PENDAHULUAN
Adapun tujuan dari DKK ini di harapkan kami sebagai mahasiswa mampu
memahami dan menjelaskan definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi
dan prognosis dari:
a. Syok Hipovolemik
b. Syok Kardiogenik
c. Syok Sepsis dan
d. Resusitasi Jantung Paru (RJP)
1.3 Manfaat
Laporan ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa sebagai sumber referensi
mengenai Syok dan Resusitasi Jantung Paru (RJP). Dengan laporan ini,
diharapkan mahasiswa mampu memahami definisi, etiologi, klasifikasi, cara
penegakan diagnosis, pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan,
penatalaksanaan, prognosis, serta komplikasi dari syok baik syok hipovolemik,
syok kardiogenik maupun syok sepsis. Selain itu, juga mahasiswa mampu
memahami mengenai RJP dan indikasi serta pelaksanaanya.
BAB II
2.1 Skenario
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang
menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan akibat
gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian tentang fisiologi
b. Etiologi
Hal ini dapat terjadi akibat perdarahan yang masif, kehilangan plasma
darah misalnya akibat trauma ataupun luka bakar yang parah. Berikut
merupakan berbagai macam penyebab syok hipovolemik (Wijaya, 2009).
1. Perdarahan
- Hematom subkapsular hati
- Aneurisma aorta pecah
- Perdarahan gastrointestinal
- Perlukaan berganda
2. Kehilangan plasma
- Luka bakar luas
- Pankreatitis
c. Patofisiologi
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata
dan menurunkan aliran balik ke jantung. Hal inilah yang akan
menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di
bawah normal akan menimbulkan serangkaian kejadian pada berbagai
macam organ (Wijaya, 2009).
1. Pada mikrosirkulasi, akan terjadi upaya untuk meningkatkan tekanan
sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak.
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha
untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang
cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit
dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk
pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi tetapi
kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan energi.
Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan
nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu
yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan
arterial rata-rata (mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga ≤60
mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di
semua organ akan terganggu (Wijaya, 2009).
2. Pada sistem neuroendokrin, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi
oleh baroreseptor dan kemoreseptor tubuh. Ini akan mengatur perfusi
(Wijaya, 2009).
d. Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non
perdarahan serta perdarahan cukup sama. Namun ada sedikit perbedaan
dalam kecepatan timbulnya syok. Respons fisiologi yang normal adalah
mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki
volume darah dalam sirkulasi dengan efektif. Disini akan terjadi
peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps,
e. Penegakkan Diagnosis
Dokter harus mengarahkan diagnosis ke arah syok hipovolemik ketika
ditemukan tanda berupa 2 hal berikut (Wijaya, 2009).
1. Ketidakstabilan hemodinamik
2. Ditemukan adanya sumber perdarahan.
Diagnosis akan sulit bila perdarahan tak ditemukan dengan jelas
atau berada dalam traktus GIT atau hanya terjadi penurunan jumlah
plasma dalam darah. Setelah perdarahan biasanya hemoglobin dan
hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan kompensasi atau
terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal tidak
menjadi pegangan sebagai adanya perdarahan (Wijaya, 2009).
f. Penatalaksanaan
Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus
dilakukan adalah menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi,
menjaga jalur pernapasan, dan memberikan resusitasi cairan dengan cepat
secara parenteral (melalui intravena atau cara lain yang memungkinkan
seperti pemasangan kateter CVP atau jalan intraarterial). Cairan yang
diberikan adalah garam isotonik yang ditetes dengan cepat (hati-hati
terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan garam seimbang
seperti RL dengan jarum infus yang terbesar. Pemberian 2-4 L dalam 20-
30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik
(Wijaya, 2009).
Untuk mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk
mengingkatkan tekanan pengisian ventrikel dapat dilakukan dengan
pemeriksaan tekanan baji paru dengan menggunakan kateter Swan Ganz.
Bila hemodinamik tetap tidak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan
cairan belum teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar Hb
≤10 g/dL perlu penggantian darah dengan transfusi. Jenis darah transfusi
tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang digunakan telah
menjalani tes cross match, bila sangat darurat maka dapat digunakan PRC
tipe darah yang sesuai atau O negatif (Wijaya, 2009).
Pada keadaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan,
dukungan inotropik dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat
a. Definisi
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan
curah jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup,
dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena
disfungsi ventrikel kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi pada keadaan
dimana fungsi ventrikel kiri cukup baik. Hipotensi sistemik umumnya
menjadi dasar diagnosis. Nilai cut off untuk tekanan darah sistolik yang
sering dipakai adalah < 90 mmHg. Dengan menurunnya tekanan darah
sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang mengakibatkan
konstriksi arteri dan vena sistemik. Manifestasi klinis dapat ditemukan
tanda-tanda hipoperfusi sistemik mencakup perubahan status mental, kulit
dingin dan oliguria (Sudoyo, 2009). Syok kardiogenik didefinisikan
sebagai tekanan darah sistolik < 90 mmHg selama > 1 jam di mana :
a) Tak responsif dengan pemberian cairan saja.
b) Sekunder terhadap disfungsi jantung, atau,
c) Berkaitan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak < 2,2
l/menit per m2 dan tekanan baji kapiler paru > 18 mmHg.
Termasuk dipertimbangkan dalam definisi ini adalah :
a) Pasien dengan tekanan darah sistolik meningkat > 90 mmHg dalam 1
jam setelah pemberian obat inotropik, dan
b) Pasien yang meninggal dalam 1 jam hipotensi, tetapi memenuhi
kriteria lain syok kardiogenik (Sudoyo, 2009).
b. Epidemiologi
c. Etiologi
Komplikasi mekanik akibat infark miokard akut dapat menyebabkan
terjadinya syok. Di antara komplikasi tersebut adalah : ruptur septal
ventrikel, ruptur atau disfungsi otot papilaris dan ruptur miokard yang
keseluruhan dapat mengakibatkan timbulnya syok kardiogenik tersebut.
Sedangkan infark ventrikel kanan tanpa disertai infark atau disfungsi
ventrikel kiri pun dapat menyebabkan terjadinya syok (Sudoyo, 2009).
Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya syok kardiogenik adalah
takiaritmia atau bradiaritmia yang rekuren. dimana biasanya terjadi akibat
disfungsi ventrikel kiri, dan dapat timbul bersamaan dengan aritmia
supraventrikular ataupun ventrikular (Sudoyo, 2009).
Syok kardiogenik iuga dapat timbul sebagai manifestasi tahap akhir
dari disfungsi miokard yang progresif, termasuk akibat penyakit jantung,
iskemia, maupun kardiomiopati hipertrofik dan restriktif (Sudoyo, 2009).
Picard MH et al, melaporkan, abnormialitas struktural dan fungsional
jantung dalam rentang lebar ditemukan pada pasien syok kardiogenik akut.
d. Patofisiologi
Paradigma lama patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah
depresi kontraktilitas miokard yang mengakibatkan lingkaran setan
penurunan curah jantung, tekanan darah rendah, insuflsiensi koroner, dan
selanjutnya terjadi penurunan kontaktilitas dan curah jantung. Paradigma
klasik memprediksi bahwa vasokonstriksi sistemik berkompensasi dengan
peningkatan resistensi vaskular sistemik yang terjadi sebagai respons dari
penurunan curah jantung (Sudoyo, 2009).
Penelitian menunjukkan adanya pelepasan sitokin setelah infark
miokard. Pada pasien pasca IM, diduga terdapat aktivasi sitokin inflamasi
yang mengakibatkan peningkatan kadar iNOS, NO dan peroksinitrit,
dimana semuanya mempunyai efek buruk multipel antara lain:
1. Inhibisi langsung kontraktilitas miokard
2. Supresi respirasi mitokondria pada miokard non iskemik
3. Efek terhadap metabolisms glukosa
4. Efek proinflamasi
5. Penurunan responsivisitas katekolamin
6. Merangsang vasodilatasi sistemik
Sindrom respons inflamasi sistemik ditemukan pada sejumlah keadaan
non infeksi, antara lain trauma, pintas kardiopulmoner, pankreatitis dan
luka bakar. Pasien dengan infark miokard (1M) luas sering mengalami
peningkatan suhu tubuh, sel darah putih. komplemen, interleukin. C-
reactive protein dan petanda inflarnasi lain. NO yang disintesis dalam
kadar rendah oleh endothelial nitric oxide (eNOS) sel endotel dan
miokard. merupakan molekul yang bersifat kardioprotektif (Sudoyo,
2009).
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan tekanan darah
sistolik yang menurun sampai < 90 mmHg. bahkan dapat turun sampai <
80 mmHg pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan adekuat.
Denyut jantung, biasanya cenderung meningkat sebagai akibat stimulasi
simpatis, demikian pula dengan frekuensi pernapasan yang biasanya
meningkat sebagai akibat kongesti di paru (Sudoyo, 2009).
Pemeriksaan dada akan menunjukkan adanya ronki. Pasien dengan
infark ventrikel, kanan atau pasien dengan keadaan hipovolemik yang
menurut studi sangat kecil kemungkina menyebabkan kongesti di paru
(Sudoyo, 2009).
Sistem kardiovaskular yang dapat dievaluasi seperti vena-vena di leher
seringkali meningkat distensinya. Letak impuls apikal dapat bergeser pada
pasien dengan kardiormiopati dilatasi, dan intensitas bunyi jantung akan
jauh menurun pada efusi perikardial ataupun tamponade. Irama gallop
dapat timbul yang menunjukkan adanya disfungsi ventrikel kiri yang
Pemeriksaan Penunjang
a) Elektrokardiografi (EKG) : Gambaran rekaman elektrokardiografi
b. Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan
penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan
komponen terluar dari bakteri gram negatif. LPS merupakan penyebab
sepsis terbanyak, dapat langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan
humoral, yang dapat menimbulkan gejala septikemia. LPS tidak toksik,
namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung
jawab terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat juga
menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan
yang merupakan komponen dinding sel dair semua kuman, dapat
menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas
membran sel imun secara langsung (Hermawan, 2007).
c. Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai
sitokin. Sitokin proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis
sepsis. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-
γ) yang membantu sel menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi.
Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1 reseptor antagonis
(IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi
ketidakseimbangan kerja sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi, maka
menimbulkan kerugian bagi tubuh (Hermawan, 2007).
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama
membentuk LPSab (Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum
penderita kemudian dengan perantara reseptor CD14+ akan bereaksi
dengan makrofag, dan kemudian makrofag mengekspresikan
imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi adalah
f. Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab
infeksi dan inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis,
dilakukan pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital.
Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran
koagulasi, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar
asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada.
Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus
dilakukan (Hermawan, 2007).
Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya
hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Penderita diabetes
dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat (Hermawan,
2007).
Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu
trombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang
menunjukkan DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan.
Aminotransferase meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi
akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik terjadi setelah alkalosis
respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis
yang memperburuk hipotensi (Hermawan, 2007).
C. Gentamycin
Mima-Herellea Gentamisin
Pseudomonas Gentamisin
Bacteroides Kloramfenikol/klin
damisin
Pedoman ini juga berisi rekomendasi lain yang didasarkan pada bukti yang
telah dipublikasikan yaitu :
1. Repsons
Pastikan situasi dan keadaan pasien dengan memanggil nama atau sebutan
yang umum dengan keras disertai menyentuh atau menggoyangkan bahu dengan
mantap. Prosedur ini disebut sabagai teknik “touch and talk”. Hal ini cukup untuk
membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk bereaksi. Jika tidak
ada respon kemungkinan pasien tidak sadar.
Jika pasien berespon
Tinggalkan pada posisi dimana ditemukan dan hindari kemungkinan resiko
cedera lain yang bisa terjadi. Analisa kebutuhan tim gawat darurat.
- Jika sendirian, tinggalkan pasien sementara, minta bantuan
- Observasi dan kaji ulang secara regular
Jika pasien tidak berespon
- Berteriak minta tolong
- Atur posisi pasien. Sebaiknya pasien terlentang pada permukaan keras dan
rata. Jika ditemukan tidak dalam posisi terlentang, maka terlentangkan
pasien dengan teknik “log roll” secara bersamaan kepala, leher, dan
punggung digulirkan.
- Atur posisi penolong. Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar secara
efektif dapat memberikan RJP
- Cek nadi karotis. AHA 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis
sebagai mekanisme untuk menilai henti jantung karena penolong sering
mengalami kesulitan mendeteksi nadi. Jika dalam lebih dari 10 detik nadi
karotis sulit dideteksi, kompresi dada harus dimulai.
Anggap cardiac arrest jika pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak bernapas atau
bernapas tapi tidak normal (hanya terengah-engah)
2. Sirkulasi
AHA 2010 merekomendasikan :
- Kompresi dada dilakukan cepat dan dalam
- Kecepatan adekuat setidaknya 100 kali/menit
- Kedalaman adekuat
Dewasa : 2 inchi (5 cm), rasio 30:2
Secara perlahan angkat dahi dan dagu pasien untuk membuka jalan napas
- Head Tilt & Chin Lift
a. Baringkan korban terletang pada permukaan datar dan keras
b. Meletakkan telapak tangan pada dahi pasien
c. Menekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan
d. Meletakkan ujung jari telunjuk dan jari tengah dari tangan lainnya di
bawah bagian ujung tulang rahang pasien
e. Menengadahkan kepala dan menahan/menekan dahi pasien secara
bersamaan sampai kepala pasien pada posisi ekstensi
- Jaw Trust
a. Baringkan korban terlentang pada permukaan datar dan keras
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
1.2 Saran
Dengan memahami LO yang didapat, penulis menyarankan pembaca
dapat termotivasi untuk mendalami materi yang kami ulas, sehingga nantinya
saat diklinik atau rotasi klinik para mahasiswa dapat menerapkannya.
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi
diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan para pembaca yang membaca
laporan ini.