Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini, cedera muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak ditemukan
di pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan
dekade ini (2000 - 2010) menjadi decade tulang dan persendiaan. Cedera
muskuloskeletal yang seringkali terjadi adalah fraktur, dimana penyebab
terbanyaknya adalah karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini, selain
menyebabkan fraktur juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya,
dimana sebagia besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda.
Untuk mencegah memburuknya keadaan pasien, maka diperlukan tindakan
yang tepat untuk menangani pasien. Diperlukan tindakan stabilisasi dan transfusi agar
pasien tidak jatuh kedalam kondisi yang semakin buruk. Selain itu seorang dokter
harus mampu menyingkirkan diagnosis banding dari keadaan pasien tersebut, sebagai

contoh dislokasi dan rupturnya organ dalam abdomen.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari DKK ini di harapkan kami sebagai mahasiswa mampu
memahami dan menjelaskan definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan,
komplikasi dari trauma multipel.
1.3 Manfaat
Laporan ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa sebagai sumber referensi
mengenai Kegawatdaruratan Bedah dengan topik trauma multipel. Dengan laporan
ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami definisi, epidemiologi, etiologi,
patogenesis, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding,
penatalaksanaan, komplikasi dari penyakit tersebut.

BAB II
Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 1
ISI
2.1 Skenario
Seorang laki-laki, 20 tahun, bernama Tuan X dibawa oleh polisi ke UGD karena
mengalami kecelakaan. Tn. X tidak sadar saat tiba di UGD. Hasil pemeriksaan dokter
menunjukkan tanda vital: nadi lemah 100x per menit, pernapasan 28x per menit, dan
tekanan darah 80/60 mmHg dengan akral dingin pada ekstremitas. Ditemukan
krepitasi dan luka robek pada tulang paha kiri dan kanan. Terdapat krepitasi dan
memar pada dinding dada di atas iga 3 dan 4 kanan.

2.2 Step 1 Identifikasi Istilah


Krepitasi
Adalah bunyi atau suara akibat gesekan antar fragmen tulang yang terdislokasi,
merupakan tanda ketika mempalpasi tulang yang fraktur.

2.3 Step 2 Identifikasi Masalah


1. Bagaimana penyebab dan patomekanisme terjadinya krepitasi, luka robek,
memar dan tidak sadar pada pasien tersebut?
2. Bagaimana interpretasi dan patomekanisme dari hasil vital sign?
3. Apakah kondisi yang dialami oleh pasien? Penanganan awal apa yang diberikan
kepada pasien?
4. Menjelaskan yang diketahui tentang fraktur.

2.4 Step 3 Curah Pendapat


1. Penyebab dan patomekanisme:
a. Tidak sadar. Pasien bisa tidak sadar karena kurangnya asupan darah ke pusat
kesadaran di ARAS dan korteks serebri. Mekanisme yang terjadi pada pasien
dapat disebabkan karena trauma (misalnya karena terkejut atau nyeri
berlebihan) sehingga menyebabkan tidak sadar. Selain itu bisa juga akibat
syok yang terjadi karena perdarahan yang dialami sehingga menyebabkan
hipotensi. Yang perlu dibedakan, syok akibat nyeri berlebih (Neurogenik)
memiliki tanda hipotensi dengan bradikardi.

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 2


b. Krepitasi merupakan salah satu tanda adanya fraktur. Krepitasi terjadi akibat
bersentuhannya fragmen-fragmen patahan tulang satu sama lain. Sebenarnya
upaya mempalpasi fraktur tidak dibenarkan karena bisa memperparah
terjadinya fraktur.
c. Luka robek adalah luka yang menyebabkan bagian dalam dari kulit
berhubungan dengan dunia luar. Luka robek lebih disebabkan karena
perlukaan benda tajam, dimana luka ini memiliki potensi perdarahan dan
infeksi. Luka robek pada femur memiliki risiko perdarahan hingga 1500 cc.
Hal ini berpotesi menimbulkan syok hipovolemik.
d. Memar, atau kontusio, merupakan akibat dari kerusakan jaringan sehingga
terjadi vasodilatasi pembuluh darah di jaringan yang rusak atau pecahnya
pembuluh darah di jaringan yang rusak. Sehingga darah berkumpul di lokasi
tersebut.
2. Interpretasi:
a. Nadi masih dalam rentang normal, namun kekuatannya lemah.
b. Pernapasan takipneu
c. Tekanan darah hipotensi
Hal tersebut merupakan tanda adanya syok hipovolemik akibat kehilangan darah.
Dari hasil pemeriksaan fisik kemungkinan terjadi perdarahan Grade 2 dengan
estimasi kehilangan darah 750-1500 ml (15-30%). Pada saat tubuh kehilangan
darah, maka akan terjadi usaha tubuh untuk meningkatkan perfusi jaringan
terutama ke organ vital. Dengan kondisi tekanan darah yang turun akibat volume
darah yang berkurang, semakin banyak pemompaan yang dilakukan oleh jantung
namun dengan kualitas yang tidak sebaik kondisi normal. Pernapasan pun akan
semakin cepat.
Setelah memastikan ABC baik, maka jika terjadi perdarahan tatalaksana awal
yang dilakukan adalah penggantian perdarahan secepat mungkin dengan
pemasangan IV Line RL 2000 cc diguyur. Kemudian lakukan penilaian
perdarahan dan tatalaksana sesuai perdarahan yang terjadi. Pasien utamanya bisa
meninggal karena syok yang dialaminya, bukan hanya karena fraktur.
3. Pasien kemungkinan mengalami fraktur di femur dan dada yang disertai dengan
perdarahan yang cukup banyak sehingga mulai muncul tanda-tanda syok
hipovolemik karena perdarahan. Penatalaksanaan.

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 3


4. Fraktur adalah diskontinuitas yang terjadi pada tulang, terutama terjadi karena
rudapaksa. Berdasarkan hubungannya dengan dunia luar, fraktur dibagi menjadi
fraktur terbuka dan tertutup. Untuk fraktur terbuka dibagi menjadi 3 derajat,
dimana derajat I menunjukkan laserasi luka kurang dari 1 cm tanpa kontaminasi,
derajat II menunjukkan laserasi lebih dari 1 cm dengan kontaminasi, dan derajat
III menunjukkan ada kontaminasi hebat dengan fraktur segmental atau kominutif.
a. Klasifikasi fraktur
Selain klasifikasi di atas, berdasarkan patahannya fraktur dibagi dua yaitu
fraktur komplet dan fraktur inkomplet (tidak terjadi patahan). Berdasarkan
garis patahannya dibagi menjadi transversal, oblique, spiral, avulsi, dan
kompresi. Berdasarkan kedudukan fragmen, terdapat fraktur dengan dislokasi
(perubahan posisi) dan fraktur tanpa dislokasi.
b. Penyebab fraktur
Fraktur kebanyakan disebabkan karena trauma (misalkan kecelakaan lalu
lintas). Selain itu dapat disebabkan pula oleh tekanan berulang (misal pada
atlet) dan fraktur patologis (misalkan akibat osteoporosis).
c. Patomekanisme
Pada tulang yang fraktur, ada kerusakan di korteks, jaringan lunak, sumsum
tulang, serta pembuluh darah di sekitar tulang tersebut. Hal ini akan
menyebabkan perdarahan, kerusakan pula di tulang dan jaringan sekitarnya.
Di kanal medula dapat terjadi hematom. Setelah itu terjadi vasodilatasi kapiler
di otot sekitar fraktur. Tekanan di dalam kapiler akan meningkat. Terjadi
stimulasi pengeluaran histamin karena rusaknya pembuluh darah, dimana
histamin akan menyebabkan protein plasma keluar ke interstisial dan
menyebabkan edema. Setelah tulang fraktur, sebenarnya ada mekanisme
kompensasi yang dilakukan oleh osteoklas dan osteoblas. Sel osteoklas akan
membersihkan jaringan tulang yang mati sedangkan osteoblas akan
membentuk osteosit yang membentuk tulang baru.
d. Manifestasi Klinis
- Nyeri terus menerus yang bertambah berat hingga fragmen fraktur
diimobilisasi.
- Pada anamesis didapatkan riwayat cedera sebelumnya, mekanisme ringan
atau berat, dan perlu ditanyakan riwayat fraktur sebelumnya.

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 4


- Terdapat tanda-tanda inflamasi, edema, dan penurunan sensasi sensoris
motoris (terutama di distal fraktur).
-
Ada krepitasi dan spasme otot, serta perpanjangan Capillary Refill Time.
-
Sebagai tanda umum dapat terjadi perdarahan hingga syok.
e. Diagnosis
- Anamnesis
- Pemeriksaan fisik dan tanda vital
- Melakukan pemeriksaan penunjang (seperti roentgen, MRI jika perlu, dan
hitung darah lengkap).
f. Tatalaksana
- Pastikan ABC clear. Jika terjadi perdarahan maka upayakan penggantian
perdarahan secepat mungkin dengan pemasangan IV Line RL 2000 cc
diguyur. Kemudian lakukan penilaian perdarahan dan tatalaksana sesuai
perdarahan yang terjadi.
- Jika terjadi luka, maka bersihkan luka, lakukan debridement, kemudian
tutup luka setelah diberikan antibiotik profilaksis dan imunisasi/ serum
tetanus. Kemudian lakukan penatalaksanaan pada frakturnya.
- Lakukan pemeriksaan fisik, imobilisasi, dan foto polos.
- Prinsip penatalaksanaan fraktur adalah 4R, yaitu recognition (mengenali),
reduction (reposisi), retention (imobilisasi), dan retaining (rehabilitasi).

2.5 Step 4 Strukturisasi Konsep

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 5


2.6 Step 5 Merumuskan Sasaran Pembelajaran
Mahasiswa mampu mempelajari, memahami, dan menjelaskan tentang:
1. Definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan,
komplikasi, dan prognosis dari fraktur.
2. Indikasi tranfusi dan pemilihan cairan resusitasi.
3. Penanganan kegawatdaruratan pada kasus trauma mutipel.
4. Penanganan syok hipovolemik.
Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 6
2.7 Step 6 Belajar Mandiri
Dalam step 6 ini, masing-masing dari mahasiswa melakukan belajar mandiri untuk
mempelajari learning objective yang ingin dicapai pada Selasa, 3 November 2015
sampai Kamis, 5 November 2015.

2.8 Step 7 Sintesis


1. Fraktur
a. Definisi
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan
tersebut tak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan, atau perimpitan
korteks, dan biasanya patahan itu lengkap dan fragmen tulang bergeser. Jika
mengenai kulit namun masih intak di sebut fraktur tertutup atau sederhana
namun jika kulit atau salah satu dari rongga tubuh tertembus, keadaan ini
disebut fraktur terbuka atau compound yang cenderung mudah untuk
mengalami kontaminasi dan infeksi (Solomon, Warwick, & Nayagam, 2012).

b. Etiopatomekanisme

1. Fraktur disebabkan oleh trauma


Sebagian besar fraktur disebabkan oleh adanya tekanan yang tiba-
tiba atau berlebihan yang dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Dikatakan bersifat langsung apabila patahan tulang pada titik
benturan dimana biasanya jaringan lunak juga ikut rusak. Pukulan atau
benturan secara langsung biasanya memberikan gambaran patahan
transverse atau melintang atau dapat juga mengenai pada sudut
fulkrumnya sehingga memberikan gambaran fragmen seperti “Butterfly”.
Sedangkan benturan/pukulan secara tidak langsung dapat menyebabkan
fraktur di tmpat jauh dari titik terkena benturan. Kerusakan jaringan lunak
pada tempat fraktur tidak dapat dihindari (Solomon, Warwick, &
Nayagam, 2012).

Kekuatan penyebab fraktur dapat berupa :


Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 7
o Pemutiran : menyebabkan fraktur spiral
o Penekukan : menyebabkan fraktur melintang
o Penekukan dan penekanan : menyebabkan fraktur sebagian melintang,
sebagian berbentuk kupu – kupu berbentuk segitiga terpisah
o Kombinasi : menyebabkan fraktur oblik pendek
o Penarikan : dimana tendon dan ligament benar – benar
menarik tulang sampai tulang (Solomon, Warwick, & Nayagam, 2012).

2. Fraktur kelelahan atau tekanan


Retak dapat terjadi pada tulang, seperti halnya pada logam dan benda
lain, akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan
pada tibia atau fibula atau metatarsal, terutama pada atlet, penari dan calon
tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh (Solomon, Warwick, &
Nayagam, 2012).

3. Fraktur patologik
Pada fraktur patologik fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal
karena tulang itu memang lemah (misalnya karena tumor) atau kalau tulang
itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit Paget). Penyebab-penyebab fraktur
patologis diantaranya adalah ostoporosis, osteogenesis imperfecta, paget’s
disease atau akibat lesi yang litik seperti pada kista tulang, atau metastasis
(Solomon, Warwick, & Nayagam, 2012).

c. Klasifikasi

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 8


1. Berdasarkan luas dan garis fraktur
a. Fraktur Lengkap
Tulang benar-benar patah menjadi menjadi dua fragmen atau
lebih. Jika fraktur bersifat melintang, fragmen tersebut biasanya tetap
di tempatnya setelah reduksi; jika bersifat oblik atau spiral, fraktur
cenderung bergeser dan berpindah lagi sekalipun tulang itu dibebat,
pada fraktur impaksi fragmen – fragmen terikat erat bersama-bersama
dan garis fraktur tidak jelas. Fraktur komunitif adalah fraktur dengan
lebih dari dua fragmen; karena ikatan sambungan pada permukaan
fraktur tidak baik, lesi ini sering tak stabil .
b. Fraktur Tak Lengkap
Dalam keadaan ini tulang terpisah secara tak lengkap dan
periosteum tetap menyatu. Pada fraktur greenstick tulang bengkok atau
melengkung (seperti ranting hijau yang dipatahkan); ini ditemukan
pada anak – anak, yang tulangnya lebih elastic dibandingkan orang
dewasa. Reduksi biasanya mudah dan penyembuhannya cepat. Fraktur
kompresi terjadi bila tulang yang berespon mengerut. Ini terjadi pada
orang dewasa terutama dalam badan vertebra. Kalau tidak dioperasi
seketika itu, reduksi tidak dapat dilakukan dan tak dapat dihindari
deformitas sisa.

2. Berdasarkan hubungan dengan dunia luar

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 9


a. Fraktur tertutup. Fraktur dengan kondisi dimana kulit masih utuh,
tulang tidak keluar melewati kulit (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010).
b. Fraktur terbuka. Kebalikan dengan fraktur tertutup dimana hal ini
memungkinkan masuknya kuman dari luar ke dalam luka. Patah tulang
terbuka dibagimenjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat
ringannya luka dan fraktur yang terjadi (Sjamsuhidajat & De Jong,
2010).
Derajat fraktur terbuka.

Derajat Luka Fraktur

I Laserasi <1cm Sederhana,


Kerusakan jaringan lunak
dislokasi fragmen
tidak berarti
minimal
Relatif bersih

II Laserasi >1cm Dislokasi


Tidak ada kerusakan
fragmen jelas
jaringan hebat atau avulsi
Ada kontaminasi

III Luka lebar dan rusak Komunitif,


hebat, atau hilangnya segmental,
jaringan disekitarnya fragmen tulang
Kontaminasi hebat
ada yang hilang

3. Berdasarkan garis patahan tulang


a. Green stick. Retak di bawah lapisan periosteum. Tidak mengenai
seluruh korteks. Sering terjadi pada anak-anak dengan tulang lembek.

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 10


b. Transverse. Patah melintang
c. Longitudinal. Patahan memanjang
d. Oblique. Garis patah miring
e. Spiral. Patah melingkar
f. Komunitif. Patahan menjadi beberapa fragmen. (Sjamsuhidajat & De
Jong, 2010) (Solomon, Warwick, & Nayagam, 2012).

4. Berdasarkan lokasi patahan di tulang menurut (Sjamsuhidajat & De Jong,


2010) adalah :
a. Fraktur epifisis
b. Fraktur metafisis
c. Fraktur diafisis

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 11


5. Berdasarkan kedudukan fragmen
a. Tidak ada dislokasi
b. Ada dislokasi. Terdapat enam jenis dislokasi menurut (Sjamsuhidajat
& De Jong, 2010) yaitu:
 At latitudinem. Dislokasi dengan terjadi pergeseran ke samping
 At longitudinal. Dislokasi menjauh dalam satu garis lurus
 Cum contraktionem. Dislokasi dengan terjadi pergeseran dan
pemendekan akibat tarikan otot-otot.
 Impaksi. Bergeser namun masih ada bagian yang menyatuh dan
menimbulkan penekanan.
 At axim. Dislokasi yang membentuk sudut
 At perparium. Disklokasi dnegan membentuk sudut.

d. Manifesta
si klinis

Manifestasi klinis fraktur adalah sebagai berikut :


1. Nyeri tekan

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 12


Karena adanya kerusakan saraf dan pembuluh darah. Nyeri terus
menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi spasme otot yang menyertai fraktur merupakan
bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan
gerakan antar fragmen tulang.
2. Gangguan fungsi
Pergeseran fragmen pada faktur lengan atau tungkai menyebabkan
defromitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya
otot karena rusaknya saraf serta pembuluh darah.
3. Bengkak
karena tidak lancarnya aliran darah ke jaringan (edema).
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi
sebagai akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah
cedera.
4. Krepitasi
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya fragmen
satu dengan lainnya (uji krepitus dapat kerusakan jaringan lunak
yang lebih berat).

5. Deformitas
perubahan bentuk, pergerakan tulang jadi memendek karena
kuatnya tarikan otot-otot ekstremitas yang menarik patahan tulang.
Selain itu, pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm.

6. Gerakan abnormal,
Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 13
disebabkan karena bagian gerakan menjadi tidak normal
disebabkan tidak tetapnya tulang karena fraktur.
7. Memar karena perdarahan subkutan.

8. Spasme otot pada daerah luka atau fraktur terjadi kontraksi pada
otot-otot involunter.

9. Gangguan sensasi (mati rasa) dapat terjadi karena kerusakan


syaraf atau tertekan oleh cedera, perdarahan atau fragmen tulang.

10. Echimosis dari Perdarahan Subculaneous

11. Karena Shock hipovolemik kehilangan darah

e. Diagnosis
Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur),
baik yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan
untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan
cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin
fraktur terjadi pada daerah lain. Penderita biasanya datang karena adanya
nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, krepitasi atau datang
dengan gejala-gejala lain.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis

Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 14


 Bandingkan dengan bagian yang sehat

 Perhatikan posisi anggota gerak

 Keadaan umum penderita secara keseluruhan

 Ekspresi wajah karena nyeri

 Lidah kering atau basah

 Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan

 Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk


membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka

 Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa


hari
 Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
 Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-
organ lain
 Perhatikan kondisi mental penderita
 Keadaan vaskularisasi

2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri.
 Temperatur setempat yang meningkat
 Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur
pada tulang
 Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati
 Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi
arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai
dengan anggota gerak yang terkena

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 15


 Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian
distal daerah trauma , temperatur kulit
 Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai

3. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan
secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang
mengalami trauma. Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan
menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan
secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
4. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris
dan motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus
dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan
tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan
selanjutnya.
5. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan,
lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan
jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai
yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan
pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:
 Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi

 Untuk konfirmasi adanya fraktur

 Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta


pergerakannya

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 16


 Untuk menentukan teknik pengobatan

 Untuk menentukan fraktur itu baru atau tidak

 Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler

 Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang

 Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluru


 Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua
 Dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada
anteroposterior dan lateral

 Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus di foto, di atas dan
di bawah sendi yang mengalami fraktur

 Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada


ke dua angota gerak terutama pada fraktur epifisis
 Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur
pada dua daerah tulang.
 Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang
skafoid, foto pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya
diperlukan foto berikutnya 10-14 hari kemudian.

f. Penatalaksanaan
Terapi Fraktur Tertutup
Pertimbangan pertama dalam terapi umum ialah: mengobati pasien,
tidak hanya sebagian tubuhnya. Urutannya adalah: (1) pertolongan pertama;
(2) pengangkutan; (3) terapi syok, perdarahan dan cedera yang berkaitan. Pada
dasarnya terapi fraktur terdiri atas manipulasi untuk memperbaiki posisi
fragmen, diikuti dengan pembebatan untuk mempertahankannya bersama-
sama sebelum fragmen-fragmen itu menyatu; sementara itu gerakan sendi dan
fungsi harus dipertahankan. Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan
fisiologis pada tulang sehingga dianjurkan untuk melakukan aktivitas otot, dan
penahanan beban secara lebih awal. Tujuan ini tercakup dalam tiga keputusan
yang sederhana: reduksi, mempertahankan, lakukan latihan (Apley, 2013)

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 17


Reduksi

Meskipun terapi umum dan resusitasi harus selalu didahulukan, tidak


boleh ada keterlambatan dalam menangani fraktur; pembengkakan bagian
lunak selama 12 jam pertama akan mempersukar reduksi. Tetapi terdapat
beberapa situasi yang tak memerlukan reduksi: (1) bila pergeseran tidak
banyak atau tidak ada; (2) bila pergeseran tidak berarti (misalnya pada fraktur
klavikula); (3) bila reduksi tampaknya tak akan berhasil (misalnya pada
fraktur kompresi pada vertebra) (Apley, 2013).

Reduksi tertutup

Dengan anestesi yang tepat dan relaksasi otot, fraktur dapat direduksi
dengan manuver tiga tahap: (1) bagian distal tungkai ditarik ke garis tulang;
(2) sementara fragmen-fragmen terlepas, fragmen itu direposisi; (3) penjajaran
disesuaikan ke setiap bidang. Cara ini paling efektif bila periosteium dan otot
pada satu sisi fraktur tetap utuh; pengikatan jaringan lunak mencegah over
reduksi dan menstabilkan fraktur setelah direduksi. Beberapa fraktur
(misalnya pada batang femur) sulit direduksi dengan manipulasi karena
tarikan otot yang sangat kuat dan dapat membutuhkan traksi yang lama).
Umumnya, reduksi tertutup digunakan untuk semua fraktur dengan pergeseran
minimal, sebagian besar pada fraktur anak-anak dan pada fraktur yang stabil
setelah direduksi (Apley, 2013).

Reduksi terbuka

Reduksi bedah pada fraktur dengan penglihatan langsung


diindikasikan: (1) bila reduksi tertutup gagal; (2) bila terdapat fragmen
artikular yang besar yang perlu ditempatkan secara tepat; (3) bila terdapat
fraktur traksi yang fragmennya terpisah. Tetapi, biasanya reduksi terbuka
hanya merupakan langkah pertama untuk fiksasi internal (Apley, 2013).

Mempertahankan reduksi

Kata imobilisasi dengan sengaja dihindari karena tujuannya jarang


imobilisasi lengkap; biasanya ini merupakan pencegahan pergeseran. Namun,
pembatasan gerakan tertentu diperlukan untuk membantu penyembuhan
jaringan lunak dan untuk memungkinkan gerakan bebas pada bagian yang tak
terkena. Metode yang tersedia untuk mempertahankan reduksi adalah: (1)

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 18


traksi terus-menerus; (2) pembebatan dengan gips; (3) pemakaian penahan
fungsional, (4) fiksasi internal; dan (5) fiksasi eksternal (Apley, 2013).

Latihan

Lebih tepatnya memulihkan fungsi-bukan saja pada bagian yang


mengalami cedera tetapi juga pada pasien secara keseluruhan. Tujuannya
adalah mengurangi edema, mempertahankan gerakan sendi, memulihkan
tenaga otot dan memandu pasien kembali ke aktivitas normal (Apley, 2013).

Terapi Fraktur Terbuka

Pertimbangan Umum

Banyak pasien dengan fraktur terbuka mengalami cedera ganda dan


syok hebat. Bagi mereka, terapi yang tepat di tempat kecelakaan sangat
penting. Luka harus ditutup dengan pembalut steril atau bahan yang bersih
dan dibiarkan tak terganggu hingga pasien mencapai bagian rawat kecelakaan.
Di rumah sakit, penilaian umum yang cepat merupakan langkah yang pertama,
dan setiap keadaan yang membahayakan jiwa diatasi. Luka kemudian
diperiksa. Setelah itu luka dapat ditutupi lagi dan dibiarkan tak terganggu
hingga pasien berada di kamar bedah.

Semua fraktur terbuka, tak perduli seberapa ringannya, harus dianggap


terkontaminasi; penting untuk mencoba mencegahnya infeksi: (1) pembalutan
luka dengan segera; (2) profilaksis antibiotika; (3) debridemen luka secara
dini; dan (4) stabilisasi fraktur (Apley, 2013).

Penanganan Dini

Luka harus tetap ditutup hingga pasien tiba di kamar bedah.


Antibiotika diberikan secepat mungkin, tak peduli berapa kecil laserasi itu,
dan dilanjutkan hingga bahaya infeksi terlewati. Pada umumnya, pemberian
kombinasi benzilpenisilin dan flukloksasilin tiap 6 jam selama 48 jam akan
mencukupi; kalau luka amat terkontaminasi, juga bijaksana untuk mencegah
organisme gram negatif dengan menambah gentamisin atau metronidazol dan
melanjutkan terapi selama 4-5 hari. Pemberian profilaksis tetanus juga
penting: toksoid diberikan pada mereka yang sebelumnya telah diimunisasi;
kalau belum, berilah antiserum manusia (Apley, 2013).

Debridemen

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 19


Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari bahan asing dan dari
jaringan mati, memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian itu.
Dalam anestesi umum, pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten
mempertahankan traksi pada tungkai yang mengalami cedera dan menahannya
agar tetap diam. Pembalut yang sebelumnya digunakan pada luka diganti
dengan bantalan yang steril dan kulit di sekelilingnya dibersihkan dan dicukur.
Kemudian bantalan itu diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan
sejumlah besar garam fisiologis; irigasi akhir dapat disertai obat antibiotika
misalnnya basitrasin. Turniket tidak digunakan karena akan lebih jauh
membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan struktur yang mati
(Apley, 2013).

Penutupan Luka

Menutup kulit atau tidak – dapat menjadi suatu keputusan yang sukar.
Luka tipe I yang kecil dan tidak terkontaminasi, yang dibalut dalam beberapa
jam setelah cedera, setelah debridemen, dapat dijahit (asalkan ini dapat
dilakukan tanpa tegangan) atau dilakukan pencangkokan kulit. Luka yang lain
harus dibiarkan terbuka hingga bahaya tegangan dan infeksi telah terlewati.
Luka itu dibalut sekadarnya dengan kasa steril dan diperiksa setelah 5 hari;
kalau bersih, luka itu dijahit atau dilakukan pencangkokan kulit (penutupan
primer tertunda) (Apley, 2013).

Stabilisasi Fraktur

Sekarang disadari bahwa stabilitas fraktur diperlukan untuk


mengurangi kemungkinan infeksi. Untuk luka tipe I atau tipe II yang kecil
dengan fraktur yang stabil, boleh menggunakan gips yang dibelah secara luas
atau, untuk femur digunakan traksi pada bebat. Tetapi pada lukka yang lebih
berat (Dan luka tembak) fraktur perlu difiksasi secara lebih ketat.

Metode yang paling aman adalah fiksasi eksterna. Pemasangan pen


intramedula (dengan penguncian jika fraktur itu kominutif) dapat digunakan
untuk femur atau tibia; terbaik jangan melakukan pelebaran luka yang akan
meningkatkan risiko infeksi. Plat dan sekrup dapat digunakan untuk fraktur
metafisis atau artikular, dengan syarat ahli bedah itu berpengalaman dalam
menggunakannya dan keadaannya ideal (Apley, 2013).

Perawatan Sesudahnya

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 20


Tungkai ditinggikan di atas tempat tidur dan sirkulasinya diperhatikan
dengan cermat. Syok mungkin masih membutuhkan terapi. Kemoterapi
dilanjutkan; organisme dibiakkan dan, kalau perlu, dilakukan penggantian
antibiotika.

Kalau luka dibiarkan terbuka, periksa setelah 5-7 hari. Penjahitan


primer tertunda sering aman, atau, kalau terdapat banyak kehilangan kulit,
dilakukan pencangkokan kulit. Kalau toksemia atau septikemia terus terjadi
meskipun telah diberi kemoterapi, luka itu didrainase (terapi aman satu-
satunya kalau fraktur yang terinfeksi tidak ditangani dalam 24 jam setelah
cedera) (Apley, 2013).

g. Komplikasi
Komplikasi lokal pada fraktur

Komplikasi dini Komplikasi belakangan

Tulang Infeksi Nekrosis avaskular


Penyatuan lambat dan
non union
Malunion

Jaringan Pelepuhan dan borok akibat Ulkus dekubitus


Lunak gips Miositis osifikans
Otot dan tendon robek Tendinitis dan ruptur
Cedera vaskular (termasuk tendon
sindrom kompartemen) Tekanan dan terjepitnya
Cedera saraf saraf
Cedera viseral Kontraktur volkmann

Sendi Hemartrosis dan infeksi Ketidakstabilan


Cedera ligamen Kekakuan
Algodistrofi Algidistrofi

(Apley, 2013)

Komplikasi patah tulang (Sjamsuhidajat, 2010)

Komplikasi segera lokal:

- Kulit dan otot : berbagai vulnus (abrasi, laserasi, sayatan), kontusio, avulsi
- Vaskular: terputus, kontusio, perdarahan
- Organ dalam; jantung, paru-paru, hepar, limpa (pada fraktur kosta), buli-buli
(pada fraktur pelvis)

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 21


- Neurologis: otak, medula spinalis, kerusakan saraf perifer

Komplikasi segera umum:

- Trauma multipel
- Syok
Komplikasi dini lokal
- Nekrosis kulit dan otot
- Sindrom kompartemen
- Trombosis
- Infeksi sendi
- Osteomielitis
Komplikasi dini umum
- ARDS
- Emboli paru
- Tetanus

Komplikasi lama lokal


- Malunion, non union, delayed union
- Osteomielitis
- Gangguan pertumbuhan
- Patah tulang rekuren

Komplikasi lama umum


- Batu ginjal
- Neurosis pascatrauma

2. Transfusi dan Cairan Resusitasi

Transfusi darah adalah pemindahan darah dari satu orang (donor) ke


dalam pembuluh darah orang lain (resipien). Hal ini biasanya dilakukan sebagai
manuver penyelamatan nyawa (life-saving) untuk menggantikan darah yang
hilang karena perdarahan hebat, saat operasi ketika terjadi kehilangan darah atau
untuk meningkatkan jumlah darah pada pasien anemia.
Darah terdiri dari sel-sel darah serta plasma darah. Sel darah terdiri dari
sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan trombosit, sedangkan
plasma darah mengandung air, protein, glukosa, mineral, fibrinogen dan faktor-
faktor pembekuan yang terdiri dari faktor pembekuan I-XIII. Di dalam eritrosit
terdapat molekul hemoglobin yang sangat penting. Hemoglobin berguna untuk
mengika oksigen di paru-paru dan melepaskan oksigen tersebut ke organ tubuh
Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 22
yang membutuhkannya. Dapat dikatakan, darah merupakan komponen penting
dalam tubuh. Melalui darah, oksigen akan terangkut ke seluruh organ tubuh,
terutama organ vital agar fungsinya dapat terus berjalan. Oleh karena itu
prosedur transfusi darah merupakan suatu tindakan yang sangat penting untuk
kelangsungan hidup seseorang.
Jenis Darah Transfusi
DARAH LENGKAP (Whole Blood)
Whole blood (darah lengkap) biasanya disediakan hanya untuk transfusi
pada perdarahan masif. Whole blood biasa diberikan untuk perdarahan akut,
shock hipovolemik serta bedah mayor dengan perdarahan > 1500 ml. Whole
blood akan meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dan peningkatan
volume darah. Transfusi satu unit whole blood akan meningkatkan hemoglobin 1
g/dl.
Darah lengkap ada 3 macam. Yaitu :
1. Darah segar
Yaitu darah yang baru diambil dari donor sampai 6 jam sesudah pengambilan.
Keuntungan pemakaian darah segar ialah faktor pembekuannya masih lengkap
termasuk faktor labil (V dan VIII) dan fungsi eritrosit masih relatif baik.
Kerugiannya sulit diperoleh dalam waktu yang tepat karena untuk pemeriksaan
golongan, reaksi silang dan transportasi diperlukan waktu lebih dari 4 jam dan
resiko penularan penyakit relatif banyak.
2. Darah Baru
Yaitu darah yang disimpan antara 6 jam sampai 6 hari sesudah diambil dari
donor. Faktor pembekuan disini sudah hampir habis, dan juga dapat terjadi
peningkatan kadar kalium, amonia, dan asam laktat.
3. Darah Simpan
Darah yang disimpan lebih dari 6 hari. Keuntungannya mudah tersedia setiap
saat, bahaya penularan lues dan sitomegalovirus hilang. Sedang kerugiaannya
ialah faktor pembekuan terutama faktor V dan VIII sudah habis. Kemampuan
transportasi oksigen oleh eritrosit menurun yang disebabkan karena afinitas Hb

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 23


terhadap oksigen yang tinggi, sehingga oksigen sukar dilepas ke jaringan. Hal ini
disebabkan oleh penurunan kadar 2,3 DPG. Kadar kalium, amonia, dan asam
laktat tinggi.Indikasinya adalah untuk mengatasi perdarahan yang lebih dari 30%
TBV setelah pasien distabilkan lebih dahulu dengan cairan elektrolit. Banyaknya
volume darah yang diberikan diberikan sesuai dengan banyaknya darah yang
hilang.(6,12) Pada bayi transfusi sudah harus diberikan bila kehilangan 10 %
TBV. Diberikan pada penderita dengan perdarahan akut, syok hemovolemik, dan
bedah mayor dengan perdarahan >1500 ml. Darah lengkap mengandung 450 ml
darah dan 63 ml antikoagulan (CPDA-1) dan hematokrit 35 % dan masa simpan
35 hari. Kemasan kantong darah baku berisi 450 ml darah, disamping itu ada
kemasan kantong darah dengan isi 250 ml seperti yang umum dipakai oleh PMI.
Pada orang dewasa transfusi satu unit (500 ml) darah lengkap akan menaikkan
Hb kira-kira 1 gram % atau hematokrit 3-4%. Darah segar mempunyai
komponen darah yang lengkap, akan tetapi tidak praktis dalam penyediaan.
Semua sel dan protein plasma terkandung dalam darah lengkap. Tetapi trombosit,
fagosit, dan banyak protein plasma lainnya menjadi tidak aktif selama
penyimpanan, tetapi sel-sel tersebut masih bersifat antigenik. Sehingga untuk
tujuan praktis, darah lengkap dapat dianggap terdiri dari eritrosit dan plasma.
Kecepatan pemberian darah utuh pada penderita hemovolemia adalah satu liter
dalam 2-3 jam setelah sebelumnya diberikan cairan elektrolit pengganti
perdarahan. Jika transfusi perlu lebih cepat lagi, pantaulah dengan teliti kenaikan
Tekanan Vena Sentral (CVP) untuk menghindari overload. Setelah satu liter
darah utuh sebaiknya diberikan 10 cc Calcium Glukonas 10% untuk mencegah
intoksikasi sitrat, terutama pada penderita gangguan faal hati yang luas.
Packed Red Blood Cell (PRBC)
PRBC mengandung hemoglobin yang sama dengan whole blood, bedanya
adalah pada jumlah plasma, dimana PRBC lebih sedikit mengandung plasma.
Hal ini menyebabkan kadar hematokrit PRBC lebih tinggi dibanding dengan
whole blood, yaitu 70% dibandingkan 40%. PRBC biasa diberikan pada pasien
dengan perdarahan lambat, pasien anemia atau pada kelainan jantung. Saat

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 24


hendak digunakan, PRBC perlu dihangatkan terlebih dahulu hingga sama dengan
suhu tubuh (37ºC). bila tidak dihangatkan, akan menyulitkan terjadinya
perpindahan oksigen dari darah ke organ tubuh.

Plasma Beku Segar (Fresh Frozen Plasma)


Fresh frozen plasma (FFP) mengandung semua protein plasma (faktor
pembekuan), terutama faktor V dan VII. FFP biasa diberikan setelah transfusi
darah masif, setelah terapi warfarin dan koagulopati pada penyakit hati. Setiap
unit FFP biasanya dapat menaikan masing-masing kadar faktor pembekuan
sebesar 2-3% pada orang dewasa. Sama dengan PRBC, saat hendak diberikan
pada pasien perlu dihangatkan terlebih dahulu sesuai suhu tubuh.
Trombosit
Transfusi trombosit diindikasikan pada pasien dengan trombositopenia berat
(<20.000 sel/mm3) disertai gejala klinis perdarahan. Akan tetapi, bila tidak
dijumpai gejala klinis perdarahan, transfusi trombosit tidak diperlukan. Satu unit
trombosit dapat meningkatkan 7000-10.000 trombosit/mm3 setelah 1 jam
transfusi pada pasien dengan berat badan 70 kg. banyak faktor yang berperan
dalam keberhasilan transfusi trombosit diantaranya splenomegali, sensitisasi
sebelumnya, demam, dan perdarahan aktif.
Kriopresipitat
Kriopresipitat mengandung faktor VIII dan fibrinogen dalam jumlah banyak.
Kriopresipitat diindikasikan pada pasien dengan penyakit hemofilia (kekurangan
faktor VIII) dan juga pada pasien dengan defisiensi fibrinogen.

Komplikasi Reaksi Transfusi


Reaksi hemolitik
Reaksi yang terjadi biasanya adalah penghancuran sel darah merah donor oleh
antibodi resipien dan biasanya terjadi karena ketidakcocokan golongan darah
ABO yang dapat disebabkan oleh kesalahan mengidentifikasikan pasien, jenis
darah atau unit transfusi. Pada orang sadar, gejala yang dialami berupa

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 25


menggigil, demam, nyeri dada dan mual. Pada orang dalam keadaan tidak sadar
atau terbius, gejala berupa peningkatan suhu tubuh, jantung berdebar-debar,
tekanan darah rendah dan hemoglobinuria. Berat ringannya gejala tersebut
tergantung dari seberapa banyak darah yang tidak cocok ditransfusikan.

Reaksi non hemolitik


Reaksi ini terjadi karena sensitisasi resipien terhadap sel darah putih, trombosit
atau protein plasma dari donor. Gejalanya antara lain demam, urtikaria yang
ditandai dengan kemerahan, bintik-bintik merah dan gatal tanpa demam, reaksi
anafilaksis, edema paru, hiperkalemia dan asidosis.
Infeksi
Resiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung pada
berbagai hal antara lain; angka kejadian penyakit di masyarakat, keefektifan
skrining yang dilakukan, kekebalan tubuh resipien dan jumlah donor tiap unit
darah. Beberapa infeksi yang biasa terjadi adalah virus hepatitis, HIV,
Citomegalovirus, bakteri stafilokokus, yesteria dan parasit malaria.
Penanggulangan komplikasi transfusi :
1. Stop transfusi
2. Naikan tekanan darah dengan cairan infus, jika perlu tambahkan obat-obatan.
3. Berikan oksigen 100%
4. Pemberian obat-obatan diuretik manitol atau furosemid
5. Obat-obatan antihistamin
6. Obat-obatan steroid dosis tinggi
7. Periksa analisa gas dan pH darah.

3. Kegawatdaruratan pada Kasus Trauma Multipel

Tatalaksana Kegawatdaruratan pada Fraktur Ekstrimitas

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 26


Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk
mempertahankan kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik
anatomi mau pun fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey
primer yang meliputi Airway, Breathing, Circulation, (2) meminimalisir rasa
nyeri (3) mencegah cedera iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan dan mencegah
sumber- sumber potensial kontaminasi.

Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi dan
reposisi sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses
persambungan tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut

Survey Primer

Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability Limitation, Exposure).

1. A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah


kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas
oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu
teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau
GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif.
2. B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru
paru yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan
pasien dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high
flow oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir bag.

3. C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan


di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan
sering menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah
tulang terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah
dalam paha 3 – 4 unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 27


pendarahan yang terbaik adalah menggunakan penekanan langsung dan
meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level
tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan pendarahan secara
nyata dengan mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade
otot sekitar patahan. Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril
umumnya dapat menghentikan pendarahan. Penggantian cairan yang agresif
merupakan hal penting disamping usaha menghentikan pendarahan.

4. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat


terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal 12.

5. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan


cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian
dibuka, penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia12.

pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti fraktur


adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi.

1. Imobilisasi Fraktur

Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam posisi
seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur.
hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan
dipertahankan dengan alat imobilisasi. pemakaian bidai yang benar akan
membantu menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan
jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah
fraktur.

Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint. traction


splintmenarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal
traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong,

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 28


perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai tungkai yang
trauma adalah dengan tungkai sebelahnya.

Pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu
kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam
ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan cardboard
atau metal gutter, long leg splint. jika tersedia dapat dipasang gips dengan
imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan pergelangan kaki.

2. Pemeriksaan Radiologi

Umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan bagian dari


survey sekunder. jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang akan dilakukan
ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan hemodinamik, serta
mekanisme trauma. foto pelvis AP perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien
multitrauma tanpa kelainan hemodinamik dan pada pasien dengan sumber
pendarahan yang belum dapat ditentukan.

Survey Sekunder

Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah


anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari cedera
cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan
tidak terobati.

Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat
AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate dan
Event(kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk
ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh
pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary
survey, Selain riwayatAMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai
penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit.

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 29


Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi
adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi
neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara
pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita menilai
warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian inspeksi
dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal aktif, begitu
pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi
menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah
yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan ancaman sindroma
kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa
daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan Move kita
memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal.

Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari
fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian membandingkan
sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan
pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di
ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang normal, perbedaan besarnya
denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya gangguan motorik menunjukkan
trauma arteri. Selain itu hematoma yang membesar atau pendarahan yang memancar
dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma arterial.

Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera


muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel
syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf
perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara sistematik:

Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber – sumber yang


berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara yang dapat
dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka fraktur
dengan ghas steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada ghas. Berikan

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 30


vaksinasi tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi. Antibiotik yang dapat
diberikan adalah :

Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 – 2 g dibagi dosis 3 -4 kali sehari)


dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo

Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti gentamicin (120 mg dosis


2x/hari) dapat ditambahkan untuk tipe II dan tipe III klasifikasi Gustilo.

Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk mengatasi kuman


anaerob.

Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka ditutup.


Debridement luka di kamar operasi juga sebaiknya dilakukan sebelum 6 jam pasca
trauma untuk menghindari adanya sepsis pasca trauma.

Reduksi, Reposisi dan imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat menunggu hingga
pasien siap untuk dioperasi kecuali ditemukan defisit neurovaskular dalam
pemeriksaan. Apabila terdapat indikasi untuk reposisi karena defisit neurovaskular,
maka sebaiknya reposisi dilakukan di UGD dengan menggunakan teknik analgesia
yang memadai.

Ada beberapa pilihan teknik analgesia untuk managemen pasien fraktur ekstrimitas
bawah di UGD. Untuk pasien yang mengalami isolated tibia atau ankle fractures,
Inhaled Nitrous oxide dan Oxygen (Entonox) mungkin berguna untuk manipulasi,
splintage dan transfer pasien.

Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam patah tulang
digunakan srategi “Three Step Analgesic Ladder” dari WHO. Pada nyeri akut,
sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat seperti Opioid kuat13. Dosis pemberian
morfin adalah 0.05 – 0.1 mg/kg diberikan intravena setiap 10/15 menit secara titrasi
sampai mendapat efek analgesia. Terdapat evidence terbaru di mana pada tahun

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 31


terakhir ini Ketamine juga dapat dipergunakan sebagai agen analgesia pada dosis
rendah (0.5 – 1 mg/kg). Obat ini juga harus ditritasi untuk mencapai respon optimal
agar tidak menimbulkan efek anastesi. Efek menguntungkan dari ketamine adalah
ketamine tidak menimbulkan depresi pernafasan, hipotensi, dan menimbulkan efek
bronkodilator pada dosis rendah. Kerugian ketamine adalah dapat menimbulkan
delirium, tetapi dapat dicegah dengan memasukkan benzodiazepine sebelumnya (0.5
– 2 mg midazolam intravena)

Peripheral nerve blocks juga menjadi pilihan baik dilakukan tunggal maupun
kombinasi dengan analgesik intravena. Yang umumnya digunakan adalah femoral
nerve block.

Beberapa Kondisi Kegawat-Daruratan Terkait Fraktur Yang Mengancam Nyawa

Pendarahan Arteri Besar

Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi atau tulang di dekat arteri mampu
menghasilkan trauma arteri. Cedera ini dapat menimbulkan pendarahan besar pada
luka terbuka atau pendarahan di dalam jaringan lunak. Ekstrimitas yang dingin, pucat,
dan menghilangnya pulsasi ekstremitas menunjukkan gangguan aliran darah arteri.
Hematoma yang membesar dengan cepat, menunjukkan adanya trauma vaskular.
Cedera ini menjadi berbahaya apabila kondisi hemodinamik pasien tidak stabil12.

Jika dicurigai adanya trauma arteri besar maka harus dikonsultasikan segera ke dokter
spesialis bedah. Pengelolaan pendarahan arteri besar berupa tekanan langsung dan
resusitasi cairan yang agresif. Syok dapat terjadi akibat kurangnya volume darah
akibat pendarahan yang masif.

Beberapa hal yang dapat dilakukan saat ditemukannya tanda-tanda syok (nadi
meningkat dan melemah, tekanan darah menurun, akral dingin, penurunan kesadaran)
adalah :

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 32


Amankan Airway dan Breathing dengan pemasangan alat bantu jalan nafas jika perlu
dan pemberian oksigen.

Amankan Circulation dengan cara membebat lokasi pendarahan, pemasangan akses


vaskuler, dan terapi cairan awal. Untuk akses vaskuler, dipasang dua kateter IV
ukuran besar (minimum no 16). Tempat terbaik untuk memasang akses vena adalah di
vena lengan bawah dan di kubiti, tetapi pemasangan kateter vena sentral juga
diindikasikan apabila terdapat fasilitas. Untuk terapi cairan awal, bolus cairan hangat
diberikan secepatnya. Dosis umumnya 1 hingga 2 liter untuk dewasa dan 20 ml/kg
untuk anak anak. Untuk pemilihan cairan awal digunakan cairan kristaloid seperti RL
atau NS. Respon pasien kemudian diobservasi selama pemberian cairan awal.
Perhitungannya adalah pemberian 3 L kristaloid untuk mengganti 1 L darah.
Pemberian Koloid dapat dipertimbangkan apabila dengan pemberian kristaloid masih
belum cukup memperbaiki perfusi ke jaringan.

Penilaian respon pasien dapat dilakukan dengan memantau beberapa kondisi seperti :
1) tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, saturasi oksigen) 2) Produksi urin dipantau
dengan memasang kateter urin. Target dari produksi urin adalah0,5 ml/kg/jam untuk
dewasa, 1 ml/kg/jam untuk anak-anak. 3) keseimbangan asam basa.

4. Saat kondisi pasien stabil, harus dilakukan pemeriksaan atau rujukan untuk
menterapi secara definitif penyebab pendarahan tersebut.

2. Crush Syndrome

Crush Syndrome atau Rhabdomyolysis adalah keadaan klinis yang disebabkan


oleh kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal
akut. Kondisi ini terjadi akibat crush injury pada massa sejumlah otot, yang
tersering adalah paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perfusi
otot, iskemia, dan pelepasan mioglobin.

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 33


Patofisiologi crush syndrome dimulai dari adanya trauma ataupun etiologi lain
yang menyebabkan iskemia pada otot. Trauma otot yang luas seperti pada paha
dan tungkai oleh trauma tumpul merupakan salah satu penyebab tersering pada
crush syndrome. Crush syndrome biasanya sering terjadi saat bencana seperti
gempa bumi, teror bom dan lain-lain dimana otot dan bagian tubuh remuk tertimpa
oleh benda yang berat14. Pada keadaan normalnya kadar myoglobin plasma
adalah sangat rendah (0 to 0.003 mg per dl). Apabila lebih dari 100 gram otot
skeletal telah rusak, kadar myoglobin melebihi kemampuan pengikatan myoglobin
dan akan mengganggu filtrasi glomerulus, menimbulkan obstruksi pada tubulus
ginjal dan menyebabkan gagal ginjal.

Gejala yang timbul oleh crush syndrome adalah rasa nyeri, kaku, kram, dan
pembengkakan pada otot yang terkena, diikuti oleh kelemahan serta kehilangan
fungsi otot tersebut. Urin yang berwarna seperti teh adalah gejala yang cukup khas
karena dalam urin terdapat myoglobin. Mendiagnosis crush syndrome sering
terlewatkan saat penyakit ini tidak dicurigai dari awal14. Adapun komplikasinya
adalah hipovolemi, asidosis metabolik, hiperkalemia, Gagal Ginjal akut, dan DIC
(Disseminated Intravaskular Coagulation).

Diperlukan Manajemen kegawatdaruratan yang tepat dan cepat dalam


penanganan crush syndrome dan pencegahan komplikasinya. Pada Instalasi Rawat
Darurat yang dapat dilakukan adalah:

Evaluasi ABC

Pemberian cairan IV. Resusitasi cairan sangat dibutuhkan mengingat sering


terjadi hipovolemia. Pemberian normal saline dengan kecepatan 1,5 liter per jam
dan targetnya adalah produksi urin 200 – 300 ml per jam. Pemberian cairan yang
mengandung potassium dan laktat sebaiknya dihindari karena akan memperburuk
hiperkalemia dan acidosis. Investigasi mendalam terhadap trauma dan memonitor
keadaan pasien.

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 34


Pemberian bikarbonat untuk mengobati asidosis

Setelah keadaan hemodinamik stabil, maka dapat dilakukan terapi definitif


untuk kausa seperti trauma.

4. Penanganan Syok Hipovolemik


a. Mempertahankan Suhu Tubuh
Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita
untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali –
kali memanaskan tubuh penderita karena akan sangat berbaha ya.
b. Pemberian Cairan
1) Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual -
mual, muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke
dalam paru.
2) Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius
dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
3) Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada
indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita
menjadi mual atau muntah.
4) Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau
pengganti plasma berguna unt uk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.
5) Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang
dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis
cairan yang sama dengan cairan yang hilang, darah pada perdarahan,
plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus diganti dengan larutan
hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti
dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan
kristaloid memerlukan volume 3 – 4 kali volume perdarahan yang hilang,

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 35


sedang bila menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama
dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi
eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama
efektifnya dengan darah lengkap.
6) Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian
cairan yang berlebihan.
7) Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan
berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi
darah dan tindakan untuk menghilangkan nyeri.
8) Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat,
mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (
Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih
berupan pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter, dan pemeriksaan analisa
gas darah.

BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 36


Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang.
Patahan tersebut tak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan, atau
perimpitan korteks, dan biasanya patahan itu lengkap dan fragmen tulang
bergeser. Jika mengenai kulit namun masih intak di sebut fraktur tertutup
atau sederhana namun jika kulit atau salah satu dari rongga tubuh tertembus,
keadaan ini disebut fraktur terbuka atau compound yang cenderung mudah
untuk mengalami kontaminasi dan infeksi.
Diagnosis fraktur dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang (foto rontgen). Biasanya pada pasien yang
mengalami kecelakaan lalu lintas dilakukan primary survey yang terdiri dari
ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disabillity, Exposure) dan
secondary survey. Penatalaksaan pada pasien fraktur pun didasarkan pada
jenis dari fraktur tersebut. Adakalanya pasien hanya membutuhkan terapi
resusitasi dan kadang kala pasien juga memerlukan transfusi. Semua hal ini
dilakukan sesuai dengan indikasi masing-masing.

1.2 Saran
Dengan memahami LO yang didapat, penulis menyarankan pembaca
dapat termotivasi untuk mendalami materi yang kami ulas, sehingga nantinya
saat diklinik atau rotasi klinik para mahasiswa dapat menerapkannya.
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi
diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan para pembaca yang membaca
laporan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Apley, A.Graham & Louis Solomon. 2013. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem
Apley. Jakarta: Widya Medika.

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 37


GASTER, Vol.7 No.2 Agustus 2010 Cemy Nur Fitria, Syok dan Penanganannya ...
601
Olson, S. A. (2005). Acute Compartment Syndrome in Lower Extremity
Musculoskeletal Trauma. Academy Orthopaedic Surgery , 436-444

Sjamsuhidayat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu B edah de Jong. Jakarta: EGC.

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82592&val=970.

Blok 20 Modul 4 Trauma Multipel 38

Anda mungkin juga menyukai