaporkan hasil belajar dan menyamaikan atau membagi pengetahuan yang telah diperoleh
dalam diskusi kelompok kecik 2. Berikut adalah hasil belajar mandiri yang kami lakukan secara
mendalam menggunakan beberapa referensi yang kami cari dari beberapa sumber.

5
PEMBAHASAN :

LEARNING OBJECTIVE

LO 1

MULTIPLE TRAUMA

TRAUMA

Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Trauma juga
mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya, trauma adalah kejadian yang
bersifat holistik dan dapat menyebabkan hilangnya produktivitas seseorang. Trauma lebih
kompleks dari sekadar cedera. Fraktur jari tangna seorang pemain piano atau seorang ahli
bedah dampaknya sangat berat dan dapat menghentikan karirnya, sementara cedera yang
sama pada orang berprofesi lain akan mengakibatkan gangguan yang mungkin akan lebih
ringan. (Sjamsuhidajat, 2010)

Untuk menilai kualitas penanggulangan trauma dikembangkan sistem skoring seperti


revised trauma score yang berkembang dari trauma score untuk menilai keadaan fisiologis,
sedangkan abbreviated injury scale (AIS) berkembang menjadi injury severity score (ISS)
yang menilai secara anatomis. Kombinasi RTS, ISS, umur pasien dan tipe cedera menjadi
metode TRISS. Dengan metode ini dapat dihitung kemungkinan ketahanan hidup (probability
of survival) secara retrospektif. Triase (triage) dapat dimanfaatkan pada satu pasien untuk
mencari masalah yang dihadapi pasien tersebut, tetapi dapat juga pada banyak pasien (korabn
massal) untuk mengelompokkan pasien sesuai dengan beratnya cedera. Dalam kedua keadaan
ini dipakai prinsip ATLS, yaitu A, B, C, D, dan E untuk menilai apa yang menjadi masalah
dan apa yang harus ditangani terlebih dahulu. (Sjamsuhidajat, 2010)

Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur di bawah 35 tahun.
Di Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian nomor empat, tetapi pada umur 15-25
tahun merupakan penyebab kematian utama. Angka kematian ini dapat diturunkan melalui
upaya pencegahan trauma dan penanggulangan optimal yang diberikan sedini mungkin pada
korbannya. (Sjamsuhidajat, 2010)

Sejak lama trauma merupakan seuatu masalah medis yang terabaikan (neglected
disease) oleh para dokter, masyaraka, maupun pemerintah di seluruh dunia. Pasien trauma

6
ditangani oleh tiap-tiap spesialisasi sesuai dengan cederanya, tidak secara komprehensif-
sistematik. Diperlukan sikap holistik dari berbagai spesialisasi untuk bekerja sama sebagai
suatu sistem penanggulangan trauma. Sistem ini mencakup penanggulangan trauma pra-
rumah sakit maupun pada unit gawat darurat atau trauma center. (Sjamsuhidajat, 2010)

PENYEBAB

Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Luak tusuk dan
luka tembak pada suatu rongga dapat dikeompokkan dalam kategori luka tembus. Cedera
pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan, perlambatan (deselerasi),
dan kompresi, baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat
kimia. Akibat cedera ini dapat berupa memar, luka jaringan lunak, cedera muskuloskeletal,
dan kerusakan organ. (Sjamsuhidajat, 2010)

Trauma tumpul

Ttrauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh,
tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di bawahnya. Trauma
tumpul dpat berupa benturan benda tumpul, perlambatan (deselerasi), dan kompresi.
Benturan benda tumpul pada toraks dapat menimbulkan cedera berupa patah tulang iga, patah
tulang iga majemuk menyebabkan terjadinya flail chest yang tampak dalam gerakan napas
dinding dada yang terlepas melek=sak ke dalam ketika inspirasi dan menonjol keluar ketika
ekspirasi. Biasanya terjadi juga hematotoraks dan pneumotoraks akibat kerusakan pleura dan
jaringan paru. Benturan benda tumpul ada abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ
berongga berupa perforasi atau organ padat berupa perdarahan. (Sjamsuhidajat, 2010)

Cedera perlambatan sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena setelah tabrakan
badan masih melaju dan kemudian tertahan suatu benda keras sedangkan bagian tubuh yang
relatif tidak terpancang bergerak terus dan menyebabkan terjadinya robekan pada hilus organ
tersebut. Organ yang mungkin robek itu adalah aorta, jantung, pangkal bronkus, kaki ginjal,
dan tamppuk limpa. Cedera kompresi terjaid bila seseorang tertimbun runtuhan atau
longsoran yang menimbulkan tekanan secara tiba-tiba pada rongga dada. Cedera ledak adalah

7
luka atau kerusakan jaringan akibat ledakan granat, bom, atau ledakan dalam air. Kerusakan
jaringan dapat disebabkan oleh pecahan logam atau energi yang ditimbulkan oleh ledakan.
(Sjamsuhidajat, 2010)

Kecelakan lalu lintas

Korban kecelakan lalu lintas dapat diduga jenis cederanya dengan meneliti riwayat
trauma dengan cermat. Pengemudi yang tidak memakai sabuk pengaman dapat mengalami
lima fase pergerakan bila terjadi tabrakan dari depan. Pada tabrakan dari depan, penumpang
di belakang akan terlelmpar ke depan dan kepala dapat mengenai sandaran kursi depan
sehingga terjadi hiperekstensi kepala yang mengakibatkan cedera pada tulang leher. Sabuk
pengaman yang tidak dipakai dengan baik dapat menyebabkan trauma tersendiri, misalnya
fraktur klavikula, fraktur iga, ruptur hati atau limpa, perforasi usus, dan ruptur buli-buli.
(Sjamsuhidajat, 2010)

Pada kecelakaan sepeda motor, biasanya pengendara akan terlempar dan kepala
terbentur sehingga terjadi hiperekstensi kepala dengan cedera otak dan tulang leher. Harus
juga diingat kemungkinan terjadinya cedera abdoen dan tulang belakang. (Sjamsuhidajat,
2010)

Trauma majemuk

Hampir stiap trauma merupakan trauma majemuk. Yang penting menentukan berapa
organ dan sistem tubuh yang cedera. Oleh karena itu, penting untuk membedakan cedera
berat, yaitu yang mengenai satu atau lebih daerah tubuh (kepala, leher, toraks, vertebra,
abdomen, pelvis, dna tungkai); dan cedera kritis, yaitu cedera yang menyebabkan kegagalan
satu atau lebih sistem tubuh (saraf, pernapasan, kardiovaskuler, hati, ginjal, dan pankreas).
(Sjamsuhidajat, 2010)

PATOLOGI

Respon metaboik pada trauma

Fase pertama dapat terjadi beberapa jam setelah trauma, akan terjadi kembalinya
volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan hiperglikemia. Fase kedua, berlangsung beberapa hari
sampai minggu, terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang negatif,

8
hiperglikemia, dan produksi panas. Fase ketiga terjadi anabolisme, yaitu penumpukan
kembali protein dan lemak badan yang terjadi setelah kekurangna cairan dan infeksi teratasi.
Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secara keseluruhan sudah teratasi. (Sjamsuhidajat,
2010)

Akibat trauma, aktivitas hipotalamus dipacu sehingga terjadi peningkatan sekresi


neurohormonal yang menyebabkan lipolisis perifer yang menyebabkan naiknya glukosa,
asam amino, dan limbah metabolisme berupa asam laktat dalam plasma. Hati bereaksi dengan
meningkatkan produksi glukosa melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis yang dirangsang
oleh kortisol dan glukagon. Produksi glukosa meningkat, sedangkan penggunaannya
menurun, sehingga terjadi intoleransi glukosa akibat trauma. Gilnjal bereaksi dengan
menahan air dan kalium karena kerja hormon antidiuretik dan aldosterom]n. Hilangnya nyeri
hasil pemberian analgesik dan imobilisasi bagian tubuh yang cedera dapat mengurangi
intensitas rangsangan neurohormonal, dengan demikian menghambat hilangnya jaringan otot.
Pada pasien dengan trauma berat harus dilakukan pemantauan kebutuhan air, kalori,
protein/nitrogen, elektrolit, dan vitamin setiap hari. (Sjamsuhidajat, 2010)

Kegagalan fungsi membran sel

Pada pasien trauma berat terjadi dilatasi arteriol dan sfingter prekapiler dengan sfingter
pascakapiler tetap berkontriksi sehingga tekanan hidrostatik kapiler meningkat. Air, kalium,
dan klorida berpindah dari intravaskuler ke rongga interstisial yang selanjutnya akan bergeser
ke rongga itrasel akibat gangguan fungsi membran sel. Kegagalan membran sel dpaat
menghilangkan mekanisme yang mengembalikan volume cairan intravaskuler. Akibatnya,
pasien akan mengalami hipovolemia bahkan sampai syok. (Sjamsuhidajat, 2010)

Gangguan integritas endotel pembuluh darah

Trauma dan sepsis mengakibatkan terjadinya koagulasi dna inflamasi yang dapat
mengganggukeuthan endotel pembuluh darah. Mikroagregasi trombosit dan leukosit di
pembuluh jaringan yang luka atau terinfeksi dapat menjadi emboli dalam paru dan
menyumbat pembuluh darah kapiler. Gumpalan agregat tersebut melepaskan zat toksik yang
merusak endotel atau menyebabkan vasodilatasi di daerah emboli paru dengan akibat terjadi
ekstravasasi air, kalium, klorida, dan protein ke dalam rongga interstisial. Udem paru ini
menimbuolkan gangguan pernapasan. (Sjamsuhidajat, 2010)

9
Kelainan sistem imunologi

Menurunnya daya tahan tubuh seirng terjadi pada pasien trauma, sepsis, malnutrisi, dan
usia lanjut. Imunitas seluler dapat diukur dengan menilai hipersensitivitas tertunda terhadap
antigen pada kulit seperti kandida, trikofiton, tuberkulin, dan streptokinase. Pemberian nutrisi
yang baik dapat memperbaiki sistem imunologi. (Sjamsuhidajat, 2010)

Koagulasi intravaskular menyeluruh

Disseminated intravascular coagulation (DIC) sering terjaid pada pasien dengan trauma
berat dan sepsis. Koagulasi pada DIC ini terjadi difus sehingga menghabiskan faktor
pembekuan yang dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan yang difus pula. Terjadinya
koagulasi berlebihan juga dapat merusak jaringan di sekitar pembuluh tersebut.
(Sjamsuhidajat, 2010)

TRAUMA EKSTREMITAS DENGAN POTENSI ANCAMAN NYAWA

Trauma ekstremitas yang berpotensi mengancam nyawa meliputi kerusakan pelvis berat
dengan perdarahan, perdarahan dari arteri dan Crush syndrome.

1. Kerusakan pelvis berat dengan perdarahan


Trauma
Pasien hipotensi dengan fraktur pelvis yang disertai perdarahan seringkali disebabkan
fraktur sakro-iliaka, dislokasi, atau fraktur sacrum yang kemudian akan menyebabkan
kerusakan posterior osseus ligamentous complex (sendi sakroiliaka, sakrospinosus,
sakrotuberosus atau dasar panggul yang fibro-muskular). Arah gaya yang membuka
pelvic ring, akan merobek pleksus vena di pelvis dan kadang-kadang merobek sistem
arteri iliaka interna (trauma kompresi anterior-posterior)
Mekanisme trauma pelvic ring dapat terjadi pada tabrakan sepeda motor, pejalan kaki
yang ditabrak, benturan langsung pada pelvis atau jatuh dari ketinggian lebih dari 12 feet
(3,6 m). Mortalitas pada pasien dengan semua tipe fraktur pelvis sekitar 1:6 (5-30%).
Pada pasien dengan fraktur pelvis tertutup dan hipotensi, mortalitas meningkat sampai
1:4 (10-42%). Perdarahan adalah faktor penyebab utama mortalitas.
10
Pada tabrakan kendaraan mekanisme fraktur pelvis yang tersering adalah tekanan
yang mengenai sisi lateral pelvis dan cenderung menyebabkan hemipelvis rotasi ke
dalam, mengecilkan rongga pelvis dan mengurangi regangan sistem vaskularisasi pelvis.
Gerakan rotasi ini akan menyebabkan pubis mendesak ke arah sistem urogenital bawah,
sehingga menyebabkan trauma uretra atau buli-buli. Trauma urogenital bagian bawah ini
jarang menimbulkan kematian akibat perdarahan ataupun komplikasinya, tidak seperti
pada trauma pelvis yang tidak stabil.

Pemeriksaan
Bila perdarahan pelvis banyak, maka akan terjadi dengan cepat, dan diagnosis harus
dibuat secepat mungkin agar dapat dilakukan tindakan resusitasi. Hipotensi yang
sebabnya tidak diketahui mungkin merupakan satu-satunya indikasi awal adanya disrupsi
pelvis berat dengan instabilitas posterior ligamenous complex. Tanda klinis yang paling
penting adalah adanya pembengkakan atau hematom yang progresif pada daerah
panggul, skrotum atau perianal. Ini mungkin bisa dihubungkan dengan kegagalan
resusitasi cairan inisial. Tanda-tanda trauma pelvis ring yang tidak stabil adalah adanya
fraktur tulang terbuka daerah pelvix (terutama daerah perineum, rektum, atau bokong),
high riding prostate (prostat letak tinggi), perdarahan di meatus uretra, dan
ditemukannya instabilitas mekanikal.
Instabilitas mekanik dari pelvic ring diperiksa dengan manipulasi manual dari pelvis.
Prosedur ini hanya dikerjakan satu kali selama pemeriksaan fisik. Pemeriksaan berulang
adanya instabilitas pelvis akan menyebabkan perdarahan bertambah. Petunjuk awal
adanya instabilitas mekanik adalah dengan ditemukanya perbedaan panjang tungkai atau
rotasi tungkai (biasanya rotasi eksternal) tanpa adanya fraktur pada ekstremitas tersebut.
Hemipelvis yang tidak stabil akan tertarik kearah kranial oleh tarikan otot dan rotasi
eksternal karena pengaruh sekunder dari gravitasi. Pelvis tidak stabil dapat dibuktikan
dengan merapatkan kedua kista iliaka pada spina iliaka anterior superior. Gerakan dapat
dirasakan waktu memegang krista iliaka dan hemipelvis yang tidak stabil ditekan ke
dalam atau keluar (manuver kompresi-distraksi). Pada disrupsi posterior, hemipelvis
yang terkena dapat didorong ke kranial maupun kaudal. Gerakan ke atas/bawah ini dapat
dikenali dengan meraba spina iliaka posterior dan tuberkulum dan kemudian mendorong
dan menarik pelvis. Pada fraktur pelvic ring yang tidak stabil mungkin ditemukan juga
adanya kelainan neurologis atau luka terbuka di daerah panggul, perineum atau rektum.
Bila pasien sudah stabil, maka foto rontgen AP pelvis akan menunjang permukaan klinis.

11
Pengelolaan
Pengelolaan awal disrupsi elvis berat disertai perdarahan memerlukan penghentian
perdarahan dan resusitasi cairan yang tepat. Penghentian perdarahan dilakukan dengan
stabilisasi mekanik dari pelvic ring dan eksternal counter pressure (pneumatic antishock
garment). Pemeriksaan dan pengelolaan awal pasien dengan cedera seperti ini mungkin
dilakukan di rumah sakit yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengangani
perdarahan berat. Teknik sederhana dapat dikerjakan untuk stabilisasi pelvis sebelum
pasien diruuk. Traksi kulit longitudinal atau traksi skeletal dapat dikerjakan sebagai
tindakan pertama. Karena cdera ini membuat hemipelvis mengalami eksorotasi ,rotasi
internal tungkai dapat mengecilkan volume pelvis.
Prosedur ini dapat ditambah dengan stabilitas langsung pada pelvis secara sederhana
dengan memasang kain pembungkus melilit pelvis yang berfungsi sebagai sling atau
vacuum type long spine splinting device, atau PASG. Cara-cara sementara ini dapat
membantu stabilisasi awal. Pengobatan definitif pasien dengan hemodinamik tidak
normal memerlukan kerjasama team spesialis bedah dan ortopedi, serta disiplin lain yang
mungkin diperlukan.
Fraktur pelvis terbuka dengan perdarahan yang jelas, memerlukan balut tekan dengan
tampon untuk menghentikan perdarahan. Konsultasi bedah segera sangat diperlukan.

2. Perdarahan Arteri Besar


Trauma
Luka tusuk di ekstremitas dapat menimbulkan trauma arteri. Trauma tumpul yang
menyebabkan fraktur atau dislokasi sendi dekat arteri dapat merobek arteri. Cedera ini
dapat menimbulkan perdarahan besar pada luka terbuka atau perdarahan di dalam
jaringan lunak.

Pemeriksaan
Trauma ekstremitas harus diperiksa adanya perdarahan eksternal, hilangnya pulsasi
nadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan kualitas nadi, dan perubahan pada
pemeriksaan Doppler dan ankle/brachial index. Ekstremitas yang dingin, pucat, dan
menghilangnya pulsasi ekstremitas menunjukkan gangguan aliran darah arteri.
Hematoma yang membesar dengan cepat, menunjukkan adanya trauma vaskular. Cedera
ini menjadi berbahaya jika hemodinamik pasien tidak stabil.

12
Pengelolaan
Jika dicurigai atau ditemukan trauma arteri besar maka harus konsultasi segera ke
dokter bedah. Pengelolaan perdarahan arteri besar berupa tekanan langsung dan
resusitasi cairan yang agresif. Penggunaan tourniquet pneumatic secara bijaksana
mungkin akan menolong menyelamatkan nyawa. Penggunaan klem vaskular ditempat
perdarahan pada ruang gawat darurat tidak dianjurkan, kecuali pembuluh darahnya
terletak superficial dan tampak dengan jelas. Jika fraktur disertai luka terbuka yang
berdarah aktif, harus segera diluruskan dan dipasang bidai serta balut tekan di atas luka.
Dislokasi sendi harus langsung dibidai, karena usaha untuk melakukan reposisi dapat
sangat sulit, karena itu perlu konsultasi bedah. Pemeriksaan arteriografi dan penunjang
yang lain baru dikerjakan jika pasien telah terusitasi dan hemodinamik normal.
Konsultasi ke spesialis bedah harus dilakukan, lebih baik ke ahli yang berpengalaman
dalam trauma vaskular.

3. Crush Syndrome
Trauma
Crush syndrome adalah keadaan klinis yang disebabkan kerusakan otot, yang jika
tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal. Kondisi ini terjadi akibat crush
injury pada massa sejumlah otot, yang tersering paha dan betis. Keadaan ini disebabkan
oleh gangguan perfusi otot, iskemia dan pelepasan mioglobin.

Pemeriksaan
Mioglobin menimbulkan urine berwarna kuning gelap yang akan positif bila diperiksa
untuk adanya hemoglobin. Pemeriksaan khusus mioglobin perlu untuk menunjang
diagnosis. Rabdomiolisis dapat menyebabkan hipovolemi, asidosis metabolik,
hiperkalemia, hipokalsemia dan DIC (Disseminated Intravascular Coagulation).

Pengelolaan
Pemberian cairan IV selama ekstrikasi sangat penting untuk melindungi ginjal dari
gagal ginjal. Gagal ginjal yang disebabkan oleh mioglobin dapat dicegah dengan
pemberian cairan dan diuresis osmotic untuk meningkatkan isi tubulus dan aliran urine.
Pada kebanyakan pasien lebih baik mengusahakan alkalisasi urine dengan natrium

13
bikarbonat untuk mengurangi pengendapan mioglobin intratubulus. Dianjurkan untuk
mempertahankan output urine 100 ml/jam sampai bebas dari mioglobin uria.

Trauma Mengancam Ekstremitas


Trauma ekstremitas yang berpotensi mengancam kematian ekstremitas termasuk
fraktur terbuka dan trauma sendi, trauma vaskular, traumatik amputasi, dan sindrom
kompartemen.

1. Patah Tulang Terbuka dan Trauma Sendi


Trauma
Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan dunia luar. Otot
dan kulit mengalami cidera dan beratnya kerusakan jaringan lunak ini akan
berbanding lurus dengan energi yang menimpanya. Kerusakan ini disertai
kontaminasi bakteri menyebabkan patah tulang terbuka mengalami masalah infeksi,
gangguan penyembuhan dan gangguan fungsi.

Pemeriksaan
Diagnosis didasarkan atas riwayat trauma dan pemeriksaan fisik ekstremitas yang
menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan atau tanpa kerusakan luas otot serta
kontaminasi. Pengelolaan didasarkan atas riwayat lengkap kejadian dan pemeriksaan
trauma. Dokumentasi luka terbuka seharusnya dimulai pada saat pra rumah sakit
dengan deskripsi trauma dan pengobatan yang dilakukan pada saat pra rumah sakit.
Jika ada dokumentasi lengkap tidak diperlukan pemeriksaan luka lagi. Bila
dokumentasi tidak lengkap, penutup luka harus dibuka dalam keadaan steril, diperiksa
dan kemudian ditutup kembali secara steril. Luka jangan dikutak-katik. Jika terdapat
luka dan patah tulang di segmen yang sama, maka dianggap sebagai patah terbuka
sampai dinyatakan sebaliknya oleh ahli bedah. Jangan melakukan probing pada luka
untuk menduka dalamnya kerusakan jaringan.

Pengelolaan
Adanya patah tulang atau trauma sendi terbuka harus segera dapat dikenali.
Setelah deskripsi atau trauma jaringan lunak, serta menentukan ada/tidaknya
gangguan sirkulasi atau trauma saraf maka segera dilakukan imobilisasi. Harus segera
konsultasi bedah. Pasien segera diresusitasi secara adekuat dan hemodinamik sedapat

14
mungkin stabil. Profilaksis tetanus segera diberikan. Antibiotika diberikan setelah
konsultasi dengan dokter bedah.

2. Trauma Vaskular dan Traumatik Amputasi


Trauma
Trauma vaskular harus dicurigai jika terdapat insufisiensi vaskular yang
menyertai trauma tumpul, remuk (crushing), puntiran atau trauma tembus ekstremitas.

Penilaian
Pada mulanya ekstremitas mungkin masih tampak “hidup” (viable) karena
sirkulasi kolateral yang mencukupi aliran secara retrograde. Trauma vaskular parsial
menyebabkan ekstremitas bagian distal dingin, pengisian kapiler lambat, pulsasi
melemah, dan ankle/brachial index abnormal. Aliran yang terputus menyebabkan
ekstremitas dingin, purat dan nadi tak teraba.

Pengeloaan
Ekstremitas yang avaskular secara akut harus segera dapat dikenal dan ditangani.
Penggunaan tourniquet, walaupun kontroversial, dapat menyelamatkan nyawa
maupun ekstremitas. Tourniquet yang terpasang baik, akan dapat menyelamatkan
nyawa walupun dapat membahayakan ekstremitas. Pemasangan tourniquet harus lebih
tinggi dari tekanan arteri, karena bila hanya lebih tinggi dari tekanan vena akan
menambah perdarahan. Risiko pemakaian tourniquet berbanding lurus dengan waktu.
Bila pemasangan tourniquet butuh waktu lama, dokter harus sadar bahwa ini
mengganggu ekstremitas.
Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari 6 jam dan nekrosis akan
segera terjadi. Saraf juga sangat sensitif terhadap keadaan tanpa oksigen. Operasi
revaskularisasi segera diperlukan untuk mengembalikan aliran darah pada ekstremitas
distal yang terganggu. Jika gangguan vaskularisasi disertai fraktur harus dikoreksi
segera dengan meluruskan dan memasang bidai.
Jika trauma arteri disertai dislokasi sendi, dokter yang terlatik boleh melakukan
reduksi dengan hati-hati. Atau pasang bidai dan segera konsultasi bedah. Arteriografi
tidak boleh memperlambat tindakan/konsultasi bedah. CT angiografi dapat dipakai
bila arteriografi tidak tersedia.

15
Gangguan vaskular bisa terjadi pada ekstremitas setelah dipasang bidai atau gips
dengan tanda-tanda hilangnya atau melemahnya pulsasi. Bidai, gips dan balutan yang
menjerat harus dilepaskan dan vaskularisasi dievaluasi.
Amputasi merupakan kejadian yang traumatik bagi pasien secara fisik maupun
emosional. Traumatik amputasi meruapakan bentuk terberat dari fraktur terbuka yang
menimbulkan kehilangan ekstremitas dan memerlukan konsultasi dan intervensi
bedah. Patah tulang terbuka dengan iskemia berkepanjangan, trauma saraf dan
kerusakan otot mungkin memerlukan amputasi. Amputasi pada trauma ekstermitas
dapat menyelamatkan naywa pasien, yang mengalami gangguan hemodinamik dan
sulit dilakukan resusitasi.
Walaupun kemungkinan reimplantasi ada, harus dipertimbangkan cedera-cedera
lain yang ada. Pasien dengan multi trauma yang memerlukan resusitasi intensif dan
operasi gawat darurat bukan kandidat untuk reimplantasi. Reimplantasi biasanya
dikerjakan untuk trauma tunggal ekstremitas distal, dibawah lutut atau siku, bersih
dan akibat trauma tajam. Prosedur ini dikerjakan tim bedah yang terlatih dalam
menentukan dan menangani prosedur implantasi.

3. Sindroma Kompartemen
Trauma
Sindroma kompartemen dapat ditemukan pada tempat dimana otot dibatasi oleh
rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga berfungsi sebagai lapisan
penahan. Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah, lengan bawah, kaki,
tangan, region glutea dan paha. Sindroma kompartemen terjadi bila tekanan di ruang
osteofasial menimbulkan iskemia dan berikutnya nekrosis. Iskemia dapat terjadi
karena peningkatan isi kompartemen akibat edema yang timbul akibat revaskularisasi
sekunder dari ekstremitas yang iskemi atau karena penyusutan isi kompartemen yang
disebabkan tekanan dari luar misalnya dari balutan yang menekan. Tahap akhir dari
kerusakan neuromuscular disebut Volkman’s ischemic contracture.

Pemeriksaan
Semua trauma ekstremitas potensial untuk terjaidnya sindroma kompartemen.
Sejumlah cedera mempunyai risiko tinggi, yaitu :
 Fraktur tibia dan antebrachii

16
 Balutan kasa atau imobilisasi dengan gips yang ketat
 Crush injury pada massa otot yang luas
 Tekanan setempat yang cukup lama
 Peningkatan permeabilitas kapiler dalam kompartemen akibat reperfusi otot
yang mengalami iskemia
 Luka bakar
 Latihan berat

Kewaspadaan yang tinggi sangat penting pada pasien dengan penurunan kesadaran
atau keadaan lain yang tidak dapat merasakan nyeri.

Gejala dan Tanda Sindroma Kompartemen

 Nyeri bertambah dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang


meregangkan otot bersangkutan
 Parestesia daerah distribusi saraf perifer yang terkena, menurunnya sensasi
atau hilangnya fungsi dari saraf yang melewati kompartemen tersebut
 Asimetris pada daerah kompartemen
 Nyeri pada pergerakan pasif
 Sensasi berkurang

Tidak adanya pulsasi di daerah distal biasanaya jarang ditemukan dan tidak
mendasari diagnosis sindrom kompartemen. Kelumpuhan atau parese otot dan
hilangnya pulsasi (disebabkan oleh tekanan kompartemen melebihi tekanan sistolik)
merupakan tingkat lanjut dari sindroma kompartemen.

Perubahan pulsasi distal dan penurunan pengisian kapiler bukan petunjuk


diagnosis sindroma kompartemen. Diagnosis klinik didasarkan atas riwayat trauma
dan pemeriksaan fisik serta sikap waspada akan adanya sindroma kompartemen.
Tekanan di dalam kompartemen dapat diukur dan dapat membantu diagnosis.
Tekanan melebihi 35-45 mmHg menyebabkan penurunan aliran kapiler dan
menimbulkan kerusakan otot dan saraf karena anoksia. Tekanan darah sistemik
penting karena semakin rendah tekanan darah, makin rendah pula tekanan
kompartemen yang diperlukan untuk dapat menimbulkan sindroma kompartemen.
Pengukuran tekanan diperlukan pada semua pasien dengan berubahan rasa nyeri.

17
Pengelolaan

Dibuka semua balutan yang menekan, gips dan bidai. Pasien harus diawasi dan
diperiksa setiap 30 sampai 60 menit. Jika tidak terdapat perbaikan, perlu dilakukan
fasciotomi. Sindroma kompartemen merupakan keadaan yang ditentukan oleh waktu.
Semakin tinggi dan semakin lama meningkatnya tekanan intra kompartemen, makin
besar kerusakan neuromuscular dan hilangnya fungsi. Terlambat melakukan fasiotomi
menimbulkan mioglobinemia, yang dapat menyebabkan menurunnya fungsi ginjal.
Bila diagnosis atau curiga sindroma kompartemen harus segera konsultasi bedah.

PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI

Selama primary survey, perdarahan harus dikenal dan dihentikan. Kerusakan pada jaringan
lunak dapat mengenai pembuluh darah besar dan menimbulkan kehilangan darah yang
banyak. Menghentikan perdarahan yang terbaik adalah dengan melakukan tekanan langsung.

Patah tulang panjang dapat menimbulkan perdarahan yang berat. Patah tulang femur dapat
menyebabkan kehilangan darah di dalam paha 3-4 unit darah, dapat menimbulkan syok kelas
III. Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan perdarahan secara nyata dengan
mengurangi gerakan dan menngktakan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah
tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan perdarahan.
Penggatian cairan yang agresif merupakan hal yang penting disamping usaha menghentikan
perdarahan.

TINDAKAN TAMBAHAN (ADJUNCTS) PADA PRIMARY SURVEY

Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma musculoskeletal meliputi imobilisasi


patah tulang dan pemeriksaan radiologi.

18
Imobilisasi Fraktur

Tujuan imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstremitas yang cedera dalam posisi se-
anatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur. Hal ini akan
tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstremitas dan dipertahankan dengan
alat imobilisasi. Pemakaian bidai secrara benar akan membantu menghentkan perdarahan,
mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut. Jika terdapat fraktur
tulang terbuka tidak perlu dikuatirkan mengenai kemungkinan tulang yang keluar akan
masuk ke dalam luka karema nantinya semua patah tulang terbuka akan dilakukan
debridement secara operatif,

Dislokasi sendi umunya perlu dilakukan pembidaian dalam posisi sebagaimana ditemukan.
Jika reposisi tertutup berhasil mengembalikan posisi sendi, imobilisasi dalam posisi anatomis
dapat dilakukan dengan bebetapa cara yang tersedia. Bantal atau gips dapat dipakai untuk
mempertahankan posisi ekstremitas yang belum dilakukan reposisi.

Pemasangan bidai harus diakukan sedini mungkin, namun tidak boleh mengganggu resusitasi
yang merupakan prioritas utama. Pemasangan bidai akan sangat menolong untuk
menghentikan perdarahan dan mengurangi nyeri.

Pemeriksaan Radiologis

Umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupana bagian dari secondary
survey. Jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang akan dilakukan, ditentukan oleh hasil
pemeriksaa, tanda klinis, keadaan hemodinamik serta mekanisme trauma.

Foto pelvis AP perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien multi trauma tanpa kelainan
hemodinamik dan pada pasien dengan sumber perdarahan yang belum dapat ditentukan.

SECONDARY SURVEY

Bagian dari secondary survey pada pasien musculoskeletal adaah anamnesis dan pemeriksaan
fisik.

RIWAYAT/ANAMNESIS

Hal yang penting dati anamnesis adalah mekanisme trauma, tempat kejadian, keadaan
sebelum trauma, dan factor predisposisi serat observasi dan penagnan sebelum masuk rumah
sakit.

19
Mekanisme Trauma

Informasi yang diperoleh dari pengantar, pasien, keluarga, dan saksi mata di tempat kejadian
harus dicatat sebagai bagian dari catatan medic. Kepentingan mekanisme trauma adalah
untuk mencari kemungkinan cedera lain yang saat ini belum tampak. Dokter harus
melakukan rekonstruksi kejadian, menetapkan trauma penyerta yang mungkin terjadi pada
pasien, dan mendapatkan sebanyak mungkin informasu sebgai berikut:

1. Dimana posisi pasien dalam kendaraan sebelum kecelakaan, misalnya pengemudi atau
penumpang. Hal ini dapat menentukan jenis fraktur, misalnya frakstur kompresi
lateral pelvis akibat tabrakan dari samping kendaran.
2. Dimana posisi pasien setelah kecelakaan, misalnya di dalam kendaraan atau terlempar
keluar. Adakah oenggunaan sabuk pengaman atau aitr bag? Hal ini dapat menetukan
bentuk trauma. Jika pasien terlempar tentukan jarak terlemparnya. Terlempar keluar
menimbulkan trauma yang lebih berat dan bntuk cederanya sulit untuk diaramalkan.
3. Apakah ada kerusakan bagian luar kendaraan, misalnya kerusakan bagian depan
mobil karena tabrakan dpan. Informasi ini meningkatkan kecurigaan adanya dislokasi
panggul.
4. Apakah terdapat kerusakan bagian dalam kendaraan, misalnya stir bengkok,
kerusakan dashboard, kerusakan kaca depan. Penemuan ini memberikan petunjuk
besar kemungkinan terdapat trauma dada, klavikula, tulang belakang atau dislokasi
panggul.
5. Apkah pasien memakai sabuk penaman? Dan jika memakai jenis apa, dan apakah
dipasang secra benar. Pemakaian yang salah akan menimbulkan patah tulang
punggunh atau trauma abdomen. Apakah air bag mengembang?
6. Apakah pasien jatuh, bila jatuh berapa jaraknya dan bagaiman mendaratnya.
Informasi ini menolong menentukan jenis-jenis trauma yang tedapat, jatuh kaki
terlebih dahulu akan menimbulkan cedera ankle dan kaki, disertai patah tulang
belakang.
7. Apakah pasien terlindas sesuatu, jika benar tentukan berat benda tersebut, sisi yang
cedera, almanya bebna menekan bagian yang cedera. Tergantung dari tulang yang
ditutupi subkutis atau daerah yang berotot, perbedaan tingkat kerusakan jaingan lunak
dapat terjadi, mulai dari kontusio sederhana sampai degloving ekstremitas dengan
sindroma kompartemen dan kehilangan jaringan.

20
8. Apakah terjadi ledakan, berapa beasar ledakan. Jika dekat maka pasien dengan
sumber leakan primer dari gelombang tekanan uadar. Cedera ledakan sekunder terjadi
karena pecahan atau benda lain yag terlempar karena ledakan, menimbulkan luka
tembus, alserasi dan kontusio. Pasien dapat cedera karen aterlempar le tanah atau
memebentur benda lain, menimbulkan trauma tumpul musculoskeletal dan cedera
lain.
9. Apakah apsien pejalan kaki yang ditabrak kendaraan? Trauma musculoskeletal dapat
diramalkan berdasarkan ukura dan usia pasien.

Lingkungan (Tempat Kejadian)

petugas pra rumah sakit harus ditanya tentang:

 Apakah pasien terkena trauma termal


 Apakah terkena gas atau bahan-bahan beracun
 Pecahan kaca
 Sumber-sumber kontaminsasi

Informasi ini akan membantu dokter mengatasi masalah yang dapat timbul serta pemilihan
enis antibiotic awal.

Keadaan sebelum trauma dan factor predisposisi

Penting mengetahui keadaan sebelum cedera, karena dapat mengubah kondisi pasien, cara
terapi dan hasil terapi. Riwayat AMPLE harus mencakup:

1. Kemampuan fisik dan tongkat aktivitas


2. Penggunaan obat dan alcohol
3. Masalah emosional dan penyakit lain
4. Trauma musculoskeletal sebelumnya

Observasi dan penaganan pra rumah sakit

Hasil penemuan di tempat kejadian akan membantu menemukan trauma yang potensial,
yaitu:

 Posisi saat pasien ditemukan


 Perdarahan atau tumpahan darah di tempat kejadian dan perkiraan banyaknya

21
 Tulang atau ujung tumpahan darah die pat kejadian dan perkiraan banyaknya
 Luka terbuka dan kemungkinanya bethubungan dengan patah tulang yang ada atau
tersembunyi
 Dislokasi atau deformitas
 Ada tidaknya gangguan motorik dan sensorik pada setiap ekstremitas
 Adanya kelambatan transportasi atau ekstrikasi
 Perubahan fungsi ekstremitas, perfusi atau status neurologis, terutama setelah
imobilisasi saat transport ke rumah sakit
 Reduksi pada fraktur atau dislokasi saat pemasangan bidai di tempat kejadian
 Pembalutan dan pengguanaan bidai harus memperatikan tekanan pada tonjolan tulang
yang dapat mengakibatkan kompresi saraf perifer, sindrom kompartemen atau crush
syndrome

Waktu kejadiam harus dicatata, terutama jika terdapat perdarahan yang betrlanjut serta
keterlambatan mecapai rumah sakit. Observasi dan tindakan pra rumahsakit harus dicatat dan
dilaporkan.

PEMERIKSAAN FISIK

Seluruh pakaian pasien harus dibuka agardapat dilaukan pemeriksaa yang baik. Cedera
ekstremitas harus dibidai sebelum sampai di ruang gawat darurat. Pemeriksaan pasien cedera
ekstremitas memounyai 3 tujuan:

1. Menemukan masalah mengancam nyawa (prmary survey)


2. Menemukan masalah yang mengancam ekstremitas (secondary survey)
3. Pemeriksaan ulang secara sistematis untuk menghindari luputnya rauma
musculoskeletal yang lain (re-evaluasi berlanjut”)

Pemeriksaan trauma musculoskeletal dpat dilakukan dengan melihat dan bebiacara kepad
apasien, palpasi ekstremitas yangcedera serta penilaian yang sistematis dari setiap ekstremitas
yang cedera serta penilaian yang sistematis dari setiap ekstremitas. Empat komponen yang
harus dipeiksa adalah :

1. Kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi


2. Fungsi neuromuscular
3. Status sirkulasi

22
4. Integritas ligamentum dan tilang. Evaluasi ini mencegah resiko terlewatinya suatu
trauma.

Lihat dan Tanya

Memeriksa dengan melihat adanya warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan
perubahan warna atau memar.

Penilaian inspeksi cepat seluruh tubuh perlu dilakukan untuk menemukan perdarahan esternal
aktif. Bila bagian distal eksremitas pucat atau putih menunjukan tidak adanya aliran darah
arteri. Ekstremitas yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury
ancaman sindroma kompatemen. Pembengkakan sekitar sendi dan atau sekitar seubkutis yang
menutupi tulang merupakan tandan adanya trauma musculoskeletal.

Deformitas pada ekstremitas merupakan tanda yang jelas akan adanya trauma ekstremitas
berat.

Memeriksa seluruh tubuh pasien akan adanya laserasi dan abrasi dilakukan pada secondary
surbey. Luka terbuka akan jelas terlihat kecuali pada bagian punggung. Pasien haus dilakukan
log-rolling secara hatu-hati. Jiak tulang menonjol atau tampak dari luka maka ini adalah patah
tylang terbuka. Setiap luka di ekstremitas disertai patah tulang harus dianggap patah tulang
terbuka sampai dbuktikan sebaliknya oleh doketer bedah.

Oebservasi gerakan motorik membantu menentukan adanya gangguan neurologi atau


muscular. Pada pasien tidak sadar, hilangnya gerakan spontan inni mungkin meruakan tanda
adanya gangguan fungsi, pasien yang koopertaif gerakan aktif dan fungsi saraf perifer da[at
diperiksa dengan menyuruh apsien menggerakkan sendi besar dengan runag lingkup sendi
yang penuh, biasanya menunjukkan hubungan otot saraf yang utuh da sendi yang stabil.

Raba

Dilakukan 9palpasi pada ekstremiatas untuk memeriksa sensorik (fungsi neurologi) dan
daerah nyeri tekan (fraktur atau trauma jaringan lunak). Hilangnya rasa raba dan nyeri
menunjukkan adanya trauma spinal atau saraf tepi. Nyeri tekan di atas otot menunjukkan
kontusio jaringan lunak atau fraktur. Adanya sakit, nyeri tekan, pembengkakan dan
deformitas dapat memastukan diagnosis fraktur. Jika ditemukan sakit, yeri tekan, disertai
gerak abnormal maka diagnosis fraktur sudah pasti. Tetapi usaha untuk menunjukkan
krepitasi dn gerakan abnormal tidak dianjurkan.

23
Pada saat melakukan log-rollinh, punggung pasien diperiksa adany alaserasi, jarak yang
melebar antara psorsesus spinosusu, hematoma, cacat/kerusakan di bagian belakang pelvis
menunjukkan trauma skeletal aksia yang tidak stabil.

Trauma jaringa lunak tertutup lebih sulit dievaluasi.avulsi jaringan lunak dapat memisahkan
kulit dari fasia dalam, menyebabkan pengumpulan darah yang cukup banyak. Kemungkinan
lain, kulit terangkat dan terputus aliran darahny asehingga mengalami nekrosis dalam
beberapa hari. Pada daerah ini dapar terjadi abrasi atau memar yang mneunjukkan kerusakan
otot yang lebih berat dan memungkinkan kompartemen sindrom atau crush sindrom. Evaluasi
kerusakan jaringan luna ini yang terbaik adalah dengan mengenali menkanisme trauma dan
palpasi daerah yang terkena.

Stabilisasi sendi hanya bisa dinilai secara klinis. Setiap gerakan abnormal melalui bagian
persendian menunjukkan rupture ligament. Sendi dilakukan palpasi untuk menunjukkan
rupture ligament. Sendi dilakukan palpasi untuk menentukan pembengkakan dan nyeri tekan
dari ligament maupun adanya cairan intra artikular. Selanjutnua secara hati-hati diperiksa
ligament secara lebih spesifik.

Nyeri yang betlebhan dapat ,enutupi getakan abnormal, karena perlawanan oleh kintraksi atau
spasme otot dan menetukan pemeriksaan lanjutan.

Pemeriksaan Sirkulasi

Pulsasi bagian distal tiap ekstremitas diperiksa dengan palpasi dan diperiksa pengisisan
kapiler jari-jari. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat
Doppler (probe ultrasonic yang tidak invasive) dapat mendeteksi aliran darah pada
ekstremitas. Hasil pemeriksaan aliran darah pada ekstremitas. Hasil pemeriksaan Doppler
harus mempunyai kwalitas trifasik untu memastukan tidak ada cedera diproximalnya.
Hilangnya rasa berbentk kaus kaki atau sarung tanga merupakan tanda awal gangguan
vascular.

Pada pasien dengan hemodinamik normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat,
parestesi dan adanya gangguan motorik meunjukkan trauma arteri. Luka terbuka dan fraktur
didekati arteri dapat memebri petunjuk adanya trauma arteri. Pemeriksaan Doppler di
ankle/brachialis dengan index di bawah 0.9 menunjukkan aliran arteri yang tidak normal
yang dibebkan oleh cedera atau penyakit vascular perifer. Ankle/brachila index ditentukan
oleh tekanan sistolik tungkai yang cedera dibagi tekanan sistolik lengan yang tidak cedera

24
yang diukur denganDoppler. Auskultasi dapat menyatakan adanya bruit disertai thrill pada
palpasi yang terasa. Hematoma yang memebesar atau perdarahan yang memancar dari luka
terbuka menunjukan adanya trauma arterial.

Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan klinis pada pasien dengan trauma musculoskeletal sering memerlukan


pemeriksaan radiologis. Adanya nyeri dan deformitas pada ekstermiats, besar kemungkinan
ada fraktur. Jika hemodinamik pasien normal boleh dikerjakan pemeriksaan rontgen. Efusi
sendi, nyeri tekan dipersendian ata deformitas sendi menunjukkan adanya trauma sendi atau
dislokasi dan memerlukan pemeriksaan rontgen. Bila ada dislokasi atau fraktur disertai
gangguan vascular atau ancaman kerusakan kulit maka pemeriksaan rontgen dapat ditunda.
Hal ini sering dijumpai pada fraktur dislokasi pergelangan kaki. Apabila ada keterlambatan
pemeriksaan radiologi, reduksi segera atau meluruskan ekstremitas harus dikerjakan untuk
mengenbalikan aliram darah arteri dan mebgurangi tekanan di kulit. Kelurusan dapat
diprtahankan degan teknik imobilisasi yang tepat.

TERAPI CAIRAN AWAL UNTUK PASIEN MULTITRAUMA

Larutan isotonik hangat, seperti Ringer Laktat atau normal saline dignakan untuk
resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume intravaskuler dalam waktu singkat dan juga
menstabilkan volume vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang
hilang ke dalam ruang interstisial dan intraselular. Alternatif cairan awal adalah dengan
larutan garam hipertonik, walaupun belum tent menguntungkan (ATLS 8th edition).

Tahap awal, bolus cairan hangat diberikan secepatnya. Dosis umumnya 1-2 L untuk
dewasa dan 20 mL/kgBB untuk anak-anak. Mungkin ini memerlukan alat pemompa (mekanis
atau manual) pada awalnya. Respon pasien diobsevasi selama pemberian cairan awal ini dan
keputusan terapi dan diagnosis selanjutnya didasarkan pada respon ini (ATLS 8th edition).

Jumlah darah dan cairan yang diperlukan untuk resusitasi, sulit diprediksi dalam
evaluasi awal pasien. Perhitungan kasar untuk menentukan jumlah cairan kristaloid yang
dibuthkan secara cepat adalah dengan menggant 1 ml darah yang hilang dengan 3 ml cairan
kristaloid, sehingga memungkinkan reusitasi volume plasma yang hilang dalam ruang
interstisial dan interselular. Ini dikenal sebagai hukum 3:1. Sangat penting untuk menilai

25
respon pasien terhadap resusitasi cairan dengan adanya bukti perfusi dan oksigenasi organ
yang adekuat (yaitu melihat keluaran urin, tingkat kesadarn, dan perfusi perifer). Bila pada
saat resusitasi, jmlah cairan yang diperlukan untuk memulihkan atau mempertahankan perfusi
organ yang adekuat ternyata melampaui estimasi tersebut, maka diperlukan penilaian ulang
yang lebih seksama pada situasi ini dan pencarian cedera-cedera lain yang tak tampak serta
penyebab syok lainnya (ATLS 8th edition).

Tujuan resustasi adalah mengembalikan perfusi organ. Hal ini dapat dicapai dengan
penggunaan cairan resusitasi untuk mengganti volume cairan intravaskuler yang hilang
dengan ditandai kembalinya tekanan darah yang normal. Perlu dicatat, bila tekanan darah
meningkat dengan cepat sebelum perdarahn benar-benar terkontrol, perdarahan yang lebih
parah akan mungkin terjadi. Infus terus menerus dengan volume cairan yang besar dalam
upaya untuk mencapai tekanan darah yang normal bukan merupakan tindakan kontrol
perdarahan yang definitif (ATLS 8th edition).

Resusitasi cairang dan mencegah terjadinya hipotensi merupakan prinsip dasar dalam
penanganan awal pasien akibat trauma tumpul, terutama mereka dengan cedera kepala. Pada
cedera tembus dengan perdarahan, penundaan resusitasi cairan yang agresif hingga
perdarahan benar-benar terkontrol, dapat mencegah terjadinya perdarahan tambahan. Kehati-
hatian dan penanganan seimbang dengan reevaluasi berulang kalisangat dibutuhkan (ATLS
8th edition).

Tujuan utamanya adalah kembalinya keseimbangan, bukan hipotensinya, strategi


resusitasi seperti ini adalah cara, namun bukan pengganti tindakan bedah pada kontrol
perdarahan (ATLS 8th edition).

PENGGANTIAN DARAH UNTUK PASIEN MULTITRAUMA

Keputusan pemberian transfusi darah didasarkan pada respon pasien setelah diberikan
resusitasi cairan awal (ATLS 8th edition).

26
 Pemberian Darah Sesuai Crossmatch, Golongan Darah Sama, atau Golongan Darah
O

Tujuan utama transfusi darah adalah untuk mengembalikan kapasitas angkut


oksigen didalam volume intravaskular. Resusitasi volume cairan tubuh dapat dicapai
dengan pemberian kristaloid dengan manfaat tambahan volume cairan interstisial dan
interselular yang terkoreksi (ATLS 8th edition).

Pemberian darah sesuai crossmatch lebih baik. Tetpi proses crossmatching secara
lengkap pada umumnya memerlukan waktu sekitar 1 jam. Untuk pasien-pasien yang
stabilisasi cepat, seharusnya darah crossmatched sudah tersedia dan dapat digunakan saat
diperlukan (ATLS 8th edition).

Golongan darah tipe spesifik (sama) dapat disediakan oleh banyak bank darah
dalam waktu 10 menit. Darah ini cocok dengan golongan darah ABO dan Rh, namun
ketidakcocokan antibodi yang lain bisa muncul. Darah golongan spesifik (sama) dipilih
untuk pasien-pasien yang termasuk kelompok transient responden atau pasien yang
responnya sementara. Bila golongan darah tipe spesifik yang diperlukan, maka
crossmatching yang seksama dan lengkap harus dilakukan oleh bank darah (ATLS 8th
edition).

Bila darah golongan spesifik tidak tersedia, aka darah packed cell golongan O dapat
diberikan pada pasien-pasien dengan perdarahan yang banyak. Untuk menghindari
sensitisasi dan komplikasi mendatang, golongan darah dengan Rh-negatif dipilih untuk
wanita usia subur. Pada kasus kehilangan darah yang mengancam jiwa, penggunaan
darah golongan tipe spesifik tanpa crossmatchig lebih dipilih daripada golongan darah O,
kecuali bila korban banyak, dan tidak dikenal, dimana memerlukan penanganan bersama
untuk menghindari risiko pemberian darah yang salah (ATLS 8th edition).

 Penghangatan Cairan-Plasma dan Kristaloid

Hipotermia harus dicegah dan ditangani bila pasien mengalami hipotermia ketika
sampai di rumah sakit. Penggunaan penghangat darah sangat diperlukan di bagian gawat
darurat rumah sakit walaupun merepotkan. Cara paling efisien untuk mencegah
hipotermia pada pasien yang mendapat infus cairan kristaloid secara massif adalah

27
dengan menghangatkan cairan hingga 390C sebelum menggunakannya. Dapat dilakukan
dengan menyimpan cairan kristaloid di dalam penghangat atau dengan penggunaan oven
microwave. Produk-produk darah tidak dapat dihangatkan dalam microwave, namun
dapat dihangatkan dengan melewatkannya melalui alat penghangat cairan intravena
(ATLS 8th edition).

 Autotransfusi

Modifikasi alat penampung darah dari pipa torakostomi saar ini sudah ada di
pasaran dan dapat digunakan untuk penampungan secara steril, antikoagulai (pada
umumnya dengan larutan sodium sitrat, bukan heparin) dan transfusi ulang dari darah
yang telah keluar. Pengumpulan darah yang telah keluar untuk autotransfusi sebaiknya
dipertimbangkan untuk pasien dengan hematotoraks yang massif (ATLS 8th edition).

 Koagulopati

Trauma yang berat dengan perdarahan massif akan meningkatkan penggunaan


faktor-faktor pembekuan darah dan menimbulkan koagulopati. Transfusi massif akan
menghasilkan dilusi platelet dan faktor-faktor pembekuan bersamaan dengan gangguan
agregasi platelet dan clotting cascade (akibat hipotermia) akan menyebabkan timbulnya
koagulopati pada pasien-pasien trauma. Waktu protrombin, partial prothrombine time,
dan jumlah trombosit adalah pemeriksaan dasar yang berharga unruk diketahui atau
diperoleh pada jam pertama trauma, terutama bila pasien punya riwayat kelainan
pembekuan darah, menggunakan obat-obatan yang mengganggu koagulasi (warfarin,
aspirin, atau NSAID) atau terdapat riwayat perdarahan yang tidak dapat diatasi.
Transfusi trombosit, cryopresipitate, dan plasma beku sebaiknya didasarkan pada
parameter-parameter pembekuan tersebut di atas, termasuk julah fibrinogen. Penggunaan
rutin produk-produk tersebut pada umumnya tidak dianjurkan kecuali bila pasien
diketahui mempunyai kelainan koagulasi atau pernah diberikan antikoagulan untuk
penanganan suatu masalah medis yang spesifik. Pada kasus-kasus tersebut, pemberian
atau penggantian faktor-faktor spesifik diperlukan segera bila terjadi perdarahan atau
kemungkinan kehilangan darah internal. Pertimbangan dalam pemberian komponen

28
darah secara dini harus diberikan pada pasien-pasien dengan perdarahan kelas IV (ATLS
8th edition).

Pasien dengan cedera otak berat akan cenderung mengalami ketidaknormalan


koagulasi sebagai dampak dari thromboplastin jaringan yang dihasilkan oleh jaringan
saraf yang rusak. Parameter-parameter koagulasi pasien-pasien ini perlu dimonitor lebih
ketat lagi (ATLS 8th edition).

 Pemberian Calsium

Kebanyakan pasien-pasien yang memperoleh transfusi darah tidak memerlukan


suplemen kalsium. Suplemen kalsium yang berlebihan bisa berbahaya (ATLS 8th
edition).

29
PEMBAHASAN :

LEARNING OBJECTIVE

LO 2

FRAKTUR

Definisi
Fraktur adalah diskontinuitas dari jaringan tulang (patah tulang) yang biasanya
disebabkan oleh adanya kekerasan yang timbul secara mendadak.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang
patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang
menyebabakan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa tidak langsung, misalnya jatuh
bertumpu pada lengan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.

Etiologi
Penyebab fraktur ada 3, yaitu (Nayagam, 2010):
1. Trauma
Kebanyakan fraktur disebabkan oleh gaya yang besar dan tiba-tiba, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pada cedera langsung tulang akan patah pada
tempat dimana diberikan gaya, pada keadaan ini jaringan lunak juga akan mengalami
kerusakan. Biasanya akan memberikan gambaran fraktur yang transversal atau
butterfly fragment. Sedangkan pada cedera tidak langsung tulang tulang akan patah
tidak pada tempat dimana diberikan gaya, kerusakan jaringan lunak dapat tidak
terjadi.
2. Stress fracture
Fraktur ini terjadi pada tulang normal yang subjeknya membebankan beban
yang berat secara berulang. Pembebanan pada tulang ini akan menciptakan suatu
perubahan bentuk (deformasi) yang mengawali proses normal dari remodeling,
kombinasi dari resorbsi dan pembentukan tulang baru. Ketika pajanan terhadap stress
dan deformasi terjadi berulang dan secara terus menerus, resorbsi terjadi lebih cepat
dibading pembentukan tulang baru dan akan meninggalkan daerah yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya fraktur.
3. Fraktur patologis

30
Fraktur yang terjadi baik pada tulang dengan stress yang normal jika tulang
mengalami perlemahan yang disebabkana oleh perubahan pada struktur tulang
(contohnya pada osteophorosis, osteogenesis imperfekta, atau Paget’s disease) atau
melalui lesi litik pada tulang (contohnya pada kista tulang atau sebuah metastasis).

Klasifikasi Fraktur

Secara klinis , fraktur dibagi menurut ada tidaknya hubungan patahan tulang dengan
dunia luar, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur terbuka memungkinkan
masuknya kuman dari luar ke dalam luka. Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat,
yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang terjadi (Rasjad, 2010).

Derajat Luka Fraktur


I Laserasi < 1 cm Sederhana
Kerusakan jaringan tidak Dislokasi fragmen minimal
berarti
Luka relatif bersih
II Laserasi > 1 cm Dislokasi fragmen jelas
Tidak ada kerusakan jaringan
yang hebat atau avulsi
Ada kontaminasi
III Luka lebar dan rusak hebat Kominutif, segmental,
atau fragmen tulang ada yang
hilangnya jaringan di hilang
sekitarnya
Kontaminasi hebat

Menurut garis frakturnya, patah tulang dibagi menjadi fraktur komplet atau inkomplet
(termasuk fisura dan greenstick fracture), transversa, oblik, spiral, kompresi, simple,
kominutif, segmental, kupu-kupu, impaksi (termasuk impresi dan inklavasi). Menurut lokasi
patahan di tulang, fraktur dibagi menjadi fraktur epifisis, metafisis, dan diafisis (Rasjad,
2010).

31
Gambar 1 Jenis patah tulang
A. Fisura tulang disebabkan oleh cedera tunggal hebat atau oleh cedera tulang yang terus-
menerus yang cukup lama, seperti juga ditemukan pada retak stress pada struktur
logam.
B. Patah tulang serong/oblik.
C. Patah tulang transversa/lintang.
D. Patah tulang kominutif akibat cedera hebat.
E. Patah tulang segmental akibat cedera hebat.
F. Patah tulang kupu-kupu.
G. Green stick fracture. Periosteum tetap utuh.
H. Patah tulang kompresi akibat kekuatan besar pada tulang pendek atau epifisis tulang
pipa.
I. Patah tulang impaksi; kadang disebut inklavasi.
J. Patah tulang impresi
K. Patah tulang patologis akibat tumor tulang atau proses destruksi lainnya.

32
Gambar 2 Klasifikasi fraktur menurut
lokalisasi
A. Fraktur diafisis
B. Fraktur metafisis
C. Fraktur epifisis

Gambar 3 Dislokasi pada patah tulang


A. Dislokasi ad latitudinem berarti dislokasi ke arah lintang.
B. Dislokasi ad longitudinem sehingga tulang memanjang umpamanya karena traksi terlalu
besar.
C. Dislokasi cum contractionem sehingga tulang menjadi pendek, biasa akibat dari tarikan
tonus otot.
D. Contoh dislokasi ad longitudinem cum contractionem umpamanya pada patah tulang
patela karena tonus m.quadriceps femoris.

33
E. Dislokasi ad axim sering ditemukan pada tulang panjang. Pada patah tulang distal femur
sering ditemukan dislokasi cum contractione karena tarikan otot paha yang insersinya di
tibia disertai dislokasi ad axim karena otot gastrocnemius yang kuat memfleksikan
pecahan femur distal: 1) diafisis femur, 2) bagian distal femur yang dibengkokkan oleh
tarikan otot gastrocnemius, 3) tibia yang ditarik ke arah proksimal oleh otot, 4) patela, 5)
ligamen patela, 6) tarikan otot kuadriseps, 7) tarikan otot gastroknemius menyebabkan
dislokasi ad axim pecahan femur distal, 8) otot biseps femur dan otot disebelah dorsal
paha ikut menyebabkan dislokasi dengan kontraksi.
F. Dislokasi ad peripheriam karena rotasi
G. Kadang terdapat interposisi jaringan lunak di sela patah tulang yang menghalangi
penyembuhan
H. Mungkin patah tulang disebabkan oleh tarikan pada insersio tendon otot atau ligamentum
yang disebut patah tulang avulsi.

Sedangkan dislokasi atau berpindahnya ujung tulang patah disebabkan oleh berbagai
kekuatan, seperti cedera, tonus atau kontraksi otot, dan tarikan.

Karena pada anak-anak masih ada lempeng pertumbuhan (lempeng epifisis), dapat
terjadi fraktur pada lempeng epifisis yang oleh Salter-Harris dibagi menjadi lima tipe. Pada
tipe I, terjadi pemisahan total lempeng epifisis tanpa adanya patah tulang. Sel-sel
pertumbuhan lempeng epifisis masih melekat pada epifisis. Fraktur ini terjadi akibat adanya
gaya potong (shearing force) pada bayi baru lahir atau anak-anak kecil. Fraktur ini cukup
diatasi dengan reduksi tertutup karena masih ada perlekatan periosteum yang intak. Prognosis
biasanya baik bila ditangani dengan cepat (Rasjad, 2010).

Fraktur epifisis tipe II merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan. Pada tipe ini,
garis fraktur berjalan di sepanjang lempeng epifisis dan membelok ke metafisis sehingga

34
membentuk suatu fragmen metafisis seperti segitiga yang disebut tanda Thurston-Holland.
Sel-sel pertumbuhan pada lempeng epifisis juga masih melekat. Trauma yang menghasilkan
jenis fraktur ini biasanya adalah trauma bergaya potong dan bengkok pada anak-anak yang
lebih tua. Periosteum mengalami robekan pada daerah konveks tetapi tetap utuh pada daerah
konkaf. Reposisi secepatnya tidak begitu sulit dilakukan. Bila reposisi terlambat, harus
dilakukan pembedahan. Prognosis fraktur epifisis tipe II baik, kecuali jika terjadi kerusakan
pembuluh darah (Rasjad, 2010).

Fraktur lempeng epifisis tipe III merupakan fraktur intra-artikuler. Garis fraktur berjalan
dari permukaan sendi menerobos lempeng epifisis lalu memotong sepanjang garis lempeng
epifisis. Jenis fraktur intra-artikuler ini biasanya ditemukan pada epifisis os tibia bagian
distal. Karena intra-artikuler, fraktur ini harus direduksi secara akurat. Sebaiknya dilakukan
operasi terbuka dan fiksasi interna dengan pin (Rasjad, 2010).

Fraktur lempeng epifisis tipe IV juga merupakan fraktur intra-artikuler yang garis
frakturnya menerobos permukaan sendi ke epifisis, ke lapisan lempeng epifisis hingga ke
sebagian metafisis. Contoh tersering fraktur jenis ini adalah fraktur kondilus lateralis humeri
pada anak-anak. Pengobatannya adalah reduksiterbuka dan fiksasi interna karena fraktur
tidak stabil akibat tarikan otot. Prognosis jelek bila reduksi tidak dilakukan dengan baik
(Rasjad, 2010).

Fraktur lempeng epifisis tipe V merupakan fraktur akibat hancurnnya epifisis yang
diteruskan ke lempeng epifisis. Biasanya terjadi pada daerah sendi penopang badan, yaitu
sendi pergelangan kaki dan sendi lutut. Diagnosis fraktur jenis ini sulit karena secara
radiologik tidak tampak kelainan. Prognosis jelek karena dapat terjadi kerusakan sebagian
atau seluruh lempeng pertumbuhan (Rasjad, 2010).

Karena anak-anak masih mengalami pertumbuhan, penyembuhan fraktur pada anak-anak


masih memungkinkan terjadinya remodelling yang dapat memperbaiki angulasi dan
diskrepansi, tetapi tidak ada perbaikan deformitas rotasi. Pada anak dapat terjadi fraktur
inkomplet yang menimbulkan pembengkokan (seperti ranting yang masih hijau) disebut
greenstick (Rasjad, 2010).

Manifestasi Klinis

Menurut American Academy of Orthopaedic Surgeons (AAOS) (2012) menyatakan bahwa


manifestasi klinis fraktur ekstrimitas adalah nyeri, ketidakmampuan untuk menggerakkan

35
kaki, deformitas, dan bengkak. Selengkapnya Smeltzer dan Bare (2010) menyatakan bahwa
manifestasi klinis fraktur ekstremitas bawah secara umum adalah sebagai berikut:
a. Nyeri sifatnya terus menerus skalanya meningkat saat mobilisasi dan berkurang saat
imoblisasi.
b. Hilangnya fungsi segera setelah terjadi fraktur bagian tersebut cenderung tidak dapat
digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alami fungsi otot bergantung pada
integritas tulang sebagai tempat melekatnya otot.
c. Deformitas hal ini terjadi karena adanya pergeseran fragmen tulang.
d. Pemendekan tulang hal ini terjadi karena adanya kontraksi otot yang melekat di atas dan
bawah tempat fraktur sehingga fragmen tulang saling bertumpuk satu sama lain sampai
2,5 cm – 5 cm.
e. Kripitasi suara derik ini timbul dikarenakan adanya gesekan antar fragmen tulang.
f. Pembengkakan dan perubahan warna kulit secara lokal hal ini terjadi akibat adanya
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

Diagnosis
 Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik yang hebat
maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota
gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di
daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain. Penderita biasanya datang
karena adanya nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, krepitasi atau datang
dengan gejala-gejala lain.

 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-
organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis

36
 Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
 Bandingkan dengan bagian yang sehat

 Perhatikan posisi anggota gerak

 Keadaan umum penderita secara keseluruhan

 Ekspresi wajah karena nyeri

 Lidah kering atau basah

 Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan

 Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur
tertutup atau fraktur terbuka

 Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari


 Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
 Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain
 Perhatikan kondisi mental penderita
 Keadaan vaskularisasi

2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat nyeri.
 Temperatur setempat yang meningkat
 Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh kerusakan
jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
 Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati
 Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri
dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena
 Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma ,
temperatur kulit
 Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai

3. Pergerakan (Move)

37
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan pasif sendi
proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada pederita dengan fraktur, setiap
gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara
kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti
pembuluh darah dan saraf.
4. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris serta gradasi
kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf
yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan
tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya.
5. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur.
Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita
mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum
dilakukan pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:
 Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi

 Untuk konfirmasi adanya fraktur

 Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta pergerakannya

 Untuk menentukan teknik pengobatan

 Untuk menentukan fraktur itu baru atau tidak

 Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler

 Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang

 Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluru


 Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua
 Dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada anteroposterior dan
lateral

 Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus di foto, di atas dan di bawah sendi
yang mengalami fraktur

38
 Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada ke dua angota
gerak terutama pada fraktur epifisis
 Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada dua daerah
tulang.
 Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang skafoid, foto
pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya 10-14 hari
kemudian (Apley & Solomon, 2012)

Penyembuhan Fraktur
Proses perbaikan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang terkena dan jumlah
gerakan di tempat fraktur. Pada tulang tubuler, dan bila tidak ada fiksasi yang kaku,
penyembuhan dimulai dalam lima tahap. (Apley, A. G., & Solomon, L., 1995)
 Kerusakan jaringan dan pembentukan hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur.
Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah, akan mati
sepanjang satu atau dua milimeter. (Apley, 1995)
Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah,
sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi perdarahan,
kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematoma pada
kanal medulla antara tepi tulang di bawah periosteum dan jaringan tulang yang
mengitari fraktur. Terjadinya respons inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik
adalah ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leukosit. Ketika terjadi kerusakan
tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki cedera,
tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
Hematom yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan dalam
sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan pengumpulan
lemak tersebut masuk ke dalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang
lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan
kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan menyebabkan
protein plasma hilang dan masuk ke interstisial. Hal ini menyebabkan terjadinya
edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung syaraf.

39
 Radang dan proliferasi selular
Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di
bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus. Ujung fragmen
dikelilingi oleh jaringan sel, yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang
membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke
dalam daerah itu. (Apley, 1995)

 Pembentukan kalus
Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik: bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam
beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sel sekarang juga mencakup osteoklas
(mungkin dihasilkan dari pembuluh darah baru) yang mulai membersihkan tulang
yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang yang imatur dan
kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan periostal dan endosteal.
Sementara tulang fibrosa yang imatur (atau anyaman tulang) menjadi lebih padat,
gerakan pada tempat fraktur semakin berkurang dan pada empat minggu setelah
cedera fraktur menyatu. (Apley, 1995)

 Konsolidasi
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi tulang lamelar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan
osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya
osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa di antara fragmen dengan tulang yang baru.
Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang
cukup kuat untuk membawa beban yang normal.(Apley, 1995)

 Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorpsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamela yang lebih tebal
diletakkan pada tempat yang tekanannya tinggi: dinding-dinding yang tak
dikehendaki dibuang; rongga sumsum dibentuk. Akhirnya, dan terutama pada anak-
anak, tulang akan memperoleh bentuk yang mirip bentuk normalnya.

40
Penatalaksanaan Fraktur

Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi


semula (reposis)dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang
(imobilisasi). Reposisi yang dilakukan tidak harus menapai keadaan sempurna seperti semula
karena tulang mempunyai kemampuan remodeling (proses swapugar).

Cara pertama penanganan adalah proteksi saja tanpa reposisi dan imobilisasi. Pada
fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minima atau tidak akan menyebabkan cacat
dikemudian hari, cukup dilakukan dengan proteksi saja, misal dengan menggunakan mitela
atau sling. Contohnya fraktur iga, fraktur klavikula pada anak dan fraktur vertebra dengan
kompresi minimal.

Cara kedua ialah imobilisasi luar tanpa reposisi, terapi diperlukan imobilisasi agar
tidak terjadi dislokais fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan patah tulang tungkai
bawah tanpa dislokasi yang penting.

Cara ketiga berupa reposis dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi.
Ini dilakukan pada patah tulang dengan dislokasi fragmen yang berarti, seperti patah tulang
radius distal.

Cara keempat berupa reposisi dengan traksi terus menerus selama masa tertentu,
misalnya beberapa minggu, lalu diikuti dengan imobilisasi.hal ini dilakukan pada patah
tulang yang bila direposisi akan terdislokasi kembali di dalam gips, biasanya pada fraktur
yang dikelilingi otot yang kuat seperti patah tulang femur.

Cara kelima berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar,.
Fiksasi fragmen fraktur dengan pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin
baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan logam diluar kulit. Alat ini dinamakan
fiksator eksterna.

Cara keenam berupa reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator
tulang secara operatif, misalnya reposisi pata tulang kolum femur. Fragmen direposisi secara
non-operatif dengan meja traksi; setelah reposisi, dilakukan pemasangan prostesis pada
kolum femur secara operatif.

Cara ketujuh berupa reposisi seara operatif diikuti dengan fiksasi interna. Ara ini
disebut juga sebagai reduksi terbuka fiksasi interna (open reduction internal fixation, ORIF)

41
fiksasi interna yabg dipakai biasanya berpa plat atau sekrup, keuntungan ORIF adalah
tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi yang kokoh sehingga pasca operasi tidak
perlu dipasang lagi gips dan mobilisasi bisa segera dilakukan. Kerugiaannya adalah risiko
infeksi tulang. ORIF biasanya dilakukan pada tulang femur, tibia, humerus, antebrakia.

Cara kedelapan berupa eksisi fragmen patahan tulang dan menggantinya dengan
prostesis, yang dilakukan pada patah tulang kolum femur. Kaput femur dibuang secara
operatif lalu digantu dengan prostesis. Prostesis dipilih jika fragmen kolum fenur tidak dapat
disambungkan kembali, biasanya pada orang lanjut usia.

Khusus untuk fraktur terbuka, perlu diperhatikan bahaya infeksi, baik infeksi umum
(bakteremia) maupun infeksi lokal pada tulang yang bersangkutan (osteomyelitis).
Pencegahan infeksi harus dilakukan sejak awal pasien masuk rumah sakit, yaitu debridemen
yang adekuat dan pemberian antibiotik profilaksis dan imunisasi tetanus. Untuk fraktur
terbuka secara umum lebih baik dilakukan fiksasi eksterna dibanding fiksasi interna.
Penutupan defek akibat kehilangan jaringan lunak dapat ditunda sampai keadaan vital aman
dan bebas infeksi. Yang paling sederhana adalah penjahitan sederhana, menutup dengan graft
kulit setelah mengikis periosteum agar skin graft bisa hidup, hingga menutup luka dengan
flap.

Komplikasi fraktur

Komplikasi patah tulang dibagi menjadi komplikasi segera, komplikasi dini, dan
komplikasi lambat. Komplikasi segera terjadi pada saat terjadinya patah tulang atau segera
setelahnya; kompliasi dini terjadi dalam beberapa hari setelah kejadian dan komplikasi
lambat terjadi lama setelah patah tulang. Ketiganya dibagi lagi menjadi komplikasi lokan dan
komplikasi umum.

Komplikasi segera dan setempat merupakan patah tulang yang disebabkan oleh
trauma, selain patah tulang atau dislokasi. Trauma kulit dapat berupa kontusio, abrasi,
laserasi, atau luka tembus. Kulit yang terkontusi walaupun masih kelihatan utuh, mudah
sekali mengalami infeksi dan gangguan perdarahan. Hal itu merupakan malapetaka karena
dapat menjadi patah tulang terbuk disertai ostemielitis. Perawatan kontusio kulit tidak boleh
menimbulkan tekanan atau regangan. Balutan harus longgar dan pada pemasangan gips harus
diberikan bantalan yang pas.

42
Sindrom kompartemen harus segera ditanggapi dengan pembebasan pembuluh darah dengan
reposisi luksasi atau fraktur atau dekompresi kompartemen dengan fasiotomi.

1. Komplikasi segera

Lokal

 Kulit dan otot: berbagai valnus (abrasi, laserasi, sayatan, dll) kontusio, avulsi
 Vaskuler ; terputus, kontusio, perdarahan
 Organ dalam : jantung, paru, hepar, limpa (pada fraktur kosta), buli-buli (pada fraktur
pelvis)
 Neorologis : oak, medulla spinalis, kerusakan syaraf perifer.

Umum

 Trauma multipel, syok

2. Komplikasi dini

Lokal

 Nekrosis kulit-otot, sindrom kompartemen, trombosis, infeksi sendi, osteomyelitis.

Umum

 ARDS, emboli paru, tetanus

3. Komplikasi lama
Lokal
 Tulang : maluniom, nonunion, delayed union, osteomielitis, gangguan pertumbuhan,
patah tulang rekuren.
 Sendi : ankiloss, penyakit degeneratif sendi pascatrauma
 Miositis osifikan
 Distrofi refleks
 Kerusakan safar

Umum

 Batu ginjam (akibat imobilisasi lama ditempat tidurdan hiperkalsemia)


 Neurosis pasctrauma

43
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Trauma multipel merupakan trauma yang melibatkan lebih dari dua sistem organ
tubuh. Trauma multipel bisa berupa fraktur tulang yang disertai kerusakan juga pada organ-
organ yang terdapat pada kepala, thorak, maupun abdomen. Fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung,
misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabakan patah tulang radius dan ulna, dan
dapat berupa tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada lengan yang menyebabkan tulang
klavikula atau radius distal patah.
Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal khususnya yang berupa fraktur
adalah rekognisi (mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan
rehabilitasi. Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi, baik
pada jaringan lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga harus diketahui, apakah
akibat trauma tumpul atau tajam, langsung atau tak langsung.
Trauma abdomen terdiri dari trauma tumpul (blunt injury) dan trauma tajam
(penetrating injury). Angka kematian trauma abdomen lebih tinggi pada trauma tumpul
abdomen dari pada trauma tusuk. Pada trauma tumpul dengan velositas rendah (misalnya
akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul
velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel. Pada intraperitoneal, trauma
tumpul abdomen paling sering mencederai organ limpa (40-55%), hati (35-45%), dan usus
halus (5-10%). Sedangkan pada retroperitoneal, organ yang paling sering cedera adalah
ginjal, dan organ yang paling jarang cedera adalah pankreas dan ureter. Pada trauma tajam
abdomen paling sering mengenai hati(40%), usus kecil (30%), diafragma (20%), dan usus
besar (15%).
Sedangkan Fraktur (patah tulang) sendiri adalah terputusnya kontinuitas struktur
tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Hal ini diakibatkan oleh adanya gaya yang
melebihi elastisitas dari tulang. Fraktur terbagi menjadi beberapa macam, tergantung dari
lokasi, luas, konfigurasi, hubungan antar tulang yang mengalami fraktur dan hubungan antara
tulang yang fraktur dengan jaringan sekitar. Diagnosis fraktur dapat dilakukan dengan

44
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (foto rontgen). Biasanya pada
pasien yang mengalami kecelakaan lalu lintas dilakukan primary survey yang terdiri dari
ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disabillity, Exposure) dan secondary survey.
Penatalaksaan pada pasien fraktur pun didasarkan pada jenis dari fraktur tersebut.
Adakalanya pasien hanya membutuhkan terapi resusitasi dan kadang kala pasien juga
memerlukan transfusi. Semua hal ini dilakukan sesuai dengan indikasi masing-masing.

3.2 SARAN

Mengingat masih banyaknya kekurangan yang terdapat pada penulisan laporan ini,
untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari dosen-dosen yang
mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang memberikan materi kuliah, dari rekan-rekan
angkatan 2012, dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan ini.

45
DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat, R., & de Jong, W. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Apley, A. G., & Solomon, L. (1995). Buku ajar ortopedi dan fraktur sistem Apley, 7th ed. Edi
Nugroho (Terj.). Agnes Kartini (Ed.). Jakarta: Widya Medika.

American Academy of Orthopaedic Surgeons. (2012, October). American Academy of


Orthopaedic Surgeons. Retrieved November 3, 2015, from American Academy of
Orthopaedic Surgeons: http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00139

Rasjad, C. (2010). Sistem Muskuloskeletal. In W. de Jong, & R. Sjamsuhidajat, Buku Ajar


Ilmu Bedah (3rd ed., pp. 1040-1046). Jakarta: EGC.

Smeltzer, C. S., & Bare, G. B. (2010). Brunner & Suddarth's Textbook of Medical Sugical
Nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

46

Anda mungkin juga menyukai