PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini, cedera muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak ditemukan
di pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan
dekade ini (2000 - 2010) menjadi decade tulang dan persendiaan. Cedera
muskuloskeletal yang seringkali terjadi adalah fraktur, dimana penyebab
terbanyaknya adalah karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini, selain
menyebabkan fraktur juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya,
dimana sebagia besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda.
Untuk mencegah memburuknya keadaan pasien, maka diperlukan tindakan
yang tepat untuk menangani pasien. Diperlukan tindakan stabilisasi dan transfusi agar
pasien tidak jatuh kedalam kondisi yang semakin buruk. Selain itu seorang dokter
harus mampu menyingkirkan diagnosis banding dari keadaan pasien tersebut, sebagai
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari DKK ini di harapkan kami sebagai mahasiswa mampu
memahami dan menjelaskan definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan,
komplikasi dari trauma multipel.
1.3 Manfaat
Laporan ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa sebagai sumber referensi
mengenai Kegawatdaruratan Bedah dengan topik trauma multipel. Dengan laporan
ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami definisi, epidemiologi, etiologi,
patogenesis, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding,
penatalaksanaan, komplikasi dari penyakit tersebut.
BAB II
Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 1
ISI
2.1 Skenario
Seorang laki-laki, 20 tahun, bernama Tuan X dibawa oleh polisi ke UGD karena
mengalami kecelakaan. Tn. X tidak sadar saat tiba di UGD. Hasil pemeriksaan dokter
menunjukkan tanda vital: nadi lemah 100x per menit, pernapasan 28x per menit, dan
tekanan darah 80/60 mmHg dengan akral dingin pada ekstremitas. Ditemukan
krepitasi dan luka robek pada tulang paha kiri dan kanan. Terdapat krepitasi dan
memar pada dinding dada di atas iga 3 dan 4 kanan.
b. Etiopatomekanisme
3. Fraktur patologik
Pada fraktur patologik fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal
karena tulang itu memang lemah (misalnya karena tumor) atau kalau tulang
itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit Paget). Penyebab-penyebab fraktur
patologis diantaranya adalah ostoporosis, osteogenesis imperfecta, paget’s
disease atau akibat lesi yang litik seperti pada kista tulang, atau metastasis
(Solomon, Warwick, & Nayagam, 2012).
c. Klasifikasi
d. Manifesta
si klinis
5. Deformitas
perubahan bentuk, pergerakan tulang jadi memendek karena
kuatnya tarikan otot-otot ekstremitas yang menarik patahan tulang.
Selain itu, pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm.
6. Gerakan abnormal,
Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 13
disebabkan karena bagian gerakan menjadi tidak normal
disebabkan tidak tetapnya tulang karena fraktur.
7. Memar karena perdarahan subkutan.
8. Spasme otot pada daerah luka atau fraktur terjadi kontraksi pada
otot-otot involunter.
e. Diagnosis
Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur),
baik yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan
untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan
cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin
fraktur terjadi pada daerah lain. Penderita biasanya datang karena adanya
nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, krepitasi atau datang
dengan gejala-gejala lain.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis
Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri.
Temperatur setempat yang meningkat
Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur
pada tulang
Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati
Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi
arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai
dengan anggota gerak yang terkena
3. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan
secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang
mengalami trauma. Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan
menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan
secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
4. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris
dan motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus
dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan
tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan
selanjutnya.
5. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan,
lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan
jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai
yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan
pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:
Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi
Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus di foto, di atas dan
di bawah sendi yang mengalami fraktur
f. Penatalaksanaan
Terapi Fraktur Tertutup
Pertimbangan pertama dalam terapi umum ialah: mengobati pasien,
tidak hanya sebagian tubuhnya. Urutannya adalah: (1) pertolongan pertama;
(2) pengangkutan; (3) terapi syok, perdarahan dan cedera yang berkaitan. Pada
dasarnya terapi fraktur terdiri atas manipulasi untuk memperbaiki posisi
fragmen, diikuti dengan pembebatan untuk mempertahankannya bersama-
sama sebelum fragmen-fragmen itu menyatu; sementara itu gerakan sendi dan
fungsi harus dipertahankan. Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan
fisiologis pada tulang sehingga dianjurkan untuk melakukan aktivitas otot, dan
penahanan beban secara lebih awal. Tujuan ini tercakup dalam tiga keputusan
yang sederhana: reduksi, mempertahankan, lakukan latihan (Apley, 2013)
Reduksi tertutup
Dengan anestesi yang tepat dan relaksasi otot, fraktur dapat direduksi
dengan manuver tiga tahap: (1) bagian distal tungkai ditarik ke garis tulang;
(2) sementara fragmen-fragmen terlepas, fragmen itu direposisi; (3) penjajaran
disesuaikan ke setiap bidang. Cara ini paling efektif bila periosteium dan otot
pada satu sisi fraktur tetap utuh; pengikatan jaringan lunak mencegah over
reduksi dan menstabilkan fraktur setelah direduksi. Beberapa fraktur
(misalnya pada batang femur) sulit direduksi dengan manipulasi karena
tarikan otot yang sangat kuat dan dapat membutuhkan traksi yang lama).
Umumnya, reduksi tertutup digunakan untuk semua fraktur dengan pergeseran
minimal, sebagian besar pada fraktur anak-anak dan pada fraktur yang stabil
setelah direduksi (Apley, 2013).
Reduksi terbuka
Mempertahankan reduksi
Latihan
Pertimbangan Umum
Penanganan Dini
Debridemen
Penutupan Luka
Menutup kulit atau tidak – dapat menjadi suatu keputusan yang sukar.
Luka tipe I yang kecil dan tidak terkontaminasi, yang dibalut dalam beberapa
jam setelah cedera, setelah debridemen, dapat dijahit (asalkan ini dapat
dilakukan tanpa tegangan) atau dilakukan pencangkokan kulit. Luka yang lain
harus dibiarkan terbuka hingga bahaya tegangan dan infeksi telah terlewati.
Luka itu dibalut sekadarnya dengan kasa steril dan diperiksa setelah 5 hari;
kalau bersih, luka itu dijahit atau dilakukan pencangkokan kulit (penutupan
primer tertunda) (Apley, 2013).
Stabilisasi Fraktur
Perawatan Sesudahnya
g. Komplikasi
Komplikasi lokal pada fraktur
(Apley, 2013)
- Kulit dan otot : berbagai vulnus (abrasi, laserasi, sayatan), kontusio, avulsi
- Vaskular: terputus, kontusio, perdarahan
- Organ dalam; jantung, paru-paru, hepar, limpa (pada fraktur kosta), buli-buli
(pada fraktur pelvis)
- Trauma multipel
- Syok
Komplikasi dini lokal
- Nekrosis kulit dan otot
- Sindrom kompartemen
- Trombosis
- Infeksi sendi
- Osteomielitis
Komplikasi dini umum
- ARDS
- Emboli paru
- Tetanus
Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi dan
reposisi sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses
persambungan tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut
Survey Primer
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability Limitation, Exposure).
1. Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam posisi
seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur.
hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan
dipertahankan dengan alat imobilisasi. pemakaian bidai yang benar akan
membantu menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan
jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah
fraktur.
Pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu
kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam
ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan cardboard
atau metal gutter, long leg splint. jika tersedia dapat dipasang gips dengan
imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan pergelangan kaki.
2. Pemeriksaan Radiologi
Survey Sekunder
Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat
AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate dan
Event(kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk
ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh
pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary
survey, Selain riwayatAMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai
penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit.
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari
fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian membandingkan
sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan
pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di
ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang normal, perbedaan besarnya
denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya gangguan motorik menunjukkan
trauma arteri. Selain itu hematoma yang membesar atau pendarahan yang memancar
dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma arterial.
Reduksi, Reposisi dan imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat menunggu hingga
pasien siap untuk dioperasi kecuali ditemukan defisit neurovaskular dalam
pemeriksaan. Apabila terdapat indikasi untuk reposisi karena defisit neurovaskular,
maka sebaiknya reposisi dilakukan di UGD dengan menggunakan teknik analgesia
yang memadai.
Ada beberapa pilihan teknik analgesia untuk managemen pasien fraktur ekstrimitas
bawah di UGD. Untuk pasien yang mengalami isolated tibia atau ankle fractures,
Inhaled Nitrous oxide dan Oxygen (Entonox) mungkin berguna untuk manipulasi,
splintage dan transfer pasien.
Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam patah tulang
digunakan srategi “Three Step Analgesic Ladder” dari WHO. Pada nyeri akut,
sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat seperti Opioid kuat13. Dosis pemberian
morfin adalah 0.05 – 0.1 mg/kg diberikan intravena setiap 10/15 menit secara titrasi
sampai mendapat efek analgesia. Terdapat evidence terbaru di mana pada tahun
Peripheral nerve blocks juga menjadi pilihan baik dilakukan tunggal maupun
kombinasi dengan analgesik intravena. Yang umumnya digunakan adalah femoral
nerve block.
Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi atau tulang di dekat arteri mampu
menghasilkan trauma arteri. Cedera ini dapat menimbulkan pendarahan besar pada
luka terbuka atau pendarahan di dalam jaringan lunak. Ekstrimitas yang dingin, pucat,
dan menghilangnya pulsasi ekstremitas menunjukkan gangguan aliran darah arteri.
Hematoma yang membesar dengan cepat, menunjukkan adanya trauma vaskular.
Cedera ini menjadi berbahaya apabila kondisi hemodinamik pasien tidak stabil12.
Jika dicurigai adanya trauma arteri besar maka harus dikonsultasikan segera ke dokter
spesialis bedah. Pengelolaan pendarahan arteri besar berupa tekanan langsung dan
resusitasi cairan yang agresif. Syok dapat terjadi akibat kurangnya volume darah
akibat pendarahan yang masif.
Beberapa hal yang dapat dilakukan saat ditemukannya tanda-tanda syok (nadi
meningkat dan melemah, tekanan darah menurun, akral dingin, penurunan kesadaran)
adalah :
Penilaian respon pasien dapat dilakukan dengan memantau beberapa kondisi seperti :
1) tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, saturasi oksigen) 2) Produksi urin dipantau
dengan memasang kateter urin. Target dari produksi urin adalah0,5 ml/kg/jam untuk
dewasa, 1 ml/kg/jam untuk anak-anak. 3) keseimbangan asam basa.
4. Saat kondisi pasien stabil, harus dilakukan pemeriksaan atau rujukan untuk
menterapi secara definitif penyebab pendarahan tersebut.
2. Crush Syndrome
Gejala yang timbul oleh crush syndrome adalah rasa nyeri, kaku, kram, dan
pembengkakan pada otot yang terkena, diikuti oleh kelemahan serta kehilangan
fungsi otot tersebut. Urin yang berwarna seperti teh adalah gejala yang cukup khas
karena dalam urin terdapat myoglobin. Mendiagnosis crush syndrome sering
terlewatkan saat penyakit ini tidak dicurigai dari awal14. Adapun komplikasinya
adalah hipovolemi, asidosis metabolik, hiperkalemia, Gagal Ginjal akut, dan DIC
(Disseminated Intravaskular Coagulation).
Evaluasi ABC
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
1.2 Saran
Dengan memahami LO yang didapat, penulis menyarankan pembaca
dapat termotivasi untuk mendalami materi yang kami ulas, sehingga nantinya
saat diklinik atau rotasi klinik para mahasiswa dapat menerapkannya.
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi
diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan para pembaca yang membaca
laporan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A.Graham & Louis Solomon. 2013. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem
Apley. Jakarta: Widya Medika.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82592&val=970.