PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dekompensasi kordis (DK) atau gagal jantung (GJ) adalah suatu keadaan dimana
jantung tidak dapat mempertahankan sirkulasi yang adekuat yang ditandai oleh adanya
suatu sindroma klinis berupa dispnu (sesak nafas), fatik (saat istirahat atau aktivitas),
dilatasi vena dan edema, yang diakibatkan oleh adanya kelainan struktur atau fungsi
jantung.
Faktor yang dapat menimbulkan penyakit jantung adalah kolesterol darah tinggi,
tekanan darah tinggi, merokok, gula darah tinggi (diabetes mellitus), kegemukan, dan
stres. Akibat lanjut jika penyakit jantung tidak ditangani maka akan mengakibatkan gagal
jantung, kerusakan otot jantung hingga 40% dan kematian.
Insiden penyakit gagal jantung saat ini semakin meningkat. (Di Eropa, tiap tahun
terjadi 1,3 kasus per 1000 penduduk yang berusia 25 tahun. Sedang pada anak–anak yang
menderita kelainan jantung bawaan, komplikasi gagal jantung terjadi 90% sebelum umur
1 tahun, sedangkan sisanya terjadi antara umur 5 – 15 tahun.
Di Indonesia,data dari Departemen Kesehatan tahun 2008 menunjukan pasien
yang diopname dengan diagnosis decompensasi cordis mencapai 14.449. (Data yang
diperoleh dari rekammedik Rumah Sakit RK Charitas diperoleh data prevalensi penderita
DC pada tahun 2008 sebanyak 114 orang sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi
135 orang, dan pada periode bulan Januari sampai dengan Juni 2010 berjumlah sebanyak
72 orang.
Menurut data yang diperoleh penulis hingga sekarang penyakit jantung
merupakan pembunuh nomor satu (Sampurno,1993). WHO menyebutkan rasio penderita
gagal jantung di dunia adalah satu sampai lima orang setiap 1000 penduduk. Penderita
penyakit jantung di Indonesia kini diperkirakan mencapai 20 juta atau sekitar 10% dari
jumlah penduduk di Nusantara (www.depkes.go.id).
Gagal jantung merupakan salah satu penyebab morbiditas & mortalitas. Akhir-
akhir ini insiden gagal jantung mengalami peningkatan. Gagal jantung merupakan tahap
akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan masalah kesehatan dunia. Di Asia,
terjadi perkembangan ekonomi secara cepat, kemajuan industri, urbanisasi dan perubahan
gaya hidup, peningkatan konsumsi kalori, lemak dan garam, peningkatan konsumsi
rokok, dan penurunan aktivitas. Akibatnya terjadi peningkatan insiden obesitas,
hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit vaskular yang berujung pada peningkatan
insiden gagal jantung.
B. Rumusan Masalah
Uraian diatas menunjukkan pentingnya studi kasus tentang bagaimana pelaksanaan
asuhan keperawatan dengan Decompensasi Cordis mulai dari pengkajian sampai dengan
evaluasi asuhan keperawatan serta pendokumentasiannya?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu melakukan asuhan keperawatan dengan Decompensasi Cordis.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan Decompensasi
Cordis
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan Decompensasi
Cordis
c. Mampu melakukan perencanaan keperawatan pada klien dengan Decompensasi
Cordis
d. Mampu melakukan pelaksanaan keperawatan pada klien dengan Decompensasi
Cordis
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan Decompensasi
Cordis
f. Mampu mengidentifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat dalam
pendokumentasian hasil asuhan keperawatan pada klien dengan Decompensasi
Cordis
D. Manfaat
1. Peningkatan Kualitas Asuhan Keperawatan
Menjadi masukan dalam melaksanakan asuhan keperawatan, sehingga mampu
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan terutama pada Decompensasi Cordis
melalui pemberian asuhan yang sesuai standar asuhan keperawatan yang
komprehensif.
2. Bagi Profesi Keperawatan
Diharapkan agar laporan studi kasus ini dapat menjadi bahan masukan dan informasi
bagi profesi keperawatan dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien
dengan Decompensasi Cordis serta sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat
terhadap profesi di masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk
mempertahankan peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh.(Dr. Ahmad
ramali.1994) .
Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan
fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung ( Tabrani,
1998; Price ,1995).
Decompensasi Cordis adalah keadaan dimana jantung tidak mampu memompakan
darah dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi tubuh untuk keperluan metabolisme dan
oksigen. (Nugroho, 2011: 269)
Dari beberapa definisi diatas dapat dsimpulkan bahwa Decompensasi Cordis
adalah ketidakmampuan jantung memompa darah keseluruh tubuh untuk memenuhi
metabolisme tubuh, sehingga terjadi defisit penyaluran o2 ke organ-organ tubuh lainya.
B. Klasifikasi
Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan
kanan. New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4
kelas :
1. Kelas 1 : Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.
2. Kelas 2 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas
sehari hari tanpa keluhan.
3. Kelas 3 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa keluhan.
4. Kelas 4 : Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivits apapun dan harus
tirah baring.
C. Etiologi
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan
kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi
aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi
stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada
infark miokard atau kardiomyopati. Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal
sebagai pompa adalah gangguan pengisisan ventrikel ( stenosis katup atrioventrikuler ),
gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade
jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah
pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium di
dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil ( Price. Sylvia A,
1995).
D. Patofisiologi
Bila kekuatan jantung untuk menapung stres tidak mencukupi dalam memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh, jantung akan gagal untuk melakukan tugasnya sebagai
organ pemompa, sehingga terjala yang namanya gagal jantung. Pada tingkat awal,
disfungsi komponen pompa dapat mengakibatkan kegagalan jika cadangan jantung
normal mengalami payah dan kegagalan respon fisiologis tertentu pada penurunan curah
jantung adalah penting. Semua respon ini menunjukan upaya tubuh untuk
mempertahankan perfungsi organ vital normal.
Sebagai respon tehadap gagal jantung, ada tiga mekanisme respon primer, yaitu
meningkatnya aktivitas. Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan
curah jantung.
Mekanisme-mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah
jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada gagal jantung dini pada keadaan
normal.
Berdasarkan hubungan antara aktivitas tubuh dengan keluhan dekompensasi dapat
dibagi berdasarkan klisifikasi sebagai berikut:
1. Pasien dengan Penyakit Jantung tetapi tidak memiliki keluhan pd kegiatan sehari-hari
2. Pasien dengan penyakit jantung yang menimbulkan hambtan aktivitas hanya sedikit,
akan tetapi jika ada kegiatan berlebih akan menimbulkan capek, berdebar, sesak serta
angina
3. Pasien dengan penyakit jantung dimana aktivitas jasmani sangat terbatas dan hanya
merasa sehat jika beristirahat.
4. Pasien dengan penyakit jantung yang sedikit saja bergerak langsung menimbulkan
sesak nafas atau istirahat juga menimbulkan sesak nafas.
Konsep terjadinya gagal jantung dan efeknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar
dapat dilihat pada gambar berikut :
Pathways
E. Manifestasi klinis
Dampak dari cardiak output dan kongesti yang terjadi sistem vena atau sisitem pulmonal
antara lain :
1. Lelah
2. Angina
3. Cemas
4. Oliguri. Penurunan aktifitas GI
5. Kulit dingin dan pucat
Tanda dan gejala yang disebakan oleh kongesti balik dari ventrikel kiri, antaralai :
1. Dyspnea
2. Batuk
3. Orthopea
4. Reles paru
5. Hasil x-ray memperlihatkan kongesti paru
F. Komplikasi
1. shock kardiogenik
Shock kardiogenik ditandai dengan adanya gangguan fungsi ventrikel kiri.
Dampaknya adalah terjadi gangguan berat pada fungsi jaringan dan penhantaran
oksigen ke jaringan. Gejala ini merupakan gejala yang khas terjadi pada kasus shock
kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokardium akut. Gangguan ini disebabkan
oleh kehilangan 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri dan nekrosis vokal di
seluruh ventrikel, karena ketidak seimbangan antara kebutuhan dan persendian
oksigen miokardium
2. Edema paru-paru
Edema paru terjadi dengan cara yang sama seperti edema yang muncul di bagian
tubuh mana saja, termasuk faktor apapun yang menyebabkan cairan interstitial paru-
paru meningkat dari batas negatif menjadi batas positif. (Ardiansyah, 2012: 30).
G. Pemeriksaan penunjang
1. Keluhan penderita berdasarkan tanda dan gejala klinis.
2. Pemeriksaan fisik EKG untuk melihat ada tidaknya infark myocardial akut, dan
guna mengkaji kompensaai seperti hipertropi ventrikel. Irama sinus atau atrium
fibrilasi, gel. mitral yaitu gelombang P yang melebar serta berpuncak dua serta tanda
RVH, LVH jika lanjut usia cenderung tampak gambaran atrium fibrilasi.
3. Echocardiografi dapat membantu evaluasi miokard yang iskemik atau nekrotik pada
penyakit jantung kotoner
4. Film X-ray thorak untuk melihat adanya kongesti pada paru dan pembesaran jantung
5. esho-cardiogram, gated pool imaging, dan kateterisasi arteri polmonal.utuk
menyajikan data tentang fungsi jantung.
6. Foto polos dada
a. Proyeksi A-P; konus pulmonalis menonjol, pinggang jantung hilang, cefalisasi
arteria pulmonalis.
b. Proyeksi RAO; tampak adanya tanda-tanda pembesaran atrium kiri dan
pembesaran ventrikel kanan.
7. Kateterisasi jantung dan Sine Angiografi
Didapatkan gradien tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri pada saat distol.
Selain itu dapat dideteksi derajat beratnya hipertensi pulmonal. Dengan mengetahui
frekuensi denyut jantung, besar curah jantung serta gradien antara atrium kiri dan
ventrikel kiri maka dapat dihitung luas katup mitral.
H. Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan penyakit decompensasi cordis adalah sbb:
1. perbaikan suplai oksigen /mengurangi kongesti : pengobatan dengan oksigen,
pengaturan posisi pasien deni kebcaran nafas , peningkatan kontraktilitas myocrdial
(obat-obatan inotropis positif), penurunan preload (pembatan sodium, diuretik, obat-
obatan, dilitasi vena) , penurunan afterload (obat0obatan dilatasi arteri, obat dilatasi
arterivena, inhibitor ACE
2. Meningkatkan oksigen dengan pemberian oksigen dan menurunkan kosumsi O2
melalui istirahat/ pembatasan aktivitas
3. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
a. Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tirotoksikosis, miksedema, dan
aritmia.
b. Digitalisasi :
1) Dosis Digitalisi :
a) Digoksin oral untuk Digitalisasi cepat 0,5-2mg dalam 4-6 dosis selama
24 jam dan dilanjutkan 2x0,5 mg selama 2-4 hari
b) Digoksin iv 0,75-1mg dalam 4 dosis selama 24 jam
c) Cedilanid iv 1,2-1,6 mg dalam 24 jam
2) Dosis penunjang untuk gagal jantung : dogoksin 0,25 mg sehari. Untuk
pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan.
3) Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg
4) Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat
a) Digoksin : 1-1,5 mg iv perlahan-lahan
b) Cedilanid 0,4-0,8 mg iv perlahan-lahan. (Arif, 2000: 435)
2. Diagnosa
a. Menurunnya curah jantung yang berhubungan dengan penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, dan konduksi elektrikat.
b. Nyeri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai darah dan oksigen
dengan kebutuhan miokardium sekunder daru penurunan suplai darah ke
miokardium, peningkatan produksi asam laktat.
c. Kerusakan pertukaran gas yang berhungan dengan perembesan cairan, kongesti
paru sekunder, perubahan membran kapiler alveoli, dan retensi cairan interstisial.
d. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan pengembangan paru tidak
optimal, kelebihan cairan di paru sekunder pada edema paru akut.
e. Gangguan perfusi perifer yang berhubungan dengan menurunnya gurah jantung.
f. Penurunan tingkat kesadaran yang berhubungan dengan penurunan aliran darah
ke otak.
g. Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan kelebihan cairan sistemik.
h. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen ke jaringan dengan kebutuhan sekunder dari penurunan curah jantung.
i. Aktual/risiko tinggi perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan penurunan intake, mual, dan anoreksia.
j. Gangguan pemenuhan istirahat dan tidur yang berhubungan dengan adanya sesak
napas.
k. Cemas yang berhubungan dengan rasa takut akan kematian, ancaman, atau
perubahan kesehatan.
3. Intervensi
a. Menurunnya curah jantung yang berhubungan dengan penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, dan konduksi elektrikat.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam penurunan curah jantung dapat
teratasi.
kriteria hasil : Klien akan melaporkan penurunan episode dispnea.
Intervensi :
1) Kaji dan laporkan tanda penurunan curah jantung.
2) Catat bunyi jantung.
3) Palpasi nadi perifer.
4) Istirahkan pasien dengan tirah baring optimal.
Rasionalisasi :
1) Kejadian mortalitas dan morbiditas sehubungan dengan MI yang lebih
dari 24 jam pertama.
2) S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa, irama gallop
umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah ke dalam serambi
yang distensi murmur dapat menunjukkan inkompetensi/stenosis mitral.
3) Penurunan curah jantung menunjukkan menurunnya nadi, radial,
popliteal, dorsalis pedis, dan postibial.
4) Oleh karena jantung tidak dapat diharapkan untuk benar-benar istirahat
untuk sembuh seperti luka pada patah tulang, maka hal terbaik yang
dilakukan adalah mengistirahatkan klien. Melalui inaktivitas, kebutuhan
pemompaan jantung.
b. Nyeri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai darah dan oksigen
dengan kebutuhan miokardium sekunder daru penurunan suplai darah ke
miokardium, peningkatan produksi asam laktat.
Tujuan :Dalam waktu 3 x 24 jam tidak ada keluhan dan terdapat penurunan
respons nyeri dada
Kriteria hasil :Secara subjektif klien menyatakan penurunan rasa nyeri dada.
Intervensi :
1) Catat karakteristik nyeri, lokasi, intensitas, lama, dan penyebarannya.
2) Anjurkan kepada klien untuk melaporkan nyeri dengan segera.
3) Lakukan manajemen nyeri keperawatan:
4) Atur posisi fisilogis.
5) Istirahatkan pasien.
6) Ajarkan teknik telaksasi pernapasan dalam
7) kolaborasi pemberian terapi farmakologis antiangina.
Rasionalisasi:
1) Variasi penampilan dan perilaku klien karena nyeri terjadi sebagai temuan
pengkajian.
2) Nyeri berat dapat menyebabkan syok kardiogenik yang berdampak pada
kematian mendadak.
3) Posisi fisiologis akan menurunkan kebutuhan O2 jaringan perifer.
4) Meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari
iskemia jaringan otak.
5) Obat-obatan antiangina bertujuan untuk meningkatkan aliran darah, baik
dengan menambah suplai oksigen atau dengan mengurangi kebutuhan
miokardium akan oksigen.
Rasionalisasi :
1) Respons klien terhadap aktivitas dapat mengindikasikan adanya penurunan
oksigen miokard.
2) Menurunkan kerja miokard/konsumsi oksigen.
3) Untuk mengurangi beban jantung.
4) Meningkatkan kontraksi otot sehingga membantu venous return.
5) Untuk meningkatkan oksigenasi jaringan.
j. Gangguan pemenuhan istirahat dan tidur yang berhubungan dengan adanya sesak
napas.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam keluhan gangguan pemenuhan tidur
berkurang
Kriteria hasil : Klien tidak mengeluh mangantuk.
Intervensi :
1) Catat pola istirahat dan tidur klien siang dan malam hari.
2) Atur posisi fisiologis.
3) Berikan oksigen tambahan dengan nasal kanul atau masker sesuai dengan
indikasi.
4) Kolaborasi pemberian obat sedatif.
Rasionalisasi :
1) Variasi penampilan dan perilaku Klien dalam pemenuhan istirahat serta tidur.
2) Posisi fisiologismana mengakibatkan asupan O2 dan rasa nyaman.
3) Meningkatkan jumlah oksigen yang ada untuk pemakaian miokardium.
4) Meningkatkan istirahat/relaksasi dan membantu klien dalam memenuhi
kebutuhan tidur.
l. Cemas yang berhubungan dengan rasa takut akan kematian, ancaman, atau
perubahan kesehatan.
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam kecemasan klien berkurang.
Kriteria hasil : Klien menyatakan kecemasan berkurang.
Intervensi :
1) Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan takut.
2) Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, dampingi klien, dan lakukan
tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.
3) Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang
diharapkan.
4) Kolaborasi: berikan anticemas sesuai indikasi, contohnya diazepam.
Rasionalisasi :
1) Cemas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung selanjutnya.
2) Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah, dan
gelisah.
3) Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
4) Meningkatkan relaksasi dan menurunkan kecemasan.
4. Implementasi
Fokus dari tahap implementasi asuhan keperawatan adalah kegiatan implementasi
dari perencanaan intervensi untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional.
Pendekatan asuhan keperawatan meliputi intervensi independen, dependen, dan
interdependen
a. Independen
Asuhan keperawatan independen adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh
perawat tanpa petunjuk dari dokter atau profesi kesehatan lainya. Type dati
aktivitas yang dilaksanakan perawat secara independen didefinisikan berdasarkan
diagnosis keperawatan.
b. Interdependen
Asuhan keperawatan interdependen menjelaskan kegiatan yang meemerlukan
kerjasama dengan profesi kesehatan lainya, seperti tenaga social, ahli gizi,
fisioterapi, dan dokter.
c. Dependen
Asuhan keperawatan dependen berhubungan dengan pelaksanaan rencana
tindakan medis. Tindakan tersebut menandakan suatu cara dimana tindakan medis
dilaksanakan
5. Evaluasi
Tahap evaluasi pada proses keperawatan meliputi kegiatan mengukur pencapaian
tujuan pasien dan menentukann keputusan dengan cara membandingkan data yang
terkumpul dengan tujuan dan pencapaian tujuan.
a. Evaluasi proses
Fokus pada evaluasi proses atau formatif adalah aktivitas dari proses
keperawatan dan hasil kualitas pelayanan asuhan keperawatan. Evaluasi proses
harus dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan diimplementasikan
untuk membantu menilai efektifitas intervensi tersebut.
b. Evaluasi hasil
Fokus evaluasi hasil (sumatif) adalah perubahan perilaku atau status kesehatan
pasien pada akhir asuhan keperawatan. Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada akhir
asuhan keperawatan secara paripurna.
Evaluasi pada decompensasi cordis antara lain:
1. penurunan curah jantung dapat teratasi.
2. klien menyatakan penurunan rasa nyeri dada.
3. Klien menyatakan kecemasan berkurang
4. TTV dalam batas normal.
5. keluhan gangguan pemenuhan tidur berkurang
6. Klien tidak sesak napas
7. Nutrisi klien terpenuhi
AFTAR PUSTAKA