Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Syok adalah suatu sindroma klinis yang terjadi akibat gangguan


hemodinamik dan metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi
unutk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini
muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius seperti, perdarahan
masif, trauma, atau luka bakar yang berat yang nanti dapat menyebabkan syok
hipovolemik, infark miokard luas atau emboli paru yang dapat menyebabkan
syok kardiogenik, tonus vasomotor yang tidak adekuat menyebabkan syok
neurogenik, sepsis akibat bakteri yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok
sepsis atau akibat respon imun yang nantinya menyebabkan syok anafilaktik.
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian utama pada pasien yang
dirawat dengan infark niokard akut. Kejadian syok kardiogenik sebagai
komplikasi infark miokard menurun dari 20% pada tahun 1960an kemudian
menetap + 8% selama 20 tahun. Syok kardiogenik pada infark miokard
kebanyakan terjadi pada infark miokard dengan elevasi segmen ST dibandingkan
dengan yang tanpa disertai elevasi segmen T. Syok adalah keadaan serius yang
tejadi jika sistem kardivaskuler tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh
dalam jumlah yang memadai. Syok berhubungan dengan tekanan darah rendah
dan kematian sel maupun jaringan.

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 1


1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari DKK ini di harapkan kami sebagai mahasiswa mampu
memahami dan menjelaskan definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi
dan prognosis dari:

a. Syok Hipovolemik
b. Syok Kardiogenik
c. Syok Sepsis dan
d. Resusitasi Jantung Paru (RJP)

1.3 Manfaat
Laporan ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa sebagai sumber referensi
mengenai Syok dan Resusitasi Jantung Paru (RJP). Dengan laporan ini,
diharapkan mahasiswa mampu memahami definisi, etiologi, klasifikasi, cara
penegakan diagnosis, pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan,
penatalaksanaan, prognosis, serta komplikasi dari syok baik syok hipovolemik,
syok kardiogenik maupun syok sepsis. Selain itu, juga mahasiswa mampu
memahami mengenai RJP dan indikasi serta pelaksanaanya.

BAB II

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 2


ISI

2.1 Skenario

Inikah sebab dan akibat feses seperti ter?

Seorang laki-laki berusia 58 tahun, diantar keluarganya ke praktek dokter


umum dengan keluhan muntah darah. Keluhan disertai BAB dengan feses seperti ter
sejak 2 hari yang lalu. Dari heteroanamnesis diketahui, pasien sering mengeluh nyeri
ulu hati dan nyeri sendi lutut sejak 6 bulan terakhir. Empat bulan terakhir, pasien
mengkonsumsi obat rematik piroxicam dalam sehari bisa 1-2 kali. Pasien mempunyai
riwayat hipertensi, terakhir diperiksa di mantri tekanan darah pasien adalah 160/90
mmHg dan pasien tidak teratur minum obat antihipertensi. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum tampak sesak, kesadaran apatis, konjungtiva anemis, tanda
vital tekanan darah : 90/50 mmHg, denyut nadi 130x/menit, frekuensi napas 32
x/menit dan temperatur 38°C. Setelah dilakukan rehidrasi, ternyata pasien bertambah
sesak, gelisah, nadi menjadi cepat lemah, tekanan darah 70/palpasi. Tiba-tiba pasien
menjadi tidak sadar dan nadi tidak teraba.

2.2 Step 1 Identifikasi Istilah

1. Piroxicam : Anti inflamasi NSAID, merupakan obat lini kedua pada


arthritis, dengan waktu kerja 45 jam, diminum 1x/hari.
2. TD 70/palpasi : Sistol 70 mmHg sementara diastole tidak terukur namun
teraba.
3. Kesadaran apatis : kesadaran acuh tak acuh, GCS = 12-13
4. Feses Ter : Feses berwarna hitam, yang biasanya merupakan tanda dari
pendarahan saluran cerna atas, namun dapat pula dari saluran cerna bawah
dengan motilitas lambat.
5. Rehidrasi : Pengembalian cairan tubuh yang telah hilang akibat dehidrasi.

2.3 Step 2 Identifikasi Masalah

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 3


1. Apakah ada hubungan antara konsumsi Piroxicam dengan keluhan pasien?
2. Apakah hubungan keluhan dahulu pasien dengan keluhan yang dirasakannya
sekarang?
3. Apa hubungan antara hipertensi dengan keluhan pasien?
4. Apa hasil interpretasi pemeriksaan yang dilakukan pada pasien?
5. Apa hubungan usia dengan keluhan pasien?
6. Apa indikasi pelaksanaan rehidrasi ? Dan cairan apa saja yang dapat
diberikan?
7. Mengapa keadaan pasien justru memburuk setelah dilakukan rehidrasi ?
8. Penatalaksanaan apa yang dapat dilakukan atas penurunan kesadaran dan
henti nadi?
9. Apakah ada penatalaksanaan lain selain rehidrasi?
10. Apa diagnosis sementara pasien?

2.4 Step 3 Curah Pendapat


1. Piroxicam  NSAID  diserap lambung  > 1x / hari  merusak mukosa
GI  perforasi mukosa lambung dan usus
Harus dengan resep dokter dan merupakan obat lini kedua dalam pengobatan.
Piroxicam hanya memiliki batas 7-10 hari konsumsi. Obat yang dapat
menggantikan piroxicam adalah seperti celekoksib dan natrium diklofenak.
2. Nyeri sendi lutut  diberikan piroxicam sebagai anti nyeri  dapat merusak
mukosa GI  timbul ter sebagai manifestasi dari pendarahan GI.
Nyeri ulu hati  varises esophagus  pecah pembuluh darah  melena.
3. Hipertensi kronik  gangguan regulasi kronik pada tubuh  tidak teratur
minum obat
Penderita hipertensi kronik cenderung akan sangat turun tekanan darahanya
saat syok disbanding dengan penderita hipotensi kronik.
4. Usia > 45 tahun  rentan pendarahan GI tract
5. Interpretasi :
KU  Sesak  penurunan kadar O2 karena penurunan Hb
Apatis  penurunan Hb
TD 90/50 mmHg  hipotensi
Nadi 130 x/menit  takikardi  pemenuhan kebutuhan otak dan jantung
RR 32x/menit  takipneu
T 38 C  febris  pendarahan  inflamasi dikarenakan peningkatan bakteri
berlebih
6. Indikasi rehidrasi
RL : 20 mg/KgBB pada anak

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 4


NaCl : 1-2 L pada dewasa
Tujuan pemberian cairan adalah untuk menormalkan hemodinamik tubuh.
Bila volume plasma turun diberikan kristaloid atau koloid.
Bila albumin < 2L maka diberikan cairan koloid.
Bilah Hb < 10 mg/dL maka diberikan transfuse darah.
Setelahnya dapat dilakukan pemasangan kateter.
7. Henti jantung  RJP / DC Shock  adrenalin / dopamine.
8. Sudah terjawab.
9. Pemberian Infus  pemasangan oksigen  Periksa darah lengkap  EKG 
Pasang Kateter  Tranfusi darah  Endoskopi  Pemberian
medikamentosa.
10. Kemungkinan diagnose :
Syok hipovolemik berdasarkan adanya tanda hematemesis dan melena yang
merujuk kepada perdarahan saluran cerna bagian atas.
Syok Sepsis bedasarkan suhu tubuh yang tinggi 38 derajat celcius
Syok kardiogenik berdasaran adanya nyeri ulu hati yang dicurigai adanya
IMA.

2.5 Step 4 Strukturisasi Konsep

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 5


2.6 Step 5 Merumuskan Sasaran Pembelajaran

1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang definisi dan jenis-jenis syok.


2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang definisi, epidemiologi,
etiopatofisiologi, manifestasi klinik, diagnose, diagnose banding,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari Syok Hipovolemik.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang definisi, epidemiologi,
etiopatofisiologi, manifestasi klinik, diagnose, diagnose banding,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari Syok Sepsi.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang definisi, epidemiologi,
etiopatofisiologi, manifestasi klinik, diagnose, diagnose banding,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari Syok Kardiogenik.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Resusitasi Jantung dan Paru.

2.7 Step 6 Belajar Mandiri

Dalam step 6 ini, masing-masing dari kami melakukan proses belajar


mandiri untuk mengetahui lebih lanjut mengenai materi yang sedang kami bahas.
Adapun pedoman belajar mandiri kami adalah mencari informasi mengenai
jawaban-jawaban terhadap learning objectif atau sasaran pembelajaran yang telah
kami rumuskan bersama-sama. Hasil dari belajar mandiri tersebut disampaikan
pada diskusi kelompok kecil II (DKK II).

2.8 Step 7 Sintesis

1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang definisi dan jenis-jenis syok.

Definisi Syok secara umum

Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang
menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan akibat
gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian tentang fisiologi

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 6


keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya
pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan kondisi kegawatdaruratan
medik yang memerlukan penanganan yang cepat dan tepat, sehingga penting
untuk mengetahui penyebab, gejala, serta penanganan syok (Sudoyo, 2009).

Klasifikasi syok berdasarkan penyebabnya :

a. Perdarahan, muntah, diare hebat yang disertai dehidrasi menyebabkan


syok hipovolemik
b. Gagal jantung, edema paru menyebabkan syok kardogenik
c. Adanya aktivitas bakteri yang berlebihan yang masuk ke sirkulasi
menyebabkan syok sepsis
d. Gangguan tonus vasomotor yang tidak adekuat akan menyebabkan
syok neurogenik.
e. Renjatan anafilaktik menyebabkan syok anafilaktik.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang definisi, epidemiologi,


etiopatofisiologi, manifestasi klinik, diagnose, diagnose banding,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari Syok Hipovolemik.
a. Definisi
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistim sirkulasi akibat dari volume
darah di dalam pembuluh darah yang berkurang.

b. Etiologi
Hal ini dapat terjadi akibat perdarahan yang masif, kehilangan plasma
darah misalnya akibat trauma ataupun luka bakar yang parah. Berikut
merupakan berbagai macam penyebab syok hipovolemik (Wijaya, 2009).
1. Perdarahan
- Hematom subkapsular hati
- Aneurisma aorta pecah
- Perdarahan gastrointestinal
- Perlukaan berganda
2. Kehilangan plasma
- Luka bakar luas
- Pankreatitis

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 7


- Deskuamasi kulit
- Sindrom dumpling
3. Kehilangan cairan ekstraseluler
- Muntah
- Dehidrasi
- Diare
- Terapi diuretik yang sangat agresif
- Diabetes insipidus
- Insufisiensi adrenal

c. Patofisiologi
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata
dan menurunkan aliran balik ke jantung. Hal inilah yang akan
menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di
bawah normal akan menimbulkan serangkaian kejadian pada berbagai
macam organ (Wijaya, 2009).
1. Pada mikrosirkulasi, akan terjadi upaya untuk meningkatkan tekanan
sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak.
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha
untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang
cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit
dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk
pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi tetapi
kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan energi.
Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan
nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu
yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan
arterial rata-rata (mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga ≤60
mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di
semua organ akan terganggu (Wijaya, 2009).
2. Pada sistem neuroendokrin, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi
oleh baroreseptor dan kemoreseptor tubuh. Ini akan mengatur perfusi
(Wijaya, 2009).

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 8


3. Pada sistem kardiovaskuler, hipovolemia akan menyebabkan
penurunan pengisian ventrikel dan akhirnya akan menurunkan volume
sekuncup. Akan terjadi peningkatan frekuensi jantung yang mana hal
ini sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasann mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan curah jantung (Wijaya, 2009).
4. Pada sistem gastrointestinal, akan terjadi peningkatan absorbsi
endotoksin akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal.
Endotoksin tersebut dikeluarkan oleh bakteri gram negatif yang mati di
dalam usus. Hal ini akan memicu pelebaran pembuluh darah serta
meningkatkan metabolisme dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan
akhirnya akan menyebabkan depresi jantung (Wijaya, 2009).
5. Pada ginjal, akan terjadi komplikasi berupa gagal ginjal. Hal ini adalah
komplikasi dari kejadian syok dan hipoperfusi, namun frekuensinya
sebenarnya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti.
Yang banyak terjadi adalah nekrosis tubular akibat interaksi antara
syok, sepsis, dan pemberian obat yang nefrotoksis (misalnya
aminoglikosida dan media kontras angiografi). Secara fisiologi, ginjal
mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air. Pada
saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat
untuk mengurangi laju infiltrasi glomerulus, yang bersama-sama
dengan aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab terhadap
menurunnya produksi urin (Wijaya, 2009).

d. Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non
perdarahan serta perdarahan cukup sama. Namun ada sedikit perbedaan
dalam kecepatan timbulnya syok. Respons fisiologi yang normal adalah
mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki
volume darah dalam sirkulasi dengan efektif. Disini akan terjadi
peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps,

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 9


peningkatan hormon stres serta ekspansi besar guna pengisian volume
pembuluh darah dengan mengggunakan cairan interstisial, intraseluler dan
menurunkan produksi urin (Wijaya, 2009).
Hipovolemia ringan (≤20% volume darah) menimbulkan takikardia
ringan dengan sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda
yang sedang berbaring. Pada hipovolemia sedang (20-40% dari volume
darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia lebih jelas, meski
tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, namun dapat
ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia (Wijaya, 2009).
Pada hipovolemia berat maka gejala klasik syok akan muncul, tekanan
darah menurun drastis dan tak stabil walau posisi berbaring, takikardia
hebat, oliguria, agitasi atau bingung. Perfusi ke SSP dipertahankan dengan
baik sampai syok bertambah berat. Penurunan kesadaran adalah gejala
penting. Transisi dari syok hipovolemik ringan ke berat dapat terjadi
bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada pasien usia lanjut dan
yang memiliki penyakit berat dimana kematian mengancam. Dalam waktu
yang sangat pendek dari terjadinya kerusakan akibat syok maka dengan
resusitasi agresif dan cepat (Wijaya, 2009).

e. Penegakkan Diagnosis
Dokter harus mengarahkan diagnosis ke arah syok hipovolemik ketika
ditemukan tanda berupa 2 hal berikut (Wijaya, 2009).
1. Ketidakstabilan hemodinamik
2. Ditemukan adanya sumber perdarahan.
Diagnosis akan sulit bila perdarahan tak ditemukan dengan jelas
atau berada dalam traktus GIT atau hanya terjadi penurunan jumlah
plasma dalam darah. Setelah perdarahan biasanya hemoglobin dan
hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan kompensasi atau
terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal tidak
menjadi pegangan sebagai adanya perdarahan (Wijaya, 2009).

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 10


Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi, kehilangan
cairan bebas ditandai dengan hipernatremia. Temuan terhadap hal ini
semakin meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia (Wijaya, 2009).
Sebagai diagnosis banding, harus dibedakan syok akibat
hipovolemik dan akibat kardiogenik. Hal ini karena penatalaksaan yang
berbeda. Keduanya memang memiliki penurunan curah jantung dan
mekanisme kompensasi simpatis. Tetapi dengan ditemukan adanya tanda
syok kardiogenik seperti distensi vena jugularis, ronki dan gallop S3
maka semua dapat dibedakan (Wijaya, 2009).

f. Penatalaksanaan
Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus
dilakukan adalah menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi,
menjaga jalur pernapasan, dan memberikan resusitasi cairan dengan cepat
secara parenteral (melalui intravena atau cara lain yang memungkinkan
seperti pemasangan kateter CVP atau jalan intraarterial). Cairan yang
diberikan adalah garam isotonik yang ditetes dengan cepat (hati-hati
terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan garam seimbang
seperti RL dengan jarum infus yang terbesar. Pemberian 2-4 L dalam 20-
30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik
(Wijaya, 2009).
Untuk mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk
mengingkatkan tekanan pengisian ventrikel dapat dilakukan dengan
pemeriksaan tekanan baji paru dengan menggunakan kateter Swan Ganz.
Bila hemodinamik tetap tidak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan
cairan belum teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar Hb
≤10 g/dL perlu penggantian darah dengan transfusi. Jenis darah transfusi
tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang digunakan telah
menjalani tes cross match, bila sangat darurat maka dapat digunakan PRC
tipe darah yang sesuai atau O negatif (Wijaya, 2009).
Pada keadaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan,
dukungan inotropik dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 11


dipertimbangkan untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup
setelah volume darah dicukupi dahulu. Pemberian nalokson bolus 30
mcg/kgBB dalam 3-5 menit dilanjutkan 60 mcg/kgBB dalam 1 jam dalam
dextrose 5% dapat membantu meningkatkan MAP (Wijaya, 2009).
Selain resusitasi cairan, saluran pernapasan harus dijaga. Kebutuhan
oksigen pasien harus terpenuhi dan bila dibutuhkan intubasi dapat
dikerjakan. Kerusakan organ akhir jarang dibandingkan dengan syok
septik atau traumatik. Kerusakan organ dapat terjadi pada SSP, hati dan
ginjal dan gagal ginjal merupakan komplikasi yang penting pada syok
hipovolemik (Wijaya, 2009).

3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang definisi, epidemiologi,


etiopatofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, diagnose banding,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari Syok Kardiogenik.

Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian utama pada pasien


yang dirawat dengan infark miokard akut. Terapi reperfusi segera (primary
PCI) untuk kasus infark miokard akut menurunkan insidens syok kardiogenik
tersebut. Kejadian syok kardiogenik sebagai komplikasi infark miokard
menurun dari 20% pada tahun 1960an kemudian menetap ±8% selama 20
tahun. Syok kardiogenik pada infark miokard kebaryakan terjadi pada infark
miokard dengan elevasi segmen ST dibandingkan dengan yang tanpa disertai
elevasi segmen ST (Sudoyo, 2009).
Gagal ventrikel kiri terjadi pada hampir 80% dari syok kardiogenik
akibat infark miokard akut. Sedangkan sisanya adalah akibat regurgitasi mitral
berat yang akut, ruptur septum ventrikular, gagal jantung kanan predorninan
dan ruptur dinding atau tamponade (Sudoyo, 2009).
Penelitian menunjukkan strategi revaskularisasi dini menurunkan
mortalitas dalam 6 dan 12 bulan dan lebih superior dibandinekan terapi medis
agresif awal. Walaupun tindakan, percutaneus coronary intervention ( PCI )
dini atau coronary artery bypass graft surgery (CABG) bermanfaat, sekali
diagnosis syok ditegakkan, laju mortalitas tetap tinggi 30% walaupun

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 12


mendapat intervensi, dan separuh kematian terjadi dalam 48 jam pertama. Hal
ini mungkin disebabkan oleh kerusakan miokard luas yang ireversibel dan
kerusakan organ vital (Sudoyo, 2009).
Bukti baru menduga bahwa respons inflamasi sistemik. aktivasi
komplemen. pelepasan sitokin inflamasi, ekspresi inducible nitric oxide
synthase (iNOS) dan vasodilatasi yang tak adekuat mempunyai peran penting,
tidak hanya pada genesis syok tetapi juga outcome setelah syok (Sudoyo,
2009).

a. Definisi
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan
curah jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup,
dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena
disfungsi ventrikel kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi pada keadaan
dimana fungsi ventrikel kiri cukup baik. Hipotensi sistemik umumnya
menjadi dasar diagnosis. Nilai cut off untuk tekanan darah sistolik yang
sering dipakai adalah < 90 mmHg. Dengan menurunnya tekanan darah
sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang mengakibatkan
konstriksi arteri dan vena sistemik. Manifestasi klinis dapat ditemukan
tanda-tanda hipoperfusi sistemik mencakup perubahan status mental, kulit
dingin dan oliguria (Sudoyo, 2009). Syok kardiogenik didefinisikan
sebagai tekanan darah sistolik < 90 mmHg selama > 1 jam di mana :
a) Tak responsif dengan pemberian cairan saja.
b) Sekunder terhadap disfungsi jantung, atau,
c) Berkaitan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak < 2,2
l/menit per m2 dan tekanan baji kapiler paru > 18 mmHg.
Termasuk dipertimbangkan dalam definisi ini adalah :
a) Pasien dengan tekanan darah sistolik meningkat > 90 mmHg dalam 1
jam setelah pemberian obat inotropik, dan
b) Pasien yang meninggal dalam 1 jam hipotensi, tetapi memenuhi
kriteria lain syok kardiogenik (Sudoyo, 2009).
b. Epidemiologi

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 13


Penyebab syok kardiogenik yang terbanyak adalah infark miokard
akut, dimana terjadi kehilangan sejumlah besar miokardium akibat
terjadinya nekrosis. Insiden syok kardiogenik sebagai komplikasi sindrom
koroner akut bervariasi. Hal ini berhubungan dengan definisi syok
kardiogenik dan kriteria sindrom koroner akut yang dipakai sangat
beragam pada berbagai penelitian (Sudoyo, 2009).
Syok kardiogenik terjadi pada 2,9 % pasien angina pektoris tak stabil
dan 2,1% pasien IMA non elevasi ST. Median waktu perkernbangan
menjadi syok pada pasien ini adalah 76 jam dan 94 jam, di mana yang
tersering setelah 48 jam. Syok lebih sering dijumpai sebagai komplikasi
IMA dengan elevasi ST daripada tipe lain dari sindrom koroner akut. Pada
studi besar di negara maju, pasien IMA yang mendapat terapi trombolitik
tetap ditemukan kejadian syok kardiogenik yang berkisar antara 4,2%
sawpai 7,2%. Tingkat mortalitas masih tetap tinggi sampai saat ini,
berkisar antara 70-100% (Sudoyo, 2009).

c. Etiologi
Komplikasi mekanik akibat infark miokard akut dapat menyebabkan
terjadinya syok. Di antara komplikasi tersebut adalah : ruptur septal
ventrikel, ruptur atau disfungsi otot papilaris dan ruptur miokard yang
keseluruhan dapat mengakibatkan timbulnya syok kardiogenik tersebut.
Sedangkan infark ventrikel kanan tanpa disertai infark atau disfungsi
ventrikel kiri pun dapat menyebabkan terjadinya syok (Sudoyo, 2009).
Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya syok kardiogenik adalah
takiaritmia atau bradiaritmia yang rekuren. dimana biasanya terjadi akibat
disfungsi ventrikel kiri, dan dapat timbul bersamaan dengan aritmia
supraventrikular ataupun ventrikular (Sudoyo, 2009).
Syok kardiogenik iuga dapat timbul sebagai manifestasi tahap akhir
dari disfungsi miokard yang progresif, termasuk akibat penyakit jantung,
iskemia, maupun kardiomiopati hipertrofik dan restriktif (Sudoyo, 2009).
Picard MH et al, melaporkan, abnormialitas struktural dan fungsional
jantung dalam rentang lebar ditemukan pada pasien syok kardiogenik akut.

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 14


Mortalitas jangka pendek dan jangka panjang dikaitkan dengan fungsi
sistolik ventrikel kiri awal dan regurgitasi mitral yang dinilai dengan
ekokardiogafi, dan tampak manfaat revaskularisasi dini tanpa dipengaruhi
nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri pada awal (baseline) atau adanya
regurgitasi mitral (Sudoyo, 2009).

d. Patofisiologi
Paradigma lama patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah
depresi kontraktilitas miokard yang mengakibatkan lingkaran setan
penurunan curah jantung, tekanan darah rendah, insuflsiensi koroner, dan
selanjutnya terjadi penurunan kontaktilitas dan curah jantung. Paradigma
klasik memprediksi bahwa vasokonstriksi sistemik berkompensasi dengan
peningkatan resistensi vaskular sistemik yang terjadi sebagai respons dari
penurunan curah jantung (Sudoyo, 2009).
Penelitian menunjukkan adanya pelepasan sitokin setelah infark
miokard. Pada pasien pasca IM, diduga terdapat aktivasi sitokin inflamasi
yang mengakibatkan peningkatan kadar iNOS, NO dan peroksinitrit,
dimana semuanya mempunyai efek buruk multipel antara lain:
1. Inhibisi langsung kontraktilitas miokard
2. Supresi respirasi mitokondria pada miokard non iskemik
3. Efek terhadap metabolisms glukosa
4. Efek proinflamasi
5. Penurunan responsivisitas katekolamin
6. Merangsang vasodilatasi sistemik
Sindrom respons inflamasi sistemik ditemukan pada sejumlah keadaan
non infeksi, antara lain trauma, pintas kardiopulmoner, pankreatitis dan
luka bakar. Pasien dengan infark miokard (1M) luas sering mengalami
peningkatan suhu tubuh, sel darah putih. komplemen, interleukin. C-
reactive protein dan petanda inflarnasi lain. NO yang disintesis dalam
kadar rendah oleh endothelial nitric oxide (eNOS) sel endotel dan
miokard. merupakan molekul yang bersifat kardioprotektif (Sudoyo,
2009).

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 15


e. Manifestasi Klinis
Anamnesis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbuinva syok
kardiogenik tersebut. Pasien dengan infark miokard akut datang dengan
keluhan tipikal nyeri dada yang akut, dan kemungkinan sudah mempunyai
riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya (Sudoyo, 2009).
Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard
akut. biasanya terjadi dalam beberapa hari sampai ,seminggu setelah onset
infark tersebut. Umurnnya pasien nienge1uh nyeri dada dan biasanya
disertai gejala tiba-tiba yang menunjakkan adanya edema paru akut atau
bahkan henti jantung (Sudoyo, 2009).
Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi, presinkop.
sinkop atau merasakan irama jantung vang berhenti seienak. Kemudian
pasien akan merasakan letargi akibat berkurangnya perfusi ke sistem saraf
pusat (Sudoyo, 2009).

Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan tekanan darah
sistolik yang menurun sampai < 90 mmHg. bahkan dapat turun sampai <
80 mmHg pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan adekuat.
Denyut jantung, biasanya cenderung meningkat sebagai akibat stimulasi
simpatis, demikian pula dengan frekuensi pernapasan yang biasanya
meningkat sebagai akibat kongesti di paru (Sudoyo, 2009).
Pemeriksaan dada akan menunjukkan adanya ronki. Pasien dengan
infark ventrikel, kanan atau pasien dengan keadaan hipovolemik yang
menurut studi sangat kecil kemungkina menyebabkan kongesti di paru
(Sudoyo, 2009).
Sistem kardiovaskular yang dapat dievaluasi seperti vena-vena di leher
seringkali meningkat distensinya. Letak impuls apikal dapat bergeser pada
pasien dengan kardiormiopati dilatasi, dan intensitas bunyi jantung akan
jauh menurun pada efusi perikardial ataupun tamponade. Irama gallop
dapat timbul yang menunjukkan adanya disfungsi ventrikel kiri yang

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 16


bermakna. Sedangkan regurgitasi mitral atau defek septa ventrikel, bunyi
bising atau murmur yang, timbul akan sangat membantu dokter pemeriksa
untuk menentukan kelainan atau komplikasi mekanik yang ada (Sudoyo,
2009).
Pasien dengan gagal jantung kanan yang bermakna akan menunjukkan
beberapa tanda-tanda antara lain : pembesaran hati, pulsasi di liver akibat
regurgitasi trikuspid atau terjadinya asites akibat gagal jantung kanan vane
sulit untuk diatasi. Pulsasi arteri di ekstremitas perifer akan menurun
intensitasnya dan edema perifer dapat timbul pada gagal jantung kanan.
Sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin. Menunjukkan terjadinya
penurunan perfusi ke jaringan (Sudoyo, 2009).

Pemeriksaan Penunjang
a) Elektrokardiografi (EKG) : Gambaran rekaman elektrokardiografi

dapat membantu untuk menentukan etiologi dari syok kardiogenik.


MisaInya pada infark miokard akut akan terlihat gambarannya dari
rekaman tersebut. Demikian pula bila lokasi infark terjadi pada
ventrikel kanan maka akan terlihat proses di sandapan jantung sebelah
kanan (misalnya elevasi ST di sandapan V4R). Begitu pula bila
gangguan iarna atau aritmia sebagai etiologi terjadinya syok
kardiogenik. maka dapat dilihat melalui rekaman aktivitas listrik
jantung tersebut (Sudoyo, 2009).
b) Foto Roentgen Dada : Pada foto polos dada akan terlihat kardiornegali
dan tanda-tanda kongesti paru atau edema paru pada gagal ventrikel
kiri yang berat. Bila terjadi komplikasi defek septal ventrikel atau
regurgitasi mitral akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran
kongesti paru yang tidak disertai kardiornegali. terutama pada onset
infark yang pertama kali. Gambaran kongesti paru menunjukkan kecil
kemungkinan terdapat gagal ventrikel kanan yang dominan atau
keadaan hipovolemia (Sudoyo, 2009).
c) Ekokardiografi : Modalitas pemeriksaan yang non-invasif ini sangat

banyak membantu dalam membuat diagnosis dan mencari etiologi dari

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 17


syok kardicgenik. Pemeriksaan ini relatif cepat. aman dan dapat
dilakukan secara langsung di tempat tidur pasien (bedside).
Keterangan yang diharapkan dapat diperoleh dari pemeriksaan ini
antara lain : penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri (global mauptin
segmental). Fungsi katupkatup jantung (stenosis atau regurgitasi),
tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt (misalnya pada
defek septal ventrikel dengan shunt dari kiri ke kanan), efusi
perikardial atau tamponade (Sudoyo, 2009).
d) Pemantanan Hemodinamik : Penggunaan kateter Swan-Ganz untuk
mengukur tekanan alien pulmonal dan tekanan baji Pembuluh kapiler
paru sangat berguna. Khususnya untuk memastikan diagnosis dan
etiologi syok kardiogenik. serta sebagai indikator evaluasi terapi yang
diberikan. Pasien syok kardiogenik akibat gagal ventrikel kiri yang
berat. akan terjadi peningkatan tekanan baji paru. BiIa pada
pengukuran ditemukan tekanan baji pembuluh darah paru lebih dari
18 mmHg pada pasien infark miokard menunjukkan bahwa volume
intravaskular pasien tersebut cukup adekuat. Pasien dengan gagal
ventrikel kanan atau hipovolemia yang signifikan, akan menunjukkan
tekanan baji pembuluh paru yang normal atau lebih rendah.
Pemantauan parameter hemodinarnik juga membutuhkan perhitungan
afterload (resistensi vaskular sistemik). Minimalisasi Afterload sangat
diperhikan. karena bila terjadi peningkatan afterload akan
meninibulkan efek penurunan kontraktilitas yang akan mennghasilkan
penurunan curah jantung (Sudoyo, 2009).
e) Saturasi Oksigen : Pemantauan saturasi oksigen sangat bermanfaat dan
dapat dilakukan pada saat pemasangan kateter Swan-Ganz, yang juga
dapat mendeteksi adanya defek septal ventrikel. Bila terdapat pintas
darah yang kaya oksigen dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan maka
akan teriadi saturasi oksigen yang step-up bila dibandingkan dengan
saturasi oksigen vena dari vena cava dan arteri pulmonal (Sudoyo,
2009).

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 18


Penatalaksanaan

Mengoptimalkan volume pengisian ventrikel kiri dan tanpa ada


bendungan paru, diberikan cairan minimal 250 ml dalam 10 menit.
Penting untuk oksigenasi adekuat, intubasi atau ventilasi harus dilakukan
segera jika ditemukan abnormalitas difusi oksigen. Melakukan
pencegahan hipotensi dengan pemberian ventilasi mekanis (Sudoyo,
2009).

Langkah Penatalaksanaan Syok Kardiogenik

Tindakan resusitasi segera


Tujuannya untuk mencegah kerusakan organ ketika pasien dibawa
untuk terapi definitive. Mempertahankan MAP yang adekuat untuk
mencegah sekuele neurologi dan ginjal maka harus diberikan Dopamin
atau noradrenalin (norepinefrin) secepatnya. Intra-aortic balloon
counterpulsation (IABP) harus dikerjakan sebelum transportasi jika
fasilitas tersedia. EKG harus dimonitor secara terus menerus dan
peralatan defibrillator, obat antiaritmia amiodaron dan lidokain harus
tersedia (Sudoyo, 2009).
Pada syok kardiogenik karena infark miokard non elevasi ST yang
menunggu kateterisasi, inhibitor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan
(Sudoyo, 2009).
a) Menentukan secara dini anatomi coroner
Merupakan langkah penting dalam penatalaksanaan syok kardiogenik
yang berasal dari kegagalan pompa iskemik yang predominan. Syok
mempunyai ciri penyakit 2pembuluh darah yang tinggi, penyakit left
main dan penurunan fungsi ventrikel kiri (Sudoyo, 2009).

b) Melakukan revaskularisasi Dini

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 19


Ketika anatomi koroner telah ditentukan harus diikuti dengan
modalitas terapi secepatnya (Sudoyo, 2009).

4. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang definisi, epidemiologi,


etiopatofisiologi, manifestasi klinik, diagnose, diagnose banding,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari Syok Sepsis.
a. Definisi
Systemic inflammatory response syndrome adalah pasien yang
memiliki dua atau lebih dari kriteria berikut:

1. Suhu > 38°C atau < 36°C


2. Denyut jantung >90 denyut/menit
3. Respirasi >20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur (Sudoyo, 2009)
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun
SIRS, sepsis dan syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi
bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia (Sudoyo, 2009).
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ,
kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi:
1. Asidosis laktat
2. Oliguria
3. Atau perubahan akut pada status mental
Terdapat beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, diantaranya
memasukkan pertanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-
reactive protein, sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis.
(Hermawan, 2007).
Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang
menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga
mengganggu metabolisme sel/jaringan. Syok septik merupakan keadaan
dimana terjadi penurunan tekanan darah (sistolik < 90mmHg atau
penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg) disertai tanda kegagalan
sirkulasi, meski telah dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 20


vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ
(Chen dan Pohan, 2007).

b. Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan
penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan
komponen terluar dari bakteri gram negatif. LPS merupakan penyebab
sepsis terbanyak, dapat langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan
humoral, yang dapat menimbulkan gejala septikemia. LPS tidak toksik,
namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung
jawab terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat juga
menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan
yang merupakan komponen dinding sel dair semua kuman, dapat
menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas
membran sel imun secara langsung (Hermawan, 2007).
c. Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai
sitokin. Sitokin proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis
sepsis. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-
γ) yang membantu sel menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi.
Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1 reseptor antagonis
(IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi
ketidakseimbangan kerja sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi, maka
menimbulkan kerugian bagi tubuh (Hermawan, 2007).
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama
membentuk LPSab (Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum
penderita kemudian dengan perantara reseptor CD14+ akan bereaksi
dengan makrofag, dan kemudian makrofag mengekspresikan
imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi adalah

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 21


bakteri gram negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya (Hermawan,
2007).
Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah
difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen
Presenting Cell (APC), kemudian ditampilkan dalam APC. Antigen ini
membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major
Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada
peptida MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan
Th2) dengan perantaraan TCR (T cell receptor) (Hermawan, 2007).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang
berfungsi sebagai immunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2 dan M-CSF
(Macrophage Colony stimulating factor). Limfosit Th2 akan
mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ merangsang
makrofag mengeluarkan IL-1β dan TNF-α. IFN-γ, IL-1β dan TNF-α
merupakan sitokin proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar
IL-1β dan TNF-α dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF-α selain
merupakan reaksi sepsis, dapat merusakkan endotel pembuluh darah, yang
mekanismenya sampai saat ini belum jelas. IL-1β sebagai imunoregulator
utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk pembentukan
prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresiintercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil
yang telah tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating
factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil
dengan endotel terdiri dari 3 langkah, yaitu:
a) Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel
dan L-selektin neutrofil dala mengikat ligan respektif
b) Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil
yang mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan
neutrofil pada endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan
oleh endotel
c) Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 22


Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme
yang melisiskan dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil
juga termasuk radikal bebas yang mempengaruhi oksigenasi pada
mitokondria dan siklus GMPs, sehingga akibatnya endotel menjadi
nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan vascular
leak, sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel. Pendapat lain
yang memperkuat pendapat tersebut bahwa kelainan organ multipel
disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil
sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian (Hermawan,
2007).
Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2
mengekspresikan IL-10 sebagai sitokin antiinflamasi yang akan
menghambat ekspresi IFN-γ, TNF-α dan fungsi APC. IL-10 juga
memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-10
meningkat lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada
sepsis dapat dicegah (Hermawan, 2007).

d. Patofisiologi Syok Septik


Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses
inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin,
neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi
pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana terjadi keseimbangan
antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi melebihi
kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif,
sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian
menimbulkan gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai organ (Chen
dan Pohan, 2007).
Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang
menyebabkan maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi
jaringan dan syok. Pengaruh mediator juga menyebabkan disfungsi

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 23


miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung (Chen dan Pohan,
2007).
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai
organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF).
Proses MOF merupakan kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi
endotel), gangguan perfusi jaringan, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus.
Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya
faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance),
malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada
eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Chen dan Pohan,
2007).

e. Gejala Klinis Sepsis


Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala
konsitutif seperti lemah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat
infeksi yang paling sering: paru, tractus digestivus, tractus urinarius, kulit,
jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis akan menjadi lebih berat
pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama,
dan pasien dengan granulositopenia (Hermawan, 2007).

Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:


1. Sindrom distress pernapasan pada dewasa
2. Koagulasi intravaskular
3. Gagal ginjal akut
4. Perdarahan usus
5. Gagal hati
6. Disfungsi sistem saraf pusat
7. Gagal jantung
8. Kematian.(Hermawan, 2007).

f. Diagnosis

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 24


Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial,
dan apakah pasien immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis
meliputi:
a) Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau
instrumentasi
b) Hipotensi, oliguria, atau anuria
c) Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas
d) Perdarahan

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab
infeksi dan inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis,
dilakukan pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital.

Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran
koagulasi, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar
asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada.
Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus
dilakukan (Hermawan, 2007).
Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya
hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Penderita diabetes
dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat (Hermawan,
2007).
Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu
trombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang
menunjukkan DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan.
Aminotransferase meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi
akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik terjadi setelah alkalosis
respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis
yang memperburuk hipotensi (Hermawan, 2007).

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 25


g. Penatalaksanaan
Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:
1. Stabilisasi pasien langsung
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU.
Tanda vital pasien harus dipantau. Pertahankan curah jantung dan
ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk
membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien
hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan
norepinefrin (Hermawan, 2007).
2. Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme
Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang
jika diberikan secara dini dapat menurunkan perkembangan syok dan
angka mortalitas. Setelah sampel didapatkan dari pasien, diperlukan
regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas. Bila telah
ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan
agen penyebab sepsis tersebut (Hermawan, 2007).
Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik
yang kuat, misalnya antara golongan penisilin/penicillinase—resistant
penicillin dengan gentamisin (Hermawan, 2007).
A. Golongan penicillin
 Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua dosis
 Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari

B. Golongan penicillinase—resistant penicillin


 Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 4×1 gram/hari iv selama 7-
10 hari sering dikombinasikan dengan ampisilin), dalam hal ini
masing-masing dosis obat diturunkan setengahnya, atau
menggunakan preparat kombinasi yang sudah ada (Ampiclox 4
x 1 gram/hari iv).
 Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari.

C. Gentamycin

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 26


Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7 hari,
hati-hati terhadap efek nefrotoksiknya.
Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan
disesuaikan. Beberapa bakteri gram negatif yang sering menyebabkan
sepsis dan antibiotik yang dianjurkan:
Bakteri Antibiotik Dosis

Escherichia Ampisilin/sefalotin - Sefalotin: 1-2 gram tiap 4-6 jam,


coli biasanya dilarutkan dalam 50-100

Klebsiella, Gentamisin ml cairan, diberikan per drip dalam

Enterobacter 20-30 menit untuk menghindari


flebitis.
Proteus Ampisilin/sefalotin
mirabilis - Kloramfenikol: 6 x 0,5 g/hari iv

Pr. rettgeri, Pr. Gentamisin - Klindamisin: 4 x 0,5 g/hari iv


morgagni, Pr.
Vulgaris

Mima-Herellea Gentamisin

Pseudomonas Gentamisin

Bacteroides Kloramfenikol/klin
damisin

3. Fokus infeksi awal harus diobati


Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk
infeksi anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong
jaringan yang gangren (Hermawan, 2007).

h. Penatalaksanaan Syok Septik

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 27


Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan
resusitasi yang perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan
secara intensif dalam 6 jam pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit
gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing; b) circulation; c)
oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila
diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan
untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri
rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam (Chen
dan Pohan, 2007).
a) Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai
akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan
ventilasi maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat
terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard
menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang
rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oleh eritrosit
menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh
gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan
gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia
(Chen dan Pohan, 2007).
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya
meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor
oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan (Chen dan
Pohan, 2007).
b) Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan
pemberian cairan baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang
diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun
berlebih. Secara klinis respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat
dari peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi jantung,

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 28


kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan
membaiknya penurunan kesadaran. Perlu diperhatikan tanda kelebihan
cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular, ronki, gallop S3, dan
penurunan saturasi oksigen (Chen dan Pohan, 2007).
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai
tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin
perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada
keadaan perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan
tertentu misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb
yang akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl (Chen dan
Pohan, 2007).
c) Vasopresor dan inotropik
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik
teratasi dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih
mengalami hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah
secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90
mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8
mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8
mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang
dapat digunakan adalah dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin
3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor
fosfodiesterase (amrinon dan milrinon) (Chen dan Pohan, 2007).
d) Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau
serum bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki
keadaan hemodinamik (Chen dan Pohan, 2007)..
e) Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration).
Pada hemodialisis digunakan gradien tekanan osmotik dalam filtrasi
substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan gradien
tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan,

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 29


sedangkan bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis (Chen
dan Pohan, 2007)..
f) Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam
lemak, cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin,
diutamakan pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan
beru diberikan secara parenteral (Chen dan Pohan, 2007)..
g) Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi
insufisiensi adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan
keadaan tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus intravena 4
kali selama 7 hari pada pasien renjatan septik menunjukkan penurunan
mortalitas dibanding kontrol (Chen dan Pohan, 2007).

5. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Resusitasi Jantung dan Paru.

Dalam 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary


Resucitation and Emergency Cardiovascular Care. AHA menekankan fokus
bantuan hidup dasar pada :

1. Pengenalan segera pada henti jantung yang terjadi tiba-tiba


2. Aktivasi sistem respon gawat darurat
3. Resusitasi jantung paru sedini mungkin
4. Segera defibrilasi jika diindikasikan

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 30


Dalam AHA Guidelines 2010 ini, AHA mengatur ulang langkah-langkah RJP
dari “A-B-C” menjadi :C-A-B” pada dewasa maupun anak, sehingga
memungkinkan setiap penolong memulai kompresi dada dengan segera.

Pedoman ini juga berisi rekomendasi lain yang didasarkan pada bukti yang
telah dipublikasikan yaitu :

1. Pengenalan segera henti jantung tiba-tiba didasarkan pada


pemeriksaan kondisi unresponsive dan tidak adanya napas normal
(tidak bernapas atau hanya terengah-engah). Penolong tidak boleh

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 31


menghabiskan waktu lebih dari 10 detik untuk melakukan
pemeriksaan nadi. Jika nadi tidak dapat dipastikan dalam 10 detik,
maka dianggap tidak ada nadi maka resusitasi harus dimulai atau
memakai defibrillator jika ada.
2. Perubahan pada RJP ini berlaku pada korban dewasa, anak dan bayi
tapi tidak pada bayi baru lahir
3. “look, listen and feel” telah dihilangkan dari algoritme bantuan hidup
dasar
4. Jumlah kompresi dada setidaknya 100 kali per menit
5. Penolong terus melakukan RJP hingga terjadi return of spontaneous
circulation
6. Kedalaman kompresi untuk sedikitnya 2 inchi (5 cm)
7. Peningkatan fokus untuk memastikan bahwa RJP diberikan dengan
kualitas yang bagus didasarkan pada :
- Kecepatan dan kedalaman kompresi diberikan dengan adekuat dan
memungkinkan full chest recoil antara kompresi
- Meminimalkan interupsi saat memberikan kompresi dada
- Menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 32


Tujuan dari bantuan hidup dasar adalah :

1. Mencegah berhentinya sirkulasi darah atau berhentinya pernapasan


2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi (melalui kompresi dada) dan
ventilasi (melalui bantuan napas penolong) dari pasien yang mengalami henti
jantung atau henti napas melalui rangkaian kegiatan RJP

Rangkaian Bantuan Hidup Dasar

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 33


Rangkaian bantuan hidup dasar adalah dinamis, namun sebaiknya tidak ada langkah
yang terlewatkan untuk hasil yang optimal.

1. Repsons
Pastikan situasi dan keadaan pasien dengan memanggil nama atau sebutan
yang umum dengan keras disertai menyentuh atau menggoyangkan bahu dengan
mantap. Prosedur ini disebut sabagai teknik “touch and talk”. Hal ini cukup untuk
membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk bereaksi. Jika tidak
ada respon kemungkinan pasien tidak sadar.
Jika pasien berespon
Tinggalkan pada posisi dimana ditemukan dan hindari kemungkinan resiko
cedera lain yang bisa terjadi. Analisa kebutuhan tim gawat darurat.
- Jika sendirian, tinggalkan pasien sementara, minta bantuan
- Observasi dan kaji ulang secara regular
Jika pasien tidak berespon
- Berteriak minta tolong
- Atur posisi pasien. Sebaiknya pasien terlentang pada permukaan keras dan
rata. Jika ditemukan tidak dalam posisi terlentang, maka terlentangkan
pasien dengan teknik “log roll” secara bersamaan kepala, leher, dan
punggung digulirkan.
- Atur posisi penolong. Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar secara
efektif dapat memberikan RJP
- Cek nadi karotis. AHA 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis
sebagai mekanisme untuk menilai henti jantung karena penolong sering
mengalami kesulitan mendeteksi nadi. Jika dalam lebih dari 10 detik nadi
karotis sulit dideteksi, kompresi dada harus dimulai.
Anggap cardiac arrest jika pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak bernapas atau
bernapas tapi tidak normal (hanya terengah-engah)

2. Sirkulasi
AHA 2010 merekomendasikan :
- Kompresi dada dilakukan cepat dan dalam
- Kecepatan adekuat setidaknya 100 kali/menit
- Kedalaman adekuat
 Dewasa : 2 inchi (5 cm), rasio 30:2

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 34


 Anak :1/3 AP (±5cm), rasio 30:2 dan 15:2
 Bayi : 1/3 AP (±4 cm), rasio 30:2 dan 15:2
- Memungkinkan terjadinya complete chest recoil atau
pengembangan dada seperti semula setelah kompresi, sehingga
kompresi dada sama dengan waktu pengembangan
Bila tidak ada nadi

- Mulai lakukan siklus 30 kompresi dan 2 ventilasi


1. Lutut berada di sisi bahu korban
2. Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpu pad kedua tangan
3. Letakkan salah satu tumit telapak tangan pada ½ sternum diantara
2 puting susu dan telapak tangan lainnya di atas tangan pertama
dengan jari saling bertaut atau dua jari pada bayi ditengah dada
4. Tekan dada lurus ke bawah dengan kecepatan setidaknya
100x/menit
3. Jalan napas
Pastikan jalan napas terbuka dan bersih yang memungkinkan pasien dapat
bernapas
Bersihkan jalan napas
- Amati suara napas dengan pergerakan dinding dada
- Cek dan bersihkan dengan menyisir rongga mulut dengan jari, bisa
dilapisi dengan kasa untuk menyerap cairan.
- Dilakukan dengan cara jari silang untuk membuka mulut.

Membuka jalan napas

 Secara perlahan angkat dahi dan dagu pasien untuk membuka jalan napas
- Head Tilt & Chin Lift
a. Baringkan korban terletang pada permukaan datar dan keras
b. Meletakkan telapak tangan pada dahi pasien
c. Menekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan
d. Meletakkan ujung jari telunjuk dan jari tengah dari tangan lainnya di
bawah bagian ujung tulang rahang pasien
e. Menengadahkan kepala dan menahan/menekan dahi pasien secara
bersamaan sampai kepala pasien pada posisi ekstensi
- Jaw Trust
a. Baringkan korban terlentang pada permukaan datar dan keras

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 35


b. Mendorong ramus vertical mandibula kiri dan kanan ke depan sehingga
barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas, atau
c. Menggunakan ibu jari masuk ke dalam mulut korban dan bersama dengan
jari-jari lain menarik dagu korban ke depan, sehingga otot-otot penahan
lidah teregang dan terangkat.
d. Mempertahankan posisi mulut pasien tetap terbuka
 Ambil benda apa saja yang terlihat
 Pada bayi, posisi kepala harus normal
 Cek tanda kehidupan : respon dan suara napas
 Jangan mendongakan dahi secara berlebihan
 AHA 2010 merekomendasikan untuk :
- Menggunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien
tanpa ada trauma kepala dan leher.
- Gunakan jaw trust jika suspek cedera servikal
- Pasien cedera servikal lebih diutamakan dilakukan restriksi manual
(menempatkan 1 tangan di setiap sisi kepala pasien) daripada menggunakan
spinal immobilization devices karena dapat mengganggu jalan napas tapi alat
ini bermanfaat mempertahankan kesejajaran spinal selama transportasi
Jalan napas bersih

- Pertahankan jalan napas terbuka dan cek adanya pernapasan normal


- Jika dalam beberapa menit terdengar suara gurgling atau batuk dengan pergerakan
dada dan abdomen, perlakukan seperti tidak bernapas karena pernapasan ini tidak
efektif
Jalan napas tersumbat

- Miringkan pasien ke salah satu sisi


- Keluarkan apa saja objek yang terlihat dalam mulut
4. Pernapasan
AHA 2010 merekomendasikan untuk :
1. Pemberian rescue breathing :
a. Pemberian sesuai tidal volume
b. Rasio kompresi ventilasi 30:2
c. Setelah alat intubasi terpasang pada 2 orang penolong : setelah pemberian
RJP, ventilasi diberikan tiap 8-10x/menit tanpa usaha sinkronisasi antara

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 36


kompresi dan ventilasi. Kompresi dada tidak dihentikan untuk pemberian
ventilasi
2. Tidak menekankan pemeriksaan breathing karena penolong baik professional
maupun awam mungkin tidak dapat menentukan secara akurat ada atau tidaknya
napas pada pasien tidak sadar karena jalan napas tidak terbuka atau karena pasien
occasional gasping yang dapat terjadi pada beberapa menit pertama setelah henti
jantung.

BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Kegawatdaruratan di bidang medis terutama yang menyangkut


Perdarahan dan Syok adalah salah satu tanda kegawatdaruratan yang cukup
banyak kasus yang terjadi khususnya yang mengenai usia lanjut namun tidak
menutup kemungkinan untuk terjadi pada bayi dan anak-anak semua
tergantung dati penyebab yang mendasari dari terjadinya perdarahan dan
syok itu sendiri. Banyaknya angka kematian yang terjadi dalam kasus
kegawatdaruratan ini antara lain disebabkan oleh beberapa kondisi antara
lain karena syok hipovolemik, syok kardiogenik maupun sepsis dimana
ujung terminal dari penyakit ini adalah kekurangan cairan maupun elektrolit
dalam tubuh sehingga menganggu aktivitas sel-sel, jaringan-jaringan bahkan
sampai menganggu fungsi organ tubuh khususnya kegagalan ginjal dan lain
sebainya. Klasifikasi penyakit-penyakit tersebut tergantung kepada
anamnesis, pemeriksaan dan tanda-tanda kegawatdaruratan yang didapatkan.
Pengenalan akan tanda-tanda kegawatdaruratan ini wajib diketahui dengan
cepat untuk menunjang proses penanganan yang cepat dan tepat karena

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 37


berhubungan dengan pemilihan resusitasi cairan yang tepat dan cepat untuk
mengembalikan fungsi tubuh selain diberikan penanganan farmako yang
bermanfaat untuk meningkatkan angka keberhasilan penanganan pasien
kegawatdaruratan khususnya syok.

1.2 Saran
Dengan memahami LO yang didapat, penulis menyarankan pembaca
dapat termotivasi untuk mendalami materi yang kami ulas, sehingga nantinya
saat diklinik atau rotasi klinik para mahasiswa dapat menerapkannya.
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi
diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan para pembaca yang membaca
laporan ini.

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman | 38

Anda mungkin juga menyukai