Anda di halaman 1dari 1181

Pedoman

Diagnosis dan Terapi


Ilmu Kesehatan Anak
Edisi ke-5
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1)
dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Pedoman
Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak
Edisi ke-5

Editor:
Herry Garna
Heda Melinda Nataprawira

Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin
2014
Pedoman
Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak
Edisi ke-5

ISBN: 978-602-71594-0-2
Edisi pertama : 1993
Edisi kedua : 2000
Edisi ketiga : 2005
Edisi keempat : 2012
Edisi kelima : 2014
Cetakan pertama, November 2014

Editor:
Herry Garna
Heda Melinda Nataprawira

Penerbit:
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Redaksi:
Jl. Pasteur No. 38 Bandung 40161
Telp. 022-2035957; Fax. 022-2035957
e-mail: dikarshs@yahoo.com

Cerita sampul depan


Milikilah keceriaan anak-anak

Cerita sampul belakang


Tahapan tumbuh kembang anak sejak lahir sampai usia remaja

DILARANG KERAS MENGUTIP ISI BUKU INI SEBAGIAN ATAU KESELURUHAN


DALAM BENTUK APAPUN TANPA SEIZIN PENERBIT
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG NO. 19 TAHUN 2002 PASAL 72

Pengetikan dan Tataletak:


Agus Chalid

Rancang Grafis:
Tim Kreatif Mahestra Media Komunika
Dedi Mulyadi, Firman Andriansyah
KONTRIBUTOR

Abdurachman Sukadi Djatnika Setiabudi


Divisi Neonatologi Divisi Infeksi & Penyakit Tropis
Adi Utomo Suardi Dwi Prasetyo
Divisi Respirologi Divisi Gastrohepatologi
Ahmedz Widiasta Dzulfikar DLH
Divisi Nefrologi Divisi Emergensi & Rawat
Intensif Anak
Alex Chairulfatah
Divisi Infeksi & Penyakit Tropis Eddy Fadlyana
Divisi Tumbuh Kembang Pediatri
Anggraini Alam Sosial
Divisi Infeksi & Penyakit Tropis
Enny Harliani Alwy
Aris Primadi Divisi Emergensi & Rawat
Divisi Neonatologi Intensif Anak
Armijn Firman Faisal
Divisi Kardiologi Divisi Endokrinologi
Azhali Manggus Sjahrodji Fiva Aprilia Kadi
Divisi Infeksi & Penyakit Tropis Divisi Neonatologi
Budi Setiabudiawan Gartika Sapartini
Divisi Alergi Imunologi Divisi Alergi Imunologi
Cissy B. Kartasasmita Harry Raspati Achmad
Divisi Respirologi Divisi Hematologi-Onkologi
Dadang Hudaya Somasetia Heda Melinda Nataprawira
Divisi Emergensi & Rawat Divisi Respirologi
Intensif Anak
Herry Garna
Dany Hilmanto Divisi Infeksi & Penyakit Tropis
Divisi Nefrologi
Iesje Martiza Sabaroedin
Dedi Rachmadi Sjambas Divisi Gastrohepatologi
Divisi Nefrologi
Julistio T.B. Djais
Dewi Hawani Divisi Nutrisi & Penyakit
Divisi Neurologi Metabolik
Diah Asri Wulandari Kusnandi Rusmil
Divisi Respirologi Divisi Tumbuh Kembang Pediatri
Dida Achmad Gurnida Sosial
Divisi Nutrisi & Penyakit
Metabolik
v
Lelani Reniarti Riyadi
Divisi Hematologi-Onkologi Divisi Infeksi & Penyakit Tropis
Meita Dhamayanti Rodman Tarigan
Divisi Tumbuh Kembang Pediatri Divisi Tumbuh Kembang Pediatri
Sosial Sosial
Mia Milanti Dewi Sjarief Hidayat Effendi
Divisi Neurologi Divisi Neonatologi
Nanan Sekarwana Sri Endah Rahayuningsih
Divisi Nefrologi Divisi Kardiologi
Nelly Amalia Risan Sri Sudarwati
Divisi Neurologi Divisi Respirologi
Novina Andriana Stanza Uga Peryoga
Divisi Endokrinologi Divisi Emergensi & Rawat
Intensif Anak
Nur Suryawan
Divisi Hematologi-Onkologi Susi Susanah
Ponpon Idjradinata Divisi Hematologi-Onkologi
Divisi Hematologi-Onkologi Tetty Yuniati
Purboyo Solek Divisi Neonatologi
Divisi Neurologi Tisnasari Hafsah
R.M. Ryadi Fadil Divisi Nutrisi & Penyakit
Divisi Endokrinologi Metabolik
Rahmat Budi Yudith Setiati Ermaya
Divisi Kardiologi Divisi Gastrohepatologi
Reni Ghrahani
Divisi Alergi Imunologi

vi
SAMBUTAN
KEPALA DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN/
RSUP Dr. HASAN SADIKIN

Mengingat peran dan fungsi RSUP Dr. Hasan Sadikin sebagai rumah
sakit rujukan dan pendidikan, maka Buku Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5 ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai pegangan atau tuntunan bagi tenaga medis dan peserta didik
dalam pelayanannya di bidang kesehatan anak.

Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu


kedokteran, sejak tahun 1993 sampai dengan sekarang Buku
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak ini sudah
mengalami 5 kali revisi. Dengan diterbitkannya Buku Pedoman
Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5 diharapkan
dapat digunakan sebagai panduan di Departemen Ilmu Kesehatan
Anak agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih
profesional dan efisien.

Kepada seluruh Staf Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK


Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin dan Tim Editor, saya mengucapkan
terima kasih atas jerih payahnya dalam menyusun dan menerbitkan
buku ini.

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya


kepada kita semua. Amin.

Bandung, November 2014

Dr. Djatnika Setiabudi, dr., Sp.A(K), MCTM

vii
SAMBUTAN
DIREKTUR UTAMA
RSUP Dr. HASAN SADIKIN

Dengan diterbitkannya buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu


Kesehatan Anak Edisi ke-5 dari Departemen/SMF Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin,
merupakan langkah maju yang dicapai dalam upaya meningkatkan
pelayanan medik khususnya di RSUP Dr. Hasan Sadikin.

Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak berisi


standar terbaru yang dapat digunakan dalam penatalaksanaan
penderita anak agar pelayanan yang diberikan memenuhi mutu yang
dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini juga sebagai antisipasi
Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan pada Pasal 32 Ayat 3 yang berbunyi bahwa “Pengobatan
dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran
dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggung-
jawabkan”.

Dengan terbitnya buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu


Kesehatan Anak ini diharapkan para penyelenggara pelayanan
kesehatan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik dan
profesional.

Kita menyadari bahwa buku ini masih belum sempurna, meskipun


demikian setidaknya dapat digunakan sebagai acuan dan diharapkan
di masa yang akan datang buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak Edisi ke-5 ini masih terus ditinjau dan diperbaiki
secara berkala sesuai dengan teknologi dan perkembangan ilmu
kedokteran, khususnya ilmu kesehatan anak.

Bandung, November 2014

dr. Ayi Djembarsari, MARS

viii
SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Kami menyambut baik diterbitkannya Buku Pedoman Diagnosis dan


Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5. Penerbitan buku ini
merupakan cermin komitmen yang terus-menerus untuk
memberikan kontribusi nyata dalam upaya peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan anak yang berbasis bukti-bukti ilmiah di
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin.

Keberadaan buku ini dapat memberi manfaat langsung bagi para


dokter umum dan dokter spesialis anak dalam menjalankan tugas
pengabdiannya. Buku ini juga diharapkan dapat menjembatani kasus-
kasus yang sering ditemukan dan bersifat kontroversial dalam praktik
sehari-hari sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran.

Kami sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-


besarnya kepada para penyusun dan kontributor buku ini. Semoga
buku ini bermanfaat serta memberikan kemaslahatan bagi kita
semua.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Bandung, November 2014

Prof. Dr.med. Tri Hanggono Ahmad, dr.

ix
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah swt. yang pada akhirnya
setelah sekian lama kami berhasil menyusun Buku Pedoman Terapi
Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5 yang merupakan revisi dan
pengkinian dari edisi ke-4 tahun 2012.

Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi ini disusun berdasarkan filosofi


medicine is never ending study. Pada edisi ini disusun lebih terperinci
dalam menjelaskan suatu penyakit dan penatalaksanaannya supaya
lebih mudah dipahami oleh mahasiswa kedokteran, dokter umum,
peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis, atau dokter spesialis
anak yang bekerja baik di senter pendidikan maupun daerah. Ilmu
kedokteran semakin berkembang dengan pesat sehingga edisi ke-5
disusun berdasarkan kajian bukti penelitian terakhir, sehingga
mengikuti kemajuan ilmu kedokteran khususnya ilmu kesehatan
anak.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada


seluruh kontributor yang telah membantu terbitnya buku ini. Kami
menyadari bahwa buku ini tidak luput dari berbagai kekurangan dan
keterbatasan. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik untuk
perbaikan edisi berikutnya. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi
dunia pendidikan ilmu kesehatan anak di Indonesia dalam upaya
meningkatkan kualitas kesehatan anak Indonesia.

Bandung, November 2014

Tim Editor

x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR KONTRIBUTOR ................................................................. v
SAMBUTAN KEPALA DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN/
RSUP Dr. HASAN SADIKIN .............................................................. vii
SAMBUTAN DIREKTUR UTAMA RSUP Dr. HASAN SADIKIN ........... viii
SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN ......................................................... ix
KATA PENGANTAR ........................................................................ x
DAFTAR ISI ..................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................. xviii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xxvii
ALERGI IMUNOLOGI
Anafilaksis ..................................................................................... 3
Juvenile Idiophatic Arthritis ........................................................... 10
Lupus Eritematosus Sistemik ........................................................ 26
Purpura Henoch-Schönlein ........................................................... 41
Sarkoidosis .................................................................................... 50
Skleroderma .................................................................................. 53
Juvenile Dermatomyositis ............................................................. 58
Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik ......... 61
Alergi Obat .................................................................................... 66
Konjungtivitis Vernalis .................................................................. 73
Konjungtivitis Alergi ...................................................................... 75
Dermatitis Atopi ............................................................................ 77
Rinitis Alergi .................................................................................. 80
Urtikaria/Angioedema .................................................................. 90
EMERGENSI & RAWAT INTENSIF ANAK
Resusitasi Kardiopulmonal Otak ................................................... 97
Gagal Napas pada Anak ................................................................ 112
Terapi Oksigen .............................................................................. 118
Ventilasi Mekanik .......................................................................... 123
Sindrom Disfungsi Organ Multipel (SDOM) .................................. 130
Terapi Cairan Parenteral ............................................................... 136
Tatalaksana Gangguan Elektrolit Emergensi ................................. 141
Gangguan Asam-Basa ................................................................... 145
Renjatan ........................................................................................ 155
Tatalaksana Sepsis Berat dan Renjatan Sepsis dengan
Pedoman Early Goal-Directed Therapy ......................................... 163
Keracunan ..................................................................................... 172
Keracunan Alkohol .................................................................... 176
Keracunan Jengkol .................................................................... 177
Keracunan Singkong ................................................................. 179
xi
Keracunan Tempe Bongkrek ..................................................... 180
Keracunan Minyak Tanah ......................................................... 181
Keracunan Insektisida ............................................................... 183
Fosfat Organik ...................................................................... 183
Chlorinated Hydrocarbon ..................................................... 184
Keracunan Salisilat .................................................................... 185
Sedasi dan Analgesia ..................................................................... 187
Transpor Penderita Anak Sakit Kritis ............................................. 205
ENDOKRINOLOGI
Kriptorkismus (Cryptorchidism) .................................................... 215
Mikropenis .................................................................................... 218
Pubertas Prekoks .......................................................................... 222
Pubertas Terlambat ...................................................................... 224
Hipotiroid ...................................................................................... 226
Hipertiroid ..................................................................................... 232
Penyakit Grave Neonatus ............................................................. 234
Perawakan Pendek Akibat Gangguan Endokrin ............................ 236
Diabetes Melitus (DM) .................................................................. 247
Diabetes Melitus Tipe 1 ............................................................ 247
Hipoglikemia pada DM ............................................................. 251
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) ................................................ 254
Osteogenesis Imperfecta .......................................................... 262
Disorder of Sex Development (DSD) .......................................... 266
Hiperplasia Adrenal Kongenital ................................................ 273
GASTROHEPATOLOGI
Abdomen Akut .............................................................................. 279
Cholestatis Jaundice (Kolestatis) ................................................... 284
Diare Akut ..................................................................................... 288
Hepatitis Akut ............................................................................... 298
Hepatitis Kronik ............................................................................. 300
Hipokalemia .................................................................................. 302
Hiperkalemia ................................................................................. 305
Hipernatremia ............................................................................... 310
Hiponatremia ................................................................................ 312
Infeksi Helicobacter pylori ............................................................. 315
Koma Hepatikum .......................................................................... 317
Obstruksi Saluran Cerna ................................................................ 321
Perdarahan Saluran Cerna ............................................................ 323
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas .................................... 323
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah ................................ 327
Sindrom Reye ................................................................................ 335
HEMATOLOGI ONKOLOGI
Anemia Defisiensi Besi .................................................................. 339
Anemia Megaloblastik .................................................................. 343
Anemia Aplastik ............................................................................ 346
Thalassemia .................................................................................. 350
Idiophatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) ................................. 355
Hemofilia ....................................................................................... 358
xii
Koagulasi Intravaskular Difusa (KID) ............................................. 363
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ................................................. 368
Leukemia Nonlimfoblastik Akut (LNLA) ........................................ 372
Leukemia Mieloid Kronik (LMK) .................................................... 377
Limfoma Non-Hodgkin .................................................................. 380
Penyakit Hodgkin (Limfoma Hodgkin) ........................................... 383
Neuroblastoma ............................................................................. 386
Tumor Wilm (Nefroblastoma) ....................................................... 391
Rabdomiosarkoma ........................................................................ 396
Sarkoma Ewing .............................................................................. 398
Osteosarkoma ............................................................................... 400
Hepatoma ..................................................................................... 403
Retinoblastoma ............................................................................ 406
INFEKSI & PENYAKIT TROPIS
Infeksi Bakteri ............................................................................... 411
Demam Enterik: Demam Tifoid dan Demam Paratifoid ........... 411
Difteria ...................................................................................... 415
Staphylococcal Toxic Shock Syndrome ...................................... 421
Streptococcal Toxic Shock-Like Syndrome ................................. 423
Tetanus ..................................................................................... 424
Tetanus Neonatorum ............................................................... 428
Pertusis ..................................................................................... 430
Meningitis Bakterialis ............................................................... 435
Demam Skarlet (Skarlatina) ...................................................... 441
Antraks ..................................................................................... 442
Lepra ......................................................................................... 445
Artritis Septik ............................................................................ 448
Osteomielitis ............................................................................. 450
Febrile Neutropenia .................................................................. 452
Ebola Virus Disease ....................................................................... 454
Sepsis ............................................................................................ 458
Sepsis Bakterial ............................................................................. 465
Terapi Antimikrob ......................................................................... 468
Infeksi Virus ................................................................................... 485
Infeksi Virus Dengue ................................................................. 485
Human Immunodeficiency Virus (HIV) ...................................... 493
Chikungunya ............................................................................. 497
Rubela ....................................................................................... 499
Morbili ...................................................................................... 501
Varisela dan Herpes Zoster ....................................................... 503
Herpes Simpleks ....................................................................... 507
Influenza A H5N1 (Avian Influenza) .......................................... 508
Influenza ................................................................................... 512
Influenza A H1N1 (Swine Influenza) .......................................... 513
Mumps (Parotitis Epidemika) ................................................... 517
Mononukleosis Infeksiosa ........................................................ 519
Cytomegalovirus ....................................................................... 521
Hand, Foot, and Mouth Diseases .............................................. 522
Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus
(MERS-CoV) ............................................................................... 524
xiii
Fever of Unknown Origin (FUO) .................................................... 528
Infeksi Parasit ................................................................................ 531
Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah ....................... 531
Askariasis .............................................................................. 531
Ankilostomiasis ..................................................................... 531
Trikuriasis ............................................................................. 532
Malaria ...................................................................................... 533
Amebiasis .................................................................................. 536
Toksoplasmosis ......................................................................... 540
Filariasis .................................................................................... 542
Leptospirosis ............................................................................. 545
Infeksi Jamur ................................................................................. 548
Infeksi Jamur Sistemik .............................................................. 548
Histoplasmosis ...................................................................... 548
Infeksi Rumah Sakit (Health Care-Associated Infection) ............... 551
Infeksi pada Luka Bakar ................................................................ 552
Infeksi Jaringan Lunak ................................................................... 554
KARDIOLOGI
Klasifikasi Penyakit Jantung pada Anak ......................................... 557
Penyakit Jantung Bawaan ......................................................... 558
Defek Septum Atrium (Atrial Septal Defect/ASD) ................. 558
Defek Septum Ventrikel (Ventricular Septal Defect/VSD) .... 562
Defek Septum Atrioventrikularis (Endocardial
Cuchion Defect, AV Canal Defect) ......................................... 566
Duktus Arteriosus Persisten (Patent Ductus
Arteriosus/PDA) .................................................................... 566
Stenosis Pulmonal (Pulmonary Stenosis/PS) ........................ 570
Koarktasio Aorta ................................................................... 570
Stenosis Aorta ....................................................................... 571
Tetralogi Fallot (TF) ............................................................... 573
Serangan Sianosis (Cyanotic Spell, Hupoxic Spell) ................ 575
Atresia Pulmonal dengan Defek Septum Ventrikel .............. 578
Atresia Pulmonal tanpa Defek Septum Ventrikel ................. 578
Atresia Trikuspid ................................................................... 579
Double Output Right Ventricle (DORV) ................................. 579
Transposisi Arteri Besar ........................................................ 580
Total Anomalous Pulmonary Venous Return
dengan/Tanpa Obstruksi ...................................................... 582
Trunkus Arteriosus Persisten ................................................ 583
Anomali Ebstein .................................................................... 584
Hypoplastic Left Heart Syndrome ......................................... 584
Gagal Jantung ................................................................................ 586
Renjatan Kardiogenik ................................................................ 592
Henti Jantung ............................................................................ 595
Kardiomiopati ............................................................................... 598
Kardiomiopati Hipertrofi ........................................................... 598
Kardiomiopati Hipertrofi Obstruksi (Hypertrophy
Obstruction Cardiomyopathy/HOCM) ...................................... 599
Kardiomiopati Dilatasi atau Kongesti ........................................ 600
Kardiomiopati Restriktif ............................................................ 602
xiv
Demam Reumatik Akut (DRA) ....................................................... 605
Penyakit Jantung Reumatik (PJR) ............................................. 609
Endokarditis Infektif ..................................................................... 612
Miokarditis ................................................................................... 620
Perikarditis ................................................................................... 622
Penyakit Kawasaki ........................................................................ 625
Hipertensi Pulmonal ..................................................................... 631
Disritmia Jantung .......................................................................... 638
NEFROLOGI
Dialisis Peritoneal ......................................................................... 647
Gangguan Ginjal Akut ................................................................... 650
Glomerulonefritis Akut Pascastreptokokus .................................. 656
Hipertensi ..................................................................................... 662
Infeksi Saluran Kemih (ISK) ........................................................... 667
Keracunan Jengkol pada Anak ...................................................... 676
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) ........................................................ 679
Sindrom Nefrotik ......................................................................... 686
Uropati Obstruktif ........................................................................ 692
NEONATOLOGI
Terminologi Neonatologi .............................................................. 699
Asfiksia pada Neonatus ................................................................ 700
Hipotermia .................................................................................... 706
Hipoglikemia ................................................................................. 710
Hipokalsemia ................................................................................ 715
Masalah Gangguan Pernapasan .................................................... 719
Transient Tachypnea of the Newborn ....................................... 719
Sindrom Aspirasi Mekonium ..................................................... 721
Pneumonia pada Neonatus ...................................................... 724
Sindrom Distres Pernapasan/Respiratory Distress
Syndrome (RDS) ........................................................................ 727
Apnea ........................................................................................ 729
Syok pada Neonatus ..................................................................... 733
Pemberian Nutrisi ......................................................................... 736
Nutrisi Enteral pada Neonatus ................................................. 736
Nutrisi Parenteral pada Neonatus ............................................ 738
Enterokolitis Nekrotikans (EKN) ................................................... 744
Sepsis pada Neonatus .................................................................. 748
Kejang pada Neonatus .................................................................. 752
Masalah Hematologi Neonatus .................................................... 754
Anemia ..................................................................................... 754
Polisitemia ................................................................................ 759
Penyakit Perdarahan pada Neonatus (Hemorrhagic Disease
of the Newborn/HDN) ................................................................... 762
Ikterus Neonatorum ..................................................................... 764
Kelainan Kongenital ...................................................................... 772
Prinsip Umum Pengelolaan Gawat Darurat dan Rujukan
Neonatus ....................................................................................... 776
Stabilisasi Neonatus Pascaresusitasi ............................................. 784

xv
NEUROPEDIATRI
Kejang Demam (KD) ...................................................................... 793
Epilepsi .......................................................................................... 798
Status Epileptikus .......................................................................... 804
Ensefalitis Herpes Simpleks .......................................................... 807
Abses Otak .................................................................................... 809
Tuberkulosis pada Susunan Saraf Pusat ........................................ 811
Autism Spectrum Disorders (ASD) ................................................. 814
Autism Disorder ........................................................................ 814
Rett’s Disorder .......................................................................... 817
Pervasive Developmental Disorder-not Otherwise
Specified (PDD-NOS) ................................................................. 820
Childhood Disintegrative Disorder (CDD) .................................. 821
Retardasi Mental (RM, Intelectual Disabilities) ............................. 823
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) .......................... 828
Sindrom Guillain-Barre (Acute Inflammatory
Polyradiculoneuropathy/Acute Ascending Paralysis) .................... 831
Palsi Serebral (Cerebral Palsy/CP) ................................................. 835
Rabies (Hidrofobia) ....................................................................... 845

NUTRISI & PENYAKIT METABOLIK


Kurang Energi Protein (KEP) .......................................................... 851
Perhitungan Energi dan Protein untuk Kejar Tumbuh dan
untuk Anak Sakit Berat .................................................................. 866
Rawat Gabung ............................................................................... 869
Defisiensi Vitamin A (Xeroftalmia) ................................................ 874
Phenylketonuria (PKU) .................................................................. 876
Hiperkolesterolemia Familial ........................................................ 878
Nutrisi Enteral ............................................................................... 881
Nutrisi Parenteral .......................................................................... 886
Diet pada Penyakit Ginjal Kronik ................................................... 893
RESPIROLOGI
Rinitis (Common Cold) ................................................................... 901
Rinosinusitis .................................................................................. 903
Faringitis Akut ............................................................................... 907
Otitis Media Akut .......................................................................... 909
Sindrom Croup .............................................................................. 911
Bronkiektasis ................................................................................. 920
Bronkitis ........................................................................................ 925
Bronkitis Akut ........................................................................... 925
Bronkitis Kronik ......................................................................... 926
Bronkiolitis .................................................................................... 928
Pneumonia .................................................................................... 932
Recurrent Pneumonia ................................................................... 944
Hospital Acquired Pneumonia ....................................................... 946
Empiema ....................................................................................... 950
Pneumotoraks ............................................................................... 957
Abses Paru .................................................................................... 961
Emboli Paru ................................................................................... 964

xvi
Tuberkulosis .................................................................................. 971
Asma ............................................................................................. 991
Asma di Bawah Usia 5 Tahun ........................................................ 1005
Malformasi Kongenital Paru (Congenital Pulmonary
Malformations) ............................................................................. 1014
Laringomalasia .............................................................................. 1018
TUMBUH KEMBANG PEDIATRI SOSIAL
Pemeriksaan Bayi/Anak Sehat ...................................................... 1023
Penilaian Pertumbuhan dan Perkembangan ................................ 1024
Pertumbuhan ............................................................................ 1024
Perkembangan .......................................................................... 1030
Penapisan Gangguan Pertumbuhan Linier .................................... 1087
Tim Tumbuh Kembang FK Unpad/RSHS Bandung ......................... 1088
Beberapa Gangguan Perkembangan yang Sering Terjadi ............. 1089
Enuresis ..................................................................................... 1089
Enkopresis ................................................................................. 1090
Pemberian Makanan Bayi ............................................................. 1090
Imunisasi ....................................................................................... 1091
Remaja .......................................................................................... 1098
NILAI NORMAL PADA BAYI DAN ANAK ........................................ 1109

xvii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Pemeriksaan Fisis yang Dapat Ditemukan
pada Reaksi Anafilaksis ......................................................... 4
2 Kriteria Diagnostik Anafilaksis ............................................... 5
3 Klasifikasi Anafilaksis ............................................................. 6
4 Klasifikasi JIA Revisi Kedua Menurut Kriteria
Edmonton 2001 ..................................................................... 11
5 Gambaran JIA berdasarkan Subtipe ...................................... 12
6 NSAIDs yang Telah Disetujui US FDA ..................................... 16
7 Berbagai Disease-Modifying Antirheumatic Drugs
(DMARDs) dalam Terapi JIA .................................................. 17
8 Obat-obatan pada Penatalaksanaan JIA ............................... 18
9 Pemantauan Penggunaan Obat-obatan JIA .......................... 19
10 Kriteria Progresivitas JIA Menurut ACR (Steinbrocker) ......... 20
11 Manifestasi Klinis LES ............................................................ 27
12 Kriteria Diagnosis LES Menurut American College of
Rheumatology (ACR) ............................................................. 28
13 Penyesuaian Dosis Protokol Siklofosfamid (CYC) pada
Beberapa Keadaan ................................................................ 46
14 Klasifikasi Skleroderma ......................................................... 53
15 Kriteria Diagnosis Bohan dan Peter ....................................... 58
16 Terapi Juvenile Dermatomyositis .......................................... 59
17 Klasifikasi Reaksi Eksfoliatif Kulit ........................................... 61
18 Heterogenisitas Reaksi Alergi yang Diinduksi Obat ............... 67
19 Desensitisasi Oral untuk Penisilin G ...................................... 69
20 Desensitisasi Parenteral untuk Penisilin G ............................ 70
21 Kriteria Diagnostik Dermatitis Atopik Menurut
Hanifin dan Rajka .................................................................. 78
22 Kriteria Diagnosis berdasarkan UK Working Party ................ 78
23 Efek Pengobatan Gejala Rinitis .............................................. 82
24 Jenis-jenis Kortikosteroid yang Dapat Digunakan
pada Anak .............................................................................. 84
25 Jenis-jenis Antihistamin yang Dapat Digunakan
pada Anak .............................................................................. 84
26 Indikasi SCIT dan SLIT ............................................................ 86
27 Klasifikasi Urtikaria dan Angioedema berdasarkan
Etiopatofisiologi .................................................................... 90
28 Perbandingan Pedoman Resusitasi Jantung Paru dan
Perawatan Kardiovaskular Emergensi pada Bantuan
Hidup Dasar Menurut American Heart Association 2005
dan American Heart Association 2010 .................................. 107
29 Etiologi Gagal Napas .............................................................. 112
30 Tipe Gagal Napas ................................................................... 113
31 Penilaian Klinis Gagal Napas Akut ......................................... 115

xviii
32 Keuntungan dan Kerugian Kanula Nasal ............................... 119
33 Perkiraan FiO2 dengan Mempergunakan Alat Pemberian
Oksigen Aliran Rendah .......................................................... 121
34 Penyesuaian Setting Ventilator berdasarkan
Perubahan AGD ..................................................................... 126
35 Indikasi Penyapihan .............................................................. 127
36 Setting Awal Ventilator berdasarkan Kelainan Pulmonal ...... 128
37 Pediatric Logistic Organ Dysfunction (PELOD) Score ............. 134
38 Komposisi Cairan Tubuh ........................................................ 136
39 Rumus 4−2−1 untuk Kebutuhan per Jam .............................. 137
40 Rumus 100–50–20 untuk Kebutuhan per Hari ...................... 137
41 Kebutuhan Cairan berdasarkan Usia ..................................... 138
42 Contoh Terapi Cairan ............................................................ 139
43 Perbandingan Kadar Elektrolit Cairan NaCl 0,9%,
Ringer Laktat, dan Ringer Asetat ........................................... 140
44 Kadar Natrium di Dalam Cairan Infus .................................... 141
45 Gejala dan Tanda Asidosis Respiratorik ................................ 147
46 Gejala dan Tanda Alkalosis Respiratorik ............................... 148
47 Gejala dan Tanda Asidosis Metabolik ................................... 149
48 Gejala dan Tanda Alkalosis Metabolik ................................... 151
49 Nilai Normal Gas Darah ......................................................... 152
50 Petunjuk dan Makna Kelainan dalam Interpretasi
Analisis Gas Darah ................................................................. 153
51 Pemberian Antibiotik pada Renjatan Septik ......................... 160
52 Dosis Arang Aktif ................................................................... 174
53 Dosis Laktulosa ...................................................................... 175
54 Skala Ramsay ......................................................................... 188
55 Skala COMFORT ..................................................................... 188
56 Obat Analgesik dan Sedasi pada Penderita yang
Membutuhkan Analgesia ...................................................... 192
57 Sistem Skor Aldrete Recovery Modifikasi (Pascaprosedur
Sedasi Analgesia) ................................................................... 193
58 Teknik Sedasi pada Berbagai Prosedur Invasif dan
Noninvasif pada Anak ............................................................ 195
59 Obat yang Biasa Digunakan untuk Sedasi di PICU ................. 198
60 Faktor Hormonal dan Mekanik ............................................. 215
61 Ukuran Penis berdasarkan Usia ............................................ 220
62 Skoring Hipotiroid Kongenital ............................................... 228
63 Dosis Penggantian Na L-tiroksin pada Bayi dan Anak ........... 230
64 Terapi Hipoglikemia .............................................................. 253
65 Cara Rehidrasi Cairan untuk Berat Badan 30 kg .................... 256
66 Algoritme Perubahan Dosis Insulin ....................................... 259
67 Klasifikasi Osteogenesis Imperfecta ...................................... 263
68 Nomenklatur DSD yang Direvisi ............................................ 266
69 Klasifikasi DSD ....................................................................... 267
70 Diagnosis Banding Nyeri Abdomen Akut Menurut Usia ........ 280

xix
71 Empat Kriteria Klinis Terpenting untuk Membedakan
Kolestasis Intrahepatik dengan Ekstrahepatik ...................... 284
72 Tes Fungsi Hati Cholestasis Jaundice ..................................... 285
73 Tanda dan Gejala Klinis Dehidrasi ......................................... 289
74 Pemberian Antibiotik ............................................................ 297
75 Penyebab Kehilangan Kalium ................................................ 302
76 Obat-obatan pada Manajemen Hiperkalemia Akut .............. 308
77 Pemeriksaan Lain yang Menunjang Diagnosis
Helicobacter pylori ................................................................ 315
78 Pilihan Obat Terapi Tripel pada Infeksi Helicobacter
pylori ..................................................................................... 316
79 Stadium Koma Hepatikum .................................................... 317
80 Penyebab Tersering Perdarahan Saluran Cerna
Bagian Atas ............................................................................ 324
81 Klasifikasi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
berdasarkan Usia, Keadaan Umum Anak, dan
Kecepatan Perdarahan .......................................................... 325
82 Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah ............ 328
83 Diagnosis Banding berdasarkan Tipe Perdarahan
Saluran Cerna Bagian Bawah Secara Klinis ............................ 330
84 Klasifikasi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah
berdasarkan Usia, Keadaan Umum Anak, dan
Kecepatan Perdarahan .......................................................... 332
85 Dosis dan Lama Pemberian Suplementasi Besi ..................... 341
86 Rekomendasi Target Kadar Plasma Faktor VIII dan IX
serta Lama Pemberian .......................................................... 361
87 Kondisi yang Dapat Menyebabkan KID ................................. 363
88 Sistem Skoring untuk Diagnosis KID Menurut the
International Society on Thrombosis and Haemostasis
(ISTH) ............................................................................................ 364
89 Sistem Skoring untuk Diagnosis KID Menurut Japanese
Association for Acute Medicine ............................................. 365
90 Sistem Staging untuk Tumor Wilms ...................................... 391
91 Regimen Kemoterapi Tumor Wilms berdasarkan
NWTSG dan SIOP ................................................................... 394
92 Klasifikasi Rabdomiosarkoma berdasarkan Sistem Kelompok
Menurut the Intergroup Rhabdomyosarcoma Study (IRS) ..... 396
93 Klasifikasi Osteosarkoma berdasarkan Respons Histologik
Sesudah Kemoterapi Preoperatif .......................................... 400
94 Stadium Retinoblastoma berdasarkan Sistem Reese-
Ellsworth ............................................................................... 406
95 Diagnosis Banding Retinoblastoma ....................................... 407
96 Manajemen Demam Enterik: Eradikasi Kuman ..................... 414
97 Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis
Tetanus ................................................................................. 424
98 Manajemen Tetanus ............................................................. 425
99 Sistem Skoring Bleck ............................................................. 426

xx
100 Dosis Metronidazol yang Digunakan untuk Bayi Baru Lahir
dan BBLR ............................................................................... 429
101 Bentuk Tipikal Pertusis: Perubahan Gejala, Sensitivitas
terhadap Metode Diagnostik, dan Pengaruh Terapi
Antibiotik .............................................................................. 431
102 Rekomendasi Pemberian Antimikrob dan Profilaksis
Pascapajanan Pertusis ........................................................... 433
103 Penyebab Tersering Meningitis Bakterialis ........................... 435
104 Dosis Terapi Lepra pada Anak ............................................... 447
105 Jenis Antibiotik Empiris untuk Pengobatan Artritis Septik .... 449
106 Dosis Antibiotik Inisial untuk Terapi Oral pada
Osteomielitis ......................................................................... 451
107 Prosedur Uji Diagnostik Infeksi Virus Ebola ........................... 455
108 Definisi SIRS, Infeksi, Sepsis, Sepsis Berat, dan
Syok Septik ............................................................................ 458
109 Kriteria Disfungsi Organ ........................................................ 459
110 Kriteria Diagnosis Sepsis ........................................................ 460
111 Rekomendasi: Resusitasi Awal dan Masalah Infeksi ............. 461
112 Surviving Sepsis Campaign Bundles ....................................... 462
113 Pilihan Antimikrob untuk Terapi Empirik pada Bayi dan
Anak Tersangka Sepsis .......................................................... 463
114 Regimen Antibiotik Empiris untuk Syok Septik pada Anak .... 466
115 Langkah-langkah Pemberian Antibiotik ................................ 468
116 Suseptibilitas Mikroorganisme Umum terhadap Berbagai
Antimikrob ............................................................................ 469
117 Kelompok Antimikrob Secara Umum .................................... 473
118 Rekomendasi Pemberian Antimikrob Parenteral Secara
Umum untuk Usia ≥1 Bulan .................................................. 477
119 Rekomendasi Pemberian Antimikrob Oral Secara Umum
untuk Usia ≥1 Bulan .............................................................. 478
120 Rekomendasi Pemberian Antimikrob untuk Kasus
Nonbedah .............................................................................. 481
121 Pemberian ART pada Bayi dan Anak berdasarkan Stadium
Klinis dan Marka Imunologi ................................................... 494
122 Inisiasi Pemberian ART pada Bayi dan Anak .......................... 494
123 Mulai Pemberian ART ............................................................ 495
124 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Chikungunya ...................... 497
125 Manifestasi Rubela Kongenital .............................................. 499
126 Definisi dan Fitur Utama Empat Subtipe FUO ....................... 529
127 Pengobatan Malaria Falsiparum tanpa Penyulit ................... 534
128 Pengobatan Malaria Vivaks tanpa Penyulit ........................... 534
129 Obat Antiamebiasis ............................................................... 538
130 Rekomendasi Pengobatan Histoplasmosis pada Anak .......... 549
131 Tanda dan Gejala Progresivitas Penyakit dari Lokal
Menuju Sistemik .................................................................... 552
132 Klasifikasi Ross untuk Gagal Jantung pada Bayi
Sesuai NYHA .......................................................................... 586

xxi
133 Penyebab Gagal Jantung karena Penyakit Jantung Bawaan ... 587
134 Penyebab Gagal Jantung pada Neonatus yang Bukan
karena Penyakit Jantung Bawaan .......................................... 587
135 Sistem Skor Ross untuk Gagal Jantung pada Bayi ................. 588
136 Skor Klinis Gagal Jantung pada Anak .................................... 589
137 Rute Pemberian dan Dosis Diuretik ...................................... 590
138 Rute Pemberian dan Dosis Vasodilator ................................. 591
139 Dosis Digitalis pada Gagal Jantung ........................................ 591
140 Manifestasi Klinis DRA ........................................................... 605
141 Kriteria WHO Tahun 2002–2003 untuk Diagnosis Demam
Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik/PJR
(berdasarkan Revisi Kriteria Jones) ....................................... 606
142 Terapi Antiinflamasi berdasarkan Manifestasi Klinis ............ 607
143 Panduan Obat Antiinflamasi ................................................. 607
144 Panduan Tirah Baring dan Aktivitas ...................................... 608
145 Antibiotik untuk Pencegahan ................................................ 609
146 Lama Pemberian Profilaksis Sekunder .................................. 609
147 Pemberian Antibiotik pada Endokarditis Infektif yang
Disebabkan Streptokokus, S. bovis, atau Enterokokus .......... 614
148 Terapi Antibiotik pada Endokarditis Infektif yang
Disebabkan Streptococcus viridans, S. bovis, atau
Enterokokus pada Penderita yang Tidak Dapat
Menerima β-laktam .............................................................. 615
149 Pemberian Antibiotik pada Endokarditis Infektif yang
Disebabkan Stafilokokus ....................................................... 615
150 Pemberian Antibiotik Profilaksis pada Endokarditis
Infektif pada Tindakan Gigi, Mulut, Saluran Respiratori
Atas, dan Prosedur Esofagus ................................................. 618
151 Pemberian Antibiotik Profilaksis pada Endokarditis
Infektif pada Prosedur Saluran Urogenital dan Cerna .......... 618
152 Klasifikasi Hipertensi Pulmonal WHO Revisi 2009 ................. 632
153 Perbedaan Indeks Darah dan Urin pada Anak dengan
Neonatus berdasarkan Penyebab GgGA ............................... 651
154 Evaluasi yang Harus Dilakukan pada Anak yang Menderita
Hipertensi .............................................................................. 663
155 Klasifikasi Hipertensi pada Anak Usia ≥1 Tahun dan
Remaja .................................................................................. 663
156 Obat Antihipertensi yang Digunakan pada Anak dan
Remaja .................................................................................. 665
157 Pilihan Antimikrob Oral pada Infeksi Saluran Kemih ............. 671
158 Pilihan Antimikrob Parenteral pada Infeksi Saluran Kemih ... 671
159 Antibiotik yang Digunakan untuk Profilaksis ......................... 674
160 Stadium Penyakit Ginjal Kronik ............................................. 680
161 Kebutuhan Kalori dan Protein yang Direkomendasikan
untuk Anak PGK ..................................................................... 681
162 Pengaturan Awal Suhu Inkubator ......................................... 708
163 Penyebab Apnea dan Bradikardia Tersering Sesuai
Usia Kehamilan ...................................................................... 730
xxii
164 Pedoman Pemberian Tube Feeding ...................................... 737
165 Kebutuhan Cairan Minggu Pertama ...................................... 739
166 Kebutuhan Cairan dan Elektrolit pada Periode
Pertengahan .......................................................................... 739
167 Rekomendasi Asupan Cairan dan Elektrolit pada
Periode Pertumbuhan ........................................................... 740
168 Pemantauan Nutrisi Parenteral ............................................ 741
169 Indikasi Tranfusi Anemia pada Neonatus .............................. 757
170 Indikasi Transfusi PRC pada Bayi Pprematur ......................... 757
171 Faktor yang Berhubungan dengan Ikterus Fisiologis ............. 764
172 Pengelolaan Bayi Kuning pada Bayi Baru Lahir Cukup
Bulan dan Sehat Menurut Usia (dalam Jam) dan
Kadar Bilirubin ....................................................................... 769
173 Pedoman Fototerapi Bayi Kuning Cukup Bulan dengan
dan atau tanpa Faktor Risiko berdasarkan Canadian
Paediatrics Society ................................................................ 769
174 Indikasi Fototerapi dan Transfusi Ganti berdasarkan
Berat Badan ........................................................................... 770
175 Penyulit Terapi Sinar ............................................................. 770
176 Transfusi Ganti ...................................................................... 770
177 Terapi Efektif pada Kelainan Gen Tunggal ............................ 774
178 Terapi Efektif Kelainan Multifaktorial ................................... 775
179 Skor Down ............................................................................. 786
180 Perbedaan Kejang Demam Kompleks dengan Sederhana .... 793
181 Gambaran Cairan Serebrospinal pada Infeksi Susunan
Saraf Pusat ............................................................................ 807
182 Persentase Manifestasi Klinis Abses Serebri ......................... 809
183 Persentase Manifestasi Klinis Meningitis TB ......................... 811
184 Gambaran Cairan Serebrospinal pada Meningitis TB ............ 812
185 Klasifikasi Retardasi Mental berdasarkan Tingkat IQ ............ 824
186 Tingkat Retardasi Mental berdasarkan Karakteristik
Perkembangan Anak ............................................................. 825
187 Obat Stimulan untuk Terapi Anak ADHD ............................... 830
188 Refleks Primitif ...................................................................... 836
189 Obat Pelemas Otot untuk Terapi Anak Palsi Serebral ........... 838
190 Klasifikasi Kurang Energi Protein ........................................... 851
191 Bagan dan Jadwal Pengobatan Kurang Energi
Protein Berat ......................................................................... 853
192 Formula WHO dan Modifikasi ............................................... 863
193 Kebutuhan Energi dan Protein Anak Sehat & Gizi Baik
EER (Estimated Energy Requirements) .................................. 866
194 EER untuk Anak Usia 3–18 Tahun .......................................... 866
195 Physical Activity Coefficient’s (PA) Anak Usia 3–18 Tahun .... 866
196 RDA Kebutuhan Protein ........................................................ 866
197 Rumus WHO untuk Memperkirakan REE .............................. 867
198 Faktor Stres untuk Setiap Tipe Stres ..................................... 868
199 Pemecahan Masalah yang Paling Sering Dijumpai ................ 872

xxiii
200 Klasifikasi Hiperkolesterolemia Familial ................................ 878
201 Indikasi Pemberian Nutrisi Enteral pada Anak ...................... 881
202 Ukuran NGT dan OGT untuk Anak berdasarkan Usia ............ 882
203 Pemantauan Nutrisi Enteral .................................................. 884
204 Perbedaan Pemberian Nutrisi Parenteral Perifer
dengan Sentral ...................................................................... 886
205 Rumus Schofield untuk Menghitung REE .............................. 887
206 Faktor Stres pada Perhitungan Energi ................................... 887
207 Kebutuhan Protein pada Anak dan Remaja .......................... 888
208 Dosis Pemberian Lemak Intravena ........................................ 889
209 Kebutuhan Elektrolit pada Anak ............................................ 889
210 Rekomendasi Vitamin Parenteral .......................................... 889
211 Rekomendasi Kebutuhan Trace Element .............................. 890
212 Pemantauan Nutrisi Parenteral ............................................. 891
213 Kebutuhan Energi pada Anak dengan Penyakit
Ginjal Kronik .......................................................................... 894
214 Kebutuhan Protein pada Anak dengan Penyakit
Ginjal Kronik .......................................................................... 894
215 Rekomendasi Asupan Kalsium untuk Anak PGK
Stadium 2–5 .......................................................................... 895
216 Rekomendasi Suplementasi Vitamin D pada Anak PGK ........ 896
217 Sistem Skoring (Modified Centor Score) untuk
Memperkirakan Faringitis Group A β–hemolytic
Streptococci ........................................................................... 907
218 Pemberian Antibiotik ............................................................ 909
219 Penilaian Derajat Croup (Westley Score) ............................... 914
220 Algoritme Penatalaksanaan Croup ........................................ 917
221 Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) ............. 930
222 Penyebab Utama Pneumonia yang Didapat di Masyarakat
pada Anak berdasarkan Usia ................................................. 933
223 Klasifikasi Derajat Berat Pneumonia pada Anak
Usia 2 Bulan sampai 5 Tahun ................................................ 935
224 Terapi Empiris Antibiotik pada HAP Onset Dini ..................... 948
225 Terapi Empiris Antibiotik pada HAP Onset Lambat ............... 948
226 Gambaran Laboratorium Cairan Pleura pada Tiap
Fase Empiema ....................................................................... 951
227 Kategori Risiko Prognosis Buruk pada Penderita Efusi
Parapneumonik dan Empiema .............................................. 954
228 Kriteria Wells dalam Prediksi Tromboemboli Secara Klinis ... 965
229 Sistem Penilaian/Skoring Gejala dan Pemeriksaan
Penunjang TB di Sarana Kesehatan Terbatas ........................ 975
230 Regimen Pengobatan TB Anak yang Direkomendasikan
WHO 2010 ............................................................................. 977
231 Dosis Obat Antituberkulosis Lini Pertama dan Kedua yang
Direkomendasikan untuk TB Anak ........................................ 978
232 Manifestasi Klinis Derajat Eksaserbasi .................................. 994
233 Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Menurut GINA
(2002–2010) .......................................................................... 997
xxiv
234 Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Menurut Pedoman
Pengendalian Penyakit Asma ................................................ 997
235 Derajat Kontrol Asma ............................................................ 998
236 Kriteria mAPI dan API ............................................................ 1006
237 Klasifikasi dan Derajat Berat Asma ........................................ 1008
238 Rekomendasi Steroid Hirupan Dosis Rendah ........................ 1012
239 Perbedaan Tipe Malformasi Paru Kongenital ........................ 1016
240 Formula Praktis untuk Menentukan Tinggi Badan Normal
pada Bayi dan Anak ............................................................... 1024
241 Usia Rata-rata Erupsi Gigi Susu dan Gigi Tetap pada Anak ... 1025
242 Kurva WCGS .......................................................................... 1028
243 Indikator Pertumbuhan menurut Z-score ............................. 1029
244 KPSP Anak Usia 3 Bulan ......................................................... 1035
245 KPSP Anak Usia 6 Bulan ......................................................... 1038
246 KPSP Anak Usia 9 Bulan ......................................................... 1040
247 KPSP Anak Usia 12 Bulan ....................................................... 1043
248 KPSP Anak Usia 15 Bulan (1 Tahun 3 Bulan) .......................... 1044
249 KPSP Anak Usia 18 Bulan (1 Tahun 6 Bulan) .......................... 1045
250 KPSP Anak Usia 21 Bulan (1 Tahun 9 Bulan) .......................... 1046
251 KPSP Anak Usia 24 Bulan (2 Tahun) ....................................... 1048
252 KPSP Anak Usia 30 Bulan (2 Tahun 6 Bulan) .......................... 1049
253 KPSP Anak Usia 36 Bulan (3 Tahun) ....................................... 1050
254 KPSP Anak Usia 42 Bulan (3 Tahun 6 Bulan) .......................... 1052
255 KPSP Anak Usia 48 Bulan (4 Tahun) ....................................... 1054
256 KPSP Anak Usia 54 Bulan (4 Tahun 6 Bulan) .......................... 1055
257 KPSP Anak Usia 60 Bulan (5 Tahun) ....................................... 1058
258 KPSP Anak Usia 66 Bulan (5 Tahun 6 Bulan) .......................... 1061
259 KPSP Anak Usia 72 Bulan (6 Tahun) ....................................... 1063
260 Parents’ Evaluation Developmental Status ........................... 1068
261 Daftar Pertanyaan untuk Deteksi Dini Masalah
Mental Emosional ................................................................. 1073
262 Ceklis Deteksi Dini Autis (Checklist for Autism in
Toddlers/CHAT) untuk Anak Usia 18–36 Bulan ..................... 1075
263 Formulir Deteksi Dini Anak Gangguan Pemusatan
Perhatian dan Hiperaktivitas (Abbreviated Conners
Ratting Scale) ........................................................................ 1077
264 Jadwal Pemberian Makanan Bayi .......................................... 1090
265 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar ....................................... 1091
266 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Bawah Tiga Tahun ..... 1091
267 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Usia Sekolah Dasar .... 1091
268 Imunisasi Lanjutan pada Wanita Usia Subur (WUS) .............. 1092
269 Imunisasi Hepatitis B untuk Anak yang Sudah Terpapar
Penderita Hepatitis B ............................................................ 1095
270 Jadwal Imunisasi Bila Imunisasi Terlambat ........................... 1095
271 Program Imunisasi di UKS ..................................................... 1096
272 Checklist Wawancara HEEADSSS ........................................... 1100
273 Kuesioner Kekuatan dan Kesulitan pada Anak
(Usia 11–17 Tahun) ............................................................... 1101
xxv
274 Panduan Pemberian Skor Kuesioner Kekuatan dan
Kesulitan pada Anak (Usia 11–17 Tahun) .............................. 1102
275 Skor berdasarkan Aspek ........................................................ 1104
276 Interpretasi Skor (Kuesioner yang Diisi oleh Orangtua) ........ 1104
277 Interpretasi Skor (Kuesioner yang Diisi oleh Guru) ............... 1104
278 Interpretasi Skor (Kuesioner yang Diisi oleh Remaja) ........... 1104
279 Pediatric Symptom Checklist-17 ............................................ 1106
280 Nilai Normal Keseimbangan Asam-Basa ............................... 1111
281 Nilai Normal Darah Rutin ...................................................... 1111
282 Nilai C-Reactive Protein (CRP) berdasarkan Usia dan
Jenis Kelamin ......................................................................... 1112
283 Kriteria Napas Cepat WHO .................................................... 1112
284 Nilai Normal Kecepatan Nadi berdasarkan Usia dan
Jenis Kelamin ......................................................................... 1113
285 Tekanan Darah Anak Laki-laki berdasarkan Persentil
Tinggi Badan .......................................................................... 1114
286 Tekanan Darah Anak Perempuan berdasarkan Persentil
Tinggi Badan .......................................................................... 1115
287 Pertambahan BB dan TB ....................................................... 1116
288 Interpretasi Indikator Pertumbuhan ..................................... 1149
289 Pola Perkembangan Bayi-Anak Sampai Usia 5 Tahun ........... 1151
290 Dosis Obat yang Sering Digunakan ....................................... 1154
291 Nilai Normal Laboratorium yang Sering Digunakan .............. 1157
292 Cairan Serebrospinal ............................................................. 1164
293 Rentang Normal Denyut Jantung Saat Beristirahat ............... 1165
294 Nilai Rata-rata dan Rentang Normal Axis QRS ...................... 1165
295 Interval PR dengan Denyut Jantung dan Usia (Nilai Batas
Atas Normal) ......................................................................... 1166
296 Durasi QRS berdasarkan Usia: Nilai Rata-rata (Batas Atas
Nilai Normal) ......................................................................... 1166
297 Voltase R Menurut Lead dan Usia: Rata-rata (dan Batas
Atas) ...................................................................................... 1167
298 Voltase S Menurut Lead dan Usia: Rata-rata (dan Batas
Atas) ...................................................................................... 1168
299 Perbandingan R/S berdasarkan Usia: Rata-rata, Batas
Bawah, dan Batas Atas Nilai Normal ..................................... 1169
300 Voltase Q berdasarkan Usia: Rata-rata (dan Batas Atas) ...... 1169
301 Konversi Analisis Gas Darah Vena ke Arteri .......................... 1171
302 Intepretasi Analisis Gas Darah .............................................. 1171
303 Mekanisme Kompensasi Keseimbangan Asam Basa ............. 1171
304 Perhitungan Anion Gap ......................................................... 1172
305 Rasio Delta ............................................................................ 1173

xxvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1 Algoritme Tatalaksana Reaksi Anafilaksis Akut ..................... 7
2 Algoritme Riwayat Artritis dengan Jumlah
4 Sendi atau Kurang .............................................................. 22
3 Algoritme Riwayat Artritis dengan Jumlah
5 Sendi atau Lebih ................................................................. 23
4 Algoritme Riwayat Artritis dengan Tanda Sistemik Aktif ...... 24
5 Algoritme Riwayat Artritis Sistemik dengan Artritis Aktif ..... 25
6 Skema Tatalaksana LES ......................................................... 31
7 Algoritme Tatalaksana Lupus Nefritis (Kelas III dan IV)
atau Lupus Berat ................................................................... 33
8 Jadwal Pemberian Siklofosfamid (i.v.) pada Penderita LES ... 36
9 Jadwal Pemberian MMF pada Penderita LES ........................ 37
10 Jadwal Pemberian Sklofosfamid i.v. dan Azatioprin (AZA)
pada Penderita LES ................................................................ 38
11 Ringkasan Tatalaksana Purpura Henoch-Schönlein
berdasarkan Keterlibatan Organ ........................................... 43
12 Tatalaksana HSP Nefritis ....................................................... 45
13 Protokol Vaskulitis Birmingham ............................................ 48
14 Protokol Terapi Skleroderma ................................................ 56
15 Lund and Bowder Estimation Chart ....................................... 63
16 Penatalaksanaan Alergi Obat ................................................ 71
17 Klasifikasi Rinitis Alergi .......................................................... 80
18 Teknik Pemakaian Obat Semprot Hidung yang Benar ........... 82
19 (a) Teknik Pemakaian Obat Semprot Hidung yang Benar
(b) Teknik Pemakaian Obat Tetes Hidung yang Benar .......... 83
20 Algoritme Tatalaksana Rinitis Alergi dari WHO-ARIA 2008 ... 87
21 Algoritme Bantuan Hidup Dasar Menurut AHA 2010 ........... 109
22 Algoritme Bantuan Hidup Dasar Menurut AHA 2005 ........... 110
23 Algoritme Tatalaksana Dukungan Hemodinamik untuk
Mencapai Perfusi Normal dan Tekanan Perfusi
(MAP-CVP) pada Bayi Cukup Bulan dan Anak
dengan Renjatan Septik ........................................................ 161
24 Algoritme Tatalaksana Renjatan Sepsis ................................. 169
25 Wong-Baker FACES Pain Rating Scale ................................... 190
26 Algoritme Transpor Penderita Intrahospital ......................... 208
27 Algoritme Transportasi Antarfasilitas .................................... 209
28 Cara Mengukur Streched Penile Length (SPL) ....................... 219
29 Algoritme Hipotiroid ............................................................. 229
30 Algoritme Diagnosis Perawakan Pendek ............................... 239
31 Patofisiologi Gangguan Cairan dan Elektrolit KAD ................ 260
32 Stadium Prader ...................................................................... 270
33 Biosintesis Steroid di Korteks Adrenal ................................... 274

xxvii
34 Etiologi Abdomen Akut berdasarkan Lokalisasi
dan Sifat Nyeri ....................................................................... 281
35 Algoritme Manajemen Hiperkalemia .................................... 307
36 Algoritme Pendekatan Diagnosis Perdarahan
Saluran Cerna Bagian Atas .................................................... 325
37 Algoritme Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna
Bagian Bawah ........................................................................ 331
38 Protokol Leukemia Limfoblastik Akut Indonesia ................... 371
39 Protokol Leukemia Mieloblastik Akut Indonesia ................... 376
40 Protokol Neuroblastoma Localized and Unresectable .......... 389
41 Protokol Neuroblastoma OPEC/OJEC .................................... 390
42 Alur Penatalaksanaan Penderita Difteria .............................. 420
43 Alur Manajemen Meningitis Bakterialis ................................ 439
44 Tatalaksana Awal Demam dan Neutropenia ......................... 452
45 Penilaian Ulang Sesudah 2–4 Hari Pemberian Antibiotik ...... 453
46 Spektrum Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue ................ 485
47 Alur Pemberian Cairan pada DBD Derajat III dan IV .............. 491
48 Algoritme Tatalaksana Defek Septum Atrium ....................... 560
49 Algoritme Tatalaksana VSD ................................................... 564
50 Algoritme Tatalaksana Duktus Arteriosus Persisten ............. 569
51 Algoritme Tatalaksana Tetralogi Fallot .................................. 576
52 Algoritme Tatalaksana Transposisi Arteri Besar .................... 582
53 Bagan Algoritme Diagnostik Penyakit Kawasaki Atipik ......... 627
54 Kriteria Diagnosis pRIFLE untuk Klasifikasi Gangguan
Ginjal Akut pada anak ........................................................... 650
55 Algoritme Penanganan Keracunan Jengkol pada Anak ......... 678
56 Pengobatan Inisial dengan Kortikosteroid ............................ 687
57 Pengobatan SN Kambuh ....................................................... 687
58 Pengobatan SN Kambuh Sering ............................................ 688
59 Pengobatan SN Ketergantungan Steroid .............................. 689
60 Kemungkinan Lokasi Obstruksi Saluran Kemih
pada Uropati Obstruktif ........................................................ 694
61 Skema Peninggian Tekanan Intratubular
dan Tekanan Intrakapsular ................................................... 695
62 Algoritme Resusitasi Neonatus ............................................. 704
63 Algoritme Tatalaksana Anemia pada Neonatus .................... 756
64 Patofisiologi Polisitemia ........................................................ 760
65 Nomogram Penentuan Risiko Hiperbilirubinemia pada
Bayi Sehat Usia ≥36 Minggu dengan BB ≥2.000 Gram
atau Usia Kehamilan ≥35 Minggu dengan BB ≥2.500
Gram berdasarkan Jam Observasi Kadar Bilirubin
Serum ................................................................................... 766
66 Bagan Diagnosis Etiologi Neonatal Hiperbilirubinemia ......... 768
67 Diagram Alur Neonatus Sehat, Risiko, Sakit .......................... 777
68 Algoritme Evaluasi Neonatus dengan Gangguan
Metabolisme ......................................................................... 778
69 Algoritme ACCEPT untuk Rujukan Neonatus ......................... 782

xxv
70 Algoritme Penegakan Diagnosis Kejang ................................ 796
71 Algoritme Tatalaksana Kejang dan Status Epileptikus ........... 805
72 Patofisiologi Bronkiektasis .................................................... 921
73 Algoritme Tatalaksana CAP Menurut Usia ............................ 941
74 Algoritme Tatalaksana CAP Menurut Usia (Lanjutan) ........... 942
75 Alur Tatalaksana Hospital Acquired Pneumonia ................... 947
76 Algoritme Penatalaksanaan Empiema pada Anak ................. 955
77 Algoritme Diagnosis Tromboemboli Paru ............................. 968
78 Algoritme Tatalaksana Bayi Baru Lahir yang Terpapar TB ..... 981
79 Algoritme Tatalaksana Antituberculosis Drug-Induced
Hepatotoxicity (ADIH) ............................................................ 988
80 Pendekatan Stepwise Asma Anak Usia 0–4 Tahun
(berdasarkan Derajat Beratnya) ............................................ 1010
81 Manajemen Asma berdasarkan Kontrol pada
Anak Berusia di Bawah 5 Tahun ............................................ 1010
82 Algoritme Diagnosis dan Tatalaksana Asma Prasekolah ....... 1011
83 Pusat Osifikasi Primer pada Embrio ...................................... 1026
84 Pusat Osifikasi Primer pada Janin .......................................... 1027
85 Dugaan Perawakan Pendek (T/U <−2 SD) ............................. 1087
86 Bagan Tim Tumbuh Kembang FK Unpad/RSHS Bandung ...... 1088
87 Jadwal Imunisasi Anak Usia 0–18 Tahun Rekomendasi
IDAI Tahun 2014 .................................................................... 1093
88 The CRAFFT Screening Questions .......................................... 1107

xxv
Alergi Imunologi
Budi Setiabudiawan
Reni Ghrahani
Gartika Sapartini
ANAFILAKSIS
Batasan
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang bersifat sistemik,
berat, serta mengancam jiwa. Reaksi ini berlangsung dalam beberapa
menit sesudah paparan, dapat bertahan hingga dua jam atau lebih
Manifestasi Klinis
Sebagian besar diawali dengan gejala pada kulit atau saluran per-
napasan. Gejala bervariasi, bergantung pada organ yang terkena
Karakteristik yang khas: onset terjadi segera sesudah paparan
alergen, interval waktu antara beberapa detik hingga 1–2 jam,
bergantung pada rute pemberian (i.v. biasanya lebih cepat) dan
derajat sensitisasi
Dapat terjadi manifestasi yang tidak biasa misalnya sinkop tanpa
disertai gejala lain
Gejala awal yang umum terjadi pada reaksi anafilaksis
Vertigo, pingsan, hipotensi
Urtikaria, angioedema
Gatal pada kulit
Kemerahan pada wajah
Nyeri kepala
Rinitis
Sesak, mengi
Nyeri substernal
Edema saluran respiratori atas
Mual, muntah, diare, nyeri abdomen
Diagnosis
Anamnesis
Waktu terjadinya onset
Terapi yang sudah diberikan
Lama terjadinya serangan
Obat-obatan dalam 6 jam terakhir
Riwayat sengatan binatang
Riwayat atopi penderita

3
Pemeriksaan Fisis
Tabel 1 Pemeriksaan Fisis yang Dapat Ditemukan pada Reaksi
Anafilaksis
Organ Tanda dan Gejala Klinis
Kulit dan mukosa Pruritus, kemerahan, urtikaria, parestesia,
dan angioedema
Sistem respirasi Bagian atas (rinitis, bersin, stridor, suara
serak) dan bagian bawah (batuk, wheezing,
sesak) dapat terjadi juga sianosis, asfiksia,
dan henti napas
Sistem Vasodilatasi, palpitasi, takikardia,
kardiovaskular bradikardia (relatif atau absolut), aritmia,
hipotensi, syok, infark miokardium, dan
henti jantung
Gastrointestinal Bengkak, gatal pada bibir dan lidah, mual,
muntah, nyeri perut, diare
Reproduksi Nyeri pelvis (seperti kontraksi uterus)
Neurologis Gelisah, nyeri kepala, pening, inkotinensia,
kejang, dan tidak sadar
Sumber: Ring dkk. 2010, Walker dan Sheikh 2003

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada anafilaksis
yaitu elektrokardiografi, foto Rontgen toraks, pemeriksaan urea
dan elektrolit darah, analisis gas darah, atau pemeriksaan lainnya
sesuai dengan gejala yang timbul
Anafilaksis dapat ditegakkan dengan kriteria berikut:

4
Tabel 2 Kriteria Diagnostik Anafilaksis
Onset penyakit yang bersifat akut (beberapa mnt hingga jam)
dengan keterlibatan kulit, mukosa, atau keduanya (contoh urtikaria
generalisata, pruritus atau kemerahan, pembengkakan pada bibir-
lidah-uvula) dan paling tidak ditemukan salah satu dari:
Gangguan sistem respirasi (dispnea, wheezing, bronkospasme,
stridor, hipoksemia, peak expiratory flow ↓)
Tekanan darah ↓ atau ditemukan gejala gagal organ (hipotonia,
sinkop, inkontinensia)
Terdapat dua atau lebih gejala di bawah ini yang terjadi segera
(beberapa mnt hingga jam) sesudah paparan alergen:
Keterlibatan kulit dan mukosa (urtikaria generalisata, pruritus atau
kemerahan, pembengkakan pada bibir-lidah-uvula)
Gangguan sistem respirasi (dispnea, wheezing, bronkospasme,
stridor, hipoksemia, peak expiratory flow ↓)
Tekanan darah ↓ atau ditemukan gejala gagal organ (hipotonia,
sinkop, inkontinensia)
Gejala gastrointestinal yang bersifat persisten (nyeri abdomen,
muntah)
Terdapat tekanan darah ↓ sesudah terpapar dengan alergen
tertentu (beberapa mnt hingga jam) dengan kriteria:
Bayi dan anak, apabila ditemukan tekanan darah sistol yang
rendah (sesuai dengan usia) atau terdapat tekanan darah sistol ↓
>30%*
* Keadaan hipotensi pada anak dibedakan berdasarkan usia, pada
usia neonatus (0–28 hr) apabila tekanan darah sistol <60 mmHg,
usia 1–12 bl <70 mmHg, usia 1–10 th <70 + (2× usia dalam th)
mmHg, usia >10 th <90 mmHg
Sumber: Sampson dkk. 2006

5
Klasifikasi
Tabel 3 Klasifikasi Anafilaksis
Temuan Klinis
Tahapan
Kulit Saluran Cerna Saluran Respiratori Kardiovaskular
I Pruritus, kemerahan, − − −
urtikaria, angioedema
II Pruritus kemerahan, urtikaria, Mual, kram Rinorea, hoarseness, Takikardia, perubahan
angioedema* dispnea tekanan darah, aritmia
III Pruritus kemerahan, urtikaria, Muntah, defekasi, Edema laring, Syok
angioedema* diare bronkospasme, sianosis
6

IV Pruritus kemerahan, urtikaria, Muntah, defekasi, Henti napas Henti jantung


angioedema* diare
Keterangan: * tidak selalu harus didapatkan
Sumber: Ring dkk. 2010
Terapi

Gambar 1 Algoritme Tatalaksana Reaksi Anafilaksis Akut


Sumber: Tse dan Rylance 2009, Liberman dan Teach 2008

Keterangan:
* Kondisi yang mengancam jiwa:
Airway: bengkak, suara serak, stridor
Breathing: takipnea, wheezing, fatigue, sianosis, SpO2
<92%, confusion
Circulation: pucat, telapak tangan lembap (clammy), tekanan
darah rendah, pingsan, koma
** Adrenalin pengenceran 1:1.000 (dapat diulangi setiap 5–15
mnt jika tidak ada perbaikan), tempat penyuntikan terbaik

7
pada daerah anterolateral paha ⅓ tengah. Dosis diberikan
berdasarkan BB:
Dosis 0,01 mg/kgBB secara i.m. (1 mg/mL), maks. 0,3 mg.
Pada umumnya penderita berespons pada 1 atau 2 dosis
pemberian
*** Cairan infus diberikan kristaloid 20 mL/kgBB. Koloid tidak
boleh diberikan karena dapat menjadi penyebab reaksi
anafilaksis
**** Klorfeniramin i.m. atau i.v. lambat dengan dosis 1–2
mg/kgBB/kali maks. 50 mg i.v. atau p.o.
***** Hidrokortison i.m. atau i.v. lambat dengan dosis
4 mg/kgBB/kali maks. 100 mg i.v. atau prednison 1 mg/kgBB
dosis maks. 60–80 mg p.o. atau metilprednisolon dengan
dosis 1 mg/kgBB dengan dosis maks. 60–80 mg i.v.
Prognosis
Baik apabila penanganannya tepat
Kematian dapat terjadi pada kasus berat
Bibliografi
1. Johansson SGO. New nomenclature and clinical aspects of
allergic disease. Dalam: Pawankar R, Holgate ST, Rosenwasser,
penyunting. Allergy frontiers: classification and patho-
mechanisms. Tokyo: Springer; 2009. hlm. 31–42.
2. Liberman DB, Teach SJ. Management of anaphylaxis in children.
Ped Emerg Care. 2008;24(12):861–9.
3. Lieberman PL. Anaphylaxis. Dalam: Adkinson NF, Bochner BS,
Busse WW, Holgate ST, Lemanske RF, Simons FER, penyunting.
Middleton’s allergy: principles and practice. Edisi ke-7.
Philadelphia: Mosby-Elsevier; 2009. hlm. 1027–49.
4. NWS Department of Community Services. Guidelines for
children’s services 2007—anaphylaxis [diunduh 21 Maret 2012].
Tersedia dari: http://www.community.nsw.gov.au/DOCSWR/
_assets/main/documents/ANAPHYLAXIS_GUIDELINES.PDF.
5. Ring J, Behrendt H, Weck A. History and classification of
anaphylaxis. Chem Immunol Allergy. 2010;95:1–11.
6. Sampson HA, Muñoz-Furlong A, Campbell RL, Adkinson NF, Bock
SA, Branum A, dkk. Second symposium on the definition and
management of anaphylaxis: summary report—second national
institute of allergy and infectious disease/food allergy and
anaphylaxis network symposium. Ann Emerg Med. 2006;47(4):
373–80.
7. Simons FER, ArdussoLRF, Bilò MB, El-Gamal YM, Ledford DK, Ring
J, dkk. World Allergy Organization anaphylaxis guidelines:
summary. J Allergy Clin Immunol. 2011;127(3):587–93.e22.
8. Tse Y, Rylance G. Emergency management of anaphylaxis in
children and young people: new guidance from the Resuscitation
Council (UK). Arch Dis Child Educ Pract Ed. 2009;94(4):97–101.

8
9. Walker S, Sheikh A. Managing anaphylaxis: effective emergency
and long-term care are necessary. Clin Exp Allergy. 2003;33(8):
1015–8.
10. Working Group of the Resuscitation Council (UK). Emergency
treatment of anaphylactic reactions—guidellines for healthcare
providers. Januari 2008. [diunduh 21 Maret 2012]. Tersedia dari:
http://www.resus.org.uk/pages/reaction.pdf.

9
JUVENILE IDIOPATHIC ARTHRITIS
Batasan
Juvenile idiopathic arthritis (JIA) didefinisikan sebagai artritis
persisten yang menetap >6 mgg dengan onset usia <16 th, sesudah
penyebab artritis lain disingkirkan
Definisi artritis harus memenuhi kriteria terdapat bengkak pada sendi
atau terdapat ≥2 keadaan sebagai berikut, yaitu: gerakan yang
terbatas, nyeri spontan, nyeri pada pergerakan atau hangat pada
sendi
Etiologi
Pencetus penyakit tidak diketahui, meskipun diduga penyebabnya
adalah infeksi
Diagnosis
Menurut kriteria International League Against Rheumatism (ILAR),
gambaran klinis JIA dibagi menjadi 6 tipe, yaitu: tipe sistemik (sJIA),
oligoartikular (oJIA), poliartritis (poJIA) FR(+) dan FR(−), enthesitis-
related arthritis (eJIA), psoriatic arthritis (pJIA)

10
Klasifikasi
Tabel 4 Klasifikasi JIA Revisi Kedua Menurut Kriteria Edmonton 2001
Klasifikasi Deskripsi Persentase
Sistemik Artritis dengan atau didahului demam quotidian min. 2 mgg, disertai min. 1 dari: 2–17%
Ruam reumatoid
Limfadenopati generalisata
Hepatomegali/splenomegali
Serositis
Oligoartritis Artritis ≤4 sendi dalam 6 bl pertama. Apabila se sudah 6 bl pertama berkembang Extended persistent
menjadi ≥5 sendi disebut sebagai extended oligoarthritis, sedangkan apabila tetap 12–29%
jumlahnya disebut persistent oligoarthritis
Poliartritis Artritis ≥5 sendi dalam 6 bl pertama, dibagi 2 yaitu faktor reumatoid/FR (−) dan (+). FR(−) → 10–28%
Dikatakan (+) apabila pemeriksaan FR (+) pada 2× pemeriksaan dengan jarak waktu 3 bl FR(+) → 2–10%
Enthesitis-related Artritis dengan enthesitis; atau artritis dengan min. 2 dari: 3–11%
11

arthritis Nyeri sendi sakroiliaka dan atau nyeri inflamasi lumbosakral


HLA__B27 (+)
HLA B27 (–) associated disease pada first or second degree relative
Uveitis anterior simtomatik
Artritis atau entesitis pada anak laki-laki sesudah usia 6 th
Psoriatic arthritis Artritis dengan psoriasis; atau artritis dengan min. 2 dari: 2–11%
Riwayat psoriasis pada first-degreerelative
Daktilitis
Kuku abnormal (nail pitting atau onikolisis)
Undifferentiated Artritis yang tidak memenuhi kriteria salah satu kategori di atas, atau memenuhi >1 2–23%
arthritis kategori
Sumber: Lovell dkk. 2008
Tabel 5 Gambaran JIA berdasarkan Subtipe
Oligo-artikular Poliartikular Sistemik Psoriatik Enthesitis-related
RF (−) RF (+) Arthritis
% JIA 50–60 20–30 5–10 10–20 5–15 15
Sex (L:P) 4:1 9:1 4:1 1:1 3:2 1:9
Usia saat 2–12 2–12 Dewasa Semua usia Pertengahan masa Dewasa
onset (puncak 1–2) (puncak 1–3) anak
Pola sendi Asimetris Sering Simetris Sendi besar dan Sendi besar dan Asimetris
Sendi besar (lutut, asimetris Multipel kecil kecil, termasuk Sendi besar termasuk
pergelangan kaki, Multipel Sendi besar panggul dan panggul, kerangka
pergelangan Sendi kecil dan kecil terutama DIP aksial, termasuk
tangan, siku) dan besar sakroilitis
Keterlibatan Uveitis asimtomatik Uveitis Nodul Demam Psoriasis Entesitis
Nail pitting
12

ekstra- 20% (terutama jika asimtomatik reumatoid Ruam Uveitis simtomatik


artikular ANA +) (terutama jika Limfadenopati Daktilitia (20%)
ANA +) Hepatospleno- Uveitis simtomatik IBD aortitis
megali serositis (10%)
Entesitis
FBC N N N WCC↑ N N
ESR/CRP N N/↑ N/↑ ↑↑ N N/↑
ANA 80% 60–80% 50% <10% 50% (−)
Faktor (−) (−) (−) (−) (−) (−)
reumatoid
HLA B27 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada 30% 80%
Remisi (%) 52 24 0 35 Rendah Rendah
Sumber: McKay dan Singh-Grewal 2009
Diagnosis Banding
Penyakit infeksi: artritis septik
Penyakit noninfeksi: demam reumatik akut, penyakit hematologi dan
keganasan, vaskulitis (purpura Henoch-Schönlein) dan penyakit auto-
imun lainnya (lupus eritematosus sistemik)
Pemeriksaan Penunjang
Antibodi antinuklear (antinuclear antibody/ANA)
Hasil ANA (+) sering ditemukan pada penderita oJIA (terutama
perempuan) dengan onset <7 th dan diduga dapat meningkatkan
risiko uveitis
Faktor reumatoid (FR)
Penderita poJIA (terutama perempuan dan onset >10 th) dengan
FR (+) menunjukkan perjalanan penyakit yang kronik dan progresif
C-reactive protein (CRP)
Menilai aktivitas penyakit pada sJIA dan salah satu indikator
keberhasilan terapi
Laju endap darah (LED)
LED dapat normal tetapi dapat sangat ↑ (>60 mm/jam) pada sJIA
Radiologis
Pada keadaan kronik: beberapa perubahan yang dapat terlihat
antara lain penyempitan ruang sendi (akibat kehilangan tulang
rawan sendi), erosi, subkondral, periostitis, osteoporosis,
pembengkakan jaringan lunak, dan berbagai derajat kerusakan
sendi
Pemeriksaan oftalmologis rutin berkala
Deteksi dini iridosiklitis, terutama pada tipe oligoartritis dengan
ANA (+)
Penyulit
Osteoporosis
Deformitas sendi dan jaringan lunak di sekitarnya
Atrofi otot
Uveitis/iridosiklitis
Konsultasi
Mata
Deteksi dini uveitis/iridosiklitis
Ortopedi Pediatri
Injeksi intraartikular, penggunaan splint bila diperlukan
Terapi
Penatalaksanaan yang terkoordinasi dari suatu tim yang terdiri atas
dokter anak/dokter reumatologi anak, perawat, pekerja sosial,

13
terapis okupasi, dokter bedah tulang, ahli gizi, orangtua atau
keluarga, dan sebagainya
Lima kelompok perlakuan JIA meliputi:
I. Gambaran prognosis buruk dan aktivitas penyakit riwayat
artritis pada ≤4 sendi:
Untuk gambaran prognosis buruk, setidaknya memenuhi satu
dari:
Artritis pada sendi panggul atau leher
Artritis pada pergelangan kaki atau pergelangan tangan
dan peninggian penanda inflamasi
Gambaran radiologis menunjukkan erosi atau penyempit-
an ruang sendi
Menilai aktivitas penyakit
Aktivitas rendah, harus memenuhi semua dari:
Mengenai ≤1 sendi yang aktif
ESR atau CRP normal
Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit
adalah <3 dari 10*)
Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugar-
an penderita adalah <2 dari 10**)
Aktivitas sedang, tidak memenuhi kriteria untuk aktivitas
rendah atau tinggi
Memiliki ≥1 gambaran aktivitas rendah dan memiliki
<3 gambaran aktivitas tinggi
Aktivitas tinggi, harus memenuhi setidaknya 3 dari:
Mengenai ≥2 sendi yang aktif
ESR atau CRP 2× lebih tinggi dari nilai normal
Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit
adalah ≥7 dari 10
Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugar-
an penderita adalah ≥4 dari 10
*)
Dinilai berdasarkan 10-cm visual analog scale (VAS), yaitu
0 = tidak ada aktivitas, 10 = aktivitas maks.
**)
Dinilai berdasarkan VAS, yaitu 0=sangat bugar, 10=sangat
buruk/tidak bugar

II. Gambaran prognosis buruk dan aktivitas penyakit untuk riwayat


artritis pada ≥5 sendi:
Untuk gambaran prognosis buruk, setidaknya memenuhi satu
dari:
Artritis pada sendi panggul atau leher
Faktor reumatoid atau antibodi anticyclic citrullinated
peptide (+)
Gambaran radiologis menunjukkan erosi atau penyem-
pitan ruang sendi
Menilai aktivitas penyakit
Aktivitas rendah, harus memenuhi semua dari:
Mengenai ≤4 sendi yang aktif
ESR atau CRP normal

14
Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit
adalah <4 dari 10
Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugar-
an penderita adalah <2 dari 10
Aktivitas sedang, tidak memenuhi kriteria untuk aktivitas
rendah dan aktivitas tinggi
Memiliki ≥1 gambaran aktivitas rendah dan memiliki <3
gambaran aktivitas tinggi
Aktivitas tinggi, harus memenuhi setidaknya 3 dari:
Mengenai ≥8 sendi yang aktif
ESR atau CRP 2× lebih tinggi dari nilai normal
Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit
adalah ≥7 dari 10
Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugar-
an penderita adalah ≥5 dari 10
III. Gambaran prognosis buruk dan aktivitas penyakit untuk artritis
sakroiliaka aktif:
Untuk gambaran prognosis buruk:
Gambaran radiologis menunjukkan erosi atau penyem-
pitan ruang sendi
Menilai aktivitas penyakit
Aktivitas rendah, harus memenuhi semua dari:
Fleksi pada punggung normal
ESR atau CRP normal
Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit
adalah <4 dari 10
Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugar-
an penderita adalah <2 dari 10
Aktivitas sedang, tidak memenuhi kriteria untuk aktivitas
rendah atau tinggi
Memiliki ≥1 gambaran aktivitas rendah dan memiliki <2
gambaran aktivitas tinggi
Aktivitas tinggi, harus memenuhi setidaknya 2 dari:
ESR atau CRP 2× lebih tinggi dari nilai normal
Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit
adalah ≥7 dari 10
Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugar-
an penderita adalah ≥4 dari 10
IV. Gambaran prognosis buruk dan aktivitas penyakit untuk artritis
sistemik dengan artritis aktif (dan tanpa gambaran sistemik
aktif):
Untuk gambaran prognosis buruk, setidaknya memenuhi
satu dari:
Artritis pada sendi panggul
Gambaran radiologis yang menunjukkan erosi atau
penyempitan ruang sendi
Menilai aktivitas penyakit
Aktivitas rendah, harus memenuhi semua dari:

15
Mengenai ≤4 sendi yang aktif
ESR atau CRP normal
Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit
adalah <4 dari 10
Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugar-
an penderita adalah <2 dari 10
Aktivitas sedang, tidak memenuhi kriteria untuk aktivitas
rendah atau tinggi
Memiliki ≥1 gambaran aktivitas rendah dan memiliki <3
dari gambaran aktivitas tinggi
Aktivitas tinggi, harus memenuhi setidaknya 3 dari:
Mengenai ≥8 sendi yang aktif
ESR atau CRP 2× lebih tinggi dari nilai normal
Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit
adalah ≥7 dari 10
Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugar-
an penderita adalah ≥5 dari 10
V. Gambaran prognosis buruk dan aktivitas penyakit untuk artritis
sistemik dengan gambaran sistemik aktif (dan tanpa artritis
aktif):
Untuk gambaran prognosis buruk:
Memiliki durasi 6 bl untuk penyakit sistemik yang aktif,
ditandai dengan demam, peningkatan penanda inflamasi,
memerlukan terapi dengan glukokortikoid sistemik
Aktivitas penyakit terdiri atas 2 level:
Terdapat demam dan penilaian global dokter terhadap
aktivitas penyakit adalah <7 dari 10
Terdapat demam dan gambaran sistemik dari aktivitas
tinggi (misal serositis yang signifikan) yang didapatkan
dari penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit
adalah ≥7 dari 10
Tabel 6 NSAIDs yang Sudah Disetujui US FDA
Nama Obat Dosis (/kgBB/hr) Frekuensi (×/hr)
Ibuprofen 40 3
Tolmetin 30 3
Naproksen 20 2
Indometasin 3 3
Sulindac 6 2
Diklofenak 3 2
Meloksikam 0,125–0,25 1
Celecoxib 4 2
Sumber: Hashkes dan Laxer 2005

16
Tabel 7 Berbagai Disease-Modifying Antirheumatic Drugs (DMARDs) dalam Terapi JIA
Nama Obat Dosis Lama Terapi Efek Samping Keterangan
Metotreksat 10–15 mg/m2/mgg 6 bl Gejala saluran cerna, Diberikan bersamaan dengan asam
abnormalitas fungsi hati, folat 1 mg/hr
pneumonitis
Sulfasalazin 0,5–2 mg/hr secara 1–2 bl Abnormalitas fungsi hati, Efektif untuk extended
bertahap leukopenia oligoarthritis dan enthesis-related
arthritis
Siklosporin A 3–4 mg/kgBB/hr 6 bl Nefrotoksik, hipertensi Terapi untuk JIA resisten dan
refrakter
17

Hidroksiklo- 6–6,5 mg/kgBB 2–4 bl Ruam, diare, neuromiopati, Sering digunakan sebagai terapi
rokuin makulopati kombinasi
Azatioprin 0,5–2,5 mg/kgBB 4 bl Supresi sumsum tulang, Diduga menyebabkan keganasan di
selama ≥1 th hipersensitivitas kemudian hr
Sumber: Hashkes dan Laxer 2005
Tabel 8 Obat-obatan pada Penatalaksanaan JIA
Obat Target Rute Dosis
Etanercep TNF-α s.k. 0,8 mg/kgBB/dosis 1×/mgg, maks. 50 mg/dosis
Infliximab TNF-α i.v. 6–10 mg/kgBB/dosis mgg ke-0, 2, dan 6 kemudian
tiap 4–8 mgg
Adalimumab TNF-α s.k. 24 mg/m2 tiap 2 mgg, maks. 40 mg/dosis
Anakinra IL-1 s.k. 1–2 mg/kgBB/hr, maks. 100 mg/dosis
Rilonacept IL-1 s.k. 2,2–4,4 mg/kgBB 1×/mgg
Abatacept Limfosit T sitotoksik yang i.v. 10 mg/kgBB mgg ke-0, 2, 4, maks. 1.000 mg/dosis
berhubungan dengan
18

antigen 4
Rituximab CD20 i.v. 750 mg/m2; 2 dosis terbagi dalam 2 mgg atau 375 mg/m2;
4 dosis, 4 mgg 1×/mgg, maks. 1.000 mg/dosis
Tocilizumab IL-6 i.v. 8–12 mg/kgBB tiap 2 mgg
Sumber: Wallace 2010
Tabel 9 Pemantauan Penggunaan Obat-obatan JIA
Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
Tes darah lengkap, enzim hati, kreatinin serum
Sebelum atau segera sesudah dimulainya penggunaan rutin
Ulangi sekitar 2×/th untuk penggunaan sehari-hari yang
kronik
Ulangi kira-kira sekali setiap th untuk penggunaan rutin
(3–4 hr/mgg)
Metotreksat
Tes darah lengkap, enzim hati, kreatinin serum
Sebelum inisiasi
Sekitar 1 bl sesudah inisiasi
Sekitar 1–2 bl sesudah peningkatan dosis
Ulangi kira-kira setiap 3–4 bl jika hasil sebelum dosis normal
dan stabil
Tumor necrosis factor α inhibitor
Tes darah lengkap, enzim hati, kreatinin serum
Sebelum inisiasi
Ulangi kira-kira setiap 3–6 bl
Skrining tuberkulosis
Sebelum inisiasi
Ulangi kira-kira 1×/th
Sumber: Beukelman dkk. 2011

Pencegahan
Tidak ada
Prognosis
Berdasarkan penelitian >30% penderita artritis idiopatik kronik pada
masa anak-anak akan mengalami keterbatasan fungsional dalam
10 th kemudian. Sebanyak 12% penderita termasuk ke dalam
Steinbrocker kelas III atau IV sesudah 3–7 th onset penyakit,
sedangkan 48% penderita sesudah ≥16 th dari onset penyakit

19
Tabel 10 Kriteria Progresivitas JIA Menurut ACR (Steinbrocker)
Stadium Keterangan
I Tidak ada perubahan obstruktif secara radiologis
Awal Mungkin terdapat osteoporosis secara radiologis
II Osteoporosis secara radiologis, dengan atau tanpa
Sedang destruksi subkondral ringan atau kerusakan kartilago
ringan
Tidak ada deformitas sendi, meskipun mungkin
terdapat keterbatasan gerak sendi
Atrofi otot yang letaknya berdekatan
Lesi jaringan ekstraartikular seperti nodul atau
tenosinovitis
III Bukti radiologis menunjukkan destruksi tulang dan
Berat kartilago selain osteoporosis
Deformitas sendi misalnya subluksasi, deviasi ulnar,
atau hiperekstensi
Atrofi otot yang ekstensif
Lesi jaringan lunak ekstraartikular, misalnya nodul
atau tenosinovitis
IV Fibrosis atau ankilosis tulang
Akhir Kriteria stadium III
Sumber: Viola dkk. 2005

Bibliografi
1. Beukelman T, Patkar NM, Saag KG, Tolleson-Rinehart S, Cron RQ,
DeWitt EM, dkk. 2011 American College of Rheumatology
recommendations for the treatment of juvenile idiopathic
arthritis: initiation and safety monitoring of therapeutic agents
for the treatment of arthritis and systemic features. Arthritis
Care Res (Hoboken). 2011 Apr;63(4):465–82.
2. Cassidy JT, Petty RE. Chronic arthritis in childhood. Dalam:
Cassidy JT, Petty RE, Laxer RM, Lindley CB, penyunting. Textbook
of pediatric rheumatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2005. hlm. 209–16.
3. Hashkes PJ, Laxer RM. Medical treatment of juvenile idiopathic
arthritis. JAMA. 2005 Oct;294(13):1671–84.
4. Hayward K, Wallace CA. Recent developments in anti-rheumatic
drugs in pediatrics: treatment of juvenile idiopathic arthritis.
Arthritis Res Ther. 2009;11(1):216.
5. Lovell DJ, Woo P, Hashkes PJ, Laxer RM, Lindsley CB. Juvenile
idiopathic arthritis. Dalam: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ,
White PH, penyunting. Primer on the rheumatic disease. Edisi
ke-13. New York: Springer; 2008. hlm. 142–68.
6. McKay D, Singh-Grewal D. Rheumatology. Dalam: Kilham H,
Alexander S, Wood N, Isaacs D. Paediatrics manual. The
Children’s Hospital at Westmead handbook. Edisi ke-2. North
Ryde: McGraw-Hill Australia; 2009. hlm. 349–57.

20
7. Petty RE, Southwood TR, Manners P, Baum J, Glass DN,
Goldenberg J, dkk. International League of Associations for
Rheumatology classification of juvenile idiopathic arthritis: second
revision, Edmonton, 2001. J Rheumatol. 2004;31(2):390–2.
8. Ravelli A, Martini A. Juvenile idiopathic arthritis. Lancet.
2007;369(9563):767–79.
9. Viola S, Felici E, Magni-Manzoni S, Pistorio A, Buoncompagni A,
Ruperto N, dkk. Development and validation of a clinical index
for assessment of long-term damage in juvenile idiopathic
arthritis. Arthritis Rheum. 2005;52(7):2092–102.
10. Wallace CA. Developing standards of care for patients with
juvenile idiopathic arthritis. Rheumatology. 2010;49(7):1213–4.
11. Woo P, Laxer RM, Sherry DD. Pediatric rheumatology in clinical
practice. Edisi ke-1. London: Springer-Verlag; 2007.

21
Lampiran
Tatalaksana JIA

Gambar 2 Algoritme Riwayat Artritis dengan Jumlah 4 Sendi atau


Kurang
Keterangan: * = sulfasalazin dapat menjadi terapi yang tepat
untuk enthesitis-related arthritis
Sumber: Beukelman dkk. 2011

22
Gambar 3 Algoritme Riwayat Artritis dengan Jumlah 5 Sendi atau
Lebih
Keterangan: * = leflunomid dapat digunakan sebagai terapi
alternatif
Sumber: Beukelman dkk. 2011

23
Gambar 4 Algoritme Riwayat Artritis dengan Tanda Sistemik Aktif
Sumber: Beukelman dkk. 2011

24
Gambar 5 Algoritme Riwayat Artritis Sistemik dengan Artritis Aktif
Keterangan: * = inisiasi pemberian anakinra kurang tepat apabila
dibandingkan dengan pemberian sekitar onset
# = mengganti anakinra dengan inhibitor TNF-α
tepat untuk beberapa kasus
Sumber: Beukelman dkk. 2011

25
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Batasan
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun
yang menyebabkan inflamasi sistemik pada berbagai sistem organ,
bersifat kronik dan episodik, yang berarti dapat mengalami
eksaserbasi dan remisi
Tiga karakteristik diagnosis LES:
Merupakan penyakit episodik
Merupakan penyakit multisistem
Ditandai antibodi antinuklear khususnya terhadap dsDNA dan
autobodi lainnya
Etiologi
Belum diketahui, kecuali lupus yang disebabkan oleh obat. Faktor
genetik, faktor yang didapat, dan faktor lingkungan dianggap
berperan penting dalam gangguan sistem imun
Interaksi antara jenis kelamin, faktor hormonal, dan aksis
hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal memodifikasi tingkat keren-
tanan dan manifestasi klinis LES
Patogenesis
Ketidakmampuan regulasi imun seperti apoptosis dan eliminasi imun
kompleks merupakan kontributor penting dalam berkembangnya
LES. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen
membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam
jaringan dan akan mengaktivasi komplemen, sehingga terjadi reaksi
inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat deposit tersebut

26
Manifestasi Klinis
Tabel 11 Manifestasi Klinis LES
Sistem Klinis
Konstitusional Demam, malaise, BB ↓
Kulit Bercak malar (malar/butterfly rash), lupus
diskoid, eritema periungual, foto sensitivitas,
alopesia, ulserasi mukosa
Mukoskeletal Poliatralgria dan artritis, tenosinovitis, miopati,
nekrosis aseptik
Vaskular Fenomena Raynaud, retikularis livedo, trombosis,
eritromelalgia, lupus profundus
Jantung Perikarditis dan efusi, miokarditis, endokarditis
Libman-Sacks
Paru-paru Pleuritis, pneumositis basiler, atelektasis,
perdarahan
Gastrointestinal Peritonitis, disfungsi esofagus, kolitis
Hati, limpa, Hepatospenomegali, splenomegali, limfadenopati
kelenjar
Neurologi Organic brain syndrome, kejang psikosis,
polineuritis, neuropati perifer
Mata Eksudat, edema papil, retinopati
Renal Glomerulonefritis, sindrom nefrotik, hipertensi
Sumber: Petty dan Laxer 2005

Diagnosis
Penyakit LES ditegakkan apabila didapatkan 4 dari 11 kriteria berikut
(Tabel 12)

27
Tabel 12 Kriteria Diagnosis LES Menurut American College of
Rheumatology (ACR)
Kriteria Definisi
Bercak malar Eritema datar atau menimbul yang menetap di
daerah pipi, tidak melewati lipatan nasolabial
Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent
keratotic scaling dan follicular plugging, pada
lesi lama dapat terjadi parut atrofi
Foto sensitif Bercak di kulit timbul akibat paparan sinar
matahari pada anamnesis atau pemeriksaan fisis
Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri
Artritis Artritis nonerosif pada 2 atau lebih persendian
perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak,
atau efusi
Serositif
Pleuritis Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural
friction rub atau terdapat efusi pleura pada
pemeriksaan fisis, atau
Perikarditis Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial
friction rub atau terdapat efusi perikardial pada
pemeriksaan fisis
Gangguan ginjal
Proteinuria Proteinuria >0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika
persisten pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan
Celular cast Eritrosit, Hb, granular, tubular, atau campuran
Gangguan saraf
Kejang Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit), atau
Psikosis Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
Gangguan Terdapat salah satu kelainan darah
darah Anemia hemolitik → dengan retikulosit
Leukopenia → <4.000/mm3 pada ≥1
pemeriksaan
Limfopenia → <1.500/mm3 pada ≥2
pemeriksaan
Trombositopenia → <100.000/mm3 tanpa
terdapat intervensi obat

28
Gangguan Terdapat salah satu kelainan
imunologi Anti-dsDNA di atas titer normal
Anti-Sm(Smith) (+)
Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan kadar IgG
atau IgM antikardiolipin serum yang abnormal,
antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan
tes standar
Tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bl dan
dikonfirmasi dengan ditemukan Treponema
palidum atau antibodi treponema
Antibodi Tes ANA (+)
antinuklear
Sumber: Petty dan Laxer 2005, Tassiula dan Boumpa 2009

Diagnosis Banding
Sebagai penyakit reumatik sistemik, diagnosis LES merupakan
integrasi gejala, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Gambaran umum penyakit reumatik sistemik harus dikenali, berbagai
penyakit jaringan ikat lain dapat menyerupai LES tahap awal.
Penyakit infeksi atau keganasan harus disingkirkan pada penderita
demam atau splenomegali dan limfadenopati. LES yang tidak
memenuhi kriteria diagnostik sebagai LES klasik sering disebut “lupus
laten” atau “lupus inkomplet”
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang ditunjukkan untuk menilai petanda
inflamasi, terdapatnya autoantibodi—khususnya antibodi terhadap
antigen nuklear—serta untuk mengevaluasi keterlibatan organ,
memonitor efek terapi, termasuk toksisitas obat
Indikator Inflamasi
Laju endap darah (LED), C-reactive protein (CRP) dapat ↑
Kelainan Hematologis
Anemia
Hemolisis autoimun dapat disebabkan oleh IgG complement-
fixing antibodies terhadap eritrosit yang ditandai dengan tes
antiglobulin (misal tes Coomb)
Leukosit dan trombosit
Meskipun leukositosis dapat terjadi dengan limfositopenia
(<1.500 sel/mm3) dan neutropenia, juga dapat ditemukan
trombositopenia pada hampir setengah kasus LES anak
Abnormalitas Koagulasi
Antikoagulan lupus
Pemanjangan aPTT dan waktu protrombin
Antibodi antifosfolipid: antibodi terhadap kardiolipin akan bereaksi
silang dengan sejumlah fosfolipid

29
Antibodi Antinuklear (Antinuclear Antibody/ANA)
Titer ANA dengan mikroskop imunofloresens berada pada rentang
kadar rendah 1:80 hingga kadar tinggi ekstrem 1:5.150 pada
penyakit aktif. Pola imunofloresens biasanya periferal atau nuklear
Antibodi terhadap DNA (anti-dsDNA)
Anti-dsDNA sangat patognomonis untuk LES, dapat ditemukan
pada semua anak LES yang aktif dan ditemukan berkadar tinggi
pada nefritis aktif. Anti-dsDNA diukur dengan berbagai metode,
antara lain radioimunoasai, mikroskop fluoresens atau enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA)
Antibodi terhadap extractable nuclear antigen
Antibodi terhadap extractable nuclear antigen (anti-Sm, anti-
Ro/SS-A, anti-La/SS-B) sangat berhubungan dengan LES,
neonatal lupus, dan sindrom Sjogren. Kadar tinggi anti-RNP
berhubungan dengan LES dan mixed connective tissue diseases
Antibodi antihiston
Tingginya kadar antibodi antihiston tanpa anti-dsDNA sangat
menyokong lupus yang diinduksi obat
Antiglobulin (Faktor Reumatoid)
Faktor reumatoid ditemukan pada 10–30% anak LES
Kompleks Imun
Terdapatnya kompleks imun sangat mendasar pada patogenesis
LES, tetapi pengukuran di dalam darah perifer hanya memberi
sumbangan sedikit pada proses diagnostik atau tatalaksana LES
Komplemen
Pengukuran komplemen serum penting untuk menilai aktivitas
LES. Komponen yang diukur antara lain C3, C4, atau CH50
Urinalisis dan Evaluasi Gangguan Ginjal
Sebagian besar anak dengan nefritis lupus aktif didapatkan
abnormalitas sedimen urin yang merupakan tanda gangguan
ginjal. Proteinuria paling sering ditemukan, tetapi hematuria dan
kast eritrosit merupakan tanda penting glomerulonefritis aktif.
Proteinuria merupakan indikator abnormalitas glomerular dan
tubular, tetapi bikan indikator respons terapi jangka pendek
Analisis Cairan Inflamasi
Analisis cairan sendi pada LES biasanya bersifat
3
inflamasi dengan
leukosit yang rendah (<2.000 sel/mm ). Kandungan protein
bervariasi mulai transudat hingga eksudat. Kadar komplemen
cairan sendi biasanya rendah, menunjukkan rendahnya kadar
komplemen dalam darah. Cairan pleura menunjukkan protein ↑
(>3 g/dL), leukosit ↑ (2.500–5.000/mm3), dengan sel mononuklear
yang dominan, kadar glukosa mendekati kadar glukosa serum,
serta C3 dan C4 ↓. Dapat ditemukan sel LE pada sediaan apus

30
Konsultasi
Penanganan multidisiplin untuk diagnosis dan terapi sesuai manifes-
tasi klinis:
Kulit
Mata
Fisioterapi
Tatalaksana
Penyakit LES merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan remisi
dan relaps. Terapi suportif dan edukasi bagi orangtua dan anak
penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan.
Edukasi dan konseling memerlukan tim dalam menangani penyakit
multisistem pada anak dan remaja, serta harus meliputi ahli
reumatologi anak, ginjal anak, kulit, nutrisionis, perawat, petugas
sosial, dan psikolog. Perpindahan terapi ke masa dewasa harus
direncanakan sejak remaja. Berikut ini alur tatalaksana LES (Gambar 6)

Gambar 6 Skema Tatalaksana LES


Sumber: Gottlieb dan Ilowite 2006

31
Terapi Farmakologis
Terapi spesifik LES bersifat individual dan berdasarkan tingkat
keparahan penyakit
Obat antiinflamasi nonsteroid
Ditujukan terutama untuk mengatasi keluhan muskuloskelet
Ibuprofen: 30–40 mg/kgBB/hr dibagi 3–4 dosis, maks.
2.400 mg/hr
Naproksen: 10–20 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis, maks.
1.000 mg/hr
Hidroksiklorokuin
Dosis yang direkomendasikan ≤6,5 mg/kgBB/hr, maks. 400
mg/hr. Merupakan zat penghemat steroid (steroid sparing
agent). Pemberian hidroksiklorokuin memerlukan pemantauan
toksisitas terhadap retina. Terdapat peningkatan potensi
toksisitas retina bila terdapat gangguan fungsi ginjal.
Pemantauan lapang pandang, tes penglihatan warna,
pemeriksaan kornea, dan visual acuity testing dilakukan setiap
6 bl
Glukokortikoid
Prednison
Diberikan p.o. bersama makanan
Dosis rendah <0,5 mg/kgBB/hr, ⅔ dosis pagi hr, ⅓ dosis
siang hr, interval 8 jam
Dosis tinggi 1–2 mg/kgBB/hr (maks. 60–80 mg/hr), dibagi
3–4 dosis selama 3–6 mgg, dilanjutkan dengan tapering-off
selama 1–2 mgg diberikan sesuai alur pada Gambar 6, juga
diberikan pada:
Anemia hemolitik akut, berat 3
Trombositopenia (<50.000/m ) tanpa perdarahan dan
gangguan koagulasi
Lupus eritematosus kutan berat sebagai bagian terapi
inisial lupus diskoid dan vaskulitis
Pantau anti-dsDNA, bila (−), lakukan tapering-off selama
1–2 mgg stop terapi selama remisi (anti-dsDNA (−))
Metilprednison
Dosis 30 mg/kgBB/hr i.v. (maks. 1 g) selama 90 mnt, 3 hr
berturut-turut, dilanjutkan secara i.m. (tiap mgg) disertai
prednison dosis rendah setiap hr, diberikan sesuai alur pada
Gambar 6, juga diberikan pada:
Anemia hemolitik berat
Trombositopenia berat (<50.000/m3) mengancam kehidup-
an, mungkin perlu disertai imunoglobulin intravena (IGIV)
Bila berjangka panjang dapat disertai: danazol, vinkristin,
imunosupresif lain, splenektomi (sangat jarang)
Triamsinolon (intraartikular): untuk artritis pada sendi tertentu
Agen imunosupresif
Siklofosfamid, mikofenolat mofetil (MMF), dan azatioprin
(Gambar 7)
Digunakan pada lupus nefritis berat, neuropsikiatrik
32
Siklofosfamid dosis terendah digunakan pada keadaan
leukopenia, trombositopenia, kreatinin >2 g/dL
MMF dan azatioprin lebih aman dibandingkan dengan
siklofosfamid

Gambar 7 Algoritme Tatalaksana Lupus Nefritis (Kelas III dan IV)


atau Lupus Berat
Sumber: Modifikasi Hajizadeh dkk. 2014

Metotreksat
Sebagai zat penghemat steroid. Dosis 10–20 mg/m2 p.o.
1×/mgg diberikan bersama asam folat p.o. hindari alkohol
(meningkatkan risiko sirosis hepatis). Obat diberikan pada:
Trombositopenia (<50.000/mm3) jangka panjang sesudah
terapi inisial metilprednisolon dosis tinggi
Poliartritis berat, bila dosis rumatan kortikosteroid >10
mg/hr
33
Lupus eritematosus kutan berat
Topikal
Diberikan bila ada kelainan kulit. Obat yang biasa digunakan:
Betametason 0,05%
Flusinosid 0,05% untuk 2 mgg, selanjutnya diganti dengan
hidrokortison
Fisioterapi
Segera bila ada artritis
Terapi Suportif
Diet: setiap pemberian kortikosteroid, apabila jangka panjang
harus disertai dengan diet rendah garam, gula, restriksi cairan,
disertai suplemen Ca dan vitamin D
Dosis kalsium karbonat sebagai elemen kalsium:
Usia <6 bl: 360 mg/hr
6–12 bl: 540 mg/hr
1–10 th: 800 mg/hr
11–18 th: 1.200 mg/hr
Dosis vitamin D (hidroksikolekalsiferol)
BB <30 kg: 20 mcg p.o. 3×/mgg
BB >30 kg: 50 mcg p.o. 3×/mgg
Edukasi
Penting untuk penderita/keluarganya agar mengerti penyakit LES
dan penyulitnya yang mungkin terjadi, serta pentingnya berobat
secara teratur
Penyulit
Akibat LES
Osteonekrosis
Deteksi dini dengan magnetic resonance imaging (MRI)
Ortopedik stadium dini: core decompression
Stadium lanjut: total joint replacement
Sindrom antibodi antifosfolipid bila disertai:
Trombosis: terapi warfarin intensitas tinggi (bila international
normalized ratio/INR: 3–4)
Rekurensi kegagalan berlangsungnya kehamilan: heparin,
aspirin dosis rendah
Gagal ginjal: dialisis, transplantasi
Antihipertensi, antikonvulsan, antipsikotik, antiemetik
Akibat Terapi
Osteoporosis
Fracture-induced osteoporosis
Muntah akibat siklofosfamid
Sitopenia akibat siklofosfamid (anemia, leukopenia, trombo-
sitopenia)

34
Pencegahan
Pencegahan terhadap pemaparan sinar matahari
Hindari paparan sinar matahari dengan tingkat UV tertinggi (jam
09.00/10.00–15.00/16.00)
Pakaian lengan panjang, celana panjang, kerudung, topi, kacamata
hitam
Tabir surya (topikal) untuk blokade radiasi UVA dan UVB, sedikit-
nya dengan sun protector factor (SPF) 30
Pencegahan osteoporosis selama terapi steroid dosis tinggi
Deteksi dini dengan MRI
Diet tinggi kalsium
Vitamin D adekuat
Olahraga
Pencegahan sistitis hemoragika akibat siklofosfamid: mesna i.v.
Mesna akan mengikat akrolein, metabolit toksik siklofosfamid
Prognosis
LES merupakan penyakit jangka panjang, diselingi eksaserbasi dan
remisi. Eksaserbasi (flare) setiap saat dapat dicetuskan oleh infeksi
atau pencetus lain, ditandai demam dan gejala konstitusional lainnya.
Remisi secara spontan dapat terjadi. Luaran dari penyakit ini akan
membaik dengan diagnostik dan terapi multidisiplin, serta pemaham-
an tentang penyulit jangka pendek dan jangka panjang

35
36

Gambar 8 Jadwal Pemberian Siklofosfamid (i.v.) pada Penderita LES


Sumber: Lehman dan Onel 2000
37

Gambar 9 Jadwal Pemberian MMF pada Penderita LES


Sumber: Hahn dkk. 2012 dan Hajizadeh dkk. 2014
38

Gambar 10 Jadwal Pemberian Siklofosfamid i.v. dan Azatioprin (AZA) pada Penderita LES
Sumber: Hahn dkk. 2012 dan Hajizadeh dkk. 2014
Bibliografi
1. Cassidy JT. Systemic lupus erythematosus, dermatomyositis,
scleroderma and vasculitis. Dalam: Firestein GS, Budd RC, Harris
ED, McInnes IB, Ruddy S, Sergent JS, penyunting. Edisi ke-8.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 1677–96.
2. Gottlieb BS, Ilowite NT. Systemic lupus erythematosus in children
and adolescent. Pediatr Rev. 2006;27(9):323–30.
3. Hahn BH, McMahon MA, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI,
Fitzgerald JD, dkk. American College of Rheumatology guidelines
for screening, treatment, and management of lupus nephritis.
Arthritis Care Res. 2012;64(6):797–808.
4. Hahn BH. Overview of pathogenesis of systemic lupus
erythematosus. Dalam: Wallace DJ, Hahn BH, penyunting.
Dubois’ lupus erythematosus. Edisi ke-7. Los Angeles: Lippincott
Williams & Wilkins; 2007. hlm. 47–53.
5. Hajizadeh N, Laijani FJ, Moghtaderi M, Ataei N, Assadi F. A
treatment algorithm for children with lupus nephritis to prevent
developing renal failure. Inter J Prev Med. 2014;5(3):250–5.
6. Ilowite NT, Laxer RM. Pharmacology and drug therapy. Dalam:
Cassidy CT, Laxer RM, Pett RE, Linsdley CB, penyunting. Textbook
of pediatric rheumatology. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 71–126.
7. Klein-Gittelman MS, Miller ML. Systemic lupus erythematosus.
Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 1015–9.
8. Lehman TJA, Onel K. Intermittent intravenous cyclophosphamide
arrests progression of the renal chronicity index in childhood
systemic lupus erythematosus. J Pediatr. 2000;136(2):243–7.
9. Miller FW, Cooper GS. Environmental aspects of lupus. Dalam:
Wallace DJ, Hahn BH, penyunting. Dubois’ lupus erythematosus.
Edisi ke-7. Los Angeles: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. hlm.
22–33.
10. Petty RE, Laxer RM. Systemic lupus erythematosus. Dalam:
Cassidy JT, Petty RE, Lindsley C, Laxer RM, penyunting. Textbook
of pediatric rheumatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2005. hlm. 543–56.
11. Rus V, Maury EE, Hochberg MC. The epidemiology of systemic
lupus erythematosus. Dalam: Wallace DJ, Hahn BH, penyunting.
Dubois’ lupus erythematosus. Edisi ke-7. Los Angeles: Lippincott
Williams & Wilkins; 2007. hlm. 34–44.
12. Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus eritematosus sistemik.
Dalam: Garna H, Nataprawira HMD, penyunting. Pedoman
diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak FK Unpad/RSHS. Edisi
ke-3. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad/RSHS;
2005. hlm. 133–42.
13. Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus eritematosus. Dalam:
Kartasasmita CB, Supandiman I, Suwarman I, Djajakusumah TS,
Dahlan Z, penyunting. Pedoman penatalaksanaan alergi dan
imunologi. Bandung: Peralmuni Cabang Bandung; 2006. hlm.
28–50.
39
14. Tassiula IO, Boumpa DO. Clinical features and treatment of
systemic lupus erythematosus. Dalam: Firestein GS, Budd RC,
Harris ED, McInnes IB, Ruddy S, Sergent JS, penyunting. Edisi
ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 1263–94.
15. Tutuncu ZAN, Kalunian KC. The definition and classification of
systemic lupus erythematosus. Dalam: Wallace DJ, Hahn BH,
penyunting. Dubois’ lupus erythematosus. Edisi ke-7. Los
Angeles: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. hlm. 16–20.

40
PURPURA HENOCH-SCHÖNLEIN
Batasan
Purpura Henoch-Schönlein (Henoch-Schönlein purpura/HSP) merupa-
kan vaskulitis leukositoklastik akut yang ditandai deposit IgA pada
pembuluh darah kecil di kulit, persendian, saluran cerna, dan ginjal
Etiologi
Belum diketahui dengan pasti
Infeksi
Bakteri: terutama Streptokokus beta-hemolitikus, Haemophilus,
Mycoplasma pneumoniae, Legionella, Yersinia, Salmonella, dan
Shigella
Virus: parainfluenza, Epstein-Barr virus, hepatitis B, adenovirus,
varisela, cytomegalovirus, parvovirus B19, herpes simpleks
Faktor genetik, human leucocyte antigen (HLA) class II genes, HLA-
B35 dan HLA-DRB1*01, polimorfisme gen interleukin (IL)-1 β, serta
defisiensi komplemen C2
Imunisasi (tifoid, campak, varisela, rubela, hepatitis A dan B)
Obat-obatan (penisilin, ampisilin, eritromisin, kina)
Gigitan serangga
Alergen makanan
Manifestasi Klinis
Kulit
Palpable purpura, predominan di ekstremitas bawah, bokong, dan
daerah yang terkena tekanan berat. Lesi dapat berupa petekia
kecil, ekimosis, hingga bula hemoragis. Warna lesi merah,
keunguan (purple), hingga kecoklatan. Ulserasi dapat terjadi pada
ekimosis yang luas. Ruam didahului lesi makulopapular hingga
urtikaria. Edema subkutan dapat terjadi pada bagian dorsal
tangan, kaki, mata, kening, kulit kepala, dan skrotum, serta dapat
terjadi torsio testis
Gastrointestinal
Nyeri abdomen biasanya bersifat intermiten, kolik di daerah
periumbilikus dengan onset akut. Vaskulitis pada dinding usus
menyebabkan edema serta perdarahan submukosa dan
intramural, dapat menyebabkan intususepsi (biasanya pada usus
kecil), gangren, dan perforasi
Ginjal
Glomerulonefritis terjadi dengan berbagai derajat, dapat berupa
hematuria mikroskopik, proteinuria ringan, hingga sindrom
nefrotik, sindrom nefritik akut, hipertensi hingga gagal ginjal.
Manifestasi klinis ginjal yang berat dapat terjadi 1 bl sesudah
terjadinya ruam, dengan masa kritis 3 bl pertama menentukan
manifestasi klinis ginjal yang berat
Henoch-Schönlein purpura nephritis digolongkan berat apabila
terdapat proteinuria nefrotik (>40 mg/m2/hr), sindrom nefrotik,

41
sindrom nefritis akut, dan apabila terdapat HSPN tingkat IIIa
(proliferasi fokal atau sklerosis dengan gambaran kresentik <50%)
sesuai dengan klasifikasi International Study of Kidney Disease in
Children (ISKDC)
Artritis
Dapat berupa artralgia atau artritis, biasanya mengenai sendi
besar seperti lutut dan pergelangan kaki
Diagnosis
European League Against Rheumatism (EULAR), Paediatric
Rheumatology International Trials Organisation (PRINTO), dan
Paediatric Rheumatology European Society (PRES) 2008:
Purpura atau petekia nontrombositopenia dengan lokasi
predominan di ekstremitas bawah ditambah sekurang-kurangnya
satu dari empat kriteria di bawah ini, yaitu:
Nyeri abdomen
Histopatologi
Gambaran vaskulitis leukositoklastik pada kulit atau
glomerulonefritis proliferatif dengan dominasi deposit IgA
Artritis atau artralgia
Keterlibatan ginjal
Diagnosis Banding
Vaskulitis pembuluh darah kecil lain yang diperantarai kompleks
imun, vaskulitis hipersensitif, mixed cryoglobulinemia, vaskulitis
urtikaria
Pauci-immune vasculitides, granulomatosis Wegener, sindrom Churg-
Strauss, poliangiitis mikroskopis
Miscellaneous small vessel vasculitides: penyakit Behcet,
inflammatory bowel disease
Kelainan yang menyerupai vaskulitis: perdarahan, trombosis, emboli
Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap: leukositosis, trombositosis, anemia bila terdapat
perdarahan saluran cerna atau hematuria berat, laju endap darah
(LED) dapat ↑
Urin dipstik untuk mengetahui hematuria dan proteinuria
Fungsi ginjal
Albumin darah
Titer antistreptolisin O (ASTO) untuk mengetahui infeksi Streptokokus
sebelumnya
Darah samar feses
Radiologis pada HSP:
Foto abdomen: perforasi saluran cerna (gambaran udara bebas)
USG abdomen: terlihat penebalan dinding usus dan peristaltik usus
↓ serta berguna untuk mengetahui intususepsi (terbanyak
ileoileal)
USG ginjal: hidronefrosis

42
Tatalaksana
43

Gambar 11 Ringkasan Tatalaksana Purpura Henoch-Schönlein berdasarkan Keterlibatan Organ


Tatalaksana Kelainan Kulit
Prednison dosis 1 mg/kgBB/hr dalam 2 dosis selama 14 hr,
kemudian diturunkan bertahap 0,5 mg/kgBB/hr selama 1 mgg,
kemudian 0,5 mg/kgBB sekali sehari secara alternat
Kelainan kulit yang berat: kortikosteroid sistemik atau obat
imunosupresif yang lebih poten (azatioprin, metotreksat atau
siklofosfamid)
Tatalaksana Penyulit Gastrointestinal
Prednison 2 mg/kgBB/hr selama 2 mgg termasuk tapering-off
Pada penyulit gastrointestinal yang berat dapat diberikan
metilprednisolon dosis tinggi (30 mg/kgBB/hr, maks. 1 g) secara i.v.
dalam 1 jam selama 3 hr berturut-turut, diikuti dengan
prednisolon 1 mg/kgBB/hr, dilakukan tapering-off bila perbaikan
klinis tercapai
Gejala gastrointestinal menetap dengan pemberian kortikosteroid
dapat diberikan mikofenolat mofetil (MMF) 30 mg/kgBB/hr
Imunoglobulin i.v. 2 g/kgBB dosis tunggal dalam 10–12 jam setiap
bl selama 3 bl berturut-turut

44
Tatalaksana HSP Nefritis (HSPN)

Gambar 12 Tatalaksana HSP Nefritis*


*Keterangan
Vitamin D 300 IU/hr dan kalsium untuk 6 bl
Memantau parameter laboratorium setiap 3 bl (protein urin, kreatinin,
protein total, albumin, SGOT, SGPT, dan GFR) selama terapi diberikan
Sesudah selesai terapi, penderita kontrol 3 bl sekali dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium setiap 6 bl
Protokol vaskulitis Birmingham terlampir pada Gambar 13

Efek samping siklofosfamid: dapat terjadi depresi sumsum tulang,


infeksi, sistitis hemoragik, toksisitas gonad, dan risiko keganasan↑
Sebelum pemberian setiap protokol dilakukan pemeriksaan darah
lengkap, urea, kreatinin, elektrolit, dan fungsi hati
Protokol penundaan atau modifikasi dosis siklofosfamid (cyclo-
phosphamide/CYC) pada keadaan sebagai berikut (Tabel 13)

45
Tabel 13 Penyesuaian Dosis Protokol Siklofosfamid (CYC) pada
Beberapa Keadaan
Neutropenia Tunda protokol hingga
neutrofil >1,5×109/L,
dosis CYC untuk
selanjutnya direduksi
25%
Gangguan Kreatinin 97–150 mol/L Reduksi CYC 25%
fungsi ginjal
>150 mol/L Reduksi CYC 50–75%
Laju filtrasi 50–80 mL/mnt/ Reduksi CYC 25%
ginjal 1,73 m2
15–49 mL/mnt/ Reduksi CYC 50%
1,73 m2
<15 mL/mnt/ Reduksi CYC 75%
1,73 m2
Gangguan ALT/AST >200 IU/L Pertimbangkan reduksi
fungsi hati CYC

Tatalaksana Artritis/Artralgia
Asetaminofen 10–15 mg/kgBB/dosis setiap 6 jam, atau
Obat-obatan AINS, antara lain:
Naproksen 10–20 mg/kgBB/hr (maks. 1 g) dibagi 2 dosis, atau
Ibuprofen 30–40 mg/kgBB/hr (maks. 2.400 mg) dibagi 3–4 dosis
Penggunaan aspirin tidak dianjurkan

Prognosis
Penatalaksanaan yang segera akan mencegah penyulit
Bibliografi
1. Cassidy JT, Petty RE. Leucocytoclastic vasculitis. Dalam: Cassidy
JT, Petty RE, Laxer RM, Lindley CB, penyunting. Textbook of
pediatric rheumatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2005. hlm. 496–501.
2. Cassidy JT. Systemic lupus erythematosus, juvenile
dermatomyositis, scleroderma, and vasculitis. Dalam: Firestein
GS, Budd RC, Harris ED, Mclnnes IB, Ruddy S, Sergent JS,
penyunting. Kelley's textbook of rheumatology. Edisi ke-8.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 1693–5.
3. Hammidou MA. Pottier M, Dupas B. Intravenous immunoglobulin
in Henoch-Schonlein purpura. Ann Int Med. 1996;125(12):1007–
22.
4. Nikibakhsh AA, Mahmoodzadeh H, Karamyyar M, Hejazi S,
Noroozi M, Macooie AA, dkk. Treatment of complicated Henoch-
Schonlein purpura with mycophenolate mofetil: a retrospective
case series report. Int J Rheum. 2010;10:1–5.

46
5. Ozen S, Pistorio A, Lusan SM. EULAR/PRINTO/PRES criteria for
Henoch-Schönlein purpura, childhood polyarteritis nodosa,
childhood Wegener granulomatosis and childhood Takayasu
arteritis: Ankara 2008. Part II: Final classification criteria. Ann
Rheum Dis. 2010;69:798–806.
6. Schedule B. Birmingham vasculitis protocol. Newcastle Upon
Tyne Hospital [diunduh 17 Agustus 2011]. Tersedia dari:
http://www.newcastle-hospitals.org.uk/downloads/clinical-
guidelines/Childrens%20Services/CyclophosphamideTherapy2009.
pdf.
7. Sinclair P. Henoch-Schönlein purpura-a review. Curr Allergy Clin
Immunol. 2010;23:116–20.
8. Stone JH. Immune complex-mediated small vessel vasculitis.
Dalam: Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Mclnnes IB, Ruddy S,
Sergent JS, penyunting. Kelley's textbook of rheumatology. Edisi
ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 1465–73.
9. Wilkinson N, Welsh R. Paediatric reumatology cyclophosphamide
protocol. Nuffield Orthopaedic Centre. 2008. [diunduh 20 Maret
2012]. Tersedia dari: http://www.noc.nhs.uk/oxparc/professio
nals/documents/cyclophosphamide-protocol.pdf.
10. Yue D, Ling H, Chengguang Z, Mei H, Yubin W. Treatment of
children with Henoch-Schonlein purpura nephritis with
mycophenolate mofetil. Pediatr Nephrol, Online First™. 13
November 2011.

47
48

Gambar 13 Protokol Vaskulitis Birmingham


Keterangan:
Hidrasi 80 mL/m2/jam dengan lar 1:4 selama 12 jam sebelum dan 12
jam sesudah masuk siklofosfamid (hidrasi 2 L/m2/hr)
Ondansentron 5 mg/m2/dosis (maks. 8 mg) i.v. diberikan 1 jam
sebelum masuk siklofosfamid
2-Mercaptoethane sulfonate Na (MESNA) 3 mg/kgBB i.v. bolus 15 mnt
sebelum masuk siklofosfamid
Siklofosfamid 15 mg/kgBB/dosis dalam 60 mnt
Metilprednisolon 30 mg/kgBB/dosis dalam 1 jam (maks. 1 g) dalam
NaCl 0,9% 100 mL sesudah siklofosfamid masuk
MESNA 12 mg/kgBB diberikan dalam larutan hidrasi (larutan 1:4)
selama 4 jam hidrasi kedua (total dosis MESNA = total dosis siklo-
fosfamid)
Semua penderita harus diperiksa darah sebelum masuk siklofosfamid
(Hb, Ht, L,Tr, MDT, DC, LED, Na, K, Ca, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT)
Siklofosfamid tidak boleh diberikan tanpa diskusi dahulu dengan dokter
reumatologi anak konsultan atau nefrologi anak konsultan
Ondansentron dapat diberikan dengan dosis 5 mg/m2/dosis (maks. 8
mg) i.v., diberikan 1 jam sebelum pemberian siklofosfamid dan 3x/hr
(tiap 8 jam) bila ada keluhan nausea yang menetap. Terapi dapat
dilanjutkan dalam 2 hr berikutnya
Setiap pemberian kortikosteroid jangka panjang, diberikan suplemen
kalsium dan vitamin D
Dosis kalsium karbonat: Vitamin D:
usia <6 bl: 360 mg/hr BB <30 kg 20 mcg p.o. 3×/mgg
6–12 bl: 540 mg/hr BB >30 kg 50 mcg p.o. 3×/mgg
1–10 th: 800 mg/hr
11–18 th: 1.200 mg/hr
Indikasi regimen pada HSP nefritis berat yaitu:
Proteinuria nefrotik (>40 mg/m2/hr)
Sindrom nefrotik
Sindrom nefritik akut
Terdapat HSPN derajat IIIa (focal mesangial proliferation dengan
terdapatnya <50% cressent) sesuai klasifikasi ISKDC

49
SARKOIDOSIS
Batasan
Gangguan multisistem berupa jaringan granulomatosa yang tidak
diketahui penyebabnya, umumnya terjadi pada dewasa muda dengan
gejala klinis yang paling sering terjadi berupa limfadenopati bilateral
pada hilus, infiltrasi ke jaringan paru, lesi pada kulit atau mata
Etiologi
Belum diketahui pasti
Patogenesis
Faktor kombinasi antara lingkungan dan pejamu, antara lain:
Infeksi virus dan mikobakterium
Genetik
Lingkungan
Diagnosis
Gambaran klinis
Laboratorium (tidak mempunyai gambaran khas), biasanya:
Hiperglobulinemia
LED ↑
Eosinofilia
Leukopenia
Hiperkalsemia
Hiperkalsiuria
Tes fungsi hati ↑
Titer fiksasi komplemen
Radiologis
Gambaran radiologis toraks dibedakan menjadi 4 stadium:
Stadium 0: gambaran paru normal
1: pembesaran kelenjar getah bening (KGB) hilus
bilateral tanpa kelainan paru
2: pembesaran KGB hilus bilateral disertai infiltrasi ke
paru, berupa nodul milier atau cotton-wool
appearance
3: fibrosis parenkim paru dan bula dengan/tanpa
disertai pembesaran KGB
Histologis: granulomatous noncaseating, terdiri atas sel epiteloid
yang membentuk tuberkel tanpa nekrosis
Bahan: KGB perifer, KGB mediastinum, kulit, otot, tulang, paru,
hati, konjungtiva, kelenjar ludah minor, dan mukosa hidung
Tes kulit Kveim-Siltzbach (+)
Tes tuberkulin (−)
Imunoglobulin normal atau ↑
Bilasan bronkoalveolar
Limfositosis, terutama limfosit T
T-helper: T-supresor = 10:1

50
Diagnosis Banding
Tuberkulosis
Penyakit yang disebabkan oleh mikrob dan jamur
Keganasan
Reaksi alergi
Proses autoimun
Idiopathic pulmonary fibrosis
Pemeriksaan Penunjang
Angiotensin-converting enzym serum ↑
Kontras galium (menilai aktivitas paru)
Terapi
Spesifik belum ada
Banyak penderita yang sembuh sendiri
Kortikosteroid
Hanya simtomatik
Menekan proses granuloma dan mencegah lesi yang menetap
Prednison/prednisolon
Dosis inisial: 40–60 mg/hr (1–2 mg/kgBB/hr) dibagi 3–4 dosis
p.o.
Dosis ↓ secara bertahap sesudah manifestasi klinis hilang
Dosis rumatan: 10–20 mg/hr sampai paling sedikit 6 bl
Triamsinolon
Dosis 0,75 mg/kgBB/hr dibagi 3–4 dosis p.o.
Kelainan mata
Kortikosteroid topikal (salep atau tetes mata 0,5–1%) + preparat
atropin 1%, disertai terapi sistemik
Kelainan kulit
Kortikosteroid topikal disertai terapi sistemik
Obat pengganti
Oksifenbutazon
Klorokuin
Potassium para-aminobenzoat
Azatioprin
Metotreksat
Colchicine
Prognosis
Berhubungan dengan onset penyakit
Akut disertai eritema nodosum yang akan sembuh spontan
Perlahan-lahan akan timbul jaringan fibrosis yang progresif
Pemberian kortikosteroid
Meredakan gejala serta menekan proses inflamasi dan
pembentukan granuloma
Kebanyakan berjalan jinak, tetapi dapat menjadi ganas → kanker
paru & limfoma

51
Gejala sisa
Kebutaan
Penyakit paru restriktif yang berat
Kematian karena penyakit paru berat
Bibliografi
1. Arnold WJ. Sarcoidosis. Dalam: Kelley WN, Harris ED JR, Ruddy S,
Sledge CB, penyunting. Textbook of rheumatology. Edisi ke-4.
Philadelphia: WB Saunders Co; 1993. hlm. 1429–33.
2. Bravermann IM. Skin and sign of systemic disease. Edisi ke-2.
Philadelphia: WB Saunders Co; 1981.
3. Fieselmann JF, Richerson HB. Respiratory diseases. Dalam: Stites
DP, Terr AI, Parslow TG, penyunting. Basic and clinical
immunology. Edisi ke-8. Norwalk: Appleton & Lange; 1994. hlm.
533–4.
4. Hedfors E. Sarcoidosis. Dalam: Parker CW, penyunting. Clinical
immunology. Edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders Co; 1980.
hlm. 556–80.
5. Pattishall EN, Kendig EL Jr. Sarcoidosis. Dalam: Chernik V, Kendig
EL Jr, penyunting. Kendig's disorders of the respiratory tract in
children. Edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders Co; 1990. hlm.
769–80.
6. Stanberg ET, Klien MW, Shearer WT. The secondary
immunodeficiencies. Dalam: Stehm ER, penyunting. Immunologic
disorders in infant & children. Edisi ke-4. Philadelphia: WB
Saunders Co; 1996. hlm. 575–7.

52
SKLERODERMA
Batasan
Skleroderma merupakan satu kelompok heterogen kelainan auto-
imun yang ditandai dengan aktivasi sistem imun, vaskulopati,
stimulasi fibroblas, dan fibrosis jaringan ikat
Klasifikasi
Tabel 14 Klasifikasi Skleroderma
Sklerosis sistemik
Skleroderma kutaneus
Difus
Terbatas
Sindrom yang tumpang tindih (overlap)
Sklerodermatomiositis atau dengan penyakit jaringan ikat lainnya
Penyakit jaringan ikat campuran
Skleroderma lokalisata
Morphea terbatas
Morphea generalisata
Morphea pansklerotik
Morphea linier
Subtipe campuran
Penyakit graft versus host
Penyakit seperti skleroderma yang diinduksi oleh zat kimia
Klorida polivinil
Bleomisin
Pentazosin
Sindrom minyak beracun
Penyakit penyerta
Pseudoskleroderma
Fenilketonuria
Sindrom penuaan dini
Fibrosis idiopatik terlokalisata
Sklerederma
Keiroartropati diabetik
Tarda porfiria kutanea
Sumber: Zulian dan Cassidy 2011

Etiologi
Belum diketahui dengan pasti
Patogenesis
Cedera endotel vaskular yang diakibatkan:
Faktor genetik, infeksi, trauma, autoimun maupun penyebab
lingkungan

53
Manifestasi Klinis
Gejala konstitusional
Demam, malaise, nafsu makan ↓, kehilangan berat badan, nyeri
Gejala organ spesifik
Edema non-pitting, kulit mengeras, sklerosis ekstremitas bawah
dan wajah, atrofi kulit, fenomena Raynaud, kalsinosis subkutaneus,
esofagitis, disfagia, telangiektasis
Diagnosis
Diagnosis skleroderma ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis
seperti di bawah ini:
Usia<16 tahun
Skleroderma lokalisata
Morfea lokal
Plak sklerotik dengan pusat berwarna pucat
Pada fase aktif tepinya berwarna keunguan
Penurunan respons mengeluarkan keringat pada daerah lesi
Gangguan pertumbuhan rambut
Morfea generalisata
Kelainan kulit mencakup ≥3 daerah anatomi (bahu, perut, bokong,
dan kaki)
Plak multipel, berindurasi dan hiperpigmentasi
Morfea profunda (subkutaneus)
Lesi di daerah dalam, plak sklerotik
Skleroderma linier
Lesi menyerupai gambaran pita memanjang, unilateral
Skleroderma sistemik
Diagnosis ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor
Kriteria mayor
Sklerosis dan atau indurasi kulit yang spesifik
Kriteria minor (keterlibatan organ)
Kulit
Kalsifikasi subkutaneus
Pitting jari
Telangiektasis
Pigmentasi
Arteri jari (fenomena Raynaud)
Muskuloskeletal
Artralgia
Kontraktur
Kelemahan otot
Atrofi otot
Sistem saraf
Nyeri kepala
Kebas pada ekstremitas
Saluran pencernaan
Motilitas abnormal esofagus

54
Paru-paru
Difusi abnormal
Jantung
Kardiomegali
EKG abnormal
Ginjal
Proteinuria
Gangguan fungsi ginjal
Pemeriksaan Penunjang
Skleroderma sistemik: 90% tes ANA (+)
Skleroderma lokalisata: faktor reumatoid ↑, eosinofilia (>400/µL)
Pemeriksaan lain sesuai dengan organ yang terlibat: manometri
esofagus, barium enema, elektrokardiografi
Tatalaksana
Penatalaksanaan skleroderma sulit, tidak ada terapi spesifik dan
seragam
Terapi ditujukan untuk meningkatkan sirkulasi darah perifer dan
terapi paliatif terhadap manifestasi klinis dan luasnya organ yang
terkena

55
Gambar 14 Protokol Terapi Skleroderma
Sumber: Sapadin dan Raul 2002, Frank dkk. 2004,
Kao 2006, Zulian dkk. 2005

Prognosis
Secara umum skleroderma lokalisata tidak mengancam jiwa
Resolusi spontan dapat terjadi dalam beberapa bl sampai beberapa
th
Bibliografi
1. Breuckmann F, Gambichler T, Altmeyer P, Kreuter A. UVA/UVA1
phototherapy and PUVA photochemotherapy in connective
tissue diseases and related disorders: a research based review.
BMC Dermatol. 2004;4(1):11.

56
2. Fett N. Scleroderma: nomenclature, etiology, pathogenesis,
prognosis, and treatments: fact and controversies. Clin Dermatol.
2013;31(4):432–7.
3. Gabrielli A, Avvedimento EV, Krieg T. Scleroderma. N Engl J Med.
2009;360(19):1989–2003.
4. Kao YH, Shyur SD, Chu SH, Huang LH, Wang TC. Juvenile
scleroderma in Taiwanese children–experience of one institution
in Taipei. J Rheumatol R.O.C. 2006;20(1):39–48.
5. Mehta V, Balachandran C, Hameed S. Generalized linear
scleroderma in childhood. Dermatol Online J. 2007;13(3):24.
6. Nejad MHM. Scleroderma in pediatrics age group: report of 25
cases. Acta Medica Iranica. 1999;37(2):106–9.
7. Odom RB, James WD, Berger TG. Andrews’ diseases of the skin:
clinical dermatology. Edisi ke-9. Philadelphia: WB Saunders;
2000.
8. Sapadin AN, Fleischmajer R. Treatment of scleroderma. Arch
Dermatol. 2002;138(1):99–105.
9. Shanmugam VK, Steen VD. Renal manifestation in scleroderma:
evidence for subclinical renal disease as a marker of
vasculopathy. Int J Rheumatol. 2010;2010:1–8.
10. Yu BD, Eisen AZ. Scleroderma. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ,
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New
York: McGraw-Hill Professional; 2003. hlm. 1709–18.
11. Zulian F, Cassidy JT. The systemic sclerodermas and related
disorders. Dalam: Cassidy JT, Laxer RM, Petty RE, Lindsley CB,
penyunting. Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-6.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 414–37.
12. Zulian F, Vallongo C, Woo P, Russo R, Ruperto N, Harper J, dkk.
Localized scleroderma in childhood is not just a skin disease.
Arthritis Rheum. 2005;52(9):2873–81.

57
JUVENILE DERMATOMYOSITIS
Batasan
Juvenile dermatomyositis (JDM) adalah suatu penyakit multisistem
berupa miopati yang disebabkan oleh inflamasi kronik dan idiopatik,
ditandai berbagai derajat inflamasi perivaskular, yang kemudian
dapat menimbulkan kalsinosis
Epidemiologi
Puncak usia 5−14 th. Perempuan:laki-laki adalah 2,7:1
Manifestasi Klinis
Ruam heliotrope (eritema periorbital dengan atau tanpa edema
kelopak mata)
Gottron papule pada buku-buku jari, tangan, dan siku
Eritema periungual dapat terdeteksi pada kelopak mata atau gusi
menggunakan nailfold capillaroscopy
Gejala sistemik:
Demam
Anoreksia
Malaise
Berat badan ↓
Irritable atau nyeri perut
Kalsinosis adalah tanda lain JDM yang identik dengan tingkat
keparahan penyakit. Ketika kalsinosis terjadi, miokarditis atau peri-
karditis harus diwaspadai
Diagnosis
Saat ini kriteria yang paling banyak digunakan didefinisikan oleh
Bohan dan Peter pada tahun 1975
Tabel 15 Kriteria Diagnosis Bohan dan Peter
Kriteria Diagnosis Bohan dan Peter
Kelemahan otot panggul proksimal dan simetris, anterior fleksor leher,
dengan atau tanpa disfagia atau keterlibatan otot pernapasan
Peningkatan kadar enzim otot rangka serum: creatine phosphokinase
(CPK), aminotransferase aspartat, laktat dehidrogenase (LDH), dan
aldolase
Elektromiografi dengan karakteristik miopati (short and small motor
units, fibrillations, positive pointy waves, insertional irritability and
repetitive high-frequency firing)
Biopsi otot yang menampilkan nekrosis fagositosis, regenerasi,atrofi
perifasikular, inflamasi perivaskular eksudat
Perubahan kulit khas:
Heliotrope dengan periorbital edema dan eritema
Gottron: vaskulitis di siku, metakarpofalangeal, dan sendi
interfalangeal proksimal
Kriteria untuk JDM
Definitif: perubahan kulit khas disertai 3 kriteria diagnosis lainnya
Probable: perubahan kulit khas disertai 2 kriteria diagnosis lainnya
Possible: perubahan kulit khas disertai 1 kriteria diagnosis lainnya
Sumber: Neto dan Goldenstein 2010
58
Pemeriksaan Penunjang
MRI untuk mendeteksi inflamasi pada otot bagian proksimal
Biopsi otot: disfungsi endotel dan menipisnya kapiler
Elektromiografi (EMG)
Tatalaksana
Steroid adalah lini pertama terapi untuk penderita, dengan JDM dan
awal terapi yang agresif ini prognosis akan menjadi lebih baik
Tabel 16 Terapi Juvenile Dermatomyositis
Pilihan Terapi untuk Juvenile Dermatomyositis
Terapi lini pertama
Prednison 1−2 mg/kgBB/hr p.o.
Metilprednisolon i.v. 10–30 mg/kgBB/puls
Metotreksat 0,4–1 mg/kgBB/mgg atau 15 mg/m2
Terapi adjuvan:
Hidroksiklorokuin 3–6 mg/kgBB/hr p.o.
Terapi fisik
Langkah-langkah fotoprotektif
Topikal terapi untuk ruam kulit
Kalsium dan vitamin D untuk perlindungan tulang
Terapi lini kedua
Gamaglobulin i.v. 1–2 g/kgBB/bl
Siklosporin 2,5–7,5 mg/kgBB/hr p.o. dalam dosis terbagi
Azatioprin mg/kgBB/hr
Kombinasi di atas
Terapi lini ketiga
Siklofosfamid 500–1.250 mg/m2/bl i.v. puls
Mycophenolate mofetil 30–40 mg/kgBB/hr p.o. dalam dosis terbagi
Takrolimus 0,1–0,25 mg/kgBB/hr p.o. dalam dosis terbagi
Rituximab
Anti-tumor necrosis factor alpha agent
Kombinasi di atas
Sumber: Wedderburn dan Rider 2009

Prognosis
Dengan tatalaksana yang lebih baik pada tiga dekade ini, angka
kematian pada JDM ↓ hingga 2
sepsis karena kelainan paru, vaskulopati viseral seperti perforasi
gastrointestinal, gagal jantung, distres pernapasan, dan lemah otot
yang diperberat dengan infeksi berulang. Pemberian terapi
kortikosteroid yang terlambat atau dosis yang tidak adekuat menjadi
prediktor penting terjadi perjalanan penyakit kronik dan prognosis
yang buruk
Bibliografi
1. Begum T, Rahman SA. Juvenile dermatomyositis: an update.
Bangladesh J Child Health. 2009;33(2):59–65.
2. Chari G, Laude TA. Juvenile dermatomyositis: a review. Internat
Pediatr. 2000;15(1):21–5.
3. Dalakas MC, Hohlfeld R. Polymyositis and dermatomyositis.
Lancet. 2003;362(9388):971–82.
59
4. Faller G. Juvenile dermatomyositis. Curr Allergy Clin Immunol.
2010;23(3):111–4.
5. Gold HL, Smith GP. Clinical significance of p155 antibody in
dermatomyositis. OA Dermatol. 2013;1(1):1
6. Gowdie P. Review of disease-modifying anti rheumatic drugs in
paediatric rheumatic disease. 18th Expert Committee on the
Selection and Use of Essential Medicines (21 to 25 March 2011)
[diunduh 30 September 2014]. Tersedia dari: http://www.who.
int/selection_medicines/committees/expert/18/applications/Chil
d_DMARD.pdf.
7. Habibi S, Ramanan AV. Juvenile dermatomyositis: a review of clinical
features and management. Indian J Rheumatol. 2012; 7(1):80–6.
8. Huber AM, Robinson AB, Reed AM, Abramson L, Bout-Tabaku S,
Carrasco R, dkk. Consensus treatments for moderate juvenile
dermatomyositis: beyond the first two months. Results of the
second Childhood Arthritis and Rheumatology Research Alliance
consensus conference. Arthritis Care Res (Hoboken). 2012;64(4):
546–53.
9. Huber AM. Juvenile dermatomyositis: advances in pathogenesis,
evaluation, and treatment. Paediatr Drugs. 2009;11(6):361–74.
10. Koler RA, Montemarano A. Dermatomyositis. Am Fam Physician.
2001;64(9):1565–72.
11. Maan MA, Akhtar SJ, Haque H. Dermatomyositis. J Pak Assoc
Derma. 2008;18(1):33–43.
12. Martin N, Li CK, Wedderburn LR. Juvenile dermatomyositis: new
insights and new treatment strategies. Ther Adv Musculoskelet
Dis. 2012;4(1):41–50.
13. Neto NSR, Goldenstein-Schainberg C. Juvenile dermatomyositis:
review and update of the pathogenesis and treatment. Rev Bras
Reumatol. 2010;50(3):299–312.
14. Pachman LM. Juvenile dermatomyositis: a clinical overview.
Pediatr Rev. 1990;12(4):117–25.
15. Rider LG, Lindsley CB, Cassidy JT. Juvenile dermatomyositis.
Dalam: Casidy JT, Laxer RM, Petty RE, Lindsley CB, penyunting.
Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-6. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2011. hlm. 375–413.
16. Robinson AB, Reed AM. Clinical features, pathogenesis and
treatment of juvenile and adult dermatomyositis. Nat Rev
Rheumatol. 2011;7(11):664–75.
17. Sultan SM, Isenberg DA. Re-classifying myositis. Rheumatology.
2010;49(5):831–3.
18. Tansley SL, McHugh NJ, Wedderburn LR. Adult and juvenile
dermatomyositis: are the distinct clinical features explained by
our current understanding of serological subgroups and
pathogenic mechanisms? Arthritis Res Ther. 2013;15(2):211.
19. Wedderburn LR, Rider LG. Juvenile dermatomyositis: new
developments in pathogenesis, assessment and treatment. Best
Prac Res Clin Rheumatol. 2009;23(5):665–78.
20. Zouagui A, Abourazzak S, Idrissi ML, Souilmi FZ, Chaouki S,
Atmani S, dkk. Actuality of juvenile dermatomyositis. Joint Bone
Spine. 2011;78(3):235–40.
60
SINDROM STEVENS-JOHNSON DAN NEKROLISIS
EPIDERMAL TOKSIK
Batasan
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET)
merupakan reaksi mukokutaneus akut, berat, episodik, yang paling
sering disebabkan oleh obat dan dapat juga oleh infeksi. Gejala khas
diawali dengan munculnya makula diikuti dengan keterlibatan lebih
dari satu mukosa (oral, konjungtiva, dan anogenital)
Eritema Multiforme
Reaksi eksantematosa ringan dan berulang pada kulit—biasanya
sembuh sendiri—yang paling sering disebabkan oleh infeksi virus
Herpes simpleks
Klasifikasi
Dahulu masih sering disamakan dengan eritema multiforme (EM).
Saat ini sudah cukup data untuk menyatakan bahwa EM dan SSJ-NET
merupakan dua penyakit yang berbeda. Klasifikasi dan perbedaannya
sebagai berikut
Tabel 17 Klasifikasi Reaksi Eksfoliatif Kulit
Eritema Sindrom NET NET
Reaksi Multi- Stevens- Overlap dengan tanpa
forme Johnson SSJ-NET Spot Spot
Bulosa
Pelepasan <10% <10% 10–30% >30% >10%
dan
pengelupasan
Tipikal Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
Atipikal Timbul Datar Datar Datar
target
Spot Tidak Ya Ya Ya Tidak
Sumber: Bastuji-Garin dkk. 2000

Keterangan:
Target tipikal
Lesi tunggal, diameter 3 cm, terdiri atas 3 zona; zona paling luar:
batas tegas, eritema; zona tengah: edema yang teraba, lebih
pucat dari sentral, sentral: eritema atau purpura dengan atau
tanpa bula
Raised atypical target
Terdiri atas 2 zona. Lesi bundar, teraba, batas tidak tegas,
kemerahan
Flat atypical target
Terdiri atas 2 zona. Lesi bundar, tidak teraba, batas tidak tegas,
daerah sentral cenderung membentuk vesikel atau bula
61
Spot
Makula atau purpura eritema, tidak teraba, batas dan ukuran
tidak teratur, sering kali saling menyatu
Patogenesis
Patogenesis NET yang pasti belum diketahui, namun diketahui peran
beberapa reaksi hipersensitivitas pada patogenesis penyakit ini.
Faktor genetik berperan sebagai faktor predisposisi, terbukti dengan
ditemukannya HLA-B*1502 pada kebanyakan penderita NET
Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi melalui 4 tipe yaitu reaksi
hipersensitivitas tipe I, II, III, IV. Mekanisme lain yaitu terjadinya
apoptosis yang luas terhadap sel keratinosit mati yang dapat terjadi
melalui 2 mekanisme, yaitu ikatan Fas-FasL dan peran sel T sitotoksik
Gejala Klinis
Fase Awal/Prodromal
Demam, mata perih, sakit tenggorokan, nyeri otot, lemah, atau
gejala flu like syndrome yang terjadi 1–3 mgg sesudah riwayat
pemakaian obat yang dicurigai
Beberapa hari kemudian muncul manifestasi pada kulit—biasanya
dimulai pada daerah leher dan muka—kemudian telapak tangan
dan kaki
Keterlibatan mukosa: berupa eritema dan erosi terutama
mengenai 3 mukosa (bukal, genital, dan mukosa mata)
Pengelupasan epidermal yang luas. Bila tidak ditemukan tanda
pengelupasan, maka pada tahap ini ditemukan tanda Nicholsky (+)
Fase Lanjut
Ditandai dengan timbulnya gejala sisa
Hipo atau hiperpigmentasi kulit, hipertrofi dan jaringan parut pada
kulit, distrofia kuku, penyulit mata, glomerulonefritis, tubulo-
nekrosis, pankreatitis, nekrosis hepatoselular atau kolestasis
Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan darah khusus, pada umumnya:
Laju endap darah ↑
Leukositosis
Ketidakseimbangan elektrolit
Mikroalbuminuria
Hipoproteinemia
Hipernatremia
Enzim hepar ↑
Anemia
Eosinofilia dan neutropenia merupakan tanda awal dari prog-
nosis yang buruk
Diagnosis Banding
Penyakit bulosa autoimun, termasuk linear IgA dermatosis,
pemfigus paraneoplastik, pemfigus vulgaris, dan pemfigus bulosa
Acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP)
Disseminated fixed bullous drug eruption
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS)
62
Diagnosis
Penegakan diagnosis SSJ-NET dapat dilakukan berdasar gejala klinis
maupun gambaran histologi. Penghitungan menurut Lund-Bowder
dapat dilihat pada Lund-Bowder estimation chart berikut:

Gambar 15 Lund and Bowder Estimation Chart


Sumber: Miminas 2003

Tatalaksana
Penghentian Obat
Penghentian segera obat-obatan dapat memperbaiki prognosis yang
dicurigai—terutama yang dikonsumsi dalam 1–4 mgg terakhir

63
Terapi Suportif
Penderita dirawat di unit luka bakar
Pemberian cairan yang tepat, protein, dan elektrolit
Pengaturan suhu yang tepat
Kontrol infeksi dan observasi tanda sepsis. Antibiotik profilaksis
yang dipakai adalah antibiotik spektrum luas, kemudian dapat
diganti sesuai hasil kultur darah
Konsul mata
Obat-obatan
Kortikosteroid
Deksametason drip i.v. dengan dosis 1,5 mg/kgBB/30–60 mnt
selama 3 hr berturut-turut dilanjutkan (hr ke-4) prednisolon p.o.
dengan dosis 0,5–1,5 mg/kgBB/hr selama 5 hr–1 bl (termasuk
tapering dose) atau hidrokortison i.v. dengan dosis 10–15
mg/kgBB/hr diikuti prednisolon p.o.
Prognosis
Bergantung pada luas kulit dan mukosa yang terlibat

Bibliografi
1. Abood GJ, Nickoloff BJ, Gamelli R. Treatment strategies in toxic
epidermal necrolysis syndrome: where we at? J Burn Care Res.
2008;29:269–76.
2. Bastuji-Garin S, Fouchard N, Bertocchi M, Roujeau JC, Revuz J,
Wolkenstein P. SCORTEN: a severity-of-illness score for toxic
epidermal necrolysis. J Invest Dermatol. 2000;115:149–53.
3. Fritsch OP, Maldano RR. Erythema multiforme, Stevens-Johnson
syndrome, and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Freedberg IM,
Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New
York: McGraw-Hill Incorporate; 2003. hlm. 543–56.
4. Gerull R, Nelle M, Schaible T. Toxic epidermal necrolysis and
Stevens-Johnson syndrome: a review. Crit Care Med. 2011;39(6):
1521–32.
5. Harr T, French L. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson
syndrome. Orphanet J Rare Dis. 2010;5:39.
6. Ho HHF. Diagnosis and management of Stevens-Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis. The Hong Kong
Medical Diary. 2008;13(10):17–20.
7. Jeung YJ, Lee JY, Oh MJ, Choi DC, Lee BJ. Comparison of the
causes and clinical features of drug rash with eosinophilia and
systemic symptom and Stevens-Johnson syndrome. Allergy
Asthma Immunol Res. 2010;2(2):123–6.
8. Kardaun S, Jonkman MF. Dexamethasone pulse therapy for
Stevens-Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis. Acta
Derm Venereol. 2007;87:144–8.
9. Lehloenya R. Management of Stevens-Johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis. Curr Allergy Clin Immunol. 2007;
20(3):124–8.

64
10. Miminas DA. A critical evaluation of Lund and Bowder chart.
Wounds UK. 2003;3(3):58–68.
11. Mukasa Y, Craven N. Management of toxic epidermal necrolysis
and related syndromes. Postgrad Med J. 2008;84:60–5.
12. Roujeau JC, Garin SB. Systematic review of treatmens for
Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis using
the SCORTEN score as a tool for evaluating mortality. Ther Adv
Drug Saf. 2011;2(3):87–94.
13. Yap FBB, Wahiduzzaman M, Pubalan M. Stevens-Johnson
syndrome (SJS) and toxic epidermal necrolysis (TEN) in Sarawak:
a four year’s review. Egyptian Dermatology Online J. 2008;4(1):
1–13.

65
ALERGI OBAT
Batasan
Respons abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolit-
nya melalui reaksi imunologik yang dikenal sebagai reaksi hiper-
sensitivitas yang terjadi selama atau sesudah pemakaian obat
Etiologi
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut
waktu serta tempat dan jenis penelitian yang dilaporkan
Obat-obatan yang sering terlibat dalam reaksi alergi yaitu:
Aspirin
Antibiotik golongan β-laktam
Sulfonamid
Antituberkulosis
Nitrofurantoin
Antimalaria
Griseofulvin
Antikonvulsan
Anestesia umum
Enzim (kimopapain, asparaginase, streptokinase)
Neuroleptik
Hidralazin
Metildopa
Kuinidin
Prokalnamid
Media radiokontras
Antisera dan vaksin
Alopurinol
Penisilamin
Antitiroid
Fenoftalein
Kelompok antibiotik yang mengandung β-laktam:
Penisilin Sefalosporin Monobaktam
Penisilin G Sefalotin Aztreonam
Penisilin V Sefazolin Karbapenem
Metisilin Sefaloridin Imipenem
Oksasilin Sefaleksin Klavam
Nafsilin Sefuroksim Asam klavulanat
Ampisilin Seftriazon
Amoksisilin Seftazidim
Karbenisilin
Tikarsilin
Kloksasilin

Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I s.d. IV

66
Diagnosis
Apabila reaksi hanya terjadi pada sebagian kecil dari mereka yang
mendapat obat
Periode laten antara pemberian obat dan timbulnya gejala klinis (umum-
nya 7–10 hr) sesudah obat diberikan. Pada penderita yang sudah ter-
sensitasi sebelumnya, reaksi akan timbul lebih cepat dan berat
Manifestasi klinis dapat terjadi walaupun dengan pemberian obat
dalam dosis rendah dan bila pernah terjadi, reaksi semacam akan
terulang bila diberi obat yang sama atau obat yang mempunyai
struktur kimia yang sama. Manifestasi yang terjadi tidak sama dengan
efek farmakologik obat yang diberikan
Gejala klinis biasanya berkurang dalam 3–5 hr sesudah obat dihentikan
Tabel 18 Heterogenisitas Reaksi Alergi yang Diinduksi Obat
Reaksi Spesifik Gambaran Klinis Contoh Agen Penyebab
Organ
Kulit
Eksantema Makula dan papula difus Alopurinol, aminopenisilin,
halus berlangsung sefalosporin, antiepilepsi,
beberapa hr sesudah antibiotik sulfonamid
pemberian obat
Hipersensitivitas tipe
lambat
Urtikaria, Onset dalam beberapa mnt IgE-mediated: antibiotik β
angioedema sesudah pemberian obat laktam
yang berpotensi anafilaksis Bradykinin-mediated: ACE-I
Fixed drug Plak hiperpigmentasi pada Tetrasiklin, AINS, dan
eruption kulit yang sama atau karbamazepin
bagian mukosa
Pustula Acneiform Acneiform: kortikosteroid,
Acute generalized sirolimus
eczematous pustulosis AGEP: antibiotik, calcium-
(AGEP) channel blocker
Bula Tense blister Furosemid, vankomisin
Flaccid blister Kaptopril, pensilamin
SJS Demam, stomatitis erosif, Antibiotik sulfonamid,
keterlibatan mata, makula antikonvulsan, AINS oxicam,
purpura pada wajah dan dan alopurinol
kaki dengan kerusakan
epidermis <10%
TEN Gambaran yang sama Sama seperti SJS
dengan SJS tetapi
kerusakan epidermis >30%
Mortalitas ↑ sampai 50%
Lupus kulit Plak eritema/bersisik pada HCT, calcium channel-blocker,
distribusi foto ACE-I
Hematologi Anemia hemolitik, Penisilin, kuinin, sulfonamid
trombositopenia,
granulositopenia
Hepar Hepatitis, cholestasis Asam paraaminosalisilat,
jaundice sulfonamid, fenotiazin
67
Pulmonal Pneumonitis, fibrosis Nitrofurantoin, bleomisin,
metotreksat
Ginjal Nefritis intersisial, Penisilin, sulfonamid, emas,
glomerulonefritis penisilamin, alopurinol
membranosa
Reaksi multiorgan/sistemik
Anafilaksis Urtikaria/angioedema, Antibiotik β laktam
bronkospasme, gejala
saluran pencernaan,
hipotensi
DRESS Erupsi kulit, demam, Antikonvulsan, sulfonamid,
eosinofilia, disfungsi hepar, minosiklin, alopurinol
limfadenopati
Serum sickness Urtikaria, atralgia, demam Antibodi heterolog, infliximab
Lupus Atralgia, mialgia, demam, Hidralazin, prokainamid,
eritematosus malaise isonoazid
sistemik
Vaskulitis Vaskulitis kutan atau viseral Hidralazin, penisilamin,
propiltiourasil
ACE-I: angiotensin converting enzyme inhibitor; AINS: antiinflamasi nonsteroid;
DRESS: drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms
Sumber: Khan dan Solensky 2010

Diagnosis Banding
Infeksi virus (eksantema subitum/roseola infantum)
Reaksi anafilaktoid
Lupus eritematosus sistemik oleh sebab lain
Dermatitis atopi

Pemeriksaan Penunjang
Darah
Tes Coomb untuk penderita anemia hemolitik
Antibodi IgE total serum
Antibodi IgE spesifik dalam radioallergosorbent test (RAST)
Antibodi IgM dan IgG spesifik
Antibodi antinuklear (ANA) pada SLE yang diduga diinduksi oleh
obat-obatan
Tes kulit
Tes tusuk (prick test)
Tes tempel (patch test)
Tes provokasi

Penyulit
Kolaps kardiovaskular: hipotensi, syok, dan koma
Obstruksi saluran respiratori
Kerusakan hepar ireversibel
Kelainan ginjal
Kelainan saraf pusat dan perifer
Infeksi pada kelainan kulit yang luas dan berat

68
Konsultasi
Bagian Kulit dan Kelamin

Terapi
Penghentian obat
Jika mungkin semua obat dihentikan kecuali obat yang memang
perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab alergi. Jika obat harus
tetap diberikan, sedangkan reaksi alerginyaberat, maka obat yang
dicurigai diganti dengan obat alternatif lain yang berasal dari
golongan yang berbeda. Bila obat tersebut sangat penting dan
alternatif tidak ada, dapat diberikan obat dari golongan yang sama
dengan struktur kimia yang berbeda
Simtomatik
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan
khusus
Untuk pruritus dan urtikaria amin
Untuk dermatitis kontak → kortikosteroid topikal
Jika kelainan cukup berat → adrenalin
Kortikosteroid harus diberikan pada reaksi sistemik yang berat
Suportif
Pengobatan suportif diperlukan untuk menjaga kebutuhan nutrisi,
cairan, dan elektrolit
Desensitisasi
Oral dan parenteral
Tabel 19 Desensitisasi Oral untuk Penisilin G

Langkah Penisilin (mg/mL) Rata-rata Aliran


(mL/jam)
1 0,5 0,1
2 0,5 0,2
3 0,5 0,4
4 0,5 0,8
5 0,5 1,6
6 0,5 3,2
7 0,5 6,4
8 5,0 1,2
9 5,0 2,4
10 5,0 5,0
11 50,0 1,0
12 50,0 2,0
13 50,0 4,0
14 50,0 8,0
Sumber: de Groot dkk. 2012

69
Tabel 20 Desensitisasi Parenteral untuk Penisilin G
Penisilin Rata-rata Dosis Dosis
Langkah (mg/mL) Aliran (mg) Kumulatif
(mL/jam) i.v. (mg)
1 0,01 6 0,015 0,015
2 0,01 12 0,03 0,045
3 0,01 24 0,06 0,105
4 0,01 50 0,125 0,23
5 0,1 10 0,25 0,48
6 0,1 20 0,5 1,0
7 0,1 40 1,0 2,0
8 0,1 80 2,0 4,0
9 0,1 160 4,0 8,0
10 10,0 3 7,5 15,0
11 10,0 6 15,0 30,0
12 10,0 12 30,0 60,0
13 10,0 25 62,5 123,0
14 10,0 50 125,0 250,0
15 10,0 100 250,0 500,0
16 10,0 200 500,0 1.000,0
Sumber: de Groot dkk. 2012

Interval beberapa dosis yaitu 15 mnt, sesudah semua langkah selesai


lakukan observasi penderita selama 30 mnt, kemudian dapat
diberikan dosis penuh yang diinginkan

70
Gambar 16 Penatalaksanaan Alergi Obat
Sumber: Thien 2006

Pencegahan
Anamnesis riwayat kemungkinan alergi obat sebelumnya penting,
terutama bila mempunyai riwayat atopi. Perlu dibuat surat
keterangan tentang alergi obat tertentu
Pemakaian obat hendaknya dengan indikasi yang kuat, hindarkan
obat yang dikenal sering menimbulkan alergi
Cara pembuatan obat harus diperbaiki dengan mengurangi dan
menghilangkan bahan yang potensial dapat menjadi penyebab alergi
Tes kulit
Jika alergi terhadap obat tertentu, maka harus dipertimbangkan
pemberian obat lain yang tidak memberikan reaksi silang dengan

71
obat yang dicurigai. Jika obat sangat diperlukan, sedangkan obat
alternatif tidak ada, dapat dilakukan desensitisasi

Prognosis
Dengan penatalaksanaan adekuat → prognosisnya baik, bahkan pada
kasus berat angka kematian dilaporkan 1:10.000 kejadian, tetapi
pada sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal necrolysis ke-
terlibatan organ visera mempunyai prognosis yang buruk, dengan
angka kematian masing-masing dapat ↑ sampai 5–15% dan 30–40%

Bibliografi
1. Arwin AP Akib ZM, Nia Kurniati, penyunting. Buku ajar alergi
imunologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: IDAI; 2007.
2. Bourgeois FT, Mandl KD, Valim C, Shannon MW. Pediatric
adverse drug events in the outpatient setting: an 11-year
national analysis. Pediatrics. 2009;124:744–50.
3. Bousquet P, Demoly P, Romano A. Drug allergy and hyper-
sensitivity: still a hot topic. Allergy. 2009;64:174–82.
4. Brockow K, Romano A, Blanca M, Ring J, Pichler W, Demoly P.
General consideration for skin test procedures in the diagnosis of
drug hypersensitivity. Allergy. 2002;57:45–51.
5. de Groot H, Mulder WMC, Terreehorst I. Utility of desensitisation
for allergy to antibiotics. Netherland J Med. 2012;70(2):58–62.
6. Demoly P, Viola M, Gomes ER, Romano A. Epidemiology and
causes of drug hypersensitivity. Dalam: Pichler WJ, penyunting.
Drug hypersensitivity. Basel: Karger; 2007. hlm. 2–17.
7. Gruchalla RS, Pirmohamed M. Antibiotic allergy. NEJM. 2006;
354:601–9.
8. Khan DA, Solensky R. Drug allergy. J Allergy Clin Immunol. 2010;
123:126–37.
9. Kim SH, Ye YM, Palikhe NS, Kim JE, Park HS. Genetic and ethnic
risk factors associated with drug hypersensitivity. Curr Opin
Allergy Clin Immunol. 2010;10(4):280–90.
10. Le J, Nguyen T, Law AV, Hodding J. Adverse drug reaction among
children over a 10-year period. Pediatrics. 2006;118:555–62.
11. Lee SH, Park HW, Kim SH, Chang YS, Kim SS, Cho SH, dkk. The
current practice of skin testing for antibiotics in Korean Hospital.
Korean J Intern Med. 2010;25:207–12.
12. Male D, Brostoff J, Roth D, Roitt I, penyunting. Immunology. Edisi
ke-7. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006.
13. Mayorga C, Sanz M, Gamboa P, Garcia B. In vitro diagnosis of
immediate allergic reaction to drugs: an update. J Investig
Allergol Clin Immunol. 2010;20(2):103–9.
14. Segal AR, Doherty KM, Leggott J, Zlotoff B. Cutaneous reaction to
drugs in children. Pediatrics. 2007;120:1082–96.
15. Thien FC. Drug hypersensitivity. MJA. 2006;18(6):333–8.

72
KONJUNGTIVITIS VERNALIS
Batasan
Peradangan jaringan interstisial konjungtiva yang terjadi bilateral,
berulang, berhubungan dengan musim, terutama musim panas dan
yang berperan adalah reaksi hipersensitivitas tipe I melalui IgE
Klasifikasi
Bentuk palpebral
Bentuk limbal
Etiologi
Belum dapat dipastikan, diduga reaksi alergi (reaksi hipersensitivitas
tipe I) terhadap beberapa alergen udara
Diagnosis
Anamnesis
Penyakit terjadi pada musim panas
Usia muda (<14 th)
Riwayat atopi dalam keluarga/penderita
Klinis
Rasa gatal pada kedua mata
Hiperemia konjungtiva
Produksi airmata ↑
Fotofobia, pedih, rasa ada benda asing
Cobblestones pada bentuk palpebral, Tranta’s dots pada limbal
Laboratorium
Kerokan konjungtiva → eosinofilia
Kadar IgE airmata ↑ (RAST/ELISA)
UTK: dapat (+) terhadap alergen yang dicurigai
Diagnosis Banding
Rinokonjungtivitis
Keratokonjungtivitis atopi
Giant papillary conjunctivitis

Konsultasi
Bagian Mata
Terapi
Hindari alergen
Obat-obatan
Simtomatik
Naphazoline hydrochloride, 4×/hr 1 tetes
Na kromolin tetes mata 1–4%
Levokabastin tetes mata

73
Pencegahan
Loteprednol etabonat 0,5% tetes mata
Prognosis
Baik, dapat terjadi penyembuhan total, self limitted dengan perjalan-
an penyakit 5–10 th
Bibliografi
1. Everitt HA, Little PS, Smith PWF. A randomized controlled trial of
management strategies of acute infected conjungtivitis in
general practice. BMJ. 2006;333:321–4.
2. Olitsky SE, Hug D, Smith LP. Disorders of the conjunctiva. Dalam:
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007. hlm. 2588–90.
3. Rietveld RP, Riet G, Bindels PJE. Predicting bacterial cause in
infectious conungtivitis: cohort study on informativeness of
combinations of sign and symptoms. Br Med J. 2004;329:206–8.

74
KONJUNGTIVITIS ALERGI
Batasan
Peradangan jaringan interstisial konjungtiva yang terjadi bilateral,
berulang, dan yang berperan adalah reaksi hipersensitivitas tipe I
melalui IgE
Klasifikasi
Seasonal allergic conjunctivitis (SAC)
Perennial allergic conjunctivitis (PAC)
Vernal keratoconjunctivitis (VKC)
Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I
Diagnosis
Anamnesis
SAC dan PAC
Gejala PAC sama dengan SAC, hanya lebih ringan dan cenderung
menetap
Mata terasa sangat gatal, air mata berlebihan dan merah
Penglihatan buram
Fotofobia terutama pagi hari sesudah bangun tidur
VKC
Gejalanya sama tetapi lebih berat dan lama dibandingkan
dengan SAC dan PAC
Pemeriksaan Fisis Mata
SAC dan PAC
Perubahan mata pada PAC lebih ringan dibandingkan dengan
SAC
Konjungtiva tarsalis hiperemis dan edema ringan sampai
berat
Konjungtiva bulbi edema, kemosis
Tidak mengenai kornea
VKC
Sekret mata: mukus mukopurulen dan tebal di permukaan
konjungtiva
Blefarospasm
Giant cobblestone papillae di konjungtiva tarsalis atas
Trantas’ dots cobblestone di konjungtiva bulbi atas yang
menyebar sampai melewati limbus kornea
Erosi kornea sampai plak kornea
Pemeriksaan Penunjang
Sesuai bagian mata
Penyulit
VKC limbal menjalar ke kornea bagian atas: Trantas’ dots → erosi →
ulserasi yang dilapisi plaque

75
Infeksi virus Herpes simplex, akibat penekanan imunitas selular,
karena terapi kortikosteroid topikal
difus yang mengancam penglihatan
Konsultasi
Bagian Mata
Terapi
Hindari alergen penyebab
Farmakologik: bersama bagian mata
SAC dan PAC
Antihistamin nonsedasi (lihat Tabel 25)
Antihistamin topikal
Tetes mata sodium cromoglycate, 4×/hr
Pencucian mata dengan air steril
Kortikosteroid topikal: harus dengan pengawasan dokter
spesialis mata, karena berisiko timbul infeksi terutama virus
Herpes simplex, glaukoma, katarak
Asiklovir topikal dan oral: pada ulkus dendritik oleh virus Herpes
simplex
VKC
Diobati sampai pubertas karena sesudah itu biasanya meng-
alami regresi
Sodium cromoglycate topikal
Kortikosteroid topikal intensif
Pembedahan pada: plaque kornea → eksisi plaque
keratitis difusa → transplantasi kornea
Prognosis
Baik, dapat terjadi penyembuhan total, self limitted dengan perjalan-
an penyakit 5–10 th
Bibliografi
1. Boguniewicz M, Leung DYM. Occular allergies. Dalam: Kliegman
RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007. hlm. 978–9.
2. Ono SJ, Abelson MB. Allergic conjungtivitis: update on
pathophysiology and prospect for future treatment.J Allergy Clin
Immunol. 2005;115:118–22.
3. Rothman JS, Raizman MB, Friedlaender MH. Seasonal and
perennial allergic conjungtivitis. Dalam: Krachmer JH, Mannis MJ,
Holland EJ, penyunting. Cornea fundamentals, diagnosis and
management. Edisi ke-2. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2005.
hlm. 663.

76
DERMATITIS ATOPI
Batasan
Dermatitis atopi adalah penyakit kulit yang ditandai reaksi inflamasi
pada kulit dan didasari faktor herediter serta lingkungan. Penyakit ini
bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, krusta,
skuama, dan pruritus yang hebat
Klasifikasi
Infantil
Daerah muka, terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas,
kecuali sekitar mulut
Anak
Daerah fleksura antekubiti, poplitea, tangan, kaki dan periorbita
Dewasa
Daerah fleksura tangan dan leher
Etiologi
Genetik
Lingkungan
Patogenesis
Reaksi hipersensitivitas tipe I

77
Diagnosis
Tabel 21 Kriteria Diagnostik Dermatitis Atopik Menurut Hanifin dan
Rajka
Kriteria Mayor (≥3)
Pruritus
Morfologi dan distribusi khas
Dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak
Dermatitis di fleksura pada dewasa
Dermatitis kronik atau residif
Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya (asma, rinitis alergika,
dermatitis atopi)
Kriteria Minor (≥3)
Serosis
Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris
Reaktivitas pada tes kulit tipe cepat
Kadar IgE serum ↑
Kecenderungan infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus
H. simplex)
Dermatitis di areola mammae
Keilitis
Konjungtivitis berulang
Lipatan infraorbital Dennie-Morgan
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Hiperpigmentasi daerah orbita
Kepucatan/eritema daerah muka
Pitiriasis alba
Lipatan leher anterior
Gatal bila berkeringat
Intoleransi terhadap bahan wol dan lipid solvent
Gambaran perifolikular lebih nyata
Hipersensitif terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi
White dermatografism dan delayed blanched response
Awitan pada usia dini
Sumber: Conde-Taboada dkk. 2008

Tabel 22 Kriteria Diagnosis berdasarkan UK Working Party


Necessary
Pruritus yang sangat kuat/hebat dalam 12 bl terakhir
Sedikitnya 3 keadaan berikut:
Onset sebelum usia 2 th (tidak berlaku untuk anak <4 th)
Riwayat dermatitis fleksura
Riwayat kulit kering
Dermatitis fleksura yang tampak pada pemeriksaan atau foto
Riwayat atopi (riwayat atopi pada keluarga jika anak <4 th)
Sumber: Conde-Taboada dkk. 2008

78
Pemeriksaan Penunjang
Darah
IgE total serum
IgE spesifik (RAST)
Tes Kulit
Tes tusuk kulit
Patch test
Terapi
Hindari alergen pencetus
Topikal: sesuai bagian kulit
Sistemik: antihistamin
Steroid sistemik: digunakan pada dermatitis kronik berat, prednison
1–2 mg/kgBB/hr
Antibiotik
Biasanya digunakan antibiotik antistafilokokal (mupirosin, atau
basitrosin topikal, sefalosporin generasi pertama, makrolid,
oksasilin, amoksisilin klavulanat)
Sitostatik
Untuk penderita yang tidak mengalami perbaikan dengan terapi
konvensional (azatioprin, siklosporin, metotreksat), dengan per-
timbangan dokter spesialis anak alergi imunologi
Penyulit
Infeksi sekunder oleh bakteri, jamur, dan virus

Bibliografi
1. Chan SK, Burrows NP. Atopic dermatitis. Medicine. 2009;37(5):
242–5.
2. Conde-Taboada A, Barcala G, Toribioc J. Review and update of
current understanding of chilhood atopic dermatitis. Actas
Demosifiliogr. 2008;99(9):690–700.
3. Enomoto H, Noguchi E, Iijima S, Takahashi T, Hayakawa K, Ito M.
Single nucleotide polymorphism-based genome-wide linkage
analysis in Japanese atopic dermatitis families.BMC Dermatol.
2007;7:5.
4. Leung DYM. Atopic dermatitis (atopic eczema). Dalam: Kliegman
RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007. hlm. 970–5.

79
RINITIS ALERGI
Batasan
Rinitis alergi (RA) adalah gangguan simtomatis pada hidung,
dicetuskan oleh paparan alergen melalui reaksi hipersensitivitas yang
diperantarai IgE (reaksi hipersensitivitas tipe I), ditandai dengan
4 gejala utama yaitu hidung berair, tersumbat, dan gatal, serta bersin
Klasifikasi
Berdasarkan konsensus WHO–ARIA 2008, RA diklasifikasikan ber-
dasarkan frekuensinya menjadi intermiten dan persisten, serta ber-
dasarkan berat gejala menjadi ringan dan sedang-berat

Gambar 17 Klasifikasi Rinitis Alergi


Sumber: Bosquet dkk. 2004

Faktor Risiko dan Pencetus


Faktor Risiko:
Riwayat atopi pada keluarga
Kadar IgE serum ↑ (>100 IU/mL sebelum usia 6 th)
Kelompok sosioekonomi atas
Tes tusuk kulit (+)
Faktor Pencetus:
Tungau: tungau debu rumah, alergen pada kotoran tungau
Serbuk: pohon, rumput, semak-semak, ganggang
Hewan: kucing, anjing, kuda, tikus
Jamur: Alternaria, Cladosporium, Aspergillus
Dicetuskan oleh pekerjaan: tepung, lateks, debu kayu
Diperburuk oleh pekerjaan: asap, udara dingin, formalin, sulfur
dioksida, amonia

80
Diagnosis
Anamnesis
Konsensus WHO-ARIA 2008 menyatakan bahwa bila ditemukan ≥2
gejala yang terdiri atas hidung berair, tersumbat, dan gatal, serta
bersin yang menetap selama >1 jam dapat dicurigai RA
Pemeriksaan Fisis
Allergic salute: anak sering menggosok hidung dengan telapak tangan
Allergic crease: garis transversal pada sepertiga distal punggung
hidung
Dennies-lines: lipatan pada kelopak mata bagian bawah
Allergic shiners: kelopak mata bagian bawah mengalami pem-
bengkakan dan warna kulit menjadi gelap
Hidung: pembesaran konka disertai sekret hidung
Telinga: efusi kronik
Kulit: tanda-tanda dermatitis atopi terutama di regio malar pada
wajah dan regio fleksor pada lengan dan tungkai
Tes Diagnostik
Tes tusuk kulit (TTK)/skin prick test (SPT)
Diagnosis alergi untuk reaksi hipersensitivitas tipe I, dilakukan
pada penderita diduga alergen inhalan sebagai penyebab
IgE spesifik serum (RAST)
Tes ini dilakukan bila: (1) kondisi kulit tidak memungkinkan untuk
dilakukan TTK, misalnya dermatografisme berat/dermatitis luas,
(2) penderita tidak dapat menghentikan penggunaan antihistamin
(3) terdapat risiko anafilaksis pada penderita, dan (4) tidak
kooperatif untuk dilakukan UTK
Pengukuran IgE spesifik tidak dipengaruhi oleh obat-obatan atau
penyakit kulit. Sensitivitas dan spesifisitas uji ini >85%
Tatalaksana
Tatalaksana RA meliputi kombinasi terapi lingkungan, farmakoterapi,
dan imunoterapi
Terapi Lingkungan
Menghindari alergen pencetus merupakan tatalaksana lini pertama
Farmakoterapi
Pilihan medikamentosa bersifat individual disesuaikan dengan kondisi
anak dan respons terhadap pengobatan yang diberikan. Faktor
kepatuhan terhadap pengobatan sangat penting karena pengobatan
bersifat jangka panjang. Tabel berikut menunjukkan beberapa jenis
medikamentosa yang digunakan dalam pengobatan RA serta efeknya
terhadap gejala rinitis

81
Tabel 23 Efek Pengobatan Gejala Rinitis
Hidung Hidung Gatal pada Gejala
Bersin Berair Tersumbat Hidung pada Mata
Antihistamin H-1
Oral ++ ++ + +++ ++
Intranasal ++ ++ + ++ 0
Tetes mata 0 0 0 0 +++
Kortikosteroid
Intranasal +++ +++ +++ ++ ++
Kromolin
Intranasal + + + + 0
Tetes mata 0 0 0 0 ++
Dekongestan
Intranasal 0 0 ++++ 0 0
Oral 0 0 + 0 0
Antikolinergik 0 ++ 0 0 0
Antileukotrien 0 + ++ 0 ++
Sumber: van Cauwenberge dan van Hoecke 2005

Kortikosteroid intranasal dan oral


Steroid intranasal: flutikason propionat atau mometason furoat,
pengobatan lini pertama pada anak dengan gejala sedang–berat.
Efek terapeutik tercapai dalam waktu 6–8 jam sesudah pemberi-
an, tetapi mencapai tingkat maks. sesudah pemakaian 2 mgg

Gambar 18 Teknik Pemakaian Obat Semprot Hidung yang Benar


Sumber: Turner dan Kemp 2010

82
1. Botol dikocok dengan baik
2. Posisi kepala menunduk
3. Gunakan tangan kanan untuk
lubang hidung kiri, tempatkan
ujung botol di dalam lubang
hidung mengarah ke dinding
lateral hidung
4. Tekan botol 1 atau 2× (2 arah
berbeda )
5. Ganti dengan tangan kiri
untuk lubang hidung kanan
6. Jangan menghirup dengan
kuat

Posisi yang salah Pilih salah satu posisi yang


paling nyaman

Gambar 19 (a) Teknik Pemakaian Obat Semprot Hidung yang Benar


(b) Teknik Pemakaian Obat Tetes Hidung yang Benar
Sumber: Scadding dkk. 2008

83
Tabel 24 Jenis-jenis Kortikosteroid yang Dapat Digunakan pada Anak
Nama Dosis per Bioavaila-
Steroid Dosis/Usia Spray Onset bilitas

Mometason 3–11 th 100 µg/hr 50 µg 12–24 jam <0,1%


furoat >12 th 200 µg/hr
Flutikason >4–11 th 100–200 µg/hr, 50 µg 12–24 jam <2%
propionat 2×/hr
>12 th 200–300 µg/hr,
2×/hr
Flutikason 2–11 th 55 µg/hr 27,5 µg 24 jam <0,5%
furoat >12 th 110 µg/hr
Sumber: Sanford 2008

Kortikosteroid oral jangka pendek: misalnya prednisolon dosis


0,5 mg/kg/hr, diberikan pada gejala hidung tersumbat berat yang
tidak dapat dikendalikan oleh farmakoterapi lain, bersamaan
dengan makanan di pagi hari selama 5–10 hr. Penggunaan jangka
panjang tidak direkomendasikan
Antihistamin
Antihistamin dapat diberikan p.o. maupun intranasal. Antihistamin
intranasal (misalnya azelastin) memiliki efektivitas yang sama
dengan antihistamin oral dengan onset kerja yang cepat
Tabel 25 Jenis-jenis Antihistamin yang Dapat Digunakan pada Anak
Nama/Generasi Usia/Dosis Rute/Sediaan Sedasi
Sirup
Feksofenadin/2 6–12 th 30 mg, 2×/hr Oral/tidak ada Tidak
>12 th dosis dewasa
Loratadin/2 2–5 th 5 mg, 1×/hr Oral/ada Tidak
>5 th dosis dewasa
Setirizin/2 6–12 bl 2,5 mg, 11×/hr Oral/ada Sedikit
12–24 bl 2,5 mg, 21×/hr
2–5 th 2,5–5 mg, 21×/hr
>6 th 5–10 mg, 11×/hr
Azelastin/2 >3 th 1 tetes tiap mata, 2×/hr Tetes mata Sedikit
>12 th dosis dewasa
Azelastin/2 5–11 th 1 puff/lubang hidung, Intranasal Sedikit
1×/hr
>12 th dosis dewasa
Desloratadin/3 >12 th dosis dewasa Oral/ada Tidak
Levosetirizin/3 6–11 th 2,5 mg, 1×/hr Oral/tidak ada Sedikit
>12 th 5 mg, 1×/hr
Sumber: Sanford 2008

84
Kombinasi antihistamin oral dan kortikosteroid intranasal
Antihistamin dapat dikombinasi dengan kortikosteroid intranasal
pada RA persisten sedang-berat yang tidak mengalami perbaikan
sesudah 2–4 mgg mendapat kortikosteroid intranasal, masih
terdapat gejala bersin dan gatal pada hidung yang menetap
Mast cell stabilizers
Diberikan 1–2 mgg sebelum paparan antigen. Sediaan topikal,
yaitu natrium kromolin aman digunakan pada anak, karena durasi
kerja yang singkat, harus diberikan 4–6×/hr. Bila dibandingkan
dengan antihistamin dan steroid intranasal, kromolin memiliki
efektivitas yang lebih rendah
Dekongestan oral dan topikal
Dekongestan oral pada anak dapat menyebabkan insomnia,
iritabilitas, prestasi belajar anak ↓, dan dapat menginduksi
gangguan jantung pada beberapa anak
Dekongestan topikal (misalnya oxymetazoline hydrochloride)
memiliki onset kerja yang cepat dan berguna untuk mengatasi
kongesti akut, tetapi penggunaannya tidak boleh >10 hr karena
penggunaan jangka panjang dapat
mukosa hidung menjadi kering dan mengganggu imunitas alamiah
(innate) dari saluran respiratori di hidung
Antikolinergik
Onset kerjanya 15–30 mnt dan efektif dalam mengendalikan gejala
hidung berair tetapi tidak efektif untuk gejala rinitis lainnya.
Kombinasi dengan steroid intranasal perlu dipertimbangkan pada
penderita yang gejala dominannya hidung berair
Antagonis reseptor leukotrien (antileukotrien)
Montelukast adalah satu-satunya antagonis reseptor leukotrien
yang terbukti aman dan efektif dalam pengobatan RA pada anak
usia >2 th. Bila dibandingkan dengan antihistamin dan steroid
intranasal, montelukast memiliki efektivitas yang lebih rendah
Imunoterapi alergen
Imunoterapi alergen adalah satu-satunya pilihan terapi yang
memodifikasi mekanisme dasar alergi dengan cara menginduksi
desensitisasi dan menghasilkan kondisi anergi terhadap suatu alergen
penyebab. Terdapat 2 macam imunoterapi, yaitu imunoterapi s.k.
(subcutaneous immunotherapy/SCIT) dan sublingual (sublingual
immunotherapy/SLIT)

85
Tabel 26 Indikasi SCIT dan SLIT
SCIT SLIT
Penderita dengan gejala yang diinduksi Penderita dengan rinitis,
secara dominan oleh paparan alergen konjungtivitis dan atau
Penderita dengan gejala yang diinduksi asma yang disebabkan
oleh musim penyerbukan yang oleh alergi terhadap
memanjang atau berkelanjutan serbuk dan tungau
Penderita dengan rinitis dan gejala Penderita dengan gejala
saluran respiratori bagian bawah tidak dapat dikendalikan
selama puncak paparan alergen oleh farmakoterapi
konvensional
Penderita dengan antihistamin dan
glukokortikoid topikal dosis sedang Penderita yang mengalami
tidak dapat mengendalikan gejala reaksi sistemik selama
imunoterapi subkutan
Penderita yang tidak mau menggunakan
farmakoterapi dalam jangka panjang Penderita dengan
kepatuhan yang buruk
Penderita dengan farmakoterapi dengan terapi injeksi atau
menginduksi efek samping yang tidak menolak injeksi
diinginkan
Sumber: Bousquet dkk. 2008

86
Evaluasi ada asma terutama pada
Diagnosis rinitis alergi penderita dengan rinitis alergi
berat dan atau persisten

Gejala intermiten Gejala persisten

Ringan Sedang–berat Ringan Sedang–berat

Steroid intranasal
Antihistamin-H1 Antihistamin-H1 oral Antihistamin-H1
oral atau atau intranasal dan atau atau antileukotrien
intranasal dan dekongestan atau (harus berurutan)
atau dekongestan steroid intranasal atau
atau antileukotrien
antileukotrien (atau cromone) Evaluasi sesudah
(tidak harus (tidak harus berurutan) 2–4 mgg
berurutan)

Pada RA persisten,
evaluasi sesudah Perbaikan Gagal
2–4 mgg
Turunkan dan Evaluasi diagnosis,
lanjutkan kepatuhan terhadap
Jika gagal: tingkatkan pengobatan pengobatan,
Jika perbaikan: lanjutkan selama >1 bl pertimbangan infeksi
sampai 1 bl atau penyebab lain

Tingkatkan Hidung Hidung


dosis berair: tersumbat:
steroid tambahkan tambahkan
intranasal ipratropium dekongestan atau
steroid oral
(jangka pendek)

Gagal

Rujuk spesialis

Hindari alergen dan bahan iritan yang dapat mencetuskan rinitis alergi

Jika disertai konjungtivitis, tambahkan:


Antihistamin-H1 oral atau intraokular
atau kromon intraokular
(atau saline)

Pertimbangkan imunoterapi spesifik

Gambar 20 Algoritme Tatalaksana Rinitis Alergi dari WHO-ARIA 2008


Sumber: Bousquet dkk. 2008

87
Penyulit Sinusitis
Pemeriksaan foto Rontgen: metode Caldwell dan Waters untuk
melihat opasitas pada sinus paranasal
Kultur dari sekret hidung atau faring bagian atas untuk meng-
identifikasi bakteri penyebab
Pada infeksi virus akan terjadi perbaikan gejala atau kesembuhan
dalam waktu 10 hr sesudah onset penyakit
Pada sinusitis bakterial akut, bila sesudah 10 hr dari onset penyakit
tidak didapatkan perbaikan gejala (gejala menetap) atau bahkan
terjadi perburukan (demam tinggi >38,5 °C selama 3–4 hr, sekret
hidung purulen, kongesti hidung, dan nyeri fokal pada wajah di regio
maksila atau frontal), merupakan suatu petanda perlunya pemberian
antibiotik
Antibiotik:
Amoksisilin dosis 40–80 mg/kgBB/hr terbagi dalam 2 dosis, min.
10 hr dan dihentikan bila sudah tidak bergejala. Bagi anak usia
<2 th atau sudah mendapat antibiotik sebelumnya, diberikan dosis
amoksisilin yang lebih tinggi yaitu 90 mg/kgBB/hr
Di daerah dengan tingkat resistensi penisilin yang tinggi dapat
diberikan:
Amoksisilin/klavulanat dosis 40–80 mg/kgBB/hr terbagi dalam
2 dosis
Sefuroksim 30 mg/kgBB/hr terbagi dalam 2 dosis
Sefdinir 14 mg/kgBB/hr terbagi dalam 1–2 dosis
Sefpodoksim 10 mg/kgBB/hr terbagi dalam 2 dosis
Azitromisin, bila alergi penisilin, dosis 10 mg/kgBB/hr selama
3 hr
Bibliografi
1. Berger WE. Allergic rhinitis in children: diagnosis and
management strategies. Paediatr Drugs. 2004;6:233–50.
2. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias
A, dkk. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA) 2008.
J Allergy Clin Immunol. 2008;63:1–153.
3. Bousquet J, van Couwenberge P, Khaltaev N. ARIA in the
pharmacy: management of allergic rhinitis symptoms in the
pharmacy. J Allergy Clin Immunol. 2004;59:373–87.
4. Manjra AI. Allergic rhinitis in children. CME. 2010;28(9):418–24.
5. Okubo K, Kurono Y, Fujieda S, Ogimo S, Uchio E, Odajima H, dkk.
Japanese guideline for allergic rhinitis. Allergol Int. 2011;60:171–
89.
6. Sanford T. Allergic rhinitis in children. Missouri Med. 2008;
105(3):230–4.
7. Scadding GK, Durham SR, Mirakian R, Jones NS, Leech SC,
Farooque S, dkk. BSACI guidelines for the management of allergic
and non-allergic rhinitis. Clin Exp Allergy. 2008;38(1):19–42.
8. Siow JK, Alshaikh NA, Balakrishnan A, Chan KO, Chao SS, Goh LG,
dkk. Ministry of Health clinical practice guidelines: management
of rhinosinusitis and allergic rhinitis. Singapore Med J. 2010;
51(3):190–9.

88
9. Skoner DP. Allergic rhinitis: definition, epidemiology,
pathophysiology, detection and diagnosis. J Allergy Clin Immunol.
2001;108:S2–8.
10. Turner PJ, Kemp AS. Allergic rhinitis in children. J Pediatr Child
Health. 2010;48(4):302–10.
11. van Couwenberge P, van Hoecke H. Management of allergic
rhinitis. B-ENT. 2005;1(Suppl. 1):45–64.
12. Wallace DV, Dykewicz MS, Bernstein DI, Bernstein IL, Blessing-
Moore J, Cox L, dkk. The diagnosis and management of rhinitis:
An updated practice parameter. J Allergy Clin Immunol. 2008;
122(suppl):S1–84.

89
URTIKARIA/ANGIOEDEMA
Batasan
Urtikaria (biduran, gidu, nettle rash, hives) adalah kelainan kulit yang
menimbul (wheal) berbatas tegas, berwarna merah, lebih pucat pada
bagian tengah, dan memucat bila ditekan, disertai rasa gatal
Angioedema (giant urtikaria, angioneurotic edema, quincke’s edema)
adalah lesi yang sama, tetapi mengenai jaringan subkutan yang lebih
dalam, biasanya tidak gatal, tetapi disertai rasa nyeri dan terbakar
Klasifikasi
Berdasarkan lamanya gejala
Urtikaria akut: berlangsung <6 mgg
Urtikaria kronik: berlangsung ≥6 mgg
Tabel 27 Klasifikasi Urtikaria dan Angioedema berdasarkan
Etiopatofisiologi
Alergi Obat-obatan, makanan, gigitan ular, kontak dengan
alergen, serum thickness reaction
Toksisitas Serangga, tumbuhan, hewan laut
Pseudo-alergi NSAIDs (contoh asam asetilsalisilat), antibiotik, opiat,
pengawet makanan
Reaksi fokal Parasit, bakteri, fungi, virus, hormonal, neoplasma
Stimulus fisik Mekanik (dermatografisme, tekanan, vibrasi), suhu
(panas, dingin), kolinergik (keringat), akuagenik, solar,
X-ray, dll.
Defisiensi enzim Inaktivasi C1 (herediter, buatan), ACE-inhibitor
Gangguan Urtikaria vaskulitis, SLE, krioglobulinemia
autoimun
Mastositosis Kutaneus, sistemik
Autoimun Antibodi IgE, antibodi IgE reseptor
Idiopatik
Sumber: Sabroe dan Graves 2009

Patofisiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe III
Reaksi hipersensitivitas tipe IV

Diagnosis
Kontak atau penggunaan obat, makanan, gigitan binatang atau
transfusi
Kelainan kulit yang khas
Konsultasi
Bagian Kulit dan Kelamin
90
Pemeriksaan Penunjang
Urtikaria dan angioedema akut
Pemeriksaan laboratorium pada urtikaria dan angioedema akut tidak
diperlukan. Bila dari anamnesis didapatkan riwayat alergi dapat
dilakukan tes kulit, pemeriksaan IgE spesifik dengan radio allergo
sorbent test (RAST) atau enzym-linked immunosorbent assay (ELISA)
Urtikaria dan angioedema kronik
Pemeriksaaan laboratorium pada urtikaria dan angioedema kronik:
IgE spesifik: tes kulit atau IgE serum spesifik (RAST)
IgE serum total
Darah lengkap dengan hitung jenis (penilaian eosinofilia)
Laju endap darah, C-reactive protein, antinuclear antibody (ANA),
kadar komplemen serum: C3, C4
Kadar C1esterase inhibitor (bila hanya terdapat angioedema)
Titer virus: panel hepatitis B dan C, HIV, EBV, HSV
Cryoglobulin
Urin (leukosit, bakteri, protein)
Anti-IgE atau antibodi reseptor IgE
Protoporphyrin sel darah merah bebas dan protoporphyrin fecal
(urtikaria solar)
Prosedur Pengujian Urtikaria Fisik
Dermatografisme (menulis pada kulit)
Gores kulit normal pada daerah volar lengan bawah dengan alat
tumpul (stik yang keras atau tounge blade/penekan lidah atau
dengan kuku). Reaksi wheal dan kemerahan berbentuk garis
akan timbul dalam 2–3 mnt sesudah digores. Puncak intensitas
terjadi pada 6–7 mnt dan hilang spontan dalam 20 mnt. Tipe
lambat terjadi dalam 6–9 jam pada sisi yang sama dan menetap
selama 24–48 jam
Urtikaria dingin
Tempelkan benda dingin pada kulit atau pegang kubus es atau
lebih baik benda dingin yang kering (cangkir tembaga yang diisi
es, direndam dalam air dingin atau tabung kering berisi dry ice)
Urtikaria panas
Tempelkan tabung berisi air panas pada kulit. Wheal yang gatal
akan timbul dalam beberapa mnt
Urtikaria solar
Banyak terjadi pada anak memiliki protoporfiria eritropoetik.
Kulit diberi paparan pancaran sinar berbagai panjang
gelombang di laboratorium. Wheal eritema yang gatal akan
timbul pada kulit yang terpajan pancaran sinar, biasanya hilang
dalam 2 jam
Urtikaria tekanan
Untuk menguji urtikaria tekanan, beri tekanan dengan beban
7–14 kg atau gantung suatu beban 7–14 kg di sekeliling lengan
bawah selama 4 mnt
Angioedema karena vibrasi
Tempelkan vibrator atau gagang pegangan mixer yang bergetar
pada lengan bawah selama 4 mnt

91
Urtikaria akuagenik
Tempelkan kompres air atau lakukan tap water challenge
dengan berbagai suhu pada kulit yang diuji. Papula multipel
yang gatal seperti urtikaria kolinergik akan timbul dalam
beberapa mnt hingga 30 mnt
Urtikaria kolinergik
Mandi dalam air hangat atau beraktivitas hingga berkeringat.
Wheal/papula yang gatal dengan diameter 1–3 mm, dikelilingi
eritema yang luas akan timbul dalam 2–20 mnt. Episode ini akan
menetap dalam 15–30 mnt
Terapi
Urtikaria akut
Idealnya identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, tetapi
hal ini sering tidak mungkin dilakukan, sehingga perlu dihindari
faktor yang memberatkan timbulnya gejala
Pada kasus ringan atau sedang-berat pengobatan pertama diberi-
kan antihistamin H1
Bila tidak ada perbaikan dapat ditambahkan kortikosteroid oral
jangka pendek
Pada kasus berat dengan gejala distres pernapasan, asma atau
edema laring diberikan adrenalin s.k., kortikosteroid p.o. atau
parenteral dan antihistamin H1 i.m.
Urtikaria kronik
Idealnya identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, tetapi
hal ini sering tidak mungkin dilakukan, sehingga perlu dihindari
faktor yang memberatkan gejala
Harus dikelola oleh dokter spesialis
Pada kasus ringan atau sedang-berat pengobatan pertama diberi-
kan antihistamin H1
Bila tidak ada perbaikan dapat diberikan:
Kombinasi antihistamin H1 nonsedasi dan sedasi (pada malam
hari)
Kombinasi antihistamin H1 dan antidepresan trisiklik (mis.
doksepin)
Kombinasi antihistamin H1 dan H2
Pada kasus berat diberikan antihistamin H1 ditambah kortiko-
steroid oral jangka pendek
Prognosis
Baik (self limitting disease)
Surat Persetujuan
Diperlukan
Bibliografi
1. Greaves MW. Diagnostic techniques for urticaria and
angioedema. Dalam: Kaplan AP, Greaves MW, penyunting.
Urticaria and angioedema. Edisi ke-2. New York: Informa; 2009.
hlm. 141–52.

92
2. Leung DYM, Dreskin SC. Urticaria (hives) and angioedema.
Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 979–82.
3. Matondang CS, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Urtikaria-
angioedema. Dalam: Akib AP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting.
Buku ajar alergi-imunologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai
Penerbit IDAI; 2008. hlm. 224–33.
4. Odom RB, James WD, Berger T. Andrew’s disease of the skin,
clinical dermatology. Edisi ke-9. New York: WB Saunders Co;
2000.
5. Sabroe RA, Greaves MW. What is urticaria? Anatomical,
physiological, histological consideration and classification.
Dalam: Kaplan AP, Greaves MW, penyunting. Urticaria and
angioedema. Edisi ke-2. New York: Informa; 2009. hlm. 217–42.

93
Emergensi & Rawat
Intensif Anak
Dadang Hudaya Somasetia
Dzulfikar DLH
Stanza Uga Peryoga
Enny Harliany Alwy
RESUSITASI KARDIOPULMONAL OTAK
Batasan
Resusitasi adalah segala bentuk usaha yang dilakukan terhadap orang
yang berada dalam keadaan gawat atau kritis untuk mencegah
kematian
Gawat adalah keadaan yang berkenaan dengan suatu penyakit atau
kondisi sakit yang lain terdapat bahaya kematian
Darurat adalah keadaan yang terjadi tiba-tiba dan tidak diperkirakan
sebelumnya, suatu kecelakaan, kebutuhan yang segera atau
mendesak
Etiologi Kasus Gawat Darurat Pediatri
Gawat darurat jantung, paru, dan otak
Gagal jantung, fibrilasi ventrikel primer, henti jantung primer, dan
kelainan irama jantung, gagal napas, anoksia alveolar, asfiksia,
status asmatikus, henti napas primer, dan obstruksi saluran
respiratori, hipoksia, iskemia dan edema otak, perdarahan
intrakranial, dan tekanan tinggi intrakranial
Gawat darurat homeostatis
Gangguan keseimbangan air, elektrolit, asam-basa dan metabolik,
renjatan, dan gagal ginjal
Gawat darurat perdarahan
Kelainan trombosit, pembuluh darah, dan faktor pembekuan
Gawat darurat khusus
Kejang, keracunan, penurunan kesadaran, abdomen akut, kece-
lakaan dan trauma kepala, tenggelam, tersedak benda asing,
sengatan listrik, luka bakar, heat stroke, hipo/hipertermia
Penyebab henti kardiorespirasi tersering pada anak yaitu trauma,
infeksi, aspirasi benda asing, sindrom kematian bayi mendadak,
kekurangan volume cairan intravaskular, sepsis, dan meningitis
Henti jantung primer anak jarang terjadi dan dapat disebabkan oleh
penyakit jantung bawaan, miokarditis, atau disritmia. Pada umumnya
henti jantung pada anak terjadi sekunder sesudah henti napas primer
Kebanyakan penderita <1 th, angka kematian >75% bila kejadian
dimulai di luar rumah sakit
Pencegahan, pengenalan, serta intervensi dini gagal napas dan henti
sirkulasi harus selalu diperhatikan
Patofisiologi
Kolaps sirkulasi selama henti jantung menghambat perfusi ke
jaringan otak dan organ lainnya kerusakan ireversibel pada organ-
organ vital. Tanpa ventilasi adekuat, O2 dalam darah sangat cepat
dikonsumsi dan tidak dapat diperbaharui. Kesadaran ↓ timbul
sesudah anoksia berlangsung 10–20 detik. Respons jantung pertama
adalah takikardia dan hipertensi. Sesudah 60–90 detik, mekanisme
kompensasi akan gagal, denyut jantung melambat → hipotensi.
Asistol akan timbul sesudah anoksia 3–5 mnt. Oleh karena itu

97
resusitasi kardiopulmonal akan berhasil baik bila dilakukan dalam
4 mnt sejak terjadi henti jantung, kemudian diberikan bantuan hidup
lanjut dalam waktu 8 mnt sesudah henti jantung
Diagnosis
Gejala umum dapat berupa kelelahan dan berkeringat banyak
Disfungsi pernapasan
Sianosis, pernapasan cuping hidung, retraksi dinding dada,
merintih (grunting), suara pernapasan ↓/tidak terdengar, mengi,
takipnea, dan apnea
Disfungsi serebral
Agitasi, gelisah, bingung, sakit kepala, tidak ada respons terhadap
rangsang fisik, kejang, dan koma
Disfungsi kardiosvaskular
Takikardia, hipertensi, bradikardia, hipotensi, kolaps perifer, dan
henti jantung
Laboratorium: analisis gas darah (AGD)
Hipoksemia
PaO2 neonatus <40–50 mmHg, anak <50–60 mmHg
Hiperkapnia
PaCO2 neonatus >60–65 mmHg, anak >55–60 mmHg
Asidosis metabolik/respiratorik (pH <7,35)
Catatan:
Penderita tersangka henti kardiopulmonal perlu pemeriksaan
pernapasan dan nadi segera. Mula-mula yakinkan bahwa jalan
napas terbuka, lihat gerakan napas pada dinding dada, dan
dengarkan suara pernapasan untuk menentukan apakah ada
ventilasi atau tidak
Jika tidak ada aktivitas ventilasi, lakukan ventilasi awal 5x, rabalah
nadi (arteri brakialis atau arteri femoralis pada bayi <1 th, arteri
karotis pada anak >1 th). Bila nadi tidak teraba/sangat lambat pada
penderita henti napas dan tidak sadar → segera lakukan resusitasi
kardiopulmonal
Pemeriksaan Penunjang
AGD
Penyulit
Bergantung pada kelainan yang mendasarinya dan kecepatan serta
ketepatan mendapat resusitasi
Konsultasi
Penderita yang mendapat resusitasi harus disiapkan ke ruang
perawatan intensif
Penatalaksanaan Resusitasi
Resusitasi jantung paru (RJP) terdiri atas bantuan hidup dasar (BHD)
dan bantuan hidup lanjutan (BHL). BHD adalah suatu tindakan
resusitasi tanpa menggunakan alat atau dengan alat yang terbatas
seperti bag-mask ventilation, sedangkan pada BHL menggunakan alat
dan obat resusitasi sehingga penanganan lebih optimal

98
Dasar penatalaksanaan resusitasi pada bayi dan anak mengikuti
format:
A. Membebaskan jalan napas
B. Bantuan pernapasan
C. Bantuan sirkulasi
D. Pemberian obat-obatan
E. Kejutan listrik (defibrilasi)
American Heart Association (AHA) dan Emergency Cardiovascular
Care (ECC) tahun 2010 merekomendasikan perubahan tahapan
bantuan hidup dasar pada anak, yang semula terdiri atas ABC
(Airway, Breathing, Chest compressions) menjadi CAB (Chest
compressions, Airway, Breathing), dengan alasan:
Korban yang mendapatkan pertolongan RJP akibat fibrilasi
ventrikel, bila kompresi dada dilakukan segera akan memberikan
outcome lebih baik
Semua penolong mampu melakukan kompresi dada segera,
sedangkan pada pemberian ventilasi akan memerlukan waktu
lebih lama karena harus memosisikan kepala penderita,
menyiapkan bag-mask, sehingga akan memperlambat tindakan
kompresi dada
Walau demikian, karena penyebab henti kardiorespirasi pada bayi
dan anak umumnya primer akibat gangguan ventilasi dan oksigenasi,
maka format ABC masih dapat dilakukan dengan catatan tidak
berlama-lama dalam melakukan penilaian airway dan breathing
Pastikan adanya henti kardiorespirasi, letakkan penderita dalam
posisi netral di atas permukaan yang keras dan rata, upayakan supaya
leher stabil, bebaskan jalan napas, berikan ventilasi dengan O2 100%
(bila mungkin), berikan kompresi jantung, masukan obat-obatan dan
cairan yang sesuai, dan berikan energi dengan dosis yang benar
untuk defibrilasi (bila ada indikasi)
Pemberian O2, cairan, dan obat-obatan memerlukan pendekatan
yang terorganisasi. Bila hanya ada seorang dokter, lakukan prosedur
berurutan, delegasikan tindakan yang mungkin dikerjakan oleh
paramedis yang terlatih. Bila terdapat lebih dari seorang dokter
memungkinkan beberapa tindakan dikerjakan simultan dan harus ada
yang bertindak sebagai pemimpin resusitasi. Pemimpin bertanggung
jawab dalam hal penanganan jalan napas, memberi instruksi
pemberian obat, dan mendelegasikan pekerjaan lain kepada anggota
yang lain, meliputi akses vaskular, mengambil contoh darah, dan
mencatat keterangan penderita
Protokol Resusitasi
Urutan tindakan resusitasi dimulai dengan menentukan apakah
penderita tidak sadar, memanggil bantuan, meletakkan penderita
di atas permukaan yang keras dan datar (papan resusitasi), bebas-
kan jalan napas, pastikan tidak bernapas atau napas megap-
megap, memberikan 5× ventilasi awal, memastikan tidak ada
denyut nadi atau <60×/mnt, dan kompresi jantung. Bila ada
indikasi lakukan kejutan listrik dan atau pemberian obat-obatan
resusitasi

99
A. Membebaskan jalan napas
Membuka jalan napas dengan menengadahkan kepala dan
menopang dagu (head tilt-chin lift) sehingga anak berada pada
sniffing position. Bila dicurigai trauma leher, kepala dalam
posisi netral dan lakukan gerakan mengedapkan/mencakilkan
rahang (jaw thrust). Dengan cara demikian lidah akan menjauhi
bagian belakang faring dan membuka jalan napas
Mulut penderita dapat dibuka dengan menyilangkan ibu jari
dan jari telunjuk di antara rahang atas dan bawah (cross
finger). Lendir atau kotoran di dalam rongga mulut dibersihkan
secara manual dengan jari (finger sweep) atau dilakukan
penghisapan dengan alat penghisap
Pipa orofaring dapat menahan lidah supaya tidak jatuh ke
belakang menyumbat faring
Intubasi endotrakea akan mempermudah bantuan ventilasi
Krikotirotomi merupakan akses jalan napas terakhir bila
intubasi endotrakea tidak dapat dikerjakan
Trakeostomi dilakukan bila diperlukan terapi ventilator jangka
lama
Bila tersedak, benda asing di rongga faring dapat diambil
dengan forseps Magill melalui penglihatan langsung, atau
dengan melakukan tepukan punggung bayi (back blow),
hentakan dada (chest thrust) pada bayi <1 th, manuver
Heimlich atau hentakan subdiafragma-abdomen (abdominal
thrust) pada anak yang lebih besar
B. Bantuan pernapasan
Lihat, dengar, dan rasakan ventilasi yang efektif dengan cepat
(tidak lebih dari 10 detik)
Untuk bantuan pernapasan, cara terbaik memakai balon dan
pipa endotrakea (lebih disukai), atau balon dan masker.
Mulailah dengan 5× ventilasi dengan kekuatan dan waktu yang
cukup untuk mengembangkan dada (1,5–2 detik/napas)
Bila kurang terlatih atau tidak ada balon, cara paling efektif
yaitu dari mulut-ke-mulut atau dari mulut-ke-hidung dan
mulut. Kadar O2 udara inspirasi dapat ditingkatkan dengan
meletakkan pipa O2 ke sudut mulut sebanyak 6–8 L/mnt
Bila tidak ada respons terhadap bantuan ventilasi, mungkin ada
kesalahan posisi penderita atau saluran respiratori tersumbat
benda asing
Perlu diperhatikan pada tindakan di atas, dada mengembang
secara simetris, perlahan, dan tidak diikuti perut yang
mengembung
C. Sirkulasi
Bila mungkin, pasanglah alat monitor jantung. Nilai nadi karotis
pada anak besar, nadi brakialis, atau femoralis pada bayi
Bila nadi teraba → lakukan pemeriksaan tekanan darah,
pengisian kapiler, dan suhu ekstremitas
Bila nadi tidak teraba/tidak adekuat → lakukan kompresi
jantung yang ritmik dan serial. Pada tiap akhir kompresi biarkan
100
sternum kembali ke posisi netral dan berikan periode waktu
yang cukup untuk kompresi dan relaksasi
Pada bayi <1 th, tangan operator melingkari dada dan kedua
ibu jari diletakkan 1 jari di bawah garis antarputing menekan
dada sedalam min. ½ diameter anteroposterior dinding dada
(two thumb technique) atau letakkan punggung bayi di atas
telapak tangan dan gunakan 2 ujung jari tangan lainnya untuk
kompresi sternum 1 jari di bawah garis antarputing (two finger
technique)
Pada anak usia >1 th, lakukan kompresi dada di ½ bagian
bawah tulang dada dengan satu telapak tangan penolong, atau
telapak tangan yang satu diletakkan di atas punggung tangan
lainnya
Efektivitas kompresi jantung dinilai dengan meraba denyut
nadi karotis, brakialis, femoralis, atau umbilikalis (pada
neonatus). Rasio kompresi/ventilasi pada bayi dan anak yaitu
30:2 (satu penolong), 15:2 (dua penolong), kecuali neonatus
rasionya 3:1
Akses intravena
Pemasangan dimulai di vena perifer. Akses vena sentral
berguna pada kasus renjatan, biasanya pada v. jugularis
eksterna atau v. femoralis. Hindari pemasangan pada
v. subklavia dan v. jugularis interna di ruang gawat darurat
untuk menghindari penyulit. Bila akses perkutan gagal,
lakukan seksio (venous cutdown) v. safena magna atau
v. femoralis. Pada kasus yang mengancam jiwa, infus i.o.
harus dicoba bila akses i.v. perifer belum terpasang dalam 90
detik (1½ mnt) atau 3× tusukan, lokasi terbaik yaitu pada
tibia proksimal, walaupun dapat dilakukan pada tibia distal
atau femur
Atasi penyebab henti kardiorespirasi
Tindakan ini penting terutama pada hipotermia, renjatan,
disritmia, tekanan intrakranial ↑, atau kegagalan pompa
jantung
D. Obat-obatan
Pilihan pertama
Tujuan awal pengobatan pada penderita henti kardio-
respirasi adalah mengatasi hipoksemia, asidosis, hipotensi,
dan meningkatkan denyut jantung. Setiap kali selesai
memberikan obat melalui vena perifer, saluran infus harus
dibilas (bolus) dengan 5 mL NaCl fisiologis dan mengangkat
ekstremitas beberapa saat untuk mendorong obat masuk ke
dalam sirkulasi sentral. Kalsium dan bikarbonat akan
mengendap bila dicampurkan, serta larutan alkali kuat akan
menginaktifkan epinefrin, dopamin, serta isoproterenol
Oksigen
Berikan inspirasi O2 maks. pada semua henti kardio-
respirasi
101
Epinefrin
Diberikan pada keadaan henti jantung, bradikardia
simtomatik yang tidak berespons terhadap bantuan
ventilasi, pemberian O2, dan hipotensi yang tidak
berhubungan dengan deplesi volume cairan. Efek
adrenergik alfa (vasokonstriktor) akan meningkatkan
resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah sistol/
diastol. Efek adrenergik beta meningkatkan kontraktilitas
miokardia dan denyut jantung
Dosis i.v. atau i.o. 0,01 mg/kgBB (0,1 mL/kgBB larutan
standar 1:10.000), diulang tiap 3–5 mnt selama resusitasi.
Dapat diberikan melalui pipa endotrakea 0,1 mg/kgBB
(0,1 mL/kgBB larutan konsentrasi tinggi 1:1.000),
dilarutkan sampai 3–5 mL dengan larutan NaCl fisiologis
Bikarbonat
Hanya diberikan bila terjadi henti jantung yang lama
(10 mnt), krisis hipertensi pulmonal, hiperkalemia, atau
asidosis metabolik yang berhubungan dengan disfungsi
organ (disritmia, disfungsi miokardia, hipotensi). Bikar-
bonat diberikan bila sudah terdapat pernapasan yang
adekuat (spontan atau bantuan)
Dosis 0,5 mEq/kgBB pada bayi dan 1 mEq/kgBB pada anak
diberikan sekali pada saat permulaan resusitasi. Bila hasil
AGD tidak ada, dosis dapat diulang 0,5 mEq/kgBB tiap 10
mnt infus lambat (1–2 mnt). Bila ada AGD, HCO3 (mEq/L)
dapat diberikan dengan perhitungan berikut ini
Defisit bikarbonat = (HCO3 diharapkan − HCO3 sekarang)
× 0,3 × BB (kg)
Penggunaan berlebihan dapat menyebabkan alkalosis
metabolik, hiperkapnia, hipokalemia, hipernatremia,
hiperosmolalitas, asidosis paradoksal intraselular, kon-
traktilitas miokardia ↓, dan ↓ pelepasan O2 dari Hb →
kematian tinggi
Cairan intravena
Bila anak tidak memberikan respons terhadap oksigenasi,
ventilasi, kompresi jantung, dan epinefrin, berikan bolus
larutan NaCl fisiologis. Pemberian bolus kristaloid
secepat-cepatnya (20 mL/kgBB), NaCl fisiologis atau
Ringer laktat dalam waktu 15 mnt pada anak yang
mengalami henti jantung prarumah sakit dengan sebab
yang tidak diketahui
Glukosa
Hipoglikemia sekunder karena stres sering terjadi pada
anak henti kardiorespirasi, sedangkan pada bayi sebagai
penyebab utama. Bila kadar gula darah <40 mg/dL pada
anak, <30 mg/dL pada neonatus, atau <20 mg/dL pada
bayi prematur, harus diberikan bolus dekstrosa 0,25
g/kgBB (2,5 mL/kgBB dekstrosa 10% atau 1 mL/kgBB

102
dekstrosa 25%), diikuti infus dekstrosa 10% sebanyak 1,5×
kebutuhan rumatan
Pilihan kedua
Atropin
Pencegahan/pengobatan bradikardia karena refleks
vagus, blokade jantung derajat dua atau tiga, pulseless
electrical activity
Pengobatan bradikardia simtomatik (denyut jantung
<60×/mnt yang berhubungan dengan perfusi yang buruk
atau hipotensi) yang tidak memberi respons terhadap
oksigenasi, ventilasi, dan epinefrin
Dosis 0,02 mg/kgBB/kali i.v. atau endotrakeal min. 0,10
mg, maks. 0,5 mg (remaja 1 mg), diulang tiap 5 mnt (total
maks. pada anak 1 mg dan remaja 2 mg)
Lidokain 2%
Pada fibrilasi/takikardia ventrikular simtomatik
Dosis awal 1 mg/kgBB (bolus) i.v. atau endotrakeal. Bila
belum teratasi → infus kontinu (120 mL lidokain dalam
100 mL dekstrosa 5%, kecepatan 1–2,5 mL/kgBB/jam =
20–50 mcg/kgBB/mnt)
Kalsium
Pada tersangka/terbukti hipokalsemia, hiperkalemia,
hipermagnesemia, dan overdosis calcium channel blocker
Jangan diberikan rutin selama resusitasi
Pemberian i.v. cepat dapat menyebabkan bradikardia
atau asistol
Dosis Ca klorida 10%: 20–25 mg/kgBB (0,2–0,25 mL/kgBB)
i.v. perlahan-lahan
Dopamin
Sebagai obat inotropik untuk mengatasi curah jantung
rendah persisten yang refrakter terhadap terapi cairan
Pengobatan hipotensi, perfusi perifer yang buruk, atau
renjatan dengan volume intravaskular yang cukup, dan
irama jantung yang stabil
Dapat menyebabkan takiaritmia dan tidak boleh diberikan
bersama dengan larutan Na bikarbonat
Dosis 2–20 g/kgBB/mnt, dosis awal 5–10 g/kgBB/mnt
dititrasi sampai tercapai efek yang diinginkan. Bila tidak
berhasil, pikirkan pemakaian obat adrenergik lain,
misalnya infus epinefrin (drip)
Dosis rendah (2–5 g/kgBB/mnt) dapat meningkatkan
aliran darah ke ginjal, splangnik, koroner, dan serebral
melalui stimulasi reseptor dopaminergik
Bila >10g/kgBB/mnt, akan meningkatkan vasokontriksi
karena efek adrenergik alfa dan mungkin menurunkan
pasokan O2 ke jaringan
Dosis >20 g/kgBB/mnt → menyebabkan aritmia
(aritmogenik)

103
Dobutamin
Merupakan obat inotropik yang efektif dengan efek min.
terhadap denyut jantung dan vasokontriksi perifer. Anak
sering memerlukan dosis tinggi untuk mencapai per-
ubahan nyata pada tekanan rata-rata arterial atau curah
jantung
Pengobatan renjatan, terutama bila terdapat resistensi
vaskular sistemik yang tinggi (misalnya gagal jantung
kongestif atau renjatan kardiogenik), volume intravaskular
adekuat, dan normotensi
Paling efektif untuk gagal jantung kongestif berat atau
renjatan kardiogenik, terutama bila disebabkan oleh
kardiomiopati
Dapat menyebabkan/memperberat hipotensi → takiaritmia
Dosis 5–20 g/kgBB/mnt, dosis awal 5–10 g/kgBB/mnt,
ditingkatkan secara bertahap sebesar 2–5 g/kgBB/mnt
sampai dosis maks.
Isoproterenol
Merupakan agonis adrenergik beta murni → tekanan
darah diastol ↓
Pengobatan bradikardia yang disebabkan heart block yang
tidak responsif terhadap atropin (atau segera timbul
kembali sesudah pemberian atropin)
Dapat dipikirkan untuk bradikardia simtomatik yang tidak
responsif terhadap oksigenasi, ventilasi, dan epinefrin
Dosis 0,1–1 g/kgBB/mnt, dititrasi, ditingkatkan bertahap
0,1 g/kgBB/mnt sampai efek yang diinginkan tercapai
(hentikan pemberian bila timbul takikardia >200×/mnt
atau disritmia). Jangan diberikan dalam larutan alkali atau
sebelumnya sudah mendapat epinefrin
Norepinefrin
Merupakan agonis adrenoseptor  dan  (terutama -1)
Meningkatkan tekanan darah pada hipotensi yang tidak
berespons terhadap resusitasi cairan dan pemberian
dopamin/dobutamin
Pada renjatan septik akan meningkatkan tekanan darah
dan resistensi vaskular sistemik tanpa banyak meme-
ngaruhi curah jantung, serta meningkatkan kontraksi
miokardia
Dosis 0,05 g/kgBB/mnt ditingkatkan bertahap tiap 15
mnt sampai 0,15 g/kgBB/mnt dikombinasikan dengan
dobutamin 5 g/kgBB/mnt untuk meningkatkan tekanan
darah, perfusi ginjal, dan splangnik
E. Kejutan listrik (defibrilasi)
Jarang digunakan pada anak, akan tetapi bila diperlukan dapat
menyelamatkan jiwa pada penderita pascaoperasi jantung dan
korban tenggelam dengan hipotermia berat (<30 °C). Defibrilasi
tanpa pemantauan EKG tidak dianjurkan

104
Untuk fibrilasi ventrikel/takikardia ventrikel dengan nadi tidak
teraba (pulseless)
Diberikan 2 joule/kgBB dengan unsynchronize mode. Bila tidak
berhasil → bolus lidokain 1 mg/kgBB i.v., ulang defibrilasi setiap
30–60 detik dengan dosis 2–4 joule/kgBB
Dapat dicoba bretilium tosilat 5 mg/kgBB i.v. dosis pertama dan
10 mg/kgBB dosis ke-2 untuk kasus refrakter (bila lidokain tidak
berhasil mengembalikan irama sinus)
Untuk takikardia ventrikel dengan hemodinamik tidak stabil/
takiaritmia (takikardia supraventrikular, takikardia ventrikular,
fibrilasi atrial, atau geletar atrial) diberikan kardioversi dengan
dosis 0,5 joule/kgBB synchronize mode. Bila tidak berhasil,
berikan bolus lidokain 1 mg/kgBB dan dosis kardioversi dapat
dinaikkan bertahap sampai dosis maks. 1 joule/kgBB
F. Evaluasi dan pemantauan
Sesudah melakukan ventilasi dan kompresi selama 5 siklus
(2 mnt), evaluasi lagi nadi (5–10 detik). Jika tidak ada nadi atau
<60×/mnt disertai perfusi yang buruk, mulai lagi dengan
ventilasi diikuti kompresi jantung. Jika denyut nadi adekuat,
periksa pernapasan (3–5 detik); jika bernapas, awasi secara
ketat. Jika tidak bernapas, berikan ventilasi 20×/mnt pada bayi/
anak kecil dan 12×/mnt pada anak >8 th atau dewasa serta
awasi denyut nadi secara ketat. Jika resusitasi dilanjutkan,
evaluasi ulang respirasi dan nadi tiap beberapa mnt. Jangan
menghentikan resusitasi >7 detik kecuali dalam keadaan
tertentu
Pada saat evaluasi, pemimpin resusitasi memberikan instruksi
untuk menyiapkan dan melakukan intubasi endotrakeal bila
belum ada napas spontan, memasang akses vena, menyiapkan/
memberikan obat-obatan, memasang monitor EKG, dan
menyiapkan defibrilator
G. Stabilisasi
Bila denyut jantung sudah teraba, sangat penting untuk
mencegah kerusakan akibat asfiksia sekunder atau yang sedang
berlangsung dengan mempertahankan ventilasi dan perfusi.
Bila mungkin, berikan O2 dengan aliran tinggi, lakukan foto
Rontgen toraks dan AGD. Pastikan semua pipa dan saluran
infus terpasang dengan baik
Perawatan intensif harus segera dilakukan untuk mengurangi
kerusakan susunan saraf pusat (SSP) yang mungkin terjadi.
Penyebab henti kardiorespirasi yang sudah diketahui harus
segera diobati
H. Menghentikan resusitasi
Harus dipikirkan bila curah jantung tidak ditemukan kembali
sesudah dilakukan pembebasan jalan napas, bantuan perna-
pasan, dan sirkulasi serta sudah diberikan obat-obatan
resusitasi yang adekuat. Bila otot jantung tidak responsif

105
terhadap 3 dosis pertama epinefrin walaupun dengan
dukungan oksigenasi dan ventilasi yang optimal (biasanya
25–30 mnt sesudah resusitasi dimulai), resusitasi biasanya
tidak berhasil
Resusitasi tidak dilakukan pada stadium terminal suatu
penyakit atau penderita penyakit yang tidak dapat disembuh-
kan. Bila ragu resusitasi kardiopulmonal harus segera dimulai,
tidak ada waktu untuk berdiskusi atau berkonsultasi
Penghentian resusitasi harus berdasarkan kematian jantung,
bukan kematian otak
Kematian jantung terjadi bila denyut jantung tidak dapat
dikembalikan walaupun dengan usaha maks. selama 30 mnt
Resusitasi darurat dapat dihentikan bila:
Sirkulasi/ventilasi sudah kembali lagi (membaik)
Resusitasi sudah diambil alih oleh dokter
Terlalu lelah
Stadium terminal suatu penyakit
Denyut nadi tidak ada ½–1 jam sebelum resusitasi (diketahui
kemudian, pada keadaan normotermia tanpa RJP)
Pengakhiran resusitasi dapat dilakukan pada keadaan:
Penderita dinyatakan meninggal bila:
Tetap tidak sadar, tidak timbul pernapasan spontan, tidak
ada refleks menelan (gag reflex), dan pupil dilatasi selama
>15–30 mnt resusitasi (mati otak), atau
Terdapat tanda-tanda mati jantung, yaitu asistol
ventrikular yang menetap sesudah 30 mnt resusitasi
dengan terapi adekuat (langkah ABC resusitasi)
Prognosis
Bergantung pada penyakit/kelainan yang mendasarinya dan kecepat-
an mendapat resusitasi
Surat Persetujuan
Dilakukan sedini-dininya sementara resusitasi terus dikerjakan

106
Tabel 28 Perbandingan Pedoman Resusitasi Jantung Paru dan Perawatan Kardiovaskular Emergensi pada Bantuan Hidup
Dasar Menurut American Heart Association 2005 dan American Heart Association 2010
Rekomendasi AHA 2005 Rekomendasi AHA 2010 Keterangan
Menggunakan “A-B-C” dalam bantuan Perubahan dalam tahapan bantuan hidup Pada penderita henti jantung, bagian
hidup dasar dasar dari “A-B-C” (airway, breathing, chest terpenting dari resusitasi jantung paru
compressions) menjadi “C-A-B” (chest adalah kompresi dada dan defibrilasi
compressions, airway, breathing) bagi segera
dewasa dan anak (anak dan bayi, kecuali Pada rangkaian CAB, kompresi dada dimulai
neonatus) lebih awal dan pemberian ventilasi hanya
akan tertunda sebentar sampai siklus
pertama kompresi dada
Resusitasi jantung paru dengan rangkaian
107

ABC dimulai dengan prosedur yang cukup


sulit, yaitu membuka jalan napas dan
pemberian bantuan napas
“Look, listen and feel” ada dalam “Look, listen and feel” tidak ada dalam “Look, listen and feel,” tidak konsisten dan
algoritme BHD algoritme BHD perlu waktu
Kecepatan kompresi dada 100/mnt Kecepatan kompresi dada min. 100/mnt Jumlah kompresi dada tiap mnt selama RJP
merupakan faktor penting dalam
mengembalikan sirkulasi spontan dan
harapan hidup dengan fungsi neurologis baik
Kompresi dada ⅓–½ diameter Rekomendasi baru mengenai kedalaman Kompresi dada mengatur aliran darah,
anteroposterior dinding dada kompresi: min. ⅓ diameter anteroposterior oksigen, dan energi ke jantung dan otak
dinding dada Penolong sering kali kurang kuat dalam
melakukan kompresi dada
Pedoman RJP AHA 2005 dan ECC Jika penolong belum terlatih RJP, maka ia Hands-only lebih mudah dilakukan oleh
tidak menyatakan rekomendasi yang hanya boleh hands-only (kompresi dada penolong yang belum dilatih dan dapat
berbeda antara penolong terlatih saja) pada penderita dewasa yang tiba-tiba dipandu dispatchers melalui telepon
dan tidak terlatih, tetapi hanya kolaps, dengan “push hard and fast” pada Harapan hidup penderita henti jantung sama
menyatakan bahwa dispatchers bagian tengah dada, atau mengikuti antara yang mendapat kompresi dada saja
memberikan instruksi RJP untuk instruksi EMS dispatcher dan kompresi-ventilasi. Tetapi, bagi
melakukan kompresi dada saja bagi Petugas terlatih min. harus dapat melakukan penolong yang sudah terlatih
penolong yang tidak terlatih kompresi dada pada penderita henti direkomendasikan untuk melakukan
Jika penolong tidak mampu jantung kombinasi kompresi-ventilasi
melakukan ventilasi, maka lakukan Bila dapat melakukan bantuan napas, rasio
kompresi dada saja kompresi ventilasi adalah 30:2
Sumber: Berg dkk. 2010
108
Gambar 21 Algoritme Bantuan Hidup Dasar Menurut AHA 2010
Sumber: Berg dkk. 2010

109
Gambar 22 Algoritme Bantuan Hidup Dasar Menurut AHA 2005
Sumber: American Heart Association 2006

110
Bibliografi
1. American Heart Association. 2005 American Heart Association
(AHA) guidelinesfor cardiopulmonary resuscitation (CPR) and
emergency cardiovascular care (ECC) of pediatric and neonatal
patients: pediatric basic life support. Pediatrics. 2006;117(5):
e989–1004.
2. Berg MD, Schexnayder SM, Chameides L, Terry M, Donoghue A,
Hickey RW, dkk. Pediatric basic life support: 2010 American
Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care. Circulation. 2010;122:862–
75.
3. Biarent D, Bingham R, Richmond S, Maconochie I, Wyllie J,
Simpson S, dkk. European Resuscitation Council guidelines for
resuscitation 2005. Section 6. Paediatric life support.
Resuscitation. 2005;67S1:S97–133.
4. Kuluz JW, Shaffner DH. Cardiopulmonary resuscitation. Dalam:
Nichols DG, Yaster M, Lappe DG, Haller JA, penyunting. Golden
hour the handbook of advanced pediatric life support. Edisi ke-2.
USA: Mosby-Year Book; 1999. hlm. 89–121.
5. Mathers LW, Frankel LR. Pediatric emergencies and resuscitation.
Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB
Saunders; 2007. hlm. 387–405.
6. Primm PA, Reamy RR. Cardiopulmonary resuscitation. Dalam:
Strange GR, Ahrens WR, Lelyveld S, Schafermeyer RW,
penyunting. Pediatric emergency medicine. Edisi ke-2. New York:
McGraw-Hill; 2002. hlm. 18–27.
7. The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR)
consensus on science with treatment recommendations for
pediatric and neonatal patients: pediatric basic and advanced life
support. Pediatrics. 2006;117;955–77.

111
GAGAL NAPAS PADA ANAK
Batasan
Gagal napas menggambarkan ketidakmampuan tubuh untuk melaku-
kan oksigenasi dan atau ventilasi dengan adekuat. Gagal napas akut
adalah suatu keadaan klinis terjadi kegagalan pada proses pertukaran
gas di paru-paru yang ditandai dengan gagalnya pengeluaran CO2 dan
tidak adekuatnya oksigenasi dalam darah
Etiologi
Berbagai kondisi dapat → kegagalan pernapasan seperti yang
tercantum dalam Tabel 29. Berdasarkan lokasi kelainan primer,
kondisi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi kelainan paru,
gangguan mekanik ventilasi, penyempitan saluran respiratori,
gangguan SSP untuk mengontrol respirasi, dan kegagalan untuk
memenuhi kebutuhan oksigen yang ↑ dari jaringan
Tabel 29 Etiologi Gagal Napas
Kelainan paru primer
Pneumonia
Bronkiolitis
Asma
Fibrosis kistik
Gangguan mekanik ventilasi
Penyakit neuromuskular (myopathies, sindrom Guillain-Barre)
Trauma dinding dada (flail chest)
Efusi pleura luas
Penyakit paru restriktif dengan keterlibatan otot-otot pernapasan
Sumbatan saluran respiratori
Benda asing
Laringeal web
Vascular ring
Kegagalan SSP untuk mengatur pernapasan
Trauma
Infeksi
Keracunan
Genetik (congenital hypoventilation syndrome)
Tumor
Kegagalan untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan
Renjatan septik
Sumber: Nitu dan Elgen 2009

Tipe Gagal Napas


Gagal napas dibagi menjadi dua tipe yang terjadi karena hipoksemia,
hiperkapnia, atau kombinasi keduanya dan diklasifikasikan berdasar-
kan kadar PaCO2

112
Gagal napas tipe I (hipoksemia, gangguan oksigenasi)
Ditandai PaO2 arteri rendah (hipoksemia) dan PaCO2 arteri yang
normal atau rendah yang disebabkan ventilasi paru dan perfusi
yang tidak sepadan
Gagal napas tipe I adalah kegagalan oksigenasi dan terjadi pada
tiga keadaan:
1. Ventilasi/perfusi yang tidak sepadan atau V/Q mismatch,
terjadi bila darah mengalir ke bagian paru dengan
ventilasi yang tidak adekuat atau bila ventilasi paru yang
adekuat tidak mendapatkan perfusi adekuat
2. Gangguan difusi, disebabkan penebalan membran
alveolar atau cairan interstisial pada pertemuan alveous-
kapilar ↑
3. Pirau intrapulmonal yang terjadi bila kelainan struktur
paru → aliran darah melewati paru tanpa berpartisipasi
dalam pertukaran gas
Gagal napas tipe II (hiperkapnia, gangguan ventilasi)
Ditandai PaO2 rendah (hipoksemia) dan PaCO2 tinggi (hiper-
kapnia), pada umumnya karena hipoventilasi alveolar, ↑
ventilasi ruang mati (dead space), atau ↑ produksi CO2
Gagal napas tipe II pada umumnya terjadi karena hipoventilasi
alveolar dan biasanya terjadi sekunder terhadap keadaan
seperti disfungsi SSP, sedasi berlebihan, atau gangguan
neuromuskular
Tabel 30 Tipe Gagal Napas
Temuan Klinis Penyebab Contoh
Tipe I Gangguan Posisi (telentang di tempat tidur),
Hipoksia, ventilasi/perfusi sindrom distres pernapasan akut
PaCO2 ↓ (SDPA), atelektasis, pneumonia,
emboli paru, displasia bronko-
pulmonal
PaO2 normal Gangguan difusi Edema paru, SDPA, pneumonia
interstitial
Pirau Malformasi artrio-vena paru,
malformasi adenomatoid
kongenital
Tipe II Hipoventilasi Penyakit neuromuskular (polio,
Hipoksia sindrom Guillan Barre), trauma
Hiperkapnia kepala, sedasi, disfungsi dinding
PaO2 ↓ dada (luka bakar), kifosis,
PaCO2 ↑ hiperreaktivitas saluran respiratori
berat
Sumber: Carpenter dkk. 2001

113
Diagnosis
Gagal napas diawali oleh stadium kompensasi, pada keadaan ini
ditemukan ↑ upaya napas (work of breathing) yang ditandai distres
pernapasan (pemakaian otot pernapasan tambahan, retraksi,
takipnea, dan takikardia). Peningkatan upaya napas terjadi dalam
usaha mempertahankan aliran udara walaupun compliance paru ↓.
Stadium dekompensasi muncul belakangan ditandai ↓ upaya napas
Anamnesis
Dapat ditemukan kesulitan bernapas atau sesak napas, ↓ aktivitas
fisik, perubahan status mental, riwayat tertelan benda asing, dan
riwayat infeksi saluran respiratori akut sebelumnya
Pemeriksaan Fisis
Mungkin ditemukan upaya napas ↑ dan perubahan pola serta
frekuensi laju napas (Tabel 31)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sangat penting untuk menilai oksigenasi
jaringan yang adekuat. Pemeriksaan gas darah arteri merupakan
penilaian utama untuk kedua tipe gagal napas, yaitu PaO2 dan PaCO2.
Gagal napas ditandai dengan hipoksemia yaitu kadar PaO2 <60 mmHg
dan hiperkapnia yaitu PaCO2 >50 mmHg. Referensi lain mengatakan
hipoksemia apabila PaO2 <50 mmHg, SaO2 <90%, PaO2 <60 mmHg
pada FiO2 40% atau PaO2/FiO2 <300. Hiperkapnia apabila pCO2 >50
mmHg dengan asidosis (pH <7,25), pCO2 >40 mmHG dengan distres
berat atau pCO2 >55 mmHg. Pemeriksaan tambahan lain seperti
elektrolit, hematokrit (Ht), dan kadar obat hanya untuk mencari
penyebab dasar gagal napas

Penyulit
Henti kardiovaskular (65% pada anak)
Talaksana
Tatalaksana gagal napas akut di ruang gawat darurat terdiri atas:
Survei primer: lakukan pemeriksaan observasional dengan segitiga
penilaian anak
Prioritas pengobatan:lakukan langkah resusitasi ABC dan penilaian
derajat kesadaran
Survei sekunder: anamnesis dan pemeriksaan fisis singkat dikerja-
kan simultan dan komprehensif bersamaan pada
saat melakukan prioritas pengobatan sesuai
diagnosis
Prioritas pertama dalam tatalaksana gagal napas akut adalah
menjamin kecukupan pertukaran gas dan sirkulasi darah (langkah
ABC resusitasi kardiopulmonal). Oksigen harus diberikan untuk
mempertahankan saturasi oksigen arteri >95%. Bila ventilasi tidak
adekuat, maka harus segera diberikan bantuan ventilasi balon ke
masker dan O2

114
Tabel 31 Penilaian Klinis Gagal Napas Akut
Penilaian Distres Pernapasan Gagal Napas Henti Napas
Status mental Sadar, gelisah, agitasi Kurang responsif atau memberi Tidak responsif terhadap suara
respons terhadap rangsang sakit dan rangsang nyeri
Tonus otot Dapat duduk (usia >4 bl) Normal atau hipotonía Lemas
Posisi tubuh Posisi tripod Posisi tripod, perlu bantuan Tidak dapat mempertahankan
mempertahankan posisi duduk posisi tubuh (bayi >7–9 bl)
Laju napas Lebih cepat dari normal Takipnea dengan periode Tidak ada napas
bradipnea, melambat menjadi
bradipnea/agonal
Upaya napas Retraksi interkostal Upaya napas tidak adekuat, Tidak ada upaya napas
Napas cuping hidung dinding dada naik turun
115

Pemakaian otot leher


Suara napas Pernapasan paradoksik Stridor, mengi, berdeguk, Tidak terdengar suara napas
megap-megap
Warna kulit Stridor, mengi, Sianosis sentral walaupun Bebercak biru, sianosis perifer
kemerahan atau pucat, sudah diberikan O2, bebercak dan sentral
sianosis sentral yang biru
membaik dengan
pemberian O2
Sumber: Frankel 2007
Fase Resusitasi
Stabilisasi dan mencegah perburukan. Berikan oksigenasi, kontrol
saluran respiratori, tatalaksana ventilasi, stabilisasi sirkulasi, dan
terapi farmakologis
Bila penderita sadar: penanganan minimal, bayi di pangkuan
orangtua, dalam posisi yang nyaman, jangan memaksakan pen-
derita dalam posisi tidur, berikan suplemen oksigen (aliran rendah
atau tinggi), pasang pemantau kardiorespirasi dan pulse oxymeter,
akses i.v. bila perlu, anamnesis,dan pemeriksaan klinis singkat
Bila penderita tidak sadar: buka jalan napas (manuver tengadah
kepala/head tilt, angkat dagu/chin lift, atau mengedapkan rahang/
jaw thrust) dan letakkan dalam posisi pemulihan. Isap lendir (10
detik), ventilasi tekanan (+) dengan O2 100%. Lakukan intubasi
endotrakea dan pijat jantung luar bila diperlukan
Fase Perawatan Lanjutan
Melakukan diagnosis diferensial dan investigasi lanjut, rencana
terapi yang disesuaikan dengan diagnosis (antibiotik, bronkodilator,
nutrisi, fisioterapi, pemantauan, radiologis). Pemantauan penderita
gagal napas akut harus dilakukan penilaian ulang dan pengawasan
ketat. Pemantauan kerja jantung, tekanan darah, pulse oxymetri,
saturasi oksigen, dan kapnometri. AGD dilakukan 15–20 mnt
sesudah dilakukan ventilasi mekanik
Prognosis
Bergantung pada etiologi, diagnosis dini, dan kecepatan serta
penanganan gagal napas
Surat Persetujuan
Diperlukan
Bibliografi
1. Carpenter TC, Dobyn EL, Durmowicz AG, Ferguson MA, Stenmark
KR. Critical care. Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ,
Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric diagnosis &
treatment. Edisi ke-15. New York: McGraw-Hill; 2001. hlm. 319–
43.
2. Carpenter TC, Dobyns EL, Lane J, Mourani P, Robinson A,
Ferguson M, dkk. Acute respiratory failure. Dalam: Hay WW,
Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current
pediatric diagnosis & treatment. Edisi ke-16. Boston: McGraw-
Hill; 2003. hlm. 362–7.
3. Durmowicz AC, Stenmark KR. Acute respiratory failure. Dalam:
Chernick V, Boat TF, Kendig EL, penyunting. Kendig’s disorders of
the respiratory tract in children. Edisi ke-8. Philadelphia: WB
Saunders Co; 2012. hlm. 265–83.
4. Frankel LR. Respiratory distress and failure. Dalam: Kliegman RM,
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007.
hlm. 421–31.

116
5. Nitu ME, Elgen H. Respiratory failure. Pediatr Rev. 2009;30:470–8.
6. Paldipsky PS, Gausche-Hill M. Respiratory distress and
respiratory failure. Dalam: Baren JM, Brennan JA, Brown L,
Rothrock SG, penyunting. Pediatric emergency medicine. Edisi
ke-1. Philadelphia: Saunders; 2008. hlm. 13–27.
7. Pope J, McBride J. Respiratory failure in children. Pediatr Rev.
2004;25(5):160–6.

117
TERAPI OKSIGEN
Batasan
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi lebih
besar dari konsentrasi oksigen di udara (21%) untuk mengatasi atau
mencegah gejala dan manifestasi hipoksia
Tujuan terapi oksigen adalah:
Mengatasi hipoksemia
Menurunkan kerja pernapasan
Mengurangi kerja miokardia
Indikasi
Hipoksemia
Bayi dan anak: PaO2 <60 mmHg atau SaO2 <90% (udara ruangan)
Neonatus: PaO2 <50 mmHg atau SaO2 <88%
Pada keadaan akut dicurigai hipoksemia
Renjatan
Trauma berat
Terapi jangka pendek (selama prosedur medis tertentu)
Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi yang spesifik
Kanul nasal: jika ada obstruksi nasal
Kateter nasofaringeal: jika ada fraktur dasar tengkorak kepala,
trauma maxilo-facial, dan obstruksi nasal
Penyulit
Fisiologis
Bayi prematur: retinopathy of prematurity (ROP)
Paraquat, bleomisin: fibrosis paru
FiO2 tinggi: atelektasis absorpsi, bronchopulmonary displacia (BPD),
radikal bebas
Berhubungan dengan alat
Hipoksemia
Hiperoksemia
Fisiologi
O2 ditranspor dari paru ke dalam jaringan tubuh
O2 bergerak menuju ke daerah yang memiliki perbedaan tekanan,
seperti:
Dari alveolar ke dalam darah
Dari darah arteri ke dalam jaringan tubuh
Ke dalam sel dan mitokondria
Faktor-faktor yang berperan dalam oksigenasi yang adekuat:
FiO2
Pertukaran udara pada alveoli
Kandungan oksigen dalam vena
Distribusi ventilasi-perfusi

118
Kandungan oksigen dalam darah terdiri atas:
Oksigen terlarut dalam plasma: PaO2 (mmHg) × 0,003 mL
Terikat dengan Hb: Hb × 1,34 × saturasi O2
Kandungan O2 = O2 terlarut + O2 terikat Hb

Sistem Pemberian Oksigen


Sistem aliran rendah (low flow - variable performance)
Kanula nasal, sungkup muka sederhana, sungkup dengan reservoar
(sungkup muka non-rebreather, sungkup muka partial rebreather)
Sistem aliran tinggi (high flow - fixed performance)
Alat venturi
Dapat digunakan dengan sungkup, nebulizer, trakeostomi, tents
dan hoods

Peralatan Terapi Oksigen


Kanula nasal/nasal prong
FiO2 yang dihasilkan bervariasi 24–50%, bergantung pada aliran
inspirasi penderita (frekuensi napas, volume tidal, dan waktu
inspirasi)

Tabel 32 Keuntungan dan Kerugian Kanula Nasal


Keuntungan Kerugian
Mudah digunakan Iritasi hidung dan tenggorokan
Disposable (>6 L/mnt)
Berguna untuk kebutuhan O2 FiO2 yang rendah
moderate FiO2 yang bermacam-macam
Sumber: Myers 2002

Penghitungan FiO2 yang Dibutuhkan


Vol O2 inspirasi + Vol O2 reservoar + 0,21 [VT− {(Vol O2 inspirasi +
FiO2 = Vol O2 reservoar)}]
VT

(Ti × flow) + (¼ Te × flow) + 0,21 [VT− (Ti × flow) + (¼ Te × flow)]


FiO2 =
VT

Keterangan:
Ti = time inspiration: ⅓ × waktu siklus (60/RR)
Te = expiration time: ⅔ 60/RR
Flow = aliran O2 yang diberikan (L/m) × 16,7
RR = kecepatan respirasi dalam 1 mnt
BB = berat badan dalam kg
VT = volume tidal
0,21 = konsentrasi O2 ruangan 21%

119
Catatan:
Kapasitas reservoar anatomik = ⅔ BB
Bila volume O2 reservoar >kapasitas reservoar anatomik, maka
angka yang digunakan adalah kapasitas reservoar anatomik
Bila volume O2 reservoar <kapasitas reservoar anatomik,
maka angka yang digunakan adalah volume O2 reservoar
Kateter nasofaring
Oksigen mengalir melalui kateter ke dalam orofaring yang
bertindak sebagai reservoar anatomis
FiO2 bervariasi menurut aliran inspirasi penderita
Jarang digunakan karena perawatannya sulit
Sungkup sederhana
Kecepatan aliran yang diperlukan berkisar 6–10 L/mnt. FiO2
yang dihasilkan 35–55%, bergantung pada kecepatan aliran
inspirasi dan kapasitas aliran oksigen
Sungkup non-rebreathing
Dilengkapi kantung reservoar dan sistem pengatur aliran gas
dengan 2 buah katup searah yang terletak di antara sungkup
dan reservoar, serta pada salah satu sisi ekshalasi
Udara ekspirasi akan dieliminasi dan setiap inspirasi berisi
oksigen. Dapat memberikan oksigen sampai 100%
Sungkup partial rebreathing
Dilengkapi kantung reservoar dan sistem pengatur aliran gas.
Karena tidak terdapat katup di antara sungkup dan reservoar,
maka sebagian udara ekspirasi atau volume udara dalam ruang
rugi anatomis akan masuk kembali ke dalam kantung reservoar
Agar saat bernapas tidak menghirup CO2, maka aliran gas
inspirasi harus dipertahankan ≥6 L/mnt
Karena sering dianggap sebagai sungkup non-rebreathing,
dalam keadaan gawat darurat sangat merugikan
Sungkup venturi
Mempunyai katup dengan ukuran dan kode warna yang
berbeda. Setiap alat memerlukan aliran gas tertentu untuk
menghasilkan FiO2 yang tetap
Untuk merubah FiO2, maka sungkup dan aliran gas harus
diubah. Perubahan pola napas tidak memengaruhi
FiO2 yang dihasilkan 24–50%
Oxygen hood/head box
Keuntungan:
Memberi jalan untuk tindakan lebih lanjut ke daerah dada,
perut, dan ekstremitas
Toleransi oleh bayi baik
Memberi oksigen sampai 100% (aliran 10–15 L/mnt)
Kerugian:
Bunyi berisik
Tidak dapat untuk anak usia >1 th
120
Sungkup terbuka/face tent/O2 tent
Keuntungan:
Lebih nyaman untuk anak
Konsentrasi 40% dengan aliran 10–15 L/mnt
Kerugian:
Kesukaran mempertahankan suhu tubuh
FiO2 bervarias, tidak dapat melebihi 50%
Akses ke penderita dan observasi sulit

Tabel 33 Perkiraan FiO2 dengan Mempergunakan Alat Pemberian


Oksigen Aliran Rendah
Kecepatan Aliran Oksigen 100% (Liter) FiO2 (%)
Kanula nasal atau kateter:
1 24
2 28
3 32
4 36
5 40
6 44
Sungkup oksigen:
5–6 40
6–7 50
7–8 60
Sungkup dengan kantung reservoar:
6 60
7 70
8 80
9 ≥80
10 ≥80
Sumber: Shapiro dan Peruzzi 1994
(FiO2 kanula nasal pada anak menggunakan perhitungan di atas)

Evaluasi Terapi Oksigen


Penilaian klinis: sistem kardiovaskular dan sistem respirasi
Pulse oxymetri (SpO2)
AGD (SaO2)
P(A-a)O2
PaO2/FiO2

Bibliografi
1. Frey B, Shann F. Oxygen administration in infants. Arch Dis Child
Fetal Neonatal Ed. 2003;88(2):F84–8.
2. Heulitt MJ, Clement KC. Physiology of the respiratory system.
Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical
care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 499–508.

121
3. Ludwig S, Lavelle JM. Resuscitation-pediatric basic and advanced
life support. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook
of pediatric emergency medicine. Edisi ke-6. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2010. hlm. 1–31.
4. Myers TR. AARC clinical practice guideline: selection of an oxygen
delivery device for neonatal and pediatric patients-2002 revision
& update. Respir Care. 2002;47:707–16.
5. Scarfone RJ. Oxygen delivery, suctioning, and airway adjuncts.
Dalam: King C, Henretig FM, penyunting. Textbook of pediatric
emergency procedures. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2008. hlm. 93–108.
6. Shapiro BA, Peruzzi WT. Clinical application of blood gases. Edisi
ke-5. Chicago: Mosby; 1994.

122
VENTILASI MEKANIK
Batasan
Ventilasi mekanik adalah usaha untuk meniru fungsi sistem per-
napasan untuk melakukan pertukaran udara ketika terjadi kegagalan
sistem napas. Ventilator merupakan mesin yang mengalirkan gas
secara terkontrol ke jalan napas penderita. Tekanan oksigen dan
udara berasal dari tabung atau outlet di dinding, diturunkan dan
dicampur sesuai kebutuhan tekanan oksigen inspirasi (FiO2),
diakumulasi di reservoar mesin, kemudian dialirkan ke penderita
Indikasi Pemasangan Ventilasi Mekanik
Gangguan ventilasi
Disfungsi otot pernapasan
Kelelahan otot pernapasan
Gangguan dinding dada
Kelainan neuromuskular
Rangsangan napas ↓
Resistensi jalan napas ↑ atau obstruksi
Gangguan oksigenasi
Hipoksemia refrakter
Membutuhkan tekanan (+) di akhir inspirasi
Kerja pernapasan berlebihan
Selain itu, pemasangan ventilasi mekanik juga memberikan keun-
tungan sebagai berikut:
Memungkinkan sedasi dan blokade neuromuskular
Menurunkan konsumsi oksigen miokardia dan sistemik
Memungkinkan hiperventilasi sebagai terapi sementara untuk
kasus tekanan tinggi intrakranial
Mencegah atelektasis

Modus Ventilasi Mekanik


Faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih modus ventilasi
mekanik antara lain:
Ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
Mengurangi kerja pernapasan
Memastikan kenyamanan dan sinkronisasi ventilator dengan
penderita
Assist-control ventilation (AC) atau volume control (VC)
Pernapasan mekanik diberikan sesuai frekuensi atau volume tidal
(kadang PIP) yang sudah diset, baik atas usaha penderita atau
menurut interval yang sudah diset
Modus ini digunakan pada penderita dengan usaha napas yang
lemah. Bantuan napas maksimal disesuaikan dengan napas
spontan penderita. Keuntungan modus ini memberikan
kenyamanan dan banyak memberi bantuan. Kerugiannya yaitu
dapat menyebabkan hiperventilasi bila tidak dimonitor dengan

123
ketat dan tidak dapat dipakai untuk penyapihan karena pada
setiap napas akan mendapat bantuan mekanik secara penuh
Pressure control (PC)
Pernapasan dikontrol oleh Pmaks, bukan oleh volume tidal. Diguna-
kan pada neonatus atau penderita dengan tekanan jalan napas
yang tinggi (ARDS) untuk mencegah barotrauma. Modus ini tidak
menyenangkan untuk penderita yang sadar. Keuntungannya yaitu
karena tekanan dibatasi maka dapat mengurangi risiko baro-
trauma. Kerugiannya yaitu volume tidal yang diberikan tidak dapat
dijamin
Pressure regulated volume control (PRVC)
Mengatur kecepatan aliran udara yang diberikan untuk dapat
memberikan volume tidal yang sudah diset pada atau di bawah
tekanan maksimal yang diset. Dipakai pada penderita dengan
tekanan jalan napas yang tinggi, tetapi dapat juga dipakai pada
penderita lain. Keuntungannya yaitu memberikan jaminan volume
tidal yang diberikan tetapi meminimalkan barotrauma
Synchronized intermittent mandatory ventilation (SIMV)
Dengan modus ini, ventilasi mekanik diberikan dalam interval
berdasarkan frekuensi pernapasan yang sudah diset. Ventilator
menyediakan bagian interval untuk napas spontan penderita yang
dipakai sebagai pemicu diberikannya bantuan napas, tetapi apabila
tidak ada, maka secara otomatis ventilator akan memberikan
bantuan napas pada akhir periode. Pernapasan lain selama siklus
tidak akan mendapat bantuan. Modus ini sering digunakan pada
berbagai keadaan dan dapat dipakai untuk modus penyapihan.
Keuntungannya yaitu memungkinkan kerja sama dengan pen-
derita, tetapi kerugiannya pernapasan lain selama siklus tidak
mendapat bantuan. Modus SIMV sering digabungkan dengan
pressure support (PS) untuk ↑ volume tidal napas spontan
penderita
Pressure support (PS)
Modus membantu setiap napas spontan dengan aliran tambahan
untuk mencapai tekanan yang sudah diset. Pada penderita dengan
napas spontan, modus ini akan membantu mengatasi resistensi
jalan napas karena pipa endotrakeal. Biasanya diberikan 5 untuk
penderita yang lebih besar dan 10 untuk yang lebih kecil. Modus
ini sangat membantu dalam penyapihan, tetapi tidak boleh diguna-
kan pada penderita tanpa napas spontan. Keuntungannya yaitu
membantu mengatasi resistensi jalan napas karena pipa dan
membuat napas menjadi lebih mudah. Kerugiannya yaitu apabila
kecepatan aliran terlalu tinggi (Servo 900C) menimbulkan ketidak-
nyamanan pada penderita kecil
Setting Awal Ventilator
Pilih modus ventilator yang paling familiar. Modus ventilasi yang
paling sering digunakan yaitu time-cycled pressure-limited ventilation
FiO2 awal 100%, kemudian diturunkan bertahap untuk memper-

124
tahankan SpO2 92–94%. Pada sindrom distres pernapasan akut berat,
SpO2 dipertahankan ≥88% untuk meminimalkan penyulit ventilasi
mekanik
Volume tidal (VT) 8–10 mL/kgBB dengan waktu inspirasi 0,5–0,6 detik
untuk bayi, 0,6–0,8 detik untuk balita, serta 0,8–1,0 detik untuk anak
usia sekolah dan remaja
Pilih frekuensi ventilasi dan ventilasi semenit yang sesuai dengan
keadaan klinis. Parameter yang digunakan yaitu pH, bukan PaCO2.
Frekuensi ventilasi pada anak lebih tinggi dibandingkan dengan orang
dewasa untuk mempertahankan PaCO2 normal, tetapi biasanya tidak
melebihi 18–20×/mnt
PEEP (positive end expiratory pressure) berfungsi membantu
oksigenasi dan menurunkan FiO2. PEEP fisiologis—2–4 cmH2O—
biasanya digunakan untuk mencegah kolaps alveolus saat ekspirasi.
PEEP ditingkatkan bila diperlukan alveolar recruitment pada acute
lung injury
Tentukan sensitivitas trigger untuk membantu usaha napas spontan
penderita yang minimal sekalipun
Bila oksigenasi buruk, ventilasi tidak adekuat atau tekanan inspirasi
tinggi yang berhubungan dengan intoleransi ventilasi mekanik,
pertimbangkan pemberian sedasi, analgesia, dan atau blok neuro-
muskular
Minta bantuan konsultan bila perlu
Perawatan Selama Ventilasi Mekanik
Sesudah ventilasi mekanik dimulai, beberapa parameter harus
dievaluasi kembali dan disesuaikan sehingga tercapai setting yang
optimal
Tekanan Inspirasi
Terdiri atas 2 komponen yaitu tekanan yang diperlukan untuk
mengatasi resistensi jalan napas, serta elastisitas jaringan paru dan
dinding dada. Selama ventilasi tekanan (+), tekanan jalan napas ↑
secara progresif dan mencapai puncaknya di akhir inspirasi (peak
inspiratory pressure/PIP). PIP yang terlalu tinggi dapat menye-
babkan barotrauma (pneumotoraks, pneumomediastinum), volu-
trauma (kerusakan parenkim paru akibat inflasi berlebihan), dan ↓
curah jantung
Rasio I:E dan PEEP
Selama respirasi spontan, rasio I:E normal adalah 1:2. Pada
beberapa keadaan—misalnya penyakit paru kronik—ekspirasi
memanjang dan rasio I:E berubah. Waktu ekspirasi yang terlalu
pendek akan meningkatkan PEEP di atas setting, dikenal sebagai
auto-PEEP. Efek samping PEEP yang terlalu tinggi antara lain
barotrauma, hipotensi, output kardiak ↓, PaO2 ↑ (ruang rugi ↑),
dan oksigenasi buruk. Penurunan PEEP dicapai dengan mem-
perpendek waktu inspirasi, misalnya dengan ↓ frekuensi ventilasi
atau ↓ volume tidal

125
FiO2
Paparan oksigen konsentrasi tinggi dalam jangka lama dapat →
kerusakan parenkim paru. Walau batas konsentrasi yang
merugikan tidak diketahui, sebaiknya FiO2 diturunkan hingga ≤50%
secepatnya (dalam 24 jam pertama), kecuali penderita dengan
hipoksemia
Tabel 34 Penyesuaian Setting Ventilator berdasarkan Perubahan
AGD
PaO2 rendah PaCO2 tinggi PIP ditingkatkan
Bila ada napas spontan, frekuensi
dinaikkan
PaO2 rendah PaCO2 normal FiO2 dinaikkan
Mean airway pressure ditingkatkan
PEEP dinaikkan
Waktu inspirasi diperpanjang
PaO2 rendah PaCO2 rendah Pertimbangkan diagnosis kelainan
lain
PaO2 normal PaCO2 tinggi PEEP diturunkan
Frekuensi ventilasi ditingkatkan
Mean airway pressure dipertahankan
PaO2 normal PaCO2 rendah Frekuensi ventilasi diturunkan
Mean airway pressure dipertahankan
PaO2 tinggi PaCO2 normal Mean airway pressure diturunkan
PIP diturunkan
FiO2 diturunkan
PaO2 tinggi PaCO2 rendah Tekanan diturunkan
Frekuensi ventilasi diturunkan
FiO2 diturunkan
PaO2 normal PaCO2 normal −
Sumber: Tripathi dan Misra 2001

Sedasi, Analgesia, dan Blok Neuromuskular


Untuk meningkatkan kenyamanan dan mengurangi kerja perna-
napasan penderita, obat sedatif, analgesik, dan agen blok neuro-
muskular sering digunakan
Pemantauan Selama Ventilasi Mekanik
Penderita yang mendapat bantuan napas dengan ventilasi mekanik
harus dipantau terus-menerus untuk evaluasi efek menguntungkan
dan merugikan terapi yang diberikan
Rekomendasi pemeriksaan untuk pemantauan ventilasi mekanik:
Foto Rontgen toraks sesudah intubasi dan bila keadaan memburuk
Pemeriksaan AGD pada awal pemberian ventilasi mekanik,
kemudian berkala sesuai keadaan klinis
Pengukuran tanda vital berkala dan pemantauan penderita secara
langsung, termasuk interaksi penderita dengan ventilator

126
Pengukuran inspiratory plateau pressure bila diperlukan
Pulse oximetry
Alarm ventilator

Penyapihan
Periode penyapihan dapat mencapai 40% waktu total pemakaian
ventilasi mekanik
Penyapihan terdiri atas 2 komponen: menghentikan ventilasi
mekanik dan mencabut pipa endotrakeal
Metode penyapihan yang dipilih bergantung pada indikasi pema-
sangan ventilasi mekanik, lama pemasangan, dan jumlah sedatif yang
diberikan
Indikasi penyapihan dan ekstubasi
Ventilasi adekuat
Oksigenasi adekuat
Dapat mempertahankan patensi jalan napas

Tabel 35 Indikasi Penyapihan


Kriteria Deskripsi
Objektif 1. Oksigenasi adekuat
PO2 >60 mmHg dengan FiO2 >0,4
PEEP <5–10 cmH2O
PO2/FiO2 >150–300
2. Hemodinamik stabil
Tidak takikardia
Tekanan darah stabil tanpa atau dengan vaso-
presor minimal
3. Afebris
4. Tidak ada asidosis respiratorik
5. Tidak anemia (Hb >8 g/dL)
6. Kesadaran cukup baik
GCS >13
Sedatif minimal
7. Keadaan metabolik stabil (kadar elektrolit dalam
batas normal)
Subjektif 1. Resolusi proses akut penyakit
2. Refleks batuk baik
3. Penilaian dokter
Sumber: Kamat 2010

127
Tabel 36 Setting Awal Ventilator berdasarkan Kelainan Pulmonal*

Penyakit Paru Mode VT Kecepatan Flow Flow T1Sec PEEP (cmH2O) FIO2
(mL/kgBB) (×/mnt) (L/mnt) Waveform
Paru normal VC atau 5–8 10–15 60 Menurun 1 ≤5 ≤0,5
PC-CMV atau konstan
COPD∆ VC atau 6–8 8–12 >60 (80–100) Menurun 0,6–1,2 ≥5 atau <0,5
PC-CMV atau konstan 50% PEEP intrinsik
Gangguan VC-CMV 7–10 8–12 ≥60 Menurun 1 5 0,21
neuromuskular atau konstan
Asma VC atau 4–8 <8 80–100 Menurun ≤1 Hanya untuk ≥0,5
128

PC-CMV menyeimbangkan PEEP


dan memperbaiki trigger
Trauma kepala PC atau 5–8 15–20 60 Menurun 1 0–5 hanya pada 1,0
tertutup VC-CMV atau konstan hipoksemia berat
ARDS PC atau 4–8 15–25 ≥60 Menurun 1 5 hingga >15 1,0
VC-CMV atau konstan
Gagal jantung VC atau 5–8 ≥10 ≥60 Menurun 1–1,5 5–10 1,0
kongestif PC-CMV atau konstan
*Untuk

semua kelainan sangat penting untuk mempertahankan tekanan plateau <30 cmH2O
Sebuah usaha awal pada bilevel PAP harus dicoba menggunakan NIV dengan IPAP = 10–12 cmH2O dan EPAP = 2–3 cmH2O sebelum
dipertimbangkan intubasi. Pengecualian akan menjadi emergensi kritis pada penderita
Sumber: Cairo 2012
Bibliografi
1. Balk RA. Ventilator-induced lung injury: implications for clinical
practice. Dalam: Balk RA, Brown DR, Chang CWJ, Cheifetz IM,
Hamel D, Kleinpell RM, penyunting. Mechanical ventilation:
trends in adult and pediatric practice. Illinois: Society of Critical
Care Medicine; 2009. hlm. 141–56.
2. Cairo JM. Pilbeam’s mechanical ventilation: physiological and
clinical applications. Edisi ke-5. St. Louis: Elsevier Mosby; 2012.
3. Frankel LR, Kache S. Mechanical ventilation. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm.
424–9.
4. Heulitt MJ, Wolf GH, Arnold JH. Mechanical ventilation. Dalam:
Rogers MC, Nichols DG, penyunting. Textbook of pediatric
intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins; 2008. hlm. 509–31.
5. Kamat SS. Practical applications of mechanical ventilation. Edisi
ke-1. New Delhi: Jaypee Brothers; 2010.
6. Khilnani P. Pediatric and neonatal mechanical ventilation. Edisi
ke-2. New Delhi: Jaypee Brothers; 2011.
7. Mejia R, Fields A, Greenwald BM, Stein F, penyunting. Pediatric
fundamental critical care support. Mount Prospect: Society of
Critical Care Medicine; 2008.
8. Schwarz AJ. Blueprints pocket pediatric ICU. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
9. Tripathi VN, Misra S. Mechanical ventilation in pediatric practice.
Indian Pediatr. 2001;38(2):147–56.

129
SINDROM DISFUNGSI ORGAN MULTIPEL (SDOM)
Batasan
Kumpulan gejala akibat disfungsi minimal dua sistem organ pada
penderita sakit akut, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahan-
kan lagi tanpa intervensi
Klasifikasi
Primer
Muncul 2 disfungsi organ dalam 1 mgg pertama perawatan
pediatric intensive care unit (PICU) yang disebabkan oleh penyakit
yang mendasarinya tanpa bukti lebih lanjut akibat disfungsi organ
lain
Sekunder
Disfungsi organ multipel yang muncul >7 hr sesudah perawatan di
PICU, atau
Disfungsi organ yang berlanjut hingga mencapai disfungsi organ
yang maksimal dan muncul sesudah >72 jam diagnosis SDOM
ditegakkan
Etiologi
Sepsis, asfiksia, inborn errors of metabolism, hypoxemic respiratory
failure (acute lung injury/ALI atau acute respiratory distress
syndrome/ARDS), gagal ginjal akut, pankreatitis, perdarahan
intrakranial, dan penyakit neurodegeneratif, pascapembedahan
jantung, trauma multipel, transplantasi hati atau sumsum tulang, dan
obstruksi usus

Patogenesis
Sepsis dan systemic inflammation response syndrome (SIRS) → ↓
curah jantung,
perfusi sistem organ → hipoperfusi atau iskemia sistem organ →
perfusi jaringan menjadi inadekuat dan terjadi gangguan distribusi
aliran darah yang membawa oksigen, nutrien, dan zat-zat penting
lainnya
Meskipun suplai oksigen ke sel memadai, tetapi oksigen tidak dapat
digunakan oleh sel disebabkan abnormalitas jalur fosforilasi oksidatif
di mitokondria. Kerusakan endotel vaskular → defek permeabilitas
dan mengganggu integritas endotel → edema atau gangguan fungsi
sistem organ
Diagnosis
Kardiovaskular
Sesudah pemberian bolus cairan isotonik i.v. ≥40 mL/kgBB dalam
1 jam masih ditemukan tanda berikut ini:
Hipotensi <persentil 5 sesuai usia atau tekanan darah sistol
<2 SD sesuai usia, atau

130
Memerlukan obat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan
darah normal (dopamin atau dobutamin >5 μg/kgBB/mnt,
epinefrin atau norepinefrin), atau
Dua dari berikut ini:
1. Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan: base deficit
>5 mEq/L
2. Laktat darah ↑ >2× dari batas normal atas
3. Oliguria: output urin <0,5 mL/kgBB/jam
4. Pemanjangan capillary refill >5 detik
5. Perbedaan suhu tubuh inti dan perifer >3 °C
Pernapasan
PaO2/FiO2 <300 tanpa penyakit jantung sianotik atau penyakit paru
sebelumnya, atau
PaCO2 >65 torr atau 20 mmHg melewati batas PaCO2, atau
Terbukti memerlukan oksigen atau >50% FiO2 untuk memper-
tahankan saturasi ≥92%, atau
Memerlukan ventilasi mekanik invasif atau noninvasif nonelektif
Neurologi
Glasgow coma scale (GCS) ≤11, atau
Perubahan status mental secara akut dengan GCS ↓ ≥3 dari
sebelumnya
Hematologi
Trombosit <80.000/mm3 atau penurunan 50% dari hitung
trombosit dari nilai tertinggi yang pernah diketahui 3 hr sebelum-
nya (untuk penderita hematologi-onkologi), atau
International normalized ratio (INR) >2
Ginjal
Kreatinin serum >2× batas atas normal sesuai usianya atau ↑ 2×
dari kadar kreatinin sebelumnya
Hati
Bilirubin total ≥4 mg/dL (tidak untuk bayi baru lahir), atau
Kadar SGPT 2× batas atas normal sesuai usia
Tatalaksana
Umum
Kontrol Sumber Infeksi
Drainase, debridemen, pemindahan alat yang berpotensi
menjadi sumber infeksi (contoh: amputasi, reseksi usus)
Terapi Antibiotik
Antibiotik parenteral harus segera dimulai pada penderita
dengan sepsis berat. Regimen awal harus dinilai ulang sesudah
48–72 jam berdasarkan data klinis dan kultur
Membatasi Transfusi Packed Red Cell (PRC)
Transfusi darah pada keadaan sepsis yaitu Hb <7 g/dL, gagal hati
<10 g/dL, dan gagal ginjal akut <6 g/dL
Kontrol Glukosa
Pada keadaan sepsis, kadar glukosa yang harus dipertahankan
yaitu ≤150 mg/dL dan pada gagal hati >40 mg/dL

131
Pemberian Nutrisi Enteral Dini/Imunonutrisi
Pedoman European Society of Parenteral and Enteral (ESPEN)
mendukung penggunaan nutrisi enteral dini (<24 jam sesudah
masuk) pada penderita sakit kritis dengan hemodinamik stabil
dan saluran pencernaan dapat berfungsi
Activated Protein C (APC)
Menonaktifkan sistem koagulasi dan antiinflamasi
Tidak dianjurkan pada anak karena meningkatkan risiko per-
darahan dan kurangnya bukti efikasi
Khusus
Disfungsi Kardiovaskular
Resusitasi awal
Bolus kristaloid 20 mL/kgBB selama 5–10 mnt, dapat
diberikan hingga 40–60 mL/kgBB sesuai kondisi penderita.
Bila akses i.v. sulit didapat, segera lakukan akses i.o.
Dopamin merupakan pilihan utama untuk penderita dengan
renjatan refrakter cairan. Pada anak dengan renjatan
refrakter dopamin, dapat diberikan epinefrin atau
norepinefrin. Dobutamin dapat diberikan pada penderita
dengan output kardiak rendah dan resistensi vaskular
sistemik yang ↑ (akral dingin, capillary refilltime ↑, output
urin ↓ tetapi dengan tekanan darah normal sesudah
resusitasi cairan). Pada keadaan normotensi dengan output
kardiak rendah dan resistensi vaskular sistemik ↑, dapat
dipertimbangkan pemberian 2
inhibitor fosfodiesterase
Hidrokortison 50 mg/m /hr → renjatan yang resisten kateko-
lamin dan diduga atau terbukti menderita insufisiensi adrenal
Disfungsi Pernapasan
Ventilasi mekanik dengan menggunakan "lung protective
strategy" (Vt <6 mL/kgBB dan tekanan plateu <30 cmH2O) pada
penderita ALI dan ARDS
Disfungsi Ginjal
Tujuan utama untuk mempertahankan homeostasis cairan serta
koreksi terhadap abnormalitas biokimiawi
Hipovolemia
Larutan ringer laktat i.v. 20 mL/kgBB selama 30 mnt
Oliguria atau anuria
Euvolumia: restriksi cairan hingga 400 mL/m2/24 jam
(insensible water loss) ditambah jumlah cairan sebanyak
output urin pada hari itu
Hipervolemik: restriksi cairan hampir total dengan meng-
abaikan insensible water loss dan output urin
Asidosis metabolik
Disertai kelainan jantung
Koreksi dengan Na bikarbonat 1 mEq/kgBB i.v.
Tanpa kelainan jantung
Na bikarbonat diberikan bila asidosis berat (pH <7,2)
atau disertai gejala asidosis

132
Hiperkalemia
Kalium 5,5–6,5 mEq/L → Na polistiren (kayeksalat)
1 g/kgBB oral atau rektal 4×/hr
Kalium ≥7 mEq/L atau ada kelainan elektrokardiografi atau
aritmia → kalsium glukonas 10% 0,5 mL/kgBB i.v. diberikan
selama 10 mnt atau Na bikarbonat 7,5% 2,5 mEq/kgBB i.v.
→ jika tetap tidak tertangani diberikan glukosa 0,5 g/kgBB
per infus selama 30 mnt dan diberikan dengan insulin
regular 0,1 IU/kgBB i.v. sambil menyiapkan dialisis
Hiponatremia
Na <120 mEq/L → infus NaCl 3% dengan rumus: 0,6 × BB
(kg) × (140 – Na(mEq/L)) dengan waktu koreksi mengguna-
kan rumus: 2 × (140 – Na(mEq/L)) dalam jam
Disfungsi Hepar
Tatalaksana umum
Bertujuan untuk meminimalisasi pengaruh penyulit gagal hati
akut
Tranfusi fresh frozen plasma (FFP)
10 mL/kgBB setiap 6 jam diberikan pada penderita
dengan pemanjangan waktu protrombin >40 detik atau
pada INR >2. Pada penderita dengan waktu protrombin
<25 detik transfusi FFP ditunda kecuali bila ada prosedur
tindakan
Ensefalopati hepatik
Laktulosa 1–2 mL/kgBB/hr setiap 4–6 jam
Diet protein dibatasi sebanyak 0,5–1 g/kgBB/hr
Asam amino yang diberikan → asam amino rantai
cabang
Edema serebri
Manitol 0,25–1 g/kgBB
Pencegahan perdarahan saluran cerna
Antagonis H2 seperti ranitidin 1–3 mg/kgBB setiap 8 jam
dan proton pump inhibitor seperti omeprazol 10–20
mg/kgBB/hr i.v.
Transplantasi hati
Hepatoprotektor
Ursodeoxycholic acid (UDCA) dengan dosis 10–15 mg/kgBB/hr
Tatalaksana khusus
Bergantung pada etiologi gagal hati. Sebagai contoh bila
penyebabnya asetaminofen, maka diberikan arang aktif
1 g/kgBB p.o., N-asetil-sistein 150 mg/kgBB i.v. dalam 15 mnt,
selanjutnya rumatan 50 mg/kgBB selama 4 jam, diikuti 100
mg/kgBB diberikan selama 162 jam, dan hepatitis herpes dapat
diberikan asiklovir 150 mg/m /hr i.v.
Disfungsi Hematologi
Transfusi trombosit diberikan pada keadaan trombosit
<20.000/mm3, trombosit <50.000/mm3 disertai perdarahan atau
sebelum pembedahan atau prosedur invasif lain, dan disfungsi
trombosit (misalnya bila baru mengonsumsi aspirin)
133
Transfusi FFP diberikan bila INR >3 atau koagulopati ringan
disertai tanda perdarahan atau sebelum pembedahan atau
prosedur invasif lain
Prognosis
Mortalitas 1 disfungsi organ adalah sebesar 21,2%, 2 organ 44,3%,
3 organ 64,5%, dan >4 organ sebesar 76,2%
Berdasarkan berbagai observasi klinis, definisi, dan penanda (marker)
disfungsi organ yang diperoleh maka disusun sistem skoring SDOM
dengan validasi yang bervariasi dan dapat diaplikasikan. Pada anak,
sistem skoring yang sering digunakan yaitu pediatric logistic organ
dysfunction (PELOD) score
Tabel 37 Pediatric Logistic Organ Dysfunction (PELOD) Score
Nilai berdasarkan Keparahan
Sistem Organ dan Variabel Tiap Sistem Organ
0 1 10 20
Sistem pernapasan
PaO2/FIO2 70 dan 70 atau
PaCO2 90 dan 90
Ventilasi mekanik Tidak Ya
Sistem kardiovaskular
Denyut jantung (×/mnt)
<12 th 195 195
>12 th 150 150
Tekanan darah sistol dan atau
<1 bl >65 35-65 <35
1 bl–1 th >75 35-75 <35
1–12 th >85 45-85 <45
>12 th >95 55-95 <55
Sistem neurologi
GCS 12–15 dan 7–11 4–6 atau 3
Reaksi pupil Keduanya reaktif Terfiksasi
Sistem hepatik
ALT <950 dan >950 dan
PT/INR 60 atau 1,4 60 atau 1,4
Sistem renal: kreatinin
<7 hr <1,59 >1,59
7 hr–1 th <0,62 >0,62
1–12 th <1,13 >1,13
>12 th <1,59 >1,59
Sistem hematologi
Sel darah putih 4,5 dan 1,5–4,4 atau <1,5
Trombosit >35.000 <35.000
GCS, Glasgow coma score; ALT, alanine aminotransferase; PT, prothrombine
time; INR, international normalized ratio
Sumber: Han 2008

134
Bibliografi
1. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, Dellinger RP, Fein AM, Knaus WA,
dkk. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for
the use of innovative therapies in sepsis. The ACCP/SCCM
Consensus Conference Committee. Chest. 1992;101:1644–55.
2. Dare AJ, Phillips ARJ, Hickey AJR, Mittal A, Loveday B, Thompson
N, dkk. A systematic review of experimental treatments for
mitochondrial dysfunction in sepsis and multiple organ
dysfunction syndrome. Free Radical Biol Med. 2009;10:285–90.
3. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R,
dkk. Surviving sepsis campaign: international guidelines for
management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med.
2008;36(1):296–327.
4. Goldstein B, Giroir B, Randolph A. International pediatric sepsis
consensus conference: definitions for sepsis and organ
dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005;6:2–8.
5. Han YY, Shanley T. Multiple organ dysfunction syndrome. Dalam:
Nichols DG, penyunting. Roger’s textbook of pediatric intensive
care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2008. hlm. 283–99.
6. Mizock B. The multiple organ dysfunction syndrome. Dis Mon.
2009;55:476–526.
7. Proulx F, Joyal JS, Mariscalco MM, Leteurtre S, Leclerc F, Lacroix
J. The pediatric multiple organ dysfunction syndrome. Pediatr
Crit Care Med. 2009;10:12–22.
8. Rivers E, NguyenB, HavstadS, ResslerJ, MuzzinA, KnoblichB, dkk.
Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and
septic shock. N Engl J Med. 2001;345:1368–77.
9. Tissieres P, Devictor DJ. Fulminant hepatic failure and
transplantation. Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogers’
textbook of pediatric intensive care.Edisi ke-4. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 1535–49.
10. Typpo KV, Peterson NJ, Hallman DM, Markovitz BP. Day 1
multiple organ dysfunction syndrome is associated with poor
functional outcome and mortality in the pediatric intensive care
unit. Pediatr Crit Care Med. 2009;10:562–70.

135
TERAPI CAIRAN PARENTERAL
Batasan
Terapi cairan parenteral adalah pemberian berbagai jenis cairan
intravena sesuai dengan kebutuhan penderita (kebutuhan cairan
rumatan, defisit, kehilangan cairan yang sedang terjadi, dan me-
mulihkan volume intravaskular pada penderita renjatan)
Fisiologi
Perbedaan komposisi cairan tubuh
Fetus 90% BB
Bayi prematur 80% BB
Bayi aterm 70–75% BB
Anak-anak 65–70% BB
Remaja 60% BB
Elektrolit dominan di dalam cairan ekstrasel: Na+ ± 140 mEq/L dan Cl−
dalam jumlah ekuivalen
Elektrolit dominan di dalam cairan intrasel: K+30 × cairan intrasel
Distribusi dari kation natrium dan kalium diatur oleh pompa regulasi
Na+, K+-ATP-ase
Kalsium dan magnesium merupakan elektrolit penting lainnya
Muatan listrik intrasel lebih bersifat (−)
Tabel 38 Komposisi Cairan Tubuh
Bayi Anak Dewasa
Cairan tubuh total 75% BB 70% BB 55–60% BB
Cairan ekstrasel 40% BB 30% BB 20% BB
Cairan intrasel 35% BB 40% BB 40% BB
Lemak 16% BB 23% BB 30% BB

Indikasi
Memulihkan volume sirkulasi efektif → tujuan utamanya
Prinsip tatalaksana terapi cairan terdiri atas:
Terapi rumatan (maintenance)
Penggantian defisit (defisit)
Penggantian kehilangan cairan yang sedang berlangsung (ongoing
losses)
Tujuan Terapi Cairan
Memberikan cairan rumatan, defisit, dan kehilangan cairan yang
sedang terjadi
Memberikan resusitasi cairan
Tatalaksana Terapi Cairan
Kebutuhan Cairan Rumatan per Hari
Kebutuhan rumatan meliputi insensible water loss (IWL) serta
kehilangan cairan melalui urin dan feses

136
Rumus Holiday Segar
Tabel 39 Rumus 4−2−1 untuk Kebutuhan per Jam
Berat Badan (kg) Jumlah Cairan (mL/kgBB/jam)
0–10 kg 4
10–20 kg 2
>20 kg 1
*Hanya berlaku sampai BB 80 kg

Tabel 40 Rumus 100−50−20 untuk Kebutuhan per Hari


Berat Badan (kg) Cairan per Hari (mL/kgBB/hr)
0–10 100
10–20 1.000 + 50
>20 1.500 + 20
*Berdasarkan kebutuhan kalori penderita yang dirawat

Kebutuhan cairan per hari juga dapat diperkirakan berdasarkan


pemakaian energi (energy expenditure):
1 kkal = 1 mL H2O
Kebutuhan cairan per hari berdasarkan energy expenditure:
Neonatus usia 1 hr = 50 mL H2O/kgBB/hr
Neonatus usia 2 hr = 75 mL H2O/kgBB/hr
Bayi usia ≥3 hr = 100 mL H2O/kgBB/hr
BB 10 kg pertama = 100 mL H2O/kgBB/hr
BB 10 kg kedua = 1.000 mL + 50 mL H2O/kgBB/hr
BB >20 kg = 1.500 mL + 20 mL H2O/kgBB/hr
Faktor yang mengurangi kebutuhan cairan:
Humidifikasi × 0,75
Dilumpuhkan (sedasi/paralisis) × 0,7
Sekresi ADH tinggi (pemakaian
ventilator, koma) × 0,7
Hipotermia 12% per 1 °C suhu rektal <37 °C
Kelembapan lingkungan tinggi × 0,7
Gagal ginjal × 0,3 (+ produksi urin)
Faktor yang meningkatkan kebutuhan cairan:
Aktivitas penuh dan diet oral × 1,5/minum bebas
Demam + 12% per °C suhu rektal >37°C
Suhu ruangan >31˚C + 30% per °C
Hiperventilasi × 1,2
Neonatus preterm (<1,5 kg) × 1,2
Radiant heater × 1,5
Foto terapi × 1,5
Luka bakar hr ke-1 + 4% per 1% luas luka bakar
Luka bakar ≥hr ke-2 + 2% per 1% luas luka bakar

137
Dalam menghitung kebutuhan cairan, harus mempertimbangkan pula
kebutuhan elektrolit harian
Kebutuhan elektrolit harian:
Natrium 2–4 mEq/kgBB/hr Hari ke-2–3
Kalium 1–2 mEq/kgBB/hr Hari ke-3–4
Klorida 2–4 mEq/kgBB/hr
Kalsium 20–100 mg/kgBB/hr
*1 mEq = 1 mmol

Mempertahankan kehilangan cairan


Insensible water loss
Hampir sepenuhnya terjadi dari kehilangan melalui penguapan
kulit dan pernapasan, ekuivalen dengan 40 mL H2O/100 kkal dan
dari luaran urin (sampai 75 mL H2O/100 kkal)
Dengan pembentukan 15 mL H2O untuk setiap 100 kkal energi
yang diproduksi, balans air neto dapat dipertahankan
Tabel 41 Kebutuhan Cairan berdasarkan Usia
Usia Kebutuhan Cairan
(mL/kgBB/hr)
Neonatus 1 hr 60
2 hr 90
3 hr 120
Anak 4 hr–1 th 150
1–5 th 100
5–10 th 75
>10 th 50

Defisit
Evaluasi awal
Tentukan derajat dan tipe dehidrasi secara klinis
Persentase air total tubuh bayi lebih banyak daripada anak,
sehingga defisitnya lebih sedikit
Tipe dehidrasi
Hiponatremia (Na <130 mEq)
Isonatremia (Na 130–150 mEq) → 70% kasus dehidrasi
Hipernatremia (Na >150 mEq)
Pemeriksaan laboratorium
Urine specific gravity ≥1.030
BUN ≥20 mg/dL
Kreatinin ≥1 mg/dL
Rasio BUN: kreatinin ≥20:1
Ongoing losses
Penggantian dilakukan bila kehilangan signifikan misalnya muntah
hebat, ileostomi, dan luka bakar luas

138
Contoh penghitungan kebutuhan cairan i.v.
Anak BB 18 kg (sebelumnya 20kg)
Dehidrasi 10%, Na serum 132 mEq, masih diare (40 mL/jam)
Defisit: 20 kg × 10% (atau 100 mL/kg) = 2.000 mL
Rumatan: (10 kg × 4 mL/kgBB/jam) + (10 kg × 2 mL/kgBB/jam)
= 60 mL/jam
Ongoing losses = 40 mL/jam
Resusitasi cairan
Resusitasi cairan diberikan mungkin 20 mL/kgBB pada umumnya
diberikan dalam 15 mnt (lihat bab renjatan)
Tabel 42 Contoh Terapi Cairan
Waktu Cairan yang Diberikan
0–30 mnt 20 mL/kgBB RL atau NS (bila renjatan)
30 mnt–8 jam ½ defisit 1.000 mL/8 jam =125 mL/jam+
Cairan rumatan 60 mL/jam +
ongoing loss diare 40 mL/jam atau
(125 + 60 + 40 mL) = 225 mL/jam
(D5 0,45NS + 20 mEq/L kalium)
9–24 jam ½ defisit 1.000 mL/16 jam = 62,5 mL/jam +
cairan rumatan 60 mL/jam+
ongoing loss diare (40 mL/jam) atau
(62,5 + 60 + 40 mL) = 162,5 mL/jam
(D5 0,45 NS + 20 mEq/L kalium)
RL = Ringer laktat, NS = normal saline/NaCl 0,9%

Pilihan Cairan
Kristaloid
Pilihan utama untuk cairan rumatan, rehidrasi, dan resusitasi
Terdapat tiga jenis cairan kristaloid:
Kristaloid hipotonik (D5%), isotonik (NaCI 0,9%, RL, RA), dan
hipertonik (NaCl 7,5%)
1. Kristaloid hipotonik
Jarang digunakan lagi
Contoh: D5%, NaCl 0,225%, D5 ¼ NS
2. Kristaloid isotonik
Contoh:
NaCl 0,9% (waspadai asidosis hipernatremia dilusi bila diberi-
kan dalam jumlah berlebih)
Ringer laktat (RL)
Ringer asetat (RA), hati-hati bila diberikan dalam jumlah
banyak (merangsang produksi NO → vasodilatasi, gangguan
kontraktilitas jantung)

139
Tabel 43 Perbandingan Kadar Elektrolit Cairan NaCl 0,9%, Ringer
Laktat, dan Ringer Asetat

Karakteristik Plasma NaCl 0,9% Ringer Laktat Ringer


Asetat
Natrium (mEq/L) 142 154 130 130
Kalium (mEq/L) 4 − 4 4
Klorida (mEq/L) 107 154 108,7 108,7
Kalsium (mEq/L) 2,5 − 2,7 2,7
Laktat − 28 −
Asetat − − 28
Osmolalitas 290 285–308 250–273 250–273
(mOsm/kgH2O)
Colloid oncotic pressure 20 0 0 0
(COP) (mmHg)
Volume ekspansi (%) 20–25 20–25 20–25
Durasi volume ekspansi 1–4 1–4 1–4
(jam)
Waktu paruh plasma 0,5 0,5 0,5
(jam)
Efek samping Asidosis Hiperkalemia
metabolis
hiperkloremia

3. Kristaloid Hipertonis
Pilihan cairan untuk resusitasi volume kecil pada penderita
renjatan distributif dan perdarahan (tidak untuk resusitasi
hipovolemia karena muntah atau mencret)
Contoh: NaCl 3–7,5% dan natrium laktat hipertonis (NLH),
Totilac®
Cairan berimbang (balance fluid) adalah cairan infus dengan
komposisi mirip plasma merupakan tren terbaru pengganti
kristaloid isotonis
Contoh: Ringer fundin®, Plasmalyte®
Koloid
Pilihan cairan untuk resusitasi renjatan distributif → tidak untuk
rehidrasi penderita muntah atau mencret
Contoh koloid:
Koloid alamiah: albumin (mahal)
Koloid semisintetis: gelatin, dekstran, dan kanji hidroksietil/
hydroxyethyl starch (HES)
HES terpilih adalah HES berat molekul medium rendah
(130/0,4)

140
Evaluasi Terapi Cairan
Klinis
Edema, asites
Sesak, ronki paru
Irama jantung ↑
Hepatomegali
Penghitungan persentase kelebihan cairan:
cairan masuk−cairan keluar
% kelebihan cairan = × 100%
BB saat masuk

Laboratorium
Darah rutin: Hb, Ht, leukosit, trombosit
Elektrolit: Na, K
Pemantauan dengan Alat Canggih (Bila Tersedia)
Ekokardiografi
Kateterisasi arteri pulmonum (pulmonary artery atheterization/
PAC)
Doppler esofagus
Termodilusi transpulmonum
Baku emas: pewarna radiokontras atau ventrikulografi nuklir

TATALAKSANA GANGGUAN ELEKTROLIT EMERGENSI


Hipernatremia
Batasan: kadar natrium serum >145 mEq/L
Menghitung free water deficit (FWD):
kadar Na yang diinginkan
FWD = [BB (kg) × 0,6] × 1 − × 1.000 mL
Kadar Na sekarang
FWD = 4 mL × kgBB × (kadar Na sekarang – kadar Na normal)
Jumlah free water dari beberapa cairan infus adalah:
1 L NaCl 0,45% mengandung 500 mL free water
1 L NaCl 0,225% mengandung 750 mL free water
1 L D5% NaCl 0,45% mengandung 400 mL free water
Tabel 44 Kadar Natrium di Dalam Cairan Infus
Nama Cairan Infus Kadar Natrium (mEq/L)
Dekstrosa 5% 0
NaCl 0,2% dalam D5% 34
NaCl 0,45% 77
Ringer laktat 130
NaCl 0,9% 154
NaCl 3% 513

141
Hiponatremia
Batasan: kadar natrium serum <135 mEq/L
Tatalaksana
Bila kadar natrium <120 mEq/L dan disertai gejala neurologis
NaCl 3% 4–6 mL/kgBB i.v. selama 3–5 mnt atau
NaCl 0,9% sebanyak 20 mEq/kgBB secara bolus
Tujuan terapi untuk mencapai kadar natrium 120–125 mEq/L atau
sampai kejang berhenti. Pemberian NaCl 3% sebanyak 1–2
mL/kgBB akan ↑ kadar natrium plasma sebanyak 1 mEq/L
Terapi selanjutnya menghitung defisit natrium sebagai berikut:
Defisit natrium = (TBWD × BB) × (140 mEq/L − PNamEq/L)
atau
Defisit natrium = [TBW(n) × 140 mEq/L] − [TBW(c) × kadar
natrium sekarang]
Keterangan: TBWD = total body water deficit; n = normal; c = current
TBW(n)= BB × TBWD; TBW(c) = TBW(n) − defisit air
Lama waktu penggantian = 2 × (140 − Na plasma) dalam jam
Hiperkalemia
Batasan: kadar kalium >5,5 mEq/L
Tatalaksana
Pasang monitor kardiorespirasi dan lakukan pemeriksaan EKG
Periksa kembali elektrolit untuk mengonfirmasi hiperkalemia
Bila hasil EKG normal dan kadar kalium 6–7 mEq/L
Hentikan asupan p.o. dan cairan i.v. yang mengandung kalium
dan berikan Na polystyrene resin (kayeksalat) atau kalium resin
(kalitake) p.o. setiap 6 jam, dosis 1–2 g/kgBB atau larutan
sorbitol per rektum. Sediaan ini merupakan suatu resin pengikat
kalium. Efeknya akan terlihat dalam 2–6 jam. Konsentrasi
sorbitol ≤20%
Jika hasil EKG menunjukkan abnormalitas, berikan ≥1 terapi
berikut ini
Kalsium glukonas 10% 100 mg/kgBB/dosis atau 1mL/kgBB/dosis
i.v. atau
Kalsium klorida 10% 10–50 mg/kgBB/dosis dalam 2–5 mnt (atau
20–30 mnt pada toksisitas digitalis)
Pemberian dapat diulang dalam 5 mnt jika EKG masih abnormal
Na bikarbonat 1–2 mEq/kgBB i.v. dalam 10–15 mnt
Infus insulin + glukosa, dosis insulin 0,1 IU/kgBB/jam + D25% 0,5
g/kgBB/jam (2 mL/kgBB/jam) atau glukosa 10% dosis 0,25–0,5
g/kgBB (2–5 mL/kgBB) + insulin 0,3 IU/g glukosa diberikan
selama 15–30 mnt dan infus kontinu dengan dosis yang
sama/jam
Nebulisasi albuterol (salbutamol) 0,3–0,5 mg/kgBB (3–5
μg/kgBB) selama 20 mnt dapat diulang sesudah 2 jam. Onset
terjadi dalam 30 mnt, durasi aksi selama 2 jam
Periksa ulang kadar kalium 1–2 jam sesudah terapi
Hemodialisis akut dipertimbangkan jika langkah di atas gagal ↑
kadar kalium dan mengancam jiwa

142
Hipokalemia
Batasan: kadar kalium <3,5 mEq/L
Tatalaksana hipokalemia bergantung pada gejala dan etiologinya
Jika asimtomatik, tidak ada perubahan EKG dan anak dapat makan
p.o.
Berikan kalium tambahan dalam makanan dengan dosis 1–5
mEq/kgBB/hr dibagi dalam 3–4 dosis (maks. 20 mEq/kali). Sediaan
berupa kalium klorida (3 g KCl = 40 mEq kalium)
Pemberian i.v.
Kadar kalium 3,0–3,5 mEq/L, berikan KCl 7,46% 0,25 mEq/kgBB
selama 1 jam
Kadar kalium 2,5–3,0 mEq/L, berikan KCl 7,46% 0,5 mEq/kgBB
selama 2 jam
Kadar kalium <2,5 mEq/L, berikan KCl 7,46% 0,75 mEq/kg selama 3
jam
Periksa kadar kalium saat pertengahan terapi
Bila terjadi disritmia, dapat diberikan MgSO4 25–50 mg/kgBB i.v.
Infus KCl sebaiknya melalui vena sentral atau dengan diameter
kateter vena diameter besar dan dilakukan pengenceran

Hiperkalsemia
Batasan: kadar kalsium total >11 mg/dL atau ion kalsium >5,2 mg/dL
Tatalaksana
Hipokalsemia ringan tanpa gejala (kadar kalsium total <12
mg/dL/ion kalsium <5,6 mg/dL) tidak perlu terapi
Hidrasi NaCl 0,9% sebanyak 200–250 mL/kgBB/hr, ditambah
furosemid 1 mg/kgBB tiap 6 jam akan meningkatkan ekskresi
kalsium melalui urin
Kalsitonin 10 IU/kgBB i.v. dapat diulang tiap 4–6 jam
Kalsitonin mencegah resorpsi kalsium dan merangsang kalsiuria
Hidrokortison 1 mg/kgBB i.v. tiap 6 jam, efektif mengurangi
absorpsi kalsium dari GIT
Periksa kadar kalsium total dan ion kalsium, fosfor, serta
magnesium setiap 4–6 jam
Pemberian kalsium sebaiknya melalui vena sentral karena risiko
terjadi nekrosis jaringan

Hipokalsemia
Batasan: kadar kalsium total <8,5 mg/dL atau kadar ion kalsium <4,6
mg/dL
Tatalaksana
Kalsium klorida 10% 10–20 mg/kgBB i.v. selama 5–10 mnt melalui
vena sentral. Kalsium klorida 10% sebanyak 1 mL mengandung
1,36 mEq kalsium ion. Pemberian cepat dapat mengakibatkan
bradikardia dan hipotensi
Kalsium glukonas 10% 50–125 mg/kgBB i.v. selama 5–10 mnt. Jika
terdapat tetani, dosis menjadi 100–200 mg/kgBB. Kalsium
glukonat 10% sebanyak 1 mL mengandung 0,45 mEq kalsium ion
Sesudah gejala menghilang, diberikan kalsium p.o. dengan kalsium
karbonas (400 mg kalsium elemental/g) dan kalsium glukonas

143
(90 mg kalsium elemental/g). Dosis awal 50 mg/kgBB/hr kalsium
elemental dibagi 3–4 dosis. Dosis dititrasi berdasarkan kadar
kalsium
Pada hipokalsemia refrakter dipertimbangkan pemberian
magnesium sulfat dosis 25–50 mg/kgBB/kali
Infus kalsium sebaiknya melalui kateter vena sentral karena risiko
nekrosis jaringan
Perlu pemantauan ketat kadar kalsium total, kalsium ion, dan EKG

Hipomagnesemia
Batasan: kadar magnesium ≤1,7 mEq/L
Tatalaksana
Magnesium sulfat 25–50 mg/kgBB/dosis i.v.
Dapat menyebabkan hipotensi, kemerahan dan rasa hangat pada
kulit, serta depresi napas

Bibliografi
1. Arikan AA, Zappitelli M, Goldstein SL, Naipaul A, Jefferson LS,
Laura L. Fluid overload is associated with impaired oxygenation
and morbidity in critically ill children. Pediatr Crit Care Med.
2012;13:253–8.
2. Bayer O, Reinhart K, Sakr Y, Kabisch B, Kohl M, Riedemann NC,
dkk. Renal effects of synthetic colloids and crystalloids in patients
with severe sepsis: a prospective sequential comparison. Crit
Care Med. 2011;39(6):1335–42.
3. Finfer S, McEvoy S, Bellomo R, McArthur C, Myburgh J, Norton R.
Impact of albumin compared to saline on organ function and
mortality of patients with severe sepsis. Intensive Care Med.
2011;37:86–96.
4. Ford N, Hargreaves S, Shanks L. Mortality after fluid bolus in
children with shock due to sepsis or severe infection: a
systematic review and meta-analysis. PLoS ONE. 2012;7(8):e439–
53.
5. Maitland K, Kiguli S, Opoka RO, Engoru C, Olupot-Olupot P, Akech
SO, dkk. Mortality after fluidbolus in African children with severe
infection. N Engl J Med. 2011;364:2483–95.
6. Marik PE, Monnet X, Teboul JL. Hemodynamic parameters to
guide fluid therapy. Annals Intensive Care. 2011;1:1–9.
7. Mejia R, Fields A, Greenwald BM, Stein F, penyunting. Pediatric
fundamental critical care support. Mount Prospect: Society of
Critical Care Medicine; 2008.
8. Myburgh JA. Fluid resuscitation in acute illness. Time to
reappraise the basics. N Engl J Med. 2011;364:26.
9. Schwartz A. Blueprints pocket. Pediatric ICU. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
10. Singh S, Lighthall G. Update on the evaluation of intravascular
fluid status in critically ill patients. PCCSU Article. 2011;25:L7.

144
GANGGUAN ASAM-BASA

Batasan
Asidosis—suatu proses atau keadaan abnormal yang akan menurun-
kan pH arterial apabila tidak terdapat perubahan sekunder sebagai
respons terhadap faktor penyebab primer
Alkalosis—suatu proses atau keadaan abnormal yang akan menaik-
kan pH arterial apabila tidak terdapat perubahan sekunder sebagai
respons terhadap faktor penyebab primer
Gangguan asam-basa sederhana—apabila terdapat satu penyebab
primer gangguan asam-basa
Gangguan asam-basa campuran—apabila dua atau lebih penyebab
gangguan primer terdapat secara bersamaan
Asidemia—pH arterial <7,36
Alkalemia—pH arterial >7,44
Anion gap (AG)—merupakan konsentrasi seluruh anion tak terukur di
dalam plasma
AG = [Na+] − [Cl−] − [HCO3−]
Nilai normal: 8–16 mmol/L
Apabila menggunakan [K+] di dalam perhitungan, maka nilai
normalnya sedikit lebih tinggi. Tetapi karena nilai [K+] relatif kecil
dibandingkan ketiga ion lainnya, maka dalam perhitungan dapat
diabaikan
Rasio delta = (peningkatan AG/penurunan bikarbonat)
→ rasio delta = (AG terukur − 12)/(24 − HCO3− terukur)

Patofisiologi
Proses metabolisme tubuh akan menghasilkan asam berupa asam
respiratorik (volatile acids) dan asam metabolik (fixed acids). Asam
respiratorik biasanya digunakan untuk menyebut CO2. Meskipun CO2
bukan merupakan asam tetapi dapat mewakili asam karbonat
(H2CO3). Fixed acid diproduksi oleh metabolisme yang tidak lengkap
dari karbohidrat (laktat), lemak (keton) dan protein (fosfat, sulfat).
Untuk menjaga keseimbangan maka asam ini harus dimetabolisme
atau diekskresi melalui paru (untuk CO2) atau ginjal (untuk fixed
acids)
Apabila terjadi gangguan keseimbangan asam-basa, maka tubuh akan
melakukan respons melalui tiga mekanisme
1. Sistem penyangga (buffer): merupakan fenomena fisiko-kemikal
yang berlangsung cepat (segera)
2. Respirasi: perubahan pCO2 arteri melalui perubahan ventilasi
yang berlangsung relatif cepat (dalam menit–jam)
3. Ginjal: perubahan ekskresi HCO3− yang prosesnya berlangsung
lebih lambat (beberapa hari)

145
Klasifikasi
Gangguan keseimbangan asam-basa sederhana yaitu:
Asidosis respiratorik
Alkalosis respiratorik
Asidosis metabolik
Alkalosis metabolik
Gangguan respiratorik disebabkan oleh proses abnormal yang
merubah pH akibat gangguan primer pada pCO2
Gangguan metabolik disebabkan oleh proses abnormal yang
merubah pH akibat gangguan primer pada HCO3−
Asidosis Respiratorik
Merupakan gangguan asam-basa primer dengan peningkatan pCO2
arteri melebihi yang diharapkan
Pada saat awal, asidosis respiratorik akut karena respons
kompensasi inisial tubuh masih terbatas. Setelah beberapa hari,
asidosis respiratorik kronik karena sudah terjadi respons
kompensasi ginjal
Penyebab
Ventilasi alveolar yang tidak adekuat
Depresi pusat pernapasan dan gangguan SSP lainnya
Obat-obatan yang mendepresi pusat pernapasan (opiat,
sedatif, anestetik)
Trauma SSP, perdarahan, infark, tumor
Hipoventilasi pada obesitas (sindrom Pickwickian)
Poliomielitis
Tetanus
Henti jantung dengan hipoksia serebri
Kelainan saraf dan otot
Sindrom Guillain-Barre
Myasthenia gravis
Obat-obatan relaksasi otot
Toksin (organofosfat, bisa ular)
Macam-macam miopati
Defek pada paru atau dinding dada
Trauma dada—flail chest, kontusi, hemotorak
Pneumotoraks
Paralisis diafragma
Edema paru
ARDS
Penyakit paru restriktif
Aspirasi
Gangguan jalan napas
Obstruksi jalan napas bagian atas
laringospasme
Bronkospasme/asma
Faktor eksternal
Ventilasi mekanik yang tidak adekuat
Produksi CO2 berlebihan
Kelainan hiperkatabolik—hipertermia malignan

146
Peningkatan asupan CO2
Menghirup kembali udara ekspirasi yang mengandung CO2
Bertambahnya CO2 dalam udara inspirasi
Insuflasi CO2 ke dalam rongga tubuh (misal operasi
laparoskopi)
Tabel 45 Gejala dan Tanda Asidosis Respiratorik
Susunan Sistem Sistem
Saraf Pusat Respirasi Kardiovaskular
Hiperkapnia ringan– Gagal napas Hiperkapnia ringan–
sedang Sianosis sentral dan sedang
Peningkatan tekanan perifer Flashing kulit
intrakranial Hipertensi pulmonal Nadi bounding
Nyeri kepala Diaforesis
Bingung Hiperkapnia berat
Psikosis transien Penurunan output
Tremor kardiak
Hiperkapnia berat Hipotensi sistemik
Stupor Aritmia kardiak
Koma Edema periferal
Konstriksi pupil
Depresi refleks
tendon
Ekstensor plantar
Kejang
Papil edema
Sumber: Androgué dan Madias 1999

Tatalaksana
Mengembalikan ventilasi alveolar yang adekuat
Atasi penyebab primer, bila memungkinkan
Pada kasus berat, intubasi dan ventilasi mekanik
Pemeriksaan penunjang
AGD → yang terpenting adalah perbandingan antara pCO2
aktual dan pCO2 yang diharapkan
Pencegahan
Perhatikan adanya ventilasi alveolar yang tidak adekuat
Beri oksigen untuk mencegah hipoksemia
Alkalosis Respiratorik
Merupakan gangguan asam-basa primer dengan penurunan pCO2
arteri lebih rendah dari yang diharapkan
Selalu disebabkan oleh peningkatan ventilasi alveolar
Penyebab
Penyebab sentral (bekerja langsung melalui pusat pernapasan)
Trauma kepala
Strok
Sindrom ansietas—hiperventilasi (psikogenik)
Penyebab supra—tentorial lain (rasa nyeri, ketakutan, stres)
Obat-obatan (analeptik, propanidid, intoksikasi salisilat)
147
Komponen endogen (progesteron pada kehamilan, sitokin
pada sepsis, toksin pada penyakit hati kronis)
Hipoksemia (bekerja melalui kemoreseptor perifer)
Stimulasi pernapasan melalui kemoreseptor perifer
Penyebab pulmonal (bekerja melalui reseptor intrapulmonal)
Emboli paru
Pneumonia
Asma
Edema paru (semua jenis)
Iatrogenik (bekerja langsung pada ventilasi)
Ventilasi terkontrol yang berlebihan
Tabel 46 Gejala dan Tanda Alkalosis Respiratorik
Susunan Sistem Sistem
Saraf Pusat Kardiovaskular Neuromuskular
Vasokontriksi serebral Nyeri dada Parestesi ekstremitas
Penurunan tekanan Perubahan EKG ke Spasme laring
intrakranial arah iskemik Manifestasi tetani
Nyeri kepala ringan Tekanan darah Kram otot
Peningkatan refleks normal atau Karpopedal
tendon dalam rendah Trousseaou sign
Kejang umum Aritmia Chvostek’s sign
Vasikontriksi perifer
Sumber: Androgué dan Madias 1999

Tatalaksana
Atasi hipoksemia, merupakan prioritas utama
Pada sebagian besar kasus, dapat diatasi dengan memperbaiki
penyakit yang mendasari
Pemeriksaan penunjang
AGD → yang terpenting adalah perbandingan antara pCO2
aktual dan pCO2 yang diharapkan
Asidosis Metabolik
Merupakan proses atau kondisi primer abnormal yang menyebab-
kan peningkatan

fixed acid di dalam darah. Keadaan ini menyebab-
kan HCO 3 turun di bawah nilai yang diharapkan akibat titrasi
HCO3− oleh H+
Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme patofisiologi
Penambahan asam kuat
Kehilangan basa
Berdasarkan AG
Asidosis metabolik AG tinggi
Asidosis metabolik AG normal
Penyebab (berdasarkan klasifikasi AG)
Asidosis AG tinggi
Ketoasidosis
Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis alkoholik
148
Ketoasidosis starvation
Asidosis Laktat
Asidosis laktat tipe A (gangguan perfusi)
Asidosis laktat tipe B (gangguan metabolisme karbohidrat)
Gagal ginjal
Asidosis uremik
Asidosis dengan gagal ginjal akut
Toksin
Etilen glikol
Metanol
Salisilat
Asidosis AG normal (asidosis hiperkloremik)
Penyebab renal
Renal tubular acidosis
Inhibitor karbonik anhidrase
Penyebab traktus gastrointestinal
Diare berat
Uretero-enterostomi atau obstruksi saluran ileum
Drainase sekresi pankreas atau bilier
Fistula usus halus
Penyebab lain
Pemulihan dari ketoasidosis
Penambahan HCl, NH4Cl
Tabel 47 Gejala dan Tanda Asidosis Metabolik
Sistem Sistem Sistem
Respirasi Kardiovaskular Metabolisme Syaraf Pusat Rangka
Hiperventilasi Kerusakan Peningkatan Koma Osteo-
Respiratori kontraktilitas metabolic Progresif malasia
distres otot jantung demand obtundan- Fraktur
Penurunan Penurunan Resistensi tion
kekuatan otot output kardiak insulin
respirasi yang Aritmia yang Inhibisi
memicu dapat memicu glikolisis
kelelahan fibrilasi anaerob
ventrikular Penurunan
Peningkatan sintesis
simpatetik adenosis
trifosfat
Hiperkalemia
Peningkatan
degradasi
protein
Sumber: Androgué dan Madias 1999

Tatalaksana
Pendekatan terpenting dalam tatalaksana asidosis metabolik
adalah menangani kelainan yang mendasarinya
Pendekatan untuk tatalaksana asidosis metabolik:

149
Emergensi
Tatalaksana emergensi pada kondisi yang mengancam jiwa
selalu menjadi prioritas utama, misalaya: intubasi dan
ventilasi untuk kontrol jalan napas atau ventilasi, RJP,
hiperkalemia berat
Penyebab
Tujuan terapi primer adalah mengatasi kelainan yang
mendasarinya, karena itu diagnosis penyebab asidosis
metabolik yang akurat sangat penting
Kehilangan
Ganti kehilangan cairan atau elektrolit, berikan oksigen.
Dalam sebagian besar kasus, pemberian natrium bikarbo-
nat i.v. tidak diperlukan, tidak bermanfaat, dan mungkin
akan membahayakan
Spesifik
Masalah spesifik atau penyulit sering berhubungan dengan
penyebab spesifik atau kasus spesifik yang memer-lukan
penanganan khusus
Contoh tatalaksana spesifik untuk kelainan yang
mendasarinya:
Pada ketoasidosis diabetika diperlukan pemberian
cairan, insulin dan elektrolit
Pada asidosis dengan gagal ginjal mungkin diperlukan
pemberian bikarbonat dan atau dialisis
Pada asidosis laktat diperlukan perbaikan volume intra-
vaskular dan perfusi perifer yang adekuat
Pemberian natrium bikarbonat pada asidosis metabolik
Pada asidosis laktat dengan AG normal
pH <7,1 dan atau HCO3− plasma <10 meq/L
Keadaan hemodinamik, hidrasi, dan ventilasi adekuat
Diberikan i.v., sebaiknya melalui vena sentral, dengan
pengenceran diusahakan mendekati isoosmolar
Dosis natrium −bikarbonat:
Defisit− HCO3 ={[HC03−] ideal − [HCO3− ] saat ini} × BB (kg) × 0,3
HCO3 ideal = 15 mEq
atau −
HCO3 = BE (meq/L) × 0,3 × BB (kg)
Empat jam setelah pemberian, periksa ulang AGD untuk
evaluasi Pemberian dihentikan apabila pH >7,2
Pemeriksaan penunjang
AGD
Urin rutin (glukosa, keton)
Elektrolit (Cl−, AG, HCO3−)
Gula darah
Ureum, kreatinin
Laktat
Alkalosis Metabolik
Merupakan gangguan asam-basa primer yang menyebabkan pening-
katan bikarbonat plasma lebih tinggi dari yang diharapkan

150
Penyebab
Penambahan basa dalam cairan ekstraselular
Milk-alkali syndrome
Asupan NaHCO3 yang berlebihan
Fase pemulihan dari asidosis organik (pembentukan HCO3−
berlebihan)
Transfusi darah masih (karena metabolisme sitrat)
Berkurangnya klorida
Kehilangan asam lambung
Diuretika
Pascahiperkapnia
Kehilangan feses yang berlebihan (adenoma Vili)
Berkurangnya kalium
Hiperaldosteronisme primer
Sindrom Cushing
Hiperaldosteronisme sekunder
Obat-obatan (karbenoksolon)
Diuretik kaliuretik
Asupan licorice yang berlebihan (glycyrrhizic acid)
Sindrom Barrter
Kekurangan kalium yang berat
Kelainan lain
Laxative abuse
Hipoalbuminemia berat

Tabel 48 Gejala dan Tanda Alkalosis Metabolik


Sistem Sistem Metabolisme Susunan Sistem
Respirasi Kardiovaskular Saraf Pusat Ginjal
Hipoventilasi Supraventrikular Peningkatan Nyeri kepala Poli uria
dengan dan ventrikular produksi asam Letargi Polidipsis
hiperkapnia aritmia organik dan
dan amonia Stupor Kista
Potensial toksik korteks
hipoksemia digitalis Hipokalemia Delirium
dan
Respons positif Hipokalsemia Tetani medula
terhadap Hipomagnesemia Kejang ginjal
inotropik Potensial
Hipofosfatemia
hepatik
ensefalopati
Sumber: Androgué dan Madias 1999

Tatalaksana
Prinsip utama
Perbaiki penyebab primer kelainan
Perbaiki faktor-faktor yang mempertahankan kelainan (ter-
utama pemberian klorida pada kasus defisiensi klorida yang
sering)
Perbaikan kalium, klorida dan cairan ekstraseluler akan merang-
sang ekskresi HCO3 oleh ginjal dan mengembalikan HCO3 plasma
menjadi normal

151
Pemeriksaan penunjang
AGD
Elektrolit: Cl−, K+
Klorida urin
Pencegahan
Pencegahan proses primer atau yang menginisiasi dan atau
pencegahan faktor-faktor yang mempertahankan terjadi
alkalosis

Interpretasi Hasil AGD


Enam Langkah Utama Evaluasi Asam-Basa
1. Menilai pH
Asidosis bila pH <normal (asidemia)
Alkalosis bila pH >normal (alkalemia)
pH normal mempunyai 2 kemungkinan: tidak ada gangguan
keseimbangan asam-basa, atau ada kelainan campuran
alkalosis yang mengompensasi asidosis

Tabel 49 Nilai Normal Gas Darah


Campuran
Arteri Vena
Vena

pH 7,40 7,36 7,36


(range) (7,35–7,45) (7,31–7,41) (7,31–7,41)
PO2 (mmHg) 80–100 35–40 30–50
pCO2 (mmHg) 35–45 41–51 40–52
Saturasi O2 >95% 60–80% 60–85%
HCO3− (mEq/L) 22–26 22–26 22–28
Base difference −2–+2 −2–+2 −2–+2
(deficit /excess)
Sumber: Brandis 2008

2. Perhatikan kadar HCO3 dan pCO2


Jika HCO3 dan pCO2 ↓ → terdapat asidosis metabolik atau
alkalosis respiratorik (tetapi kelainan campuran belum dapat
disingkirkan)
Jika HCO3 dan pCO2 ↑ → terdapat alkalosis metabolik atau
asidosis respiratorik (tetapi kelainan campuran belum dapat
disingkirkan)

3. Menilai kelainan lain ada/tidak


Beberapa “petunjuk” dapat dilihat dari Tabel 50 di bawah ini

152
Tabel 50 Petunjuk dan Makna Kelainan dalam Interpretasi
Analisis Gas Darah
“Petunjuk” “Makna”
Anion gap tinggi Asidosis metabolik
Hiperglikemia Jika disertai ketosuria → ketoasidosis
diabetikum
Hipokalemia dan atau Alkalosis metabolik
hipokloremia
Hiperkloremia Sering dijumpai bersamaan dengan
asidosis anion gap normal
Peningkatan urea Asidosis uremia atau hipovolemia (gagal
kreatinin ginjal prerenal)
Peningkatan kreatinin Ketoasidosis
Peningkatan glukosa Ketoasidosis atau sindrom hiperosmolar
nonketotik
Glukosuria dan Glukosuria pada hiperglikemia, ketosuria
ketosuria pada ketoasidosis
Sumber: Brandis 2008

4. Menilai respons kompensasi


Asidosis respiratorik akut
[HCO3] yang diharapkan = 24 + {(pCO2 aktual – 40)/10}
Asidosis respiratorik kronik
[HCO3] yang diharapkan = 24 + 4{(pCO2 aktual) – 40/10}
Alkalosis respiratorik akut
[HCO3] yang diharapkan = 24 − 2{(40 − pCO2 aktual)/10}
Alkalosis respiratorik kronik
[HCO3] yang diharapkan = 24 − 5{(40 − pCO2 aktual)/10} ± 2
Asidosis metabolik
pCO2 yang diharapkan = 1,5 [HCO3] + 8 ± 2
Alkalosis metabolik
pCO2 yang diharapkan = 0,7 [HCO3] + 20 ± 5
Jika nilai yang diharapkan dan aktual sesuai → tidak terdapat
gangguan asam-basa campuran
Jika nilai yang diharapkan dan aktual berbeda → terdapat
gangguan asam-basa campuran
Tentukan AG
Jika AG 20–30 → kemungkinan besar asidosis metabolik
Jika AG >30 → pasti terdapat asidosis metabolik
Hipoalbuminemia akan menurunkan nilai AG. Setiap 1 g
penurunan albumin akan menurunkan AG 2,5–3 mmol. Oleh
karena itu apabila terdapat hipoalbuminemia, maka nilai AG
harus dikoreksi
Jika terdapat asidosis metabolik, tentukan rasio delta
<0,4 : asidosis hiperkloremik dengan AG normal
0,4–0,8 : gabungan asidosis dengan AG tinggi dan AG normal

153
1 : sering dijumpai pada ketoasidosis diabetikum,
akibat kehilangan keton melalui urin
1–2 : gambaran khas asidosis metabolik dengan AG tinggi
>2 : kemungkinan disertai alkalosis metabolik (mening-
katkan HCO3) atau asidosis respiratorik kronik (hasil
kompensasi peningkat HCO3)
5. Membuat diagnosis status asam-basa
Gabungkan semua hasil yang diperoleh dengan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan hasil pemeriksaan lain
6. Pertimbangkan pemeriksaan lain untuk mendukung diagnosis.
Misalnya: laktat, keton urin, kadar salisilat darah, kadar
aldosteron, berbagai pemeriksaan untuk asidosis tubular ginjal

Bibliografi
1. Andrade OV, Ihara FO, Troster EJ. Metabolic acidosis in chilhood:
why, when and how to treat. J Pediatr (Rio J). 2007;83(2 Suppl):
S11–21.
2. Androgué HJ, Madias NE. Disorder of acid-base balance. Dalam:
Schrier RW, Berl T, Bonventre JV, penyunting. Atlas of diseases of
kidney. Volume 1. Philadelphia: Current Medicine Inc.; 1999.
hlm. 6.1–28.
3. Brandis K. Acid base physiology. November 2008 [diunduh 25
September 2014]. Tersedia dari: http://www.anaesthesiamcq.
com/AcidBaseBook/ABindex.php.
4. Greenbaum LA. Pathophysiology of body fluids and fluid therapy.
Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 291–415.
5. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. Edisi ke-11.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006.
6. Nitu M, Montgomery G, Eigen H. Acid-base disorders. Pediatr
Rev. 2011;32(6):240–50.
7. Wojciechowski B. Acid-base concepts and the Henderson-
Hasselbalch equation. Focus Publications Inc. 2008 [diunduh 25
September 2014]. Tersedia dari: http://www.thefreelibrary.com/
Acid-base+concepts+and+the+Henderson-Hasselbalch+equation-
a0221907342.
8. Yap C, Choon T. Arterial blood gases. Prog Singapore Healthc.
2011;20(3):227–35.

154
RENJATAN
Batasan
Renjatan merupakan suatu sindrom klinis akut yang disebabkan
kegagalan sistem sirkulasi, baik makrosirkulasi maupun mikrosirkulasi
dalam memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien untuk metabolisme
selular jaringan tubuh dan membuang hasil metabolisme yang akan
→ gangguan mekanisme homeostasis dan kerusakan selular yang
ireversibel
Derajat Berat Renjatan
Renjatan secara klinis mulai muncul bila terjadi kehilangan volume
intravaskular sebanyak 15–30%. Tanpa melihat etiologinya, secara
umum derajat berat renjatan dibagi menjadi tiga tingkatan:
Renjatan awal (renjatan kompensata)
Penurunan kesadaran awal (gelisah, agitasi), takikardia, takip-
nea, akral dingin dan lembap, pemanjangan waktu pengisian
kapiler >2 detik, belum hipotensi (terkompensasi), kehilangan
volume intravaskular sebanyak 15–30%
Renjatan lanjut (renjatan dekompensata)
Penurunan kesadaran lanjut (mengantuk diselingi agitasi),
takikardia, takipnea, akral dingin bebercak (mottled) dan
lembap, pemanjangan waktu pengisian kapiler >5 detik, nadi
lemah dan cepat, hipotensi, oliguria (urin <1 mL/kgBB/jam),
kehilangan volume intravaskular sebanyak 40–60%
Renjatan ireversibel
Derajat paling berat, penurunan kesadaran dalam, nadi tidak
teraba, tekanan darah tidak terukur, sulit pulih walaupun dengan
tatalaksana maksimal
Klasifikasi dan Etiologi Renjatan
Renjatan Hipovolemik
Merupakan tipe renjatan yang paling sering dijumpai pada anak,
disebabkan oleh ↓ volume darah akibat perdarahan, nonper-
darahan, dan dehidrasi
Etiologi
Diare, muntah, perdarahan (internal dan eksternal), diuresis
osmotik (misalnya ketoasidosis diabetikum), asupan cairan ↓,
kehilangan cairan ke rongga ketiga, dan luka bakar
Renjatan Distributif
Terjadi akibat ketidaknormalan distribusi aliran darah sekunder
karena gangguan tonus vasomotor meskipun curah jantung normal
atau ↑. Renjatan spesifik dapat timbul pada setiap proses infeksi
karena dilepaskan lipopolisakarida atau molekul toksik lainnya ke
dalam sirkulasi. Keadaan ini ditandai dengan aliran kapiler/
permeabilitas ↓, oksigenasi jaringan ↓, dan koagulasi intra-
vaskular diseminata (KID) → dapat terjadi paralisis vasomotor,
kapasitas vena (pengumpulan darah) ↑, dan pirau fisiologis
pascakapiler

155
Etiologi
Sepsis, merupakan penyebab tersering
Anafilaktik, akibat reaksi alergi sistemik
Neurogenik, akibat trauma pada medula spinalis
Renjatan Kardiogenik
Disebabkan oleh curah jantung sekunder ↓ akibat kerusakan dan
atau disfungsi miokardia
Etiologi
Penyakit jantung bawaan, miokarditis, kardiomiopati, aritmia,
sepsis, keracunan atau intoksikasi obat, jejas miokardia (trauma)
Renjatan Obstruktif
Pada anak jarang terjadi, disebabkan oleh obstruksi mekanik yang
mengganggu curah jantung yang adekuat
Etiologi
Tamponade jantung, tension pneumothorax, ductal-dependent
congenital heart lesions, emboli paru masif
Renjatan Disosiatif
Tipe renjatan ini juga jarang dijumpai pada anak, terjadi pada
keadaan oksigenasi jaringan tidak adekuat, sekunder akibat
afinitas Hb terhadap oksigen yang abnormal
Etiologi
Metemoglobinemia, keracunan karbon monoksida
Diagnosis
Anamnesis
Terdapat faktor risiko renjatan
Demam, terdapat sumber infeksi, mengalami hipovolemia,
trauma dengan perdarahan masif, riwayat defisiensi imun,
pemakaian obat-obatan imunosupresif, muntah, diare, ↓
asupan makanan p.o., dan derajat kesadaran ↓. Hal lain yang
juga penting untuk diketahui adalah riwayat kontak dengan
lingkungan, menelan obat-obatan, penyakit kronik seperti
penyakit jantung bawaan dan alergi
Pemeriksaan Fisis
Umum
Tanda gangguan otak, ginjal, dan kardiovaskular
Takikardia dan takipnea berlanjut
Takipnea menjadi lebih berat dengan asidosis ↑
Kulit mungkin bebercak (mottled) atau pucat
Ekstremitas dingin karena vasokonstriksi dan aliran darah ke
kulit ↓
Pengisian kembali kapiler makin lambat (>4 detik)
Hipotensi, curah jantung ↓, vasokonstriksi memengaruhi
perfusi ginjal → oliguria
Saluran cerna mengalami hipoperfusi
distensi, pengeluaran mediator vasoaktif, dan akumulasi cairan
di rongga ketiga (third space)
156
Pada penderita renjatan septik dapat timbul hipertermia (≥38,3
°C rektal) atau hipotermia (≤35,6 °C rektal), karena gangguan
perfusi otak iritabel melanjut menjadi agitasi, konfusi,
halusinasi, agitasi, dan stupor yang bergantian, serta akhirnya
koma
Penilaian kecukupan curah jantung berdasarkan gejala klinis saja
sering sulit dan salah. Anak yang mengalami renjatan sering
menunjukkan gejala tidak jelas. Tidak ditemukan hipotensi
belum dapat menyingkirkan renjatan pada anak; bila timbul
hipotensi, renjatan yang terjadi biasanya berat. Hipotensi
merupakan manifestasi renjatan yang sangat kasip. Bila renjatan
tidak segera ditangani akan terjadi disfungsi organ multipel,
meliputi gagal ginjal (nekrosis tubular akut), gagal jantung,
perdarahan saluran cerna, dan sindrom distres pernapasan akut
(SDPA)
Khusus
Renjatan hipovolemik
Waktu pengisian kapiler yang buruk (>2 detik), takikardia,
hipotensi, turgor jaringan ↓, mungkin terdapat sianosis dan
pernapasan Kussmaul
Renjatan distributif
Manifestasi awal berupa renjatan hangat (warm shock)
vasodilatasi hebat/kemerahan dan perfusi tampak baik
Didapatkan nadi baik, tekanan nadi lebar, dan pengisian
kapiler melambat. Perubahan awal status mental sangat
karakteristik meliputi gelisah, iritabel, dan kesadaran ↓
Bila terjadi renjatan dingin (cold shock) didapatkan denyut
jantung cepat, hipotensi, dan tekanan nadi sempit. Pada
stadium ini prognosisnya buruk
Renjatan septik sering terjadi pada anak yang mempunyai
predisposisi infeksi, seperti kekebalan ↓, kelainan kongenital
saluran kemih (pielonefritis), atau saluran cerna (kolitis,
Hirschprung). Mungkin ada riwayat panas badan, ISPA,
kemerahan kulit, atau gejala penyakit infeksi lainnya. KID
sering ditemukan pada penderita renjatan septik dan
mengalami perdarahan serta purpura
Penyebab lain renjatan distributif meliputi jejas spinal,
anafilaksis, dan renjatan toksik
Renjatan kardiogenik
Biasanya pada bayi dengan tanda/gejala gagal pompa
jantung. Hepar sering sangat membesar dan foto Rontgen
toraks menunjukkan lapangan paru pletorik dan kardio-
megali. Pada auskultasi terdengar irama gallop, mungkin
tidak terdengar murmur. Secara umum yang menyebabkan
renjatan yaitu kelainan jantung kongenital nonsianotik.
Sebaliknya, anak tampak abu-abu dengan nadi lemah/tidak
ada sama sekali. Pada koarktasio aorta, terdapat nadi yang
berbeda antara kaki dan lengan
157
Pemeriksaan Penunjang
AGD
Penilaian hemodinamik
Tekanan baji kapiler pulmonal (pulmonal capillary wedge pressure/
PCWP) yang dipertahankan 10–18 mmHg (bila ada)
Tekanan vena sentral (central venous pressure/CVP) kurang akurat
pada anak disfungsi miokardia. CVP normal 5–12 mmHg
Lain-lain
Darah: rutin, elektrolit, glukosa, urea-N, kreatinin, kultur,
trombosit, PT, PTT, fibrinogen, dan FDPs
Penyulit
Sindrom disfungsi organ multipel (SDOM)
Terapi
Diagnosis dini renjatan merupakan kunci keberhasilan resusitasi
Resusitasi cairan memakai kristaloid isotonik (dan atau koloid pada
renjatan distributif dan hemoragik) sebanyak 10–20 mL/kgBB
(dengan asumsi kehilangan volume intravaskular sebanyak 25%),
dilakukan secepat-cepatnya pada umumnya dalam waktu 15–30 mnt
(pada renjatan septik dalam waktu 5–10 mnt), dapat diulang
sebanyak 2–3× (maks. 60–80 mL/kgBB dalam satu jam) lihat Gambar
23. Untuk resusitasi volume kecil pada renjatan distributif dan
renjatan hemoragik dapat diberikan cairan natrium laktat hipertonik
(Totilac®) dosis 5 mL/kgBB dalam 15 mnt (dapat diulang 1×)
Hipoksemia (PaO2 <60 mmHg) sering disebabkan gangguan ventilasi-
perfusi karena edema atau infeksi paru, SDPA, faktor selular, atau
perfusi buruk dan toksin yang beredar
Anak dalam keadaan renjatan mengalami asidosis metabolik, diatasi
dengan memperbaiki perfusi bukan dengan pemberian bikarbonat.
Pemberian bikarbonat yang tidak tepat dapat → alkalosis metabolik.
Bikarbonat diberikan bila terdapat asidosis berat (pH <7,10) →
disfungsi organ (hipotensi, disritmia, atau gagal jantung)
Resusitasi
Berikan O2 dengan masker
Intubasi endotrakeal segera dan ventilasi O2 100%. Perhatikan bila
sebelumnya ada riwayat mendapat obat anestesia. Hindari high
peak inspiratory dan end-inspiratory pressures, serta gunakan
ventilasi yang cepat untuk mengubah gangguan pengisian jantung
Cairan
Letakkan anak dalam posisi Trendelenburg. Pada korban kecelaka-
an, perdarahan harus diatasi dengan menekan titik perdarahan
dan mengikat pembuluhnya sementara mencari akses vaskular.
Pasanglah 2 jalur i.v. dengan jarum besar. Mulailah dengan
pemberian bolus cairan NaCl fisiologis atau Ringer laktat 10–20

158
mL/kgBB diberikan dalam beberapa mnt dan diulang bila perlu.
Nilai perfusi anak (tanda dan gejala renjatan) sering untuk melihat
perbaikan
Pemberian cairan berikutnya harus berdasarkan pola kehilangan
cairan: kristaloid seperti Ringer laktat atau NaCl fisiologis untuk
dehidrasi; albumin 5% untuk luka/kehilangan cairan rongga ketiga
(third space losses); dan darah pada kecelakaan (trauma). Sediaan
sel darah merah segar (packed red cells) diberikan 10 mL/kgBB
dalam 1–2 jam. Albumin 5% dikombinasikan dengan cairan
kristaloid diberikan dengan dosis 10 mL/kgBB. Pemberian cairan
pertama—apakah cairan koloid atau kristaloid masih kontroversi,
tetapi ada kecenderungan cairan koloid lebih dulu—untuk
mengganti volume plasma tanpa menambah cairan interstitial
Stabilitas dan Pemantauan
Monitor tanda vital, pengisian kapiler, dan produksi urin untuk
menilai respons pengobatan. Usahakan untuk mencapai produksi
urin min. 1 mL/kgBB/jam (normal 2–4 mL/kgBB/jam)
Mulailah pemasangan jalur arteri dan vena sentral. Infus cairan
yang cepat harus dilanjutkan sampai tekanan vena sentral
mencapai rentang 5–12 mmHg. Selanjutnya beri terapi rumatan
dengan cairan dekstrosa 5% atau 10% ditambah 20–40 mEq
NaCl/L. Pertahankan Ht 30–35% dengan pemberian packed red cell
untuk mencapai kapasitas pengangkutan O2 optimal dan viskositas
darah normal. Bila ada tanda KID, atasi sesuai terapi KID
Pasang pipa nasogastrik (pipa orogatrik bila dicurigai terdapat
fraktur basis kranii) dan kateter folley (hati-hati pada trauma
uretra). Teruskan pemantauan hasil pemeriksaan darah. Bila anak
sudah stabil, periksa foto Rontgen toraks, EKG, dan ekokardiogram
bila ada indikasi
Obat-obatan
Diberikan bila tidak ada respons terhadap penggantian volume
cairan, terutama pada kasus renjatan septik
Epinefrin
Dopamin
Dobutamin
Isoproterenol Lihat bab resusitasi
Norepinefrin
Antibiotik
Bila dicurigai sepsis/penyebab tidak diketahui
akses i.v. terpasang. Bila mungkin, antisipasi mikroorganisme yang
mungkin menjadi penyebabnya

159
Tabel 51 Pemberian Antibiotik pada Renjatan Septik
Usia Antibiotik
<4 mgg Ampisilin 200 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam +
gentamisin 7,5 mg/kgBB/hr tiap 8 jam
4 mgg–3 bl Ampisilin 200–400 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam +
sefotaksim 150 mg/kgBB/hr tiap 8 jam
3 bl–6 th Ampisilin 200–400 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam +
kloramfenikol 100 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam
atau sefotaksim seperti di atas
>6 th Sefotaksim 150 mg/kgBB/hr i.v. tiap 8 jam
Sumber: Marco dan MacArthur 2006

Prostaglandin E1 (bila ada)


Pada neonatus dengan penyakit jantung struktural yang meng-
alami renjatan kardiogenik (mungkin mempunyai lesi obstruktif
jantung sebelah kiri yang berat, seperti koarktasio aorta atau
stenosis aorta kritis)
Bekerja untuk mempertahankan keutuhan duktus arteriosus
Diberikan dengan kecepatan 0,05–0,10 g/kgBB/mnt
Efek samping penting yaitu apnea sementara
Efek samping lainnya: demam, jitteriness, dan kemerahan pada
kulit sepanjang vena tempat pemberian obat
Steroid
Selain pada kasus insufisiensi adrenal, tidak ada bukti nyata
bahwa steroid menguntungkan dalam pengobatan renjatan
Prognosis
Bergantung pada etiologi, diagnosis dini, dan kecepatan serta
penanganan renjatan
Surat Persetujuan
Diperlukan

160
Gambar 23 Algoritme Tatalaksana Dukungan Hemodinamik untuk
Mencapai Perfusi Normal dan Tekanan Perfusi (MAP-CVP)
pada Bayi Cukup Bulan dan Anak dengan Renjatan Septik
Keterangan:
ECMO=extracorporeal membrane oxygenation
ScvO2 = central venous oxygen saturation
Sumber: Brierly dkk. 2009

161
Bibliografi
1. Arikan AA, Citak A. Pediatric shock. Signa Vitae. 2008;3(1):13–23.
2. Bell LM. Shock. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S,penyunting.
Textbook of pediatric emergency medicine. Edisi ke-6.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. hlm. 46–57.
3. Brierley J, Carcillo JA, Choong K, Cornell T, DeCaen A, Deymann A,
dkk. Clinical practice parameters for hemodynamic support of
pediatric and neonatal septic shock: 2007 update from the
American College of Critical Care Medicine. Crit Care Med.
2009;37(2):666–88.
4. Carcillo JA, Han K, Lin J, Orr R. Goal-directed management of
pediatric shock in the emergency department. Clin Ped Emerg
Med. 2007;8(3):165–75.
5. Carcillo JA, Piva JP, Thomas NJ, Han YY, Lin JC, Orr RA. Shock and
shock syndromes. Dalam: Slonim AD, Pollack MM, penyunting.
Pediatric critical care medicine. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2006. hlm. 438–71.
6. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R,
dkk. Surviving sepsis campaign: international guidelines for
management of severe sepsis and septic shock:2008. Crit Care
Med. 2008;36(1):296–327.
7. Marco CD, MacArthur RD. The importance of early and
appropriate initial antimicrobial therapy. Advin Sepsis. 2006;5(2):
60–1.
8. Mejia R, Fields A, Greenwald BM, Stein F, penyunting. Pediatric
fundamental critical care support. Mount Prospect: Society of
Critical Care Medicine; 2008.
9. Nadel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial management
of shock. Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogers textbook of
pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2008. hlm. 372–83.
10. Ralston M, Hazinski MF, Zaritsky AL, Schexnayder SM, Kleinman
ME. PALS provider manual. USA: American Heart Association;
2011.
11. Schwartz A. Blueprints pocket. Pediatric ICU. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
12. Zingarelli B. Shock and reperfusion. Dalam: Nichols DG,
penyunting. Rogers textbook of pediatric intensive care. Edisi
ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm.
252–65.

162
TATALAKSANA SEPSIS BERAT DAN RENJATAN SEPSIS
DENGAN PEDOMAN
EARLY GOAL-DIRECTED THERAPY
Batasan
Sepsis adalah respons sistemis pejamu terhadap infeksi yang bersifat
merusak
Sepsis berat adalah keadaan sepsis yang disertai dengan disfungsi
organ akut akibat sepsis atau terdapat hipoperfusi jaringan
Renjatan sepsis merupakan kondisi sepsis berat dengan hipotensi
persisten walaupun telah mendapat resusitasi cairan adekuat
Early goal-directed therapy (EGDT) merupakan landasan dan kunci
dari the Surviving Sepsis Campaign (SSC)
Patofisiologi
Renjatan merupakan refleksi kegagalan organ menyeluruh untuk
mendapat energi akut karena kurang produksi adenosine
triphosphate (ATP) pendukung fungsi metabolisme sel. Renjatan
disebabkan oleh pasokan oksigen yang rendah (anemia, hipoksia,
iskemia), kurang substrat glukosa (glikopenia), atau disfungsi
mitokondria (disoksia sel)
Hipoksia karena perfusi jaringan yang buruk merupakan kerusakan
fisiologi dasar yang menopang semua sindrom renjatan. Hipoksia
jaringan dapat dimulai oleh aliran darah yang lambat atau distribusi
mikrosirkulasi darah tidak merata karena vasokonstriksi yang
menyebabkan perfusi jaringan tidak memadai, hipoksia jaringan
lokal, disfungsi organ, dan akhirnya gagal organ
Hantaran oksigen (oxygen delivery=DO2) merupakan fungsi
kandungan oksigen arteri (CaO2=arterial oxygen content) dan aliran
darah/curah jantung (CO=cardiac output) sehingga setiap penurunan
faktor yang memengaruhi kedua parameter tersebut dapat
mengurangi oksigenasi jaringan. Hantaran oksigen yang memadai
bergantung pada darah yang mengandung cukup oksigen, aliran
darah yang cukup (CO), dan aliran darah yang mencukupi kebutuhan
metabolisme sel
Pada keadaan sepsis, kebutuhan oksigen jaringan sangat meningkat.
Fungsi organ sangat bergantung pada pasokan oksigen, kekurangan
oksigen akan menyebabkan hipoksia jaringan yang merupakan faktor
prediktif untuk terjadi kegagalan multiorgan dan kematian pada
populasi dewasa maupun anak
Implementasi EGDT Pra-rumah Sakit dan Emergensi
Sepuluh langkah implementasi EGDT tatalaksana sepsis berat dan
renjatan sepsis di emergensi:
1. Pengenalan renjatan di ruang triase
Hipotensi dengan nadi kuat pada renjatan hangat
Perfusi perifer berkurang (tekanan perifer berkurang
dibandingkan dengan tekanan sentral dan pengisian kapiler
>2 detik pada renjatan dingin terkompensasi

163
Kombinasi hipotensi dan perfusi perifer berkurang pada
renjatan dingin dekompensasi
2. Transpor penderita segera ke ruangan renjatan/trauma dan
aktifkan tim resusitasi
3. Mulai pemberian oksigen kanul nasal dan pasang jalur i.v. perifer
dalam 90 detik
4. Bila tidak berhasil setelah 2× tusukan vena perifer, pertimbang-
kan akses i.o.
5. Palpasi terdapat hepatomegali dan auskultasi paru (ronki)
6. a. Jika hepar tidak membesar dan tidak terdapat ronki, berikan
bolus 20 mL/kgBB dalam 15 mnt dengan salin isotonis atau
albumin 5% sampai 60 mL/kgBB hingga terjadi perbaikan
perfusi atau pembesaran hati atau timbul ronki. Berikan
20 mL/kgBB PRC jika renjatan hemoragis yang tidak berespons
dengan terapi cairan
b. Jika hepar membesar, waspadai renjatan kardiogenik, bolus
kristaloid isotonis hanya diberikan 10 mL/kgBB. Mulai berikan
PGE1 pada semua neonatus untuk mempertahankan duktus
arteriosus
7. Jika pengisian kapiler >2 detik dan atau hipotensi menetap
selama resusitasi cairan, mulai berikan epinefrin i.v. perifer/i.o.,
dosis 0,05 ug/kgBB/mnt
8. Jika terdapat risiko insufisiensi adrenal (riwayat terapi steroid
sebelumnya, sindrom waterhouse Friederichsen, atau anomali
hipofise), berikan hidrokortison bolus (50 mg/kgBB) dilanjutkan
dengan titrasi 2–50 mg/kgBB/hr
9. Jika renjatan berlanjut, berikan atropin (0,2 mg/kgBB) dan
ketamin (2 mg/kgBB) sebagai sedasi untuk pemasangan akses
vena sentral. Jika diperlukan ventilasi mekanis, gunakan atropin
dan ketamin serta penghambat neuromuskular (oleh tenaga
terampil) untuk induksi intubasi
10. Tujuan direct therapy adalah waktu pengisian kapiler <3 detik
(≤2 detik), tekanan darah normal sesuai usia, dan indeks renjatan
(denyut jantung/tekanan nadi) membaik

Tujuan EGDT
Tujuan Klinis
Status mental yang baik, kualitas nadi proksimal dan distal menjadi
normal, temperatur sentral dan perifer yang sesuai, pengisian
kapiler <2 detik, dan luaran urin ≥1 mL/kgBB/jam
Tujuan Hemodinamik dan Penggunaan Oksigen
Denyut jantung dan perfusi normal sesuai usia adalah tujuan
hemodinamik awal sebelum akses sentral diperoleh (bila sarana
tersedia). Resusitasi cairan dapat dipantau dengan mengamati
denyut jantung dan peningkatan tekanan perfusi (mean arterial
pressure [MAP]-central venous pressure [CVP]) bila resusitasi
cairan telah efektif. Bila cairan yang diberikan terlalu banyak, maka
frekuensi jantung akan ↑ dan tekanan perfusi (MAP-CVP) ↓.
Indeks renjatan (frekuensi jantung/tekanan darah sistol) dapat

164
dipakai untuk menilai efektivitas terapi cairan dan inotrop. Bila
volume sekuncup ↑, denyut jantung akan ↓ dan tekanan darah
sistol ↑ sehingga indeks renjatan ↓. Pada penderita yang
terpasang kateter vena sentral, sebaiknya digunakan saturasi
oksigen >70% sebagai patokan terapi. Bila saturasi oksigen <70%
dan anemia, penderita harus diberi transfusi sel darah merah
sampai kadar Hb >10 g/dL. Bila saturasi oksigen vena sentral <70%
tanpa disertai anemia, inotrop dan vasodilator dapat digunakan
untuk meningkatkan curah jantung hingga saturasi >70%
Tujuan Biokimiawi
Pemeriksaan kadar laktat sebagai penanda metabolisme anaerob
Laktat dapat meningkat pada keadaan di luar renjatan (sepsis)
seperti gangguan metabolisme, gangguan limfoploriferatif, dan
gagal hati. Kadar laktat pada renjatan sepsis biasanya ↑. Target
penurunan kadar laktat <2 mmol/L

Bundel Resusitasi
Tatalaksana sepsis dikerjakan melalui penapisan sepsis berjenjang.
Temuan ≥2 tanda atau gejala infeksi/sepsis merupakan indikasi
dilakukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut untuk menilai ada
disfungsi organ. International Guidelines for Management of Severe
Sepsis and Septic Shock 2012 telah merevisi bundle sepsis berat
dengan hasil sebagai berikut:
Versi Sepsis Resuscitation Bundle sebelumnya telah dimodifikasi
menjadi dua bundel: bundel resusitasi sepsis berat 3 jam dan
bundel resusitasi renjatan sepsis 6 jam
Bundel Manajemen Sepsis—bagian dari versi sebelumnya bundel
sepsis berat—telah dieliminasi dan terapi pendukung lainnya
telah ditambahkan
Bundel resusitasi 3 jam sepsis berat (akan selesai dalam waktu 3 jam
dari waktu awal):
Pengukuran kadar laktat
Pemeriksaan kultur darah sebelum pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik spektrum luas
Pemberikan kristaloid 20 mL/kgBB bila terdapat hipotensi atau
laktat ≥4 mmol/L
Bundel resusitasi 6 jam pada renjatan sepsis (akan selesai dalam
waktu 6 jam dari waktu awal):
Pemberian vasopresor (untuk hipotensi yang tidak berespons
terhadap terapi cairan awal resusitasi untuk menjaga MAP
Dalam keadaan hipotensi arteri persisten meskipun sudah mendapat
volume resusitasi (renjatan sepsis) atau kadar awal laktat ≥4 mmol/L
(36 mg/dL), maka dilakukan hal berikut:
a. Mengukur CVP
b. Mengukur ScvO2
Pemeriksa kembali laktat bila kadar laktat awal ↑

165
Bundel Resusitasi 3 Jam pada Sepsis Berat
Pemeriksaan kadar laktat
Laktat diproduksi oleh sel darah merah dan beberapa jaringan
yang memiliki tingkat glikolisis tinggi. Nilai yang biasa dipakai
sebagai penapis sepsis adalah 4 mmol/L. Nilai prognostik kadar
laktat darah telah terbukti pada penderita renjatan sepsis,
terutama bila kadarnya tinggi persisten, dan terbukti memiliki nilai
prognostik yang lebih besar daripada variabel oksigen. Mortalitas
tinggi pada penderita sepsis dengan hipotensi dan laktat ≥4
mmol/L (46,1%), serta penderita sepsis berat dengan hipotensi
saja (36,7%) dan laktat ≥4 mmol/L saja (30%)
Pemeriksaan kultur darah sebelum pemberian antibiotik
Sebanyak 30–50% memiliki kultur darah positif
Pengambilan kultur darah sebelum pemberian antibiotik
direkomendasikan ≥2 kultur darah dengan setidaknya satu diambil
perkutan dan satu diambil melalui akses vaskular, kecuali jalur
infus kurang dari 48 jam
Pada penderita dengan dugaan catheter related infection, kultur
darah yang diperoleh melalui kateter dan sisi perifer harus
diperoleh secara bersamaan
Kultur darah dari tempat lain seperti urin, cairan serebrospinalis,
luka, sekret pernapasan, atau cairan tubuh lain yang mungkin
menjadi sumber infeksi juga harus diperoleh sebelum terapi
antimikrob
Indikasi pemeriksaan kultur darah meliputi demam, menggigil,
hipotermia, leukositosis, shift to the left, neutropenia, dan
disfungsi organ yang tidak jelas penyebabnya (misalnya, gagal
ginjal atau tanda-tanda gagal hemodinamik)
Pemberian antibiotik spektrum luas
Penggunaan antibiotik spektrum luas bertujuan untuk
pembatasan superinfeksi dan menurunkan resistensi patogen
terhadap antibiotik, sampai organisme penyebab spesifik dan
sensitivitas antibiotik diketahui
Evaluasi antimikrob dilakukan dalam 48–72 jam setelah
pemberian antibiotik berdasarkan data klinis, dengan tujuan
penggunaan antibiotik spektrum sempit untuk mencegah
resistensi, mengurangi toksisitas, dan meminimalkan biaya.
Terapi kombinasi empiris hendaknya tidak diberikan lebih dari
3–5 hr
Kombinasi antibiotik tidak terbukti lebih efektif dibandingkan
dengan monoterapi
Lama pemberian antibiotik spesifik selama 7–10 hr sambil
mempertimbangkan respons klinis penderita
Pemberian kristaloid 20 mL/kgBB bila terdapat hipotensi atau
kadar laktat ≥4 mmol/L
Pada penderita sepsis berat dan renjatan sepsis terdapat
sirkulasi yang tidak efektif, sebagai akibat vasodilatasi karena
infeksi atau kegagalan curah jantung. Perfusi jaringan yang
buruk menyebabkan hipoksia jaringan luas, dan berhubungan
166
dengan peningkatan kadar laktat serum. Resusitasi cairan awal
kristaloid 20 mL/kgBB diberikan sebagai fluid challenge pada
kasus hipovolemia atau kadar laktat ≥4 mmol/L (36 mg/dL)
Fluid challenge terdiri atas 4 komponen yaitu:
Jenis cairan yang diberikan
Kristaloid dan koloid memberikan luaran yang tidak
berbeda secara bermakna pada resusitasi cairan penderita
sakit kritis
Kecepatan infus cairan
Tujuan akhir pemberian cairan (MAP dan denyut jantung, dan
pemantauan klinis lain meliputi diuresis, capillary refill
time, dan derajat kesadaran)
Batas aman jumlah cairan
Observasi ketat perlu dilakukan untuk mencegah overload
cairan (edema paru, hepatomegali)
Bundel Resusitasi 6 Jam pada Renjatan Sepsis
Pemberian vasopresor
Norepinefrin merupakan pilihan pertama agen vasopresor untuk
memperbaiki hipotensi pada renjatan sepsis
Epinefrin dapat digunakan ketika obat tambahan diperlukan
untuk mempertahankan tekanan darah yang memadai
Dopamin dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk
vasopresor norepinefrin, misalnya penderita dengan risiko
rendah takiaritmia dan bradikardia absolut atau relatif. Dopamin
meningkatkan MAP terutama dengan meningkatkan indeks
jantung dengan efek minimal pada resistensi pembuluh darah
sistemis. Kenaikan indeks jantung disebabkan peningkatan
volume sekuncup dan pada tingkat lebih rendah akan
meningkatkan denyut jantung
Hipotensi arteri persisten walaupun sudah mendapat volume
resusitasi (renjatan sepsis) atau kadar awal laktat ≥4 mmol/L
(36 mg/dL), maka dilakukan hal berikut ini:
a. Mengukur CVP
b. Mengukur ScvO2
Tujuan utama adalah mengukur tekanan vena sentral, tetapi
juga penting untuk menjaga target saturasi oksigen vena
sentral. Jika mengalami hipovolemia dan anemia dengan
Ht <30%, maka transfusi packed red blood cells. Hal ini
meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan iskemia dan
menjaga tekanan vena sentral ≥8 mmHg untuk waktu yang lebih
lama daripada pemberian cairan saja. Target CVP lebih tinggi
pada penderita yang mendapat ventilasi mekanis, yaitu 12–15
mmHg untuk mendukung positive end expiratory pressure dan
meningkatkan tekanan intratoraks. Saturasi oksigen vena
sentral dipertahankan ≥70%. Pada keadaan resusitasi penderita
sepsis berat yang tidak teratasi dengan pemberian cairan saja
harus segera diberikan obat inotrop untuk mempertahankan
CVP ≥8 mmHg dan SvcO 2 ≥70%

167
Pemeriksaan kembali kadar laktat bila kadar awal laktat tinggi
Kadar laktat darah mempunyai nilai prognostik pada penderita
renjatan sepsis, terutama bila kadarnya tinggi menetap. Selain
itu, kadar laktat darah telah terbukti memiliki nilai prognostik
yang lebih besar daripada variabel oksigen. Pemeriksaan kadar
laktat penting untuk mengidentifikasi hipoperfusi jaringan pada
penderita yang belum hipotensi tetapi berisiko untuk menjadi
renjatan sepsis
Target akhir resusitasi adalah perbaikan perfusi jaringan dan
homeostasis sel, penanda perbaikan klinis renjatan sepsis terdiri atas:
Frekuensi denyut jantung normal
Tidak ada perbedaan antara denyut nadi sentral dan perifer
Waktu pengisian kapiler <2 detik
Ekstremitas hangat, status mental normal, tekanan darah normal
Produksi urin >1 mL/kgBB/jam
Penurunan kadar laktat serum (idealnya memantau bersihan laktat
setiap jam)
Tekanan darah bukan target akhir resusitasi yang baik, tetapi
perbaikan rasio antara frekuensi denyut jantung dengan tekanan
darah sistol (indeks renjatan) dapat dipakai sebagai indikator ada
perbaikan perfusi. Ultrasonografi noninvasif dapat memberikan
informasi status hemodinamis lebih akurat dan mulai populer
dipergunakan di seluruh dunia. Waktu pengisian kapiler (capillary
refill time) merupakan tanda klinis sangat penting untuk deteksi awal
dan pemantau tatalaksana renjatan sepsis anak

168
Gambar 24 Algoritme Tatalaksana Renjatan Sepsis
Sumber: Dellinger dkk. 2013

Bibliografi
1. Angus DC, van der Poll T. Severe sepsis and septic shock. N Engl J
Med. 2013 Aug;369(9):840–51.
2. Brierley J, Peters MJ. Distinct hemodynamic patterns of septic
shock at presentation to pediatric intensive care. Pediatrics 2008
Oct;122(4);752–9.

169
3. Brierley J, Carcillo JA, Choong K, Cornell T, DeCaen A, Deymann A,
et al. Clinical practice parameters for hemodynamic support of
pediatric and neonatal septic shock: 2007 update from the
American College of Critical Care Medicine. Crit Care Med.
2009;37(2):666–88.
4. Carcillo JA, Han K, Lin J, Orr R. Goal-directed management of
pediatric shock in the emergency department. Clin Ped Emerg
Med. 2007 Sep;8(3):165–75.
5. Carcillo JA. Pediatric septic shock and multiple organ failure. Crit
Care Clin. 2003 Jul;19(3):413–40.
6. Carlbom DJ, Rubenfeld GD. Barriers to implementing protocol-
based sepsis resuscitation in the emergency department–results
of a national survey. Crit Care Med. 2007 Nov;35(11):2525–32.
7. Cruz AT, Perry AM, Williams EA, Graf JM, Wuestner ER, Patel B.
Implementation of goal-directed therapy for children with
suspected sepsis in the emergency department. Pediatrics. 2011
Mar;127(3):e758–66.
8. de Oliveira CF. Early goal-directed therapy in treatment of
pediatric septic shock. Shock. 2010 Sep;34(Suppl 1):44–7.
9. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM,
dkk. Surviving sepsis campaign: international guidelines for
management of severe sepsis and septic shock: 2012. Crit Care
Med. 2013 Feb;41(2):580–637.
10. Faix JD. Biomarkers of sepsis. Crit Rev Clin Lab. 2013;50(1):23–36.
11. Goldstein B, Giroir B, Randolph A. International pediatric sepsis
consensus conference: definitions for sepsis and organ
dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005 Jan;6(1):2–
8.
12. Han YY, Carcillo JA, Dragotta MA, Bills DM, Watson RS,
Westerman ME, dkk. Early reversal of pediatric-neonatal septic
shock by community physicians is associated with improved
outcome. Pediatrics. 2003 Oct;112(4):793–9.
13. Hauser GJ. Early goal-directed therapy of pediatric septic shock in
the emergency department. Israeli J Emerg Med. 2007 Jun;
7(2):5–17.
14. Hoffmann SP, Crouser ED. Mitochondrial mechanisms of organ
dysfunction during sepsis. Adv Sepsis. 2007;6(1):2–9.
15. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of
sepsis. N Engl J Med. 2003 Jan;348(2):138–50.
16. Ibrahim EH, Sherman G, Ward S, Fraser VJ, Kollef MH. The
influence of inadequate antimicrobial treatment of bloodstream
infections on patient outcomes in the ICU setting. Chest. 2000
Jul;118(1):146–55.
17. Institute for Healthcare Improvement. Severe sepsis bundles
(April 2013) [diunduh 12 September 2014]. Tersedia dari:
https://www.betahg.com/services/ed/ed/Option_9_-_Severe
_Sepsis_Bundle/ihi_severe_sepsis_bundles.pdf.
18. Jones AE, Shapiro NI, Roshon M. Implementing early goal-
directed therapy in the emergency setting: the challenges and
experiences of translating research innovations into clinical

170
reality in academic and community settings. Acad Emerg Med.
2007 Nov;14(11):1072–8.
19. Jones AE, Shapiro NI, Trzeciak S, Arnold RC, Claremont HA, Kline
JA. Lactate clearance vs central venous oxygen saturation as
goals of early sepsis therapy: a randomized clinical trial. JAMA.
2010 Feb;303(8):739–46.
20. Khilnani P, Singhi S, Lodha R, Santhanam I, Sachdev A, Chugh K,
dkk. Pediatric sepsis guidelines: summary for resource-limited
countries. Indian J Crit Care Med. 2010 Jan;14(1):41–52.
21. Micek ST, Welch EC, Khan J, Pervez M, Doherty JA, Reichley RM,
dkk. Empiric combination antibiotic therapy is associated with
improved outcome against sepsis due to gram-negative bacteria:
a retrospective analysis. Antimicrob Agents Chemother. 2010
May;54(5):1742–8.
22. Nguyen HB, Rivers EP. The clinical practice of early goal-directed
therapy in severe sepsis and septic shock. Adv Sepsis. 2005;4(4):
126–33.
23. Otero RM, Nguyen HB, Huang DT, Gaieski DF, Goyal M,
Gunnerson KJ, dkk. Early goal-directed therapy in severe sepsis
and septic shock revisited: concepts, controversies, and
contemporary findings. Chest. 2006 Nov;130(5):1579–95.
24. ProCESS Investigators, Yealy DM, Kellum JA, Huang DT, Barnato
AE, Weissfeld LA. A randomized trial of protocol-based care for
early septic shock. N Engl J Med. 2014 May;370(18):1683–93.
25. Reuben AD, Appelboam AV, Higginson l, Lloyd JG, Shapiro NI.
Early goal-directed therapy: a UK perspective. Emerg Med J. 2006
Nov;23(11):828–32.
26. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B,
dkk. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis
and septic shock. N Engl J Med. 2001 Nov;345(19):1368–77.
27. Sepanski RJ, Godambe SA, Mangum CD, Bovat CS, Zaritsky AL,
Shah SH. Designing a pediatric severe sepsis screening tool. Front
Pediatr. 2014 Jun;2:56.
28. Singhal S, Allen MW, McAnnally JR, Smith KS, Donnelly JP, Wang
HE. National estimates of emergency department visits for
pediatric severe sepsis in the United States. PeerJ. 2013 May;
1:e79.
29. Tannehill D. Treating severe sepsis & septic shock in 2012. J
Blood Disord Transfus. 2012;S4:002.
30. Wiens MO, Kumbakumba E, Kissoon N, Ansermino JM, Ndamira
A, Larson CP. Pediatric sepsis in the developing world: challenges
in defining sepsis and issues in post-discharge mortality. Clin
Epidemiol. 2012;4:319–25.

171
KERACUNAN
Batasan
Terpaparnya seseorang dengan suatu zat yang menimbulkan gejala
dan tanda disfungsi organ serta dapat menimbulkan kerusakan atau
kematian
Etiologi
Obat-obatan: salisilat, asetaminofen, digitalis, aminofilin
Gas toksik: karbon monoksida, gas toksik iritan
Zat kimia industri: tetil alkohol, asam sianida, kaustik, hidrokarbon
Zat kimia pertanian: insektisida
Makanan: singkong, jengkol, bongkrek
Bisa ular atau serangga
Diagnosis
Onset yang mendadak
Usia biasanya 1–5 th
Riwayat pica atau keracunan sebelumnya
Stres lingkungan yang kuat
Melibatkan sistem organ
Perubahan tingkat kesadaran
Gejala klinis tidak khas untuk penyakit tertentu

Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan kasus perkasus
Laboratorium: darah lengkap, AGD, osmolalitas serum, elektrolit,
urea N, kreatinin, glukosa, transaminase hati, urin
Radiologis: foto Rontgen toraks/abdomen
EKG
Skrining toksiokologi untuk kelebihan dosis obat
Tes toksikologi kuantitatif
Terapi
Prinsip terdiri atas 4 tahap
Suportif
Penilaian cepat kondisi penderita dengan PAT (pediatric
assessment triangle), kemudian langkah ABC resusitasi harus
segera dilaksanakan untuk mempertahankan pernapasan dan
sirkulasi yang adekuat, sebelum dilakukan penanganan lain
Dekontaminasi (Mencegah Absorbsi Racun Lebih Lanjut)
Mata/kulit
Lepaskan pakaian
Basuh dengan air mengalir
Cuci bagian tubuh yang terpapar dengan air dan sabun selama
10–15 mnt
Jangan menggunakan antidot kimia

172
Terinhalasi
Jauhkan segera dari sumber racun menuju area terbuka yang
mengandung banyak O2 bebas dan bila perlu pernapasan buatan
Suntikan/gigitan ular
Pasang tourniquet di bagian proksimal, kompres dingin, dan
penderita diimobilisasi
Tertelan
Pengosongan lambung
Perangsangan muntah
Indikasi
Racun sangat toksik dalam jumlah membahayakan
Menelan racun <4 jam
Anak sadar dan kooperatif
Kontraindikasi
Menelan zat racun dengan kadar toksis minimal
Sudah memuntahkan racun
Usia <6 bl
Keracunan zat korosif, hidrokarbon
Penderita tidak sadar, kejang
Tidak ada refleks muntah
Cara
Stimulasi faring
Sirup ipekak: dosis 10 mL untuk bayi 6–12 bl, 15 mL
untuk 1–12 th, dan 30 mL untuk anak yang
lebih besar). Tidak boleh diberikan pada
anak <6 bl. Pemberian dapat diulang sekali
dalam 20 mnt
Bilas lambung
Indikasi
Penderita yang tertelan racun dalam jumlah yang
potensial mengancam jiwa
Kontraindikasi
Tidak ada proteksi saluran respiratori
Risiko perdarahan atau perforasi saluran cerna
Tertelan zat korosif/hidrokarbon
Aritmia jantung
Cara
Posisi left lateral head down (20° dari permukaan meja)
Pipa nasogastrik ukuran terbesar yang dapat masuk
Aspirasi isi lambung sebelum cairan pembilas
dimasukkan
Gunakan larutan garam fisiologis hangat 10–20 mL/kgBB
(50–100 mL pada anak kecil dan 150–200 mL pada
remaja), dapat diulang sampai cairan bersih
Penyulit
Desaturasi oksigen, aspirasi pneumonia, trauma meka-
nik, gangguan keseimbangan elektrolit
Arang aktif
Meminimalkan absorbsi obat dengan penyerapan
Efektif dalam jam pertama sesudah racun tertelan

173
Tabel 52 Dosis Arang Aktif
Usia (th) Dosis (g) Pelarut Air (mL)
Dewasa 50–100 200
12 35–75 150
10 30–65 120
7 25–50 100
3 15–30 65
1 12,5–25 50
Sumber: Cantwell dan Weisman 2008

Bubuk arang aktif dikocok dengan air sampai larut


Dosis: 1–2 g/kgBB/dosis (maks. 100 g) p.o./pipa nasogastrik
diberikan sesudah pengosongan lambung, paling baik
dalam jam pertama keracunan
Irigasi usus (whole bowel irigation/WBI)
Penggunaannya masih kontroversi
Indikasi
Keracunan logam berat, zat besi, tablet lepas lambat atau
enteric-coated, dan kokain
Kontraindikasi
Kelainan usus dan obstruksi usus
Cara
Menggunakan cairan nonabsorbable hypertonic solution
(polyethylen glycol-balanced electrolyte solution/PEG-ES)
dalam jumlah besar dan aliran cepat
Dosis: 500 mL/jam (usia 9 bl–6 th), 1.000 mL/jam (usia 6–12
th), dan 1.500–2.000 mL/jam (remaja dan dewasa)
Katartik
Indikasi
Bila perangsangan muntah/bilas lambung merupakan
kontraindikasi
Menelan preparat lepas lambat atau tablet salut selaput
Kontraindikasi
Menelan zat korosif
Bising usus (−)
Disfungsi ginjal atau gangguan elektrolit
Anak kecil/neonatus
Dosis
Mg/Na sulfat: 250 mg/kgBB/dosis p.o.; atau
Mg sitrat: 4 mL/kgBB/dosis p.o.; atau
laktulosa
diikuti dengan arang aktif

174
Tabel 53 Dosis Laktulosa
Usia (th) Dosis (mL)
Dewasa 15–45
7–14 15
1–6 5–10
<1 5
Sumber: Cantwell dan Weisman 2008

Meningkatkan Ekskresi Racun


Perangsangan diuresis
Dialisis peritoneal/hemodialisis
Hemoperfusi
Arang aktif dosis multipel (multiple-dose activated charcoal/
gastrointestinal dialysis)
Dosis: 0,5–1 g/kgBB, diulang setiap 4–6 jam
Syarat: peristaltik aktif, terdapat refleks muntah, jalan napas
terlindungi
Dipertimbangkan pada keracunan fenobarbital, karbamazepin,
fenitoin, digoksin, salisilat, dan teofilin
Untuk mencegah obstipasi, tiap 3 siklus diberi katartik (misalnya
sorbitol)

Antidot Spesifik
Hanya tersedia untuk beberapa jenis racun (10%)
Dapat → efek toksik serius, karena itu penggunaannya dibatasi
pada keracunan berat/jenis racun yang diketahui pasti, misalnya:
Organofosfat: atropin
Jengkol: Na bikarbonat
Singkong/sianida: Na nitrat 3% + Na tiosulfat 25%

Bibliografi
1. Akhtar S, Rani GR, Al-Anezi F. Risk factors in acute poisoning in
children-a retrospective study. Kuwait Med J. 2006;38:33–6.
2. Cantwell GP, Weisman RS. Poisoning. Dalam: Nicholas DG,
penyunting. Rogers’ textbookof pediatric intensive care. Edisi
ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm.
441–65.
3. Cieslak TJ, Henretig FM. Biologic and chemical terrorism. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman
RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2581–9.
4. Hegenbard MA, Wasserman GS. Gastric lavage. Dalam: King C,
Henretig FM, penyunting. Textbook of pediatric emergency
procedures. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2008. hlm. 1166–71.

175
5. Riordan M, Rylance G, Berry K. Poisoning in children 1: general
management. Arch DisChild. 2002;87:392–6.
6. Rumack BH, Dart RC. Posioning. Dalam: Hay WW, Levin MJ,
Soundheimer JM, Deterding RR, penyunting. Current pediatric
diagnosis & treatment. Edisi ke-19. New York: McGraw-Hill;
2009. hlm. 313–38.

KERACUNAN ALKOHOL
Batasan
Keadaan timbulnya penurunan kesadaran sesudah menelan alkohol,
yang akan menekan kemampuan hepar memproduksi glukosa.
Keracunan alkohol akan meningkatkan kerentanan terhadap
hipoglikemia
Etiologi
Produk yang mengandung alkohol: kadar etanol pada obat pencuci
mulut (mouthwash), cologne, dan aftershave; obat batuk, perasa
kimia
Diagnosis
Riwayat meminum cairan mengandung alkohol
Jenis alkohol dan berapa banyak alkohol yang diminum
Dugaan obat-obatan lain yang dikonsumsi (mariyuana, kokaina,
amfetamin, benzodiazepin)
Bau napas yang khas
Iritasi gaster, muntah
Hipotermia, hipoglikemia pada anak yang lebih kecil
Depresi miokardia; hipotensi akibat vasodilatasi
Gejala klinis yang timbul berdasarkan konsentrasi alkohol dalam
darah adalah gangguan koordinasi motorik kasar (20–50 mg/dL),
penurunan konsentrasi dan reaktivitas (50–100 mg/dL), gangguan
keseimbangan (100–150 mg/dL), stupor (150–250 mg/dL), penu-
runan kesadaran (300 mg/dL), dan gagal napas (400 mg/dL)
Cathenol = A × p × 0,01 × 0, 8 → A = Cathecol × V × Lg
V x Lg p × 0,01 × 0,8
Cathecol: konsentrasi etanol (mg/L atau %)
A : jumlah alkohol dalam produk yang dikonsumsi (mL)
P : konsentrasi alkohol dalam produk (%)
0,08 : relative density ethanol
V : volume distribusi (L/kgBB) untuk anak 0,7 L/kgBB
Lg : berat badan

Pemeriksaan Penunjang
Gula darah sewaktu
SGOT/SGPT
176
AGD (asidosis metabolik ditemukan pada 28,8% penderita)
Kadar elektrolit
Kadar etanol dalam darah
Osmolitas serum
Pemeriksaan urin
EKG
Terapi
ABCs, oksigen
Terapi suportif
Berikan glukosa jika tetap hipoglikemia
Pantau kadar etanol, glukosa, profil metabolik dasar, osmolalitas
serum
Bilas lambung. Penggunaan arang aktif tidak dianjurkan, karena
etanol diresorpsi cepat, sehingga dapat meningkatkan aspirasi
Tujuan tatalaksana jangka panjang
Mencegah intoksikasi berulang
Perubahan perilaku terutama remaja mengenai penggunaan
alkohol
Mendeteksi komorbiditas psikologi
Bibliografi
1. Aehlert B. Mosby’s comprehensive pediatric emergency care.
Edisi revisi. St. Louis: Mosby; 2007.
2. Bouthoorn SH, van Hoof JJ, van der Lely N. Adolescent alcohol
intoxication in Dutch hospital centers of pediatrics:
characteristics and gender differences. Eur J Pediatr. 2011 Aug;
170(8):1023–30.
3. Tõnisson M, Tillmann V, Kuudeberg A, Lepik D, Väli M. Acute
alcohol intoxication characteristics in children. Alcohol Alcohol.
2013;48(4);390–5.
4. van Zanten E, van Hoff JJ, van der Lely N. A New Approach in
Adolescent Alcohol Intoxication – Clinical Pediatric Experience
and Research Combined, Complementary Pediatrics. March 16,
2012 [diunduh 25 September 2014]. Tersedia dari:
http://www.intechopen.com/books/complementary-pediatrics/a
-new-approach-in-adolescent-alcohol-intoxication-clinical-pediat
ric-experience-and-research-combine.

KERACUNAN JENGKOL
Batasan
Keadaan gejala disuria, hematuria, dan kadang oliguria atau anuria
yang timbul sesudah makan jengkol
Etiologi
Asam jengkol
177
Diagnosis
Riwayat makan jengkol
Sakit perut, muntah, nyeri suprapubis, dan disuria
Serangan kolik saat berkemih
Napas/urin berbau jengkol
Oliguria atau anuria
Hematuria (mikroskopik atau makroskopik)
Ditemukannya kristal asam jengkol dalam urin

Pemeriksaan Penunjang
Urin lengkap
Tes fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
AGD
Pencitraan ginjal dan saluran kemih, bila diduga ada tanda obstruksi
akut (foto polos abdomen, USG, IVP)

Penyulit
Gangguan ginjal akut (GgGA)
Hidronefrosis akibat obstruksi akut
Asidosis metabolik

Terapi
Kasus ringan
Minum banyak
Tablet Na bikarbonat 1 mg/kgBB/hr atau 1–2 g/hr
Kasus berat
Dirawat/ditangani sebagai kasus GGA
Bila terjadi retensi urin → segera kateterisasi dan buli-buli dibilas
dengan bikarbonat 1,5%
Pada oliguria → infus cairan dekstrosa 5% + NaCl 0,9% (3:1)
Pada anuria → dekstrosa 5–10% (kebutuhan cairan seperti GGA)
Na bikarbonat 2–5 mEq/kgBB dalam dekstrosa 5% per infus selama
4–8 jam
Diuretik dapat diberikan (misal: furosemid 1–2 mg/kgBB/hr)
Bila dengan cara di atas tidak berhasil atau terjadi gagal ginjal →
dialisis peritoneal/hemodialisis

Prognosis
Umumnya baik, mortalitas 6%

Bibliografi
1. Cieslak TJ, Henretig FM. Biologic and chemical terrorism. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman
RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2581–9.
2. Sjamsudin U, Darmansjah I, Handoko T. Beberapa masalah
keracunan jengkol pada anak. Dalam: Hasan R, Tjokoronegoro A,
penyunting. Pengobatan intensif pada anak. Jakarta: FKUI; 1985.
hlm. 21–39.

178
3. Worthley L. Clinical toxicology: part II. Diagnosis and
management of uncommon poisonings. Crit Care Res. 2002;4:
216–30.

KERACUNAN SINGKONG
Batasan
Keadaan timbulnya gejala toksik beberapa jam sesudah makan
singkong

Etiologi
Asam sianida (HCN)

Diagnosis
Gejala awal: kelemahan, malaise, kebingungan, nyeri kepala, pusing,
dan napas pendek
Keadaan lanjut: mual, muntah, hipotensi, kejang, koma, apnea,
aritmia, dan kematian akibat henti jantung paru
(dapat terjadi dalam 1–15 mnt)
Warna merah cherry pada kulit dan merah pada arteri serta vena
retina
Terkadang bau napas seperti almond

Pemeriksaan Penunjang
Darah: analisis gas, saturasi O2 vena, laktat serum
Pemeriksaan kadar sianida jarang dilakukan karena memerlukan
waktu

Penyulit
Asidosis metabolik
Sekuele neurologik

Terapi
Gawat darurat
Pertahankan jalan napas, O2 dan bila perlu lakukan bantuan napas,
atasi koma, hipotensi atau kejang bila ada
Pasang infus, monitor tanda vital dan EKG dengan ketat
Spesifik
Sambil menunggu akses vena, dapat diberikan amil nitrit per
hirupan. Segera berikan Na nitrit 3% 0,3 mL/kgBB atau 10 mg/kgBB
(maks. 10 mL) i.v. perlahan-lahan → Na tiosulfat 25% 1,6 mL/kgBB
(400 mg/kgBB) sampai 50 mL (12,5 g) i.v. dalam 10 mnt.
Pemberian harus hati-hati karena dapat menyebabkan hipotensi
Dekontaminasi
Di luar rumah sakit: arang aktif
Di rumah sakit: segera pasang pipa nasogastrik, bilas lambung dan
berikan arang aktif
179
Bibliografi
1. Cieslak TJ, Henretig FM. Biologic and chemical terrorism. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman
RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2581–9.
2. Geller RJ, Barthold J, Saiers JA, Hall AH. Pediatric cyanide
poisoning: causes, manifestations, management, and, unmet.
Pediatrics. 2006;118:2146–58.

KERACUNAN TEMPE BONGKREK


Batasan
Keadaan terdapat gejala kelumpuhan saraf kranialis yang bersifat
progresif dan desendens sesudah memakan tempe bongkrek

Etiologi
Terkontaminasinya bahan tempe bongkrek oleh Clostridium
botulinum atau Bacterium cocovenas akan mengubah gliserin
menjadi racun toksoflavin

Diagnosis
Gejala timbul 12–48 jam sesudah makan tempe bongkrek
terkontaminasi
Gejala awal: sakit tenggorokan, sakit kencing, dan keluhan saluran
cerna
Gejala lanjut: diplopia, ptosis, disartria, dan kelemahan saraf krania-
lis lainnya, diikuti dengan paralisis desendens progresif
dan akhirnya henti napas
Mental tetap baik, sensorik baik
Pupil dilatasi dan refleks cahaya (−)/normal
EMG: konduksi normal, potensi aksi motor ↓

Diagnosis Banding
Miastenia gravis
Sindrom Guilland Barre

Pemeriksaan Penunjang
EMG
Pungsi lumbal (bila diduga infeksi intrakranial)
Toksin dalam serum/feses jarang dilakukan karena memerlukan
waktu

Penyulit
Kelemahan otot pernapasan → henti napas mendadak

180
Terapi
Gawat darurat
Pertahankan jalan napas (bila perlu bantuan napas)
Observasi ketat gagal napas karena dapat terjadi henti napas tiba-
tiba
Spesifik
Antitoksin botulisme
Guanidin hidroklorid 15–35 mg/kgBB/hr dalam 3 dosis (berguna
untuk menghilangkan blokade neuromuskular)
Dapat diberikan atropin sulfat beserta larutan glukosa i.v.
Pemberian glukosa i.v. sebaiknya disertai dengan pemberian
larutan garam fisiologis dan plasma, serta diberikan secepatnya
Dekontaminasi
Dekontaminasi lambung dengan bilas lambung, pemberian katartik
Prognosis
Buruk bila paralisis otot pernapasan (karena tidak dapat diatasi
dengan guanidin hidroklorid)

Bibliografi
1. Cieslak TJ, Henretig FM. Biologic and chemical terrorism. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman
RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2581–9.
2. Worthley L. Clinical toxicology: part II. Diagnosis and
management of uncommon poisonings. Crit Care Res. 2002;4:
216–30.

KERACUNAN MINYAK TANAH


Batasan
Keadaan timbulnya gejala gangguan napas sesudah tertelan atau
teraspirasi minyak tanah
Etiologi
Senyawa hidrokarbon golongan alifatik
Diagnosis
Riwayat menelan minyak tanah
Gejala awal aspirasi ke paru: batuk, rasa tercekik dikuti takikardia dan
takipnea. Dalam waktu 6 jam timbul merintih, pernapasan cuping
hidung, retraksi, dan mengi
Gejala akibat tertelan: mual, muntah, diare, dan nyeri perut
Gejala SSP: somnolen, sakit kepala, kebingungan
Foto Rontgen toraks: gambaran pneumonitis
Hemolisis, hemoglobinuria, demam, dan leukositosis

181
Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen toraks
Penyulit
Pneumonia aspirasi
Edema paru akut
Sindrom distres pernapasan akut
Gangguan keseimbangan asam-basa
Terapi
Gawat darurat
O2 lembap bila ada tanda kelainan paru (bila perlu bantuan napas).
Bila kelainan paru cukup berat, sebaiknya rawat di PICU
Atasi bronkospasme dengan bronkodilator (nebulizer)
Suportif
Tanpa kelainan klinis/radiologik → observasi min. 4 jam
Bila foto Rontgen toraks ulangan sesudah 4 jam normal → boleh
pulang
Antibiotik: pneumonia berat dengan febris atau leukositosis,
gangguan gizi, dan penyakit paru sebelumnya atau
defisiensi imun
Kortikosteroid tidak bermanfaat untuk ↓ kerusakan paru
Dekontaminasi
Tidak perlu, karena pengosongan lambung → risiko aspirasi ↑
Pengosongan lambung hanya dilakukan pada zat yang mempunyai
potensi untuk menimbulkan efek toksis sistemik (contoh:
halogenated hydrocarbon (trichloroethane, carbon), hidrokarbon
aromatik (toluene, xylene, benzene), dan bila mengandung zat
aditif (logam berat dan insektisida)
Bibliografi
1. Cantwell GP, Weisman RS. Poisoning. Dalam: Nicholas DG,
penyunting. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Edisi
ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm.
441–65.
2. Cieslak TJ, Henretig FM. Biologic and chemical terrorism. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman
RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2581–9.
3. Riordan M, Rylance G, Berry K. Poisoning in children 1: general
management. Arch Dis Child. 2002;87:392–6.
4. Rumack BH, Dart RC. Posioning. Dalam: Hay WW, Levin MJ,
Soundheimer JM, Deterding RR, penyunting. Current pediatric
diagnosis & treatment. Edisi ke-19. New York: McGraw-Hill;
2009. hlm. 313–38.

182
KERACUNAN INSEKTISIDA
Batasan
Keadaan terdapat gejala gangguan cerna, susunan saraf pusat/
simpatis sesudah menelan, terinhalasi atau kontak kulit lama dengan
insektisida
Etiologi
Fosfat organik: malation, paration
Chlorinated hydrocarbon: aldrin, endrin, DDT

FOSFAT ORGANIK
Diagnosis
Riwayat terpajan insektisida
Toksisitas terjadi dalam 12 jam sesudah terpapar
Manifestasi Klinis
Gejala SSP: sakit kepala, ataksia, kejang, koma
Tanda nikotinik: muscle twitching, kelemahan otot, paralisis dan
tremor, berkeringat
Tanda muskarinik: salivation, lacrimation, urination, defecation,
gastrointestinal cramp, emesis (SLUDGE),
berkeringat
Miosis, bradikardia, bronkorea, bronkospasme
Aktivitas pseudokolinesterase plasma dan asetilkolin eritrosit ↓
Edema paru pada kasus berat
Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran aktivitas pseudokolinesterase plasma dan asetilkolin
esterase eritrosit (bila memungkinkan)
Terapi
Gawat darurat
Pertahankan jalan napas, O2 (bila perlu bantuan napas)
Awasi terjadinya henti napas akibat kelumpuhan otot pernapasan
Atasi pneumonitis hidrokarbon, kejang, atau koma (bila ada)
Observasi min. 6–8 jam untuk menyingkirkan gejala lambat akibat
absorpsi toksin lewat kulit
Spesifik
Atropin sulfat 0,05–0,1 mg/kgBB i.v. (maks. 2 mg), diulang tiap
10–30 mnt sampai terjadi atropinisasi, pertahankan 24–48 jam
atau sampai tidak timbul gejala keracunan lagi
Pada keracunan berat (bila terdapat kelemahan otot dan
twitching) → + pralidoksim 25–50 mg/kgBB dalam 100 mL NaCl
0,9%, selama 30 mnt (dalam keadaan mengancam jiwa, 50% dosis
inisial pralidoksim diberikan dalam 2 mnt dan sisanya dalam 30
mnt) → infus kontinu larutan 1% 10 mg/kgBB/jam pada anak atau
500 mg/jam pada remaja
183
Dekontaminasi
Kulit dan mata
Buka pakaian dan cuci daerah yang terkontaminasi dengan air
Bila mengenai mata, irigasi dengan air atau NaCl fisiologis
Tertelan
Di luar rumah sakit: arang aktif
Di rumah sakit: arang aktif dan katartik

CHLORINATED HYDROCARBON
Diagnosis
Riwayat terpajan dengan insektisida golongan chlorinated
hydrocarbon
Manifestasi Klinis
Mual dan muntah, salivasi, iritabilitas saluran cerna, nyeri perut,
diare
Kebingungan, trauma, koma, kejang, dan depresi pernapasan
Gejala lambat: kejang berulang, aritmia jantung, dan tanda
kerusakan ginjal/hati
Bila terjadi kerusakan ginjal : urea N dan kreatinin ↑
Bila terjadi kerusakan hati : SGOT/SGPT ↑, hipoglikemia, dan
waktu protrombin ↑

Pemeriksaan Penunjang
Cholorinated hyrocarbon serum (bila memungkinkan)
Ureum, kreatinin, SGOT/SGPT, waktu protombin, dan gula darah
EKG

Terapi
Gawat darurat
Pertahankan jalan napas, O2 (bila perlu bantuan napas)
Atasi kejang, koma, dan depresi pernapasan (bila ada)
Aritmia ventrikular → berikan penghambat  (jangan gunakan
epinefrin karena dapat → aritmia)
Monitor EKG, observasi penderita min. 6–8 jam
Kejang → diazepam 0,1–0,3 mg/kgBB i.v.
Dekontaminasi
Kulit dan mata
Lepaskan pakaian dan cuci kulit yang terkontaminasi dengan
sabun dan air. Bila mengenai mata, irigasi dengan air atau NaCl
0,9%
Tertelan
Pengosongan isi lambung
Susu atau produk yang mengandung lemak harus dihindarkan

184
Bibliografi
1. Aardema HMJ, Ligtenberg JJM, Peters-Polman OM, Tulleken JE,
Zijlstra JG. Organophosphorus pesticide poisoning: cases and
developments. Nether J Med. 2008;66:149–53.
2. Cieslak TJ, Henretig FM. Biologic and chemical terrorism. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman
RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2581–9.
3. Riordan M, Rylance G, Berry K. Poisoning in children 1: general
management. Arch Dis Child. 2002;87:392–6.
4. Rumack BH, Dart RC. Posioning. Dalam: Hay WW, Levin MJ,
Soundheimer JM, Deterding RR, penyunting. Current pediatric
diagnosis & treatment. Edisi ke-19. New York: McGraw-Hill;
2009. hlm. 313–38.

KERACUNAN SALISILAT
Diagnosis
Kombinasi alkalosis respiratorik dan asidosis metabolik merupakan
gejala patognomonik
Hipoglikemia atau hiperglikemia
Keracunan ringan (150–300 mg/kgBB): gangguan saluran cerna,
tinitus, dan takipnea
Keracunan sedang (300–500 mg/kgBB): demam, diaforesis, dan
agitasi
Keracunan berat (>500 mg/kgBB): disartria, koma, kejang, edema
paru, kematian

Pemeriksaan Penunjang
Kadar salisilat serum
Elektrolit, AGD
Tes fungsi hati
Darah rutin, aPTT, PT
Urinalisis
EKG

Terapi
Suportif
Ventilasi, pemantauan jantung dan akses vaskular, koreksi gang-
guan cairan dan elektrolit
pH darah dipertahankan 7,45–7,5 dengan pemberian Na
bikarbonat
Penambahan kalium pada cairan i.v.
Dekontaminasi
Dekontaminasi saluran cerna pada penderita yang datang 4–6 jam
sesudah tertelan salisilat → bila datang sesudah 6 jam, beri arang
aktif

185
Meningkatkan ekskresi racun
Alkalinisasi urin
Hemodialisis pada kasus berat

Bibliografi
1. Cantwell GP, Weisman RS. Poisoning. Dalam: Nicholas DG,
penyunting. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Edisi
ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm.441–
65.
2. Chyka PA EA, Christianson G, Wax PM, Booze LL, Manoguerra AS,
Caravati EM, dkk. Salicylate poisoning: an evidence-based
consensus guideline for out-of-hospital management. Clin
Toxicol. 2007;45:95–131.
3. Cieslak TJ, Henretig FM. Biologic and chemical terrorism. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman
RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2581–9.
4. O’Malley GF. Emergency department management of the
salicylate-poisoned patient. Emerg Med Clin N Am. 2007;25:333–
46.

186
SEDASI DAN ANALGESIA

Batasan
Sedasi adalah tidak dirasakannya sensasi nyeri atau rangsang hebat.
Sedasi bertujuan menghilangkan rasa takut dan kecemasan, efek
potensiasi terhadap analgesia, dan mengurangi ingatan traumatis.
Keuntungan sedasi antara lain memperkuat efek analgesia,
mengurangi laju metabolisme dan kebutuhan oksigen, gangguan pola
tidur, serta daya ingat penderita terhadap intervensi medis tidak
menyenangkan
Analgesia yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri tanpa
melakukan intervensi pada tingkat kesadaran. Perubahan tingkat
kesadaran mungkin terjadi akibat efek samping obat analgesia

Tingkatan Sedasi
Sedasi minimal (ansiolisis)
Suatu kondisi yang dipengaruhi obat, penderita masih berespons
normal terhadap perintah verbal. Fungsi kognitif dan koordinasi
terpengaruh, tetapi obat tidak memengaruhi refleks saluran
respiratori, fungsi ventilasi, dan kardiovaskular
Sedasi menengah (dahulu disebut sedasi sadar/conscious sedation)
Penurunan kesadaran diinduksi obat, masih dapat merespons
perintah verbal atau rangsang taktil minimal. Tidak perlu intervensi
untuk mempertahankan saluran respiratori. Fungsi kardiovaskular
perlu dipertahankan
Sedasi disosiatif
Status kataleptis menyerupai kondisi ‘trans’ yang diinduksi obat
disosiatif ketamin, ditandai analgesia dalam dan amnesia, retensi
refleks protektif saluran respiratori, napas spontan, serta fungsi
kardiopulmonal
Sedasi dalam
Depresi napas yang diinduksi obat, penderita sulit dibangunkan,
namun berespons terhadap rangsang nyeri. Fungsi ventilasi dapat
terganggu. Penderita perlu bantuan alat untuk mempertahankan
saluran respiratori karena ventilasi tidak adekuat. Fungsi kardio-
vaskular perlu dipertahankan
Anestesia umum
Kehilangan kesadaran yang diinduksi obat, penderita tidak dapat
dibangunkan meskipun diberi rangsang nyeri. Fungsi ventilasi
spontan biasanya terganggu. Penderita membutuhkan bantuan
alat untuk mempertahankan patensi saluran respiratori, serta
bantuan ventilasi tekanan positif akibat depresi ventilasi dan fungsi
neuro-muskular. Fungsi kardiovaskular biasanya terganggu
Prosedur sedasi dan analgesia merupakan suatu teknik pemberian zat
sedatif, analgesia, dan obat disosiatif untuk menginduksi suatu
kondisi agar penderita menjadi toleransi terhadap berbagai prosedur
yang tidak menyenangkan dengan mempertahankan fungsi kardio-
pulmonal

187
Penilaian Sedasi
Skala Ramsay
Tingkat kesadaran dibagi menjadi 6 tingkatan (Tabel 54)
Tabel 54 Skala Ramsay
Tingkatan Deskripsi
1 Penderita sadar, cemas, dan gelisah atau tidur gelisah
atau keduanya
2 Penderita sadar, kooperatif, terorientasi, dan tenang
3 Penderita sadar, berespons hanya terhadap perintah
verbal
4 Penderita mengantuk, respons cepat terhadap ketukan
ringan di glabela atau rangsang suara keras
5 Penderita mengantuk, respons lambat terhadap ketukan
ringan di glabela atau rangsang suara keras
6 Penderita mengantuk, tidak berespons terhadap ketukan
ringan di glabela atau rangsang suara keras
Sumber: Heard dan Fletcher 2011

Sebagian besar intensivis memilih tingkatan sedasi pada kondisi


penderita tetap mengantuk namun mudah untuk dibangunkan. Skor
Ramsay 2–3 merupakan pilihan ideal sebagai titik akhir sedasi

Skala COMFORT
Terdiri atas 8 variabel (masing-masing berisi 5 kategori), yang telah
divalidasi untuk penilaian tingkatan sedasi di PICU. Interpretasi skala
COMFORT yaitu apabila didapatkan nilai 8–16: sedasi dalam, 17–26:
sedasi optimal, 27–40: sedasi inadekuat (Tabel 55)
Tabel 55 Skala COMFORT
Alertness Mean arterial blood pressure
Deeply asleep 1 Tekanan darah di bawah
Lightly asleep 2 baseline 1
Mengantuk 3 Tekanan darah konsisten
Fully awake and alert 4 pada baseline 2
Hyperalert 5 Peningkatan jarang sekitar
Calmness/agitation ≥15% di atas baseline 3
Calm 1 Peningkatan sering sekitar
Slightly anxious 2 ≥15% di atas baseline (>3
Anxious 3 selama periode observasi) 4
Very anxious 4 Peningkatan terus-menerus
Panicky 5 sekitar ≥15% 5
Heart rate Respons respiratori
Denyut jantung di bawah Tidak ada batuk dan tidak
baseline 1 ada pernapasan spontan 1
Denyut jantung konsisten Pernapasan spontan dengan
pada baseline 2 sedikit atau tidak ada
respons ventilasi 2

188
Peningkatan jarang ≥15% di Sesekali batuk atau resistensi
atas baseline (1–3 selama terhadap ventilator 3
periode observasi) 3 Bernapas aktif terhadap
Peningkatan sering sekitar ventilator 4
≥15% di atas baseline (>3 Batuk atau regularly fights
selama periode observasi) 4 ventilator, batuk atau
Peningkatan terus-menerus tersedak 5
sekitar ≥15%) 5 Tonus otot
Facial tension Relaksasi otot total, tidak
Otot fasial relaksasi total 1 ada tonus otot 1
Tonus otot fasial normal, Penurunan tonus otot 2
tidak ada tegangan otot Tonus otot normal 3
fasial yang jelas 2 Peningkatan tonus otot,
Tegangan jelas pada fleksi jari tangan dan kaki 4
beberapa otot fasial 3 Rigiditas otot ekstrim 5
Tegangan jelas pada seluruh Physical movement
otot fasial 4 Tidak ada pergerakan 1
Otot fasial mengerut dan Sesekali dan sedikit
meringis 5 pergerakan 2
Sering, sedikit pergerakan 3
Pergerakan kuat dibatasi
ekstremitas 4
Pergerakan kuat termasuk
torso dan kepala 5
Sumber: Johnson dan Finkel 2006

Penilaian Rasa Nyeri


Penilaian rasa nyeri pada penderita sakit kritis sulit dilakukan karena
tidak dapat mengungkapkan atau berkomunikasi tentang asal nyeri
yang dirasakan. Penderita sakit kritis kurang akurat dalam
mengungkapkan nyeri akibat terpasang intubasi endotrakea, pengaruh
sedasi, dan penurunan kesadaran. Rangsang nyeri dapat disebabkan
berbagai kondisi seperti insisi, drainase, iskemia, inflamasi, edema,
dan prosedur invasif. Klinisi harus dapat mengenali parameter
sensoris, fisiologis, dan perubahan perilaku akibat nyeri, antara lain
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, serta timbul
kecemasan dan penyulit pada penggunaan ventilasi mekanis
Skala nyeri dapat dipakai untuk menentukan tingkatan nyeri. Dua
skala nyeri yang sering dipakai yaitu skala numerik dan Wong-Baker
FACES pain rating scale. Pada skala numerik, digunakan skor 1–10,
10 menggambarkan tingkat nyeri terburuk, dan 0 menggambarkan
tidak ada sensasi nyeri. Skala FACES lebih sesuai diterapkan pada
penderita sakit kritis. Skala ini terdiri atas 5 gambar wajah yang
mengindikasikan tingkatan nyeri, dan penderita tinggal menunjuk
untuk menyatakan wajah mana yang menggambarkan tingkatan
nyeri yang sedang dirasakan. Skala numerik dan FACES dapat dilihat
pada Gambar 25

189
Gambar 25 Wong-Baker FACES Pain Rating Scale
Sumber: Atkinson dkk 2009

Indikasi
Indikasi utama: penggunaan ventilasi mekanis dan berbagai prosedur
baik invasif maupun noninvasif
Beberapa prosedur yang memerlukan sedasi yaitu:
Prosedur noninvasif
Magnetic resonance imaging (MRI)
Computerized tomographic scan (CT-scan)
Berbagai prosedur pencitraan
Terapi radiasi
Elektroensefalografi (EEG)
Prosedur invasif
Aspirasi sumsum tulang dan biopsi
Pungsi lumbal atau pengobatan intratekal
Biopsi hati, ginjal atau tulang
Ganti balutan, perawatan luka, atau debridement luka bakar
Endoskopi, bronkoskopi
Ekokardiografi transesofageal
Torakosentesis atau pemasangan selang dada (chest tube)
Parasentesis, perikardiosentesis
Pemasangan kateter vena sentral
Reduksi fraktur atau pemasangan balutan gips
Aspirasi cairan tubuh dengan panduan USG

Kontraindikasi
Absolut
Hemodinamis tidak stabil yang membutuhkan penanganan segera
(renjatan)
Penolakan penderita atau orangtua atau keluarga yang memiliki
kewenangan memberikan persetujuan
Relatif
Gangguan hemodinamis dan respirasi, jalan napas abnormal,
perubahan sensoris, dan tidak tersedia peralatan untuk pemantau-
an efek simpang
Strategi
Sebelum memulai sedasi harus dilakukan penilaian:

190
Keadaan umum
Menilai tipe dan gradasi penyulit yang dapat memengaruhi kondisi
medis penderita menggunakan klasifikasi status fisik berdasarkan
American Society of Anesthesiologist (ASA). Sebagian besar prosedur
sedasi dan analgesia dipakai pada orang sehat (ASA kelas I dan II),
namun masih dimungkinkan bila disertai penyulit (ASA kelas III).
Obat yang sedang dikonsumsi dan alergi obat/makanan perlu
ditanyakan
Jalan napas
Menilai kelainan jalan napas, seperti obesitas berat, leher pendek,
mandibula kecil, obstruksi tonsil, lidah besar, dan trismus
Kardiovaskular
Riwayat penyakit kardiovaskular, karena obat sedasi dan analgesia
sebagian besar memiliki efek vasodilatasi dan hipotensi
Pernapasan
Penyakit paru aktif, terutama tipe obstruktif dan infeksi saluran
respiratori akut perlu diwaspadai karena risiko mengalami spasme
laring
Gastrointestinal
Waktu makan terakhir diperhitungkan untuk mencegah aspirasi.
Untuk prosedur elektif, pengosongan lambung dari cairan 2–3 jam
sebelum tindakan dan 4–8 jam untuk makanan padat
Rekomendasi tidak memberikan makan (non per os/NPO) pada
bayi dan anak yaitu:
Bayi prematur atau neonatus: NPO-susu 2 jam sebelum sedasi
Usia 1–5 bl : NPO-susu/makanan padat 4 jam sebelum sedasi
Usia 6–36 bl : NPO-susu/makanan padat 6 jam sebelum sedasi
Usia >36 bl : NPO-susu/makanan padat 8 jam sebelum sedasi
Hepar/ginjal
Implikasi terjadinya keterlambatan metabolisme atau ekskresi
obat sedasi dan analgesia pada bayi berusia <6 bl akibat gangguan
fungsi hati dan ginjal perlu diwaspadai

Tatacara Pemberian Obat Sedasi


Jalur oral/rektum
Paling baik digunakan untuk pramedikasi sebelum dilakukan sedasi
i.v. atau prosedur medis singkat seperti CT-scan. Untuk prosedur
lebih lama, pemberian sedasi sebaiknya menggunakan jalur i.v.
Jalur i.v./i.m.
Sedasi i.v. diberikan dengan dua cara yaitu infus kontinu dan bolus
i.v. Infus kontinu lebih baik dalam mempertahankan stabilitas
sedasinya

Obat Analgesik dan Sedasi


Sampai saat ini tidak ada obat tunggal yang efektif untuk semua
penderita atau memenuhi kriteria ideal obat sedasi. Obat analgesia
dan sedasi harus diberikan secara hati-hati dengan dosis per kilogram
berat badan

191
Tabel 56 Obat Analgesik dan Sedasi pada Penderita yang
Membutuhkan Analgesia
Obat Dosis Catatan
Morfin Bolus i.v.; <60 kg: 100–200 µg/kgBB
Potensial
>60 kg: 5–10 mg pelepasan
Infus i.v.; <60 kg: 10–60 histamin,
µg/kgBB/jam pertimbangkan
>60 kg: 0,8–3 mg/jam penurunan dosis
pada gangguan
ginjal dan hati
Fentanil Bolus i.v.; <60 kg: 1–2 µg/kgBB Onset cepat,
>60 kg: 50–200 µg/jam waktu paruh
Infus i.v.; <60 kg: 4–10 µg/kgBB/jam eliminasi panjang,
>60 kg: 25–100 µg/jam terutama setelah
penggunaan lama
Parasetamol <60 kg:10–15 mg/kgBB/4 jam Dapat per rektum
>60 kg: 650–1.000 mg/4 jam
Dosis harian maks.
<3 bl: 60 mg/kgBB/hr
3 bl–12 th: 90 mg/kgBB/hr
>12 th: 4 g/hr
Ibuprofen <60 kg: 6–10 mg/kgBB/6 jam Hati-hati pada
>60 kg: 200–600 mg/6 jam penyakit ginjal,
Dosis harian maks. retensi air,
<60 kg: 30 mg/kgBB/hr perdarahan
>60 kg: 2,4 g/hr gastrointestinal

Midazolam Bolus i.v.; <60 kg: 0,1–0,2 mg/kgBB Masalah dengan


>60 kg: 5 mg toleransi dan
Infus i.v.; <60 kg: 2–10 µg/kgBB/mnt withdrawal
>60 kg: 5–15 mg/jam syndrome
Klonidin Infus i.v.; 0,1–2 µg/kgBB/jam Withdrawal
NG: 1–5 µg/kgBB/8 jam syndrome; hindari
henti tiba-tiba
Kloral hidrat NG: 20–50 mg/kgBB/4–6 jam, Sedikit iritasi
maks. 2 g/dosis lambung
Dosis harian maks. 200 mg/kgBB/hr
Prometazin NG; 1–2 mg/kgBB/6 jam, Hati-hati pada
maks. 50 mg/dosis neonatus
Alimemazin NG: 2–4 mg/kgBB/6 jam, Hindari pada gagal
maks. 90 mg/dosis ginjal dan hati
Sumber: Playfor 2008

Opioid dan benzodiazepin tetap menjadi pilihan utama untuk sedasi.


Beberapa alternatif obat sudah tersedia termasuk anestesi inhalasi,
nitrous oxide, ketamin, propofol, dan barbiturat

192
Strategi tatalaksana nyeri menurut WHO atau yang dikenal dengan
The Analgesic Ladder merupakan tiga langkah kerangka pemikiran
untuk mengatasi rasa nyeri secara rasional. Langkah pertama secara
spesifik menggunakan analgesia nonopioid (obat antiinflamasi
nonsteroid) untuk nyeri ringan. Langkah kedua merekomendasikan
opioid lemah, dengan atau tanpa nonopioid untuk nyeri menengah
atau sedang. Langkah ketiga merekomendasikan opioid kuat, dengan
atau tanpa nonopioid untuk nyeri yang sangat kuat. Obat yang biasa
digunakan untuk sedasi penderita di PICU dapat dilihat pada Tabel 59
Pemantauan Pemakaian Sedasi dan Analgesia
Sebelum dilakukan sedasi, diperiksa tanda vital awal. Pemantauan
dasar pada penderita dalam pengaruh sedasi meliputi tingkat
kesadaran, pernapasan dan patensi jalan napas, irama nadi dan
denyut jantung, oksigenasi dan perfusi, serta nyeri dan kecemasan/
gelisah. Faktor lainnya seperti efek samping obat sedasi dan analgesia
serta faktor lingkungan seperti suhu kamar juga perlu dipantau
Pemantauan sedasi ringan (ansiolisis)
Fungsi respirasi, dan kardiovaskular, serta refleks tidak terganggu,
pemantauan hanya dilakukan pada tanda vital
Pemantauan pada tingkat sedasi lebih dalam.
Pemantauan tanda vital, tekanan darah, dan saturasi perifer
dengan pulse oxymetri. Kapnografi merupakan baku emas untuk
pemantauan ventilasi, lebih sensitif dibandingkan dengan pulse
oxymetry
Semua anak yang telah mendapat prosedur sedasi dan analgesia
perlu dipantau hingga tidak terdapat risiko depresi kardiopulmonal.
Sebelum dipulangkan dari fasilitas kesehatan, kesadaran harus pulih
dan orientasi terhadap lingkungan sekitar baik, serta tanda vital harus
stabil. Untuk menilai secara objektif, dapat digunakan Sistem Skor
Aldrete Recovery yang telah dimodifikasi (Tabel 57)
Tabel 57 Sistem Skor Aldrete Recovery Modifikasi (Pascaprosedur
Sedasi Analgesia)
Kriteria Nilai Kriteria Nilai
Tanda vital Saturasi Oksigen
Stabil 1 90–100% 2
Tidak stabil 0 90–94% 1
Pernapasan <90% 0
Normal 2 Warna Kulit
Dangkal/takipnea 1 Pink/kembali ke asal 2
Apnea 0 Pucat 1
Tingkat kesadaran Sianosis 0
Sadar, terorientasi/pulih ke asal 2 Aktivitas
Kesadaran berkabut, agitasi 1 Bergerak menurut
Tidak responsif 0 perintah/kembali ke asal 2
Bergerak hanya ekstremitas,
berjalan tidak terkoordinasi 1
Tidak ada gerak spontan 0

193
Skor Sedasi Tindakan
>8 Pulang bila semua skor >0, skor total 8
7–8 Monitor tanda vital tiap 20 mnt
4–6 Monitor tanda vital tiap10 mnt
0–3 Monitor tanda vital tiap 5 mnt, dan
evaluasi lebih lanjut sesuai kebutuhan
Sumber: Green dan Krauss 2008

194
Tabel 58 Teknik Sedasi pada Berbagai Prosedur Invasif dan Noninvasif pada Anak
Prosedur Teknik Sedasi dan Keterangan
Diagnostik Analgesia
Noninvasif
Magnetic resonance imaging <4 bl: sebaiknya tanpa sedasi, pemeriksaan dilakukan Kloral hidrat:
(MRI), computerized saat mengantuk setelah kenyang Dosis awal:
tomographic scan (CT-scan), Bila dibutuhkan sedasi: kloral hidrat 3–6 bl : 25 mg/kgBB
dan USG 4 bl–5 th: agen sedatif oral potensi ringan: kloral 6–12 bl: 50 mg/kgBB
Berbagai prosedur pencitraan hidrat, trimeprazin, midazolam, droperidol, >12 bl : 75 mg/kgBB
Terapi radiasi klonidin, pentobarbital Dapat dinaikkan dengan dosis separuh
Elektroensefalografi (EEG) dosis awal. Jika masih tidak adekuat,
dianggap gagal, perlu anestesi umum
Midazolam: lihat Tabel 59
Trimeprazin: 2 mg/kgBB/dosis
195

Droperidol: 0,1 mg/kgBB/dosis


Pentobarbital: lihat Tabel 59
Klonidin: lihat Tabel 59
Invasif
Aspirasi sumsum tulang dan Anestesi umum (tidak menimbulkan nyeri) Dosis obat lihat Tabel 59
biopsi Sedasi pilihan lain: midazolam, ketamin, anestesi lokal
(topikal, infiltrasi)
Pungsi lumbal atau peng- Neonatus (cegah hiperfleksi leher saat dilakukan EMLA patch ditempelkan pada area
obatan intratekal prosedur) pungsi lumbal 1 jam sebelum tindakan
Menghisap sukrosa atau dekstrosa 25% melalui Anestesi infltrasi:
empeng disuntikkan ke dalam medula spinalis
Anestesi lokal topikal dengan jarum 26G
Anak lebih besar
Persiapan mental: anak diterangkan tujuan dan cara
prosedur yang akan dialami
Anestesi lokal topikal
Midazolam, klonidin, parasetamol
(Inhalasi entonoks)
Anestesi infiltrasi: lignokain 1–2%
Biopsi hati, ginjal atau tulang Anestesi umum—pilihan utama (menghindari trauma
psikis)
Sedasi pilihan lain: midazolam, ketamin, anestesi lokal
(topikal, infiltrasi)
Penggantian balutan, pera- Nonfarmakologis Dosis obat lihat Tabel 56 dan 59
watan luka atau debridement Pengalihan perhatian: sentuhan, belaian, agar anak
pada luka bakar rileks
Analgesia opioid kuat melalui oral, transmukosa,
intranasal
Ketamin: oral, i.v., tunggal atau kombinasi
Beberapa rekomendasi ahli:
196

Parasetamol + ibuprofen + klonidin (oral) ± tilidin


sublingua
Parasetamol + ibuprofen + kodein (oral) ± tilidin
sublingua
Parasetamol + ketamin ± midazolam (oral)
Parasetamol + ibuprofen + midazolam(oral) + tilidin
sublingua
Midazolam + parasetamol + kodein (oral)
Midazolam + parasetamol + morfin (oral)
Midazolam + ketamin + atropin i.v.
Morfin + parasetamol ± midazolam i.v.
Anestesi umum
Kloral hidrat
Klonidin
Fentanil, alfentanil, atau
Remifentanil (kerja singkat)
Endoskopi, bronkoskopi Prosedur lama: anestetis propofol (oleh anestesiologis) Dosis benzodiazepin dan opiat yang
Sedasi dalam: sedatif: midazolam, lorazepam, bila perlu paling minimal untuk sedasi
ditambah penguat sedatif: prometazin, difenhidramin Opioid diberikan sebelum enzodiazepin,
diobservasi efeknya sebelum prosedur
dimulai
Dosis lihat Tabel 59
Fungsi kardiopulmonal dijaga:
oksigenasi, kateter i.v., cairan
resusitasi, siap peralatan intubasi dan
ventilasi tekanan positif
Monitor EKG, tekanan darah dan pulse
oxymetri
Torakosentesis atau pema- Pertimbangkan anestesi umum atau sedasi yang Pencabutan chest tube:
sangan chest tube dikombinasi dengan anestesi infiltrasi (lignokain) Neonatus: mengisap sukrosa atau
197

empeng
Anak besar: opioid, N2O (di OK), obat
antiinflamasi nonsteroid, anestesi
infiltrasi yang memblok saraf
interkosta
Pemasangan kateter vena Sebaiknya anestesi umum Sedasi dalam dengan 2–3 jenis obat
sentral berisiko memengaruhi variabel
hemodinamis: oksigenasi dan end tidal
CO2
Reduksi fraktur atau pema- Bila belum terpasang kateter i.v. dapat diberikan tilidin Dosis obat lihat Tabel 56 atau 59
sangan cast sublingual
Sebaiknya anestesi umum
Beberapa alternatif sedasi yang dapat diberikan:
Anestesi umum + parasetamol i.v.
Ketofol + parasetamol i.v.
Ketamin + parasetamol i.v.
Morfin + parasetamol i.v.
Tilidin + parasetamol i.v. ± ketamin
Anestesi infiltrasi dengan blokade saraf perifer
Aspirasi cairan tubuh dengan Anestesi lokal infiltrasi dengan lidokain Dosis obat lihat Tabel 56 atau 59
panduan USG
Sumber: South African Society of Anaesthesiologists 2010, Murthy 2009

Tabel 59 Obat yang Biasa Digunakan untuk Sedasi di PICU


Obat Keterangan Dosis
Benzodiazepin: Menurunkan central sympathetic output, resistensi vaskular
sistemik. Pemberian secara cepat dapat menurunkan curah
jantung secara tiba-tiba, sehingga pada pemberian bolus harus
198

perlahan, dengan pengawasan ketat fungsi kardiovaskular


Midazolam Onset cepat (2–3 mnt) durasi singkat (1–4 jam). Bila kombinasi Infus: 0,05–0,1 mg/kgBB/jam
dengan opioid dosis harus dikurangi. Waktu paruh paling ditingkatkan hingga maks.
singkat, pemberian infus i.v. kontinu memperpanjang durasi 0,6 mg/kgBB/jam
kerja, pengaruh sedasi menetap sampai 48 jam setelah peng- Dosis tunggal:
hentian obat. Efek samping utama: toleransi, ketergantungan, i.v. 0,03–0,05 mg/kgBB
dan withdrawal setelah penghentian. Bila diberikan dalam Nasal: 0,2–0,4 mg/kgBB
kondisi hipovolemia dapat terjadi hipotensi Oral: 0,5–0,7 mg/kgBB
Rektal: 1 mg/kgBB
Sublingual: 0,2 mg/kgBB
Diazepam Onset 1–2 mnt. Durasi 6–12 jam, waktu paruh 37 jam Dosis bolus mulai 0,03–0,1 mg/kgBB i.v.
Metabolit aktif diazepam, desmethyl diazepam dieliminasi
sangat lambat, dapat menimbulkan oversedasi dengan dosis
berulang
Lorazepam Onset kerja lambat (5–15 mnt), durasi kerja 2–6 jam. Kadar Dosis bolus 0,02–0,06 mg/kgBB i.v.
toksik menimbulkan disfungsi renal, aritmia jantung, kejang, Dosis infus 0,01–0,1 mg/kgBB/jam
hemolisis intravaskular, depresi SSP
Barbiturat: Memengaruhi fungsi kardiopulmonal. Pada orang sehat, dosis
sedatif memiliki efek min. pada pernapasan dan refleks protektif
saluran respiratori, dosis berlebih dapat menimbulkan apnea dan
hipotensi. Depresi kardiovaskular berhubungan dengan
vasodilatasi perifer dan pengaruh langsung inotrop negatif
Short acting: Durasi kerja 5–10 mnt dan biasanya digunakan bolus i.v. untuk Loading: 3–5 mg/kgBB i.v.
Thiopental sodium prosedur singkat seperti intubasi endotrakeal. Infus kontinu Infus: 1–5 mg/kgBB/jam
untuk stabilisasi konsentrasi plasma konstan
Long acting: Kerja lebih lama, waktu paruh 6–12 jam. Pengaruh fisiologi
Pentobarbital menguntungkan termasuk penurunan cerebral metabolic rate Loading: 1–2 mg/kgBB i.v. diikuti oleh
oksigen melalui penurunan cerebral blood flow dan tekanan infus kontinu 1–2 mg/kgBB/jam
199

intrakranial
Fenobarbital Sebagai antikonvulsan, berguna untuk mengatasi status Loading: 20–30 mg/kgBB i.v., rumatan
epileptikus yang tidak responsif terhadap obat lain 3–5 mg/kgBB/hr dibagi 2 kali
Pentobarbital sebagai obat konvensional alternatif untuk pemberian, i.v. bolus
sedasi selama extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).
Memiliki efek inotropik negatif, hati-hati pada gangguan
kardiovaskular. Larutan dalam bentuk alkali (pH 9–11),
sehingga tidak kompatibel pada penggunaan dengan obat lain.
Risiko efek samping kardiovaskular dapat dibatasi dengan cara
pemberian lambat (sekitar 5 mnt) bila dibolus
Opioid: Digunakan sebagai analgesia, juga memiliki efek sedasi, sering
dipilih sebagai lini pertama untuk sedasi di PICU. Lebih tinggi
efikasinya dibandingkan dengan benzodiazepin pada neonatus
dan anak
Morfin Metabolit aktif dieliminasiginjal, hati-hati pada penderita Bolus 0,1–0,2 mg/kgBB, lalu infus 20–60
insufisiensi ginjal µg/kgBB/jam
Menginduksi pelepasan histamin, ditandai bronkospasme,
hipotensi dan rasa gatal, namun tidak kontraindikasi. Hindari
morfin pada penderita renjatan dan bronkospasme berat
Fentanil Opioid semisintetis, onset cepat, jika diberikan dengan dosis Bolus: 1 µg/kgBB i.v.
besar, tidak menimbulkan cardiovascular instability. Fentanil Infus: 1 µg/kgBB/jam i.v.
memiliki kekuatan 100 kali lipat dibandingkan dengan morfin
Pada kondisi yang membutuhkan analgesia jangka panjang dan Terapi nyeri: 1–5 µg/kgBB, infus 1–10
sedasi (misal trauma multipel, luka bakar) disarankan µg/kgBB/jam (efek analgesia kontinu)
meningkatkan infus sampai 10 µg/kgBB/jam untuk memenuhi
efek toleransi. Efek samping yang paling ditakuti: kekakuan Infus 1–5 µg/kgBB/jam efektif pada
dinding dada (bila dosis >5 µg/kgBB). Pengaruh tersebut neonatus yang menggunakan ventilasi
bersifat antagonis dengan infus muscle relaxant dan nalokson mekanis
200

Meperidin Sepuluh kali lebih kuat, onset kerja lebih lambat dibandingkan Dosis 1–2 mg/kgBB i.v.
dengan morfin. Waktu paruh 3–6 jam. Kadang-kadang
menyebabkan penurunan curah jantung, pelepasan histamin,
dan takikardia. Penggunaan meperidin di emergensi dan PICU
sangat terbatas
Metadon Penggunaan metadon meningkat pada terapi dan pencegahan 0,1–0,2 mg/kgBB setiap 4–6 jam, dengan
ketergantungan obat. Hati-hati karena efek kumulatif dapat dosis maks. 10 mg/kgBB
terjadi sedasi jangka lama
Nalokson Merupakan antagonis opioid, digunakan untuk intoksikasi <5 th, BB <20 kg: 0,1 mg/kgBB
opioid. Menyebabkan depresi pernapasan, sedasi, dan >5 th: 2 mg/kgBB
hipotensi melalui kompetensi langsung dengan reseptor miu,
kappa, dan sigma. Onset kerja 20–60 mnt. Dalam penggunaan-
nya penderita harus diawasi dalam 2 jam. Obat dieliminasi
dalam hepar
Ketamin Anestesi disosiatif dengan efek analgesia yang kuat serta 1–2 mg/kgBB i.v. untuk sedasi ringan
menimbulkan amnesia. Walaupun memiliki efek inotropik 2–4 mg/kgBB i.v. untuk sedasi dalam
negatif dan vasodilator, ketamin mempertahankan stabilitas Sedasi pada ventilasi mekanis, bolus
hemodinamik melalui efek simpatis sekunder (pelepasan inisial 10–15 µg/kgBB/mnt, ekskalasi
epinefrin dan norepinefrin). Halusinasi, dapat diminimalisir 40–60 µg/kgBB/mnt
dengan pemberian simultan benzodiazepin (midazolam Analgesia: infus sampai 5 µg/kgBB/mnt
0,1–0,2 mg/kgBB). Kontraindikasi pada penderita tekanan
tinggi intrakranial, (meningkatkan aliran darah ke otak)
Propofol Onset kerja sangat cepat untuk sedasi singkat. Aman pada Loading: 2–3 mg/kgBB i.v.
sedasi jangka pendek sebelum dilakukan prosedur nyeri Infus: 1–4 mg/kgBB/jam
seperti pungsi lumbal dan kardioversi pada penderita dengan
napas spontan. Penggunan ditunda bila terdapat asidosis
metabolik, lipemia, gagal jantung, aritmia, dan henti jantung
(propofol infusion syndrome). Hanya direkomendasikan pada
anak sakit kritis di PICU, jangka pendek dosis rendah
201

Kloral hidrat Durasi kerja 6−8 jam. Onset lambat, dan terbatas penggunaan- Dosis hipnotif 40–75 mg/kgBB p.o. atau
nya pada emergensi dan ICU. Efek samping: iritasi lambung. rektal
Kontraindikasi pada anak risiko perdarahan lambung. Dosis
toksik menyebabkan depresi napas dan gangguan kontrak-
tilitas jantung
Obat sedasi baru:
Klonidin Klonidin diabsorbsi cepat jika diberikan oral dengan waktu Sedasi praoperatif dan analgesia pasca-
paruh 9–12 jam. Dimetabolisme di ginjal dan hati, 50% operatif: dosis tunggal oral 4 mg/kgBB
melewati urin dalam bentuk asal Infus 0,1–0,2 µg/kgBB/jam + midazolam
dosis rendah (50 µg/kgBB/jam) →
sedasi pada ventilasi mekanik
Dexmedetomidine Sedatif dengan kemampuan analgesia kuat, tidak mendepresi Loading dose: 1 μg/kgBB i.v.
pernapasan. Dapat menimbulkan bradikardia, hipotensi, dan Infus: 0,2–0,75 μg/kgBB/jam
vasodilatasi
Eutectic mixture of Krim berisi lidokain dan prilokain, untuk mengurangi nyeri Dioleskan 60 mnt sebelum dilakukan
local anesthetics prosedur perkutaneus tindakan
(EMLA)
202
Bibliografi
1. American Academy of Pediatrics. Committee on Psychosocial
Aspects of Child and Family Health; Task Force on Pain in Infants,
Children, and Adolescents. The assessment and management of
acute pain in infants, children, and adolescents. Pediatrics. 2001
Sep;108(3):793–7.
2. American Medical Association. Module 1 pain management:
pathophysiology of pain and pain assessment. Revised 2010
[diunduh 27 April 2012]. Tersedia dari: http://www.ama-
cmeonline.com/pain_mgmt/printversion/ama_painmgmt_m1.pdf.
3. American Society of Anesthesiologists Task Force on Sedation
and Analgesia by Non-Anesthesiologists. Practice guidelines for
sedation and analgesia by non-anesthesiologists. Anesthesiology.
2002 Apr; 96(4):1004–17.
4. American Society of Anesthesiologists. Continuum of depth of
sedation: definition of general anesthesia and levels of sedation/
analgesia [diunduh 28 April 2012]. Tersedia dari: http://www.
asahq.org/~/media/For%20Members/documents/Standards%20
Guidelines%20Stmts/Continuum%20of%20Depth%20of%20Seda
tion.ashx.
5. Atkinson P, Chesters A, Heinz P. Pain management and sedation
for children in the emergency department. BMJ. 2009 Oct;339:
b4234.
6. Doyle L, Colletti JE. Pediatric procedural sedation and analgesia.
Pediatr Clin North Am. 2006 Apr;53(2):279–92.
7. Eisenberg E, Marinangeli F, Birkhahn J, Paladini A, Varrassi G.
Time to modify the WHO analgesic ladder? IASP Pain: Clinical
Updates. 2005 Des;XVIII(5):1–4.
8. Green SM, Krauss B. Procedural sedation and analgesia. Dalam:
Baren JM, Rothrock SG, Brennan JA, Brown L, penyunting.
Pediatric emergency medicine. Edisi pertama. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2008. hlm. 1119–24.
9. Guidelines for the safe use of procedural sedation and analgesia
for diagnostic and theurapeutic procedures in adults: 2010. S Afr
J Anesthesiol Analg. 2010;16:S1–24.
10. Heard CMB, Fletcher JE. Sedation and analgesia. Dalam: Fuhrman
BP, Zimmerman JJ, Carcillo JA, Clark RSB, Relvas M, Rotta AT,
dkk., penyunting. Pediatric critical care. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011. hlm. 1654–81.
11. Helms JE, Barone CP. Physiology and treatment of pain. Crit Care
Nurse. 2008 Dec;28(6):39–49.
12. Johnson YJ, Finkel JC. Sedation for procedures and mechanical
ventilation in children with critical illness. Dalam: Slonim AD,
Pollack MM, penyunting. Pediatric critical care medicine.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. hlm. 804–9.
13. Krauss B, Green SM. Procedural sedation and analgesia in
children. Lancet. 2006 Mar;367(9512):766–80.
14. Lago PM, Piva JP, Garcia PC, Sfoggia A, Knight G, Ramelet AS, dkk.
Analgesia and sedation in emergency situations and in the
pediatric intensive care unit. J Pediatr (Rio J). 2003 Nov;79(Suppl
2):S223–30.
203
15. Mejia R, Fields A, Greenwald BM, Stein F, penyunting. Pediatric
fundamental critical care support. Mount Prospect: Society of
Critical Care Medicine; 2008.
16. Mencia SB, López-Herce JC, Freddi N. Analgesia and sedation in
children: practical approach for the most frequent situations. J
Pediatr (Rio J). 2007 May;83(2 Suppl):S71–82.
17. Murthy TVSP. Sedation guidelines for gastrointestinal endoscopy.
MJAFI. 2009;65:161–5.
18. Playfor SD. Analgesia and sedation in critically ill children. Arch
Dis Child Educ Pract Ed. 2008 Jun;93(3):87–92.
19. Richman PS, Baram D, Varela M, Glass PS. Sedation during
mechanichal ventilation: a trial of benzodiazepine and opiate in
combination. Crit Care Med. 2006 May;34(5):1395–401.
20. South African Society of Anaesthesiologists. Guidelines for the
safe use of procedural sedation and analgesia for diagnostic and
therapeutic procedures in children: 2010. S Afr J Anaesthesiol
Analg. 2010:16(5)(Suppl 1):S1–37.

204
TRANSPOR PENDERITA ANAK SAKIT KRITIS
Tujuan
Memberikan perawatan yang lebih baik dibandingkan dengan
perawatan di tempat sebelumnya baik secara teknis, kognitif maupun
prosedural yang tidak dimiliki di lokasi sebelumnya
Mencegah penderita sakit kritis dari kegawatdaruratan lebih lanjut
Prioritas Penderita
Berdasarkan tingkat kegawatannya, proses transpor penderita
digolongkan menjadi beberapa kategori sebagai berikut
Kode Prioritas 1: Penderita Kritis
Penderita dalam kondisi tidak stabil dan memerlukan pertolongan
segera
Kode Prioritas 2: Emergensi
Kondisi penderita dalam keadaan stabil tetapi terdapat potensi
terjadi gangguan fungsi tubuh
Kode Prioritas 3: Urgent
Penderita dalam kondisi stabil dan tidak ada terapi yang harus
diberikan segera yang akan memengaruhi kualitas hidup penderita
Kode prioritas 4: Tidak Urgent
Penderita dalam keadaan stabil dan tidak ada kegawatan yang
harus ditangani dengan segera
Jenis Transpor
Transpor Intrahospital
Hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan transpor
intrahospital yaitu:
Apakah transpor ini benar-benar diperlukan untuk menentukan
keputusan terapi?
Apa saja persiapan khusus yang diperlukan?
Siapa yang harus mendampingi?
Apa saja peralatan yang dibutuhkan?
Apakah diperlukan obat resusitasi?
Apakah bagian yang akan menerima penderita sudah siap?
Kapan waktu yang disetujui untuk transpor penderita?
Rute mana yang terbaik untuk ditempuh?
Apakah segala peralatan sudah dicek?
Apakah bateraisudah di-charged?
Apakah persediaan suplai oksigen cukup?
Transpor Interhospital
Beberapa alasan medis dilakukannya transpor interhospital,
adalah:
Penderita tidak stabil yang harus distabilkan di rumah sakit
sebelum dikirim ke rumah sakit yang lebih tepat (misalnya
perdarahan akut, resusitasi jantung)

205
Penderita sudah ditriase tetapi tidak optimal dan transpor
penderita masih harus ditunda (misalnya perdarahan intra-
kranial yang tidak terdeteksi)
Penderitasudah ditriase secara optimal tetapi rumah sakit yang
dituju tidak dapat menerima (misalnya karena tidak ada ruang
operasi atau ruang intensif)
Penderita yang memerlukan perawatan khusus (misalnya luka
bakar pada anak)
Kondisi klinis penderita menjadi tidak stabil dan memerlukan
tatalaksana yang lebih spesifik pada tingkat rumah sakit yang
lebih tinggi (misalnya renjatan septik sesudah dilakukan operasi
intraabdominal elektif, ARDS sesudah trauma tumpul dada)
Prinsip Transpor Penderita
Stabilisasi
Semua penderita sakit kritis memerlukan akses vena yang baik
sebelum transpor
Bila diperlukan resusitasi cairan dan obat-obatan inotropik
Semua penderita tidak boleh ditranspor sebelum jalan napas
distabilkan dan pada penderita trauma imobilisasi spinal harus
dilakukan sebelumnya
Selang nasogastrik harus terpasang pada penderita dengan
obstruksi saluran cerna dan kateter Foley harus terpasang untuk
memonitor cairan
Rekam medis penderita dan hasil pemeriksaan laboratorium dan
foto Rontgen harus disertakan bersama penderita
Komunikasi
Komponen komunikasi yang penting dalam melakukan transpor
penderita yaitu:
Pencatatan permintaan bantuan transpor: setiap permintaan
tranpor penderita harus disampaikan dengan baik pada
koordinator transpor
Komunikasi internal: komunikasi di antara tim transpor
Komunikasi eksternal: komunikasi antara tim transpor dengan
sumber daya pendukung seperti polisi dan petugas pemadam
kebakaran
Pemantauan perkembangan diagnosis penderita, terapi, dan
kondisi klinis terbaru harus diinformasikan secara berkala
dengan dokter yang merujuk
Pada transpor intrahospital diperlukan koordinasi dan
komunikasi yang baik antara petugas di ruangan pemeriksaan
dengan perawatan serta antara dokter maupun perawat yang
mengirim dan menerima penderita. Pada transpor interhospital,
dokter yang akan merujuk harus menghubungi dokter di rumah
sakit rujukan dan menerangkan kondisi klinis penderita saat itu,
serta meminta saran stabilisasi selama transportasi

206
Persiapan Personel dan Alat
Personel Medis
Jumlah personel yang dianjurkan dalam mendampingi penderita
sakit kritis yaitu min. 2 orang:
Perawat yang sudah menjalani kompetensi dasar dan sudah
memenuhi standar sebagai perawat sakit kritis
Terapis pernapasan (respiratory therapist), perawat teregistrasi,
atau perawat unit perawatan intensif
Dokter yang bertugas mendampingi dianjurkan sudah mengikuti
pelatihan tatalaksana jalan napas, advance cardiac life support
(ACLS), dan pelatihan perawatan sakit kritis
Peralatan Medis
Peralatan yang digunakan dalam transpor penderita pediatri kritis
pada umumnya bergantung pada kondisi penderita, tetapi minimal
harus terdapat tensimeter, oksimeter nadi, monitor/defibrilator
jantung, peralatan untuk menjaga patensi jalan napas, oksigen,
obat resusitasi, satu set peralatan resusitasi pediatri, dan ventilasi
bag-valve. Peralatan tambahan lainnya yaitu:
Stretcher (tandu)
Ventilasi mekanik portable
Sistem/alat yang memuat jalur infus dan koneksi alat-alat yang
digunakan selama transpor penderita
Monitor tekanan darah, oksimetri, dan monitor irama jantung
yang dilengkapi defibrilator harus tersedia tanpa pengecualian
Obat i.v. kontinu (drip) terjamin selama transpor dengan meng-
gunakan infusion pump atau syringe pump dengan daya baterai
Alat untuk tatalaksana jalan napas sesuai ukuran penderita dan
sumber oksigen
Obat-obatan resusitasi dasar: epinefrin, obat pacu jantung
Obat tambahan seperti sedatif dan analgesik narkotik dapat
disertakan pada kondisi khusus yang diperkirakan akan
digunakan
Protokol medikasi dan cairan infus harus disertakan bersama
penderita bila selama transpor penderita tidak didampingi oleh
dokter
Pemantauan
Pemantauan Selama Transpor Intrahospital
Semua penderita sakit kritis yang membutuhkan transpor harus
dipertahankan kondisi fisiologi dasarnya sebagaimana perawatan
di ICU. Pemantauan setidaknya meliputi pemantauan EKG dan
saturasi kontinu, pengukuran tekanan darah, respirasi, serta nadi
secara periodik

207
Gambar 26 Algoritme Transpor Penderita Intrahospital
Keterangan: garis putus-putus menunjukkan waktu
untuk melakukan pengecekan ulang kondisi penderita
dan alat-alat
Sumber: Fanara dkk. 2010

Penderita yang sudah terintubasi harus mempunyai monitor


bantuan napas. Pada penderita yang menggunakan ventilator
harus disertai dengan alat monitor dan harus terpasang alarm
untuk tanda peringatan bila aliran listrik terganggu atau tekanan
udara yang berlebih
Pemantauan Selama Transpor Interhospital
Selama transportasi harus dilakukan pemantauan terhadap
penderita dan alat-alat
Pemantauan penderita: keadaan umum penderita, stabilitas
hemodinamik, patensi jalan napas, ventilasi adekuat, oksigenasi
yang sesuai
Pemantauan alat-alat: fungsi alarm pada alat-alat pemantau dalam
keadaan aktif, tampilan tanda vital penderita pada layar monitor
terlihat jelas, apabila penderita terpasang alat-alat drainage
(kateter urin, CTT, dll.) berfungsi dengan baik, dan akses i.v./i.o.
adekuat
Pemantauan hemodinamik berupa pengukuran intermiten tekanan
darah, denyut jantung, respirasi, dan saturasi oksigen

208
Gambar 27 Algoritme Transportasi Antarfasilitas
Sumber: Warren 2004

209
Evaluasi
Pencatatan transpor secara tertulis penting untuk pemantauan
sistem dan perencanaan metode yang lebih baik di kemudian hari.
Data yang dicatat antara lain:
Data demografik
Data klinis
Data operasional untuk menilai penggunaan berbagai tipe
peralatan dan personel dan mengevaluasi berbagai hal seperti
lama perjalanan transfer (apakah penderita sampai di tempat
rujukan sesuai jadwal yang direncanakan), personel yang perlu
diikutkan dalam tim (seberapa sering dibutuhkan terapis
pernapasan)
Diagnosis awal, perjalanan klinis, dan diagnosis akhir
Langkah Transpor Penderita Sakit Kritis
Menilai kondisi klinis penderita, apakah penderita dalam keadaan
stabil
Pertimbangkan keuntungan dan kerugian serta risiko transpor bagi
penderita
Perhitungkan berapa lama waktu untuk mencapai tempat rujukan,
sarana, dan fasilitas yang tersedia di tempat rujukan, serta
kemampuan tenaga medis yang akan menangani penderita
selanjutnya
Menghubungi dan berkomunikasi dengan tempat tujuan transpor,
khususnya dokter dan perawat yang akan menangani selanjutnya
Informed consent keluarga penderita yang akan ditranspor
Tentukan metode transpor yang akan dipilih, pertimbangkan kondisi
klinis penderita, lama perjalanan, kondisi yang memengaruhi proses
transpor, dan biaya transpor
Mobilisasi tim medis yang akan terllibat dalam proses transpor, alat
dan perlengkapan serta obat-obatan yang diperlukan
Persiapan transpor terhadap penderita: pemberian sedasi dan
restraints bila diperlukan
Selama proses transpor harus mengikuti protokol yang sudah
ditentukan, memantau keadaan penderita dan mencatatnya dalam
status medis penderita serta berkomunikasi dengan tempat rujukan
transpor
Evaluasi dan nilai kembali kekurangan dan keberhasilan proses
transpor yang sudah dilakukan
Kendaraan Transpor Penderita
Transpor penderita kritis memerlukan sistem transpor yang
terkoordinasi dan setidaknya ada 1 tim yang selalu siap 24 jam/hr
Target mobilisasi yaitu 15 mnt dari permintaan untuk mentranspor
sampai keberangkatan dari rumah sakit
Hal lain yang tetap harus diperhatikan: koordinasi dan komunikasi
pretranspor, personil tenaga medis, peralatan medis, dan monitor

210
Bibliografi
1. Australian College for Emergency medicine Policy Document.
Minimum standards for intrahospital transport of critically ill
patients. Emergency Medical. 2003;5:202–4.
2. Bureau of Local Health Support and Emergency Medical Services.
Interfacility transport guidelines. Wisconsin: Department of
Health and Family Services; 2006.
3. Fanara B, Manzon C, Barbot O, Desmettre T, Capellier G.
Recommendations for the intra-hospital transport of critically ill
patients. Crit Care Med. 2010;14:R87.
4. Koppenberg J. Interhospital transport: transport of critically ill
patients. Curr Opin Anesthesiol. 2002;15:211–5.
5. Manitoba Health. Priority for patient transport. Emergency
treatment guidelines. Manitoba: Manitoba Health; 2003.
6. Warren J. Guidelines for the inter- and intrahospital transport of
critically ill patients. Crit Care Med. 2004;32:256–62.

211
Endokrinologi
R.M. Ryadi Fadil
Novina
Faisal
KRIPTORKISMUS
(CRYPTORCHIDISM)
Batasan
Gangguan penurunan satu atau kedua testis ke dalam skrotum secara
lengkap
Klasifikasi
True undescended testis: testis mengalami penurunan parsial melalui
jalur normal, tetapi terhenti sebelum masuk ke skrotum. Dibedakan
menjadi teraba (palpable) dan tidak teraba (impalpable)
Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur normal
Testis inguinal: testis teraba pada lipat paha (retensi testis inguinalis)
Gliding testis: testis berada di jalan masuk skrotum atau di atas
skrotum dan dapat ditarik ke dalam skrotum tetapi segera kembali
begitu tarikan dilepas
Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi
akibat refleks kremaster yang berlebihan segera kembali ke kanalis
inguinalis
Etiologi
Belum diketahui pasti
Ditemukan pada kelainan yang melibatkan aksis hipotalamus-
hipofisis-testis
Patofisiologi
Penurunan testis bergantung pada interaksi antara faktor hormonal
dan mekanik (Tabel 60)

Tabel 60 Faktor Hormonal dan Mekanik


Faktor Hormonal Faktor Mekanik
Gonadotropin, LH-FSH Gubernakulum
Testosteron Epididimis
Dihidrotestosteron Tekanan abdominal
Substansi yang menginhibisi saluran Muller

Pada bl ke-3 kehamilan testis berada di dalam fosa iliaka


Pada bl ke-7 kehamilan testis berada di dalam kanalis inguinalis
Pada bl ke-8 kehamilan testis menuju skrotum → pada saat lahir
berada di dalam skrotum
Keberadaan testis di dalam skrotum sangat penting untuk mem-
pertahankan fungsi epididimis dan spermatogenesis, karena suhu
skrotum 1,5–2 °C lebih rendah daripada suhu tubuh

215
Diagnosis
Anamnesis
Testis tidak teraba atau pernah tampak/teraba di dalam skrotum
(retraktil)
Riwayat prematuritas, penggunaan obat-obatan saat ibu hamil,
riwayat operasi inguinal
Riwayat keluarga menderita kriptokismus, infertilitas, kelainan
bawaan genetik, kematian neonatal, dan gangguan perkembangan
mental
Pemeriksaan Fisis
Ada/tidaknya wajah dismorfik atau tanda-tanda sindrom (Kallman,
Klinefelter, Prader Willi)
Pemeriksaan testis: penderita telentang dengan posisi frog leg
atau jongkok
Testis tidak teraba di dalam skrotum uni/bilateral → mungkin
teraba di intrakanalis inguinalis (72%), supraskrotal (20%), atau
intraabdominal (8%)
Agenesis
Testis teraba → di jalur atau di luar penurunan normal
Bila UDT bilateral disertai hipospadia dan undervirilisasi → pikirkan
kemungkinan XX disorder of sex development
Pemeriksaan Penunjang
Apabila testis tidak teraba, perlu dilakukan pemeriksaan penun-
jang untuk menentukan lokasi testis
USG eksplorasi testis
Laparoskopi eksplorasi testis
CT-scanning
Tes human chorionic gonadotropin (HCG)
Terapi
Hormonal (usia 6–12 bl)
Human chorionic gonadotropin (HCG) i.m. selama 5 mgg
Dosis (menurut International Health Foundation dan WHO)
Usia <12 bl : 2 × 250 IU/mgg
1–6 th: 2 × 500 IU/mgg
>6 th : 2 × 1.000 IU/mgg
GnRH intranasal 3x 400 g (1,2 mg/hr) selama 4 mgg
Operasi (orchiopexy) → di atas usia 1 th biasanya sebelum 2 th
Tanpa terapi (testis retraktil)
Bila ditemukan pada bayi baru lahir, tidak langsung diterapi, tetapi
dievaluasi setiap 3 bl. Bila pada usia 6 bl belum ↓ → hormonal
Penyulit
Kesuburan ↓
Keganasan
Torsi testis
Hernia inguinalis
Psikologik

216
Prognosis
Keberhasilan terapi bergantung pada
Posisi testis sebelum terapi
Usia pada saat mulai terapi
Bibliografi
1. Carrillo AA, Damian M, Berkovitz G. Disorders of sexual
differentiation. Dalam: Lifshitz F, penyunting. Pediatric
endocrinology. Volume 2. Edisi ke-5. New York: Informa
Healthcare; 2007. hlm. 385–6.
2. Docimo SG, Silver RI, Cromie W. The undescended testicle:
diagnosis and management. Am Fam Physician. 2000;62(9):
2037–44.
3. Foresta C, Zuccarello B, Garolla A, Ferlin A. Role of hormones,
genes, and environment in human cryptorchidism. Endoc Rev.
2008;29(5):560–80.
4. Gill B, Kogan S. Cryptorchidism: current concepts. Ped Clin Nor
Am. 1997;44(5):1211–27.
5. Kolon TF, Patel RP, Huff DS. Cryptorchidism: diagnosis,
treatment, and long-term prognosis. Urol Clin North Am.
2004;31(3):469–80.
6. La Vignera S, Calogera AE, Condorelli R, Marziani A, Cannizaro
MA, Lanzafame F. Crytorchidism and its long-term complications.
Eur Rev Med Phar. 2009;13:351–6.
7. La Vignera S, Calogero AE, Condorelli R, Marziani A, Cannizzaro
MA, Lanzafame F, Vicari E. Cryptorchidism and its long term
complications. Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2009;13:351–6.
8. Mathers MJ, Sperling H, Rubben H, Roth S. The undescended
testis: diagnosis, treatment and long-term consequences. Dtsch
Arztebl Int. 2009;106(33):527–32.
9. Paduch DA, Schlegel PN. Male hypogonadism. Dalam: Sarafoglou
K, Hoffmann GF, Roth KS, penyunting. Pediatric endocrinology
and inborn errors of metabolism. Edisi ke-1. New York: McGraw
Hill; 2009. hlm. 593–4.
10. Virtanen HE, Toppari J. Epidemiology and pathogenesis of
cryptorchidism. Hum Reprod Update. 2008;14(1):49–58.

217
MIKROPENIS
Batasan
Bentuk penis yang normal dengan ukuran sangat kecil (<−2,5 simpang
baku ukuran normal berdasarkan usia) tanpa disertai kelainan diferensiasi
seksual. Kelainan ini dapat merupakan kelainan tunggal (isolated) atau
merupakan bagian dari penyakit lain atau sindrom tertentu
Etiologi
Defisiensi sekresi testosteron
Hipogonadotropik hipogonadisme
Isolated, termasuk sindrom Kallman
Berhubungan dengan defisiensi hormon hipofisis lain
Sindrom Prader Willi
Sindrom Laurence-Moon
Sindrom Bardet-Biedl
Sindrom Rud
Hipogonadisme primer
Anorkia
Sindrom Klinefelter dan poly-X
Disgenesis gonad
Defek reseptor LH (bentuk incomplete)
Defek genetik steroidogenesis testosteron (bentuk incomplete)
Sindrom Noonan
Trisomi 21
Sindrom Robinow
Sindrom Bardet-Biedl
Sindrom Laurence-Moon
Defek pada aksi testosteron
Defisiensi growth hormone/insulin-like growth factor
Defek reseptor androgen (bentuk incomplete)
Defisiensi 5- reduktase (bentuk incomplete)
Sindrom fetal hidantoin
Anomali perkembangan
Alphalia
Cloacal exstrophy
Idiopatik
Berhubungan dengan malformasi kongenital
Patofisiologi
Pertumbuhan dan perkembangan penis terdiri atas 2 tahap:
Tahap pertama (intrauterin) terdiri atas 2 fase
Formative phase
Linear growth phase → berlanjut ke kehidupan ekstrauterin
Tahap kedua (ekstrauterin)
Kedua tahap tersebut dipengaruhi testoteron. Pada usia gestasi 8
mgg, gonadotropin korionik dari plasenta ibu merangsang sel Leydig
janin untuk memproduksi testosteron. Selanjutnya testosteron di-
konversi menjadi dihidrotestosteron → penis berdiferensiasi dan
skrotum mulai terbentuk. Proses ini selesai pada usia gestasi 12 mgg
218
Selama trimester kedua dan ketiga, produksi androgen janin
dipengaruhi gonadotropin korionik hipofisis janin. Selama linear
growth phase (gestasi 16–38 mgg) terjadi pemanjangan penis ±20
mm, sehingga mikropenis terjadi akibat abnormalitas aktivitas
androgen sesudah usia gestasi 12 mgg. bila diberikan gonadotropin
→ produksi aksi dan aktivitas reseptor androgen → normal. Hal ini
menunjukkan peran sentral (aksis hipotalamus-hipofisis) dalam keja-
dian mikropenis. Gangguan produksi, sekresi, dan kerja testosteron
memengaruhi morfogenesis dan atau ukuran penis. Pada akhir
formative phase panjang penis hanya ±3,5 mm, dengan pengaruh
testosteron pada linear growth phase penis bertambah panjang 10×
lipat sehingga pada bayi cukup bulan saat lahir panjangnya ±3,5 cm
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat keluarga: ada riwayat lahir mati atau hipospadia,
kriptorkidismus, infertilitas, atau kelainan kongenital akibat
kelainan genetik yang diturunkan
Riwayat obstetri: berupa penurunan gerakan janin atau otot bayi
yang lemas waktu dilahirkan (sindrom Prader Willi)
Pemeriksaan Fisis
Mencari dismorfik yang merupakan tanda sindrom malformasi
Ukuran penis <2,5 SD ukuran normal menurut usia tanpa ditemu-
kan kelainan diferensiasi seksual
Ukuran penis yang dimaksud adalah stretched penile length (SPL),
diukur dari titik basis pada tulang simfisis pubis sampai ke ujung
glans penis dengan peregangan maksimal. Untuk menghindari
misdiagnosis pada bayi dan anak, maka saat mencari titik basis
penis harus dilakukan tekanan pada bantalan lemak suprapubis

Symphisis pubis

Gambar 28 Cara Mengukur Streched Penile Length (SPL)

219
Tabel 61 Ukuran Penis berdasarkan Usia
Usia Rerata ± SB Rerata − 2,5 SD
Gestasi 30 mgg 2,5 ± 0,4 1,5
Gestasi 34 mgg 3,0 ± 0,4 2,0
Cukup bl 3,5 ± 0,4 2,5
0–5 bl 3,9 ± 0,8 1,9
6–12 bl 4,3 ± 0,8 2,3
1–2 th 4,7 ± 0,8 2,6
2–3 th 5,1 ± 0,9 2,9
3–4 th 5,5 ± 0,9 3,3
4–5 th 5,7 ± 0,9 3,5
5–6 th 6,0 ± 1,0 3,8
6–7 th 6,1 ± 1,0 3,9
7–8 th 6,2 ± 1,0 3,7
8–9 th 6,3 ± 1,0 3,8
9–10 th 6,3 ± 1,0 3,8
10–11 th 6,4 ± 1,0 3,7
Dewasa 13,3 ± 1,6 9,3

Pemeriksaan Penunjang
Hormonal: LH, FSH, testosteron, apabila dicurigai panhipopituitarisme
Analisis kromosom: bila disertai kriptorkismus bilateral atau DSD
Bone age: untuk menentukan waktu yang tepat memulai terapi dan
menilai respons maturitas skeletal terhadap terapi
Terapi
Hormonal:
Testosteron enanthate 25–50 mg i.m. setiap 3 mgg sebanyak 4×
Harus dipantau respons yang terjadi sampai tercapai target ukuran
penis normal, bila dosis berlebih terjadi pubertas prekoks
Waktu terapi yang tepat → masa bayi dan prepubertas
Bedah:
Rekonstruktif dapat menjadi pilihan bila terapi hormonal tidak
memuaskan. Pembedahan dapat dilakukan dengan beberapa tek-
nik berdasarkan prinsip vascular pedicle free flap
Bibliografi
1. Bin-Abbas B, Conte FA, Grumbach MM, Kaplan SL. Congenital
hypogonadotropic hypogonadism and micropenis: effect of
testosterone treatment on adult penile size. Why sex reversal is
not indicated. J Pediatr. 1999;134:579–83.
2. Carrillo AA, Damian M, Berkovitz G. Disorders of sexual
differentiation. Dalam: Lifshitz F, penyunting. Pediatric
endocrinology. Volume 2. Edisi ke-5. New York: Informa
Healthcare; 2007. hlm. 383–4.
3. Conte FA, Grumbach MM. Disorders of sexual determination and
differentiation. Dalam: Gardner DG, Shoback D, penyunting.
Greenspan’s Basic and clinical endocrinology. Edisi ke-8. USA:
McGraw-Hill; 2007. hlm. 602–4.

220
4. Elder JS. Anomalies of the penis and urethra. Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders;
2007. hlm. 2253–9.
5. Ogilvy-Stuart A, Midgley P. Practical neonatal endocrinology.
New York: Cambridge University Press; 2006.
6. Wiygul J, Palmer LS. Micropenis. Sci World J. 2011;11:1462–9.

221
PUBERTAS PREKOKS
Batasan
Pubertas prekoks adalah tanda seks sekunder yang terjadi sebelum
usia 8 th pada anak perempuan atau sebelum usia 9 th pada anak
laki-laki
Klasifikasi
Pubertas prekoks sentral (gonadotropin-dependent precocious
puberty)
Terjadi aktivasi dini aksis hipotalamus-hipofisis-gonad akibat
abnormalitas SSP yang mengganggu keseimbangan antara faktor
inhibisi dan stimulasi mengendalikan awitan pubertas, serta per-
kembangan pubertas
Pubertas prekoks perifer (gonadotropin-independent precocious
puberty)
Stimulasi hormon steroid seks dan tidak dipengaruhi
gonadotropin hipofisis. Hormon seks steroid endogen berasal dari
gonad atau ekstragonad atau eksogen (obat-obatan)
Etiologi
Pubertas prekoks sentral (GnRH-dependent precocious puberty)
Idiopatik (sporadik atau familial)
Abnormalitas SSP
Didapat (abses, kemoterapi, granuloma, inflamasi, radiasi,
bedah, trauma)
Kelainan kongenital (kista araknoid, hidrosefalus, hamartoma
hipofisis, mielomeningokel, displasia septooptik, kista supraselar
Tumor
Adenoma yang menyekresi LH, astrositoma, kraniofaringioma,
ependimoma, glioma, glioma optik yang berkaitan dengan
neurofibromatosis atau sklerosis tuberosa
Sekunder akibat paparan kronik steroid seks (penyebab perifer:
tumor)
Bentuk yang reversibel: lesi desak ruang (abses, hidrosefalus)
Pubertas prekoks perifer (GnRH-independent precocious puberty)
Kelainan genetik (mutasi)
Hiperplasia adrenal kongenital pada laki-laki
Gondadotropin-independent puberty
LH receptor-activating mutations
Mutasi gen DAX1
Sindrom McCune-Albright
Tumor
Tumor adrenal yang menyekresi steroid seks (adenoma,
karsinoma, resisten glukokortikoid secara umum)
Tumor yang memproduksi gonadotropin (koriokarsinoma,
korioepiteloma, disgerminoma hepatoblastoma, hepatoma,
teratoma)

222
Tumor ovarium (karsinoma, kistadenoma, gonadoblastoma, sel
granulosa, berhubungan dengan Peutz jeghers, lipoid, sel teka)
Testikuler (sel Leydig)
Bentuk yang jarang atau yang reversibel
Hipotiroid primer kronik
Sumber steroid seks eksogen (iatrogenik)
Kista ovarium
Diagnosis
Anamnesis
Pola pertumbuhan sejak lahir
Usia awitan tanda seks sekunder muncul dan progresivitasnya
Riwayat penyakit dahulu, kelainan SSP, dan riwayat penyakit
keluarga
Riwayat pubertas anggota keluarga yang lain
Riwayat paparan terhadap hormon eksogen
Pemeriksaan Fisis
Antropometri: tinggi badan (TB), berat badan (BB), rasio segmen
atas/bawah tubuh
Status pubertas menurut skala Tanner
Pemeriksaan fisis lengkap
Genitalia:
Pada anak perempuan → sekresi mukosa bening dan visualisasi
mukosa vagina untuk menilai efek estrogen. Mukosa yang
tampak merah mengilap sesuai dengan mukosa yang tidak
distimulasi oleh estrogen, sedangkan mukosa yang berwarna
merah muda dilapisi oleh lendir menunjukkan pengaruh
estrogen
Pada anak laki-laki
menunjukkan pubertas prekoks perifer. Testis ukuran pubertal
menunjukkan stimulasi gonadotropin sesuai dengan pubertas
prekoks sentral
Pemeriksaan Penunjang
FSH, LH, estradiol atau testosteron
Bone age
USG genitalia interna
MRI kepala
Terapi
Terapi pubertas prekoks sentral (gonadotropin-dependent precocious
puberty)
Pemberian GnRH/depot leuprorelin asetat, dosis inisial 100
μg/kgBB/bl i.m./s.k. dilanjutkan rumatan 80–100 μg/kgBB/bl
Terapi pubertas prekoks perifer (gonadotropin-independent
precocious puberty)
Medroksi progesteron asetat (MPA) dosis 100 mg/m2/hr p.o. atau
200–300 mg i.m. setiap 15 hr atau 100–200 mg i.m. setiap mgg

223
Siproteron asetat 70–150 mg/m2/hr atau 100–200 mg/m2 i.m.
setiap 14 dan 28 hr
Ketokonazol 30 μg/kg/hr p.o.
Testolakton 20–40 mL/kg/hr

PUBERTAS TERLAMBAT
Batasan
Pubertas terlambat adalah keadaan tanda seks sekunder belum
muncul pada anak perempuan usia 13 th dan pada laki-laki usia 14 th
Klasifikasi
Constitutional delay of growth and puberty
Hipogonad hipogonadotropik
Penyakit SSP
Tumor
Penyakit didapat lainnya
Penyakit kongenital
Defisiensi gonadotropin tersendiri
Defisiensi hormon hipofisis multipel (panhipopituitarisme)
Penyakit lain-lain
Sindrom Prader-Willi
Sindrom Laurence-Moon-Biedl
Penyakit kronik
Anoreksia nervosa
Aktivitas fisik yang meningkat pada atlet perempuan
Hipotiroid
Hipogonad hipergonadotropik
Sindrom Klinefelter
Bentuk lain kegagalan testis primer
Anorkia atau kriptorkidisme
Sindrom Turner
Bentuk lain kegagalan ovarium primer
Sindrom pseudo-Turner
Disgenesis gonad XX-XY
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan sejak lahir
Riwayat penyakit dahulu, kelainan SSP, dan riwayat penyakit
keluarga
Riwayat pubertas anggota keluarga yang lain
Riwayat yang sesuai dengan sindrom tertentu misalnya kemampu-
an indera penciuman, dll.
Pemeriksaan Fisis
Antropometri (TB, BB, rasio segmen atas/bawah tubuh)
Tingkat maturasi kelamin menurut Tanner
224
Pemeriksaan fisis lengkap termasuk kemungkinan sindrom
tertentu
Pemeriksaan Penunjang
FSH, LH, estradiol, atau testosteron
Umur tulang
USG genitalia interna
MRI kepala
Analisis kromosom
Terapi
CDGP tidak memerlukan terapi
Laki-laki testosteron enanthate 50–100 mg i.m. tiap 3–4 mgg selama
3–12 bl
Perempuan etinil estradiol 0,5 mg i.m. atau 5 μg/hr p.o.
Bibliografi
1. Dattani MT, Tziaferi V, Hindmarsh PC. Evaluation of disordered
puberty. Dalam: Brook C, Clayton P, Rosalind B, penyunting.
Brook’s clinical pediatric endocrinology. Edisi ke-6. Singapore:
Wiley Blackwell; 2009. hlm. 213–38.
2. Hughes IA. The testes: disorders of sexual differentiation and
puberty in the male. Dalam: Sperling M, penyunting. Pediatric
endocrinology. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008.
hlm. 662–85.
3. Lee PA, Houk CP. Puberty and its disorders. Dalam: Lifshitz F,
penyunting. Pediatric endocrinology. Volume 2. Edisi ke-5. New
York: Informa Healthcare; 2007. hlm. 273–303.
4. Marcell VA. Adolescence. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-
18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm. 60–5.
5. Nakamoto JM, Franklin SL, Geffner ME. Puberty. Dalam: Kappy
MS, Allen DB, Geffner ME, penyunting. Pediatric practice
endocrinology. McGraw Hill. 2010. hlm. 257–98.
6. Parent AS, Teilman G, Juul A, Skakkebaek NE, Toppari J,
Bourguignon JP. The timing of normal puberty and the age. End
Rev. 2003;24:668–93.
7. Pescovitz OHLM. Valvoord EC. When puberty is precocious,
scientific and clinical aspects. New Jersey: Humana Press; 2007.
8. Rosenfield RL, Cooke DW, Radovick S. Puberty and its disorders
in the female. Dalam: Sperling M, penyunting. Pediatric
endocrinology. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008.
hlm. 530–609.
9. Styne D. Puberty. Dalam: Gardner DG, Shoback D, penyunting.
Greenspan’s basic and clinical endocrinology. Edisi ke-8. USA:
McGraw-Hill; 2007. hlm. 611–40.
10. Styne DM, Grumbach MM. Puberty: ontogeny, neuro-
endocrinology, physiology, and disorders. Dalam: Melmed S,
Polonsky KS, Larsen PR, Kronenberg HM, penyunting. Williams
textbook of endocrinology. Edisi ke-12. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 1054–201.
225
HIPOTIROID
Batasan
Keadaan akibat jumlah hormon tiroid yang tidak adekuat dalam
memenuhi kebutuhan seluruh jaringan tubuh. Keadaan ini dapat
terjadi sejak dalam kandungan, masa bayi, anak, remaja, dewasa,
sampai usia lanjut
Klasifikasi
Menurut lokasi abnormalitas
Primer: kelainan di kelenjar tiroid
Sekunder: kelainan di hipofisis
Tersier: kelainan di hipotalamus
Menurut waktu kejadian
Kongenital
Didapat
Menurut lama kejadian
Transien/sementara
Menetap/seumur hidup
Menurut geografis
Endemis
Sporadis
Etiologi
Hipotiroid kongenital menetap
Primer
Disgenesis kelenjar tiroid: aplasia, hipoplasia
Ektopik
Kelainan biosintesis hormon tiroid (dishormonogenesis)
Iatrogenik: bayi lahir dari ibu yang mendapat pengobatan
iodium radioaktif
Sekunder
Kelainan bawaan perkembangan otak tengah
Displasia sefalooptik
Aplasia hipofisis
Defisiensi thyroid stimulating hormon (TSH) yang dapat disertai
defisiensi growth hormon (GH) atau adenocorticotropic hormone
(ACTH)
Resistensi jaringan terhadap hormon tiroid
Tersier
Aplasia hipotalamus, defisiensi TRH
Hipotiroid kongenital transien/sementara
Ibu yang mengonsumsi makanan/obat goitrogenik (komponen
tersebut akan melalui plasenta dan memengaruhi sintesis hormon
tiroid bayi
Ibu yang mempunyai antibodi antitiroid sehingga melalui barier
plasenta

226
Ibu defisiensi iodium
endemis
Paparan iodium/antiseptik berlebih pada tali pusat bayi baru lahir
Idiopatik
Hipotiroid didapat
Defisiensi iodium endemis
Penyakit tiroid autoimun
Sensitivitas jaringan terhadap hormon tiroid ↓
Obat goitrogen (misal: propiltiourasil, metimazol, minosiklin, dll.)
Sesudah tiroidektomi atau radiasi
Penyakit sistemik: gangguan ginjal, sistinosis
Defisiensi TSH
Patofisiologi
Hipotiroid kongenital
Kekurangan hormon tiroid terjadi pada masa perkembangan
otak → hambatan proses tumbuh kembang → retardasi mental
Hipotiroid didapat
Biasanya terjadi kekurangan hormon tiroid sesudah masa kritis
perkembangan otak → gangguan fungsi mental ringan atau
normal dan yang menonjol gangguan pertumbuhan fisik (per-
awakan pendek patologis)
Gejala Klinis
Gejala dan tanda klinis hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir
bergantung pada etiologi, usia kehamilan, derajat penyakit, dan lama
kondisi hipotiroid. Hanya <5% bayi yang gejala klinis hipotiroid
Gejala klinis: Tanda klinis:
Ikterus lama Skin mottling
Letargi Hernia umbilikalis
Konstipasi Wajah khas (pseudohipertelorism)
Feeding problem Ikterus
Tubuh teraba dingin Makroglosia
Fontanel dan sutura melebar
Abdomen membuncit
Hipotonia, kulit kering/cutis
marmorata
Refleks lambat
Goiter
Gejala dan tanda klinis hipotiroid didapat
Selain gejala klasik terdapat gejala lain yang menonjol:
Hambatan pertumbuhan
Umur tulang terlambat
Pseudodistrofi otot
Gangguan maturasi kelamin:
Pubertas terlambat atau
Pubertas prekoks

227
Diagnosis
Gejala dan tanda klinis hipotiroid
Pemeriksaan pertumbuhan dan perkembangan
Radiologi: pemeriksaan umur tulang. Pada hipotiroid kongenital →
femur bagian distal dan tibia bagian proksimal
USG kelenjar tiroid
Sidik tiroid
Laboratorium penunjang
Hipotiroid primer: T3 dan T4 bebas ↓ dan TSH ↑
Hipotiroid karena kelainan di hipofisis/hipotalamus: T3, T4 bebas,
dan TSH ↓
Hipotiroid karena resistensi jaringan terhadap hormon tiroid: T3,
T4, dan TSH normal
Thyroid binding globulin (TBG) ↓
Antibodi antitiroid (bila ada riwayat tiroiditis pada ibu) → hasil (+)
Skrining Hipotiroid Kongenital:
Mengingat gejala klinis hipotiroid kongenital tidak jelas pada awal
kelahiran, maka seluruh bayi yang lahir harus dilakukan skrining
hipotiroid dengan memeriksa TSH menggunakan kertas saring
dengan sediaan darah dari tumit pada hr ke-3–5 kelahiran
Bila pemeriksaan tersebut tidak memungkinkan seperti di daerah
dengan fasilitas terbatas, maka skrining hipotiroid kongenital
dilakukan secara klinis dengan menggunakan skoring Quebec
(Tabel 62)
Tabel 62 Skoring Hipotiroid Kongenital
Tanda/Gejala Nilai
Feeding problem 1
Konstipasi 1
Hipoaktif 1
Hipotonia 1
Hernia umbilikalis 1
Lidah membesar 1
Skin mottling 1
Kulit kering 1,5
Ubun-ubun besar masih terbuka 1,5
Muka khas 3
Jumlah 13

Bayi baru lahir normal mempunyai nilai <3, sedangkan bila nilai >4
harus dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium. Algoritme
untuk interpretasi pada bayi yang didapatkan hasil (+) pada
skrining hipotiroid adalah sebagai berikut:

228
229

Gambar 29 Algoritme Hipotiroid


Dimodifikasi dari Ogilvy-Stuart dan Midgley 2006
Penyulit
Hipotiroid kongenital harus diobati sedini-dininya, bila tidak segera
diobati atau dosis obat tidak adekuat → retardasi mental, gangguan
kognitif dan motorik, kadang disertai gangguan koordinasi, diplegia
spastik, strabismus, dan ataksia
Hipotiroid didapat → hambatan pertumbuhan dan perkembangan
fisik termasuk maturitas seksual

Konsultasi
Psikologi (tes perkembangan/IQ terutama sebelum usia sekolah)

Terapi
Hormon tiroid diberikan untuk replacement hormon dengan Na
L-tiroksin sedini-dininya, dengan target normalisasi T4 dalam 2 mgg
dan TSH dalam 1 bl. Kadar fT4 diusahakan pada nilai pertengahan
atas rentang normal dan TSH dipertahankan <10 µg/mL
Pada kasus hipotiroid kongenital terapi harus dimulai segera sesudah
diagnosis ditegakkan (usia 3 mgg) untuk mencegah retardasi mental

Tabel 63 Dosis Penggantian Na L-tiroksin pada Bayi dan Anak


Usia Dosis/Hari (g) Dosis/kgBB/Hari (g)
0–3 bl 25–50 10–15
3–6 bl 50–75 8–10
6–12 bl 50–75 6–8
1–3 th 75–100 4-6
3–10 th 100–150 3–4
10–15 th 100–200 2–3
Sumber: Huang 2010

Pemantauan
Dosis terapi hipotiroid berbeda untuk setiap individu
Penyesuaian dosis tiroksin berdasarkan respons klinis serta hasil
pemeriksaan fT4 dan TSH
Jadwal pemantauan:
Pada 2 dan 4 mgg sesudah mulai terapi Na-L-T4
Setiap 1–2 bl sekali pada usia 6 bl pertama
Setiap 3 bl sekali pada usia 6 bl–3 th
Setiap 6–12 bl sekali pada usia 3 th sampai dengan selesai masa
pertumbuhan
Pemantauan harus lebih sering (1 bl/kali) untuk penderita kurang
kepatuhan atau hasil fT4/TSH abnormal atau perubahan dosis obat
Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan, umur tulang tiap
th, serta pemantauan pubertas
Pada usia prasekolah dilakukan tes IQ

230
Prognosis
Bila terapi dilakukan pada usia <1 bl → IQ >90 pada usia 3 atau 4 th
Bila pada usia <3 bl → IQ ≥85
Bila tidak diterapi/1 bl keterlambatan → akan kehilangan 1 point IQ
Bibliografi
1. American Academy of Pediatrics, American Thyroid Association,
Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society. Update of newborn
screening and therapy for congenital hypothyroidism. Pediatrics.
2006;117:2290–303.
2. Brown RS. The thyroid. Dalam Brook CGD, Clayton PE, Brown RS,
penyunting. Brook’s clinical pediatric endocrinology. Edisi ke-6.
UK: Wiley-Blackwell; 2009. hlm. 250–82.
3. Fisher DA, Greuters A.. Disorders of the thyroid in the newborn
and infant. Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric
endocrinology. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 2008. hlm.
198–226.
4. Fisher DA. Disorders of the thyroid in childhood and adolecents.
Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi
ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 2008. hlm. 227–53.
5. Huang SA. Hypothyroidism. Dalam: Lifshitz F. Pediatric
endocrinology. Volume 2. Edisi ke-5. New York: Informa Health
Care; 2007. hlm. 405–11.
6. Huang SA. Thyroid. Dalam: Kappy MS, Allen DB, Geffner ME,
penyunting. Pediatric practice endocrinology. New York:
McGraw-Hill; 2010. hlm. 107–30.
7. Ogilvy-Stuart A, Midgley P. Practical neonatal endocrinology.
Cambridge: Cambridge University Press; 2006.
8. Peter F, Muzsnai A. Congenital disorder of the thyroid:
hypo/hyper. Pediatr Clin N Am. 2011;58:1099–115.
9. Raine JE. Thyroid disorder. Dalam: Raine JE, Donaldson MDC,
Gregory JW, Savage MO, Hintz RL, penyunting. Practical
endocrinology and diabetes in children. Edisi ke-2.
Massachusetts: Blackwell Publishing; 2006. hlm. 91–107.

231
HIPERTIROID
Batasan
Keadaan klinis akibat peningkatan produksi hormon tiroid

Klasifikasi Penyakit Grave


Penyakit Grave anak
Penyakit Grave neonatus
Etiologi
Penyakit Grave
Penyakit Grave neonatus
Tiroiditis
Iodine induce hyperthyroid
Sindrom McCune Albright
Neoplasma tiroid
Hipersekresi TSH
Hipertiroid pada anak dan remaja terutama disebabkan oleh penyakit
Grave, penyakit ini lebih sering diderita anak perempuan. Kejadian-
nya ↑ dengan bertambah usia dan ditandai dengan hipertiroid,
goiter, optalmopati, dan dermatopati
Patofisiologi
Antibodi antitiroid termasuk antibodi terhadap reseptor TSH pada sel
folikel
tiromegali)
Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Emosi labil, mudah lelah, cemas, intoleransi terhadap panas, pe-
nurunan performa di sekolah, otot lemah, tremor, mudah ber-
keringat, nafsu makan ↑ tetapi BB ↓, buang air besar sering,
menstruasi tidak teratur atau amenore, dan ada riwayat keluarga
Pemeriksaan Fisis
Gelisah, emosi labil, banyak keringat, wajah kemerahan (flushing),
tremor
Gangguan kardiovaskular: takikardia, palpitasi, tekanan darah
tinggi, bising sistol di apeks
Optalmopati: proptosis, mata merah, lid-lag, dan lid retraction
Pembesaran kelenjar tiroid: goiter difus, simetris tidak nyeri, ada
thyroid bruit
Refleks tendon ↑
Anak tampak tinggi, sering mengalami keterlambatan pubertas
Laboratorium
T3 dan T4 ↑ (peningkatan T3 lebih bermakna dibandingkan
dengan T4)

232
TSH ↓, TSH receptor autoantibodies (TRAb) ↑
EKG: right axis deviations, takikardia
Radiologi: umur tulang lebih dari usia kronologis
Pemeriksaan Penunjang
Kadar T3 dan T4 total/bebas, TSH
Antibodi antitiroid (atas indikasi)
EKG
Foto Rontgen toraks, foto umur tulang
Sidik tiroid
USG tiroid
MRI tiroid
Biopsi

Penyulit
Krisis tiroid
Terapi
Mengembalikan kadar hormon tiroid menjadi normal
Obat antitiroid
Radioaktif (iodium 131)
Operasi mengangkat kelenjar tiroid (tiroidektomi subtotal)
Umum
Sebaiknya dirawat untuk menegakkan diagnosis, pemeriksaan
penunjang, menentukan derajat penyakit, dan memberikan peng-
ertian kepada penderita/orangtuanya mengenai penyakitnya yang
bersifat kronik
Khusus
Obat antitiroid
Propiltisourasil (PTU): 5–10 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis (maks.
300 mg/hr)
Metimazol (MMI) atau karbimazol (CBI), 0,25–1 mg/kgBB/hr
dibagi 2–3 dosis (maks. 40 mg/hr)
Dosis rumatan ½ dosis terapeutik → bila kadar T3, T4, dan TSH
normal stabil
Terapi dilanjutkan sampai 1–2 th sesudah remisi (biasanya 2–3 th)
Jika terjadi toksik atau takikardia hebat → propanolol 0,5–2
mg/kgBB/hr, maks. 80 mg/hr dibagi dalam 3–4 dosis (kontra-
indikasi: asma bronkial dan blokade jantung)
Digitalis apabila terjadi gagal jantung
Indikator remisi
Kelenjar tiroid mengecil
T3, T4, dan TSH normal
Iodium 131 (sebaiknya dihindarkan pada anak)
Tiroidektomi dilakukan apabila
Gagal dengan terapi antitiroid
Terjadi toksisitas dari obat antitiroid
Ketidakpatuhan pengobatan
Kebutuhan nutrisi ditingkatkan

233
Pemantauan
T3,T4, dan TSH
Refleksogram setiap 1, 3, dan 6 bl
Umur tulang
Efek samping obat terutama agranulositosis, neutropenia, hepato-
toksik terutama pemakaian PTU

PENYAKIT GRAVE NEONATUS


Batasan
Penyakit Grave pada neonatus
Etiologi
Transfer transplasenta antibodi dari ibu yang menderita penyakit
Grave
Patofisiologi
Antibodi dari ibu melalui plasenta → gangguan pada tiroid fetus →
hipersekresi hormon tiroid bayi
Diagnosis
Anamnesis
Bayi kurang bulan atau IUGR
Gejala timbul beberapa jam/hr sesudah lahir (2–10 hr)
Klinis
Intrauterin
Takikardia (>160×/mnt)
Irritable, tremor, hiperaktif
Flushing
Banyak minum
Gangguan saluran cerna (muntah, diare)
Gangguan kardiovaskular (takikardia, aritmia, gagal jantung)
Tiromegali → sufokasi (hambatan untuk bernapas)
Hepatosplenomegali (dapat disertai ikterus)
Kraniosinostosis
Optalmopati
Laboratorium
T3 dan T4 ↑
TSH ↓
Hipoprotrombinemia
Antibodi antitiroid ibu (+) (intrauterin)
Pemeriksaan Penunjang
T3, T4, dan TSH
Antibodi antitiroid ibu
234
Penyulit
Krisis tiroid
Terapi
Intrauterin
PTU pada ibu sehingga bunyi jantung anak <160×/mnt
Bayi
Lugol, 3×1 tetes
Antitiroid
PTU: 5–10 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis
Metimazol: 0,5–1 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis
Propanolol: 1–2 mg/kgBB/hr dibagi 4 dosis (bila takikardia)
Bila terjadi gagal jantung → digitalis dan diuretik
Terapi dihentikan sesudah 3–6 bl
Bibliografi
1. Brown RS. The thyroid. Dalam: Brook CGD, Clayton PE, Brown RS,
penyunting. Brook’s clinical pediatric endocrinology. Edisi ke-6.
UK: Wiley-Blackwell; 2009. hlm. 250–82.
2. Cooper DS. Antithyroid drugs. N Engl J Med. 2005;352:905–17.
3. Dallas JS, Folley TP. Hyperhyroidism. Dalam: Lifshitz F,
penyunting. Pediatric endocrinology. Volume 2. Edisi ke-5. New
York: Informa Health Care; 2007. hlm. 415–42.
4. Fisher DA, Greuters A. Disorders of the thyroid in the newborn
and infant. Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric
endocrinology. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 2008. hlm.
198–226.
5. Fisher DA. Disorders of the thyroid in childhood and adolecents.
Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi
ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 2008. hlm. 227–53.
6. Raine JE. Thyroid disorder. Dalam: Raine JE, Donaldson MDC,
Gregory JW, Savage MO, Hintz RL, penyunting. Practical
endocrinology and diabetes in children. Edisi ke-2.
Massachusetts: Blackwell Publishing; 2006. hlm. 91–107.

235
PERAWAKAN PENDEK
AKIBAT GANGGUAN ENDOKRIN
Batasan
Terdapat beberapa batasan perawakan pendek, antara lain:
TB<2 simpang baku (−2 SD) atau di bawah persentil ke-3 pada
kurva TB anak yang berlaku di masyarakatnya
TB secara bermakna kurang (<−2 SD) dari potensi tinggi genetik
Laju pertumbuhan <5 cm/th, mulai usia 3 th s.d. pubertas
Garis pertumbuhan turun memotong kanal persentil pertumbuhan
sesudah usia 18 bl

Klasifikasi
Variasi normal
Familial short stature
Constitutional growth delay
Patologis
Disproporsional
Proporsional
Etiologi
Klasifikasi perawakan pendek berdasarkan etiologi:
Genetic familial short stature
Constitutional growth delay
Gangguan endokrin
Defisiensi hormon pertumbuhan
Hipotiroidisme
Penyakit Cushing dan sindrom Cushing
Pubertas prekoks
Diabetes melitus
Pseudohipoparatiroidisme
Rickets
Hiperplasia adrenal kongenital
Intrauterine growth retardation (bayi KMK)
Inborn error of metabolism
Penyakit tulang intrinsik
Perawakan pendek yang berhubungan dengan kelainan kromosom
(sindrom Turner, Down)
Penyakit sistemik kronik
Kelainan kongenital
Psychosocial short stature (deprivation dwarfism)
Patofisiologi
Pertumbuhan merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor
genetik, faktor lingkungan; pengaruh nutrisi, ras, cuaca dan iklim,
penyakit, stres psikososial, sosioekonomi, dan tren sekular

236
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat keluarga:
TB ayah dan ibu
Pubertas orangtua
Riwayat keluarga dengan perawakan pendek
Status sosioekonomi
Status psikososial
Riwayat kehamilan dan persalinan:
Penyakit ibu
Malnutrisi
Pajanan toksin
Berat lahir dan panjang lahir
Usia gestasi
Trauma lahir
Petunjuk ke arah etiologi: hipoglikemia, ikterus lama, mikro-
penis, hipotonia
Riwayat penderita:
Riwayat perkembangan fisik dan mental termasuk pubertas
Riwayat penyakit kronik
Masukan gizi/nutrisi
Pemeriksaan Fisis
Pengukuran TB dan BB dipetakan dalam kurva pertumbuhan untuk
menentukan status gizi
TB anak sesuai potensi tinggi genetik

Rumus Potensi Tinggi Genetik


(TB ibu + 13) + TB ayah
Anak laki- laki = ±K
2
(TB ayah − 13) + TB ibu
Anak perempuan = ±K
2
K = 8,5

Pengukuran arm span, lingkar kepala, rasio segmen atas dan


bawah tubuh, tinggi duduk
Neurologis untuk lesi kranial (untuk kemungkinan tumor otak)
Keadaan dismorfik dan gambaran klinis penyakit kronik tertentu
Genitalia dan penilaian maturasi seksual
Pemeriksaan Penunjang
Darah
Rutin
Kimia (atas indikasi)
Elektrolit (atas indikasi)
Fungsi ginjal dan hepar
TSH, fT4

237
GH, IGF-1, dan IGF BP-3
FSH dan LH (bila menduga sindrom Turner)
Urin
Rutin
Elektrolit (atas indikasi)
Feses
Rutin
Parasit
Sisa pencernaan, bila menduga malabsorpsi
Umur tulang
MRI kepala
Tes intelegensia
Kariotipe kromosom (bila menduga bagian dari suatu sindrom)

238
239

Gambar 30 Algoritme Diagnosis Perawakan Pendek


Dimodifikasi dari Nicol dkk. 2010
Terapi
Diberikan sesuai dengan etiologi perawakan pendek, misalnya:
Masukan gizi buruk → perbaikan masukan gizi
Kelainan psikososial → konsul psikolog
Penyakit kronik → pengobatan penyakit utamanya
Kelainan endokrin seperti DM, hipotiroid, hiperplasia adrenal
kongenital (HAK)
Terapi hormon pertumbuhan (growth hormone) diindikasikan
pada:
Defisiensi hormon pertumbuhan
Retardasi pertumbuhan yang disebabkan gagal ginjal kronik
Sindrom Turner
Sindrom Prader-Willi
Sindrom Noonan
Anak yang dilahirkan kecil masa kehamilan (KMK) yang tidak
mengalami pacu tumbuh sehingga tidak mencapai tinggi
normal pada usia 4 th
SHOX gene haploinsufficiency
Perawakan pendek idiopatik
Dosis 0,2–0,3 mg/kgBB/mgg dibagi menjadi 6× pemberian,
1×/hr s.k.
Bibliografi
1. Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS. Endocrine
disorders. Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer
JM, penyunting. Edisi ke-15. Current pediatric diagnosis &
treatment. London: McGraw-Hill; 2003. hlm. 937–77.
2. Nicol LE, Allen DB, Czernichow P, Zeitler P. Normal growth and
growth disorder. Dalam: Kappy MS, Allen DB, Geffner ME,
penyunting. Pediatric practice endocrinology. New York:
McGraw-Hill; 2010. hlm. 23–76.
3. Pik-Shun C. Management of childhood short stature. HKMD.
2006;73:67–71.
4. Richmond E, Rogol AD. Current indications for growth hormone
therapy. Dalam: Hindmarsh PC, penyunting. Current indications
for growth hormone therapy. Edisi ke-2. London: Karger; 2010.
hlm. 92–105.
5. Spolberg PFC. Update in growth hormone therapy of children. J
Clin Endocrinol Metab. 2011;96(3):573–9.
6. Wales JK. Evaluation of growth disorder. Dalam: Brook CGD,
Clayton PE, Brown RS, penyunting. Brook’s clinical pediatric
endocrinology. Edisi ke-6. UK: Wiley-Blackwell; 2009. hlm. 124–48.

240
Tinggi Badan/Usia, Persentil:
Laki-laki, 2–20 Tahun

Usia (Tahun)

241
Tinggi Badan/Usia, Persentil:
Perempuan, 2–20 Tahun

Usia (Tahun)

242
Berat Badan/Tinggi Badan: Laki-Laki

Tinggi Badan

243
Berat Badan/Tinggi Badan: Perempuan

Tinggi Badan

244
Body Mass Index (BMI)/Usia
Laki-laki, 2–20 Tahun

Usia (Tahun)

245
Body Mass Index (BMI)/Usia
Perempuan, 2–20 Tahun

Usia (Tahun)

246
DIABETES MELITUS (DM)
Batasan
Kumpulan gejala klinis akibat gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein yang ditandai hiperglikemia kronik sebagai akibat
berkurangnya sekresi insulin dan atau penurunan daya kerja insulin,
atau kedua-duanya
Klasifikasi
Berdasarkan modifikasi American Diabetes Assosiation dan WHO
Berdasarkan etiologi
DM tipe I (DM tergantung insulin = DMTI)
Destruksi sel 
Autoimun
Idiopatik
DM tipe II (DM tidak bergantung pada insulin)
Antara resisten insulin predominan dengan defisiensi relatif
insulin sampai defek sekresi predominan dengan atau tanpa
resisten insulin
DM tipe lain
Monogenik defek genetik fungsi sel 
Mitochondrial diabetes
Defek genetik kerja insulin
Penyakit kelenjar eksokrin pankreas
Endokrinopati
Keracunan obat dan kimia
Infeksi
Immune mediated diabetes
Sindrom genetik lain
Gestational DM

DIABETES MELITUS TIPE 1


Batasan
Sebagian besar DM pada anak termasuk DMT1. DMT1 merupakan
penyakit autoimun kronik yang terutama menyerang anak dan
remaja. T-cells mediated berperan pada kerusakan sel  pankreas →
produksi insulin
Etiologi
Faktor genetik: kerentanan terhadap DM tipe I ditentukan oleh
interaksi banyak gen terutama gen HLA
Faktor lingkungan: virus/bahan kimia/racun lingkungan
Patofisologi
DMT1 umumnya akibat proses autoimun yang menyebabkan
destruksi sel  pankreas. Proses ini dipresipitasi oleh faktor
247
lingkungan (bahan kimia atau infeksi virus), dan terjadi pada individu
yang rentan terhadap DMT1 (mempunyai kelemahan genetik). Gejala
klinis akibat defisiensi insulin mulai tampak jika kerusakan sel 
pankreas mencapai >80%. Jangka waktu dari mulai terjadinya
destruksi sel  sampai timbul manifestasi klinis bervariasi dari
beberapa bl sampai th
Diagnosis
Diagnosis DMT1 dapat ditegakkan apabila memenuhi kriteria sbb.:
Anamnesis
Badan lemas dan lesu, keluhan sering kencing (ngompol), makan
banyak tetapi badan makin kurus, air kencing dikerubungi semut
Pemeriksaan Fisis
Hambatan pertumbuhan TB dan BB diplot pada kurva pertumbuhan
Gangguan maturitas kelamin pada anak yang menginjak remaja
Tanda dehidrasi dan asidosis metabolik (pada ketoasidosis dia-
betik/KAD)
Tanda infeksi, penyakit autoimun lainnya, atau sindrom genetik
dapat ditemukan
Laboratorium
Darah
Gula darah (GD)
GD puasa (GDP) >126 mg/dL (7,0 mmol/L) dan atau GD sewaktu
(GDS) >200 mg/dL (11,1 mmol/L). Pada penderita yang asimto-
matik biasanya selain GDS >200 mg/dL didapatkan GDP >normal
dengan uji toleransi glukosa yang terganggu pada >1× peme-
riksaan
HBA1C ↑
C-peptida ↓
Autoantibodi
Islet cell antibodies (ICA)
Insulin autoantibodies (IAA)
Glutamic acid decarboxylase (GAD)
Urin
Reduksi (+)
Ketonuria (pada KAD)
Mikroalbuminuria (pada penyulit ginjal)
Pemeriksaan Penunjang
USG pankreas (klasifikasi)
Penyulit
Akut
Hipoglikemia, KAD
Subakut
Lipoatrofi dan lipohipertrofi (efek samping suntikan s.k.)
Kelainan tulang dan sendi
Manifestasi pertama limitted joint mobility (sendi interfalang

248
kaku terutama jari ke-5 sebagai akibat penebalan kulit) yang
mempunyai korelasi dengan risiko terjadinya gangguan
mikrovaskular
Pertumbuhan terhambat
Maturasi seksual terlambat
Kemampuan intelektual ↓
Katarak
Resistensi terhadap insulin
Kronik
Neuropati, nefropati, retinopati, dan kardiomiopati
Konsultasi
Bagian Gizi
Bagian Mata
Psikologi
Bagian Ortopedi
Terapi
Umum
Melakukan kontrol diabetik yang baik agar penderita dapat
mencapai tumbuh kembang optimal, baik secara fisik maupun
mental, dan menghambat penyulit jangka pendek/panjang. Dilaku-
kan oleh satu tim (dokter spesialis anak, edukator diabetes, ahli
gizi, psikolog, dan perawat)
Khusus
Insulin
Penderita baru sebaiknya dirawat 7–10 hr untuk penyesuaian
dosis insulin terhadap GD dan masukan nutrisi. Umumnya untuk
tahap awal memakai preparat insulin kerja pendek (seperti
regular insulin/RI) atau insulin kerja cepat dengan dosis berkisar
0,5–1 IU/kgBB/hr, dimulai dengan dosis terendah dan diberikan
3–4×/hr
Bila menggunakan:
Insulin kerja pendek, disuntikkan 30 mnt sebelum makan
Insulin kerja cepat dapat langsung makan
GD diperiksa setiap 30 mnt sebelum makan dan tengah
malam setiap hari atau min. 3×/hr. Pemeriksaan urin
dilakukan pada saat diperiksa GD atau setiap diuresis.
Sesudah didapatkan profil GD harian yang stabil (puasa
<140 mg/dL, sesudah makan <180 mg/dL), suntikan insulin
kerja pendek atau cepat diganti dengan preparat insulin
campuran short acting/rapid insulin dan intermediate
acting insulin dengan perbandingan 1:2. Dua pertiga dosis
diberikan pagi hari dan sisanya sebelum makan malam.
Sesudah kadar GD stabil penderita dapat dipulangkan
Kebutuhan insulin ↑ bila penderita menderita infeksi,
operasi atau trauma (fisik/psikis), dan pada masa remaja
(kebutuhan insulin mencapai 1,5–2 IU/kgBB/hr), sedang-
kan pada fase honeymoon dosis 0,2–0,5 IU/kgBB/hr

249
Pengaturan makan
Penderita yang mendapat insulin harus menaati pengaturan
makan yang konsisten (jumlah kalori/komposisi/waktu makan)
Anak usia <12 th
Jumlah kalori = [1.000 + (usia dalam th × 100)] Kkal
Anak usia >12 th
Jumlah kalori = 2.000 Kkal/M2
Komposisi makanan yang dianjurkan: 55–60% karbohidrat
(karbohidrat kompleks dan tinggi serat), 15% protein, dan 25%
lemak (rendah kolesterol dan LDL). Porsi makan diatur 3×/hr,
yaitu 20% makan pagi, 20% makan siang, 30% makan malam. Di
antara makan dan sebelum tidur diberikan makanan ringan/
snack masing-masing 10%)
Edukasi diabetes
Edukasi diabetes harus dilakukan terus-menerus, yaitu me-
ngenai masalah penyakit DM secara umum, pemberian insulin,
pengaturan/pemilihan makanan, pentingnya olahraga, peman-
tauan GD/urin di rumah, pengenalan gejala hiperglikemia/
hipoglikemia, serta tindakan darurat untuk mengatasinya
Olahraga
Dapat menurunkan kadar GD yang berlangsung sampai bebe-
rapa waktu pascaolahraga
Sensitivitas insulin terhadap jaringan ↑

Pemantauan
Parameter yang sering digunakan:
Kesehatan secara umum
Pemantauan tumbuh kembang dengan mengukur TB dan BB
secara rutin dan dan direkam pada kurva TB/BB
Pemantauan tingkat maturasi kelamin (TMK) terutama anak yang
menjelang remaja
Pemantauan laboratorium
Darah
GD
Target kadar GD yang diinginkan
Kadar GD sebelum makan 80–140 mg/dL dan sesudah
makan <180 mg/dL
Pemeriksaan GD sebaiknya dilakukan setiap hr dan diukur
sebelum makan, bila tidak mungkin dapat 2–3 hr/mgg dan
pada hr lainnya dilakukan pemeriksaan glukosa urin
HBA1C
Mencerminkan kontrol GD 2–3 bl sebelumnya, pemeriksaan
dilakukan setiap 3 bl
Kombinasi pemeriksaan GD di rumah dengan HBA1C merupa-
kan cara pemantauan kadar GD yang baik pada DM tipe 1
anak dan remaja
Urin
Tidak memberikan informasi tentang hipoglikemia, tetapi
sangat berarti untuk mengetahui ada tidaknya ketonuria.
Dilakukan di rumah dengan menggunakan kertas lakmus

250
Kriteria kontrol yang baik
Glukosuria min. atau tidak ditemukan
Tidak terdapat ketonuria
Tidak ada ketoasidosis
Jarang terjadi hipoglikemia
Glukosa postprandial normal
HBA1C normal
Sosialisasi baik
Tingkat maturasi kelamin sesuai dengan usianya
Pertumbuhan dan perkembangan anak normal
Tidak terdapat penyulit

Prognosis
Merupakan penyakit seumur hidup
Dengan kontrol GD yang baik, anak dapat tumbuh dan berkembang
seperti anak normal
Penyulit jangka panjang akan timbul sesudah 10–15 th

HIPOGLIKEMIA PADA DM
Batasan
Sulit untuk menentukan pada kadar berapa penetapan hipoglikemia
pada DM. Pada umumnya GD ≤70 mg/dL atau 3,9 mmol/L (gluko-
meter) diambil sebagai batasan. Yang lebih penting terdapat gejala
klinis hipoglikemia

Klasifikasi
Derajat 1 (ringan)
Bila dapat mengetahui dan mengobati hipoglikemianya sendiri
tanpa bantuan orang lain (anak kecil tidak dapat menolong dirinya
sendiri, sehingga hipoglikemia anak <5 th tidak termasuk dalam
derajat 1)
Derajat 2 (sedang)
Hipoglikemia harus diobati dengan bantuan orang lain, bila
mungkin dengan pemberian glukosa p.o.
Derajat 3 (berat)
Penderita tidak sadar disertai kejang atau tidak dapat minum
glukosa p.o., karena sudah mengalami disorientasi berat. Terapi
dengan glukagon secara i.m./i.v.

Etiologi
Masukan makanan yang kurang atau tidak makan
Latihan jasmani tanpa masukan makanan yang cukup
Kelebihan dosis insulin

251
Patofisiologi
Masukan makanan kurang atau latihan jasmani berat → GD ↓
keadaan ini dapat diperberat dengan pemberian insulin. Demikian
juga kelebihan dosis insulin → GD ↓
Diagnosis
Gejala klinis dan atau GD <60 mg/dL
Pemeriksaan Penunjang
GD serial setiap 15–30 mnt
Terapi
Terapi hipoglikemia pada DM dapat dilihat pada Tabel 64
Penyulit
Otak merupakan organ yang paling sensitif, oleh karena itu kalau
tidak diobati → kesadaran ↓, kejang, dan kerusakan otak

252
Terapi
Tabel 64 Terapi Hipoglikemia
Derajat Gambaran Klinis Terapi
Ringan Gambaran neurologik ringan (adrenergik/kolinergik) Sari buah, cairan manis, atau susu
lapar, tremor, gugup, cemas, berkeringat, pucat, Makanan ringan/snack
berdebar-debar, dan takikardia Sampai kadar GD 100 mg/L
Neuroglikopenia ringan: penurunan perhatian dan
kognitif
Sedang Neuroglikopenia/neurogenik sedang: sakit kepala, Glukosa instant (glukotab) 10–20 g diikuti pemberian
sakit perut, perubahan perilaku/agresif, gangguan makanan ringan. Kira-kira 0,3 g/kgBB → 9 g glukosa
penglihatan atau penglihatan ganda, lemah, untuk anak 30 kg atau 15 g glukosa untuk anak 50 kg
253

bingung, kesulitan bicara, takikardia, dilatasi pupil,


pucat, berkeringat
Berat Neuroglikopenia berat: disorientasi berat, tidak Di luar RS:
sadar, kejang fokal atau umum sehingga tidak Glukagon i.m./s.k.:
mampu menelan makanan usia <5 th: 0,5 mg
≥5 th: 1 mg
atau 10–30 mcg/kgBB
Bila dalam 10 mnt tak ada respons, ulang sekali lagi
Di RS: bolus glukosa 10–30% i.v. atau 200–500 mg/kgBB
atau infus dekstrosa 10% dengan kecepatan 2–5
mg/kgBB/mnt → 1,2–3 mL/kgBB/jam
Catatan: monitor GD selama/sesudah terapi
KETOASIDOSIS DIABETIKUM (KAD)
Batasan
Gangguan metabolik yang disebabkan oleh defisiensi insulin dan
sekresi berlebih hormon-hormon stres (hormon kontrainsulin)
Sindrom ini ditandai dengan trias
Hiperglikemia: GD ≥300 mg/dL
Ketonemia
Asidosis metabolik: pH <7,3 dan bikarbonat darah <15mEq/L
Klasifikasi
Ketoasidosis diabetes dapat diklasifikasikan berdasarkan beratnya
asidosis:
KAD ringan : pH 7,25–7,30 dan bikarbonat 10–15 mEq/L
KAD sedang : pH 7,10–7,24 dan bikarbonat 5–10 mEq/L
KAD berat : pH <7,10 dan bikarbonat <5 mEq/L
KAD berulang (rekurens): bila terjadi 3–4 episode KAD dalam 4 th
berturut-turut
Etiologi
Defisiensi dan atau ↓ daya kerja insulin. Pada penderita lama karena
menghentikan suntikan insulin dan pada penderita baru karena tidak
diketahui menderita DM
Faktor pencetus: stres (trauma, infeksi), muntah, atau gangguan
psikis
Patofisiologi
Insulin adalah hormon anabolik utama dalam tubuh. Kekurangan
insulin menyebabkan mobilisasi cadangan energi (glikogenolisis,
proteolisis, dan lipolisis) dan pemakaian glukosa oleh jaringan
terhambat. Karena insulin merupakan hormon antilipolitik kuat,
maka defisiensi insulin berat → ketonuria, ketonemia, dan asidosis.
Di samping defisiensi insulin harus ada sekresi berlebih hormon
kontrainsulin (hormon pertumbuhan, glukagon, kortisol, dan
katekolamin) untuk dapat menyebabkan KAD. Hormon stres merang-
sang glukoneogenesis, glikogenolisis, lipolisis, dan ketogenesis ↑.
Hormon ini juga menyebabkan resistensi jaringan terhadap insulin
(daya kerja insulin ↓). Hiperglikemia → diuresis osmotik yang bila
tidak dikompensasi akan → dehidrasi dan kehilangan elektrolit.
Keadaan katabolik antara lain lipolisis → ketonemia/asidosis
metabolik
Perkiraan kehilangan cairan dan elektrolit (/kgBB)
Air : 100 mL (60–100 mL)
Na : 6 mEq (5–13 mEq)
K : 5 mEq (4–6 mEq)
Klorida : 4 mEq (3–9 mEq)
Fosfat : 3 mEq (2–5 mEq)

254
Diagnosis
Anamnesis
Gejala klasik DM (polifagia, polidipsia, dan poliuria), BB ↓
Faktor pencetus: infeksi, tidak disuntik insulin, stres psikologis
Pemeriksaan Fisis
Dehidrasi sering disertai syok → dehidrasi sukar dinilai karena
merupakan dehidrasi intraselular. Akibat ketonemia → muntah,
asidosis metabolik, napas bau aseton, pernapasan Kussmaul,
kesadaran ↓
Laboratorium
GD ≥300 mg/dL
Ketonemia (reaksi positif dengan reaksi nitroprusid pada peng-
enceran 1:2 serum/urin)
Asidosis metabolik (pH <7,30; bikarbonat darah <15 mEq/L)
Osmolaritas darah ↑
Diagnosis Banding
Asidosis dan atau gangguan kesadaran karena sebab lain
Hipoglikemia, uremia, diare dengan asidosis, intoksikasi salisilat,
ensefalitis, dan lesi intrakranial lain
Pemeriksaan Penunjang
Glukosa, elektrolit, dan osmolaritas darah
pH dan status asam basa
Keton urin
Pemeriksaan lain atas indikasi (biakan darah, EKG, foto Rontgen
toraks, CT-scan kepala, urea N, dan kreatinin)
Penyulit
Merupakan penyulit akibat terapi
Edema serebral
Hipoglikemia
Terapi
Perawatan sebaiknya di ruang intensif → balita yang mengalami KAD
berat sering disertai gangguan konduksi jantung
Resusitasi cairan
Bila penderita dehidrasi berat tanpa syok → berikan larutan NaCl
0,9% sejumlah 10–20 mL/kgBB dalam 1–2 jam
Bila penderita syok → berikan bolus larutan NaCl 0,9% 10–20
mL/kgBB secepatnya
Selanjutnya pemberian cairan harus tepat dalam hal osmolaritas
dan jumlah cairan, serta kecepatan pemberiannya. Sebaiknya
diberikan cairan isotonis secara hati-hati dengan tujuan dapat
mengoreksi defisit cairan/elektrolit dalam waktu 36–48 jam. Makin
berat kekacauan metabolik dan makin tinggi osmolaritas darah
(>320 mOsm/kgBB) → makin lambat rehidrasinya

255
Tentukan kebutuhan cairan, yaitu besarnya defisit, cairan rumatan,
concomitant loss, maupun keseimbangan elektrolit
Kebutuhan cairan rumatan
2–6 th : 100 mL/kgBB/hr
7–10 th: 80 mL/kgBB/hr
>10 th : 60 mL/kgBB/hr
Cara rehidrasi cairan
12 jam pertama: 50% defisit + 50% rumatan + 50% concomitant
loss
24–36 jam berikutnya: 50% defisit + cairan rumatan +
concomitant loss
Bila penderita menderita syok, rehidrasi cairan dilakukan
sesudah syok teratasi, misalnya kalau dehidrasi diperkirakan 5%
Tabel 65 Cara Rehidrasi Cairan untuk Berat Badan 30 kg
Waktu Jenis Cairan Na K Cl Fosfat
Jam ke-1 500 mL larutan NaCl 0,9% 75 − 75 −
Jam ke-2 500 mL larutan NaCl 0,45% +
20 mEq/L KCl 35 20 55 −
Jam ke-3–12 2.000 mL larutan NaCl 0,45%
(100 mL/jam 30 mEq/L K2PO4 150 60 150 40
utk 10 jam
Jumlah 12 jam 3.000 mL 260 80 280 40
pertama
24 jam 2.400 mL larutan glukosa 5%
berikutnya dalam 0,2% NaCl + 40 mEq/L
K2PO4 75 100 75 60
Jumlah dalam 5.400 mL 335 180 355 100
36 jam

Insulin
Untuk menghentikan katabolisme abnormal dan mengembalikan
metabolisme normal dilakukan secara bertahap dan terpantau
dengan mempergunakan RI
Persiapan infus insulin
50 IU + 500 mL NaCl 0,9% → 10 mL larutan mengandung 1 IU
insulin; atau
20 IU + 100 mL NaCl 0,9% → 5 mL larutan mengandung 1 IU
insulin
Tujuan infus insulin untuk menurunkan kadar GD ± 100 mg/dL/jam
biasanya diberikan mulai 0,05–0,1 IU/kgBB/jam. Bila penurunan
kadar GD<50 mg/dL/jam, kecepatan infus insulin ditingkatkan.
Sebaliknya bila penurunan >100 mg/dL/jam, kecepatan infus
dikurangi
Bila kadar GD sudah mencapai ±250 mg/dL tetapi asidosis belum
teratasi → kecepatan infus dikurangi setengahnya, selanjutnya

256
tambahkan larutan dekstrosa 5% ke dalam NaCl 0,9%. Kemudian
kecepatan infus insulin diatur agar mampu mempertahankan
kadar GD 90–180 mg/dL. Bila GD ↓ sampai yang diharapkan,
tetapi asidosis belum juga teratasi → infus insulin jangan dikurangi,
tetapi tambahkan dekstrosa 5% (kalau perlu dekstrosa 10%). Bila
anak sudah dapat makan, kadar GD <250 mg/dL, pH darah ≥7,30
dan kadar bikarbonat plasma >15 mEq/L
Regular insulin
Untuk penderita baru biasanya dimulai dengan dosis 0,25
IU/kgBB setiap 6 jam. Peralihan dari infus insulin ke s.k.
dilakukan dengan cara: berikan suntikan insulin kerja pendek
s.k. ½ jam sebelum makan atau insulin kerja cepat segera
sebelum makan →satu jam kemudian insulin drip dihentikan.
Selanjutnya bila kadar GD sudah stabil, insulin diganti dengan
preparat campuran insulin kerja pendek atau kerja cepat
dengan NPH=1:2. Umumnya ⅔ dosis diberikan sebelum makan
pagi dan ⅓-nya diberikan sebelum makan malam
Koreksi elektrolit
Natrium
Defisiensi insulin → reabsorpsi Na di tubulus ginjal ↓
hiperglikemia → osmolaritas intravaskular ↑ → cairan intrasel
mengalir ke ekstrasel. Kadar Na yang sebenarnya pada saat
diagnosis KAD bergantung pada KD dan lipid darah.
Hiperglikemia dan hiperlipidemia yang terjadi pada KAD, akan
menekan kadar Na darah sehingga secara laboratorium akan
terlihat hiponatremia. Oleh sebab itu harus dilakukan koreksi
kadar Na yang sesungguhnya pada situasi tersebut, yaitu
dengan menggunakan rumus (Na darah dalam mEq/L):
, ( )
[Na+] sesungguhnya = [Na+] didapat +

Bila Na <140 mEq/L → berikan cairan yang mengandung Na 150


mEq/L (NaCl 0,9%). Bila Na >160 mEq/L → berikan cairan yang
mengandung Na 75–110 mEq/L (larutan NaCl 0,45%). Hal ini
perlu diperhatikan karena memberikan cairan isotonis pada KAD
dengan Na darah normal (bukan berdasarkan hasil koreksi
rumus di atas, padahal kadar Na yang sesungguhnya >normal)
akan memudahkan terjadi edema serebral
Kalium
Meskipun K plasma normal/sedikit ↑, sesungguhnya total K
tubuh ↓ karena diuresis osmotik, asidosis metabolik,
glikogenolisis ↑, dan muntah. K mulai diberikan sesudah
pemberian insulin dimulai (sesudah 1 jam rehidrasi). Sebaiknya
K diberikan pada jam ke-2 rehidrasi (bila sudah ada diuresis
serta pH >7,0). Pada dehidrasi pemberian KCl 20–40 mEq/L dan
dapat dinaikkan bila K <3,5 mEq/L. Dalam 24 jam pertama,
K total belum dapat dikembalikan sampai normal. Bila sesudah

257
24 jam masih diperlukan infus → ditambahkan larutan KCl 20
mEq/L ke dalam larutan dekstrosa 5% + NaCl 0,45% atau NaCl
0,225%. Selanjutnya KCl p.o. perlu diberikan untuk beberapa
hari dan pemeriksaan EKG sangat berguna dalam menilai
hipokalemia/hiperkalemia
Ketonemia dan asidosis
Defisiensi insulin dan ↑ hormon kontrainsulin merangsang
lipolisis dan menghambat sintesis lipid → konsentrasi lipid total ↑
(kolesterol, trigliserida, dan asam lemak bebas) → benda keton ↑
yang melampaui kapasitas sekresinya di ginjal → asidosis
metabolik
Bikarbonat
Untuk mengatasi asidosis (hanya pada asidosis berat), bila pH
<7,1 dan atau bikarbonat <10 mEq/L, dengan tujuan untuk
mencapai bikarbonat 15 mEq/L, sehingga jumlah diberikan sama
dengan ½ dosis yang dibutuhkan
Penghitungan pemberian bikarbonat
= 0,3 × (15 − bikarbonat yang didapat) × BB
Kebutuhan ini setara dengan 2 mEq/kgBB, diberikan i.v.
perlahan-lahan selama 60 mnt, atau per drip tanpa pemberian
dosis bolus
Penyulit
Edema serebri
Penyulit yang sering dan fatal (kematian 90%) dan tidak dapat
diramalkan. Faktor penunjang: pemberian cairan terlalu cepat
(>4 L/m2/hr) dan dosis insulin terlalu besar
Untuk deteksi dini penting pengenalan gangguan serebral seperti:
sakit kepala, kesadaran ↓, dan dilatasi pupil
Bila ditemukan gejala edema serebri dilakukan tindakan
Membatasi pemberian cairan <2 L/m2/hr
Manitol 1 g/kgBB
Hiperventilasi sampai PO2 25–27 mmHg
Hipoglikemia (lihat bab hipoglikemia pada DM)
Pemantauan
Klinis
Fungsi vital: nadi, tekanan darah, respirasi, status neurologik tiap
jam
Derajat dehidrasi: masukan dan keluaran cairan
Laboratorium
GD tiap jam selama mendapat infus insulin
Elektrolit dan osmolaritas darah per 2–4 jam
pH dan status asam basa per 2–4 jam
Keton urin tiap diuresis sampai keton (−)
Prognosis
Angka kematian di Amerika Serikat 5–17%

258
Pencegahan
Pencegahan dan pengobatan dini ketonuria → cara paling efektif agar
morbiditas dan mortalitas ↓
Sangat erat hubungannya dengan edukasi dan kepatuhan penderita
Dianjurkan untuk memeriksakan keton urin bila
Anak merasa sakit atau muntah
GD >240 mg/dL
Jika ketonuria sedang: tambahkan RI 5–10% dosis total/hr
Jika ketonuria berat: tambahkan RI 10–20% dosis total/hr
Tabel 66 Algoritme Perubahan Dosis Insulin
GD sebelum makan siang
Jika >150 mg/dL → naikkan dosis RI pagi 1–2 unit
Jika <80 mg/dL → turunkan dosis RI pagi 1–2 unit
GD sebelum makan malam
Jika >150 mg/dL → naikkan dosis NPH pagi 1–3 unit
Jika <80 mg/dL → turunkan dosis RI sore 1–2 unit
GD sebelum waktu tidur
Jika >150 mg/dL → naikkan dosis RI sore 1–2 unit
Jika <80 mg/dL → turunkan dosis NPH sore 1–3 unit
GD sebelum makan pagi
Jika >150 mg/dL → naikkan dosis NPH sore 1–3 unit
Jika <80 mg/dL → turunkan dosis NPH sore 1–3 unit

259
Hiperglikemia Ketoasidosis

Glikosuria
Ekskresi asam keton

Diuresis osmotik

↓ Reabsorpsi H2O ↓ Reabsorbsi Na ↑ Sekresi K+


260

↓ Konsentrasi Na
dalam lumen ↓ Reabsorpsi
PO4

Dehidrasi Defisiensi K+
Defisiensi Na Defisiensi PO4

Gambar 31 Patofisiologi Gangguan Cairan dan Elektrolit KAD


Sumber: Ellis 1990
Bibliografi
1. Alemzadeh R, Ali O. Diabetes mellitus. Dalam: Kliegman RM,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1968–93.
2. Bangstad H-J, Danne T, Deeb LC, Jarosc-Chobots P, Urakami T,
Hanas R. Insulin treatment in children and adolescents with
diabetes. Pediatr Diabetes. 2009:10 (Suppl.12):82–99.
3. Craig ME, Hattersley A, Donaghue KC. Definition, epidemiology,
and classification of diabetes in children and adolescents. Pediatr
Diabetes. 2009:10(Suppl. 12):3–12.
4. Ellis EN. Concepts of fluid therapy in diabetic ketoacidosis and
hyperosmolar hyperglycemic nonketotic coma. Pediatr Clin
North Am. 1990;37(2):313–21.
5. Federman DD. The endocrine patient. Dalam: Larsen PR,
Kronenberg HM, Melmed S, Polonsky KS, penyunting. Williams
textbook of endocrinology. Edisi ke-10. Philadelphia: WB
Saunders; 2003. hlm. 1427–509.
6. Greenspan FS. Pancreatic hormone and diabetes mellitus. Dalam:
Greenspan FS, Gadner DG, penyunting. Basic and clinical
endokrinology. Edisi ke-6. San Francisco: McGraw-Hill; 1997. hlm.
623–42.
7. Hattersley A, Bruining J, Shield J, Njolstadd P, Donaghue KC. The
diagnosis and management of monogenic diabetes in children
and adolescents. Pediatr Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):33–42.
8. Joslin EP. Pathogenesis of insulin dependent (type I) diabetes
mellitus. Dalam: Kahn CR, Weir GC, penyunting. Joslin’s diabetes
mellitus. Edisi ke-13. Philadelphia: Lea and Febiger; 1994. hlm.
216–37.
9. Rewers M, Pihoker C, Donaghue K. Hanas R, Swift PGF,
Klingersmith GJ. Assessment and monitoring of glycemic control
in children and adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes.
2009:10 (Suppl.12):71–81.
10. Sperling MA, Weinzimer SA, Tamborlane WV. Diabetes mellitus.
Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi
ke-3. Saunders Elsevier: Philadelphia; 2008. hlm. 374–421.
11. Styne DM. Penyunting. Pediatric endocrinology. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2004.
12. Swift PGF. Diabetic education in children and adolescent. Pediatr
Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):51–7.

261
OSTEOGENESIS IMPERFECTA
Batasan
Kelainan genetik yang mengakibatkan tulang lebih rapuh dengan
penurunan densitas massa tulang akibat kelainan kuantitatif kolagen
tipe 1
Klasifikasi
Klasifikasi osteogenesis imperfecta dapat dilihat pada Tabel 67
Etiologi
Osteogenesis imperfecta (OI)I sebagian besar disebabkan karena
mutasi dominan pada gen COL1 A1 atau COL 1A2 yang mengode
kolagen tipe 1, sehingga pasien dengan OI memiliki kolagen yang
lebih sedikit atau kualitas yang tidak sesuai dengan orang normal.
Kurang dari 10% kasus OI disebabkan oleh mutasi resesif pada gen
yang lain dari jalur kolagen yaitu gen prolyl 3-hydroxylase (LEPRE 1)
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat hamil ibu dan kelahiran bayi
Riwayat fraktur
Iritabilitas, gelisah, dan menangis yang tidak berhenti yang
mungkin berhubungan dengan fraktur
Riwayat keluarga dengan OI
Riwayat tumbuh kembang
Pemeriksaan Fisis
Deformitas atau disproporsi dalam bentuk fraktur atau bowing
Ukuran lengan, kaki atau tubuh yang pendek dengan derajat
ringan sampai berat
Keterlambatan motorik kasar akibat fraktur atau hipotrofi dan
hipomobilitas
Dapat ditemukan wajah yang abnormal dengan bentuk klasik
segitiga
Dapat ditemukan hipoplasia mandibula, mata cekung, hidung kecil
Pada beberapa tipe ditemukan sklera biru dan dentinogenesis
imperfecta di rongga mulut
Pada tipe yang berat ditemukan distres pernapasan akibat dada
menyempit, sela iga pendek dan menyempit, pectus excavatum/
carinatum
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi: pemeriksaan bone survey → gambaran fraktur baru,
fraktur lama, bowing, kompresi vertebra, gambaran wormian bone
pada foto kepala
Laboratorium penunjang
Darah rutin
Status tulang: Na, Ca, K, Mg, alkali fosfatase
Ureum, kreatinin, SGOT, SGPT

262
Tabel 67 Klasifikasi Osteogenesis Imperfecta
Tipe I II III IV V VI VII VIII
Diturunkan AD AD AD/AR AD/AR AD AR AR AR
Derajat berat Ringan Letal Sedang–berat Ringan–berat Ringan–berat Sedang Sedang Berat
Fraktur Tidak Ya Sering kali Jarang Tidak Tidak Tidak Tidak
kongenital
Deformitas Jarang Sangat Sedang–berat Ringan–sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
tulang berat
Sklera Dominan biru Biru gelap Biru/abu/putih Normal–abu Normal Normal Normal Normal
Perawakan Normal Pendek– Sangat pendek Pendek Bervariasi Pendek Pendek Sangat
berat bervariasi ringan ringan pendek
263

Hipermobili- Ya Ya Ya Bervariasi Bervariasi Bervariasi N/A


tas sendi
Hilang Ada pada N/A Sering Ada pada 42% Tidak Tidak Tidak N/A
pendengaran 60% kasus kasus
Dentinogene- Bervariasi N/A Ya Bervariasi Tidak Tidak Tidak N/A
sis Imperfecta
Penyulit Tidak Ya Ya Tidak Tidak Tidak N/A N/A
respiratorik
Penyulit Tidak N/A Ya Tidak Tidak tidak N/A N/A
neurologik
Sumber : Starr dkk. 2010
Terapi
Pengobatan farmakologi
Zolendronat 0,025–0,05 mg/kgBB/hr 1× pemberian setiap 4–6 bl
Pamidronat 30 mg/m2 2 hr pemberian setiap 3 bl
Pengobatan ortopedi
Rehabilitasi
Penanganan gigi
Penanganan gangguan pendengaran
Penyulit
Fraktur
Skoliosis
Distres pernapasan
Gangguan pendengaran
Perawakan pendek

Konsultasi
Bedah Ortopedi
THT
Gigi Mulut
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Prognosis
Bergantung pada tipe, derajat OI, dan onset terapi

Bibliografi
1. Barros ER, Saraiva GL, Oliveira TP, Lazaretti-Castro M. Safety and
efficacy of a 1-year treatment with zoledronic acid compared
with pamidronate in children with osteogenesis imperfecta. J
Pediatr Endocrinol Metab. 2012;25(5–6):485–91.
2. Basel D, Steiner RD. Osteogenesis imperfecta: recent findings
shed new light on this once well-understood condition. Genet
Med. 2009;11(6):375–85.
3. Glorieux F, penyunting. Guide to osteogenesis imperfecta for
pediatricians and family practice physicians. Bethesda: National
Institutes of Health Osteoporosis and Related Bone Diseases 
National Resource Center; 2007.
4. Glorieux FH. Osteogenesis imperfecta. Best Pract Res Clin
Rheumatol. 2008;22(1):85–100.
5. Karamifar H, Ilkhanipoor H, Ajami G, Karamizadeh Z, Amirhakimi
G, Shakiba AM. Cardiovascular involvement in children with
osteogenesis imperfecta. Iran J Pediatr. 2013;23(4):513–8.
6. Palomo T, Glorieux F, Rauch F. Effect of long-term intravenous
bisphosphonate treatment in children with osteogenesis
imperfecta. Chicago: 14th OI Foundation Scientific Meeting. New
Treatments in Osteogenesis Imperfecta; 2014.
7. Phillipi CA, Remmington T, Steiner RD. Bisphosphonate therapy
for osteogenesis imperfecta. Cochrane Database Syst Rev.
2008;4:CD005088.

264
8. Renaud A, Aucourt J, Weill J, Bigot J, Dieux A, Devisme L, dkk.
Radiographic features of osteogenesis imperfecta. Insight
Imaging. 2013;4(4):417–29.
9. Starr SR, Roberts TT, Fischer PR. Osteogenesis imperfecta:
primary care. Pediatr Rev. 2010;31(8):e54–64.
10. van Dijk FS, Cobben JM, Kariminejad A, Maugeri A, Nikkels PG,
Rijn RR, dkk. Osteogenesis imperfecta: a review with clinical
examples. Mol Syndromol. 2011;2(1):1–20.

265
DISORDER OF SEX DEVELOPMENT (DSD)
Batasan
Kelainan kongenital akibat gangguan perkembangan kromosom,
gonad maupun anatomi organ seksual yang atipikal
DSD bervariasi dari sekedar mikropenis, hipospadia, undesensus
testis, penampilan atau fenotip genitalia eksterna yang tidak khas
(ambigus) sampai gambaran genital eksterna laki-laki atau
perempuan, namun berbeda genitalia internanya
Klasifikasi dan Etiologi
Disorder of sex development diklasifikasikan sesuai dengan kromo-
somnya, histologi gonad, dan fenotipnya. DSD diperkenalkan pada
tahun 2006 untuk menggantikan terminologi sebelumnya seperti
interseks atau hermafrodit. Etiologi DSD sangat luas. Nomenklatur
DSD yang mulai digunakan sejak tahun 2006 membagi etiologi ini
dalam 46,XX DSD, 46,XY DSD, DSD kromosom seks, DSD ovotestikular,
dan 46,XX DSD testikular. Pada dasarnya DSD dapat dibagi menjadi
kelompok disgenesis gonad, kelompok individu 46,XY yang
mengalami undervirilisation (virilisasi tidak sempurna), dan kelompok
individu 46,XX yang mengalami virilisasi prenatal dan pascanatal
Tabel 68 Nomenklatur DSD yang Direvisi
Terminologi Lama Terminologi Baru
Interseks Disorder of sex
development
Pseudohermafrodit laki-laki, virilisasi laki-laki 46,XY DSD
yang tidak sempurna atau maskulinisasi XY laki-
laki yang tidak sempurna
Pseudohermafrodit perempuan, virilisasi 46,XX DSD
berlebihan dari XX perempuan, atau
maskulinisasi dari XX perempuan
Hermafrodit sejati DSD ovotestikular
Pertukaran seks XX atau laki-laki XX 46,XX DSD testikular
Pertukaran seks XY atau wanita XY 46,XY disgenesis
gonad komplet
Sumber: Hughes dkk. 2006

266
Tabel 69 Klasifikasi DSD
DSD Kromosom Seks 46,XY DSD 46,XX DSD
A. 45,X (sindrom Turner dan A. Kelainan perkembangan gonad (testis) A. Kelainan perkembangan gonad (ovum)
berbagai variasinya) - Disgenesis gonad komplet (sindrom Swyer) - DSD ovotestikular
B. 47,XXY (sindrom - Disgenesis gonad parsial (SRY, SOX9, SF1, WT1, - DSD testikular (mis: SRY, SOX9 dupl,
Klinefelter dan berbagai Dax 1 dupl, Wnt4 dupl) RSPO1)
variasinya) - Regresi gonad; DSD ovotestikular - Disgenesis gonad
C. 45,X/46,XY (MGD, DSD B. Kelainan sintesis/kerja androgen B. Kelebihan androgen
ovotestikular) 1. Defek sintesis androgen 1. Level janin
D. 46,XX/46,XY dan - Hipoplasia/aplasia sel Leydig (LHCGR) - Hiperplasia adrenal kongenital (def.
variasinya - Hiperplasia adrenal kongenital (defisiensi CYP21A2, CYP11B1, 3β-HSD)
StAR, CYP1 1A1, CYP1 7A1, 3β-HSD) - POR
- Defisiensi 17β-HSD 2. Level feto-plasental
- Defisiensi 5 ARD2 - Defisiensi aromatase CYP19
267

- Defisiensi P-450 oksoreduktase (POR) - Defisiensi POR


- Sindrom Smith-Lemi-Opitz (DHCR7) 3. Level maternal
2. Defek pada kerja androgen - Tumor virilisasi (luteoma)
- Sindrom insensitivitas androgen (SIAK,SIAP) - Eksogen androgen (progestagen)
- Endokrin disrupter obat dan dari lingkungan C. Dan lain-lain
C. Dan lain-lain - Anomali kongenital-ekstrofi kloaka
- Isolated hipospadia (CXorf6) - Vaginal atresia (McKusick-Kauman)
- Mikropenis - Agenesis/hipoplasia Mulleri-MURCS
- Undesensus testis (GREAT,INSL3) (Wnt4)
- Sindrom anomali kongenital ekstrofi kloaka, - Kelainan uterus (MODY5)
Robinow, Aarskog, hand foot genital, popliteal - Adhesi labial
pterygium
- Persistent Mullerian duct syndrome (AMH,
AMHR)
- Hipogonad hipogonadotropik (DAX1)
Patofisiologi
Sel manusia normal terdiri atas 23 pasang kromosom, 22 pasang
kromosom autosomal dan sepasang kromosom seks yang merupa-
kan penentu perbedaan jenis kelamin. Perempuan kromosom seks-
nya XX, dan laki-laki XY. Sampai pada mgg ke-6 masa kehamilan,
gonad embrio masih belum dapat dibedakan laki-laki atau perempu-
an. Pada masa ini janin sudah mempunyai premordial saluran genital
yaitu saluran Muller dan saluran Wolf, serta mempunyai premordial
genitalia eksterna
Perkembangan genitalia laki-laki merupakan suatu proses aktif. Pada
mgg ke-7 kehamilan, atas prakarsa testes determining factor yang
diproduksi oleh kode gen untuk seks laki-laki, yaitu gen SRY (sex
determining region of the y chromosome), gonad berdiferensiasi
menjadi testis. Proses diferensiasi ini melibatkan 3 kelompok sel
utama yaitu sel Sertoli dan sel-sel lainnya yang terbentuk dari tubulus
seminiferus, sel Leydig dan komponen lain intersisium, serta sperma-
togonia. Pada mgg ke-8–12 masa kehamilan, kadar gonadotropin
korion plasenta ↑, dan merangsang sel Leydig janin untuk
mengeluarkan testosteron serta merangsang sel sertoli untuk
mengeluarkan Mullerian inhibiting factor (MIF). Testosteron akan
merangsang diferensiasi saluran Wolf menjadi epididimis, vasa
deferens, vesikula seminalis, dan saluran ejakulator laki-laki.
Mullerian inhibiting factor akan menyebabkan involusi pada prekusor
embriogenik dari tuba falopi, uterus, serviks, dan ⅓ bagian atas
vagina
Pada mgg ke-9 kehamilan, enzim 5-α-reductase dari sel target akan
mengubah sebagian testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT),
dan DHT inilah yang merangsang diferensiasi alat kelamin luar laki-
laki, merangsang pertumbuhan tuberkel genital, fusi lekuk uretra,
dan pembengkakan labioskrotal untuk membentuk glans penis,
penis, dan skrotum
Perkembangan genitalia perempuan lebih sederhana bila dibanding-
kan dengan perkembangan genitalia laki-laki. Pada mgg ke-7–12
masa kehamilan, sejumlah sel germinal mengalami transisi dari
oogonia menjadi oosit, sehingga terjadi diferensiasi dari gonad
menjadi ovarium. Saluran Muller berkembang menjadi tuba falopi,
uterus, serviks, dan ⅓ bagian atas vagina, sedangkan saluran Wolf
menjalani proses regresi. Pada diferensiasi genitalia eksterna
perempuan, tuberkel genital tetap kecil dan membentuk klitoris.
Lekuk uretra membentuk labia minora, dan lekuk labioskrotal
membentuk labia mayora
Bila terjadi gangguan pada proses perkembangan genitalia yang
demikian kompleks, maka akan terjadi kelainan pada genitalia sesuai
dengan pada tahapan ketika gangguan terjadi
Diagnosis
Penentuan jenis kelamin pada bayi baru lahir dengan ambigus
sebaiknya tidak segera dilakukan sampai pemeriksaan lengkap dan
dievaluasi oleh ahlinya. Evaluasi dan manajemen jangka panjang oleh
tim yang terdiri atas ahli multidisiplin ilmu: spesialis endokrinologi

268
anak, bedah anak dan atau urologi, psikolog, psikiater, ginekolog,
neonatologis, ahli genetika, pekerja sosial, perawat, ahli agama, dan
ahli etik medis. Komunikasi yang terbuka antara penderita dan
keluarga serta dukungan keluarga dalam pengambilan keputusan
pada penderita akan sangat membantu
Anamnesis
Riwayat serupa dalam keluarga dapat membantu karena beberapa
kelainan DSD diturunkan seperti sindrom insensitivitas androgen (x-
linked), defisiensi enzim 5-α-reductase (autosomal resesif), hiper-
plasia adrenal kongenital (autosomal resesif) dan gangguan bio-
sintesis testosteron (autosomal resesif)
Riwayat kematian neonatal dini yang tidak jelas penyebabnya,
muntah-muntah baik dengan atau tanpa genital ambigus merupakan
petunjuk yang mengarah pada hiperplasia adrenal kongenital (HAK).
Virilisasi pada usia pubertas mengarah kepada defisiensi 5-α-
reductase atau defisiensi 17-β dehidrogenase
Riwayat infertilitas dalam keluarga juga dapat menjadi petunjuk ada
kemungkinan DSD
Riwayat kehamilan dapat memberikan petunjuk penting seperti
paparan terhadap androgen, obat-obatan tertentu, dan virilisasi ibu
selama kehamilan
Pemeriksaan Fisis
Keadaan Umum
Penampilan dismorfik, kelainan pertumbuhan dan perkembangan,
retardasi mental, serta mikrosefal sering ditemukan pada sindrom
tertentu
Gagal tumbuh, hiperpigmentasi, hipertensi merupakan gejala HAK
Genitalia Eksterna
Terdapat virilisasi
Perabaan gonad, terdapat massa di region inguinal, simetris atau
tidak
Pengukuran panjang klitoris (normal 4–7 mm) dan stretched penile
length (SPL)
Letak orifisium uretra dan introitus vagina
Rasio anogenital
Definisi: jarak antara anus dan fourchette vagina posterior
dibagi jarak antara anus dan basis klitoris. Bila rasio >0,5
menandakan terdapat virilisasi dan fusi labioskrotal
Stadium Prader
Prader sudah memberikan gambaran klinis genital yang ambigus
sesuai dengan berat ringan ambiguitas. Kondisi ambigus genitalia
dapat diklasifikasikan berdasar Prader
Stadium 1: hanya klitoromegali, tanpa fusi labial
Stadium 2: klitoromegali dan fusi labial posterior
Stadium 3: klitoromegali, terdapat orifisiumperineal urogenitalis
tunggal, fusi labia hampir sempurna

269
Stadium 4: klitoris menyerupai penis, terdapat sinus urogenital
yang menyerupai uretra pada dasar klitoris atau
hipospadia perineoskrotal dan fusi labia sempurna
Stadium 5: klitoris menyerupai penis, meatus uretra berada pada
ujung phallus dan labia menyerupai skrotum (fenotipe
genitalia laki-laki, namun tidak teraba gonad)

Pere Laki-
mpu laki
an

Gambar 32 Stadium Prader


Sumber: White dan Speiser 2000

Pemeriksaan Penunjang
Analisis kromosom seks, pemeriksaan dengan metode FISH untuk
mengetahui SRY
Pencitraan untuk melihat ada tidaknya struktur duktus Mulleri, lokasi
gonad, traktur atau sinus urogenital. USG dapat menjadi modalitas
pertama dalam investigasi kelenjar adrenal, ginjal, rongga pelvis,
regioinguinal dan skrotum. Bila USG tidak dapat mengidentifikasi
maka dapat dilakukan MRI
Genitogram
Genitoskopi yang diaugmentasi dengan laparaskopi
Pemeriksaan laboratorium: elektrolit, kadar hormon steroid darah,
profil steroid urin
Tes stimulasi hormon: tes stimulasi HCG, tes stimulasi adrenokortiko-
tropin
Histopatologi dan imunokimiawi
Terapi
Anak yang lahir dengan DSD memerlukan pendekatan spesialistik
untuk mendapatkan pengambilan keputusan terbaik bagi anak.
Penatalaksanaan anak DSD membutuhkan tim ahli multidisiplin yang
terdiri atas spesialis endokrinologi anak, tumbuh kembang pediatrik
sosial, bedah urologi, bedah plastik, kandungan dan kebidanan,
psikologi, psikiatri, genetika klinik, rehabilitasi medik, patologi klinik,
patologi anatomi, dan Bagian Hukum Rumah Sakit/Kedokteran
Forensik
Penentuan gender kasus DSD sebaiknya dilakukan sesegera-
segeranya sesudah evaluasi diagnostik secara menyeluruh
Pola asuh seksual (sex rearing)
Pengobatan hormonal bervariasi sesuai indikasi dan etiologi kasus
DSD

270
Koreksi bedah
Tujuan pembedahan rekonstruksi pada genitalia perempuan
adalah agar mempunyai genitalia eksterna feminin, sedapatnya
seperti normal dan mengoreksi agar fungsi seksualnya normal.
Tujuan pembedahan rekonstruksi pada genitalia laki-laki adalah
meluruskan penis dan mengubah letak uretra yang tidak berada di
tempat normal ke ujung penis. Hal ini dapat dilakukan dalam satu
sampai beberapa tahapan
Dukungan psikologis
Edukasi dan konseling medis
Membentuk support groups
Penyulit
Penyulit yang timbul bergantung pada etiologi dan manajemen terapi
yang dipilih. Secara umum penyulit yang timbul:
Keganasan
Osteoporosis
Krisis adrenal
Obstruksi saluran kemih
Risiko psikososial terhadap anak
Infertilitas
Kapasitas untuk mendapatkan hubungan seksual yang memuaskan
di masa dewasa hilang atau ↓
Prognosis
Mortalitas bergantung pada etiologi yang mendasari
Kualitas hidup akan ↑ bila diagnosis dan tatalaksana dilakukan
secepatnya sesudah bayi lahir

Bibliografi
1. Al Jurayyan NAM. Disorders of sex development: diagnostic
approaches and management options—an Islamic perspective.
Malays J Med Sci. 2011;18(3):4–12.
2. Cools M, Looijenga LHJ, Wolffenbuttel KP, Drop SL. Disorders of
sex development: update on the genetic background,
terminology and risk for the development of germ cell tumors.
World J Pediatr. 2009;5(2):93–102.
3. Crissman HP, Warner L, Gardner M, Carr M, Schast A, Quittner
AL, dkk. Children with disorders of sex development: a
qualitative study of early parental experience. Int J Pediatr
Endocrinol. 2011;2011(1):10.
4. Holterhus PM, Bebermeier JH, Werner R, Demeter J, Richter-
Unruh A, Cario G, dkk. Disorders of sex development expose
transcriptional autonomy of genetic sex and androgen-
programmed hormonal sex in human blood leukocytes. BMC
Genomic. 2009;10:292.
5. Hughes IA, Houk C, Ahmed SF, Lee PA. Consensus statement on
management of intersex disorder. Arch Dis Child. 2006;91(7):
554–63.

271
6. Intersex Society of North America. Clinical guidelines for the
management of disorders of sex development in childhood.
Consortium on the Management of Disorders of Sex
Development. Rohnert Park: Intersex Society of North America;
2006.
7. Karkazis K, Tamar-Mattis A, Kon AA. Genital surgery for disorders
of sex development: implementing a shared decision-making
approach. J Pediatr Endocrinol Metab. 2010;23(8):789–806.
8. Lee PA, Houk CP, Ahmed SF, Hughes IA. Consensus statement on
management of intersex disorder. Pediatrics. 2006;118(2):e488–
500.
9. Maharaj D. Disorders of sex development: a review. Curr
Women’s Health Rev. 2008;4:223–39.
10. Rapaport R. Disorders of gonad. Dalam: Kliegman RM, Behrman
RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.
hlm. 2374–403.
11. Styne DM. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2004.
12. Warne GL, Raza J. Disorder of sex development (DSDs), their
presentation and management in different culture. Rev Endocr
Metab Disord. 2008;9(3):227–36.
13. White PC, Speiser PW. Congenital adrenal hyperplasia due to 21-
hydroxylase deficiency. Endocr Rev. 2000;21(3):245–91.

272
HIPERPLASIA ADRENAL KONGENITAL
Batasan
Hiperplasia adrenal kongenital (HAK) merupakan suatu kelainan yang
diturunkan secara autosomal resesif akibat defisiensi salah satu
enzim yang diperlukan dalam sintesis kortisol di korteks adrenal.
Gangguan sintesis kortisol ini menyebabkan penurunan umpan balik
negatif dari kortisol meningkatkan sintesis hormon adrenocortico-
tropic (ACTH) dan akhirnya terjadi hiperplasia adrenal
Hiperplasia adrenal kongenital merupakan penyebab dari sekitar 50%
DSD, baik laki-laki maupun perempuan dapat terkena. Insidensi HAK
berkisar 1:10.000 hingga 1:20.000 kelahiran hidup
Klasifikasi dan Etiologi
1. HAK akibat defisiensi 21-hidroksilase (CYP21)
Simple virilizing form
Salt-losing form (bentuk paling berat)
Attenuated form/late onset/non-classical
2. HAK akibat defisiensi 11β-hidroksilase (CY11B1)
3. HAK akibat defisiensi 17α-hidroksilase (CYP17)
4. HAK akibat defisiensi 3β-hidroksisteroid (3β-HSB)
5. HAK akibat defisiensi lipoid hiperplasia
6. HAK akibat defisiensi aldosterone synthase
Patofisiologi
Gangguan biosintesis steroid adrenokortikal merupakan penyebab
utama kelainanan ini. Adrenal korteks menyekresikan 3 hormon
utama yaitu glukokortikoid (kortisol, kortikosteron), mineralokorti-
koid (aldosteron, deoksikortikosteron) dan androgen (dehidro-
epiadrosteron/DHEA dan androstenedion). Hormon glukokortikoid ini
diatur oleh jalur hipotalamus-hipofisis-adrenal. Sekresi hormon
mineralokortikoid akan diatur oleh sistem renin-angiotensin,
sedangkan hormon androgen diatur oleh hormon trofik yang belum
terkarakterisasi. Umpan balik endokrin yang klasik juga terjadi di sini.
Kortisol akan menginhibisi baik corticotropin-releasing factor yang
dikeluarkan hipotalamus dan ACTH dari hipofisis. Retensi natrium
yang diinduksi oleh aldosteron akan menginhibisi sekresi renin oleh
ginjal

273
Gambar 33 Biosintesis Steroid di Korteks Adrenal
Sumber: Speiser dan White 2003

Diagnosis
Anamnesis
Kelamin ganda bila disertai krisis adrenal akut timbul keluhan
malas menetek, muntah, diare, dan BB ↓
Riwayat serupa di keluarga
Riwayat ibu melahirkan bayi meninggal tanpa sebab jelas
Keluhan munculnya rambut pubis, rambut aksila, dan rambut pada
wajah di usia dini
Keluhan timbul jerawat dan bau badan
Pemeriksaan Fisis
Gangguan pertumbuhan
Hipertensi timbul biasanya pada HAK akibat defisiensi 11β-
hidroksilase (CY11B1)
Hiperpigmentasi genitalia eksterna
Pada anak perempuan menyebabkan hipertrofi klitoris dan fusi
labial. Derajat maskulinisasi genitalia eksterna dinilai dengan
stadium Prader
Pada anak laki-laki menyebabkan perubahan suara dan masku-
linisasi genitalia eksterna lebih dini disertai ukuran penis ↑ tanpa
perkembangan ukuran testis
Pada krisis adrenal berakibat dehidrasi berat sampai syok dengan
gangguan elektrolit

274
Maturasi skeletal yang cepat
Majunya usia tulang dan penutupan prematur dari epifise,
sehingga anak berperawakan pendek
Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang
Analisis kromosom seks
Pencitraan: ultrasonografi/MRI sistem reproduksi interna
Genitogram
Pemeriksaan laboratorium: kadar hormon steroid darah (kortisol,
17 OH progesteron, progesteron, 17-hidroksi pregnenolon,
androstenedion, DHEA, dan testosteron), elektrolit (hiponatremia),
profil steroid urin
Bone age
Terapi
Glukokortikoid: hidrokortison 15–20 mg/m2/hr dibagi dalam 2 atau
3× sehari
Mineralokortikoid (fludrokortison 0,1–0,2 mg, dapat sampai 0,4
mg/hr)
Suplemen NaCl (1–2 g/hr, tiap 1 g NaCl mengandung 17 mEq Na)
Adrenalektomi sesuai indikasi
Koreksi bedah: klitoroplasti, rekonstruksi vagina
Konseling
Kondisi Krisis Adrenal
Atasi syok dengan tatalaksana syok hipovolemik pada umumnya
Rehidrasi bila terdapat dehidrasi
Koreksi hipoglikemia
Hidrokortison suksinat
2
dosis stres 50–100 mg/m2 bolus i.v. dilan-
jutkan 50–100 mg/m /hr i.v. dibagi menjadi 4 dosis

Penyulit
Sindrom Cushing iatrogenik
Osteopenia, osteoporosis
Trauma psikologis
Prognosis
Krisis adrenal dapat berakibat kematian
Pengobatan harus dilakukan seumur hidup
Diagnosis dan tatalaksana secara dini akan mencegah virilisasi yang
berkelanjutan
Pencegahan
Konseling genetik prenatal
Terapi deksametason prenatal bagi ibu hamil dengan bayi yang
berisiko
Skrining neonatal

275
Bibliografi
1. Speiser PW, Azziz R, Baskin LS, Ghizzoni L, Hensle TW, Merke DP,
dkk. Congenital adrenal hyperplasia due to steroid 21-
hydroxylase deficiency: an Endocrine Society clinical practice
guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2010;95(9):4133–60.
2. Speiser PW, White PC. Congenital adrenal hyperplasia. N Engl J
Med. 2003;349(8):776–88.
3. Levine LS. Congenital adrenal hyperplasia. Pediatr Rev. 2000;
21(5):159–71.
4. Lee PA, Fuqua JS, Nebesio TB. Treatment and outcome of
congenital adrenal hyperplasia: 21-hydroxylase deficiency. Int J
Pediat Endocrinol. 2010;2010:276843.
5. Charmandari E, Brook CG, Hindmarsh PC. Classic congenital
adrenal hyperplasia and puberty. Eur J Endocrinol. 2004;151:77–
82.
6. Loechner KJ, McLaughlin JT, Calikoglu AS. Alternative strategies
for the treatment of classical congenital adrenal hyperplasia:
pitfalls and promises. Int J Pediatr Endocrinol. 2010;2010:
670960.
7. Rivkees SA. Dexamethasone therapy of congenital adrenal
hyperplasia and the myth of the "growth toxic" glucocorticoid.
Int J Pediatr Endocrinol. 2010;2010:569680.
8. Donohoue PA. Adrenal disorder. Dalam: Kappy MS, Allen DB,
Geffner ME, penyunting. Pediatric practice endocrinology. New
York: McGraw Hill; 2010. hlm. 131–63.
9. Antal Z, Zhou P. Congenital adrenal hyperplasia: diagnosis,
evaluation and management. Pediatr Rev. 2009;30(7):e49–57.
10. Australian Pediatric Endocrine Group. Hormones and me.
Congenital adrenal hyperplasia (CAH). 2011 [diunduh 2 Oktober
2014]. Tersedia dari: http://www.apeg.org.au/Portals/0/
resources/Hormones_and_Me_8_CAH.pdf.
11. American Academy of Pediatrics. Technical report: congenital
adrenal hyperplasia. Section on Endocrinology and Committee
on Genetics. Pediatrics. 2000;106(6):1511–8.
12. Nimkarn S, Lin-Su K, New MI. Steroid 21 hydroxylase deficiency
congenital adrenal hyperplasia. Endocrinol Metab Clin N Am.
2009;38(4):699–718.

276
Gastrohepalogi
Iesje Martiza Sabaroedin
Dwi Prasetyo
Yudith Setiati Ermaya
ABDOMEN AKUT
Batasan
Merupakan keadaan yang menunjukkan kegawatan pada abdomen
yang ditandai dengan sakit perut mendadak
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis bergantung pada usia penderita, umumnya: nyeri
perut mendadak, muntah, tiba-tiba menangis, menangis tanpa sebab
yang jelas
Diagnosis
Anamnesis
Nyeri perut mendadak
Panas badan
Muntah
Diare
Konstipasi
Disuria
Batuk, napas pendek, nyeri dada
Nyeri sendi, ruam, urin kemerahan
Amenorrhea
Penggunaan obat-obatan
Trauma
Keracunan
Pemeriksaan Fisis
Lokalisasi nyeri
Ketegangan dinding perut
Peristaltik ↑ atau ↓
Colok dubur: menilai ampula rekti, tonus sphinter, terdapat massa,
lokalisasi rasa nyeri, darah
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (urin, feses, dan darah)
Radiologi (foto polos dan USG abdomen)

279
Klasifikasi
Tabel 70 Diagnosis Banding Nyeri Abdomen Akut Menurut Usia
Lahir s.d. 1 Tahun 2–5 Tahun 6–11 Tahun 12–18 Tahun
Kolik infantil Gastroenteritis Gastroenteritis Apendisitis
Gastroenteritis Apendisitis Apendisitis Gastroenteritis
Konstipasi Konstipasi Konstipasi Konstipasi
Infeksi saluran Infeksi saluran Nyeri fungsional Dysmenorrhea
kemih kemih
Intususepsi Intususepsi Infeksi saluran Penyakit
kemih inflamasipelvis
Volvulus Volvulus Trauma Abortus imminens
Hernia Trauma Faringitis Kehamilan
inkarserata ektopik
Hirschprung Faringitis Pneumonia Torsio
ovarium/testis
Sickle cell crisis Sickle cell crisis
Henoch-Schonlein Henoch-Schonlein
purpura purpura
Limfadenitis Limfadenitis
mesenterika mesenterica
Sumber: Balanchandran dkk. 2013

Terapi
Nonbedah
Puasa dan pemberian cairan rumat i.v.
Resusitasi cairan bila ada tanda syok atau dehidrasi
Pemberian O2 bila ada tanda gangguan pernapasan
Dekompresi dengan pemasangan pipa lambung dan pipa dubur
bila ada tanda ↑ tekanan dalam usus dan muntah
Pemberian antibiotik atas indikasi
Bedah
Kolonostomi: pada atresia ani letak tinggi
Anoplasti: pada atresia ani letak rendah
Laparotomi eksplorasi: pada peritonitis
Prognosis
Bergantung pada penyebab yang mendasari

280
NYERI ABDOMEN
YANG MENYEBAR
Pankreatitis akut Iskemik mesenterik
Kertoasidosis diabetikum Peritonitis (akibat apapun)
Gejala awal apendisitis Krisis sickle cell
Gastroenteritis Peritonitis spontan
Obstruksi intestinal Demam tifoid

NYERI KUADRAN
KANAN ATAU KIRI ATAS
Pankreatitis akut
Herpes zoster
NYERI KUADRAN Pneumonia lobus bawah
KANAN ATAS Iskemik miokardial
Radikulitis
Kolesistitis
dan kolik bilier
Hepatomegali
kongestif
Hepatitis atau NYERI KUADRAN
abses hepatik KIRI ATAS
Ulkus duodenum Gastritis
perforasi Gangguan limpa
Apendisitis retrosekal (abses, ruptur
(jarang)

NYERI KUADRAN
KANAN BAWAH
Apendisitis
Divertikulitis sekum NYERI KUADRAN
Divertikulitis Meckel KIRI BAWAH
Adenitis mesenterik Diverkulitis sigmoid

NYERI KUADRAN BAWAH


KANAN ATAU KIRI
Abses abdomen/psoas
Hematoma dinding abdomen
Sistitis
Endometriosis
Hernia inkarserata/strangulata
Inflammatory bowel disease
Mittelschmerz
Peradangan panggul
Batu ginjal
Ruptur aneurisme aorta abdominal
Ruptur kehamilan ektopik
Kista ovarium/testis terpuntir

Gambar 34 Etiologi Abdomen Akut berdasarkan Lokalisasi dan Sifat


Nyeri

281
Apendisitis
Nafsu makan ↓, gangguan pencernaan, atau perubahan kebiasaan
BAB
Nyeri perut yang awalnya tidak dapat dilokalisasi berlanjut menjadi
nyeri sebelah kanan bawah (McBurney)
Demam, takikardia
Leukosit dan CRP ↑
USG: bayangan tubular buntu dengan diameter min. 6 mm,
nonkompresibel
Divertikel Meckel
Presentasi klinis klasik divertikel Meckel: penderita usia prasekolah
dengan perdarahan rektum yang tidak nyeri, perdarahan biasanya
episodik, dan membaik tanpa terapi
Nyeri periumbilikal biasanya merupakan gejala awal, biasanya
tidak disertai mual dan muntah seperti apendisitis klasik, pungtum
maks. nyeri dapat berpindah ke sisi lainnya bila anak bergerak
Bila didapatkan perdarahan rektal, perlu disingkirkan polip dan
fisura ani
Bila obstruksi dilakukan pencitraan foto polos dan USG abdomen
Skintigrafi perlu untuk menegakkan diagnosis (bila memungkinkan)
Intususepsi
Nyeri perut: nyeri mendadak, intermiten, kolik, diselingi periode
tenang
Muntah
Massa abdomen
Perdarahan per rektal
Foto polos abdomen
USG: doughnut sign
Hernia inkarserata
Riwayat benjolan keluar masuk di lipat paha, keluar saat ber-
aktivitas dan masuk/hilang bila penderita tidur/beristirahat
Bila keadaan inkarserata/strangulata benjolan tidak dapat masuk
kembali, disertai dengan tanda-tanda obstruksi intestinal: mual,
muntah, nyeri, tidak ada buang angin maupun BAB, distensi
abdomen, BAB berdarah merupakan tanda strangulata
Bila didapatkan tanda-tanda peritonitis dipastikan hernia sudah
mengalami strangulata
Bila pada benjolan didapatkan gambaran kemerahan dan tanda-
tanda radang, harus dicurigai strangulata dengan kemungkinan
perforasi usus
Malrotasi
Gambaran klinis adalah obstruksi letak tinggi seperti gambaran
atresia duodenum
Gambaran radiologis: double bubble

282
Bila pada gambaran double bubble disertai dengan penebalan
dinding maka dilakukan skrining lanjutan: sonografi dengan
gambaran whirlpool sign → patognomonis pada malrotasi
Baku emas: pemeriksaan upper GI dengan kontras: gambaran cork
screw ataupun posisi caecum yang terletak di kiri atau kanan atas
Bibliografi
1. Balanchandran B, Singhi S, Lal S. Emergency management of
acute abdomen in children. Indian J Pediatr. 2013;80(3):226–34.
2. George WH, Patrick M. Ashcraft’s pediatric surgery. Edisi ke-5.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.
3. Leung AKC, Sigalet DL. Acute abdominal pain in children. Am Fam
Physician. 2003;67(11):2321–6.
4. Shelton T, MCkinlay R, Schwartz RW. Acute appendicitis: current
diagnosis and treatment. Curr Surg. 2003;60:502–50.
5. Zhou H, Chen Y, Zhang J. Abdominal pain among children re-
evaluation of a diagnostic algorithm. World J Gastroenterol.
2002;8(5):947–51.

283
CHOLESTATIS JAUNDICE (KOLESTASIS)
Batasan
Hambatan aliran empedu yang menyebabkan retensi berbagai
substansi yang seharusnya diekskresikan ke kandung empedu dengan
bilirubin direk >2 mg/dL bila bilirubin total <5 mg/dL atau bilirubin
direk >20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total >5 mg/dL
Klasifikasi
Kolestasis intrahepatik → terdapat kelainan pada hepatosit atau
elemen duktus biliaris intrahepatik
Kolestasis ekstrahepatik → terdapat penyumbatan atau obstruksi
saluran empedu ekstrahepatik
Epidemiologi
Secara keseluruhan kolestasis pada bayi terjadi cukup tinggi yaitu
1/2.500 kelahiran hidup. Kolestasis intrahepatik merupakan 68% dari
kasus kolestasis, sedangkan ekstrahepatik 32% dan sebagian besar
adalah atresia biliaris. Angka kejadian atresia biliaris sebesar 1 dari
8.000–25.000 kelahiran hidup
Manifestasi Klinis
Obstruksi intrahepatik yang terjadi biasanya jarang seberat obstruksi
ekstrahepatik, sehingga kolestasis intrahepatik umumnya hanya me-
ningkatkan alkali fosfatase yang tidak begitu tinggi, dan hanya ter-
dapat sedikit pigmen dalam feses atau bilirubin urin bila dibanding-
kan dengan kolestasis ekstrahepatik
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat prenatal, neonatal, riwayat morbiditas ibu selama ke-
hamilan misalnya infeksi toksoplasma, others, rubela, cytomegalo-
virus, dan herpes (TORCH), hepatitis B, riwayat pemberian nutrisi
parenteral, transfusi darah, serta penggunaan obat hepatotoksik
Pemeriksaan Fisis
Didapatkan ikterus, hepatomegali, dapat ditemukan splenomegali
dan venektasi
Tabel 71 Empat Kriteria Klinis Terpenting untuk Membedakan
Kolestasis Intrahepatik dengan Ekstrahepatik
Gambaran Kolestasis Kolestasis
Ekstrahepatik Intrahepatik
BB lahir (g) 3.200 2.700
Warna feses (% akolik) 79 26
Usia saat feses akolik (hr) 16 30
Ukuran abnormal atau 87 53
konsistensi hepar (%)
Sumber: Moyer dan Balisteri 1991

284
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Feses:
Warna feses berwarna dempul (biasanya pada kolestasis
ekstrahepatik)
Darah:
Kadar bilirubin total ↑ dan bilirubin direk ↑
SGOT ↑, SGPT ↑
Alkali fosfatase ↑, gama glutamil transferase ↑
Albumin ↓, waktu protombin ↑
Tabel 72 Tes Fungsi Hati Cholestasis Jaundice
Tes Fungsi Hati Kolestasis Intrahepatik Kolestasis Ekstrahepatik
Bilirubin total 10,2 ± 4,5 12,1 ± 9,6
(mg/dL)
Bilirubin direk 6,2 ± 2,6 8,0 ± 6,8
(mg/dL)
SGOT >10× normal <5× normal
SGPT >10× normal <5× normal
Gama-GT <5× normal atau normal >5× normal/>600 IU/L
Sumber: Tirziu 2011

Pencitraan
Ultrasonografi (USG)
USG gambaran triangular cord sign sangat membantu
diagnosis atresia biliaris dengan sensitivitas dan spesifisitas
100%
Gambaran berupa massa fibrotik berbentuk kerucut atau
tubular pada bagian kranial dan bifurkatio vena porta pada
penderita atresia biliaris
Skintigrafi
Pada kolestasis intrahepatik uptake kontras oleh hati
biasanya terlambat tetapi ada ekskresi ke dalam usus
Pada atresia biliaris uptake kontras oleh hati biasanya cepat
tetapi tidak ada ekskresi ke dalam usus
Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP)
(MRCP) merupakan prosedur diagnostik teraman untuk
mengeksplorasi saluran kandung empedu, sehingga dapat
diketahui apakah terdapat sumbatan pada saluran kandung
empedu
Biopsi hati
Merupakan pemeriksaan yang paling dapat dipercaya untuk
mendiagnosis kolestasis, akurasi mencapai 90–95%

285
Terapi
Umum
Memperbaiki aliran bahan yang dihasilkan hati ke dalam usus dan
melindungi hati dari zat toksik dengan asam ursodeoksikolat
(UDCA) 10–16 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis. Kolesteramin sebagai
terapi pruritus dan mengikat asam empedu di usus halus, dosis
0,25–0,5 g/kgBB/hr
Nutrisi dan Vitamin
Formula medium chain triglyceride (MCT) karena relatif larut
dalam air sehingga tidak memerlukan garam empedu untuk
absorbsi
Kebutuhan kalori 125% dari normal dan protein 2–3 g/kgBB/hr
Vitamin yang larut dalam lemak:
A : 5.000–25.000 IU/hr
D3 : kalsitriol 0,05–0,2 μg/kgBB/hr
E : 25–50 IU/kgBB/hr
K1 : 2,5–5mg/2–7×/mgg
Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, selenium, dan Fe

Khusus
Untuk toksoplasma diberikan
Pirimetamin
Dosis yang diberikan 2 mg/kgBB/hr (maks. 50 mg/hr) selama
2 hr pertama selanjutnya dosis pemeliharaan 1 mg/kgBB/hr
selama 6 bl, kemudian 1 mg/kgBB/hr selang sehari sampai 1 th.
Efek samping yang sering terjadi adalah anemia defisiensi asam
folat
Sulfadiazin
Dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis selama 1 th
Asam folat
Dosis 5–10 mg/kgBB/hr, 3×/mgg untuk mencegah toksisitas
pirimetamin

Pengobatan Bedah
Bedah portoenterostomi kasai pada atresia biliaris (merupakan
tindakan sementara sebelum dilakukan tindakan definitif yaitu
transplantasi hati)

Prognosis
Pada atresia biliaris bila operasi dilakukan pada usia <8 mgg maka
angka keberhasilan 80%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia
>12 mgg maka angka keberhasilan 20%

Bibliografi
1. European Association for the Study of the Liver. EASL clinical
practice guidelines: management of cholestatic liver diseases. J
Hepatol. 2009 Aug;51(2):237–67.

286
2. Feranchak AP, Ramirez RO, Sokol RJ. Medical and nutritional
management of cholestasis. Dalam: Suchy F, Sokol R, Balisteri
WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. hlm. 195–225.
3. Kotb MA, Kotb A, Sheba MF, El Koofy NM, El-Karaksky HM,
Abdel-Kahlik MK, dkk. Evaluation of the triangular cord sign in
the diagnosis of biliary atresi. Pediatrics. 2001;108(2):416–20.
4. Moyer MS, Balisteri WF. Prolonged neonatal obstructive
jaundice. Dalam: Walker W, Durie P, Hamilton J, Walker-Smith J,
Watkins J, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease.
Philadelphia: BC Dekker Inc; 1991. hlm. 835–48.
5. Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis. Dalam: Suchy
F, Sokoi R, Balisteri WF, penyunting. Liver disease in children.
Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. hlm.
187–94.
6. Tirziu C. Jaundice obstructive syndrome. Curr Health Sci J. 2011;
37(2):96–100.

287
DIARE AKUT
Batasan
Diare akut adalah buang air besar (BAB) dengan konsistensi yang
lebih lunak atau cair yang terjadi dengan frekuensi ≥3× dalam 24 jam
dan berlangsung dalam waktu <14 hr
Etiologi
Infeksi
Bakteri: E. coli, Shigella, Salmonella, Vibrio, Yersinia, Campylobacter
Virus: rotavirus, Norwalk virus, Adenovirus
Parasit: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Cryptosporidium
parvum
Alergi: protein air susu sapi
Intoleransi: karbohidrat
Malabsorpsi: karbohidrat, lemak, protein
Keracunan makanan
Zat kimia beracun
Toksin mikroorganisme: Clostridium perfringens, Staphylococcus aureus
Imunodefisiensi
Manifestasi Klinis
Penderita dengan diare cair mengeluarkan feses yang mengandung
sejumlah elektrolit seperti Na, klorida, dan bikarbonat. Keadaan ini
dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik, dan gangguan
elektrolit
Diagnosis
Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan pada anamnesis:
Lama diare, frekuensi, volume, konsistensi feses, warna, bau,
ada atau tidak ada lendir maupun darah
Bila disertai dengan muntah: volume dan frekuensi
Jumlah atau frekuensi buang air kecil
Makanan dan minuman yang diberikan selama diare
Gejala lain seperti panas badan, kejang atau penyakit lain yang
menyertai seperti batuk, pilek, dan campak
Tindakan yang sudah dilakukan: pemberian oralit, riwayat peng-
obatan sebelumnya, dan riwayat imunisasi
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis meliputi BB dan tanda vital. Pemeriksaan
ditujukan pada tanda-tanda utama dehidrasi. Pernapasan cepat
dan dalam menunjukkan keadaan asidosis metabolik. Bising usus
. Daerah perianal dapat
ditemukan ruam perianal

288
Tabel 73 Tanda dan Gejala Klinis Dehidrasi
Gejala & Tanda A B C
Keadaan umum Baik, sadar *Gelisah, rewel *Letargik,
kesadaran ↓
Mata Normal Cekung Sangat cekung
Air mata Basah Kering Sangat kering
Mulut/lidah Basah Kering Sangat kering
Rasa haus Minum normal, *Tampak *Sulit, tidak
tidak haus kehausan dapat minum
Kulit Turgor kembali *Turgor kembali *Turgor kembali
cepat lambat sangat lambat
Derajat dehidrasi Tanpa dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi berat
ringan/sedang Bila ada 1 tanda *
Bila ada 1 tanda * ditambah
ditambah 1 atau lebih
1 atau lebih tanda lain
tanda lain
Terapi Rencana terapi A Rencana terapi B Rencana terapi C
Defisit cairan <5% atau 5–10% atau >10% atau
<50 mL/kgBB 50–100 >100 mL/kgBB
mL/kgBB
Sumber: WHO 2005

Pemeriksaan Penunjang
Feses rutin, makroskopik (warna, konsistensi, darah, lendir,
nanah), dan mikroskopik (eritrosit, leukosit, telur cacing, ameba,
lemak). Pada dehidrasi berat, perlu pemeriksaan laboratorium
lebih lengkap seperti darah rutin, elektrolit, dan analisis gas darah
Berdasarkan patomekanismenya, diare akut dibedakan menjadi 3
macam yaitu:
1. Diare sekretorik
Diare sekretorik adalah diare yang terjadi akibat aktifnya enzim
adenil siklase yang akan mengubah adenosine triphosphate (ATP)
menjadi cyclic adenosine monophosphate (cAMP). Akumulasi
cAMP intraselular menyebabkan sekresi aktif air, ion klorida,
natrium, kalium, dan bikarbonat ke dalam lumen usus. Adenil
siklase ini diaktifkan oleh toksin yang dihasilkan dari mikroorganis-
me, antara lain Vibrio cholera, Enterotoxigenic Eschericia coli
(ETEC), Shigella, Clostridium, Salmonella, dan Campylobacter
2. Diare invasif
Diare invasif adalah diare yang terjadi akibat invasi mikroorganis-
me ke dalam mukosa usus sehingga terjadi kerusakan mukosa
usus. Diare invasif disebabkan oleh virus (rotavirus), bakteri
(Shigella, Salmonella, Campylobacter, Entero invasive Eschericia
coli/EIEC, dan Yersinia), atau parasit (Amoeba). Diare invasif
terdapat dalam 2 bentuk, yaitu:

289
Diare non-dysentriform berupa diare yang tidak berdarah, biasa-
nya disebabkan oleh rotavirus
Pada diare yang disebabkan oleh rotavirus, sesudah masuk ke
dalam saluran cerna, virus akan berkembang biak dan masuk
ke dalam apikal usus halus menyebabkan kerusakan pada
bagian apikal dari vili yang selanjutnya diganti oleh bagian
kripta yang belum matang (imatur, berbentuk kuboid atau
gepeng). Sel yang masih imatur ini tidak dapat berfungsi
normal karena tidak dapat menghasilkan enzim laktase. Diare
yang disebabkan rotavirus paling sering terjadi pada anak usia
<2 th berupa diare cair, muntah, disertai batuk pilek
Diare dysentriform berupa diare berdarah yang biasanya
disebabkan oleh bakteri Shigella, Salmonella, dan EIEC. Pada
diare karena Shigella sesudah bakteri melewati barier asam
lambung, selanjutnya masuk ke dalam usus halus dan
berkembang biakserta mengeluarkan enterotoksin. Entero-
toksin ini merangsang enzim adenil siklase mengubah ATP
menjadi cAMP sehingga terjadi diare sekretorik. Bakteri ini
akan sampai di kolon karena peristaltik usus dan melakukan
invasi membentuk mikroulkus yang disertai dengan serbuan
sel-sel radang PMN dan menimbulkan BAB yang berlendir
dan berdarah
3. Diare osmotik
Diare osmotik adalah diare yang disebabkan oleh tekanan osmotik
yang tinggi di dalam lumen usus sehingga menarik cairan dari
intraselular ke dalam lumen usus yang menimbulkan watery
diarrhea. Diare osmotik paling sering disebabkan oleh malabsorpsi
karbohidrat. Laktosa akan diubah menjadi glukosa dan galaktosa
oleh enzim laktase, kemudian diabsorbsi di dalam usus halus.
Apabila terjadi defisiensi enzim laktase maka akumulasi laktosa
pada lumen usus akan menimbulkan osmotic pressure yang tinggi
sehingga terjadi diare
Terapi
Tatalaksana diare dilakukan secara komprehensif terdiri atas:
Rehidrasi dengan menggunakan oralit atau i.v.
Zinc diberikan selama 10–14 hr berturut-turut meskipun anak
sudah sembuh dari diare
Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF sudah menganjurkan
pemberian zinc pada anak diare dengan dosis sebagai berikut:
untuk bayi usia <6 bl diberikan dosis 10 mg/hr, dan usia ≥6 bl
diberikan 20 mg/hr selama 10–14 hr
ASI dan makanan lain tetap diteruskan
Antibiotik selektif
Nasihat atau penyuluhan kepada orangtua
Diare tanpa dehidrasi (rencana terapi A)
Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberikan cairan
untuk mencegah dehidrasi. Pengobatan dilakukan di rumah oleh

290
keluarga penderita. Jumlah cairan yang diberikan setiap habis BAB
yaitu:
Anak usia <2 th : 50–100 mL
Anak usia 2–10 th: 100–200 mL
Anak >10 th atau dewasa: sebanyak yang diinginkan
Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai diare berhenti. ASI dan
makanan yang biasa dimakan harus tetap diberikan. Penderita
perlu dibawa kembali ke fasilitas kesehatan bila ditemukan:
Diare bertambah cair
Muntah-muntah
Panas badan
Anak tampak kehausan
Anak tidak mau makan atau minum
Diare berdarah

Rencana terapi A
RENCANA TERAPI A
UNTUK MENGOBATI DIARE DI RUMAH

Berikan nasihat kepada orangtua mengenai 4 aturan terapi di rumah:


berikan cairan tambahan, berikan suplemen zinc, teruskan pem-
berian makan, ketika terjadi diare kembali, berikan cairan tambahan
(sebanyak yang anak inginkan)
Katakan kepada ibu penderita:
Berikan ASI sesering-seringnya dan selama pemberian makan.
Apabila anak mendapatkan ASI ekslusif, berikan oral rehydration
solution (ORS) atau air putih sebagai tambahan ASI. Apabila anak
tidak mendapatkan ASI ekslusif berikan salah satu atau lebih dari
terapi berikut ini: cairan ORS, kuah sup, kuah sayuran, air cucian
beras, atau air putih. Pemberian ORS sangat penting, terutama dalam
pemberian di rumah sesudah sebelumnya anak mendapatkan terapi
B atau terapi C
Orangtua segera membawa anaknya ke pelayanan kesehatan apabila
diare makin bertambah, selain itu orangtua harus diberi pengarahan
mengenai cara mencampur dan memberikan ORS. Berikanlah
orangtua 2 bungkus ORS yang digunakan di rumah, tunjukkan kepada
orangtua berapa banyak cairan yang diberikan sebagai tambahan
Cairan yang diberikan:
0–2 th: 50–100 mL setiap diare dan di antaranya
>2 th : 100–200 mL setiap diare dan di antaranya
Berikan cairan tersebut sedikit demi sedikit. Apabila anak tersebut
muntah, tunggu hingga 10 mnt. Kemudian lanjutkan pemberian, akan
tetapi perlahan-lahan. Berikan cairan tambahan sampai diare
berhenti. Berikan suplemen zinc
Suplemen zinc yang diberikan:
0–6 bl: 10 mg/hr selama 14 hr
>6 bl : 20 mg/hr selama 14 hr

291
GUNAKAN CARA INI UNTUK MENGAJAR IBU
 Teruskan mengobati anak di rumah

MENERANGKAN TIGA CARA TERAPI DIARE DI RUMAH


1. BERIKAN ANAK LEBIH BANYAK CAIRAN DARIPADA BIASANYA
UNTUK MENCEGAH DEHIDRASI
 Gunakan cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti makanan
cair (sup, air tajin), dan—kalau tidak ada air matang—gunakan
larutan oralit untuk anak seperti dijelaskan dalam kotak di bawah
(catatan: jika anak usia <6 bl dan belum makan makanan padat
lebih baik diberi oralit dan air matang daripada makanan cair)
 Berikan larutan ini sebanyak anak mau. Berikan jumlah larutan
oralit seperti di bawah sebagai penuntun
 Teruskan pemberian larutan ini hingga diare berhenti
2. BERIKAN ANAK MAKANAN UNTUK MENCEGAH KURANG GIZI
 Teruskan ASI
 Bila anak tidak mendapat ASI berikan susu yang biasa diberikan.
Untuk anak usia <6 bl dan belum mendapat makanan padat
dapat diberikan susu yang diencerkan dengan air yang sebanding
selama 2 hr
 Bila anak usia ≥6 bl atau sudah mendapat makanan padat
− Berikan bubur atau campuran tepung lainnya. Bila mungkin
dicampur dengan kacang-kacangan, sayur, daging, atau ikan
− Berikan sari buah segar atau pisang halus untuk menambah-
kan kalium
− Berikan makanan yang segar. Masak dan haluskan atau
tumbuk makanan dengan baik

ANAK HARUS DIBERI ORALIT DI RUMAH BILA


 Sesudah mendapat rencana terapi B atau C
 Tidak dapat kembali kepada petugas kesehatan bila diare
memburuk

292
JIKA ANAK AKAN DIBERI LARUTAN ORALIT DI RUMAH, TUNJUKKAN
KEPADA IBU JUMLAH ORALIT YANG DIBERIKAN SETIAP HABIS BUANG
AIR BESAR DAN BERIKAN ORALIT YANG CUKUP UNTUK 2 HARI
Jumlah Oralit yang Jumlah Oralit yang
Usia (th) Diberikan Tiap BAB (mL) Disediakan
di Rumah (mL/hr)
<1 50–100 400 (2 bungkus)
1–4 100–200 600–800 (3–4 bungkus)
>5 200–300 800–1.000 (4–5 bungkus)
Dewasa 300–400 1.200–2.800
TUNJUKKAN KEPADA IBU CARA MENCAMPUR ORALIT
 Berikan sesendok teh tiap 1–2 mnt untuk anak usia <2 th
 Berikan beberapa teguk dari gelas untuk anak lebih tua
 Bila anak muntah, tunggulah 10 mnt, kemudian berikan cairan lebih
sedikit (misalnya sesendok setiap 1–2 mnt)
 Bila diare berlanjut sesudah bungkus oralit habis, beritahu ibu untuk
memberikan cairan lain seperti dijelaskan dalam cara pertama atau
kembali kepada petugas kesehatan untuk mendapatkan tambahan oralit

Diare dehidrasi ringan–sedang (rencana terapi B)


Rencana terapi B
RENCANA TERAPI B
UNTUK TERAPI DEHIDRASI RINGAN–SEDANG

JUMLAH ORALIT YANG DIBERIKAN DALAM 3 JAM PERTAMA


ORALIT yang diberikan dihitung dengan mengalikan
BERAT BADAN penderita (kg) dengan 75 mL
Bila berat badan anak tidak diketahui dan atau untuk memudahkan di
lapangan, berikan oralit “paling sesuai” tabel di bawah ini
Usia (Th) <1 1–5 >5 Dewasa
Jumlah oralit (mL) 300 600 1.200 2.400
 Bila anak menginginkan lebih banyak oralit, berikanlah

AMATI ANAK DENGAN SEKSAMA DAN BANTU IBU MEMBERIKAN


ORALIT
 Tunjukkan jumlah cairan yang harus diberikan
 Tunjukkan cara pemberian cairan sesendok teh tiap 1–2 mnt
untuk anak usia <2 th, beberapa teguk dari cangkir untuk anak
yang lebih tua
 Periksa dari waktu ke waktu bila ada masalah
 Bila anak muntah tunggu 10 mnt. Teruskan pemberian oralit tetapi
lebih lambat, misalnya sesendok tiap 2–3 mnt

293
SESUDAH 3–4 JAM, NILAI KEMBALI ANAK MENGGUNAKAN BAGAN
PENILAIAN, KEMUDIAN PILIH RENCANA TERAPI A, B, ATAU C UNTUK
MELANJUTKAN TERAPI
 Bila tidak ada dehidrasi, ganti ke rencana terapi A. Bila dehidrasi
sudah hilang, anak biasanya kencing, dan lelah kemudian
mengantuk serta tidur
 Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/sedang, ulangi rencana
terapi B tetapi tawarkan makanan, susu, dan sari buah seperti
rencana terapi A
 Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat, ganti dengan rencana
terapi C

BILA IBU HARUS PULANG SEBELUM SELESAI RENCANA TERAPI B


 Tunjukkan jumlah oralit yang harus dihabiskan dalam terapi 3 jam
di rumah
 Berikan bungkus oralit untuk rehidrasi dan untuk 2 hr lagi seperti
dijelaskan dalam rencana terapi A
 Tunjukkan cara menyiapkan oralit
 Jelaskan 3 cara dalam rencana terapi A untuk mengobati anak di
rumah
 Memberikan oralit atau cairan lain hingga diare berhenti

294
295
Zinc
Mikronutrien zinc mempunyai fungsi fisiologis yang beragam
antara lain dalam sistem imunologis dan integritas mukosa usus.
Anak dengan defisiensi zinc mudah terkena diare karena infeksi.
Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF sudah menganjurkan
pemberian zinc pada anak diare dengan dosis sebagai berikut:
untuk bayi usia <6 bl diberikan dosis 10 mg/hr dan usia ≥6 bl
diberikan 20 mg/hr selama 10–14 hr
Probiotik
Probiotik sudah dibuktikan melalui penelitian efektif untuk
pencegahan dan pengobatan terhadap bermacam kelainan
gastrointestinal. Bakteri probiotik yang sering digunakan untuk
memperpendek diare adalah Lactobacillus GG, Lactobacillus
acidophillus, Bifidobacterium bifidum, dan Enterococcus faecium.
Sediaan probiotik berbentuk bubuk kering (free-dried
10–11
powder).
Setiap dosis mengandung bakteri sebanyak 10 colony forming
unit (CFU). Lactobacillus GG diberikan 2×/hr selama 5 hr untuk
tambahan pengobatan diare pada anak
Diet
Meneruskan pemberian makanan akan mempercepat kembalinya
fungsi usus yang normal termasuk kemampuan menerima dan
mengabsorpsi berbagai nutrien
Jenis makanan yang diberikan pada bayi dan anak diare akut
mengikuti pola pemberian makanan anak sehat:
Anak yang masih disusui secara eksklusif, ASI tetap diberikan.
ASI berfungsi sebagai makanan tunggal
Pada anak diare yang mendapat susu formula dan didapatkan
tanda-tanda intoleransi laktosa (kembung dan diaper rash),
dapat diberikan susu yang bebas laktosa. Bila intoleransi laktosa
sudah membaik, secara bertahap kembali ke susu semula
Anak yang sudah mendapatkan makanan, diet makanan lunak,
rendah serat dengan porsi kecil tapi sering
Antibiotik
Pemberian antibiotik yang tidak rasional akan memperpanjang
lama diare karena terganggunya keseimbangan flora usus. Selain
itu, pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mempercepat
resistensi kuman terhadap antibiotik dan menambah biaya
pengobatan yang tidak perlu. WHO menganjurkan pemberian
antibiotik seperti Tabel 74, tetapi boleh dipilih antibiotik tertentu
yang masih sensitif di daerah tersebut misalnya kotrimoksazol

296
Tabel 74 Pemberian Antibiotik
Penyebab Antibiotik Pilihan Antibiotik Alternatif
Kolera Tetrasiklin Eritromisin
50 mg/kgBB/hr 50 mg/kgBB/hr
dibagi 4 dosis dibagi 4 dosis
selama selama 3 hr
2–3 hr
Shigella Siprofloksasin Pivmecillinam
dysentriae 30mg/kgBB/hr 20 mg/kgBB/hr
dibagi 2 dosis dibagi 4 dosis
selama 3 hr selama 5 hr
Kotrimoksazol Sefiksim
50 mg/kgBB/hr 10 mg/kgBB/hr
dibagi 2 dosis dibagi 2 dosis
selama 5 hr selama 5 hr
Tiamfenikol
50 mg/kgBB/hr
dibagi 3 dosis
Amebiasis Metronidazol
30–50 mg/kgBB/hr
dibagi 3 dosis
selama 5–10 hr

Prognosis
Pada diare akut umumnya baik
Bibliografi
1. Agustina R, Lukito W, Firmansyah A, Suhardjo HN, Murniati D,
Bindels J. The effect of early nutritrional suplementation with a
mixture of probiotic, prebiotic, fiber, and micronutrient in infants
with acute diarrhea in Indonesia. Asia Pac J Clin Nutr. 2007;16(3):
435–42.
2. Guidelines for the management of acute diarrhea. Atlanta:
Department of Health and Human Services, Center for Disease
Control and Prevention; 2008.
3. King CK, Glass R, Bresee JS, Duggan C; Centers for Disease
Control and Prevention. Managing acute gastroenteritis among
child: oral rehidration, maintenance, and nutritional therapy.
MMWR Recomm Rep. 2003 Nov;52(RR-16):1–16.
4. World Health Organization. The treatment of diarrhea: a manual
for physicians and other senior health workers. Revisi ke-4.
Geneva: WHO; 2005.

297
HEPATITIS AKUT
Epidemiologi
Diperkirakan 1,5 kasus hepatitis akut A setiap tahunnya di seluruh
dunia bergantung pada endemisistas daerah sekitar 150/100.000
orang. Kebanyakan terjadi di daerah dengan infrastruktur sanitasi
yang buruk. Diperkirakan 90% anak di negara berkembang sudah
mengalami hepatitis akut A, sedangkan prevalensi hepatitis akut E
sangat rendah (<2%) ditemukan di antara populasi orang sehat
Manifestasi Klinis
Terdiri atas 3 stadium:
Masa prodormal atau praikterik (4 hr–1 mgg)
Malaise, gejala flu, anoreksia, mual, muntah, rasa tidak nyaman
di perut kanan atas, demam, hepatomegali, nyeri kepala, dan
kadang-kadang diare
Fase ikterik
Urin berwarna gelap (seperti teh pekat), feses seperti dempul
(tidak selalu ada), sklera dan kulit ikterik, anoreksia, lesu, mual,
muntah bertambah berat, depresi mental, bradikardia, pruritus
Gejala prodromal ↓ atau menghilang
Fase penyembuhan
Ikterik menghilang dalam 4 mgg
Diagnosis
Anamnesis
Keluhan seperti pada manifestasi klinis, terdapat kontak erat
dengan keluhan serupa. Higiene dan sanitasi yang buruk
Pemeriksaan Fisis
Sklera ikterik, hepatomegali, splenomegali, gangguan kesadaran,
perdarahan (bila fulminan)
Pemeriksaan Penunjang
Bilirubin direk ↑ dan transferase ↑
Penanda Hepatitis
IgM anti-HAV → hepatitis A
HbsAg
IgM anti-HEV → hepatitis E
Klasifikasi
Hepatitis virus akut disebabkan oleh virus hepatitis A, B, E
Terapi
Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis akut
Penderita hepatitis akut dirawat bila muntah hebat, kesadaran ↓,
kejang, atau dehidrasi
Istirahat di tempat tidur (mengurangi aktivitas) sampai gejala akut
hilang

298
Diet
Gizi seimbang
Bila muntah hebat, infus sesuai kebutuhan
Obat-obatan
Asam ursodeoksikolat (UDCA) 10–16 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis
Kolesteramin 1 mg/kgBB/hr bersama-sama dengan makan
→ bila ada kolestasis berat (ikterus ++, gatal)
Pencegahan
Higiene
Vaksinasi
Prognosis
Kebanyakan dapat sembuh sempurna
Bibliografi
1. Clemente MG, Schwarz K. Hepatitis: general principles. Pediatr
Rev. 2011;32:333–41.
2. Kojaoglanian T. Hepatitis A-in brief. Pediatr Rev. 2010;31:348–50.
3. World Gastroenterology Organization. Management of acute
viral hepatitis. Practice guidelines. Milwaukee: WGO; 2007.

299
HEPATITIS KRONIK
Epidemiologi
Hepatitis kronik, meski lebih jarang dibandingkan dengan kejadian
hepatitis akut merupakan salah satu penyakit dengan angka
kesakitan dan kematian cukup tinggi. Penyebab paling sering adalah
infeksi virus hepatitis B, C, dan obat-obatan. Hepatitis C umumnya
bersifat asimtomatik. Insidensi simtomatik baru diperkirakan 1–3
kasus/100.000 orang/th. Hepatitis D ditemukan bersama dengan
infeksi hepatitis B biasanya berupa koinfeksi atau dapat juga berupa
superinfeksi
Manifestasi Klinis
Hepatitis kronik B atau C umumnya tidak menimbulkan gejala
Diagnosis
Anamnesis
Ditemukan riwayat infeksi virus hepatitis B, transfusi darah, dan
lahir dari ibu penderita hepatitis B/C. Hepatitis yang berlangsung
lebih dari 6 bl
Pemeriksaan Penunjang
Dapat ditemukan enzim SGOT dan SGPT ↑
Penanda Hepatitis
HbsAg (yang menetap >6 bl) → hepatitis B
IgM anti-HCV → hepatitis C
IgM anti-HDV → hepatitis D
Klasifikasi
Hepatitis virus kronik disebabkan oleh virus hepatitis B, C, D
Terapi
Dirujuk ke spesialis gastrohepatologi anak
Pencegahan
Pemberian vaksin hepatitis B dosis pertama pada semua bayi
sebelum usia 12 jam, kedua pada usia 1 bl, dan ketiga pada usia 6 bl
Khusus untuk bayi yang lahir prematur atau bayi lahir dengan BB
<2.000 g, dosis pertama dapat ditunda sampai BB 2.000 g. Dosis
kedua 1 bl kemudian, dan ketiga 6 bl sejak pemberian pertama
Ibu dengan HbsAg(+)
Bayi yang lahir diberikan vaksin HepB-1 dan HBIg 0,5 mL secara
bersamaan segera sesudah lahir (<12 jam), disuntikkan pada paha
yang berbeda
Bayi lahir dengan BB <2.000 g langsung diberikan imunoglobulin
hepatitis B. Bayi juga diberikan vaksin pertama pada usia <12 jam
(dianggap dosis 0) selanjutnya diberikan saat BB mencapai 2.000 g
(dianggap dosis pertama) dilanjutkan 1 bl kemudian, dan 6 bl
sesudah dosis pertama
300
Prognosis
Buruk bila sampai sirosis
Bibliografi
1. Clemente MG, Schwarz K. Hepatitis: general principles. Pediatr
Rev. 2011;32:333–41.
2. Hsu EK, Murray KF. Hepatitis B and C in children. Nat Rev
Gastroenterol Hepatol. 2008;6(5):311–20.
3. Kliegman RM, Marcdante KJ. Viral hepatitis. Dalam: Kliegman
RM, Marcdante KJ, Jenson HB, Behrman RE. Nelson’s essential of
pediatric. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm.
518–22.
4. Kwon H, Lok AS. Hepatitis B therapy. Nat Rev Gastroenterol
Hepatol. 2011;8:275–84.
5. Manns MP, Clesek S. The dawn of a new era in HCV therapy. Nat
Rev Gastroenterol Hepatol. 2011;8:69–71.

301
HIPOKALEMIA
Batasan
Hipokalemia adalah keadaan apabila kadar kalium (K) dalam darah
<3,5 mEq/L
Tabel 75 Penyebab Kehilangan Kalium
Diare
Obat-obatan
Diuretik
Tiazid
Loop diuretik
Osmotik diuretik
Antibiotik
Penisilin dan analognya
Amfoterisin B
Aminoglikosid
Hormon
Aldosteron
Glukokortikoid
Bikarbonaturia
Asidosis tubulus renalis distal
Pengobatan asidosis tubulus renalis proksimal
Fase koreksi pada asidosis metabolik
Defisiensi magnesium
Penyebab lain yang jarang
Sisplatin
Inhibitor karbonik anhidrase
Toluen
Leukemia
Fase diuretik pada nekrosis tubular akut
Defek intrinsik pada transpor di ginjal
Sindrom Bartter
Sindrom Gitelman
Sindrom Liddle

Manifestasi Klinis
Bervariasi bergantung pada kadar kalium dalam darah. Pada kadar
K 3–3,5 mEq/L gejalanya asimtomatik, kadar 2,5–3 mEq/L didapatkan
gejala nonspesifik (lemah, lesu, konstipasi), kadar 2–2,5 mEq/L dapat
terjadi nekrosis pada otot, dan kadar K<2 mEq/L dapat terjadi
ascending paralysis yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi
respirasi
Pada penderita yang tidak mempunyai kelainan jantung yang
mendasari, biasanya kelainan konduksi jantung akibat hipokalemia
jarang terjadi, walaupun kadar K dalam darah <3 mEq/L. Sebaliknya,
pada penderita dengan kelainan jantung (iskemia, hipertrofi),
keadaan hipokalemia yang ringan sampai sedang sudah dapat
menyebabkan aritmia
302
Diagnosis
Anamnesis
Terdapat riwayat muntah, diare, dan kehilangan keringat yang
berlebihan
Riwayat pengggunaan obat-obatan
Pemeriksaan Fisis
Kelemahan sistem otot skelet, serabut otot halus, dan otot
jantung. Kelemahan otot ini dimulai pada otot ekstremitas bawah
sebelum berlanjut pada otot leher dan otot pernapasan. Ileus
paralitik dan refleks dilatasi gaster terjadi karena kelemahan
serabut otot halus
Bila hipokalemia berlangsung lama, dapat terjadi gangguan ginjal
yang hampir sama dengan gejala pielonefritis kronik
Pemeriksaan Penunjang
Kadar K darah <3,5 mEq/L
EKG: depresi gelombang T atau T wave flattening, depresi segmen
ST, gelombang U, pemanjangan PR atau QT interval
Klasifikasi
Ringan : kadar K 3–3,5 mEq/L
Sedang: kadar K 2,5–3 mEq/L
Berat : kadar K <2,5 mEq/L
Terapi
Pemberian kalium (dengan memonitor kadar kalium darah)
Bila kadar K darah <2,5 mEq/L dengan gejala, diberikan larutan KCl
7,46% i.v. dosis 0,5–1 mEq/kgBB dalam 1–2 jam (maks. 40 mEq)
dengan memonitor ritme jantung di ruang intensif
Bila kadar K darah <2,5 mEq/L tanpa gejala, diberikan larutan KCl
7,46% i.v. dosis 0,5–1,2 mEq/kgBB/hr selama 1–3 hr (bergantung
pada jumlah defisit) dengan dosis tidak boleh >40 mEq KCl/L
Bila kadar K 2,5–3,5 mEq/L (dengan atau tanpa gejala) diberikan KCl
p.o. dosis 1–4 mEq/kgBB/hr dibagi 2–4 dosis (40 mEq K = 3 g KCl)
Prognosis
Baik apabila dilakukan kontrol yang adekuat terhadap kadar K darah
serta mengobati penyakit yang mendasarinya
Bibliografi
1. Custer JW, Rau RE. The Harriet Lane handbook. Edisi ke-18.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009.
2. Emergency treatment of the hypokalemic paralytic attack
[diunduh 29 November 2011]. Tersedia dari: www.hkpp.org/ER-
hypokpp.
3. Hypokalemia [diunduh 29 November 2011]. Tersedia dari:
www.razianesth.freeservers.com/Hypokalemia.htm.
4. Ingram TC, Olsson JM. In brief: hypokalemia. Pediatr Rev. 2008;
29(9):e50–1.

303
5. Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman
RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
6. Mejia R, Field A, Greenwald BM, Stein F. Pediatric fundamental
critical care support. Edisi ke-1. Mount Prospect: Society of
Critical Care Medicine; 2008.

304
HIPERKALEMIA
Epidemiologi
Insidensi hiperkalemia pada populasi anak tidak diketahui walaupun
prevalensi hiperkalemia pada bayi prematur dengan BB lahir sangat
rendah mencapai >50%. Hiperkalemia pada anak berkaitan erat
dengan kondisi insufisiensi renal, asidosis, defek fungsi mineralo-
kortikoid, aldosteron, dan insulin
Batasan
Hiperkalemia merupakan keadaan apabila kadar kalium/K darah >5,5
mEq/L
Etiologi
Gangguan sekresi renal:
Gagal ginjal kronik
Insufisiensi adrenal
Keluarnya kalium ke ruang ekstraselular
Penggunaan diuretik hemat K
Kerusakan jaringan (akibat trauma, operasi, luka bakar)
Metabolik asidosis
Penggunaan obat suksinilkolin dan digitalis
Manifestasi Klinis
Gangguan neuromuskular
Gejala parestesia → kelemahan otot dan paralisis
Diagnosis
Anamnesis
Output urin (terakhir berkemih/jumlah diaper basah) dan asupan
cairan
Urin berwarna kola (indikasi glomerulonefritis akut)
Feses berdarah (indikasi sindrom uremik hemolitik)
Obat-obatan, misalnya digoksin, diuretik
Riwayat trauma mekanik atau termal (misalnya luka bakar)
Riwayat medis dan riwayat keluarga yang mesti digali:
Gagal ginjal akut/kronik
Hipertensi
Diabetes melitus
Sindrom adrenogenital
Malignansi (sindrom tumor lisis)
Gangguan neuromuskular
Pemeriksaan Fisis
Temuan bergantung pada derajat tingginya hiperkalemia dan efek
level kalium plasma memengaruhi konduksi jantung
Anak dengan hiperkalemia dapat mengalami henti jantung akibat
takikardia wide complex dan fibrilasi ventrikular

305
Pemeriksaan Penunjang
Kadar K darah >5,5 mEq/L
EKG: gelombang T tinggi, interval PR memanjang, depresi segmen
ST, kompleks QRS melebar

Klasifikasi dan Terapi


Ringan (K: 5,5–6 mEq/L)
Sedang (K: 6,0–6,9 mEq/L)
Berat (K: >7,0 mEq/L)
Penyebab nilai kalium lebih rendah daripada hasil laboratorium:
Pengambilan darah dari vena atau jalur infus kalium
Kesalahan laboratorium
Hemolisis
Leukositosis
Trombositosis
Pengambilan darah traumatik
Sindrom genetik
Pseudohiperkalemia familial
Sferositosis herediter

306
K >5,5 mEq/L

Tidak Hiperkalemia nyata


(lihat penyebab nilai K lebih
rendah daripada hasil
laboratorium)

Stop Level K >6,0 mEq/L


atau terdapat
perubahan EKG?

Tidak Penderita
membutuhkan
reduksi kalium

Evaluasi EKG abnormal?

Insulin dengan Berikan Ca


glukosa dan glukonas
atau albuterol i.v.
(ventolin)
dengan
nebulisasi

Pemeriksaan
penunjang:
kalium urin,
osmolalitas, kreatinin

Apakah kadar
K <6,0 mEq/L?

Ulang pemberian Berikan


insulin dan sodiumpolystyrene
glukosa sulfonate (kayexalate
Pertimbangkan atau kalitake)/ lasix
hemodialisis (furosemid)

Evaluasi dan
terapi jangka
panjang

Gambar 35 Algoritme Manajemen Hiperkalemia

307
Tabel 76 Obat-obatan pada Manajemen Hiperkalemia Akut
Nama Obat Dosis Onset of Duration Cara Kerja Perhatian
Action of Action
Kalsium Ca glukonas 10% 100 mg/kgBB Segera 30 mnt Melindungi miokardium Memperburuk toksisitas
glukonas selama 3 mnt (1 mL/kgBB) i.v. dari efek toksik kalsium digoksin
Insulin 0,1 IU/kgBB/jam dalam D5% 15–30 mnt 2–6 jam Mengeluarkan kalium Kadar glukosa harus
setara 0,5 g/kgBB/jam dari ruang vaskular ke dipantau setiap jam
(2 mL/kgBB/jam) dalam sel
Jika tidak tersedia dapat
dicampurkan dengan D5%
10 mL/kgBB/jam
Albuterol 10–20 mg dengan nebulisasi 15–30 mnt 2–3 jam Mengeluarkan kalium ke Dapat menyebabkan
308

(ventolin) selama 10 mnt dalam sel, menambah kenaikan kadar kalium


kerja insulin pada keadaan awal
Sodium Kayexalate 1 g/kgBB enema (per 1–2 jam (rute 4–6 jam Memindahkan kalium Sorbitol berhubungan
polystyrene rektal) dilarutkan dalam rektal lebih dari saluran cerna dengan nekrosis usus,
sulfonate 10 mL/kgBB larutan sorbitol 70% cepat) dapat berhubungan
(Kayexalate/ diberikan melalui kateter Folley, dengan retensi
Kalitake) diklem selama 30–60 mnt natrium
Kayexalate 1 g/kgBB p.o.
dilarutkan dalam 2 mL/kgBB
larutan sorbitol 70%
Furosemid Furosemid 0,5–1 mg/kgBB/kali, 15 mnt–1 jam 4 jam Meningkatkan ekskresi Efektif bila fungsi ginjal
2–3 dosis kalium lewat renal baik
Prognosis
Buruk bila kadar K darah >9 mEq/L karena sudah terjadi fibrilasi atau
asistol
Bibliografi
1. Mejia R, Field A, Greenwald BM, Stein F. Pediatric fundamental
critical care support. Edisi ke-1. Mount Prospect: Society of
Critical Care Medicine; 2008.
2. Rodriguez JC, Calvert JF. Hyperkalemia. Am Fam Physician. 2006;
73(2):283–90.
3. Verive JM. Hyperkalemia. Health matters. eMedicine (serial on-
line) 4 Januari 2010. [diunduh 1 April 2011]. Tersedia dari:
http://emedicine.medscape.com.

309
HIPERNATREMIA
Batasan
Hipernatremia adalah keadaan konsentrasi natrium (Na) serum >145
mEq/L dan merupakan hasil dari kelebihan Na tubuh, kekurangan
asupan cairan, atau kehilangan cairan
Epidemiologi
Hipernatremia terjadi pada 60% penderita rawat inap dan 20% di-
sebabkan penyakit diare
Manifestasi Klinis
Tanda-tanda nonspesifik antara lain BB ↓, dehidrasi, kelesuan, dan
kelemahan. Manifestasi gangguan neurologis seperti iritabel, depresi
sensorium, letargis, kejang (Na >165 mEq/L), disorientasi, koma (Na
>180 mEq/L)
Diagnosis
Anamnesis
Dapat disertai diare
Mendapat cairan rehidrasi oral yang mengandung Na tinggi atau
tidak mendapat cukup cairan
Mendapat obat tertentu yang menyebabkan kehilangan cairan
hipotonis (laktulosa)
Menderita penyakit ginjal kongenital (disfungsi tubular, displasia
renal)
Rewel, iritabel, high piched cry, gejala neurologis nonspesifik
termasuk kelesuan, koma, lekas marah, neuromuskular, dan
kejang
Bila dehidrasi berat tonus otot ↑
Pemeriksaan Fisis
Turgor kulit merupakan temuan fisik pada penderita hipernatremia
Pada dehidrasi ringan sulit dibedakan dengan hiponatremia,
apabila dehidrasi berat (kehilangan cairan >10% dari BB) turgor
kulit seperti karet
Pemeriksaan Penunjang
Na, osmolalitas, BUN, dan kreatinin
Tes urin untuk konsentrasi Na dan osmolalitas urin
Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya hipernatremia dibagi menjadi:
Kekurangan cairan
Asupan yang tidak adekuat (debil, adipsic hypernatremia)
Insensible losses (demam, ventilasi mekanik, bayi prematur)
Renal loss (diabetes insipidus primer, sekunder misal trauma
kepala, kelainan ginjal, hipokalemia, hiperkalsemia)
Kekurangan cairan dan Na
Ektrarenal (luka bakar, gastroenteritis, diare osmotik, muntah)

310
Intrarenal (pemberian antidiuretik, manitol, pemberian protein
tinggi), kelainan ginjal, acute tubular necrosis
Kelebihan Na (hiperaldosteronemia, cushing syndrom, susu
formula konsentrasi tinggi, konsumsi garam berlebihan, pemberian
larutan hipertonis
Hiponatremia transien (sesudah kejang, aktivitas berlebih)
Terapi
Bila dehidrasi berat disertai syok/presyok (hipovolemia) → 10–20
mL/kgBB NaCl 0,9% diberikan dalam 1 jam
Sesudah syok teratasi → kekurangan cairan dikoreksi dengan NaCl
dekstrose (2A), larutan D5%, atau larutan ¼ normal salin dextrose
(Lar 1:4) diberikan dalam 48–72 jam untuk mencegah edema otak
Kadar Na serum dikurangi tidak melebihi 0,5 mEq/L/jam
Pemantauan Na serum dilakukan tiap 24 jam
Koreksi hipernatremia:

Free Water Defisit (FWD) =


(BB (kg) x 0,6) × (1 – Na yang diinginkan) × 1.000 mL/L
Na saat ini
atau
4 mL x BB × Na saat ini – (Na yang diharapkan)
Jumlah cairan koreksi: (FWD + kebutuhan cairan) diberikan dalam 24 jam

Kebutuhan cairan:
BB 0–10 kg : 100 mL/kgBB
BB 10–20 kg: 1.000 mL + 50 mL/kgBB setiap kg >10 kg
BB >20 kg : 1.500 mL + 20 mL/kgBB setiap kg >20 kg
Free water dalam 1 L larutan ¼ normal salin (larutan 1:4) : 750 mL

Prognosis
Bila kadar Na >165 mEq/L dapat kelainan sistem saraf pusat (SSP)
permanen
Bibliografi
1. Agrawal V, Agarwal M, Joshi SR, Ghosh AK. Hyponatremia and
hypernatremia: disorders of water balance. J Assoc Physicians
India. 2008 Des;56:956–64.
2. Chung CH, Zimmerman D. Hypernatremia and hyponatremia:
current understanding and management. Clin Pediatr Emerg
Med. 2009;10(4):272–8.
3. Mejia R, Field A, Greenwald BM, Stein F. Pediatric fundamental
critical care support. Edisi ke-1. Mount Prospect: Society of
Critical Care Medicine; 2008.

311
HIPONATREMIA
Definisi
Hiponatremia didefinisikan sebagai Na darah <130 mEq/L. Keadaan
ini dapat disebabkan oleh kelebihan asupan air dan atau
ketidakmampuan ginjal mengekskresikan air, atau karena kekurangan
asupan Na (asupan tidak mencukupi atau kehilangan Na berlebihan)
Epidemiologi
Hiponatremia merupakan gangguan elektrolit yang sering ditemukan.
Sekitar 1% penderita anak yang dirawat di rumah sakit mengalami
hiponatremia. Diyakini bahwa kelebihan pemasukan cairan dan
gastroenteritis merupakan penyebab hiponatremia tersering
Etiologi
Akibat kelebihan asupan cairan
Akibat ketidakmampuan ginjal dalam mengekskresikan cairan
Akibat kekurangan Na (asupan Na yang kurang atau pengeluaran Na
berlebihan)
Manifestasi Klinis
Sangat bervariasi, dapat muncul gejala neurologi akibat perpindahan
cairan dari ekstraselular ke dalam SSP. Pembengkakan serabut saraf
bermanifestasi sebagai nyeri kepala, letargis, bingung, mual, muntah.
Pada hiponatremia berat (Na <120 mEq/L) dapat terjadi kejang,
koma, dan kematian permanen sel otak
Diagnosis
Anamnesis
Penggunaan cairan hipotonik pada penderita rawat inap
Pemberian susu formula yang hipotonis pada masa balita
Kondisi yang menyebabkan saluran cerna kehilangan cairan yang
kaya akan Na:
Diare
Muntah
Fistula
Kelainan ginjal:
Salt wasting nephrophaty
Gagal ginjal akut
Gagal ginjal kronik
Pascaoperasi
Kondisi psikiatri
Koma
Penggunaan obat-obatan terlarang
Penyakit SSP dan paru-paru
Hipotiroid
Insufisiensi adrenal
Sirosis
Gagal jantung

312
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
Fibrosis sistik
Pemeriksaan Fisis
Dehidrasi: tekanan darah rendah, takikardia, capillary refill time
(CRT) ↑, selaput lendir kering, dan turgor kulit ↓
Gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, atau manifes disfungsi
hati khas kondisi tersebut, termasuk tanda-tanda edema
Hipotiroidisme: lemah, sembelit, intoleransi cuaca dingin, kulit
kering dan pucat, bradikardia dengan tekanan nadi sempit, dan
relaksasi menunda fase tendon dalam refleks
Syndrome inappropriate antydiuretic hormone (SIADH): edema
Hipoglikemik: lemas
Insufisiensi adrenal primer: hiperpigmentasi kulit, lebih kurus di
lipatan kulit dan bekas luka
Laboratorium
Na darah <130 mEq/kgGDS
Profil lipid protein total, albumin
Urin rutin
Klasifikasi
Hiponatremia normovolemia
Hiponatremia hipervolemia
Hiponatremia hipovolemia
Terapi
Bergantung pada lama/beratnya hiponatremia serta penyakit yang
mendasarinya (underlying disease). Pada umumnya bila terdapat
gejala pada SSP atau kadar Na <120 mEq/L diberikan larutan NaCl
hipertonis, misal NaCL 3% (513 mEq/L), NaCL 5% (855 mEq/L). Untuk
mencapai kadar Na yang diharapkan (130 mEq/L), maka Na yang
dibutuhkan menurut rumus sbb.:

mEq Na = 130 – Na darah ×0,6 × BB (kg)

Untuk mencapai Na yang diharapkan dilakukan dengan 2 tahap:


1. Koreksi cepat: bila kadar Na <120 mEq/L, lakukan koreksi
cepat sampai tercapai Na 120 mEq/L dengan 1,2 mL/kgBB
NaCl 3% diberikan dalam waktu >15–20 mnt:

NaCl 3% yang diberikan (mL) = 1,2 mL x BB (kg) x (120 – Na aktual)

2. Koreksi lambat: bila kadar Na <130 mEq/L tetapi ≥120 mEq/L


lakukan koreksi lambat dalam waktu 24 jam dengan NaCl 3%
yang ditambahkan dalam cairan kebutuhan (misal NaCl 0,9%
atau larutan 1:4, kadar Na dalam cairan kebutuhan diper-
hitungkan):

313
mEq Na = 130 – Na darah x 0,6 x BB (kg)

Bila keadaan hiponatremia sudah berlangsung kronik maka koreksi


tidak dilakukan secara cepat karena dapat menyebabkan gangguan
SSP
Prognosis
Bila disertai gejala pada SSP angka kematian ±50%
Bibliografi
1. Agrawal V, Agarwal M, Joshi SR, Ghosh AK. Hyponatremia and
hypernatremia: disorders of water balance. J Assoc Physicians
India. 2008 Des;56:956–64.
2. Chung CH, Zimmerman D. Hypernatremia and hyponatremia:
current understanding and management. Clin Pediatr Emerg
Med. 2009;10(4):272–8.

314
INFEKSI HELICOBACTER PYLORI
Batasan
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi Helycobacter pylori (HP),
ditandai dengan biakan (+) biopsi gaster

Epidemiologi
Helicobacter pylori dilaporkan menyebabkan infeksi 50% penduduk
dunia, infeksi ini didapat sejak anak berusia muda terutama di negara
berkembang. Prevalensi infeksi pada anak usia 0–4 th mencapai
4,5–42,11%
Etiologi
Helicobacter pylori mempunyai gambaran yang unik, berbentuk spiral
dengan flagel, terdapat 4–6 flagel pada satu sisinya, flagel berbentuk
seperti pentolan
Manifestasi Klinis
Sangat bervariasi, sebagian besar tidak bergejala, jarang menimbul-
kan gejala khusus
Kelainan yang mungkin timbul yaitu ulkus peptikum atau ulkus
duodenum yang menimbulkan gejala dispepsia atau nyeri perut
berulang, serta juga dilaporkan muntah dan hematemesis
Diagnosis
Anamnesis
Dispepsia
Nyeri perut berulang
Muntah dan hematemesis
Pemeriksaan Fisis
Nyeri tekan epigastrum
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan endoskopi untuk mengetahui diagnosis anatomis dan
histologis serta mengetahui infeksi HP

Tabel 77 Pemeriksaan Lain yang Menunjang Diagnosis Helicobacter


pylori
Pemeriksaan Invasif Pemeriksaan Noninvasif
Histologi Uji serologis: darah, urin, saliva,
feses
Uji urease Uji napas dengan urea
Kultur endoskopi Pemeriksaan DNA HP
Polymerase chain reaction (PCR) Antigen HP dalam feses

315
Tatalaksana
Tujuan eradikasi untuk penyembuhan ulkus dan menghilangkan
gejala
Target hasil eradikasi >80%
Prinsip Pengobatan Infeksi HP pada Anak
Tidak dianjurkan pemberian antibiotik tunggal
Dianjurkan penggunaan 2 macam antibiotik
Pilihan selanjutnya: 3 macam antibiotik + penghambat pompa
proton (proton pump inhibitor/PPI)
Terapi tripel
PPI + amoksisilin + klaritromisin/metronidazol
Pemberian eradikasi tripel, PPI dan 2 antibiotik 7–14 hr
merupakan obat pilihan utama
Tabel 78 Pilihan Obat Terapi Tripel pada Infeksi Helicobacter pylori
Obat Dosis Durasi
Amoksisilin + 50 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 14 hr
klaritromisin + 15 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 14 hr
PPI/ 1 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 1 bl
H2 antagonis 2–4 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis
Atau
Amoksisilin + 50 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 14 hr
metronidazol + 20 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 14 hr
PPI/ 1 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 1 bl
H2 antagonis 2–4 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis
Atau
Klaritromisin + 15 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 14 hr
metronidazol + 20 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 14 hr
PPI/ 1 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 1 bl
H2 antagonis 2–4 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis

Bibliografi
1. Malfertheiner P, Megraud F, O’Morain C, Bazzoli F, El-Omar E,
Graham D, dkk. Current concepts in management of Helicobacter
pylori infection: the Maastricht III consensus report. Gut.
2007;56:772–81.
2. Subagyo B. Penelitian pendahuluan seroprevalensi infeksi
Helicobacter pylori di daerah suburban Surakarta. 2002.
3. Vandeplas Y. Helicobacter pylori infection; mengenal lebih dekat
Helicobacter pylori dan penyakit gastroduodenal. Edisi ke-3.
Jakarta: PT Tempo Scan Pasific; 2002.

316
KOMA HEPATIKUM

Batasan
Koma hepatikum didefinisikan sebagai gangguan fungsional pada
otak yang disebabkan gangguan metabolik dan bersifat reversible
atau irreversible dapat terjadi pada kelainan hati akut atau kronik

Epidemiologi
Risiko untuk terjadi koma hepatikum pada penderita sirosis berkisar
20–40% dan sekitar 60–80% penderita sirosis mengalami gejala
minimal gangguan neurologis

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis koma hepatikum bergantung pada penyebab dan
stadium koma hepatikum

Klasifikasi
Tabel 79 Stadium Koma Hepatikum

Stadium Kesadaran Gangguan Gejala Elektro


Intelektual Neurologi Ensefalografi
0 Normal Normal Normal Tidak ada
Subklinis
0 Normal Tampak bingung, Abnormal Tidak ada
agitasi, iritabel dalam tes
psikometrik
1 Perubahan Disorientasi, Tremor, Gelombang
mood, perubahan disartria tripasik
intelektual, personalitas, 5 siklus
dan bicara confusious ringan,
gangguan tidur
2 Letargi Disorientasi, Disartia, Gelombang
gangguan ataksia, tripasik
perilaku hiporefleks 5 siklus
3 Somnolen, Inkoheren dan Hiporefleks Gelombang
prekoma. confusion tripasik
Stupor tetapi 5 siklus,
masih aktivitas
berespons gelombang alfa
terhadap hilang
rangsangan
4 Koma, Deserebrasi Gelombang
respons delta, aktivitas
terhadap teta lambat,
rangsangan dan difus
sangat
minimal

317
Etiologi
Hepatitis virus fulminan
Sirosis hepatis
Chronic portal systemic encephalopathy
Patofisiologi
Patogenesis koma hepatikum sering disebabkan oleh 4 keadaan
berikut:
Fungsi hati ↓ dan gangguan sirkulasi darah pada sistem portal
Amonia darah ↑
Metabolit abnormal yang berasal dari saluran cerna
Faktor presipitasi misalnya peningkatan nitrogen, penggunaan
obat-obatan (diuretik, narkotik, sedatif), sepsis, atau tindakan
medis (parasentesis, portosistemic shunt, transfusi)

Diagnosis
Anamnesis
Riwayat penyakit kuning
Asupan protein yang tinggi
Riwayat perdarahan saluran cerna, gangguan fungsi ginjal, dan
konstipasi
Gangguan keseimbangan elektrolit (hiponatremia, hipokalemia)
akibat pemberian diuretik
Gangguan metabolik (alkalosis, hipoksia, dehidrasi)
Obat-obatan (sedatif, narkotik, antipsikosis, dan alkohol)
Infeksi (riwayat pneumonia, ISK, peritonitis)
Pemeriksaan Fisis
Fetor hepatikum
Kuning
Abdomen asites
Edema pretibia
Gangguan neuropsikiatri: gangguan emosi, gangguan tingkah laku,
gangguan perhatian
Defisit neurologis: refleks fisiologis ↑, refleks patologis Babinski
dan Chadock (+)
Pemeriksaan Penunjang
Kadar amonia dan urea darah
Fungsi hati
EEG
CT-scan
MRI
Penyulit
Edema serebral
Gagal ginjal
Gangguan keseimbangan asam basa
Diatesis hemoragik
Infeksi

318
Gangguan keseimbangan elektrolit
Gangguan respirasi
Kelainan jantung
Pankreatitis
Depresi sumsum tulang
Asites
Terapi
Umum
Perawatan suportif yang intensif
Pada koma hepatikum stadium 3–4 air way harus terjaga;
pemasangan tube nasogastrik dan tindakan intubasi dapat
dilakukan pada penderita dengan gagal napas
Khusus
Menekan kadar amonia darah
Masukan protein dihentikan
Eliminasi kuman usus:
Enema 1–2×/hr (Mg sulfat atau larutan laktulosa 20%)
Oral melalui NGT (neomisin 50–100 mg/kgBB/hr dibagi
3–4×) selama 5–7 hr atau laktulosa sirup tiap 4–6 jam
Terhadap faktor presipitasi
Penanggulangan perdarahan saluran cerna dan membersihkan
usus dari sisa perdarahan
Antibiotik terhadap infeksi, bila perlu diberikan transfusi darah
dan vitamin K
Koreksi gangguan keseimbangan asam basa, cairan, dan
elektrolit
Hentikan pemberian obat hepatotoksik yang mengandung
nitrogen atau yang menimbulkan konstipasi
Cairan parenteral
Glukosa 5–10% 1,5 L/m2/hr
Tutofuchsin CH: 1–2 kolf/hr diperhitungkan dengan kebutuhan
jumlah cairan sehari
Lamanya pemberian cairan parenteral sampai penderita sadar
dan dapat minum
Dietetik
Makan p.o. menurut kemampuan sesudah koma dapat diatasi,
dimulai makanan cair berangsur-angsur ke makanan padat
Protein dapat diberikan bila kadar amonia darah sudah ↓, mulai
0,5 g/kgBB/hr sampai mencapai 1,5 g/kgBB/hr
Pemantauan
Kesadaran
Fungsi kardiovaskular
Pernapasan
Pemasukan/pengeluaran cairan dan elektrolit
Kadar urea dan amonia darah

319
Prognosis
Buruk pada koma yang dalam
Koma hepatikum stadium 4 → 60–70% meninggal
Koma hepatikum berulang 2 (30%),
stadium 3 (60%), stadium 4 (80%)

Bibliografi
1. Cash WJ, McConville P, McDermott E, McCormick PA, Callender
ME, McDougall NI. Current concepts in the assessment and
treatment of hepatic encephalopathy. QJM. 2010 Jan;103(1):9–
16.

320
OBSTRUKSI SALURAN CERNA
Batasan
Obstruksi saluran cerna didefinisikan sebagai gangguan gerakan isi
usus ke arah distal disebabkan oleh gangguan mekanik maupun
nonmekanik
Epidemiologi
Obstruksi saluran cerna terjadi pada sekitar 1/1.500 anak. Obstruksi
yang terjadi dapat parsial atau komplet
Etiologi
Obstruksi Mekanik
Bawaan: sumbatan mekonium, atresia/stenosis, malrotasi, volvulus,
pankreas anuler
Didapat: perlekatan di rongga peritoneum, hernia inguinalis,
inkarserata, askariasis
Obstruksi Nonmekanik
Bawaan: megakolon kongenitum (penyakit Hirschsprung)
Didapat: peritonitis, hipokalemia, obat-obatan
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang muncul dapat bervariasi bergantung pada
obstruksi yang terjadi, berupa muntah, perut kembung, rasa sakit
perut ringan sampai berat, tidak ada BAB
Diagnosis
Anamnesis
Muntah
Tidak ada BAB
Perut kembung
Rasa sakit perut
Hidramnion dalam riwayat kelahiran (pada neonatus)
Pemeriksaan Fisis
Tanda dehidrasi
Tanda infeksi berat
Kelainan bawaan lain
Abdomen:
Distensi
Ketegangan dinding perut
Nyeri tekan
Bising usus ↑/↓
Colok dubur:
Kelainan anorektal
Kolaps/distensi ampula rekti

321
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Feses
Darah rutin, elektrolit, urea N, kreatinin, bilirubin, glukosa
Pasang NGT untuk pemeriksaan aspirat lambung:
Aspirasi lambung dan pemeriksaan isi lambung
Kegagalan pemasangan NGTterdapat pada atresia atau
stenosis berat dari esofagus
Jumlah aspirasi 25–30 mL mungkin terjadi obstruksi usus
Warna hijau aspirasi mungkin karena obstruksi postpilorik
Warna aspirasi tidak hijau mungkin terjadi obstruksi
preduodenal
Radiologi
Foto polos abdomen
Foto kontras per enema
Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya obstruksi saluran cerna dibagi menjadi 2:
Obstruksi mekanik (ileus obstruktif)
Obstruksi nonmekanik (ileus paralitik)
Terapi
Konservatif
Obstruksi mekanik (intususepsi baru dan mekonimum ileus tanpa
penyulit) dilakukan enema/irigasi. Bila tidak berhasil baru dilaku-
kan pembedahan secepat-cepatnya
Obstruksi nonmekanik didapat (ileus paralitik karena hipokalemia,
infeksi berat, obat-obatan, dll.)
Terapi kausal terhadap penyakit/gangguan primer
Terapi paliatif: dekompresi saluran cerna atas/bawah
Terapi cairan i.v. bila muntah atau terdapat dehidrasi
Pembedahan
Obstruksi mekanik pada umumnya
Obstruksi nonmekanik bawaan (penyakit Hirschsprung)
Perforasi/peritonitis
Prognosis
Bergantung pada etiologi dan kecepatan penanganannya
Bibliografi
1. De Betue CT, Boersma D, Oomen MW, Benninga MA, de Jong JR.
Volvulus as a complication of chronic intestinal pseudo
obstruction syndrome. Eur J Pediatr. 2011 Des;170(12):1591–5.
2. Indap S, Patil PV, Verma R, Patki A. Intestinal obstruction due to
mesenteric bands. Bombay Hosp J. 2010;52(4):545–7.

322
PERDARAHAN SALURAN CERNA
PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS
Batasan
Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCA) merupakan muntah
darah yang berasal dari perdarahan saluran cerna di atas ligamentum
Treitz. Bila muntah darah segar → terjadi perdarahan yang cepat. Bila
warna darah seperti kopi (akibat efek koagulasi asam lambung) →
perdarahannya berlangsung lambat
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis klasik berupa hematemesis (muntah darah
berwarna merah segar atau berwarna coklat tua seperti kopi) akibat
refleksi perdarahan akut lambung atau duodenum proksimal
Manifestasi lain yang dapat merupakan manifestasi perdarahan
saluran cerna baik atas maupun bawah yaitu:
Melena (feses berwarna hitam, tebal, seperti ter, dan berbau
busuk) menunjukkan jumlah minimal kehilangan 50–100 mL/2%
volume darah
Perdarahan tersembunyi (kehilangan sejumlah kecil dalam darah
yang terjadi secara kronik)
Hematochezia (darah segar yang berasal dari rektum, dapat
berupa darah, diare berdarah atau darah yang bercampur dengan
feses) merupakan tanda perdarahan dari kolon atau ileum distal,
tetapi dapat juga terjadi pada perdarahan saluran cerna atas yang
masif
Diagnosis
Anamnesis
Sumber perdarahan
Beratnya perdarahan
Lama perdarahan
Gejala gastrointestinal lainnya seperti diare, sakit perut, konstipasi,
muntah
Gejala sistemik seperti panas, ruam, dizziness, sesak, pucat,
takikardia, akral dingin
Riwayat keluarga seperti kelainan GI, penyakit hati, dan darah
Riwayat penggunaan obat-obatan
Pada neonatus perlu ditanyakan riwayat penggunaan obat
(indometasin, steroid), stress gaster (sepsis, asfiksia, operasi),
menelan darah ibu
Pada anak lebih besar perlu dicari kemungkinan lain seperti
perdarahan nonsaluran cerna (trauma muka, ekstraksi gigi,
epistaksis, muntah hebat, disfagia, batuk malam hari, menelan zat
kaustik, nyeri epigastrik malam hari, trauma hepar), dan
kemungkinan makan makanan yang berwarna mirip darah

323
Tabel 80 Penyebab Tersering Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Asal Perdarahan Penyebab Perdarahan
Esofagus Varises
Esofagitis
Mallory Weiss tear
Kista/duplikasi
Gaster Ulkus
Erosi
Hematoma
Tumor
Kista/duplikasi
Duodenum Erosi
Ulkus
Duodenitis
Hemobilia
Hematoma
Nonspesifik Menelan darah
Kelainan perdarahan

Pemeriksaan Fisis
Keadaan umum: anemia, tanda syok
Tanda penyakit berat lain (stress ulcer, diatesis hemoragik)
Kulit: pucat, ikterus, ekimosis, pembuluh darah abnormal, hidrasi
Kepala, mata, THT: infeksi nasofaring, tonsil besar, perdarahan
Kardiovaskular: frekuensi nadi (duduk, tidur), tekanan nadi, irama
gallop, capillary refill
Abdomen: organomegali, nyeri, kaput medusa, massa
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
Bila tidak ada kelainan hepar: Hb, Ht, L, Tr, DC, MDT, LED, BUN,
PT/APTT, darah samar
Bila ada kelainan hepar: Hb, Ht, L, Tr, DC, MDT, LED, PT/APTT,
darah samar, golongan darah, SGOT/SGPT, gama GT, BUN,
albumin, kreatinin, amonia
Apt Downey test (pada neonatus yang mungkin menelan darah
ibu) didapatkan darah ibu warna kuning coklat, sedangkan Hb fetal
warna merah muda
Aspirat lambung apabila darah (+) perdarahan saluran cerna atas,
darah (−) perdarahan saluran cerna atas atau bawah
Radiologi: radionuklir (99mTc) bila perdarahan 0,1 mL/mnt
Endoskopi (esofagogastroendoskopi)

324
Hematemesis

Stabilisasi sistem
hemodinamik
Pendekatan diagnostik dini

Pipa nasogastrik

Perdarahan Perdarahan Curiga varises Perdarahan


aktif banyak tidak sedikit tidak aktif
aktif

Endoskopi segera Evaluasi berencana

Kelainan (+): tatalaksana Kelainan (


sesuai kelainan bleeding scanning, angiografi

Gambar 36 Algoritme Pendekatan Diagnosis Perdarahan Saluran


Cerna Bagian Atas

Klasifikasi
Tabel 81 Klasifikasi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
berdasarkan Usia, Keadaan Umum Anak, dan Kecepatan
Perdarahan
Well-appearing Child
Usia Ill-appearing Child
High Rate of Bleeding Low Rate of Bleeding
Bayi Gastritis hemoragika − Reflux esophagitis
Stress ulcer Gastritis reaktif
Defisiensi vitamin K
2–5 th Varises esofagus Varises esofagus Mallory Weiss tear
(penyakit hati) Ulkus Gastritis
Gastritis hemoragika gaster/duodenum Reflux esophagitis
Stress ulcer
>5 th Varises esofagus Varises esofagus Mallory Weiss tear
Gastritis hemoragika Perdarahan ulkus Reflux esophagitis
Dieulafoy lesion Gastritis reaktif
Hemobilia

325
Terapi
Stabilisasi keadaan umum
Bila terdapat syok atau anemia berat infus RL 10–20 mL/kgBB/jam,
syok teratasi → tetesan diperlambat
Fresh whole blood (FWB) 10–15 mL/kgBB diberikan pada perdarah-
an masif untuk mempertahankan volume intravaskular, selanjut-
nya packed red cell (PRC) dapat diberikan bila diperlukan
Vitamin K 1 mg/th i.m. (maks. 10 mg) bila ada koagulopati
Suspensi trombosit dapat diberikan bila diperlukan
Tindakan menghentikan perdarahan
Pembilasan lambung dilakukan melalui NGT dengan 50–100 mL
NaCl 0,9% berulang kali setiap 1–3 jam bergantung pada per-
darahannya sampai cairan lambung sebersih-bersihnya
Oktreotid (agen vasoaktif, analog somatostatin) dosis 1 mcg/kgBB
i.v. bolus (maks. 50 mcg) diikuti 1 mcg/kgBB/jam. Dapat ditingkat-
kan setiap 8 jam hingga 4 mcg/kgBB/jam (maks. 250 mcg/8 jam).
Saat perdarahan terkontrol dosis diturunkan 50% setiap 12 jam.
Dapat dihentikan bila sudah mencapai 25% dosis awal
Skleroterapi secara endoskopi perlu dipertimbangkan bila per-
darahan tidak berhenti
Bila ada kelainan peptik dan erosif pada mukosa
H2 reseptor antagonis: ranitidin (inhibitor sekresi asam lambung).
Pada perdarahan aktif diberikan secara i.v. dengan cara continuous
infusion 1 mg/kgBB diikuti 2–4 mg/kgBB/hr atau bolus 3–5
mg/kgBB/hr setiap 8 jam. Pada pencegahan perdarahan (perdarah-
an sudah tidak aktif lagi) diberikan secara p.o. 2–3 mg/kgBB/kali
2–3×/hr (maks. 300 mg/hr)
Proton pump inhibitor (PPI): omeprazol
PPI i.v. diberikan 2–3×/hr pada perdarahan aktif sampai
perdarahan berhenti, lalu diganti PPI oral untuk memper-
tahankan pH lambung >6. Dosis omeprazol 1–1,5 mg/kgBB/kali
1–2×/hr (maks. 20 mg 2×/hr)
Mucoprotector: sukralfat 40–80 mg/kgBB/hr dibagi 4 dosis (maks.
1.000 mg/dosis)
Pembedahan dilakukan bila tindakan konservatif tidak dapat meng-
atasi perdarahan
Prognosis
Pada umumnya baik
Hanya 3% kasus yang memerlukan tindakan bedah
Kematian biasanya bergantung pada penyakit yang mendasarinya

326
PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH
Batasan
Perdarahan saluran cerna bagian bawah (PSCB) adalah darah yang
berasal dari perdarahan saluran cerna di bawah ligamentum Treitz,
dapat berupa melena atau hematochezia—bergantung pada lokasi
perdarahan dan volume darah
Epidemiologi
Perdarahan saluran cerna bagian bawah lebih jarang terjadi yaitu
sekitar 20/100.000 pada penderita semua usia dan pada anak
diperkirakan lebih jarang dibandingkan dengan dewasa serta
merupakan keluhan utama pada 0,3% penderita anak yang dibawa ke
unit gawat darurat
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang klasik yaitu diare berdarah atau terdapat
darah segar yang bercampur dengan feses
Manifestasi lain yang dapat merupakan manifestasi perdarahan
saluran cerna baik atas maupun bawah adalah:
Hematochezia, biasanya merupakan tanda perdarahan dari kolon
atau ileum distal, tetapi dapat juga terjadi pada perdarahan
saluran cerna atas yang masif
Melena menunjukkan jumlah minimal kehilangan 50–100 mL/2%
volume darah
Perdarahan tersembunyi
Diagnosis
Anamnesis
Sumber perdarahan
Beratnya perdarahan
Lama perdarahan
Gejala gastrointestinal lainnya seperti diare, sakit perut, konstipasi,
muntah
Gejala sistemik seperti panas, rash, dizziness, sesak, pucat,
takikardia, akral dingin
Riwayat keluarga seperti kelainan GI, penyakit hati, dan darah
Riwayat penggunaan obat-obatan

327
Tabel 82 Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah
Neonatus 6 Minggu–1 Tahun 1–12 Tahun
Tertelan darah ibu Fisura ani Fisura ani
Fisura ani Infeksi Infeksi
Infeksi Alergi susu Intususepsi
Alergi susu Intususepsi Polip
Divertikulum Divertikulum Meckel Kolitis
Meckel Polip Divertikulum
Kista duplikasi Hiperplasia limfoid Meckel
Penyakit Hematoma Hiperplasia limfoid
perdarahan Kista duplikasi Alergi susu
Malformasi arteri- Malformasi arteri-vena Hematoma
vena Ulkus peptikum Tumor
Benda asing Gastric heteropia
Kolitis (karena
imunodefisiensi)
Tumor
Gastric heteropia

Pemeriksaan Fisis
Keadaan umum: anemia, tanda syok
Tanda penyakit berat lain (stress ulcer, diatesis hemoragik)
Kulit: pucat, ikterus, ekimosis, pembuluh darah abnormal, hidrasi
Kardiovaskular: frekuensi nadi (duduk, tidur), tekanan nadi, irama
gallop, capillary refill
Abdomen: organomegali, nyeri, kaput medusa, massa
Perineum: fisura, fistula, indurasi, hemoroid, lesi vaskular
Rektum: darah, melena, nyeri
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
Tes Guaiac pada sampel feses untuk mengetahui perdarahan
tersembunyi atau sebagai konfirmasi apakah terdapat darah
dalam feses
Pemeriksaan Hb atau Ht untuk mengetahui kehilangan darah
Jumlah dan fungsi trombosit serta PT dan aPTT
Golongan darah apabila diperlukan transfusi
Tes fungsi sintesis hati
Ureum dan kreatinin ↑ apabila fungsi ginjal ↓ akibat syok
hipovolemik
Radiologi:
Foto polos abdomen (dapat menunjukkan tanda-tanda NEC)
Barium enema (dapat menunjukkan polip, malrotasi,
intususepsi)
USG abdomen merupakan indikasi bagi penderita dengan
hepatosplenomegali (untuk mengetahui hipertensi portal dan
penyakit hati kronik)
CT-scan dan MRI abdomen (untuk mengetahui kondisi
vaskularisasi intraabdominal)

328
Technetium99m pertechnetate scan (Meckel’s scan) untuk
deteksi divertikulum Meckel
Technetium99m-labeled red cells (bleeding scan) dapat
melokalisasi perdarahan kecil intermiten dengan kecepatan
perdarahan 0,1–0,3 mL/mnt (500 mL/hr)
Angiografi diindikasikan pada lesi perdarahan aktif atau perda-
rahan kronik rekuren yang tidak tampak pada pemeriksaan lain
dengan kecepatan perdarahan >0,5 mL/mnt (dapat digunakan
juga untuk terapi dengan teknik embolisasi atau vasopresin)
Endoskopi (sigmoidoskopi fleksibel, kolonoskopi, enteroskopi usus
halus)

329
Tabel 83 Diagnosis Banding berdasarkan Tipe Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah Secara Klinis
Hematochezia, Melena Perdarahan dari Perdarahan dari Rektum Darah Merah Segar yang Perdarahan Tersamar
Rektum dengan dengan Pola BAB Normal Melapisi Permukaan Feses dari Saluran Cerna
Tanda-tanda Kolitis yang Normal tanpa
(Diare Bercampur Disertai Konstipasi
Darah, Tenesmus,
BAB Terutama Malam
Hari)
Iskemia intestinal Kolitis infeksiosa Juvenile polyp Fisura ani Gastroenteritis atau
colitis eosinophilic
Divertikulum Meckel Enterokolitis Colitis eosinophilic Cryptitis karena
nekrotikan Streptococcus beta Celiac disease
Vaskulitis Inflamatory bowel disease hemolitik
Inflamatory bowel Inflamatory bowel
330

Sloughed polyp disease (colitis Malformasi vaskular Prolaps rektum disease


Ulserasi pada usus dan ulcerative, Crohn’s
disease) Ulkus pada rektum soliter Poliposis
kolon (NSAID
gastropaty, Crohn’s Hemoroid interna dan Divertikulum Meckel
disease) eksterna
Malformasi vaskular
Kolitis ulserativa
Malformasi vaskular
Apakah benar-benar darah? Tes darah lambung:
Tes darah feses Melena atau Hematochezia Tube nasogastrik

( (+) (−) (+): tatalaksana


penyebab lain Tatalaksana PSCB PSCA

Ringan sampai sedang Berat Stabilisasi


Hemodinamik normal Hemodinamik tidak
normal

Tanpa gejala lain Anamnesis Dengan gejala lain (gagal tumbuh, nyeri
331

Episode pertama Pemeriksaan fisis perut, purpura)

Investigasi diagnostik yang tepat


Teridentifikasi: hentikan
investigasi jika tidak ada
rekurensi
Kultur feses
USG
Proktosigmoidoskopi
Tidak teridentifikasi: tatalaksana jika PSCB berulang dan atau
perdarahan hebat (kolonoskopi, scan Meckel, scan sumber
perdarahan, endoskopi kapsul, angiografi)

Gambar 37 Algoritme untuk Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah


Klasifikasi
Tabel 84 Klasifikasi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah berdasarkan Usia, Keadaan Umum Anak, dan
Kecepatan Perdarahan
Well-appearing Child
Usia Ill-appearing Child
High Rate of Bleeding Low Rate of Bleeding
Infant Kolitis infeksiosa − Fisura ani
Necrotizing enterocolitis Eosinophilic proctocolitis
Hirschsprung enterocolitis Kolitis infeksiosa
Volvulus Nodular lymphoid hyperplasia
2–5 th Intususepsi Divertikulum Meckel Kolitis infeksiosa
332

Volvulus Sloughed juvenile polyp Juvenile polyp


Henoch-Schonlein purpura Kolitis ulserativa Nodular lymphoid hyperplasia
Hemolytic-uremic symdrome Kolitis ulserativa/Crohn disease
Perianal streptococcal cellulitis
Prolaps rektal/ulkus rektal
>5 th Kolitis infeksiosa Kolitis ulserativa Kolitis infeksiosa
Kolitis ulserativa Divertikulum Meckel Kolitis ulserativa/Crohn disease
Henoch-Schonlein purpura Juvenile polyp
Iskemia intestinal Hemoroid
Terapi
Stabilisasi keadaan umum:
Bila terdapat syok atau anemia berat infus RL 10–20 mL/kgBB/jam,
bila syok teratasi tetesan diperlambat
Fresh whole blood (FWB) 10–15 mL/kgBB diberikan pada perdarah-
an masif untuk mempertahankan volume intravaskular
Dapat dilanjutkan dengan packed red cell (PRC) seperlunya
Vitamin K 1 mg/kgBB i.m. (maks. 10 mg) bila ada koagulopati
Suspensi trombosit dapat diberikan bila diperlukan
Tindakan menghentikan perdarahan:
Oktreotid (agen vasoaktif, analog somatostatin) dosis 1 mcg/kgBB
i.v. bolus (maks. 50 mcg) diikuti 1 mcg/kgBB/jam. Dosis dapat ↑
tiap 8 jam hingga 4 mcg/kgBB/jam (maks. 250 mcg/8 jam). Saat
perdarahan terkontrol, dosis ↓ 50% setiap 12 jam. Dapat dihenti-
kan bila sudah mencapai 25% dosis awal
Endoskopi terapeutik
Pembedahan dilakukan bila tindakan konservatif tidak dapat meng-
atasi perdarahan
Prognosis
Pada umumnya baik
Kematian biasanya bergantung pada penyakit yang mendasarinya
Bibliografi
1. Boyle JT. Gastrointestinal bleeding in infants and children.
Pediatr Rev. 2008;29(2):39–52.
2. Elta GH. Approach to the patient with gross gastrointestinal
bleeding. Dalam: Yamada T, Alpers DH, Kaplowitz N, Laine L,
Owyang C, Powell DW, penyunting. Textbook of gastroenterology.
Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2003. hlm.
698–723.
3. Howarth DM. The role of nuclear medicine in the detection of
acute gastrointestinal bleeding. Semin Nucl Med. 2006;36(2):
133–46.
4. Kalyoncu D, Urganci N, Cetinkaya F. Etiology of upper
gastrointestinal bleeding in young children. Indian J Pediatr.
2009;76(9):899–901.
5. Kay M, Wyllie R. Gastrointestinal hemorrhage. Dalam: Wyllie R,
Hyams JS, penyunting. Pediatric gastrointestinal and liver
disease. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 203–15.
6. ASGE Standards of Practice Committee, Lee KK, Anderson MA,
Baron TH, Banerjee S, Cash BD, dkk. Modifications in endoscopic
practice for pediatric patients. Gastrointest Endosc. 2008 Jan;
67(1):1–9.
7. Makmun D. Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian
bawah dari konsensus ke aplikasi klinis. Jakarta: Symposium
Emergency in Gastroenterology; 2006.
8. Mulyani NS, Juffrie M, Oswari H. Modul pelatihan perdarahan
saluran cerna pada anak. Edisi ke-1. Jakarta: UKK
Gastrohepatologi IDAI; 2010.

333
9. Padia SA, Bybel B, Newman JS. Radiologic diagnosis and
management of acute lower gastrointestinal bleeding. Cleve Clin
J Med. 2007;74(6):417–20.
10. Peters JM. Management of gastrointestinal bleeding in children.
Curr Treat Options Gastroenterol. 2002;5(5):399–413.
11. Turck D, Michaud L. Lower gastrointestinal bleeding. Dalam:
Walker WA, Goulet O, Kleinman RE, Sherman PM, Shneider BL,
Sanderson IL, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease:
pathophysiology, diagnosis, management. Edisi ke-4. Hamilton,
Ontario: BC Decker Inc.; 2004. hlm. 266–80.

334
SINDROM REYE
Epidemiologi
Kejadiannya sangat jarang (insidensi 0,79/1 juta anak di Perancis).
Etiologi belum diketahui pasti tetapi berhubungan dengan infeksi
virus (influenza, varisela-zoster, diare), obat-obatan (salisilat), dan
toksin (aflatoksin)
Manifestasi Klinis
Umumnya didahului dengan infeksi virus khususnya infeksi saluran
respiratori akut yang mendapatkan terapi salisilat, disertai dengan
muntah yang sulit terkontrol, dan akhirnya ensefalopati akut
(letargis, kejang, dan atau penurunan kesadaran)
Diagnosis
Didahului gejala prodromal infeksi saluran respiratori akut/influenza,
varisela atau diare
Riwayat pemakaian salisilat atau makanan yang mengandung
aflatoksin
Emesis persisten
Ensefalopati akut
Laboratorium
Cairan serebrospinal (CSS) normal
Darah: aminotransferase >3×, hiperamonia, bilirubin <3,5 mg/dL,
hipoglikemia, pemanjangan waktu protrombin
Tidak terdapat penyakit hati dan gangguan fungsi otak lainnya yang
menyebabkan gangguan kesadaran
Bila memungkinkan, biopsi hati untuk diagnosis pasti (terdapat lemak
intravesikular dan infiltrasi panlobular yang berhubungan dengan
gangguan mitokondria)
Klasifikasi
Sesuai derajat koma pada gagal hati
Terapi
Tidak ada pengobatan spesifik
Pada Gejala Muntah Persisten
Infus glukosa 10–15% kebutuhan 1,2 L/m2/hr (pertahankan kadar
glukosa darah 200–400 mg/dL)
Pada Gejala Ensefalopati Akut
Manitol 1–2 g/kgBB dalam 30 mnt, dapat diulang setiap 6 jam
selama 72 jam (monitor kadar elektrolit serum)
Atasi kejang
Enema 1–2×/hr
Neomisin 50 mg/kgBB/hr selama 3 hr
Vitamin K 5 mg i.m. atau 1 mg i.v.

335
Prognosis
Angka kematian mencapai 21%. Sekuele neurologis akan dialami oleh
30% penderita yang selamat

Bibliografi
1. Pugliese A, Beltramo T, Torre D. Reye’s and Reye’s like syndrome.
Cell Biochem Funct. 2008 Oct;26(7):741–6.
2. Schrör K. Aspirin and Reye syndrome: a review of the evidence.
Pediatr Drugs. 2007;9(3):195–204.

336
Hematologi-Onkologi
Lelani Reniarti
Susi Susanah
Nur Suryawan
Harry Raspati Achmad
Ponpon Idjradinata
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Batasan
Anemia yang disebabkan kekurangan besi untuk sintesis hemoglobin
(Hb)
Etiologi
Kebutuhan ↑
Pertumbuhan (bayi, preadolesens)
Menstruasi
Infeksi kronik
Infeksi akut berulang
Masukan besi ↓
Jenis makanan miskin besi
Terapi antasida
Malabsorpsi (PEM, enteritis, sprue, reseksi lambung, celiac disease,
diare kronik)
Kehilangan darah
Perdarahan saluran cerna (infeksi cacing, ulkus peptikum,
divertikulum Meckel, pemberian salisilat, dan lain-lain)
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat faktor predisposisi dan etiologi
Pucat, lemah, lesu, gejala lain seperti pica
Rewel
Pemeriksaan Fisis
Pucat
Spoon nail
Tidak didapatkan hepatosplenomegali
Laboratorium
Anemia hipokrom mikrositer
MCV ↓, MCH ↓, MCHC ↓
Jumlah retikulosit normal atau sedikit ↑
Fe serum ↓, total iron binding capacity (TIBC) ↑, saturasi
transferin ↓ (<16%), kadar feritin serum ↓ (<10–12%), nilai free
erythrocyte protoporphyrin (FEP) ↑ (>100 g/dL)
Pemberian Preparat Besi → Hb ↑
Pemeriksaan Penunjang
Hb
Indeks eritrosit: MCV, MCH, MCHC
Apus darah tepi
Retikulosit
FEP
Feritin serum
Fe serum dan TIBC

339
Diagnosis Banding
Thalassemia minor
Hemoglobinopati (Hb E)
Anemia yang disebabkan penyakit kronik
Lead poisoning/keracunan timbal
Penyulit
Kardiomegali
Gagal jantung kongestif
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan
Konsultasi
Bagian terkait (bergantung pada kasus)
Terapi
Umum
Makanan gizi seimbang
Mengatasi faktor penyebab (infeksi dan perdarahan)
Khusus
Preparat besi
Dipakai senyawa fero-sulfat, fero-fumarat atau fero-glukonat
dengan dosis 6 mg Fe elemental/kgBB/hr p.o. dibagi dalam
3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Pemberian dilanjut-
kan min. 8 mgg sesudah Hb normal
Bila tidak memungkinkan p.o., diberikan iron-dextran complex
i.m. (imferon) dosis:
Dosis besi (mg) = BB (kg) × kadar Hb yang diinginkan (g/dL) × 2,5
Asam askorbat 100 mg tiap 15 mg Fe elemental (untuk ↑ absorpsi
besi)
Transfusi darah diberikan bila terdapat kemungkinan gangguan
kardiovaskular/anemia berat dengan kadar Hb <4 g/dL, diberi PRC
dengan dosis 2–3 mL/kgBB/kali pemberian disertai pemberian
diuretik seperti furosemid. Diberikan untuk ↑ Hb sampai ≥7 g/dL
Pencegahan
Pemberian ASI eksklusif
Bila menggunakan susu formula, diberi susu formula yang diper-
kaya besi (iron-fortified infant formula, mengandung besi 8–12
mg/L)
Pemberian iron-fortified infant cereals
Pemberian makanan kaya akan vitamin C
Tidak boleh diberi susu sapi penuh (cow’s milk) sampai usia 1 th
Suplementasi besi seperti pada Tabel 85

340
Tabel 85 Dosis dan Lama Pemberian Suplementasi Besi
Dosis Besi
Usia (Tahun) Lama Pemberian
Elemental
Bayi*: BBLR (<2.500 g) 3 mg/kgBB/hr Usia 1 bl sampai 2 th
Cukup bl 2 mg/kgBB/hr Usia 4 bl sampai 2 th
2–5 (balita) 1 mg/kgBB/hr 2×/mgg selama 3 bl
berturut-turut setiap th
>5–12 (usia sekolah) 1 mg/kgBB/hr 2×/mgg selama 3 bl
berturut-turut setiap th
12–18 (remaja) 60 mg/hr# 2×/mgg selama 3 bl
berturut-turut setiap th
Keterangan: * Dosis maks. untuk bayi: 15 mg/hr, dosis tunggal
#
Khusus remaja perempuan ditambah 400 μg asam folat

Prognosis
Baik dengan pemberian preparat besi

Surat Persetujuan
Diperlukan

Bibliografi
1. American Academy of Pediatrics Committee on Nutrition. The
use of whole cow’s milk in infancy. Pediatrics. 1992;89(6 Pt 1):
1105–9.
2. Andrews NC. Iron deficiency and related disorders. Dalam: Greer
JP, Foerster J, Lukens J, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B,
penyunting. Wintrobe’s clinical hematology. Edisi ke-11.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. hlm. 979–1004.
3. Glader B. Anemias of inadequate production. Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm.
2006–18.
4. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
5. Lukens JN. Iron metabolism and iron deficiency. Dalam: Miller DR,
Baehner RL, Miller LP, penyunting. Blood diseases of infancy and
childhood. Edisi ke-7. St. Louis: Mosby Co; 1995. hlm. 193–219.
6. Recht M, Pearson HA. Iron deficiency anemia. Dalam: McMillan
JA, De Angelis CD, Feigin RD, Warshaw JB, penyunting. Oski’s
pediatrics principles and practice. Edisi ke-3. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 1999. hlm. 1447–8.
7. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Suplementasi besi
pada bayi dan anak. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2011.

341
8. Schwart E. Iron deficiency anemia. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. hlm. 1614–7.
9. World Health Organization. Iron deficiency anemia assessment,
prevention, and control: a guide for programme managers.
Geneva: WHO; 2001.

342
ANEMIA MEGALOBLASTIK
Batasan
Anemia yang disebabkan kurangnya vitamin B12 dan atau asam folat
yang diperlukan untuk pematangan sel darah merah

Etiologi
Defisiensi vitamin B12: asupan vitamin B12 tidak adekuat
(vegetarian), kurangnya faktor intrinsik, gangguan absorpsi, gangguan
transpor vitamin B12, gangguan metabolisme vitamin B12
(kongenital, penyakit hati, malnutrisi protein)
Defisiensi asam folat: asupan asam folat tidak adekuat, gangguan
absorpsi, kelainan metabolisme asam folat kongenital (congenital
dihydro-folate reductase deficiency)
Lain-lain
Kelainan kongenital sintesis DNA
Defek sintesis DNA didapat
Obat-obatan (sitostatik): metotreksat
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat faktor predisposisi (ada kerabat atau keluarga ataupun
keluarga yang menderita anemia megaloblastik, ibu menderita
defisiensi vitamin B12, pola diet yang salah)
Pemeriksaan Fisis
Pucat, lemah, lesu, anoreksia, lidah terasa sakit dan kemerahan,
glositis, serta dapat disertai diare yang bersifat episodik atau
berkelanjutan
Gejala neurologis: parestesia, defisit sensoris, hipotoni, kejang,
keterlambatan perkembangan
Efek buruk defisiensi vitamin ini, ↑ risiko trombosis karena hiper -
homosisteinemia
Defisiensi vitamin ini pada ibu hamil akan memengaruhi per-
tumbuhan saraf janin, ↑ risiko prematuritas, gagal tumbuh pada
janin, dan keguguran
Laboratorium
Darah
Sel darah merah
Hb biasanya ↓
Indeks sel darah merah: MCV ↑ (110–140 fL), MCHC normal
Morfologi darah tepi: banyak gambaran makrositer dan
makroovalosit, anisositosis dan poikilositosis, cabot rings,
Howel Jolly-Bodies serta puntat basofil
Sel darah putih
Jumlahnya ↓ (1.500–4.000/mm3), neutrofil3
hipersegmentasi
Trombosit dapat ↓ (50.000–180.000/mm )
Sumsum tulang: terlihat megaloblastik

343
Laktat dehidrogenase, bilirubin, besi serum, dan saturasi
transferin ↑
Kadar vitamin B12 ↓ (<80 pg/mL), normal: 200–800 pg/mL
Kadar asam folat eritrosit ↓ (<3 ng/mL) (normal: 74–640
ng/mL)
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin
Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis, morfologi darah tepi
Indeks eritrosit: MCV, MCHC
Kadar vitamin B12 atau asam folat serum (bila memungkinkan)
Laktat dehidrogenase, bilirubin, besi serum, dan saturasi transferin
Pungsi sumsum tulang
Diagnosis Banding
Gangguan sintesis DNA kongenital
Gangguan sintesis DNA didapat
Penyulit
Kelainan neurologik
Infeksi
Terapi
Umum
Makanan gizi seimbang
Hindari makanan yang mengandung gluten
Atasi faktor predisposisi
Khusus
Defisiensi asam folat
Dosis asam folat 5 mg (100 μg/kgBB/hr) selama 4 bl. Terapi
dilanjutkan apabila defisiensi asam folat tidak dapat diperbaiki
Terapi profilaksis asam folat diberikan pada anak dengan anemia
hemolitik berat (thalassemia, anemia hemolitik autoimun)
Keberhasilan pengobatan penderita dengan defisiensi asam
folat bergantung pada:
Koreksi defisiensi asam folat
Mengobati penyakit yang mendasarinya
Peningkatan diet makanan yang banyak mengandung asam
folat
Monitor kondisi klinis penderita
Respons optimal terjadi pada kebanyakan penderita dengan
100–200 µg asam folat/hr. Karena sediaan yang tersedia secara
komersial biasanya tablet (0,3–1,0 mg) dan elixir (1,0 mg/mL),
sebelum asam folat diberikan perlu untuk menyingkirkan ke-
mungkinan kekurangan vitamin B12
Respons klinis dan hematologi untuk asam folat cepat terjadi.
Dalam 1–2 hr, nafsu makan akan kembali ↑ dan penderita
terlihat membaik. Retikulosit ↑ dalam 2–4 hr, mencapai puncak
pada 4–7 hr, dan diikuti kadar Hb normal dalam 2–6 mgg

344
Defisiensi vitamin B12
Dosis awal optimal 25–100 g/hr selama 2–3 mgg diikuti
dengan suplemen kalium ↑
Dosis pemeliharaan 200–1.000 g i.m. setiap bl
Dapat diberikan pada gangguan absorpsi vitamin B12 dengan
dosis 1.000 g i.m. 2 atau 3×/mgg
Respons berupa retikulositosis dapat diharapkan pada hari ke-
3–4 pengobatan, puncaknya terjadi pada hr ke-6–8 dan mulai ↓
pada hr ke-12
Transfusi PRC 10–15 mL/kgBB bila ada infeksi atau tanda gagal
jantung yang mengancam
Bila ada infeksi harus segera diatasi, karena selama infeksi
sumsum tulang sering tidak memberikan respons dengan
pemberian hematinik

Prognosis
Pada umumnya baik, biasanya dalam 6–8 mgg pengobatan Hb
kembali normal
Surat Persetujuan
Diperlukan
Bibliografi
1. Babior BM. Folate, cobalamin, and megaloblastic anemia. Dalam:
Lichtman MA, Kipps TJ, Kaushansky K, Beutler E, Seligshon U,
Prchal JT, penyunting. Williams hematology. Edisi ke-7. New
York: McGraw-Hill; 2006. hlm. 477–509.
2. Banka S, Roberts R, Plews D, Newman WG. Early diagnosis and
treatment of cobalamin deficiency of infancy owing to occult
maternal pernicious anemia. J Pediatr Hematol Oncol. 2010;
32(4):319–22.
3. Glader B. Anemias of inadequate production. Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm.
1606–17.
4. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
5. Lerner NB. Megaloblastic anemia. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 1655–7.
6. Werner EJ. Megaloblastic anemia and disorders of cobalamin and
folate metabolism. Dalam: Arceci RJ, Hann AM, Smith OP,
penyunting. Pediatric hematology. Edisi ke-3. Massachusetts:
Blackwell Publishing; 2006. hlm. 105–29.

345
ANEMIA APLASTIK
Batasan
Anemia refrakter yang ditandai dengan anemia berat, leukopenia,
trombositopenia, dan disertai dengan sumsum tulang aplastik atau
hipoplastik
Anemia aplastik berat jika terdapat selularitas sumsum tulang <25%
dan memenuhi dua dari 3
kriteria: jumlah granulosit
3
<500/mm3,
trombosit <20.000/mm , retikulosit <20.000/mm
Anemia aplastik sangat berat jika memenuhi kriteria anemia aplastik
berat dengan jumlah granulosit <200/mm3

Klasifikasi
Kongenital
Didapat
Etiologi
Terdapat idiopatik
Obat: kloramfenikol, antikanker, sulfa, fenilbutazon, dan lainnya
Infeksi: hepatitis, mononukleosus infeksiosa
Radiasi
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat pucat, lemah, lesu, dan perdarahan
Panas badan (infeksi)
Pemeriksaan Fisis
Purpura, petekia, ekimosis, epistaksis, perdarahan saluran cerna
Tanpa limfadenopati dan hepatosplenomegali
Laboratorium
Darah tepi ditemukan trias anemia, leukopenia, dan trombosito-
penia (pansitopenia)
Retikulosit ↓
Morfologi eritrosit: normokrom normositer
Sumsum tulang → hiposelular (aplasia/hipoplasia sumsum tulang)
Pemeriksaan Penunjang
Darah tepi: Hb, leukosit, trombosit, eritrosit, retikulosit, morfologi
darah
Pungsi sumsum tulang
Diagnosis Banding
Preleukemia
Penyulit
Infeksi
Perdarahan hebat

346
Terapi
Umum
Mencari dan menghindarkan bahan yang mungkin menjadi
penyebab
Mencegah perdarahan dengan cara menghindari trauma →
istirahat dan pembatasan aktivitas
Mencegah infeksi dengan menghindari kontak
Makanan gizi seimbang (mulai makanan lunak)
Khusus
Terapi imunosupresor
Antithymocyte globulin (ATG)
Dosis 20 mg/kgBB/hr (1×/hr) dengan continuous infusion
dalam 12 jam selama 10 hr
Kortikosteroid
Metilprednisolon 2 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam diberikan dari
hr 1–8
Prednisolon 1,5 mg/kgBB/hr (2×/hr) pada hr ke-9 dan 10, 1
mg/kgBB/hr (2×/hr) pada hr ke-11–12, 0,5 mg/kgBB/hr
(2×/hr) pada hr ke-13–14 (2×/hr), 0,25 mg/kgBB/hr pada hr
ke-15 (1×/hr)
Siklosporin A
Dosis 10–12 mg/kgBB/hr p.o. dibagi 2 dosis, dengan
memantau kadar siklosporin dalam 2 mgg pertama. Terapi
dilanjutkan sampai 1 th untuk mengurangi kemungkinan
kambuh, kemudian dosis ↓ 2,0 mg/kgBB setiap 2 mgg.
Apabila didapatkan kadar kreatinin ↑ >30% di atas normal,
dosis ↓ 2 mg/kgBB/hr setiap mgg sampai kadar kreatinin
kembali normal
G-CSF, 5 μg/kgBB s.k. sekali sehari, dimulai pada hr ke-5,
dilanjutkan sampai penderita tidak bergantung 3pada transfusi
selama 2 bl, hitung neutrofil absolut >1.000/mm , Ht ≥25% dan
hitung trombosit ≥40.000/mm3. Kemudian ↓ bertahap G -CSF
bergantung pada hitung neutrofil
Transplantasi sumsum tulang/stem cell dari saudara sekandung
dengan human leukocyte antigen (HLA) identik
Terapi suportif
Transfusi darah
Packed red cell (PRC) 10–15 mL/kgBB untuk mengatasi
anemia, indikasi Hb <7 g/dL
Fresh whole blood (FWB) 10–15 mL/kgBB bila anemia
disebabkan oleh perdarahan hebat
Suspensi trombosit 1 IU/5 kgBB pada perdarahan akibat
trombositopenia (tiap IU diharapkan dapat ↑ jumlah
trombosit 50.000–100.000/mm3)
Suspensi trombosit profilaksis diberikan bila jumlah trombosit
<10×109/L (atau <20×109/L)
Transfusi granulosit pada penderita dengan sepsis dan
granulositopenia

347
Pada keadaan kelebihan besi akibat transfusi berulang: terapi
kelasi besi
Antibiotik spektrum luas yang tidak mendepresi sumsum tulang
(misalnya ampisilin 100 mg/kgBB/hr dan gentamisin 5 mg/kgBB/hr)
sampai 3 hr bebas panas untuk mengatasi infeksi
Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF
atau G-CSF) pada neutropenia berat
Terapi profilaksis
Antibiotik profilaksis diberikan bila hitung neutrofil <0,2×109/L
Amfoterisin i.v. diberikan bila demam menetap saat antibiotik
spektrum luas sudah diberikan
Kelasi besi bila serum feritin >1.000 μg/L

Prognosis
Bila tidak diobati angka kematian 50% dalam 6 bl sesudah diagnosis
Infeksi dan perdarahan sering → kematian 6–12 bl sesudah diagnosis
ditegakkan
Bila transplantasi sumsum tulang berhasil → survival rate = 90%

Surat Persetujuan
Diperlukan

Bibliografi
1. Bacigalupo A, Passweg J. Diagnosis and treatment of acquired
aplastic anemia. Hematol Oncol Clin North Am. 2009;23(2):159–70.
2. Bacigalupo A. Aplastic anemia: pathogenesis and treatment.
Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2007;2007(1):23–8.
3. Führer M, Rampf U, Baumann I, Faldum A, Niemeyer C, Janka-
Schaub G, dkk. Immunosuppressive therapy for aplastic anemia
in children: a more severe disease predicts better survival. Blood.
2005;106(6):2102–4.
4. Guinan EC. Aplastic anemia: management of pediatric patients.
Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2005;2005(1):104–9.
5. Guinan EC. Diagnosis and management of aplastic anemia.
Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2011;2011(1):76–81.
6. Hord JD. The acquired pancytopenias. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm.
2053–5.
7. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
8. Marsh JCW, Ball SE, Cavenagh J, Darbyshire P, Dokal I, Gordon-
Smith EC, dkk. Guidelines for the diagnosis and management of
aplastic anaemia. Br J Haematol. 2009;147:43–70.
9. Niemeyer C, Baumann I. Classification of childhood aplastic
anemia and myelodysplastic syndrome. Hematology Am Soc
Hematol Educ Program. 2011;2011(1):84–9.

348
10. Scheinberg P, Wu CO, Nunez O, and Young NS. Long-term
outcome of pediatric patients with severe aplastic anemia
treated with antithymocyte globulin and cyclosporine. J Pediatr.
2008;153(6):814–9.
11. Scheinberg P, Young NS. How I treat acquired aplastic anemia.
Blood. 2012;120:1185–96.
12. Scheinberg Ph, Wu CO, Nunez O, Scheinberg Pr, Boss C, Sloand
EM, dkk. Treatment of severe aplastic anemia with a
combination of horse antithymocyte globulin and cyclosporine,
with or without sirolimus: a prospective randomized study.
Haematologica. 2009;94:348–54.
13. Yoshida N, Yagasaki H, Hama A, Takahashi Y, Kosaka Y, Kobayashi
R, dkk. Predicting response to immunosuppressive therapy in
childhood aplastic anemia. Haematologica. 2011;96(5):771–4.
14. Young NS, Calado RT, Scheinberg P. Current concepts in the
pathophysiology and treatment of aplastic anemia. Blood.
2006;108(8):2509–19.

349
THALASSEMIA
Batasan
Golongan penyakit bersifat keturunan (herediter) yang ditandai
dengan defisiensi pembentukan rantai globin spesifik dari Hb

Klasifikasi
Klinis
Thalassemia mayor
Thalassemia intermedia
Thalassemia minor
Genetik
Thalassemia α, β, δβ, dan γδβ
Etiologi
Defisiensi rantai globin yang bersifat herediter
Diagnosis
Anamnesis
Pucat, gangguan pertumbuhan
Riwayat keluarga
Pemeriksaan Fisis
Anemia/pucat
Ikterik ringan
Facies cooley pada anak lebih besar
Hepatosplenomegali tanpa limfadenopati
Facies cooley
Gizi kurang/buruk
Perawakan pendek
Hiperpigmentasi kulit
Pubertas terlambat
Laboratorium
Anemia berat (Hb <3 g/dL atau 4 g/dL)
Sediaan apus darah tepi (mikrositer, hipokrom, anisositosis,
poikilositosis, sel eritrosit muda/normoblas, fragmentosit, sel
target)
Indeks eritrosit: MCV,MCH, MCHC ↓, RDW ↑
Bila tidak cell counter, dilakukan uji resistensi osmotik 1 tabung
(fragilitas)
Morfologi eritrosit: gambaran hemolitik (anisositosis, poikilositosis,
polikromasi, sel target, normoblas)
Dapat terjadi leukopenia dan trombositopenia
Retikulosit ↑
Hb F atau Hb A2 ↑
Sumsum tulang → aktivitas eritropoesis ↑

350
Pemeriksaan Penunjang
Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis, morfologi darah tepi,
retikulosit
Indeks eritrosit: MCV, MCHC
Hb-elektroforesis
Pungsi sumsum tulang
Diagnosis Banding
Hemoglobinopati
Anemia defisiensi besi
Anemia diseritropoetik kongenital
Penyulit
Hemosiderosis
Penyulit
Penyulit dapat disebabkan oleh thalassemia-nya sendiri atau akibat
transfusi rutin yang dapat → penumpukan besi di berbagai organ
(hemosiderosis), seperti:
Gangguan jantung, meliputi perikarditis, aritmia, kardiomiopati,
dan gagal jantung
Diabetes melitus
Hipotiroid/hipoparatiroid
Gangguan pematangan seksual
Gangguan pembekuan darah
Sirosis hepatis
Terapi
Umum
Makanan gizi seimbang
Dietetik
Makanan dan obat yang banyak mengandung zat besi sebaiknya
dihindari
Pemantauan tumbuh kembang
Khusus
Dapat dicoba transplantasi sumsum tulang
PRC 10–15 mL/kgBB setiap 4 mgg → mengatasi anemia, sehingga
kadar Hb >10 g/dL
Transfusi darah pertama kali diberikan bila Hb <7 g/dL yang
diperiksa 2× berturutan dengan jarak 2 mgg atau Hb ≥7 g/dL
disertai gejala klinis (perubahan muka/facies Cooley, gangguan
tumbuh kembang, fraktur tulang, curiga hematopoetik
ekstramedular)
Pada penanganan selanjutnya, transfusi darah diberikan Hb ≤8
g/dL sampai kadar Hb 10–11 g/dL. Bila terdapat tanda gagal
jantung, pernah ada kelainan jantung, atau Hb <5 g/dL maka
dosis untuk satu kali pemberian tidak boleh >5 mL/kgBB dengan
kecepatan tidak >2 mL/kgBB/jam. Sambil menunggu transfusi
darah, diberikan O2 dengan kecepatan 2–4 L/mnt

351
Kelasi besi diberikan bila kadar feritin serum >1.000 ng/mL dan
saturasi transferin >55% atau sudah 10–20× transfusi, untuk
mengatasi kelebihan Fe dalam jaringan tubuh
Desferioksamin
Dewasa dan anak 3 th: 30–50 mg/kgBB/hr, 5–7×/mgg s.k.
selama 8–12 jam dengan syringe pump. Anak usia <3 th: 15–
25 mg/kgBB/hr
Pemakaian desferioksamin dihentikan pada penderita yang
sedang hamil, kecuali penderita gangguan jantung yang berat
dan diberikan kembali pada trimester akhir desferioksamin
20–30 mg/kgBB/hr
Ibu menyusui tetap dapat menggunakan kelasi besi ini
Pada penderita tidak patuh/menolak pemberian desferioksamin
dapat diberikan:
Deferipron/L1: 75–100 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis sesudah
makan atau
Deferasiroks/ICL 670: 20–30 mg/kgBB/hr dosis tunggal, 1×/hr
Terapi kombinasi (desferioksamin dan deferipron) diberikan
pada keadaan:
Feritin >3.000 ng/mL yang bertahan min. 3 bl
Kardiomiopati akibat kelebihan besi
Atau
Bila T2* MRI sesuai dengan hemosiderosis jantung (<20
milisekon)
Untuk jangka waktu tertentu (6–12 bl) bergantung pada kadar
feritin dan fungsi jantung saat evaluasi
Splenektomi
Dilakukan bila terdapat hipersplenisme atau jarak pemberian
transfusi yang makin pendek
Asam folat: 2 × 1 mg/hr
Vitamin E: 2 × 200 IU/hr
Vitamin C: 2–3 mg/kgBB/hr (maks. 50 mg pada anak <10 th dan
100 mg pada anak 10 th, tidak melebihi 200 mg/hr) dan hanya
diberikan saat pemakaian desferioksamin (DFO), tidak dipakai
untuk penderita dengan gangguan fungsi jantung
Pemantauan Efek Samping Kelasi Besi
Desferioksamin (DFO):
THT: audiometri (1×/th): gangguan pendengaran, tinitus
(reversibel)
Mata (1×/th): gangguan lapang pandang (reversibel)
Feritin → setiap 3 bl
Foto tulang panjang + vertebra + bone age (1×/th): gangguan
pertumbuhan pada anak usia <3 th
Deferipron (L1)
Darah tepi dan hitung jenis (absolute neutrophil count) → 5–10 hr
sekali
SGOT, SGPT, ureum, kreatinin setiap 3 bl

352
Feritin → setiap 3 bl
Tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan menyusui

Desferasiroks (ICL 670)


Kreatinin → setiap bl
SGOT & SGPT → setiap bl
Feritin → setiap bl
Ibu hamil dan menyusui masih belum dilakukan penelitian

Prognosis
Buruk

Surat Persetujuan
Diperlukan

Bibliografi
1. Angelucci E, Barosi G, Camaschella C, Cappellini MD, Cazzola M,
Galanello R, dkk. Italian Society of Hematology practice
guidelines for the management of iron overload in thalassemia
major and related disorders. Haematologica. 2008;93(5):741–52.
2. Cappellini MD, Cohen A, Eleftheriou A, Piga A, Porter J.
Guidelines for the clinical management of thalassaemia. Edisi ke-
2 revisi. Nicosia: Thalassaemia International Federation; 2008.
3. Cappellini MD, Cohen A, Porter J, Taher A, Viprakasit V.
Guidelines for the clinical management of transfusion dependent
thalassaemia (TDT). Edisi ke-3. Nicosia: Thalassaemia International
Federation; 2014.
4. Cohen AR, Galanello R, Pennell DJ, Cunningham MJ, Vichinsky E.
Thalassemia. Hematology Am Soc Hematol Educ Program.
2004;2004(1):14–34.
5. Cohen AR. New advances in iron chelation therapy. Hematology
Am Soc Hematol Educ Program. 2006;2006(1):42–7.
6. Debaun MR, Frei-Jones M, Vichinsky E. Haemoglobinopathies.
Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF,
Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-
19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1674–7.
7. Debaun MR, Vichinsky E. Haemoglobinopathies. Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm.
2025–38.
8. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
9. Perhimpunan Hematologi dan Transfusi darah Indonesi (PHTDI).
Konsensus PHTDI. Panduan penatalaksanaan thalassemia mayor.
Jakarta: PHTDI; 2011.

353
10. Tanner MA, Galanello R, Dessi C, Smith GC, Westwood MA, Agus
A, dkk. A randomized, placebo-controlled, double-blind trial of
the effect of (combined therapy with deferoxamine and
deferiprone on myocardial. Circulation. 2007;115:1876–84.
11. Vichinsky E. Oral iron chelators and the treatment of iron
overload in pediatric patients with chronic anemia. Pediatrics.
2008;121:153–6.
12. Walter PB, Macklin EA, Porter J, Evans P, Kwiatkowski JL, Neufeld
EJ, dkk. Inflammation and oxidant-stress in β-thalassemia
patients treated with iron chelators deferasirox (ICL670) or
deferoxamine: an ancillary study of the Novartis CICL670A0107
trial. Haematologica. 2008;93(6):817–25.

354
IDIOPATHIC THROMBOCYTOPENIC PURPURA (ITP)
Batasan
Purpura terjadi akibat berkurangnya jumlah trombosit di dalam darah
yang penyebabnya tidak diketahui dengan sumsum tulang yang
normal
Klasifikasi
Akut
Kronik
Etiologi
Penyebab pasti tidak diketahui, diduga merupakan reaksi imunologis
Pada 50–65% kasus didahului infeksi virus (1–4 mgg sebelumnya)
Diagnosis
Anamnesis
Onset akut
Kadang disertai perdarahan nyata
Pemeriksaan Fisis
Purpura, petekia, ekimosis, epistaksis
Limpa teraba (<10% kasus)
Laboratorium
Trombositopenia tanpa kelainan eritrosit dan leukosit
Waktu perdarahan ↑, waktu pembekuan normal
PT dan aPTT normal
Retraksi bekuan buruk, tourniquet (+)
Gambaran sumsum tulang normal, megakariosit ↑ atau normal
Pemeriksaan Penunjang
Skrining perdarahan: waktu perdarahan, waktu pembekuan,
tourniquet, hitung trombosit, retraksi bekuan, PT dan aPTT
Pungsi sumsum tulang
Diagnosis Banding
Amegakaryocyte thrombocytopenic purpura (ATP)
Evans syndrome
Purpura trombositopenia sekunder
Autoimmune thrombocytopenia
Anemia aplastik
Leukemia
Penyulit
Perdarahan 3 intrakranial (0,5–1%), terutama bila trombosit
<20.000/mm

355
Terapi
Umum
Mencegah dan mengatasi perdarahan. Trauma dihindarkan
dengan istirahat dan pembatasan aktivitas
Menghindari penggunaan preparat yang dapat mengganggu fungsi
trombosit (aspirin dan sejenisnya)
Makanan gizi seimbang (dimulai makanan lunak)
Khusus
Kortikosteroid
Dosis 1–4 mg/kgBB/hr selama 2–3 mgg atau terdapat ↑
trombosit sampai >20.000/mm3, kemudian tapering-off selama
7 hr
Jika perdarahan hebat/kemungkinan perdarahan intrakranial →
prednison dapat ↑ menjadi 5 mg/kgBB/hr
Prednisolon 4 mg/kgBB/hr (grade A recommendation, level Ib
evidence)
Metil prednisolon dosis tinggi sebagai alternatif terhadap IVIG
(30 mg/kgBB/hr selama 3 hr dilanjutkan 20 mg/kgBB/hr selama
4 hr dapat ↑ jumlah trombosit >50×109⁄L pada hari ke-7
Bila dalam 3 mgg tidak sembuh → monitor tanpa steroid (hanya
diberikan terapi suportif)
Bila sesudah 6 bl tetap trombositopenia → diagnosisnya ITP
kronik
Gamaglobulin (IgG)
Dosis 0,8–1 g/kgBB/hr diberikan per infus 4–6 jam, selama 1–2
hr. Diberikan pada penderita yang tidak memberikan respons
dengan kortikosteroid yang disertai perdarahan berat/risiko
tinggi perdarahan intrakranial. Peningkatan trombosit dapat
diharapkan dalam 48 jam
Imunosupresif (siklofosfamid)
Diberikan bila tetap tidak sembuh (ITP kronik). Siklofosfamid
dengan dosis awal 1–2 mg/kgBB/hr. Bila terjadi remisi, dosis ↓
50 mg setiap mgg dan pengobatan dihentikan
Suspensi trombosit
Dosis 1 IU/5 kgBB bila terjadi perdarahan hebat/risiko per-
darahan intrakranial

Prognosis
Pada umumnya baik
Perbaikan dalam 1 bl (50%) dan dalam 6 bl (70–80%)

Surat Persetujuan
Diperlukan

Bibliografi
1. Allen GA, Glader B. Approach to the bleeding child. Pediatr Clin N
Am. 2002;49:1239–56.

356
2. British Committee for Standards in Haematology General
Haematology Task Force. Guidelines for the investigation and
management of idiopathic thrombocytopenic purpura in adults,
children and in pregnancy. Br J Haematol. 2003;120(4):574–96.
3. Buchanan GR. Thrombocytopenia during childhood: what a
pediatrician needs to know. Pediatr Rev. 2005;26(11):401–9.
4. Cines DB, Bussel JB. How I treat idiopathic thrombocytopenic
purpura (ITP). Blood. 2005;106(7):2244–51.
5. Cuker A, Cines DB. Immune thrombocytopenia. Hematology Am
Soc Hematol Educ Program. 2010;2010(1):377–84.
6. Ghanima W, Godeau B, Cines DB, Bussel JB. How I treat immune
thrombocytopenia: the choice between splenectomy or a
medical therapy as a second-line treatment. Blood. 2012;120(5):
960–9.
7. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
8. Lusher JM. Clinical and laboratory approach to the patient with
bleeding. Dalam: Nathan DG, Orkin SH, Ginsburg D, Look AT,
penyunting. Hematology of infancy and childhood. Edisi ke-6.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2003. hlm. 1515–26.
9. Montgomery RR, Scott JP. Hemorrhagic and thrombotic diseases.
Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB
Saunders; 2004. hlm. 1651–74.
10. Neunert C, Lim W, Crowther M, Cohen A, Solberg L, Crowther M.
Clinical guideline update on immune thrombocytopenia: an
evidence based practice guideline developed by the American
Society of Hematology. Blood. 2011;117(16):4190–207.
11. Nugent DJ. Immune thrombocytopenic purpura of childhood.
Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2006;2006(1):97–
103.
12. Provan D, Stasi R, Newland AC, Blanchette VS, Bolton-Maggs P,
Bussel JB, dkk. International consensus report on the
investigation and management of primary immune
thrombocytopenia. Blood. 2010;115(2):168–86.
13. Rodeghiero F, Stasi R, Gernsheimer T, Michel M, Provan D,
Arnold DM, dkk. Standardization of terminology, definitions and
outcome criteria in immune thrombocytopenic purpura of adults
and children: report from an international working group. Blood.
2009;113(11):2386–93.

357
HEMOFILIA
Batasan
Penyakit perdarahan yang disebabkan oleh kelainan pembekuan
darah yang herediter akibat defisiensi faktor VIII, IX, dan XI

Klasifikasi
Klinis
Hemofilia A (defisiensi faktor VIII)
Hemofilia B (defisiensi faktor IX)
Derajat hemofilia
Berat, FVIII/FIX: <1% (<1 IU/dL)
Sedang, FVIII/FIX: 1–5% (1–5 IU/dL)
Ringan, FVIII/FIX: 5–25% (5–25 IU/dL)
Etiologi
Herediter (hemofilia A dan B bersifat sex linked resesif, hemofilia C
autosomal resesif)
Didapat
Diagnosis
Tendensi perdarahan yang sulit berhenti/kebiru-biruan baik spontan
maupun sesudah trauma ringan/tindakan seperti hematoma, per-
darahan atau hemartrosis
Riwayat keluarga
Waktu pembekuan ↑
PT normal, PTT ↑
Thrombin generation test (TGT)/PTT substitution test abnormal
Faktor VIII ↓
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin: Hb, leukosit, trombosit, morfologi darah tepi
Waktu perdarahan, waktu pembekuan
PT, PTT
TGT/PTT substitution test
Assay factor VIII, IX, XI
Diagnosis Banding
Defisiensi faktor XII
Penyakit von Willebrand
Penyulit
Perdarahan hebat. Penyulit akibat perdarahan yaitu anemia,
ambulasis atau deformitas sendi, atrofi otot atau neuritis
Artritis kronik karena hemartrosis berulang
Penyulit sesudah terapi: infeksi, hepatitis B atau C pascatransfusi, ↑
kadar SGOT, SGPT, infeksi HIV, timbulnya inhibitor sesudah transfusi
berulang

358
Konsultasi
Bagian terkait: ortopedi, bedah anak, gigi mulut, THT, rehabilitasi
medis
Tim pelayanan terpadu hemofilia RS (tenaga medis dan paramedis
dari berbagai bidang terkait dan pekerja sosial)

Terapi
Umum
Mencegah perdarahan dengan cara menghindari trauma
Tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan perdarahan
seperti mencabut gigi atau sirkumsisi tanpa persiapan
Hindari obat-obatan yang mengganggu fungsi trombosit (asam
asetil salisilat/asetosal dan antiinflamasi nonsteroid) → untuk
nyeri: parasetamol/asetaminofen
Hindari suntikan i.m. dan pengambilan darah vena/arteri yang sulit
Sebelum menjalani prosedur invasif penderita harus mendapat
replacement therapy (konsentrat faktor pembekuan atau DDAVP
untuk hemofilia ringan–sedang)
Perdarahan akut → sedini-dininya (<2 jam)
Perdarahan berat → RS fasilitas/pelayanan hemofilia
Anjuran latihan teratur (meningkatkan kekuatan otot dan sendi,
menghindari olahraga yang bersifat kontak badan)

Khusus
Terapi pengganti (replacement therapy)
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam replacement therapy:
Dosis replacement therapy sesuai dengan organ yang meng-
alami perdarahan dan derajat hemofilia yang diderita
penderita (lihat klasifikasi derajat hemofilia)
Untuk perdarahan yang mengancam jiwa (intrakranial, intra-
abdomen atau saluran respiratori), replacement therapy
harus diberikan sebelum pemeriksaan lebih lanjut
Bila respons klinis tidak membaik sesudah pemberian terapi
dengan dosis adekuat, perlu pemeriksaan kadar inhibitor
Replacement therapy diutamakan menggunakan konsentrat
faktor VIII/IX diberikan i.v. dalam 1–2 mnt
Apabila konsentrat tidak tersedia, dapat diberikan kriopresipitat
atau FFP
Sumber faktor VIII: konsentrat faktor VIII
Kriopresipitat (satu kantong kriopresipitat mengandung 100–
150 unit faktor VIII)
Sumber faktor IX: konsentrat faktor IX
Fresh frozen plasma (FFP)
Prinsip pengobatan pada penderita hemofilia yaitu:
Pemberian terapi pengganti untuk mencapai fungsi hemostasis
yang memadai

359
Dosis
Unit faktor VIII = BB (kg) × % faktor VIII yang diharapkan
× 0,5
Unit faktor VIII = BB (kg) × (target kadar plasma − kadar F
VIII penderita) × 0,5
Contoh: BB 50 kg × 40 (% F VIII yang diharapkan) × 0,5
= 1.000 unit
Unit Fc. IX = BB (kg) × % Fc VIII yang diharapkan
Lama terapi
Terapi harus dilanjutkan sampai terjadi penyembuhan
yang adekuat
Perdarahan akibat ekstraksi gigi/epistaksis: 2–5 hr
Luka operasi: 7–14 hr
Konsentrasi faktor VIII yang diharapkan
Hemartrosis ringan: 15–20%
Hemartrosis berat: 20–40%
Prosedur operasi: 60–80 %
Operasi besar dan perdarahan SSP: 80–100%
Perdarahan mukosa atau luka dapat dipersingkat menjadi
1–2 hr dengan pemberian antifibrinolitik (aminocaproic
acid atau tranexamic acid) p.o. sampai penyembuhan
terjadi

Terapi penyerta (terapi ajuvan)


Desmopressin acetate (DDAVP)
Pada hemofilia ringan, dosis 0,3 g/kgBB dalam larutan 50–
100 mL NaCL 0,9% per infus/i.v. dalam waktu 20–30 mnt akan
↑ kadar faktor VIII plasma (2–8× kadar plasma awal)
Tranexamic acid dosis 25 mg/kgBB diberikan 3×/hr ber-
manfaat untuk mengatasi perdarahan mukosa (perdarahan
oral, epistaksis, menorhagia), dan pada tindakan perawatan
gigi, tetapi tidak dapat diberikan pada kasus hematuria

360
Tabel 86 Rekomendasi Target Kadar Plasma Faktor VIII dan IX serta
Lama Pemberian
Hemofilia A Hemofilia B
Tipe Target Target
Perdarahan Kadar Durasi (hr) Kadar Durasi (hr)
Plasma (%) Plasma (%)
Sendi 10–20 1–2* 10–20 1–2*
Otot (kecuali 10–20 2–3* 10–20 2–3*
iliopsias)
Iliopsias
Inisial 20–40 1–2 15–30 1–2
Pemeliharaan 10–20 3–5** 10–20 3–5**
SSP/Kepala
Inisial 50–80 1–3 50–80 1–3
Pemeliharaan 30–50 4–7 30–50 4–7
20–40 8–14 (atau 20–40 8–14 (atau
21 jika ada 21 jika ada
indikasi) indikasi)
Tenggorok dan leher
Inisial 30–50 1–3 30–50 1–3
Pemeliharaan 10–20 4–7 10–20 4–7
Gastrointestinal
Inisial 30–50 1–3 30–50 1–3
Pemeliharaan 10–20 4–7 10–20 4–7
Ginjal 20–40 3–5 15–30 3–5
Laserasi dalam 20–40 5–7 15–30 5–7
Operasi (mayor) 60–80 1–3 50–70 1–3
Preoperasi 30–40 4–6 30–40 4–6
Pascaoperasi 20–30 7–14 20–30 7–14
10–20 10–20
Ekstraksi gigi
Sebelum
tindakan 50 1–3* 40 1–3*
Sesudah
tindakan 20–40 20–30
* Mungkin lebih bila respons tidak adekuat
**Kadang perlu durasi lebih lama atau sekunder sebagai terapi profilaksis
selama fisioterapi
Sumber: Srivastava dkk. 2012

Prognosis
Bergantung pada penyulit

Surat Persetujuan
Diperlukan

361
Bibliografi
1. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
2. Montgomery RR, Scott JP. Hemorrhagic and thrombotic diseases.
Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB
Saunders; 2007. hlm. 2068–89.
3. National Hemophilia Foundation. Medical and Scientific Advisory
Council (MASAC) Recommendation #175. Guidelines for
emergency department management of individuals with
hemophilia. Oktober 2006. [diunduh 15 Agustus 2012]. Tersedia
dari: http://www.hemophilia.org/NHFWeb/MainPgs/MainNHF.as
px?menuid=57&contentid=691.
4. Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia.
Konsensus Hemofilia. Jakarta: PHTDI; 2012.
5. World Federation of Hemophilia. Guidelines for the management
of hemophilia. Edisi ke-2. Massachusetts: Blackwell Publishing;
2012.

362
KOAGULASI INTRAVASKULAR DIFUSA (KID)
Batasan
Keadaan terjadinya koagulasi intravaskular difus yang dicetuskan oleh
penyakit utama sehingga timbul deposit fibrin dengan akibat timbul
iskemia, nekrosis jaringan, perdarahan luas, dan anemia hemolitik
Etiologi
Infeksi: bakteri, virus, parasit, jamur, riketsia
Keganasan: leukemia promielositik akut
Metabolik: anoksia, asidosis, kerusakan jaringan yang luas
Lain-lain: purpura fulminans, gigitan ular, heat stroke, ketidakcocokan
transfusi, gagal hati
Tabel 87 Kondisi yang Dapat Menyebabkan KID
Causative Factors Clinical Situation
Tissue injury Trauma/crush injuries
Head injury
Mahor surgery
Heat stroke
Burns
Venoms
Malignancy
Obstetrical accidents
Amniotic fluid embolism
Placental abruption
Stillborn fetus
Abortion
Fat embolism
Endothelial cell injury Infection (bacterial, viral, protozoal)
dan atau Immune complexes
Abnormal vascular surfaces Eclampsia
Postpartum renal failure
Oral contraceptives
Cardiopulmonary bypass
Giant hemangioma
Vascular aneurysm
Cirrhosis
Malignancy
Respiratory distress syndrome
Platelet, leukocyte, or red cell injury Incompatible blood transfusion
Infection
Allograft rejection
Hemolytic syndromes
Drug hypersensitivity
Malignancy

Diagnosis
Anamnesis
Sedang menderita penyakit tertentu yang berat
363
Pemeriksaan Fisis
Perdarahan pada bekas suntikan, petekia, purpura, ekimosis

Laboratorium
Prothrombine time (PT), partial thromboplastin time (PTT), dan
thrombine time ↑
Fibrinogen ↓
Trombositopenia
D-dimer ↑
Terdapat fragmented eritrosit (schitosis, triangle cell, helmet cell,
dan burr cell)
PF4 (trombosit faktor 4) ↑
FPA (fibrinopeptida A) ↑
Faktor V, F VIII, dan F XIII ↑
Sistem skoring

Skor KID
Tabel 88 Sistem Skoring untuk Diagnosis KID Menurut the
International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH)
Apakah ada penyakit dasar yang berhubungan dengan KID?
Bila ada → lanjutkan
Bila tidak ada → jangan menggunakan algoritme ini
Tes Laboratorium Hasil Skor
3
Jumlah trombosit (/mm ) >100.000 0
50.000–100.000 1
<50.000 2
Peningkatan fibrinogen dan Tidak ↑ 0
penanda fibrin lain (produk ↑ 2
degradasi fibrin) Sangat ↑ 3
Pemanjangan PT <3 0
3–5,9 1
≥6 2
Fibrinogen >1 g/dL 0
≤1 g/dL 1
Jumlah skor: <5: KID nyata (overt DIC) → penilaian ulang setiap hr
≥5: suggestive DIC/non-overt DIC → penilaian ulang 1–2 hr
berikutnya
Sumber: Taylor dkk. 2001

364
Tabel 89 Sistem Skoring untuk Diagnosis KID Menurut Japanese
Association for Acute Medicine
Kriteria SIRS Skor
>3 1
0–2 0
9
Jumlah trombosit (10 /L)
<80 atau ↓ >50% dalam 24 jam 3
80–120 atau ↓ 30–50% dalam 24 jam 1
>120 0
PT
>1,2 1
<1,2 0
Fibrin/produk degradasi fibrin (mg/mL)
>25 3
10-25 1
<10 0
Diagnosis KID bila skor >4
SIRS, systemic inflammatory response syndrome (suhu <36 °C atau >38 °C,
9 9
heart rate >90, respirasi >20, leukosit <4×10 sel/L atau >12×10 sel/L
atau batang 10% band)
Sumber: Hook dan Abrams 2012

Diagnosis Banding
Defisiensi vitamin K
Penyakit hati
Efek heparin
Fibrinogenolisis primer
Cardiopulmonary bypass
Penyakit mikroangiopati
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin: Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis sel, morfologi sel,
PT, PTT, thrombine time, D-dimer
Kultur darah
AGD

Penyulit
Gagal organ
Konsultasi
Dengan bagian terkait (bergantung pada kasus)
Terapi
Pengobatan intensif terhadap penyakit yang mendasari
Terapi infeksi dengan antiinfeksi adekuat (antibiotik, antiviral,
antifungi)
Memperbaiki homeostasis normal dengan koreksi syok, asidosis,
hipoksia
Terapi antineoplasma adekuat
365
Umum
Bila penderita tidak sadar → posisi tidur diubah -ubah untuk
mencegah dekubitus
Makanan disesuaikan dengan keadaan umum (bila perlu dipuasakan)
Khusus
Fresh frozen plasma (FFP) 10–15 mL/kgBB + suspensi trombosit
1 IU/5 kgBB (grade C, level IV)
Fresh whole blood (FWB) 10–15 mL/kgBB bila terdapat anemia
atau perdarahan hebat sehingga terjadi gangguan perfusi jaringan
atau kardiovaskular (grade C, level IV)
Transfusi packed red cells/washed red cells bila Hb <8 g/dL
Prothrombin complex concentrate bila FFP tidak memungkinkan
(grade C, level IV)
Kriopresipitat (50–100 mg/kgBB fibrinogen) pada hipofibrino-
genemia berat (fibrinogen <1g/L) (grade C, level IV). Kriopresipitat
(satu kantong kriopresipitat mengandung 200 mg fibrinogen)
Heparin, pada KID dengan trombosis predominan (grade C, level IV)
Dibatasi pada perdarahan yang mengancam jiwa yang gagal
dengan pemberian di atas
Dosis awal 50 IU/kgBB (bolus) dilanjutkan dengan infus kontinu
10–20 IU/kgBB/jam atau 50–100 mL/kgBB/4 jam
KID pada penderita kritis, tanpa perdarahan, untuk mencegah
tromboemboli dapat diberikan profilaksis heparin (grade A,
level IB)
Recombinant human activated protein C (APC), 24 μg/kgBB/jam
selama 4 hr (grade A, level Ib)
Tidak digunakan/harus dihentikan bila hitung platelet <30×109/L
atau bila akan dilakukan prosedur invasif (grade C, level IV)
Lain-lain
Antifibrinolitik (aminocaproic acid), antiplatelet, dekstran, peng-
hambat adrenergik alfa, dan antithrombin III concentrate dosis
250 IU i.v. tiap 8 jam
Terapi antiplatelet yang sering digunakan:
Aspirin: 5–10 mg/kgBB/hr
Dipiridamol: 3–5 mg/kgBB/hr

Prognosis
Bergantung pada penyakit yang mendasari dan berat KID
Surat Persetujuan
Diperlukan

Bibliografi
1. Franchini M, Lippi G, Manzato F. Recent acquisitions in the
pathophysiology, diagnosis and treatment of disseminated
intravascular coagulation. Thromb J. 2006;4:4.
2. Hook KM, Abrams CS. The loss of homeostasis in hemostasis:
new approaches in treating and understanding acute
disseminated intravascular coagulation in critically Ill patients.
Clin Transl Sci. 2012;5:85–92.
366
3. Labelle CA, Kitchens CS. Disseminated intravascular coagulation:
treat the cause, not the lab values. Cleveland Clinic J Med.
2005;75(5):377–97.
4. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
5. Levi M, Toh CH, Thachil J, Watson HG. Guidelines for the
diagnosis and management of disseminated intravascular
coagulation. Br J Haematol. 2009;145(1):24–33.
6. Levi M. Diagnosis and treatment of disseminated intravascular
coagulation. Int J Lab Hematol. 2014 Jun;36(3):228–36.
7. Montgomery RR, Scott JP. Hemorrhagic and thrombotic diseases.
Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB
Saunders; 2007. hlm. 2068–89.
8. Nathan DG., Orkin SH. Nathan and Oski’s hematology of infancy
and childhood. Edisi ke-6. Tokyo: WB Saunders Co; 2003.
9. Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam,
penyunting. Buku ajar hematologi-onkologi. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2005.
10. Soundar EP, Jariwala P, Nguyen TC, Eldin KW, Teruya J.
Evaluation of the International Society on Thrombosis and
Haemostasis and institutional diagnostic criteria of disseminated
intravascular coagulation in pediatric patients. Am J Clin Pathol.
2013 Jun;139(6):812–6.
11. Taylor FB Jr, Toh CH, Hoots WK, Wada H, Levi M; Scientific
Subcommittee on Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
of the International Society on Thrombosis and Haemostasis
(ISTH). Towards definition, clinical and laboratory criteria, and a
scoring system for disseminated intravascular coagulation.
Thromb Haemost. 2001 Nov;86(5):1327–30.
12. Toh CH, Hoots WK; SSC on Disseminated Intravascular
Coagulation of the ISTH. Committee on Disseminated
Intravascular Coagulation of the International Society on
Thrombosis and Haemostasis: a 5-year overview. J Thromb
Haemost. 2007 Mar;5(3):604–6.

367
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT (LLA)
Batasan
Keganasan alat pembuat sel darah berupa proliferasi patologik sel
hematopoetik muda seri limfoblas yang ditandai kegagalan sumsum
tulang pembentuk sel darah normal dan infiltrasi ke jaringan tubuh
lain
Klasifikasi
Menurut French-American-British (FAB)
L1 (84%)
L2 (15%)
L3 (1%)
Etiologi
Tidak diketahui dengan pasti, diduga berhubungan dengan faktor
genetik, lingkungan (radiasi ionisasi, bahan kimia, obat-obatan
kemoterapi), infeksi virus, dan defisiensi imunologik
Diagnosis
Anamnesis
Pucat (40%), lemah, lesu
Panas badan (60%) atau infeksi berulang/menetap
Perdarahan (48%)
Nyeri tulang (23%)
Pemeriksaan Fisis
Limfadenopati (50%), limfadenopati mediastinal → sindrom vena
kava superior
Splenomegali (63%)
Hepatosplenomegali (68%)
Laboratorium
Darah tepi: anemia, granulositopenia, trombositopenia, dan
limfoblas >3%
Sumsum tulang: selularitas ↑ didominasi oleh limfoblas
Pungsi lumbal: pemeriksaan sitologi (limfoblas)
Imunofenotipe
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Darah
Rutin
Tes fungsi hati (SGOT/SGPT), fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
Asam urat dan elektrolit
Biopsi sumsum tulang
Pungsi lumbal
Foto Rontgen toraks

368
Diagnosis Banding
Leukemia nonlimfoblastik akut (LNLA)
Penyulit
Perdarahan
Infeksi
Metastasis → SSP, saluran genitourinarius, saluran cerna, tulang/
sendi, dan kulit
Terapi
Umum
Menjaga kebersihan kulit, mulut, dan gigi
Makanan gizi seimbang dimulai dengan makanan lunak
Khusus
Kemoterapi
Harus dirawat di rumah sakit dengan pemantauan
Disesuaikan dengan kondisi penderita
Regimen kemoterapi bergantung pada tipe LLA (LLA risiko tinggi
atau risiko standar)
Regimen UKK Hemato-Onkologi (Protokol Indonesia LLA-2006)
atau lainnya
Induksi remisi 2
Deksametason 6 mg/m 2
/hr p.o. selama 28 hr, dengan tapering-off
Vinkristin 1,5 mg/m i.v.2 1×/mgg selama 3 mgg
Daunorubisin 30 mg/m i.v. 1×/mgg selama 4 mgg
L-asparginase 2.500 IU/m2 i.v. pada hr ke-4
Metotreksat, sitosin arabinose (Ara-C), deksametason, intratekal,
bersamaan dengan pungsi lumbal saat awal
SSP profilaksis
Radiasi kranial 1.800 rad sebanyak210×
6-merkaptopurin (6-MP) 75 mg/m /hr p.o. selama 4 mgg
Vinkristin 1,5 mg/m2, i.v. pada hr ke-1 dan metotreksat
intratekal pada hr ke-1, 8, dan 15
Pemeliharaan
Deksametason 62 mg/m2/hr p.o. pada hr ke-0–4, 28–32, dan 56–602
6-MP 75 mg/m /hr p.o. pada hr ke-0–83, vinkristin 1,5 mg/m
i.v. pada hr ke-0, 28, 562
Metotreksat 20 mg/m p.o. setiap mgg pada hr ke-7 setiap siklus
dan metotreksat intratekal pada hr ke-0 setiap siklus
Transplantasi sumsum tulang
Terapi Suportif
Transfusi darah
Untuk mempertahankan Hb >10 g/dL diberikan PRC 10–15
mL/kgBB
Bila terjadi perdarahan akibat trombositopenia diberikan
suspensi trombosit 1 IU/5 kgBB

369
Mencegah/mengatasi infeksi
Fokus infeksi, misalnya abses gigi harus dihilangkan dan hindari
kontak dengan penderita varisela atau morbili
Antibiotik berspektrum luas i.v. harus diberikan bila febris
dengan granulositopenia (granulosit <500/mm3)
Demam neutropenia berat: seftazidim dan gentamisin
Kotrimoksazol 25 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis untuk mencegah
pneumonia oleh Pneumocystis carinii
Mencegah hiperurikemia
Alopurinol 10 mg/kgBB/hr dalam dosis terbagi
Dianjurkan banyak minum (2–3 L/m2/hr)
Dukungan psikososial untuk penderita maupun keluarga
Prognosis
Kemungkinan hidup bebas leukemia 5 th: 65–70%
Bila dihubungkan dengan klasifikasi FAB, maka L1 mempunyai
prognosis paling baik dan L2 & L3 buruk
Surat Persetujuan
Diperlukan
Bibliografi
1. Judith F, Margolin JF, Sreuber CP, Poplack DG. Acute lymphoblastic
leukemia. Dalam: Pizzo PA, Poplack DG, penyunting. Principles &
practice of pediatric oncology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2006. hlm. 539–91.
2. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
3. Tubergen DG, Bleyer A, Ritchey AK. Acute lymphoblastic
leukemia. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW,
Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
hlm. 1732–7.
4. UKK Hematologi-Onkologi Anak. Protokol ALL-2006 Indonesia.
Jakarta: IDAI; 2006.

370
INDONESIAN PROTOCOL A.L.L.-HR-2006
Name : M/
………………………….. Birth date: ……………… F MR : …………… Date of Diagnosis : . . . . . . . . . . . . .
MEDICINES Dosage INDUCTION CONSOLIDATION REINDUCTION
(WEEKS) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
MTX i.t. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
VCR: 1.5 mg/m2 i.v.
↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
DEXA: 6 mg/m2 p.o. dexametason
HD-MTX: 1.000 mg/m2 i.v. ↓ ↓ ↓
371

Wait recovery 1 week


Leucovorin rescue

(it aplastic occur)


15 mg/m2/dose ↓↓↓ ↓↓↓ ↓↓↓
CPA 1.000 mg/m2 ↓ ↓
DNR*: 30 mg/m2 i.v. ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
L-Asp.: 6.000 IU/m2 i.v. ↓↓↓ ↓↓↓
Ara-C 75 mg/m2 i.v. ↓↓↓ ↓↓↓

6-MP: 50 mg/m2 p.o.

BMP

Gambar 38 Protokol Leukemia Limfoblastik Akut Indonesia


LEUKEMIA NONLIMFOBLASTIK AKUT (LNLA)
Batasan
Keganasan alat pembuat sel darah yang mengenai seri sel darah
selain limfosit, berupa proliferasi patologik sel hematopoetik muda
yang ditandai dengan kegagalan sumsum tulang membentuk sel
darah normal dan infiltrasi ke jaringan tubuh lainnya
Klasifikasi
Klasifikasi acute myelogenous leukemia (AML)/leukemia mieloblastik
akut menurut French-American-British (FAB):
Tipe M0: leukemia akut yang tidak terdiferensiasi
M1: leukemia mieloblastik tanpa maturasi
M2: leukemia mieloblastik dengan diferensiasi
M3: sel promielosit abnormal, pada sitoplasma terdapat Auer
rod
M4: diferensiasi mielositik dan monositik dengan proporsi
yang bervariasi
M5: leukemia monositik dengan sel monositoid yang kurang
berdiferensiasi dan atau berdiferensiasi baik
M6: eritroleukemia
M7: leukemia megakarioblastik
Etiologi
Tidak diketahui dengan pasti
Diduga berhubungan dengan pemakaian alkylating agent pada
pengobatan kanker, kelainan kromosom, penyakit herediter, dan
sindrom konstitusional
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat pucat, lemah, lesu, panas badan atau infeksi berulang
Perdarahan (petekia, ekimosis, perdarahan gusi)
Pemeriksaan Fisis
Hipertrofi gusi, infiltrasi ke kulit
Limfadenopati
Hepatosplenomegali
Laboratorium
Darah tepi: anemia, trombositopenia, leukositosis, ditemukan sel
blas selain limfoblas
Sumsum tulang: selularitas ↑, didominasi oleh sel leukemia selain
limfoblas (bergantung pada tipenya)
Pungsi lumbal (pemeriksaan sitologi)
Diagnosis Banding
LLA

372
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: Hb, leukosit, gambaran darah tepi, tes fungsi hati/ginjal
Biopsi sumsum tulang
Pungsi lumbal
Radiologi: foto Rontgen toraks
Penyulit
Perdarahan
KID
Tanda-tanda infeksi
Penyebaran ke SSP, saluran genitourinarius, ginjal, saluran cerna,
tulang/sendi, kulit, jantung, serta paru
Terapi
Umum
Menjaga kebersihan kulit, gigi, dan mulut
Makanan gizi seimbang, dimulai dengan makanan lunak
Khusus
Kemoterapi Protokol AML Indonesia 2013 (Gambar 39)
Minggu ke-1:
Doksorubisin 40 mg/m2/hr diberikan secara i.v. selama 1 jam,
diberikan hr ke-1, 3, dan 5
Metoteksat, hidrokortison, dan arabinofuranosyl cytidine
(ara-C) diberikan secara intratekal
Sitarabin diberikan dengan dosis 100 mg/m2 secara i.v.
selama 24 jam. Pemberian/pengenceran dengan NaCl, di-
sesuaikan dengan kebutuhan cairan harian penderita.
Pemberian sitarabin dilakukan pada hr ke-1, 2, dan 3
Minggu ke-2–4:
Tidak ada kemoterapi
Penting dalam fase ini diperhatikan supportive care-nya:
Perawatan semisteril (bila memungkinkan), budaya cuci
tangan
Monitor darah tepi (idealnya 2×/mgg, perhatikan ANC)
Pemberian antibiotik/antijamur profilaksis
Support untuk nutrisi
Pada fase ini diberikan profilaksis berupa:
Amoxicillin-clavulanic acid 10 mg/kgBB/kali p.o. (2×/hr),
dan
Ketokonazol 5 mg/kgBB/hr p.o.
Mengingat pada fase ini rentan terhadap infeksi sebagai
akibat dari kemoterapi minggu sebelumnya (mgg 1). Periksa
darah rutin 2×/mgg
Doksorubisin dan sitarabin adalah kemoterapi yang bersifat
mielosupresif dan mencapai nadirnya pada hr ke-12–28,
sehingga penting untuk memonitor dan menghindari infeksi
pada fase ini

373
BMP pada akhir mgg ke-4 (sebelum mulai fase ke-2 kemo-
terapi/mgg ke-5) wajib dilakukan, untuk mengevaluasi kondisi
sumsum tulang
Bila remisi (blas sumsum tulang <5%), maka lanjutkan dengan
kemoterapi sesuai protokol (catatan: doksorubisin dosis 30
mg/m2. Bila tidak remisi, ulangi protokol dari awal. Bila
sesudah induksi ke-2 tetap tidak tercapai remisi, disarankan
terapi paliatif atau menggunakan protokol lain (diserahkan
masing-masing senter)
Minggu ke-5:
Doksorubisin 30 mg/m2/hr diberikan secara i.v. selama 1 jam,
diberikan pada hr ke-1, 3, dan 5
Metoteksat, hidrokortison, dan ara-C diberikan secara
intratekal
Sitarabin diberikan dengan dosis 100 mg/m2 secara i.v.
selama 24 jam. Pemberian/pengenceran dengan NaCl, di-
sesuaikan dengan kebutuhan cairan harian penderita.
Pemberian sitarabin ini dilakukan pada hari ke-1, 2, dan 3
Minggu ke-6–8:
Tidak ada kemoterapi (idem mgg ke-2–4)
Minggu ke-9:
Sitarabin 500 mg/m2/hr i.v. selama 3 jam, selama 3 hr. Pem-
berian/pengenceran 2dengan NaCl
Etoposid 125 mg/m /hr diberikan secara i.v. selama 1 jam,
selama 3 hr
Minggu ke-10–12:
Tidak ada kemoterapi (idem mgg ke-2–4)
Minggu ke-13:
Sitarabin 500 mg/m2/hr i.v. selama 3 jam, selama 3 hr. Pem-
berian/pengenceran 2dengan NaCl
Etoposid 125 mg/m /hr diberikan secara i.v. selama 1 jam,
selama 3 hr
Minggu ke-14 akhir:
Dilakukan BMP evaluasi
Transplantasi sumsum tulang
Transfusi darah
PRC 10–15 mL/kgBB bila terjadi anemia
Suspensi trombosit 1 IU/5 kgBB bila perdarahan karena trombo-
sitopenia
Mencegah dan mengatasi infeksi
Fokus infeksi harus dihilangkan
Antibiotik spektrum luas i.v. harus diberikan 3bila terjadi febris
dengan granulositopenia (granulosit <700/mm )
Kotrimoksazol (25 mg/kgBB/hr) dibagi 2 dosis, untuk mencegah
pneumonia oleh P. carinii
Menghindari kontak dengan penderita varisela atau morbili

374
Mencegah hiperurikemia
Alopurinol 10 mg/kgBB/hr (dalam dosis
2
terbagi)
Dianjurkan banyak minum (2–3 L/m /hr)
Dukungan psikososial, baik untuk penderita maupun keluarga
Prognosis
Remisi (80% kasus)
Faktor risiko yang memengaruhi kejadian remisi
Jumlah leukosit >100.000/mm3
Hepar ≥5 cm
Relaps
Faktor risiko yang memengaruhinya belum diketahui
Disease-free survival (40%)
Surat Persetujuan
Diperlukan
Bibliografi
1. Golub TR, Arceci RJ. Acute myelogenous leukemia. Dalam: Pizzo
PA, Poplack DG, penyunting. Principles & practice of pediatric
oncology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006. hlm. 592–646.
2. Konsensus UKK Hematologi-Onkologi. Tata Laksana AML 2013.
Jakarta: BP IDAI; 2013.
3. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
4. Tubergen DG, Bleyer A, Ritchey AK. The leukemias. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007. hlm. 2116–26.

375
376

Gambar 39 Protokol Leukemia Mieloblastik Akut Indonesia


LEUKEMIA MIELOID KRONIK (LMK)

Batasan
Penyakit keganasan sel darah, ditandai dengan proliferasi abnormal
dan akumulasi sel hematopoetik (sel leukemia) yang dapat me-
nyebabkan kegagalan sumsum tulang. Proliferasi sel leukemia
tersebut dapat masuk ke dalam sirkulasi darah dan menginfiltrasi
organ tubuh lainnya sehingga menganggu metabolisme sel dan fungsi
organ

Klasifikasi
Tipe dewasa = tipe anak
Fase kronik
Fase akselerasi
Fase blastik atau fase akut
Tipe juvenil

Etiologi
Belum diketahui secara pasti
Berkaitan dengan abnormalitas kromosom, yaitu kromosom
Philadelphia (hasil translokasi antara kromosom 9 dan 22)

Diagnosis
Lelah, lemah, pucat, BB ↓, demam, ruam kulit, dan nyeri tula ng
terutama daerah sternum
Hepatosplenomegali
Limfadenopati
Laboratorium
Alkali fosfatase ↓
Hitung granulosit: 50.000 sampai >500.000/mm 3
Hitung trombosit: 500.000 sampai >1 juta/mm3
Gambaran darah tepi: anemia, penuh dengan prekursor granulosit,
mulai dari mieloblas sampai neutrofil matang 20–50%
Jumlah basofil dan eosinofil ↑, Auer rods (+)
Gambaran sumsum tulang: hiperplasia granulosit, lebih banyak sel
muda dan sejumlah besar megakariosit
Sitogenetik sumsum tulang dan darah tepi ditemukan kromosom
Philadelphia

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Hb, leukosit, trombosit, gambaran darah tepi, dan profil koagulasi
Kimia darah: urea N, kreatinin, alkali fosfatase, tes fungsi hati
Aspirasi/biopsi sumsum tulang
Pungsi lumbal: sitologi
Sitogenetik: kromosom Philadelphia (bila memungkinkan)
Radiologi: foto Rontgen toraks, survei tulang

377
Penyulit
Perdarahan
Infeksi
Metastasis ke SSP, saluran respiratori, mata, kulit, dan tulang
Konsultasi
Bagian terkait
Terapi
Umum
Menjaga kebersihan kulit, mulut, dan gigi
Makanan gizi seimbang dimulai dengan makanan lunak
Khusus
Kemoterapi
Hidroksiurea
Pada penderita resisten busulfan, dosis 20–30 mg/kgBB/hr
p.o.
Busulfan (1,4-dimethanesulfonyloxybutane; myleran)
Dosis 0,06–0,1 mg/kgBB/hr p.o. (maks. 2 mg/hr) 3
Bila jumlah leukosit menjadi 15.000–20.000/mm → turunkan
dosis menjadi setengahnya
Interferon alfa (IFN-α; inferon)
Sebagai antiproliferatif/memengaruhi diferensiasi sel
Interferon leukosit manusia efektif dalam mengontrol granu-
lositosis dan trombositosis
Dosis 5×10 IU/m2/hr i.m. atau s.k. selama 9–15
6
bl, dihentikan
bila jumlah 3leukosit neutrofil <750/mm3 atau trombosit
<40.000/mm
Splenektomi
Pada hipersplenisme, nyeri limpa, trombositopenia berat
atau anemia berat yang sudah terlalu sering dilakukan
transfusi
Transplantasi sumsum tulang
Tyrosine kinase inhibitors (TKI): imanitib, dosis 260–340/mg/m2/hr

Prognosis
Rata-rata dapat bertahan hidup 3–4 th dari saat diagnosis ditegakkan

Surat Persetujuan
Diperlukan

Bibliografi
1. Andolina JR, Neudorf SM, Corey SJ. How I treat childhood CML.
Blood. 2012 Feb;119(8):1821–30.
2. Champagne MA, Capdeville R, Krailo M, Qu W, Peng B, Rosamilia
M, dkk. Imatinib mesylate (STI571) for treatment of children with
Philadelphia chromosome-positive leukemia: results from a
Children's Oncology Group phase 1 study. Blood. 2004;104(9):
2655–60.
378
3. Jabbour E, Cortes JE, Giles FJ, O'Brien S, Kantarjian HM. Current
and emerging treatment options in chronic myeloid leukemia.
Cancer. 2007;109:2171–81.
4. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
5. Lee JW, Chung NG. The treatment of pediatric chronic
myelogenous leukemia in the imatinib era. Korean J Pediatr.
2011;54(3):111–6.
6. Millot F, Baruchel A, Guilhot J, Petit A, Leblanc T, Bertrand Y, dkk.
Imatinib is effective in children with previously untreated chronic
myelogenous leukemia in early chronic phase: results of the
French national phase IV trial. J Clin Oncol. 2011;29(20):2827–32.
7. Millot F, Traore P, Guilhot J, Nelken B, Leblanc T, Leverger G, dkk.
Clinical and biological features at diagnosis in 40 children with
chronic myeloid leukemia. Pediatrics. 2005;116:140–3.
8. O'Brien S, Abboud CN, Akhtari M, Altman J, Berman E, DeAngelo
DJ, dkk. Chronic myelogenous leukemia. Clinical practice
guidelines in oncology. J Natl Compr Canc Netw. 2012;10:64–110.
9. Tubergen DG, Bleyer A, Ritchey AK. Chronic myeloblastic
leukemia. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW,
Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
hlm. 1738–9.

379
LIMFOMA NON-HODGKIN
Batasan
Proses proliferatif ganas pada jaringan limfoid yang menyerang sel
limfosit

Klasifikasi
Menurut Murphy
Stadium I: tumor tunggal (ekstranodus) atau daerah anatomik
tunggal (nodus) dengan pengecualian daerah media-
stinum atau abdomen
Stadium II: tumor tunggal (ekstranodus) disertai nodus limfe
regional
Mengenai ≥2 nodus pada sisi diafragma yang sama
Dua tumor (ekstranodus) yang terpisah dengan atau
tanpa mengenai nodus limfe regional pada sisi
diafragma yang sama
Tumor saluran cerna primer yang dapat direseksi,
biasanya di daerah ileosekal dengan atau tanpa
mengenai nodus mesenterikus yang berhubungan
Stadium III: dua tumor (ekstranodus) yang terpisah di atas atau di
bawah diafragma
Dua atau lebih daerah nodus di atas atau di bawah
diafragma
Semua tumor primer daerah intratoraks (mediasti-
num, pleura, timus)
Semua tumor primer intraabdomen
Semua tumor paraspinal atau epidural
Stadium IV: mengenai SSP atau sumsum tulang atau keduanya
Etiologi
Penyebab pasti tidak diketahui, diduga
Kelainan imunologik
Infeksi virus (Epstein-Bar virus, HIV)
Genetik
Obat-obatan
Lingkungan (radiasi)
Diagnosis
Limfadenopati progresif dan tidak nyeri
Histopatologik: ditemukan limfosit atau sel stem yang difus, tanpa
diferensiasi/berdiferensiasi buruk
Diagnosis Banding
Limfoma Hodgkin
Neuroblastoma
Pemeriksaan Penunjang
Darah: rutin, SGOT/SGPT, LDH, urea N, kreatinin, asam urat
Biopsi jaringan yang adekuat dan atau
380
Aspirasi sumsum tulang
Sitologi cairan likuor
Sitologi cairan pleura, peritoneum atau perikardium
Radiologik
Foto Rontgen toraks, tomografi mediastinum
Survei tulang
USG atau CT-scan daerah leher dan abdomen
Penyulit
Penyebaran ke sumsum tulang, mediastinum, kelenjar getah bening
di luar mediatinum dan abdomen
Konsultasi
Bagian terkait
Terapi
Umum
Mencegah infeksi dengan menghindari kontak
Makanan gizi seimbang
Khusus
Kemoterapi
Induksi remisi
Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. 1×/mgg selama 6 mgg
Adriamisin 45 mg/m2 i.v. 1×/mgg selama 2 mgg
Siklofosfamid 1.200 2mg/m2 i.v. 1×/mgg selama 2 mgg
Prednison 40 mg/m /hr p.o. 5 mgg → tapering-off
Metotreksat 12 mg/m2 intratekal 1×/mgg selama 6 mgg
Pemeliharaan
Metotreksat 30 mg/m2/mgg p.o. (18 bl)
6-MP 75 mg/m2/hr p.o. selama 18 bl
Radioterapi
Hanya dilakukan untuk mencegah terjadi relaps pada penderita
dengan tumor kelenjar mesenterial atau terdapat sisa tumor
yang >5 cm
Operasi
Selain untuk mengangkat lesi intraabdominal yang terlokalisasi,
operasi dibatasi hanya untuk biopsi
PRC 10–15 mL/kgBB, untuk mengatasi anemia
Suspensi trombosit 1 IU/5 kgBB diberikan bila terjadi trombo-
sitopenia
Na bikarbonas dan alopurinol 10 mg/kgBB/hr pada tumor yang
besar untuk menghindari terjadi nefropati asam urat akibat lisis
tumor akut
Prognosis
Baik
Pada lokasi primer dan stadium I, II
Kepala dan leher (tanpa parameningeal), nodus limfe perifer,
abdominal ≥80% (rekurens jarang terjadi sesudah 2 th)

381
Buruk
Stadium III atau IV
Stadium IV dengan penyebaran ke SSP (prognosis sangat buruk)
Stadium II parameningeal
Remisi inisial inkomplet dalam waktu 2 bl
Kadar LDH >1.000 IU/L
Kadar asam urat >7,1 g/dL

Surat Persetujuan
Diperlukan
Bibliografi
1. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
2. Miller LP. Hodgkin and non-Hodgkin lymphoma. Dalam: Miller
DR, Baehner RL, Miller LP, penyunting. Blood disease in infancy
and childhood. Edisi ke-7. St Louis: Mosby Co; 1995. hlm. 749.
3. Waxman IM, Hochberg J, Cairo MS. Non-Hodgkin’s malignant
lymphoma. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW,
Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
hlm. 1743–6.

382
PENYAKIT HODGKIN (LIMFOMA HODGKIN)
Batasan
Proses neoplastik ganas dari sistem limforetikular dengan penyebab
yang tidak diketahui dan ditandai dengan sel Reed-Sternberg ke
organ yang terkena, dikarakteristik dengan pembesaran progresif
kelenjar limfe
Klasifikasi
Menurut Modified Ann Arbor Classification
Stadium I: mengenai salah satu nodus limfe (I) atau organ
ekstralimfatik (IE)
Stadium II: mengenai ≥2 regio nodus limfe pada sisi yang sama
dari diafragma (II) atau pada organ atau satu tempat
ekstralimfatik serta ≥1 regio nodus limfe pada sisi
diafragma yang sama (IIE)
Stadium III: mengenai regio nodus limfe pada kedua sisi diafragma
(III), dapat juga mengenai organ atau tempat
ekstralimfatik (IIIE) atau mengenai lien (IIIS) atau
keduanya
Stadium IV: mengenai secara difus satu organ atau jaringan
ekstralimfatik dengan atau tanpa mengenai nodus
limfe
Etiologi
Tidak diketahui
Diduga berhubungan dengan infeksi virus (EBV), radiasi, faktor
genetik, dan sosioekonomi
Familial Hodgkin limfoma terjadi 4,5% dari semua kasus limfoma
Hodgkin. Risiko ↑ 7× dengan riwayat serupa pada saudara se-
kandung (limfoma Hodgkin atau non-Hodgkin) dan ↑ 99× pada
kembar monozigot

Diagnosis
BB ↓ >10% dalam waktu 6 bl tanpa sebab
Panas badan >38 °C hilang timbul tanpa sebab
Berkeringat malam
Limfadenopati dengan predileksi daerah servikal yang tidak terasa
nyeri
Histopatologi: ditemukan sel Reed-Sternberg
Diagnosis Banding
Limfoma non-Hodgkin
Pemeriksaan Penunjang
Darah: rutin, SGOT/SGPT, LDH, urea N, kreatinin, asam urat
Biopsi jaringan yang adekuat dan atau
Aspirasi sumsum tulang
Sitologi cairan likuor
Sitologi cairan pleura, peritoneum, atau perikardium
383
Radiologi
Foto Rontgen toraks, tomografi mediastinum
Survei tulang
USG atau CT-scan daerah leher dan abdomen
Penyulit
Infeksi
Perdarahan
Penyebaran ke sumsum tulang, mediastinum, KGB di luar media-
stinum dan organ intraabdomen
Karena terapi
Kerusakan paru, jantung, ginjal, hormonal, jaringan lunak, dan
pertumbuhan tulang akibat dari radiasi dan atau kemoterapi
Infeksi sesudah splenektomi
Tumor ganas sekunder
Terapi
Umum
Mencegah infeksi dengan menghindari kontak
Makanan gizi seimbang
Khusus
Radioterapi
Pilihan untuk stadium I dan II
Bila keadaan klinis memerlukan, pada stadium II dapat ditam-
bahkan kemoterapi
Kemoterapi
Adriamisin atau doksorubisin 25 mg/m2 i.v. hr ke-1, 14
Bleomisin 10 IU/m2 i.v. hr ke-1, 14
Vinblastin 6 mg/m2 i.v. hr ke-1, 14
Dekarbazin 150 mg/m2 i.v. hr ke-1–5
Siklus diulang tiap 28 hr
PRC 10–15 mL/kgBB → pada anemia
Suspensi trombosit 1 IU/5 kgBB → pada trombositopenia
FWB 10–15 mL/kgBB → pada perdarahan hebat
Kotrimoksazol 25 mg/kgBB/hr dalam 2 dosis → mencegah
pneumonia P. carinii
Prognosis
Usia lebih muda → lebih baik
Jenis kelamin perempuan → lebih baik
Stadium ↑ → kurang baik
Gejala sistemik (demam, BB ↓, dan keringat malam) dan LED ↑ →
kurang baik
Remisi komplet → lebih baik dibandingkan dengan penderita yang
mengalami remisi parsial atau tanpa remisi
Surat Persetujuan
Diperlukan

384
Bibliografi
1. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
2. Waxman IM, Hochberg J, Cairo MS. Hodgkin’s malignant
lymphoma. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW,
Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
hlm. 1739–43.

385
NEUROBLASTOMA
Batasan
Tumor yang berasal dari jaringan neural crest dan dapat mengenai
susunan saraf simpatis sepanjang aksis kraniospinal

Klasifikasi
Menurut Evan (staging system):
Stadium 0 : tumor setempat/terlokalisasi
Stadium I : tumor mengenai organ atau struktur organ
Stadium II : tumor menyebar keluar organ atau struktur organ
Stadium III: tumor menyebar keluar organ berseberangan
Stadium IV: terdapat metastasis ke tulang, sumsum tulang, otak,
kulit, hati, paru, jaringan lunak
Stadium IV-S: usia <1 th, tumor stadium I–II tetapi penyebaran ke
hati, kulit, atau sumsum tulang
Etiologi
Tidak diketahui, diduga berhubungan dengan faktor lingkungan, ras,
dan genetik
Diagnosis
Anamnesis
Banyak keringat
Muka merah
Nyeri kepala
Palpitasi
Diare berkepanjangan → gagal tumbuh
Pemeriksaan Fisis
Distensi abdomen
Tumor di daerah abdomen, pelvis atau mediastinum, dan biasanya
melewati garis tengah
Hipertensi
Laboratorium
Darah: hipokalemia, feritin serum ↑
Urin: katekolamin (VMA, HVA) ↑
Histopatologik: neuroblas yang tidak berdiferensiasi dengan
pseudorosette
Sumsum tulang: sel ganas pseudorosette
Diagnosis Banding
Rabdomiosarkoma
Limfoma
Tumor Wilm
Hepatoma

386
Pemeriksaan Penunjang
Darah: rutin, urea N, kreatinin, SGOT, SGPT, alkali fosfatase, dan
feritin serum
Urin: urinalisis, katekolamin (VMA, HVA)
Radiologi: foto Rontgen toraks/abdomen
Survei tulang
USG, CT-scan
Biopsi
Penyulit
Metastasis ke tulang, sumsum tulang, otak, hepar, paru, kelenjar
getah bening, kulit, dan jaringan lunak
Residif
Konsultasi
Bagian terkait
Bedah Anak untuk tindakan operasi
Terapi
Umum
Makanan dengan gizi seimbang
Khusus
Operasi
Hasil baik untuk tumor yang terlokalisasi (stadium I dan II)
Radioterapi
Tidak bermanfaat untuk stadium I dan II
Pada stadium II: preoperatif untuk mengecilkan tumor dan
pascaoperatif untuk menghilangkan sisa tumor yang tertinggal
Pada stadium IV: paliatif
Kemoterapi (pilihan pertama untuk tumor luas)
Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. 2hr ke-1, 21, dan 29
Siklofosfamid 250 mg/m2 p.o. hr ke-21–28
Adriamisin 40–60 mg/m i.v. hr ke-2 (maks. 500 mg/m2)
PRC 10–15 mL/kgBB → pada anemia
Mencegah dan mengatasi infeksi
Untuk pneumonia P. carinii diberikan kotrimoksazol 25 mg/kgBB/hr
Bila terdapat panas dengan granulositopenia (granulosit
<500/mm3) → antibiotik spektrum luas i.v.
Prognosis
Histologis favorable lebih baik daripada unfavorable
Usia saat diagnosis: <2 th lebih baik
Kadar feritin normal (0–150 mg%) lebih baik
Rasio VMA/HVA tinggi (>1) lebih baik
Stadium I atau II atau IV-S lebih baik daripada III atau IV
Lokalisasi: tumor primer di leher, mediastinum posterior lebih baik
daripada abdominal

387
Surat Persetujuan
Diperlukan
Bibliografi
1. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
2. Rubie H, Plantaz D, Coze C, Michon J, Frappaz D, Baranzelli MC,
dkk. Localised and unresectable neuroblastoma in infants:
excellent outcome with primary chemotherapy. Neuroblastoma
Study Group, Société Française d'Oncologie Pédiatrique. Med
Pediatr Oncol. 2001 Jan;36(1):247–50.
3. Tweddle DA, Pinkerton CR, Lewis IJ, Ellershaw C, Cole M, Pearson
AD. OPEC/OJEC for stage 4 neuroblastoma in children over 1 year
of age. Med Pediatr Oncol. 2001 Jan;36(1):239–42.
4. Zage PE, Alter JL. Neuroblastoma. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 1753–7.

388
389

Gambar 40 Protokol Neuroblastoma Localized and Unresectable


Sumber: Rubie dkk. 2001
390

Gambar 41 Protokol Neuroblastoma OPEC/OJEC


Sumber: Tweddle dkk. 2001
TUMOR WILM (NEFROBLASTOMA)
Batasan
Tumor ginjal yang mengenai jaringan epitel maupun jaringan
parenkim

Klasifikasi
Tabel 90 Sistem Staging untuk Tumor Wilm
NWTS (Sebelum Kemoterapi) SIOP (Sesudah Kemoterapi)
Stage I
Tumor terbatas pada ginjal dan Tumor terbatas pada ginjal atau
dapat dieksisi komplet dikelilingi oleh pseudokapsul
Tumor tidak ruptur sebelum atau fibrosa. Bila di luar kontur normal
selama pengangkatan ginjal, kapsul ginjal atau
Pembuluh darah sinus ginjal tidak pseudokapsul dapat terinfiltrasi
terlibat >2 mm oleh tumor, tetapi tidak
Tidak terdapat residu tumor di mencapai permukaan luar dan
luar batas eksisi dapat direseksi komplet (batas
reseksi bersih)
Tumor dapat menonjol ke sistem
pelvis dan ke dalam ureter (tetapi
tidak menginfiltrasi dinding)
Pembuluh darah sinus ginjal tidak
terlibat
Pembuluh darah intrarenal dapat
terlibat
Stage II
Tumor ekstensi ke luar ginjal Tumor ekstensi ke luar ginjal atau
tetapi dapat dieksisi secara berpenetrasi menembus kapsul
komplet ginjal dan atau pseudokapsul
Tidak terdapat tumor residu pada fibrosa ke dalam lemak perirenal
atau di luar batas eksisi tetapi dapat direseksi secara
Trombus tumor di pembuluh komplet (margin reseksi bersih)
darah di luar ginjal merupakan Infiltrasi tumor ke sinus ginjal dan
stage II bila trombus dapat atau menginvasi darah dan
diangkat en bloc dengan tumor pembuluh limfatik ke luar
parenkim ginjal tetapi dapat
direseksi komplet
Tumor menginfiltrasi organ dekat
atau vena kava namun dapat
direkseksi komplet
Stage III
KGB di hilus ginjal, rantai Eksisi tumor inkomplet, yang
periaorta, atau di luarnya ekstensi ke luar batas reseksi
mengandung tumor (tumor tersisa pascaoperatif
Kontaminasi peritoneum difus secara mikroskopis maupun
oleh tumor makroskopis)

391
Implan ditemukan di permukaan KGB abdomen terlibat
peritoneum Ruptur tumor sebelum atau
Tumor ekstensi di luar batas intraoperatif
bedah secara mikroskopis Tumor penetrasi menembus
maupun makroskopis permukaan peritoneum
Tumor tidak dapat direseksi Trombus tumor terdapat pada
secara komplet karena infiltrasi batas reseksi pembuluh darah
lokal ke struktur vital atau ureter mengalami transeksi
Biopsi tumor atau spillage lokal Tumor dibiopsi secara bedah
pada flank termasuk stage II (biopsi baji) sebelum kemoterapi
preoperatif atau operasi
Stage IV
Terdapat metastasis hematogen
a. Metastasis hematogen (paru,
atau metastasis KGB jauh hepar, tulang, otak, dll.) atau
a. metastasi KGB di luar region
abdominopelvis
b. Stage V
Tumor bilateral pada saat Tumor bilateral saat diagnosis
terdiagnosis
Sumber: Bhatnagar 2009

Etiologi
Tidak diketahui pasti
Diduga mempunyai hubungan dengan kelainan kongenital, terutama
kelainan urogenital, hemihipertrofi, dan aniridia
Diagnosis
Massa intraabdominal, berbatas tegas, dan biasanya tidak melewati
garis tengah
Disertai gejala hipertensi dan hematuria
USG: massa tumor di daerah ginjal
Histopatologi: gambaran bifasik dari unsur epitel dan mesenkim ginjal
Diagnosis Banding
Hepatoblastoma
Tumor adrenokortikal
Neuroblastoma
Hidronefrosis
Kista renal
Mesoblastik nefroma
Renal cell carcinoma
Pemeriksaan Penunjang
Darah: rutin, urea N, kreatinin, SGOT, SGPT, LDH, alkali fosfatase
Urin
Radiologi: BNO, IVP, foto Rontgen toraks
USG, CT-scan abdomen/toraks/kepala

392
Penyulit
Penyebaran regional (penetrasi melalui kapsula renal ke jaringan
lunak perirenal)
Perdarahan di luar ginjal
Penyebaran ke peritoneal
Penyebaran hematogen ke paru, hati, tulang, dan otak
Konsultasi
Bagian terkait, antara lain Bedah Anak
Terapi
Umum
Makanan gizi seimbang
Khusus
Operasi
Nefrektomi merupakan tindakan utama
Preoperatif
Bila tumor terlalu besar (inoperable):
Kemoterapi preoperatif: untuk mengecilkan dan mengurangi
risiko ruptur → diberikan
Aktinomisin-D 15 g/kgBB/hr i.v. selama 5 hr
Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. 1×/mgg selama 3–4 mgg
Pascaoperatif
Radioterapi
Segera pascaoperasi, 2.000 rad diberikan pada semua
stadium kecuali stadium I
Kemoterapi
Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. 1×/mgg dimulai 1 mgg pascaoperasi
selama 4–6 mgg
Aktinomisin-D 15 g/kgBB/hr i.v. selama 5 hr
Dosis pemeliharaan (6 2mgg kemudian)
Vinkristin 1,5 mg/m /hr i.v. pada hr ke-1 dan 5
Aktinomisin-D 15 g/kgBB/hr i.v. selama 5 hr
Adriamisin (ADR) 20 mg/m2/hr i.v. 3 ×/mgg pada mgg ke-6
Siklus pemeliharaan diulang tiap 6–8 mgg sampai 5–6 siklus
Prognosis
Persentase disease-free survival bergantung pada stadium penyakit
dan histologinya
Surat Persetujuan
Diperlukan

393
Tabel 91 Regimen Kemoterapi Tumor Wilm berdasarkan NWTSG dan SIOP
NWTS-5 SIOP 93-01

Stage Kemoterapi Terapi Radiasi Kemoterapi Kemoterapi Pascaoperatif Terapi Radiasi


Preoperatif
I VA × 18 mgg − VA × 4 mgg VA × 4 mgg −
II VA × 18 mgg − VA × 4 mgg VDA × 27 mgg Node (−): tidak

Node (+): 15 Gy
III VDA × 24 mgg 10,8 Gy VA × 4 mgg VDA × 27 mgg 15 Gy
IV VDA × 24 mgg Metastasis paru: VDA × 6 mgg CR sesudah 9 mgg: Lesi paru (−) pada mgg ke-9: tidak
394

12 Gy VDA × 27 mgg Bila (+): 12 Gy


Lokal stage III Pada mgg ke-9 remisi (−):
10,8 Gy ICED × 34 mgg
NWTS, National Wilms’ Tumor Study; SIOP, International Society of Pediatric Oncology; V, vinkristin; A, daktinomisin;
C, carboplatin; CR, complete remission; D, doksorubisin; E, etoposid; I, ifosfamid
Bibliografi
1. Bhatnagar S. Management of Wilms’ tumor: NWTS vs SIOP.
J Indian Assoc Pediatr Surg. 2009;14(1):6–14.
2. D'Angio GJ. Pre- or postoperative therapy for Wilms' tumor?
JCO. 2008;26(25):4055–7.
3. Davidoff AM. Wilms’ tumor. Curr Opin Pediatr. 2009;21(3):357–
64.
4. de Kraker J, Jones KP. Treatment of Wilms tumor: an
international perspective. JCO. 2005;23(13):3156–7.
5. G Tournade MF, Com-Hougué C, de Kraker J, Ludwig R, Rey A,
Burgers JM, dkk. Optimal duration of preoperative therapy in
unilateral and nonmetastatic Wilms' tumor in children older than
6 months: results of the Ninth International Society of Pediatric
Oncology Wilms tumor trial and study. J Clin Oncol. 2001;19(2):
488–500.
6. Green D. The treatment of stage I-IV favorable histology Wilms
tumor. J Clin Oncol. 2004;l22:1366–72.
7. Jaffer N, Huff V. Neoplasms of the kidney. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm.
1711–4.
8. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
9. Metzgar ML, Dome JS. Current therapy for Wilms’ tumor.
Oncologist. 2005;10:815–26.
10. Pizzo PA, Poplack DG. Principles and practice of pediatric
oncology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
11. Varan A. Wilms’ tumor in children: an overview. Nephron Clin
Pract. 2008;108:c83–90.

395
RABDOMIOSARKOMA
Batasan
Tumor ganas yang berasal dari jaringan mesodermal dan mengenai
setiap jaringan tubuh yang mengandung serabut jaringan otot serat
lintang, seperti muka, leher, ekstremitas, traktus urogenitalia, batang
tubuh, dan retroperitoneal
Klasifikasi
Tabel 92 Klasifikasi Rabdomiosarkoma berdasarkan Sistem Kelompok
Menurut the Intergroup Rhabdomyosarcoma Study (IRS)
Kelompok
I A Terlokalisasi, reseksi komplet, terbatas pada lokasi primer
B Terlokalisasi, reseksi komplet, infiltrasi sekitar lokasi
primer
II A Terlokalisasi, grossly resected, mikroskopik masih ada sisa
tumor
B Tumor regional, mengenai kelenjar getah bening, reseksi
komplet
C Tumor regional, mengenai kelenjar getah bening, reseksi
komplet, mikroskopik terdapat sisa tumor
III A Tumor besar, lokal atau regional sesudah biopsi
B Massa tumor >50% sesudah operasi
IV Metastasis jauh

Etiologi
Tidak diketahui pasti
Diduga berhubungan dengan kelainan kongenital
Diagnosis
Massa yang dapat disertai rasa nyeri bergantung pada lokalisasi
tumor primer maupun metastasisnya
Histopatologik dibedakan 4 subtipe (embrional, alveolar, pleimorfik,
dan undifferentiated)
Diagnosis Banding
Neuroblastoma
Limfoma
Pemeriksaan Penunjang
Darah: rutin, elektrolit, SGOT,SGPT, LDH, alkali fosfatase
Urin
Foto Rontgen toraks dan kepala
Aspirasi sumsum tulang
Pungsi lumbal untuk pemeriksaan sitologi (bila perlu)
Biopsi kelenjar getah bening (bila perlu)
Lain-lain: sesuai dengan lokalisasi tumor (CT-scan, USG, IVP,
limfangiografi, foto tulang)

396
Penyulit
Metastasis
Paru, SSP, kelenjar getah bening, tulang, sumsum tulang, hati, dan
jaringan lunak
Konsultasi
Departemen Bedah, Klinik Kanker
Terapi
Umum
Makanan gizi seimbang
Khusus
Operasi → pengangkatan tumor secara utuh
Bila tidak memungkinkan → hanya biopsi, diikuti kemoterapi dan
radioterapi untuk mengecilkan tumor → reseksi tumor
Radioterapi
Bergantung pada usia dan ukuran tumor
Kemoterapi
Kombinasi vinkristin (VCR), aktinomisin D (AMD), dan siklo-
fosfamid (VAC-pulse 2regimen)
Vinkristin 2 mg/m i.v. hr ke-1 dan 5
Aktinomisin D 15 g/kgBB/hr
2
i.v. 5 hr
Siklofosfamid 300 mg/m /hr i.v. 5 hr
Pengobatan diberikan setiap 4–6 mgg selama 12–18 bl
Regimen lain yaitu dengan dengan kombinasi VAI (vinkristin,
aktinomisin D, ifosfamid) atau VIE (vinkristin, ifosfamid,
etoposid)
Prognosis
Bergantung pada:
Stadium tumor
Tipe histologis dan sitologis
Lokasi tumor primer
Lokasi metastasis
Usia
Surat Persetujuan
Diperlukan
Bibliografi
1. Arndt CAS. Soft tissue tumors. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF,
St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 6316–22.
2. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.

397
SARKOMA EWING
Batasan
Tumor tulang terutama mengenai anak dan dewasa

Klasifikasi
Stadium I : terlokalisasi
Stadium II: metastasis
Etiologi
Tidak diketahui
Diagnosis
Pembengkakan dan nyeri di daerah tumor
Panas badan hilang timbul, lemah, dan BB ↓
Radiologi: gambaran destruksi dan sklerosis yang dikelilingi oleh
lapisan periosteal tulang baru (onion skin). Bila tumor
menembus periosteum akan terlihat gambaran sinar
matahari (sunray appearance)
Histopatologik: ditemukan sel tumor berwarna gelap tanpa struktur
lapisan
Diagnosis Banding
Rabdomiosarkoma
Limfoma
Neuroblastoma
Pemeriksaan Penunjang
Darah: rutin, urea N, kreatinin, enzim hati, alkali fosfatase, LDH
Urin
Aspirasi/biopsi sumsum tulang
Radiologi: bone scan
CT-scan dada
Penyulit
Perdarahan
Fraktur patologis
Konsultasi
Bagian terkait
Terapi
Umum
Mencegah fraktur patologis dengan cara
Membatasi aktivitas
Pemasangan verband elastik
Mengurangi beban BB pada tulang yang terkena
Perawatan luka dan perdarahan yang terjadi pada tumor
Makanan gizi seimbang, dimulai dengan makanan lunak

398
Khusus
Kemoterapi
Disesuaikan dengan kondisi penderita
Dipergunakan kombinasi sitostatika sesuai protokol T2:
Hari ke-1–5: aktinomisin-D 450 g/m2/hr
Hari ke-19, 20, 21: adriamisin 20 mg/m22/hr
Hari ke-39, 40, 41: adriamisin 20 mg/m
2
/hr
Hari ke-58: vinkristin 1,5 mg/m /hr + siklofosfamid 1.200
mg/m2/hr
Hari ke-65: vinkristin
Hari ke-72: vinkristin + siklofosfamid
Hari ke-79: vinkristin
Istirahat selama 15 hr dan pengobatan diulangi selama 18 bl
Radioterapi
Merupakan tumor yang responsif terhadap radioterapi
Dosis tinggi diberikan pada lokasi tumor primer bersamaan
dengan kemoterapi
Operasi
Bila lesi terdapat di fibula, skapula, tulang iga, tulang lengan dan
kaki serta lesi yang kecil pada ileum dan pelvis. Amputasi
dilakukan bila lesi terdapat di femur, tibia, dan fibula bagian
distal serta tidak menyebabkan gangguan fungsi organ tersebut
Transfusi PRC 10–15 mL/kgBB: mempertahankan Hb >10 g/dL
Suspensi trombosit 1 IU/5 kgBB: bila terjadi perdarahan dan
atau trombositopenia
Prognosis
5-year disease freesurvival tumor terlokalisasi yang mendapat terapi
operasi, radiasi dan kemoterapi: 55–60%
5-year survival penderita tumor yang terlokalisasi: 75%
5-year survival tumor yang metastasis: 20–30%
Surat Persetujuan
Diperlukan
Bibliografi
1. Arndt CAS. Neoplasms of bone. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF,
St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 6323–9.
2. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.

399
OSTEOSARKOMA
Batasan
Keganasan primer tulang, sel neoplasma menghasilkan osteoid

Klasifikasi
Tabel 93 Klasifikasi Osteosarkoma berdasarkan Respons Histologik
Sesudah Kemoterapi Preoperatif
Derajat Kelainan
I Tidak ada atau hanya sedikit efek terhadap kemoterapi
II Respons parsial terhadap kemoterapi dan 50% tumor
mengalami nekrosis
III Respons hampir lengkap terhadap kemoterapi dan 90% tumor
mengalami nekrosis
IV Respons lengkap terhadap kemoterapi dan tidak tampak lagi
sel tumor

Etiologi
Belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan
Pertumbuhan tulang
Faktor genetik
Faktor lingkungan

Diagnosis
Nyeri, bengkak, dan berkurangnya pergerakan, biasanya mengenai
tulang panjang
Fraktur patologis
Enzim alkali fosfatase ↑
Radiologi: sklerosis daerah metafisis diikuti dengan kelainan jaringan
lunak, klasifikasi atau gambaran sunburst, gambaran lesi
campuran, blastik atau lisis
Biopsi
Diagnosis Banding
Sarkoma Ewing
Giant cell tumor
Fibrosarkoma
Pemeriksaan Penunjang
Darah: rutin, urea N, kreatinin, enzim hati, alkali fosfatase, dan
bilirubin
Urin
Radiologi tulang yang terkena
CT-scan tulang/dada atau MRI tulang yang terkena
Scanning tulang

400
Penyulit
Penyebaran ke paru
Konsultasi
Bagian terkait
Terapi
Umum: makanan gizi seimbang
Khusus
Kemoterapi
Preoperatif (4 mgg sebelum operasi) 2
Metotreksat dosis tinggi: 8–12 g/m per infus, 1×/mgg selama
4 mgg (mgg ke-1–4) 2
Vinkristin 1,5 mg/m /hr i.v. 1×/mgg (maks. 2 mg/×) selama
4 mgg (mgg ke-1–4)
Sebelum pemasangan protesis
Bleomisin (B) 15 mg/m2/hr i.v. 2 hr berturut-turut pada mgg
ke-6
Siklofosfamid (S) 600 mg/m2/hr i.v. 2 hr berturut-turut pada
mgg ke-6
Daktinomisin (D) 600 g/m2/hr i.v. 2 hr berturut-turut pada
mgg ke-6
Metotreksat dosis tinggi 8–12 g/m2 per infus 1×/mgg selama
4 mgg dengan selang waktu 4 mgg sesudah pemberian ke-2
(mgg ke-9, 10, 14, dan 2
15)
Vinkristin 1,5 mg/m /hr i.v. 1×/mgg selama 4 mgg dengan
selang waktu 4 mgg sesudah pemberian ke-2 (mgg ke-9, 10,
14, dan 15)
Adriamisin 30 mg/m2/hr i.v. 3 hr berturut-turut dalam
seminggu (mgg ke-11)
Operasi
Meliputi biopsi → dilanjutkan dengan amputasi
Pascaoperasi
Stadium I–II
Adriamisin 30 mg/m2/hr i.v. 2 hr berturut-turut dalam
seminggu selama 22 mgg (mgg ke-1 dan 3)
CDDP 120 mg/m atau 3 mg/kgBB i.v. 1×/mgg selama
2 mgg (mgg ke-1 dan 3)
BSD 2 hr berturut-turut dalam seminggu, mgg ke-6
Siklus di atas diulangi lagi 2×
Stadium III–IV
BSD 2 hr berturut-turut dalam seminggu selama 2 mgg
Metotreksat dosis tinggi 8–12 g/m2/hr i.v. 1×/mgg selama
4 mgg (mgg ke-3, 4, 8, dan 9, metotreksat tidak diberikan
lagi sesudah 12 atau 216 dosis)
Vinkristin 1,5 mg/m /hr i.v. 1×/mgg selama 4 mgg (mgg
ke-3, 4, 8, dan 9)
Adriamisin 30 mg/m2/hr i.v. 3× berturut-turut dalam se-
minggu (mgg ke-5)
Siklus di atas diulangi 2×
401
Prognosis
Tanpa metastasis, mendapat kemoterapi adjuvan → kesembuhannya
55–85% dan ↑ 15–20% bila dioperasi
Dengan metastasis → buruk, tetapi dengan kemoterapi dan reseksi
jaringan paru yang terkena → kesembuhannya 20 –40%
Surat Persetujuan
Diperlukan
Bibliografi
1. Arndt CAS. Neoplasms of bone. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF,
St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 6323–9.
2. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.

402
HEPATOMA
Batasan
Tumor ganas primer pada hepar

Klasifikasi
Hepatoblastoma
Karsinoma hepatoselular
Stadium
I. Tumor dapat diangkat secara keseluruhan
II. Tumor dapat diangkat secara keseluruhan, tetapi mikroskopik
terdapat sisa sel tumor
III. Terdapat metastasis ke kelenjar getah bening
IV. Terdapat metastasis jauh ke sumsum tulang, otak, dan paru

Etiologi
Infeksi virus hepatitis B
Sirosis hepar
Kelainan metabolik: defisiensi α-1 tripsin, tipe-1 glikogen
Drug induced
Kelainan kromosom
Terapi androgen

Diagnosis
Anamnesis
Nyeri di abdomen, BB ↓ , muntah, demam

Pemeriksaan Fisis
Pembesaran abdomen kanan atas
Hepatomegali
Anemia, ikterik (jarang)
Laboratorium
Alfa feto-protein serum ↑ (>500 ng/mL)
Biopsi: hepatoblastoma atau karsinoma hepatoselular

Pemeriksaan Penunjang
α-fetoprotein serum
Foto polos abdomen, USG/CT-scan hati
Fungsi hati
Biopsi hati

Penyulit
Umumnya terjadi pascaoperasi
Perdarahan
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
Hipofibrinogenemia

403
Konsultasi
Departemen Patologi Anatomi, Radiologi, Bedah

Terapi
Umum
Makanan gizi seimbang

Khusus
Operasi
Terapi terbaik untuk tumor yang terlokalisasi (stadium I dan II)
Operasi dan kemoterapi
Sesudah dilakukan operasi → lanjutkan kemoterap i
Tumor stadium I (reseksi komplet), kemoterapi harus diberikan
selama 1 th
Bila tumor sulit diangkat karena mempunyai ukuran yang cukup
besar, maka preoperasi diberikan kemoterapi untuk mengecil-
kan ukuran tumor
Kombinasi kemoterapi dapat diberikan dengan pedoman sbb.:
Siklus A: vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. hr ke-1
Siklofosfamid 600 mg/m2 i.v. hr ke-2
Adriamisin 25 mg/m2 i.v. hr ke-1–3
Siklus A dan B bergantian setiap 3 mgg
Siklus B: vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. hr ke-1
Siklofosfamid 600 mg/m2 i.v. hr ke-2
5-fluorourasil 500 mg/m2 p.o. hr ke-3–9
Atau
Adriamisin 30 mg/m2 i.v. hr ke-1–2 Diulang setiap
Sisplatin 90 mg/m2 i.v. hr ke-1 3 mgg
Atau
Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. hr ke-1 dan 5 Diulang setiap
DTIC 200 mg/m2 i.v. hr ke-1–5 4 mgg
2
Siklofosfamid 300 mg/m i.v. hr ke-1
Adriamisin 30 mg/m2 i.v. hr ke-1
Kemoterapi dan radioterapi
Pada tumor stadium lanjut (III dan IV), sekalipun tumor
bersifat radioresisten
Untuk mengecilkan ukuran tumor yang cukup besar
Transplantasi hepar
Bila belum terdapat mestatasis tumor ke kelenjar limfe atau
organ lain (stadium II)
Transfusi: PRC 10–15 mL/kgBB, bila terdapat anemia
Penyulit
Vitamin K 5 mg/hr dan fresh frozen plasma 10–15 mL/kgBB
untuk mencegah perdarahan
Dekstrosa 10% dalam 0,25% NaCl infus untuk mencegah
hipoglikemia
Human albumin 25% 1 g/kgBB/24 jam untuk hipoalbuminemia

404
Prognosis
Bergantung pada stadium
Hepatoblastoma bila dapat diangkat komplet → survival rate 60%
Karsinoma hepatoselular → survival rate 33%

Surat Persetujuan
Diperlukan

Bibliografi
1. Hergoz CE. Neoplasms of the liver. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 6348–51.
2. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.

405
RETINOBLASTOMA
Batasan
Tumor ganas yang berasal dari jaringan saraf embrional retina

Klasifikasi
Tumor dapat unilateral atau bilateral
Fokal atau multifokal
Herediter atau nonherediter
Tabel 94 Stadium Retinoblastoma berdasarkan Sistem Reese-
Ellsworth
Grup Deskripsi
I (a) Tumor solid <4 dd pada atau di belakang ekuator
(b) Tumor multipel tidak >4 dd, semua berada/di belakang
ekuator
II (a) Tumor solid dengan diameter 4–10 dd, pada atau di
belakang ekuator
(b) Tumor multipel dengan diameter 4–10 dd pada atau di
belakang ekuator
III (a) Beberapa lesi di depan ekuator
(b) Tumor solid >10 dd di belakang ekuator
IV (a) Tumor multipel, sebagian besar >10 dd
(b) Beberapa lesi menyebar ke anterior ke ora serata
V (a) Tumor masif mengenai lebih dari setengah retina
(b) Penyebaran ke vitreous

Etiologi
Tidak diketahui, diduga berhubungan dengan faktor lingkungan, ras,
dan genetik

Diagnosis
Anamnesis
Mata kucing, mata merah, nyeri mata, gangguan penglihatan
Leukokoria (cat eye reflex), strabismus, mata merah, nyeri mata
(sering disertai glaukoma), gangguan penglihatan
Riwayat keluarga
Pemeriksaan Fisis
Gangguan penglihatan
Leukokoria (cat eye reflex), strabismus
Proptosis bulbi
Heterokromia, rubeosis iridis, hifema
Perdarahan vitreous

406
Diagnosis Banding
Tabel 95 Diagnosis Banding Retinoblastoma
Retinoblastoma Intraokular Retinoblastoma Ekstraokular
Coat disease Selulitis orbital
Persistent hyperplastic primary Neuroblastoma metastatik
vitreus Rabdomiosarkoma orbital
Retrolental fibroplasia Leukemia
Hamartoma retina Limfoma
Endoftalmitis
Infeksi toksokara
Hamartoma astrositik
Meduloepitelioma
Katarak
Uveitis

Pemeriksaan Penunjang
USG okular
CT-scan dan MRI kepala
Darah rutin lengkap, elektrolit, urinalisis (bila akan dilakukan
kemoterapi sistemik)
Pungsi lumbal: jika dari pemeriksaan radiologis atau klinis, curiga
metastasis ke SSP
Bone scan: jika disertai nyeri tulang atau penyakit ekstraokular lain
Biopsi sumsum tulang: jika pemeriksaan darah abnormal atau disertai
penyakit ekstraokular lain
Histopatologis (dari jaringan yang didapat dari enukliasi)
Aspirasi biopsi jarum halus hanya direkomendasikan pada kasus yang
diagnosisnya masih meragukan dan merupakan langkah yang dilaku-
kan untuk mencegah penyebaran ekstraokular

Penyulit
Metastasis ke tulang, sumsum tulang, otak, hepar, paru, kelenjar
getah bening, kulit, dan jaringan lunak
Residif
Konsultasi
Bagian terkait
Mata untuk tindakan operasi
Terapi
Medikamentosa
Kemoterapi neoadjuvan diberikan dengan interval 21 hr
Vinkristin: 1,5 mg/m2 untuk anak dengan BB >10 kg; 0,05
mg/kgBB untuk anak dengan BB 5–10 kg; 0,025 mg/kgBB untuk
anak dengan BB <5 kg 2
Etoposide: 300 mg/m untuk anak dengan BB >10 kg; 12
mg/kgBB untuk anak dengan BB 5–10 kg; 9 mg/kgBB untuk
anak dengan BB <5 kg

407
Carboplatin: 600 mg/m2 untuk anak dengan BB >10 kg; 24
mg/kgBB untuk anak dengan BB 5–10 kg; 18 mg/kgBB untuk
anak dengan BB <5 kg
Terapi oftalmik lokal
Cryotherapy (cryoablation), green laser (photoablation), infrared
laser (photoablation) dan atau radioactive plaque (episcleral
plaque radiotherapy), thermotherapy, dan chemothermotherapy
Radiasi
External beam radioteraphy (EBRT)
Operatif
Enukleasi
Suportif
Nutrisi, dukungan psikososial; antibiotik, transfusi darah (bila
perlu)

Prognosis
Rekurensi sering terjadi dalam waktu 3 th sesudah diagnosis

Surat Persetujuan
Diperlukan

Bibliografi
1. Hurwitz RL, Shield CL, Shield JA, Barrios PC, Hurwitz MY,
Chintagumpala MM. Retinoblastoma. Dalam: Pizzo PA, Poplack
DG, penyunting. Principles and practice of pediatric oncology.
Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2002.
hlm. 825–41.
2. Imbach P. Retinoblastoma. Dalam: Imbach P, Kühne TH, Arceci R,
penyunting. Pediatric oncology a comprehensive guide. Berlin:
Springer; 2006. hlm. 172–6.
3. Issacs Jr. H. Tumors of the fetus and infant an atlas. New York:
Springer-Verlag; 2002.
4. Kim H, Lee JW, Kang HJ, Park HJ, Kim YY, Shin HY, dkk. Clinical
results of chemotherapy based treatment in retinoblastoma
patients: a single center experience. Cancer Res Treat. 2008;40:
164–71.
5. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.
Edisi ke-5. London; Saunders Elsevier: 2011.
6. Schwartzman,E, Chantada. Retinoblastoma. Dalam: Voute PA,
Kalifa C, Barret A, penyunting. Cancer in children: clinical
management. New York: Oxford; 1999. hlm. 324–7.
7. Zage PE, Herzog CE. Retinoblastoma. Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 6334–40.

408
Infeksi & Penyakit Tropis
Herry Garna
Azhali Manggus Sjahrodji
Alex Chairulfatah
Djatnika Setiabudi
Anggraini Alam
Riyadi
INFEKSI BAKTERI
DEMAM ENTERIK: DEMAM TIFOID DAN PARATIFOID
Demam enterik adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh
bakteri genus Salmonella
Etiologi
Demam tifoid: Salmonella typhi
Demam paratifoid: S. paratyphi A, S. schottmuelleri, S. hirschfeldii,
dan serotipe lain
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 7–14 hr (3–30 hr)
Usia Sekolah dan Masa Remaja
Gejala klinis menyerupai penderita dewasa
Onset insidious
Malaise, anoreksia, mialgia, sakit kepala, sakit daerah abdomen
(anak biasanya tidak dapat menunjukkan daerah yang paling
sakit/rasa tidak nyaman difus), keluhan ↑ pada mgg kedua
Demam sampai hr ke-4 bersifat remiten, dengan pola seperti
anak tangga (stepwise fashion), sesudah hr ke-5 atau paling
lambat akhir mgg pertama pola demam berbentuk kontinua
Diare dapat ditemukan pada hari-hari pertama sakit, selanjut-
nya terjadi konstipasi. Bila diare terjadi sesudah mgg kedua
harus dicurigai infeksi tambahan oleh jasad renik lain
Mual dan muntah dapat ditemukan pada awal sakit, bila
ditemukan pada mgg kedua atau ketiga harus diwaspadai awal
suatu penyulit
Pada mgg kedua keluhan malaise, anoreksia, mialgia, sakit
kepala, sakit daerah abdomen pada mgg kedua bertambah
berat, dapat ditemukan disorientasi, letargi, delirium bahkan
stupor
Pemeriksaan jasmani penting:
Bradikardia relatif (jarang pada anak usia yang lebih muda,
dapat ditemukan pada remaja)
Dapat ditemukan hepatomegali, splenomegali, distensi
abdomen yang disertai rasa sakit. Biasanya anak tidak dapat
melokalisasi rasa sakit, memberi kesan rasa tidak enak/sakit
yang difus
Rose spot ditemukan pada 50% kasus, dicari di daerah dada
bawah dan abdomen bagian atas
Bila ditemukan tanda pneumonia seperti sesak napas dan
crackles, biasanya terjadi sesudah minggu kedua dan merupa-
kan superinfeksi
Bila tanpa penyulit akan sembuh dalam 2–4 mgg

411
Usia Balita
Relatif jarang, biasanya bersifat ringan berupa demam ringan,
malaise, dan diare. Sering misdiagnosis sebagai diare akut
Neonatus
Gejala timbul biasanya sesudah 3 hr pascadilahirkan berupa
muntah-muntah, diare, distensi abdomen. Suhu tubuh tidak stabil,
ikterus, BB ↓, undoing well, kadang disertai kejang
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin
Sering ditemukan anemia normokrom-normositer akibat 3
supresi
sumsum tulang, leukopenia tetapi jarang <2.500/mm disertai
limfositosis relatif. Dapat ditemukan trombositopenia yang
cukup berat terutama pada akhir mgg pertama
Kimia darah
Pada penderita dengan penyulit hepatitis tifosa dapat ditemu-
kan peningkatan transaminase hepar dan bilirubin serum (harus
dibuktikan bukan oleh sebab lain seperti virus hepatitis). Pada
penderita gizi kurang/buruk dapat ditemukan hiponatremia dan
hipokalemia
Biakan Salmonela
Darah: umumnya (+) pada mgg pertama dan awal mgg
ke-2 (60–80%) dari rose spot (60%), sumsum tulang (80–90%).
Pemeriksaan kultur sumsum tulang merupakan tindakan invasif,
biasanya hanya dilakukan untuk keperluan penelitian
Urin/feses: sesudah bakteremia sekunder (mgg ke-2–3)
Serologi
Tes Widal: diambil 2× (dengan serum berpasangan), didapat ↑
titer O >4×, pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan karena
banyak ditemukan nilai (+) palsu
IgM anti-S. typhi hr ke-6–8, pemeriksaan ini hanya berlaku
untuk demam tifoid, bila (−) tidak menyingkirkan kemungkinan
demam paratifoid
Pemeriksaan antigen bakteri: polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan lain seperti pencitraan (Rontgen toraks, Rontgen
polos perut (BNO), USG abdomen), D-dimer, dan lain-lain di-
laksanakan apabila terjadi penyulit

Diagnosis
Manifestasi demam enterik sangat luas dan tidak khas, sehingga
diagnosis pasti ditegakkan atas ditemukannya bakteri pada kultur.
Dengan demikian, pada pengelolaan kecurigaan demam enterik
harus dilakukan pemeriksaan biakan sebelum pemberian antibiotik
Penyulit
Pada umumnya terjadi pada akhir mgg kedua atau awal mgg ketiga
berupa:
Perforasi intestinal (0,5–3%), perdarahan intestinal (1–10%),
hepatitis tifosa, kolesistitis, pankreatitis, sepsis, pielonefritis,
ensefalopati, pneumonia, dan lain-lain
412
Manajemen
Umum
Isolasi
Tirah rebah selama panas
Diet makanan lunak yang mudah dicerna
Khusus
Eradikasi kuman (jenis-jenis antibiotik lihat Tabel 96)
Terapi penyulit
Kortikosteroid
Pada kasus berat dengan gangguan kesadaran (stupor, koma),
gangguan sirkulasi, dan gejala berkepanjangan
Deksametason 3 mg/kgBB inisial, diikuti 1 mg/kgBB tiap 6 jam
selama 48 jam. Bila dikhawatirkan terjadi hipotermia akibat
pemberian deksametason, pengalaman kami menunjukkan
pemberian dengan dosis 0,15 mg/kgBB cukup aman dan
efektif
Bibliografi
1. Bhutta ZA. Enteric fever (typhoid fever). Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011. hlm. 954–8.
2. Bhutta ZA. Salmonella. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St.
Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011. hlm. 948.
3. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia: Saunders; 2004. hlm. 916–9.
4. Ochoa TJ, Cleary TG. Salmonella. Dalam: Feigin RD, Cherry JD,
penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 1567–81.
5. Reller MR. Salmonella species. Dalam: Long SS, Pickering LK,
Prober CG, penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 812–6.

413
Tabel 96 Manajemen Demam Enterik: Eradikasi Kuman
Oral Parenteral
Tanpa penyulit Kloramfenikol 50–75 mg/kgBB/hr Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hr selama 14–21 hr
selama 14–21 hr Ampisilin 75–100 mg/kgBB/hr selama 14 hr
Amoksisilin 75–100 mg/kgBB/hr
selama 14 hr
TNP-SMX 8/40 mg/kgBB/hr
selama 14 hr
Terapi alternatif Sefiksim (multi-drug resistance) 1
tanpa penyulit 5–20 mg/kgBB/hr selama 7–14 hr
Azitromisin (quinolone resistance)
414

8–10 mg/kgBB/hr selama 7 hr


Dengan penyulit Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hr selama 14–21 hr
Ampisilin 100 mg/kgBB/hr selama 14 hr
Seftriakson 75 mg/kgBB/hr atau sefotaksim
80 mg/kgBB/hr selama 10–14 hr
DIFTERIA
Etiologi
Difteria merupakan penyakit menular saluran respiratori akut yang
disebabkan oleh bakteri gram-positif batang Corynebacterium
diphtheriae yang bersifat toksigenik
Dikenal beberapa serotipe yaitu gravis, intermedius, mitis, dan
belfanti; serotipe gravis merupakan serotipe yang paling sering
ditemukan pada saat wabah. Bakteri ini dapat mengolonisasi daerah
hidung, faring terutama daerah tonsil, uvula, laring, kadang daerah
genital, mata, dan di daerah tropis atau orang dengan higiene yang
buruk bakteri dapat ditemukan di kulit
Spesies Corynebacterium lain seperti Corynebacterium ulserans dan
Corynebacterium pseudotuberculosis walaupun jarang dapat juga
menghasilkan toksin difteria dan dapat menimbulkan gejala klasik
difteria
Penyakit difteria dapat disebabkan oleh keempat serotipe di atas
tetapi yang bersifat toksigenik (menghasilkan toksin). Gen penghasil
toksin dibawa oleh virus yang menginfeksi bakteri (bakteriofag), yang
pada saat fase lisogenik gen tersebut terintegrasi ke dalam
kromosom bakteri, proses ini disebut sebagai lysogenic conversion.
Bakteri yang nontoksigenik tidak menimbulkan penyakit difteria,
walaupun kadang dihubungkan dengan kondisi lain seperti
septikemia atau endokarditis
Epidemiologi
Pada masa prevaksinasi, penyakit difteria merupakan penyakit yang
paling ditakuti, penyakit ini menimbulkan angka kematian yang
sangat tinggi, dan merupakan penyakit endemis tinggi di beberapa
negara subtropis. Pada tahun 1937–1938, di Inggris dan Wales,
difteria merupakan penyebab kematian kedua tersering sesudah
pneumonia
Pada dekade 1940–1950 dengan pemberian imunisasi toksoid difteria
kasus penyakit difteria hampir tidak ditemukan lagi di negara
industri. Demikian pula di negara berkembang kasus difteria sudah
jarang ditemukan sesudah dilaksanakan program imunisasi DTP
melalui EPI (Expanded Program on Immunization) WHO pada tahun
1970-an
Pada tahun 1990 terjadi epidemi difteria di negara-negara bekas Uni
Soviet, sampai tahun 1998 ditemukan lebih dari 157.000 kasus
dengan jumlah kematian di atas 5.000 orang
Di Indonesia, wabah difteria muncul kembali sejak tahun 2001 di
Kabupaten Cianjur, Kota Semarang (2002), Tasikmalaya (2005, CFR
31,91%), Garut (2007, CFR 11,7%), dan Jawa Timur. Di Jawa Timur
sejak tahun 2000–2011 tercatat 335 kasus dengan jumlah kematian
sebanyak 11 orang. Demikian juga Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur sudah melaporkan kasus difteria
Penyebab timbulnya kembali penyakit ini antara lain karena cakupan
imunisasi yang rendah (terutama karena tidak ada imunisasi DTP

415
ulang), terdapat bakteri toksigenik yang bersirkulasi di masyarakat,
sosioekonomi yang rendah, pergerakan manusia yang ↑, dan
terdapat gerakan antivaksinasi
Manifestasi Klinis
Penyakit difteria terutama menyerang daerah faring, difteria laring
ditemukan pada 25% kasus dengan ¾ dari kasus tersebut melibatkan
daerah faring (difteria faringolaringitis) dan difteria hidung ditemu-
kan pada 2% kasus. Insidensi keseluruhan difteria kulit, telinga, mata,
dan vagina <2%, sebagian besar merupakan infeksi sekunder dari
difteria nasofaringeal
Masa inkubasi biasanya 1–5 hr, perjalanan penyakit biasanya
insidious, hal ini berbeda dengan faringitis akibat kuman strepto-
kokus yang biasanya perjalanan penyakitnya bersifat mendadak
Gejala difteria mulanya bersifat ringan dan nonspesifik seperti
demam ringan (jarang >38,5 °C), rewel, sakit menelan, dan lesu.
Walaupun demam tidak tinggi tetapi anak terlihat pucat dan lemah
kadang disertai dengan nadi yang cepat. Hal ini karena toksin difteria
mempunyai efek konstitusional berupa anak tampak pucat dan
tampak lelah
Pada demam hari pertama biasanya faring hanya terlihat kemerahan,
sesudah 2 atau 3 hr dari onset penyakit baru terlihat pseudomem-
bran, bergantung pada berat penyakit, pseudomembran dapat
meluas ke tonsil, uvula, dan palatum. Toksin dapat masuk kelenjar
limfe servikalis anterior menyebabkan limfadenitis servikalis, sering
disertai dengan edema jaringan lunak yang luas, sehingga timbul apa
yang disebut sebagai bullneck. Produksi toksin yang ↑ berhubungan
dengan kejadian ditemukan bullneck, sehingga berhubungan dengan
↑ angka kematian. Bila pembengkakan jaringan lunak meluas, sudut
leher antara mandibula-otot sternokleidomastoideus dan klavikula
menghilang, keadaan ini disebut sebagai erasur
Pada difteria laring, secara gradual suara anak menjadi lebih serak
dan timbul stridor inspiratoar. Bila lebih berat lagi anak akan tampak
sianosis, gelisah, koma bahkan meninggal. Pada laringitis oleh sebab
lain pada umumnya gejala berlangsung secara mendadak, untuk
membedakannya harus dilakukan pemeriksaan laringoskopi untuk
melihat pseudomembran. Pseudomembran pada difteria laring di
kalangan dokter THT-KL tertentu dikenal sebagai cigarette
membrane. Pada difteria laring primer (bukan penyebaran dari
difteria faring/tonsil) gejala sistemik pada awalnya tidak jelas, hal ini
karena produksi toksin pada difteria laring lebih sedikit dibandingkan
dengan difteria faring, selain itu absorbsi toksin oleh mukosa laring
lebih sedikit
Difteria hidung saja biasanya jarang disertai gejala sistemik, kelainan
biasanya berupa sekret serosanguinus yang kemudian dapat
berbentuk mukopurulen, bila diperhatikan lebih teliti pada mukosa
septum nasi akan tampak membran tipis putih keabuan
Difteria kulit jarang menimbulkan keluhan dan biasanya tidak diikuti
gejala sistemik

416
Diagnosis
Anamnesis
Kontak dengan penderita difteria
Definisi kontak: orang serumah dan teman bermain; kontak
dengan sekret nasofaring (a.l.: resusitasi mulut ke mulut);
individu seruangan dengan penderita dalam waktu ≥4 jam
selama 5 hr berturut-turut atau >24 jam dalam seminggu (a.l.:
teman sekelas)
Suara serak dan disfagia
Difteria nasal umumnya terjadi pada bayi
Pemeriksaan Fisis
Anak terlihat lemah dan pucat, demam tidak tinggi
Umumnya menunjukkan tanda tonsilitis dan faringitis disertai
pseudomembran
Bullneck/erasur
Stridor dan tanda lain obstruksi jalan napas
Pada difteria nasal: tercium bau busuk, sekret serosanguinus/
purulen, ulkus dangkal pada hidung dan bibir atas
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Sediaan apus langsung dan kultur lesi hidung, tenggorok, dll.
menggunakan pewarnaan Neisser, Albert, dst., sebaiknya
sebelum pemberian antibiotik
Hitung leukosit darah tepi: biasanya normal; sering terjadi
anemia hemolitik dan trombositopenia
EKG: tanda miokarditis
Kultur dari apus tenggorok/hidung/kulit
Uji toksigenik dengan metode enzyme linked immunosorbent
assay (ELISA)
Penyulit
1. Obstruksi jalan napas pada penderita difteria laring
2. Miokarditis dini: biasanya timbul hr ke-3–7, biasanya bersifat fatal.
Miokarditis lambat: biasanya terjadi pada mgg kedua dan ketiga
pada saat terjadi perbaikan klinis. Anak yang mulanya terlihat
membaik, tiba-tiba menunjukkan tanda miokarditis seperti
takikardia, bunyi jantung redup, gangguan irama jantung bahkan
sampai terjadi complete heartblock yang fatal. Adakalanya
miokarditis dapat timbul pada mgg ke-6, biasanya terjadi sesudah
penderita dipulangkan
Walaupun miokarditis dapat terjadi pada difteria ringan, tetapi
pada umumnya berhubungan dengan difteria berat
3. Neuritis
Neuritis pada umumnya menyertai penyakit difteria berat,
biasanya terjadi sesudah melewati masa laten tertentu
Paralisis palatum mole merupakan penyulit neuritis tersering,
dapat timbul pada mgg pertama sakit yang ditandai dengan suara
anak menjadi sengau dan regurgitasi nasal. Biasanya sembuh
sempurna dalam 1–2 mgg pengobatan
417
Ocular palsy biasanya terjadi mgg ke-3–5 berupa paralisis otot-
otot akomodasi sehingga pandangan menjadi kabur. Lebih jarang
lagi terjadi paralisis otot ekstraokuler mengakibatkan strabismus
Paralisis diafragma dapat pada mgg ke-5–7 akibat neuritis n.
phrenicus, bila tidak tersedia alat bantu napas mekanik akan
terjadi kematian
Paralisis tungkai dapat terjadi pada mgg ke-5–10, saraf sensoris
dan motoris terkena. Dimulai dengan parestesi disusul dengan
hilangnya refleks tendon yang kemudian → paralisis tungkai
bilateral. Sulit dibedakan dengan sindrom Gullain-Barre
4. Penyulit lain
Pada kasus berat dapat terjadi gagal ginjal, trombositopenia, dan
DIC
Manajemen
Lakukan penilaian apakah ditemukan keadaan gawat napas akibat
obstruksi saluran respiratori karena membran dan edema perifaringeal
Lakukan klasifikasi kasus
Pemberian antidifteria serum (ADS) untuk menetralisasi toksin bebas,
dosis tunggal berdasarkan diagnosis klinis sebagai berikut:
Nasal/faring ringan: 40.000 IU
Faring: 60.00080.000 IU
Faring berat, laring, bullneck, delayed diagnosis:
100.000120.000 IU
Cara pemberian sebagai berikut:
ADS dilarutkan dalam 100–200 mL dekstrosa i.v. selama
30–60 mnt
Sebelumnya dilakukan tes kepekaan dengan pemberian 1 tetes
antitoksin pengenceran 1:10 pada konjungtiva atau 0,02 mL
penyuntikan intradermal pengenceran 1:100
Bila tes kepekaan (+) berikan ADS secara desensitisasi, masing-
masing dengan interval 20 mnt
0,05 mL larutan 1:20 s.k.
0,10 mL larutan 1:20 s.k.
0,10 mL larutan 1:10 s.k.
0,10 mL tanpa pengenceran s.k.
0,30 mL tanpa pengenceran i.m.
0,50 mL tanpa pengenceran i.m.
0,10 mL tanpa pengenceran i.v.
Bila tidak ada reaksi alergi, sisa diberikan i.v. lambat
Suportif
Tirah rebah 2–3 mgg (lebih lama bila terjadi miokarditis)
Diet makanan lunak kalori tinggi yang mudah dicerna
Roboransia
Prednison 1,0–1,5 mg/kgBB/hr, p.o. tiap 6–8 jam pada kasus berat
selama 14 hr
Waktu dipulangkan:
Vaksin DPT 0,5 mL i.m. untuk anak <7 th
Vaksin DT 0,5 mL i.m. untuk anak ≥7 th (tanpa melihat status
imunisasi sebelumnya)
418
Diinformasikan kepada orangtua agar anak tidak melakukan aktivitas
yang berlebihan dalam 6 mgg sesudah sakit, karena miokarditis fatal
dapat timbul sampai mgg ke-6
Bibliografi
1. Buescher ES. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae). Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman
RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 929.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and
prevention of vaccine-preventable diseases. Edisi ke-12 [diunduh
21 Januari 2012]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/nip/
publications/pink/dip.pdf.
3. Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK. Diphtheria. Dalam: Feigin
RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious
diseases. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm.
1393–402.
4. Overturf GD. Corynebacterium diphtheriae. Dalam: Long SS,
Pickering LK, Prober CG, penyunting. Pediatric infectious
diseases. Edisi ke-3. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2008.
hlm. 754–9.

419
KLASIFIKASI KASUS

TERSANGKA KEMUNGKINAN PASTI KARIER

Not applicable Manifestasi klinis (+): Kasus probable Kultur


Laringitis, faringitis, Ditambah C. diphtheriae (+)
atau tonsilitis Konfirmasi Tanpa manifestasi
Ditambah laboratorium (isolasi klinis
Membran aderen C. diphtheriae, atau
di tonsil, faring, dan kenaikan titer Ab
atau hidung serum >4x)
Secara epidemiologis
kontak dengan kasus
confirmed

ISOLASI

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Ab serum untuk difteria APT2, APH3, atau lesi kulit


Apus Gram Ambil membran & dasarnya
Leukosit, hitung jenis Pewarnaan Neisser, Albert
Urin rutin 1
(di lab cito/patklin)
Bullneck → foto STL Kultur di Biofarma
Miokarditis → EKG, CPK,
CK-MB
Foto Rontgen toraks

ANTIDIFTERIA SERUM (ADS)


+
ANTIBIOTIK

ADS
Nasal/faring ringan: 40.000 IU
Faring: 60.00080.000 IU
Faring berat, laring, bullneck, delayed diag.:
100.000120.000 IU

ANTIBIOTIK
PP 25.000–50.000 IU/kgBB/hr i.m., dibagi 2 dosis selama
14 hr → difteria kulit selama 710 hr
Eritromisin 4050 mg/kgBB/hr i.v./p.o. (maks. 2 g/hr),
dibagi 4 dosis selama 14 hr
Amoksisilin
Rifampisin
Klindamisin

ANTIBIOTIK
PP 25.00050.000 IU/kgBB/hr i.m. dosis
tunggal
1
STL: soft tissue leher Eritromisin 40 mg/kgBB/hr (maks. 2 g/hr)
2
APT: apus tenggorok dibagi 4 dosis selama 7 hr
3
APH: apus hidung Imunisasi

Gambar 42 Alur Penatalaksanaan Penderita Difteria


WHO: Recommended Surveillance Standard of Diphtheria
420
STAPHYLOCOCCAL TOXIC SHOCK SYNDROME
Etiologi
Toxic shock syndrome toxin 1 (TSST-1) dan enterotoksin yang
dihasilkan Staphylococcus aureus
Faktor Risiko
Usia muda, varisela, DM, HIV, penyakut paru dan jantung kronik,
intravenous drug user (IDU), dulu dihubungkan dengan pemakaian
tampon yang lama
Manifestasi Klinis
Karakteristik:
Demam
Hipotensi
Ruam eritema dengan deskuamasi pada tangan dan kaki
Keterlibatan multisistem: muntah, diare, mialgia, abnormalitas
neurologikal nonfokal, konjungtiva hiperemia, dan stawberry
tongue
Diagnosis
Kriteria Diagnostik Mayor (Semuanya Harus Ada)
Demam akut (suhu >38,8 °C)
Hipotensi (ortostatik, syok di bawah nilai normal berdasarkan usia)
Ruam (eritroderma dengan deskuamasi konvalesens)
Kriteria Diagnostik Minor (≥3)
Inflamasi membran mukosa (hiperemia vagina, orofaring, kon-
jungtiva, stawberry tongue)
Muntah, diare
Gangguan hepar (bilirubin/transaminase >2× batas atas nilai normal)
Gangguan renal (nitrogen urea/kreatinin >2× batas atas nilai normal
atau >5 leukosit/LPB)
Gangguan otot (mialgia/kreatinin fosfokinase >2× batas atas nilai
normal)
Gangguan SSP (gangguan kesadaran tanpa tanda neurologis fokal)
Trombositopenia (≤100.000/mm 3)
Kriteria Eksklusi
Tidak terdapat kriteria yang sudah dijelaskan
Kultur darah (−), kecuali untuk S. aureus
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan spesifik
Kultur bakteri dari fokus infeksi (vagina, abses) sebelum pemberian
antibiotik semestinya menunjukkan S. aureus

421
Manajemen
Terapi parenteral → β-laktamase-resisten antistafilokokal: nafsilin,
oksasilin, sefalosporin generasi 1, atau vankomisin bila curiga MRSA
Klindamisin: untuk mengurangi produksi toksin
Drainase vagina
Terapi cairan untuk hipotensi, gagal ginjal, dan kardiovaskular
Agen inotropik bila terjadi syok
Kortikosteroid dan IVIG mungkin bermanfaat pada kasus berat
Bibliografi
1. American Academy of Pediatrics. Staphylococcal infections.
Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Kimberlin DW, Long SS,
penyunting. Red Book 2009. Report of the Committee on
Infectious Diseases. Edisi ke-28. Elk Grove Village: American
Academy of Pediatrics; 2009. hlm. 601–15.
2. Todd JK. Toxic shock syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011. hlm. 908–9.

422
STREPTOCOCCAL TOXIC SHOCK-LIKE SYNDROME
Etiologi
Streptococcus pyogenes

Definisi
Hipotensi atau syok, ditambah ≥2 hal di bawah ini:
Gangguan renal
Disseminated intravaskular coagulation
Kelainan hati
Scarlet fever rash
Nekrosis jaringan lunak
Kasus pasti memenuhi kriteria di atas ditambah:
Isolasi streptokokus grup A dari tempat bagian tubuh yang steril
Kasus mungkin (probable) memenuhi kriteria di atas ditambah:
Isolasi streptokokus grup A dari tempat bagian tubuh tidak steril
Tatalaksana
Terapi cairan
Terapi antbiotik
Manajemen infeksi fokal (eksplorasi dini dan debridemen jaringan
lunak yang terinfeksi)
Bibliografi
1. Tood JK. Toxic shock syndrome. Dalam: Long SS, Pickering LK,
Prober CG, penyunting. Principles and practice of pediatric
infectious disease. Edisi ke-2. New York: Chuchill Livingstone.
2003. hlm. 99–102.

423
TETANUS
Etiologi
Clostridium tetani (gram-positif)

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 2–14 hr (sampai beberapa bl sesudah mengalami luka)
Tabel 97 Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus
Derajat Manifestasi Klinis
I Ringan Trismus ringan sampai sedang; spastisitas
umum tanpa spasme atau gangguan
pernapasan; tanpa disfagia atau disfagia
ringan
II Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme
ringan sampai sedang dalam waktu singkat;
laju napas >30x/mnt; disfagia ringan
III Berat Trismus berat; spastisitas umum; kejangnya
lama; laju napas >40×/mnt; laju nadi
>120×/mnt, apneic spell, disfagia berat
IV Sangat Derajat III + gangguan sistem autonom
berat termasuk kardiovaskular
Hipertensi berat dan takikardia yang dapat
diselang-seling dengan hipotensi relatif dan
bradikardia, serta salah satu keadaan tersebut
dapat menetap

Diagnosis
Anamnesis
Riwayat luka yang terkontaminasi (luka septik): trauma, luka bakar,
injeksi i.m., pembedahan, pemotongan, dan perawatan tali pusat,
serta ditemukan ulser, gangren, gigitan ular yang nekrotik, dan
infeksi telinga tengah
Riwayat tidak diimunisasi tetanus atau imunisasi tetanus tidak
lengkap
Pemeriksaan Fisis
Gejala awal tetanus diakibatkan tonus otot ↑, ditandai dengan
nyeri punggung, trismus, kekakuan otot, mengeluh disfagia (80%)
Bila trismus dan disfagia, lakukan tes spatula (sensitivitas 94% dan
spesifisitas 100%): dengan stimulasi spatula pada faring akan
memprovokasi spasme otot maseter sehingga penderita akan
menggigit spatula
Manifestasi klinis lain dapat dilihat pada Tabel 97

424
Tabel 98 Manajemen Tetanus
Eradikasi Bakteri Pembersihan Luka
Penyebab
Antibiotik Metronidazol 15–30 mg/kgBB/hr terbagi 3 dosis, (maks. 2 g/hr) selama 7–10 hr
Alternatif:
Penisilin G 100.000–250.000 IU/kgBB/hr i.v. atau i.m. terbagi 4, eritromisin, tetrasiklin,
kloramfenikol, dan klindamisin
Antitoksin Antitoksin kuda atau Human tetanus immune globulin (100–300 IU/kgBB i.m.)
netralisasi manusia Antitetanus serum (ATS) 50.000–100.000 IU, ½ i.m. dan ½ i.v. (terlebih dahulu dilakukan
terhadap luka tes kulit)
Terapi suportif Kontrol spasme otot Diazepam (i.v. bolus) 0,1–0,3 mg/kgBB/kali i.v. tiap 2–4 jam
selama fase akut Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari
Dalam keadaan berat  diazepam drip 20 mg/kgBB/hr dirawat di PICU
425

Dosis pemeliharaan 8 mg/kgBB/hr p.o. dibagi dalam 6–8 dosis


Midazolam (i.v. infus/bolus)
Pemeliharaan jalan Trakeostomi
napas
Pemeliharaan Penggantian volume yang cukup
hemodinamik
Bila terjadi aktivitas simpatis berlebihan diberikan beta bloker seperti propanolol atau
α dan β bloker labetolol
Rehabilitasi Nutrisi
Fisioterapi
Imunisasi Terapi primer penuh
dari tetanus toksoid
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk mendiagnosis tetanus
tidak ada, oleh karena itu diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis:
trismus, disfagia, rigiditas muskular, dan atau spasme
Mungkin leukositosis sedang dan LCS dalam batas normal
Manajemen
Pengelolaan tetanus mencakup: 1) penanganan kejang, 2) prevensi
penyulit gangguan napas dan metabolik, 3) netralisasi toksin untuk
mencegah penyebaran, dan 4) eliminasi mikroorganisme
Prognosis
Menentukan prognosis tetanus menurut sistem skoring Bleck
Tabel 99 Sistem Skoring Bleck
Sistem Skoring 1 0
Masa inkubasi <7 hr ≥7 hr
Awitan penyakit <48 jam ≥48 jam
Tempat masuk Luka bakar, luka operasi, Selain tempat
bagian dari fraktur, aborsi tersebut
septik, tali pusat, atau
penyuntikan i.m.
Spasme (+) (−)
Suhu
Aksilar >38,4 °C ≤38,4 °C
Rektal >40 °C ≤40 °C
Takikardia dengan (+) (−)
frekuensi >120×/mnt
(pada neonatus
>150×/mnt)
Tetanus umum (+) (−)
Adiksi narkotik (+) (−)

Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis, seperti


diuraikan berikut ini:
Skor 0–1: derajat ringan dengan tingkat mortalitas <10%
Skor 2–3: derajat sedang dengan tingkat mortalitas 10–20%
Skor 4 : derajat berat dengan tingkat mortalitas 20–40%
Skor 5–6: derajat sangat berat dengan tingkat mortalitas >50%
Tetanus sefalik selalu merupakan derajat berat atau sangat berat
Tetanus neonatorum selalu merupakan derajat sangat berat

Bibliografi
1. Arnon SS. Tetanus (Clostridium tetani). Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011. hlm. 991–4.

426
2. Brook I. Clostridium tetani (tetanus). Dalam: Long SS, Pickering
LK, Prober CG, penyunting. Pediatric infectious diseases. Edisi
ke-3. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2008. hlm. 956–9.
3. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and
prevention of vaccine preventable diseases. Edisi ke-12 [diunduh
21 Januari 2012]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/nip/
publications/pink/dip.pdf.

427
TETANUS NEONATORUM
Manifestasi Klinis
Terjadi pada usia 3–14 hr
Bayi rewel
Kesulitan menyusu
Mulut mencucut/trismus
Otot-otot mengalami kekakuan
Kejang
Tatalaksana
Perawatan oleh Divisi Neonatologi
Pasang jalur i.v. dan beri cairan dengan rumatan
Berikan diazepam 10 mg/kgBB/hr i.v. dalam 24 jam atau bolus i.v.
setiap 3 jam (0,5 mL/kali pemberian), maks. 40 mg/kgBB/hr
Jika jalur i.v. tidak terpasang, berikan diazepam melalui rektum
Jika frekuensi napas <20×/mnt, obat dihentikan, meskipun bayi masih
mengalami spasme
Jika bayi mengalami henti napas selama spasme atau sianosis sentral
sesudah spasme, berikan oksigen dengan kecepatan aliran sedang
Jika belum bernapas spontan lakukan resusitasi dan jika belum
berhasil dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas NICU
Jika ada, beri human tetanus immunoglobulin 500 IU i.v. atau tetanus
antitoksin 5.000 IU i.m.
Tetanus toksoid 0,5 mL i.m. diberikan pada tempat yang berbeda
dengan tempat pemberian antitoksin
Penisilin prokain 50.000 IU/kgBB/hr i.m. dosis tunggal atau
metronidazol i.v. selama 10 hr (lihat Tabel 100)
Jika terjadi kemerahan dan atau pembengkakan pada kulit sekitar
pangkal tali pusat, atau keluar nanah dari permukaan tali pusat, atau
bau busuk dari area tali pusat, berikan pengobatan untuk infeksi lokal
tali pusat

Bibliografi
1. World Health Organization. Pelayanan kesehatan anak di rumah
sakit. Pedoman bagi rumah sakit rujukan pertama di kabupaten/
kota. Jakarta: WHO Indonesia; 2009.

428
Tabel 100 Dosis Metronidazol yang Digunakan untuk Bayi Baru Lahir dan BBLR
Dosis Berat Badan Bayi (kg)
(mg/kgBB) Bentuk
1–<1,5 1,5–<2 2–<2,5 2,5–<3 3–<3,5 3,5–<4 4–4,5
Dosis awal: Infus 3–4,5 mL 4,5–6 mL 6–7,5 mL 7,5–9 mL 9–10,5 mL 10,5–12 mL 12–13,5 mL
i.v. 15 500 mg/100 mL
Dosis 1,5–2,25 mL 2,5–3 mL 3–3,7 mL 3,7–4,5 mL 4,5–5 mL 5–6 mL 6–7 mL
rumatan:
i.v. 7,5
Dosis Sirup 0,3–0,4 mL 0,4–0,6 mL 0,6–0,75 mL 0,75–0,9 mL 0,9–1 mL 1–1,2 mL 1,2–1,35 mL
rumatan: 125 mg/5 mL
429

oral 7,5
PERTUSIS
Etiologi
Bordetella pertussis, B. bronchiseptica, B. parapertussis, dan B.
holmesii

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 3–12 hr
Terbagi atas 3 stadium:
1. Stadium kataral (1–2 mgg)
Gejala klinisnya minimal dengan/tanpa demam, rinorea, anorek-
sia, frekuensi batuk ↑
2. Stadium paroksismal (26 mgg)
Karakteristik (paling nyata pada usia 6 bl–5 th): batuk paroksis-
mal dicetuskan oleh pemberian makan (bayi) dan aktivitas; fase
inspiratori batuk atau batuk rejan (inspiratory whooping); post-
tussive vomiting
Dapat pula dijumpai: muka merah atau sianosis, mata menonjol,
lidah menjulur, lakrimasi, hipersalivasi, distensi vena leher
selama serangan, apatis, BB ↓, perdarahan subkonjungtiva
3. Stadium konvalesens (≥2 mgg)
Gejala akan berkurang dalam beberapa mgg s.d. beberapa bl,
dapat terjadi petekia pada kepala/leher, perdarahan konjung-
tiva, dan terdengar crackles difus
Bayi <6 bl sering dihubungkan dengan timbulnya muntah sampai
timbul dehidrasi
Hipoksia terlihat lebih berbahaya dibandingkan dengan dugaan
gambaran klinis
Penderita dengan gambaran sianosis dan apneic spell, tanpa
whoop
Diagnosis
Penderita sering terlambat didiagnosis, mungkin datang dengan
keluhan sesak, bukan batuk whooping, dan didiagnosis awal sebagai
pneumonia
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Kontak dengan penderita pertusis dan belum diimunisasi/imunisasi
tidak adekuat
Laboratorium
Leukositosis (15.000–100.000/mm3) dengan limfositosis absolut
Didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin pertusis)
Foto Rontgen toraks: infiltrat perihiler atau edema, atelektasis,
atau empiema
Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme pada apus
nasofaring (bahan media Bordet-Gengou)

430
Klasifikasi (CDC)
Probable: sesuai batasan kasus klinis dan tidak terkait dengan
konfirmasi laboratorium
Confirmed: batuk (+) dan kultur (+); atau
sesuai batasan kasus klinis dan PCR (+); atau
sesuai batasan kasus klinis dan terkait dengan index
case yang sudah confirmed

Diagnosis Banding
Pertusis-like syndrome yang disebabkan oleh:
M. pneumoniae, C. pneumoniae, Parainfluenzae virus, Influenzae
virus, Enterovirus, RSV, Adenovirus

Tabel 101 Bentuk Tipikal Pertusis: Perubahan Gejala, Sensitivitas


terhadap Metode Diagnostik, dan Pengaruh Terapi
Antibiotik

Fase Kataral Fase Fase


Variasi (1–2 mgg) Paroksismal Konvalesens
(2–6 mgg) (≥2 mgg)
Gejala
Batuk ++ +++ ++
Batuk paroksismal −/+ +++ −/+
Batuk rejan − +++ −/+
Muntah − +++ −/+
Sianosis − +++ −
Apnea − +++ −
Tes sensitivitas
Kultur ++ −/+ −
PCR ++ ++ −
Serologi −/+ ++ ++
Pengaruh terapi antibiotik
Gejala berkurang ++ −/+ −

Penyulit
Infeksi sekunder: pneumonia (demam, takipnea, distres napas,
neutrofilia), dan otitis media
Apnea Perdarahan:
Atelektasis Epistaksis, melena, subkonjungtiva,
Ruptur alveoli hematoma, epidural, intrakranial
Emfisema Meningoensefalitis, ensefalopati,
Bronkiektasi koma
Pneumotoraks Dehidrasi dan gangguan nutrisi
Ruptur diafragma Hernia umbilikalis/inguinalis, prolaps
Kejang rekti

431
Manajemen
Indikasi Rawat Inap
Usia <3 bl; usia 3–6 bl dengan gejala paroksismal berat; bayi
prematur, dengan kelainan jantung, paru, otot, atau neurologis;
usia berapa pun dengan penyulit
Suportif umum (oksigenasi, terapi napas, ventilasi mekanik) jika
dibutuhkan
Bayi harus hati-hati diobservasi untuk apnea, sianosis, atau hipoksia
Penderita harus diisolasi dari individu tersangka (terutama bayi)
selama 4 mgg, terutama sampai 5–7 hr pemberian antibiotik selesai
Ketika penderita batuk paroksismal, gambaran klinis tidak berkurang,
tetapi transmisi berkurang sesudah terapi 5 hr
Studi pemberian kortikosteroid, albuterol, dan β-2-adrenergik lainnya
terhadap pertusis belum mencukupi
Penilaian mengenai kondisi penderita: apnea atau sianotik spel atau
hipoksia dan dehidrasi sedang-berat
Terapi antibiotik
Tujuan farmakoterapi untuk menghilangkan infeksi, mengurangi
morbiditas, dan mencegah penyulit (lihat Tabel 102)

432
Tabel 102 Rekomendasi Pemberian Antimikrob dan Profilaksis Pascapajanan Pertusis

Usia Antimikrob/Profilaksis yang Direkomendasikan Alternatif


Eritromisin Azitromisin Klaritromisin TMP-SMX
<1 bl − 10 mg/kgBB/hr dosis Tidak Kontraindikasi untuk usia <2 bl
tunggal selama 5 hr1 direkomendasikan
1–5 bl 4050 mg/kgBB/hr s.d.a. 15 mg/kgBB/hr Usia >2 bl: TMP 8 mg/kgBB/hr;
terbagi 4 dosis terbagi 2 dosis SMX 40 mg/kgBB/hr
selama 14 hr selama 7 hr terbagi 2 dosis selama 14 hr
≥6 bl s.d.a. (maks. 2 g/hr) 10 mg/kgBB dosis s.d.a. s.d.a.
tunggal pada hr ke-1 (maks.
500 mg); kemudian 5
433

mg/kgBB/hr dosis tunggal


pada hr ke-2–5 (maks. 250
mg/hr)
Remaja 2 g/hr terbagi 4 500 mg dosis tunggal pada 1 g/hr terbagi TMP 300 mg/kgBB/hr;
dosis selama 14 hr hr ke-1, kemudian 250 mg 2 dosis selama 7 hr SMX 1.600 mg/kgBB/hr
dosis tunggal pada hr terbagi 2 dosis selama 14 hr
ke-2–5
TMP: trimetoprim; SMX: sulfametoksazol
1
Eritromisin tidak direkomendasikan untuk usia <1 bl karena berisiko terjadi stenosis pilorus hipertrofi idiopatik
Pencegahan
Penularan melalui droplet
Pemberian dosis dan jenis antibiotik profilaksis tercantum pada
Tabel 102, apabila individu terpapar dalam 21 hr onset penderita
pertusis yang belum diberi terapi antibiotik
Isolasi penderita sampai 5 hr sesudah pemberian terapi antibiotik
Pemberian vaksinasi pada individu yang terpapar
Prognosis
Mortalitas terutama karena kerusakan otak (ensefalopati),
pneumonia, dan penyulit paru lain
Pada anak besar → prognosisnya baik
Dapat timbul sekuele berupa wheezing selama kehidupan dewasa
Bibliografi
1. Center for Disease Control and Prevention. Pertussis (whooping
cough): surveillance & reporting. 2010. [diunduh 11 Mei 2012].
Tersedia dari: www.cdc.gov/pertussis/surv-reporting.html.
2. Center for Disease Control and Prevention. Recommended
antimicrobial agents for treatment and postexposure prophylaxis
of pertussis. 2005. [diunduh 11 Mei 2012]. Tersedia dari:
www.cdc.gov/mmwr/html.
3. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and
prevention of vaccine preventabel diseases. Edisi ke-12 [diunduh
21 Januari 2012]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/nip/
publications/pink/dip.pdf.
4. Cherry JD, Heininger U. Pertussis and other bordetella infections.
Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric
infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co;
2009. hlm. 1683–98.
5. Long SS. Pertussis (Bordetella pertussis and Bordetella
parapertussis). Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW,
Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
hlm. 944–8.

434
MENINGITIS BAKTERIALIS
Batasan
Peradangan meningen yang disertai bukti terdapat bakteri dalam
likuor serebrospinal (LSS)
Meningitis bakterialis bentuk atipik adalah meningitis bakterialis
dengan kelainan LSS yang min. sehingga sulit dibedakan dengan
meningitis aseptik, dapat ditemukan pada anak yang mendapat
terapi antibiotik (meningitis during antibiotic therapy/meningitis
bacterialis partial treatment), stadium awal meningitis bakterialis,
atau karena terdapat proteksi parsial dari imunisasi Haemophilus
influenzae type B
Meningitis bakterialis rekrudesens adalah munculnya kembali tanda
atau gejala klinis meningitis bakterialis dalam masa pengobatan yang
sebelumnya memberikan respons yang baik. Meningitis bakterialis
relaps adalah munculnya kembali tanda dan gejala meningitis
bakterialis dalam 3 mgg sesudah penghentian pengobatan.
Meningitis bakterialis rekurens/berulang adalah episode baru dari
meningitis bakterialis yang terjadi sesudah melewati masa
penyembuhan meningitis bakterialis sebelumnya, penyebab dapat
bakteri yang sama atau berbeda dari bakteri penyebab meningitis
bakterialis sebelumnya
Etiologi
Tabel 103 Penyebab Tersering Meningitis Bakterialis
Usia Penyebab Tersering
<1 bl E. coli, Streptokokus grup B, L. monocytogenes
1–3 bl E. coli, Streptokokus grup B, L. monocytogenes,
H. influenzae type b, S. pneumoniae
3 bl–18 th H. influenzae, N. meningitidis, S. pneumoniae

Manifestasi Klinis
Bervariasi bergantung pada usia, lama sakit sebelum berobat, dan
daya tahan penderita
Neonatus: gejala mungkin minimal dan menyerupai sepsis, seperti
malas minum, letargi, distres pernapasan, ikterus, muntah, diare,
hipotermia, kejang (40% kasus), ubun-ubun besar menonjol (33,3%
kasus). Tanda rangsang meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak
ditemukan pada anak <2 th
Anak lebih besar: dapat timbul akut atau insidious, berupa demam,
kejang, mual-muntah, anoreksia, sakit kepala, nyeri punggung,
fotofobi, kaku kuduk, serta tanda gangguan status mental seperti
gelisah, letargi, dan kesadaran ↓
Manifestasi klinis lain: defisit neurologik fokal, edema otak, paralisis
saraf kranial, syok septik, artritis septik, dll.

435
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Bergantung pada gejala yang timbul sesuai usia. Diagnosis definitif
dengan pemeriksaan pungsi lumbal
Pemeriksaan Penunjang
Analisis LSS
Warna keruh. Protein ↑
Jumlah sel leukosit dan hitung jenis
Jumlah sel leukosit pada usia >3 bl adalah 6/mm3 dan tidak
mengandung PMN. Pada meningitis 3
bakterialis terjadi
pleiositosis, biasanya >1.000/mm dengan predominasi PMN.
Pada bentuk atipik, pleiositosis biasanya <1.000/mm3
Absolut neutrophyl
−2
count
3
(ANC): bila jumlah leukosit LCS x %
PMN LCS x 10 /mm hasilnya >1 berarti sangat mendukung
kemungkinan meningitis bakterialis
Kadar glukosa LSS: terjadi hipoglikorazia (kadar gula LSS
rendah); pada kebanyakan kasus rasio kadar gula LSS: gula
darah <0,40 (normal ± 66% kadar gula darah)3
Kadar protein: kadar protein ↑ >200 mg/mm (100–500 mg/mm3)
Preparat langsung (pewarnaan gram)
Bila dilakukan dengan baik, hasil pemeriksaan konsisten
dengan hasil biakan
Pewarnaan dengan tinta india dipertimbangkan bila
kriptokokus diduga sebagai penyebab meningitis bakterialis
pada anak defisiensi sistem imun
Biakan
LSS harus dibiakkan dalam media agar, agar darah, agar
coklat, media Fildes, atau media Leventhal. Karena pemerik-
saan biakan memerlukan waktu maka diagnosis sangat
bergantung pada analisis hasil pemeriksaan sebelumnya di
atas
PCR
Rapid diagnostic test: untuk menilai infeksi bakteri secara cepat,
misalnya counter current immunoelectrophoresis (CIE), tes
aglutinasi lateks (B-III), ELISA, dsb.
CRP: untuk membedakan apakah penyebab meningitis adalah
bakteri atau virus
Pencitraan
Foto Rontgen toraks, tulang tengkorak, sinus, tulang belakang
CT-scan dilakukan atas indikasi
Manajemen
Analisis yang tepat dan segera dari pemeriksaan klinis dan temuan
dari pemeriksaan LSS merupakan hal yang krusial dalam pengelolaan
penderita
Antibiotik segera diberikan sesudah diagnosis meningitis bakterialis
ditegakkan

436
437
438
Gambar 43 Alur Manajemen Meningitis Bakterialis
Sumber: NICE Clinical Guidelines 2010

Suportif
Memantau tanda vital setiap 15 mnt sampai keadaan umum stabil,
sesudah itu setiap jam untuk 1–2 hr. Suhu tubuh diukur setiap
4 jam
Evaluasi pemeriksaan neurologik harus dilakukan setiap hr
BB ditimbang setiap hr
Lingkar kepala diukur setiap hr untuk usia <18 bl
Pada saat masuk penderita dipuasakan agar tidak muntah dan
aspirasi
Pemberian cairan mengandung Na dan Cl 40 mEq/L, K 35 mEq/L,
dan 20 mEq/L laktat atau asetat; dibatasi 1.000–1.200 mL/m2/24
jam apabila penderita tidak syok atau dehidrasi untuk hari
pertama. Apabila BB stabil dan konsentrasi Na normal
2
(140 mEq/L)
diberikan cairan rumatan 1.500–1.700 mL/m /24 jam. Catat
masukan dan keluaran cairan
Bila terjadi tekanan tinggi intrakranial: peninggian kepala 30°,
manitol (0,5 g) selama 30 mnt, deksametason 10–12 mg/m2/hr
terbagi dalam 4 dosis tidak lebih dari 4 atau 5 hr
Antikonvulsan bila kejang
Dukungan gizi melalui nasogastrik
Bibliografi
1. Feigin RD, Cutrer WB. Bacterial meningitis beyond the neonatal
period. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of
pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB
Saunders Co; 2009. hlm. 439–72.
2. McCracken GH, Lloreus XS. Acute bacterial meningitis beyond
the neonatal period. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia:
WB Saunders Co; 2008. hlm. 284–90.

439
3. NICE clinical guidelines. Bacterial meningitis and meningococcal
septicaemia: management of bacterial meningitis and
meningococcal septicaemia in children and young people
younger than 16 years in primary and secondary care. London:
National Institute for Health and Clinical Excellence; 2010.

440
DEMAM SKARLET (SKARLATINA)
Etiologi
Streptococcus beta haemolyticus group A
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Anamnesis
Bersifat akut disertai demam, muntah, nyeri kepala, sakit menelan,
menggigil
Pemeriksaan Fisis
Faring dengan/tanpa pembesaran tonsil, hiperemis, sering ditandai
dengan detritus dan eksudat. Ditemukan petekie di daerah
palatum mole (Forchheimer spot)
Tonsilofaringitis berat, terdapat eksudat
White strawberry tongue pada permulaan penyakit yang berubah
menjadi red strawberry tongue beberapa hari kemudian
Ruam ↑ 24–48 jam sesudah onset gejala, berwarna merah, berupa
pungtata atau papula (fine sandpaper rash), memucat pada
penekanan, mula-mula pada ketiak sekitar leher dalam menyebar
ke dada dan ekstremitas
Pada penyakit berat, ruam berupa vesikula kecil (miliaria sudamina)
Ruam diakhiri dengan deskuamasi
Dapat terjadi sesudah infeksi luka, luka bakar, atau infeksi kulit
karena streptokokus
Laboratorium
Leukositosis
Titer ASLO (ASTO) ↑
LED ↑
CRP dapat (+)
Biakan apus tenggorok: Streptococcus beta haemolyticus group A
Manajemen
Mengurangi gejala dan mencegah penyulit
Antibiotik
Pilihan pertama:
Penisilin V, 125–250 mg/kali, 3 ×/hr p.o. selama 10 hr
Long-acting benzathine penicillin G 600.000 i.m. dosis tunggal
Keadaan berat → pemberian i.v. dosis dapat sampai 400.000
IU/kgBB/hr
Pilihan kedua:
Eritromisin: 20–40 mg/kgBB/hr p.o. selama 10 hr
Linkomisin: 40 mg/kgBB/hr p.o.
Klindamisin: 30 mg/kgBB/hr p.o.
Sefadroksil monohidrat: 15 mg/kgBB/hr p.o.
Bibliografi
1. Cherry JD. Cutaneous manifestations of systemic infections.
Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric
infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co;
2009. hlm.755–80.
441
ANTRAKS
Etiologi
Bacillus antracis

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 2 mgg s.d. beberapa mgg
Antraks Kutan
Lesi kulit tersebar di kepala dan leher (52%), batang tubuh (28%),
dan ekstremitas (20%). Pada anak dengan usia lebih tua, lesi
tersebar di kepala dan leher (70%), batang tubuh (16%), serta
ekstremitas (14%)
Lesi berupa papula pruritik yang tidak nyeri → vesikel serosa atau
seroanguinus yang dikelilingi oleh jaringan edema (vesikel
berbentuk satelit pearly wreath dapat terlihat). Lesi mengalami
nekrosis sentral dengan meninggalkan jaringan parut berwarna
hitam Ø 1–3 cm, berbatas tegas
Malignant edema menggambarkan lesi berat pada kepala dan
leher. Dapat meyebabkan toksisitas sistemik dan obstruksi saluran
respiratori
Demam (39–40 °C)
Antraks Inhalasi
Bersifat bifasik
Stadium awal: malaise, demam ringan, mialgia, dan batuk kering
Stadium kedua: dispnea, stridor
Antraks Gastrointestinal
Ulkus mulut, orofaring bagian posterior, tonsil, dan esofagus yang
ditutupi oleh pseudomembran
Demam, nyeri tenggorok, dan pembengkakan leher
Pembesaran getah bening leher, disfagia, dan kesulitan bernapas
Stadium awal: demam, nausea, anoreksia, muntah, dan nyeri perut
disertai nyeri lepas
Melena
Laparotomi eksplorasi → kelenjar mesenterik berwarna kemerah-
an dan cairan asites kecoklatan
Meningitis
Berkaitan dengan kelainan kulit
Onset tiba-tiba dengan gejala berat
Nyeri kepala, mual, muntah, mialgia, menggigil, pusing, dan ruam
petekia
Kesadaran ↓, kejang, dan koma
Diagnosis
Anamnesis
Sesuai dengan kategori manifestasi klinis

442
Pemeriksaan Fisis
Sesuai manifestasi klinis
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin: leukositosis pada antraks kutaneus 20.000–
30.000/mm33 dan pada antraks meningitis dapat hingga 60.000-
80.000/mm
Serologi: direct fluorescent antibody, PCR, dan IgG anti-B. anthracis
(ELISA)
Pungsi lumbal: gross haemorrhage, leukositosis dengan dominasi
PMN, protein ↑, kadar glukosa ↓, dan ditemukan batang gram-
positif
Kultur: ditemukan pada 5% antraks kutan. Ditemukan kuman pada
cairan vesikel dan eksudat pada lesi kulit atau cairan pleura darah
dan CSS.
Leukositosis (60.000–80.000 sel/mm3)
Nilai hematokrit ↑
Albumin dan natrium serum ↓
Kultur darah
Foto polos abdomen
Dinding usus edema, distribusi udara ↓
Pungsi lumbal
Perdarahan mikroskopis
Leukositosis (dominasi PMN)
Protein ↑
Glukosa ↓
Batang gram-positif
Rontgen toraks/CT-scan toraks
Ruang mediastinum melebar dengan batas kabur
Mediastinitis hemoragika
Efusi pleura (kadang mengandung darah)
Infiltrat paru
CT-scan kepala
Perdarahan multipel di ventrikel, ruang subaraknoid, dan
substansia kelabu
PCR
ELISA
Manajamen
Jika organisme terbukti sensitif terhadap penisilin → penisilin
300.000–400.000 IU/kgBB/hr i.v. atau 50.000 IU/kgBB/hr p.o.
diberikan selama 60 hr
Antraks inhalasi dan antraks kutan dengan gejala: 1) toksisitas
sistemik, 2) lesi pada kepala dan leher, 3) edema yang luas:
Siprofloksasin 10–15 mg/kgBB tiap 12 jam i.v. (maks. 1 g/hr)
Antraks kutan ringan → siprofloksasin dosis sama p.o. atau
doksisiklin 100 mg tiap 12 jam (untuk anak >8 th dan BB >45 kg)
atau 2,2 mg/kgBB tiap 12 jam (anak ≤8 th dan BB ≤45 kg)
Steroid sistemik

443
Terapi suportif:
Keseimbangan cairan dan elektrolit
Intubasi endotrakeal
Perawatan luka lokal
Bibliografi
1. Edwards MS. Anthrax. Dalam: Feigin RD, Cherry J, Demmler-
Harrison GJ, Kaplan SL, penyunting. Textbook of pediatric
infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2009. hlm. 1403–6.

444
LEPRA
Etiologi
Mycobacterium leprae

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 3–5 th (3 bl–20 th)
Lepra Indeterminat
Makula tunggal atau multipel, batas tidak tegas, hipopigmentasi,
dan eritematosus
Lepra Tuberkuloid
Lesi hipopigmentasi ukuran bervariasi yang terdistribusi asimetris
berbentuk makula atau papula atau infiltrat, batasnya tegas dari
kulit normal di sekitarnya
Lesi tuberkuloid dapat sembuh spontan, bagian tengahnya meng-
alami repigmentasi atau atrofi
Gangguan sensorik berupa gangguan dalam mekanisme ber-
keringat, rambut rontok, dan hipoestesia
Saraf kutan dapat teraba yaitu di bagian ulnar (dari olekranon
sampai pertengahan lengan, poplitea bagian lateral (distal dari
bagian atas fibula), tibia bagian posterior (medial dari lutut)
Lepra Borderline
Sering disebut dimorphous atau intermediate leprosy, memiliki
bentuk seperti tipe tuberkuloid dan tipe lepra
Terdapat beberapa tipe yaitu tuberkuloid borderline, borderline,
dan lepromatous borderline
Pada tuberkuloid borderline jumlah lesi lebih banyak dibandingkan
dengan lepra tipe tuberkuloid dengan batas kurang tegas
Lesi berbentuk satelit ukuran kecil dapat terbentuk di sekitar
makula dan plak berukuran besar
Lesi dapat berupa infiltrat nodular atau plak dengan ukuran
bervariasi
Lepra Lepromatous
Bentuk awal bermanifestasi sebagai juvenile leprosy atau disebut
juga pre-lepromatous leprosy, sulit dideteksi karena tekstur kulit
hanya sedikit mengalami perubahan
Lesi berupa makula ukuran kecil hipopigmentasi dengan sedikit
kemerahan yang lama-kelamaan akan bersatu membentuk makula
menutupi area tubuh yang cukup luas, saraf kutan mengalami
pembesaran, serta hilangnya sensorik di tangan dan kaki
Lesi biasanya di bagian tubuh dengan suhu lebih dingin seperti di
daun telinga dan wajah. Alis menipis dan rontok mulai dari sisi
lateral

445
Bentuk anergi yang difus disebut Lucio leprosy yang tidak dapat
diketahui sampai terjadi kerusakan sensorik pada tangan dan kaki,
serta alis mata dan rambut di bagian tubuh lain mulai menghilang.
Bentuk ini disertai dengan fenomena Lusio, ditandai dengan
vaskulitis obstruktif di kulit dengan infark kulit dan ulkus ireguler
Lepra Neuritik
Anestesi, paresis hilangnya massa otot di daerah yang terkena
Saraf kutan mengalami pembesaran disertai nyeri dengan kon-
sistensi keras

Diagnosis
Anamnesis
Riwayat kontak dengan penderita lepra
Kehilangan sensorik, kerusakan pada tangan yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya
Pemeriksaan Fisis
Lesi kulit hipoestetik, pembesaran saraf perifer
Pemeriksaan Penunjang
Tes fungsi sensorik (sentuhan ringan, rasa panas dan dingin)
Ditemukan batang tahan asam pada apusan kulit. Apusan kulit
diambil dari tepi makula, plak atau nodul, daun telinga, dan
mukosa hidung
ELISA
Gelatin particle agglutination test untuk antibodi terhadap PGL-1
dari M. leprae

Manajemen
Terdapat tiga agen kemoterapi untuk lepra yaitu dapson, klofazimin,
dan rifampin
Rejimen untuk penderita tipe pausibasiler (intermediet, tuberkuloid,
dan tuberkuloid borderline)
Untuk dewasa, rifampin 600 mg/bl + dapson 100 mg/hr selama
6 bl, kemudian terapi dihentikan
Rejimen untuk penderita tipe multibasiler (lepromatous, lepro-
matous borderline, dan borderline)
Untuk dewasa, rifampin 600 mg/bl + dapson 100 mg/hr +
klofazimin 50 mg/hr
Jika penderita memiliki kepatuhan berobat yang kurang baik,
rifampin dan klofazimin 300 mg/bl harus diberikan di bawah
pengawasan di samping klofazimin 50 mg/hr
Jika efek samping hiperpigmentasi muncul akibat pemberian
klofazimin, protionamid atau etionamid 250–375 mg dapat
diberikan atau rifampin 600 mg + ofloksasin 400 mg + minosiklin
100 mg (ROM) 1 bl 1 kali
Obat ini diberikan selama 2 th

446
Tabel 104 Dosis Terapi Lepra pada Anak
Berat Badan (kg) Persentase dari Dosis Dewasa
<15 25
15–30 50
30–45 75
>45 100

Konsultasi
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Bibliografi
1. Meyers WM, Walsh DS. Leprosy and buruli ulcer: the major
cutaneous mycobacterioses. Dalam: Feigin RD, Cherry J,
Demmler-Harrison GJ, Kaplan SL, penyunting. Textbook of
pediatric infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2009. hlm. 1479–92.

447
ARTRITIS SEPTIK
Etiologi
Berdasarkan usia:
Neonatus–2 bl: Staphylococcus aureus, Enterobakteria, Strepto-
kokus grup B
2 bl–5 th: Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae tipe B,
Streptokokus grup A, Streptococcus pneumoniae
>5 th: Staphylococcus aureus dan Streptokokus grup A
Manifestasi Klinis
Artritis bersifat akut menyerang satu sendi dengan eritema, hangat
pada perabaan, bengkak dan rasa nyeri pada pergerakan pasif.
Pseudoparalisis → rasa nyeri hebat hingga anggota tubuh yang
terkena tidak dapat digerakkan
Demam, anoreksia, irritable
Diagnosis
Anamnesis
Sesuai manifestasi klinis
Pemeriksaan Fisis
Artritis pada satu sendi
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin: leukositosis dengan predominan neutrofil, laju endap
darah dan C-reactive protein ↑
Biakan: cairan sendi → 70% (+)
darah → 40–50%
Pencitraan: USG sendi → cairan dalam rongga sendi
bone scan, CT-scan, MRI → efusi, pembengkakan
jaringan lunak, abses
Analisis cairan sendi: warna3
keruh atau berawan, jumlah leukosit
sangat tinggi >50.000/mm predominansi PMN >75% serta ditemu-
kan kuman pada apus gram
Manajemen
Antibiotik

448
Tabel 105 Jenis Antibiotik Empiris untuk Pengobatan Artritis Septik

Usia/Keadaan Dugaan Kuman Penyebab Pilihan Jenis


Antibiotik
Neonatus Grup B Streptokokus, Kloksasilin +
Staphylococcus aureus, gentamisin*
enterobakteria gram-negatif
Bayi (1–3 bl) Streptokokus spp., Sefuroksim atau
Staphylococcus spp., Hib, sama sefotaksim*
dengan neonatus
Anak S. aureus, S. pneumoniae, Sefazolin*
Streptokokus grup A
Remaja Sama dengan anak, Neisseria Seftriakson atau
gonorrhoeae Sefiksim +
azitromisin*
Sickle cell disease Sama dengan anak, juga Sefotaksim*
Salmonella spp.
Luka tusuk Sama dengan anak, juga Piperasilin +
Pseudomonas spp. gentamisin*
* Di daerah dengan prevalensi CA-MRSA tinggi harus dipertimbangkan
vankomisin sebagai antibiotik empiris

Deksametason dosis rendah selama 4 hr → mengurangi sekuele dan


memperpendek gejala pada artritis septik yang bersifat hematogen
Bedah → drainase
Bibliografi
1. Krogstad P. Septic arthritis. Dalam: Feigin RD, Cherry JD,
Demmler-Harrison GL, Kaplan SL, penyunting. Textbook of
pediatric infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2009. hlm. 742–7.

449
OSTEOMIELITIS
Etiologi
Terutama disebabkan oleh Staphylococcus aureus

Manifestasi Klinis
Fase bakteremia: malaise, demam ringan sampai dengan demam
tinggi (40 °C). Berat ringan gejala pada stadium ini bergantung pada
usia anak dan bakteri penyebab
Nyeri tekan dan nyeri terlokalisasi pada ekstremitas yang terkena
(biasanya ekstremitas bawah), kelemahan ringan
Diagnosis
Anamnesis
Demam
Keterbatasan gerak pada tulang yang terkena
Pemeriksaan Fisis
Ekstremitas yang terkena edema dan teraba hangat
Perkusi pada tulang panjang yang terkena jauh dari lesi akan →
nyeri pada daerah lesi
Pemeriksaan Penunjang
Leukositosis
C-reactive protein (CRP) ↑ atau laju endap darah ↑
Pewarnaan gram dari aspirasi tulang
Kultur dari eksudat subperiosteal atau cairan sendi (merupakan
diagnosis bakteriologis pada 66–76% kasus) dan kultur darah
(positif pada 36–74% penderita dengan pemeriksaan serial
sebanyak 3×)
Analisis histopatologis spesimen yang diambil dengan pembe-
dahan
Foto polos ekstremitas
Stadium I: terjadi 3 hr sesudah onset gejala
pembengkakan jaringan lunak yang terlokalisasi di
daerah metafisis
Stadium II: terjadi 3–7 hr sesudah onset gejala
pembengkakan otot
Sesudah 10–21 hr tampak destruksi tulang berupa resorbsi
subperiosteal dan pembentukan tulang baru di daerah
periosteum
MRI
CT-scan
Manajemen
Suportif: imobilisasi
Medikamentosa
Terapi empiris:
Nafsilin atau oksasilin 150–200 mg/kgBB/hr dibagi 4 dosis
Sefuroksim

450
Vankomisin atau klindamisin (MRSA)
Bila terdapat kecurigaan infeksi H. influenzae, tambahkan
seftriakson atau sefotaksim pada terapi empiris (vankomisin,
klindamisin, oksasilin atau nafsilin)
Salmonela: kloramfenikol atau sefalosporin generasi ke-3
P. aeruginosa: seftazidim atau aminoglikosida
Infeksi anaerob: klindamisin
Tabel 106 Dosis Antibiotik Inisial untuk Terapi Oral pada
Osteomielitis

Antibiotik Dosis Interval di Antara


(mg/kgBB/hr) Dosis (jam)
Amoksisilin 100 6
Sefaleksin 150 6
Kloramfenikol 75 8
Klindamisin 40 8
Kloksasilin 125 6
Dikloksasilin 100 6
Penisilin V 125 4

Bedah
Drainase dan debridemen
Bibliografi
1. Krogstad P. Osteomyelitis. Dalam: Feigin RD, Cherry J, Demmler-
Harrison GJ, Kaplan SL, penyunting. Textbook of pediatric
infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2009. hlm. 725–31.

451
FEBRILE NEUTROPENIA
Demam
Dalam konteks neutropenia, demam didefinisikan sebagai suhu oral
≥38,3 °C dalam satu kali pengukuran atau suhu selalu ≥38 °C dalam 1
jam atau pada 2× pengukuran dengan interval min. 12 jam
Neutropenia
Jumlah neutrofil <500 sel/mm3 atau
3
<1.000 sel/mm3 dengan kecende-
rungan turun menuju 500 sel/mm dalam 2 hr berikutnya
Derajat Faktor Risiko
1. Kelompok risiko tinggi → penderita dengan kriteria mengalami
neutropenia yang memanjang (>7 hr) serta neutropenia berat
(absolute neutrophil count/ANC ≤100 sel/mm 3) sesudah pemberian
kemoterapi dan atau disertai penyakit penyerta seperti hipotensi,
pneumonia, nyeri abdomen akut, atau gangguan neurologis
2. Kelompok risiko rendah → penderita dengan kriteria mengalami
neutropenia (≤7 hr) tanpa atau disertai penyakit penyerta
Tatalaksana

Gambar 44 Tatalaksana Awal Demam dan Neutropenia


452
Gambar 45 Penilaian Ulang Sesudah 2–4 Hari Pemberian Antibiotik
Menghentikan Pemberian Terapi Antibiotik Empiris
Penghentian pengobatan perlu dipertimbangkan bila ada perbaikan
secara klinis, biakan darah (−), tidak demam selama min. 24 jam serta
terdapat bukti perbaikan sumsum tulang, kadar ANC ≥100/uL dapat
menjadi patokan untuk penghentian terapi
Bibliografi
1. Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA, Boeckh MJ, Ito JI, Mullen CA,
dkk. Clinical practice guideline for the use of antimicrobial agents
in neutropenic patients with cancer: 2010 update by the
Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2011;
52(4):e56–93.

453
EBOLA VIRUS DISEASE
Etiologi
Ebola virus disease (EVD) terdiri atas 5 spesies yaitu Bundibugyo
ebolavirus, Coite d’Ivoire ebolavirus (CIEBOV), Sudan ebolavirus
(SEBOV), Reston ebolavirus (REBOV), dan Zaire ebolavirus (ZEBOV).
Virus Ebola (EBOV) merupakan virus negative-sense single stranded
RNA berbentuk heliks yang beramplop lipid, bagian dari kelompok
famili Filoviridae
Transmisi
Ebola virus disease merupakan penyakit zoonotik yang ditransmisikan
ke manusia melalui kontak langsung dengan binatang yang sakit,
yang mungkin terinfeksi dari binatang lain. Virus dapat menyebar
melalui daging yang terinfeksi, buah terinfeksi, kontak langsung
dengan binatang atau manusia yang terinfeksi, hubungan seksual,
kotoran atau urin terinfeksi, darah dan alat kesehatan, serta kontak
dengan jenazah penderita Ebola
Gejala Klinis
Muncul 8–10 hr sesudah paparan (rata-rata 4–10 hr dan bervariasi
2–21 hr). Tanda awal biasanya tidak spesifik, seperti demam,
menggigil, nyeri otot, dan lemah. Demam, anoreksia, dan kelemahan
merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan. Penderita dapat
mengalami ruam makulopapular kemerahan pada hari ke-5–7
(biasanya tampak di wajah, leher, dan batang tubuh) yang dapat
mengalami deskuamasi. Perdarahan tidak selalu terjadi, namun dapat
bermanifestasi lebih lanjut berupa petekia, ekimosis/memar, atau
oozing dari tempat penusukan vena, serta perdarahan mukosa.
Perdarahan yang jelas jarang ditemukan. Wanita hamil dapat
mengalami abortus spontan
Penderita dengan penyakit berat dapat mengalami tanda penyulit
berat hari ke-6–16, antara lain gagal multiorgan dan syok septik
Pemeriksaan Penunjang
Leukopenia sering disertai limfopenia dan 3neutrofil ↑ (shift to the
left). Trombositopenia 50.000–100.000/mm
Amilase dapat ↑
Transaminase ↑ dengan kadar aspartate aminotransferase (AST)
lebih tinggi daripada alanine aminotranferase (ALT)
Proteinuria dapat ditemui
Terjadi pemanjangan prothrombin (PT) dan partial thromboplastin
times (PTT)
Produk degradasi fibrin ↑, konsisten dengan KID
Konfirmasi infeksi virus Ebola:
1. Mengukur respons imun spesifik pejamu: ELISA IgM dan IgG
direk, serta ELISA IgM capture
2. Deteksi partikel atau komponen virus dari individu yang
terinfeksi

454
Tabel 107 Prosedur Uji Diagnostik Infeksi Virus Ebola
Uji Target Bahan Pemeriksaan
Polymerase chain reaction (PCR) Asam nukleat Darah, serum, jaringan
virus
Antigen ELISA Antigen virus Darah, serum, jaringan
Imunohistokimia Antigen virus Jaringan (misalnya
kulit, hati)
Fluorescence assay (FA) Antigen virus Jaringan (misalnya
hati)
Mikroskop elektron Partikel virus Darah, jaringan
Indirect immunoflorescence assay Antibodi spesifik Serum
(IFA) virus
Enzyme linked immunosorbent Antibodi spesifik Serum
assay (ELISA) virus
Immuno blot (Westernblot) Antibodi spesifik Serum
virus
Isolasi virus Partikel virus Darah, jaringan

Definisi Kasus EVD


Kasus EVD
1. Orang dalam investigasi (person under investigation/PUI)
Orang yang memiliki gejala dan faktor risiko sebagai berikut:
Kriteria klnis: demam >38,6 °C atau 101,5 °F dan tambahan
gejala seperti nyeri kepala hebat, nyeri otot, muntah, diare,
nyeri abdomen, atau perdarahan tanpa sebab yang jelas,
disertai
Faktor risiko epidemiologi dalam 21 hr sebelum onset gejala,
pernah kontak dengan darah atau cairan tubuh lain dari
penderita atau yang dicurigai menderita EVD; tinggal di
dalam atau berkunjung ke daerah transmisi EVD aktif; atau
kontak langsung dengan kelelawar atau primata selain
manusia dari daerah endemik
2. Kasus probable
Orang dalam investigasi yang memiliki faktor risiko epide-
miologi termasuk paparan risiko tinggi atau rendah (keterangan
di bawah)
3. Kasus confirmed
Kasus dengan bukti laboratorium yang confirmed untuk infeksi
virus Ebola
Tingkat Risiko Paparan
1. Paparan risiko tinggi
Paparan perkutaneus (misalnya jarum suntik) atau membran
mukosa terhadap darah atau cairan tubuh penderita EVD
Kontak kulit langsung dengan atau paparan pada darah atau
cairan tubuh penderita EVD tanpa menggunakan alat
perlindungan diri (APD)
Memproses darah atau cairan darah penderita yang confirmed
EVD tanpa APD atau persiapan standar keamanan

455
Kontak langsung dengan jenazah tanpa APD yang sesuai di
negara yang mengalami outbreak EVD
2. Paparan risiko rendah
Serumah dengan penderita EVD
Kontak erat lain di fasilitas kesehatan atau masyarakat
Kontak erat didefinisikan sebagai berada dalam jarak 1 m
dari penderita EVD atau dalam satu kamar atau daerah
perawatan pada waktu yang lama (misalnya tenaga
kesehatan, anggota keluarga yang tinggal serumah) tanpa
memakai APD yang dianjurkan (misalnya pencegahan kontak
dan droplet standar)
Kontak langsung yang singkat dengan penderita EVD tanpa
memakai APD yang dianjurkan
Interaksi singkat, misalnya orang yang berjalan atau berpapasan
di rumah sakit, tidak termasuk kontak erat
3. Tidak terpapar
Berada di negara yang mengalami outbreak EVD dalam 21 hr
terakhir dan tidak mengalami paparan risiko rendah maupun
tinggi

Diagnosis Banding
Hemorragic fever akibat Arenaviridae (Lassa, Junin, dan Machupo
fever), Bunyaviridae (Crimean-Congo haemorrhagic fever, Rift Valley
fever, Hantaan haemorrhagic fever), Filoviridae (Marburg),
Flaviviridae (yellow fever, infeksi virus dengue, Kyasanur forest
disease), dan hemorrhagic shock and encephalopathy syndrome
(HSES)
Tatalaksana
Simtomatik: pemberian cairan i.v. dan menjaga keseimbangan
elektrolit, menjaga status oksigenasi dan tekanan darah penderita,
serta mengobati infeksi sekunder jika terjadi
Pencegahan
Menggunakan pakaian protektif (seperti masker, sarung tangan,
gown, dan kacamata goggles), melakukan kontrol infeksi (seperti alat
sterilisasi komplet dan penggunaan disinfektan secara rutin),
mengisolasi penderita Ebola dari kontak dengan orang yang tidak
terlindungi. Jika penderita Ebola meninggal, kontak langsung dengan
jenazah harus dihindari
Prognosis
Survival rate yang dilaporkan adalah 52%.2Centers for Disease Control
and Prevention melaporkan bahwa angka kematian behubungan
dengan spesies Ebola. Angka kematian tertinggi terjadi pada EVD
akibat Zaire ebolavirus, diikuti oleh Sudan ebolavirus dan Bundibugyo
ebolavirus. Reston ebolavirus dan Taï Forest ebolavirus belum pernah
dilaporkan menyebabkan kematian

456
Bibliografi
1. Centers for Disease Control and Prevention. Ebola virus disease
information for clinicians in U.S. healthcare settings [diunduh 20
September 2014]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/vhf/ebola/
hcp/clinician-information-us-healthcare-settings.html.
2. Dixon MG, Schaver IJ. Ebola viral disease outbreak — West
Africa, 2014. MMWR. 2014;63(25):548–51.
3. Geisbert TW, Hensley LE. Ebola virus: new insights into disease
aetiopathology and possible therapeutic interventions. Expert
Rev Mol Med. 2004;6(20):1–24.
4. Grolla A, Lucht A, Dick D, Strong JE, Feldmann H. Laboratory
diagnosis of Ebola and Marburg hemorrhagic fever. Bull Soc
Pathol Exot. 2005;98(3):205–9.
5. Leroy E, Harrison GJ. Filoviral hemorrhagic fever: Marburg and
Ebola virus fevers. Dalam: Cherry JD, Harrison GJ, Kaplan SL,
Steinbach WJ, Hotez PJ, penyunting. Fiegin & Cherry’s textbook
of pediatric infectious diseases. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012. hlm. 2478–86.
6. World Health Organization. Ebola virus disease [diunduh 20
September 2014]. Tersedia dari: http://www.who.int/
mediacentre/factsheets/fs103/en/.
7. World Heath Organization. Interim infection prevention and
control guidance for care of patients with suspected or
confirmed filovirus haemorrhagic fever in health-care settings,
with focus on Ebola. September 2014 [diunduh 20 September
2014]. Tersedia dari: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/
130596/1/WHO_HIS_SDS_2014.4_eng.pdf?ua=1.

457
SEPSIS
Definisi
Tahun 2001 the International Sepsis Definitions Conference
mengeluarkan definisi sepsis yang digunakan sampai saat ini seperti
tercantum pada Tabel 108
Tabel 108 Definisi SIRS, Infeksi, Sepsis, Sepsis Berat, dan Syok
Septik
SIRS
Terdapat paling sedikit 2 dari 4 kriteria, antara lain 1 harus berupa
abnormalitas suhu atau hitung leukosit
Suhu perifer >38,5 °C atau <36 °C
Takikardia, didefinisikan sebagai denyut jantung rata-rata >2 SD di atas
nilai normal sesuai usia tanpa pengaruh luar, pengobatan lama, rangsang
nyeri; atau kenaikan menetap yang tidak dapat dijelaskan selama 0,5–4
jam atau pada anak <1 th: bradikardia adalah nilai denyut jantung rata-
rata < persentil 10 sesuai usia tanpa rangsang vagal, obat β-blocker, atau
penyakit jantung kongenital; atau penurunan menetap yang tidak dapat
dijelaskan selama 0,5 jam
Frekuensi napas rata-rata >2 SD di atas nilai normal sesuai usia atau
menggunakan ventilasi mekanik untuk suatu proses akut yang tidak
berhubungan dengan penyakit neuromuskular akut atau mendapat
anestesi umum
Hitung leukosit ↑ atau ↓ sesuai usia (tidak karena pengaruh kemoterapi)
atau >10% neutrofil imatur
Infeksi
Kecurigaan atau terdapat bukti infeksi (dengan kultur (+), pewarnaan
jaringan, atau tes polymerase chain reaction (PCR) disebabkan suatu
patogen ATAU
Sindrom klinis yang berhubungan dengan risiko tinggi infeksi. Bukti infeksi
termasuk pemeriksaan klinis, pencitraan, atau tes laboratorium, misalnya
sel darah putih atau cairan tubuh steril, perforated viscus, Rontgen dada
konsisten pneumonia, ruam petekia atau purpura, atau purpura fulminans
Sepsis
SIRS ditambah dengan persangkaan atau bukti suatu infeksi
Sepsis berat
Sepsis ditambah dengan 1 dari berikut:
Disfungsi kardiovaskular ATAU
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) ATAU
≥2 disfungsi organ lainnya seperti yang tercantum pada Tabel 109
Syok septik
Sepsis dan disfungsi organ kardiovaskular seperti didefinisikan pada Tabel
109
Sumber: Goldstein dkk. 2005

Kriteria disfungsi dari masing-masing organ dapat dilihat pada Tabel


109 di bawah ini

458
Tabel 109 Kriteria Disfungsi Organ
Kkardiovaskular
Meskipun pemberian bolus cairan i.v. ≥40 mL/kgBB dalam 1 jam
Tekanan darah ↓ (hipotensi) <5 persentil untuk usia atau tekanan sistol <2
SD di bawah normal untuk usia
ATAU
Perlu obat vasoaktif untuk memelihara tekanan darah dalam range normal
(dopamin >5 µg/kgBB/menit atau dobitamin, epinefrin, atau norepinefrin
pada setiap dosis)
Dua dari berikut:
Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan: base deficit >5,0 mEq/L
Laktat arteri ↑ >2× limit atas normal
Oliguria: output urin <0,5 mL/kg/jam
Capillary refill memanjang >5 detik
Perbedaan suhu core dan perifer >3 °C
Respiratori
PaO2/FiO2<300 pada penderita yang tidak ada penyakit jantung sianotik atau
penyakit paru sebelumnya
ATAU
PaCO2>65 torr atau 20 mm Hg di atas baseline PaCO2
ATAU
Terbukti memerlukan oksigen atau >50% FiO2 untuk memelihara saturasi >92%
ATAU
Perlu ventilasi invasif nonelektif atau ventilasi mekanik noninvasif
Neurologis
Glasgow coma score <11
ATAU
Perubahan akut status mental dan GCS>3 poin ↓ dari baseline normal
Hematologis
3
Jumlah trombosit <80.000/mm atau 50% jumlah trombosit ↓ dari nilai
paling tinggi sesudah 3 hr (untuk penderita hematologi kronik/onkologi)
ATAU
International normalized ratio >2
Renal
Kreatinin serum ≥2× limit atas normal menurut usia atau 2× ↑ dari baseline
kreatinin
Hepar
Bilirubin total ≥4 mg/dL (tidak dapat dipakai pada bayi baru lahir/ newborn)
Alanine transminase 2× limit atas normal untuk usia
Sumber: Goldstein dkk. 2005

Tahun 2012 Surviving Sepsis Campaign mengeluarkan panduan


international manajemen sepsis berat dan syok septik yang di
dalamnya terdapat kriteria diagnosis sepsis seperti tercantum dalam
Tabel 110

459
Tabel 110 Kriteria Diagnosis Sepsis
Infeksi, terbukti atau diduga, dengan terdapat gejala sebagai berikut:
Variabel umum
Demam (>38,3 °C)
Hipotermia (suhu inti <36 °C)
Denyut jantung >90×/mnt atau >2 SD di atas nilai normal sesuai usia
Takipnea
Status mental yang terganggu
Edema yang signifikan atau positive fluid balance (>20 mL/kgBB
dalam 24 jam)
Hiperglikemia (glukosa plasma >140 mg/dL atau 7,7 mmol/L) tanpa
terdapat gejala diabetes
Variabel inflamasi
Leukositosis (WBC count >12.000 µL-1)
Leukopenia (WBC count <4.000 µL-1)
Nilai WBC normal dengan jumlah sel imatur >10%
C-reactive protein >2 SD nilai normal
Procalcitonin plasma >2 SD nilai normal
Variabel hemodinamik
Hipotensi arterial (SBP <90 mm Hg, MAP <70 mm Hg, atau SBP ↓
>40 mm Hg pada dewasa atau <2 SD di bawah normal sesuai usia)
Variabel disfungsi organ
Hipoksemia arterial (Pao2/Fio2<300)
Oliguria akut (output urin <0,5 mL/kgBB/jam selama min. 2 jam
walaupun sudah diberikan resusitasi cairan yang adekuat)
Kreatinin ↑ >0,5 mg/dL atau 44,2 µmol/L
Abnormalitas koagulasi (INR>1,5 atau aPTT>60 detik)
Ileus (bising usus (−))
Trombositopenia (trombosit <100.000 µL-1)
Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma >4 mg/dL atau 70 µmol/L)
Varibel perfusi jaringan
Hiperlaktatemia (>1 mmol/L)
Capillary refill atau mottling ↓
WBC=white blood cell; SBP=systolic blood pressure; MAP=mean arterial
pressure; INR=international normalized ratio; aPTT=activated partial
tromboplastin time
Sumber: Dellinger dkk. 2013

Kriteria diagnosis sepsis pada penderita pediatri yaitu terdapat tanda


dan gejala klinis inflamasi dengan infeksi disertai hiper atau
hipotermia (temperatur rektal >38,5 °C atau <35 °C), takikardia (pada
penderita hipotermia dapat tidak ditemukan), dan terdapat min. satu
dari tanda gangguan fungsi organ: perubahan status mental,
hipoksemia, laktat serum ↑, bounding pulse
Tatalaksana
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management
of Severe Sepsis and Septic Shock sudah menyediakan revisi terbaru
tahun 2012 untuk membantu klinisi dalam menangani penderita
sepsis berat dan syok septik, di dalamnya terdapat beberapa
rekomendasi pemberian resusitasi awal dan penanganan masalah
infeksi yang dapat dilihat pada Tabel 111 di bawah ini
460
Tabel 111 Rekomendasi: Resusitasi Awal dan Masalah Infeksi
Resusitasi awal
Tujuan yang diharapkan dalam 6 jam awal resusitasi:
Tekanan vena sentral 8−12 mmHg
Mean arterial pressure (MAP) ≥65 mmHg
Output urin ≥0,5 mL/kgBB/jam
Vena sentral (vena kava superior) atau mixed venous oxygen saturation
70% atau 65% (Grade 1C)
Penderita dengan laktat ↑ target resusitasi adalah nilai laktat yang normal
(Grade 2C)
Skrining untuk sepsis dan peningkatan performa
Skrining rutin pada penderita sakit berat yang berpotensi menjadi sepsis
berat sehingga dapat dilakukan terapi sedini-dininya (Grade 1C)
Meningkatkan usaha rumah sakit untuk menangani penderita sepsis berat
Diagnosis
Kultur dilakukan sebelum terapi antibiotik. Paling sedikit pengambilan 2 set
kultur (aerob dan anaerob) dengan satu diambil perkutan dan 1 diambil
dari masing-masing alat akses vaskular (kecuali bila <48 jam) (Grade 1C)
Penggunaan 1,3 beta D-glucan assay, mannan dan anti-mannan antibody
assay, jika tersedia dan candidiasis invasif adalah diferensial diagnosis
penyebab infeksi
Pemeriksaan radiologis cepat dilakukan untuk menentukan sumber infeksi
potensial.
Terapi antibiotik
Tujuan terapi yaitu pemberian antibiotik i.v. yang efektif dalam 1 jam
sesudah syok sepsis dan sepsis berat tanpa syok septik terdiagnosis (Grade
1C)
Pemberian antibiotik awal secara empiris dengan obat-obatan yang
memiliki aktivitas terhadap patogen yang mungkin menyebabkan sepsis
dan dapat berpenetrasi pada konsentrasi yang cukup ke dalam jaringan
yang menjadi sumber infeksi) (Grade 1B)
Regimen antibiotik harus dinilai setiap hr untuk melihat kemungkinan
deskalasi (Grade 1B)
Penggunaan nilai procalcitonin atau biomarker lainnya untuk membantu
klinisi menghentikan antibiotik empiris pada penderita yang awalnya
tampak sepsis, akan tetapi tidak didapatkan bukti infeksi (Grade 2C)
Pemberian kombinasi terapi antibiotik empiris pada penderita sepsis berat
(Grade 2B) dengan neutropenia dan multidrug resisten seperti
Acinetobacter dan Pseudomonas spp. pada penderita dengan infeksi berat
yang mengalami gagal napas dan syok septik, terapi kombinasi extended
spectrum beta-lactam dengan aminoglikosida atau fluorokuinolon untuk
P. aeruginosa bakteremia. kombinasi beta-laktam dan makrolid untuk
penderita dengan syok septik akibat infeksi Streptococcus pneumoniae
(Grade 2B)
Terapi empiris kombinasi jangan diberikan >3−5 hr. Deskalasi menjadi terapi
tunggal harus dilakukan segera sesudah kuman penyebab diketahui (Grade
2B)
Durasi terapi 7−10 hr; pemberian lebih lama dapat dilakukan pada penderita
yang respons klinis lambat, fokus infeksi yang sulit, bakteremia oleh
S. aureus; infeksi fungal dan virus, atau defisiensi imun termasuk
neutropenia (Grade 2C)
Terapi antiviral diberikan seawal-awalnya pada penderita sepsis berat atau
syok septik karena virus (Grade 2C)
Antibiotik tidak digunakan pada penderita dengan keadaan inflamasi berat
yang terbukti tidak disebabkan oleh infeksi

461
Kontrol sumber infeksi
Diagnosis anatomi spesifik dari infeksi memerlukan penanganan segera
dalam 12 jam sesudah ditentukan diagnosis (Grade 1C)
Sumber infeksi potensial yang diindentifikasi berasal dari nekrosis
peripankreatik, intervensi ditunda sampai pemisahan antara jaringan yang
viable dan nonviable terjadi (Grade 2B)
Penderita sepsis berat yang memerlukan intervensi pembedahan, dipilih
tindakan yang lebih noninvasif (contoh drainage percutaneous dibanding-
kan dengan drainage surgical pada abses)
Sumber infeksi yang berasal dari akses intravaskular, dilakukan penghentian
segera sesudah didapatkan akses vaskular baru
Pencegahan infeksi
Dekontaminasi oral dan saluran cerna harus dilakukan sebagai cara
menurunkan insidensi ventilator-associated pneumonia (Grade 2B)
Chlorhexidine gluconate oral dapat digunakan sebagai dekontaminasi
orofaring untuk menurunkan risiko ventilator-assocated pneumonia pada
penderita ICU dengan sepsis berat (Grade 2B).
Sumber: Dellinger dkk. 2013

Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management


of Severe Sepsis and Septik Shock juga merekomendasikan target
tatalaksana yang sudah harus dilaksanakan dalam jangka waktu
tertentu yang dapat dilihat pada Tabel 112 di bawah ini

Tabel 112 Surviving Sepsis Campaign Bundles


Tercapai dalam 3 jam
Pengukuran kadar laktat serum
Pengambilan kultur darah sebelum pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik broad spectrum
Pemberian cairan kristaloid 30 mL/kgBB untuk hipotensi atau kadar laktat
≥4 mmol/L
Tercapai dalam 6 jam
Pemberian vasopressors (untuk hipotensi yang tidak berespons terhadap
resusitasi cairan) untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP) ≥65
mmHg
Pada keadaan hipotensi arterial persisten walaupun sudah dilakukan
resusitasi volume (syok septik) atau laktat initial ≥4 mmol/L (36 mg/dL):
Ukur central venous pressure (CVP)*
Ukur central venous oxygen saturation (Scvo2)*
Nilai ulang kadar laktat apabila kadar laktat initial ↑*
* Target resusitasi meliputi CVP ≥8 mmHg, Scvo 2 of ≥70%, dan nilai laktat
yang normal
Sumber: Dellinger dkk. 2013

462
Antibiotik pada Sepsis
Tabel 113 Pilihan Antimikrob untuk Terapi Empirik pada Bayi dan
Anak Tersangka Sepsis
Kelompok Usia atau Terapi Empiris
Keadaan Klinis
Neonatus dengan infeksi vertikal Ampisilin + aminoglikosida atau
sefotaksim
Neonatus dengan infeksi Vankomisin + aminoglikosida atau
nosokomial seftazidim
Anak Sefotaksim atau seftriakson ±
vankomisin
Anak dengan infeksi nosokomial Vankomisin + antibiotik yang aktif
terhadap bakteri gram-negatif
resisten dalam suatu institusi,
seperti aminoglikosida,
antipseudomonas penicillin atau
karbapenem: pertimbangkan untuk
menambah amfoterisin B
Grup A Streptokokus invasif Penisilin (atau penisilin semisintetik)
+ klindamisin
Herpes simpleks atau varicella- Asiklovir
zoster virus di daerah endemis Pertimbangkan untuk menambahkan
doksisiklin dalam regimen
sebelumnya
Sumber: Guzman-Cottrill dkk. 2008

Prognosis
Perjalanan sepsis bergantung pada faktor dalam tubuh dan infeksi
yang mendasari. Sejak tahun 2001 dibuat penggolongan sepsis
berdasarkan faktor-faktor tersebut dan disusun berupa skor yang
disebut predisposition, insult, response, organ dysfuntion (PIRO).
Walaupun dibuat berdasarkan kondisi penderita dewasa, tetapi
secara umum dapat memberikan gambaran hasil akhir sepsis
berdasarkan faktor-faktor dalam tubuh yang mendasari. Skor PIRO
dapat digunakan untuk memperkirakan derajat berat suatu sepsis
sampai risiko kematian, sementara pada anak terdapat pediatric risk
of mortality (PRISM) scoring system. Faktor predisposisi sepsis terdiri
atas usia, penyakit paru kronik, penyakit hati, perawatan di rumah,
dan keganasan dengan atau tanpa metastasis. Monitoring respons
imunologik yang tepat pada penderita sepsis dapat menjadi petunjuk
terhadap pendekatan yang lebih ditargetkan pada imunomodulasi

Bibliografi
1. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM,
dkk. Surviving sepsis campaign: international guidelines for
management of severe sepsis and septik shock: 2012. Crit Care
Med. 2013;41(2):580–637.

463
2. Goldstein GB, Giroir B, Randolph A. International consensus on
pediatric sepsis. Internasional Pediatric Sepsis Consensus
Conference: Definition for Sepsis and Organ Dysfunction. Pediatr
Crit Care Med. 2005;6(1):2–8.
3. Guzman-Cottrill J, Nadel S, Goldstein B. The systemic
inflammatory response syndrome (SIRS), sepsis, and septic
shock. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting.
Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke-3.
New York: Churchill Livingstone; 2008. hlm. 99–109.
4. Howell MD, Talmor D, Schuetz P, Hunziker S, Jones AE, Shapiro
NI. Proof of principle: the predisposition, infection, response,
organ failure sepsis staging system. Crit Care Med. 2011;39(2):
322–7.
5. Vincent J-L, Martinez EO, Silva E. Evolving concepts in sepsis
definitions. Crit Care Clin. 2009;25:665–75.

464
SEPSIS BAKTERIAL
Etiologi
Bergantung pada usia, status imunitas anak, jenis prosedur/
instrumentasi medik, dan tempat kejadian infeksi (nosokomial atau
bukan)
Neonatus
Escherichia coli
Staphylococcus aureus
Streptococcus group B
Listeria monocitogenes
Anak lebih besar
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus influenzae B
Neisseria meningitidis
Salmonella spp.
Staphylococcus aureus
Manifestasi Klinis
Bergantung pada usia, penyakit yang mendasari, lamanya sakit, serta
organisme penyebab
Anak usia 3 bl–3 th: demam, infeksi saluran respiratori akut bagian
atas atau bawah, atau tidak ditemukan fokus infeksi
Dapat diawali dengan demam, menggigil, mual, muntah, diare, dan
petekia
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat diare (Salmonella spp.) atau infeksi kulit (S. aureus atau
grup A streptokokus) sebelumnya
Riwayat pemasangan kateter (kokus gram-negatif dan batang
gram-negatif)
Riwayat pemakaian tampon pada perempuan yang baru saja
melewati periode menstruasi (toxic shock syndrome)
Riwayat osteomielitis dengan atau tanpa trombosis vena (sepsis
yang disebabkan oleh stafilokokus)
Infeksi intraabdomen (sepsis yang disebabkan oleh bakteri
anaerob)
Pemeriksaan Fisis (Bergantung pada Derajat Sepsis dan Penyakit
yang Mendasari)
Suhu >39–40 °C
Perubahan status mental
Hiperventilasi
Ektremitas lembap, sianosis (ujung-ujung ektremitas, hidung, dan
daun telinga), nadi lemah, takikardia, takipnea, hipotensi, dan
oligouria
Kulit teraba hangat dan nampak kemerahan
Tanda iritasi meningeal atau tekanan intrakranial ↑
Ronki

465
Distensi dan nyeri lepas abdomen
Nyeri lepas sudut kostovertebral
Petekia (N. meningitidis)
Purpura (N. meningitidis, S. pneumoniae, dan Hib)
Eritema gangrenosum (P. aeruginosa)
Lesi berbentuk bula, selulitis, fasitis, tromboflebitis, dan gangren
perifer yang simetris dengan koagulasi intravaskular diseminata
(sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram-negatif)
Pemeriksaan Penunjang
Leukositosis ( >15.000 sel/mm3)
Trombositopenia
Pemanjangan PT dan aPTT
Peningkatan LED >30 mm/jam, CRP, dan prokalsitonin
Hiponatremia, hipokalsemia
BUN dan kreatinin serum ↑
Analisis gas darah: asidosis metabolik
Asam laktat ↑
Hipoglikemia/hiperglikemia
Transaminase ↑
Urin rutin: osmolaritas, sel darah merah atau sel darah putih
dalam urin ↑
Kultur darah
Manajemen
Tabel 114 Regimen Antibiotik Empiris untuk Syok Septik pada Anak
Penyebab Antibiotik
Anak normal
Terdapat kelainan kulit Sefotaksim atau seftriakson +
(kemungkinan suatu vankomisin ± nafsilin
meningokoksemia atau trauma
kulit sebelumnya atau varisela)
Traktus genitourinarius Sefotaksim atau seftriakson +
aminoglikosid
Intraabdominal Klindamisin + gentamisin +
ampisilin atau
piperasilin/piperasilin tazobaktam
Anak imunokompromais
Keganasan atau imunodefisiensi Vankomisin + aminoglikosida +
atau neutropenia atau tikarsilin-klavulanat piperasilin-
pemakaian kateter vena sentral tazobaktam atau seftazidim
Asplenia atau disfungsi splenik Vankomisin + sefotaksim atau
seftriakson

466
Bibliografi
1. Goldstein B, Giroir B, Randolph A. International pediatric
sepsis consensus conference: definitions for sepsis and organ
dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005;6(1):2–8.
2. Kaplan SL, Vellejo JG. Bacteriemia and septic shock. Dalam: Feigin
RD, Cherry J, Demmler-Harrison G, Kaplan S, penyunting.
Textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-6.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 837–47.

467
TERAPI ANTIMIKROB
Pemberian antimikrob memerlukan pengetahuan mengenai: 1)
mekanisme kerja, 2) farmakokinetik dan farmakodinamik, 3) dosis,
serta 4) efek samping obat.
Langkah-langkah yang dilalui untuk menetapkan pemberian
antimikrob—sebagai contoh sebagaimana tertera pada Tabel 115—
yaitu:
1. Tegakkan diagnosis
2. Perhatikan usia dan kondisi saat ini
3. Pertimbangkan organisme yang umum ditemukan
4. Ketahui suseptibilitas organisme terhadap antibiotik
5. Lakukan kultur
6. Berikan terapi empiris berdasarkan pertimbangan di atas dan
pengalaman sebelumnya (contoh: pendapat ahli, literatur)
7. Modifikasi terapi berdasarkan hasil kultur dan respons
penderita
8. Pantau respons klinisnya
9. Terapi dihentikan
Tabel 115 Langkah-langkah Pemberian Antibiotik
Langkah Tindakan Contoh
1 Tegakkan diagnosis Artritis septik
2 Perhatikan usia dan Usia 2 th, sebelumnya sehat
kondisi saat ini
3 Pertimbangkan Staphylococcus aureus,
organisme yang umum Kingella kingae
ditemukan
4 Ketahui suseptibilitas Resisten terhadap penisilin atau
organisme terhadap ampisilin, frekuensi MRSA di
antibiotik komunitas
5 Lakukan kultur Darah, cairan sendi
6 Berikan terapi empirik Nafsilin dan sefotaksim; ganti
berdasarkan nafsilin dengan vankomisin bila
pertimbangan di atas dan penyakit memberat atau MRSA
pengalaman sebelumnya
(contoh: pendapat ahli,
literatur)
7 Modifikasi terapi Hasil isolasi: S. aureus. Hentikan
berdasarkan hasil kultur sefotaksim. Ganti nafsilin
dan respons penderita dengan vankomisin
8 Pantau respons klinisnya Lakukan pemeriksaan fisis
berkala
9 Terapi dihentikan Perbaikan klinis atau sembuh,
min. 3–4 mgg

468
Langkah ke-1: diagnosis klinis ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang awal
Langkah ke-2–4: mikroorganisme patogen diperkirakan melalui
tempat/organ tubuh yang terkena, usia penderita, status
kekebalannya, faktor risiko/kondisi yang mendasari, serta sumber
terjadinya penyakit (komunitas, rumah sakit, atau health-care
associated)
Langkah ke-5: kultur dilakukan terutama bila terjadi infeksi berat,
infeksi tidak umum terjadi, dan bila respons klinis tidak seperti yang
diharapkan
Tabel 116 Suseptibilitas Mikroorganisme Umum terhadap Berbagai
Antimikrob
Organisme Penggunaan Antibiotik Potensiala
Bakteri
Bakteri anaerobb Sefoksitinc, sefotetanc, klindamisin, ertapenem,
imipenem, meropenem, metronidazol, penisilin
dengan atau tanpa β-laktamase inhibitor,
tigesiklin
B. anthracis Amoksisilin, siprofloksasin, klindamisin,
doksisiklin, rifampin
Bartonella henselae Azitromisin, siprofloksasin, klaritromisin,
doksisiklin, eritromisin
B. pertussis Amoksisilin, azitromisin, klaritromisin,
eritromisin, trimetoprim sulfametoksazol
Borrelia burgdorferi Amoksisilin, sefuroksim, sefalosporin (III)h,
klaritromisin, doksisiklin
Campylobakter spp. Azitromisin, karbapenems, eritromisin,
fluorokuinolonc,f, tetrasiklin
Clostridium spp. Klindamisin, metronidazol, penisilin, tetrasiklin
C. difficile Basitrasin (PO), metronidazol, vankomisin (PO)
C. diphtheriae Klindamisin, eritromisin, penisilin
Enterobacteriaceae Aminiglikosid,e ampisilin, aztreonam, sefepim,
d

sefalosporin, ertopenem, imipenem,


meropenem, fluorokuinolonc,f, trimetoprim
sulfametoksazol, tigesiklin
Enterokokus Ampisilin (dengan aminoglikosid), karbapenem
(tidak E. faecium), vankomisin, linezolid,
quinupristin/dalfopristinc (hanya E. faecium),
tigesiklin
H. influenzae Amoksisilin/klavulanat, ampisilin (jika β
laktamase negatif), sefalosporin (II dan III)h,
kloramfenikol, fluorokuinolonc,f, rifampin,
trimetoprim sulfametoksazol

469
L. monocytogenes Ampisilin dengan aminoglikosid, trimetoprim
sulfametoksazol, vankomisin
Moraxella Amoksisilin/klavulanat,ampisilin (jika β
catarrhalis laktamase negatif), sefalosporin (II dan III),
eritromisin, fluorokuinolon, trimetoprim
sulfametoksazol
Neisseria Ampisilin (jika β laktamase negatif), sefalosporin
gonorrhoeae (II dan III), penisilin, flurokuinolon terpilih,
spektinomisin
Neisseria Ampisilin, sefalosporin (II dan III),
meningitidis fluorokuinolonc,f, penisilin, rifampin
Nocardia asteroides Tetrasiklin, trimetoprim sulfametoksazol
(+amikasin untuk infeksi berat); meropenem
atau sefalosporin (II)h untuk abses otak
Pasteurella Amoksisilin/klavulanat, ampisilin, penisilin,
multocida tetrasiklin
Pseudomonas Aminoglikoside, antipseudomonas penisilin,
aeruginosa aztreonam, sefepim, seftazidim, imipenem,
meropenem, siprofloksasin
Salmonella spp. Ampisilin, azitromisin, sefalosporin (III)h,
fluorokuinolon, trimetoprim sulfametoksazol
Shigella spp. Ampisilin, azitromisin, sefalosporin (III)h,
fluorokuinolon, tetrasiklin, trimetoprim
sulfametoksazol
Staphylococcus Antistafilokokus penisilin, sefepim, sefalosporin
aureus (I dan II) siprofloksasin, klindamisin, eritromisin,
rifampin, trimetoprim sulfametoksazol,
vankomisin
S. aureus (resisten Trimetoprim sulfametoksazol, vankomisin,
metisilin) linezolid, quinupristin/dalfopristin, klindamisin,
daptomisin, tigesiklin
CONS Sefalosporin (I dan II), klindamisin, rifampin,
vankomisin
Streptococci (pada Ampisilin, sefalosporin, klindamisin, diperkuat
umumnya) fluorokuinolon, eritromisin, meropenem,
penisilin, vankomisin
Streptococcus Ampisilin, sefalosporin, diperkuat
pneumoniae fluorokuinolon, eritromisin, meropenem,
penisilin, vankomisin
Organisme intermediat
Chlamydia spp. Klaritromisin, eritromisin, levofloksasin,
ofloksasin, tetrasiklin
Mycoplasma spp. Azitromisin, klaritromisin, eritromisin,
flurokuinolon, tetrasiklin
Rickettsia spp. Flurokuinolon, tetrasiklin

470
Jamur
Candida spp. Amfoterisin B, kaspofungin, flukonazol,
flusitosin, itrakonazol, ketokonazol, vorikonazol
Fungi, sistemikb Amfoterisin B, kaspofungin, flukonazol,
itrakonazol, ketokonazol, vorikonazol
Dermatofita Butenafin, siklopiroksolamin, klotrimazol,
ekonozol, flukonazol, griseofulvin, itrakonazol,
ketokonazol, mikonazol, naftifin, oksikonazol,
terbinafin
Pneumocystis Atovakuon, klindamisin + primakuin, dapson,
jiroveci pentamidin, trimetoprim sulfametoksazol
Virus
Herpes simpleks Asiklovir, pensiklovir, famsiklovir, foskarnetc,
trifluridini, valasiklovirc
Human 4 kelas: (1) nucleoside reverse
immunodeficiency transcriptaseinhibitor (9 obat); (2) non-
virus nucleoside reverse transcriptase inhibitor (3
obat); (3) protease inhibitors (9 obat); (4) fusion
inhibitors (1 obat) secara umum digunakan >3
obat
Influenza Amantadino, oseltamivir, rimantidin, zanamivir
RSV ribavirinm
Varicella-zoster Asiklovir, famsiklovir, valasiklovirc
virus
Cytomegalovirus Sidofovir, fomivireson, foskarnet, gansiklovir,
valgansiklovir
a
Sesuai urutan alfabet. Terapi diberikan sesuai: usia penderita, diagnosis,
tempat infeksi, derajat beratnya penyakit, suseptibilitas organisme penyebab,
b
dan risiko obat
c
Bergantung pada spesies
d
Belum direkomendasikan untuk anak (FDA)
Termasuk: E. coli, Klebsiella spp., Enterobacter spp., dll.; suseptibilitas ter-
e
hadap antimikrob selalu diperhitungkan
f
Amikasin, gentamisin, kanamisin, tobramisin
Termasuk siprofloksasin, levofloksasin, lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin,
g
moksifloksasin, gatifloksasin, gemifloksasin
h
Juga terdapat pada amoksisilin
i
Termasuk sefalosporin generasi ke-2 dan ke-3
j
Karbenisilin, mezlosilin, piperasilin, tikarsilin
k
Kloksasilin, dikloksasilin, metisilin, nafsilin, oksasilin
l
Apabila CONS juga masih sensitif terhadap metisilin atau oksasilin
Karena peningkatan strain resisten S. pneumoniae terhadap penisilin dan
sefalosporin, terapi untuk infeksi berat (seperti meningitis) harus mengguna-
m
kan vankomisin sampai keluar hasil kultur
n
Sudah direkomendasikan terapi aerosol untuk RSV (respiratory syncytial virus)
Termasuk levofloksasin, lomefloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin, gemi-
o
floksasin
Hanya untuk influenza A

471
Langkah ke-6: pemberian terapi empiris ditujukan langsung terhadap
etiologi penyakit dengan mempertimbangkan suseptibilitas
mikroorganisme terhadap antimikrob dan beratnya penyakit. Berikan
dahulu antimikrob yang memiliki spektrum luas. Gunakan prinsip
“4-J“: 1) jalan/rute pemberian (oral, parenteral); 2) jenisnya; 3)
jumlah/dosis; 4) jadwalnya

472
Tabel 117 Kelompok Antimikrob Secara Umum
Kelompok Contoh Organisme yang Suseptibel Organisme Umumnya Efek Samping
Resisten
Kelompok Penisilin
Penisilin Penisilin G, V Streptokokus, neisseria Stafilokokus, hemofilus, Kemerahan (rash),
enterobacteriaceae anafilaksis, demam
karena obat, supresi
sumsum tulang
Ampisilin Ampisilin, amoksisilin Sama seperti penisilin + Stafilokokus, entero- Diare
hemofilus bacteriaceae
(β-laktamase negatif),
Eschericia coli, enterokokus
473

Penisilin Kloksasilin, Streptokokus, Gram-negatif, stafilokokus Ginjal (nefritis


antistafilokokus dikloksasilin, metisilin, Staphylococcus aureus (koagulasi negatif), entero- intersisial)
nafsilin, oksasilin bacteriaceae
Penisilin anti- Azlosilin, piperasilin, Sama seperti ampisilin + Seperti ampisilin Mengurangi adesif
pseudomonas tikarsilin pseudomonas platelet, hipokalemia,
hipernatremia
Penisilin dan Amoksisilin-klavulanat, Spektrum luas Beberapa entero- Diare
β-laktamase ampisilin-sulbaktam, bacteriaceae, pseudomonas
kombinasi tikarsilin-klavulanat
inhibitor
Karbapenem Imipenem-silastatin Spektrum luas, batang gram- MRSAb, beberapa Susunan saraf pusat,
meropenem, negatif, anaerob, enterokoki kejang
ertapenem pseudomonas
Kelompok sefalosporin
Generasi I Sefazolin, sepfaleksin, Gram-positif Gram-negatif, enterokokus, Ruam, anafilaksis,
sefalotin, sefapirin, beberapa stafilokokus demam obat
sefradin (koagulase negatif)
Generasi II Sefaklor, sefamandol, Gram-positif, beberapa Enterokokus, pseudomonas, Serum sicknes (sefaklor)
sefprozil, sefonisid, hemofilus, beberapa beberapa stafilokokus
sefuroksim, lorakarbef enterobacteriaceae (koagulase negatif)
Sefoksitin, sefotetan Beberapa sebagai generasi
kedua + anaerob
Generasi III Sefotaksim, seftizoksim, Streptokokus, hemofilus, Pseudomonas, stafilokokus Biliary sludging
seftriakson, enterobacteriaceae, (seftriakson) ruam
474

sefpodoksim, neisseria
seftibuten, sefdinir
Seftazidim, sefepim = generasi ke-3 + Stafilokokus
(ada yang pseudomonas
mengelompokkan
dalam generasi IV)
Obat lainnya
Klindamisin Klindamisin Gram-positif, anaerob Gram-negatif, enterokokus, Mual, muntah,
MRSA hepatotoksisitas
Vankomisin Vankomisin Gram-positif Gram-negatif Sindrom red man, syok,
ototoksisitas,
nefrotoksik
Makrolid dan Eritromisin, Gram-positif bordetela, Gram-negatif Mual dan muntah
azilid klaritromisin, hemofilus, mikoplasma,
azitromisin klamidia, legionela
Monobaktam Aztreonam Gram-negatif aerob, Gram-positif kokus Ruam, diare
pseudomonas
Oksazolidinon Linezolid Gram-positif aerob Gram-negatif-aerob Diare, trombositopenia
Streptogamin Quinupristin/ Gram-positif-aerob Gram-negatif aerob Artralgia, mialgia
Dalfopristin
Fluorokuinolonc Siprofloksasin, Gram-negatif, klamidia, Enterokokus, streptokokus, Gastrointestinal (GI),
ofloksasin pseudomonas S.pneumoniae, anaerob, rash, SSP
475

(siprofloksasin) stafilokokus
Gatifloksasin, Gram-negatif, streptokokus, Beberapa entero- GI, ruam, SSP, hepatitis
levofloksasin, S. pneumoniae, stafilokokus, bacteriaceae berat
moksifloksasin anaerob
Tetrasiklin Klortetrasiklin, Anaerob, mikoplasma, Beberapa entero- Pewarnaan gigie, ruam,
tetrasiklin, doksisiklin, klamidia, riketsia, ehrlisia bacteriaceae, stafilokokus pertumbuhan berlebih
minosiklin flora, hepatotoksisitas,
psedotumor serebri
Sulfonamid Banyak Gram-negatif (urin) Gram-positif Ruam, ginjal, supresi
sumsum tulang,
sindrom Steven-
Johnson
Trimetoprim Trimetoprim S. aureus, gram-negatif, S. Streptokokus, Ruam, ginjal, supresi
sulfametoksazol sulfametoksazol pneumoniae, H. influenzae pseudomonas, anaerob sumsum tulang,
sindrom Stevens-
Johnson
Rifampin Rifampin Neisseria, hemofilus, Resisten berkembang Ruam, GI,
stafilokokus, streptokokus dengan cepat jika digunakan hepatotoksisitas, SSP,
sebagai agen tunggal supresi sumsum tulang,
memengaruhi
metabolisme obat lain
Aminoglikosid Amikasin, gentamisin, Gram-negatif, termasuk Gram-positif, anaerob, Nefrotoksisitas,
kanamisin, P. aeruginosa beberapa pseudomas ototoksisitas, potensial
streptomisin, menghambat agen
476

tobramisin neuromuskular
a
b
Tidak semua strain rentan, selalu menjalankan tes kerentanan antimikrob pada isolasi signifikan
c
MRSA = methicillin-resistant S. aureus
d
Tidak dianjurkan untuk anak
e
Hanya trovofloksasin
Dosis bergantung pada anak usia <9 th
Tabel 118 Rekomendasi Pemberian Antimikrob Parenteral Secara
Umum untuk Usia ≥1 Bulana
Rute Dosisb Dosis Harian Interval Eks-
(mg/kgBB/hr) Maksimum (Jam) kresi
Amikasin i.m., i.v. 15–22,5 1,5 g 8 R
Ampisilin i.m., i.v. 100–400 12 g 4–6 R
Aztreonam i.m., i.v. 90–120 6g 6–8 R
Sefazolin i.m., i.v. 50–100 6g 8 R
Sefepim i.m., i.v. 100–150 4–6 g 8–12 R
Sefotaksim i.m., i.v. 100–200 12 g 6–8 R
Sefoksitin i.m., i.v. 80–160 12 g 4–6 R
Seftazidim i.m., i.v. 100–150 6g 8 R
Seftizoksim i.m., i.v. 150–200 12 g 6–8 R
Seftriakson i.m., i.v. 50–100 4g 12–24 R
Sefuroksim i.m., i.v. 100–150 6g 6–8 R
sefalotin i.m., i.v. 75–125 12 g 4–6 R
Sefradin i.m., i.v. 50–100 8g 6 R
Klindamisin i.m., i.v. 25–40 4g 6–8 R, H
Gentamisin i.m., i.v. 3–7,5 300 mg 8 R
Linezolid i.v., p.o. 20 1,2 g 12 R
Meropenem i.v. 60–120 2g 8 R
Metronidazol i.v. 30 4g 6 H
Nafsilin i.m., i.v. 150 12 g 6 H
Penisilin G i.m., i.v. 100.000– 20.000.000IU 4–6 H, R
250.000
IU/kgBB
Penisilin G i.m. 50.000 2.400.000 IU Dosis Tidak
(benzatin) IU/kgBB tunggal ada
Penisilin G i.m. 25.000– 4.800.000 IU 12–24 R
(prokain) 50.000
IU/kgBB
Tetrasiklinf i.v. 20–30 2g 12 R
Tikarsilin i.v. 200–300 24 g 4–6 R
Tobramisin i.m., i.v. 3–6 300 mg 8 R
Vankomisin i.v. 40–60 2g 6 R
a
Belum termasuk antibiotik yang baru dikeluarkan
b
Dosis mungkin berbeda untuk rute alternatif, penderita dengan gagal ginjal
dan hati, serta tidak direkomendasikan untuk neonatus. Dosis maks. hanya
untuk infeksi berat atau pemberian parenteral
c
R: renal; H: hati
e
Keamanan dan efikasi belum diketahui untuk usia <2 bl
f
Hati-hati untuk usia <9 th karena mewarnai gigi bila dipakai berulang

477
Tabel 119 Rekomendasi Pemberian Antimikrob Oral Secara Umum
untuk Usia ≥1 Bulan
Agena Dosisb (mg/kgBB/hr) Interval Pertimbangan Lain
(Jam)
Amoksisilin 40 8–12 Efek samping
gastrointestinal
Amoksisilinc 80–90 12 Efek samping
(dosis tinggi) gastrointestinal
Amoksisilin 45 12 Efek samping
klavulanat gastrointestinal
Ampisilin 50 6 Efek samping
gastrointestinal
Azitromisin 10 (dosis pertama) 24 Efek samping
kemudian 5; 12 gastrointestinal
untuk faringitis
Sefaklor 40 8 Serum sickness-like
illness
Sefadroksil 30 12
Sefpodoksim 10 12 Rasa (suspensi)
Sefprozil 30 12 Efek samping
gastrointestinal
Seftibuten 9 24 Efek samping
gastrointestinal
Sefuroksim 30–40 12 Efek samping
gastrointestinal
Sefaleksin 25–50 6
Sefradin 25–50 6
Klaritromisin 15 12 Efek samping
gastrointestinal
Klindamisin 20-30 6 Efek samping
gastrointestinal
Kloksasilin 50-100 6 Efek samping
gastrointestinal
Dikloksasilin 12–25 6 Efek samping
gastrointestinal
Doksisiklind 2–4 12–24 Pewarnaan gigi <9 th
Eritromisin 20–50 6–12 Efek samping
gastrointestinal
Eritromisin- 40 (eritromisin) 6–8
sulfisoksazol
Furazolidon 5–8 6
Linezolid 20 12 Efek samping
gastrointestinal
Lorakarbef 15; 30 untuk otitis 12

478
Metronidazol 15–35 8
Nitrofurantoin 5–7 6
Oksasilin 50–100 6
Penisilin V 25–50 6 Gangguan rasa
(suspensi)
Rifampin 10–20 12–24
Sulfisoksazol 120–150 6
Tetrasiklind 25–50c 6 Pewarnaan gigi <9 th
Trimetoprim- 8–12 (TMP) 12 Sindrom Stevens-
sulfametok- Johnson
sazol
a
b
Belum termasuk antibiotik yang baru dikeluarkan
Dosis mungkin berbeda untuk rute alternatif, penderita dengan gagal ginjal
dan hati, serta tidak direkomendasikan untuk neonatus. Dosis maks. hanya
c
untuk infeksi berat atau pemberian parenteral
Amoksisilin dosis tinggi diberikan untuk otitis media karena S. pneumoniae
d
yang resisten terhadap penisilin
e
Hati-hati untuk usia <9 th karena mewarnai gigi bila dipakai berulang
Bergantung pada persiapan

Langkah ke-7: modifikasi terapi sesuai respons klinis, pertimbangan


hasil kultur dan tes resistensi, dan lebih baik pemberian antimikrob
dengan spektrum aktivitas yang sempit
Langkah ke-8: pemantauan respons klinis, apakah keadaan penderita
membaik, status quo, atau deteorisasi. Pertimbangkan terjadi efek
samping dan modifikasi/penggantian terapi
Langkah ke-9: hentikan terapi bila klinis membaik dan sudah me-
menuhi durasi pemberian antimikrob (berdasarkan tempat infeksi,
etiologi, derajat beratnya penyakit, dan tipe antimikrob
Kombinasi Antimikrob
Diberikan apabila terdapat satu atau lebih alasan di bawah ini:
1) Memperluas spektrum terapi untuk penderita dalam keadaan
kritis
2) Terapi untuk infeksi polimikrobial, seperti abses intraabdomen.
Kebutuhan akan terapi kombinasi dapat ditekan dengan peng-
gunaan kombinasi inhibitor β-laktamase atau imipenem)
3) Untuk menekan timbulnya strain yang resisten
4) Untuk mengurangi toksisitas sehubungan dosis dengan meren-
dahkan satu atau lebih komponen dari regimen obat. Contoh
pemberian kombinasi flusitosin-amfoterisin B untuk meningitis
kriptokokus pada penderita non-HIV akan mengurangi dosis
amfoterisin B yang berpotensi nefrotoksis
5) Untuk meningkatkan inhibisi atau kemampuan untuk mematikan
organisme

479
Antimikrob Profilaksis
Pemberiannya terbagi atas:
1) Profilaksis bedah: pada operasi yang contaminated dan clean-
contaminated, beberapa operasi yang berisiko infeksi pasca-
operasi (seperti bedah jantung), dan clean operative pada
pemasangan prostetik, serta operasi terhadap individu yang
imunokompromais)
2) Profilaksis nonbedah: pemberian antimikrob untuk mencegah
kolonisasi atau infeksi asimtomatik. Diindikasikan untuk individu
yang memiliki risiko tinggi terpajan patogen virulen dan
cenderung terkena infeksi akibat penyakit dasarnya (seperti pada
individu yang imunokompromais). Tabel 120 memperlihatkan
pemberian profilaksis nonbedah

480
Tabel 120 Rekomendasi Pemberian Antimikrob untuk Kasus Nonbedah
Pencegahan Infeksi Indikasi Obat Pilihan Efikasi
Antraks Tersangka terpajan Siprofloksasin, doksisiklin Cukup efektif
Kolera Kontak erat Tetrasiklin Cukup efektif
Difteria Kontak erat Eritromisin, penisilin Cukup efektif
Endokarditis Prosedur gigi, oral, atau saluran respiratori atas1 pada Amoksisilin, klindamisin Cukup efektif
individu berisiko2
Prosedur genitourinari3 atau GIT pada individu berisiko2 Ampisilin, vankomisin Cukup efektif
dan gentamisin
Herpes simpleks Infeksi rekurens (≥4 episode/th) Asiklovir Sangat baik
genital
Influenza B Imunokompromais, petugas kesehatan saat KLB Oseltamivir Baik
481

Herpes simpleks tipe Ibu dengan HSV primer Asiklovir Cukup efektif
2 (neonatal)
Infeksi GBS Untuk neonatus dengan riwayat satu atau lebih: 1) KPD, 2) Ampisilin, penisilin Sangat baik
prematur, 3) saat hamil ibu bakteriuria, 4) ibu demam
intrapartum, 5) ibu hamil menderita GBS
H. influenzae b Kontak erat pada individu yang imunisasinya belum Rifampin Sangat baik
lengkap (usia <48 bl)
HIV Kecelakaan kerja pada petugas kesehatan Zidovudin dan lamivudin Baik
Bayi lahir dari ibu HIV Zidovudin dan lamivudin Sangat baik
Influenza A Imunokompromais, petugas kesehatan saat KLB Amantadin Baik
Malaria Bepergian ke daerah endemik yang suseptibel terhadap Klorokuin Sangat baik
klorokuin
Bepergian ke daerah endemik yang resisten terhadap Meflokuin Sangat baik
klorokuin
Infeksi meningokokus Kontak erat Rifampin Sangat baik
Mycobacterium Penderita HIV dengan CD4 <75/μL Azitromisin, klaritromisin Sangat baik
avium complex
Otitis media Infeksi berulang Amoksisilin Baik
Pertusis Kontak erat Eritromisin Sangat baik
Plag Kontak erat Tetrasiklin Cukup efektif
Pneumokoksemia Penderita penyakit sickle cell, asplenia Penisilin Sangat baik
Pneumocystis jiroveci Penderita AIDS, leukemia, transplantasi TMP-SMX Sangat baik
pneumonia
482

Demam reumatik Riwayat demam reumatik, penyakit jantung reumatik Benzatin penisilin Sangat baik
Toksoplasmosis HIV dengan IgG toksoplasmosis, dan CD4 <100/μL TMP-SMX baik
Tuberkulosis Tes tuberkulin (+) dan satu atau lebih dari: 1) HIV, 2) Isoniazid, rifampin, atau Sangat baik
kontak erat dengan TB baru, 3) kondisi medis yang pirazinamid
meningkatkan risiko TB, 5) usia tertentu
Infeksi saluran kemih Infeksi berulang TMP-SMX Sangat baik
1
Profilaksis direkomendasikan untuk prosedur gigi dengan perdarahan gusi atau mukosa, tonsilektomi atau adenoidektomi, prosedur bedah
yang melibatkan mukosa saluran respiratori, bronkoskopi rigid
2
Faktor risiko, meliputi katup jantung prostetik, riwayat endokarditis, malformasi kongenital, reumatik dan penyakit disfungsi katup lainnya,
dan prolaps katup mitral dengan regurgitasi
3
Profilaksis direkomendasikan untuk prosedur bedah yang melibatkan mukosa usus, skleroterapi varises esofagus, dilatasi esofagus atau
uretra, bedah saluran empedu, sistoskopi, katerisasi uretra atau bedah saluran kemih yang mengalami infeksi, bedah prostat, insisi dan
drainase jaringan terinfeksi, histerektomi, dan partus per vaginam yang infeksi
Prinsip Penggunaan Vankomisin
Vancomycin intermediate S. aureus (VISA), vancomycin resistant S.
aureus (VRSA), dan vancomycin resistant enterococci (VRE) perlu
dipikirkan pada saat ini karena vankomisin mulai digunakan secara
luas
Kapan Vankomisin Digunakan?
Sebagai terapi infeksi berat akibat organisme gram-positif yang
resisten terhadap β-laktam
Infeksi oleh organisme gram-positif pada penderita yang sangat
alergi terhadap agen β-laktam
Kolitis yang berhubungan dengan pemberian antimikrob, yang
tidak berespons terhadap metronidazol; atau kolitis yang sangat
berat dan berpotensi menyebabkan kematian
Profilaksis untuk endokarditis sesudah berbagai prosedur, pada
penderita yang berisiko tinggi mengalami endokarditis
Profilaksis pada prosedur bedah mayor, seperti: pemasangan
prostetik atau alat dengan kemungkinan besar terinfeksi oleh
methicillin-resistant S. aureus atau methicillin-resistant coagulase-
negative staphylococci
Kapan Vankomisin Jangan Digunakan?
Profilaksis rutin pada:
Tindakan bedah (selain penderita yang sangat alergi terhadap
Antimikrob β-laktam)
Bayi berat lahir sangat rendah
Penderita continuous ambulatory peritoneal dialysis atau
Hemodialisis
Pencegahan infeksi atau kolonisasi pada pemasangan kateter
sentral atau perifer
Pemberian antimikrob pada penderita febrile neutropenic, jika
tidak terbukti secara kuat infeksi yang terjadi adalah akibat
mikroorganisme gram-positif dan secara substansial kejadian
infeksi MRSA ditemukan pada RS yang bersangkutan
Sebagai terapi CONS yang didapat dari hasil kultur darah yang
dilakukan 1 kali (tunggal), sedangkan hasil kultur darah yang
diambil pada waktu yang bersamaan hasilnya negatif
Melanjutkan terapi empirik terhadap penderita yang hasil
kulturnya mikroorganisme gram-positif tetapi tidak resisten
terhadap β-laktam
Dekontaminasi selektif dari saluran pencernaan
Eradikasi koloni MRSA
Terapi utama antimicrobial-associated colitis
Bibliografi
1. Lampiris HW, Maddix DS. Clinical use of antimicrobial agents.
Dalam: Katzung BG, penyunting. Basic & clinical pharmacology.
Edisi ke-9. Philadelphia: McGraw-Hill Co; 2004. hlm. 836–51.

483
2. Mangram AJ. Guideline for prevention of surgical site infection.
Hospital infection control practices advisory committee. Infect
Control Hosp Epidemiol. 1999;20:250.
3. Ogle JW. Antimicrobial therapy. Dalam: Hay WW, Levin MJ,
Sondheimer JM, Deterdubg RR, penyunting. Current pediatric
diagnosis & treatment. Edisi ke-18. Philadelphia: McGraw-Hill Co;
2007. hlm. 1078–97.

484
INFEKSI VIRUS
INFEKSI VIRUS DENGUE
Etiologi
Virus dengue tipe 1, 2, 3, dan 4 (gol. Arthropod borne virus group B)
yang ditularkan melalui gigitan banyak spesies nyamuk Aedes (antara
lain Aedes aegypti dan Aedes albopictus)
Spektrum Klinis

Gambar 46 Spektrum Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue

Manifestasi Klinis dan Laboratorium


Secara umum penderita dengue ditandai oleh demam yang
mendadak tinggi dan terus-menerus. Secara klinis dibagi menjadi tiga
fase:
1. Fase febrile ditandai dengan demam yang mendadak tinggi,
disertai nyeri kepala, nyeri otot seluruh badan, nyeri sendi,
kemerahan pada wajah (flushing), dan eritema kulit. Gejala
nonspesifik seperti anoreksia, nausea, dan muntah sering
ditemukan. Pada fase ini secara klinis sulit untuk membedakan
kasus dengue berat dengan yang tidak berat. Pada pemeriksaan
laboratorium darah, penurunan jumlah leukosit (leukopenia)
merupakan kelainan yang ditemukan paling awal. Jumlah
trombosit dan nilai hematokrit sering kali masih dalam batas
normal. Fase ini biasanya berlangsung selama 2–7 hr

485
2. Fase kritis yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai mengalami
penurunan sampai mendekati batas normal (defervescence).
Biasanya fase ini terjadi pada hari ke-3–7 (paling sering hari ke-
4–6) sejak dari mulai sakit. Pada saat ini biasanya mulai terjadi
permeabilitas kapiler ↑ yang ditandai nilai hematokrit ↑
disertai jumlah trombosit ↓ secara nyata. Fase ini biasanya
berlangsung singkat selama 24–48 jam. Pada penderita yang
tidak mengalami ↑ permeabilitas kapiler akan menunjukkan
perbaikan klinis menuju kesembuhan, sebaliknya bila terjadi ↑
permeabilitas kapiler yang hebat, akan terjadi perembesan
plasma (plasma leakage), dan apabila tidak mendapat terapi
cairan yang memadai, dapat → syok sampai kematian
3. Fase pemulihan ditandai dengan perbaikan keadaan umum,
nafsu makan pulih, hemodinamik stabil, dan diuresis cukup.
Keadaan ini akan berlangsung secara berangsur dalam waktu
48–72 jam. Nilai hematokrit akan mengalami ↓ sampai stabil
dalam rentang normal disertai ↑ jumlah trombosit secara cepat
menuju nilai normal
Penderita Risiko Tinggi
Faktor pada pejamu yang merupakan risiko untuk terjadi penyakit
dengue yang lebih berat atau terjadi penyulit:
Bayi (<1 th)
Obesitas
Penderita ulkus peptikum
Wanita sedang menstruasi atau perdarahan vagina yang
abnormal
Penyakit hemolitik seperti defisiensi glucose-6-phosphatase
dehydrogenase (G-6-PD), thalassemia, dan hemoglobinopati lain
Penyakit jantung bawaan
Penyakit kronik seperti diabetes melitus, hipertensi, asma, gagal
ginjal kronik, dan sirosis hati
Penderita yang sedang dalam pengobatan steroid atau non-
steroidal anti-inflammatory drug (NSAID)

Diagnosis
Diagnosis Probable
Demam akut dengan dua atau lebih dari:
Nyeri kepala
Nyeri retroorbital
Mialgia
Artralgia
Ruam
Manifestasi perdarahan
Leukopenia (leukosit ≤5.000/mm 3)
Trombositopenia (trombosit <150.000/mm3)
Hematokrit ↑ (5 –10%)

486
Dan setidaknya satu dari:
Serologi (+) pada sampel darah: titer ≥1.280 dengan tes inhibisi
hemaglutinasi, titer IgG sebanding dengan enzyme-linked
immunosorbent assay, atau tes IgM antidengue (+)
Kejadian pada lokasi dan waktu yang sama untuk demam
dengue
Diagnosis Confirmed
Kasus probable ditambah setidaknya satu dari:
Isolasi virus dengue dari darah, LCS, atau sampel autopsi
Titer IgG serum ↑ ≥4× lipat (dengan tes inhibisi hemaglutinasi)
atau IgM antidengue spesifik ↑
Deteksi virus atau antigen di jaringan, serum, atau LCS melalui
imunohistokimia, imunofluoresens, atau enzyme-linked immuno-
sorbent assay
Terdeteksinya virus bagian genomik melalui RT-PCR
Diagnosis Dengue Haemorrhagic Fever (Demam Berdarah
Dengue/DBD)
Semua dari berikut ini:
Demam akut dengan durasi 2–7 hr
Manifestasi perdarahan dengan tanda: tes tourniquet (+),
petekia, ekimosis, atau purpura, atau perdarahan mukosa,
saluran cerna, tempat penyuntikan, atau tempat lain
Trombosit ≤100.000/mm 3
Terdapat tanda kebocoran plasma akibat permeabilitas vaskular
↑ yang ditandai dengan:
Peningkatan hematokrit/hemokonsentrasi ≥20% dari baseline
atau penurunan pada konvalesens, atau terdapat kebocoran
plasma seperti efusi pleura, asites, hipoproteinemia/hipo-
albuminemia
Dengue Shock Syndrome (Sindrom Syok Dengue/SSD)
Kriteria untuk DBD seperti di atas dengan tanda syok:
Takikardia, ekstremitas dingin, CRT memanjang, nadi lemah,
letargis, gelisah yang mungkin merupakan ↓ perfusi otak
Tekanan nadi ≤20 mmHg, dengan tekanan diastol ↑, misal
100/80 mmHg
Hipotensi menurut usia, didefinisikan dengan tekanan sistol <80
mmHg untuk usia <5 th atau 80–90 mmHg untuk anak yang
lebih besar dan dewasa
Tatalaksana Kasus berdasarkan UKK Infeksi dan Penyakit Tropis
IDAI
Penderita Tersangka Dengue atau Demam Dengue
Penderita tersangka dengue atau demam dengue dengan keadaan
umum masih baik, tidak ada faktor risiko dan atau tanda-tanda
bahaya (warning sign) masih dapat dirawat di rumah (rawat jalan)
Disarankan menjalani istirahat yang cukup

487
Cukup asupan cairan (sebaiknya hindari air putih biasa atau plain
water), seperti susu, jus buah, cairan elektrolit isotonik, cairan
rehidrasi oral (oralit), dan air tajin. Hindari kelebihan cairan,
khususnya pada usia bayi dan anak (balita)
Pemberian antipiretik golongan parasetamol. Dosis 10 mg/kgBB
tiap dosis dengan interval pemberian tidak lebih sering dari tiap 6
jam (dalam 1 hr ≤5× pemberian). Golongan salisilat (aspirin) dan
NSAID lain tidak dianjurkan
Apabila diperlukan kompres, gunakan air hangat kuku (tepid
water), pada daerah dahi, ketiak, dan anggota tubuh
Selama penderita masih demam dilakukan pemeriksaan labora-
torium berkala setiap hari (jumlah leukosit, trombosit, dan hema-
tokrit)
Dianjurkan segera ke rumah sakit apabila ada tanda-tanda bahaya,
yaitu:
Tidak ada perbaikan atau terjadi perburukan secara klinis
(khususnya pada saat perubahan dari demam menuju penurun-
an suhu tubuh atau masa defervescence)
Muntah persisten → asupan cairan tidak adekuat (↓)
Nyeri perut hebat
Letargis atau gelisah, atau derajat kesadaran ↓ mendadak
Terdapat perdarahan berupa epistaksis, feses/kotoran berwarna
kehitaman (melena), muntah darah (hematemesis), perdarahan
menstruasi yang berlebihan, urin berwarna kehitaman (hemo-
globinuria), dan urin berwarna kemerahan (hematuria)
Tampak pucat, tangan dan kaki teraba dingin serta lembap
Produksi urin ↓ atau tidak ada dalam 4–6 jam terakhir
Hasil pemeriksaan laboratorium darah → nilai hematokrit ↑
signifikan (dengan atau tanpa disertai jumlah trombosit ↓)
Penderita DBD dan Demam Dengue yang Dirawat (Rawat Inap)
Pemberian cairan melalui infus harus segera dimulai pada
penderita dengan asupan cairan oral yang kurang (muntah atau
malas minum), nilai hematokrit ↑ dan terdapat tanda-tanda
bahaya, khususnya tanda syok
Jumlah cairan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan
rumatan dan kehilangan cairan, tidak boleh kurang maupun
kelebihan
Penting untuk melakukan pemantauan parameter berikut secara
berkala:
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, serta tanda
dan gejala lain yang merupakan tanda bahaya
Perfusi jaringan perifer (CRT) perlu dipantau secara cermat,
karena merupakan indikator awal gangguan sirkulasi yang
mudah diamati
Tanda-tanda vital seperti suhu tubuh, frekuensi nadi, pernapas-
an, dan tekanan darah harus diperiksa sekurang-kurangnya
setiap 2–4 jam pada penderita yang tidak syok, serta setiap 1–2
jam pada penderita syok

488
Pemeriksaan berkala nilai hematokrit bergantung pada keadaan
penderita dan ↑ nilai hematokrit. Pada demam dengue setiap
12–24 jam, DBD setiap 6–12 jam, dan pada SSD atau terdapat
perdarahan berat lebih sering lagi (tiap 2–4 jam)
Keluaran urin (urine output) harus dicatat min. setiap 8–12 jam
pada kasus nonsyok, sedangkan pada keadaan syok atau pada
keadaan kelebihan cairan setiap 1 jam
Pemberian Cairan pada DBD Derajat I dan II
Jenis cairan yang dianjurkan yaitu cairan kristaloid isotonik, hindari
cairan hipotonik
Cairan koloid (hiperonkotik) seperti dekstran 40 dan hydroxyl-ethyl
starch (HES) dapat digunakan pada keadaan terjadi perembesan
plasma yang masif, atau bila tidak terdapat respons terhadap
pemberian cairan kristaloid dalam jumlah yang cukup
Jumlah cairan yang diberikan adalah jumlah kebutuhan rumatan
ditambah kekurangan (defisit) sebesar 5% (setara dengan dehid-
rasi sedang)
Lama pemberian cairan infus biasanya tidak boleh lebih dari 60–72
jam
Pada penderita dengan obesitas, untuk penghitungan jumlah
cairan yang dibutuhkan harus menggunakan BB ideal
Jumlah cairan yang dibutuhkan untuk 1 hr harus diberikan dengan
penghitungan atau kecepatan dalam tiap 1 jam dan disesuaikan
dengan kondisi klinis serta hasil pemeriksaan nilai hematokrit
Transfusi suspensi trombosit tidak boleh diberikan atas indikasi
trombositopenia semata tanpa ada perdarahan yang berat (tidak
dianjurkan memberikan transfusi trombosit profilaksis). Bila tidak
ada perdarahan yang nyata, transfusi trombosit
3
dapat dipertim-
bangkan bila jumlah trombosit <10.000/mm
Pemberian Cairan pada DBD Derajat III dan IV (SSD)
SSD merupakan syok hipovolemik yang disebabkan perembesan
plasma akibat ↑ permeabilitas vaskular yang ditandai dengan ↑
resistensi vaskular secara sistemik (ditandai dengan penyempitan
tekanan nadi, tekanan darah sistol relatif tetap, sedangkan
tekanan darah diastol ↑)
Apabila terjadi hipotensi harus dipertimbangkan sudah terjadi
perdarahan berat—biasanya berupa perdarahan saluran cerna
yang tersembunyi—sebagai penyebab syok selain akibat perem-
besan plasma
Pada DBD derajat III, biasanya masih memberikan respons dengan
kristaloid dengan jumlah 10 mL/kgBB/jam atau bolus dalam
30 mnt. Selanjutnya jumlah dikurangi secara bertahap sesuai
keadaan klinis dan nilai hematokrit (lihat Gambar 47)
Pada DBD derajat IV, jumlah cairan 10 mL/kgBB diberikan dalam
10–15 mnt atau 20 mL/kgBB dalam 30 mnt. Selanjutnya jumlah
cairan disesuaikan sama seperti pada DBD derajat III

489
Penatalaksanaan Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati dengue disebabkan atau ditandai
oleh ensefalopati hepatik, karena itu penatalaksanaannya sama
dengan tatalaksana ensefalopati hepatik, yaitu:
Pertahankan jalan napas dan oksigenasi yang adekuat (terapi
oksigen)
Hindari atau cegah tekanan tinggi intrakranial (TTIK) atau atasi
bila sudah terjadi:
Posisikan penderita dengan kepala ditinggikan sekitar 30°
Retriksi cairan tidak boleh >80% kebutuhan cairan rumatan
Ganti ke cairan koloid bila terus terjadi ↑ nilai hematokrit
Beri diuretika bila terdapat tanda-tanda kelebihan cairan
Segera dilakukan pemasangan pipa endotrakeal untuk meng-
hindari hiperkarbia
Pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan untuk me-
nurunkan TTIK, diberikan deksametason dengan dosis 0,15
mg/kgBB/dosis setiap 6–8 jam secara i.v.
Menurunkan produksi amonia
Pertahankan kadar gula darah pada 80–100 mg/dL
Koreksi gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa
Berikan vitamin K1 secara i.v. dengan dosis 3 mg untuk anak
usia <1 th; 5 mg usia 1–5 th; dan 10 mg pada usia >5 th
Bila terdapat kejang dapat diberikan antikonvulsi
Pemberian transfusi darah dianjurkan PRC segar bila terdapat
indikasi. Hindari pemberian transfusi komponen darah karena
kelebihan cairan dapat → TTIK
Indikasi pemberian antibiotik empiris bila ada dugaan
superinfeksi oleh bakteri
Obat H2-blocker atau proton pump inhibitor dapat diberikan
untuk mengatasi perdarahan gastrointestinal
Hindari pemberian obat-obatan lain tanpa indikasi karena akan
memperberat kerja hati
Pertimbangkan tindakan plasmaferesis atau hemodialisis bila
diperlukan

490
Gambar 47 Alur Pemberian Cairan pada DBD Derajat III dan IV
Sumber: WHO 2011 (dengan modifikasi)

Kriteria untuk Pulang dari Perawatan


Bebas demam sekurangnya 24 jam tanpa pemberian antipiretik
Pada SSD min. 2–3 hr sesudah syok teratasi
Nafsu makan sudah pulih kembali
Secara klinis tampak perbaikan
Tidak terdapat tanda distres pernapasan akibat efusi pleura atau
kelebihan cairan dan tidak terdapat asites
Jumlah trombosit naik min. mencapai 50.000/mm3

491
Bila terpaksa pulang dengan jumlah trombosit <50.000/mm 3, maka
dianjurkan untuk membatasi kegiatan fisik yang cenderung
menimbulkan trauma selama 1–2 mgg. Pada umumnya jumlah
trombosit akan kembali normal pada penderita tanpa penyulit
dalam waktu 3–5 hr
Bibliografi
1. Bandyopadhyay S, Lum LCS, Kroeger A. Classifying dengue: a
review of the difficulties in using the WHO case classification for
dengue haemorrhagic fever. Trop Med and Internat Health.
2006;11(8):1238–55.
2. Deen JL, Harris E, Wills B, l Balmaseda A, Hammond SN, Rocha
C, dkk. The WHO dengue classification and case definitions: time
fora reassessment. Lancet. 2006;368:170–3.
3. Kalayanarooj S. Dengue classification: current WHO vs. the newly
suggested classification for better clinical application? J Med
Assoc Thai. 2011;94(S3):S74–84.
4. Sri Rezeki Hadinegoro, Ismoedijanto, Alex Chairulfatah,
penyunting. Pedoman diagnosis dan tata laksana infeksi virus
dengue pada anak. Jakarta: Sagung Seto; 2014.
5. World Health Organization. Comprehensive guidelines for
prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic
fever. Revised and expanded edition. New Delhi: WHO Regional
Office for South-East Asia; 2011.
6. World Health Organization. Dengue hemorrhagic fever:
diagnosis, treatment, prevention and control. Edisi ke-2. Geneva:
WHO; 1997.
7. World Health Organization. Dengue: guidelines for diagnosis,
treatment, prevention and control. New edition. Geneva: WHO;
2009.

492
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)
Etiologi
Human immunodeficiency virus-1 (yang dibahas dalam tatalaksana)
Human immunodeficiency virus-2

Manifestasi Klinis
Transmisi terjadi secara vertikal (dari ibu HIV) maupun secara
horizontal melalui transfusi produk darah atau penularan lain yang
jarang
Gejala khas pada penderita infeksi HIV:
Diare kronik, gagal tumbuh, pneumonia berat, pneumonia P. carinii,
demam berkepanjangan, TB paru, dan kandidiasis orofaring
Gejala yang mungkin ditemukan pada penderita HIV tetapi juga
ditemukan pada anak yang tidak terinfeksi HIV:
Infeksi berulang, otitis media berulang, kandidosis oral berulang,
parotitis kronik, limfadenopati generalisata, hepatomegali tanpa
diketahui penyebabnya, demam persisten atau berulang,
dermatitis HIV, kelainan neurologis, herpes zoster, dan gizi buruk
Diagnosis dimulai dengan mencari data riwayat orangtua, apakah ibu
atau ayah memiliki risiko terinfeksi HIV (riwayat narkoba suntik,
promiskuitas, pasangan dari penderita HIV, pernah mengalami
operasi atau prosedur transfusi produk darah). Selain itu, ditelusuri
riwayat morbiditas yang khas maupun yang sering ditemukan pada
penderita HIV, selain riwayat kelahiran, ASI, pengobatan ibu, dan
kondisi neonatal
Diagnosis
Bayi usia <18 bl: bila memiliki tanda dan gejala HIV dengan ibu
terinfeksi HIV/status HIV belum diketahui, maka dilakukan
pemeriksaan serologi anti-HIV, bila hasil (+) dilakukan pemeriksaan
PCR HIV. Bila bayi tampak sehat tetapi ibu terinfeksi HIV, dilakukan
pemeriksaan virologi pada usia 4–6 mgg (PCR-RNA HIV)
Bayi usia ≥18 bl dengan ibu terinfeksi HIV: dilakukan pemeriksaan
anti-HIV. Pemeriksaan tercepat dapat dilakukan pada usia ≥9 bl. Bila
bayi sehat dan hasil anti-HIV (−) maka infeksi HIV dapat disingkirkan
Bayi dengan ibu terinfeksi HIV dan diberikan ASI: dilakukan pemerik-
saan HIV (serologi/virologi) min. 6 mgg sesudah penyapihan
Diagnosis presumtif HIV pada bayi apabila bayi memiliki ≥2: oral
thrush, pneumonia berat, sepsis berat, kondisi ibu dengan HIV berat
atau ibu meninggal karena HIV, dan hasil serologi anti-HIV pada bayi
(+)

493
Tatalaksana
Tabel 121 Pemberian ART pada Bayi dan Anak berdasarkan
Stadium Klinis dan Marka Imunologi

Usia Stadium Imunologi


Klinis
<24 bl Berikan terapi pada seluruh penderita
>24 bl Stadium 4a Berikan terapi pada seluruh penderitab
Stadium 3a Berikan terapi pada seluruh penderita
Stadium 2 Berikan terapi apabila CD4 di bawah jumlah
berdasarkan usia
Stadium 1 Jangan diterapi bila hasil CD4 tidak ada
a
Stabilisasi infeksi oportunistik sebelum memulai pemberian ART
b
CD4 awal diperlukan untuk memantau hasil penggunaan ART; juga dibutuhkan
walaupun belum dilakukan inisiasi ART

Tabel 122 Inisiasi Pemberian ART pada Bayi dan Anak


Usia <24 Bulana,b ≥24–59 Bulan ≥5 Tahun
%CD4 Seluruhnyac ≤25 NA
Nilai CD4 Seluruhnyac ≤750 sel/mm3 ≤500 sel/mm3
absolut
a
Seluruh bayi yang terinfeksi harus mendapat ART untuk mencegah
progresivitas penyakit
b
Bila CD4 tersedia, gunakan kriteria klinis dan imunologis untuk memulai ART
pada usia 12–23 bl
c
Anak dengan limfopenia absolut, persentase CD4 (CD4+) akan falsely elevated

Keputusan pemberian ART juga harus mempertimbangkan kondisi


sosial penderita, termasuk memberikan keterangan secara jelas
mengenai prognosis HIV bayi dan anak serta implikasi pemberian
terapi (antara lain: terapi dilakukan seumur hidup, konsekuensi
apabila terjadi ketidakpatuhan minum obat, cara pemberian obat,
serta toksisitas dan penyimpanan obat). Pastikan ada/tidaknya
bantuan pihak lain bila orangtua tidak sanggup memberikan obat
Lini pertama ART sbb.:
2 NRTI (zidovudin, stavudin, lamivudin) + NNRTI (nevirapin, efavirenz)
Dosis ART sbb.:
Zidovudin 180–240 mg/m2/dosis diberikan 2×/hr
Stavudin 1 mg/kgBB/dosis diberikan 2×/hr
Lamivudin 2 mg/kgBB/dosis diberikan 2×/hr
Nevirapin 160–200 mg/m2 diberikan 2×/hr
Efavirenz 15 mg/kgBB/hr diberikan 1×/hr

494
Tabel 123 Mulai Pemberian ART
Bayi
Bayi yang belum terpajan ARV memulai ART dengan nevirapin
(NVP) + 2 nucloside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)
Bayi dengan status ARV tidak diketahui memulai ART dengan NVP
+ 2 NRTI
Anak
Anak berusia 12–24 bl yang belum pernah terpajan NNRTI,
memulai terapi dengan NVP + 2 NRTI
Anak berusia >24 bl–<3 th memulai terapi ARV dengan NVP +
2 NRTI
Anak usia ≥3 th memulai terapi dengan NVP + 2 NRTI
Untuk bayi dan anak, sebagai tulang punggung regimen
nukleosida diberikan salah satu dari:
Lamivudin (3TC) + zidovudin (AZT)
3TC + stavudin (d4T)
Bayi dan Anak dalam Kondisi Khusus
Anak usia >3 th dengan TB diberikan regimen EFV + 2 NRTI
Bayi dan anak usia <3 th dengan TB diberikan regimen NVP +
2 NRTI
Anak dan remaja dengan anemia berat (<7,5 g/dL) atau
neutropenia berat (500 sel/mm3) diberikan regimen NVP +
2 NRTI (hindari AZT)
Remaja usia >12 th dengan hepatitis B diberikan regimen
tenofovir disoproksil fumarat (TDF) + emtrisibin (FTC) atau 3TC +
NNRTI

Pemberian Profilaksis Kotrimoksazol


Kotrimoksazol sebagai profilaksis diberikan sesuai pedoman WHO
sebagai berikut:
Bayi dan anak yang terpajan HIV
Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada seluruh bayi dan
anak yang terpajan HIV, dimulai 6 mgg sesudah kelahiran
sampai terbukti tidak terinfeksi
Bayi dan anak yang terinfeksi HIV
Bayi dengan HIV usia <1–5 th
Profilaksis kotrimoksazol diberikan tanpa melihat persen-
tase CD4 atau status klinis. Pemberiannya dimulai saat
terdiagnosis usia 5 th
Anak usia ≥5 th
Digunakan pedoman WHO dewasa
Pemantauan
Pada penderita yang mendapat ARV, setiap 1–2 mgg untuk
pemantauan gejala klinis, penyesuaian dosis, pemantauan efek
samping, kepatuhan minum obat, dan kondisi lain. Sesudah 8 mgg
dilakukan pemantauan yang sama, tetapi dilakukan 1 bl sekali.
Pemeriksaan laboratorium yang diulang yaitu darah tepi, SGOT/SGPT,

495
CD4 setiap 3 bl, dapat lebih cepat bergantung pada indikasi. Bila
sesudah 6 bl mendapat terapi ARV dan klinis baik, tingkat
imunosupresi membaik, program imunisasi dilanjutkan (catch-up
immunization)

Pencegahan
Mencegah transmisi HIV pada bayi dan anak (prevention of mother to
child transmission (PMTCT) dengan cara:
Memberikan zidovudin sedini-dininya (6–12 jam) dosis
4 mg/kgBB/× diberikan tiap 12 jam selama 6 mgg. Dosis akan
berbeda bila bayi lahir dari ibu dengan usia kehamilan <35 mgg
Memberikan PASI apabila syarat acceptable, feasible, affordable,
sustainable, safe (AFASS) terpenuhi
Bibliografi
1. Department of Health and Human Services (HHS) Panel on
antiretroviral therapy and medical management of HIV-infected
children. Guidelines for the use of antiretroviral agents in
pediatric HIV infection. 2011. [diunduh 12 Juli 2012]. Tersedia
dari: http://www.aidsinfo.nih.gov/contentfiles/lvguidelines/
pediatricguidelines.pdf.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
tatalaksana infeksi HIV dan terapi antiretroviral pada anak di
Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2008.
3. World Health Organization. Antiretroviral therapy of HIV
infection in infants and children: towards universal access:
recommendations for a public health approach-2010 revision.
Geneva: WHO; 2010.
4. World Health Organization. Cotrimoxazole prophylaxis for HIV-
exposed and HIV-infected infants and children: practical
approaches to implementation and scale up. Geneva: WHO;
2009.
5. World Health Organization. WHO recommendations on the
diagnosis of HIV infection in infants and children. Geneva: WHO;
2013.

496
CHIKUNGUNYA
Etiologi
Chikungunya virus

Manifestasi Klinis
Definisi Kasus
Kasus suspek: kasus dengan onset panas mendadak dengan gejala
nyeri sendi yang berat dan kadang menetap dengan mialgia, sakit
kepala, dengan atau tanpa ruam
Kemungkinan suatu kasus: kasus klinis dengan gejala di atas dan
mempunyai hubungan epidemiologi dengan kejadian luar biasa
chikungunya virus yang confirmed di tempat dan waktu yang sama
Kasus yang terkonfirmasi: gejala klinis di atas dengan satu dari
hasil laboratorium di bawah ini:
Deteksi titer antibodi anti-chikungunya IgM ELISA ≥40 IU pada
sampel serum tunggal atau
Peningkatan 4 kali titer antibodi IgG chikungunya antara serum
akut dan konvalesens MAC-ELISA atau
Deteksi asam nukleat chikungunya dalam serum dengan RT-PCR
atau
Isolasi chikungunya virus
Tabel 124 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Chikungunya
Gambaran yang Demam Demam Dengue
Membedakan Chikungunya
Gejala klinis
Onset demam 40 °C Akut Bertahap
Lama demam 1–2 hr 5–7 hr
Ruam makulopapular Sering Jarang
Terdapat syok dan Jarang Sering
perdarahan berat
Artralgia Sering dan menetap Jarang dan durasinya
selama berbulan- pendek
bulan
Parameter laboratorium
Leukopenia Sering Jarang
Trombositopenia Jarang Sering

Diagnosis
Isolasi virus
RT-PCR
Diagnosis serologis
Pengumpulan sampel untuk serologi
Sampel: 10–15 mL darah vial/serum

497
Waktu pengumpulan
Sampel pertama: 5 hr sesudah onset penyakit untuk deteksi
IgM, antibodi ini muncul pada saat ini
Sampel kedua: paling sedikit hari ke-7–14 sesudah sampel
pertama atau pada saat meninggal
Spesimen darah ini disimpan pada suhu 4 °C dan tidak dalam
keadaan beku, kemudian diantar ke laboratorium secepatnya.
Diagnosis serologis dapat ditegakkan dengan terdapatnya
peningkatan antibodi 4× pada serum akut dan konvalesens atau
terdapat antibodi IgM spesifik untuk chikungunya virus. Tes yang
sering digunakan yaitu antibodi IgM dengan Mac-ELISA
Manajemen
Penyakit ini sembuh sendiri. Tidak ada terapi spesifik atau vaksin
untuk chikungunya. Penderita hanya diberikan terapi simtomatik
atau suportif
Tirah baring
Banyak minum
Mengurangi nyeri dan demam dengan obat antiinflamasi. Aspirin
tidak boleh diberikan pada anak usia <12 th untuk mencegah
kemungkinan sindrom Reye
Bila terjadi nyeri sendi persisten maka:
Terapi analgesik dan antiinflamasi jangka panjang
Latihan ringan dan gerakan untuk kekakuan dan atralgia, tetapi
latihan yang berat dapat menimbulkan gejala eksaserbasi
Fisioterapi reguler
Bibliografi
1. Halstead SB. Chikungunya. Dalam: Feigin RD, Cherry JD,
penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2314–20.

498
RUBELA
Etiologi
Virus rubela masuk famili Togaviridae, genus Rubivirus

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 14–21 hr
Demam
Konjungtivitis
Ruam makulopapula
Limfadenopati servikal
Tabel 125 Manifestasi Rubela Kongenital
Manifestasi Awal (Saat Lahir) Manifestasi Lanjut
Kelainan pendengaran (60–70%) Diabetes melitus
Tuli sensorineural
Kelainan jantung (10–20%) Tiroiditis
Stenosis pulmonal, patent ductus arteriosus, Defisit hormon
defek septum ventrikel pertumbuhan
Kelainan mata (10–25%)
Retinopati, katarak, mikroftalmia, glaukoma Kelainan perilaku
kongenital
Kelainan susunan saraf pusat (10–25%)
Retardasi mental, mikrosefal,
meningoensefalitis
Lain-lain
Trombositopenia, hepatosplenomegali,
radioluscent bone disease, purpura
karakteristik (blueberry muffin appearance)

Diagnosis
Anamnesis
Terdapat keluhan demam, ruam, dan pembesaran kelenjar
Pemeriksaan Fisis
Rubela didapat
Masa inkubasi sejak terpapar sampai terjadi eksantema 14–21
hr (rata-rata 18 hr). Gejala prodormal nonspesifik dapat terjadi
1–5 hr sebelum onset eksantema, dapat berupa demam, nyeri
pada mata, nyeri tenggorokan, artralgia, dan gangguan saluran
cerna
Manifestasi klinis yang khas yaitu terdapat ruam dan adenopati
suboksipital. Ruam biasanya dimulai pada muka, meluas dengan
pola sefalokaudal, dalam 24 jam sudah menyebar ke seluruh
tubuh. Bentuk ruam biasanya eritematosus dan makulopapular,
tetapi dapat pula scarlatiniform, morbilliform atau makula.
Gejala lain saat periode eksantema yaitu demam yang tidak
begitu tinggi dan limfadenopati

499
Rubela kongenital
Manifestasi klinis berupa infeksi kronik dan progresif. Infeksi
pada fetus dapat menyebabkan abortus spontan atau stillbirth.
Saat lahir dapat ditemukan gejala transien berupa BB rendah,
purpura trombositopenia, hepatosplenomegali, dan lesi pada
tulang, sedangkan untuk gejala permanen dapat ditemukan tuli
sensorineural, stenosis pulmonal, PDA, VSD, retinopati, katarak,
mikroptalmia, retardasi psikomotor, hernia inguinal, dan DM
Pemeriksaan Penunjang
Titer antibodi IgG ↑ sebanyak 4× antara spesimen serum fase akut
dan konvalesens
Tes serologik IgM rubela (+)
Kultur virus rubela (+) (kultur diambil dari spesimen hidung,
tenggorok, darah, urin, dan cairan serebrospinal 1–2 mgg sesudah
timbul ruam)
Manajemen
Self-limited, terapi suportif
Istirahat, analgetik
Bibliografi
1. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and
prevention of vaccine-preventable diseases. Edisi ke-8 [diunduh
12 Maret 2004]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/nip/
publications/pink/dip.pdf.
2. Cherry JD. Rubella virus. Dalam: Feigin RD, Cherry JD,
penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2271–300.
3. Maldonaldo YA. Rubella. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober
CG, penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 1096–100.
4. Mason WH. Rubella. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St. Geme
III RW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
hlm. 1075–96.

500
MORBILI
Etiologi
Morbilivirus merupakan salah satu virus RNA dari famili
paramyxoviridae

Epidemiologi
Terdapat di seluruh dunia merupakan masalah kesehatan di negara
berkembang, tetapi pada saat ini terjadi peningkatan kasus di
Amerika Serikat dan Eropa. Diduga berhubungan dengan cakupan
imunisasi yang menurun
Manusia merupakan satu-satunya tuan rumah dan vaksin sudah
tersedia, seyogianya penularan penyakit ini dapat dicegah
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 10–12 hr
Tiga stadium: prodromal–erupsi–konvalesens
Stadium Prodromal
3–5 hr biasanya ringan tetapi pada akhir stadium erupsi dapat ↑
mencapai 40 °C. Ditemukan tanda 3 C (coryza, cough, conjunctivitis)
Koplik’s spot: patognomonis, ditemukan 1–2 hr sebelum sampai
1–2 hr sesudah timbul ruam (stadium erupsi), berupa lesi punctuta
putih di daerah mukosa bukal, tersering di daerah molar 2 bawah)
Stadium Erupsi
Pada akhir stadium prodromal terjadi ↑ suhu tubuh, pada saat
panas mencapai puncaknya timbul ruam berupa ruam makulo-
eritrematosus, bersifat konfluens, dimulai dari belakang telinga →
menyebar ke badan, lengan, dan tungkai. Dalam 3 hr ruam sudah
tersebar ke seluruh tubuh
Panas badan masih tetap tinggi selama 2–3 hr sesudah ruam
timbul, bila tidak mengalami penyulit penderita memasuki masa
konvalesens
Stadium Konvalesens
Panas badan mulai ↓ turun, ruam meninggalkan bekas hiper-
pigmentasi yang dapat bertahan sampai 7–14 hr
Pemeriksaan Penunjang
Leukopenia dengan limfopenia
Di negara maju diagnosis serologis dilakukan pemeriksaan IgM
antibodi, terdeteksi sesudah 3 hr timbul ruam. Deteksi antigen dapat
dilakukan dengan teknik:
PCR: dapat mendeteksi 5 hr sebelum gejala muncul
Fluorescent antibody staining (rapid method) dari apus nasofaring
Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisis sesuai dengan stadium penyakit

501
Tanda utama: 3 C, Koplik’s spot, ruam makula eritrematosus dengan
penyebaran khas yang timbul pada saat panas sedang mencapai
puncaknya (panas tinggi) dan panas tetap ada selama 2–3 hr sesudah
timbul ruam
Penyulit
Infeksi bakteri berupa superinfeksi, harus diwaspadai bila panas
tinggi menetap sesudah 4 hr dari timbul ruam dan pada pemeriksaan
darah rutin ditemukan leukositosis. Penyulit dapat pula sebagai
akibat virulensi virusnya sendiri atau karena daya tahan tubuh
penderita yang rendah seperti malnutrisi
Beberapa penyulit morbili:
Otitis media akut (10–15%)
Pneumonia interstitialis (50–75% disertai dengan kelainan
radiologis)
Mokarditis dan perikarditis
Ensefalitis: (1/1.000 kasus) biasanya timbul 7–10 hr sesudah timbul
ruam, prognosis ⅓ meninggal–⅓ cacat–⅓ sembuh sempurna
Subacute sclerosis panencephalitis (SSPE): 0,2–2/100.000 infeksi
virus morbili, masa inkubasi rata-rata 7 th (CFR hampir 100%
sesudah 6–9 bl)
Imunosupresi sementara: aktivitasTB paru
Ulkus kornea: terutama pada defisiensi vit. A
Manajemen
Suportif terdiri atas:
Pemberian cukup cairan
Kalori dan jenis makanan disesuaikan dengan tingkat kesadaran
serta penyulit
Suplemen nutrisi
Antibiotik diberikan bila terdapat infeksi sekunder
Antikonvulsan diberikan bila terjadi kejang
Pemberian vitamin A 100.000 IU bila disertai malnutrisi, dilanjut-
kan 1.500 IU/hr
Indikasi rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39 °C), dehidrasi, kejang,
asupan oral sulit, atau terdapat penyulit lain seperti pneumonia
Bibliografi
1. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and
prevention of vaccine-preventable diseases. Edisi ke-8 [diunduh
12 Maret 2004]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/nip/
publications/pink/dip.pdf.
2. Cherry JD. Measles virus. Dalam: Feigin RD, Cherry JD,
penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2427–51.
3. Mason WH. Measles. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St. Geme
III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
hlm. 1069–74.

502
VARISELA DAN HERPES ZOSTER
Etiologi
Varicella-zoster virus (VZN)

Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Masa inkubasi: 14–16 hr (10–21 hr)
Anamnesis
Riwayat terpajan dari lingkungan rumah, sekolah, atau tempat
penitipan anak
Diawali oleh demam tidak begitu tinggi selama 1–2 hr sebelum
timbul ruam, disertai malaise, nyeri kepala, anoreksia, nyeri
tenggorok, dan batuk
Ruam muncul mulai dari kulit kepala, wajah, leher, kemudian
menyebar ke seluruh tubuh, serta terasa gatal
Faktor risiko: neonatus, penderita keganasan, dan status imuno-
kompromais
Pada herpes zoster → nyeri terlokalisasi, hiperestesia, pruritus,
demam tidak begitu tinggi. Ruam dapat ringan, dengan lesi baru
muncul hingga beberapa hari, gejala neuritis akut minimal dan
resolusi komplet terjadi dalam 1–2 mgg. Pascaherpetik neuralgia
jarang pada anak
Pemeriksaan Fisis
Ruam
Karakteristik: berupa vesikel
Pada anak sehat, lesi sekitar 250–500 (10–1.500)
Mula-mula berupa makula eritematosa kemudian bergradasi
mulai papula-pustula-krusta
Beberapa lesi dapat muncul di orofaring dan mata
Gambaran vesikel khas, superfisial, dinding tipis, dan terlihat
seperti tetesan air
Terdapat semua tingkatan lesi kulit dalam waktu bersamaan
pada satu area
Lesi baru terus muncul sampai 3–5 hr
Lesi biasanya menjadi krusta pada hari ke-6 (2–12 hr) dan
sembuh sempurna pada hari ke-16 (7–34 hr)
Erupsi lesi baru yang berkepanjangan atau keterlambatan
pembentukan krusta dan penyembuhan terjadi bila terdapat
gangguan imunitas selular
Herpes zoster bermanifestasi sebagai lesi vesikular berkelompok
dalam satu atau—jarang—dua dermatom yang berdekatan
Demam
Umumnya tidak begitu tinggi
Pada anak sehat, demam sembuh dalam 4 hr
Bila demam berkepanjangan, kemungkinan terjadi penyulit atau
imunodefisiensi
Bila infeksi varisela terjadi saat kehamilan
Sindrom varisela kongenital

503
Terjadi pada sekitar 2% bayi yang ibunya terinfeksi varisela
saat trimester kedua kehamilan
Sindrom klinis: IUGR, mikrosefal, atrofi korteks, hipoplasia
tungkai, mikroftalmia, katarak, korioretinitis, skar pada kulit
Risiko sindrom ini tidak berkorelasi dengan berat penyakit
varisela ibu
Herpes zoster pada ibu hamil tidak berhubungan dengan
kelainan pada bayi
Infantil zoster
Bermanifestasi dalam usia 1 th pertama
Disebabkan infeksi varisela pada ibu saat usia kehamilan >20
mgg
Biasanya mengenai dermatom toraks
Varisela neonatal
Berat penyakit bergantung pada apakah hanya virus atau
beserta antibodi yang melewati plasenta
Bila varisela maternal terjadi 5 hr sebelum s.d. 2 hr sesudah
kelahiran. Melalui plasenta, bayi akan terpajan viremia
sekunder ibu tanpa antibodi protektif. Tanpa profilaksis/
terapi dengan imunoglobulin dan asiklovir, angka kematian
dapat mencapai 30%, terutama akibat pneumonia dan
hepatitis fulminan
Bila varisela maternal terjadi 5 hr antepartum, bayi cukup
bulan bila terinfeksi sering kali ringan dan pemberian asiklovir
sesuai dengan klinis
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu penting, karena diagnosis
dapat dilakukan secara klinis

Pemeriksaan Penunjang
Leukopenia pada umumnya terjadi pada 3 hr pertama, diikuti dengan
leukositosis
Leukositosis mungkin akibat infeksi sekunder, tetapi anak yang
mengalami infeksi sekunder jarang mengalami leukositosis
Staining imunohistokemikal melalui kerokan lesi kulit dapat mem-
buktikan varisela
Apus Tzank dari dasar lesi menunjukkan sel raksasa multinuklear,
tetapi hasilnya tidak cukup sensitif maupun spesifik untuk varisela
Pemeriksaan serologis merupakan pemeriksaan yang paling sensitif,
terdiri atas: indirect fluorescent antibody (IFA), fluorescent antibody
to membrane antigen (FAMA), dan radioimmunoassay (RIA). Cara
pemeriksaan cepat dan sensitif yaitu latex agglutination (LA) dan
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Tes complement
fixation memiliki sensitivitas yang rendah
Pencitraan
Bila penderita demam tinggi dengan gejala gangguan pernapasan,
pemeriksaan foto Rontgen toraks dilakukan untuk mengetahui
pneumonia

504
Gambaran foto Rontgen toraks primary varicella pneumonia dapat
normal atau menunjukkan infiltrat nodular difus bilateral. Infiltrat
fokal mungkin disebabkan oleh pneumonia bakteri akibat infeksi
sekunder
Pemeriksaan Lain
Pungsi lumbal (lumbar puncture/LP) dilakukan pada anak dengan
gejala neurologis
Penderita dengan varicella encephalitis mungkin melalui
beberapa atau paling banyak 100 sel, dengan dominan PMN
atau MN bergantung pada saat dilakukan LP
Kadar gula dalam batas normal, sedangkan kadar protein dalam
batas normal atau sedikit ↑
Manajemen
Umum
Mandikan penderita untuk mengurangi gatal dan mencegah infeksi
sekunder
Hindari menggaruk dengan memotong kuku dan memakai sarung
tangan saat tidur
Banyak minum terutama bila menerima asiklovir dan diet tanpa
restriksi
Orangtua mengetahui tanda bahaya yaitu ruam yang hebat dan
nyeri, tidak mau minum, terdapat tanda dehidrasi, kelemahan
tungkai, kesadaran ↓, nyeri kepala hebat, kuduk kaku, muntah -
muntah, sesak napas, demam >4 hr, atau demam ↑ kembali
Khusus
Bila demam: asetaminofen 10–15 mg/kgBB p.o. tiap 4–6 jam
(maks. 60 mg/kgBB/hr). Jangan diberikan aspirin
Asiklovir 80 mg/kgBB/hr terbagi atas 4–5 dosis selama 5 hr (maks.
3.200 mg/hr)
Pada kasus berat (ensefalitis, pneumonia,
2
penderita imuno-
kompromais): asiklovir 1.500 mg/m /hr i.v. terbagi tiap 8 jam
selama 7–10 hr
Mengurangi rasa gatal dengan pemberian difenhidramin 5
mg/kgBB/hr p.o. terbagi 3 atau 4 (maks. 300 mg/hr)
Rawat neonatus dengan ibu mengalami varisela 5 hr sebelum
sampai 2 hr sesudah partus
Bibliografi
1. Arvin AM. Varisella. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia:
WB Saunders Co; 2008. hlm. 1021–8.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and
prevention of vaccine-preventable diseases. Edisi ke-8 [diunduh
12 Maret 2004]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/nip/
publications/pink/dip.pdf.
3. Gershon AA. Varicella-zoster virus. Dalam: Feigin RD, Cherry JD,
penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2077–88.

505
4. Marin M, Larussa PS. Varisella. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF,
St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011. hlm. 1104–20.

506
HERPES SIMPLEKS
Etiologi
Herpes simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 2–20 hr
Vesikel kulit dan ulkus yang dangkal
Vesikel kecil 2–4 mm dengan dasar kemerahan di sekelilingnya
selama beberapa hari, kemudian menjadi ulkus yang dangkal sedikit
kemerahan
Gingivostomatitis → onset tiba-tiba, nyeri di mulut, drooling, sulit
makan minum, demam, gusi membengkak, dapat timbul vesikel pada
gusi, bibir, langit-langit, lidah, tonsil dan faring, serta bau mulut.
Kemudian vesikel berkembang menjadi ulkus berindurasi yang
tertutupi membran kuning keabuan
Vulvovaginitis
Infeksi kulit lainnya
Infeksi pada mata
Infeksi pada SSP
Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
Kultur virus
PCR
Serologis
Manajemen
Asiklovir
Asiklovir i.v. merupakan obat pilihan pada HSV ensefalitis dan HSV
imunokompromais. Dosis asiklovir untuk anak 3 bl–12 th, 20
mg/kgBB/kali tiap 8 jam dan untuk anak >12 th, 10 mg/kgBB/kali
tiap 8 jam
Asiklovir p.o. untuk gingivostomatitis: 15 mg/kgBB/dosis 5×/hr
selama 7 hr
Bibliografi
1. Gutierrez KM, Arvin AM. Herpes simplex viruses 1 and 2. Dalam:
Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric
infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co;
2009. hlm. 1993–2022.
2. Rober CG. Herpes simplex. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober
CG, penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 1012–20.
3. Stanberry LR. Herpes simplex. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF,
St. Gemme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011. hlm. 1097–103.

507
INFLUENZA A H5N1 (AVIAN INFLUENZA)
Epidemiologi
Sejak tahun 2005–2009, ada 162 kasus terkonfirmasi dan 134 orang
meninggal di Indonesia serta 40 kasus dan 34 orang meninggal di
Jawa Barat
Etiologi
Virus influenza tipe A
Manifestasi Klinis
Cara penularan: melalui percikan, kontak, dan udara
Masa inkubasi: rata-rata 3 hr (1–7 hr)
Masa infeksius pada manusia yaitu 1 hr sebelum gejala timbul dan
sampai 7 hr bebas demam pada usia >12 th atau dapat sampai 21 hr
pada anak usia <12 th
Gejala klinis: mirip flu biasa, demam ≥38 °C, batuk, dan nyeri
tenggorok. Gejala lain: pilek, sakit kepala, nyeri otot, infeksi selaput
mata, diare atau gangguan saluran cerna. Gejala sesak napas dapat
memburuk dengan cepat
Diagnosis
Seseorang dalam Investigasi
Bila terdapat kontak erat dalam waktu <7 hr dengan penderita
suspek/probabel/terkonfirmasi flu burung atau di sekitar wilayah-
nya terdapat banyak unggas yang mati diduga atau terbukti flu
burung
Kasus Suspek
Seseorang yang menderita demam dengan suhu ≥38 °C dan
influenza-like illness (ILI) disertai satu atau lebih pajanan di bawah
ini dalam 7 hr sebelum timbul gejala:
Kontak erat (dalam jarak ±1 m) seperti merawat, berbicara, atau
bersentuhan dengan penderita suspek, probabel, atau kasus
H5N1 yang sudah terkonfirmasi
Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu,
memotong, mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak
ayam, unggas liar, unggas air, bangkai unggas atau terhadap
lingkungan yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam
wilayah terjangkit dalam 1 bl terakhir
Mengonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak
dengan sempurna dari wilayah yang dicurigai atau dipastikan
terdapat hewan atau manusia yang terkonfirmasi H5N1 dalam
1 bl terakhir
Kontak erat dengan binatang lain misalnya kucing atau babi
yang terkonfirmasi terinfeksi H5N1. Memegang atau menangani
sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai mengandung virus
H5N1 dalam suatu laboratorium atau tempat lain

508
Seseorang yang menderita demam dengan suhu ≥38 °C, ILI,
leukopenia, dan tampak gambaran pneumonia pada foto Rontgen
toraks, disertai ≥1 pajanan di bawah ini dalam 7 hr sebelum
mulainya gejala foto Rontgen toraks menggambarkan pneumonia
yang cepat memburuk pada serial foto:
Kontak erat (dalam jarak ±1 m) seperti merawat, berbicara, atau
bersentuhan dengan penderita suspek, probabel, atau kasus
H5N1 yang sudah terkonfirmasi
Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu,
memotong, mempersiapkan, untuk konsumsi) dengan ternak
ayam, unggas liar, bangkai unggas atau berada di lingkungan
yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam wilayah infeksi
H5N1 pada hewan atau manusia sudah dicurigai atau dikon-
firmasi dalam bulan terakhir
Mengonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak
dengan sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan
terdapat hewan atau manusia yang terinfeksi H5N1 dalam 1 bl
terakhir
Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau
unggas liar) misalnya kucing atau babi yang sudah dikonfirmasi
terinfeksi H5N1
Memegang/menangani sampel (hewan atau manusia) yang
dicurigai mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium
atau tempat lainnya
Ditemukan leukopenia (nilai hitung leukosit <normal)
Ditemukan titer antibodi terhadap H5 dengan pemeriksaan tes
HI menggunakan sel darah merah kuda atau tes ELISA untuk
influenza A tanpa subtipe
Foto Rontgen toraks menggambarkan pneumonia yang cepat
memburuk pada serial foto
Seseorang yang mempunyai gejala ILI secara klinis dan
radiologis yang cepat mengalami perburukan meskipun riwayat
kontak tidak jelas
Kasus Probabel
Kriteria kasus suspek ditambah ≥1 keadaan di bawah ini:
Ditemukan kenaikan titer antibodi terhadap H5 pada masa akut
dan konvalesens, min. 4×, dengan pemeriksaan tes HI meng-
gunakan eritrosit kuda atau tes ELISA
Hasil laboratorium terbatas untuk influenza H5 (terdeteksi
antibodi spesifik H5 dalam spesimen serum tunggal) mengguna-
kan tes netralisasi (dikirim ke laboratorium rujukan)
atau
Seseorang yang meninggal karena suatu penyakit saluran
respiratori akut yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya yang
secara epidemiologis berkaitan dengan aspek waktu, tempat,
dan pajanan terhadap suatu kasus probabel atau suatu kasus
H5N1 yang terkonfirmasi

509
Kasus Terkonfirmasi
Seseorang yang memenuhi kriteria kasus suspek atau probabel
dan disertai satu dari hasil (+) berikut ini yang dilaksanakan dalam
suatu laboratorium influenza, yang hasil pemeriksaan H5N1-nya:
Hasil PCR H5 (+)
Peningkatan ≥4× lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari
spesimen konvalesens dibandingkan dengan spesimen akut
(diambil ≤7 hr sesudah awitan penyakit) dan titer antibodi
netralisasi konvalesens harus pula ≥1/80
Isolasi virus H5N1
Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 ≥1/80 pada spesimen
serum yang diambil pada hari ≥14 sesudah awitan penyakit
disertai hasil (+) uji serologi lain, misal titer HI sel darah merah
kuda ≥1/160 atau western blot spesifik H5 (+)
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin
Umumnya leukopenia, limfositopenia, dan trombositopenia
Kimia darah
Umumnya albumin ↓, SGOT dan SGPT ↑, ureum dan kreatinin
↑, kreatin kinase ↑, pemeriksaan laktat. Analisis gas darah
dapat normal atau abnormal
Serologi
Tes RT-PCR dan deteksi antigen pada mgg pertama sesudah
inkubasi dan titer antibodi pada umumnya mulai ↑ sesudah
mgg pertama, peningkatan ≥4× lipat titer antibodi netralisasi
untuk H5N1 dari spesimen konvalesens dibandingkan dengan
spesimen akut, dan titernya harus pula ≥1/80
Foto Rontgen toraks
Pada fase awal dapat normal, pada fase lanjut ditemukan
ground glass opacity, konsolidasi homogen atau heterogen pada
paru, dapat unilateral atau bilateral, dapat mengenai semua
lapang paru, tersering di lapangan bawah, serial foto dilakukan
karena perjalanan penyakitnya progresif
CT-scan toraks
Dipertimbangkan pada penderita dengan gejala klinis flu burung
tetapi foto Rontgen toraks normal
Manajemen
Terapi suportif dan simtomatis: terapi oksigen, cairan, nutrisi adekuat
Antibiotik
Selama pneumonia belum dapat disingkirkan, dapat diberikan
antibiotik empirik berdasarkan dugaan kuman penyebab tersering
sesuai dengan pola kuman dan kepekaan setempat
Steroid: tidak dianjurkan secara rutin. Dapat dipertimbangkan pada
syok yang tidak responsif dengan terapi cairan dan obat golongan
vasopresor

510
Antiviral (penghambat neuramidase)
Oseltamivir: anak usia ≥1 th: 2 mg/kgBB, 2×/hr selama 5 hr
>40 kg: 75 mg, 2x/hr
>23–40 kg: 60 mg, 2x/hr
>15–23 kg: 45 mg, 2x/hr
≤15 kg: 30 mg, 2x/hr
Zanamivir: dapat diberikan pada bayi <1 th
Profilaksis 1x75 mg diberikan pada kelompok berisiko tinggi
terpajan sampai 7–10 hr, diberikan maks. 6–8 mgg:
Petugas yang terpajan penderita yang terkonfirmasi dengan
jarak <1 m tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD)
Petugas yang kontak erat dengan penderita suspek atau
konfirmasi H5N1 tanpa APD yang memadai
Anggota keluarga yang kontak erat dengan penderita konfirmasi
terinfeksi H5N1
Bibliografi
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
tatalaksana klinis flu burung (H5N1) di rumah sakit. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010.

511
INFLUENZA
Etiologi
Virus influenza, virus RNA

Manifestasi Klinis
Gejala sistemik: demam, sakit kepala, nafsu makan ↓, malaise, nyeri
otot
Gejala saluran respiratori: batuk, nyeri menelan, sekret hidung, bersin
Gejala lainnya: nyeri perut, muntah, mual, diare
Diagnosis
Anamnesis
Terdapat keluhan batuk, sakit kepala, demam, nyeri menelan,
pusing, muntah, dan nyeri otot
Pemeriksaan Fisis
Suhu tubuh ↑
Konjungtivitis
Rinitis
Dapat ditemukan ronki atau wheezing
Pemeriksaan Penunjang
Limfopenia relatif
Leukositosis
Foto Rontgen toraks
Isolasi virus
Manajemen
Terapi suportif
Antiviral amantadin dan rimantadin
Untuk H5N1: resisten terhadap amantadin dan rimantadin
Pencegahan dengan vaksin influenza
Bibliografi
1. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and
prevention of vaccine-preventable diseases. Edisi ke-8 [diunduh
12 Maret 2004]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/nip/
publications/pink/dip.pdf.
2. Glezen WP. Influenza viruses. Dalam: Feigin RD, Cherry JD,
penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2395–413.
3. Subbarao K. Influenza viruses. Dalam: Long SS, Pickering LK,
Prober CG, penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 1130–7.
4. Wright PF. Influenza. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St. Geme
III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of
pediatric. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm.
1121–3.

512
INFLUENZA A H1N1 (SWINE INFLUENZA)
Etiologi
Swine influenza A virus (H1N1)

Diagnosis
Masa inkubasi berkisar 1–7 hr, sedangkan masa penularan berkisar
1 hr sebelum mulai sakit (onset) sampai 7 hr sesudah onset. Puncak
dari virus hedding (pengeluaran virus) terjadi pada beberapa hari
pertama sakit
Penularan penyakit melalui kontak langsung dengan penderita
influenza H1N1 baik karena berbicara, terkena percikan batuk, atau
bersin (droplet infection)
Manifestasi Klinis
Gejala influenza-like ilness (ILI) yaitu demam dengan suhu >38 °C,
batuk, pilek, nyeri otot dan tenggorok. Gejala lain yang mungkin
menyertai yaitu sakit kepala, sesak napas, nyeri sendi, mual, muntah,
dan diare. Pada anak gejala klinis dapat terjadi fatique
Definisi Kasus
Secara operasional definisi kasus flu Meksiko dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Suspek
Seseorang dengan gejala infeksi pernapasan akut (demam ≥38 °C)
mulai dari yang ringan (influenza-like illnes) sampai dengan
pneumonia, ditambah salah satu keadaan di bawah ini:
Dalam 7 hr sebelum sakit, pernah kontak dengan kasus kon-
firmasi swine influenza A virus (H1N1)/flu Meksiko
Dalam 7 hr sebelum sakit pernah berkunjung ke area yang
terdapat ≥1 kasus konfirmasi swine influenza A virus (H1N1)/flu
Meksiko
2. Probabel
Seseorang dengan gejala di atas disertai dengan hasil pemeriksaan
laboratorium (+) terhadap influenza A tetapi tidak dapat diketahui
subtipenya dengan menggunakan reagen influenza musiman
atau
Seseorang yang meninggal karena penyakit infeksi saluran per-
napasan akut yang tidak diketahui penyebabnya dan berhubungan
secara epidemiologi (kontak dalam 7 hr sebelum onset) dengan
kasus probabel atau konfirmasi
3. Konfirmasi
Seseorang dengan gejala di atas sudah dikonfirmasi laboratorium
swine influenza A virus (H1N1)/flu Meksiko dengan pemeriksaan
≥1 tes di bawah ini:
RT-PCR
Kultur virus

513
Peningkatan 4× antibodi spesifik swine influenza A virus (H1N1)/
flu Meksiko dengan tes netralisasi
Keterangan:
Yang dimaksud ‘kontak’ yaitu merawat, tinggal serumah, atau
berhubungan langsung dengan sekret pernapasan atau cairan
tubuh dari kasus probabel atau konfirmasi swine influenza A virus
(H1N1)/flu Meksiko
Yang dimaksud ‘area terinfeksi’ yaitu area/negara yang mem-
punyai ≥1 kasus konfirmasi swine influenza A virus (H1N1)/flu
Meksiko yang ditetapkan oleh WHO. Area/negara ini setiap hari
dapat bertambah, sehingga harus selalu diikuti perkembangannya
melalui website: http://www.who.int
Diagnosis virus influenza A baru H1N1 secara klinis dibagi atas kriteria
ringan, sedang, dan berat
Kriteria ringan yaitu gejala ILI, tanpa sesak napas, tidak disertai
pneumonia, dan tidak ada faktor risiko
Kriteria sedang yaitu gejala ILI dengan salah satu dari kriteria:
faktor risiko, penumonia ringan (bila terdapat fasilitas foto
Rontgen toraks) atau disertai keluhan gastrointestinal yang
mengganggu seperti mual, muntah, diare, atau berdasarkan
penilaian klinis dokter yang merawat
Kriteria berat bila dijumpai pneumonia luas (bilateral, multilobar),
gagal napas, sepsis, syok, kesadaran ↓, sindrom sesak napas akut
(ARDS), atau gagal multiorgan
Kriteria pneumonia pada anak yaitu gejala ILI dan frekuensi napas
yang cepat (frekuensi napas sesuai usia) dan atau terdapat
kesukaran bernapas yang ditandai dengan retraksi sela iga,
epigastrium, suprasternal, subkostal (chest indrawing), atau napas
cuping hidung
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: darah perifer lengkap, tes fungsi hati, fungsi ginjal,
gula darah sewaktu
Radiologi: foto Rontgen toraks
Pemeriksaan lainnya bergantung pada indikasi
Pada darah perifer lengkap bila ditemukan leukopenia dan
trombositopenia dapat memperkuat diagnosis, tetapi bila tidak
ditemukan leukopenia dan trombositopenia tidak menyingkirkan
diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan menggunakan RT-PCR, kultur virus, atau
tes netralisasi (terjadi peningkatan titer antibodi 4× dalam spare
serum)
Tatalaksana
Kasus Ringan
Sebagian besar kasus akan sembuh dalam waktu 1 mgg. Pena-
nganan pada kasus ringan tidak pemerlukan perawatan RS, tidak
memerlukan pemberian antivirus kecuali kasus dengan klaster

514
serta diberikan pengobatan simtomatik dan komunikasi informasi
edukasi (KIE) pada penderita dan keluarga. Penderita diamati
selama 7 hr. Pengobatan simtomatik diberikan sesuai gejala.
Salisilat tidak boleh diberikan pada anak usia <18 th karena dapat
→ sindrom Reye
Kasus Sedang
Perawatan di ruang isolasi dan diberikan antivirus. Dilakukan
pemeriksaan RT-PCR hanya satu kali pada awal. Jika keadaan
umum dan klinis baik dapat dipulangkan dengan KIE. Jika terjadi
perburukan → rawat ICU. Penatalaksanaan sesuai kasus berat
(pengawasan ketat tanda kegawatdaruratan, misal pemeriksaan
laktat dehidrogenase >4, analisis gas darah menunjukkan PaCO2
<30 mmHg, C-reactive protein, atau prokalsitonin)
Kasus Berat
Perawatan di ruang isolasi ICU/PICU/NICU dan diberikan antivirus,
serta diperiksa RT-PCR satu kali pada awal. Pada influenza A baru
H1N1 yang berat dengan pneumonia, gambarannya sama dengan
pneumonia pada flu burung
Kasus Berat pada Anak
Apabila terdapat pneumonia dan atau ditemukan gejala
berbahaya/berat seperti tidak dapat minum, muntah terus-
menerus, kebiruan di sekeliling bibir, kejang, tidak sadar, anak usia
<2 th dengan demam atau hipotermia, pneumonia luas (bilateral,
multilobar), gagal napas, sepsis, syok, kesadaran ↓, ARDS
(sindrom sesak napas akut), gagal multiorgan
Kriteria Rawat ICU
Yaitu gagal napas (kriteria gagal napas: analisis gas darah PaCO2
<30 mmHg, frekuensi pernapasan >30x/mnt, pada anak sesuai
usia, rasio PaO2/FiO2<200 ARDS, <300 ALI), syok (kriteria syok:
tekanan darah diastol <80 mmHg, pada anak takikardia, laktat
dehirogenase >4, bila tersedia fasilitas)
Antiviral
Direkomendasikan pemberian oseltamivir atau zanamivir.
Zanamivir dapat diberikan pada kasus yang diduga resisten
oseltamivir atau tidak dapat menggunakan oseltamivir
Pemberian antiviral tersebut diutamakan pada penderita rawat
inap dan kelompok risiko tinggi penyulit
Pengobatan dengan zanamivir atau oseltamivir harus dimulai
sedini-dininya dalam waktu 48 jam sesudah awitan penyakit
Dosis pemberian zanamivir untuk usia ≥7 th dan dewasa adalah
2×10 mg inhalasi
Dosis oseltamivir pada anak: 2 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis
Antiviral tidak direkomendasikan untuk profilaksis pada influenza A
(H1N1)

515
Antibiotik
Bila terjadi pneumonia maka antibiotik direkomendasikan untuk
diberikan berdasarkan evidence based dan pedoman pneumonia
didapat masyarakat. Antibiotik diberikan sesuai pedoman lokal
Tidak direkomendasikan pemberian antibiotik profilaksis
Kortikosteroid
Penggunaaan kortikosteroid secara rutin harus dihindarkan pada
penderita influenza A baru H1N1
Dapat diberikan pada syok septik yang memerlukan vasopresor
dan diduga mengalami insufisiensi adrenal. Dapat diberikan dosis
rendah hidrokortison 300 mg/hr dosis terbagi
Bibliografi
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman diagnosis
dan penatalaksanaan influenza A baru (H1N1). Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; September 2009.

516
MUMPS (PAROTITIS EPIDEMIKA)
Batasan
Parotitis atau mumps merupakan infeksi akut yang bersifat self-
limited ditandai dengan demam, bengkak, dan nyeri tekan pada
kelenjar liur terutama kelenjar parotis baik unilateral maupun
bilateral
Etiologi
Virus mumps, salah satu famili Paramyxoviridae dan genus
Rubulavirus
Patofisiologi
Infeksi menyebar melalui saluran respiratori (kontak langsung atau
droplet yang masuk melalui hidung atau mulut) → replikasi virus di
epitel saluran respiratori atas → menyebar ke KGB (limfatik) →
viremia → virus menyebar ke berbagai target organ
Diagnosis
Masa inkubasi: 17–18 (14–24) hr
Anamnesis
Kontak dengan penderita
Belum pernah mendapat imunisasi mumps
Panas, nyeri otot (terutama otot leher), nyeri kepala, malaise, dan
anoreksia
Pemeriksaan Fisis
Pembesaran pada satu atau kedua kelenjar parotis atau kelenjar
liur lain yang disertai rasa sakit
Laboratorium
Leukopenia dengan limfositosis relatif, amilase serum ↑
Diagnosis Banding
Parotitis akibat infeksi virus lain: virus parainfluenza 1 dan 3, virus
influenza A, CMV, EBV, enterovirus, HIV
Parotitis supuratif akibat infeksi bakteri: S. aureus
Parotitis rekurens: idiopatik akibat alergi
Obstruksi duktus Stensen
Limfadenitis servikal anterior atau preaurikuler
Sindrom Sjorgen
Lupus eritromatosus sitemik
Limfosarkoma atau tumor parotis lain
Pemeriksaan Penunjang
Jumlah leukosit dan hitung jenis sel darah
Kadar amilase serum
Serologik: tes fiksasi komplemen, inhibisi hemaglutinasi
Isolasi virus dari saliva, urin, cairan otak, dan darah
517
Terapi
Simtomatik: analgetik-antipiretik
Suportif:
Tirah rebah
Diet disesuaikan dengan kesanggupan mengunyah
Penatalaksanaan penyulit yang terjadi
Penyulit
Meningoensefalomielitis Tiroiditis
Orkitis dan epididimitis Artritis
Ooforitis Mastitis
Pankreatitis Tuli
Nefritis Purpura trombositopenia
Miokarditis Mata: dakrioadenitis, papilitis
Pencegahan
Imunisasi aktif; biasanya disatukan dengan vaksin measles dan rubela
(MMR® atau Trimovax®)
Prognosis
Umumnya baik
Meningoensefalitis biasanya ringan dan jarang diikuti sekuele
Orkitis sangat jarang didapatkan gangguan kesuburan
Bibliografi
1. American Academy of Pediatrics. Mumps. Dalam: Pickering LK,
Baker CJ, Kimberlin DW, Long SS, penyunting. Red Book 2009.
Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-28. Elk
Grove Village: American Academy of Pediatrics; 2009. hlm. 468–
72.
2. Mason W. Mumps. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson
HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 1341–4.

518
MONONUKLEOSIS INFEKSIOSA
Batasan
Suatu sindrom klinis yang disebabkan oleh virus Epstein-Barr
(Ebstein-Barr virus/EBV). Ditandai dengan keluhan somatis seperti
lemah badan, demam, tenggorok kering, dan limfadenopati
generalisata
Etiologi
Virus Epstein-Barr, salah satu anggota virus γ-herpesviruses dari
genus Lymphocryptovirus
Patofisiologi
Transmisi virus terjadi melalui kontak langsung melalui saliva,
transfusi darah ataupun transplantasi hepar/lien
EBV menginfeksi epitel rongga mulut → faringitis → menyebar organ
yang berdekatan seperti kelenjar liur, lalu → viremia dan menginfeksi
limfosit B dan seluruh sistem limforetikuler, termasuk hepar dan lien
Diagnosis
Masa inkubasi: adolesens 30–50 hr, pada anak lebih pendek
Anamnesis
Lemah badan, demam (>1 mgg), sakit kepala, sakit tenggorok,
mual, nyeri perut, nyeri otot
Rasa tidak nyaman pada perut bagian atas (akibat splenomegali)
Pemeriksaan Fisis
Pembesaran tonsil disertai eksudat
Limfadenopati generalisata (90% kasus)
Splenomegali (50% kasus)
Hepatomegali (10% kasus)
Ruam makulopapular (3–15% kasus)
“Ruam ampisilin” pada penderita yang diberikan ampisilin atau
amoksisilin
Laboratorium
Leukositosis 10.000–20.000 sel/mm3, ⅔-nya limfosit
Limfosit atipikal: 20–40%
Trombositopenia ringan: 50.000–200.000
Kadar transaminase hati sedikit ↑ pada 50% kasus
Diagnosis Banding
Penyakit menyerupai mononukleosis infeksiosa: biasanya akibat
cytomegalovirus, T. gondii, adenovirus, virus hepatitis, HIV, atau
rubela
Faringitis akibat streptokokus
Leukemia

519
Pemeriksaan Penunjang
Kultur EBV dari sekret orofaringeal, genital, atau darah perifer
Tes antibodi heterofil
Antibodi spesifik EBV

Terapi
Simtomatik: analgetik-antipiretik
Prednison 1 mg/kgBB/hr (maks. 60 mg/hr) atau dosis ekuivalen
selama 7 hr diikuti dengan penurunan dosis untuk 7 hr berikutnya
Asiklovir dosis tinggi: ↓ replikasi virus, tetapi tidak ↓ durasi atau
pun beratnya penyakit
Suportif: tirah rebah 1–2 mgg
Hindari olahraga kontak pada periode splenomegali (2–3 mgg
pertama)
Penyulit
Perdarahan lien subkapsular Ruptur lien
Obstruksi jalan napas Kejang
Ataksia Sindrom Alice in Wonderland
Meningitis (metamorfosia)
Mielitis transversalis Kelumpuhan saraf wajah
Sindrom Gullian-Barre Ensefalitis
Anemia aplastik Anemia hemolitik
Miokarditis Trombositopenia
Pankreatitis Pneumonia interstitialis
Orkitis Parotitis
Pencegahan
Kandidat vaksin rekombinan EBV glikoprotein subunit 350 (gp350)
diberikan dalam 3 regimen dosis tampak menjanjikan untuk pen-
cegahan mononukleosis infeksiosa
Prognosis
Umumnya baik
Gejala umumnya berlangsung 2–4 mgg diikuti pemulihan secara
bertahap
Bibliografi
1. American Academy of Pediatrics. Epstein-Barr virus infections
(infectious mononucleosis). Dalam: Pickering LK, Baker CJ,
Kimberlin DW, Long SS, penyunting. Red Book 2009. Report of
the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-28. Elk Grove
Village: American Academy of Pediatrics; 2009. hlm. 289–92.
2. Jenson HB. Epstein-Barr virus. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF,
St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011. hlm. 1110–4.

520
CYTOMEGALOVIRUS
Etiologi
Cytomegalovirus (CMV), virus DNA golongan herpesvirus

Manifestasi Klinis
Sebagian besar subklinis
Pada bayi dan anak, infeksi CMV primer biasanya menyebabkan
pneumonitis, hepatomegali, ensefalitis, dan ruam petekia. Pada anak
yang lebih besar dan remaja: mononucleosis-like syndrome ditandai
dengan fatigue, malaise, mialgia, sakit kepala, hepatosplenomegali,
dan limfositosis atipikal
Demam persisten, hepatitis, ruam morbiliform
Infeksi kongenital: intrauterine growth restriction (IUGR), prematur-
itas, hepatosplenomegali, jaundice, blueberry muffin-like rash, trom-
bositopenia, purpura, mikrosefal dan kalsifikasi intrakranial,
korioretinitis, sensorineural hearing loss, ↑ sedikit protein CSS
Infeksi neonatal: pneumonitis, sepsis-like syndrome
Diagnosis
PCR → isolasi virus dari urin, saliva, cairan bronkoalveolus, ASI, sekret
serviks, buffy coat, dan jaringan
IgG dan IgM anti-CMV

Manajemen
Gansiklovir 7,5 mg/kgBB i.v. tiap 8 jam selama 14 hr dan CMV IVIG
400 mg/kgBB pada hari 1, 2, dan 7, serta 200 mg/kgBB pada hari 14,
atau
Gansiklovir 7,5 mg/kgBB i.v. tiap 8 jam selama 20 hr dan CMV IVIG
500 mg/kgBB/hr selanjutnya sebanyak 10 dosis
Bibliografi
1. McAuley JB, Boyer KM, Remington JS, Mcleod RL. Toxoplasmosis.
Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric
infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co;
2009. hlm. 2954–70.
2. McLeod R. Toxoplasma. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St.
Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011. hlm. 1208–16.

521
HAND, FOOT, AND MOUTH DISEASE
Etiologi
Kumpulan virus yang disebut enterovirus. Kelompok virus ini adalah
poliovirus, coxsackievirus, echovirus, dan enterovirus, tetapi paling
sering disebabkan coxsackievirus A16 (CA16) dan enterovirus 71
(EV71)
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Masa inkubasi 3–6 hr
Gejala sama dengan penyakit flu yaitu demam, batuk, malaise, dan
nyeri tenggorokan
Diikuti dengan munculnya vesikel dan ruam di tangan, kaki, dan
mulut (lidah, gusi, dan pipi bagian dalam) yang kemudian melepuh.
Vesikel mudah pecah dan menjadi luka di mulut seperti sariawan
Lesi biasanya ditemukan pada mukosa mulut, palatum, dan lidah
dalam bentuk makulopapula dengan diameter 2–10 mm dan
berubah menjadi vesikel. Ulkus berbentuk oval, berwarna
keabuan, dan dikelilingi oleh batas tegas hiperemis. Lesi dapat
ditemukan di seluruh tubuh termasuk pada ujung lidah dan gusi,
dapat menghilang dalam 5–10 hr. Infeksi bakteri sekunder dapat
terjadi. Dengan terdapat lesi pada mulut dapat → anak sulit makan
dan minum, sehingga dapat → dehidrasi dan asupan makanan
yang kurang
Eksantema diawali dengan makula dan secara cepat berubah
menjadi papula dan vesikel. Lesi ini biasanya menghilang dalam
10–14 hr. Lesi pada tangan muncul 1–2 hr sesudah lesi di mulut.
Pada awalnya berbentuk makula, diameter 3–10 mm dan secara
cepat berubah menjadi bentuk vesikel. Lesi dapat ditemukan pada
falang distal jari dan ulna, biasanya disertai nyeri. Lesi pada kaki
dapat muncul bersamaan dengan lesi pada tangan, awalnya
berbentuk papula yang berubah menjadi vesikel. Lesi dapat
ditemukan pada batas pinggir kaki, bagian distal jari, dan rongga
interfalang. Penderita dapat mengeluh nyeri ketika berjalan dan
melangkah
Pada sebagian anak dapat terjadi demam tinggi, meningitis,
ensefalitis, dan paralisis atau kelumpuhan
Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus ringan tidak diperlukan
Pada kasus berat → jumlah leukosit ↑ dengan neutrofilia relatif,
hiperglikemia, dan laktat dalam cairan serebrospinal ↑. Kadar
kreatinin kinase dan troponin ↑ ditemukan pada penderita
dengan penyulit kardiopulmonal. Pemeriksaan Rontgen toraks
diperlukan apabila ditemukan gejala edema paru. Pemeriksaan
pungsi lumbal penting dilakukan pada penderita dengan gejala
keterlibatan SSP seperti kejang mioklonik atau meningitis

522
Isolasi EV71 → apus tenggorokan, feses, apus rektum, apus vesikel,
dan cairan serebrospinal. Isolasi EV71 merupakan baku emas
dalam diagnosis enterovirus
Tes serologis → RT-PCR, IFA, dan PCR
Terapi
Self limiting, sembuh spontan dengan terapi simtomatik
Gejala dapat diobati untuk mengurangi rasa sakit akibat ulkus di
mulut dan demam serta nyeri:
Demam dapat diterapi dengan antipiretik
Nyeri dapat diobati dengan asetaminofen, ibuprofen, atau obat
penghilang nyeri lainnya
Penyegar mulut atau spray/semprotan yang dapat mematirasakan
nyeri dapat digunakan untuk mengurangi nyeri mulut
Asupan cairan sebaiknya cukup untuk mencegah dehidrasi (kurang-
nya cairan tubuh). Jika terjadi dehidrasi sedang-berat, dapat diterapi
medis dengan pemberian cairan melalui vena
Tidak ada terapi spesifik untuk infeksi. Terapi simtomatik diberikan
untuk mengurangi gejala demam, sakit, dan nyeri
Terapi dengan antibiotik tidak efektif dan tidak diindikasikan
Kumur air garam (½ sendok teh garam dalam 1 gelas air hangat)
dapat mengurangi rasa nyeri jika anak dapat berkumur tanpa ditelan
Bibliografi
1. Cherry JD. Enteroviruses: polioviruses, coxsackieviruses, echo-
viruses, and enteroviruses. Dalam: Feigin RD, Cherry JD,
penyunting. Pediatric infectious diseases. Edisi ke-3. Philadelphia:
WB Saunders; 2000. hlm. 1705–43.
2. Modlin JF. Enteroviruses: coxsackieviruses, echoviruses, and
newer enteroviruses. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Principles and practice of pediatric infectious
diseases. Edisi ke-2. New York: Churchill Livingstone; 2003. hlm.
1179–85.
3. Osterback R, Vourinen T, Linna M, Susi P, Hyypia T, Waris M.
Coxsackievirus A6 and hand, foot, and mouth disease, Finland. J
Infect Dis. 2009;15:1485–7.
4. Wang JF, Guo YS, Christakos G, Yang ZW, Liao YL, Li ZJ. Hand,
foot, and mouth disease: spatiotemporal transmission and
climate. Inter J Hlth Geographics. 2011;15:1−9.
5. World Health Organization. A guide to clinical management and
public health response for hand, foot, and mouth disease
(HFMD). Manila: WHO; 2011.

523
MIDDLE EAST RESPIRATORY SYNDROME
CORONAVIRUS (MERS-CoV)
Etiologi
Coronavirus merupakan suatu enveloped, single-stranded RNA virus
yang mampu menyerang beberapa spesies termasuk manusia.
Terdapat 5 jenis coronavirus yang mampu menyebabkan penyakit
pada manusia (human coronavirus/HCoV) yaitu HCoV 229E, OC43,
NL63, HKU1, dan SARS-CoV
Transmisi
Sumber infeksi dan cara penularan pada manusia hingga kini masih
belum jelas. Timbulnya kasus infeksi MERS-CoV tanpa didahului
kontak dengan hewan sebelumnya dan ditemukan kontak dengan
penderita MERS-CoV membuat kemungkinan bahwa virus dapat
menyebar antarmanusia melalui saluran respiratori
Manifestasi Klinis
Gejala yang pertama kali timbul yaitu demam tinggi, batuk, dan sesak
napas. Penderita kemudian secara cepat akan mengalami perburukan
menjadi pneumonia berat dan gagal ginjal. Gangguan ginjal tidak
terjadi pada semua kasus. Pada beberapa kasus gejala awal dapat
berupa demam dan diare. Penyulit selama perjalanan penyakit dapat
berupa gagal multiorgan, gagal ginjal hingga memerlukan dialisis,
koagulopati konsumtif, dan perikarditis. Sebagian besar kasus dengan
penyulit hingga akhirnya menyebabkan kematian terjadi pada
penderita imunokompromais atau memiliki penyakit dasar lainnya
(penyakit jantung koroner, diabetes melitus, gangguan ginjal). Masa
inkubasi <1 mgg
Diagnosis
World Health Organization (WHO) menetapkan beberapa kriteria
untuk menentukan penderita yang memiliki risiko tinggi terkena
infeksi MERS-CoV yaitu:
1. Penderita infeksi saluran respiratori akut dengan riwayat demam,
batuk, serta ditemukan gambaran pneumonia pada pemeriksaan
radiologi dan memerlukan perawatan rumah sakit
SERTA salah satu di bawah ini:
Penyakit tersebut berlangsung di dalam sekelompok orang (≥2
orang dengan kurun waktu yang sama yaitu <14 hr dan
berhubungan dengan setting tertentu seperti ruang kelas,
tempat kerja, rumah tangga, rumah sakit, barak militer, atau
lainnya)
Terjadi pada petugas kesehatan yang bekerja di lingkungan
perawatan penderita infeksi saluran respiratori berat
Penderita memiliki riwayat bepergian ke daerah Timur Tengah
dalam kurun waktu 14 hr sebelum onset penyakit
2. Penderita dengan infeksi saluran respiratori akut stadium
berapapun yang dalam kurun waktu 14 hr sebelumnya mengalami

524
kontak fisik erat dengan kasus probable atau confirmed infeksi
MERS-CoV
3. Penderita dengan infeksi saluran respiratori akut di negara-negara
Timur Tengah
Sampel pemeriksaan apusan spesimen dari saluran respiratori bawah
(dahak penderita, aspirasi endotrakeal atau bronchoalveolar lavage)
lebih banyak mengandung virus dibandingkan dengan spesimen dari
saluran respiratori atas (apusan nasofaring atau orofaring). Sampel
harus diambil dari banyak lokasi dan diambil dalam beberapa waktu
yaitu pada mgg pertama sakit kemudian 14–21 hr sesudahnya.
Apabila hanya satu sampel yang dapat diambil maka waktu
pengambilan yang disarankan adalah min. 14 hr sesudah onset gejala
Bila pada penderita dengan dugaan kuat infeksi MERS-CoV tetapi
pada pemeriksaan apusan spesimen nasofaring atau orofaring tidak
ditemukan virus maka pemeriksaan ulangan apusan spesimen dari
nasofaring dan orofaring perlu dilakukan
Definisi Kasus
World Health Organization (WHO) pada bl Juli 2013 menetapkan
definisi kasus infeksi MERS-Cov sebagai berikut:
Probable Case
Terdiri atas kombinasi manifestasi klinis, epidemiologi, dan kriteria
laboratorium
1. Penderita infeksi saluran respiratori akut dengan gambaran klinis
atau radiologi yang sesuai dengan penyakit parenkim paru
(pneumonia atau acute respiratory distress syndrome)
DAN
Pemeriksaan laboratorium untuk MERS-CoV tidak tersedia atau
penilaian sampel tidak adekuata
DAN
Penderita memilikib
kontak langsung dengan kasus confirmed
infeksi MERS-CoV
2. Penderita infeksi saluran respiratori akut dengan gambaran klinis
atau radiologi yang sesuai dengan penyakit parenkim paru
(penumonia atau acute respiratory distress syndrome)
DAN
Pemeriksaan laboratorium
c
MERS-CoV tidak dapat disimpulkan
(inconclusive)
DAN
Merupakan penduduk atau turis di Timur Tengah karena infeksi
virus MERS-CoV sedang menjadi endemis pada kurun waktu
14 hr sebelum timbul gejala
3. Penderita infeksi saluran respiratori akut derajat berapapun
DAN
Pemeriksaan claboratorium MERS-CoV tidak dapat disimpulkan
(inconclusive)
DAN
Penderita memilikib
kontak langsung dengan kasus confirmed
infeksi MERS-CoV
525
Confirmed Case
Penderita dengan pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan hasil
(+) terinfeksi MERS-CoV
Keterangan:
a
Penilaian sampel tidak adekuat: sampel hanya dari apus nasofaring
tanpa sampel dari saluran respiratori bawah, spesimen yang tidak
ditranspor atau ditangani dengan baik, atau sampel yang diambil dalam
kurun waktu terlalu lama dari onset sakit
b
Kontak langsung: termasuk kontak fisik erat, bekerja dalam lingkungan
yang sama atau berada dalam kelas yang sama, bepergian bersama,
tinggal di dalam rumah yang sama dan kontak terjadi dalam kurun waktu
14 hr sebelum atau sesudah onset
c
Tes inconclusive: hanya pemeriksaan skrining yang menunjukkan hasil (+)
tanpa dikonfirmasi dengan pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan
PCR

Tatalaksana
Setiap penderita infeksi saluran respiratori berat yang ditandai
dengan distres napas berat, hipoksemia (saturasi oksigen <90%), atau
dalam keadaan syok perlu mendapat oksigen. Mulai pemberian
oksigen dari 5 L/mnt dan pertahankan saturasi oksigen ≥90%.
Pemberian antibotik empiris untuk tatalaksana community acquired
pneumonia dapat diberikan sedini-dininya sesuai dengan pola
resistensi kuman setempat. Pada kasus berat memerlukan tindakan
ventilasi mekanik serta perawatan di ruang intensif
Pencegahan
Prinsip dasar pencegahan infeksi MERS-CoV di tempat fasilitas
kesehatan meliputi:
Kontrol administrasi
Meliputi deteksi dini ISPA dengan kecurigaan infeksi MERS-CoV,
menempatkan penderita di ruang isolasi dan mencegah kepadatan
di tempat menunggu
Kontrol lingkungan
Menempatkan penderita di ruangan isolasi dengan ventilasi yang
baik dan dengan jarak min. 1 m dengan penderita ISPA lainnya
atau dengan petugas kesehatan
Penggunaan protective personal equipment (PPE)
Penggunaan PPE dan cuci tangan membantu mengurangi risiko
transmisi

526
Bibliografi
1. European Centre for Disease Prevention and Control. Severe
respiratory disease associated with Middle East respiratory
syndrome coronavirus (MERS-CoV). Update ke-11. Stockholm:
ECDC; 2014.
2. Guery B, Poissy J, el Mansouf L, Sejorney C, Ettahar N, Lemaire X,
dkk. Clinical feature and viral diagnosis of two cases of infection
with Middle East respiratory syndrome coronavirus: a report of
nosocomial transmission. Lancet. 2013;381(9885):2265–72.
3. World Health Organization. Infection prevention and control
during health care for probable and confirmed cases of novel
coronavirus (nCoV) infection. Interim guidance. 6 May 2013
[diunduh 8 Agustus 2014]. Tersedia dari: http://www.who.int/
csr/disease/coronavirus_infections/IPCnCoVguidance_06May13.
pdf.
4. World Health Organization. Interim surveillance recommendations
for human infection with Middle East respiratory syndrome
coronavirus. As of 27 June 2013 [diunduh 8 Agustus 2014]. Tersedia
dari: http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/
InterimRevisedSurveillanceRecommendations_nCoVinfection_27Ju
n13.pdf.
5. World Health Organization. Laboratory testing for Middle East
respiratory syndrome coronavirus. Interim recommendation.
September 2013 [diunduh 8 Agustus 2014]. Tersedia dari:
http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/MERS_L
ab_recos_16_Sept_2013.pdf.
6. World Health Organization. Revised interim case definition for
reporting to WHO-Middle East respiratory syndrome coronavirus
(MERS-CoV). Interim case definition as of 3 July 2013 [diunduh 8
Agustus 2014]. Tersedia dari: http://www.who.int/csr/disease/
coronavirus_infections/case_definition/en/.

527
FEVER OF UNKNOWN ORIGIN (FUO)

Batasan
Fever of unknown origin (FUO) didefinisikan sebagai demam dengan
suhu lebih dari 38 °C yang berlangsung lebih dari 14 hari tanpa
ditemukannya penyebab yang jelas walaupun sudah dilakukan
anamnesis yang lengkap, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penapisan laboratorium rutin
Untuk memperjelas etiologi dan tatalaksana FUO saat ini dapat dibagi
menjadi empat subtipe (lihat Tabel 126)

Bibliografi
1. Nield LS, Kamat D. Fever without a focus. Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011. hlm. 898–9.
2. Smith S, Chairulfatah A, Leman MM. Demam tanpa fokus. Dalam:
Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE, Ikatan
Dokter Anak Indonesia, penyunting. Nelson ilmu kesehatan anak
esensial. Edisi ke-6. Singapore: Elsevier (Singapore) Pte. Ltd.;
2014. hlm. 397–401.

528
Tabel 126 Definisi dan Fitur Utama Empat Subtipe FUO

FUO Klasik Health Care-associated FUO Imunodefesiensi HIV-related FUO


FUO
Definisi ≥38 °C, >3 mgg, ≥38 °C, >1 mgg, tidak ≥38 °C, >1 mgg, ≥38 °C, >3 mgg (penderita
>2× kunjungan atau dalam masa inkubasi saat PMN <1.000, kultur (−) rawat jalan), >1 mgg
1 mgg dirawat di RS masuk RS sesudah 48 jam (penderita rawat inap),
terkonfirmasi HIV (+)
Lokasi Komunitas, klinik, RS Acute care hospital Klinik atau RS Komunitas, klinik, RS
penderita
Etiologi Infeksi (25–50%, a.l.: abses, HAIs, penyulit Infeksi (tetapi etiologi HIV, mikobakteria tipikal (TBC),
utama endokarditis, TBC, ISK pascaoperasi, drug fever ditemukan hanya pada dan atipikal, CMV, limfoma,
529

komplikata) keganasan, 40–60% kasus) toksoplasmosis, P. carinii,


peradangan yang tidak immune reconstitution
terdiagnosis (a.l.: SLE, inflammatory syndrome (IRIS)
penyakit reumatoid)
Anamnesis Traveling, kontak binatang, Operasi dan tindakan, Stadium kemoterapi, Obat, paparan/kontak, faktor
imunisasi, riwayat keluarga, instrumentasi, kelainan pemberian obat risiko, traveling, stadium HIV
gangguan katup jantung anatomi, pengobatan
Pemeriksaan Fundus, orofaring, arteri Luka, drain, Lipatan kulit, akses Mulut, kulit, kelenjar limfe,
fisis temporal, abdomen, instrumentasi, sinus, urin vena, paru-paru, area mata, paru-paru, hati, area
kelenjar limfe, lien, sendi, perianal perianal
genital, rektum atau
prostat
Pemeriksaan Pencitraan, biopsi, LED, Pencitraan, kultur bakteri Foto Rontgen toraks, Darah dan hitung limfosit,
penunjang PPD kultur bakteri serologi, foto Rontgen toraks,
feses, pungsi sumsum tulang,
kultur dan sitologi, pencitraan
otak
Penata- Observasi, kurva suhu Bergantung pada situasi Terapi antimikrob Terapi antiviral-antimikrob,
laksanaan rawat jalan, investigasi, sesuai protokol vaksin, revisi, regimen terapi,
hindari terapi empirik nutrisi
Lama sakit Beberapa bl Beberapa mgg Beberapa hr Beberapa mgg sampai bl
Lama Beberapa mgg Beberapa hr Beberapa jam Beberapa hr sampai bl
investigasi
530
INFEKSI PARASIT
PENYAKIT CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH
Klasifikasi
Askariasis
Ankilostomiasis
Trikuriasis

ASKARIASIS
Etiologi
Ascaris lumbricoides
Diagnosis
Loeffler like syndrome
Keluarnya cacing dewasa melalui anus atau mulut
Feses: mikroskopik ditemukan telur Ascaris lumbricoides

Manajemen
Antihelmintik
Mebendazol 2 x 100 mg p.o. selama 3 hr berturut-turut
Pirantel pamoat 10 mg/kgBB p.o. dosis tunggal
Albendazol 200 mg/kgBB p.o., untuk anak >2 th dosis tunggal
Garam piperazin 50–75 mg/kgBB (obat terpilih untuk obstruksi
intestinal karena Ascaris lumbricoides) 2 hr berturut-turut

ANKILOSTOMIASIS
Diagnosis
Ground itch
Feses: ditemukan telur cacing Ancylostoma duodenale, Necator
americanus, atau Ancylostoma ceylonicum
Pemeriksaan Penunjang
Feses
Manajemen
Hb <5 g/dL elemen zat besi 2–3 mg/kgBB/hr dalam 3 dosis
Anemia berat dan gagal jantung: transfusi PRC dan diuretik
Antihelmintik: mebendazol 2 x 100 mg p.o. 2 hr berturut-turut
Pirantel pamoat 10 mg/kgBB p.o. dosis tunggal

531
TRIKURIASIS
Etiologi
Trichuris trichiura

Diagnosis
Kebanyakan kasus tanpa gejala, kadang kolik abdomen dan perut
kembung
Pada penderita infeksi berat pernah dilaporkan diare berdarah,
anemia, dan prolapsus rekti
Feses: mikroskopik ditemukan telur Trichuris trichiura
Pemeriksaan penunjang
Feses
Manajemen
Antihelmintik: mebendazol 2 x 100 mg p.o. 3 hr berturut-turut
Bibliografi
1. Hotes PJ. Parasitic nematode infection. Dalam: Feigin RD, Cherry
JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi
ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2981–96.

532
MALARIA
Etiologi
Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale,
Plasmodium malariae

Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Anamnesis
Keluhan utama: demam (intermiten), menggigil, berkeringat,
dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, dan nyeri otot
Penderita berasal/berkunjung 1–4 mgg yang lalu ke daerah
endemis malaria, riwayat sakit malaria, minum obat/riwayat
minum obat malaria, dan riwayat mendapat transfusi darah
Pada malaria berat, anamnesis di atas ditambah gangguan
kesadaran, kejang, kuning, perdarahan, sesak napas, muntah
hebat, feses seperti teh sampai kehitaman, oliguria, sampai anuria,
dan sangat pucat
Pemeriksaan Fisis
Demam tinggi, menggigil, berkeringat, pucat, dan hepatospleno-
megali
Pada malaria berat ditemukan nadi cepat dan lemah, TD sistol
turun 20 mmHg dari sebelumnya, takipnea s.d. dispnea, nilai GCS
↓, manifestasi perdarahan, tanda dehidrasi berat, tanda anemia
berat, ikterik, crackles, oliguria s.d. anuria, gejala lesi UMN, dan
rangsang meningen
Pemeriksaan Mikroskop
Apus darah tepi
Tebal → terdapat Plasmodium (+)/(−)
Tipis → identifikasi spesies dan stadium Plasmodium, serta
kepadatan parasitemia
Untuk tersangka malaria, perhatikan:
Bila pemeriksaan pertama (−), perlu diperiksa ulang tiap
6 jam–3 hr berturut-turut
Bila hasil pemeriksaan apus darah tebal selama 3 hr berturut-
turut tidak ditemukan parasit, maka diagnosis malaria
disingkirkan
Tes diagnostik cepat berdasarkan deteksi antigen parasit,
digunakan apabila tidak tersedia fasilitas lab mikroskopis
Pemeriksaan penunjang tambahan untuk malaria berat: darah rutin
(Hb, PCV, L, T, DC), MDT, kimia darah (GDS, bilirubin, tes fungsi hati,
ureum dan kreatinin, natrium dan kalium, AGD), biakan darah,
urinalisis, EKG, dan foto Rontgen toraks
Manajemen
Saat ini terdapat berbagai pilihan artemisinin-based combination
therapy (ACT), WHO merekomendasikan ACT lini pertama, sbb.

533
Pengobatan Malaria Falsiparum tanpa Penyulit
Dihydroartemisinin-piperaquine dan primakuin
Tersedia dalam bentuk tablet kombinasi yang mengandung
dihydroartemisinin 40 mg dan piperaquine 320 mg
Tabel 127 Pengobatan Malaria Falsiparum tanpa Penyulit
Jumlah Tablet/Hari Menurut BB (kg)
Hari Obat ≤5 6–10 11–17 18–30 31–40 41–59 ≥60
0–1 bl 2–11 bl 1–4 th 5–9 th 10–14 th
1–3 DHP ¼ ½ 1 1½ 2 3 4
1 Primakuin − − ¾ 1½ 2 2 3

Pengobatan Malaria Vivaks tanpa Penyulit


Dihydroartemisinin-piperaquine dan primakuin
Tabel 128 Pengobatan Malaria Vivaks tanpa Penyulit
Jumlah Tablet/Hari Menurut BB (kg)
Hari Obat ≤5 6–10 11–17 18–30 31–40 41–59 ≥60
0–1 bl 2–11 bl 1–4 th 5–9 th 10–14 th
1–3 DHP ¼ ½ 1 1½ 2 3 4
1–14 Primakuin − − ¾ ½ ¾ 1 1

Dugaan relaps pada malaria vivaks apabila primakuin sudah diminum


14 hr dan penderita sakit dengan parasit (+), dalam waktu 3 mgg–3 bl
sesudah terapi. Terapi: regimen ACT sama tetapi dosis primakuin
ditingkatkan 2× lipat
Pengobatan Malaria Ovale
Dihydroartemisinin-piperaquine, dosis sama dengan malaria vivaks
Pencegahan
Ditujukan bagi individu yang berkunjung ke daerah endemis dalam
waktu tidak lama, dengan cara:
Menjaga kebersihan lingkungan dengan mengurangi tempat
perindukan nyamuk penular malaria
Pencegahan gigitan nyamuk menggunakan personal protection:
kelambu berinsektisida, repellent, kawat kasa, dll.
Kemoprofilaksis
Bertujuan mengurangi risiko terinfeksi malaria atau bila
terinfeksi maka gejala klinis tidak berat. Digunakan doksisiklin
100 mg/hr (perhatikan usia anak) sejak 1–2 hr sebelum
bepergian, selama di daerah tersebut sampai 4 mgg sesudah
kembali

534
Malaria Berat
Artesunate injeksi (1 flacon = 60 mg)
Dosis i.v. 2,4 mg/kgBB/kali pemberian
Pemberian i.v. dilarutkan pada pelarutnya 1 mL 5% bikarbonat
dan diencerkan dengan 5–10 mL 5% dekstrosa disuntikkan bolus
i.v. Pemberian pada 0, 12, 24 jam, dan seterusnya tiap 24 jam
sampai penderita sadar. Dosis tiap kali pemberian 2,4 mg/kgBB.
Bila penderita sudah sadar, diganti dengan tablet artesunate
oral 2 mg/kgBB sampai hari ke-7 mulai pemberian parenteral.
Untuk mencegah rekrudensi dikombinasikan dengan doksisiklin
2×100 mg/hr selama 7 hr atau pada wanita hamil/anak
diberikan klindamisin 2×10 mg/kgBB. Pada pemakaian
artesunate tidak memerlukan penyesuaian dosis bila gagal
organ berlanjut. Obat lanjutan sesudah parenteral dapat
menggunakan obat ACT
Pemberian Obat Antimalaria (OAM) secara Parenteral
Artesunate injeksi (1 flacon = 60 mg)
Dosis i.v. 2,4 mg/kgBB/kali pemberian
Pemberian i.v.: dilarutkan pada pelarutnya 1 mL 5% bikarbonat
dan diencerkan dengan 5–10 mL 5% dekstrosa disuntikkan bolus
i.v. Pemberian pada 0, 12, 24 jam, dan seterusnya tiap 24 jam
sampai penderita sadar. Dosis tiap kali pemberian 2,4 mg/kgBB.
Bila penderita sudah sadar, diganti via oral dengan cara
pemberian seperti pada tabel (min. sudah diberikan 3× terapi
i.v.)
Bibliografi
1. Barnett ED. Malaria. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting.
Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia:
WB Saunders Co; 2009. hlm. 2899–919.
2. Harijanto P. Eradikasi malaria pada daerah desentralisasi. Buletin
data dan informasi kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2011.
3. John CC, Krause PJ. Malaria. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St.
Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 1198–206.
4. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman penatalaksanaan kasus
malaria di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011.
5. Parise M, Wilson CM, Skarbinski J. Malaria. Dalam: Long SS,
Pickering LK, Prober CG, penyunting. Pediatric infectious disease.
Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 1259–65.

535
AMEBIASIS
Etiologi
Entamoeba histolytica (bentuk kista dan trofozoit)

Manifestasi Klinis
Penyakit Usus
Infeksi asimtomatik
Infeksi noninvasif simtomatik
Proktokolitis akut (disentri)
Kolitis fulminan dengan perforasi
Megakolon toksik
Kolitis nondisentri kronik
Ameboma
Ulserasi perianal
Penyakit di Luar Usus
Abses hati
Penyakit pleurapulmonal
Peritonitis
Perikarditis
Abses otak
Amebiasis kulit
Penyakit genitourinari
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Bergantung pada klasifikasi berdasarkan manifestasi klinis
Bila menyerang intestinal
Diare dengan tenesmus s.d. diare berat yang menyebabkan
gangguan elektrolit, feses berlendir/darah, kolik abdomen,
demam mendadak tinggi, dan menggigil
Amebiasis hati
Nyeri kuadran kanan atas/epigastrium, teraba hepar
(membesar dan sakit), serta peninggian hemidiafragma
kanan, atelektasis pada lobus kanan bawah, efusi pleura, tes
fungsi hati: alkali fosfatase dan SGOT ↑
Amebiasis paru (pleuropulmonal): batuk, nyeri dada, pleuritis,
panas, dan sesak; terjadi abses paru, efusi pleura, dan empiema,
sekunder dari abses hati
Peritonitis ameba
Perforasi multipel akibat ruptur abses amebiasis hati
Perikarditis ameba
Timbul gejala tamponade jantung; akibat ruptur abses
amebiasis hati
Abses hati ruptur ke kantung perikardium
Amebiasis otak
Peradangan berasal akibat penyebaran dari usus, hati, dan
paru

536
Amebiasis kulit
Radang granulomatosa pada kulit dan jaringan s.k.
Pemeriksaan Laboratorium
Feses
Mikroskop cahaya: tidak dapat membedakan antara E.
histolytica dan E. dispar
Enzyme immunoassay (EIA): pemeriksaan terbaik untuk
diagnosis spesifik E. histolytica di klinik
Pemeriksaan feses lainnya:
Darah samar hampir selalu ada pada penyakit yang invasif
Leukosit feses mungkin tidak ada
Antibodi serum
Pemeriksaan antibodi sangat bermanfaat pada penderita
penyakit ekstraintestinal
Tes indirect hemagglutination antibody (IHA)
EIA
Immunodiffusion (ID)
Antibodi imunoglobulin M (IgM) spesifik untuk E. histolytica
Pencitraan
Foto Rontgen toraks dapat menunjukkan hemidiafragma kanan
yang terangkat dan efusi pleura sebelah kanan pada penderita
abses hati karena ameba
Ultrasonografi: lesi tunggal di posterosuperior dari lobus kanan
hati. Abses multipel dapat terjadi pada beberapa penderita
CT-scan menunjukkan lesi iregular tanpa kapsul atau enhancement
di sekelilingnya
MRI; edema perilesi dan enhancement of rim
Resolusi lengkap asbes hati dapat berlangsung sampai 2 th
Pencitraan ulang bukan merupakan indikasi bila penderita merasa
sehat
Pemeriksaan Lain
Leukositosis mungkin ditemukan, tetapi eosinofilia bukan
gambaran amebiasis
Anemia ringan mungkin ditemukan
Rasio sedimentasi eritrosit biasanya ↑
Kolesterol mungkin ↑
Tes fungsi hati alkali fosfatase ↑ (80% penderita), transaminase
↑, dan kadar albumin ↓
Urinalisis mungkin memperlihatkan gambaran proteinuria
Prosedur
Rektosigmoidoskopi dan kolonoskopi dapat memberikan informasi
diagnosis yang berguna pada amebiasis intestinal
Aspirasi hati merupakan indikasi untuk abses yang luas (>12 cm),
ruptur abses imminent, kegagalan terapi medis, atau abses pada
lobus kiri

537
Manajemen
Tabel 129 Obat Antiamebiasis
Nama Obat Dosis Anak Efek Samping
Abses hati ameba
Berikan
Metronidazol 35–50 mg/kgBB/hr Gastrointestinal (terutama):
dibagi dalam anoreksia, mual, muntah, diare,
3 dosis untuk nyeri abdomen atau rasa
7–10 hr metalik yang tidak
menyenangkan; disulfuram-like
reaksi intoleran terhadap
alkohol; jarang terjadi:
neurotoksisitas, termasuk
kejang, neuropati perifer,
pusing, perasaan kalut,
iritabilitas
Paromomisin 25–35 mg/kgBB/hr Gastrointestinal (terutama):
dibagi dalam diare, gangguan gastrointestinal
3 dosis untuk
7 hr
Atau agen lini kedua
Amebiasis intestinal simtomatik
Berikan
Metronidazol 35–50 mg/kgBB/hr Sama dengan abses hati ameba
dibagi dalam
3 dosis untuk
7–10 hr
dilanjutkan dengan
luminal (sama
seperti pada abses
hati ameba)
Amebiasis intestinal asimtomatik
Berikan
Paramomisin 25–35 mg/kgBB/hr Gastrointestinal (terutama):
dibagi dalam 3 diare, gangguan gastrointestinal
dosis untuk 7 hr
Atau agen lini kedua

Terapi Bedah
Megakolon toksik dapat terjadi dan memerlukan kolektomi total
Bedah dekompresi diperlukan untuk abses otak ameba
Ruptur abses hati ameba ke dalam perikardium memerlukan
pembedahan saluran
Secara konservatif mengontrol perforasi intestinal karena
amebiasis

538
Bibliografi
1. Hamano S, Petri WA. Amebiasis. Dalam: Feigin RD, Cherry JD,
penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2841–8.
2. Salvana EMT, Salata RA. Amebiasis. Dalam: Kleigman RM,
Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 1178–9.

539
TOKSOPLASMOSIS
Etiologi
Toxoplasma gondii

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi 10–23 hr sesudah ingesti makanan yang ter-
kontaminasi dan 5–20 hr sesudah terpapar dengan kucing yang
terinfeksi
Gejala dapat asimtomatik, simtomatik, atau berupa penyakit berat
Kasus toksoplasmosis sebanyak 10–20% bermanifestasi berupa
limfadenitis atau sindrom flu ringan seperti malaise, mialgia, nyeri
kepala, nyeri menelan, limfadenopati, dan ruam
Berupa miositis, miokarditis, pneumonitis, dan kelainan neurologis
seperti paralisis fasial, gangguan refleks, hemiplegia, atau koma
Pada penderita imunokompromais, toksoplasmosis dapat mengancam
kehidupan. Pada penderita AIDS sebanyak 25% terjadi toksoplasmosis
ensefalitis dan 84%-nya fatal
Diagnosis
Toxoplasma gondii atau DNA-nya dalam darah atau cairan tubuh,
melalui visualisasi takizoit secara histologis atau sitologi, kista dalam
plasenta atau jaringan fetus, terdapat nodus limfatikus yang khas
secara histologis, atau yang terutama melalui pemeriksaan serologis
Antibodi IgG yang diukur dengan Sabin-Fieldman dye test,
imunofluoresens, ELISA, atau aglutinasi partikel dapat dideteksi
dalam 1–2 mgg sesudah terinfeksi, puncaknya 1–2 bl dan sesudah
mengalami ↓ maka akan bertahan seumur hidup
Antibodi IgM yang diukur secara ELISA atau aglutinasi partikel timbul
lebih awal dan ↓ lebih cepat dibandingkan dengan IgG
Serokonversi atau kenaikan titer 4× kali lipat memberikan konfirmasi
diagnosis toksoplasmosis
Toksoplasmosis kongenital didiagnosis bila ditemukan antibodi IgM
atau IgA antitoksoplasma dalam darah neonatus
Diagnosis prenatal memerlukan kombinasi sarana diagnostik berupa
USG (untuk mendeteksi pembesaran ventrikel) dan PCR cairan
amnion atau serologi darah. PCR cairan amnion sangat sensitif dan
lebih tidak berisiko dibandingkan dengan pungsi tali pusat
Manajemen
Bayi yang menderita toksoplasmosis kongenital memerlukan terapi 1
th, penderita simtomatik diberikan pirimetamin dan sulfadiazin
selama 6 bl, dilanjutkan dengan spiramisin dan pirimetamin-
sulfadiazin per bl selama 6 bl
Infeksi subklinis diterapi dengan pirimetamin dan sulfadiazin selama
6 bl, dilanjutkan dengan pemberian spiramisin secara bergantian
selama 6 bl dan pirimetamin-sulfadiazin selama 4 bl
Dosis pirimetamin 1 mg/kgBB/hr (maks. 25 mg). Dosis sulfadiazin 40–
45 mg/kgBB (maks. 8 g/hr) p.o. 2×/hr

540
Klindamisin menjadi pilihan pengganti bila penderita tidak dapat
mentoleransi golongan sulfonamid
Pada korioretinitis, terapi antimikrob (pirimetamin dan sulfadiazin)
diberikan selama 4 mgg. Kortikosteroid (prednison 1,5 mg/kgBB
sampai 75 mg) direkomendasikan pada lesi yang mengenai makula
atau nervus optikus. Lesi cenderung membaik sesudah 10 hr terapi
Pada infeksi primer selama kehamilan, pemberian spiramisin dimulai
segera. Bila infeksi fetus sudah diketahui, maka diberikan
pirimetamin dan sulfadiazin bergantian tiap 3 mgg dengan spiramisin
sulfadoksin

Bibliografi
1. McAuley JB, Boyer KM, Remington JS, Mcleod RL. Toxoplasmosis.
Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric
infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co;
2009. hlm. 2954–70.
2. McLeod R. Toxoplasma. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St.
Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 1208–16.
3. McLeod RL, Marcinah JE, Bayer KM. Toxoplasma gondii
(toxoplasmosis). Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia:
WB Saunders Co; 2008. hlm. 1267–87.

541
FILARIASIS
Etiologi
Wuchereria brancofti, Brugia malayi, Brugia timori

Manifestasi Klinis
Filariasis akut dan kronik muncul sesudah bertahun-tahun mengalami
pajanan berulang kali dan intensif terhadap vektor yang terinfeksi di
daerah endemis
Terdiri atas 3 derajat penyakit:
Asimtomatik
Kerusakan sudah mulai terdapat pada sistem limfatik (dilatasi
dan disfungsi) serta ginjal
Akut
Muncul filarial fever, yaitu peradangan dan nyeri pada kelenjar
dan saluran limfe, sering disertai demam, mual, dan muntah
Gejala akan menghebat seiring dengan beratnya penyakit kronik
Kronik
Menyebabkan elefantiasis serta hidrokel (pembengkakan
skrotum) pada laki-laki dan pembesaran payudara pada
perempuan
Diagnosis
Anamnesis
Tinggal di daerah endemik, terutama daerah rural
Asimtomatik pada anak; tetapi sebenarnya sudah terjadi kelainan
limfatik dan ginjal
Muncul gejala pada masa pascapubertas atau dewasa. Tanda yang
timbul bergantung pada spesies, bagian tubuh yang terkena, dan
apakah kejadiannya akut atau kronik:
Filariasis limfatik (gejala akibat cacing dewasa pada sistem
limfatik), dapat berupa demam, limfadenopati inguinal atau
aksila, nyeri testis dan atau inguinal, eksfoliasi kulit, pem-
bengkakan tungkai atau genital, maupun siluria
Tropical pulmonary eosinophilia (TPE): merupakan bentuk
tersembunyi dari Bancroftian filariasis. Gejalanya: batuk kering
paroksismal, wheezing, sesak, anoreksia, malaise, dan BB ↓
Pemeriksaan Fisis
Manifestasi klinis kronik dan akut sering dan lebih cepat terjadi
pada pendatang daripada penduduk lokal, dengan munculnya
limfedema dalam 6 bl dan elefantiasis sekitar 1 th sesudah
bermukim
Filariasis limfatik pada anak: limfadenopati inguinal, kruris,
epitroklear. Bila cacing dewasa dalam tubuh mati akan mencetus-
kan respons inflamasi akut ke arah distal pembuluh limfe yang
terkena (pada umumnya di daerah tungkai). Disertai demam tidak
tinggi

542
Pada anak laki-laki pascapubertas: funikulitis, epididimitis, atau
orkitis. Teraba nodul granulomatosa pada area yang terdapat
cacing mati
Dapat ditemukan BB ↓, dispnea, dan wheezing
Laboratorium
Filariasis limfatik lebih sering didiagnosis secara klinis:
Menemukan mikrofilaria melalui apus darah (secara
mikroskopis) sekitar pukul 22.00–04.00, karena memiliki
nocturnal periodicity
Menemukan cacing dewasa atau mikrofilaria dari biopsi jaringan
Tes Mazotti dengan cara patch DEC (50–100 mg) pada kulit,
hasil (+) bila timbul pruritus
Card test merupakan cara terbaru yang mudah serta sangat
sensitif dan spesifik untuk mendeteksi antigen parasit, melalui
finger-prick blood droplets. Merupakan cara penting untuk
terapi dan program pengendalian penyakit
Pada keadaan asimtomatik, sekitar 40% penderita: proteinuria
dan hematuria, bila terjadi siluria, dapat dicari mikrofilaria
Eosinofilia
IgE dan IgG4 ↑
Pencitraan
Infiltrat paru difus pada penderita TPE
USG: obstruksi saluran limfe inguinal dan skrotal, serta
onchocercoma
Manajemen
Di Daerah Endemik Dilakukan Pengobatan Massal
Tujuan: mengeliminasi mikrofilaria dalam darah individu yang
terinfeksi, sehingga nyamuk tidak dapat mentransmisi penyakit
Dosis tunggal dietilkarbamazepin (DEC) 3–6 mg/kgBB diberikan
mulai usia 2 th + albendazol 1 tablet. Parasetamol 10–15
mg/kgBB/× 3–4×/hr ditambahkan sampai hari ke-3 untuk mengu-
rangi efek samping DEC
Bila di daerah tersebut juga merupakan endemik onchocerciasis
atau loaiasis, maka pemberian terapi dilakukan selama 4–6 th
Alternatif lain yaitu penggunaan garam dapur yang difortifikasi
dengan DEC selama 1 th
Individu
Albendazol dan DEC efektif membunuh filaria stadium dewasa—
yang penting untuk pengobatan lengkap—pada penderita dengan
elefantiasis dan hidrokel
Regimen:
Albendazol 400 mg bid × 10 hr atau mebendazol 100 mg bid ×
30 hr
DEC 6 mg/kgBB dibagi 3 dosis × 14 hr (TPE s.d. 21 hr)
Ivermektin 150 mcg/kgBB dosis tunggal

543
Terapi tambahan:
Menekan keluhan inflamasi akut (filarial fever) dan keadaan
kronik dengan menjaga higiene lesi, analgesik, antihistamin,
kortikosteroid, serta antibiotik i.v. bila terjadi infeksi sekunder
Tirah baring, posisi tungkai lebih tinggi, dan membebat tungkai
dapat mengurangi pembengkakan tungkai
Tindakan bedah dilakukan bila terjadi hidrokel dan elefantiasis
skrotal
Diet rendah lemak pada filariasis limfatik
Bibliografi
1. Capello M, Hotes PJ. Nematodes. Dalam: Long SS, Pickering LK,
Prober CG, penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 1296–303.
2. Hotes PJ. Parasitic nematode infections. Dalam: Feigin RD, Cherry
JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-
6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2991–6.

544
LEPTOSPIROSIS
Etiologi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonotic yang disebabkan oleh
patogen spirochaeta, genus Leptospira. Leptospira merupakan
organisme berbentuk tipis, seperti benang, filamen spirocaheta
berukuran panjang 6–20 μm dan lebar 0,1 μm, melingkar rapat pada
sumbu panjangnya
Epidemiologi
Transmisi leptopsira kepada manusia dapat terjadi melalui kontak
dengan urin binatang yang terinfeksi, selain itu kontak dengan
lingkungan, yaitu tanah atau air yang terkontaminasi Leptospira
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi leptospirosis terjadi 10 hr (rata-rata 7–14 hr), meski-
pun dapat bervariasi, yaitu dalam 2–20 hr
Manifestasi klinis dibagi dalam dua fase, yaitu septikemia dan imun
1. Fase Septikemia
Demam yang timbul dengan onset tiba-tiba, menggigil, sakit
kepala, mialgia, ruam kulit, mual, muntah, conjunctival suffusion,
dan tampak lemah. Demam tinggi dan bersifat remiten mencapai
40 °C sebelum suhu tubuh ↓. Conjunctival suffusion merupakan
tanda khas yang biasanya timbul pada hr ke-3 atau 4 sakit. Fase
septikemia ini berlangsung 3–9 hr, diikuti dengan suhu tubuh ↓
selama 2 atau 3 hr, sesudah itu masuk ke dalam fase imun
2. Fase Imun
Leptospiuria dan berhubungan dengan timbulnya antibodi IgM
dalam serum penderita. Timbul gejala meningitis yang ditandai
dengan sakit kepala, fotofobia, dan kaku kuduk. Keterlibatan SSP
pada leptospirosis sebagian besar timbul sebagai meningitis
aseptik. Pada fase ini dapat terjadi berbagai penyulit, antara lain
neuritis optikus, uveitis, iridosiklitis, korioretinitis, dan neuropati
perifer
Leptospirosis Anikterik
Gejala leptospirosis timbul mendadak ditandai dengan viral-like
illness, yaitu demam, sakit kepala, dan mialgia. Dapat juga ditemukan
nyeri perut, diare, anoreksia, dan conjunctival suffusion. Selama fase
ini, organisme dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah dan cairan
serebrospinal. Gejala berlangsung selama 4–7 hr, kemudian dapat
membaik secara spontan. Beberapa penderita dapat mengalami fase
kedua, yaitu fase imun yang dimulai 1–3 hr kemudian dengan demam
yang tidak tinggi atau tidak mengalami demam. Selama fase ini,
penderita biasanya mengalami gejala sakit kepala, mialgia, ruam,
conjunctival suffusion, dan hepatomegali. Selain itu, dapat disertai
juga dengan mual, muntah, dan nyeri perut. Gambaran khasnya
gejala sakit kepala sangat berat dan berhubungan dengan timbulnya
kaku kuduk. Manifestasi meningitis aseptik ini dapat berlangsung
beberapa hr saja, walaupun dapat menetap sampai 3 mgg. Ruam
545
kulit pada leptospirosis dapat bermanifestasi sebagai makula,
makulopapula, urtikaria, petekia, atau purpura
Leptospirosis Ikterik (Sindrom Weil)
Manifestasi Leptospirosis yang berat ini mempunyai angka mortalitas
sebesar 5–10%. Tanda khas sindrom Weil ini yaitu jaundice,
azotemia, serta perdarahan yang timbul dalam waktu 4–6 hr sesudah
onset gejala dan dapat mengalami perburukan dalam mgg ke-2 dari
penyakitnya
Manifestasi klinis sindrom Weil yang menonjol ini yaitu ditemukan
hepatomegali, jejas hepatoselular, dan jaundice, tetapi tidak sampai
menimbulkan gagal hati, dapat terjadi dalam berbagai derajat
gangguan ginjal
Diagnosis
Leptospirosis dipertimbangkan pada semua kasus dengan riwayat
kontak terhadap binatang atau lingkungan seperti tanah atau air yang
terkontaminasi oleh urin binatang, disertai dengan gejala akut
demam, menggigil, mialgia, conjunctival suffusion, sakit kepala, mual,
atau muntah
Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada penemuan
laboratorium. Pada sindrom Weil dapat ditemukan leukositosis dan
neutropenia, terutama selama fase awal penyakit
Pemeriksaan Kultur
Leptospira interrogans dapat diisolasi dari darah atau cairan
serebrospinal selama fase septikemia dan dari urin selama fase imun,
yaitu sesudah 7–10 hr
Pemeriksaan Serologi
Macroscopic slide agglutination test merupakan pemeriksaan yang
paling berguna untuk rapid screening. Pada umumnya tes aglutinasi
tersebut tidak positif sampai mgg pertama sejak terjadi infeksi, kadar
puncak antibodi 3–4 mgg sesudah onset gejala dan dapat menetap
selama beberapa th
Pengobatan
Leptospirosis terjadi sporadik, pada umumnya bersifat self-limited
disease, sulit dikonfirmasi pada awal infeksi
Gejala berat → penisilin G (200.000–250.000 IU/kgBB/hr dalam dosis
terbagi diberikan setiap 4–6 jam, dosis maks. 12 juta IU/hr)
Gejala ringan atau sedang → doksisiklin per oral dengan dosis 2
mg/kgBB/hr dibagi dalam 2 dosis (dosis maks. 100 mg 2×/hr hanya
diberikan pada anak usia >8 th), atau amoksisilin 50 mg/kgBB/hr
dalam dosis terbagi 3×/hr, dosis maks. 500 mg/dosis. Pengobatan
dilanjutkan selama 7–14 hr
Prognosis
Bersifat self-limiting disease. Kematian jarang terjadi pada leptospiro-
sis anikterik

546
Diperkirakan terdapat sekitar 10% penderita leptospirosis berat,
termasuk jaundice dan disfungsi ginjal (sindrom Weil), hemorrhagic
pneumonitis, cardiac arrhytmia, atau kolapsnya sistem sirkulasi yang
mempunyai case fatality rate sekitar 5–15%
Pencegahan
Strategi utama untuk mencegah dan mengontrol leptospirosis di-
utamakan menghindari atau mengurangi kontak langsung dengan
hewan terinfeksi dan tanah atau air yang sudah terkontaminasi.
Pencegahan terhadap paparan tidak langsung atau paparan terhadap
tanah dan air yang terkontaminasi jauh lebih sulit, sehingga dianjur-
kan penggunaan sepatu boot dari bahan karet dan pakaian pelindung
Bibliografi
1. American Academy of Pediatrics. Leptospirosis. Dalam: Pickering
LK, Baker CJ, Kimberlin DW, Long SS, penyunting. Red Book 2009.
Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-28. Elk
Grove Village: American Academy of Pediatrics; 2009. hlm. 427–
8.
2. Bharti AR, Nally JE, Ricaldi JN, Matthias MA, Diaz MM, Lovett MA,
dkk. Leptospirosis: a zoonotic disease of global importance.
Lancet Infect Dis. 2003;3(12):757–71.
3. Guerreiro H, Croda J, Flannery B, Mazel M, Matsunaga J, Galvao
Reis M, dkk. Leptospiral proteins recognized during the humoral
immune response to leptospirosis in humans. Infect Immunol.
2001;69(8):4958–68.
4. Shapiro ED. Leptospira species (leptospirosis). Dalam: Long SS,
Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of
pediatric infectious diseases. Edisi ke-3. Philadelphia: Churchill
Livingstone Elsevier; 2008. hlm. 938–40.
5. Shieh WJ, Edwards C, Levett PN, Zaki SR. Leptospirosis. Dalam:
Guerrant RL, Walker DH, Weller PF, penyunting. Tropical
infectious diseases principles, pathogens, & practice. Edisi ke-2.
Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2006. hlm. 511–8.

547
INFEKSI JAMUR
INFEKSI JAMUR SISTEMIK
HISTOPLASMOSIS
Etiologi
Histoplasma capsulatum
Candida albicans
Aspergillus fumigates, A. Flavus, dan A. niger
Blastomyces dermatitidis

Manifestasi Klinis
Pada Saluran Respiratori Lainnya
Infark paru Meningitis/serebritis fokal
Pneumonitis yang berkavitas Artritis
Asma Parotitis
Efusi pleura Nefritis interstisial
Adenopati mediastinum anterior Nefrokalsinosis
Obstruksi bronkus akut/kronik Ulkus/perdarahan saluran
Adenitis yang terbatas di servikal pencernaan
atau supraklavikula Pseudomalignansi saluran
Sindrom vena kava superior pencernaan
Granuloma/fibrosis mediastinal Obstruksi saluran empedu
Hemoptisis Adenitis lokal dan kulit atau
Bronkolitiasis dengan litoptisis konjungtiva
Chylothorax Koroiditis
Endokarditis
Divertikulum/fistula esofagus
Kelemahan/paralisis diafragma
Pemeriksaan Penunjang
Kultur: sumsum tulang, darah, sputum, dan jaringan tubuh
DNA
Apus Gomorimethenamine silver
Deteksi antigen: radioimmunoassay
Tes kulit untuk histoplasmin: tidak dianjurkan untuk diagnosis (hanya
untuk epidemiologis)
Manajemen
Pemberian antijamur bergantung pada manifestasi klinis, beratnya
gejala, dan kondisi sistem kekebalan tubuh
Histoplasmosis simtomatik pada anak imunokompeten: sembuh
sendiri
Indikasi pemberian antijamur:
Infeksi paru dengan gejala klinis >4 mgg
Sakit berat dengan riwayat banyak terpapar

548
Adenitis granulomatosa
Penderita imunokompromais (kecuali hasil biopsi menunjukkan
granuloma lama)

Tabel 130 Rekomendasi Pengobatan Histoplasmosis pada Anak

Manifestasi Sakit Berat Sakit Sedang atau


Ringan
Pulmonari AmBa, kemudian Itr Gejala <4 mgg: tidak ada
akut selama 12 mgg terapi; gejala menetap
>4 mgg: Itr selama
6–12 mgg
Diseminata AmBb atau AmB diikuti Itr Itr selama 6–18 bl atau
(tanpa HIV) selama 6 blc sama seperti untuk sakit
berat
Diseminata AmBb atau AmB diikuti Itr Pengobatan dengan Itr,
(dengan HIV) selamanya kemudian Itr suppression
selamanya
Meningitis AmB selama 3 bl, Sama seperti sakit berat
kemudian Flu selama 12 bl
Granuloma AmB kemudian Itr selama Itr selama 6 bl
mediastinum 6 bl
Fibrosing Itr selama 3 bld Sama seperti sakit berat
mediastinitis
Perikarditis Pericardial drainase untuk NSAID 2–12 mgg
tamponad berat + satu
NSAID selama 2–12 mgg
Reumatologi NSAID selama 2–12 mgg Sama seperti sakit berat
Kompresi Kortikosteroid, bersama
struktur sekitar Itr
oleh adenitis
granulomatosa
a
Efektivitas bersama kortikosteroid masih kontroversi
b
30 mg/kgBB diberikan selama 4 mgg
c
Terapi harus diteruskan sampai konsentrasi antigen histoplasma dalam
urin <4 IU
d
Kemungkinan tidak efektif untuk fibrotik, dapat dipertimbangkan bila
tampak granulomatosa mediastinum
Keterangan: AmB, ampoterisin B; Flu, flukonazol; Itr, itrakonazol; NSAID,
non-steroidal anti-inflammatory agent
Sumber: Modifikasi dari Wheat dkk. 1997

Bibliografi
1. Kleiman MB. Histoplasmosis. Dalam: Feigin RD, Cherry JD,
penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2783–808.

549
2. Knapp KM, Flynn PM. Candidiasis. Dalam: Feigin RD, Cherry JD,
penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2741–50.
3. Steinbach WJ, Burgos A. Aspergillus and aspergillosis. Dalam:
Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric
infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co;
2009. hlm. 2717–31.
4. Stovall SH, Schutze GE. Blastomycosis. Dalam: Feigin RD, Cherry
JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi
ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2732–40.
5. Wheat J, Marichal P, Vanden Bossche H, Le Monte A, Connolly P.
Hypothesis on the mechanism of resistance to fluconazole in
histoplasma capsulatum. Antimicrob Agents Chemother.
1997;41:410–4.

550
INFEKSI RUMAH SAKIT
(HEALTH CARE-ASSOCIATED INFECTION)
Etiologi
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli,
Staphylococcus aureus
Manifestasi Klinis
Berdasarkan organ tempat terjadinya infeksi, dapat dibagi atas infeksi
nosokomial:
Traktus urinarius
Traktus respiratorius
Traktus digestivus
Luka postoperasi
Bakteremia dan infeksi karena pemakaian i.v.
Kulit, dll.
Diagnosis
Infeksi postoperasi: memenuhi kriteria luka yang merah dan atau
purulen walaupun tidak ditemukan kuman pada pemeriksaan
mikrobiologis
Infeksi kulit/jaringan lunak (di luar postoperasi): memenuhi kriteria
→ kulit/jaringan yang merah, bengkak, atau sakit disertai pem-
bentukan pus, walaupun tidak ditemukan kuman pada pemeriksaan
mikrobiologis
Bakteremia: memenuhi kriteria → demam atau hipotermia dan
ditemukan kuman dalam kultur darahnya
Infeksi traktus respiratori (pneumonia): memenuhi kriteria → klinis
dan radiologik
Infeksi traktus urinari: memenuhi kriteria → jumlah3 leukosit ≥5/LPB
urin midstream dengan jumlah kuman ≥10.000 /mm urin
Infeksi traktus digestivus: memenuhi kriteria → definisi WHO tentang
diare
Lain-lain: memenuhi kriteria → klinis, pemeriksaan mikrobiologis,
mikroskopis, atau serologis
Pemeriksaan Penunjang Bergantung pada jenis
Manajemen infeksi nosokomial

Bibliografi
1. Coffin SE, Zaoutis TE. Healthcare-associated infections. Dalam:
Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and
practice of pediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia:
Churchill Livingstone; 2008. hlm. 812–6.
2. Huskins WC, Goldmann DA. Health care-associated infections.
Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric
infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co;
2009. hlm. 3076–120.

551
INFEKSI PADA LUKA BAKAR
Etiologi
Streptokokus grup A
Staphylococcus aureus
Pseudomonas aeruginosa
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Gejala Lokal
Diskolorasi berupa area fokal berwarna hitam atau coklat gelap,
nekrosis jaringan, diskolorasi hemoragik dari jaringan s.k., jaringan
parut, dan edema kulit di tepi luka
Infeksi Pseudomonas: gangren dan pigmentasi berwarna hijau dari
jaringan lemak s.k.
Infeksi jamur: edema s.k. dengan nekrosis iskemik sentral dan
saponifikasi hemoragik dari jaringan lemak s.k.
Infeksi virus: lesi vesikular di area penyembuhan
Gejala Sistemik
Pemeriksaan fisis: demam, takikardia, dan syok
Pemeriksaan penunjang: CRP ↑
Tabel 131 Tanda dan Gejala Progresivitas Penyakit dari Lokal
Menuju Sistemik
Sepsis Gram-Negatif Sepsis Gram-Positif
5
Biopsi pada luka bakar ditemukan >10 Idem
organisme/g jaringan atau invasi jaringan
secara histologis
Onset cepat (8–12 jam) Gradual
Suhu 37–39 °C, dapat normal, diikuti Suhu >40 °C
dengan hipotermia (34–35 °C) dengan
jumlah leukosit ↓
Jumlah leukosit dapat ↑ Jumlah leukosit
20–50.000/mm3
Hematokrit ↓
Ileus Idem
Tekanan darah dan output urin ↓ Idem
Luka menjadi gangren fokal, lesi satelit Luka menjadi maserasi,
jauh dari luka bakar rapuh dengan eksudat
Perubahan status mental Anoreksia

Manajemen
Perawatan Luka
Burn gauze, Kerlex wraps, Ace wraps, antimikrob topikal
Debridement

552
Antimikrob topikal
P. aeruginosa, bakteri gram-negatif, C. albicans, S. aureus:
sulfadiazin perak
Cerium nitrate-sulfadiazin perak
S. aureus, E. coli, P. aeruginosa: nitrat perak
Mafenide acetate
Antibiotik topikal: gentamisin sulfat, basitrasin/polimiksin,
nitrofurantoin, mupirosin (baktroban), nistatin, natrium hipoklorit,
povidon-iodin, klorheksidin
Subeschar antibiotic: tobramisin, gentamisin, dan kanamisin
Agen infeksi sistemik
Antibiotik profilaksis (sebelum tindakan pembedahan)
Eksisi luka dan grafting
Terapi suportif gastrointestinal dan dekontaminasi (pemberian
makan secara enteral)
Imunomodulator
Bibliografi
1. Patel JA, Williams-Bouyer N. Infections in burn patients. Dalam:
Feigin RD, Cherry JD, Demmler-Harrison GJ, Kaplan SL,
penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-6.
Philadelphia: Sauders Elsevier; 2009. hlm. 1139–49.

553
INFEKSI JARINGAN LUNAK
Etiologi
Selulitis
Manifestasi Klinis
Bengkak, hangat saat dipegang, kemerahan, nyeri, pitting saat ditekan
Adenopati regional
Demam, menggigil, lemas jarang terjadi
Diagnosis
Anamnesis
Berdasarkan manifestasi klinis di atas
Pemeriksaan Fisis
Status lokalis: rubor, tumor, kalor, dolor, functio laesa
Laboratorium
Aspirat dari lokasi inflamasi
Biopsi kulit
Kultur darah (25% mengidentifikasi kausa)
Apus ulkus/abrasio
Penyulit
Abses s.k.
Bakteremia
Osteomielitis
Artritis septik
Tromboflebitis
Endokarditis
Necrotizing fasciitis
Limfangitis
Glomerulonefritis
Manajemen
Terapi empiris berdasarkan riwayat penyakit, lokasi, karakteristik,
usia, dan status imun penderita
Bayi dan anak <5 th: S. pyogenes, S. aureus, H. influenzae type B,
S. pneumoniae perlu dipertimbangkan
Bila demam, 3limfadenopati, dan gejala konstitusional (−), leukosit
<15.000/mm → terapi inisial p.o. dengan kloksasilin atau
sefalosporin generasi pertama (sefaleksin)
Bila suspek MRSA: terapi parenteral
Bila tanda eritema, edema, demam ↓ → terapi tuntas s.d. 10 hr
Imobilisasi dan elevasi ekstremitas yang terkena
Bibliografi
1. Morelli JG. Subcutaneous tissue infections. Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 2741–5.
554
Kardiolgoi
Armijn Firman
Sri Endah Rahayuningsih
Rahmat Budi Kuswiyanto
KLASIFIKASI PENYAKIT JANTUNG PADA ANAK
Secara umum klasifikasi sebagai berikut:
Penyakit Jantung Bawaan (PJB)
Left to right shunt
Defek septum atrium (atrial septal defect/ASD)
Defek septum ventrikel (ventricular septal defect/VSD)
Duktus arteriosus persisten (persistent ductus arteriosus/PDA)
Atrioventricular defect/AVSD (AV canal defect)
Partial anomalous pulmonary venous return
Lesi obstruktif
Stenosis aorta
Stenosis pulmonal
Stenosis mitral
Interrupted aortic arch
Koartasio aorta
Sianotik
Tetralogi Fallot dan varian
Transposisi arteri besar
Atresia pulmonal dengan septum intak (pulmonary atresia
intact ventricular septum/PAIVS)
Atresia trikuspid
Double outlet right ventricle (DORV)
Anomali Ebstein
Total anomalous pulmonary venous return (TAPVR)
Persisten trunkus arteriosus
Single ventricle
Atrial isomerism
Hypoplastic left heart syndrome
Lain-lain
Vascular ring
Anomalous origin of left coronary artery from the pulmonary
artery (ALCAPA syndrome)
Aortopulmonary septal defect
Arteriovenous malformation/fistula
Cor triatriatum
Double chambered right ventricle
Parachute mitral valve
Scimitar syndrome
Anomali vena sistemik
Ectopia cordis
Penyakit Jantung Didapat
Demam reumatik akut
Penyakit jantung reumatik
Endokarditis infektif
Miokarditis
Perikarditis
Kardiomiopati

557
Penyakit Kawasaki
Takayasu arteritis
Tumor jantung
Kelainan jantung pada kelainan sistemik

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN


Batasan
Kelainan struktur atau fungsi jantung akibat gangguan pembentukan
jantung dan pembuluh darah pada saat janin, yang menetap sesudah
lahir. Insidensi 5–12/1.000 kelahiran hidup, meliputi hampir 30% dari
seluruh kelainan bawaan
Etiologi
Pada sebagian besar kasus tidak diketahui, tetapi diduga karena
multifaktorial, yaitu gabungan antara faktor endogen dan eksogen
Penyakit ibu (misal rubela), obat yang diminum, paparan sinar X pada
trimester pertama kehamilan diduga sebagai faktor eksogen. Faktor
endogen berhubungan dengan penyakit genetik dan sindrom
tertentu
Diagnosis
Lihat masing-masing kelainan
Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen toraks
EKG
Ekokardiografi: pemeriksaan penunjang yang utama untuk PJB
Penyadapan jantung (kateterisasi)

DEFEK SEPTUM ATRIUM


(ATRIAL SEPTAL DEFECT/ASD)
Batasan
Defek pada septum yang memisahkan atrium kiri dan kanan
Sebagian besar merupakan ASD sekundum
Klasifikasi
ASD sekundum (paling banyak)
ASD primum
ASD defek sinus venosus
ASD sinus koronarius

558
Diagnosis
Anamnesis
Pada masa bayi dan anak kecil dapat asimtomatis, tumbuh
kembang biasanya normal (pirau kecil)
Gangguan pertumbuhan, sesak, sering mengalami infeksi paru
(pirau besar)
Jarang terjadi gagal jantung pada masa bayi
Pemeriksaan Fisis
Komponen aorta dan pulmonal bunyi jantung kedua terpisah lebar
yang tidak berubah pada saat inspirasi atau ekspirasi (wide fixed
splitting)
Bising ejeksi sistol terdengar di daerah pulmonal akibat aliran
darah berlebih melalui katup pulmonal (stenosis pulmonal relatif
atau stenosis pulmonal fungsional)
Aliran darah yang memintas dari atrium kiri ke kanan tidak
menimbulkan bising karena perbedaan tekanan atrium kanan
dengan kiri kecil
Dapat terdengar bising diastol di daerah trikuspid (tricuspid
diastolic flow murmur) yang terjadi akibat aliran darah berlebihan
melalui katup trikuspid pada fase pengisian cepat ventrikel kanan
Foto Rontgen Toraks
Atrium kanan menonjol, konus pulmonalis menonjol, pembesaran
jantung ringan, dan vaskularisasi paru ↑ sesuai besarnya pirau
Elektrokardiografi
Right bundle branch block (RBBB): menunjukkan beban volume
ventrikel kanan
Deviasi sumbu QRS ke kanan (right axis deviation): ASD sekundum
Blok AV derajat I (pemanjangan interval PR) terdapat pada 10%
ASD sekundum
Deviasi sumbu ke kiri (left axis deviation): ASD primum
Terapi
Medis
Tidak diperlukan pembatasan aktivitas
Tidak diperlukan profilaksis terhadap endokarditis infektif, kecuali
bila terdapat kelainan lain seperti prolaps katup mitral
Terapi gagal jantung bila terdapat gagal jantung
Definitif
Penutupan defek umumnya dilakukan sesudah 2–4 th berupa
penutupan transkateter (ASD sekundum) atau bedah jantung,
kecuali bila terdapat
Pirau kiri ke kanan yang signifikan (flow rasio ≥1,5)
RV overload
Gagal jantung yang tidak berespons dengan pengobatan

559
Perjalanan Alamiah dan Penyulit
Defek menutup spontan terjadi pada 40% kasus ASD sekundum
pada 4 th pertama
Defek mengecil
Asimtomatik, jarang timbul gagal jantung pada masa bayi
Bila tidak diobati, gagal jantung dan hipertensi pulmonal dapat
terjadi pada dewasa sekitar usia 20–30 th
Aritmia atrium (flutter dan fibrilasi) dapat terjadi saat dewasa
dengan atau tanpa operasi
Endokarditis jarang terjadi, kecuali terdapat defek lain
Cerebrovaskular accident akibat embolisasi jarang terjadi

Gambar 48 Algoritme Tatalaksana Defek Septum Atrium


Keterangan: FR: flow ratio
PH: pulmonal hipertensi

Bibliogafi
1. Keane JF, Geva T, Fyler DC. Atrial septal defect. Dalam: Keane JF,
Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi
ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 603–15.
2. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5.
Missouri: Mosby Elsevier; 2008.
560
3. Porter CJ, Edwards WD. Atrial septal defect. Dalam: Allen HD,
Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’
heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi ke-7.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 632–45.
4. Vick III GW. Defects of the atrial septum including
atrioventricular septal defects. Dalam: Garson A, Bricker JT,
Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and practice of
pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins;
1998. hlm. 1141–80.

561
DEFEK SEPTUM VENTRIKEL
(VENTRICULAR SEPTAL DEFECT/VSD)
Batasan
Defek pada septum yang memisahkan ventrikel kiri dan kanan
Klasifikasi
Berdasarkan fisiologinya VSD diklasifikasikan menjadi:
VSD kecil dengan resistensi vaskular paru normal
VSD sedang dengan resistensi vaskular paru bervariasi
VSD besar dengan peningkatan resistensi vaskular paru dari ringan
sampai sedang
VSD besar dengan resistensi vaskular paru yang tinggi
UKK Kardiologi Anak membagi VSD (modifikasi Soto dkk.):
VSD perimembran outlet, inlet, trabekular, konfluens
VSD muskular posterior, trabekular, dan infundibular
VSD subarterial (doubly commited subarterial) yang disebut juga
tipe Oriental
Gambaran klinis sangat bervariasi, dari yang ringan sampai gagal
jantung berat disertai dengan gagal tumbuh
VSD Kecil
Patofisiologi
Sebagian kecil darah dari ventrikel kiri ke arteri pulmonalis
Pembesaran ruang jantung minimal
Bendungan paru minimal
Diagnosis
Pertumbuhan dan perkembangan normal
Bila defek sangat kecil, terutama defek muskular, ditemukan
bising sistol dini pendek yang mungkin didahului early systolic
click
Biasanya bunyi jantung normal, tetapi dapat terdengar bising
pansistol yang keras, disertai thrill, dengan pungtum maks. di
sela iga III–IV garis parasternal kiri dan menjalar ke sepanjang
garis sternum kiri, bahkan ke seluruh prekordium
EKG dan foto Rontgen toraks umumnya masih normal
VSD Sedang–Besar
Patofisiologi
Pirau dari ventrikel kiri-kanan lebih banyak dibandingkan
dengan VSD kecil
Ventrikel kanan tidak membesar karena darah dari ventrikel kiri
langsung dipompakan ke arteri pulmonalis pada saat sistol
(perbedaan dengan ASD)

562
Diagnosis
Anamnesis
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan
Penurunan intolerasi latihan
Infeksi paru berulang
Gagal jantung
Pemeriksaan fisis
Auskultasi
Murmur holosistol di tepi kiri bawah sternum
Mid diastolic rumble di apeks
Bunyi jantung kedua terbelah menyempit
Intensitas P2 sedikit mengeras
Kadang-kadang terdengar klik ejeksi
Elektrokardiografi
Hipertrofi ventrikel kiri
Hipertrofi atrium kiri
Foto Rontgen toraks
Pembesaran jantung
Atrium kiri
Ventrikel kiri
Penonjolan arteri pulmonalis
Corakan vaskular paru ↑

VSD Besar dengan Pengaruh Vaskular Paru


Diagnosis
Anamnesis
Sianosis
Intoleransi latihan
Pemeriksaan fisis
Auskultasi
Bunyi jantung kedua tunggal, P2 mengeras
Elektrokardiografi
Hanya pembesaran ventrikel kanan
Foto Rontgen toraks
Pembesaran ventrikel kanan
Penonjolan a. pulmonalis

Penyulit VSD
Gagal jantung
Endokarditis
Gangguan fungsi katup

Terapi
Jika terdapat gagal jantung → obat gagal jantung
Jika obat gagal jantung tak berhasil, diperlukan terapi definitif berupa
operasi bedah jantung atau penutupan transkateter
Bila asimtomatis atau tidak terdapat tanda gagal jantung, intervensi
dapat ditunda, kecuali mengganggu struktur jantung lain (mis.
regurgitasi katup aorta)

563
Indikasi penutupan:
Bila aliran pirau kiri ke kanan signifikan (FR ≥1,5)
Gangguan pertumbuhan
Riwayat endokarditis
Prolaps katup aorta
Mencegah penyakit vaskular paru dan endokarditis
Apabila terdapat penyakit vaskular paru → penyadapan terlebih
dahulu, dan bila pulmonary artery 2resistance index (PARI) sesudah
pemberian oksigen 100% >8 HRU/m , penutupan tidak dianjurkan

Perjalanan Alamiah VSD


Menutup spontan
Prolaps katup aorta
Aneurisma septum membranasea
Stenosis infundibulum
Hipertensi pulmonal
Penyakit vaskular paru

Gambar 49 Algoritme Tatalaksana VSD

564
Bibliografi
1. Gumbiner CH, Takao A. Ventricular septal defect. Dalam: Garson
A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and
practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams &
Wilkins; 1998. hlm. 1119–40.
2. Keane JF, Fyler DC. Ventricular septal defect. Dalam: Keane JF,
Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi
ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 527–47.
3. McDaniel NL, Gutgesell HP. Ventricular septal defects. Dalam:
Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and
Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi
ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm.
667–80.
4. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.
5. Rahayu AU. Indikasi & pemilihan waktu untuk intervensi penyakit
jantung bawaan. Dalam: Putra ST, Advani N, Rahayoe AU,
penyunting. Dasar-dasar diagnosis dan tatalaksana penyakit
jantung pada anak. Simposium Nasional Kardiologi Anak I; 1996.
hlm. 163–81.

565
DEFEK SEPTUM ATRIOVENTRIKULARIS
(ENDOCARDIAL CUSHION DEFECT, AV CANAL DEFECT)
Batasan
Timbul akibat defek penggabungan bantalan endokardium, septum
interatrial, maupun septum interventrikel
Endocardial cushion berperan dalam pembentukan septum
membran, septum ventrikel, daun anterior katup mitral serta daun
katup trikuspid, dan bagian bawah septum primum
Klasifikasi
Menurut beratnya abnormalitas
Tidak komplet: defek septum primum
Komplet/transisi: common atrioventricular
Terdapat lesi penyerta

Diagnosis
Sering didapatkan pada anak dengan sindrom down
Umumnya simtomatik
Pada pirau kiri ke kanan yang besar dengan inkompetensi mitral yang
berat didapatkan keluhan cepat lelah, gagal jantung, dan ISPA
berulang
Dapat ditemukan prekordium yang hiperaktif, thrill sistol, S2 yang
mengeras. Murmur holosistol grade 3–4/6 dapat terdengar
sepanjang sisi sternum kiri. Bila ada inkompetensi mitral karena cleft
dapat terdengar murmur regurgitan di apeks
EKG dapat berupa aksis superior, RBBB, RVH, LVH, dan AV blok
derajat I
Foto memperlihatkan pembesaran jantung dengan corakan vaskular
paru ↑
Terapi
Bila terdapat gagal jantung → penanganan gagal jantung
Operasi pada usia 2–4 bl

DUKTUS ARTERIOSUS PERSISTEN


(PATENT DUCTUS ARTERIOSUS/PDA)
Batasan
Terdapat pembuluh darah fetal yang menghubungkan percabangan
arteri pulmonalis kiri (left pulmonary arteri) ke aorta desendens
tepat di sebelah distal arteri subklavia kiri
Prevalensi
Kurang lebih 5–10% PJB, sering ditemukan pada bayi kurang bulan
dengan berat badan lahir rendah (BBLR)

566
Diagnosis
PDA kecil
Anamnesis
Biasanya asimtomatik
Pemeriksaan fisis
Auskultasi
Komponen pulmonal (P2) normal
Bising kontinu (machinery murmur) derajat 1–4/6, jelas ter-
dengar di daerah infraklavikularis kiri atau LSB atas
PDA besar
Anamnesis
Gagal jantung kongestif
Gagal tumbuh
Takipnea
Pemeriksaan fisis
Takikardia dan dispnea terutama saat aktivitas atau minum
Aktivitas prekordium ↑
Trill dapat teraba pada LSB atas
Pulsasi pembuluh darah perifer yang teraba keras (bounding
pulsation) dengan tekanan nadi yang lebar akibat tekanan sistol
↑ dan tekanan diastol ↓
Auskultasi
Bising sistol kresendo pada LSB atas
Diastolic rumble di daerah apeks mungkin dapat terdengar
P2 mengeras bila terdapat hipertensi pulmonal
PDA besar menyebabkan PVP
Pirau duktus dari kanan ke kiri
Anamnesis dan pemeriksaan fisis
Diferensial sianosis (sianosis pada setengah bagian bawah
tubuh)
Foto Rontgen toraks
Ukuran jantung normal dengan penonjolan konus pulmonalis
dan corakan vaskular paru di daerah hilus yang ↓ tetapi tidak
mencapai perifer

Terapi
Tidak diperlukan pembatasan aktivitas jika tidak terdapat gagal
jantung atau hipertensi pulmonal
Profilaksis untuk endokarditis infektif
Medis
Pada bayi kurang bl dapat diberikan ibuprofen sebelum usia 10 hr
Indikasi pemberian ibuprofen
Bayi kurang bulan <1.500 g (sesuai usia kehamilan)
Bukan merupakan PJB yang bergantung pada aliran darah duktus
(non-ductus dependent)
Fungsi ginjal dan perdarahan normal

567
Jumlah trombosit normal
Tidak didapatkan NEC
Tidak didapatkan sepsis
Pemeriksaan penunjang sebelum pemberian ibuprofen
Laboratorium rutin (Hb, hitung leukosit, Ht, hitung trombosit,
morfologi darah tepi, hitung jenis, waktu perdarahan, dan waktu
pembekuan)
Pemeriksaan fungsi ginjal (urea N, kreatinin)
Pemeriksaan radiologis (foto Rontgen toraks dan abdomen)
USG kepala
Ekokardiografi
Kontraindikasi
Urea N >25 mg/dL atau kreatinin >1,8 mg/dL
Jumlah trombosit <80.000/mm3
Kecenderungan perdarahan, termasuk perdarahan intrakranial
NEC
Hiperbilirubinemia
Bila terdapat tanda gagal jantung, sebelum terapi ibuprofen dilaku-
kan terapi untuk gagal jantung:
Pemberian ibuprofen yang dianjurkan adalah melalui i.v. atau pipa
nasogastrik dengan dosis 10 mg/kgBB, dilanjutkan dengan 5
mg/kgBB sesudah 24 dan 48 jam dari pemberian pertama
Observasi sesudah pemberian ibuprofen
Tanda perdarahan dan gangguan fungsi ginjal
Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan fungsi ginjal sesudah pemberian pertama, bila fungsi
ginjal ↓, dosis obat diturunkan atau terapi dihentikan
Ekokardiografi untuk menilai apakah PDA sudah menutup
Bila usaha penutupan dengan medikamentosa ini gagal dan gagal
jantung kongestif menetap, bedah ligasi/intervensi perlu segera
dilakukan
Bila tidak ada tanda gagal jantung, penutupan PDA dapat ditunda,
akan tetapi sebaiknya tidak melampaui usia 1 th
Prinsipnya semua PDA pada usia >12 mgg harus dilakukan intervensi
tanpa menghiraukan besarnya aliran pirau, dengan tujuan meng-
hilangkan gagal jantung, mencegah penyakit vaskular paru, men-
cegah endokarditis
Penutupan PDA dapat dilakukan dengan:
Transcatheter PDA occlusion (terapi pilihan utama)
Operasi ligasi/divisi: terutama untuk neonatus dan bayi kecil
dengan gagal jantung, tubular PDA, dan PDA
besar dengan ampula yang kecil
Beberapa anak datang terlambat dengan hipertensi pulmonal akibat
penyakit vaskular paru, bahkan sudah mengalami Eisenmengerisasi.
Dalam kondisi demikian sadap jantung diperlukan untuk menilai
reaktivitas vaskular paru
568
Gambar 50 Algoritme Tatalaksana Duktus Arteriosus Persisten
Keterangan: PDA: patent ductus arteriosus
GJK: gagal jantung kongestif
PH: hipertensi pulmonal

Bibliografi
1. Keane JF, Fyler DC. Patent ductus arteriosus. Dalam: Keane JF,
Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi
ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006; hlm. 617–26.
2. Moore P, Brook MM, Heymann MA. Patent ductus arteriosus and
aorto pulmonary window. Dalam: Allen HD, Shaddy RE, Driscoll
DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in
infants, children, and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 683–700.
3. Mullins CE, Pagotto L. Dalam: Garson A, Bricker JT, Fisher DJ,
Neish SR, penyunting. The science and practice of pediatric
cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. hlm.
1181–98.
4. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.
5. Rahayu AU. Indikasi & pemilihan waktu untuk intervensi penyakit
jantung bawaan. Dalam: Putra ST, Advani N, Rahayoe AU,
penyunting. Dasar-dasar diagnosis dan tatalaksana penyakit
jantung pada anak. Simposium Nasional Kardiologi Anak I; 1996.
hlm. 163–81.

569
STENOSIS PULMONAL
(PULMONARY STENOSIS/PS)
Batasan
Kelainan paling sering berupa obstruksi anatomik jalan keluar
ventrikal kanan
Tipe: valvular (90%), infundibular, supravalvular
Diagnosis
Pemeriksaan fisis bergantung pada berat ringannya stenosis
Dapat terjadi gagal jantung kanan
Dapat terdengar murmur ejeksi sistol di ICS II tepi kiri sternum
Pada stenosis ringan komponen pulmonal bunyi jantung 2 normal
Pada stenosis berat terdengar wide splitting S 2
Murmur dapat tidak terdengar pada neonatus dengan Critical PS
Foto Rontgen toraks: ukuran jantung normal, tetapi dapat berupa
pembesaran jantung (RVH), dengan segmen pulmonal yang
menonjol dan corakan vaskular paru yang ↓ atau normal
EKG dapat normal pada PS ringan. Pada PS sedang–berat berupa
RAD, RVH
Terapi
Percutaneus transluminal balloon valvuloplasty (PTBV)
Koreksi bedah terutama untuk tipe supravalvular dan infundibular

KOARKTASIO AORTA
Batasan
Penyempitan yang bervariasi panjangnya pada setiap tempat dari
arkus aorta ke bifurkasio aorta

Diagnosis
Simtomatis
Sering terjadi pada neonatus dengan CoA atau critical aortic
stenosis
Biasanya disertai defek lain
Gejala klinis berat berupa gagal jantung, gagal ginjal, syok yang
terjadi pada usia 2–6 mgg
Gallop tanpa disertai murmur, dengan pulsasi yang lemah
EKG lebih memperlihatkan RVH atau RBBB daripada LVH
Foto dada: kardiomegali dengan edema pulmonal atau kongesti
vena pulmonal
Asimtomatis
CoA pada anak yang lebih besar
Jarang disertai defek yang lain
Ditemukan pada 30% sindrom Turner
570
Sering kali tanpa gejala
Tekanan darah ekstremitas atas lebih tinggi dibandingkan dengan
ekstremitas bawah
Pulsasi ekstremitas bawah lemah sampai tidak teraba
Murmur ejeksi sistol dapat terdengar di tepi kanan atas sternum
dan interskapula
Foto dada: ukuran jantung normal ↑, dapat terlihat rib notching
pada anak yang besar
Terapi
Bila terdapat gagal jantung → penanganan gagal jantung
Balloon angioplasty/stenting
Bedah (CoA repair)

STENOSIS AORTA
Batasan
Kumpulan lesi yang menyebabkan obstruksi jalan keluar ventrikel kiri
dengan terdapatnya perbedaan tekanan sistol antara ventrikel kiri
dan aorta
Berdasarkan lokasi anatomisnya dibagi atas:
Supravalvular
Valvular (tersering berupa bicuspid aortic valve)
Subvalvular
Hemodinamika
Tanpa melihat lokasi obstruksi, beban tekanan ventrikel kiri ↑,
beban tekanan makin besar dengan makin beratnya obstruksi
Diagnosis
Bayi : gejala seperti pada critical coarctasio
Anak: sering asimtomatik, biasanya pertumbuhan dan perkembang-
an tidak terganggu
Tekanan darah biasanya normal, tetapi didapatkan tekanan
nadi yang menyempit
Thrill sistol dapat terdengar di tepi kanan atas sternum, lekuk
suprasternal, sepanjang arteri karotis
Murmur ejeksi sistol terdengar dengan punctum maks. di ICS
II-tepi kanan sternum atau ICS III kiri dengan penjalaran ke
leher
Dapat terdengar murmur diastol bila disertai regurgitasi aorta
EKG dapat normal pada kasus ringan, tetapi dapat terlihat LVH
pada kasus berat
Foto Rontgen toraks umumnya normal, kecuali bila disertai
regurgitasi aorta

571
Terapi
PTBV untuk tipe valvular
Operasi → bila disertai regurgitasi, subaortic ridge/membran, atau
supravalvular
Pencegahan terhadap endokarditis infeksi
Bibliografi
1. Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and
Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi
ke-7. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2008.
2. Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science
and practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore:
Williams & Wilkins; 1998.
3. Keane JF, Fyler DC. Coarctation of the aorta. Dalam: Keane JF,
Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi
ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 627–43.
4. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.

572
TETRALOGI FALLOT (TF)
Batasan
Penyakit jantung bawaan sianotik berupa kelainan:
Obstrusi saluran keluar ventrikel kanan (PS) yang dapat berupa:
Stenosis infundibular (50%)
Stenosis valvular (10%) atau
Kombinasi keduanya (30%)
VSD besar
Overriding aorta
Hipertrofi ventrikel kanan
Hemodinamika
Bergantung pada derajat obstruksi jalan keluar ventrikel kanan
Besar VSD yang menentukan perbedaan tekanan ventrikel kiri
dengan kanan
Bila obstruksi ringan maka pirau lebih banyak dari kiri ke kanan,
sehingga sianosis tidak terlihat. Bila obstruksi bertambah berat maka
pirau menjadi lebih banyak dari kanan ke kiri sehingga sianosis
menjadi nyata
Pada bentuk yang ekstrem
Atresia katup pulmonal
Pirau kanan-kiri yang berasal dari seluruh aliran darah balik
sistemik melalui VSD
Aliran darah ke paru terjadi melalui PDA
VSD yang kecil dengan PS bukan merupakan TF
TF tipe asianotik
Terdapat pirau kiri-kanan yang ringan sampai sedang
Tekanan sistol ventrikel kanan lebih rendah atau sama dengan
ventrikel kiri
Terdapat perbedaan tekanan arteri pulmonalis dengan ventrikel
kanan akibat PS ringan
Akibat terdapatnya PS maka pirau dari ventrikel kiri ke kanan akan
↓, sehingga ukuran jantung dan corakan vaskular paru dapat
normal
TF tipe sianotik
Stenosis/obstruksi jalan keluar ventrikel kanan berat
Pirau dari kanan-kiri
Penurunan aliran darah ke paru
Tekanan sistol ventrikel kanan sama dengan ventrikel kiri
Diagnosis
Anamnesis
Sianosis dapat terlihat pada saat atau beberapa saat sesudah lahir
Dispnea pada saat melakukan aktivitas
Squatting pada anak yang sudah dapat berjalan
Serangan sianosis (hypoxic spell)

573
Pemeriksaan Fisis
TF tipe asianotik
Dapat terdengar murmur karena PS dan VSD sepanjang tepi
sternum kiri
TF tipe sianotik
Sianosis
Bervariasi derajatnya bergantung pada derajat obstruksi jalan
keluar ventrikel kanan
Murmur ejeksi sistol di tepi atas-tengah kiri sternum akibat PS,
S2 tunggal, dan keras. Pada tipe yang atretik dapat terdengar
murmur kontinu karena PDA. Thrill sistol yang teraba pada
bagian atas dan tengah tepi kiri sternum kiri
Jari tabuh
Pemeriksaan Penunjang
Foto dada pada TF tipe sianotik
Ukuran jantung normal, dengan bentuk boot-shaped (Coeur en
sabot), segmen MPA yang cekung, serta corakan vaskular paru ↓
Pada TF dengan atresia pulmonal lapangan paru tampak ‘hitam’
Pembesaran atrium kanan (25%)
Lengkung aorta ke kanan (25%)
EKG: RAD dan RVH
Pada TF asianotik
Sulit dibedakan dengan VSD kecil-sedang, tetapi pada pemerik-
saan EKG menunjukkan LVH
Perjalanan Alamiah
Bayi TF asianotik secara bertahap akan menjadi sianosis dan yang
sudah menunjukkan sianotik menjadi lebih sianotik akibat ber-
tambahnya obstruksi jalan keluar ventrikel kanan
Polisitemia terjadi sekunder akibat sianosis
Anemia defisiensi besi relatif (hipokromik)
Serangan sianosis
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan dapat terjadi jika
sianosis berat
Abses otak dan trauma serebrovaskular
Endokarditis infektif
Koagulopati
Penyulit
Serangan sianosis (hypoxic spell, cyanotic spell)
Cerebrovascular accident, terjadi sesudah serangan sianotik
Abses otak
Endokarditis infektif
Anemia relatif
Trombosis paru
Perdarahan

574
Terapi
Total koreksi umumnya dilakukan sesudah usia satu th, berupa
pelebaran jalan keluar ventrikel kanan dan penutupan VSD
Bila spell tidak teratasi dengan obat-obatan atau sering terjadi
diperlukan operasi BT-shunt sebelum operasi total koreksi

SERANGAN SIANOSIS
(CYANOTIC SPELL, HUPOXIC SPELL)
Merupakan penyulit tetralogi Fallot serius yang memerlukan
diagnosis dan tatalaksana yang tepat dan cepat. Sering terjadi pada
bayi dengan TF dengan puncak insidensi antara 2 dan 4 bl. Biasanya
terjadi pada pagi hari sesudah menangis, makan, atau defekasi
Manifestasi Klinis
Bernapas cepat dan dalam (hiperpnea paroksismal)
Iritabel, rewel, dan menangis terus-menerus
Sianosis ↑
Bising jantung menghilang
Bila berlanjut penderita terlihat lemas, dapat terjadi kejang atau
kesadaran ↓, kelumpuhan, strok bahkan kematian
Patogenesis
Setiap keadaan yang menyebabkan:
Penurunan mendadak resistensi vaskular sistemik dan
menyebabkan pirau kanan ke kiri yang besar (misal menangis,
defekasi, aktivitas berlebihan pada anak kecil)
Dapat dipicu oleh penyakit lain seperti infeksi respiratori akut
(IRA), diare, dan dehidrasi
Resistensi vaskular sistemik ↓ dan obstruksi jalan keluar ventrikel
kanan ↑ → pirau kanan ke kiri ↑ → PO2 ↓, PCO2 ↑ dan asidosis.
Terjadi stimulasi pusat napas → timbul hiperpnea yang akan
meningkatkan venous return, yang selanjutnya menambah pirau
kanan ke kiri dan memperberat hipoksia
Terapi
Bayi/anak digendong/diletakkan pada posisi knee-chest
Morfin sulfat 0,2 mg/kgBB diberikan s.k. atau i.m. akan menekan
pusat pernapasan dan menghilangkan hiperpnea
Natrium bikarbonat (NaHCO3), 1 mEq/kgBB i.v. untuk mengatasi
asidosis. Dosis yang sama dapat diulang dalam 10–15 mnt. NaHCO3
mengurangi efek stimulasi asidosis pada pusat pernapasan
Oksigen dapat diberikan
Jika serangan sianosis tidak dapat diatasi dengan terapi di atas
Ketamin, 1–3 mg/kgBB (rata-rata 2 mg/kgBB) diberikan i.v. dalam
60 detik, dapat meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan juga
mempunyai efek sedasi

575
Propanolol, 0,01–0,25 mg/kgBB (rata-rata 0,05 mg/kgBB diberikan
dalam bolus i.v. lambat)
Sesudah serangan sianosis dapat teratasi maka dilakukan:
Penyuluhan terhadap keluarga dalam pengenalan serangan
sianosis dan mengetahui apa yang harus dilakukan
Propanolol 0,5–1,5 mg/kgBB p.o. setiap 6 jam untuk mencegah
serangan sianosis sementara menunggu saat yang tepat untuk
dilakukan operasi paliatif maupun korektif
Penting melakukan penjagaan terhadap higiene gigi dan
pemberian antibiotik profilaksis terhadap endokarditis infektif
Koreksi anemia defesiensi besi karena dapat meningkatkan risiko
penyulit serebrovaskular

Gambar 51 Algoritme Tatalaksana Tetralogi Fallot


Keterangan
Tetralogi Fallot merupakan gabungan defek septum ventrikel jenis
subaortik atau subarterial, aorta mengangkang septum, stenosis katup/
infundibulum pulmonal, dan hipertropi ventrikel kanan. Bila serangan
spell terjadi, selain pemberian morfin untuk sedatif dan bikarbonat
natrikus untuk mengatasi asidosis metabolik, juga diperlukan propranolol.
Kalau dengan obat-obatan tersebut masih sering timbul serangan sianotik,
intervensi bedah perlu segera dilakukan berupa terapi paliatif Blalock
taussig shunt (BTS) untuk anak usia di bawah 1 th. Bila spell dapat
terkontrol dengan obat-obatan koreksi dilakukan seperti pada anak yang
tidak mengalami spell. Pilihan intervensi bergantung pada kesiapan

576
anatomis, terutama ukuran dan bentuk arteri pulmonalis (AP) maupun
kesiapan senter yang bersangkutan. Bila tidak terjadi serangan sianotik,
bedah korektif dapat dilakukan sesudah usia 1 th dan sebaiknya sebelum
anak mulai sekolah. Beberapa institusi maju melakukannya pada masa
bayi dengan tujuan melindungi miokardium, otak, dan organ tubuh
lainnya dari hipoksia berkepanjangan

Bibliografi
1. Breitbart RE, Fyler DC. Tetralogy of fallot. Dalam: Keane JF, Lock
JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2.
Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 559–79.
2. Neches WH, ParkSC, Ettedgui JA. Tetralogy of fallot and tetralogy
of fallot with pulmonary atresia. Dalam: Garson A, Bricker JT,
Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and practice of
pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins;
1998. hlm. 1383–412.
3. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.
4. Rahayu AU. Indikasi & pemilihan waktu untuk intervensi penyakit
jantung bawaan. Dalam: Putra ST, Advani N, Rahayoe AU,
penyunting. Dasar-dasar diagnosis dan tatalaksana penyakit
jantung pada anak. Simposium Nasional Kardiologi Anak I; 1996.
hlm. 163–81.
5. Siwik ES, Errenberg FG, Zahka KG. Tetralogy of fallot. Dalam: Allen
HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and
Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi
ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 888–
909.

577
ATRESIA PULMONAL DENGAN
DEFEK SEPTUM VENTRIKEL
Batasan
Bentuk kelainan tetralogi Fallot berat (10%), bayi tampak sangat
sianosis segera sesudah lahir, aliran darah ke paru umumnya melalui
PDA (70%) atau kolateral (30%). Arteri pulmonalis dan cabangnya
hipoplastik, sampai tidak terbentuk
Diagnosis
Sianosis terlihat lebih dini (hari pertama lahir)
Tidak terdengar bising pada daerah jalan keluar ventrikel kanan,
tetapi mungkin terdengar bising karena duktus atau kolateral. Bila
kolateral banyak, tidak terlihat sianosis dan bising dapat didengar
hingga di punggung di antara skapula
Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung (pada usia bayi)
Terapi
Mempertahankan PDA dengan prostaglandin E sebelum tindakan
operasi
PDA stenting/BT shunt
Operasi Rasteli sesudah usia 1 th atau lebih

ATRESIA PULMONAL TANPA


DEFEK SEPTUM VENTRIKEL
Batasan
Kelainan jantung bawaan yang sangat jarang, dikelompokkan menjadi
3 jenis berdasarkan anatomi ventrikel kanan:
Tripartit
Bipartit
Monopartit
Hemodinamika
Darah masuk ke ventrikel kanan dalam jumlah kecil melalui
sinusoid miokardium ke pembuluh koroner dan aorta, tapi
sebagian besar regurgitasi ke atrium kanan melalui katup trikuspid
yang inkompeten. Pirau kiri ke kanan melalui duktus sangat
esensial untuk kelangsungan hidup bayi tersebut. Aliran darah ke
paru bergantung pada persistensi duktus arteriosus
Diagnosis
Sianosis jelas pada bayi segera sesudah lahir dan tampak makin jelas
selama masa neonatus
Terapi
Mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka dengan infus
prostaglandin E sebelum tindakan operasi/intervensi

578
Tipe tripartit: pulmonary valvotomi dengan radio frequency ablation
+ percutaneus transluminal baloon valvuloplasty
Bipartit: pulmonary valvotomi dengan radio frequency ablation +
percutaneus transluminal baloon valvuloplasty (± PDA stenting +
ballon atrial septectomy)
Monopartit: Fontan pathway

ATRESIA TRIKUSPID
Batasan
Kelainan ketika atrium kanan tidak berhubungan langsung dengan
ventrikel kanan sebagai akibat kegagalan perkembangan/
pembentukan katup trikuspid. Umumnya ventrikel kanan hipoplastik.
Aliran darah vena sistemik harus melewati septum atrium ke bagian
kiri jantung
Hemodinamika
Secara umum aliran darah balik mengalir ke atrium kiri melalui
septum atrium. Atrium kiri dan ventrikel kiri membesar karena
harus memompa darah ke paru dan sistemik serta pencampuran
darah dari paru dan darah balik. Sirkulasi paru bergantung pada
kelainan yang menyertainya, sehingga akan memengaruhi hemo-
dinamik yang terjadi
Diagnosis
Bergantung pada kelainan anatomi dasar, sebagian besar menunjuk-
kan sianosis sedang–berat, biasanya terjadi dalam mgg ke-1–2
kehidupan secara progresif, napas cepat, dan gangguan minum
Serangan hipoksia terjadi pada masa bayi. S2 tunggal dapat terdengar
murmur karena VSD atau PDA. EKG memperlihatkan aksis superior
dan pada foto dada ukuran jantung dapat normal atau membesar
dengan corakan paru ↓, bergantung pada kelainan yang menyertai
(ada tidaknya stenosis pulmonal)
Terapi
Bila aliran darah ke a. pulmonalis besar → penanganan gagal jantung
Bila aliran darah ke a. pulmonalis kurang → infus prostaglandin E
PDA stenting/BT shunt
Operasi single ventricle/Fontan pathway

DOUBLE OUTLET RIGHT VENTRICLE (DORV)


Batasan
Penyakit jantung bawaan sianosis, kedua pembuluh darah utama
(aorta dan arteri pulmonalis) keluar seluruhnya atau sebagian besar
dari ventrikel kanan
579
Klasifikasi
DORV sering disertai PS
Berdasarkan lokasi VSD terhadap pembuluh darah utama dibagi atas:
VSD subaortik
VSD subarterial doubly commited
VSD subpulmonik (tausig bing anomaly)
VSD non-committed
Diagnosis
Bila ada PS sianosis terlihat lebih jelas, kadang dengan spell, dengan
murmur ejeksi sistol. Bila tanpa PS gagal jantung lebih jelas. Dapat
terdengar murmur pansistol karena VSD
EKG memperlihatkan RAD, RAH, RVH kadang dengan aksis superior dan
pada foto Rontgen toraks ukuran jantung dapat normal atau membesar
dengan corakan paru ↓ atau ↑ bergantung pada PS ada/tidak
Terapi
Bila ada gagal jantung → penanganan gagal jantung
Bila spell → tatalaksana spell
Operasi koreksi: diupayakan untuk koreksi biventrikular, bila tidak
mungkin (VSD remote) maka operasi single
ventricle/Fontan pathway
Bibliografi
1. Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and
Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi
ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
2. Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science
and practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore:
Williams & Wilkins; 1998.
3. Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric
cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006.
4. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.

TRANSPOSISI ARTERI BESAR


Batasan
Anomali yang kompleks berupa posisi abnormal arteri besar: aorta
keluar dari ventrikel kanan dan terletak anterior dari a. pulmonalis
yang keluar dari ventrikel kiri (D-TGA). Akibatnya darah vena sistemik
masuk ke aorta, sedangkan darah v. pulmonalis yang kaya O2 kembali
lagi ke paru. Pada masa fetal, dengan terdapat foramen ovale dan
duktus arteriosus memberikan efek yang minimal. Pada masa
neonatus kelangsungan hidup bergantung pada terdapatnya pen-
campuran darah kedua sirkuit melalui defek septum atrium, defek
septum ventrikel, persistensi duktus arteriosus, atau kolateral
bronkopulmonal
580
Diagnosis
Klinis bergantung pada pencampuran adekuat antara sirkulasi
sistemik dan paru, serta terdapatnya lesi tambahan seperti PS
Apabila pencampuran hanya melalui foramen ovale atau PDA kecil
maka keadaan tidak adekuat dan bayi akan tampak sianosis
Sianosis akan tampak pada mgg pertama dan menjadi progresif
apabila duktus arteriosus menutup, sehingga terjadi hipoksia dan
asidosis
Bayi menjadi sesak napas dan sering mengalami pneumonia
Pertumbuhan lambat
Bunyi jantung 1 terdengar normal, sedangkan bunyi jantung ke-2
dapat terdengar tunggal dan keras
Tidak terdengar bising jantung kecuali jika terdapat PS atau VSD
EKG memperlihatkan RAD dan RVH, foto Rontgen toraks terlihat
peningkatan corakan paru dan gambaran egg-on sting
Terapi
Tindakan paliatif yang dapat dilakukan berupa infus PGE1 untuk
mempertahankan duktus tetap terbuka atau ballon atrial septectomy
untuk mempertahankan mixing sebelum dilakukan operasi korektif
Pada transposisi arteri besar tanpa ASD, sebaiknya bedah switch
arteri (menukar posisi aorta dan pulmonal, serta memindahkan arteri
koroner ke aorta yang baru dilakukan pada usia <1 bl. Sesudah usia 1
bl dikhawatirkan tahanan vaskular pulmonal menurun sejalan dengan
maturasi paru, sehingga beban tekanan ventrikel kiri ↓, dindingnya
menipis, dan tidak mampu lagi berfungsi sebagai pompa sistemik.
Untuk menilai kemampuan ventrikel kiri dapat dilakukan kateterisasi
jantung. Kalau tekanan sistol di atas ⅔ tekanan sistol sistemik,
diramalkan ventrikel kiri akan mampu berfungsi sebagai pemompa
sistemik dan bedah switch arteri dapat dilakukan. Kurang dari itu
perlu dilakukan latihan dulu dengan memasang banding pada arteri
pulmonal. Akhir-akhir ini prosedur bedah switch arteri cenderung
dilakukan pada usia 2–3 mgg
Pada transposisi arteri besar dengan VSD kekhawatiran ini tidak
ada, karena ventrikel kiri dan kanan merupakan bejana berhubungan,
akan tetapi masalah lain yang harus diwaspadai yaitu penyakit
vaskular paru. Karenanya bedah switch arteri sebaiknya dilakukan
pada usia 2–3 bl. Bila menemukan kasus semacam ini dengan usia
>3 bl, sebaiknya dilakukan kateterisasi jantung untuk memastikan
besar tahanan vaskular pulmonal. Bila ada obstruksi jalan keluar
ventrikel kiri yang tidak dapat direseksi, maka dilakukan BT shunt
dahulu, disusul bedah Rastelli sebagai bedah definitif

581
Gambar 52 Algoritme Tatalaksana Transposisi Arteri Besar
Keterangan: TAB: transposisi arteri besar; PAB: pulmonary artery
banding; BTS: blalock taussig stunt; LVOTO: left ventricular
outflow tract obstruction; PARI: pulmonary artery resistance
index; PGE 1: prostaglandin E1; BAS: balloon atrial septectomy

TOTAL ANOMALOUS PULMONARY VENOUS RETURN


DENGAN/TANPA OBSTRUKSI
Batasan
Pada kelainan ini drainase ke-4 vena pulmonalis bermuara ke atrium
kanan atau vena-vena yang bermuara ke atrium kanan
Klasifikasi
Defek dibagi menjadi:
Suprakardiak (50%): vena pulmonalis bermuara ke v. inominata kiri
melalui vertical vein

582
Kardiak (20%): vena pulmonalis bermuara ke atrium kanan lang-
sung atau melalui sinus koronarius
Tipe infracardiac (20%): vena pulmonalis bermuara ke vena kava
inferior, vena porta, duktus venosus atau vena hepatika
Tipe campuran (10%): campuran di antara tipe yang di atas
Diagnosis
Pada hari ke-1 kehidupan menunjukkan sianosis dan distres napas,
berupa dispnea, takipnea, dan retraksi akibat kongesti paru
Pada auskultasi terdengar bunyi jantung 2 yang keras dan gallop,
tetapi tidak ada bising, dan pada ke-2 lapang paru terdengar crackles.
EKG memperlihatkan RAD dan RVH, serta foto Rontgen toraks ukuran
jantung umumnya tidak membesar disertai edema dan kongesti paru
Terapi
Operasi segera
Untuk stabilisasi dapat diberikan diuretik dan digitalis, atau ballon
atrial septectomy

TRUNKUS ARTERIOSUS PERSISTEN


Batasan
Keluarnya pembuluh darah tunggal dari jantung yang menampung
aliran darah dari ke-2 ventrikel yang memasok sirkulasi darah
sistemik, paru, dan koroner

Diagnosis
Sianosis terlihat sesudah lahir dan gagal jantung timbul dalam
beberapa mgg. Pada masa bayi, sewaktu tahanan vaskular paru
masih rendah, gejala klinis pada trunkus arteriosus dapat mirip
dengan VSD yang besar
Dispnea
Sering mengalami infeksi saluran respiratori
Pertumbuhan terganggu
Bila terdapat aliran darah paru yang meningkat → pulsus seler
Bunyi jantung 1 normal, bunyi jantung ke-2 tunggal, bising sistol
regurgitan sepanjang tepi kiri sternum disertai murmur diastol.
Tekanan nadi lebar disertai nadi yang bounding
EKG memperlihatkan BVH. Foto Rontgen toraks tampak kardiomegali
dan corakan vaskular paru ↑
Terapi
Bila ada gagal jantung → penanganan gagal jantung
Koreksi total sebelum usia 6 bl

583
ANOMALI EBSTEIN
Batasan
Penyakit jantung bawaan berupa malinsersi septal dan posterior
leaflet dari katup trikuspid ke ventrikel kanan, sehingga terjadi
atrialized RV yang mengakibatkan hipoplasia fungsional ventrikel
kanan dan katup trikuspid
Diagnosis
Pada kasus berat sianosis terlihat sejak lahir, tetapi pada kasus yang
ringan sianosis baru muncul saat anak besar. S1 dapat terdengar split,
S2 terdengar wide splitting, S3 dan S4 dapat terdengar. Murmur
regurgitant dapat terdengar karena insufisiensi katup trikuspid
EKG memperlihatkan RBBB dan RAH, aritmia berupa preeksitasi
WPW, SVT dan AV blok derajat 1. Foto Rontgen toraks memperlihat-
kan ukuran jantung yang sangat besar
Terapi
Bila terdapat gagal jantung → penanganan gagal jantung
Bila aliran darah ke a. pulmonalis kurang → infus prostaglandin E
PDA stenting/BT shunt
Bila terdapat aritmia → terapi aritmia
Operasi koreksi. Bila tidak memungkinkan single ventricle/Fontan
pathway

HYPOPLASTIC LEFT HEART SYNDROME


Batasan
Merupakan malformasi obstruksi bagian kiri jantung dengan
hipoplasia hebat, sampai atretik pada ventrikel kiri (1% dari PJB).
Sering disertai hipoplasia dan atresia katup mitral atau stenosis aorta
dan hipoplasia arkus aorta. Sebagian besar meninggal pada masa
neonatus
Hemodinamika
Aliran darah ke jantung kiri tidak mungkin terjadi, baik pada masa
fetal maupun sesudah lahir. Selama masa fetal perfusi ke aorta
terjadi melalui duktus karena resistensi paru yang tinggi. Sesudah
lahir, resistensi paru ↓ dan duktus menutup → curah jantung ↓
→ syok dan asidosis metabolik. Peningkatan aliran darah ke paru
→ tekanan di atrium kiri ↑, dengan hipoplasia ventrikel kiri terjadi
edema paru
Diagnosis
Sering kali bayi hanya takipnea, takikardia, dan sianosis segera
sesudah lahir yang kemudian cepat memburuk dalam 48–72 jam dan
tampak kritis
Crackles pada kedua paru
584
Pulsasi lemah dan pengisisan kapiler yang lambat
Tampak gejala gagal jantung, bahkan syok
Hepatomegali
S2 keras dan single
Sering disertai dengan malformasi SSP
Foto Rontgen toraks: edema paru dan ukuran jantung dapat
membesar
EKG: RVH
Asidosis metabolik
Terapi
Infus PGE1
Atasi syok dan asidosis
Operasi Norwood
Single ventricle pathway
Bibliografi
1. Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and
Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi
ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
2. Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science
and practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore:
Williams & Wilkins; 1998. hlm. 1383–412.
3. Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric
cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006.
4. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.

585
GAGAL JANTUNG
Batasan
Sindrom klinis akibat jantung tidak mampu memompakan darah
dalam jumlah yang cukup ke seluruh tubuh untuk memenuhi
kebutuhan dan menerima aliran darah balik dari vena sistemik dan
pulmonal, atau kombinasi kedua hal tersebut
Klasifikasi
Kelas fungsional berdasarkan New York Heart Association (NYHA):
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas biasa tidak
menimbulkan kelelahan, dispnea, atau palpitasi
Kelas II Ada pembatasan ringan aktivitas fisik. Aktivitas biasa
menimbulkan kelelahan, dispnea, palpitasi, atau angina
Kelas III Pembatasan aktivitas fisik. Walaupun penderita nyaman
saat istirahat, sedikit melakukan aktivitas biasa saja dapat
menimbulkan gejala
Kelas IV Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas tanpa
ketidaknyamanan. Gejala gagal jantung timbul saat
istirahat

Tabel 132 Klasifikasi Ross untuk Gagal Jantung pada Bayi Sesuai
NYHA
Kelas I Tidak ada gejala atau pembatasan fisik
Kelas II Takipnea ringan atau bayi saat minum tampak
berkeringat
Pada anak yang lebih besar tampak sesak bila
beraktivitas
Tidak ada gagal tumbuh
Kelas III Takipnea tampak jelas atau tampak berkeringat saat
minum maupun aktivitas
Waktu minum menjadi lebih lama
Gagal tumbuh sebagai akibat gagal jantung
Kelas IV Saat istirahat tampak takipnea, retraksi, grunting, atau
berkeringat

Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh kelainan jantung bawaan atau
didapat

586
Tabel 133 Penyebab Gagal Jantung karena Penyakit Jantung Bawaan
Usia Diagnosis
Saat lahir Hypoplastic left heart syndrome
Reguritasi trikuspid berat
Regurgitasi pulmonal berat
Arteriovenosus (AV) fistula sistemik yang besar
Mgg pertama Transposisi arteri besar
PDA besar pada bayi kurang bulan
Total anomalous pulmonary venous drainage
Mgg 1–4 Stenosis aorta berat
Stenosis pulmonal berat
Koartasio aorta
Mgg 4–6 Beberapa shunt dari kiri ke kanan seperti AVSD
Mgg 6–4 bl VSD besar
PDA besar
Anomali arteri koronaria kiri dari arteri pulmonal

Penyebab gagal jantung akibat penyakit jantung didapat


Gangguan metabolik (hipoksia berat dan asidosis, hipoglikemia,
hipokalsemia)
Fibroelastosis endokardial
Miokarditis
Karditis pada demam reumatik akut
Penyakit katup pada penyakit jantung reumatik
Kardiomiopati dilatasi idiopati
Kardiomiopati yang berhubungan dengan distrofi muskular dan
ataksia
Kardiomiopati doksorubisin
Supraventricular tachycardia (SVT)
Complete heart block
Anemia berat
Hipertensi akut
Displasia bronkopulmonal
Kor pulmonale akut karena obstruksi jalan napas
Tabel 134 Penyebab Gagal Jantung pada Neonatus yang Bukan
karena Penyakit Jantung Bawaan
Penyebab Diagnosis
Nonkardiak Iskemia miokardium sementara
akibat asfiksia
Hipoglikemia, hipokalsemia
Anemia berat
Overtransfusi atau overhidrasi
Sepsis neonatal
Primary myocardial disease Miokarditis
Penyakit miokardial primer Gangguan irama jantung

587
Patofisiologi
Faktor-faktor yang dapat menerangkan terjadinya gagal jantung:
Beban volume (preload)
Beban tekanan (afterload)
Gangguan kontraksi dan fungsi jantung
Denyut jantung
Diagnosis
Anamnesis
Bayi
Tidak kuat minum
Takipnea
Gagal tumbuh
Sering berkeringat di dahi
Anak besar
Sesak napas terutama saat aktivitas
Mudah lelah
Edema palpebra atau tungkai
Pemeriksaan Fisis
Akibat respons kompensasi karena fungsi jantung ↓:
Takikardia
Irama galop
Kardiomegali
Rangsang simpatis ↑
Gagal tumbuh
Keringat dan kulit dingin/lembap
Akibat bendungan pada vena pulmonalis
Takipnea
Ortopnea
Wheezing dan ronki
Akibat bendungan vena sistemik
Tekanan vena jugularis ↑
Palpebra edema pada bayi
Hepatomegali
Edema tungkai pada anak yang sudah besar, jarang pada bayi
Tabel 135 Sistem Skor Ross untuk Gagal Jantung pada Bayi
0 poin 1 poin 2 poin
Volume sekali minum (mL) >115 75–115 <25
Waktu per sekali minum <40 <40
(mnt)
Laju napas (/mnt) <50 50–60 >60
Pola napas Normal Abnormal
Perfusi perifer Normal Menurun
S3 atau diastol rumble Tidak ada Ada
Jarak tepi hepar dari <2 2–3 >3
batas kosta (cm)

588
TOTAL:
Tanpa gagal jantung : 0–2 poin
Gagal jantung ringan : 3–6 poin
Gagal jantung sedang: 7–9 poin
Gagal jantung berat : 10–12 poin
Tabel 136 Skor Klinis Gagal Jantung pada Anak

Kriteria Skor
0 1 2
Riwayat
Diaporesis Hanya di Kepala dan Kepala dan
(berkeringat) kepala badan saat badan saat
beraktivitas istirahat
Takipnea Jarang Kadang- Sering
kadang
Pemeriksaan fisis
Pernapasan Normal Retraksi Dispnea
Laju napas/mnt
1–6 th <35 35–45 >45
7–10 th <25 25–35 >35
11–14 th <18 18–28 >28
Laju jantung/mnt
1–6 th <105 105–115 >115
7–10 th <90 90–100 >100
11–14 th <80 80–90 >90
Hepatomegali (tepi <2 2–3 >3
hepar dari tepi
kostae kanan) (cm)
Skor >6 menunjukkan gagal jantung
Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen Toraks
Kardiomegali
Tidak terdapat kardiomegali hampir menyingkirkan diagnosis
gagal jantung
Kardiomegali bukan berarti terdapat gagal jantung karena be-
berapa anak yang mempunyai pirau kiri ke kanan yang besar
dapat menunjukkan kardiomegali tanpa gagal jantung
Elektrokardiografi
Membantu menentukan tipe defek
Tidak untuk menentukan apakah terdapat gagal jantung atau tidak
Ekokardiografi
Untuk mengetahui pembesaran ruang jantung
Etiologi

589
Terapi
Atasi etiologi yang menjadi penyebab dasar
Tindakan intervensi nonbedah dan koreksi bedah
Terapi suportif:
Istirahat dengan posisi setengah tegak
Pemberian oksigen
Pemberian nutrisi yang adekuat (sampai 150–160 kcal/kgBB/hr)
Pembatasan cairan dan garam (<0,5 g/hr) untuk anak besar
Obati/hindari faktor pencetus (infeksi, demam, anemia)
Ventilasi mekanik bila diperlukan
Obat gagal jantung
Obat Antigagal Jantung Diuretik
Untuk mengurangi preload
Perlu diperhatikan kadar kalium darah
Tabel 137 Rute Pemberian dan Dosis Diuretik
Nama Obat Rute Pemberian Dosis
Diuretik tiazid:
Klortiazid p.o. 20–40 mg/kgBB/hr
Hidroklortiazid p.o. dibagi dalam 2–3 dosis
Diuretik loop:
Furosemid i.v. 1 mg/kgBB/dosis
p.o. 2–3 mg/kgBB/hr dibagi
dalam 2–3 dosis
Asam etakrinik i.v. 1 mg/kgBB/dosis
p.o. 2–3 mg/kgBB/hr dibagi
dalam 2–3 dosis
Aldosteron
antagonis: p.o. 1–3 mg/kgBB/hr dalam
Spironolakton 2–3 dosis terbagi

Efek samping diuretik


Hipokalemia, kecuali spironolakton
Alkalosis hipokloremik
Afterload-reducing agent
Mengurangi afterload, menambah stroke volume tanpa
menambah konsumsi oksigen miokardium
Terdiri atas:
Arteriolar vasodilator (misal hidralazin)
Venodilator (misal nitrogliserin)
Mixed vasodilator (misal ACE inhibitor, nitroprusside)

590
Tabel 138 Rute Pemberian dan Dosis Vasodilator
Nama Obat Dosis dan Rute Pemberian Keterangan
Hidralazin 0,1–0,2 mg/kgBB/dosis i.v. Dapat menyebabkan
setiap 4–6 jam (maks. 2 takikardia, sebaiknya
mg/kgBB setiap 6 jam) digunakan dengan
propranolol
0,75–3 mg/kgBB/hr p.o. Gangguan saluran cerna,
dibagi 2–4 dosis (maks. 200 neutropenia, dan lupus like
mg/hr) syndrome
Nitrogliserin 0,5–2 g/kgBB/mnt i.v. Mulai dengan dosis kecil dan
(maks. 6 g/kgBB/mnt) dinaikkan perlahan sesuai
efek
Kaptopril Neonatus: 0,1–0,4 Hipotensi, pusing,
mg/kgBB/dosis p.o. neutropenia, dan
1–4×/hr proteinuria
Bayi: 0,5–6 mg/kgBB/hr p.o. Dosis dikurangi pada
1–4×/hr penderita gangguan fungsi
Anak: 12,5 mg/dosis p.o. 1– ginjal
2×/hr
Enalapril 0,1 mg/kgBB p.o. 1–2×/hr Hipotensi, pusing, sinkop
Nitroprusid 0,5–8 g/kgBB/mnt i.v. Dapat menimbulkan
toksisitas tiosianat atau
sianida, disfungsi hepar,
atau hipersensitif terhadap
cahaya
Prazosin Dosis pertama 5 g/kgBB Efek samping lebih sedikit
p.o.; dinaikkan sampai 25– dibandingkan dengan
150 g/kgBB/hr dibagi hidralazin; hipotensi
4 dosis ortostatik atau takifilaksis

Digitalis
Obat antigagal jantung yang paling banyak dipakai pada bayi dan
anak
Bersifat inotropik positif dan kronotropik negatif → curah
jantung ↑

Tabel 139 Dosis Digitalis pada Gagal Jantung

Usia Dosis Pemeliharaan


(µg/kgBB/hr )
Prematur 5
Bayi baru lahir 8
<2 th 10–12
≥2 th 8–10

591
Efek digitalis terhadap perubahan EKG
QTc memendek
Pemendekan segmen ST dan amplitudo gelombang T ↓ (vektor
T tidak berubah)
Frekuensi jantung ↓
Gambaran EKG pada intoksikasi digitalis
Interval PR yang memanjang
(Interval PR yang memanjang sering dijumpai pada anak
normal, sehingga dianjurkan untuk membuat nilai dasar
untuk interval PR pada EKG)
Bradikardia sinus atau blok SA
Aritmia supraventrikular
Aritmia ventrikular (ventrikular bigemini dan ventrikular
trigemini)
Pemberian digitalisasi sudah tidak dianjurkan. Bila diperlukan
pemberian digitalis dimulai dengan dosis pemeliharaan.
Perhatikan EKG sebelum pemberian dosis pemeliharaan
Cara pemberian digitalis
Tentukan EKG (perhatikan irama dan interval PR)
Periksa elektrolit serum
Perubahan irama EKG dan interval PR adalah tanda penting
keracunan digitalis
Hipokalemia dan hiperkalemia merupakan predisposisi
keracunan digitalis
Hitung dosis digitalis
Dianjurkan untuk dilakukan oleh dua orang untuk mengu-
rangi kesalahan dalam penghitungan
Kontraindikasi pemberian digitalis
Kardiomiopati hipertropik
Blok jantung komplet
Tamponade jantung

RENJATAN KARDIOGENIK
Batasan
Kegagalan sirkulasi akibat ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah karena disfungsi miokardium sehingga curah jantung ↓
disertai resistensi vaskular sistemik ↑
Etiologi
Kelainan jantung bawaan
Pascaoperasi jantung
Aritmia
Sepsis tahap lanjut
Intoksikasi obat

592
Hipoksia/iskemia otot jantung
Miokarditis
Kardiomiopati
Cedera miokardium
Kelainan metabolik (asidosis, hipotermia)
Penyakit infiltratif: mukopolisakaridosis, glycogen storage disease
Tamponade
Tirotoksikosis
Feokromositoma
Diagnosis
Hipotensi
Takikardia
Tanda perfusi jaringan yang kurang
Kulit dingin
Kesadaran ↓
Oliguria
Asidosis metabolik
Dispnea
Perlambatan pengisian kapiler
Ditemukan kelainan jantung/lain yang mendasari
EKG dan foto Rontgen toraks bergantung pada kelainan jantung yang
menyebabkan renjatan kardiogenik
Diagnosis Banding
Renjatan oleh sebab lain
Pemeriksaan Penunjang
EKG
Foto Rontgen toraks
Ekokardiografi
AGD dan MVO2
Terapi
Tujuannya untuk meningkatkan curah jantung dan perfusi jaringan di
perifer sehingga dapat mencegah iskemia organ vital dan meng-
obati/koreksi penyakit yang mendasarinya
Prinsip penanganan renjatan kardiogenik terdiri atas 2 kelompok yaitu:
1. Primer: koreksi ditujukan pada faktor penyebab (etiologi)
2. Sekunder: koreksi ditujukan pada gangguan hemodinamika
dengan meningkatkan stroke volume
Preload
Parameter: tekanan vena sentral (CVP), pulmonary capillary
wedge pressure (PCWP), tekanan atrium kiri (LAP) rendah,
dilatasi ruang jantung
Manifestasi fisiologis abnormal: curah jantung dan tekanan
darah ↓
Terapi: volume expansion; kristaloid, koloid, plasma, whole
blood

593
Kontraktilitas jantung
Parameter: curah jantung, tekanan darah, fraksi
pemendekan, saturasi oksigen di mixed vein (MVO2)
Manifestasi fisiologis abnormal: CVP, PCWP ↑, MVO2 yang
rendah, curah jantung dan tekanan darah ↓
Terapi: β-adrenergik agonis
Dopamin: 5–15 g/kgBB/mnt
Dobutamin: 2,5–20 g/kgBB/mnt
Isoproterenol: 0,05–2 g/kgBB/mnt
Adrenalin: 0,1–1 mcg/kgBB/mnt
Milrinon: 0,375–0,75 mcg/kgBB/mnt
Cara pemberian:
Berikan melalui vena sentral dengan dosis kecil, titrasi
untuk mencapai efek yang diharapkan berupa tekanan
darah yang cukup untuk mempertahankan perfusi. Kalau
tekanan darah belum meningkat dosis dinaikkan secara
bertahap (1–2 g/kgBB/mnt)
Afterload
Parameter: tekanan darah, perfusi perifer, resistensi vaskular
sistemik
Manifestasi fisiologis abnormal: CVP, PCWP, LAP, dan SVR ↑
dengan curah jantung rendah, tekanan darah normal atau ↑
Terapi: afterload reducing agent
Nitroprusid: 0,3–10 g/kgBB/mnt, dosis dinaikkan tiap 10–
15 mnt sampai tekanan pengisian ventrikel
yang diinginkan tercapai
Hidralazin: 0,15–0,2 mg/kgBB/dosis setiap 4–6 jam (maks.
20 mg/dosis)
Nitrogliserin: 0,5–1 mcg/kgBB/mnt
Pemantauan
Keadaan umum dan tanda vital
Tekanan darah melalui arterial line atau NIBP
CVP
PCWP dan LAP bila memungkinkan
Ekokardiografi untuk menilai curah jantung dan pembesaran ruang
jantung
AGD dan MVO2
Perfusi perifer, diuresis, waktu pengisian kapiler, suhu, warna kulit,
kesadaran

Prognosis
Bergantung pada luas dan beratnya pengaruh renjatan, penanganan,
dan etiologinya

594
HENTI JANTUNG
Batasan
Berhentinya denyut jantung dan aktivitas listrik jantung

Etiologi
Sudden infant death syndrome (SIDS)
Tenggelam
Gangguan sistem pernapasan
Kelainan jantung kongenital dan kelainan jantung lainnya
Keganasan
Overdosis obat
Anafilaksis
Endokrinopati
Diagnosis
Tidak ada denyut jantung
EKG menunjukkan tidak terdapat aktivitas listrik jantung
Pada penderita yang sesaat sebelumnya terdapat kedua hal di atas

Terapi
Henti jantung dapat terjadi setiap saat. Cepat dan tepatnya tindakan
akan memengaruhi prognosis, 30–45 detik sudah mulai terlihat
dilatasi pupil. Pada saat ini harus diambil tindakan
Resusitasi
Bebaskan jalan napas
Lakukan pernapasan buatan (mulut-ke-mulut atau dengan intubasi/
ventilasi mekanik)—efektif bila tampak pengembangan dinding
dada yang adekuat dan warna kulit berangsur normal
Masase jantung (efektif bila nadi teraba dan pupil menjadi normal)
Memperbaiki Irama Jantung
Bila dasar henti jantung adalah fibrilasi atau takikardia ventrikel →
lakukan defibrilasi
Obat-obatan
O2
Na bikarbonat 1–2 mEq/kgBB untuk mengatasi asidosis bila
ventilasi sudah baik. Dapat diulangi 5–10 mnt kemudian bila
belum tampak sirkulasi spontan
Epinefrin 0,01 mg/kgBB s.k. pada bayi dan 0,05 mg pada anak
lebih besar, dapat merangsang kontraksi spontan pada
asistol, menaikkan tonus miokardium, dan membuat tindakan
defibrilasi lebih efektif
Atropin 0,01–0,02 mg/kgBB i.v. pada bradikardia berat
Lidokain: pada fibrilasi atau takikardia ventrikel
Dosis pada bayi: 0,5 mg/kgBB, anak: 1 mg/kgBB i.v., di-
lanjutkan dengan infus 20 g/kgBB/mnt

595
CaCl yang bersifat inotropik positif, 20 mg/kgBB i.v. (hati-hati
pada penderita yang mendapat digitalis)
Obat yang bermanfaat
Obat vasoaktif (untuk mengatasi hipotensi)
Levarterenol 0,1–1 g/mnt
Metaraminol 2–20 g/kgBB/mnt
Isoproterenol 0,4–1 g/kgBB/mnt, bersifat inotropik dan
kronotropik (+)
Propanolol 0,1 mg/kgBB i.v.
Dopamin 6–10 g/kgBB/mnt, bersifat inotropik positif, untuk
life saving, dosis dapat langsung 15 g/kgBB/mnt, jika
berhasil dosis diturunkan secara bertahap. Bila tidak
menolong ditambahkan dobutamin 2,5–20 g/kgBB/mnt
(total dosis dopamin + dobutamin = 15 g/kgBB/mnt)
Diuretik juga dapat digunakan

Perawatan dan Pengobatan Penyulit


Monitor intensif terhadap tanda vital, jalan napas, memasang pipa
nasogastik untuk mencegah aspirasi, monitor tanda anuria
Monitor EKG terus dipasang sampai keadaan stabil
Pengobatan penyulit: gagal ginjal akut, edema otak, dan gagal
napas

Prognosis
Dengan resusitasi yang baik keberhasilan <50%, bahkan kebanyakan
<15%

Bibliografi
1. Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and
Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi
ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
2. Altman C, Kung G. Clinical recognition of congenital heart disease
in children. Dalam: Chang AC, Towbin JA, penyunting. Heart
failure in children and young adults from molecular mechanisms
to medical and surgical strategies. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2006. hlm. 201–10.
3. Auslender M. Pathofisiolgy of pediatric heart failure. Prog Pediatr
Cardiol J. 2000;2(3):175–84.
4. Corwin E. Congestif heart failure. Dalam: Lazenby LB, penyunting.
Handbook of pathophysiology. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincot
Williams & Wilkins; 2010. hlm. 316–90.
5. Dreyer WJ, Fisher DJ. Clinical recognition and management of
chronic congestive heart failure. Dalam: Garson A, Bricker JT,
Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and practice of
pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins;
1998. hlm. 2309–28.
6. Gessner IH. Congestive heart failure. Dalam: Gessner IH, Victorica
BE, penyunting. Pediatric cardiology. Philadelphia: WB Saunders
Co; 1993. hlm. 117–30.

596
7. Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric
cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006.
8. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.
9. Schweigmann U, Meierhofer C. Strategies for treatment of acute
heart failure in children. Minerva Cardioangiol. 2008;56:321–3.

597
KARDIOMIOPATI
Batasan
Kelainan primer yang terjadi pada otot jantung atau miokardium dan
tidak berhubungan dengan penyakit jantung bawaan, kelainan
katup, penyakit jantung koroner, atau kelainan sistemik
Klasifikasi
Berdasarkan anatomi dan gambaran fungsional
Kardiomiopati hipertrofi
Kardiomiopati dilatasi atau kongesti
Kardiomiopati konstriksi

KARDIOMIOPATI HIPERTROFI
Batasan
Hipertrofi ventrikel masif dengan ruang ventrikel yang normal atau
lebih kecil. Walaupun kontraktilitas ventrikel ↑ tetapi terjadi
kegagalan pengisian ventrikel karena relaksasi abnormal merupakan
tipe yang paling sering ditemukan
Patologi dan Patofisiologi
Derajat obstruksi akan makin ↑ dari waktu ke waktu
Hipertrofi dapat terjadi lokal atau sentral
Ruang ventrikel mengecil atau normal
Hipertrofi septum yang asimetris biasanya disebabkan hipertrofi
idiopatik akibat stenosis subaorta
Obstruksi akan meningkat pada
Pemakaian obat yang bersifat inotropik positif
Volume darah ↓
Tahanan vaskular sistemik ↓
Obstruksi akan berkurang pada
Keadaan yang dapat ↑ volume sistol ventrikel kiri
Obat-obatan yang bersifat inotropik (−)
Transfusi darah
Tahanan vaskular ↑
Diagnosis
Anamnesis
Terdapat riwayat keluarga
Gejala klinis terjadi pada remaja dan dewasa muda
Mudah lelah
Dispnea
Palpitasi
Nyeri dada
Light headness

598
Pemeriksaan Fisis
Nadi teraba kuat
Aritmia (takikardia ventrikel atau fibrilasi)
Thrill sistol pada apeks atau sepanjang tepi kiri sternum
Auskultasi
Bunyi jantung 2 normal
Murmur akhir sistol yang bervariasi intensitasnya bergantung
pada derajat obstruksi
Terdengar pada tepi kiri sternum bagian tengah dan bawah atau
pada apeks
Elektrokardiografi
Normal
Dapat terjadi:
LVH
Perubahan ST-T
Gelombang Q dalam (hipertropi septum) dengan gelombang R
rendah atau hilang di lead precordial
Aritmia

KARDIOMIOPATI HIPERTROPI OBSTRUKSI


(HYPERTROPHY OBSTRUCTION
CARDIOMYOPATHY/HOCM)
Batasan
Kontraktilitas miokardium ↑, tetapi terdapat kegagalan pengisian
selama fase diastol
Diagnosis
Anamnesis
Gejala bendungan paru seperti:
Dispneu d’effort
Ortopnea
Dispnea
Nokturnal paroksismal
Pemeriksaan Fisis
Sesuai dengan gejala bendungan paru
Foto Rontgen Toraks
Pembesaran ventrikel kiri yang ringan
Gambaran jantung seperti bola
Vaskularisasi paru normal
Perjalanan Alamiah
Obstruksi dapat:
Menghilang
Stabil

599
Progresif
Kematian tiba-tiba
Fibrilasi atrium
Gagal jantung
Endokarditis infektif pada katup mitral
Terapi
Membatasi aktivitas fisik
Kardiomiopati tanpa obstruksi ventrikel kiri dapat diberikan terapi
pencegahan dengan:
-bloker adrenergik
Calcium channel blocker verapamil (masih kontroversi)
Kardiomiopati dengan Obstruksi
-bloker adrenergik
Propanolol
Atenolol
Metoprolol
Aritmia
Propanolol
Amiodaron
Terapi sesuai dengan aritmia yang terjadi
Digitalis merupakan kontraindikasi karena dapat ↑ derajat
obstruksi
Pemberian obat kardiotonik dan vasodilator harus dihindari karena
dapat ↑ perbedaan tekanan
Pemberian diuretik biasanya tidak efektif
Profilaksis terhadap endokarditis infektif

KARDIOMIOPATI DILATASI ATAU KONGESTI


Batasan
Fungsi kontraktilitas ventrikel ↓ karena dilatasi ventrikel
Terjadi pada:
Fibroelastosus endokardial (pada bayi)
Kardiomiopati akibat pemberian doksorubisin
Etiologi
Idiopatik (>60%)
Kongenital
Miokarditis
Kelainan endokrin
Hiper-/hipotiroid
Katekolamin yang berlebihan
Diabetes melitus
Hipokalsemia
Hipofosfatemia

600
Kelainan metabolisme glikogen
Mukopolisakaridosis
Gangguan nutrisi
Obat-obat kardiotoksik
Doksorubisin
Kelainan sistemik
Penyakit kolagen
Fibroelastosus endokardial (pada bayi)

Patofisiologi
Kontraksi pada saat sistol ↓
Menyebabkan dilatasi keempat ruang bilik jantung
Dinding ventrikel tidak menebal
Trombus intrakavitas di bagian apikal ventrikel dan appendage
atrium
Dapat menimbulkan emboli pada paru dan jaringan sistemik lain

Patologi
Hipertrofi miosit
Fibrosis
Tidak ditemukan sel radang

Diagnosis
Anamnesis
Mudah lelah
Gagal jantung kiri
Kadang ditemukan riwayat infeksi virus

Pemeriksaan Fisis
Sesuai dengan gagal jantung kongestif
Jika terdapat hipertensi pulmonal
Splitting bunyi jantung 2 menyempit
Komponen P2 mengeras
Irama galop
Murmur sistol regurgitasi lunak karena regurgitasi katup mitral
atau trikuspid

Elektrokardiografi
Sinus takikardia
LVH
Perubahan segmen ST-T
Mungkin terdapat juga LAH atau RAH
Jarang ditemukan pola infark miokardium anterior
Dapat terjadi
Aritmia atrial
Aritmia ventrikular
Gangguan hantaran atrioventrikular

601
Foto Rontgen Toraks
Kardiomegali dengan atau tanpa:
Hipertensi vena pulmonal
Edema paru
Perjalanan Alamiah
Progresif
Aritmia atrial dan ventrikular
Emboli paru dan sistemik
Penyebab kematian
Gagal jantung
Aritmia
Emboli yang masif
Terapi
Terhadap gagal jantung
Terhadap aritmia
Imunosupresif (masih kontroversi)
-bloker adrenergik (masih kontroversi)
Menurunkan kontraktilitas
Tetapi efek kronotropik negatif
Menurunkan kebutuhan oksigen
Menurunkan efek merugikan katekolamin
Menghambat vasokonstriktor yang disebabkan simpatis
Menurunkan kejadian aritmia ventrikel
Transplantasi jantung

KARDIOMIOPATI RESTRIKTIF
Batasan
Terdapat retriksi pengisian ventrikel pada fase diastol
Terjadi pada:
Gangguan endokardium
Gangguan miokardium
Kontraktilitas ventrikel normal, tetapi terdapat dilatasi kedua
atrium
Etiologi
Idiopatik
Berhubungan dengan penyakit sistemik
Skleroderma
Amiloidosis
Sarkoidosis
Kelainan metabolisme saat lahir (mukopolisakaridosis)
Akibat terapi keganasan atau radiasi

602
Kardiomiopati restriktif infiltratif disebabkan
Amiloidosis
Sarkoidosis
Hemokromatosis
Deposit glikogen
Penyakit Fabri
Neoplasma

Patofisiologi
Dilatasi atrium
Tanpa dilatasi ventrikel
Gangguan terhadap pengisian ventrikel pada saat diastol disebabkan
dinding ventrikel yang sangat kaku
Fungsi kontraksi ventrikel normal
Mirip dengan perikarditis restriktif

Patologi
Terdapat:
Area fibrosis miokardium
Hipertrofi miosit
Infiltrasi miokardium oleh berbagai macam material

Diagnosis
Anamnesis
Lekas lelah
Dispnea
Nyeri dada

Pemeriksaan Fisis
Tekanan vena jugularis ↑
Irama galop
Murmur sistol akibat regurgitasi katup AV

Terapi
Suportif
Diuretik (bermanfaat mengurangi gejala bendungan)
Digoksin merupakan kontraindikasi karena fungsi sistol tidak
terganggu
Calcium channel blocker digunakan untuk meningkatkan diastol
Antikoagulan (warfarin) dan antiplatelet (aspirin dan dipiridamol)
dapat mencegah trombosis
Kortikosteroid dan imunosupresif
Pacu jantung permanen diindikasikan untuk penderita blok jantung
total
Transplantasi jantung dapat dipertimbangkan

603
Bibliografi
1. Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and
Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi
ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
2. Bernstein D. Diseases of the myocardium and pericardium.
Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2007. hlm. 1970–5.
3. Bowles NE, Towbin JA. Childhood myocarditis and dilated
cardiomyopathy. Dalam: Cooper LE, penyunting. Myocarditis:
from bench to bedside. New Jersey: Humana Press; 2003. hlm.
559–87.
4. Colan SD. Cardiomyopathies. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC,
penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania:
Saunders Elsevier; 2006. hlm. 415–58.
5. Park MK, Troxler RG. Cardiomyopathy. Dalam: Park MK,
penyunting. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5.
Missouri: Mosby Elsevier; 2008. hlm. 351–66.

604
DEMAM REUMATIK AKUT (DRA)
Batasan
Penyulit nonsupuratif infeksi Streptokokus β-hemolitikus grup A di
faring yang diperantarai oleh respons imunologis tipe lambat
Biasanya timbul 1–5 mgg (rata-rata 3 mgg) sesudah infeksi tersebut
Faktor predisposisi
Riwayat keluarga dengan demam reumatik
Sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk
Usia 6–15 th (terbanyak usia 8 th)
Sistem pelayanan kesehatan tidak memadai
Diagnosis
Tabel 140 Manifestasi Klinis DRA
Manifestasi Mayor Manifestasi Minor
Poliartritis Demam
Karditis Poliartralgia
Korea Sydenham Acute phase reactan ↑
Eritema marginatum (LED, leukositosis)
Nodul subkutan

Poliartritis
Ditemukan sampai 75%
Serangan pertama terjadi pada fase awal penyakit
Melibatkan lebih dari 1 sendi besar: lutut, mata kaki, sendi siku,
pergelangan; bersamaan atau bergantian, berpindah (poliartritis
migran)
Terdapat tanda radang pada sendi yang terkena (bengkak, panas,
merah, nyeri, functio laesa)
Sangat responsif terhadap salisilat
Karditis
Terdapat pada 50% kasus
Biasanya terjadi pada 3 mgg pertama
Diagnosis karditis memerlukan 1 dari 4 kriteria di bawah ini:
1. Bising jantung organik, sering berupa apical holosystolic
murmur dan basal early diastolic murmur. Pemeriksaan
ekokardiografi yang menunjukkan insufisiasi aorta atau
mitral saja tanpa terdapat bising jantung organik tidak dapat
disebut sebagai karditis
2. Perikarditis (friction rub, efusi perikardium, nyeri dada,
perubahan EKG)
3. Kardiomegali pada foto Rontgen toraks
4. Gagal jantung kongestif
Eritema Marginatum
Ditemukan sampai 15%
Terjadi pada awal serangan dan dapat hilang timbul

605
Merupakan makula/papula kemerahan yang berbatas tegas, me-
nyebar secara melingkar atau serpiginosa, tidak sakit atau gatal,
hilang pada penekanan
Terutama pada badan dan proksimal ekstremitas bagian dalam,
tidak pernah ada di wajah
Nodul Subkutan
Terdapat sampai 20% kasus, terutama terjadi pada DRA dengan
kekambuhan dan menetap dalam 1–2 mgg
Tidak spesifik untuk demam reumatik
Merupakan nodul yang bulat, keras, tidak nyeri, tidak gatal, dan
mudah digerakkan dengan diameter 0,2–2 cm
Biasanya simetris pada daerah ekstensor sendi siku, pergelangan
tangan dan kaki, tendon Achilles, lutut, kepala, dan sepanjang
tulang belakang
Berlangsung beberapa mgg
Korea Sydenham
Terdapat pada 5–36% kasus
Dapat terjadi sampai 7 bl sesudah infeksi streptokokus
Terutama terdapat pada anak perempuan sebelum pubertas
Dimulai dengan emosi yang labil dan perubahan kepribadian
Gerakan spontan tidak terkoordinasi, tanpa tujuan, disertai
kelemahan otot, bicara cadel
Disfungsi basal ganglia dan komponen neuron korteks

Dasar Diagnosis
Tabel 141 Kriteria WHO Tahun 2002–2003 untuk Diagnosis Demam
Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik/PJR (berdasar-
kan Revisi Kriteria Jones)
Kategori Diagnostik Kriteria
Demam reumatik Dua mayor atau satu mayor dan dua minor
serangan pertama ditambah dengan bukti infeksi
Streptococcus β-hemolyticus group A
sebelumnya
Demam reumatik Dua mayor atau satu mayor dan dua minor
serangan ulangan tanpa ditambah dengan bukti infeksi
PJR Streptococcus β-hemolyticus group A
sebelumnya
Demam reumatik Dua minor ditambah dengan bukti infeksi
serangan ulangan Streptococcus β-hemolyticus group A
dengan PJR sebelumnya
Korea reumatik Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya
atau bukti infeksi Streptococcus β-
hemolyticus group A
PJR (stenosis mitral murni Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
atau kombinasi dengan mendiagnosis sebagai PJR
insufisiensi mitral dan
atau gangguan katup
aorta)
Sumber: WHO 2004

606
Bukti infeksi Streptococcus β-hemolyticus group A
Peningkatan ASTO >120–400 IU dan antideoksiribonuklease >60–
600
atau
Riwayat demam scarlet baru-baru ini
Kultur apus tenggorok (+)
Pemanjangan PR interval pada EKG
Terapi
Eradikasi Kuman
Benzantin penisilin G
BB <30 kg: 600.000 IU i.m., BB >30 kg: 1.200.000 IU i.m.
Juga berfungsi sebagai profilaksis dosis pertama
Jika alergi terhadap benzantin penisilin G
Eritromisin 40–50 mg/kgBB/hr dibagi 2–4 dosis selama 10 hr
Alternatif lain:
Penisilin V 4 × 250 mg p.o. selama 10 hr

Antiinflamasi
Tabel 142 Terapi Antiinflamasi berdasarkan Manifestasi Klinis
Manifestasi Terapi
Klinis
Atralgia Analgesik (parasetamol)
Artritis Salisilat 90–100 mg/kgBB/hr 2 mgg →
25 mg/kgBB/hr 4–6 mgg
Karditis Prednison 2 mg/kgBB/hr dibagi 4–6 dosis p.o.
selama 2 mgg → tapering off 2 mgg → salisilat
75 mg/kgBB/hr 2–6 mgg
Dosis prednison di-tapering-off pada minggu
terakhir pemberian dan mulai diberikan
salisilat
Sesudah mgg ke-2 salisilat diturunkan, 60
mg/kgBB/hr

Tabel 143 Panduan Obat Antiinflamasi

Artritis Karditis Karditis Karditis


Ringan Sedang Berat
Prednison 0 0 2–4 mgg 2–6 mgg
Aspirin 1–2 mgg 2–4 mgg 6–8 mgg 2–4 bl

Terapi Gagal Jantung


Lihat bab terapi gagal jantung

607
Terapi Korea Sydenham
Pengurangan aktivitas dan gangguan emosi
Benzantin penisilin G (dosis = yang di atas)
Antiinflamasi tidak diberikan pada kasus dengan manifestasi klinis
korea saja
Pada kasus berat dapat digunakan salah satu dari haloperidol,
asam valproat, klorpromazin, diazepam, atau steroid
Bila tidak berhasil dapat diberikan terapi kombinasi
Tirah Baring
Tabel 144 Panduan Tirah Baring dan Aktivitas
Aktivitas Artritis Karditis Karditis Karditis
Minimal Sedang Berat
Tirah baring 1–2 mgg 2–3 mgg 4–6 mgg 2–4 bl
Aktivitas dalam 1–2 mgg 2–3 mgg 4–6 mgg 2–3 bl
rumah
Aktivitas di luar 2 mgg 2–4 mgg 1–3 bl 2–3 bl
rumah
Aktivitas penuh Sesudah Sesudah Sesudah Bervariasi
6–10 mgg 6–10 mgg 3–6 bl

Pencegahan
Primer
Terapi antibiotik secara adekuat terhadap infeksi saluran
respiratori atas oleh streptokokus grup A untuk mencegah demam
reumatik akut yang pertama
Sekunder
Pemberian antibiotik spesifik secara kontinu pada penderita
dengan DRA sebelumnya dan penyakit jantung reumatik untuk
mencegah kolonisasi atau infeksi Streptokokus group A serta
mencegah timbulnya demam reumatik rekurens

608
Tabel 145 Antibiotik untuk Pencegahan
Primer Sekunder
Benzatin penisilin G Benzatin penisilin G
600.000 IU i.m. BB <30 kg Tiap 3–4 mgg
1.200.000 IU i.m. BB >30 kg 600.000 IU i.m. BB <30 kg
1.200.000 IU i.m. BB ≥30 kg
Fenoksimetilpenisilin (penisilin V) Penisilin V
3–4 × 250 mg selama 10 hr 2 × 125−250 mg
Eritromisin Eritromisin
40–50 mg/kgBB/hr dibagi 2–4 2 × 250 mg
dosis selama 10 hr
Sefalosforin generasi pertama Sulfonamid p.o.
BB <30 kg: 0,5 g 1×/hr
BB ≥30 kg: 1,0 g 1×/hr
Amoksisilin
25–50 mg/kgBB/hr dibagi 3
dosis selama 10 hr

Tabel 146 Lama Pemberian Profilaksis Sekunder


Kategori Penderita Durasi Profilaksis
Tanpa karditis Selama 5 th sesudah serangan
terakhir atau sampai usia 18 th
Dengan karditis Selama 10 th sesudah serangan
(MI atau karditis perbaikan) terakhir atau sampai usia 25 th
Penyakit jantung reumatik Seumur hidup
Pascabedah katup Seumur hidup

PENYAKIT JANTUNG REUMATIK (PJR)


Batasan
Kelainan jantung yang menetap akibat demam reumatik sebelumnya

Etiologi
Demam reumatik akut

Patofisiologi
Meskipun karditis pada demam reumatik dapat mengenai
perikardium, miokardium, dan endokardium tetapi kelainan yang
menetap hanya ditemukan pada endokardium terutama katup. Katup
yang sering terkena yaitu katup mitral dan aorta. Kelainan dapat

609
berupa insufisiensi, tetapi bila penyakit berjalan sudah lama berupa
stenosis

Diagnosis
Terdapat riwayat demam reumatik pada waktu yang lampau
Ditemukan kelainan katup berupa insufisiensi atau stenosis pada
pemeriksaan fisis
Bergantung pada beratnya kelainan, dapat ditemukan hipertrofi
atrium kiri dan ventrikel kiri, dapat juga ditemukan hipertrofi atrium
kiri kanan
EKG, ekokardiografi, foto Rontgen toraks bergantung pada kelainan
katup

Diagnosis Banding
Kelainan katup oleh sebab lain

Pemeriksaan Penunjang
EKG
Foto Rontgen toraks
Ekokardiografi

Penyulit
Gagal jantung
Endokarditis bakterial subakut
Tromboemboli

Terapi
Apabila terjadi episode akut, pengobatan seperti demam reumatik
akut
Terapi gagal jantung dan aritmia
Operasi

Pencegahan
Profilaksis sekunder (lihat Tabel 145 dan 146)

Prognosis
Bergantung pada berat ringannya kelainan katup

Bibliografi
1. El-Said GM, El-Refaee MM, Sorour KA, El-Said HG. Rheumatic
fever and rheumatic heart disease. Dalam: Garson A, Bricker JT,
Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and practice of
pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins;
1998. hlm. 1691–724.
2. Fyler DC. Rheumatic fever. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC,
penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania:
Saunders Elseviers; 2006. hlm. 387–99.
3. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.

610
4. Tani LY. Rheumatic fever and rheumatic heart disease. Dalam:
Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and
Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi
ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm.
1256–79.
5. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic
heart disease. Report of a WHO Expert Consultation. Geneva:
WHO; 2004.

611
ENDOKARDITIS INFEKTIF
Batasan
Infeksi mikrob pada lapisan endotel jantung yang menyebabkan
vegetasi pada katup/struktur jantung
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat
Terdapat penyakit jantung bawaan atau penyakit jantung
reumatik
Sesudah tindakan gigi dan mulut, saluran urogenital, atau
gastrointestinal
Pemakaian obat-obatan i.v.
Pemasangan kateter vena sentral
Katup jantung buatan
Demam, nyeri dada dan perut, artralgia atau mialgia, sesak napas,
malaise, keringat malam, berat badan ↓, dan gejala neurologis
Pemeriksaan Fisis
Demam, takikardia, petekia, nodus Osler, splinter hemorrhage,
Roth’s spot, lesi Janeway, murmur baru/perubahan murmur,
splenomegali, jari tabuh
Pemeriksaan fisis yang sesuai dengan:
Artritis
Glomerulonefritis
Abses miokardium
Gagal jantung
Kriteria Duke untuk Diagnosis Endokarditis Infektif
1. Definitif
Kriteria patologi
Mikroorganisme: dapat diisolasi dari kultur darah atau
vegetasi atau dari abses intrakardiak
Ditemukan lesi patologik seperti vegetasi atau abses intra-
kardiak yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan histologis
menunjukkan endokarditis
Kriteria klinis
2 kriteria mayor, atau
1 kriteria mayor dan 3 minor, atau
5 kriteria minor
2. Kemungkinan endokarditis infektif (possible)
Temuan mengarah pada endokarditis
Tidak cukup untuk memenuhi kriteria definitif
Tidak termasuk kelompok yang ditolak
3. Ditolak (rejected)
Tegaknya diagnosis alternatif untuk manifestasi endokarditis,
atau

612
Manifestasi endokarditis menghilang dengan terapi antibiotik
selama ≤4 hr, atau
Tidak terdapat kelainan patologi saat operasi atau autopsi
sesudah pemberian terapi antibiotik selama ≤4 hr
Kriteria Mayor
1. Kultur biakan darah positif
Mikrorganisme khas yang menyebabkan endokarditis dari 2
bahan kultur darah yang diambil secara terpisah
Streptococcus viridans, Streptococcus bovis, atau kelompok
HACEK atau
Organisme yang didapat dari komunitas yaitu:
Staphylococcus aureus atau Enterokokus tanpa fokus
primer atau
Mikroorganisme penyebab endokarditis dari kultur darah (+)
persisten
>2 bahan kultur darah (+) yang diambil dengan jarak 12 jam
atau
3 atau ≥4 kultur darah (+) dengan jarak waktu antara
pengambilan pertama dan berikutnya ≥1 jam
2. Bukti keterlibatan endokardium
Ekokardiografi positif:
Massa intrakardiak yang bergerak pada katup atau struktur
pendukung, pada jalan aliran regurgitasi, atau pada benda
yang ditanam tanpa penjelasan anatomik lain atau abses
atau defek baru pada katup buatan atau regurgitasi katup
yang baru pada ekokardiografi
Kriteria Minor
1. Faktor predisposisi berupa kelainan jantung atau pemakaian
obat i.v.
2. Panas badan: suhu tubuh ≥38 °C
3. Fenomena vaskular berupa emboli arteri, infark paru,
aneurisma mikotik, perdarahan intrakranial, perdarahan
konjungtiva, dan lesi Janeway
4. Fenomena imunologi: nodus Osler, Roth’s spot, glomerulo-
nefritis, faktor reumatoid
5. Bukti mikrobiologis, misalnya kultur darah (+) tetapi tidak
memenuhi kriteria mayor atau bukti serologi infeksi organisme
penyebab endokarditis
6. Ekokardiografi: berhubungan dangan endokarditis tetapi tidak
memenuhi kriteria mayor
Penyulit
Gagal jantung
Embolisasi
Manifestasi neurologis
Aneurisma mikotik

613
Terapi
Antibiotik
Operasi
Penyulit
Pemberian Antibiotik
Terapi empiris inisial:
Penisilin G/ampisilin/seftriakson + gentamisin atau
Nafsilin, oksasilin, metisilin + gentamisin
Bila metisilin resisten atau alergi penisilin → vankomisin
(Dosis lihat Tabel 147)

Tabel 147 Pemberian Antibiotik pada Endokarditis Infektif yang


Disebabkan Streptokokus, S. bovis, atau Enterokokus

Organisme Antibiotik Dosis Frekuensi Lama


(/kgBB/hr) (jam) (mgg)
Streptokokus yang Penisilin G* 200.000 IU i.v. 4–6 4
peka terhadap atau
penisilin
(MIC 0,1 μg/mL)#
Seftriakson+ 100 mg i.v. 24 4
Penisilin G* 200.000 IU i.v. 4–6 2
atau
Seftriakson+ 100 mg i.v. 24 2
Gentamisin 3 mg i.m./i.v. 8 2
Streptokokus Penisilin G* 300.000 IU i.v. 4–6 4
relatif resisten atau
terhadap penisilin
(MIC >0,1–0,5
μg/mL)
Seftriakson+ 100 mg i.v. 24 4
Gentamisin 3 mg i.m./i.v. 8 2
Enterokokus , 
Penisilin G* + 300.000 IU i.v. 4–6 4–6
nutritionally
variant
streptococci atau
streptokokus
dengan timgkat
resisten tinggi
terhadap penisilin
(MIC >0,5 μg/mL)
Gentamisin 3 mg i.m./i.v. 8 4–6
#
Minimum inhibitory concentration of penicilin (MIC)
* Dapat diberikan ampisilin 300 mg/kgBB/hr dibagi 4–6 jam sebagai alternatif
penisilin

Untuk enterokokus yang resisten terhadap penisilin diberikan vankomisin
atau aminoglikosid

614
Tabel 148 Terapi Antibiotik pada Endokarditis Infektif yang
Disebabkan Streptococcus viridans, S. bovis, atau
Enterokokus pada Penderita yang Tidak Dapat Menerima
β-laktam
Organisme Antibiotik Dosis Frekuensi Lama
(/kgBB/hr) (jam) (mgg)
Katup natif
Streptokokus Vankomisin 40 mg i.v. 6–12 4–6
Enterokokus Vankomisin + 40 mg i.v. 6–12 6
Gentamisin 3 mg i.m./i.v. 8 6
Katup buatan
Streptokokus Vankomisin + 40 mg i.v. 6–12 6
Gentamisin 3 mg i.m./i.v. 8 2
Enterokokus Vankomisin 40 mg i.v. 6–12 6
Gentamisin 3 mg i.m./i.v 8 6

Tabel 149 Pemberian Antibiotik pada Endokarditis Infektif yang


Disebabkan Stafilokokus

Organisme Antibiotik Dosis Frekuensi Lama


(/kgBB/hr) (jam) (mgg)
Katup natif
Peka metisilin Nafsilin atau 200 mg i.v. 4–6 6
Oksasilin
dengan/tanpa
Gentamisin 3 mg i.m./i.v. 8 1
Alergi β-laktam Sefazolin 100 mg i.v. 6–8 6
dengan/tanpa
Gentamisin 3 mg i.m./i.v. 8 6
atau
Vankomisin 40 mg i.v. 6–12 3–5
Resisten metisilin Vankomisin 40 mg i.v. 6–12 6
Katup buatan
Peka metisilin Nafsilin atau 200 mg i.v. 4–6 ≥6
Oksasilin
Sefazolin + 100 mg i.v. 6-8 ≥6
Rifampisin + 20 mg p.o. 8 ≥6
Gentamisin 3 mg i.m./i.v. 8 2
Resisten metisilin Vankomisin + 40 mg i.v. 6–12 ≥6
Rifampisin + 20 mg p.o. 8 ≥6
Gentamisin 3 mg i.m./i.v. 8 2

615
Operasi
Indikasi operasi berdasarkan gambaran ekokardiografi
Vegetasi
Vegetasi persisten sesudah emboli sistemik
Vegetasi daun mitral anterior, terutama dengan ukuran
>10 mm
Kejadian emboli selama 2 mgg pertama sesudah pemberi-
an antibiotik
Kejadian emboli selama dan sesudah terapi antibiotik
Peningkatan ukuran vegetasi sesudah antibiotik 4 mgg terapi
antibiotik
Disfungsi katup
Insufisiensi mitral atau aorta akut disertai gejala gagal
jantung
Gagal jantung yang tidak berespons terhadap terapi obat
Perforasi atau ruptur katup
Perluasan perivalvular
Ruptur atau fistula katup
Blok jantung baru
Abses luas atau abses yang bertambah besar walaupun
mendapat terapi antibiotik
Pencegahan
Kelainan Jantung yang Direkomendasikan Mendapat Antibiotik
Pencegahan
Risiko tinggi
Katup jantung buatan
Menderita endokarditis sebelumnya
PJB sianotik yang belum dikoreksi
PJB yang sudah dikoreksi dengan materi prostetik/device,
terutama 6 bl pertama sesudah koreksi
PJB yang sudah dikoreksi dengan defek residual
Pascatransplantasi jantung
Risiko sedang
Hampir semua PJB (selain yang di atas dan yang di bawah ini):
Disfungsi katup didapat (misal penyakit jantung reumatik)
Kardiomiopati hipertropik
Prolaps katup mitral dengan regurgitasi katup dan atau
penipisan daun katup
Kelainan Jantung yang Tidak Direkomendasikan Mendapat
Pemberian Antibiotik Pencegahan
Defek septum atrium sekundum
Operasi untuk memperbaiki defek septum atrium, defek septum
ventrikel, atau duktus arteriosus persisten
Operasi bypass arteri koronaria sebelumnya
Prolaps katup mitral tanpa regurgitasi
Murmur fisiologik, fungsional, atau inosen
Menderita panyakit Kawasaki sebelumnya tanpa disfungsi katup
Menderita penyakit demam reumatik sebelumnya tanpa disfungsi
katup
Pemasangan pacemaker dan defibrillator jantung
616
Rekomendasi Pencegahan pada Prosedur Gigi
Prosedur gigi yang direkomendasikan mendapat antibiotik
pencegahan
Semua prosedur berupa manipulasi jaringan gusi atau regio
periapikal gigi atau perforasi mukosa oral
Ekstraksi gigi
Prosedur periodontal meliputi pembedahan, skeling, root
planing, probing, dan pemeliharaan
Penempatan dental implant dan reimplantasi gigi yang avulsi
Instrumentasi endodontik (root canal) atau pembedahan di atas
apeks
Pemasangan fiber antibiotik subginggival
Pemasangan awal orthodontic bands, tetapi bukan bracket
Injeksi anestesi lokal intraligamen
Pembersihan pencegahan pada gigi atau implan apabila
terdapat perdarahan
Prosedur gigi yang tidak direkomendasikan mendapat antibiotik
pencegahan
Restorasi gigi (operasi atau prostodontik) dengan atau tanpa
retraction cord
Injeksi anestesi lokal (non-intraligamen)
Perawatan endodontik intrakanal; sesudah pemasangan
Pemasangan rubber dams
Pengangkatan jahitan postoperasi
Pemasangan prostodontik yang dilepas (removable) atau piranti
ortodontik
Pencetakan gigi
Terapi fluorid
Radiografi oral
Pemasangan piranti kawat gigi ortodontik
Pencabutan gigi primer

617
Tabel 150 Pemberian Antibiotik Profilaksis pada Endokarditis
Infektif pada Tindakan Gigi, Mulut, Saluran Respiratori
Atas, dan Prosedur Esofagus
Keadaan Obat Dosis
Profilaksis standar Amoksisilin 50 mg/kgBB p.o. 1 jam
sebelum tindakan
Tidak dapat minum Ampisilin 50 mg/kgBB i.v/i.m. 30 mnt
obat sebelum tindakan
Alergi penisilin Klindamisin 20 mg/kgBB i.v. selama
1–2 jam
atau
Sefaleksin/sefadroksil 50 mg/kgBB p.o. 1 jam
sebelum tindakan
atau
Azitromisin/klaritrom 15 mg/kgBB p.o. 1 jam
isin sebelum tindakan
Alergi penisilin dan Klindamisin 20 mg/kgBB i.v. 30 mnt
tidak dapat minum sebelum tindakan
obat
atau
Sefazolin 25 mg/kgBB i.v./i.m. 30 mnt
sebelum tindakan

Tabel 151 Pemberian Antibiotik Profilaksis pada Endokarditis


Infektif pada Prosedur Saluran Urogenital dan Cerna
Keadaan Obat Dosis
Risiko tinggi Ampisilin + 50 mg/kgBB i.v./i.m. (maks. 2 g)
Gentamisin 1,5 mg/kgBB i.v./i.m. (maks. 120
mg) 30 mnt sebelum prosedur, 6
jam kemudian ampisilin 25
mg/kgBB i.v./i.m. atau amoksisilin
25 mg/kgBB p.o.
Risiko tinggi yang Vankomisin + 20 mg/kgBB i.v. selama 1–2 jam
alergi amoksisilin/
ampisilin
Gentamisin 1,5 mg/kgBB i.v./i.m. diberikan 30
mnt sebelum prosedur
Risiko sedang Amoksisilin/ 50 mg/kgBB p.o. 1 jam sebelum
prosedur
ampisilin 50 mg/kgBB i.v./i.m. diberikan 30
mnt sebelum prosedur
Risiko sedang yang Vankomisin 20 mg/kgBB i.v. selama 1–2 jam
alergi amoksisilin/ diberikan 30 mnt sebelum
ampisilin prosedur

618
Penyuluhan terhadap Orangtua
Sesudah diagnosis kelainan jantung ditegakkan
Daftar rujukan ke dokter gigi pada saat:
Periode erupsi gigi pertama (usia 6–12 bl)
Pemeriksaan rutin gigi setiap 6–12 bl
Jika akan Dilakukan Operasi terhadap Kelainan Jantung
Dilakukan evaluasi prabedah jantung
1–2 bl sebelum dilakukan bedah jantung
Waktu yang cukup untuk penyuluhan dan pengobatan
Untuk mengurangi risiko terjadi endokarditis infektif
Bibliografi
1. Bayer AS, Bolger AF, Taubert KA, Wilson W, Steckelberg J,
Karchmer AW, dkk. Diagnosis and management on infective
endocarditis and its complications. Circulation. 1998;98(25):
2936–48.
2. Ferrieri P, Gewitz MH, Gerber MA, Newburger JW, Dajani AS,
Shulman ST, dkk. Unique features of infective endocarditis in
childhood. Pediatrics. 2002;109(5):931–43.
3. Friedman RA, Strake JR. Infective endocarditis. Dalam: Garson A,
Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and
practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams &
Wilkins; 1998. hlm. 1759–76.
4. Habib G, Hoen B, Tornos P, Thuny F, Prendergast B, Vilacosta I,
dkk. Guidelines on the prevention, diagnosis, and treatment of
infective endocarditis (new version 2009): The Task Force on the
Prevention, Diagnosis, and Treatment of Infective Endocarditis of
the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2009;
30(19):2369–413.
5. Marx GR. Infective endocarditis. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler
DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2.
Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 467–75.
6. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.
7. Taubert KA, Gewitz MH. Dalam: Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ,
Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants,
children, and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott,
Williams & Wilkins; 2008.

619
MIOKARDITIS
Batasan
Respons inflamasi pada miokardium yang disebabkan oleh berbagai
etiologi, dengan spektrum klinis yang luas mulai dari asimtomatis
(subklinis) sampai gagal jantung dan syok kardiogenik
Etiologi
Bakteri
Riketsia
Jamur
Protozoa
Parasit
Virus:
Adenovirus
Coxsackievirus B
Echovirus
Poliomielitis
Mumps
Campak
Rubela
Sitomegalovirus
HIV
Arbovirus influenza
Penyakit imunologi: demam reumatik akut, penyakit Kawasaki
Penyakit kolagen
Miokarditis toksis: obat-obatan seperti sitostatika dan eksotoksin
difteria
Diagnosis
Anamnesis
Neonatus atau bayi kecil
Anoreksia
Muntah, letargis, sampai syok
Anak yang lebih besar
Sering kali didahului riwayat infeksi
Pemeriksaan Fisis
Bergantung pada usia dan perjalanan penyakit akut atau kronik
Neonatus dan bayi
Gagal jantung
Bunyi jantung yang redup
Takikardia
Galop
Takipnea
Kadang-kadang sianosis
Anak yang lebih besar
Tanda-tanda gagal jantung
Murmur sistol yang lemah
Aritmia

620
Irama ireguler
Disebabkan oleh denyut supraventrikular atau ventrikel
ektopik
Pembesaran hepar (hepatomegali)
Elektrokardiografi
Terdapat salah satu atau kombinasi dari
Gelombang QRS yang bervoltase rendah
Perubahan ST-T
Interval PR memanjang
Aritmia
Kontraksi prematur
Foto Rontgen Toraks
Pembesaran jantung (kardiomegali) dengan derajat yang bervariasi
merupakan tanda penting
Laboratorium
Kadar troponin jantung ↑ (troponin I dan T)
Harga normal troponin I pada anak <2 ng/mL
Pemeriksaan kadar troponin dikatakan lebih sensitif
dibandingkan dengan enzim jantung
Enzim miokardium
Creatine kinase (CK)
Isoenzim MB pada CK (CK-MB)
Scanning radionuklir (sesudah pemberian gallium-67 atau
pirofosfat technetium-99m) dapat menunjukkan inflamasi dan
nekrosis yang khas untuk miokarditis
Biopsi miokardium

Perjalanan Penyakit
Angka mortalitas tinggi
75% neonatus dengan miokarditis virus akut simtomatik
Sebagian besar dapat sembuh sempurna
Miokarditis subakut atau kronik dapat mengalami kardiomegali
persisten dengan atau tanpa tanda-tanda gagal jantung
Pemeriksaan EKG:
Hipertrofi ventrikel kiri, atau
Hipertrofi ventrikel kiri dan kanan
Sulit dibedakan dengan kardiomiopati dilatasi
Dapat merupakan prekursor terjadinya kardiomiopati dilatasi
idiopatik
Terapi
Terapi suportif
Tirah baring dan pembatasan aktivitas selama fase akut
Jika terdapat gagal jantung → terapi gagal jantung
Digoksin
Dilakukan dengan hati-hati
Dosis: ½ dosis digitalisasi; karena beberapa penderita
miokarditis sangat sensitif terhadap obat-obatan
621
Terapi aritmia
Kortikosteroid (dipertimbangkan) dosis 1–2 mg/kgBB selama 2
mgg, selanjutnya tapering-off
Gamaglobulin dosis tinggi (2 g/kgBB, selama 12–24 jam)
Terapi spesifik terhadap penyebab miokarditis

PERIKARDITIS
Batasan
Peradangan pada permukaan parietal dan viseral perikardium
Efusi perikardium dapat berupa:
Serofibrin
Hemoragis
Purulen
Efusi dapat:
Diabsorbsi sempurna atau
Menghasilkan penebalan dan konstriktif kronik (perikarditis
konstriktiva)
Etiologi
Infeksi virus
Infeksi bakteri
S. aureus
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus influenzae
N. meningitidis
Streptokokus
Tuberkulosis
Demam reumatik akut
Pascaintervensi atau bedah jantung
Penyakit kolagen, seperti artitis reumatoid, SLE
Penyulit penyakit keganasan atau karena terapi penyakit keganasan
termasuk iradiasi
Uremia (perikarditis uremik)
Patofisiologi
Patogenesis dan gejala yang timbul ditentukan oleh 2 faktor:
Kecepatan akumulasi cairan
Keadaan miokardium
Akumulasi yang cepat cairan perikardium mengakibatkan
gangguan sirkulasi (tamponade jantung)
Akumulasi yang lambat dengan jumlah yang sedikit dapat
menyebabkan gangguan sirkulasi jika terdapat gangguan pada
miokardium (miokarditis luas)
Akumulasi cairan yang lambat dapat diatasi oleh perikardium
jika miokardium tidak terganggu
Tamponade jantung akan menimbulkan mekanisme kompensasi
Konstriksi vena sistemik dan pulmonal
untuk ↑ pengisian diastol
622
Peningkatan resistensi vaskular sistemik
untuk ↑ tekanan darah
Takikardia
untuk ↑ curah jantung
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat infeksi saluran respiratori atas
Nyeri prekordial (tumpul, menyengat, menyentak) dengan
penyebaran ke bahu dan leher, nyeri akan menghilang dengan
badan condong ke depan atau bertambah dengan posisi berbaring
atau inspirasi dalam
Febris
Pemeriksaan Fisis
Pericardial friction rub yang sesuai dengan detak jantung
Jika terdapat efusi perikardium yang banyak, auskultasi jantung
hipodinamik dan redup
Pulsus paradoksus
Biasanya tidak terdapat murmur; murmur dapat terdengar pada
demam reumatik akut
Tamponade jantung
Bunyi jantung redup
Takikardia
Pulsus paradoksus
Hepatomegali
Distensi vena
Hipotensi dengan vasokontriksi perifer
Tamponade jantung terjadi lebih sering pada perikarditis
purulen dibandingkan dengan perikarditis bentuk lain
Elektrokardiografi
Low voltage pada gelombang QRS (karakteristik tetapi tidak selalu
ada)
Dapat terjadi elevasi segmen ST
Jika tidak terdapat elevasi segmen ST tetapi terjadi inversi
gelombang T (2–4 mgg sesudah onset)
Foto Rontgen Toraks
Kardiomegali
Jantung berbentuk buah pir atau bentuk botol air (water bottle
shaped)
Corakan vaskular paru dapat bertambah pada tamponade jantung
Ekokardiografi
Merupakan pemeriksaan yang paling penting
Efusi perikardium dapat terlihat baik anterior maupun posterior
Dapat mendeteksi tamponade jantung
Terapi
Perikardiosintesis dilakukan sebagai terapi utama, terutama bila ada
tamponade dan untuk identifikasi etiologi
623
Analisis cairan perikardium
Hitung jenis dan morfologi
Glukosa, LDH, dan protein
Pewarnaan gram dan tahan asam, kultur bakteri, virus, dan
jamur
Sitologi/PA
Tamponade Jantung
Dilakukan pemberian cairan plasma secara bolus sebelum
perikardiosintesis ditujukan untuk:
Meningkatkan tekanan vena sentral
Meningkatkan pengisian jantung
Menstabilisasi keadaan emergensi
Bibliografi
1. Allan CK, Fulton DR. Clinical manifestations and diagnosis of
myocarditis in children [diunduh 13 Mei 2011]. Tersedia dari:
http://www.uptodate.com/contents/clinical-manifestations-and-
diagnosis-of-myocarditis-in-children.
2. Bernstein D. Diseases of the myocardium and pericardium.
Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Voughan III VC,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2007. hlm. 1970–5.
3. Blauwet LA, Cooper LT. Myocarditis. Prog Cardiovasc Dis.
2010;52(4):274–88.
4. Bowles NE, Towbin JA. Childhood myocarditis and dilated
cardiomyopathy. Dalam: Cooper LE, penyunting. Myocarditis:
from bench to bedside. New Jersey: Humana Press; 2003. hlm.
559–87.
5. Cooper LT. Myocarditis. N Engl J Med. 2009;360:1526–38.
6. Dennert R, Crijns HJ, Heymans S. Acute viral myocarditis. Eur
Heart J. 2008;29:2073–82.
7. Feldman AM, McNamara D. Myocarditis. N Engl J Med. 2000;
343(19):1388–98.
8. Kawai C. From myocarditis to cardiomyopathy: mechanisms of
inflammation and cell death: learning from the past for the
future. Circulation. 1999;99(8):1091–100.
9. Liu PP, Mason JW. Advances in the understanding of myocarditis.
Circulation. 2001;104:1076–82.
10. Magnani JW, Dec GW Jr. Myocarditis: current trends in diagnosis
and treatment. Circulation. 2006;113:876–90.
11. Marx GR. Myocarditis. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC,
penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania:
Saunders Elsevier. 2006. hlm. 467–75.
12. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.
13. Wheeler DS, Kooy NW. A formidable challenge. The diagnosis
and treatment of viral myocarditis in children. Crit Care Clin.
2003;19(3):365–91.

624
PENYAKIT KAWASAKI
Batasan
Penyakit Kawasaki (mucocutaneous lymph node syndrome; kawasaki
syndrome; infantile periarteritis nodosa) merupakan vaskulitis akut
generalisata yang tidak diketahui penyebabnya dan bersifat self-
limiting disease
Epidemiologi
Penyakit Kawasaki terutama menyerang anak usia <5 th (puncak usia
18–24 bl (USA), 6–11 bl (Jepang). Anak laki-laki terkena 1½–2 kali
lebih sering dibandingkan dengan anak perempuan, dengan insidensi
per tahun 10–112/100.000 anak. Miokarditis, gagal jantung kongestif,
perikarditis dengan efusi perikardial, insufisiensi katup mitral atau
katup aorta dan aritmia dapat terjadi pada fase akut penyakit.
Kematian biasanya terjadi akibat infark jantung yang disebabkan
trombosis, aneurisma arteri koroner, atau akibat ruptura aneurisma
pembuluh darah koroner yang besar
Diagnosis
Terdapat demam tinggi selama ≥5 hr
Terdapat 4 dari 5 tanda di bawah ini:
1. Kelainan pada ekstremitas: eritema telapak tangan dan kaki;
edema tangan dan kaki
Perubahan ekstremitas berupa kemerahan pada telapak
tangan dan kaki, edema pada bagian dorsal tangan dan kaki,
diikuti oleh deskuamasi yang dimulai dari daerah periungual
jari yang meluas ke telapak tangan dan kaki, yang terjadi 2–3
mgg sesudah onset demam. Sekitar 1–2 bl sesudah demam
timbul lekukan tranversal pada kuku, yang disebut Beau’s lines
2. Ruam polimorfik
Biasanya muncul dalam 5 hr sesudah onset demam dan
menghilang mulai 1–2 hr sampai >1 mgg. Bentuk paling sering
berupa erupsi makulopapular difus, yang menyebar ke seluruh
tubuh dan mengenai area perianal disertai pengelupasan dini.
Tidak pernah ditemukan vesikel
3. Injeksi konjungtiva bulbar bilateral tanpa eksudat
4. Perubahan mulut dan mukosa orofaring
1) Bibir kemerahan dan bengkak yang mengering disertai
pengelupasan, pecah secara vertikal dan berdarah; 2) Lidah
stroberi dengan penonjolan dan kemerahan papila lidah yang
sulit dibedakan dengan demam skarlet; 3) Eritema difus dari
mukosa orofaring, tanpa disertai ulserasi dan eksudat
5. Limfadenopati servikal
Limfadenopati servikal biasanya bersifat unilateral dan
terdapat pada daerah servikal anterior, mengenai >1 kelenjar
dengan ukuran >1,5 cm, tidak disertai kemerahan pada kulit di
atasnya, biasanya tidak nyeri, dan nonsupuratif

625
Tanda dan gejala lain
Dapat berupa atralgia dan artritis di berbagai sendi (tangan,
lutut, pergelangan kaki, panggul), letargi, nyeri kepala dan kaku
kuduk akibat meningitis aseptik, meatitis, vulvitis, uretritis,
gagal jantung kongestif, otitis media, ikterik, diare, hidrops
kandung empedu, nyeri dada, nyeri abdomen, syok dan atau
emesis pada anak yang lebih besar akibat infark miokardium,
bising jantung akibat insufisiensi akut katup mitral dan
kemerahan dan indurasi pada tempat BCG
Bukan disebabkan oleh penyakit dengan gejala serupa (eksklusi)
seperti:
Infeksi virus (campak, adenovirus, enterovirus, Epstein-Barr virus)
Demam skarlatina
Staphylococcal scalded skin syndrome
Limfadenitis bakterial servikal
Reaksi hipersensitivitas obat
Steven-Johnson syndrome
Juvenile rheumatoid arthritis
Rocky mountain spotted fever
Demam reumatik akut
Toxic shock syndrome
Leptospirosis
Reaksi hipersensitivitas Merkuri (akrodinia)
Pemeriksaan Penunjang
Tidak spesifik
Leukositosis pada fase akut
LED dan CRP ↑, yang akan kembali normal dalam 6–10 mgg
sesudah onset
Fase subakut: trombositosis >500.000/mm3 (rata-rata 700.000/mm3),
paling tinggi pada mgg ke-8
Dapat ditemukan ↑ transaminase, gamma glutamyl trans-
peptidase, bilirubin serum, dan hipoalbuminemia. Selain itu dapat
didapatkan piuria yang steril, pleositosis dengan predominan sel
mononuklear dengan cairan serebrospinalis
Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan untuk mengidentifikasi
abnormalitas arteri koronaria. Menurut Kementerian Kesehatan
Jepang, arteri koroner disebut abnormal bila ukuran diameter
internal >3 mm untuk anak usia <5 th atau >4 mm untuk anak usia
≥5 th atau jika diameter internal cabang ≥1 ½ kali arteri yang
mempercabangkannya atau bila arteri koroner terlihat jelas
ireguler; sedangkan American Heart Association membagi
aneurisma ke dalam aneurisma kecil (<5 mm), sedang (5–8 mm),
dan besar (>8 mm). Selain itu, perlu untuk menilai fungsi ventrikel,
regurgitasi katup, dan efusi perikardium
Bila tidak memenuhi secara penuh kriteria diagnosis, maka kondisi ini
disebut penyakit Kawasaki inkomplet/atipik (lihat Gambar 53)

626
Gambar 53 Bagan Algoritme Diagnostik Penyakit Kawasaki Atipik
Keterangan:
Jika CRP ≥3 mg/dL dan LED ≥40 mm/jam, pemeriksaan laboratorium
tambahan harus dilakukan, termasuk albumin, alanin aminotransferase
(ALT), trombosit, hitung jenis leukosit, dan urin. Batas abnormal sebagai
berikut:
Albumin ≤3 g/dL
Anemia untuk usianya
Kadar ALT ↑
Trombosit ≥450.000 (se sudah 7 hr)
Leukosit ≥15.000/mm 3
Jika ≥3 kriteria laboratorium tambahan (+), diagnosis penyakit
Kawasaki dapat dibuat dan pengobatan dimulai sambil dilakukan
ekokardiogram

627
Tatalaksana
Tatalaksana Fase Akut
Imunoglobulin intravena (IVIG)
IVIG dosis tunggal 2 g/kgBB diberikan selama 12 jam, yang
dimulai dalam 10 hr sesudah onset atau jika penderita datang
sesudah lebih dari hari sakit ke-10 tetapi masih demam
persisten, aneurisma, atau menunjukkan tanda inflamasi (LED
atau CRP ↑)
Bila penderita tetap mengalami demam persisten atau timbul
lagi demam (rekrudensi) selama ≥36 jam sesudah pemberian
IVIG pertama, pemberian IVIG dapat diulang dengan dosis yang
sama. Bila masih demam atau terdapat tanda inflamasi akut
sesudah 2 kali pemberian IVIG, dapat diberikan metil-
prednisolon 30 mg/kgBB i.v. selama 2−3 jam dosis tunggal
selama 1−3 hr
Asetil salisilat
Aspirin 80–100 mg/kgBB/hr, dibagi dalam 4 dosis diberikan
bersamaan dengan IVIG dan dosisnya diturunkan dalam 48–72
jam sesudah demam hilang, atau sampai hari ke-14 sakit dan
>48–72 jam sesudah penurunan panas. Selanjutnya diberikan
aspirin dosis rendah (3–5 mg/kgBB/hr) selama 6–8 mgg sesudah
onset penyakit dan jika tidak ditemukan kelainan pada arteri
koronaria
Tatalaksana Jangka Panjang
Berdasarkan tingkat risiko untuk mengalami iskemia miokardium
dibagi:
a. Risiko derajat I
Penderita tanpa kelainan arteri koroner pada pemeriksaan
ekokardiografi
Tidak memerlukan terapi antiplatelet sesudah 6–8 mgg onset
Tidak ada pembatasan aktivitas fisik sesudah 6–8 mgg onset
Penilaian kardiovaskular setiap 5 th
b. Risiko derajat II
Penderita dengan transient coronary artery ectasia atau
dilatasi koroner yang menghilang dalam 6–8 mgg sesudah
onset sakit
Tidak memerlukan terapi antiplatelet
Tidak ada pembatasan aktivitas fisik sesudah 6–8 mgg onset
Penilaian risiko kardiovaskular setiap 3–5 th
c. Risiko derajat III
Aneurisma koroner kecil–sedang (>3 mm tetapi <6 mm atau ≥1
aneurisma koroner) pada ekokardiografi atau angiografi
Pemberian aspirin dosis rendah jangka panjang atau sampai
aneurisma mengalami regresi
Tidak diperlukan pembatasan aktivitas fisik untuk bayi dan
anak dalam dekade pertama, kecuali untuk olahraga yang berat

628
Perlu dilakukan ekokardiografi dan EKG berkala setiap th
Stress test direkomendasikan untuk anak >10 th; bila hasilnya
memperlihatkan iskemia dilakukan angiografi koroner
d. Risiko derajat IV
Penderita dengan ≥1 aneurisma besar (≥6 mm), multipel
aneurisma dan aneurisma-kompleks tanpa obstruksi
Aspirin dosis rendah jangka panjang, dapat ditambahkan
warfarin dengan target INR 2–2,5. Alternatif lain yaitu heparin
atau klopidogrel
Pembatasan aktivitas fisik disesuaikan dengan cardiac stress
test yang dilakukan setahun sekali dan risiko perdarahan
Penilaian ekokardiografi dan EKG harus dilakukan setiap 6 bl
serta skrining risiko aterosklerosis
Kateterisasi jantung dengan angiografi koroner harus dilakukan
dalam 6–12 bl sesudah sembuh atau segera bila ada indikasi
klinis. Angiografi ulang dilakukan bila pemeriksaan noninvasif
menunjukkan iskemia
e. Risiko derajat V
Obstruksi arteri koronaria yang terlihat dengan angiografi
Aspirin dosis rendah jangka panjang dengan atau tanpa terapi
warfarin
Aktivitas disesuaikan dengan respons stress testing
Evaluasi ekokardiografi dan EKG harus dilakukan setiap 6 bl
serta skrining risiko aterosklerosis
Kateterisasi untuk mengevaluasi pemberian terapi trombolitik,
untuk menilai perlunya intervensi atau operasi coronary bypass
Bibliografi
1. Burns JC. Kawasaki disease update. Indian J Pediatr. 2009;76(1):
71–6.
2. Chang RR. Hospitalizations for Kawasaki disease among children
in the United States, 1988–1997. Pediatrics. 2002;109(6):e87.
3. Holman RC, Curns AT, Belay ED, Steiner CA, Schonberger LB.
Kawasaki syndrome hospitalizations in the United States, 1997
and 2000. Pediatrics. 2003;112:495–501.
4. Ishii M, Ueno T, Akagi T, Baba K, Harada K, Hamaoka K, dkk.
Guidelines for catheter intervention in coronary artery lesion in
Kawasaki disease. Pediatr Intern. 2001;43:558–62.
5. Nakamura Y, Yashiro M, Uehara R, Oki I, Watanabe M, Yanagawa
H. Monthly observation of the number of patients with Kawasaki
disease and its incidence rates in Japan: chronological and
geographical observation from nationwide surveys. J Epidemiol.
2008;18(6):273–9.
6. Newburger JW, Sleeper LA, McCrindle BW, Minich LL, Gersony
W, Vetter VL, dkk. Randomized trial of pulsed corticosteroid
therapy for primary treatment of Kawasaki Disease. N Engl J
Med. 2007;356:663–75.

629
7. Newburger JW, Takahashi M, Gerber MA, Gewitz MH, Tani LY,
Burns CJ, dkk. Diagnosis, treatment, and long term management
of Kawasaki disease: a statement for health professionals from
the committee on rheumatic fever, endocarditis, and Kawasaki
disease, council on cardiovascular disease in the young,
American Heart Association. Circulation. 2004;110(17):2747–71.
8. Oates-Whitehead RM, Baumer JH, Haines L, Love S, Maconochie
IK, Gupta A, dkk. Intravenous immunoglobulin for the treatment
of Kawasaki disease in children. Coch Database Sys Rev. 2003;4:
CD004000.

630
HIPERTENSI PULMONAL
Batasan
Hipertensi pulmonal (pulmonary hypertension/PH) merupakan
penyakit vaskular paru yang mengakibatkan peningkatan resistensi
dan tekanan vaskular paru
Secara hemodinamik dan kondisi patofisiologi terjadi peningkatan
rerata tekanan di arteri pulmonalis utama >25 mm
Tanda khas PH yaitu proliferasi dinding vaskular paru yang
mengakibatkan peningkatan progresif resistensi vaskular paru, diikuti
disfungsi atau kegagalan ventrikel kanan dan kematian dini
Kor pulmonale
Hipertensi pulmonal yang terjadi akibat penyakit paru dan
menimbulkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan atau
Hipertrofi ventrikel kanan akibat penyakit yang memengaruhi
fungsi dan struktur paru
Insidensi
Diperkirakan 1–2 kasus/1.000.000 populasi umum
Pada anak lebih banyak usia belasan tahun
Pada anak remaja (sesudah pubertas) lebih banyak perempuan
dibandingkan dengan laki-laki (rasio 1,7:1)
Hipertensi pulmonal sekunder lebih sering terjadi, tetapi
prevalensinya sulit ditentukan karena penyebab penyakit ini
sangat beragam
Klasifikasi

631
Tabel 152 Klasifikasi Hipertensi Pulmonal WHO Revisi 2009
1. Pulmonary arterial hypertension (PAH)
Idiopathic (IPAH)
Familial (FPAH)
Associated with (APAH):
Collagen vascular disease
Congenital systemic-to-pulmonary shunt
Portal hypertension
HIV infection
Drugs and toxins
Other (thyroid disorders, glycogen storage disease, Gaucher
disease, hereditary, hemorrhagic, telangiectasia,
hemoglobinopathies, myeloprolifera tive disorders,
splenectomy)
Associated with significant venous or capillary involvement
Pulmonary veno-occlusive disease (PVOD)
Pulmonary capillary hemangiomatosis (PCH)
Persistent pulmonary hypertension of the newborn
2. Pulmonary hypertension with left heart disease
Left-sided atrial or ventricular heart disease
Left-sided valvular heart disease
3. Pulmonary hypertension associated with lung diseases and/or
hypoxemia
Chronic obstructive pulmonary disease
Interstitial lung disease
Sleep-disordered breathing
Alveolar hypoventilation disorders
Chronic exposure to high altitudes
Developmental abnormalities
4. Pulmonary hypertension due to chronic thrombotic and/or
embolic disease
Thromboembolic obstruction of proximal pulmonary arteries
Thromboembolic obstruction of distal pulmonary arteries
Non-thrombotic pulmonary embolism (thrombus, parasites,
foreign material)
5. Miscellaneous
Sarcoidosis, histiocytosis X, lymphangiomatosis, compression of
pulmonary vessels (adenopathy, tumor, fibrosing mediastinitis)

Patogenesis
Berdasarkan patogenesisnya:
Hipertensi pulmonal hiperkinetik
Aliran darah pulmonal ↑ seperti tampak pada penyakit jantung
bawaan dengan pirau kiri ke kanan yang besar
Hipoksia alveolar
Tekanan vena pulmonalis ↑
Terdapat penyakit vaskular pulmonal primer (primary pulmonal
vascular disease)
632
Hipertensi Pulmonal Hiperkinetik
Berhubungan dengan pirau kiri ke kanan yang besar seperti pada
DSV dan DAP
Terjadi akibat peningkatan aliran dan pengaruh langsung tekanan
sistemik terhadap arteri pulmonalis
Bersifat reversibel jika penyebabnya dihilangkan sebelum terjadi
perubahan yang menetap pada arteriol paru
Jika tidak mendapat terapi akan terjadi:
Sindrom Eisenmenger atau
Penyakit obstruksi vaskular paru atau
Pulmonary vascular obstructive disease (PVOD)
Hipoksia Alveolar
Tekanan O2 ↓ di daerah kapiler alveolar (hipoksia alveolar) yang
bersifat akut atau kronik → vasokontriksi pulmonal
Mekanismenya masih belum diketahui dengan pasti
Diduga vasokontriksi disebabkan oleh:
Efek langsung ↓ PO2 pada arteriol pulmonal
Dengan akibat ↑ permeabilitas membran terhadap kalsium atau
Dapat juga disebabkan oleh efek tidak langsung agen humoral
yang dilepaskan atau diaktifkan di dalam paru-paru
Vasoaktif agen yang menimbulkan vasokontriksi pulmonal yang
diinduksi hipoksia meliputi:
Histamin
Prostaglandin F
Tromboksan A2
Endoperoksidase
Angiotensin
Slow reacting substance of anaphylaxis
Hipertensi Vena Pulmonal
Tekanan vena pulmonalis ↑ → refleks vasokontriksi arteriol
pulmonal
Menyebabkan hipertensi arteri pulmonalis
Terjadi pada:
Total anomaly pulmonary vein drainage dengan obstruksi aliran
balik pulmonal
Stenosis mitral
Gagal jantung kiri
Primary Pulmonary Vascular Disease/Penyakit Vaskular Paru Primer
Hipertensi pulmonal primer bersifat progresif
Terdapat perubahan pada a. pulmonalis yang bersifat ireversibel
Mekanisme pasti tidak diketahui
Diduga:
Terjadi kerusakan sel endotel
Sehingga tidak terjadi pelepasan PGI2 yang merupakan
vasodilator
Tetapi dilepaskan tromboksan A2 sehingga terjadi vasokontriksi
Tromboksan A2 akan memicu agregrasi trombosit dan akhirnya
terbentuk trombus → kerusakan lebih lanjut

633
Berdasarkan patologi (Heath dan Edwards 1958):
Derajat 1: ditandai dengan hipertrofi medial dan perluasan otot
polos ke arteri yang secara normal nonmuskular
Derajat 2: tampak hipertrofi medial dan proliferasi intimal selular
Derajat 3: tampak fibrosis intima
Derajat 4: dilatasi arteriol
Derajat 5: tampak lesi angiomatoid atau pleksiform
Derajat 6: tampak necrotizing arteritis

Diagnosis
Anamnesis
Dispnea yang berhubungan dengan aktivitas
Mudah lelah (fatigue)
Sinkop yang berhubungan dengan aktivitas
Hemoptoe
Sianosis perifer
Pada keadaan lanjut:
Gagal jantung kanan dengan gejala
Edema
Hepatomegali
Tekanan vena jugularis ↑
Pemeriksaan Fisis
Sianosis dengan/tanpa clubbing
Teraba denyut ventrikel kanan di linea sternalis kiri
Auskultasi:
Bunyi jantung kedua normal atau split menyempit
Komponen P2 mengeras
Klik ejeksi di sepanjang linea mid sternalis kiri
Bising awal diastol di daerah katup pulmonal akibat regurgitasi
pulmonal
Bising sistol pada daerah linea sternalis kiri bawah
Bila terdapat gagal jantung kanan:
Vena jugularis ↑
Refluks hepatojugular
Hepatomegali
Edema tungkai
Auskultasi: irama suara galop
Pada stadium lanjut ditemukan aritmia
Klasifikasi Status Fungsional Penderita dengan PH Menurut WHO
Kelas I
Penderita PH tanpa limitasi aktivitas fisik sehari-hari. Aktivitas
fisik rutin tidak menyebabkan keluhan sesak napas, rasa lelah,
angina ataupun presinkop
Kelas II
Penderita PH yang mengalami limitasi pada aktivitas fisik ringan.
Saat istirahat tidak ada masalah, tetapi pada aktivitas rutin
timbul keluhan sesak, rasa lelah, nyeri dada atau presinkop

634
Kelas III
Penderita PH yang mengalami limitasi aktivitas fisik berat. Pada
saat istirahat tidak ada masalah, tetapi pada aktivitas yang lebih
ringan daripada aktivitas rutin sudah timbul keluhan sesak, rasa
lelah, nyeri dada atau presinkop
Kelas IV
Penderita PH yang tidak mampu melakukan semua aktivitas fisik
dan memperlihatkan tanda-tanda gagal jantung kanan. Sesak
napas dan atau rasa lelah timbul saat istirahat dan keluhan ↑
pada setiap aktivitas fisik yang ringan sekalipun
Foto Rontgen Toraks
Ukuran jantung normal atau membesar
Segmen arteri pulmonalis menonjol
Pelebaran pembuluh darah hilus dengan lapangan paru yang
bersih
Elektrokardiografi
Deviasi aksis ke kanan (RAD)
Hipertrofi ventrikel kanan
Pada stadium akhir
Hipertrofi atrium kanan (amplitudo gelombang P >2,5 mm)

Ekokardiografi
Gerakan abnormal katup pulmonal
Hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan
Septum interventrikularis tampak bergeser ke arah ventrikel kiri
pada saat sistol dan tampak rata pada akhir sistol
Ekokardiografi doppler dapat ditentukan tekanan sistol arteri
pulmonalis dengan menentukan kecepatan regurgitasi trikuspid
maks. (peak tricuspid regurgitation)

Terapi
Menurunkan resistensi pembuluh darah paru
Meningkatkan curah jantung
Mengurangi beban volume
Transplantasi jantung-paru atau septostomi atrium

Memperbaiki Penyebab yang Mendasari


Meningkatkan curah jantung
Obat inotropik
Digoksin
Masih digunakan walaupun efektivitas obat ini pada
hipertensi pulmonal masih diperdebatkan
-adrenergik
Dobutamin
Isoproterenol
Norepinefrin
Fenilefrin

635
Obat inotropik yang digunakan sebaiknya tidak meningkatkan
resistensi vaskular paru dan tidak menurunkan tekanan darah
sistol, tetapi dapat memperbaiki perfusi koroner ventrikel kanan

Mengurangi kelebihan volume


Diet rendah garam
Diuretik
Mengurangi volume intravaskular yang ↑
Mengurangi bendungan pada gagal jantung kanan
Sebaiknya dihindari pada hipertensi pulmonal berat karena
dapat ↓ curah jantung
Nitrit oksida inhalasi
Untuk merelaksasi otot polos vaskular pulmonal yang
mengalami konstriksi
Belum diketahui dosis optimal

Septostomi atrial
Indikasi
Sinkop berulang
Gagal jantung kanan walaupun sudah diberikan pengobatan
medis yang maksimal
Tindakan sementara sebelum transplantasi walaupun sudah
diberikan terapi medis yang maksimal
Jika tidak terdapat pilihan pengobatan lain

Bibliografi
1. Barst RJ, McGoon M, Torbicki A, Sitbon O, Krowka MJ,
Olschewski H, dkk. Diagnosis and differential assessment of
pulmonary arterial hypertension. J Am Coll Cardiol. 2004;43:40S–
70.
2. British Cardiac Society Guidelines and Medical Practice
Committee. Recommendations on the management of pulmonary
hypertension in clinical practice. Heart. 2001;86:i1–13.
3. Budev MM, Arroliga AC, Jennings CA. Diagnosis and evaluation of
pulmonary hypertension. Cleveland Clinic J Med. 2003;70:S9–
S17.
4. Gaine SP, Rubin LJ. Primary pulmonary hypertension. Lancet.
1998;352(9129):719–25.
5. Galiè N, Torbicki A, Barst R, Dartevelle P, Hawirth S, Higenbottam
T, dkk. Guidelines on diagnosis and treatment of pulmonary
arterial hypertension. Euro Heart J. 2004;25(24):2243–78.
6. Heath D, Edwards JE. The pathology of hypertensive pulmonary
vascular disease; a description of six grades of structural changes
in the pulmonary arteries with special reference to congenital
cardiac septal defects. Circulation. 1958;18:533–47.
7. Humbert M. Improving survival in pulmonary hypertension. Eur
Respir J. 2005;25:216–20.

636
8. McGoon M, Gutterman D, Steen V, Barst R, McCrory DC, Fortin
TA, dkk. Screening, early detection, and diagnosis of pulmonary
arterial hypertension. Chest. 2004;126:14S–34S.
9. Rubin LJ, Badesch DB. Evaluation and management of the patient
with pulmonary arterial hypertension. Ann Intern Med.
2005;143:282–92.
10. Simonneau G, Galiè N, Rubin LJ, Langleben D, Seeger W,
Domenighetti, dkk. Clinical classification of pulmonary
hypertension. J Am Coll Cardiol. 2004;43:5S–12S.

637
DISRITMIA JANTUNG
Batasan
Gangguan irama jantung yang dapat disebabkan oleh gangguan pada
pembentukan impuls dan atau konduksi
Klasifikasi
Disritmia dengan sinus pace maker
Disritmia sinus
Sinus takikardia
Sinus bradikardia
Disritmia dengan pace maker ektopik
Ectopic beat
Kontraksi prematur supraventrikular
Kontraksi prematur ventrikel
Takikardia ektopik
Takikardia supraventrikular paroksismal
Takikardia ventrikular paroksimal
Geletar atrium (atrial flutter)
Fibrilasi atrium
Disritmia akibat gangguan konduksi
Blok sinoatrial
Blok A-V
Blok A-V derajat I
Blok A-V derajat II
Mobitz tipe I
Mobitz tipe II
Blok A-V derajat III (blok A-V total)
Patofisiologi
Terjadi sebagai akibat gangguan pada pembentukan impuls atau
pada konduksi

Diagnosis
Disritmia dengan Sinus Pace Maker
Disritmia sinus
Klinis: irama jantung ireguler, dipengaruhi oleh pernapasan
(nadi cepat pada saat inspirasi)
Pada EKG didapatkan:
Gelombang P (konfigurasi normal)
Tidak ada perubahan interval PR
Gelombang QRS selalu didahului oleh gelombang P
Sinus takikardia
Klinis: frekuensi denyut jantung cepat reguler
Pada EKG: gelombang P diikuti kompleks QRS
Sinus bradikardia
Klinis: denyut jantung reguler dengan frekuensi
Bayi: <100×/mnt
Anak: <80×/mnt
Dewasa: <60×/mnt
638
EKG: kompleks QRS didahului gelombang P
PR interval normal
Disritmia dengan Pace Maker Ektopik
Ectopic beat
Kontraksi prematur supraventrikular
Impuls berasal dari atrium atau atrioventriculer node
Bila sinus node secara permanen atau temporer mengalami
gangguan/tekanan, maka fungsi pace maker diambil alih oleh A-
V node → nodal rhythm sehingga ditemukan gelombang P dan
kompleks QRS yang lebih awal dengan pause kompensatoar
yang inkomplet
Kontraksi prematur ventrikel
Tidak ada korelasi antara kontraksi atrium dan ventrikel
Bentuk gelombang P normal, kompleks konfigurasi QRS aneh
dengan durasi >0,10 detik, QRS dan gelombang T pada arah
yang berlawanan. Pause kompensatoar yang komplet
Takikardia ektopik
Bila fokus ektopik mengeluarkan impuls lebih cepat daripada
sinus discharge
Takikardia supraventrikular paroksismal
Frekuensi 160–300×/mnt, yang onset-nya cepat dan berakhir
dengan tiba-tiba. Frekuensi jantung tersebut tetap dan tidak
berubah dari waktu ke waktu. Stimulasi refleks vagal dapat
mengembalikan ke irama sinus. Jarang didapat gelombang P
Takikardia ventrikular paroksismal
Ventricular premature beat dengan frekuensi 120–128×/mnt.
Jarang terjadi pada anak
Harus segera dapat dibedakan dengan takikardia
supraventrikular paroksismal, karena perbedaan dalam
penanganannya, walaupun kadang-kadang sulit dibedakan
Geletar atrium (atrial flutter)
Bentuk disritmia supraventrikular dengan frekuensi kontraksi
atrium 200–350×/mnt
Respons ventrikel bervariasi 140–300×/mnt
Pada EKG: didapatkan saw toothed flutter wave
Fibrilasi atrium
Bentuk disritmia supraventrikular yang paling hebat dengan
frekuensi 400–700×/mnt
Baik atrium maupun ventrikel berkontraksi tidak beraturan
Disritmia Akibat Gangguan Konduksi
Blok sinoatrial
Kegagalan impuls nodus SA untuk mencapai atrium
Pada EKG: gelombang P tidak ada
Blok A -V
Blok A-V derajat I
Klinis irama reguler
EKG: PR interval memanjang
Gelombang P dan kompleks QRS normal

639
Blok A-V derajat II
Mobitz tipe I
EKG: fenomena Wenckebach PR interval secara bertahap
memanjang sampai suatu saat gelombang P tidak di-
konduksikan, terdapat pause, kemudian PR interval mulai
memendek lagi
Mobitz tipe II
Gelombang atrium kadang-kadang tidak dikonduksikan ke
ventrikel
Blok A-V derajat III (Blok A-V total)
Tidak ada impuls yang sampai ke ventrikel
Penyulit
Gagal jantung
Terapi
Disritmia dengan Sinus Pace Maker
Disritmia sinus → tidak perlu pengobatan
Takikardia sinus → tidak perlu pengobatan khusus
Untuk menurunkan HR dapat diberikan:
Fenobarbital
Propranolol 0,2–0,5 mg/kgBB/hr p.o. dibagi 3–4 dosis
Guanetidin 0,2 mg/kgBB/hari p.o. dibagi 3–4 dosis
Bradikardia sinus → tidak perlu pengobatan khusus
Perlu dicari penyakit yang mendasari
Disritmia dengan Pace Maker Ektopik
Ectopic beat: perlu dirawat
Kontraksi prematur supraventikuler → digitalis
Kontraksi prematur ventrikel
Pronestil atau dilantin: mulai dengan i.v., bila memberi
respons yang baik selanjutnya p.o. Bila tidak efektif, berikan
kuinidin atau propranolol p.o. Berikan KCI p.o.
Pronestil/prokainamid:
p.o.: awal 14 mg/kgBB, selanjutnya 0,05–0,3 g setiap 6 jam
i.m.: awal 0,1 mg/kgBB, selanjutnya tiap 6 jam
i.v.: awal 0,1 g dilarutkan dalam dekstrosa 5% perlahan-
lahan (cara ini hanya untuk keadaan emergensi)
Dilantin:
i.v.: 2–4 mg/kgBB dalam 5 mnt, dapat diulang sesudah 10–
20 mnt
p.o.: 2–5 mg/kgBB/hr, dibagi 3 dosis
Kuinidin sulfat:
p.o.: 0,1–0,4 g tiap 3–6 jam, biasanya hari pertama 8 × 0,1 g
→ selanjutnya 4–8 × 0,2 g
Kuinidin glukonas:
p.o.: 0,15–0,6 g tiap 8–12 jam

640
Takikardia ektopik
Takikardia supraventikular paroksismal
Tindakan merangsang refleks vagal:
Mulai dengan penekanan sinus karotis, yaitu palpasi dan
tekanan selama 20 detik, bagian kanan kemudian bagian
kiri bergantian, sambil memonitor bunyi jantung dengan
auskultasi, segera tindakan dihentikan bila ritme berubah
Bila tindakan pertama tidak berhasil, dilakukan tekanan
pada bola mata, kelopak mata tertutup, penekanan
dilakukan tepat di bawah tepi supraorbital satu sisi selama
20 detik
Pada anak besar, bila kedua manuver tersebut di atas tidak
berhasil, maka dilanjutkan dengan manuver valsalva atau
membuat refleks muntah dengan pemberian 1–2 sendok
teh sirup ipekak
Pemberian digitalis:
Dalam keadaan emergensi pemberian i.v.
Bila tidak emergensi p.o.
Dosis: mulai dengan dosis total digitalis, diberikan
selama periode 18 jam, dibagi dengan interval 6 jam
Bila belum ada perbaikan → digitalis diberikan lagi
dengan dosis ⅙ total tiap 4 jam sampai efek yang
diinginkan tercapai atau sampai ada tanda intoksikasi
digitalis. Bila ada takikardia supraventrikular pada
sindrom WPW, selain digitalisasi juga kadang-kadang
diberikan kuinidin 400–800 mg → 5×/hr
Takikardia atrium kronik
Diberikan kombinasi digitalis dengan serpasil (serpasil 3–4 ×
0,1–0,25 mg/hr p.o.), memberikan efek dalam ± 1 mgg. Bila
diberikan i.m., dosis 1–2,5 mg, memberikan efek dalam
beberapa jam
Tidak efektif dengan kuinidin, pronestil, KCI, atau prostigmin
Bila ada gagal jantung → penanganan gagal jantung
Tidak efektif dengan countershock
Takikardia atrium paroksismal dengan blok
Sering terjadi pada intoksikasi digitalis, bila akibat intoksikasi
digitalis, hentikan digitalis dan diuretik, beri KCI mulai dengan
dosis setengahnya. Dapat diulang 2 kali lagi dengan interval 4
jam
Bila berat dan penderita muntah, KCI i.v./drip. KCI
dihentikan bila ada tanda intoksikasi
KCI (larutan KCI i.v. mengandung 1 g KCI dalam 250 mL
dekstrosa 5% → diberikan pada anak dengan BB 50 kg →
dalam 1 jam
Bila tidak berhasil dengan KCI, beri prokainamid, dilantin
dan propranolol → mulai dengan i.v., bila efektif
dilanjutkan dengan p.o.
Sesudah digitalis dihentikan, dilakukan countershock
Takikardia ventrikular paroksismal
Rangsangan untuk refleks vagal tidak memberikan respons
Obat yang dapat diberikan yaitu kuinidin, dilantin,
propanolol, prokainamid, atau mekolil
641
Akhir-akhir ini silokain dan pronestil dianggap pilihan
pertama
Dosis silokain (lidokain):
Larutan 2% (100 mg/4 mL) 0,5–1,0 mg/kgBB/kali, dapat
diulang tiap 20–60 mnt (dosis maks. 200 mg/jam) →
selanjutnya diberikan per infus larutan 0,1% dalam
dekstrosa, dengan dosis 0,5–1,0 g/kgBB/mnt
Bila dengan pemberian obat tidak berhasil → countershock
Bila akibat intoksikasi digitalis, hentikan obat, beri KCI dan
pronestil atau dilantin, bila memungkinkan tanpa counter
shock
Profilaksis: bertujuan agar tidak timbul aritmia/rekurens
Sesudah irama normal obat dilanjutkan selama 1 bl
Bila dalam periode tersebut tampak lagi disritmia,
diberikan kuinidin 200–400 mg → 4×/hr (dilanjutkan
selama 6 bl)
Geletar atrium
Digitalis
Bila tetap ada respons, diberi kuinidin
Terakhir digunakan countershock, dilanjutkan dengan kuinidin
sebagai profilaksis
Fibrilasi atrium
Digitalis: kadang-kadang dapat memberikan respons baik
Langsung countershock lebih efektif
Penanganan gagal jantung (jika perlu)
Dosis pemeliharaan kuinidin 1–2 g/hr
Koreksi penyakit dasar
Disritmia Akibat Gangguan Konduksi
Blok sinoartrial
Jarang memerlukan pengobatan
Atropin, isuprel mungkin efektif
Blok atrioventrikular
1. Blok A-V derajat I:
Bila hanya ada kelainan ini tidak memerlukan pengobatan
Bila dalam pengobatan digitalis, pengobatan tidak perlu
dihentikan
2. Blok A-V derajat II:
Tidak perlu pengobatan, kecuali bila ada indikasi terhadap
penyakit jantung yang mendasarinya. Pada penyakit Adam
Stoke, perlu pemasangan alat pacu jantung
3. Blok A-V derajat III:
Pemberian efedrin dilanjutkan alupent
Bila ada gagal jantung → penanganan gagal jantung
Digitalisasi diberikan bila sangat perlu
Klorotiazid dapat menurunkan denyut jantung
Perlu alat pacu jantung
Pemberian isoprel i.v. (isoproterenol 1 g dalam 250 mL
dekstrosa 5%)

642
Prognosis
Bergantung pada jenis disritmianya, yang paling ringan tidak perlu
pengobatan dan sembuh sendiri. sedangkan yang berat bermanifes-
tasi sebagai gagal jantung dan renjatan kardiogenik yang berakibat
kematian
Bibliografi
1. Kannankeril PJ, Fish FA. Disorders of cardiac rhythm and
conduction. Dalam: Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF,
penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children,
and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2008. hlm. 293–340.
2. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5.
Missouri: Mosby; 2008.
3. Walsh EP, Berul CI, Triedman JK. Cardiac arrhytmias. Dalam:
Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric
cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006.
hlm. 415–58.

643
Nefrologi
Nanan Sekarwana
Dedi Rachmadi Sambas
Dany Hilmanto
Ahmedz Widiasta
DIALISIS PERITONEAL
Batasan
Dialisis peritoneal adalah suatu teknik pemisahan molekul besar
(koloid) dari molekul kecil dalam suatu larutan karena perbedaan
kemampuan difusi melalui selaput semipermeabel yaitu peritoneum
Indikasi
Gangguan ginjal akut (GgGA)
Indikasi klinis:
Sindrom uremia yang mencolok: muntah, kejang, kesadaran ↓
Kelebihan cairan yang menimbulkan gagal jantung, edema paru,
dan hipertensi
Asidosis yang tidak dapat dikoreksi
Indikasi biokimia:
Ureum darah >200 mg/dL atau kreatinin >15 mg/dL
Hiperkalemia ≥7 mEq/L
Bikarbonas plasma ≤12 mEq/L
Penyakit ginjal kronik yang belum didialisis dan menunjukkan
gejala akut (acute on chronic renal failure)
Intoksikasi obat dan keracunan yang berat
Kontraindikasi absolut tidak ada. Kontraindikasi relatif adalah
superobesitas, perlekatan dalam abdomen, peritonitis, pascaoperasi
atau trauma abdomen, kelainan intraabdominal yang tidak diketahui
diagnosisnya
Langkah Persiapan
Evaluasi pradialisis
Keseimbangan cairan, bila terdapat dehidrasi dilakukan rehidrasi
lebih dahulu
Pemantauan balans cairan dan elektrolit
Persetujuan orangtua (informed consent)
Persiapan alat:
Kateter stilet
Cairan dialisat isotonis dan hipertonis
Larutan NaCl 0,9% untuk asites buatan
Lidokain 2% untuk anestesi lokal (sesuai kebutuhan)
Heparin
Larutan KCl 1 mEq/L
Antibiotik garamisin atau amoksisilin i.v./intraperitoneum
Peritoneal infusion set
Trokar untuk memasukkan kateter
Set bedah minor
Langkah Pelaksanaan
Anak ditidurkan dalam posisi terlentang, sebelumnya dapat diberi
premedikasi dengan diazepam. Bila kandung kemih masih terisi →
kateterisasi. Daerah abdomen antara umbilikus dan pubis disterilkan
dengan menggunakan povidon iodin dan alkohol

647
Pada kulit garis tengah (linea alba) ditentukan lokasi tempat keteter
peritoneum dimasukkan yaitu 2–3 cm di bawah umbilikus. Pada
lokasi tersebut dilakukan anestesi lokal dengan lidokain 2%
Dibuat asites buatan melalui lokasi tersebut bila penderita tidak
menderita asites yang cukup dengan memasukkan cairan NaCl
sejumlah 20 mL/kgBB melalui jarum besar
Kateter dimasukkan ke dalam rongga peritoneum melalui bantuan
trokar, kemudian didorong ke bawah masuk ke rongga pelvis sampai
semua lubang pada kateter berada dalam rongga peritoneum,
kemudian kateter difiksasi
Cairan dihangatkan terlebih dahulu. Cairan dialisat dimasukkan 30–40
mL/kgBB. Satu siklus dibutuhkan 60 mnt dengan waktu pemasukkan
dan pengeluaran cairan 15 mnt, dan cairan dibiarkan dalam rongga
peritoneum selama 30 mnt
Pada 1–2 siklus pertama diberikan heparin 500–1.000 IU/L ke dalam
cairan dialisat, atau terus diberikan selama cairan outflow dialisat
menunjukkan warna merah (berdarah)
Antibiotik profilaksis (gentamisin 5 mg/L atau ampisilin 250 mg/L)
dapat ditambahkan ke cairan dialisat. Penambahan KCl ke dalam
cairan dialisat disesuaikan dengan kadar kalium darah. Bila kadar
kalium darah normal atau rendah ditambahkan cairan KCl 4 mEq/L
Langkah Pemantauan
Jangka pendek
Pemantauan terhadap penyulit:
Penyulit mekanik: perforasi alat visera (usus dan kandung
kemih), perdarahan pada tempat masuknya kateter dan
perdarahan dalam rongga peritoneum, gangguan aliran dialisat
yang tidak lancar, penyulit mekanik lain seperti ekstravasasi
cairan dialisis ke jaringan subkutan, hernia, omentum
Pemantauan meliputi BB, balans cairan, warna, dan
kekekeruhan cairan dialisat; laboratorium Hb, asam basa dan
elektrolit kalsium, fosfor, natrium, kalium, glukosa darah,
ureum, dan kreatinin
Jangka panjang
Penyulit metabolik berupa gangguan keseimbangan cairan,
gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan keseimbangan asam-
basa, hilangnya protein selama dialisis
Penyulit radang. Pengobatan peritonitis akibat dialisis peritoneal
dapat dilihat pada lampiran
Penghentian Dialisis
Bila keadaan klinis dan laboratorium sudah membaik
Bila lebih dari 3×24 jam tidak terjadi perbaikan, dirujuk ke dokter
spesialis nefrologi anak
Bibliografi
1. Fitzpatrick M, Kerr SJ, Bradburry MG. The child with acute renal
failure. Dalam: Webb N, Postlethwaite, penyunting. Clinical
paediatric nephrology. Edisi ke-3. Oxford: Oxford University
Press; 2003. hlm. 405–26.
648
2. Sallay P, Perfumo F. Peritoneal dialysis. Dalam: Cochat P,
penyunting. European Society for Paediatric Nephrology (ESPN)
handbook. Jenewa: Novartis Farma; 2002. hlm. 408–12.
3. Strazdins V, Watson AR, Harvey B. Renal replacement therapy for
acute kidney injury in children: european guidelines. Pediatr
Nephrol. 2004;19(2):199–207.
4. Verrina E. Peritoneal dialysa. Dalam: Avner ED, Harmon WE,
Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric nephrology. Edisi
ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009. hlm.
1785–816.

649
GANGGUAN GINJAL AKUT
Batasan
Gangguan ginjal akut (GgGA) pada anak menggunakan kriteria
diagnosis Pediatric RIFLE (pRIFLE) yang didasarkan pada estimated
creatinine clearance (sesuai dengan laju filtrasi glomerulus pada anak
menggunakan rumus Schwartz) dan produksi urin

Gambar 54 Kriteria Diagnosis pRIFLE untuk Klasifikasi Gangguan


Ginjal Akut pada Anak

Manifestasi Klinis
Kondisi yang berhubungan dengan hipovolemia berat, seperti
muntah, diare, poliuria, asidosis tubular renalis, dan tubulopati kronik
Gejala yang mengarah pada penyakit ginjal dapat ditandai dengan
glomerulonefritis akut pascainfeksi streptokokus, sindrom hemo-litik
uremik, rapidly progressive glomerulonephritis yang terkait dengan
vaskulitis sistemik (lupus eritematosus sistemik, Henoch-Schonlein
purpura), hepatitis B, dan malaria, penyebab lain seperti obat-
obatan, bisa ular, dan gigitan serangga
Manifestasi klinis penyakit berat dengan faktor predisposisi
kegagalan multiorgan
Bayi baru lahir dengan oliguria atau anuria
Bayi dengan malformasi kongenital mayor seperti katup uretra
posterior, atau penyakit genetik seperti penyakit ginjal yang
diturunkan secara autosomal resesif, trombosis vena renalis bilateral

650
Diagnosis
Menentukan GgGA dengan menggunakan kriteria pRIFLE
Membedakan beberapa penyebab yang berbeda dengan meng-
gunakan metode noninvasif (urinalisis, pemeriksaan darah, dan
ultrasonografi ginjal)
Penentuan diagnosis awal suatu penyebab obstruktif dan penyebab
prerenal sangat penting sebagai penentu tatalaksana yang cepat
untuk mencegah timbulnya cedera ginjal
Urinalisis
Indeks Darah dan Urin (untuk membedakan GgGA renal dengan
prerenal)
a. Ekskresi natrium fraksional (bila memungkinkan):
FeNa = (natrium urin/plasma) × (kreatinin plasma/urin) × 100%
b. Ekskresi urea fraksional (bila memungkinkan):
FeUN = (urea urin/urea plasma) × (kreatinin plasma/urin) × 100%
Tabel 153 Perbedaan Indeks Darah dan Urin pada Anak dengan
Neonatus berdasarkan Penyebab GgGA
Penyebab Penyebab
Indeks Darah Urin Prerenal Intrinsik Renal
Anak Neonatus Anak Neonatus
Natrium urin (mmol/L) <20 <20 >40 >50
Osmolalitas urin (mOsm/kg) >500 >400 <350 <400
Urea urin/plasma >8 <3
Osmolalitas urin/plasma >1,15 >1,2 <1,1 <1,2
Kreatinin urin/plasma >40 <20
Ekskresi natrium fraksional <1 <2,5 >1 >2,5
(FeNa)
Ekskresi urea fraksional (FeUN) <35% >50%

Tes Laboratorium Lain


Darah lengkap
Apus darah tepi
Pemeriksaan kadar komplemen serum (C3 dan C4)
Anti-nuclear antibodies, antibodi sitoplasmik antineutrofil, dan
anti-glomerular basement membrane antibodies
Titer antistreptolisin O (ASTO)
Pencitraan
Ultrasonografi
Pemeriksaan radiologi lanjutan bila terindikasi dan memungkinkan:
Pencitraan radionukleosida
99m
Technetium 99m-diethylene triamine pentaacetic acid (99m Tc-
DTPA) dan Technetium 99m mercaptoacetyltriglycine( Tc-
MAG3)
651
99m
Tc-MAG3
CT-scan abdomen
Pemindaian yang kontras sebaiknya dihindari karena berisiko
terjadi nefropati kontras
Magnetic resonance urogram (MRU)
Biopsi Ginjal
Penanda Biologis (Biomarker)
Neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL)
Cystatin C
Interleukin-18 (IL-18)
Kidney injury molecule-1 (KIM-1)
Terapi
Penatalaksanaan GgGA dibagi dalam 2 jenis:
Terapi konservatif
Terapi dialisis
Terapi Konservatif
Tujuan terapi konservatif untuk mencegah progresivitas kelebihan
cairan, kelainan elektrolit dan asam basa, serta penanggulangan
gejala uremia
Tahap Antisipatif
Mengantisipasi keadaan penyakit yang mempunyai risiko menim-
bulkan penyulit GgGA, sehingga dapat melakukan penanggulangan
sedini-dininya. Keadaan tersebut antara lain:
Tidak ada diuresis 48 jam sesudah lahir pada neonatus
Terdapat gambaran obstruksi saluran kemih pada USG pranatal
Dehidrasi
Pemakaian obat nefrotoksik jangka panjang atau kemoterapi
Pascabedah kardiovaskular
Tahap GgGA Prarenal
Terapi cairan diberikan sesuai etiologi. Pada gastroentritis
dehidrasi diberi cairan Ringer laktat (RL) atau Darrow glukosa
sesuai protokol. Pada syok hemoragik diberi transfusi darah,
sedangkan bila penyebab hipovolemia karena hipoalbuminemia
pada sindrom nefrotik diberi infus albumin atau plasma. Bila
penyebabnya tidak jelas, diberi cairan RL 20 mL/kgBB dalam waktu
1 jam yang dapat diulang sampai keadaan sirkulasi baik atau
terjadi diuresis (biasanya diuresis terjadi sesudah 2–4 jam
pemberian cairan rehidrasi). Pada keadaan tertentu perlu dipasang
central venous pressure (CVP) untuk menentukan derajat
hipovolemia dan memantau hasil pengobatan cairan. CVP <5
berarti hipovolemia (CVP normal = 6–10 H2O)
Tahap GgGA Renal Awal (Insipien)
Pada tahap ini tidak responsif terhadap pemberian cairan
pengganti akan tetapi responsif pada pemberian diuretika. Ciri

652
tahap ini sudah terjadi rehidrasi tetapi masih tetap oliguria. Pada
tahap ini dapat dicoba pemberian terapi diuresis paksa (force
diuretic) dengan syarat tidak ada obstruksi saluran kemih (GgGA
pascarenal)
Obat yang dipakai:
1. Manitol 20% 0,5 g (= 2½ mL)/kgBB diinfus dalam 10–20 mnt,
hanya boleh 1 kali pemberian
2. Furosemid 1 mg/kgBB/kali; dinaikkan berganda tiap 6–8 jam
sampai 10 mg/kgBB/kali. Cara ini lebih disukai karena
mengurangi risiko overload cairan, tetapi perlu diingat
bahwa dosis tinggi furosemid dapat → efek samping tuli.
Tujuan terapi ini untuk mengubah keadaan GgGA oligurik
menjadi nonoligurik untuk memudahkan pemberian cairan
dan kalori. Selain furosemid dapat diberikan juga dopamin
dosis rendah yaitu 5 µg/kgBB/mnt untuk ↑ peredaran darah
ginjal
Tahap Pemeliharaan
Pada fase ini sudah terjadi GgGA renal. Tujuan penanggulangan
untuk menjaga homeostasis tubuh sambil menunggu fungsi ginjal
membaik bila penyebabnya sudah diobati atau terjadi perbaikan
spontan. Bila tidak berhasil atau timbul salah satu indikasi dialisis
maka terapi konservatif harus dilanjutkan dengan terapi dialisis.
Terapi pada tahap ini dilakukan dengan penghitungan balans
cairan sbb.: jumlah cairan yang diberikan = insensible water loss
(IWL) + jumlah urin 1 hr sebelumnya + cairan lain yang keluar
dengan muntah, feses, selang nasogastrik, dll. Pada setiap
kenaikan suhu 1 °C ditambah 12%. Balans cairan yang baik yaitu
bila BB/hr turun 0,1–0,2%. Penghitungan pemberian kalori dan
IWL dapat dilakukan berdasarkan caloric expenditure:
BB 1–10 kg : 100 kal/kgBB/hr
10–20 kg: 1.000 kal + 50 kal/kgBB/hr untuk BB >10 kg
>20 kg : 1.500 kal + 20 kal/kgBB/hr untuk BB >20 kg
IWL = 25 mL/100 kal
Secara praktis untuk IWL dapat dipakai perkiraan penghitungan
sbb.:
Neonatus = 50 mL/kgBB/hr
Bayi <1 th = 40 mL/kgBB/hr
Anak <5 th = 30 mL/kgBB/hr
Anak >5 th = 20 mL/kgBB/hr
Cairan dapat diberikan p.o. atau per infus atau setengah-setengah.
Pada penderita dengan overload cairan, pemberian jumlah cairan
perlu dikurangi sesuai dengan berat overhidrasi
Jenis cairan yang dipakai:
Bila anuria total hanya glukosa 10–20%
Pada oliguria diberi cairan glukosa-NaCl 3:1
Jumlah protein yang diberikan: 0,5–1 g/kgBB/hr
Terapi Suportif dan Simtomatik
Sirkulasi kurang baik: dopamin 5 µg/kgBB/mnt infus

653
Hiperkalemia: kayeksalat (cation exchange resin) 1 g/kgBB/rektal
atau oral 4 × sehari atau kalitake 3 × 2,5 g/hr
Ca glukonas 10% 0,5 mL/kgBB i.v. pelan-pelan 10–15 mnt
Natrium bikarbonat (7,5%) 2,5 mEq/kgBB i.v. dalam 10–15 mnt
Glukosa 0,5 g/kgBB + insulin 0,1 IU/kgBB per infus selama 30
mnt
Salbutamol 5 mg/kgBB i.v. atau nebulizer 2,5–5 mg
Hipokalsemia (tetani): Ca glukonas 10% 0,5 mL/kgBB i.v. pelan-
pelan, sambil dipantau kemungkinan bradikardia
Hiperfosfatemia diberi kalsium karbonat oral (pengikat fosfat) 50
mg/kgBB/hr
Asidosis: Na bikarbonat sesuai hasil AGD: ekses basa × BB × 0,3
mEq atau koreksi 2–3 mEq/kgBB tiap 12 jam atau 0,6 × BB × (12-
biknat serum)
Kejang: diazepam 0,3–0,5 mg/kgBB rektal/i.v. dengan dosis
rumatan luminal 4–8 mg/kgBB/hr atau fenilhidantoin 8 mg/kgBB
Hipertensi/kelebihan cairan: furosemid 1–2 mg/kgBB i.v. Bila perlu
dikombinasi dengan kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali diberi 2–3 kali/hr
Hiponatremia: kadar Na darah <120 mEg/L atau timbul gejala
serebral, dikoreksi dengan NaCl hipertonik 3% (0,5 mg/mL) dalam
1–4 jam. Na darah dinaikkan sampai 25 mEq/L: → 0,6 × BB × (25 −
Na darah)
Sepsis: antibiotik spektrum luas, sebaiknya yang tidak nefrotoksis
dengan modifikasi dosis
Edema paru: diberi furosemid 1 mg/kgBB disertai torniket dan
flebotomi, serta morfin 0,1 mg/kgBB
Hiperurikemia diberi alupurinol dengan dosis
Usia <8 th 100–200 mg/kgBB
Usia >8 th 200–300 mg/kgBB
Anemia: transfusi bila kadar Hb <6 g/dL atau Ht <20%, diberikan
packed red cell 10 mL/kgBB dengan tetesan lambat 10 tetes/mnt
selama 4–6 jam untuk mencegah kelebihan cairan
Tahap Penyembuhan/Poliuria
Berlangsung beberapa hr atau mgg
Pada penyakit yang ireversibel a.l. glomerulonefritis kresentik
tahap ini tidak pernah terjadi
Perlu pemantauan jumlah diuresis dan gangguan elektrolit. Bila
penanggulangan tidak adekuat dapat terjadi dehidrasi, hipo-
natremia, dan hipokalemia
Prognosis
Bergantung pada penyebab GgGA. Sekitar 75% kematian pada
penderita GgGA terjadi dalam 28 hr pertama perawatan di rumah
sakit. Pemantauan jangka panjang diperlukan pada semua anak
dengan GgGA karena terdapat risiko terjadinya penyakit ginjal kronik
yang disebabkan oleh gangguan fisiologi dan morfologi ginjal pada
GgGA. Sekitar 40–50% anak dengan GgGA akan berlanjut menjadi
penyakit ginjal kronik dalam 3–5 th

654
Bibliografi
1. Alatas H. Gagal ginjal akut. Dalam: Alatas H, Tambunan T,
Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak.
Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. hlm. 490–508.
2. Andreoli SP. Acute kidney injury in children. Pediatr Nephrol.
2009;24:253–63.
3. Chertow GW, Burdock E, Honour M, Bonventre JV, Bates DW.
Acute kidney injury, mortality, length of stay, and costs in
hospitalized patients. J Am Soc Nephrol. 2005;16:3365–70.
4. Flynn JT. Acute renal failure. Dalam: Kaplan BS, Meyers KEC,
penyunting. Pediatric nephrology and urology: the requisites in
pediatrics. Edisi ke-1. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2004. hlm.
241–9.
5. Goldstein SL. Pediatric acute kidney injury: it’s time for real
progress. Pediatri Nephrol. 2006;21:891–5.
6. Mak RH. Acute kidney injury in children: the dawn of a new era.
Pediatr Nephrol. 2008;23:2147–9.
7. Noer MS, Asmaningsih N, Prasetyo RV. Rekomendasi gangguan
ginjal akut. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2014.

655
GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCASTREPTOKOKUS
Manifestasi Klinis
Glomerulonefritis akut pascastreptokokus (GNAPS) lebih sering
terjadi pada anak usia 6–15 th dan jarang pada umur di bawah 2 th.
GNAPS didahului oleh infeksi streptokokus ß hemolitikus grup A
melalui infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit
melalui periode laten 1–2 mgg atau 3 mgg
GNAPS Simtomatik
Periode laten
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode
antara infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinis. Periode ini
berkisar 1–3 mgg; periode 1–2 mgg umumnya terjadi pada GNAPS
yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3 mgg didahului oleh
infeksi kulit/piodermi
Edema
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali
timbul, dan menghilang pada akhir mgg pertama. Edema paling
sering terjadi di daerah periorbital (edema palpebra), disusul
daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema
timbul di daerah perut (asites) dan genitalia eksterna (edema
skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik
Hematuria
Hematuria makroskopis terdapat pada 30–70% kasus GNAPS,
sedangkan hematuria mikroskopis dijumpai hampir pada semua
kasus. Suatu penelitian multisenter di Indonesia mendapatkan
hematuria makroskopis 46–100%, sedangkan hematuria
mikroskopis 84–100%
Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air
cucian daging atau kola. Hematuria makroskopis biasanya timbul
dalam mgg pertama dan berlangsung beberapa hr, tetapi dapat
pula berlangsung sampai beberapa mgg. Hematuria mikroskopis
dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu
6 bl
Hipertensi
Umumnya terjadi dalam mgg pertama dan menghilang ber-
samaan dengan menghilangnya gejala klinis yang lain. Pada
kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastol 80–
90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan
istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan
normal kembali. Adakalanya hipertensi berat menyebabkan
ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala
serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran ↓, dan
kejang-kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan
ensefalopati hipertensi 4–50%

656
Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat2
pada 5–10% kasus GNAPS
dengan produksi urin <350 mL/m LPB/hr. Oliguria terjadi bila
fungsi ginjal ↓ atau timbul GgGA (acute kidney injury/AKI). Seperti
ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam mgg
pertama dan menghilang bersamaan dengan timbul diuresis pada
akhir mgg pertama. Oliguria dapat pula menjadi anuria yang
menunjukkan kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis
yang jelek
Gejala Kardiovaskular
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan
sirkulasi yang terjadi pada 20–70% kasus GNAPS
Gejala-gejala Lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise,
letargi, dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan
jaringan subkutan akibat edema atau akibat hematuria
makroskopis yang berlangsung lama
Diagnosis
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi
pada umumnya kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
Gejala Klinis
Secara klinis diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full
blown case dengan gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria
yang merupakan gejala-gejala khas GNAPS
Untuk menunjang diagnosis klinis, dilakukan pemeriksaan
laboratorium berupa ASTO (↑) & C3 (↓) dan pemeriksaan lain
yang menunjukkan terdapat eritrosit cast, hematuria & proteinuria
Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan (+) untuk streptokokus ß
hemolitikus grup A
Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan kelainan sedimen
urin (hematuria mikroskopis), proteinuria dan terdapat epidemi/
kontak dengan penderita GNAPS
Diagnosis Banding
Banyak penyakit ginjal atau di luar ginjal yang memberikan gejala
seperti GNAPS
Penyakit Ginjal
Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya
sangat berbeda. Perlu dipikirkan penyakit ini bila pada
anamnesis terdapat penyakit ginjal sebelumnya dan periode
laten yang terlalu singkat, biasanya 1–3 hr. Selain itu, gangguan
pertumbuhan, anemia, dan ureum yang jelas ↑ waktu
timbulnya gejala-gejala nefritis dapat membantu diagnosis
penyakit tersebut

657
Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria
Penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis
herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de
Berger) dan hematuria rekuren benigna. Umumnya penyakit ini
tidak disertai edema atau hipertensi. Hematuria mikroskopis
yang terjadi biasanya berulang dan timbul bersamaan dengan
infeksi saluran respiratori tanpa periode laten atau pun kalau
ada berlangsung sangat singkat
Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)
RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan
dengan anak. Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS
terutama pada fase akut dengan terdapat oliguria atau anuria.
Titer ASO, AHase, AD Nase B ↑ pada GNAPS, sedangkan pada
RPGN biasanya normal. Komplemen C3 yang ↓ pada GNAPS,
jarang terjadi pada RPGN. Prognosis GNAPS umumnya baik,
sedangkan prognosis RPGN jelek dan penderita biasanya
meninggal karena gagal ginjal
Penyakit-penyakit Sistemik
Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah sindrom
Henoch-Schöenlein (SHS), lupus eritematosus sistemik (LES), dan
endokarditis bakterialis subakut (EBS). Ketiga penyakit ini dapat
menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti hema-
turia, proteinuria dan kelainan sediman urin yang lain, tetapi pada
apusan tenggorok (−) dan titer ASO normal. Pada SHS dapat
dijumpai purpura, nyeri abdomen, dan artralgia, sedangkan pada
GNAPS tidak ada gejala demikian. Pada LES terdapat kelainan kulit
dan sel LE (+) pada pemeriksaan darah, yang tidak ada pada
GNAPS, sedangkan pada EBS tidak terdapat edema, hipertensi,
atau oliguria. Biopsi ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan
GNAPS yang kelainan histologiknya bersifat difus, sedangkan
ketiga penyakit tersebut umumnya bersifat fokal
Penyakit-penyakit Infeksi
GNA dapat pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu
selain oleh Group A β-hemolytic streptococci. Beberapa
kepustakaan melaporkan gejala GNA yang timbul sesudah infeksi
virus morbili, parotitis, varisela, dan enteric cytopathic human
orphan (ECHO). Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan
melihat penyakit dasarnya
Terapi
Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai penyulit yang
biasanya timbul dalam mgg pertama perjalanan penyakit GNAPS
Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat,
diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan,
pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5–1 g/hr. Protein dibatasi
bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5–1 g/kgBB/hr.
658
Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada
penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk
harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan =
jumlah urin + insensible water loss (20–25 mL/kgBB/hr) + jumlah
keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10
mL/kgBB/hr). Setiap kenaikan suhu tubuh 1 °C ditambah 12%
Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering
dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan
hapusan tenggorok atau kulit (+) untuk streptokokus, sedangkan
pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan biakan (−)
belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan (−) dapat
terjadi oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk
rumah sakit atau akibat periode laten yang terlalu lama (>3 mgg).
Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk
eradikasi kuman, yaitu amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi dalam 3
dosis selama 10 hr. Jika terdapat alergi terhadap golongan
penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30 mg/kgBB/hr
Simtomatik
Bendungan sirkulasi
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah
pembatasan cairan, dengan kata lain asupan harus sesuai
dengan keluaran
Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada
hipertensi ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan
yang baik, tekanan darah dapat kembali normal dalam waktu 1
mgg. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa tanda-tanda
serebral dapat diberi kaptopril (0,3–2 mg/kgBB/hr) atau
furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut
di atas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi
nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25–0,5 mg/kgBB/hr
yang dapat diulangi setiap 30–60 mnt bila diperlukan. Pada
hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral
(ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002–0,006
mg/kgBB) yang dapat diulangi hingga 3× atau diazoksid 5
mg/kgBB/hr secara i.v. Kedua obat tersebut dapat digabung
dengan furosemid (1–3 mg/kgBB)
Gangguan ginjal akut (GgGA)
Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan
dan pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat.
Bila terjadi asidosis harus diberi natrium bikarbonat dan bila
terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau kayeksalat untuk
mengikat kalium
Prognosis
Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam 1–2 mgg bila tidak ada
penyulit, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease.
Walaupun sangat jarang, GNAPS dapat kambuh kembali
659
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase
akut yang berlangsung 1–2 mgg, kemudian disusul dengan
menghilangnya gejala laboratorik terutama hematuria mikroskopis
dan proteinuria dalam waktu 1–12 bl. Pada anak 85–95% kasus
GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50–75%
GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinis maupun secara
histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15–30%
kasus masuk ke dalam proses kronis, sedangkan pada anak 5–10%
kasus menjadi glomerulonefritis kronis. Walaupun prognosis GNAPS
baik, kematian dapat terjadi terutama dalam fase akut akibat GgGA
(AKI), edema paru akut, atau ensefalopati hipertensi
Bibliografi
1. Ahn SY, Ingulli E. Acute poststreptococcal glomerulonephritis: an
update. Curr Opin Pediatr. 2008;20(2):157–62.
2. Albar H, Rauf S. The profile of acute glomerulonephritis among
Indonesian children. Paediatr Indones. 2005;45(11–12):264–9.
3. Batsford SR, Mezzano S, Mihatsch M, Schiltz E, Rodriguez-Iturbe
B. Is the nephritogenic antigen in post-streptococcal glomerulo-
nephritis pyrogenic exotoxin in ß (SPEB) or GAPDH? Kidney
International. 2005;68:1120–9.
4. Bhimma R, Langman CB. Acute poststreptococcal
glomerulonephritis [diunduh 20 Januari 2011]. Tersedia dari:
http://emedicine.medscape.com/article/980685-overview.
5. Carapetis JR, Steer AC, Mulholland EK, Weber M. The global
burden of group A streptococcal diseases. Lancet Infect Dis.
2005;5(11):685–94.
6. Iturbe BR, Mezzano S. Acute post infectious glomerulonephritis.
Dalam: Avner ED, Hormon WE, Niaudet P, Yoshikawa N,
penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-6. Berlin Heidelberg:
Springer-Verlag; 2008. hlm. 743–55.
7. Manhan RS, Patwari A, Raina C, Singh A. Acute nephritis in
Kashmiri children—a clinical and epidemiological profile. Indian
Pediatr. 1979;16(11):1015–21.
8. Papanagnou D, Kwon NS. Acute Glomerulonephritis [diunduh 13
Desember 2010]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/
article/777272-overview.
9. Parra G, Platt JL, Falk RJ, Rodriguez-Iturbe B, Michael AF. Cell
populations and membrane attack complex in poststreptococcal
glomerulonephritis: identification using monoclonal antibodies by
indirect fluorescence. Clin Immunol Immunopathol. 1984;33(3):
324–32.
10. Parra G. Romero M, Henriquez-La Roche C, Pineda L, Rodriguez-
Iturbe B. Expression of adhesion molecules in poststreptococcal
glomerulonephritis. Nephrol Dial Transplant. 1994;9(10):1412–7.
11. Rivera F, Anaya S, Perez–Alvarez J, de la Nieta MD, Vozmediano
MC, Blanco J. Henoch–Schonlein nephritis associated with
streptococcal infection and persistent hypocomplementemia: a
case report. J Med Case Rep. 2010;4(1):50.

660
12. Yoshizawa N, Yamakami K, Fujino M, Oda T, Tamura K,
Matsumoto K, dkk. Nephritis-associated plasmin receptor and
acute poststreptococcal glomerulonephritis characterization of
the antigen and associated immune response. J A Soc Nephrol.
2004;15(7):1785–93.

661
HIPERTENSI
Manifestasi Klinis
Pada anak umumnya tanpa gejala. Pada keadaan tertentu dapat
berupa nyeri kepala yang tidak diketahui sebabnya, pusing,
penglihatan yang tiba-tiba kabur, nyeri perut, mual, muntah, kurang
nafsu makan, gelisah, BB ↓, sesak napas, nyeri dada, keringat
berlebihan, serta gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Pada
neonatus gambaran klinis hipertensi sangat bervariasi dan tidak
spesifik yaitu kesulitan/gangguan minum, napas cepat, henti napas,
letargis, iritabel, gagal tumbuh, atau pun kejang. Pada neonatus
dengan hipertensi berat gambaran klinis dapat berupa gagal jantung
kongestif, gangguan ginjal, atau retinopati hipertensi
Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis yang teliti perlu dilakukan untuk mendeteksi penyebab
dasar serta kerusakan organ target. Hal ini dapat menghindarkan
pemeriksaan laboratorium dan radiologis yang tidak perlu dan
mahal
Pemeriksaan Fisis
Tekanan darah sebaiknya diukur menggunakan sfigmomanometer
air raksa, sedangkan sfigmomanometer aneroid memiliki
kelemahan yaitu memerlukan kalibrasi secara berkala. Osilometrik
automatis merupakan alat pengukur tekanan darah yang sangat
baik untuk bayi dan anak kecil, karena saat istirahat teknik
auskultasi sulit dilakukan pada kelompok usia ini. Sayangnya alat
ini harganya mahal dan memerlukan pemeliharaan serta kalibrasi
berkala
Panjang cuff manset harus melingkupi min. 80% lingkar lengan
atas, sedangkan lebar cuff harus >40% lingkar lengan atas (jarak
antara akromion dan olekranon). Ukuran cuff yang terlalu besar
akan menghasilkan nilai tekanan darah yang lebih rendah,
sedangkan ukuran cuff yang terlalu kecil akan menghasilkan nilai
tekanan darah yang lebih tinggi
Tekanan darah sebaiknya diukur sesudah istirahat selama 3–5 mnt,
suasana sekitarnya dalam keadaan tenang. Anak diukur dalam
posisi duduk dengan lengan kanan diletakkan sejajar jantung,
sedangkan bayi diukur dalam keadaan telentang. Jika tekanan
darah menunjukkan angka di atas persentil ke-90, tekanan harus
diulang 2× pada kunjungan yang sama untuk menguji kesahihan
hasil pengukuran
Teknik pengukuran tekanan darah dengan ambulatory blood
pressure monitoring (ABPM) menggunakan alat monitor portable
dapat mencatat nilai tekanan darah selama selang waktu tertentu.
ABPM biasanya digunakan pada keadaan hipertensi episodik, gagal
ginjal kronik, anak remaja dengan hipertensi yang meragukan, dan
menentukan dugaan kerusakan organ target karena hipertensi.

662
Tekanan darah sistol ditentukan saat mulai terdengarnya bunyi
Korotkoff ke-1. Tekanan darah diastol sesungguhnya terletak
antara mulai mengecil sampai menghilangnya bunyi Korotkoff.
Teknik palpasi berguna untuk mengukur tekanan darah sistol
secara cepat, meskipun nilai tekanan darah palpasi biasanya
sekitar 10 mmHg lebih rendah dibandingkan dengan auskultasi.
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis dan mendeteksi penyebab hipertensi
pada anak, perlu dilakukan pemeriksan penunjang seperti terlihat
pada Tabel 154
Tabel 154 Evaluasi yang Harus Dilakukan pada Anak yang
Menderita Hipertensi
Tingkat Evaluasi yang Dinilai
I (evaluasi awal) Darah lengkap, elektrolit serum, asam
urat, uji fungsi ginjal, lemak darah,
urinalisis, kultur, USG
II (tambahan bila Ekokardiografi, sidik nuklir (DMSA, DTPA),
perlu) USG dopler pada arteri ginjal, T3, T4,
TSH serum, katekolamin urin,
aldosteron plasma, aktivitas renin
plasma, arteriografi ginjal

Klasifikasi
Untuk memudahkan pengobatan dan memperkirakan prognosis,
maka hipertensi pada anak diklasifikasikan seperti pada Tabel 155
Tabel 155 Klasifikasi Hipertensi pada Anak Usia ≥1 Tahun dan
Remaja
Klasifikasi Batasan
Tekanan darah normal Sistol dan diastol <persentil ke-90
Prehipertensi Sistol atau diastol ≥persentil ke-90
tetapi <persentil ke-95
Hipertensi Sistol atau diastol ≥persentil ke-95
Hipertensi tingkat 1 Sistol dan diastol antara presentil ke-95
dan 99 ditambah 5 mmHg
Hipertensi tingkat 2 Sistolik atau diastol di atas persentil
ke-99 ditambah 5 mmHg

Terapi
Sebagian besar bayi yang menderita hipertensi tidak memerlukan
pengobatan sampai usia 6 bl. Di bawah ini dicantumkan beberapa
keadaan hipertensi pada anak yang merupakan indikasi dimulainya
pemberian obat antihipertensi:

663
1. Hipertensi simtomatik
2. Kerusakan organ target, seperti retinopati, hipertrofi ventrikel
kiri, dan proteinuria
3. Hipertensi sekunder
4. Diabetes melitus
5. Hipertensi tingkat 1 yang tidak menunjukkan respons dengan
perubahan gaya hidup
6. Hipertensi tingkat 2
Obat-obat antihipertensi yang digunakan pada anak dan remaja
dapat dilihat pada Tabel 156

664
Tabel 156 Obat Antihipertensi yang Digunakan pada Anak dan Remaja

Golongan Obat Jenis Obat Dosis dan Interval Efek Samping


Angiotensin converting Kaptopril 0,3–0,5 mg/kgBB/kali Kontraindikasi pada ibu hamil
enzyme inhibitor (ACEi) (maks. 6 mg/kgBB/hr) Perlu pemeriksaan kreatinin dan
Enalapril 0,08 mg/kgBB/hr sampai 5 mg/hr kalium serum
Benazepril 0,2 mg/kgBB/hr sampai 10 mg/hr Dapat dibuat suspensi
(maks. 0,6 mg/kgBB/hr sampai Hati-hati pemakaian pada penyakit
40 mg/hr) ginjal dengan proteinuria dan
diabetes melitus
Lisinopril 0,07 mg/kgBB/hr sampai 40 mg/hr
Fosinopril Anak >50 kg dosis 5–10 mg/hr
665

(maks. 40 mg/hr)
Quinapril 5–10 mg/hr (maks. 80 mg/hr)
Prognosis
Beberapa keadaan hipertensi dapat membaik dalam waktu singkat,
sedangkan yang lain memerlukan pengobatan jangka panjang. Bila
tekanan darah terkontrol dan tidak terdapat kerusakan organ, maka
obat dapat diturunkan secara bertahap, kemudian dihentikan dengan
pengawasan yang ketat sesudah penyebabnya diperbaiki. Tekanan
darah harus dipantau secara ketat dan berkala karena banyak
penderita akan kembali mengalami hipertensi di masa yang akan
datang
Bibliografi
1. Bartosh SM, Aronson AJ. Childhood hypertension. An update on
etiology, diagnosis and treatment. Pediatr Clin Nort Am. 1999;
46:235–53.
2. Flyinn JT. Neonatal hypertension. J Med Liban. 2010;58(3):149–55.
3. Flynn JT. Differentiation between primary and secondary
hipertension in children using ambulatory blood pressure
monitoring. Pediatrics. 2002;110:89–93.
4. Flynn JT. Evaluation and management of hypertension in
childhood. Prog Pediatr Cardiol. 2001;12:177–88.
5. Kiessling SG. An Unusual case of severe therapy-resistant
hypertension in a newborn. Pediatrics. 2007;119:e301.
6. Moura A. Prevalence of high blood pressure in children and
adolescents from the city of Maceió, Brazil. J Pediatr (Rio J).
2004;80(1):35–40.
7. Norwood VF. Hypertension. Pediatr Rev. 2002;23;197–208.
8. Seliem WA. Antenatal and postnatal risk factors for neonatal
hypertension and infant follow-up. Pediatr Nephrol. 2007;22(12):
2081–7.
9. Sorof JM, Lai D, Turner J, Poffenberg T, Portman PJ. Overweight,
ethnicity and the prevalence of hypertension in school-aged
children. Pediatrics. 2004;113:475–82.
10. The sixth report of joint national committee on prevention
detection, evaluation and treatment of high blood pressure. Arch
Intern Med. 1997;157:2413–46.
11. Turi S, Friedman AL. Neonatal hypertension [diunduh Juli 2011].
Tersedia dari: http://content.karger.com/ProdukteDB/Katalogteile/
isbn3_8055/_85/_39/papn_03.pdf.
12. Watkinson M. Hypertension in the newborn baby. Arch Dis Child
Fetal Neonatal Ed. 2002;86(2):F78–81.

666
INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)
Epidemiologi
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi
yang sering pada anak selain infeksi saluran respiratori atas dan
diare. ISK perlu mendapat perhatian para dokter maupun orangtua
karena berbagai alasan, antara lain ISK sering sebagai tanda kelainan
pada ginjal dan saluran kemih yang serius seperti refluks vesiko-
ureter (RVU) atau uropati obstruktif. ISK merupakan salah satu
penyebab utama gagal ginjal terminal

Batasan
ISK bagian bawah: infeksi vesika urinaria (sistitis) dan uretra. Batas
atas dan bawah: vesicoureteric valve
ISK simpleks : ada infeksi tetapi tanpa penyulit anatomik
maupun fungsional saluran kemih
ISK kompleks : jika disertai dengan kelainan anatomik maupun
fungsional
Manifestasi klinis
Gejala klinis ISK pada anak sangat bervariasi ditentukan oleh
intensitas reaksi peradangan, letak infeksi (ISK atas dan ISK bawah),
dan usia penderita. Sebagian ISK pada anak merupakan ISK
asimtomatik umumnya ditemukan pada anak usia sekolah, terutama
anak perempuan dan biasanya ditemukan pada uji tapis (screening
program). ISK asimtomatik umumnya tidak berlanjut menjadi
pielonefritis dan memiliki prognosis jangka panjang baik
Pada masa neonatus, gejala klinis tidak spesifik dapat berupa apati,
anoreksia, ikterus atau kolestatis, muntah, diare, demam,
hipotermia, tidak mau minum, oliguria, iritabel, atau distensi
abdomen. Suhu ↑ tidak begitu tinggi dan sering tidak terdeteksi.
Kadang-kadang gejala klinis hanya berupa apati dan warna kulit
keabu-abuan (grayish colour)
Pada bayi gejala klinis dapat berupa demam, BB ↓, gagal tumbuh,
nafsu makan ↓, cengeng, kolik, muntah, diare, ikterus, dan distensi
abdomen. Pada palpasi ginjal anak merasa kesakitan
Pada usia lebih besar yaitu sampai 4 th, dapat terjadi demam yang
tinggi hingga → kejang, muntah, dan diare bahkan dapat timbul
dehidrasi. Pada anak besar gejala klinis umum biasanya lebih ringan,
mulai tampak gejala klinis lokal saluran kemih berupa polakisuria,
disuria, urgency, frequency, dan mengompol
Pada pielonefritis dapat dijumpai demam tinggi disertai menggigil,
gejala saluran cerna seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah
pada umumnya masih normal, dapat ditemukan nyeri pinggang.
Gejala neurologis dapat berupa iritabel dan kejang. Nefritis bakterial
fokal akut adalah salah satu bentuk pielonefritis yang merupakan
nefritis bakterial interstitial yang dulu dikenal sebagai nefropenia
lobar
Pada sistitis, demam jarang melebihi 38 °C, biasanya ditandai dengan
nyeri pada perut bagian bawah, serta gangguan berkemih berupa

667
frekuensi, nyeri waktu berkemih, rasa tidak nyaman di daerah
suprapubik, urgensi, kesulitan berkemih, retensi urin, dan enuresis

Diagnosis
Anamnesis
ISK serangan pertama umumnya menunjukkan gejala klinis yang
lebih jelas dibandingkan dengan infeksi berikutnya. Gangguan
kemampuan mengontrol kandung kemih, pola berkemih, dan
aliran urin dapat sebagai petunjuk untuk menentukan diagnosis.
Demam merupakan gejala dan tanda klinis yang sering serta
kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala ISK pada anak
Pemeriksaan Fisis
Tanda vital
Pengukuran antropometrik
Abdomen: massa +/−
Tulang belakang: spina bifida +/−
Genitalia eksterna: fimosis +/−, hipospadia +/−, epispadia +/−,
sinekie +/−
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Urinalisis
Urinalisis meliputi leukosit, nitrit, leukosit esterase, protein,
dan darah. Leukosituria tidak dipakai sebagai patokan ada
tidaknya ISK. Leukosituria biasanya ditemukan pada anak ISK
(80–90%) pada setiap episode ISK simtomatik, tetapi tidak
terdapat leukosituria tidak menyingkirkan ISK. Leukosituria
dengan biakan urin steril perlu dipertimbangkan pada infeksi
kuman Proteus spp., Klamidia spp., dan Ureaplasma
urealitikum
Pemeriksaan dengan stik urin dapat mendeteksi leukosit
esterase, enzim yang terdapat di dalam lekosit neutrofil, yang
menggambarkan banyaknya leukosit dalam urin
Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap
bakteri dalam urin. Dalam keadaan normal, nitrit tidak
terdapat dalam urin tetapi dapat ditemukan jika nitrat diubah
menjadi nitrit oleh bakteri. Urin dengan berat jenis yang
tinggi ↓ sensitivitas uji nitrit
Neutrophil gelatinase associated lipocalin urin (uNGAL) dan
rasio uNGAL dengan kreatinin urin (uNGAL/Cr) merupakan
petanda ISK. uNGAL ↑ dan rasio uNGAL/Cr >30 ng/mg
merupakan tanda ISK
Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged urine),
terdapatnya kuman pada setiap lapangan pandangan besar
(LPB) kira-kira setara dengan hasil biakan 10 cfu/mL urin,
sedangkan pada urin yang dipusing, terdapatnya kuman pada
setiap LPB pemeriksaan
5
mikroskopis menandakan jumlah
kuman lebih dari 10 cfu/mL urin. Jika dengan mikroskop fase
kontras tidak terlihat kuman, umumnya urin steril

668
Anti-coated bacteri (ACB) dalam urin yang diperiksa dengan
menggunakan fluorescein-labeled anti-immunoglobulin meru-
pakan tanda pielonefritis pada remaja dan dewasa muda,
namun tidak mampu pada anak

Darah
Sebagian besar pemeriksaan darah tidak spesifik. Leuko-
sitosis, nilai absolut neutrofil ↑, laju endap darah (LED) ↑, C-
reactive protein (CRP) yang (+) merupakan indikator
nonspesifk ISK atas. Kadar prokalsitonin yang tinggi dapat
digunakan sebagai prediktor yang valid untuk pielonefritis
akut pada anak dengan ISK febris (febrile urinary tract
infection) dan skar ginjal

Biakan urin
Cara pengambilan spesimen urin
Pengambilan sampel urin untuk biakan urin dapat
dilakukan dengan cara aspirasi suprapubik, kateter urin,
pancar tengah (midstream), dan menggunakan urine
collector. Cara terbaik untuk menghindari kemungkinan
kontaminasi dengan aspirasi suprapubik
Pengiriman bahan biakan ke laboratorium perlu mendapat
perhatian karena bila sampel biakan urin dibiarkan pada
suhu kamar lebih dari ½ jam, maka kuman dapat membiak
dengan cepat sehingga memberikan hasil biakan (+) palsu.
Jika urin tidak langsung dikultur dan memerlukan waktu
lama, sampel urin harus dikirim dalam termos es atau
disimpan di dalam lemari es. Urin dapat disimpan dalam
lemari es pada suhu 4 °C selama 48–72 jam sebelum
dibiakkan
Interpretasi biakan urin
Bakteriuria bermakna jika ditemukan kuman dengan
jumlah berapa pun. Pada pengumpulan sampel urin
dengan kateter urin dan urin pancar tengah, jumlah kuman
≥105 cfu/mL urin dikatakan bakteriuria bermakna

Terapi
Tatalaksana ISK didasarkan pada usia penderita, lokasi infeksi, gejala
klinis, dan ada tidaknya kelainan yang menyertai ISK. Sistitis dan
pielonefritis memerlukan pengobatan yang berbeda. Sebelum
pemberian antibiotik, terlebih dahulu diambil sampel urin untuk
pemeriksaan biakan urin dan resistensi antimikrob. Penanganan ISK
pada anak yang dilakukan lebih awal dan tepat dapat mencegah
kerusakan ginjal lebih lanjut
Secara garis besar tatalaksana ISK terdiri atas: 1. Eradikasi infeksi
akut, 2. Deteksi dan tatalaksana kelainan anatomi dan fungsional
pada ginjal dan saluran kemih, dan 3. Deteksi dan mencegah infeksi
berulang

669
Eradikasi Infeksi Akut
Tujuan untuk mengatasi keadaan akut, mencegah urosepsis, dan
kerusakan parenkim ginjal. Jika seorang anak dicurigai ISK,
diberikan antibiotik dengan kemungkinan yang paling sesuai
sambil menunggu hasil biakan urin. Terapi selanjutnya disesuaikan
dengan hasil biakan urin. Pemilihan antibiotik harus didasarkan
pada pola resistensi kuman setempat atau lokal, bila tidak ada
dapat digunakan profil kepekaan kuman yang terdapat dalam
literatur. Umumnya hasil pengobatan sudah tampak dalam 48–72
jam pengobatan. Bila dalam waktu tersebut respons klinis belum
terlihat mungkin antibiotik yang diberikan tidak sesuai atau
mungkin yang dihadapi adalah ISK kompleks, sehingga antibiotik
dapat diganti. Selain pemberian antibiotik, dianjurkan untuk ↑
asupan cairan
Biasanya untuk pengobatan ISK simpleks diberikan antibiotik p.o.
selama 7 hr
NICE merekomendasikan penanganan ISK fase akut sbb.:
Bayi <3 bl dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke
dokter spesialis anak, pengobatan harus dengan antibiotik
parenteral
Bayi ≥3 bl dengan pielonefritis akut/ISK atas:
Pertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis anak
Terapi dengan antibiotik oral 7–10 hr, dengan antibiotik yang
resistensinya masih rendah berdasarkan pola resistensi
kuman seperti sefalosporin atau koamoksiklav
Jika antibiotik oral tidak dapat digunakan, terapi antibiotik
parenteral seperti sefotaksim atau seftriakson selama 2–4 hr
dilanjutkan antibiotik oral hingga total lama pemberian 10 hr
Bayi ≥3 bl dengan sistitis/ISK bawah:
Berikan antibiotik oral selama 3 hr berdasarkan pola
resistensi kuman setempat. Bila tidak ada hasil pola resistensi
kuman, dapat diberikan trimetroprim, sefalosporin, atau
amoksisilin
Bila dalam 24–48 jam belum ada perbaikan klinis harus dinilai
kembali, dilakukan pemeriksaan kultur urin untuk melihat
pertumbuhan bakteri dan kepekaan terhadap obat
Berbagai antibiotik dapat digunakan untuk pengobatan ISK, baik
antibiotik yang diberikan secara oral maupun parenteral seperti
terlihat pada Tabel 157 dan 158

670
Tabel 157 Pilihan Antimikrob Oral pada Infeksi Saluran Kemih
Jenis Antibiotik Dosis per Hari
Amoksisilin 20–40 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis
Sulfonamid
Trimetroprim (TMP)– 6–12 mg TMP dan 30–60 mg SMX/kgBB
sulfametoksazol dibagi dalam 2 dosis
(SMX)
Sulfisoksazol 120–150 mg/kgBB dibagi dalam 4 dosis
Sefalosporin:
Sefiksim 8 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis
Sefpodiksim 10 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis
Sefprozil 30 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis
Sefaleksin 50–100 mg/kgBB dibagi dalam 4 dosis
Lorakarbef 15–30 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis

Tabel 158 Pilihan Antimikrob Parenteral pada Infeksi Saluran Kemih


Jenis Antibiotik Dosis per Hari (mg/kgBB)
Seftriakson 75
Sefotaksim 150 dibagi setiap 6 jam
Seftazidim 150 dibagi setiap 6 jam
Sefazolin 50 dibagi setiap 8 jam
Gentamisin 7,5 dibagi setiap 6 jam
Amikasin 15 dibagi setiap 12 jam
Tobramisin 5 dibagi setiap 8 jam
Tikarsilin 300 dibagi setiap 6 jam
Ampisilin 100 dibagi setiap 6 jam

Pengobatan sistitis akut


Anak sistitis diobati antibiotik p.o. dan umumnya tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit, tetapi bila gejala klinis
cukup berat misalnya rasa sakit yang hebat, toksik, muntah, dan
dehidrasi anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi
pengobatan parenteral hingga gejala klinis membaik. Lama
pengobatan umumnya 5–7 hr
Untuk sistitis akut, direkomendasikan pemberian antibiotik oral
seperti trimetoprim-sulfametoksazol, nitrofurantoin, amoksisilin,
amoksisilin-klavulanat, sefaleksin, dan sefiksim. Golongan
sefalosporin sebaiknya tidak diberikan untuk menghindari
resistensi kuman dan dicadangkan untuk terapi pielonefritis.
Menurut Garin dkk. (2007), pemberian sefiksim pada sistitis
akut terlalu berlebihan. ISK simpleks umumnya memberikan
respons yang baik dengan amoksisilin, sulfonamid, trimetoprim-
sulfametoksazol, atau sefalosporin.
Pengobatan pielonefritis
Para ahli sepakat bahwa antibiotik untuk pielonefritis akut harus
mempunyai penetrasi yang baik ke dalam jaringan karena
671
pielonefritis akut merupakan nefritis interstitialis. Belum ada
penelitian tentang lamanya pemberian antibiotik pada
pielonefritis akut, tetapi umumnya antibiotik diberikan selama
7–10 hr, meskipun ada yang menuliskan 7–14 hr atau 10–14 hr.
Antibiotik parenteral selama 7–14 hr sangat efektif dalam
mengatasi infeksi pada pielonefritis akut, tetapi lamanya
pemberian parenteral menimbulkan berbagai permasalahan
seperti masalah kesulitan teknik pemberian obat, penderita
memerlukan perawatan, biaya pengobatan yang relatif mahal,
dan ketidaknyamanan bagi penderita dan orangtua, sehingga
dipikirkan untuk mempersingkat pemberian parenteral dan
diganti dengan pemberian oral. Biasanya perbaikan klinis sudah
terlihat dalam 24–48 jam pemberian antibiotik parenteral.
sehingga sesudah perbaikan klinis, antibiotik dilanjutkan dengan
pemberian antibiotik p.o. sampai 7–14 hr pengobatan
Secara teoretis pemberian antibiotik yang lebih singkat pada
anak mempunyai keuntungan antara lain efek samping obat
lebih sedikit dan kemungkinan terjadinya resistensi kuman
terhadap obat lebih sedikit. Pada kebanyakan kasus, antibiotik
parenteral dapat dilanjutkan dengan oral sesudah 5 hr
pengobatan bila respons klinis terlihat dengan nyata atau
setidak-tidaknya demam sudah turun dalam 48 jam pertama.
Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pengobatan 14 hr lebih
efektif atau dapat mengurangi risiko kekambuhan. Dianjurkan
pemberian profilaksis antibiotik sesudah pengobatan fase akut
sambil menunggu hasil pemeriksaan pencitraan. Bila ternyata
kasus yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks (terdapat
refluks atau obstruksi) maka pengobatan profilaksis dapat
dilanjutkan lebih lama.
Berbagai penelitian untuk membandingkan pemberian
antibiotik parenteral dengan antibiotik p.o. sudah dilakukan.
Hoberman dkk. melakukan penelitian multisenter, uji klinis
tersamar (randomized clinical trial) pada 306 anak dengan ISK
dan demam, yang diterapi dengan sefiksim oral dan
dibandingkan dengan sefotaksim selama 3 hr yang dilanjutkan
dengan sefiksim p.o. sampai 14 hr, dan hasil pengobatan tidak
berbeda bermakna. Disimpulkan bahwa sefiksim p.o. dapat
direkomendasikan sebagai terapi yang aman dan efektif pada
anak yang menderita ISK dengan demam. Montini dkk.
melaporkan penelitian pada 502 anak dengan diagnosis
pielonefritis akut, yang diterapi dengan antibiotik koamoksiklav
p.o. (50 mg/kgBB/hr dalam 3 dosis) selama 10 hr dibandingkan
dengan seftriakson parenteral (50 mg/kgBB/hr dosis tunggal)
selama 3 hr, dilanjutkan dengan pemberian koamoksiklav p.o.
(50 mg/kgBB/hr dalam 3 dosis) selama 7 hr. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada pielonefritis akut, efektivitas
antibiotik parenteral selama 10 hr sama dengan antibiotik
parenteral yang dilanjutkan dengan pemberian p.o.

672
Pemberian profilaksis
Antimikrob profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka
lama sudah digunakan secara tradisional terhadap penderita
yang rentan terhadap berulangnya pielonefritis akut atau ISK
bawah. Terapi profilaksis tersebut sering diberikan pada anak
risiko tinggi seperti refluks vesiko-ureter, uropati obstruktif, dan
berbagai kondisi risiko tinggi lainnya.
Antibiotik profilaksis bertujuan untuk mencegah infeksi
berulang dan mencegah terjadinya parut ginjal. Berbagai
penelitian sudah membuktikan efektivitas antibiotik profilaksis
menurunkan risiko terjadinya ISK berulang pada anak, dan
kurang dari 50% yang mengalami infeksi berulang selama
pengamatan 5 th. Antibiotik profilaksis dimaksudkan untuk
mencapai konsentrasi antibiotik yang tinggi dalam urin tetapi
dengan efek yang minimal terhadap flora normal dalam tubuh.
Beberapa antibiotik dapat digunakan sebagai profilaksis
Pemberian profilaksis menjadi masalah karena beberapa hal
antara lain kepatuhan yang kurang, resistensi kuman yang
meningkat, timbulnya reaksi simpang (gangguan saluran cerna,
skin rashes, hepatotoksik, kelainan hematologi, sindrom
Stevens-Johnson), dan tidak nyaman untuk penderita
Beberapa penelitian akhir-akhir ini menyatakan bahwa pada
RVU derajat rendah, tidak terdapat perbedaan bermakna risiko
terjadi ISK pada kelompok yang mendapat antibiotik profilaksis
dengan yang tidak diobati. Dengan demikian, antibiotik
profilaksis tidak perlu diberikan pada RVU derajat rendah
The International VUR Study of Children melakukan penelitian
untuk membandingkan efektivitas pemberian antibiotik
profilaksis jangka lama dengan tindakan operasi pada anak
dengan RVU derajat tinggi untuk mencegah penurunan fungsi
ginjal. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
pada kedua kelompok tersebut dalam hal terjadinya parut ginjal
dan penyulitnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
antibiotik profilaksis pada RVU derajat tinggi ternyata efektif
Montini dan Hewitt (2009) melakukan review terhadap berbagai
penelitan tentang pemberian antibiotik profilaksis dan
membuat beberapa simpulan, meskipun masih banyak hal-hal
yang belum dapat disimpulkan
Antibiotik profilaksis tidak terindikasi pada ISK demam yang
pertama kali (first febrile UTI) yang tidak disertai RVU atau
hanya RVU derajat I dan II. Ada 3 alasan terhadap simpulan ini
yaitu:
1. Penelitian metaanalisis menunjukkan tidak ada keuntungan
pemberian antibiotik profilaksis
2. Terdapat risiko meningkatnya resistensi bakteri
3. Frekuensi terjadinya reinfeksi rendah
Untuk refluks derajat tinggi tidak dapat diambil kesimpulan yang
jelas dengan alasan:
Persentase reinfeksi lebih tinggi pada RVU derajat III
dibandingkan dengan derajat 0, I, dan II

673
Penelitian metaanalisis membuktikan bahwa dengan antibiotik
profilaksis tidak terdapat keuntungan yang bermakna pada
kelompok ini, tetapi jumlah penderita yang diikutkan dalam
penelitian tersebut tidak mencukupi
NICE (2007) merekomendasikan bahwa antibotik profilaksis
tidak rutin diberikan kepada bayi dan anak yang mengalami ISK
untuk pertama kali. Antibiotik profilaksis dipertimbangkan pada
bayi dan anak dengan ISK rekurens. Selain itu direkomendasikan
juga bahwa jika bayi dan anak yang mendapat antiboitik
profilaksis mengalami reinfeksi, maka infeksi diterapi dengan
antibiotik yang berbeda dan tidak dengan menaikkan dosis
antibiotik profilaksis tersebut
Belum diketahui berapa lama jangka waktu optimum pemberian
antibiotik profilaksis. Ada yang mengusulkan antibiotik
profilaksis diberikan selama RVU masih ada dan yang lain
mengusulkan pemberian yang lebih singkat. Pada ISK kompleks
pemberian profilaksis dapat berlangsung 3–4 bl. Bila ternyata
kasus yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks (terdapat
refluks atau obstruksi), maka pemberian profilaksis dapat
dilanjutkan lebih lama

Tabel 159 Antibiotik yang Digunakan untuk Profilaksis


Jenis Antibiotik Dosis per Hari (mg/kgBB)
Trimetoprim 1–2
Kotrimoksazol 1–2
Sulfametoksazol 5–10
Sulfisoksazol 5–10
Sefaleksin 10–15
Nitrofurantoin 1
Asam nalidiksat 15–20
Sefaklor 15–17
Sefiksim 1–2
Sefadroksil 3–5
Siprofloksasin 1

Selain antibiotik dilaporkan penggunaan probiotik sebagai


profilaksis yaitu Lactobacillus rhamnosus dan Lactobacillus
reuteri (L. fermentum); serta cranberry juice
Indikasi rawat
ISK yang memerlukan tindakan rawat inap antara lain ISK pada
neonatus hingga usia 4 bl, pielonefritis akut, ISK dengan penyulit
seperti gagal ginjal, hipertensi, ISK disertai sepsis atau syok, ISK
dengan gejala klinis yang berat (rasa sakit yang hebat, toksik,
kesulitan asupan oral, muntah dan dehidrasi), ISK dengan
kelainan urologi yang kompleks, ISK dengan organisme penyebab

674
yang resisten terhadap antibiotik oral, ISK yang disertai masalah
psikologis seperti orangtua yang tidak mampu merawat anak

Prognosis
ISK dapat menyebabkan GgGA, bakteremia, sepsis, dan meningitis.
Penyulit ISK jangka yaitu parut ginjal, hipertensi, gagal ginjal, penyulit
pada masa kehamilan seperti preeklamsi. Parut ginjal terjadi pada
8–40% penderita sesudah mengalami episode pielonefritis akut.
Faktor risiko terjadinya parut ginjal antara lain usia muda,
keterlambatan pemberian antibiotik dalam tatalaksana ISK, infeksi
berulang, RVU, dan obstruksi saluran kemih

Bibliografi
1. Farmaki E, Papachristou F, Winn RM, Karatzas N, Sotiriou J,
Roilides E. Transforming growth factor-1 in the uribe of young
children with urinary tract infection. Pediatr Nephrol. 2005;29:
180–3.
2. Garin EH, Olavarria F, Araya C, Broussain M, Barrera C, Young L.
Diagnostic significance of clinical and laboratory findings to
localize site of urinary infection. Pediatr Nephrol. 2007;22:1002–
6.
3. Kanellopoulos TA, Salakos C, Spiliopoulou I, Ellina A,
Nikolakopoulou NM, Papanastasiou DM. First urinary tract
infection in neonate, infants, and young children: a comparative
study. Pediatr Nephrol. 2006;21;1131–7.
4. Keren R, Chan E. A meta-analysis of randomized, controlled trials
comparing short- and long-course antibiotic therapy for urinary
tract infections in children. Pediatrics. 2002;109:25–8.
5. Lambert H, Coultard M. The child with urinary tract infection.
Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, penyunting. Clinical
paediatric nephrology. Edisi ke-3. Oxford: Oxford University
Press; 2003. hlm. 197–225.
6. Montini G, Hewitt I. Urinary tract infections: to prophylaxis or
not to prophylaxis. Pediatr Nephrol. 2009;:24:1605–9.
7. National Institute for Health and Clinical Excellence. Urinary tract
infection (UTI) in children. Agustus 2007. [diunduh 15 Februari
2012]. Tersedia dari: http://guidance.nice.org.uk/CG54.
8. Simerville JA, Maxted WC, Pahira JJ. Urinalysis: a comprehensive
review. Am Fam Physician. 2005;71:1153–62.
9. Smolkin V, Koren A, Raz R, Colodner R, Sakran W, Halevy R.
Procalcitonin as a marker of acute pyelonephritis in infants and
children. Pediatr Nephrol. 2002;17:409–12.
10. Yilmaz A, Sevketoglu E, Gedikbasi A, Karyagar S, Kiyak A,
Mulazimoglu M, dkk. Early prediction of urinary tract infection
with urinary neutrophil gelatinase associated lipocalin. Pediatr
Nephrol. 2009;24:2387–92.

675
KERACUNAN JENGKOL PADA ANAK
Epidemiologi
Keracunan jengkol adalah suatu keadaan klinis akibat keracunan
asam jengkol. Angka kejadian keracunan jengkol pada anak di
Indonesia sulit disimpulkan karena laporan penelitian yang ada hanya
terbatas pada beberapa rumah sakit yang berada di daerah tertentu
Patogenesis keracunan jengkol masih belum dipahami, tetapi diduga
akibat pengendapan kristal asam jengkol dalam saluran kemih.
Secara klinis, gejala keracunan jengkol dapat dibedakan menjadi 3
tingkatan yaitu ringan apabila hanya terdapat keluhan sakit pinggang
atau buang air kecil (BAK) kemerahan, berat apabila disertai oliguria,
dan sangat berat jika sudah terdapat anuria atau tanda-tanda GgGA
yang nyata
Pada umumnya prognosis keracunan jengkol cukup baik, tetapi
kadang-kadang dapat berlanjut menjadi gagal ginjal akut bahkan
dapat berakhir dengan kematian. Oleh sebab itu, diagnosis dini dan
penanganan yang tepat perlu segera diberikan sehingga penyulit
tersebut dapat dihindarkan
Manifestasi Klinis
Nyeri suprapubis, disuria, dan muntah, riwayat BAK kemerahan atau
seperti kristal putih, serta BAK menjadi lebih sedikit
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat makan buah jengkol
Nyeri suprapubis, disuria, dan muntah
Selain itu dapat disertai riwayat BAK kemerahan atau seperti
kristal putih, serta BAK menjadi lebih sedikit
Pemeriksaan Fisis
Bau yang khas dari asam jengkol dapat tercium dari mulut maupun
urin penderita. Terkadang kita dapat meraba buli-buli yang penuh,
serta dapat ditemukan infiltrat urin pada batang penis, skrotum,
dan jaringan perineum sekitarnya. Apabila sudah terjadi penyulit,
maka terlihat gejala GgGA misalnya edema, hipertensi, kesadaran
↓, pernapasan Kussmaul, dan sebagainya
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan urin rutin tidak selalu dapat menemukan kristal asam
jengkol karena kristal tersebut hanya terjadi pada pH 5,5. Apabila
ditemukan, kristal ini berupa jarum runcing yang dapat bergumpal
menjadi ikatan atau rosette
Anemia dapat terjadi, mungkin berhubungan dengan beratnya
hematuria. Uremia yang ringan (40–60 mg/dL) sering kali
ditemukan dan pada kasus berat dengan manifestasi gagal ginjal
akut kadar ureum darah dapat mencapai 300 mg/dL

676
AGD dapat menunjukkan asidosis metabolik sesuai dengan berat-
nya gagal ginjal yang terjadi
Pada pemeriksaan USG atau pielografi intravena (PIV) dapat
ditemukan pelebaran ureter atau tanda-tanda hidronefrosis akibat
obstruksi akut oleh kristal asam jengkol di saluran kemih
Terapi
Medikamentosa
Terapi ditujukan untuk melarutkan kristal asam jengkol yang
menyumbat saluran kemih. Cara mudah dan sederhana yang dapat
dilakukan yaitu memperbanyak volume urin dengan banyak
minum dan membuat suasana urin lebih alkalis dengan mem-
berikan natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB/hr atau 1–2 g/hr
Pada kasus berat dengan penyulit, penderita harus dirawat dan
ditangani sebagai kasus GgGA
Bila terjadi retensi urin segera lakukan kateterisasi, kemudian buli-
buli dibilas dengan natrium bikarbonat 1,5%
Penderita dengan oligouria diberikan campuran larutan glukosa 5%
dan NaCl 0,9% dengan perbandingan 3:1
Pada kasus anuria sebaiknya diberikan larutan glukosa 5–10%
dengan restriksi cairan seperti pada penatalaksanaan GgGA
Natrium bikarbonat diberikan 2–5 mEq/kgBB tetapi sebaiknya
disesuaikan dengan hasil analisis gas darah
Diuretik golongan furosemid dosis 1–2 mg/kgBB/hr dapat
diberikan untuk mengurangi overload cairan. Apabila dengan
penanganan di atas belum memberikan respons yang baik atau
bahkan terjadi perburukan klinis, maka dilakukan dialisis
peritoneal
Bedah
Bila terdapat obstruksi berat di uretra atau kesulitan pemasangan
kateter pada retensi urin, maka dilakukan tindakan pungsi buli-buli
dengan wing needle ukuran besar atau dengan jarum sistofik no.
15 F. Caranya dengan meletakkan satu jari di atas simfisis pubis di
garis tengah dengan sudut 45°. Selanjutnya dilakukan pembilasan
kandung kemih dan sebaiknya dipasang drainase secara tertutup
Apabila kita temukan edema atau infiltrat urin di batang penis atau
skrotum dapat dilakukan insisi pada bagian skrotum yang paling
bawah. Tindakan diawali dengan aseptik, antiseptik, serta anestesi
lokal. Kemudian daerah yang diinsisi dikompres dengan cairan
yang tidak merangsang seperti larutan povidon iodin dan pem-
berian antibiotik
Pemantauan (Monitoring)
Pada kasus berat atau sangat berat sesudah dengan penanganan
konservatif seperti di atas selama 8 jam tidak berhasil, dilakukan
dialisis peritoneal

677
Prognosis
Dengan tatalaksana yang tepat prognosisnya baik

Gambar 55 Algoritme Penanganan Keracunan Jengkol pada Anak

Bibliografi
1. Alatas H. Acute renal failure due to jengkol intoxication in children.
Pediatr Indones. 1967;90–4.
2. Sjamsudin U, Darmansjah I, Handoko T. Beberapa masalah
keracunan jengkol pada anak. Dalam: Hasan R, Tjokronegoro A,
penyunting. Pengobatan intensif pada anak. Jakarta: FKUI; 1985.
hlm. 21–39.
3. Tambunan T. Keracunan jengkol pada anak. Dalam: Alatas H,
Tambunan T, Trihono PP, penyunting. Nefrologi anak. Jilid ke-1.
Jakarta: IDAI; 1993. hlm. 199–208.

678
PENYAKIT GINJAL KRONIK (PGK)
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang timbul pada PGK dapat berupa berbagai
gambaran klinis yang diakibatkan oleh keadaan-keadaan berikut ini:
Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit
Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksin uremik
Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoetin dan bentuk aktif
vitamin D
Respons end organ yang tidak normal terhadap hormon endogen
(hormon pertumbuhan)

Diagnosis
Diagnosis PGK dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan penunjang

Anamnesis
Penderita PGK menunjukkan keluhan tidak spesifik seperti sakit
kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah, polidipsi,
poliuria, dan gangguan pertumbuhan. Keadaan ini dapat berlang-
sung bertahun-tahun

Pemeriksaan Fisis
Gangguan pertumbuhan, anemia, hipertensi, osteodistrofi ginjal,
tanda pembesaran jantung, dan tanda keterlambatan seksual

Pemeriksaan Penunjang
Darah: hemoglobin, elektrolit, analisis gas darah, gula, profil lipid,
kadar vitamin D, faktor pembekuan
Radiologi: USG ginjal dan saluran kemih, foto Rontgen toraks untuk
melihat pembesaran jantung
Foto Rontgen tulang jika terdapat osteodistrofi ginjal

Klasifikasi
Klasifikasi PGK terdiri atas beberapa stadium untuk tujuan
pencegahan, identifikasi awal kerusakan ginjal, penatalaksanaan,
serta pencegahan penyulit PGK

679
Tabel 160 Stadium Penyakit Ginjal Kronik
Laju Filtrasi Ginjal,
Stadium LFG Deskripsi
(mL/mnt/1,73m2)
1 >90 Kerusakan ginjal dengan
glomerular filtration rate
(GFR) normal/↑
2 60–89 Kerusakan ginjal dengan ↓
GFR ringan
3 30–59 Kerusakan ginjal dengan ↓
GFR sedang
4 15–29 Gagal ginjal
5 <15 (atau dialisis)

Terapi
1. Pengobatan konservatif
Pada umumnya pengobatan konservatif masih mungkin
2
dilakukan
bila klirens protein >10 mL/mnt/1,73 m . Tujuan untuk
memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, menghilangkan
berbagai faktor pemberat, dan bila mungkin memperlambat
progresivitas gagal ginjal
Diet
Pada prinsipnya diet yang diberikan pada penderita CKD adalah:
Mencukupi semua nutrien esensial yang adekuat termasuk
vitamin
Mencukupi kalori yang adekuat dalam bentuk karbohidrat dan
lemak
Mencukupi protein berkualitas tinggi untuk mempertahankan
keseimbangan nitrogen (+) dan mendorong kecepatan
pertumbuhan
Mengurangi terjadinya akumulasi nitrogen sampai seminimal-
minimalnya untuk menghindari akibat uremia, misalnya
kelainan hematologis dan neurologis serta mencegah
osteodistrofi
Mengurangi beban asam yang harus diekskresikan oleh ginjal
Menghindari masukan elektrolit yang berlebihan
Pembatasan masukan protein harus dimulai bila LFG 15–20
mL/mnt/1,73m2. Jumlah kalori yang diberikan harus cukup untuk
anabolisme dan pertumbuhan, jadi harus disesuaikan dengan
kebutuhan menurut usia. Untuk bayi diberikan 100 kkal/kgBB/hr
sedangkan jumlah protein diberikan sesuai dengan dengan usia
dan tingkat ↓ LFG. Restriksi protein dilakukan bila kadar ureum
darah >30 mmol/L atau terdapat gejala uremia. Umumnya
diberikan 1,4 g/kgBB/hr untuk bayi dan 0,8–1,1 g/kgBB/hr untuk
anak yang terdiri atas protein yang nilai biologis tinggi (paling

680
sedikit mengandung 70% asam amino esensial). Bila restriksi
protein terlalu ketat akan mengakibatkan malnutrisi, sehingga
jumlah protein yang harus diberikan paling sedikit 4% dari jumlah
total kalori atau 1 g/kgBB/hr. Maksud pembatasan protein adalah
mencegah katabolisme protein endogen, mengurangi akumulasi
sisa nitrogen, serta membatasi toksisitas sistemik
Tabel 161 Kebutuhan Kalori dan Protein yang Direkomendasikan
untuk Anak PGK

Usia Tinggi Energi Minimal Kalsium Fosfor


(cm) (kkal) Protein (g) (g) (g)
0–2 bl 55 120/kgBB 2,2/kgBB 0,4 0,2
2–6 bl 63 110/kgBB 2,0/kgBB 0,5 0,4
6–12 bl 72 100/kgBB 1,8/kgBB 0,6 0,5
1–2 th 81 1.000 18 0,7 0,7
2–4 th 96 1.300 22 0,8 0,8
4–6 th 110 1.600 29 0,9 0,9
6–8 th 121 2.000 29 0,9 0,9
8–10 th 131 2.200 31 1,0 1,0
10–12 th 141 2.450 36 1,2 1,2
12–14 th L 151 2.700 40 1,4 1,4
P 154 2.300 34 1,3 1,3
14–18 th L 170 3.000 45 1,4 1,4
P 159 2.350 35 1,3 1,3
18–20 th L 175 2.800 4,2 0,8 0,8
P 163 2.300 33 0,8 0,8
L: laki-laki; P: perempuan

Natrium
Pada PGK akibat kelainan anatomi ginjal biasanya terjadi
pengeluaran natrium yang banyak sehingga terjadi hiponatremia
dan dehidrasi berat. Pada keadaan ini dibutuhkan suplai natrium
dalam makanan. Sebaliknya, pada penderita yang disertai
hipertensi, edema, atau gagal jantung bendungan, harus
dilakukan restriksi natrium dan pemberian diuretika seperti
furosemid (1–4 mg/kgBB/hr). Umumnya diet rendah garam pada
PGK tanpa hipertensi dan atau sembab adalah 2 g/kgBB/hr (80
mEq/kgBB/hr). Bila disertai sembab dikurangi menjadi
1 mEq/kgBB/hr dan bila ditemukan oliguria atau anuria harus
diperketat menjadi 0,2 mEq/kgBB/hr. Catatan: 1 g garam dapur
sebanding dengan 400 mg natrium atau 17 mEq natrium
Asidosis
Penderita PGK sering mengalami asidosis kronik yang menyebab-
kan kerusakan tulang dan gagal tumbuh. NaHCO3 aman digunakan

681
dengan dosis 1–5 mEq/kgBB/hr disesuaikan dengan berat
asidosis. Untuk mempertahankan pertumbuhan anak secara
adekuat maka kadar bikarbonat plasma harus dipertahankan
23–25 mEq/L. Bila asidosis berat (HCO3 <8 mEq/L) koreksi dengan
dosis 0,3 × kgBB × (12 − HCO3 serum) mEq/L i.v. Tablet NaHCO3
325 mg = 4 mEq HCO3
Hipertensi
Langkah pertama untuk mengendalikan hipertensi adalah
tindakan nonfarmakologis yaitu diet rendah garam, ↓ berat
badan, dan berolah raga. Bila dengan cara ini tidak berhasil
diberikan obat farmakologis. Pengobatan farmakologis dapat
langsung diberikan bila hipertensi disertai gejala kerusakan organ
atau ↑ tekanan darah sangat cepat. Yang sering dipakai adalah:
Diuretika
Beta-bloker adrenergik (propanolol atau etanolol)
Agonis adrenergik alfa
Vasodilator perifer (hidrolazid)
Calsium channel blocker dan angiotensin converting enzyme
(ACE) inhibitor
Tindakan farmakologi dimulai dengan pemberian diuretika, bila
tidak berhasil atau hipertensi makin berat dapat diberikan beta-
bloker adrenergik (propanolol atau etanolol) dan atau vasodilator
perifer (hidralazid). Bila gabungan obat-obat tersebut masih tidak
memberikan hasil dapat diberikan calcium channel blocker
(nifedipin) atau ACE inhibitor (kaptopril/enalapril). Pada
hipertensi krisis akut dapat diberikan nifedipin sublingual dengan
dosis 0,25–0,5 mg/kgBB (kemasan 5 dan 10 mg). Furosemid
diberikan dengan dosis 1–5 mg/kgBB i.v. diulang tiap 6–12 jam
kecepatan maks. 4 mg/mg/mnt atau dapat diberikan klonidin drip
dengan dosis 0,002 mg/kgBB/8 jam + 100 mL dekstrose 5%,
tetesan awal 12 tetes mikrodrip/mnt, bila tekanan darah belum
turun tetesan dinaikkan 6 tetes mikrodrip/mnt tiap 30 mnt (maks.
36 tetes mikrodrip/mnt). Bila 30 mnt sesudah tetesan maksimal
tekanan darah belum turun, ditambah kaptopril dengan dosis 0,3
mg/kgBB/kali, diberikan 2–3 kali sehari (maks. 2 mg/kgBB/kali).
Pemberian kaptopril harus hati-hati pada penderita kelainan
ginjal bilateral atau stenosis arteri renalis bilateral karena dapat
mempercepat kerusakan ginjal
Anemia
Pengobatan anemia dilakukan sesuai penyebab. Defisiensi zat
besi diberikan zat besi oral dengan dosis 2–3 mg besi
elemental/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari selama 3 bl. Bila
terjadi defisiensi asam folat diberikan asam folat dengan dosis 1–
5 mg/hr selama 3–4 mgg. Penderita yang menjalani dialisis secara
teratur diberi asam folat oral 1 mg/hr. Anemia pada PGK dapat
diobati dengan androgen karena dapat meningkatkan produksi
eritropoetin oleh hepatosit. Bila memungkinkan recombinant
human erytropoietin (rhuEPO) dengan dosis 50–150 IU/kgBB/kali

682
s.k. (pada yang sedang menjalani dialisi dapat diberikan i.v.)
diberikan 3 kali seminggu. Pemberian rhuEPo dapat mengurangi
atau menghindarkan kebutuhan transfusi darah. Pada anemia
yang disertai gejala mengancam jiwa perlu diberikan transfusi
darah PRC 10–20 mL/kgBB. Biasanya transfusi PRC diberikan bila
kadar Hb <6 mg/dL. Bila ditemukan hipersplenisme dan usaha
untuk menaikkan Hb tidak berhasil, harus dilakukan splenektomi
Gangguan Jantung
Gagal jantung bendungan terjadi akibat kelebihan cairan dan atau
hipertensi berat. Pengobatan langsung ditujukan untuk
menurunkan tekanan darah dengan nifedipin sublingual dan
mengeluarkan cairan dengan diuretik seperti furosemid baik p.o.
maupun i.v. Perikarditis pada uremia berat merupakan indikasi
untuk dialisis dan dalam keadaan akut mungkin perlu
perikardiosentesis. Terdapat cairan perikardium yang persisten
atau terjadi rekurensi mungkin membutuhkan steroid non-
adsorber (triamsinolon) sesudah perikardiosentesis

Gangguan Pertumbuhan
Dapat dihambat dengan mencegah terjadinya asidosis,
osteodistrofi ginjal dan konsultasi gizi. Pemberian human
recombinant growth hormone dosis 0,35 mg/kgBB atau 30
IU/m2/mgg dapat memberikan hasil yang efektif untuk
mempercepat pertumbuhan anak
2. Pengobatan Pengganti
Prinsip pengobatan pengganti adalah melakukan dialisis (dialisis
peritoneal maupun hemodialisis) dan cangkok ginjal
Tindakan Dialisis
Indikasi dialisis pada bayi, anak, dan remaja sangat bervariasi
serta bergantung pada status klinis penderita. Tindakan dialisis
baik peritoneal maupun hemodialisis harus dilakukan sebelum
LFG <10 mL/mnt/1,73
Indikasi absolut untuk tindakan awal dialisis kronik pada anak
dengan gagal ginjal:
Hipertensi tidak terkendali, hipertensi ensefalopati
Gagal jantung bendungan: kardiomiopati
Perikarditis tamponade
Neuropati perifer: parestesis, disfungsi motorik
Osteodistrofi ginjal: kalsifikasi tersebar, deformitas tulang
Depresi sumsum tulang: anemia berat, leukopenia
Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan pilihan ideal untuk pengobatan
gagal ginjal tahap akhir. Indikasi transplantasi ginjal adalah
penderita gagal ginjal tahap akhir dengan gagal tumbuh berat
atau mengalami kemunduran klinis sesudah mendapat pengobatan

683
optimal. Pemeriksaan imunologi yang penting untuk keberhasilan
transplantasi yaitu golongan darah ABO dan antigen HLA.
Transplantasi dapat berasal dari kadaver (jenazah) atau donor
hidup keluarga. Transplantasi merupakan pengobatan yang paling
optimal untuk bayi, anak, dan remaja karena merupakan usaha
paling baik yang dapat dilakukan untuk mengembalikan anak ke
kehidupan normal. Dialisis hanya merupakan usaha untuk
memelihara dan mempertahankan keadaan penderita sampai
saat akan dilakukan transplantasi

3. Mengatasi Faktor yang Reversibel


Meskipun kerusakan akibat penyakit glomerulus berlangsung
terus, tetapi hal ini dapat diperlambat atau dihentikan sebelum
mencapai gagal ginjal terminal, sehingga perlu dilakukan usaha
pengobatan terhadap faktor yang reversibel seperti kehilangan
garam, air, hipertensi, infeksi saluran kemih, obstruksi,
hiperkalemia, dan gagal jantung. Hindari pemberian obat
nefrotoksik dan pemeriksaan radiologik yang menggunakan zat
kontras

4. Mencari dan Mengatasi Faktor yang Memperberat


Bila ditemukan kemunduran klinis atau pun biokimiawi, harus
dicari faktor reversibel dan segera diobati. Pada masa ini
dilakukan tindakan konservatif seperti retriksi makanan, obat,
antihipertensi, pengikat fosfat, dan vitamin D

5. Penggunaan Obat pada PGK


Gangguan fungsi ginjal menyebabkan akumulasi obat atau
metabolitnya yang eliminasinya terutama melalui ginjal dan pada
gilirannya dapat menimbulkan efek toksik atau memperburuk
fungsi ginjal. Prinsip penyesuaian dosis dapat dilakukan dengan:
Dosis tiap kali pemberian diperkecil, sedangkan interval
pemberian tetap
Dosis tetap, interval pemberian diperpanjang
Gabungan 1 dan 2

Prognosis
Sesudah transplantasi 5 year survival rate adalah 96%. Kematian
terjadi akibat penyulit penyakit primer, dialisis, dan transplantasi

Bibliografi
1. Catherine S, Snively M. Chronic kidney disease: prevention and
treatment of common complications. American Academy of
Family Physicians; 2005:1–5.
2. Fogo AB, Kon V. Chronic renal failure. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-5.
Philadelphia: Lippincott, Williams and Wilkins; 2004. hlm. 1645–
70.

684
3. Hogg RJ, Furth S, Lemley KV, Portman R, Schwartz GJ, Coresh J,
dkk. National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease in Children and Adolescents: evaluation, classification,
and stratification. Pediatrics. 2003;111:1416–21.
4. Levey AS, Coresh J, Balk E, Kautz T, Levin A, Steves M, dkk.
National Kidney Foundation Guidelines for Chronic Kidney
Disease: evaluation, classification, and stratification. Ann Intern
Med. 2003;139:137–47.
5. Menon S, Valentini RP, Kapur G, Layfield S, Mattoo TK.
Effectiveness of a multidisciplinary clinic in managing children
with chronic kidney disease. Clin J Am Soc Nephrol. 2009;4:
1170–5.
6. Rigden, SP. The management of chronic and end stage renal
failure in children. Dalam: Webb N, Postlethwaite R, penyunting.
Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-3. Oxford University Press;
2003. hlm. 427–45.
7. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal ginjal kronik.
Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede SO,
penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Gaya
Baru; 2002. hlm. 509–30.
8. Vijayakumar M, Namalwar R, Prahlad N. Prevention of chronic
kidney disease in children. Ind J Nephrol. 2007;17:47–52.
9. Vogt BA, Avner ED. Renal failure. Dalam: Behrman RM, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. hlm. 1770–5.

685
SINDROM NEFROTIK
Epidemiologi
Insidensi sindrom nefrotik (SN) diperkirakan 2–5 kasus/th tiap
100.000 anak usia <16 th. Insidensi di Indonesia diperkirakan 6
kasus/th tiap 100.000 anak usia <14 th. Sebagian besar SN pada anak
(85%) memberikan respons terhadap pengobatan steroid (SN sensitif
steroid). SN sensitif steroid lebih sering terjadi pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan (2:1). Pada umumnya SN
sensitif steroid terjadi sebelum usia 8 th—terutama sebelum 6 th—
dengan puncak kejadian pada usia 4–5 th

Manifestasi Klinis
Proteinuria masif
Protein urin >40 mg/m²LPB/jam atau >50 mg/kgBB/24 jam. Rasio
protein/kreatinin urin >2,5. Dengan pemeriksaan Esbach, kadar
protein dalam urin 24 jam >2 g. Secara semikuantitatif dengan
pemeriksaan Bang atau Dipstick menunjukkan protein urin ≥+2
Hipoalbuminemia
Kadar albumin dalam serum ↓ hingga mencapai <2,5 g/dL
Edema
Hiperlipidemia
Kolesterol total darah ↑ (>200 mg/dL). Meskipun demikian,
hiperlipidemia tidak lagi dijadikan sebagai kriteria diagnostik SN,
karena penderita SN—terutama kelainan nonminimal—dapat
menunjukkan kadar lemak darah normal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan antara lain:
Urin lengkap
Protein kuantitatif urin
Darah:
Darah rutin
Kadar albumin dan kolesterol plasma
Kadar ureum, kreatinin
Titer ASTO
Kadar komplemen C3, C4, ANA

Klasifikasi
Berdasarkan histologi SN dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Sindrom nefrotik kelainan nonminimal (SNKNM), seperti:
Glumerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glumerulonefritis proliferatif mesangial (GNPM)
Glumerulonefritis membrano proliferatif (GNMP)
Glomerulopati membranosa (GM)
Sebagian besar SNKM (90%) memberikan respons baik terhadap
pengobatan steroid

686
Terapi
Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid
Sebagian besar ahli menganjurkan induksi remisi sesuai protokol
ISKDC, yaitu pengobatan dilakukan dengan pemberian prednison
60 mg/m²LPB/hr (setara dengan 2 mg/kgBB/hr), dalam dosis
terbagi (maks. 80 mg/hr). Pemberian ini dilakukan sampai remisi
terjadi—yangditandai dengan proteinuria (−) 3 hr berturut-turut.
Selanjutnya prednison 40 mg/m²LPB selang sehari (alternate)
dalam dosis tunggal untuk 4 mgg berikutnya

4 minggu 4 minggu

Remisi (+) Dosis


Proteinuria (−) alternating Prednison FD:
Edema (−) (AD) 60 mg/m²LPB/hr

Remisi (−): resisten steroid Prednison AD:


40 mg/m²LPB/hr

Imunosupresan lain

Gambar 56 Pengobatan Inisial dengan Kortikosteroid


Keterangan:
Prednison dosis penuh (full dose/FD) 60 mg/m²LPB/hr (2
mg/kgBB/hr) dibagi 3 dosis diberikan setiap hr selama 4 mgg,
dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m²LPB/hr (⅔ dosis penuh),
dapat diberikan secara alternating 40 mg/m²LPB/hr selama 4 mgg.
Bila remisi tidak terjadi pada 4 mgg pertama, maka penderita
tersebut didiagnosis sebagai sindrom nefrotik resisten steroid

Pengobatan kambuh
Remisi Prednison FD:
60 mg/m²LPB/hr
FD AD
Prednison AD:
40 mg/m²LPB/hr

Gambar 57 Pengobatan SN Kambuh


Keterangan:
Prednison dosis penuh setiap hr sampai remisi (maks. 4 mgg),
2
dilanjutkan dengan prednison alternating 40 mg/m LPB/hr
selama 4 mgg. Bila pengobatan dosis penuh selama 4 mgg tidak
juga terjadi remisi, maka penderita didiagnosis sebagai SN
resisten steroid dan harus diberikan terapi imunosupresif lain

687
Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
1. Siklofosfamid
Sebagai alkylating agent, siklofosfamid bersifat sitotoksik dan
imunosupresif. Siklofosfamid menunjukkan kemampuan
memperpanjang masa remisi dan mencegah kambuh sering.
Indikasi penggunaan siklofosfamid yaitu bila terjadi kegagalan
mempertahankan remisi dengan menggunakan terapi
prednison tanpa menyebabkan keracunan steroid. Siklo-
fosfamid diberikan 3 mg/kgBB/hr sebagai dosis tunggal selama
12 mgg. Terapi prednison selang sehari tetap diberikan selama
penggunaan siklofosfamid ini
Selama pemberian siklofosfamid perlu diperhatikan efek
samping yang mungkin terjadi antara lain: leukopenia,
gangguan gastrointestinal, infeksi varicella disseminata, sistitis
hemoragik, alopesia, keganasan, azoospermia, dan infertilitas.
Selama terapi dengan siklofosfamid, kadar leukosit perlu
diperiksa setiap mgg, dan pengobatan perlu dihentikan dahulu
bila kadar leukosit menjadi ≤5.000/mm³

Pengobatan kambuh sering


Remisi
Prednison FD: 60
FD AD 8 minggu mg/m²LPB/hr
Prednison AD: 40
mg/m²LPB/hr
Prednison AD: 40
mg/m²LPB/hr
Pemantauan:
Hemoglobin, leukosit,
trombosit setiap mgg
Leukosit <3.000/μL →
CPA dihentikan dulu
Leukosit >5.000/μL →
CPA diberikan lagi

Gambar 58 Pengobatan SN Kambuh Sering


Keterangan:
Prednison dosis penuh setiap hr sampai remisi (maks. 4 mgg),
dilanjutkan dengan prednison alternating 40 mg/m²LPB/hr
dan imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid 2–3 mg/kgBB/
hr) dosis tunggal selama 8 mgg

688
Pengobatan ketergantungan steroid

Remisi

FD AD 12 minggu
Tapering-off
1 2 3 4 5 6 7

FD AD 12 minggu
Tapering-off
689

12 minggu

Prednison FD: 60 mg/m²LPB/hr Pemantauan:


Prednison AD: 40 mg/m²LPB/hr (1x pagi hr) Hemoglobin, leukosit, trombosit setiap mgg
Leukosit <3.000/mL → CPA dihentikan dulu
CPA puls: 500–750 mg/m²LPB/bl
Leukosit >5.000/mL → CPA diberikan lagi
CPA oral: 2–3 mg/kgBB/hr
Tapering off 1 mg/kgBB/hr (1 bl) → 0,5 mg/kgBB/hr (1 bl)

Gambar 59 Pengobatan SN Ketergantungan Steroid


Keterangan:
Prednison dosis penuh setiap hr sampai remisi (maks. 4 mgg),
dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500–750 mg/m²LPB
diberikan melalui infus 1x sebulan selama 6 bl berturut-turut dan
prednison alternating 40 mg/m²LPB/hr selama 12 mgg. Kemudian
prednison di-tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hr selama 1 bl,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hr selama 1 bl (lama tapering-off 2 bl)
Atau
Prednison dosis penuh setiap hr sampai remisi (maks. 4 mgg),
dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2–3 mg/kgBB/hr 2
dosis tunggal
selama 12 mgg dan prednison alternating 40 mg/m LPB/hr selama 12
mgg. Kemudian prednison di-tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hr
selama 1 bl dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hr selama 1 bl (lama
tapering-off 2 bl)
2. Klorambusil
Klorambusil efektif bila dikombinasikan dengan terapi steroid
dalam menginduksi remisi pada penderita ketergantungan
steroid dan kambuh sering. Dosis yang umumnya digunakan
0,2 mg/kgBB/hr selama 8–12 mgg
3. Levamisol
Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmintik. Obat ini
juga memengaruhi fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya,
tetapi sifatnya memberikan stimulasi terhadap sel T. Dosis
levamisol 2,5 mg/kgBB diberikan selang sehari selama 4–12 bl
4. Siklosporin
Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi dicapai
dengan steroid. Umumnya terapi ini digunakan bila
siklofosfamid kurang efektif. Dosis awal yang digunakan yaitu
5 mg/kgBB/hr
Dalam penggunaannya, kadarnya dalam darah perlu dikontrol
karena memberikan efek nefrotoksik. Siklosporin dapat
menyebabkan kelainan histologis bahkan pada penderita yang
ginjalnya normal sekalipun. Efek samping lain yang sering
ditemukan yaitu hipertrikosis, hiperplasia gusi, gejala
gastrointestinal, dan hipertensi
Prognosis
Bergantung pada etiologi
SN sensitif steroid memiliki prognosis baik, meskipun sekitar 60–70%
akan mengalami kambuh yang setengah di antaranya berbentuk
kambuh sering atau ketergantungan steroid. Pada umumnya kambuh
pada SN dicetuskan oleh infeksi virus saluran respiratori bagian atas
SN resisten steroid biasanya memiliki prognosis tidak baik dan akan
berlanjut menjadi penyakit ginjal kronik
Bibliografi
1. Bergstein JM. Nephrotic syndrome. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Arvin AM, Nelson WE, penyunting. Nelson
textbook of pediatric. Edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders
Company; 1996. CD-ROM version.

690
2. Bernard DB, Salant DJ. Clinical approach to the patient with
proteinuria and the nephrotic syndrome. Dalam: Jacobson,
Striker, Klahr, penyunting. The principle and practice of
nephrology. Philadelphia: BC Decker Inc.; 1991. hlm. 250–61.
3. Kher KK. Nephrotic syndrome. Dalam: Kher KK, Makker SP,
penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi internasional.
New York: McGraw-Hill Inc.; 1992. hlm. 137–67.
4. Orth SR, Ritz E. The nephrotic syndrome. N Eng Med J. 1998;
338(17):1202–11.
5. Robinson RF, Nahata MC, Mahan JD. Management of nephrotic
syndrome in children. Pharmacotherapy. 2003;23(8):1021–106.
6. Roth KS, Amaker BH, Chan JCM. Nephrotic syndrome:
pathogenesis and management. Peds Rev. 2002;23(7):237–48.
7. Schnaper HW, Robson AM. Nephrotic syndrome: minimal change
disease, focal glomerulosclerosi, and related disorders. Dalam:
Schrier RW, Gottschalk CW, penyunting. Diseases of the kidney.
Edisi ke-6. Boston: Little, Brown and Company; 1997. hlm. 1725–
80.
8. Travis L, Nephrotic syndrome. eMedicine [diunduh 11 Juni 2002].
Tersedia dari: http://www.emedicine.com/ped/topic1564.htm.
9. Webb NJA, Lewis MA, Iqbal J. Childhood steroid-sensitive
nephrotic syndrome: does the histology matter? Am J Kidney Dis.
1996;27:484–8.
10. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T,
Trihono PP, Pardede S, penyunting. Buku ajar nefrologi anak.
Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2002. hlm.
381–426.

691
UROPATI OBSTRUKTIF
Epidemiologi
Uropati obstruktif sering timbul pada masa anak, sebagian besar
disebabkan oleh kelainan perkembangan dan pertumbuhan bawaan
lahir atau dapat juga karena lesi yang didapat
Batasan
Uropati obstruktif secara umum adalah kelainan ginjal yang
disebabkan obstruksi pada salah satu tempat di saluran kemih
Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis yang teliti sangat diperlukan, lamanya sakit, mulai
timbul gejala, ada keluarga yang sakit ginjal, hipertensi atau
keluarga yang cuci darah. Riwayat persalinan dengan
oligohidramnion (air ketuban yang sedikit), lahir prematur, dan
postnatal GFR <20 mL/mnt merupakan prediksi terdapat prenatal
hidronefrosis
Pemeriksaan Fisis
Perlu pemeriksaan yang teliti mulai dari orifisium uretra eksterna,
penis, daerah prostat (pria), daerah kandung kemih, dan daerah
abdomen, mungkin ditemukan benjolan. Kalau perlu dapat
dilakukan pemeriksaan bimanual rectal toucher (satu jari masuk ke
rektum dan jari-jari tangan yang lainnya meraba di daerah
kandung kemih) dapat dirasakan terdapat batu yang relatif besar
dalam kandung kemih atau ada massa di dalamnya
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin, ureum, kreatinin, dan elektrolit serta
pemeriksaan urin rutin dan kultur urin
Untuk obstruksi bagian bawah saluran kemih karena kelainan
uretra (posterior urethral valve/PUV), vesika urinaria, dan vesico-
ureteral junction, perlu pemeriksaan radiologis (USG, MCU). Gejala
klinis PUV bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai kerusakan
parenkim ginjal dan gagal ginjal. Diagnosis PUV pada masa janin
dapat diketahui dengan ultrasonografi, terlihat buli-buli besar,
dindingnya tebal, dan hidronefrosis bilateral. Pada waktu lahir,
dapat diraba buli-buli yang besar dengan atau tanpa distensi
abdomen
Obstruksi bagian atas (upper obstruction) mencakup dilatasi ureter
dan pielocalyceal system (hidronefrosis). Hidronefrosis bilateral
disebabkan oleh kelainan buli dan uretra. Hidronefrosis unilateral
disebabkan kelainan ipsi-lateral collecting system. Diagnosis untuk
upper obstruction dilakukan dengan ultrasonografi dan kalau perlu
dengan pielografi intravena. Sonografi hanya melihat dilatasi
ureter, pyelocalyceal system, dan pembesaran ginjal sedangkan
tebalnya korteks ginjal yang sangat ↓ pada hidronefrosis kronik,
menyatakan cadangan fungsi ginjal ↓

692
Terapi
Tujuan terapi menghilangkan penyebab obstruksi secepat-cepatnya
dan mempertahankan fungsi ginjal yang masih tersisa. Kerja sama
dengan pediatric urologist perlu dilaksanakan

Pemantauan
Bila fungsi ginjal sudah mulai ↓ dapat diberikan pengobatan
konservatif. Bila fungsi ginjal sudah sangat ↓ dilakukan dialisis. Pada
pelviureteric junction (PUJ) obstruction dapat dilakukan pyeloplasty
dan mempunyai prognosis lebih baik

Langkah Promotif/Preventif
Mengetahui sedini-dininya tanda-tanda klinis obstruksi saluran kemih
dan mengetahui cara penanganannya merupakan hal yang paling
baik untuk dapat mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut
Secara garis besar penyebab obstruksi saluran kemih tersebut dapat
dilihat pada Gambar 60. Lokasi obstruksi yang mungkin terjadi
sebagai berikut:
Fimosis
Polip pada prostat
Posterior urethral valve
Vesico-uretheric-valve
Uretero-pelvic junction
Kaliks mayor
Kaliks minor, dll.

693
Kaliks minor

Kaliks mayor

Uretero-pelvic junction

Vesico-uretheric-valve

Posterior urethral valve

Polip prostat

Fimosis

Gambar 60 Kemungkinan Lokasi Obstruksi Saluran Kemih pada


Uropati Obstruktif

Obstruksi pada ureter dapat:


Komplet atau parsial
Unilateral atau bilateral
Akut atau kronik
Responsnya pada ginjal yang sedang tumbuh (anak) atau pada
orang dewasa
Bila unilateral uretheral obstruction (UUO), maka tekanan intra-
tubular dan tekanan intrakapsular akan ↑, akibatnya net filtration
pressure dari kapiler glomerulus tertahan dan GFR terhenti

694
Gambar 61 Skema Peninggian Tekanan Intratubular dan Tekanan
Intrakapsular

Bila bilateral uretheral obstruction (BUO) juga akan terjadi penghenti-


an GFR. Pada kedua hal tersebut, lamanya tekanan ↑ hanya pada 24
jam pertama. Sesudah itu tekanan akan ↓ karena terdapat:
Respons imun pejamu
Sistem RAA
Prostaglandin

Pada UUO kronik, juga akan terjadi ↓ tekanan intraureteral dan


tekanan intratubular oleh karena:
GFR
Absorpsi cairan di tubulus ↑
Kebiasaan dilatasi dari renal pelvis ↑

Bibliografi
1. Chevalier RL, Roth JA. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-5. Philadelphia:
Lippincot, Williams & Wilkins; 2004. hlm. 1049–79.
2. Kher KK. Obstructive uropathy. Dalam: Kher KK, Makker SP,
penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi internasional.
New York: McGraw-Hill Inc.; 1992. hlm. 447–65.

695
Neonatologi
Abdurahman Sukadi
Sjarif Hidayat Effendi
Aris Primadi
Tetty Yuniati
Fiva Aprilia Kadi
TERMINOLOGI NEONATOLOGI
Masa Gestasi
Masa sejak terjadinya konsepsi sampai saat kelahiran, dihitung dari
hari pertama haid terakhir
Bayi Kurang Bulan (BKB)
Bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi <37 mgg (<259 hr)
Bayi Cukup Bulan (BCB)
Bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi 37–42 mgg (259–293 hr)
Bayi Lebih Bulan (BLB)
Bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi >42 mgg (>294 hr)
Bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK/Small for Gestasional Age=
SGA)
Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir (<persentil 10) menurut
grafik Lubchenco
Bayi Sesuai Masa Kehamilan (SMK/Appropiate for Gestasional Age=
AGA)
Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir antara persentil 10 sampai
persentil 90 menurut grafik Lubchenco
Bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK/Large for Gestasional Age=
LGA)
Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir (>persentil 90) menurut
grafik Lubchenco
Berat Lahir
Berat bayi yang ditimbang dalam waktu 1 jam pertama sesudah
lahir. Pengukuran ini dilakukan di tempat fasilitas (rumah sakit,
puskesmas, polindes), sedangkan bayi yang lahir di rumah waktu
pengukuran berat badan dapat dilakukan dalam waktu 24 jam
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir <2.500 g tanpa meman-
dang masa gestasi
Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR)
Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir <1.500 g
Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah (BBLASR)
Bayi dengan berat lahir <1.000 g
Bayi Berat Lahir Cukup/Normal
Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir >2.500–4.000 g
Bayi Berat Lahir Lebih
Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir >4.000 g
699
ASFIKSIA PADA NEONATUS
Batasan
Asfiksia neonatal merupakan kondisi terganggunya pertukaran gas
intrapartum, yang apabila menetap dapat menyebabkan hipoksemia
dan hiperkarbia progresif serta asidosis metabolik
Kriteria asfiksia neonatus (AAP dan ACOG)
Nilai APGAR menit kelima 0–3
Terdapat asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH <7,0 dan
base deficit ≥12 mmol/L)
Gangguan neurologis (misalnya kejang, hipotonia, atau koma)
Terdapat gangguan sistem multiorgan (misalnya gangguan
kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau
sistem renal)
Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang
dan ensefalopati hipoksia-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi
yang mengalami episode hipoksia-iskemik yang signifikan saat lahir
memiliki risiko disfungsi berbagai organ dengan disfungsi otak
sebagai pertimbangan utama

Etiologi
Pada BCB, 90% kejadian asfiksia yang terjadi pada masa antepartum
atau intrapartum disebabkan oleh terganggunya pertukaran gas
melalui plasenta sehingga transpor oksigen, CO2, dan pH bayi menjadi
tidak adekuat. Sekitar 10% kejadian asfiksia terjadi pada masa
postpartum yang disebabkan oleh abnormalitas paru, kardiovaskular,
atau neurologis
Faktor ibu: terganggunya oksigenasi maternal (hipoksia ibu) misalnya
pada hipoventilasi karena obat analgetik dan anestesi, atau aliran
darah uterus ↓
Faktor plasenta: terganggunya fungsi plasenta seperti pada solutio
atau perdarahan plasenta
Faktor janin: kompresi tali pusat seperti pada lilitan atau tali pusat
membumbung
Faktor neonatus: pemakaian anestesi dan analgetika, kelainan
kongenital misalnya pada hernia diafragmatika, atresia saluran
respiratori, atau hipoplasia paru
Patofisiologi
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke
dalam paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari
alveoli ke jaringan insterstitial paru sehingga oksigen dapat
dihantarkan ke arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelak-
sasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap
kontriksi, alveoli tetap terisi cairan, dan pembuluh darah arteri
sistemik tidak mendapat oksigen

700
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol
pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran
darah ke jantung dan otak tetap stabil atau ↑ untuk mempertahan-
kan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan
menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun
demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi
kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan ↑ curah jantung, ↓
tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ
akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan
oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang
ireversibel, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi
yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-
tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada
otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurang-
an oksigen; bradikardia karena kekurangan oksigen pada otot jantung
atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada
otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang
kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan, takipnea
karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru dan sianosis karena
kekurangan oksigen di dalam darah
Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mencari etiologi terhadap asfiksia
neonatal
Gejala klinis
Bayi tidak bernapas atau menangis
Denyut jantung <100×/mnt
Tonus otot ↓
Cairan ketuban ibu bercampur mekonium atau sisa mekonium
pada tubuh bayi
Laboratorium
Hasil AGD tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali
pusat, pH <7,0
Sesudah bayi tidak memerlukan lagi resusitasi aktif, maka
pemeriksaan penunjang bertujuan untuk mendeteksi penyulit,
yaitu:
Darah perifer lengkap
Gas darah
Gula darah, elektrolit darah (Na, K, Ca)
Ureum, kreatinin
Laktat
Radiologi (foto Rontgen toraks dan abdomen 3 posisi)
USG kepala
EEG
CT-scan kepala
Ekokardiografi

701
Penyulit
Jangka panjang (sekuele)
Susunan saraf pusat
Salah satu gangguan akibat hipoksia otak yang paling sering
ditemukan pada masa neonatal yaitu ensefalopati hipoksik
iskemik (EHI). Sekuele jangka panjang berupa gangguan
perkembangan neurologis yang terjadi pada 1–6 bayi/1.000
kelahiran. Pada 15−20% terjadi palsi serebral
Sistem respirasi
Gangguan pernapasan pada bayi asfiksia neonatal masih belum
dapat diketahui pasti. Beberapa teori mengemukakan bahwa
hal ini merupakan akibat langsung hipoksia dan iskemia atau
dapat pula terjadi karena disfungsi ventrikel kiri, gangguan
koagulasi, radikal bebas oksigen ataupun penggunaan ventilasi
mekanik dan aspirasi mekonium. Gangguan sistem respirasi
terjadi pada 26% kasus dan gagal napas terjadi pada 19% kasus
Sistem kardiovaskular
Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi
miokardium yang berakhir dengan payah jantung. Gangguan
kardiovaskular terjadi pada 29% kasus
Sistem urogenital
Pada sistem urogenital, hipoksia bayi dapat menimbulkan
gangguan perfusi dan dilusi ginjal serta kelainan filtrasi
glomerulus. Gangguan ginjal terjadi pada 42% kasus, gagal ginjal
akut 15% kasus
Sistem gastrointestinal
Gangguan fungsi yang terjadi dapat berupa kelainan ringan yang
bersifat sementara seperti muntah berulang, gangguan toleransi
minum atau darah dalam residu lambung sampai kelainan
perforasi saluran cerna, enterokolitis nekrotikans, kolestasis,
dan nekrosis hepar. Gangguan sistem gastrointestinal terjadi
pada 29% kasus
Jangka pendek (kematian)
Angka mortalitas asfiksia sekitar 15−20%
Penatalaksanaan
Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam
mengatasi transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah
kecil membutuhkan berbagai derajat resusitasi. Secara garis besar
pelaksanaan resusitasi mengikuti algoritme resusitasi neonatal
Langkah Awal Resusitasi
Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan
menjawab 3 pertanyaan:
Apakah bayi cukup bulan?
Apakah bayi bernapas atau menangis?
Apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
JIka semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan
dalam prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibu. Jika

702
terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas maka
bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut
ini secara berurutan
Langkah awal
Memberikan kehangatan
Memosisikan kepala bayi dengan sedikit menengadahkan
kepalanya (semiekstensi/menghidu)
Membersihkan jalan napas seperlunya:
Jika tidak terdapat mekonium atau terdapat mekonium
tetapi bayi bugar, bersihkan mulut lalu hidung
Jika terdapat mekonium dalam cairan amnion dan bayi
tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan, tonus
otot ↓ dan frekuensi jantung (heart rate/HR) <100×/
mnt), segera dilakukan penghisapan cairan mekoneum
melalui trakea dengan menggunakan aspirator meko-
nium dan selang endotrakea (endotrachea tube/ETT)
sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom
aspirasi mekonium
Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan, dan meletak-
kan pada posisi yang benar
Ventilasi tekanan positif (VTP)
Jika semua tindakan di atas tidak menyebabkan bayi berna-
pas atau frekuensi jantung tetap <100×/mnt, dilakukan VTP
selama 30 detik sebanyak 20–30×, sesudah itu dinilai ulang
HR, napas dan saturasi oksigen. Jika VTP sudah dilakukan
tetapi HR masih <100×/mnt atau napas bayi masih megap-
megap, dilakukan koreksi ventilasi dengan cara SRIBTA
(sungkup dilekatkan, reposisi kepala, isap lendir, buka mulut,
tekanan dinaikkan, dan alternatif tindakan dengan melakukan
intubasi) sampai VTP efektif. Jika VTP sudah efektif dan HR
<100×/mnt, dilakukan kombinasi kompresi dada dan VTP
Kompresi dada
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung <60×/mnt
sesudah dilakukan VTP yang efektif selama 30 detik
Satu siklus yang berlangsung selama 2 detik, terdiri atas satu
ventilasi dan tiga kompresi. Kombinasi kompresi dada dan
VTP dilakukan selama 45–60 detik
Pemberian epinefrin
Efinefrin diberikan jika sudah dilakukan kombinasi kompresi
dada dan VTP efektis selama 45–60 detik, tetapi HR <60×/
mnt. Dosis yang diberikan 0,1–0,3 mL/kgBB larutan 1:10.000
(setara dengan 0,01–0,03 mg/kgBB) i.v. atau melalui selang
endotrakeal dengan dosis 0,5–1 mL/kgBB
Dosis dapat diulang 3–5 mnt jika frekuensi jantung tidak ↑
Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori
berikutnya ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital secara
simultan (pernapasan, frekuensi jantung, dan oksigenasi perifer/
saturasi oksigen)

703
Gambar 62 Algoritme Resusitasi Neonatus
Prognosis
Quo ad vitam dubia ad bonam
Quo ad functionam dubia ad bonam
Bibliografi
1. American Academy of Pediatrics. Textbook of neonatal
resuscitation. Edisi ke-6. New York: American Academy of
Pediatrics; 2011.
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
3. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hipoxic-ischemic
encephalophaty. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR,
Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7.
Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 711–28.

704
4. Perna R, Cooper D. Perinatal asphyxia: long-term cognitive
sequelae and behavioral consequences, applied neuro-
psychology. Child. 2012;1(1):48–52.
5. Üzel H, Kelekçi S, Devecioğlu C, Güneş A, Yolbaş I, Şen V.
Neonatal asphyxia: a study of 210 cases. J Clin Exp Invest.
2012;3:32–6.

705
HIPOTERMIA
Batasan
Suhu tubuh <36,5 °C

Klasifikasi
Klasifikasi hipotermia berdasarkan suhu inti (core suhue):
Ringan : 36,4–36 °C (97,6–96,8 °F)
Sedang: 35,9–32 °C (96,6–89,6 °F)
Berat : <32 °C (89,6 °F)
Etiologi
Paling rentan pada:
Bayi prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR)
Kecil untuk masa kehamilan
Bayi yang menjalani resusitasi lama
Bayi yang mendadak sakit → hipotermia, sering menyertai sepsis
dan penyakit lainnya
Lain-lain → abdomen yang terbuka atau defek spinal
Kondisi yang berkaitan dengan hipotermia:
Lingkungan dingin
Asuhan neonatus yang tidak benar segera sesudah kelahiran
Pengeringan tidak memadai
Baju yang tidak memadai
Pemisahan dari ibu
Prosedur pemanasan yang tidak memadai (sebelum dan selama
transpor/pemindahan)
Bayi sakit dan stres
Patofisiologi
Mekanisme kehilangan panas
Konduksi
Konveksi
Evaporasi
Radiasi
Diagnosis
Pengukuran suhu neonatus mungkin tidak dapat mendeteksi
perubahan dini dari stres dingin, karena neonatus pada awalnya
menggunakan simpanan energi untuk mempertahankan suhu
tubuhnya (suhu sentral). Tanda awal yang mungkin ditemukan
yaitu:
Kaki teraba dingin
Kemampuan mengisap yang lemah atau tidak dapat menyusui
Letargi dan menangis lemah
Perubahan warna kulit dari pucat dan sianosis menjadi kutis
marmorata atau pletora
Takipnea dan takikardia

706
Tanda lanjut yang mungkin ditemukan ketika hipotermia berlanjut:
Letargi
Apnea dan bradikardia
Terdapat risiko tinggi untuk hipoglikemia, asidosis metabolik, sesak
napas, faktor pembekuan abnormal (KID, perdarahan intra-
ventrikel, perdarahan paru)
Diagnosis Banding
Pemeriksaan
Suhu aksila
Keuntungannya mencakup penurunan risiko neonatus, keber-
sihan terjaga, dan pengukuran relatif cepat serta akurat
Letakkan termometer di tengah aksila dengan lengan ditempel-
kan secara lembut tetapi kuat pada sisi tubuh bayi selama 5 mnt
Kulit pada lokasi ini tidak bereaksi terhadap suhu rendah dengan
vasokonstriksi
Meskipun suhu sedikit lebih rendah daripada suhu sentral tubuh
sesungguhnya, perubahannya akan sama dengan suhu tubuh
Suhu rektum
Pengukuran suhu tubuh dari rektum merupakan prosedur invasif
dan tidak selalu dapat diandalkan
Darah yang mengalir dari ekstremitas bawah memengaruhi suhu
rektal
Jika terdapat vasokonstriksi perifer dan neonatus memusatkan
sirkulasinya, darah yang dingin dari ke dua tungkai akan secara
bermakna menurunkan suhu rektum yang diukur
Suhu lingkungan
Setiap kamar harus memiliki termometer dinding
Jaga suhu lingkungan kamar 24–26 °C
Terapi
Pengendalian Suhu
Di ruang bersalin
Memberikan lingkungan hangat yang bebas dari aliran udara
Keringkan neonatus segera. Sebaiknya pengaturan suhu pendi-
ngin (AC) disesuaikan dengan suhu lingkungan yang dibutuhkan
bayi, 24–26 °C
Kontak kulit ibu-bayi sedini-dininya (inisiasi menyusu dini/IMD)
akan berperan sebagai sumber panas. Lekatkan kulit bayi pada
kulit ibu, lalu selimuti ibu dan bayinya sekaligus atau tutupi
dengan kain/baju
Gunakan radiant warmer pada saat lahir untuk semua neonatus
dengan nilai APGAR rendah dari ibu yang memperlihatkan tanda
stres intrapartum dan atau memiliki faktor risiko neonatal dan
intrapartum
Tutup kepala neonatus dengan topi
Pemakaian radiant warmer
Neonatus tidak berpakaian kecuali popok dan diletakkan tepat di
bawah penghangat/radiant warmer
Probe suhu tubuh harus diletakkan mendatar pada kulit, biasa-
nya pada abdomen (daerah hipokondrium kanan)
707
Suhu servo harus diset pada 36,5 °C
Suhu harus diukur setiap 30 mnt atau atas instruksi dokter untuk
menilai bahwa suhu tubuh neonatus dipertahankan dalam
kisaran yang seharusnya
Pemakaian inkubator
Selama perawatan dalam inkubator, penting untuk mengikuti
prosedur ini:
Memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam asuhan
neonatus dapat menggunakan inkubator dengan benar,
memantau suhu tubuh neonatus, dan menyesuaikan suhu
inkubator untuk mempertahankan lingkungan bersuhu netral
Inkubator memerlukan:
Pasokan listrik yang tidak terputus
Staf terlatih untuk pemeliharaan/perbaikan
Ketersediaan suku cadang untuk perbaikan
Jauhkan inkubator dari jendela tanpa penutup. Suhu ruang
bayi harus memadai dan pembukaan/penutupan inkubator
harus diminimalkan
Ketika neonatus memerlukan perawatan dalam inkubator,
penting untuk mendukung ibu dan ayah bayi untuk mengunjungi
dan menggendong bayinya sesering-seringnya dengan meman-
faatkan kontak kulit dengan kulit agar suhu stabil
Tabel 162 Pengaturan Awal Suhu Inkubator
Berat Badan (g)
Usia
1.200 1.200–1.500 1.501–2.500 >2.500
0–24 jam 34–35 °C 33,3–34,4 °C 31,8–33,8 °C 31–33,8 °C
24–48 jam 33–35 °C 33–34 °C 31,1–33,6 °C 30,5–33,5 °C
48–72 jam 34–35 °C 33–34 °C 31–33,2 °C 30,1–33,2 °C
72–96 jam 34–35 °C 33–34 °C 31–33 °C 29,8–32,8 °C
2–3 hari 34–35 °C 32–34 °C 33–33,5 °C 29–32 °C
3–4 hari 32–33 °C 32–33 °C 30–32 °C 29–30 °C
4–5 hari 31–33 °C 30–32 °C 29–32 °C 28,8–29,8 °C
5–6 hari 30,8–32,6 °C 30,6–32,3 °C 29–31 °C 28–29 °C

Suhu bayi harus dipantau setiap 4 jam atau sesuai instruksi


dokter untuk mempertahankan suhu tubuh 36,5–37,5 °C. Suhu
inkubator dapat dinaikkan atau diturunkan 0,5–1 °C setiap 30
mnt, sampai suhu tubuh bayi sesuai yang diharapkan
Lubang jendela inkubator sedapatnya harus digunakan selama
asuhan neonatus dan tidak sering membuka pintu inkubator
yang lebih besar

Penyulit
Apnea (28%)
Sepsis neonatorum (26%)
Respiratory distress (20%)

708
Hipoglikemia (15,2%)
Metabolic jaundice (9,3%)
Edema dan perdarahan paru (0,9%)
KID (0,4%)
Skleroderma (0,2%)
Prognosis
Hipotermia berat biasanya buruk
Hipotermia sedang bila tidak tertangani → hipotermia berat
Bibliografi
1. Chatson K. Temperature control. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care.
Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm.
178–84.
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
3. Lynam L, Koerrsch F, Schindler M. A research program to
examine evidence-based practised in newborn thermoregulation.
Z Geburtschshilfe Neonatal. 2006:210.
4. Mizzi J, Sultana P. Hypothermia in the early neonatal period.
Malta Med J. 2003;15:22–4.
5. Mullany LC, Katz J, Khatry SK. Neonatal hypothermia and
associated risk factors among newborn in southern Nepal. BMC
Med. 2010;8:43.

709
HIPOGLIKEMIA
Batasan
Kadar glukosa darah <40 mg/dL (pada 24 jam pertama kehidupan)
Kadar glukosa darah <50 mg/dL (pada hari selanjutnya)

Klasifikasi
Hipoglikemia sementara
Hipoglikemia persisten
Etiologi
Hipoglikemia sementara
Stres neonatal, sepsis, asfiksia, hipotermia, polisitemia, syok,
riwayat ibu diabetes melitus (DM), pemberian glukosa yang tidak
adekuat, obat-obatan yang dimakan ibu (terbutalin/labetolol/
propanolol), transfusi ganti, bayi besar untuk masa kehamilan
(BMK)
Cadangan glikogen yang menurun
Bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK), bayi prematur/postmatur,
asupan kalori yang kurang
Hipoglikemia persisten
Hormone excess hyperinsulinism
Sindrom Beckwith-Wiedeman, adenoma sel pulau Langerhans,
adenomatosis, hiperplasia/displasia sel beta, nesidioblastosis
Defisiensi hormon
Defisiensi hormon pertumbuhan, tidak responsif terhadap
kortikotropin (corticotropin unresponsiveness), defisiensi tiroid,
defisiensi epinefrin, defisiensi glukagon, defisiensi kortisol,
hipoplasia/aplasia hipofisis anterior, hipoplasia saraf optikus
kongenital, defisiensi hormon hipotalamus, malformasi SSP
midline
Defek herediter metabolisme karbohidrat
Glycogen storage disease type I, intoleransi fruktosa, galaktose-
mia, defisiensi glycogen synthetase, defisiensi fructose-1,6-
diphosphatase
Defek herediter metabolisme asam amino
Maple syrup urine disease, propionic acidemia, tirosinosis,
defisiensi 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coalyase
Defek herediter metabolisme lemak
Faktor Risiko
BB lahir <2.000 g
Bayi dengan usia kehamilan ≤35 mg
Bayi kecil masa kehamilan (KMK): BB lahir <10 persentil
Bayi dengan pertumbuhan janin terhambat (PJT) morfologikal, yang
meliputi neonatus dengan BBL antara 10–25 persentil (mungkin
sampai 50 persentil) dengan gambaran klinis undernutrition seperti
≥3 lipatan kulit yang longgar di daerah gluteal, ↓ lemak subkutan dan
perbedaan lingkar kepala ke lingkar dada >3 cm
Bayi dengan ibu DM

710
Bayi besar masa kehamilan (BMK): BB lahir >90 persentil
Bayi dengan inkompatibilitas Rh
Bayi dengan ibu mendapatkan terapi terbutalin/propanolol/lebatolol
/antihipoglikemik
Neonatus yang sakit asfiksia, polisitemia, sepsis, syok, dll. ketika
dalam kondisi fase akut
Bayi dengan total parenteral nutrition
Patofisiologi
Hipoglikemia terjadi karena kecepatan produksi glukosa lebih rendah
dibandingkan dengan penggunaan glukosa. Penyebabnya:
Pasokan/suplai glikogen rendah
Cadangan glikogen rendah
Gangguan produksi glikogen (glikogenolisis atau glukoneogenesis)
Pemakaian glukosa ↑ (terutama karena hiperinsulinisme)
Pada BKB → cadangan glikogen lebih sedikit, karena glikogen
dideposit pada usia kehamilan trimester ketiga
Bayi dengan PJT atau bayi kecil masa kehamilan → perkembangan
aktivitas fungsi enzim phosphoenolpyruvate carboxynase (PEPCK)
tertunda → glukoneogenesis terganggu → cadangan glikogen ↓
Pada bayi dengan ibu DM ↓ kondisi hiperglikemia pada ibu →
hiperglikemia pada janin → menstimulasi pankreas janin →
hiperplasia sel  pankreas → hiperinsulinisme → hipoglikemia
Inkompatibilitas Rh → eritroblastosis fetalis → hiperplasia sel islet
pankreas → hiperinsulinemia → hipoglikemia
Terapi terbutalin pada ibu → interupsi terhadap stimulasi
glikogenolisis oleh epinefrin → hipoglikemia pada bayi
Terapi β-bloker (labetolol/propanolol) pada ibu → hipolikemia
disebabkan kemungkinan mekanisme sebagai berikut:
Pencegahan terhadap stimulasi simpatis terhadap proses
glikogenolisis
Pencegahan terhadap pemulihan ↓ asam lemak bebas dan gliserol
yang diinduksi insulin
Inhibisi terhadap ↑ asam lemak bebas dan laktat yang diinduksi
epinefrin
Neonatal sepsis → penggunaan glukosa ↑ dan produksi glukosa
↓ melalui mekanisme:
Menurunkan kecepatan proses gluoneogenesis
Meningkatkan kecepatan metabolisme
Meningkatkan sensitivitas insulin perifer
Sindrom Beckwith-Wiedemann (triad: makrosomia, defek
dinding abdomen, makroglosia) → hiperplasia berbagai sel
tubuh termasuk hiperplasia sel islet pankreas → hiperinsulinemia
→ hipoglikemia
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Apnea
Hipotonia
Kejang

711
Refleks isap ↓
Rewel
Pernapasan iregular
Refleks moro berlebihan,
Jarang: bradikardia, high pitched cry, takipnea
Dapat tanpa gejala (asimtomatik)
Pemeriksaan Laboratorium
Kadar glukosa darah sesuai dengan batasan
Complete blood count dengan hitung jenis leukosit (untuk me-
nyingkirkan sepsis dan polisitemia)
Jika diperlukan untuk evaluasi lebih lanjut, pemeriksaan
laboratorium lain dapat dilakukan untuk mendiagnosis defek
metabolisme, hipopituitarisme, dan hiperinsulinisme
Diagnosis Banding
Sepsis
Penyakit SSP
Paparan zat toksik
Abnormalitas metabolik: hipokalsemia, hiponatremia/hipernatremia,
hipomagnesia, defisiensi piridoksin
Insufisiensi adrenal
Gagal jantung
Gagal ginjal
Gagal hati
Terapi
Asimtomatik
Kadar glukosa dekstrostiks <25 mg/dL atau Chemstrip-bG <20
mg/dL (konfirmasi dengan kadar glukosa serum)
Berikan infus glukosa dengan kecepatan 6 mg/kgBB/mnt
(kontroversial)
Bila bayi cukup bl, hipoglikemia dapat terjadi dalam 6−12 jam
pertama dan jika tidak mempunyai faktor risiko tinggi dapat
dilakukan early feeding (EF) dan periksa ulang kadar glukosa
darah (GD) dalam 30–60 mnt sesudah EF. Bila GD tetap rendah,
mulai pemberian dekstrosa i.v, dan kadar glukosa diperiksa tiap
30–60 mnt sampai GD stabil
Kecepatan infus i.v. dapat dinaikkan sampai dicapai kadar
normoglikemia (GD 50–110 mg/dL)
Pemberian bolus glukosa pada bayi yang asimtomatik
merupakan kontraindikasi karena dianggap dapat menyebabkan
rebound hypoglycemia (kontroversial)
Kadar glukosa dekstrostiks 25–45 mg/dL atau Chemstrip-bG
20−40 mg/dL (konfirmasi dengan kadar glukosa serum)
Jika keadaan bayi stabil dan tidak mempunyai risiko untuk
hipoglikemia, dapat dilakukan early feeding dengan dekstrosa
5% atau susu formula
Pemeriksaan glukosa ulang setiap 30–60 mnt sampai kadarnya
stabil, kemudian diperiksa setiap 4 jam. Jika kadar glukosa tetap
rendah → infus glukosa, kecepatan mulai 6 mg/kgBB/mnt
712
Simtomatik
Konfirmasi dengan kadar glukosa serum
Infus minibolus glukosa 10% 2 mL/kgBB i.v. dengan kecepatan
1 mL/mnt, dilanjutkan infus glukosa 10% dengan kecepatan 6–8
mL/kgBB/mnt, kecepatan dapat dinaikkan lagi untuk memper-
tahankan kadar glukosa darah (>40–50 mg/dL). Pemeriksaan kadar
glukosa ulang dilakukan setiap 30–60 mnt sampai stabil
Konsentrasi glukosa tertinggi yang dapat diberikan melalui akses
vena perifer 12,5%. Jika diperlukan konsentrasi glukosa yang lebih
tinggi, diperlukan akses vena sentral
Hipoglikemia persisten
Kondisi ini terjadi bila hipoglikemia terjadi atau berulang dalam
periode >7 hr
Konsultasi
Divisi Endokrinologi
Prognosis
Hipoglikemia pada BKB meningkatkan risiko gangguan perkembangan
atau cerebral palsy (3,5×)
Hipoglikemia simtomatik dapat menyebabkan jejas otak (dapat
dideteksi dengan MRI), gangguan perkembangan saraf (neuro-
development), gangguan kognitif, dan bangkitan kejang berulang
Bibliografi
1. Achoki R, Opiyo N, English M. Mini-review: management of
hypoglycemia in children aged 0–59 months. J Trop Pediatr.
2010;56:227–34.
2. Burns CM, Rutherford MA, Boardman JP, Cowan FM. Patterns of
cerebral injury and neurodevelopmental outcomes after
symptomatic neonatal hypoglycemia. Pediatrics. 2008;122:65–74.
3. Chan SW. Neonatal hypoglycemia [diunduh 18 Juni 2012].
Tersedia dari: www.uptodate.com.
4. Cranmer H. Neonatal hypoglycemia [diunduh 18 Juni 2012].
Tersedia dari: www.emedicine.com.
5. Feller JM, Simpson AM, Nelson M, Swan MA, O'connel PJ,
Hawthorne WJ, dkk. Growth-promoting effect of Rh(D) antibody
on human pancreatic islet cells. J Clin Endocrinol Metab.
2008;93(9):3560–7.
6. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
7. Jain A, Agarwal R, Sankar MJ, Deorari A, Paul VK. Hypocalcemia in
the newborn. Indian J Pediatr. 2010;77:1123–8.
8. Simmons RA. Glucose metabolism in newborn infant. Dalam:
Polin RA, Yoder MC, penyunting. Workbook in practical
neonatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.
hlm. 45–51.
9. Straussman S, Levitsky LL. Neonatal hypoglycemia. Curr Op
Endocrinol Diab Obes. 2010;17:20–44.

713
10. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care.
Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2008. hlm.
540–6
11. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of
neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams &
Wilkins; 2012. hlm. 569–79.

714
HIPOKALSEMIA
Batasan
Pada BCB atau BKB dengan BBL >1.500 g
Kadar kalsium total serum <8 mg/dL atau kadar ion kalsium <4,4
mg/dL
Pada BKB dengan BBL <1.500 g
Kadar kalsium total serum <7 mg/dL atau kadar ion kalsium <4 mg/dL
Klasifikasi
Hipokalsemia awitan dini (2–3 hr pertama)
Hipokalsemia awitan lanjut (4–7 hr sesudah lahir)
Etiologi
Hipokalsemia Dini
Prematuritas
Asfiksia
Ibu dengan DM
Pertumbuhan janin terhambat (PJT)
Defisiensi vitamin D pada ibu
Hipokalsemia Lanjut
Hipoparatiroidisme
Sindrom DiGeorge
Ibu dengan hiperparatiroid
Hipomagnesemia
Asupan fosfat yang tinggi
Lain-lain
Terapi bikarbonat
Transfusi darah sitrat
Penggunaan furosemid
Fototerapi dengan white light
Penyakit ginjal
Gangguan metabolisme vitamin D
Patofisiologi
Hipokalsemia Dini
Prematuritas → asupan susu kurang, gangguan respons terhadap
hormon paratiroid, kadar kalsitonin yang tinggi, peningkatan
pengeluaran melalui ginjal
Bayi dengan ibu DM → konsentrasi hormon paratiroid rendah yang
mungkin disebabkan kadar kalsium ion tinggi pada ibu saat dalam
kandungan menyupresi kelenjar paratiroid bayi asfiksia → asupan
fosfat tinggi karena katabolisme jaringan, asupan ↓ karena
penundaan feeding, insufiensi ginjal, asidosis, dan konsentrasi
kalsitonin serum ↑
PJT → transfer kalsium melalui plasenta ↓
Defisiensi vitamin D pada ibu → kurang suplementasi vitamin D
prenatal

715
Hipokalsemia Lanjut
Hipoparatiroidisme
Sindrom DiGeorge → tidak ada kelenjar paratiroid, anomali
kraniofasial dan jantung ibu dengan hiperparatiroidisme →
supresi terhadap sekresi hormon paratiroid/parathormone
(PTH) janin
Hipomagnesemia → resistensi terhadap PTH dan gangguan
sekresi PTH
Asupan fosfat tinggi → pada bayi yang diberikan susu formula
dengan kadar fosfat yang tinggi → mungkin menyebabkan
antagonis sekresi/aksi PTH atau meningkatkan penyimpanan atau
deposit kalsium dan fosfor di tulang → hipokalsemia
Penyebab lain
Bayi yang diberikan infus bikarbonat → bikarbonat akan
membentuk senyawa dengan kalsium (Ca-complexes) → ↓
kadar kalsium ion plasma
Bayi yang diberikan infus lipid → asam lemak bebas akan
membentuk senyawa dengan kalsium ion → kadar kalsium ion
plasma ↓
Bayi yang difototerapi → sekresi melatonin ↓ → uptake
kalsium oleh tulang ↑
Transfusi ganti → infus cepat darah (yang di-buffer dengan
sitrat) akan mengkelasi kalsium ion dalam darah bayi →
hipokalsemia
Diagnosis
Gejala Klinis
Sebagian besar asimtomatik
Simtomatik
Apnea, tremor atau hiperefleksia, jittery, muscle jerking
(diinduksi oleh suara atau rangsang yang lain), kejang klonik
fokal atau umum, stridor inspiratoir (karena laringospasme),
wheezhing (karena bronkospasme), muntah (karena piloro-
spasme), aritmia (sekunder terhadap pemanjangan interval
QT)
Laboratorium
Kadar kalsium darah (terutama kadar kalsium ion) sesuai batasan
Elektrokardiografi
Interval QT memanjang atau aritmia
Diagnosis Banding
Berdasarkan etiologi
Penyulit
Fraktur tulang iga

716
Terapi
Simtomatik
Pemberian kalsium glukonas 10% (100 mg/BB atau 1 mL/kgBB)
selama 5–10 mnt dengan monitor denyut jantung. Dosis dapat
diulang dalam 10 mnt bila belum ada respons
Alternatif: kalsium klorida (20 mg/kgBB atau 2 mL/kgBB)
Dosis rumatan
Sesudah terapi akut, pemberian kalsium glukonas rumatan i.v.
harus diberikan
Bila dapat menoleransi enteral feeding: kalsium glukonas 10%
(500 mg/kgBB/hr dalam 4–6× pemberian susu)
Hipokalsemia dengan hipomagnesemia
Koreksi hipomagnesemia → larutan magnesium sulfat 50% (25–
50 mg/kgBB atau 0,2–0,4 mEq/kgBB) sebanyak 2×, interval 12
jam diberikan drip i.v. min. 2 jam atau i.m. Hindari pemberian
infus i.v. secara cepat karena dapat menyebabkan aritmia
Hipokalsemia pada hipoparatiroidisme
Diet rendah fosfat
Pemberian suplemen kalsium (50 mg/kgBB/hr dalam 3 dosis)
dan 1,25 (OH)2 vitamin D3 (0,5–1 μg/hr)
Hipokalsemia dengan hiperfosfatemia
Pemberian diet tinggi kalsium dan rendah fosfat
Pemberian ASI lebih diutamakan
Jika ASI tidak tersedia, berikan susu formula dengan kadar fosfor
yang rendah seperti Similac 60/40
Pemberian suplementasi kalsium seperti kalsium glukonas 10%
(500 mg/BB/hr dalam 4–6× pemberian susu)

Prognosis
Sebagian besar kasus hipokalsemia neonatal dini akan membaik
dalam 48–72 jam tanpa gejala sisa bermakna
Hipokalsemia neonatal lanjut sekunder terhadap asupan fosfat tinggi
dan defisiensi magnesium berespons baik terhadap restriksi fosfat
dan penambahan magnesium
Bila penyebabnya hipoparatiroidisme, hipokalsemia memerlukan
terapi kontinu dengan metabolit vitamin D dan kalsium. Lama
pemberian terapi berkaitan dengan etiologi hipoparatiroidisme,
dapat transien beberapa mgg–bl atau permanen
Bibliografi
1. Abrams SA. Abnormalities of serum calcium and magnesium.
Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR,
penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia:
Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 297–303.
2. Abrams SA. Neonatal hypocalcemia [diunduh 18 Juni 2012].
Tersedia dari: www.uptodate.com.
3. Ferry RJ. Pediatric hypocalcemia [diunduh 19 Juni 2012]. Tersedia
dari: www.emedicine.medscape.com.

717
4. Greer FR. Disorders of calcium, phosphorus and magnesium in
newborn period. Dalam: Polin RA, Yoder MC, penyunting.
Workbook in practical neonatology. Edisi ke-5. Philadelphia:
Saunders-Elsevier; 2007. hlm 29–35.
5. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
6. Jain A, Agarwal R, Sankar MJ, Deorari A, Paul VK. Hypocalcemia in
the newborn. Indian J Pediatr. 2010;77:1123–8.
7. Thomas TC, Smith J, White P, Adhikari S. Transient neonatal
hypocalcemia: presentation and outcomes. Pediatrics. 2010;129:
1461–7.

718
MASALAH GANGGUAN PERNAPASAN
TRANSIENT TACHYPNEA OF THE NEWBORN
Batasan
Transient tachypnea of the newborn (TTN) adalah distres pernapasan
yang biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri. Terjadi pada bayi
lahir matur (term) atau mendekati matur (near-term) yang ber-
hubungan dengan keterlambatan clearance cairan paru yang
tertunda. Distres pernapasan akan membaik dalam waktu 3–5 hr
Insidensi
Insidensi TTN berkisar 1–2% dari seluruh bayi baru lahir
Patofisiologi
Resorbsi cairan paru-paru yang tertunda oleh sistem limfatik → ↑
cairan dalam paru-paru → ↓ kompliansi paru → ↑ resistensi jalan
napas → takipnea dan retraksi
Bayi yang lahir dengan seksio sesaria → vaginal thoracic squeeze ↓
Imaturitas paru yang ditandai dengan tidak ditemukan fosfatidil-
gliserol sebagai penanda maturitas paru-paru
Defisiensi surfaktan ringan
Diagnosis
Anamnesis
Sesak napas, sianosis
Didapatkan faktor risiko seperti:
Lahir dengan seksio sesaria (khususnya bayi dengan usia kehamilan
<38 mgg)
Jenis kelamin laki-laki
Makrosomia
Riwayat penggunaan sedasi pada ibu saat persalinan
Persalinan dengan kala II memanjang
Asfiksia neonatorum
Asma pada ibu
Pemotongan tali pusat yang tertunda (waktu optimal 45 detik)
Letak sungsang
Bayi yang lahir dari ibu diabetes melitus
Bayi berat lahir rendah dan sangat rendah
Kehamilan multipel
Pemeriksaan Fisis
Takipnea (>60×/mnt dapat mencapai 100–120×/mnt)
Takikardia dengan tekanan darah normal
Grunting, pernapasan cuping hidung, retraksi interkostal, sianosis
Barrel chest
Pemeriksaan Penunjang
Prenatal: L-S rasio yang matur, ditemukan fosfatidilgliserol dalam
cairan amnion dapat membantu menyingkirkan penyakit membran
hialin

719
Postnatal:
AGD: hipoksia ringan, hipokarbia, hiperkarbia (PCO2 >55mmHg).
Jarang terjadi hiperkarbia berat
Darah lengkap dengan hitung jenis leukosit: normal pada TTN.
Hematokrit dapat ↑ pada polisitemia
Antigen tes dengan bahan pemeriksaan urin dan serum mem-
bantu menyingkirkan infeksi bakteri tertentu
Kadar endotelin-I plasma: pemeriksaan ini membantu mem-
bedakan penyakit membran hialin dengan TTN. Pada penyakit
membran hialin kadarnya ↑
Interleukin 6: membedakan TTN dengan sepsis. Kadarnya
normal pada TTN
Pemeriksaan radiologis
Hiperekspansi dari paru-paru, perihilar streaking, pembesaran
jantung ringan sampai sedang, pendataran diafragma, cairan
pada fisura minor atau cairan pada kavum pleura, gambaran
pembuluh darah paru yang ↑
USG paru: double lung point, comet-tail artifact pada lapang
paru bagian bawah

Tatalaksana
Oksigenasi: mulai dengan pemberian oksigen dengan kadar oksigen
ruangan untuk mempertahankan saturasi arteri tetap normal. Jika
tidak efektif, dapat diberikan continous possitive airway pressure
atau intubasi yang dilanjutkan dengan ventilasi mekanik
Antibiotik: spektrum luas sampai diagnosis sepsis atau pneumonia
dapat disingkirkan
Pemberian minum: puasakan bayi dengan respirasi >60×/mnt, bayi
dengan frekuensi pernapasan <60×/mnt bayi dapat diberi minum,
frekuensi pernapasan 60–80×/mnt dapat dilakukan pemberian
minum melalui pipa nasogastrik
Cairan dan elektrolit: pemberiannya harus dimonitor
Prognosis
Self-limited dan biasanya berlangsung 2–5 hr. Tidak terdapat gejala
sisa jangka panjang. Beberapa penelitian terkini menyatakan bahwa
TTN berhubungan dengan sindrom mengi pada masa anak-anak
Bibliografi
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
2. Kienstra KA. Transient tachypnea of the newborn Dalam:
Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting.
Manual of neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott
Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 403–6.
3. Louis NA. Transient tachypnea of the newborn. Dalam: Cloherty
JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2008. hlm.
364–6.

720
SINDROM ASPIRASI MEKONIUM
Batasan
Sindrom aspirasi mekonium adalah distres pernapasan yang terjadi
pada bayi baru lahir dengan cairan ketuban yang terwarnai dengan
mekonium
Mekonium adalah sekret intestinal pertama kali dari bayi baru lahir
yang terdiri atas sel-sel epitel, rambut, mucus, dan asam empedu
Insidensi
Biasanya terjadi pada bayi matur dan postmatur. Bervariasi 8–20%
dari seluruh persalinan. Dari seluruh bayi yang lahir dengan cairan
ketuban yang terwarnai dengan mekonium, 5% akan berkembang
menjadi sindrom aspirasi mekonium
Patofisiologi
Pasase mekonium intrauterin
Bergantung pada maturitas hormonal dan saraf parasimpatik
neonatus
Insidensi cairan ketuban yang terwarnai dengan mekonium mening-
kat dari 1,6% pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan 34–37 mgg
menjadi 30% pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan ≥42 mgg
Faktor yang memengaruhi → gawat janin dan stimulasi vagal
Aspirasi mekonium
Pasase mekonium intrauterin → respirasi ireguler atau gasping
selama persalinan → aspirasi cairan ketuban yang mengandung
mekonium → obstruksi jalan napas, ↓ kompliansi paru dan ↑
resistensi jalan napas saat ekspirasi
Obstruksi jalan napas total → atelektasis (parsial → ball-valve
phenomenon) → air trapping → hiperakspansi alveolus
Pneumonitis → edema bronkiolus → penyempitan saluran respiratori
Aspirasi mekonium → stimulasi pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi
dan agen vasoaktif → resistensi pembuluh darah paru ↑ → pirau dari
kanan ke kiri → hipoksemia
Diagnosis
Anamnesis
Ditemukan faktor risiko seperti:
Kehamilan lebih bulan
Preeklamsi dan eklamsi
Ibu dengan hipertensi
Ibu dengan diabetes melitus
Gangguan pertumbuhan intrauterin
Profil biofisik yang abnormal
Oligohidramnion
Ibu perokok berat, penyakit saluran respiratori, dan jantung
kronik pada ibu
Skor APGAR 5 mnt yang rendah
Gawat janin
Persalinan yang berlangsung di rumah

721
Pemeriksaan Fisis
Tanda-tanda lebih bulan: KMK, kuku yang panjang, kulit terwarnai
mekonium (kuning kehijauan) disertai pengelupasan
Tali pusar terwarnai dengan mekonium
Tanda obstruksi jalan napas: apnea, gasping, sianosis
Tanda distres pernapasan: takipnea, pernapasan cuping hidung,
retraksi interkostal, diameter anteroposterior dada ↑
Auskultasi paru: ronki atau mengi
Pemeriksaan Penunjang
AGD: hipoksemia, alkalosis respiratorik atau asidosis respiratorik,
asiodosis metabolik dan respiratorik
Foto Rontgen toraks: hiperinflasi lapang paru, diafragma menda-
tar, infiltrat berupa bercak ireguler, pneumotoraks, pneumomedia-
stinum
Ekokardiografi jantung: hipertensi pulmonal
Tatalaksana
Prenatal
Identifikasi kehamilan yang berisiko untuk terjadinya insufisiensi
uteroplasenta dan hipoksia janin selama persalinan
Pemantauan selama persalinan: tanda-tanda gawat janin, tidak
ditemukan beat-to-beat variability, takikardia, deselerasi
Tatalaksana di ruang persalinan
Bayi bugar → perawatan rutin
Bayi dengan distres pernapasan → intubasi secepatnya → meko -
nium aspirator
Tatalaksana bayi yang lahir dengan aspirasi mekonium
Sistem pernapasan: pulmonary toilet
AGD
Pemantauan oksigen: pantau saturasi oksigen
Antibiotik: dimulai dengan antibiotik spektrum luas, misalnya
ampisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/dosis
Pemberian oksigen
Ventilasi mekanik: diindikasikan pada penderita dengan impending
respiratory failure (hiperkapnia dan hipoksemia persisten
Seting ventilator dengan tekanan inspirasi yang tinggi dan
frekuensi napas yang lebih cepat daripada bayi dengan penyakit
membran hialin
High frequency jet ventilation (HFV)
Surfaktan
Nitrit oksida inhalasi
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO)
Prognosis
Terapi berupa pemberian surfaktan, HFV, nitrit oksida inhalasi dan
ECMO mengurangi angka kematian sampai <5%. Pada penderita
dengan aspirasi mekonium berat, displasia bronkopulmonal atau
penyakit paru kronik dapat terjadi akibat penggunaan ventilasi
mekanik yang berkepanjangan. Bayi dengan asfiksia dapat mengalami
sekuele neurologis

722
Bibliografi
1. Burris HH. Meconium aspiration. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care.
Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm.
429–32.
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
3. Harris LL, Stark AR. Meconium aspiration. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2008. hlm.
383–7.

723
PNEUMONIA PADA NEONATUS
Batasan
Proses inflamasi dan infeksi yang terjadi pada jaringan parenkim
paru-paru yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, dan
jamur
Etiologi
Minggu pertama kehidupan: >gram (−); sesudah mgg pertama: gram (+)
Bakteri: Streptococcus hemolyticus group B, Streptococcus
pneumonie (25%), E. coli, dll.
Virus: Rubella, Herpes, RSV, Sitomegalovirus, HIV, Parainfluenza,
Influenza
Parasit: Toxoplasma gondii
Bakteri atipikal: Klamidia, Listeria monocytogenes
Jamur: Candida albicans
Klasifikasi
Awitan dini (48 jam pertama kehidupan s.d. 1 mgg pertama); awitan
lanjut (3 mgg)
Pneumonia kongenital
Pneumonia intrauterin
Pneumonia didapat intrapartum
Pneumonia didapat postpartum
Faktor Predisposisi
Prematuritas
Ibu demam >38 °C
Ketuban pecah dini >24 jam
Riwayat ketuban berbau
Pemeriksaan vaginal toucher yang sering
Persalinan lama
Korioamnionitis
Skor APGAR rendah
Infeksi sistemik ibu oleh karena etiologi: Rubella, Cytomegalovirus,
Treponema pallidum, Listeria monocytogenes, Tuberculosis, HIV,
TORCH
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat ibu (infeksi peripartum)
Gejala Klinis
Letargi, perfusi perifer ↓, takikardia, hipotermia atau hipertermia,
malas menetek, distensi abdomen
Tanda gawat napas, suhu tubuh tidak stabil, distensi abdomen,
refleks memburuk
Ronki, takipnea (60–89%), retraksi terutama subkostal dan
interkostal (>80%)

724
Bila terdapat infeksi sistemik ibu (biasanya ibu asimtomatik):
hepatosplenomegali, trombositopenia, ikterik
Gejala lokal antara lain: konjungtivitis, vesikel atau lesi kulit fokal,
sekresi nasal yang tidak lazim, eritema, edema atau keadaan lain
yang menunjukkan reaksi inflamasi
Laboratorium
Darah: jumLah batang >20% leukosit, leukositosis, kultur dapat
(+), LED ↑, CRP ↑
Gram dan kultur aspirat cairan trakea/lambung/faring → dapat
ditemukan bakteri
Foto Rontgen Toraks
Kasus berat: tampak densitas homogen dan difus
Kasus lain: seperti gambaran penyakit membran hialin (retikulo-
granular dan difus), kadang seperti pneumonia pada bayi
Gambaran nodular/infiltrat, granular, air bronchogram, konsolidasi
lobar/segmental yang gambarannya tidak membaik dalam 48 jam

Diagnosis Banding
Penyakit membran hialin (PMH)
Transient tachypnea of the newborn (TTN)
Aspirasi mekonium
Edema paru

Penyulit
Meningitis
Efusi pleura
Sepsis

Terapi
Mempertahankan suhu optimal bayi 36,5–37,5°C
Mempertahankan oksigenasi adekuat, jika memungkinkan PaO2 50–
80 mmHg
Mempertahankan sirkulasi darah
Jika Ht <40% → transfusi darah
Antibiotik (jika diduga ada infeksi bakteri): sebaiknya diberikan ≥4 hr
(atau ≥7 hr)
Ampisilin (cloxacillin atau flucloxacillin)
0–7 hr: 50 mg/kgBB/12 jam
>7 hr: 50 mg/kgBB/8 jam
Ditambah
Gentamisin (kanamisin atau streptomisin): dosis loading 8 mg/kgBB
Dilanjutkan, bila usia 0–7: hr 2 mg/kgBB/24 jam (BB <2 kg) atau
4 mg/kgBB (BB >2 kg), usia >7 hr: 4 mg/kgBB/24 jam (BB <2 kg)
atau 6 mg/kgBB ( BB >2 kg)
Jika infeksi nosokomial → sefalosporin generasi III
0–7 hr: 100 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis i.m./i.v.
>7 hr: 150 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis i.m./i.v.

725
Jika gagal dengan terapi lini pertama → sefalosporin generasi
III/kloramfenikol (bila bayi tidak prematur dan kadar obat dapat
dimonitor)
Selanjutnya bergantung pada hasil kultur dan resistensi mikro-
organisme
Terapi antibiotik diberikan selama 10–14 hr
Fisioterapi dada bila diperlukan
Pencegahan
Imunisasi maternal dengan vaksinasi polisakarida pneumokokus
untuk mencegah S. pneumoniae
Pencegahan transmisi penyakit seksual maternal
Menjaga kebersihan jalan lahir dengan cairan antiseptik (clorhexidine
0,25%) setiap melakukan pemeriksaan vaginal toucher
Suplementasi vitamin A saat lahir
Tatalaksana apnea dan gagal napas pada bayi baru lahir, contoh:
penggunaan CPAP
Prognosis
Bergantung pada etiologi
Bibliografi
1. Caserta MT. Neonatal pneumonia. 2009. [diunduh 01 Juli 2012].
Tersedia dari: www.merck.com/mmpe/print/sec19/ch279/ch279.
html.
2. Duke T. Neonatal pneumonia in developing countries. Arch Dis
Child Fetal Neonatal. 2005;4:F211–9.
3. Engle WD, Jackson GL, Sendelbach D, Ford D, Olesen B, Burton
KM. Neonatal pneumonia: comparison of 4 vs 7 days of antibiotic
therapy in term and near-term infants. J Perinatol. 2000;20: 421–
6.
4. Engle WD, Jackson GL, Sendelbach DM, Stehel EK, Ford DM,
McHugh KM. Pneumonia in term neonates: laboratory studies
and duration of antibiotic therapy. J Perinatol. 2003;23:372–7.
5. Klein JO, Barnett ED. Neonatal pneumonia. Philadelphia: WB
Saunders; 2003.
6. Mathur NB, Garg K, Kumar S. Respiratory distress in neonates
with special reference to pneumonia. Indian Ped. 2002;39:529–
37.
7. Nissen MD. Congenital and neonatal pneumonia. Paed
Respiratory Rev. 2007;8:195–203.

726
SINDROM DISTRES PERNAPASAN/
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS)
Batasan
Sindrom distres pernapasan (RDS)—pada waktu lalu dikenal sebagai
penyakit membran hialin (hyaline membrane disease/HMD)—adalah
suatu diagnosis klinis pada bayi prematur dengan kesulitan bernapas
yang disebabkan oleh defisiensi surfaktan yang ditandai dengan
takipnea (>60×/mnt), retraksi dinding dada dan sianosis yang
menetap atau menjadi progresif dalam 48–96 jam kehidupan, dengan
karakteristik gambaran foto Rontgen berupa gambaran retikulo-
granular dan peripheral air bronchogram

Insidensi
RDS terjadi pada 44% bayi dengan berat lahir 501–1.500 g. Insidensinya
berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat lahir
Patofisiologi
Defisiensi surfaktan → atelektasis yang progresif → functional
residual capacity (FRC) tidak efektif → ekspansi alveolus ↓ →
tegangan permukaan paru-paru ↑
Eksudat yang kaya akan protein dan debris yang berasal dari
kerusakan epitel paru terkumpul dalam jalan napas → kapasitas paru-
paru ↓
Kompliansi paru ↓ → diperlukan tekanan (−) yang lebih besar untuk
membuka jalan napas yang kolaps → retraksi dinding dada
Tekanan intratorakal ↓
Diagnosis
Anamnesis
Didapatkan faktor risiko seperti:
Prematuritas
Jenis kelamin laki-laki
Predisposisi familial
Persalinan dengan seksio sesaria
Asfiksia neonatal
Korioamnionitis
Kehamilan multipel
Ibu dengan DM
Pemeriksaan Fisis
Takipnea, grunting, pernapasan cuping hidung, retraksi dinding
dada, sianosis
Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen toraks
Gambaran retikulogranular → ground glass appearance disertai
peripheral air bronchogram
AGD

727
Darah lengkap, termasuk hitung jenis dan kultur darah
Gula darah
Elektrolit serum
Ekokardiografi: dilakukan untuk mendiagnosis duktus arteriosus
persisten

Tatalaksana
Pencegahan
Kortikosteroid antenatal
Pemberian surfaktan
Dosis survanta 4 mL/kgBB/dosis terutama pada 6 jam pertama
kehidupan
Dukungan pernapasan
Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik
Continous possitive airway pressure (CPAP)
Pemberian cairan dan nutrisi
Antibiotik sampai terbukti tidak ada infeksi bakteri
Prognosis
Sepuluh sampai 20% menyebabkan kematian pada tahun pertama
akibat RDS
Bibliografi
1. Bhakta KY. Respiratory distress syndrome. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2008. hlm.
323–30.
2. Bhakta KY. Respiratory distress syndrome. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of
neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams &
Wilkins; 2012. hlm. 406–16.
3. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.

728
APNEA
Batasan
Tidak terdapat aliran udara pernapasan selama lebih dari 20 detik
atau henti napas sejenak (>10 detik) yang disertai dengan penurunan
saturasi oksigen atau bradikardia (<100×/mnt)

Klasifikasi
Apnea sentral
Apnea obstruktif
Apnea campuran

Etiologi
Penyakit/kelainan organ
Kepala dan SSP
Asfiksia neonatal
Perdarahan intraventrikular
Meningitis
Hidrosefalus dengan tekanan intrakranial ↑
Kejang
Sistem respirasi
Hipoksia
Obstruksi jalan napas
Penyakit paru
Ventilasi tidak adekuat atau ekstubasi terlalu dini
Sistem kardiovaskular
Gagal jantung kongestif
PDA
Penyakit jantung kongenital
Saluran cerna
EKN
Refluks gastroesofageal
Sistem hematologi
Anemia
Polisitemia
Penyakit dan kelainan lainnya
Suhu tidak stabil (hipotermia, hipertermia)
Infeksi (sepsis)
Kelainan metabolik/elektrolit (hipoglikemia/hiponatremia)
Refleks vagal (efek sekunder tube nasogastrik)
Obat (dosis tinggi fenobarbital, diazepam, dan pengaruh obat ibu
misalnya MgSO4 dan anestesia umum)
Usia kehamilan (seperti tampak pada Tabel 163)

729
Tabel 163 Penyebab Apnea dan Bradikardia Tersering Sesuai Usia
Kehamilan
Kurang Bulan Cukup Bulan Semua Usia
Apnea pada prematur Infark serebri Sepsis
PDA Polisitemia EKN
PMH Meningitis
Hidrosefalus postperdarahan Aspirasi
Perdarahan peri atau Refluks gastroesofagus
intraventrikular Kejang
Asfiksia

Usia pascanatal
Terjadi beberapa jam sesudah lahir: pengaruh obat ibu, asfiksia,
kejang, PMH
Terjadi ≤1 mgg: PDA, perdarahan intra/periventrikular
Terjadi >1 mgg: hidrosefalus postperdarahan, kejang
Terjadi 6–10 mgg: anemia karena prematuritas
Terjadi dalam waktu yang bervariasi: sepsis, EKN, meningitis

Patofisiologi
Ketidakmatangan pusat pernapasan
Keutuhan/obstruksi jalan napas
Pompa pernapasan

Faktor Predisposisi
BKB
Saudara dengan riwayat sudden infant death syndrome (SIDS)
Kelainan neurologik

Diagnosis
Anamnesis
Bayi dengan faktor risiko (kurang bulan, kelainan neurologik, infeksi)
Gejala Klinis
Letargi
Hipotermia
Tanda tekanan tinggi intrakranial
Distensi abdomen
Laboratorium
Gambaran darah tepi/hitung jenis/trombosit (DD/sepsis)
AGD: mengetahui hipoksia
Glukosa, elektrolit darah: mengetahui gangguan metabolik
Radiologi
Foto Rontgen toraks: atelektasis, pneumonia, air leak
Foto abdomen: tanda EKN
USG kepala: perdarahan intrakranial/kelainan SSP

730
CT-scan:untuk bayi yang menunjukkan kelainan neurologis, infark
serebri

Pemeriksaan Penunjang
Elektroensefalografi (EEG): untuk mengetahui apakah apnea
bentuk dari bangkitan kejang
Pneumografi: dapat membedakan suatu apnea sentral atau apnea
obstruktif

Diagnosis Banding
Berdasarkan etiologi

Terapi
Pencegahan
Manipulasi yang minimal
Pengaturan suhu lingkungan
Jika memungkinkan, letakkan bayi dalam posisi tengkurap
Pemantauan pernapasan dan denyut jantung

Umum
Oksigen per nasal
Stimulasi taktil
Perhatikan posisi leher (tidak boleh terlalu fleksi/ekstensi)
Nasal CPAP: dengan tekanan 4–6 cm H2O, dapat ditingkatkan s.d.
10 cm H2O dan kecepatan aliran O2 5–10 L/mnt
Medikamentosa (jika usaha di atas gagal), indikasi pemberian
adalah apnea yang disebabkan oleh prematuritas
Teofilin
i.v./p.o. 1,5–2 mg/kgBB/6 jam
Jika serangan apnea ↑ dan berat → aminofilin, dosis awal
5–6 mg/kgBB i.v. perlahan dalam 15–30 mnt, 12 jam
kemudian dilanjutkan dosis rumatan 1,5–2 mg/kgBB setiap
6–8 jam
Kafein sitrat
i.v./p.o. dosis awal 20 mg/kgBB, selama 30 mnt, 24 jam
kemudian dilanjutkan dosis rumatan 5–12 mg/kgBB i.v./p.o,
dosis ditingkatkan 1 mg/kgBB sampai dosis total 12 mg/kgBB
Doksapram
Jika pemberian teofilin/kafein apnea tidak berkurang →
infus/drip kecepatan 0,5–1,5 mg/kgBB/jam. Sesudah apnea
teratasi → kecepatan dapat ↓, sedangkan pada penderita
yang tetap apnea, dosis ↑ sampai maks. 2,5 mg/kgBB/jam

Ventilasi mekanik
Jika semua usaha di atas gagal

Khusus
Bergantung pada etiologi

731
Penyulit
Apnea pada neonatus biasanya mengalami resolusi pada usia koreksi
40–42 mgg
Apnea pada prematuritas yang persisten serta hipoksemia yang
menyertainya kemungkinan dapat menyebabkan konsekuensi jangka
panjang berupa gangguan perkembangan neurologis. Gangguan pada
kontrol pernapasan dan hipoksia kronik intermiten dapat menyebab-
kan gangguan pernapasan tidur (sleep-disordered breathing)

Prognosis
Pada umumnya baik, tanpa disertai gejala sisa

Bibliografi
1. Abu-Shaweesh JM, Martin RJ. Neonatal apnea: what’s new?
Pediatr Pulmonol. 2008 Oct;43(10):937–44.
2. Dudell GG, Stoll BJ. Apnea. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Nelson WE, Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co; 2007. hlm.
729–30.
3. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
4. Stark AR. Apnea. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR,
Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7.
Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 395–405.
5. Stark AR. Apnea. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR,
penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia:
Lippincott William & Wilkins; 2008. hlm. 369–82.

732
SYOK PADA NEONATUS
Batasan
Syok adalah gangguan fungsi sirkulasi yang berkurang mendadak dan
kompleks yang mengakibatkan penyampaian oksigen dan nutrien
untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan untuk mengeluarkan sisa
metabolisme
Hipotensi adalah tekanan darah >2 standar deviasi di bawah harga
normal menurut usia
Patofisiologi
Syok terjadi karena kegagalan perfusi dengan patofisiologi yang
dapat diterangkan sebagai berikut:
Pada banyak kasus curah jantung menjadi rendah, pada awal syok
terjadi kompensasi berupa vasokonstriksi pembuluh darah
regional (kulit, muskuloskeletal, sirkulasi splangnikus) mungkin
sementara dapat memelihara tekanan darah tetap normal dan
aliran darah adekuat ke organ vital. Tetapi apabila syok berlanjut,
mekanisme kompensasi ini gagal dan kerusakan sel akan terjadi
Terpeliharanya perfusi jaringan yang adekuat bergantung pada 3
faktor utama, yaitu:
Curah jantung (cardiac output = CO)
Integritas dan terpeliharanya tonus vasomotor pembuluh darah
setempat, termasuk arteri, vena, dan pembuluh darah kapiler
Kemampuan darah untuk membawa bahan metabolik dan
membuang sisa metabolisme
Syok merupakan kelainan yang progresif, tetapi syok secara umum
dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu kompensasi, dekompensasi, dan
ireversibel. Tiap fase mempunyai karakteristik manifestasi kliniko-
patologi dan hasil (outcome), tetapi pada BBL tidak mungkin
dibedakan
Faktor Risiko
Infeksi tali pusat
Abnormalitas plasenta
Hemolisis fetal/neonatal
Perdarahan fetal/neonatal
Infeksi maternal
Anestesi/hipotensi maternal
Asfiksia intrauterin dan atau intrapartum
Sepsis neonatorum
Pulmonary air leak syndrome
Overdistensi paru saat ventilasi tekanan (+)
Aritmia jantung
Etiologi
Syok hipovolemik disebabkan oleh kehilangan darah akut atau
kehilangan cairan
Syok distributif disebabkan oleh sepsis, vasodilator, depresi
miokardium, atau jejas endotel

733
Syok kardiogenik disebabkan oleh kardiomiopati, gagal jantung,
aritmia, atau iskemia miokardium
Syok obstruktif disebabkan oleh tension pneumothorax atau
tamponade jantung. Dapat juga disebabkan oleh obstruksi pembuluh
balik vena akibat pressure ventilation
Syok disosiatif disebabkan oleh anemia yang sudah terjadi
sebelumnya atau methemoglobin

Diagnosis
Pengukuran tekanan darah → hipotensi
Sindrom klinis syok terdiri atas:
Takikardia
Perfusi yang buruk
Kutis marmorata
Akral dingin
Denyut nadi lemah, dalam
Gangguan napas: apnea, takipnea
Asidosis metabolik
Oliguria atau anuria

Pemeriksaan Laboratorium
AGD
Kadar glukosa
Elektrolit (hipo atau hipernatremia, hipo atau hiperkalemia, kalsium)
Tes fungsi hati dan ginjal
Profil pembekuan darah (prothrombin time, partial thromboplastin
time, fibrinogen, D-dimer)
Kadar asam laktat
Ekokardiografi untuk evaluasi fungsi miokardium dan menyingkirkan
kelainan jantung bawaan
Evaluasi sepsis (pemeriksaan darah rutin dan kultur darah)

Terapi
Tujuan terapi syok untuk meningkatkan cardiac output dengan
pemberian volume expander dan atau inotropik, memperbaiki perfusi
dan oksigenasi, mengurangi metabolism anaerob dan produksi asam
laktat, dan akhirnya memperbaiki pH darah
Syok Hipovolemik
Volume expander (NaCl 0,9%) 10–20 mL/kgBB diberikan dalam
15–30 mnt, bila tidak ditemukan perdarahan akut
Transfusi PRC atau whole blood bila ditemukan perdarahan akut
Syok Kardiogenik
Koreksi faktor yang mengganggu kontraktilitas miokardium, seperti
hipoksia, hipoglikemia, hipotermia, hipotensi, asidosis, aritmia,
infeksi, dan gangguan keseimbangan elektrolit
Koreksi asidosis metabolik
Inotropik: dobutamin dan dopamin

734
Syok Septik
Mulai dengan pemberian volume expander 10–60 mL/kgBB sampai
terjadi perbaikan perfusi perifer
Syok yang tidak teratasi dengan pemberian cairan, merupakan
indikasi penggunaan dopamin (5–20 µg/kgBB/mnt), dobutamin (
5–20 µg/kgBB/mnt), titrasi epinefrin (0,05–1 µg/kgBB/mnt)
Kortikosteroid: Hidrokortison 2–10 mg/kgBB/hr dibagi dalam 2–4
dosis selama 3–5 hr atau deksametason 0,25 mg/kgBB dosis
tunggal

Penyulit
Syok refrakter terjadi dengan keterlibatan kardiovaskular
Multiple organ dysfunction syndrome

Prognosis
Dengan menggunakan 2002 American College of Critical Care
Medicine Clinical Guidelines for Hemodynamic Support of Neonates
and Children with Septic Shock, mortalitas syok septik ↓ dari 39%
menjadi 12%, sedangkan mortalitas syok hipovolemik ↓ dari 38%
menjadi 8%, namun angka mortalitas dan sekuele jangka panjang
yang berat pada syok septik neonatus di populasi umum 52%
Syok refrakter memiliki angka mortalitas yang besar (48%)

Bibliografi
1. Brierley J, Carcillo JA, Choong K, Cornell T, DeCaen A, Deymann A,
dkk. Clinical practice parameters for hemodynamic support of
pediatric and neonatal septic shock: 2007 update from the
American College of Critical Care Medicine. Crit Care Med.
2009;37(2):666–88.
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
3. Karlsen KA. STABLE: blood pressure pre-transport/post-
resuscitation stabilization care of sick infants guidelines for
neonatal healthcare providers. Edisi ke-5. Utah: March of Dimes;
2006.
4. Kluckow M. Hypotension in the newborn infant. Dalam: Polin RA,
Yoder MC, penyunting. Workbook in practical neonatology Edisi
ke-4. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 261–87.
5. Kourembanas S. Shock. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark
AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6.
Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins; 2008. hlm. 176–80.
6. Meyer S, Gortner L, McGuire W, Baghai A, Gottschling S.
Vassopressin in catecholamine-refractory shock in children.
Anaesthesia. 2008;63:228–34.

735
PEMBERIAN NUTRISI
NUTRISI ENTERAL PADA NEONATUS
Batasan
Nutrisi enteral (NE) merupakan cara memenuhi kebutuhan nutrisi
sebagian atau seluruhnya untuk pertumbuhan bayi dan memper-
tahankan integritas struktur traktus gastrointestinal
Trophic feeding atau disebut juga gut priming, sebagai pemberian
makanan dalam jumLah yang sangat kecil (10–20 mL/kgBB/hr)
ditujukan untuk menginduksi maturasi usus
Manfaat pemberian NE sejak dini:
Meningkatkan jumlah hormon usus
Mengurangi intoleransi makanan
Nutrisi enteral penuh dapat segera dilakukan
Meningkatkan BB
Meningkatkan retensi kalsium dan fosfor
Pemberian parenteral lebih singkat

Pedoman Pemberian Trophic Feeding


Dimulai segera sesudah lahir, idealnya hr ke-2 atau ke-3
Menggunakan kolostrum atau formula pada volume 10–20 mL/kg/hr,
selang 3, 4, 6, atau 8 jam
Pada bayi stabil hemodinamik, tidak ada NEC/ileus
Kebutuhan Nutrisi Neonatus
Kalori
Untuk mempertahankan BB, 50–60 kkal/kgBB/hr
Untuk meningkatkan BB, 100–120 kkal/kgBB/hr bagi BCB
(meningkatkan 15–30 g/hr) dan 110–140 kkal/kg/hr untuk BKB
Karbohidrat
Kebutuhan sekitar 40–50% total kalori
Protein
Kebutuhan sekitar 2,25–4,0 g/kgBB/hr untuk memenuhi 7–16%
kebutuhan kalori
Lemak
Kebutuhan 3 g/kgBB/hr (40–50% total kalori)
Vitamin dan mineral
Cairan
Kriteria Memulai Pemberian Nutrisi Enteral
Tidak ada sekresi oral yang berlebihan
Perut lembut dan tidak cembung
Pernapasan <60×/mnt
Nutrisi Enteral Bayi Kurang Bulan
ASI

736
ASI yang difortifikasi, untuk ↑ energi, protein, vitamin, dan
mineral agar lebih cocok untuk BKB, diberikan sesudah bayi
toleran terhadap 100 mL/kg ASI
Formula kurang bulan
Nutrisi Enteral Bayi Cukup Bulan
ASI
Formula cukup bulan
Metode Pemberian
Selang nasogastrik/orogastrik
Bayi <34 mgg, bayi yang refleks hisapnya lemah atau ↓
Transpilorik
Bayi dengan intoleransi terhadap NGT/OGT, risiko aspirasi,
masalah residu dan regurgitasi lambung yang berat, gangguan
anatomis saluran cerna
Gastrostomi
Bayi dengan gangguan neurologis, bayi yang tidak dapat
menetek untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan hidrasi
Tabel 164 Pedoman Pemberian Tube Feeding
Berat Badan Lahir (g) Dosis Awal (mL/kgBB)
<800 10
800–1.000 10–20
1.001–1.250 20
1.251–1.500 30
1.501–1.800 30–40
1.801–2.500 40
>2.500 50
Target volume yang diinginkan 140–160 mL/kgBB/hr

Bibliografi
1. Chaudhari S, Kadam S. Total parenteral nutrition in neonates.
Indian Pediatr. 2006;43:953–64.
2. Ellard D, Anderson DM. Nutrition. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins; 2008.
hlm. 114–36.
3. Ellard DM, Anderson DM. Nutrition. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of
neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams &
Wilkins; 2012. hlm. 230–62.
4. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.

737
NUTRISI PARENTERAL PADA NEONATUS
Batasan
Nutrisi parenteral (NP) merupakan cara untuk memenuhi persyaratan
nutrisi, sebagian atau seluruhnya untuk bayi yang tidak dapat
menoleransi pemberian asupan enteral. Dapat diberikan secara
sentral melalui kateter yang ditempatkan pada vena kava superior
atau vena kava inferior atau secara perifer melalui vena perifer.
Nutrisi parenteral total (NPT) adalah pemberian berbagai zat gizi atau
nutrisi (lemak, karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral) melalui
intravena yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik
dan pertumbuhan

Indikasi
Indikasi pemberian NP sebagai berikut:
BKB yang diperkirakan tidak dapat menoleransi pemberian asupan
enteral secara penuh dalam waktu 3‒7 hr
Bayi yang dicurigai atau pasti mengalami enterokolitis nekrotikans
dan diperkirakan mendapat nutrisi parenteral eksklusif selama >3 hr
Bayi sesudah operasi dan tidak dapat asupan untuk jangka waktu
yang panjang
Bayi dengan anomali gastrointestinal seperti gastroschizis,
meconium ileus, short bowel syndrome, EKN, ileus paralitik
Bayi yang tidak naik BB-nya sesudah mendapatkan pemberian
asupan secara enteral

Manajemen
Kebutuhan Cairan
Cairan dimulai dari 60–80 mL/kgBB/hr pada BCK dan 80–100
mL/kgBB/hr pada bayi prematur, kemudian dinaikkan 10–20 mL/hr
hingga maks. bergantung pada maturitas dan kondisi lingkungan
yang memengaruhi kehilangan cairan dari kulit. Kenaikan cairan
pada akhir minggu berturut-turut 120–150 mL/kgBB/hr pada BCK
dan 130–180 mL/kgBB/hr pada bayi prematur. European Society
for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition
(ESPGHAN) tahun 2005 merekomendasikan kebutuhan cairan
berdasarkan proses adaptasi cairan neonatus sebagai berikut

738
Tabel 165 Kebutuhan Cairan Minggu Pertama
Usia (hr) 1 2 3 4 5 6
Bayi cukup bulan 60–120 80–120 100–130 120–150 140–160 140–180
Bayi kurang bulan, BBL ≥1.500 g 60–80 80–100 100–120 120–150 140–160 140–180
Bayi kurang bulan, BBL <1.500 g 80–90 100–110 120–130 130–150 140–160 160–180
Rekomendasi Na+, K+, Cl− (meq/kgBB/hr)
Na+: 0–3, K+: 0–2, Cl−: 0–5
Kehilangan berat badan yang diharapkan bergantung pada kondisi pengobatan (asupan cairan) dan kelembapan
Penyesuaian yang hati-hati diperlukan pada BBLSR pada awitan diuresis dan pada penderita poliuria
Suplementasi K hanya pada saat sesudah diuresis
739

Tabel 166 Kebutuhan Cairan dan Elektrolit pada Periode Pertengahan


Usia Kehamilan Asupan Asupan Na+ Asupan K+ Asupan Cl−
Berat Badan (mL/kgBB/hr) (meq/kgBB/hr) (meq/kgBB/hr) (meq/kgBB/hr)
BCB 140–170 2–5 1–3 2–3
BKB
≥1.500 g 140–160 3–5 1–3 3–5
<1.500 g 140–160 2–3 1–2 2–3
Tabel 167 Rekomendasi Asupan Cairan dan Elektrolit pada Periode
Pertumbuhan
Usia Asupan Asupan Na+ Asupan K+
Kehamilan (mL/kgBB/hr) (meq/kgBB/hr) (meq/kgBB/hr)
Cukup bulan 140–160 2–3 1,5–3
Kurang Bulan 140–160 3–5 2–5

Kebutuhan Kalori
Pembagian sumber kalori yang ideal: karbohidrat 50–55%, protein
10–15%, lemak 30–35%. Larutan glukosa 10% mengandung energi
sebesar 0,34 kkal/mL atau mengandung 3,4 kkal/g, larutan lemak
10% mengandung 1 kkal/mL dan larutan lemak 20% mengandung
2 kkal/mL
Jumlah asupan kalori harian 90–100 kkal/kgBB/hr
Untuk BBLSR, kalori harus ditingkatkan perlahan-lahan
Hari 1–3 50–55 kkal/kgBB/hr
Hari 3–5 65–75 kkal/kgBB/hr
Hari 5–7 85–90 kkal/kgBB/hr
Kalori yang berasal dari protein tidak boleh >15% dan kalori dari
lipid tidak boleh >50% dari total asupan kalori
Kebutuhan Glukosa
Karbohidrat utama yang digunakan pada nutrisi parenteral yaitu
glukosa. Kecepatan pemberian glukosa pada bayi prematur 4–6
mg/kgBB/mnt, 8–12 mg/kgBB/mnt pada BBLSR dan 8 mg/kgBB/mnt
pada BCB, kemudian kecepatan ditingkatkan per harinya hingga
12–15 mg/kgBB/mnt untuk 2–3 mgg sesudah lahir hingga tercapai
euglikemia
Jangan memberikan infus dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari
D12,5% dari alur infus perifer. Gunakan akses vena sentral untuk
konsentrasi yang lebih tinggi
Jika terjadi hiperglikemia, turunkan laju infus glukosa. Kemudian,
jika perlu, turunkan jumLah infus glukosa
Kebutuhan Protein
Protein merupakan komponen fungsional dan struktural sel tubuh.
Bayi prematur tang tidak mendapatkan kebutuhan nutrisi terutama
protein sesuai kecepatan pertumbuhan janin intrauterin. Bayi
prematur yang tidak mendapat kecukupan protein akan
menimbulkan dampak jangka pendek berupa kerentanan terhadap
infeksi, peningkatan keperluan bantuan ventilasi, serta gangguan
akibat radikal bebas. Dampak jangka panjang meliputi retriksi
pertumbuhan, defisit neurokognitif, serta rentan terhadap penyakit
kardiovaskular
Diperlukan larutan asam amino yang mengandung taurin. Setiap
gramnya mengandung 4,0 kkal
Kebutuhan protein sesuai berat badan adalah yang diberikan
setelah hari pertama; 1–2 g/kgBB/hr pada bayi VLBW (very low

740
birth weight), berat lahir <1.250 g membutuhkan 2–2,4 g/kgBB/hr,
berat lahir 1.250–1.500 g membutuhkan 2 g/kgBB/hr dan berat
lahir >1.500 g membutuhkan 2 g/kgBB/hr, dengan target
pencapaian 3,5–4 g/kgBB/hr
Rasio kalori protein dengan nonprotein tidak boleh melebihi 1:25.
Turunkan kandungan protein dalam nutrisi parenteral jika BUN
serum ↑ (prerenal azotemia) atau dengan asidosis metabolik
Kebutuhan Lipid
Intralipid 20% (minyak kedelai, fosfolipid telur dan 2,25% gliserol)
merupakan pilihan dan setiap gramnya mengandung 10 kkal
Menurut usia kehamilan, mulai 0,5–1,0 g/kgBB/ hr dan tingkatkan
0,5 g/kgBB/ hr hingga maks. 3 g/kgBB/hr
Kalori dari lemak tidak boleh >50% total kalori
Berikan perlahan-lahan selama 20–24 jam
Gunakan secara hati-hati (atau dengan lajur min. 0,5–1,0 g/kgBB/hr)
pada bayi yang mengalami sepsis, penyakit paru yang parah,
penyakit hepatik, ikterus, dan trombositopenia
Jika kadar trigliserida serum >200 mg hentikan intralipid dan jika
>150 mg turunkan laju infus intralipid
Pemantauan Nutrisi Parenteral Bayi
Anjuran jadwal pemantauan selama pemberian nutrisi parenteral
termasuk parameter yang dinilai dalam tabel berikut
Tabel 168 Pemantauan Nutrisi Parenteral
Parameter Frekuensi
Pengukuran Laboratorium
Elektrolit serum 3–4×/mgg awal, kemudian mingguan
Urea darah 3×/mgg awal, kemudian mingguan
Kalsium, magnesium, 3×/mgg awal, kemudian mingguan
phosphorus
Glukosa 2×/hr
Glukosa urin Tiap hr
Protein Tiap mgg
Tes fungsi hati Tiap mgg
Hematokrit Tiap mgg
Trigliserida serum 4 jam sesudah peningkatan dosis
kemudian mingguan
Pemeriksaan Fisis
Berat badan Harian
Intake/output Harian
Inspeksi tempat insersi Harian
(bengkat,
ekstravasasi)
Pengukuran Tiap mgg
antropometris
Kurva pertumbuhan Tiap mgg

741
Melanjutkan ke Pemberian Asupan Oral
Pengeluaran ASI secara rutin hingga pemberian asupan secara oral
sudah tercapai merupakan hal penting untuk membantu ibu
mempertahankan kecukupan produksi ASI. Perubahan pemberian
asupan parenteral menjadi enteral yang bersumber dari payudara
dan atau puting dapat dimulai dan ditingkatkan secara bertahap,
segera sesudah bayi menunjukkan refleks mengisap dan menelan
yang cukup untuk memperoleh asupan secara oral tanpa meng-
alami kelelahan atau apnea

Penyulit
Penyulit yang dapat terjadi berkaitan dengan pemberian nutrisi
parenteral:
Penyulit yang berkaitan dengan kateter, antara lain sepsis, infeksi
kulit lokal dan slough, trombosis, dan chylothorax
Penyulit metabolik: hiperglikemia, ketidakseimbangan elektrolit,
asidosis, osteopenia, kerusakan hati, dan kolestasis

Bibliografi
1. Aerde JEV. In preterm infant, does supplementation of carnitine
to parenteral nutrition improve the following clinical outcomes:
growth, lipid metabolism and apneic spells? Paediatr Child
Health. 2004;9:573.
2. Chaudhari S, Kadam S. Total parenteral nutrition in neonates.
Indian Pediatr. 2006;43:953–64.
3. Chawla D, Thukral A, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK. Parenteral
nutrition. Indian J Pediatr. 2008;75(4):377–83.
4. Deshnande G, Simmer K. Lipid for parenteral nutrition in
neonates. Curr Clin Nutr Metab Care. 2011;14:145–50.
5. El-Hassan NO, Kaiser JR. Parenteral nutrition in the neonatal
intensive care unit. Neo Rev. 2011;12:180–8.
6. Ellard D, Anderson DM. Nutrition. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins; 2008.
hlm. 114–36.
7. Ellard DM, Anderson DM. Nutrition. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of
neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams &
Wilkins; 2012. hlm. 230–62
8. Fusch C, Bauer K, Bohles HJ, Jochum F, Koletzo B, Krawinkel M,
dkk. Guidelines on parenteral nutrition. GMS. 2009;7:1–23.
9. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
10. Kerner JA, Poole RL. The use of IV fat in neonates. Nutr Clin Pract.
2006;21:374–80.

742
11. Koletzo B, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R. Guideline on
paediatric parenteral nutrition of the European Society of
Paediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition and
Metabolisme (ESPEN), supported by the European Society of
Paediatric Research (ESPR). J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005;
28:113–20.
12. Ziegler EE. Meeting the nutritional needs of the low birth weight
infant. Ann Nutr Metab. 2011;58:8–18.

743
ENTEROKOLITIS NEKROTIKANS (EKN)
Batasan
Kelainan saluran cerna yang didapat pada BKB berupa kerusakan
mukosa, iskemia dan toksik yang diduga karena imaturitas usus serta
sistem imunologik yang belum matang
Epidemiologi
±1–3/1.000 kelahiran hidup
>90% terjadi pada bayi BKB
4–11% pada bayi dengan BB lahir <1.500 g
Klasifikasi
Berdasarkan Modifikasi Bell (1986)
Stadium IA: Tersangka
Gejala sistemik : tidak spesifik, suhu tidak stabil, apnea,
bradikardia
Gejala intestinal : tetensi lambung, distensi abdomen
ringan, feses: darah samar (tes Benzidin
(+))
Gambaran radiologis: normal atau ileus ringan
Stadium IB: Tersangka
Gejala sistemik : tidak spesifik, suhu tidak stabil, apnea,
bradikardia
Gejala intestinal : darah merah terang dari rectum
Gambaran radiologis: normal atau ileus ringan
Stadium II A: EKN Ringan
Gejala sistemik : sama dengan Stadium I
Gejala intestinal : distensi abdomen lebih jelas, bising usus
tidak ada, darah segar di feses
Gambaran radiologis: ileus, dilatasi usus dengan pneumatosis
fokal
Stadium II B: EKN Sedang
Gejala sistemik : asidosis ringan, trombositopenia
Gejala intestinal : edema dinding abdomen, lembut,
dengan atau tanpa teraba massa
Gambaran radiologis: pneumatosis yang luas, asistes ringan,
udara pada vena porta
Stadium III A: EKN Lanjut
Gejala sistemik : asidosis metabolis atau respiratoris,
ventilasi mekanik, hipotensi, oliguri, KID
Gejala intestinal : edema pada dinding perut, eritema
dengan indurasi
Gambaran radiologis: asites lebih jelas, persisten bowel loop,
tidak ada gambaran udara bebas
Stadium III B: EKN Berat
Gejala sistemik : keadaan umum, tanda vital dan labora-
torium memburuk, syok
Gejala intestinal : perforasi
Gambaran radiologis: pneumoperitoneum

744
Etiologi
Belum diketahui secara pasti
Faktor risiko yang diduga berperan:
Prematuritas
Asfiksia
Sindrom distres pernapasan
Polisitemia
Pemberian susu formula yang terlalu cepat dan banyak

Patofisiologi
Sampai saat ini belum ada teori yang memuaskan. Umumnya teori
yang disetujui yaitu kehilangan integritas mukosa usus yang
merupakan mekanisme terpenting untuk terjadinya EKN, termasuk di
antaranya imaturitas saluran cerna/imunologi, iskemia, kolonisasi,
invasi bakteri usus, pertumbuhan bakteri usus yang berlebih, dan
toksin bakteri

Diagnosis
Gejala Klinis
Intoleransi makanan
Muntah
Distensi abdomen
Darah segar pada feses/perubahan bentuk feses
Tidak spesifik: apnea, bradikardia, ketidakstabilan suhu, dan letargi
Bising usus ↓
Laboratorium
Darah: neutropenia, trombositopenia, kultur + (bergantung pada
etiologi), dapat terjadi gangguan keseimbangan elektrolit dan
asam-basa
Feses: perubahan konsistensi, disertai darah, kultur + (bergantung
pada etiologi)
Radiologi
Sesuai dengan klasifikasi Bell (lihat di atas)

Diagnosis Banding
Volvulus
Kolitis pseudomembran
Kolitis Hirschsprung
Perforasi usus spontan
Mekonium ileus
Sepsis dengan ileus

Penyulit
Jangka pendek: angka kematian bervariasi (0–55%)
Jangka panjang
Short bowel syndrome (10–20%)
Striktur intestinal (35–30%)

745
Defisit neurologis:gangguan pendengaran (12%)
gangguan penglihatan (10%)
Keterlambatan tumbuh kembang (49%)
Pencegahan
Pemberian ASI saja
Pemberian antibiotik enteral
Pemberian antibiotik
Konsultasi
Departemen Bedah Anak
Terapi
Pengelolaan Dasar
Menghentikan nutrisi p.o.
Dekompresi saluran cerna dengan pipa nasogastrik
Pemantauan tanda vital, perdarahan saluran cerna, masukan/
keluaran cairan, elektrolit, dan tanda sepsis
Antibiotik kombinasi
Ampisilin diberikan p.o., i.m, atau i.v.
Usia ≤7 hr, 50 mg/kgBB/hr dalam 2 dosis
Usia >7 hr, 75 mg/kgBB/hr dalam 2 dosis
Gentamisin diberikan i.m. atau i.v.
Usia ≤7 hr
BB <1.000 g dan usia kehamilan <28 mgg, 2,5 mg/kgBB/hr,
dosis tunggal
BB <1.500 g dan usia kehamilan <34 mgg, 2,5 mg/kgBB/dosis
diberikan setiap 18 jam
BB >1.500 g dan usia kehamilan ≥34 mgg, 2,5 mg/kgBB/dosis
setiap 12 jam
Usia >7 hr
BB <1.200 g, 2,5 mg/kgBB/dosis, setiap 18–24 jam
BB ≥1.200 g, 2,5 mg/kgBB/dosis, setiap 8 jam
Foto abdomen serial (setiap 6–8 jam)
Stadium I
Nutrisi p.o. dihentikan dan pemberian minum dapat diberi-
kan sesudah 3 hr perbaikan
Antibiotik diberikan selama 3 hr
Stadium II
Nutrisi p.o. dihentikan selama 2 mgg. Pemberian minum
dapat mulai diberikan 7–10 hr sesudah pemeriksaan
radiologis tidak tampak pneumatosis
Nutrisi parenteral 90–110 kal/kgBB/hr
Oksigen
Antibiotik selama 7–10 hr
Na bikarbonat 2 mEq/kgBB, jika terjadi asidosis metabolik
Dopamin 2–4 g/kgBB/mnt memperbaiki sirkulasi darah usus
Stadium III
Sesuai stadium II, disertai ventilator mekanik jika dibutuhkan
Jika terdapat syok, atasi sesuai penyebab

746
Pembedahan dilakukan bila
Keadaan klinis memburuk
Tidak memberikan respons terhadap pengobatan di atas
Sentinel loop menetap selam 24 jam
Massa di abdomen kuadran bawah kanan
Eritema dinding abdomen (tanda peritonitis)
Perforasi usus spontan
Prognosis
Quo ad vitam : ad malam
Quo ad functionam: ad malam
Bibliografi
1. Arnold M, Moore S.W, Sidler D, Kirsten GF. Long-term outcome
of surgically managed necrotizing enterocolitis in a developing
country. Pediatr Surg Intern. 2010; 26:355–60.
2. Eichenwald EC. Necrotizing enterocolitis. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins; 2008.
hlm. 608–15.
3. Hunter CJ, Podd B, Ford HR, Camerini V. Evidence vs experience
in neonatal practices in necrotizing enterocolitis. J Perinatol.
2008;28(Suppl 1):S9–13.
4. Maheshwari A, Corbin LL, Schelonka RL. Neonatal necrotizing
enterocolitis. Res Rep Neonatol. 2011:139–53.

747
SEPSIS PADA NEONATUS
Batasan
Sindrom klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteremia
pada bulan pertama kehidupan

Klasifikasi
Sepsis awitan awal: segera sesudah lahir–7 hr
Sepsis awitan lanjut: infeksi nosokomial dan terjadi >7 hr
Etiologi
Bakteri gram-positif
Streptokokus grup B: penyebab paling sering
Stafilokokus koagulase (−): penyebab utama bakteremia nosokomial
Streptokokus bukan grup B
Bakteri gram-negatif
Escherichia coli K1: penyebab nomor dua terbanyak
Listeria monocytogenes
H. influenzae
Pseudomonas
Klebsiela
Enterobakter
Salmonela
Bakteri anaerob
Gardenella vaginalis
Patofisiologi
Sepsis awitan awal
Transplasental (antepartum)
Asenderens kuman vagina (partus lama, KPSW)
Waktu melewati jalan lahir (mikroorganisme dari vagina dan
rektum)
Sepsis awitan lanjut
Tindakan manipulasi (intubasi, kateterisasi, pemasangan infus, dll.)
Defek kongenital (omfalokel, meningokel, labioskizis, labio-
palatoskizis, dll). Koloni kuman berasal dari saluran respiratori
atas, konjungtiva, membran mukosa, umbilikus dan kulit yang
menye-babkan invasi/menyebar secara sistemik
Faktor Predisposisi
Faktor ibu
Perdarahan
Infeksi pada uterus atau plasenta
Ketuban pecah dini (sebelum 37 mgg kehamilan)
Ketuban pecah terlalu cepat saat melahirkan (≥18 jam sebelum
melahirkan)
Proses kelahiran yang lama dan sulit

748
Faktor bayi
BBLR
Prematuritas
KMK
Defek kongenital
Bayi laki-laki lebih banyak daripada perempuan
Tindakan resusitasi saat melakukan intubasi
Kehamilan kembar
Diagnosis
Gejala Klinis
Umum
Bayi tidak tampak sehat (not doing well)
Bayi tidak mau minum (poor feeding), retensi cairan lambung
banyak
Suhu badan labil (hipo/hipertermia)
Saluran cerna
Muntah, diare, distensi abdomen, hepatomegali
Gangguan pernapasan
Merintih
Pernapasan cuping hidung (dispneu, takipnea), retraksi
Apnea
Gangguan kardiovaskular
Takikardia, bradikardia, hipotensi
Gangguan SSP
Kesadaran ↓ (letargis → koma)
Tremor, jittery, kejang, iritabel, hipotonia, apnea
Gangguan hematologik
Pucat, ikterus, perdarahan, pembesaran limpa
Kulit
Petekia, purpura, sklerema, mottling
Laboratorium
Anemia
Leukopenia <4.000/mm3, leukositosis >25.000–30.000/mm3 perge-
seran ke kiri
Neutropenia absolut <1.000/mm3, rasio neutrofil imatur: total >0,2
granular toksik
Trombositopenia
LED, C-reactive protein (CRP) ↑, procalcitonin ↑
Kultur darah, cairan serebrospinal, dll. (+)
Cairan serebrospinal: jika meningitis → keruh disertai leukosit ↑
Penyulit
Meningitis bakterialis
EKN
KID
Syok septik

749
Terapi
Umum
Rawat dalam ruang isolasi/inkubator
Cuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa bayi
Pemeriksa harus memakai pakaian ruangan yang sudah disediakan
Pengaturan suhu dan posisi bayi
Khusus
Suportif: menjaga stabilitas hemodinamik dan oksigenasi jaringan
vital
O2: bila sianosis, distres pernapasan, apnea, dan serangan kejang
Pemberian cairan dan elektrolit
Pada keadaan umum jelek → nutrisi parenteral sesuai dengan usia
dan BB bayi
Bila keadaan umum baik → nutrisi enteral secara bertahap dan
parenteral dikurangi sampai kebutuhan rumatan terpenuhi
Atasi kejang (lihat terapi kejang pada neonatus)
Atasi hiperbilirubin (lihat terapi hiperbilirubinemia pada neonatus)
Atasi anemia, syok, hipo/hiperglikemia (mempertahankan glukosa
darah 120–160 mg/dL
Manajemen stress ulcer
Recombinant human activated protein C (mencegah pembentukan
trombin dan antiinflamasi) dosis 24 µg/kgBB/jam selama 96 jam
pada penderita dengan trombosit >30.000/mm3
Antibiotik
Sebelum pemberian antibiotik, periksa kultur dan tes
resistensi
Antibiotik spektrum luas untuk gram (+) dan (−) selama
belum ada hasil kultur
Terapi awal (sebelum ada hasil kultur dan resistensi):
Kombinasi ampisilin + aminoglikosid
Ampisilin 50 mg/kgBB/dosis i.v.
Bayi <7 hr diberikan 2 dosis
Bayi ≥7 hr diberikan 3 –4 dosis
Aminoglikosid
<2.500 g: 1,5 mg/kgBB/dosis i.v. 2×/hr
≥2.500 g: 2,5 mg/kgBB/dosis i.v. 2×/hr
Kombinasi sefotaksim + aminoglikosida [sepsis diduga karena
gram (−)]
Sefotaksim
≤7 hr: 100 mg/kgBB/hr i.v. dibagi 2 dosis
>7 hr: 150 mg/kgBB/hr i.v. dibagi 3 dosis
Untuk meningitis: 200 mg/kgBB/hr dibagi 4 dosis
Bila klinis dan laboratorium tidak ada perbaikan sesudah
48 jam → antibiotik diganti dengan antibiotik alternatif
sesuai dengan gambaran klinis penderita
Bila disebabkan infeksi nosokomial: meropenem 20
mg/kgBB/i.v./12 jam infus dalam 30 mnt

750
Imunoterapi
Imunoglobulin: 500–750 mg/kgBB/dosis selama 3–7 hr
Transfusi ganti: 2 × 80 mL × kgBB
Vaksinasi untuk pencegahan (tetanus toksoid dan influenza)
Prognosis
Kematian akibat sepsis pada BKB ≥dibandingkan dengan BCB
Bibliografi
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
2. Gotoff SP. Neonatal sepsis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Nelson WE, Vaughan VC, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co; 2011. hlm.
623–47.
3. Kementerian Kesehatan RI. Protokol asuhan neonatal esensial.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; Januari 2012.
4. Polin RA. Management of neonates with suspected or proven
early-onset bacterial sepsis. Pediatrics. 2012;129:1006–15.

751
KEJANG PADA NEONATUS
Batasan
Kejang secara klinis didefinisikan sebagai perubahan paroksismal
fungsi neurologis, termasuk perilaku, gerakan, dan atau fungsi
autonom
Etiologi
Asfiksia neonatal
Perdarahan intrakranial
Perdarahan subaraknoid
Perdarahan periventrikular atau intraventrikular
Perdarahan subdural
Gangguan metabolik
Hipoglikemia
Hipokalsemia
Gangguan elektrolit: hiponatremia dan hipernatremia
Gangguan pembuatan asam amino
Infeksi
Drug withdrawal
Toksin
Kejang yang diturunkan
Defisiensi piridoksin
Patofisiologi
Secara selular perkembangan sistem eksitasi pada otak bayi baru
lahir lebih pesat daripada sistem inhibisinya, ketidakseimbangan
antara sistem eksitasi dan inhibisi ini akan memicu kejang
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, evaluasi
neurologi dan mengamati pola kejang, pemeriksaan laboratorium
sesuai etiologi, pemeriksaan radiologi (USG kepala, CT-scan, MRI),
serta pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Terapi
Manajemen Akut Kejang pada Neonatus
Setiap menyelesaikan satu langkah, evaluasi terjadinya kejang. Jika
kejang menetap, lanjutkan ke langkah berikutnya
Langkah 1. Stabilisasi fungsi vital
Langkah 2. Koreksi gangguan metabolik
a. Hipoglikemia (target gula darah 50–110 mg/dL)
Bolus dekstrosa 10% 2 mL/kgBB diikuti dengan
infus kontinu dekstrosa
b. Hipokalsemia Ca-glukonas i.v. 4 mL/KgBB (monitor
jantung)
c. Hipomagnesemia, magnesium sulfat 50% i.m., 0,2
mL/kgBB

752
Langkah 3. Fenobarbital 20 mg/kgBB i.v., jika kejang berlanjut
tambahkan 5 mg/kgBB dan dapat diulang dengan
dosis maks. 40 mg/kgBB
Langkah 4. Fenitoin 20 mg/kgBB i.v. load, perlahan
Langkah 5. Antikejang yang lain
Penyulit
Kegagalan kardiorespirasi
Kejang refrakter
Kerusakan otak
Prognosis
Prognosis bergantung pada etiologi, tipe kejang, serta usia gestasi,
27% penderita menjadi epilepsi, 25% menjadi palsi serebral, 20%
mengalami retardasi mental, 27% memiliki kesulitan belajar.
Prognosis jelek pada ensefalopati, penyulit IVH, infeksi pada preterm
infants, gambaran EEG interiktal abnormal, pada disgenesis serebral,
dan penggunaan antikejang multipel

Bibliografi
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
2. Du Plessis. Neonatal seizure. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC,
Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6.
Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins; 2008. hlm. 483–98.

753
MASALAH HEMATOLOGI NEONATUS

ANEMIA
Batasan
Anemia pada neonatus dengan masa kehamilan >34 mgg, dengan
kadar Hb darah vena <13 g/dL atau kadar Hb darah kapiler <14,5
g/dL, atau pada BCB disebut anemia apabila Ht <45%

Patofisiologi
Pembentukan eritrosit normal dipengaruhi oleh beberapa faktor,
terutama eritopoietin (EPO) yang berfungsi menstimulasi maturitas
prekursor eritrosit

Penyebab utama anemia pada neonatus adalah:


Perdarahan
Produksi eritrosit ↓
Dekstruksi eritrosit ↑

Etiologi Anemia Neonatorum


1. Perdarahan merupakan penyebab terbanyak, dapat disebabkan
oleh:
Penyebab obstetrik: ruptur plasenta, plasenta previa, trauma
plasenta atau umbilical cord selama delivery dan ruptur atau
anomali pembuluh darah plasenta
Feto-maternal transfusion: 8% dari persalinan normal mem-
punyai kelainan percampuran darah dari fetus ke maternal
Feto-placental transfusion: disebabkan posisi fetus di atas
plasenta, sehingga darah mengalir ke plasenta
Twin-twin transfusion:
Terjadi bila kembar monokorion dan terjadi shunting pada
pembuluh darah umbilikal
Donor akan mengalami anemia dengan berbagai tingkatan
Recipient akan mengalami polisitemia dengan berbagai
tingkatan
Internal hemorrhage: dapat terjadi pada perdarahan
intrakranial, subgaleal hemorrhage, cephalohematoma, dan
lainnya
Iatrogenik: dapat terjadi sekunder dari pemeriksaan labora-
torium, merupakan penyebab terbanyak pada BKB
2. Peningkatan dekstruksi eritrosit
Penyebab intrinsik: gangguan eritrosit herediter (jarang),
termasuk:
Defek pada enzim eritrosit (contoh: defisiensi G6PD)
Defek membran eritrosit (contoh: hereditary spherocytosis)
Hemoglobinopati (contoh: α-thalassemia)

754
Penyebab ekstrinsik:
Immune hemolysis
Rh incompatibility
ABO incompitability
Minor blood group incompatibility (misal Kell, Duffy)
Sindrom hemangioma (Kasabach Merritt)
Acquired hemolysis:
Infeksi
Defisiensi vitamin E
Obat-obatan
3. Penurunan produksi eritrosit
Anemia pada neonatal prematur yang disebabkan oleh
defisiensi eritropoetin
Anemia aplastik atau hipoplastik (contoh Diamond-Blackfan)
Supresi sumsum tulang (contoh, infeksi Rubella atau Parvo-
virus B19)

Diagnosis
Anamnesis (Riwayat Keluarga)
Keluarga: anemia, ikterik, ras
Maternal dan neonatal: penyulit persalinan
Neonatus: usia kehamilan, pemeriksaan fisis
Laboratorium
Darah rutin disertai hitung jenis dan retikulosit
Golongan darah, tes Coomb
Bilirubin total dan direk
Gejala Klinis
Pucat Kebutuhan O2 ↑
Takikardia Poor feeding
Takipnea Hepatosplenomegali
Apnea Ikterus
Letargi Hipotensi
Metabolik asidosis (anemia berat)
Diagnosis Banding
Diagnosis banding etiologi

755
Hb ↓

Hitung retikulosit

Rendah Normal atau tinggi


Anemia plastik/hipoplastik kongenital
Anemia plastik bawaan
Kelainan endokrin
Toksin
Infeksi kronis
Defisiensi besi
Gangguan sumsum tulang
(leukemia, neuroblastoma)

Tes Coomb

Negatif Positif
Anemia hipolitik

MCV

Rendah Normal atau tinggi


Thalassemia

Morfologi darah tepi

Normal Abnormal
Defisiensi enzim darah merah Hemoglobinopati
kongenital Anemia hemolitik mikroangiopati
Pendarahan Kelainan struktur sel darah merah
Infeksi Defisiensi G6PD
Gangguan lien Hemolisis mekanik

Gambar 63 Algoritme Tatalaksana Anemia pada Neonatus


Sumber: Widness 2000

Penyulit
Syok
Gagal jantung
Konsultasi
Jika penyebabnya kasus bedah/bedah saraf → konsul ke Departemen
Bedah/Bedah Saraf

Terapi
Transfusi (berdasarkan pertimbangan klinis) (lihat Tabel 169)

756
Tabel 169 Indikasi Transfusi Anemia pada Neonatus
Ht ≤20% atau Hb ≤7g/dL
Ht ≤25% atau Hb ≤8g/dL, yang disertai dengan:
Apnea/bradikardia yang terjadi 10 episode dalam 24 jam atau
≥2× mendapatkan ventilasi buatan
Takikardia menetap >180×/mnt atau takipneu menetap
>80×/mnt selama ≥24 jam dengan pengukuran 4×/hr selang
3 jam
Berat tidak bertambah secara adekuat selama 4 hr (<10g/hr)
dengan asupan penuh
Ht ≤30% atau Hb ≤10 g/dL, dengan moderat RDS + pemberian
FiO2 ≥35%, atau pemakaian nasal kanul O2, atau pemakaian
ventilator dengan MAP 6–8 cm H2O
Ht ≤35% atau Hb ≤12 g/dL, dengan RDS berat, dan pemakaian
ventilator mekanik dengan MAP ≥8 cm H2O dan FiO2 ≥50%,
atau disertai dengan kelainan jantung bawaan yang disertai
sianosis atau gagal jantung
Kehilangan darah akut disertai syok, bertujuan untuk memper-
tahankan Ht ≥40%

Tabel 170 Indikasi Transfusi PRC pada Bayi Prematur


1. Ht <35%, jika:
Mendapatkan O2 dengan FiO2 >35%
Menggunakan CPAP atau ventilator mekanik dengan MAP 6–8
cmH2O
2. Ht <30%, jika:
Mendapat suplementasi O2
Menggunakan CPAP atau ventilator mekanik dengan Pw <6 cmH2O
Didapatkan apnea atau bradikardia signifikan (>9 episode dalam
12 jam atau >2 episode dalam 24 jam)
HR >180×/mnt atau RR >80×/mnt dalam 24 jam
Kenaikan berat <10 g/kgBB/hr dalam 4 hr, sesudah
mendapatkan asupan 100 kkal/kgBB/hr
Kasus bedah
3. Ht <20%, jika:
Asimtomatik, dengan hitung retikulosit <100×103/mL

Prognosis
Bergantung pada etiologi serta kecepatan dan ketepatan penata-
laksanaan

Bibliografi
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs.
Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.

757
2. Luban LNC. Management of anemia in the newborn. Early
Human Development. 2008;84:493–8.
3. Ohl RK. Tranfusion in preterm infant. Neo Rev. 2007;8:e377–86.
4. Widness JA. Pathophysiology, diagnosis, and prevention of
neonatal anemia. Neo Rev. 2000;1;e61.

758
POLISITEMIA
Epidemiologi
Insidensi polisitemia neonatus sekitar 0,4–4% dari total neonatus. Hal
ini dapat terjadi karena peningkatan viskositas darah dan penurunan
aliran darah, menyebabkan hipoksia jaringan dan pembentukan
mikrotrombus karena hipoksia, asidosis, dan penurunan perfusi
jaringan
Batasan
Polisitemia adalah apabila Ht vena ≥65% atau konsentrasi Hb >22,0
mg/dL
Etiologi
Aktif Pasif
(peningkatan eritropoesis (sekunder dari transfusi eritrosit)
intrauterin)
Hipoksia intrauterin Keterlambatan pemotongan tali
Insufisiensi plasenta pusat
SGA Sengaja
Infeksi intrauterin Menolong sendiri
Obat-obatan (propanolol) Transfusi maternofetal
Ibu dengan payah jantung Twin to twin tranfusion
Ibu perokok
Maternal diabetes
Neonatal hiper/hipotiroid
Adrenal hiperplasi kongenital
Abnomali kromosom
Trisomi 13
Trisomi 18
Trisomi 21
Sindrom Beckwith
Diagnosis
Anamnesis
Ibu dengan faktor risiko (lihat di atas)
Bayi (kehilangan cairan, BLB)
Gejala Klinis
Tanpa gejala
Dengan gejala
Feeding problems
Pletora
Letargi
Sianosis
Takipnea
Hipotonia
Iritabilitas
Laboratorium: Ht vena ≥65%
EKG dapat ditemukan hipertrofi jantung kanan, depresi segmen ST
759
Patofisiologi

Gambar 64 Patofisiologi Polisitemia


Klasifikasi
Simtomatik
Asimtomatik
Terapi
Polisitemia Simtomatik
Terapi satu-satunya yaitu partial exchange transfusion (PET)
PET adalah mengganti volume darah dengan cairan untuk
menurunkan nilai hematokrit. Gejala klinis seperti jittery akan
menetap 1–2 hr walaupun hematokrit sudah turun
Volume cairan untuk PET, diberikan dengan perhitungan sebagai
berikut:

Volume cairan PET = (Ht sekarang − Ht yang diharapkan) × volume darah


Ht sekarang

Volume darah diperkirakan;


80–90 mL/kgBB untuk BCB
90–100 mL/kgBB untuk BKB
Sebagai panduan kasar, volume darah yang akan dipertukarkan
dengan cairan biasanya 20 mL/kgBB
Cairan yang dipakai: cairan kristaloid seperti NaCL 0,9% atau
Ringer laktat (RL)

760
Polisitemia Asimtomatik
Terapi berdasarkan nilai hematokrit
Nilai Hematokrit Terapi
Ht >75% Dilakukan PET
Ht 70–75% Dilakukan hidrasi sampai Ht mencapai
<70%, dengan ditambahkan 20 mL/kgBB
dari cairan rumatan
Tambahan cairan dapat melalui enteral/
parenteral
Hati-hati pada BKB
Ht 65–70% Pemantauan tanda vital
Pengulangan pemeriksaan Ht

Penyulit
Hiperbilirubinemia
Iskemia serebral
Kejang
Gawat kardiopulmonal
EKN
Gagal ginjal
Gangren perifer
Priapisme

Prognosis
Jika tidak diberikan terapi akan menimbulkan gejala sisa berupa
gejala neurologi

Bibliografi
1. Ozek E, Soll R, Schimmel MS. Partial exchange transfusion to
prevent neurodevelopmental disability in infants with
polycythemia. Cochrane Database Syst Rev. 2010;(1):CD005089.
2. Sankar MJ, Agarwa Rl, Deorari A, Paul V. Management of
polycythemia in neonates. AIIMS-NICU protocols. New Delhi: All
India Institute of Medical Sciences Ansari Nagar; 2010.
3. Young G. Hemostatic disorder of the newborn. Avery’s diseases
of the newborn. Edisi ke-9. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012.

761
PENYAKIT PERDARAHAN PADA NEONATUS
(HEMORRHAGIC DISEASE OF THE NEWBORN/HDN)

Batasan
Penyakit pada neonatus yang disebabkan defisiensi vitamin K
sementara, menyebabkan manifestasi perdarahan

Patogenesis
Vitamin K memfasilitasi proses karboksilasi pascatranskripsi residu
asam glutamat pada faktor-faktor II, VII, IX, dan X. Proses karboksilasi
membantu ikatan antara faktor pembekuan dan reseptor fosfolipid
permukaan trombosit yang membantu aktivasi jalur koagulasi. Tanpa
proses karboksilasi, faktor-faktor yang bergantung pada vit. K tidak
akan terikat trombosit, sehingga proses pembekuan terganggu

Etiologi dan Faktor Risiko


Janin
Penyimpanan vit. K ↓
Tidak ada bakteri komensal yang menyintesis vit. K (contoh:
prematuritas, NEC)
Fungsi hati yang belum matang (tempat metabolisme vit. K)
Tidak diberikan vit. K saat lahir
Maternal
Kekurangan vit. K dalam serum
Pemakaian obat yang mengganggu metabolisme vit. K selama
kehamilan, contoh:
Antikejang (fenobarbital, fenitoin)
Antikoagulan (aspirin)
Gejala klinis
Tempat manifestasi perdarahan, seperti:
Perdarahan gastrointestinal
Ekimosis
Perdarahan intrakranial
Gejala lain sesuai tipe/klasifikasi HDN

Klasifikasi
Early HDN
Perdarahan terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan
Faktor risiko:
Pemakaian obat antikoagulan atau antikejang pada ibu hamil
Classical HDN
Perdarahan terjadi pada minggu pertama kehidupan
Faktor risiko:
Tidak dilakukan pemberian vit. K pada saat lahir
Prematuritas

762
Late HDN
Perdarahan terjadi pada usia 3–8 mgg kelahiran
Faktor risiko: pemberian ASI, gangguan fungsi hati

Dasar Diagnosis
Anamnesis
Riwayat ibu
Riwayat bayi
Laboratorium
INR, PT, PTT ↑
Faktor II, VII, IX, dan X ↓
Darah rutin dan waktu perdarahan (BT) normal
Terapi
Pemberian vit. K 1
Tranfusi fresh frozen plasma 10 mL/kgBB
Profilaksis
Pemberian vit. K1 pada semua bayi baru lahir dalam 6 jam pertama
kehidupan:
Vitamin K1 1,0 mg i.m. (berat lahir ≥1.500 g)
Vitamin K1 0,5 mg i.m. (berat lahir <1.500 g)
Jika orangtua menolak pemberian i.m., dapat diberikan 2,0 mg vit.
K1 p.o. pada pemberian pertama, kemudian diberikan kembali
pada usia 2–4 mgg, dan diulang sekali lagi pada usia 6–8 mgg.
Penelitian terakhir menyatakan bahwa efektifitas pemberian i.m.
dan p.o. sama

Prognosis
Baik jika ditangani segera

Bibliografi
1. Committee on Fetus and Newborn, Policy statement.
Controversies concerning vitamin K and the newborn. Pediatrics.
2003;112: 191–2.
2. Danielsson N, Hoa DP, Thang NV, Vos T, Loughnan PM.
Intracranial haemorrhage due to late onset vitamin K deficiency
bleeding in Hanoi province, Vietnam. Arc Dis Childhood. 2004;89:
F546–50.
3. Knippenberg R, Lawn JE, Darmstadt GL, Begkoyian G, Fogstad H,
Walelign N, dkk. Lancet Neonatal Survival Steering Team.
Systematic scaling up of neonatal care in countries. Lancet.
2005;365:1087–98.
4. World Health Organization. Integrated management of regnancy
and childbirth: pregnancy, childbirth, post partum and newborn
care: a practical guide for essential practice. Geneva: WHO;
2006.

763
IKTERUS NEONATORUM
Batasan
Keadaan klinis bayi yang ditandai oleh pewarnaan kuning pada kulit
dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Secara klinis akan tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin
serum 5–7 mg/dL
Klasifikasi
Ikterus Fisiologis
Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tidak
terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL pada bayi cukup dan
akan mencapai puncaknya sekitar 6–8 mg/dl pada hr ke-3
kehidupan dan kemudian akan ↓ cepat selama 2–3 hr diikuti
dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1–2 mgg,
sedangkan pada BKB yang mendapat susu formula juga akan
mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih
lama. Peningkatan sampai 10–12 mg/dL masih dalam kisaran
fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan
metabolisme bilirubin. Kadar normal bilirubin tali pusat <2 mg/dL
dan berkisar dari 1,4–1,9 mg/dL
Ikterus Patologis (Nonfisiologis)
Terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan
Peningkatan/akumulasi bilirubin serum >5 mg/dL/hr
Bilirubin total serum >17 mg/dL pada bayi yang mendapat ASI
Ikterus menetap sesudah 8 hr pada BCB atau sesudah 14 hr pada
BKB
Bilirubin direk >2 mg/dL
Etiologi
Ikterus Fisiologis
Tabel 171 Faktor yang Berhubungan dengan Ikterus Fisiologis
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia
Produksi bilirubin ↑ Sel darah merah ↑
Umur sel darah merah ↓
Early bilirubin ↑
Resirkulasi melalui enterohepatic Aktivitas β-glukoronidase ↑
shunt ↑ Tidak ada flora bakteri
Pengeluaran mekonium yang
terlambat
Bilirubin clearance ↓
Clearance dari plasma bilirubin ↓ Defisiensi protein karier
Metabolisme hepatik ↓ Aktivitas UDPGT ↓
Sumber: Blackburn 2007

764
Ikterus Patologis
Anemia hemolitik
Ekstravasasi darah (misalnya hematoma)
Polisitemia
Sirkulasi enterohepatik berlebihan
Uptake bilirubin oleh hepar ↓
Defek konjugasi
Gangguan transportasi bilirubin direk yang keluar dari hepatosit
Obstruksi aliran empedu
Patofisiologi
Produksi berlebihan (prehepatik)
Sekresi ↓
Campuran (posthepatik)
Faktor Predisposisi
Keadaan yang mengurangi kapasitas ikat bilirubin
Asidosis
Asfiksia
Hipoalbuminemia
Infeksi
Prematuritas
Hipoglikemia
Obat yang menghambat daya kerja glukoronil transferase (misalnya
novobiosin)
Diagnosis
Berbagai faktor risiko dapat meningkatkan kejadian hiper-
bilirubinemia yang berat. Perlu penilaian pada bayi baru lahir
terhadap berbagai risiko, terutama untuk bayi yang pulang lebih
awal. Tampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi
dalam ruangan dengan pencahayaan yang baik, serta menekan kulit
dengan tekanan ringan untuk melihat warna kulit dan jaringan
subkutan
Pemeriksaan fisis harus difokuskan pada identifikasi salah satu
penyebab ikterus patologis. Kondisi bayi harus diperiksa pucat,
petekia, ekstravasasi darah, memar kulit.yang terlebihan, hepato-
splenomegali, kehilangan BB, dan bukti dehidrasi
Guna mengantisipasi penyulit yang mungkin timbul, maka perlu
diketahui daerah letak kadar bilirubin serum total (Gambar 65)
beserta faktor risiko hiperbilirubinemia yang berat

765
Gambar 65 Nomogram Penentuan Risiko Hiperbilirubinemia pada
Bayi Sehat Usia ≥36 Minggu dengan BB ≥2.000 Gram
atau Usia Kehamilan ≥35 Minggu dan BB ≥2.500 Gram
berdasarkan Jam Observasi Kadar Bilirubin Serum

Faktor Risiko Hiperbilirubinemia Berat Bayi Usia Kehamilan >35 mgg


Faktor risiko major
Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin
transkutaneus terletak pada daerah risiko tinggi (Gambar 65)
Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan
Inkompatibilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk
yang (+) atau penyakit hemolitik lainnya
Usia kehamilan 35–36 mgg
Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi
Sefal hematom atau memar yang bermakna
ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak baik dan kehilangan
BB yang berlebihan
Ras Asia Timur
Faktor risiko minor
Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin
transkutaneus terletak pada daerah risiko sedang (Gambar 65)
Usia kehamilan 37–38 mgg
Sebelum pulang, bayi tampak kuning
Riwayat anak sebelumnya kuning
Bayi makrosomia dari ibu DM
Usia ibu >25 th
Laki-laki

766
Faktor risiko kurang
Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak
pada daerah risiko rendah
Usia kehamilan >41 mgg
Bayi mendapat susu formula penuh
Kulit hitam
Bayi dipulangkan sesudah 72 jam
Pemeriksaan Penunjang
Klinis
Ikterometer Kramer atau dengan bilirubinometer
Laboratorium
Jenis pemeriksaan lihat Gambar 66
Diagnosis Banding
Ikterus fisiologis
Ikterus patologis
Prehepatik
Posthepatik
Pada prolonged jaundice dianjurkan pemeriksaan fungsi hepar
(SGOT/SGPT, alkali fosfatase), fungsi tiroid (tiroksin/T4), pemeriksaan
terhadap infeksi virus/bakteri, dan pemeriksaan urin untuk
galaktosemia
Penyulit
Bilirubin ensefalopati
Manifestasi klinis akut; fase awal bayi dengan ikterus berat akan
tampak letargis, hipotonik, dan refleks isap buruk. Fase
intermediat ditandai dengan moderat stupor, iritabilitas, dan
hipertoni. Fase selanjutnya bayi mengalami demam high pitched
cry, drowsiness, dan hipotoni
Terapi
Prinsipnya segera menurunkan bilirubin indirek untuk mencegah
bilirubin ensefalopati dengan fototerapi
Bayi sehat dan cukup bulan
Kadar bilirubin tidak diperiksa secara rutin, kecuali jika ikterus
timbul dalam 2 hr pertama kehidupan. Umumnya bayi sehat
dipulangkan dari rumah sakit pada usia 24–48 jam, oleh karena itu
orangtua harus diberitahukan mengetahui ikterus sebelum
dipulangkan
Follow-up rutin dan hanya pemberian makan, jika:
Keadaan klinis baik
Masa gestasi >37 mgg
Bayi tidak mempunyai kecenderungan terjadi inkompatibilitas
ABO
Pada riwayat keluarga: tidak ada yang mengalami anemia
hemolitik dan ikterus yang berat
Ikterus menghilang pada usia >2 mgg

767
Jika secara klinis tampak ikterus yang signifikan pada bayi sehat
dan cukup bulan, periksa kadar bilirubin

Gambar 66 Bagan Diagnosis Etiologi Neonatal Hiperbilirubinemia

768
Tabel 172 Pengelolaan Bayi Kuning pada Bayi Baru Lahir Cukup
Bulan dan Sehat Menurut Usia (dalam Jam) dan Kadar
Bilirubin
Kadar Bilirubin Total Darah (mg/dL)

Dipertim- Transfusi Transfusi


Usia bangkan Fototerapi Ganti Jika Ganti Jika
(Jam) Fototerapi* Fototerapi Fototerapi
Gagal** Intensif**
≤24 *** *** *** ***
25–48 ≥12 ≥15 ≥20 ≥25
49–72 ≥15 ≥18 ≥25 ≥30
>72 ≥17 ≥20 ≥25 ≥30
Keterangan:
*Terapi sinar pada kadar bilirubin darah ini bergantung pada keadaan
klinis bayi kuning tsb
**Terapi sinar seharusnya dapat ↓ kadar bilirubin sehingga berada pada
kadar di bawah untuk melakukan tranfusi ganti, tetapi jika tidak
terjadi maka fototerapi dianggap gagal, sehingga dipertimbangkan
untuk transfusi ganti
***Bayi baru lahir cukup bulan menunjukkan keadaan kuning kurang dari
24 jam tidak dianggap sehat dan memerlukan pemantauan lebih
lanjut

Tabel 173 Pedoman Fototerapi Bayi Kuning Cukup Bulan dengan


dan atau tanpa Faktor Risiko berdasarkan Canadian
Paediatrics Society
Kadar Bilirubin Total Darah (mg/dL)
Usia (Jam) Tanpa Faktor Dengan Faktor
Risiko Risiko
28 10 8
48 15 13
≥72 >18 >16
Yang termasuk faktor risiko:
Usia kehamilan <37 mgg dan BB lahir <2.500 g
Penyakit hemolitik
Bayi tampak kuning sebelum usia 24 jam
Infeksi berat (sepsis)
Saat lahir tidak bernapas spontan (memerlukan tindakan resusitasi)

769
Tabel 174 Indikasi Fototerapi dan Transfusi Ganti berdasarkan
Berat Badan
Berat Badan (g) Terapi
<1.000 Fototerapi
Transfusi ganti pada kadar bilirubin 10–12
mg/dL
1.000–1.500 Fototerapi pada kadar 7–9 mg/dL
Transfusi ganti pada kadar 12–15 mg/dL
1.500–2.000 Fototerapi pada kadar 10–12 mg/dL
Transfusi ganti pada kadar 15–18 mg/dL
2.000–2500 Fototerapi pada kadar 13–15 mg/dL
Transfusi ganti pada kadar 18–20 mg/dL
>2.500 dan bayi Fototerapi pada kadar 12–15mg/dL
dalam keadaan Transfusi ganti pada kadar 18–20mg/dL
sakit

Bayi dengan penyakit hemolitik


Ketidasesuaian Rhesus
Fototerapi dilakukan segera. Transfusi ganti, jika kadar bilirubin
diperkirakan akan mencapai 20 mg/dL
Inkompatibilitas ABO
Fototerapi: jika kadar bilirubin 10 mg/dL pada usia 12 jam, 12 mg/dL pada
usia 18 jam, 14 mg/dL pada usia 24 jam, dan 15 mg/dL pada setiap waktu.
Transfusi ganti jika kadar bilirubin 20 mg/dL
Indikasi fototerapi profilaksis
Bayi kecil (BB <1.500 g) yang cenderung berlanjut pada bilirubin yang
patologis
Bayi prematur dengan memar yang hebat
Bayi dengan proses hemolisis sementara menunggu transfusi ganti

Tabel 175 Penyulit Terapi Sinar


Kelainan Mekanisme yang Mungkin Terjadi
Bronze baby Berkurangnya ekskresi hepatik dari photoproduct
syndrome bilirubin
Diare Bilirubin indirek menghambat laktase
Hemolisis Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit
Dehidrasi Bertambahnya insensible water loss karena
menyerap energi foton
Ruam kulit Gangguan fotosensitisasi terhadap sel mast kulit
dengan pelepasan histamin

Tabel 176 Transfusi Ganti


Berat Lahir (g)
Bayi
<1.250 1.250–1.499 1.500–1.999 2.000–2.499 ≥2.500
Sehat 13 15 17 18 20
Risiko 10 13 15 17 18

770
Penghentian transfusi ganti
Emboli (udara, bekuan darah), trombosis
Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
Perforasi pembuluh darah
Penyulit transfusi ganti
Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
Infeksi: bakteremia, hepatitis (cytomegalovirus/CMV), EKN
Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia, trauma mekanik terhadap sel
donor
Perawatan pascatransfusi ganti
Lanjutkan dengan terapi sinar
Awasi ketat kemungkinan terjadinya penyulit
Prognosis
Buruk bila terdapat bilirubin ensefalopati
Bibliografi
1. Martin CR, Cloerti JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam:
Cloherty JP, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi
ke-5. Boston: Little Brown & Co; 2007. hlm. 185–221.
2. Glasgow LA. Jaundice and hyperbilirubinemia. Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders
Co; 2004. hlm. 501–4.
3. Gomella TL. Neonatology, management, procedures, on-call
problems, diseases and drug. Edisi ke-5. Connecticut: Appleton &
Lange; 2004.
4. Oski FA. Disorders of bilirubin metabolism. Dalam: Tausch HW,
Ballard RA, Avery ME, penyunting. Disease of the newborn. Edisi
ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2003. hlm. 749–75.
5. Poland RL, Ostrea EM. Care of the high risk neonate. Edisi ke-3.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2006.
6. Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal
jaundice: bilirubin physiology and clinical chemistry. Neo Rev.
2007;8:58–67.
7. Blackburn ST. Bilirubin metabolism, maternal, fetal, & neonatal
physiology, a clinical perspective. Edisi ke-3. Missouri: WB
Saunders Co.; 2007.

771
KELAINAN KONGENITAL
Batasan
Kelainan kongenital atau bawaan yaitu kelainan yang sudah ada sejak
lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun nongenetik.
Ilmu yang mempelajari kelainan bawaan disebut dismorfologi
Patofisiologi
Berdasarkan patogenesis, kelainan kongenital dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
Malformasi
Malformasi menyatakan kelainan yang disebabkan oleh kegagalan
atau ketidaksempurnaan satu atau lebih proses embrIogenesis.
Perkembangan awal suatu jaringan/organ berhenti, melambat
atau menyimpang menyebabkan kelainan struktur yang menetap.
Kelainan dapat terbatas pada satu daerah anatomi, mengenai
seluruh organ, ataupun mengenai berbagai sistem tubuh yang
berbeda
Malformasi mayor apabila tidak dikoreksi akan menyebabkan
gangguan fungsi tubuh serta mengurangi angka harapan hidup
Malformasi minor tidak akan menyebabkan problem kesehatan
yang serius dan mungkin hanya berpengaruh pada segi kosmetik
Deformasi
Deformasi terbentuk akibat tekanan mekanik yang abnormal
sehingga mengubah bentuk, ukuran atau posisi sebagian dari
tubuh yang semula berkembang normal
Contoh deformasi kongenital:
Talipes
Dislokasi sendi panggul kongenital
Skoliosis kongenital
Plagiosefali
Tortikolis
Mandibula tidak simetris
Disrupsi
Disrupsi dapat disebabkan oleh iskemia, perdarahan atau
perlekatan. Kelainan akibat disrupsi biasanya mengenai beberapa
jaringan yang berbeda. Deformasi maupun disrupsi biasanya
mengenai struktur yang semula berkembang normal dan tidak
menyebabkan kelainan intrinsik pada jaringan yang terkena
Displasia
Kerusakan (kelainan struktur) akibat fungsi atau organisasi sel
abnormal, mengenai satu macam jaringan di seluruh tubuh.
Sebagian besar disebabkan oleh mutasi gen. Karena jaringan itu
sendiri abnormal secara intrinsik, efek klinisnya akan menetap
atau semakin memburuk. Displasia dapat terus-menerus menim-
bulkan perubahan kelainan seumur hidup
772
Etiologi
Malformasi kongenital
Idiopatik 60%
Multifaktorial 20%
Kelainan gen tunggal 7,5%
Kelainan kromosom 6%
Penyakit ibu 3%
Infeksi kongenital 2%
Obat, sinar X, alkohol 1,5%

Dasar Diagnosis
Pendekatan diagnosis kelainan bawaan saat lahir
Penelaahan prenatal
Riwayat ibu
Penerapan sitos genetik dalam bidang prenatal
Riwayat persalinan
Riwayat keluarga
Penerimaan fisis: analisis dismorbik/dismorfologi/sindromologi
Analisis kromosom
Analisis DNA
Analisis enzim, biokimia
Pemeriksaan penunjang
Kelainan kromosom yang penting
Trisomi 21 (sindrom Down)
Angka kejadian 1/700 kelahiran hidup
Fisura palbebra miring ke atas (upslanting palpebral fissure),
hidung pesek, hipotonia, kulit leher longgar, oksiput datar
(brakisefali), garis Simian, kelingking bengkok (klinodaktili) serta
jarak yang lebar antara jari kaki 1 dan ke-2
IQ biasanya <50
Akibat non-disjunction
Trisomi 18 (sindrom Edward)
Angka kejadian 1/3.000 kelahiran hidup
Lebih banyak bayi perempuan
Berat lahir biasanya rendah, oksiput prominen, dagu kecil,
telinga abnormal dan letak rendah (low set malformed ears),
tangan mengepal dengan ibu jari menumpang pada jari ke-3
dan kelingking menumpang pada jari ke-4 (clenched hands),
rockerbottom feet, sternum pendek
Sering pula terdapat kelainan pada jantung, ginjal, dan berbagai
organ
Trisomi 13 (sindrom Patau)
Angka kejadian 1/5.000 kelahiran hidup
Hipotelorisme, mikroftalmia, celah bibir dan langit-langit,
telinga abnormal, defek pada kulit kepala, kulit longgar pada
tengkuk, clenched hand, garis Simian (60%), polidaktili, tumit
prominen
773
Sering terdapat penyakit jantung bawaan
Usia rata-rata 7 hr
Sindrom Turner (45,x)
Angka kejadian 1/5.000 kelahiran hidup bayi perempuan; 99%
mengalami abortus spontan
Pada saat lahir dapat dikenal dengan kulit yang berlebih pada
leher, limfedema perifer, tubuh pendek, amenore primer,
webbed neck, kuku hipoplastik, dan nevus pigmentosus multipel
Pada 20% kasus terdapat penyakit jantung bawaan (koartasio
aorta, ASD)
Manajemen
Pencegahan
Konseling prakonsepsi
Konseling genetik
Pengobatan
Kelainan kromosom
Kelainan kromosom seks, terapi sulih hormon seks
Kelainan autosom biasanya hanya tersedia pengobatan simtomatik
Kelainan gen tunggal
Tabel 177 Terapi Efektif pada Kelainan Gen Tunggal
Kelainan Terapi
Hiperplasia adrenal kongenital Terapi sulih hormon
Fenilketonuria Diet rendah fenilalanin
Galaktesomia Diet rendah galaktosa
Hemofilia Terapi sulih faktor pembekuan
SCID Cangkok sumsum tulang
Sistinuria Asupan cairan tinggi, penisilamin
Poliposkoli Kolektomi
Agamaglobulinemia Imunoglobulin
Β-thalassemia Cangkok sumsum tulang
Metilmalonikasiduria Vitamin B12-kofaktorenzim
Penyakit polikistik ginjal Cangkok ginjal
Penyakit Wilson D-penisilamin
Hiperkolesterolemia familial Diet, obat-obatan
Sferositosis herediter Splenektomi
Hemokromatosis Venaseksi

774
Tabel 178 Terapi Efektif Kelainan Multifaktorial
Kelainan Terapi
Celah bibir dan langit-langit Tindakan bedah
Stenosis pylorus Tindakan bedah
Penyakit jantung bawaan Tindakan bedah, obat-obatan
Hidrosefalus Tindakan bedah, obat-obatan
Diabetes mellitus Obat-obatan
Hipertensi Obat-obatan
Epilepsi Obat-obatan

Konseling Genetik
Meliputi aspek rehabilitasi psikologis keluarga dan aspek rehabilitasi
penderita secara keseluruhan

Bibliografi
1. Bianchi DW. Genetic issues presenting in the nursery. Dalam:
Cloherty JP, Eichenwald, Stark AR, penyunting. Manual of
neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2008. hlm. 94–9.

775
PRINSIP UMUM PENGELOLAAN
GAWAT DARURAT DAN RUJUKAN NEONATUS

Batasan
Neonatus dengan kondisi gawat darurat memerlukan evaluasi dan
tatalaksana yang memadai berdasar pengetahuan mendalam
mengenai perubahan fisiologi dan kondisi patologi yang mengancam
hidup yang timbul saat kondisi tersebut terjadi
Diagnosis
Secara umum, untuk menentukan neonatus sakit dilakukan hal-hal
berikut (lihat Gambar 67 dan 68):
Anamnesis
Neonatus sakit kemungkinannya adalah:
Neonatus sehat, tanpa faktor risiko, tiba-tiba mengalami
perubahan tanda vital, warna kulit, aktivitas, atau pola minum
Neonatus risiko dengan perburukan kondisi
Neonatus sakit sejak lahir
Pemeriksaan Fisis
Tanda awal yang diperiksa: frekuensi jantung, pernapasan, suhu,
tekanan darah, warna kulit, aktivitas, pola minum
Pemeriksaan Penunjang
AGD
Saturasi oksigen
Gula darah, elektrolit, Ht, trombosit, cairan serebrospinal, urin
Sinar X

Manajemen
Apabila neonatus mengalami abnormalitas tanda vital, warna kulit,
aktivitas, atau pola minum, sehingga dikatakan sakit, hal-hal berikut
harus segera dilakukan untuk memperbaiki abnormalitas:
Tangani masalah gawat darurat
Tentukan penyebab dan obati jika ditemukan
Pantau faktor risiko sehingga potensi masalah dapat dicegah atau
segera diobati
Pengelolaan neonatus sakit mungkin sangat kompleks dan tidak
mudah menentukan apa yang harus pertama kali dilakukan ketika
neonatus dengan berbagai faktor risiko tiba-tiba mengalami apnea,
atau sianosis, atau kejang. Perlu diingat bahwa apapun penyebab
masalah, pastikan Airway, Breathing, dan Circulation, kemudian
Stabilize neonatus. Ingat ABCS:
Airway: pastikan tidak ada sumbatan aliran udara ke paru
Breathing: jika perlu beri oksigen, bantu napas dengan balon
sungkup atau pipa
Circulation: periksa denyut jantung dan tekanan darah, koreksi jika
perlu
Kemudian Stabilize: lihat Stable Program
776
Gambar 67 Diagram Alur Neonatus Sehat, Risiko, Sakit

777
778

Gambar 68 Algoritme Evaluasi Neonatus dengan Gangguan Metabolisme


Diagnosis Banding
Gejala gangguan neurologik pada neonatus tidak spesifik, sehingga
tidak mudah untuk memahaminya. Pada anamnesis mungkin hanya
ada gangguan minum/menetek atau perubahan tingkah laku yang
tidak terlalu jelas
Singkatan “THE MISFITS” berikut dapat membantu menentukan
diagnosis banding pada neonatus dengan perubahan status mental:
T–Trauma
H–Heart disease dan hypovolemia
E–Endocrine (misal: hiperplasia adrenal kongenital dan
tirotoksikosis)
M–Metabolic (ketidakseimbangan elektrolit)
I–Inborn errors of metabolism
S–Sepsis
F–Formula mishaps (misal: kesalahan pengenceran susu formula)
I–Intestinal catastrophes (misal: volvulus, intususepsi, enterokolitis
nekrotikan)
T–Toxins dan poisons
S–Seizures
Pemeriksaan yang diperlukan untuk mengetahui kemungkinan
gangguan neurologikal dan kognitif adalah: amplitude-integrated EEG
(aEEG) dan pemantauan fisiologi lain (EKG, frekuensi jantung,
frekuensi napas, tekanan darah, saturasi oksigen dan suhu)
Apparent life-threatening event (ALTE) adalah sebuah episode yang
menakutkan pemeriksa dengan karakteristik beberapa apnea,
perubahan warna kulit, lemas, seperti tercekik/jalan napas
tersumbat. Berikut diperlihatkan penyebab umum ALTE:
Ketidakseimbangan asam basa; anemia
Child abuse
Disritmia
Gangguan elektrolit
Gastroesophageal reflux
Hipoglikemia
Hipotermia
Inborn errors of metabolism
Perdarahan intrakranial
Meningitis dan ensefalitis
Pneumonia
Sepsis
Pelayanan neonatal dibagi dalam 3 tingkat:
Tingkat I menyediakan pelayanan rutin bayi sehat serta stabilisasi
neonatus risiko tinggi sebelum rujukan
Tingkat II menyediakan pelayanan seperti tingkat I, ditambah
beberapa dukungan untuk bayi kecil dan bayi sakit, misalnya akses
intravena, tambahan oksigen tetapi tidak sampai ventilasi mekanik
berkepanjangan
Tingkat III menyediakan pelayanan intensif lengkap

779
Rujukan
Rujukan dilakukan apabila neonatus dengan risiko atau sakit dikirim
ke unit pelayanan dengan tingkat lebih tinggi, tingkat sama, atau
lebih rendah (rujukan balik). Target utama dalam mempersiapkan
rujukan adalah stabilisasi kondisi neonatus. Upaya stabilisasi
neonatus prarujukan dan menunggu tim rujukan yang memadai lebih
penting daripada tergesa-gesa merujuk neonatus yang tidak stabil
Secara umum, neonatus dengan kondisi berikut sebaiknya dirujuk ke
pelayanan tingkat III:
Prematur <32 mgg dan atau berat lahir <1.500 g
Distres napas yang memerlukan dukungan CPAP atau ventilasi
mekanik
Hipertensi pulmonal persisten
Penyakit jantung kongenital atau aritmia jantung yang
memerlukan pengelolaan khusus
Kelainan kongenital dan atau inborn errors of metabolism
Hipoksik iskemik berat
Kejang
Kondisi-kondisi lain yang memerlukan konsultasi neonatologi
Hiperbilirubinemia berat yang memerlukan transfusi tukar
Neonatus dari ibu diabetik
Pertumbuhan janin terhambat berat
Perlu tindakan bedah
Persiapan merujuk:
Evaluasi tanda-tanda vital
Pemeriksaan laboratorium
Stabilisasi ventilasi dan oksigenasi
Pasang jalur infus
Tentukan usia kehamilan dan timbang berat neonatus setelah
neonatus stabil
Hubungi tempat rujukan dan diskusikan kondisi neonatus
Mencatat riwayat prenatal dan antenatal
Menginformasikan kondisi terakhir
Pemeriksaan penunjang: kebutuhan pengelolaan khusus
Prinsip-prinsip rujukan yang aman sbb. (Luxton):
Identifikasi masalah segera
Optimalkan komunikasi tim pengirim rujukan – tim perujuk – tim
penerima rujukan
Siapkan tim perujuk yang handal
Stabilisasi neonatus adekuat
Perjalanan lancar dan terkontrol
Tim perujuk harus mempunyai beberapa keterampilan yang mungkin
diperlukan selama rujukan yaitu:
Anatomi dan fisiologi
Pemeriksaan fisis
Resusitasi termasuk intubasi dan dukungan kehidupan lanjutan
Insersi pipa torak
Pengelolaan jalan napas
Pemasangan jalur intravaskular
Pemahaman alat termasuk memperbaiki jika timbul masalah minor

780
Salah satu pendekatan dikenal dengan metode ACCEPT:
A–Assessment
C–Control
C–Communication
E–Evaluation
P–Preparation and packaging
T–Transportation
Rincian pendekatan metode ACCEPT diperlihatkan pada Gambar 69

781
Gambar 69 Algoritme ACCEPT untuk Rujukan Neonatus

Bibliografi
1. Brousseau T, Sharieff GQ. Newborn emergencies: the first 30
days of life. Pediatr Clin N Am. 2006 Feb;53(1):69–84.
2. Byrne S, Fisher S, Fortune P, Lawn C, Wieteska S, penyunting.
Paediatric and neonatal safe transfer and retrieval: the practical
approach. Edisi ke-1. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.; 2008.
3. Cornette L. Transporting the sick neonate. Curr Paediatr. 2004
Feb;14(1):20–5.

782
4. Fenton AC, Leslie A. Who should staff neonatal transport teams?.
Early Hum Dev. 2009 Aug;85(8):487–90.
5. Fernandes CJ. Neonatal transport. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of
neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams &
Wilkins; 2012. hlm. 92–202.
6. Kattwinkel J, Boyle RJ, Chisholm CA, Clarke SB, penyunting. PCEP
neonatal care. Edisi ke-2 (Buku III). Charlottesville: University of
Virginia; 2012.
7. Khan JY. Neonatal neurological emergencies. Clin Pediatr Emerg
Med. 2008 Sep;9(3):176–83.
8. Levy J, D’Harlingue AE. Recognition, stabilization, and transport
of the high-risk newborn. Dalam: Fanaroff AA, Fanaroff JM,
penyunting. Klaus and Fanaroff’s care of the high-risk neonate.
Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013. hlm. 71–104.
9. Lupton BA, Pendray MR. Regionalized neonatal emergency
transport. Semin Neonatol. 2004 Apr;9(2):125–33.
10. Ratnavel N. Safety and governance issues for neonatal transport
services. Early Hum Dev. 2009 Aug;85(8):483–6.
11. Woodward GA, Kirsch R, Trautman MS, Kleinman ME, Wernovsky
G, Marino BS. Stabilization and transport of the high-risk infant.
Dalam: Gleason CA, Devaskar SU, penyunting. Avery’s diseases of
the newborn. Edisi ke-9. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.
hlm. 341–56.

783
STABILISASI NEONATUS PASCARESUSITASI
Batasan
Penanganan pascaresusitasi pada neonatus yang mengalami asfiksia
neonatal, sangat kompleks, membutuhkan monitoring ketat dan
tindakan antisipasi yang cepat, karena bayi berisiko mengalami
disfungsi multiorgan dan perubahan dalam kemampuan
mempertahankan homeostasis fisiologis
Manajemen
Prinsip umum penanganan pascaresusitasi neonatus di antaranya
melanjutkan dukungan kardiorespiratorik, stabilitas suhu, koreksi
hipoglikemia, asidosis metabolik, abnormalitas elektrolit, serta
penanganan hipotensi
Salah satu acuan yang telah mempunyai bukti ilmiah yang kuat dalam
melaksanakan stabilisasi pascaresusitasi neonatus dikenal sebagai
S.T.A.B.L.E., yaitu tindakan stabilisasi yang terfokus pada 6 dasar
penanganan yang direkomendasikan oleh American Academy of
Pediatrics (AAP), bertujuan untuk meningkatkan keamanan
penderita, baik dalam manajemen, mencegah kemungkinan ada
kesalahan, serta mengurangi efek samping. Stabilisasi neonatus yang
tepat terbukti menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas
Prinsip stabilisasi neonatus dalam STABLE terdiri atas:
S–Sugar and safe care (stabilisasi gula darah)
T–Temperature (stabilisasi suhu)
A–Airway (stabilisasi jalan napas)
B–Blood pressure (stabilisasi tekanan darah)
L–Laboratory (stabilisasi laboratorium)
E–Emotional support (dukungan emosi)
Kata STABLE tersebut dibuat agar petugas penolong bayi tidak
melupakan aspek-aspek penting dalam stabilisasi dalam tindakannya
sendiri tidak mewajibkan harus sesuai dengan urutan kata tersebut
S (Sugar and Safe Care)
Merupakan langkah untuk menstabilkan kadar gula darah
neonatus. Pada awal kehidupan, kelangsungan pasokan nutrisi
terhenti setelah pemotongan tali pusat. Bayi baru lahir
memerlukan kelangsungan nutrisi untuk mempertahankan asupan
glukosa. Kecukupan glukosa diperlukan agar metabolisme sel tetap
berlangsung terutama sel otak
Ada 3 faktor risiko yang memengaruhi kadar gula darah:
Cadangan glikogen terbatas
Hiperinsulinemia
Peningkatan penggunaan glukosa
Dengan demikian pada bayi prematur, BBLR, bayi yang ibunya
menderita diabetes melitus, dan bayi yang sakit berat memiliki
risiko tinggi hipoglikemia

784
Skrining hipoglikemia
Menggunakan darah kapiler/dekstrostix
Simple, cukup akurat
Target gula darah: 50–110 mg/dL (15% lebih rendah dari gula
serum)
Frekuensi pemeriksaan:
Sebelum transpor dan diulang lagi saat akan ditranspor
Proses transpor
Bila hasil pemeriksaan pertama normal: tidak perlu diulang
Stabilisasi bayi:
Bila terjadi hipoglikemia, mulai terapi
Infus mengandung dekstrosa (Dex 10%), 60–80 mL/kgBB/hr
Target setidaknya: GIR = 4–6 mg/kgBB/mnt
Sebelum bayi dirujuk:
Pasang akses i.v.
Lokasi pilihan: v. umbilikal (pilihan 1), v. perifer
Perhatikan keamanan saat melakukan pemasangan: infus +
heparin, sterilitas, fiksasi, amati kemungkinan emboli/klot
T (Temperature)
Merupakan usaha untuk mempertahankan suhu normal bayi dan
mencegah hipotermia. Pada bayi dengan hipotermiz akan terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah sehingga mengakibatkan
ketidakcukupan sirkulasi di jaringan tubuh. Selain itu, kondisi
hipotermia dapat meningkatkan metabolisme dalam rangka untuk
meningkatkan kalori tubuh, kondisi ini akan meningkatkan
kebutuhan tubuh terhadap oksigen. Dengan demikian suhu-gula
darah-oksigen mempunyai keterkaitan erat
Neonatus lebih mudah mengalami hipotermia daripada
hipertermia. Lingkungan ekstrauterin berbeda dengan lingkungan
intrauterin. Lingkungan ekstrauterin meningkatkan risiko
hipotermia karena lingkungan udara bukan cairan hangat, selain
itu juga pengaruh konduksi, konveksi, evaporasi, dan radiasi. Suhu
normal adalah 36,5–37,2/37,5 °C
Pada hipotermia yang berat (<32 °C), bayi dalam batas yang
uncompensated. Pada kondisi tersebut sel otak berisiko tinggi
mengalami kematian sel dan ireversibel
Bayi berisiko hipotermia:
Bayi prematur, BBLR
Bayi sakit berat
Bayi dengan resusitasi lama
Bayi dengan kelainan (bagian mukosa terbuka: gastroschisis,
spina bifida, omfalokel, dll.)
Suhu-gula-oksigen sangat berkaitan erat
Mencegah hipotermia sangat penting. Lebih mudah mencegah
daripada mengatasi hipotermia dengan penyulit
Bayi kecil <1.500 g, bungkus badan dengan plastik dan tutup
kepala
Saat resusitasi bayi: meja dan kain hangat
785
Mengeringkan bayi
Bila sudah hipotermia segera hangatkan kembali
Tersedia inkubator atau alat penghangat
Alternatif: lampu sorot, perawatan metode kanguru
Saat menghangatkan kembali: jangan lupa pemberian oksigen,
kenaikan suhu bertahap (amati takikardia atau hipotensi), dan
monitor suhu rektal
Pada bayi dengan HIE, hindari hipertermia
A (Airway)
Masalah pernapasan menjadi morbiditas yang sering dialami bayi
yang mendapat perawatan di NICU. Saat resusitasi, dilakukan
upaya membuka alveoli paru, pascaresusitasi alveoli paru belum
sepenuhnya terbuka
Beberapa faktor predisposisi:
Prematuritas
Persalinan seksio sesaria
Sindrom aspirasi mekoneum (MAS)
Proses inflamasi
Pneumotoraks: penyulit, spontan
Kelainan bawaan: CDH, kista paru
Masalah lain di luar paru (hipotermia, hipoglikemia, kelainan
jantung, dll.)
Problem sumbatan jalan napas
Deteksi dini kegawatan napas dan evaluasi terapi, termasuk
menilai progresivitas gangguan pernapasan sangat penting. Salah
satu penilaian dini gangguan pernapasan yang mudah adalah
menggunakan skor Down
Tabel 179 Skor Down
Skor Down
0 1 2
Kecepatan <60×/mnt 60-80×/mnt > 80×/mnt
napas
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat
retraksi
Sianosis Tidak ada Tidak tampak Sianosis (+)
sianosis sianosis dengan dengan O2
O2
Udara masuk (+) Udara masuk Tidak ada udara
berkurang masuk
Megap-megap Tidak megap- Terdengar Terdengar tanpa
megap melalui menggunakan
stetoskop peralatan

Skor <4 Gangguan pernapasan ringan


Skor 4–5 Gangguan pernapasan sedang
Skor ≥6 Gangguan pernapasan berat (diperlukan AGD)

786
Selain mengamati tanda kegawatan pernapasan, penting untuk
menilai:
Kebutuhan oksigen dan peningkatan kebutuhan
Penyulit akibat hipoksia dan hiperkarbia:
PPHN (perbedaan saturasi O2 pre dan pascaduktal)
Perfusi perifer, tekanan darah
Neurologis: kesadaran, aktivitas, ada kejang atau tidak
Produksi urin
Tanda akan terjadi kegagalan pernapasan:
Pernapasan megap-megap
Tidak berespons dengan pemberian O2
Bila memungkinkan: AGD (data penting: pCO2 dan BE)
Stabilisasi pernapasan:
Segera berikan bantuan ventilasi. Pilih bantuan ventilasi yang
dapat memberikan PEEP (untuk membuka alveoli paru). Misal:
CPAP, high flow nasal canula
Bila ada tanda akan terjadi kegagalan pernapasan: segera
intubasi dan beri napas buatan (penggunaan sungkup laring
dapat merupakan alternatif, bila tidak memungkinkan intubasi)
Pasang saturasi O2, target saturasi (pascaduktal; awal lahir 90–
94%, setelah usia 3 hr 88–90/92%)
Pasang pipa orogastrik untuk dekompresi lambung
Pada bayi dengan ventilasi mekanik adekuat, namun tidak
menunjukkan perbaikan bermakna, pertimbangkan kemungkinan:
Hernia diafragmatika
Pneumotoraks
PPHN
Sumbatan jalan napas atas
Anemia
B (Blood Pressure)
Syok terjadi akibat gangguan perfusi dan oksigenasi organ. Ada 3
jenis syok yaitu:
Hipovolemia (tersering pada neonatus)
Kardiogenik
Septik
Penyebab tersering pada neonatus adalah:
Kehilangan darah saat intrauterin/persalinan
Kehilangan darah setelah lahir
Dehidrasi
Neonatus seyogianya dicegah agar jangan sampai jatuh pada
kondisi syok. Gejala dini gangguan sirkulasi pada neonatus lebih
sering berupa gangguan pernapasan
Takipnea
Kerja napas meningkat
Takikardia
Pada fase lanjut akan terjadi:
Megap-megap/apnea
Bradikardia
Nadi perifer lemah
787
Hipotensi
Mottle sign (perfisi perifer buruk)
Hal penting dalam menentukan bayi mulai mengalami hipotensi
adalah menilai tekanan darah. Tekanan darah normal bayi
berbeda, bergantung pada usia gestasi. Penghitungan cara mudah
adalah:
Melihat grafik tabel tekanan darah berdasarkan BB
Cara cepat, berdasarkan usia gestasi bayi (= diastol)
Menggunakan ukuran manset sesuai untuk neonatus

Prinsip penanganan:
Identifikasi syok
Beri bantuan ventilasi
Beri cairan fisiologis 10 mL/kg BB
Sambil cari penyebab
Hindari terapi biknat secara agresif
Bila perlu berikan dopamin 5–10 mcg/kgBB/mnt
Gejala dini syok merupakan gangguan pernapasan
Pada bayi dengan gangguan pernapasan, selalu pikirkan
kemungkinan terjadi insufisiensi sirkulasi
Merujuk bayi dengan gangguan napas, selain bantuan ventilasi,
jangan lupa memasang akses vaskular + bolus NaCl 0,9% 10
mL/kgBB (30–60 mnt)
Hindari pemberian biknat (tidak rutin), intravaskular harus diisi
lebih dahulu. (Pemberian biknat yang agresif, selain berbahaya
terhadap jaringan tubuh, juga memicu iskemia sel otak)
L (Laboratory)
Pada bayi yang akan dirujuk, wajib dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk kemungkinan infeksi (bila fasilitas memadai).
Perlu dilakukan juga pada bayi berisiko infeksi. Faktor risiko
tersering:
KPD >18 jam
Ibu dengan riwayat korioamnionitis
Ibu sakit (infeksi) menjelang persalinan, misalnya keputihan,
diare, suhu ibu >38 °C, persalinan prematur, bayi dengan
riwayat gawat janin
Pemeriksaan laboratorium pada neonatus:
Hitung jenis, jumlah leukosit, rasio IT, trombosit
Kultur darah
Gula darah
788
AGD (bila mungkin)
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan atau bila dicurigai infeksi,
berikan antibiotik sesaat sebelum bayi dirujuk. Menanggulangi
infeksi dengan gejala yang lebih jelas atau dengan penyulit akan
lebih sulit
E (Emotional Support)
Kelahiran anak merupakan saat yang dinantikan dan
membahagiakan. Bila kondisi tidak seperti yang diharapkan akan
mengganggu emosi. Orangtua biasanya akan memiliki perasaan
bersalah, menyangkal, marah, tidak percaya, merasa gagal, takut,
saling menyalahkan, dan depresi. Dukungan emosi terhadap
orangtua atau keluarga bayi sangat penting
Petugas kesehatan perlu juga mendapat dukungan emosi, perawat
adalah ujung tombak dalam perawatan bayi. Sebaiknya sebelum
bayi dirujuk, bila kondisi ibu memungkinkan, beri ibu kesempatan
untuk melihat bayinya, beri dorongan ibu untuk kontak dengan
bayinya. Beri kesempatan bagi ayah untuk sesering-seringnya
kontak dengan bayinya, biarkan ayah mengambil gambar atau
video. Beri dorongan dan keyakinan pada ibu untuk tetap
memberikan ASI kepada bayinya, dengan melakukan pompa dan
mengirim ASI ke rumah sakit di mana bayi dirujuk
Hal lain yang perlu dipersiapkan untuk disampaikan kepada tim
transpor adalah:
Informed consent
Catatan medis ibu
Catatan medis bayi
Hasil laboratorium atau radiologi
Pemberian terapi yang sudah diberikan dan yang akan diberikan

Bibliografi
1. Verónica RM, Gallo LL, Medina DR, Gutiérrez MT, Mancilla SJL,
Amezcua MM, dkk. Safe neonatal transport in Jalisco state:
impact of S.T.A.B.L.E. program on morbidity and mortality. Bol
Med Hosp Infant Mex. 2011;68(1):31–5.
2. Spector JM, Villanueva HS, Brito ME, Sosa PG. Improving
outcomes of transported newborns in Panama: impact of a
nationwide neonatal provider education program. J Perinatol.
2009 Jul;29(7);512–6.

789
Neurologi
Nelly Amalia Risan
Purboyo Solek
Dewi Hawani
Mia Milanti Dewi
KEJANG DEMAM (KD)
Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2–5% populasi anak. Tidak ada batasan
usia yang spesifik, sering terjadi pada usia 6 bl–3 th dengan puncak
usia 18 bl
Kejang demam jarang terjadi pada usia <1 bl dan >7 th
Sebagian besar kejang demam merupakan kejang demam sederhana
Kejang demam kompleks hanya berkisar 35%
Lama kejang yang berlangsung >15 mnt hanya ditemukan 9%, terjadi
status epileptikus hanya 5%
Berulang dalam 24 jam: 16% kasus
Definisi
Berdasarkan ILAE 1983, kejang demam merupakan kejang pada anak
>1 bl, berhubungan dengan demam yang tidak disebabkan oleh
infeksi SSP, tanpa ada kejang neonatus sebelumnya, atau kejang yang
diprovokasi dan tidak memenuhi kriteria untuk kejang simtomatik
akut lainnya

Manifestasi Klinis
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal >38 °C) yang disebabkan proses ekstra-
kranium
Klasifikasi
Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)

Tabel 180 Perbedaan Kejang Demam Kompleks dengan Sederhana

Karakteristik Kejang Demam Kejang Demam


Kompleks Sederhana
Durasi ≥15 mnt <15 mnt
Bentuk bangkitan Fokal/kejang umum Umum
didahului fokal
Rekurensi dalam 24 jam Ada Tidak ada
Gejala fokal pascaiktal Ada Tidak ada

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Hb, leukosit, hitung jenis, trombosit, morfologi sel, Na, K, Chlorida,
glukosa darah sesuai indikasi (Evidence level B)

793
Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal harus dilakukan pada semua anak kejang disertai
demam dan memiliki gejala rangsang meningeal, atau ditemukan
tanda-tanda meningitis (Evidence level A)
Pada bayi kecil, sulit untuk menentukan meningitis atau bukan
hanya dari pemeriksaan neurologis. Gejala rangsang meningen
seperti kaku kuduk dapat tidak ditemukan. Anjuran melakukan
pungsi lumbal pada anak usia <2 th yang mengalami kejang
demam adalah sebagai berikut:
Harus dilakukan pada bayi usia <12 bl yang mengalami kejang
demam pertama
Dianjurkan bayi usia 12–18 bl
Tidak dilakukan secara rutin pada bayi berusia >18 bl
Pungsi lumbal dilakukan bila secara klinis dicurigai mengalami
meningitis
Apabila bayi usia 6–12 bl belum diimunisasi Hib atau Streptococcus
pneumoniae, mengalami kejang disertai panas, pungsi lumbal
merupakan suatu pilihan (Evidence level B)
Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang
demam, ataupun memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi
di kemudian hari pada penderita kejang demam. Oleh karenanya,
pemeriksaan EEG tidak diperlukan pada anak kejang demam
(Evidence level B)
Manajemen
Pengobatan Kejang
Pemberian diazepam rektal pada saat kejang sangat efektif untuk
menghentikan kejang dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
Apabila kejang masih berlangsung, pemberian diazepam rektal
dapat diulang satu kali sebelum dibawa ke rumah sakit
Pemberian Obat pada Saat Demam
Antipiretik
Pemberian antipiretik (parasetamol 10–15 mg/kgBB/kali atau
ibuprofen 10 mg/kgBB/kali) pada saat demam
Antikonvulsan (pengobatan intermiten)
Pemberian diazepam dosis 0,3–0,5 mg/kgBB tiap 8 jam pada
saat demam dapat ↓ risiko berulangnya kejang demam
Diazepam dapat diberikan selama demam (biasanya 2–3 hr)
Diazepam per rektal juga dapat digunakan, dosis 5 mg untuk BB
<10 kg, 10 mg untuk BB ≥10 kg
Pemberian fenobarbital, karbamazepin, fenitoin pada saat
demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam
Pemberian Antikonvulsan Terus-menerus (Rumat)
Asam valproat 20–40 mg/kgBB/hr dibagi 2–3 dosis terus-menerus
dapat digunakan untuk ↓ risiko berulangnya kejang demam.
Antikonvulsan rumat diberikan selama 1 th. Perlu dipertimbangkan
keuntungan dan kerugian pemberian obat antikonvulsan rumat.
794
Efek samping yang harus diperhatikan pada pemakaian asam
valproat dapat → gangguan fungsi hati yang berat terutama bila
diberikan pada anak usia <2 th di samping harga yang cukup mahal
Indikasi pemberian antikonvulsan rumat
Antikonvulsan rumat diberikan bila kejang demam menunjukkan
ciri sebagai berikut:
Kejang lama >15 mnt
Ditemukan kelainan neurologis yang nyata sebelum atau
sesudah kejang
Kejang fokal/parsial
Konseling
Jelaskan pada orangtua bahwa kejang demam sebagian besar tidak
berbahaya
Jelaskan pada orangtua cara menangani kejang demam di rumah
Prognosis
Risiko berulangnya kejang demam
Sekitar ⅓ anak dapat mengalami kejang demam berulang, 10%
dapat terjadi >3×
Faktor risiko yang tetap:
Riwayat kejang demam di keluarga
Usia saat kejang demam pertama <18 bl
Tingginya suhu tubuh saat kejang
Lamanya demam hingga terjadi kejang
Faktor risiko yang possible:
Riwayat keluarga yang mengalami epilepsi
Bukan faktor risiko:
Abnormalitas neurodevelopmental
Kejang demam kompleks
Lebih dari satu jenis bangkitan kejang
Jenis kelamin
Etnik
Rekurensi kejang demam:
50% dalam 6 bl pertama
75% dalam tahun pertama
90% dalam tahun kedua
KD pertama <1 th: 50%
KD pertama >1 th: 28%
Lebih banyak faktor risiko yang didapatkan, lebih besar juga
kemungkinan terjadi rekurensi
Risiko terjadi epilepsi di kemudian hari. Sebesar 2–10% penderita
kejang demam mengalami epilepsi di kemudian hari
Gangguan perkembangan saraf
Kejang demam kompleks
Riwayat epilepsi dalam keluarga
Lamanya demam hingga terjadi kejang
1 faktor (+): risiko 3–5%
2–3 faktor (+): risiko 13–15%

795
Jenis epilepsi → beragam (absens, tonik, klonik, tonik-klonik,
parsial kompleks)
Pada epilepsi mesial temporal, 40% pernah mengalami kejang
demam kompleks
Risiko mengalami kecacatan atau kematian
Kejadian kecacatan dan kematian sebagai penyulit kejang demam
tidak pernah dilaporkan

Kejang

Demam

(+) (−)

Kelainan neurologi Epilepsi


Kelainan metabolik

(+) (−)
Meningitis Kejang demam
Ensefalitis
Abses otak
Gambar 70 Algoritme Penegakan Diagnosis Kejang

Bibliografi
1. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Febrile
Seizures. Febrile sizures: guideline for neurodiagnostic evaluation
of child with a simple febrile seizure. Pediatrics. 2011;127(2):
389–94.
2. Camfield P, Camfield C, Kurleman G. Febrile seizures. Dalam:
Roger J, Bureau M, Dravet CH, penyunting. Epileptic syndromes
in infancy, childhood, and adolescence. Edisi ke-3. Tokyo: John
Libbey & Co.Ltd; 2002. hlm. 145–52.
3. Johnston MV. Seizures in childhood. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders Co; 2004. hlm.
1993–2009.
4. Menkes JH, Sankar R. Paroxysmal disorders. Dalam: Menkes JH,
Sarnat HB, penyunting. Child neurology. Edisi ke-6. Philadelphia:
Lippincott, Williams & Wilkins; 2000. hlm. 919–1026.

796
5. Shinnar S. Febrile seizure. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero
DM, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi
ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 1079–9.
6. Warden DR, Zibulewsky J, Mace S, Gold C, Gausche-Hill M.
Evaluation and management of febrile seizures in the out-of-
hospital dan emergency. Ann Emerg Med. 2003;41(2):215–22.

797
EPILEPSI
Batasan
Epilepsi merupakan kondisi gangguan kronik yang ditandai oleh
berulangnya bangkitan epilepsi. Bangkitan epilepsi merupakan
manifestasi klinis lepas muatan listrik yang berlebihan dan hiper-
sinkron dari sel neuron di otak
Sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai oleh sekumpulan
gejala dan tanda klinis yang terjadi bersama-sama, meliputi jenis
serangan, etiologi, anatomi, faktor pencetus, usia onset, berat
penyakit, kronisitas, dan kadang-kadang prognosis
Epidemiologi
Insidensi epilepsi 70/100.000 penduduk per tahun dan prevalensinya
4–10/1.000 pada populasi umum. Insidensi tertinggi terjadi pada
anak (0,3–0,4%). Laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan
Etiologi
Epilepsi dapat disebabkan oleh faktor genetik (idiopatik) dan kelainan
yang didapat (simtomatik)
Penyebab simptomatik antara lain:
Infeksi SSP
Trauma kepala
Tumor
Asfiksia, dan lain-lain
Berdasarkan Komisi Klasifikasi dan Terminologi ILAE (International
League Against Epilepsy) pada tahun 1989, epilepsi dibagi menjadi:
Hubungan lokalisasi dan sindrom (fokal, lokal, parsial)
Idiopatik dengan onset berhubungan dengan usia:
Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal
Epilepsi anak dengan paroksismalitas di oksipital
Epilepsi reading primer
Simtomatik
Epilepsi parsial kontinua progresif kronik pada anak (sindrom
Kojewnikows)
Sindrom yang ditandai oleh bangkitan dengan cara presipitasi
yang khas
Sindrom yang berdasarkan tipe bangkitan, lokalisasi anatomik
dan etiologi:
Epilepsi lobus temporalis
Epilepsi lobus frontalis
Epilepsi lobus parietalis
Epilepsi lobus oksipitalis
Kriptogenik
Digolongkan menjadi simtomatik dan etiologinya tidak diketahui

798
Epilepsi umum dan sindrom
Idiopatik dengan onset berhubungan dengan usia
Kejang neonatal familial benigna
Kejang neonatal benigna
Epilepsi mioklonik benigna pada bayi
Epilepsi absens pada anak
Epilepsi absens juvenil
Epilepsi mioklonik juvenil (petit mal impulsif)
Epilepsi dengan bangkitan grand mal pada waktu bangun
Epilepsi idiopatik umum lain yang tidak tersebut di atas
Epilepsi dengan bangkitan yang didahului oleh bentuk aktivitas
yang khas
Kriptogenik atau simtomatik, menurut penampilan usia
Sindrom West (spasme infantil, Blitz-Nick-Salam krampfe)
Sindrom Lennox Gastaut
Epilepsi dengan bangkitan mioklonik-astatik
Epilepsi dengan absens mioklonik
Simtomatik
Etiologi tidak khas
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati epileptik infantil dini dengan suppression burst
Epilepsi umum simtomatik lain yang tidak tersebut di atas
Sindrom spesifik bangkitan epileptik yang mungkin menyebabkan
penyulit banyak penyakit, yang termasuk ini yaitu penyakit dengan
bangkitan/serangan yang merupakan manifestasi utama
Epilepsi umum dan sindrom yang tidak dapat ditentukan sifatnya
fokal atau umum
Dengan bangkitan umum atau fokal
Kejang neonatal
Epilepsi mioklonik berat pada bayi
Epilepsi dengan gelombang paku-ombak terus-menerus selama
tidur dengan gelombang lambat
Afasia epileptik didapat (sindrom Landau-Kleffner)
Epilepsi lain yang tidak dapat ditentukan dan bukan tersebut di
atas
Tanpa sifat yang jelas bangkitan umum atau fokal
Termasuk semua kasus grand mal tonik-klonik yang secara klinis
dan EEG tidak dapat diklasifikasikan secara jelas serangan umum
dan hubungannya dengan lokalisasinya, seperti pada banyak kasus
serangan grand mal waktu tidur
Sindrom spesial
Bangkitan yang berhubungan dengan situasi
Kejang demam
Bangkitan tersendiri atau status epileptikus tersendiri
Bangkitan yang terjadi hanya apabila ada kelainan metabolik akut
atau kejadian toksik akut, misalnya karena alkohol, obat-obatan,
eklamsi, dan hiperglikemia nonketotik
799
Diagnosis Kerja
Pada dasarnya epilepsi merupakan diagnosis klinis, berdasarkan
anamnesis ditunjang dengan gambaran EEG (elektroensefalografi)
Skema diagnostik epilepsi dibagi menjadi 5 aksis yang dibuat untuk
pendekatan klinis dalam menentukan diagnosis dan tatalaksana
epilepsi
Aksis 1: Iktal fenomenologi—bangkitan berdasarkan iktal termino-
logi
Aksis 2: Tipe bangkitan—berdasarkan tipe bangkitan epilepsi,
lokalisasi, dan rangsang presipitasi bangkitan
Aksis 3: Sindrom—dari daftar sindrom epilepsi
Aksis 4: Etiologi
Aksis 5: Gangguan fungsi
Pemeriksaan Penunjang
EEG
Merupakan pemeriksaan penunjang yang penting, untuk menentu-
kan klasifikasi sindrom epilepsi di luar bangkitan
Gambaran EEG yang khas untuk suatu sindrom epilepsi:
Burst-suppression → sindrom Ohtahara
Hypsarrhythmia → sindrom West
Spike slow wave <2,5 Hz → sindrom Lennox-Gastaut
Spike wave di sentrotemporal → Rolandic
MRI Kepala
Merupakan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kelainan
struktur di otak
Tatalaksana
Pemberian OAE (obat antiepilepsi) bergantung pada berapa besar
faktor risiko
Harus dipertimbangkan keuntungan dan kerugian di tiap kasus
Prinsip pengobatan epilepsi:
Monoterapi
Pemilihan obat disesuaikan dengan sindrom epilepsi
OAE dimulai 1 macam OAE, mulai dengan dosis kecil dinaikkan
bertahap sampai bangkitan hilang atau muncul efek samping. Bila
obat pertama gagal, obat kedua dapat ditambahkan sampai
bangkitan teratasi, kemudian OAE pertama diturunkan dan distop,
dengan tujuan monoterapi
Bila bangkitan tidak responsif terhadap 2 macam OAE yang benar,
ada kemungkinan suatu epilepsi refrakter
Dalam pemilihan politerapi perhatikan reaksi antar-OAE
OAE untuk bangkitan dengan onset fokal: karbamazepin, asam
valproat, topiramat, fenobarbital
OAE untuk bangkitan umum: asam valproat, topiramat, etosuksimid,
lamotrigin, fenobarbital
Penghentian Obat
Pada umumnya OAE dapat dihentikan dalam 2–4 th bebas
bangkitan. Penghentian obat dilakukan secara bertahap (tapering-
off), perlu waktu 6 bl untuk menghentikannya. Sebelum obat
800
dihentikan, dilakukan EEG untuk melihat perbaikan EEG. Beberapa
OAE memerlukan pemantauan kadar obat dalam darah dengan
indikasi:
Untuk mengetahui kepatuhan penderita minum obat
Mendapat beberapa macam obat (politerapi/obat lain yang
dapat memengaruhi kadar obat)
Muncul bangkitan kembali pada bangkitan yang sudah
terkontrol
Obat-obat Antiepilepsi
Karbamazepin
Sediaan Tablet 100 mg, 200 mg, dan 400 mg
Sirup 100 mg/5 mL
Dosis 10–25 mg/kgBB/hr (biasanya dimulai dengan
5 mg/kgBB/hr) dibagi 3 dosis
Pengobatan Obat pilihan pertama untuk epilepsi parsial dan
umum tonik-klonik. Dapat memperburuk bang-
kitan mioklonik dan absens
Efek samping Ruam kulit, sindrom Stevens Johnson, diskrasia
darah, penglihatan ganda, nausea, sakit kepala
Asam valproat
Sediaan Tablet 100 mg, 200 mg
Sirup 250 mg/5 mL
Dosis 20–60 mg/kgBB/hr (biasanya dimulai 20 mg/kgBB/hr)
dibagi 2–3 dosis
Pengobatan Obat pilihan pertama untuk epilepsi umum
tonik-klonik, parsial, dan absens
Efek samping Ruam kulit, gangguan fungsi hati akut, pankreatitis
akut, diskrasia darah, BB dan nafsu makan ↑
Sebaiknya tidak digunakan untuk anak <2 th
Etosuksimid
Sediaan Kapsul 250 mg
Dosis 15–35 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis
Pengobatan Efektif untuk epilepsi absens
Efek samping Nausea, sakit kepala, dan mengantuk
Klobazam
Sediaan Tablet 10 mg
Dosis 0,25 mg/kgBB/hr (mulai dengan 0,125 mg/kgBB/hr)
dibagi 2 dosis
Pengobatan Obat pilihan kedua epilepsi umum tonik-klonik
dan parsial dapat muncul toleransi pada ⅓ anak
Efek samping Sedasi, iritabel, dan depresi
Klonazepam
Sediaan Tablet 0,5 mg dan 2 mg
Dosis 0,1–0,3 mg/kgBB/hr (mulai dengan 0,05 mg/kg/hr)
untuk usia <1 th, 0,3–1 mg/kgBB/hr untuk usia >1
th dibagi 2–3 dosis
801
Pengobatan Pengobatan obat pilihan kedua epilepsi umum
tonik-klonik, parsial, mioklonik, sindrom Lennox-
Gastaut, sindrom West. Dapat muncul toleransi
(efektivitas obat ↓)
Efek samping Sedasi, hipersekresi saluran respiratori, lesu
Topiramat
Sediaan Tablet 25 mg, 50 mg, dan 100 mg
Sprinkle capsule 15 mg, 25 mg, dan 50 mg
Dosis 6–9 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis (mulai 1 mg/kgBB/hr,
dinaikkan 0,5 mg/kgBB setiap mgg)
Pengobatan Direkomendasi untuk epilepsi parsial, umum,
dan epilepsi mioklonik berat
Efek samping BB ↓, sakit kepala, mengantuk, risiko batu ginjal
↑ dan flushing

Fenobarbital
Sediaan Tablet 15 mg, 30 mg, dan 60 mg
Dosis 4–8 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis
Pengobatan Efektif untuk epilepsi umum tonik klonik, parsial,
kejang pada neonatus, dan status epileptikus
Efek samping Ruam kulit, mengantuk, sedasi, hiperaktif, gang-
guan fungsi kognitif yang menetap (IQ ↓)

Prognosis
Pada umumnya prognosis epilepsi baik, ±70% penderita epilepsi
mengalami remisi (bebas bangkitan selama ≥5 th sesudah penghenti-
an obat)
Beberapa faktor prediktor prognosis:
Kelainan neurologi berat (retardasi mental, palsi serebral)
Terdapat beberapa jenis bangkitan
Respons terhadap OAE (bila bangkitan tidak terkontrol dalam 1 th
sesudah terapi)
EEG abnormal pada awal terapi atau EEG memburuk
Memerlukan politerapi untuk kontrol bangkitan

Bibliografi
1. Camfield PR, Camfield CS. Pediatric epilepsy: an overview.
Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF,
penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. hlm. 703–10.
2. Conway JM, Leppik IE, Birnbaum AK. Antiepileptic drug therapy
in children. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor
NF, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi
ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. hlm. 811–36.
3. Holmes GL. Generalized seizures. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric neurology:
principles & practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier;
2012. hlm. 736–50.

802
4. Menkes JH, Sankar R. Paroxysmal disorders. Dalam: Menkes JH,
Sarnat HB, penyunting. Child neurology. Edisi ke-6. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2000. hlm. 919–1026.
5. Mikati MA. Seizures in childhood. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 7258–303.
6. Mitchell WG, Hirtum-Das MV, Desai J, Luc NN. Behavioral,
cognitive and sosial aspects of childhood epilepsy. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting.
Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. hlm. 871–9.
7. Nash K, Sullivan J. Myoclonic seizures and infantile spasms.
Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF,
penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. hlm. 668–75.
8. Nordli DR. Focal and multifocal seizures. Dalam: Swaiman KF,
Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric
neurology: principles & practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2012. hlm. 751–66.

803
STATUS EPILEPTIKUS
Batasan
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang terjadi terus-menerus
≥30 mnt berupa bangkitan fokal/umum, konvulsi/nonkonvulsi atau
dalam 30 mnt terjadi beberapa kali bangkitan tanpa ada pemulihan
kesadaran di antara bangkitan
Impending SE adalah keadaan bangkitan akut ditandai kejang umum
terus-menerus selama 5 mnt atau kejang nonkonvulsi (klinis/EEG)
atau kejang fokal >15 mnt atau tidak ada pemulihan kesadaran di
antara 2 bangkitan
Tindakan harus segera dilakukan pada impending SE agar tidak
menjadi SE
Epidemiologi
Pada anak SE sering ditemukan pada usia ≤3 th
Keadaan yang mendasari status epileptikus pada anak antara lain:
Keadaan akut: ensefalopati (gangguan elektrolit), ensefalitis,
meningitis, perdarahan intrakranial
Keadaan kronik: malformasi otak, sindrom neurokutan, pasca-
trauma kepala, dan epilepsi (obat antiepilepsi di bawah kadar obat
darah/subterapi)
Tatalaksana
Tujuan tatalaksana SE untuk menghentikan aktivitas bangkitan
dengan segera dan menentukan penyebab bangkitan. Tatalaksana
awal secara simultan adalah stabilisasi penderita (resusitasi kardio-
pulmonal) dan work-up diagnostik untuk menentukan penyebab SE.
Terapi obat antikonvulsan segera diberikan sesudah keadaan
penderita stabil
Obat-obatan yang sering digunakan untuk tatalaksana awal yaitu
diazepam, lorazepam, fenitoin, fenobarbital
Pada kasus bangkitan terus berlangsung (SE refrakter) dapat diguna-
kan obat antikonvulsan seperti midazolam, fenobarbiton, tiopental
yang dilakukan di ruang PICU
Sebelum ke RS (Prehospital)
Diazepam rektal (0,5 mg/kgBB)
<5 kg : 2,5 mg
5–10 kg : 5 mg
>10 kg : 10 mg
Pemberian diazepam rektal dapat diulang 2× dengan interval 5 mnt.
Diazepam maks. 30 mg

804
Rumah Sakit (Hospital)

Keterangan:
*Apabila saat datang sudah didiagnosis status epileptikus, maka pemberian
diazepam i.v. hanya 1 kali, dilanjutkan dengan obat antikejang lini kedua.
Bila jalur i.v. belum tersedia, diazepam boleh diberikan per rektal
**Pemilihan obat lini ke-2 (fenitoin/fenobarbital) ditentukan oleh ketersedia-
an obat, akses vena besar, dan alat monitor EKG
***Pemberian midazolam dilakukan di ruang intensif, namun bila tidak ter-
sedia dapat diberikan di ruang rawat inap dengan pemantauan tanda vital.
Midazolam dapat dihentikan setelah 24 jam bebas kejang.
Gambar 71 Algoritme Tatalaksana Kejang dan Status Epileptikus

Contoh Soal
Pemberian Fenitoin
BB 10 kg
Dosis fenitoin loading dose 20 mg/kgBB i.v.
Sediaan fenitoin 1 mL : 100 mg
Dosis yang dibutuhkan pasien → 200 mg → 2 mL
Pengenceran: 2 mL fenition + 2 mL NaCl 0,9%
Kecepatan pemberian 1 mg/kgBB/mnt → 10 mg/mnt
Kecepatan pemberian pada pasien → 20 mnt, diberikan dengan
syringe pump
805
Pelarut yang digunakan harus larutan fisiologis seperti NaCl 0,9% atau
aquabides, tidak boleh larutan dektrosa
Bibliografi
1. Menkes JH, Sankar R. Paroxysmal disorders. Dalam: Menkes JH,
Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child neurology. Edisi ke-6.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. hlm. 919–
1026.
2. Mikati MA. Seizures in childhood. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 7258–303.
3. Pellock JM, Morton LD. Status epileptikus. Dalam: Swaiman KF,
Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric
neurology: principles & practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2006. hlm. 798–810.

806
ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS

Batasan
Ensefalitis merupakan manifestasi kelainan neurologi yang disebab-
kan oleh infeksi virus herpes simpleks (VHS)
Epidemiologi
Ensefalitis herpes simpleks (EHS) merupakan penyebab 10% kasus
ensefalitis dan merupakan penyebab tersering kasus ensefalitis fatal
yang muncul secara sporadik dan diperkirakan mencapai 1 dari
250.000–500.000 penderita per tahun. VHS tipe 1 dapat → ensefalitis
pada semua usia, tetapi terbanyak pada penderita berusia >20 th.
EHS pada neonatus biasanya karena infeksi VHS tipe 2 selama melalui
jalan lahir dari ibu yang menderita herpes genital aktif; biasanya
terbanyak → meningitis
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tidak spesifik, dapat akut dan subakut
Fase prodromal terjadi malaise dan demam selama 1–7 hr.
Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, per-
ubahan kepribadian dan gangguan daya ingat, kemudian penderita
akan terjadi kejang (fokal/umum) dan kesadaran ↓
Neurologis menunjukkan hemiparesis, afasia, ataksia, gangguan
sistem autonom, paresis saraf kranialis, kaku kuduk, dan papiledema
Diagnosis
Kemungkinan EHS bila demam, kejang fokal, dan gejala neurologis
fokal
Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan
laboratorium, EEG, pencitraan, biopsi otak dan polymerase chain
reaction (PCR)
Pemeriksaan laboratorium darah tepi tidak spesifik
Cairan serebrospinal dapat normal atau abnormal
Tabel 181 Gambaran Cairan Serebrospinal pada Infeksi Susunan
Saraf Pusat
Parameter Virus Bakteri Mikobakterium Jamur
Jumlah sel N-↑ ↑-↑↑↑ ↑-↑↑ N -↑↑
Tipe sel Limfosit PMN Limfosit Campuran
Protein N-↑ ↑-↑↑↑ N -↑↑ N -↑↑
Glukosa N-↓ ↓-↓↓↓ N-↓ N-↓

EEG ditemukan gambaran periodic lateralizing epileptiform discharge


atau perlambatan fokal di daerah temporal atau frontotemporal
Pemeriksaan pencitraan CT-scan (hipodens di lobus temporal atau
frontal, kadang-kadang meluas sampai lobus oksipitalis) dan MRI
kepala

807
Tatalaksana
Pengobatan simtomatik dan suportif
Asiklovir dengan dosis 30 mg/kgBB/hr dibagi dalam 3 dosis diberikan
selama 10 hr
Prognosis
Prognosis buruk
Bibliografi
1. Bale JF. Viral infections of the nervous system. Dalam: Swaiman
KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric
neurology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012. hlm.
1262–96.
2. Feigin RD, Cherry JD, Demmler GJ, Kaplan SL. Texbook of
pediatric infectious diseases. Edisi ke-5. Philadelphia: WB
Saunders Co; 2004.
3. Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam:
Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child neurology.
Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2000. hlm.
433–556.
4. Soetomenggolo SS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta:
Balai Penerbit IDAI; 2000.

808
ABSES OTAK
Epidemiologi
Insidensi tertinggi terjadi pada dekade 2 dan 3 kehidupan; insidensi
lebih tinggi terjadi pada pria (3:1)

Manifestasi Klinis
Gejala pada stadium awal tidak spesifik, dapat berupa nyeri kepala,
demam, letargi dan kejang (fokal/umum). Pada anak progresivitas
penyakit ditandai dengan gangguan neurologis bersamaan dengan
gejala tekanan intrakranial ↑
Manifestasi abses otak didasarkan:
Manifestasi ↑ tekanan intrakranial berupa sakit kepala, muntah,
dan edema papil
Manifestasi supurasi intrakranial berupa iritabel, mengantuk atau
stupor, dan tanda rangsang meningeal
Tanda infeksi: demam, menggigil, dan leukositosis
Tanda fokal jaringan otak yang terkena: kejang; gangguan saraf
yang terkena (kejang, gangguan saraf kranial, afasia, ataksia, dan
paresis)
Tabel 182 Persentase Manifestasi Klinis Abses Serebri
Manifestasi Klinis Persentase (%)
Sakit kepala 55
Muntah 50
Kejang 50
Kesadaran ↓ 35
Edema papil 40
Manifestasi neurologis
Paresis N VI 30
Hemiparesis 30
Tetraparesis 30
Atrofipapil 25
Nistagmus 10
Manifestasi infeksi
Demam 80

Diagnosis
Pemeriksaan penunjang
Darah tepi tidak spesifik. Leukosit >11.000/mm3
EEG : perlambatan fokal, gelombang paku
CT-scan kepala/MRI: lesi berupa masa dengan batas yang disertai
dengan penyengatan capsular ring
Secara histopatologi, abses otak dibagi menjadi:
Fase serebritis dini (hr ke-1–3)
Fase serebritis lambat (hr ke-4–9)
Fase pembentukan kapsul dini (hr ke-10–13)
Fase pembentukan kapsul lambat (hr ke-14 dan seterusnya)

809
Tatalaksana
Pemberian antibiotik (lihat bab infeksi)
Terapi bedah, indikasi:
Tidak terdapat perbaikan sesudah 24 jam terapi antibiotik
Perburukan klinis
Penekanan struktur yang penting di otak
Bibliografi
1. Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam:
Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child neurology.
Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2000. hlm.
448–53.
2. Täuber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous
system. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF,
penyunting. Pediatric neurology. Edisi ke-5. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2012. hlm. 1241–65.

810
TUBERKULOSIS PADA SUSUNAN SARAF PUSAT
Meningitis tuberkulosis (TB) merupakan suatu kegawatan. Keterlam-
batan pengobatan dapat mengakibatkan kematian
Manifestasi TB pada SSP dapat berupa:
Meningitis
Tuberkuloma tanpa meningitis
Manifestasi Klinis Meningitis
Stadium Awal (Stadium I)
Didominasi oleh gejala gastrointestinal, tidak terlihat manifestasi
neurologis, berlangsung ±2 mgg. Anak dapat apatis atau iritabel
dengan sakit kepala yang hilang muncul, kenaikan suhu yang
ringan, anoreksia, mual, muntah. Khususnya pada bayi, kejang
demam merupakan gejala yang paling menonjol pada stadium ini
Stadium II
Anak terlihat mengantuk dan mengalami disorientasi dengan
tanda iritasi meningen. Refleks fisiologis ↑, refleks abdominal
menghilang dan klonus. Dijumpai keterlibatan saraf kranial III, VI,
dan VII
Stadium III
Anak dapat dalam keadaan koma atau terdapat periode yang
hilang muncul dari penurunan kesadaran. Refleks cahaya pupil ↓.
Dapat ditemukan spasme klonik rekuren dari ekstremitas,
pernapasan ireguler, dan demam tinggi. Hidrosefalus terjadi pada
⅔ penderita yang infeksinya sudah berjalan >3 bl dan tidak diterapi
adekuat
Tabel 183 Persentasi Manifestasi Klinis Meningitis TB
Manifestasi Klinis Persentase (%)
Gejala
Sakit kepala 50–80
Demam 60–95
Muntah 30–60
Fotofobia 5–10
Anoreksia/BB ↓ 60–80
Pemeriksaan neurologis
Kaku kuduk 40–80
Kesadaran ↓ (confusion) 10–30
Koma 30–60
Paresis saraf kranial 30–50
III 5–15
VI 30–40
VII 10–20
Hemiparesis 10–20
Paraparesis 5–10
Kejang 50

811
Manifestasi tuberkuloma menyerupai gejala space occupying lesion
(SOL) seperti kejang fokal, hemiparesis, paresis saraf otak, dan lain-
lain
Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, gejala TB, pemeriksaan neurologis, ditunjang
dengan pemeriksaan cairan serebrospinal dan CT-scan kepala dengan
kontras
Pemeriksaan Cairan Serebrospinal
Tabel 184 Gambaran Cairan Serebrospinal pada Meningitis TB
Cairan Serebrospinal
Kejernihan (%) 80–90
Jumlah sel (sel/mm3) 10–500
Jumlah leukosit
Neutrofil (%) 10–70
Limfosit (%) 30–90
Protein (g/L) 0,45–3
Rasio glukosa cairan serebrospinal:darah <0,5

CT-scan dengan kontras didapatkan infark, tuberkuloma, hidrosefalus


Tatalaksana
Pemberian obat antituberkulosis selama 12 bl (lihat bab respirologi)
Tatalaksana tekanan tinggi intrakranial (TTIK):
Mengurangi edema serebri
Manitol 20% 0,5–1 g/kgBB i.v. selama 10–30 mnt tiap 4–6 jam
Mempertahankan fungsi metabolik otak
Mempertahankan kadar elektrolit pada keadaan normal
Menghindari ↑ tekanan intrakranial
Posisi penderita dipertahankan setengah duduk dengan meng-
angkat kepala setinggi 20–30° dan dalam posisi netral
Indikasi operasi
Hidrosefalus (untuk mengatasi hidrosefalus dilakukan ventriculo-
peritoneal shunt/VP-shunt)
TB vertebra yang menyebabkan paraparesis
Penyulit
Hidrosefalus
Infark pembuluh darah
Hiponatremia (akibat syndrome inappropriate antidiuretic hormone/
SIADH)
Prognosis
Stadium II: 25% mengalami gejala sisa
Ditentukan dari stadium meningitis saat masuk RS dan penyulit yang
terjadi
Akan ditemukan kalsifikasi intrakranial pada ⅓ penderita yang
sembuh

812
Bibliografi
1. Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam:
Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child neurology.
Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2000. hlm.
445–8.
2. Täuber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous
system. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF,
penyunting. Pediatric neurology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2012. hlm. 1241–65.

813
AUTISM SPECTRUM DISORDERS (ASD)
Kelainan perkembangan yang sifatnya sangat kompleks dan berat
meliputi gangguan pada lebih dari satu area perkembangan (bahasa,
interaksi sosial, dan kognisi) yang dalam kriteria Diagnostic and
statistical manual of mental disorders, edisi ke-4 text revision (DSM-
IV-TR) dikenal sebagai kelompok pervasive developmental disorder
(PDD), sejak tahun 2013 berdasarkan kriteria DSM-5 disebut sebagai
autism spectrum disorder (ASD). Di dalam kriteria DSM-5 terjadi
penggabungan gejala menjadi satu yaitu gangguan berbahasa dan
gangguan interaksi menjadi gangguan berbahasa dan interaksi.
Dengan demikian, kriteria diagnostik untuk ASD berdasarkan DSM-5
adalah sebagai berikut:
1. Gangguan berbahasa dan gangguan interaksi
2. Perilaku maladaptif
ASD terdiri atas:
1. Autism disorder
2. Pervasive developmental disorder-not otherwise specified
(PDD-NOS)
3. Asperger disorder (AD)

AUTISM DISORDER
Batasan
Autisme merupakan bentuk gangguan perkembangan yang ditandai
dengan gejala:
1. Gangguan berbahasa (komunikasi verbal, nonverbal, dan gang-
guan interaksi)
2. Perilaku maladaptif, aktivitas yang aneh seperti: perilaku
stereotipik, flapping, tapping, tantrum, ritual-ritual yang aneh,
serta minat yang terbatas
Autistic disorder menurut DSM-5
Bentuk paling berat di antara kelompok ASD dengan kemampuan
kognitif sebagian besar di bawah normal, bahkan untuk bentuk
yang high functioning sekalipun
Gejala muncul setelah usia 3 th
Diagnosis harus memenuhi kriteria DSM-5
Epidemiologi
Prevalensi autisme pada anak 10/10.000 kelahiran hidup. Insidensi
pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan, 4:1
Etiologi
Penelitian paling akhir dari penyebab autisme menunjukkan
hubungan autisme dengan genetik yang bersifat multigen
Diduga ada kaitan dengan gangguan neurotransmiter serotonin
Terdapat kelainan anatomi pada daerah limbik dan perkembangan
serebelum serta batang otak yang tidak terbentuk sempurna. Dengan
pemeriksaan positron emission tomography (PET) daerah tersebut
memperlihatkan aktivitas listrik yang rendah

814
Manifestasi Klinis
Gangguan perkembangan dengan gejala khas (core symptoms)
Gejala gangguan komunikasi
Terlambat bicara, tidak bicara sama sekali
Terganggu bahasa ekspresif dan reseptif
Dapat bicara tetapi aneh (intonasi suara atau kecepatannya aneh,
perbendaharaan kata tidak banyak)
Ekolali (segera, lambat, parroting)
Bahasa planet
Belajar dari mencontoh (visual), bukan dari mendengar (auditory)
atau mimik muka
Tidak ada kontak mata
Tidak mengerti bahasa tubuh (gestures)
Tidak mengerti komunikasi nonverbal/isyarat
Gejala gangguan interaksi sosial
Tidak ada
Social recognition (tidak sadar ada orang lain)
Sosial communication (tidak berusaha untuk memulai komunikasi)
Social imagination (tidak mengerti apa yang dipikirkan orang lain)
Perilaku yang abnormal/aneh
Keterpakuan pada hal yang sama, sulit diubah (makan dengan
piring yang sama, taruh mainan di tempat sama, sentuh benda
dengan urutan sama)
Aktivitas/interest terbatas, kaku, stereotipik, senang logo, jadwal
pesawat
Keterikatan pada objek yang tidak biasa (plester, karet gelang, tali
rafia)
Mainan tidak dimainkan semestinya (putar roda mobil-mobilan,
jejer mainan)
Self stimulation (rocking, waving, flapping, spinning, head banging,
gigit tangan)
Gangguan sensoris (reaksi berlebihan terhadap suara, sentuhan,
bau, tidak merasa sakit, tekstur makanan tertentu)
Hiperaktif, tidak konsentrasi, agresif, fobia, sulit tidur
Kelainan lain yang dapat menyertai
Sebagian pada penderita autisme didapatkan gangguan profil
sensoris pada penderita
Terapi
Perlu kerja sama beberapa disiplin ilmu (multidisiplin)
Terapi terpilih berdasarkan evidence based adalah terapi perilaku.
Terapi perilaku diberikan bersama-sama dengan terapi farmakologi
pada penderita yang usianya sudah lebih besar dari 2 th
Terapi lain yang diberikan:
Terapi bicara
Terapi okupasi
Edukasi pada orangtua
Family support

815
Diagnosis Banding
Asperger’s disorder
Gejala mirip autistic disorder
Kemampuan komunikasi dan kognitif tidak terganggu
Kognitif lebih maju: usia 3 th kenal huruf, usia 5 th lancar baca,
hafal jadwal kereta
PDD-NOS
Gejala autistic disorder tidak lengkap
Stereotipik ada lalu hilang
Prognosis
Bergantung pada kemampuan bicara verbal dan inteligensia
Secara umum tetap memerlukan bantuan untuk beradaptasi ter-
hadap lingkungan sepanjang hidup. Penderita autisme yang high
functioning—jumlahnya tidak banyak—mungkin tidak bergantung
pada orang lain
Bibliografi
1. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Edisi ke-4 TR. Washington: American
Psychiatric Association; 2000.
2. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Edisi ke-5. Washington: American
Psychiatric Association; 2013.
3. Hirtz DG, Wagner A, Filipek PA. Autistic spectrum disorders.
Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting.
Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. USA: Mosby
Elsevier; 2006. hlm. 905–35.
4. Mauk JE, Reber M, Batshaw ML. Autism and other pervasive
developmental disorders. Dalam: Batshaw ML, penyunting.
Children with disabilities. Edisi ke-4. Baltimore, London: Paul H.
Brookes Pub. Co; 2000. hlm. 425–47.

816
RETT’S DISORDER
Rett’s disorder merupakan gangguan neurodevelopmental yang dise-
babkan kelainan genetik pada gen MECP2
Rett’s disorder dibagi beberapa tipe:
Atipikal (terjadi sesudah lahir atau pada usia 18 bl), terdapat
gangguan bicara dan kemampuan penggunaan tangan, biasanya
terjadi pada anak laki-laki tetapi biasanya sangat jarang)
Klasik (yang memenuhi kriteria diagnosis)
Provisional (beberapa gejala muncul pada usia 1–3 th)
Epidemiologi
Rett’s disorder lebih jarang terjadi dibandingkan dengan gangguan
autistik. Insidensi gangguan 1:10.000 pada bayi perempuan yang baru
lahir. Kejadian sindrom ini juga dapat terlihat pada anggota keluarga
yang memiliki keluhan serupa dan juga biasanya pada daerah
geografis tertentu termasuk Norwegia, Swedia, dan Italia
Manifestasi Klinis
Gambaran Rett’s disorder yang paling utama yaitu ditemukan defisit
spesifik multipel pada perkembangan yang muncul sesudah periode
fungsi yang normal sesudah lahir. Penderita biasanya memiliki
periode prenatal dan neonatal yang normal dengan per-kembangan
psikomotor yang normal pada 5 bl pertama kehidupan. Beberapa
literatur menyatakan bahwa perkembangan normal biasanya dapat
terjadi pada 6–18 bl pertama kehidupan, yang kemudian diikuti
dengan kehilangan kemampuan motorik kasar serta kemampuan
interaksi sosial dan juga muncul gerakan stereotipik tangan. Lingkar
kepala pada saat lahir biasanya normal, pada usia 5–48 bl
pertumbuhan kepala mengalami kemunduran. Kemudian muncul
gerakan gait dan gangguan berat pada perkembangan bahasa
ekspresif dan reseptif dengan retardasi psikomotor yang berat
Gejala yang biasanya muncul:
Apraksia
Gangguan pernapasan (masalah biasanya muncul jika terdapat
stres, pernapasan biasanya normal selama tidur dan tidak normal
sesudah bangun tidur)
Regresi
Pengeluaran saliva yang berlebihan dan drooling
Gerakan menepuk tangan dan kaki (biasanya merupakan tanda
awal)
Gangguan intelektual dan kesulitan belajar
Skoliosis
Gemetar tidak dapat berdiri stabil, terdapat gait atau berjalan
dengan ujung-ujung jari kaki
Kejang
Kehilangan pola tidur normal
Memperlihatkan gangguan pertumbuhan kepala tahap awal pada
usia 5–6 bl

817
Hilangnya gerakan tangan bertujuan, sebagai contoh mengambil
objek kecil dengan jari yang digantikan dengan gerakan tangan
repetitif seperti menulis tangan atau gerakan konstan memasuk-
kan tangan ke dalam mulut
Hilangnya kemampuan interaksi sosial
Terdapat konstipasi berat dan gastroesofageal refluks (gastro-
esophageal reflux disease/GERD)
Sirkulasi yang buruk dapat menimbulkan gejala akral dingin
Beberapa gangguan perkembangan bahasa berat

Diagnosis
Pada Rett’s disorder tidak ada pemeriksaan laboratorium yang
spesifik. Kemungkinan gambaran EEG abnormal, tidak ada laporan
mengenai kelainan pada pencitraan otak. Data sebelumnya menyata-
kan bahwa kemungkinan pada beberapa kasus Rett’s disorder
disebabkan kelainan mutasi genetik
Semua gejala di bawah ini:
Perkembangan prenatal dan neonatal normal
Perkembangan psikomotor sampai usia 5 bl sesudah lahir normal
Lingkar kepala saat lahir normal
Terdapat keadaan di bawah ini sesudah periode normal perkem-
bangan:
Deselerasi pada pertumbuhan kepala usia 5–48 bl
Hilangnya kemampuan keterampilan tangan yang bertujuan usia
5–30 bl dengan munculnya gerakan tangan stereotipik (contoh:
seperti gerakan meremas tangan atau mencuci tangan)
Hilangnya kemampuan interaksi sosial
Gerakan gait yang cukup berat
Gangguan perkembangan bahasa reseptif dan ekspresif yang
cukup berat dengan retardasi psikomotor berat
Salah satu pemeriksaan yang direkomendasikan yaitu pemeriksaan
genetik menggunakan PCR
Terapi
Tidak ada terapi spesifik yang dapat mencegah atau mengembalikan
progresivitas penyakit, terapi biasanya bersifat simtomatis dan
individual, memfokuskan pada pencapaian kemampuan penderita
secara optimal. Sebuah pendekatan multidisiplin dinamis yang lebih
efektif yaitu terdiri atas ahli gizi, fisioterapi, terapi okupasional dan
terapi bicara. Perhatian khusus diperlukan jika terjadi skoliosis
(terlihat pada 87% penderita usia 25 th) dan terdapat spastisitas,
kedua keadaan ini merupakan 2 faktor yang memengaruhi mobilitas.
Perhatian diperlukan juga terhadap gangguan komunikasi yang berat.
Dukungan psikososial untuk keluarga juga merupakan bagian yang
holistik dalam penatalaksanaan, dan juga kelompok yang mendukung
orangtua
Pendekatan farmakologi untuk menangani masalah Rett’s disorder
yaitu:
Melatonin untuk gangguan tidur

818
Beberapa obat untuk mengontrol gangguan pernapasan, kejang,
dan gerakan stereotipik
L-carnitine untuk memperbaiki kemampuan bahasa, massa otot,
dan kualitas hidup
Bantuan untuk mengatasi masalah makan
Terapi untuk mengatasi konstipasi dan GERD
Pemberian supplemen dapat membantu penderita yang memiliki
pertumbuhan yang lambat. Pipa nasogastrik mungkin diperlukan
untuk mencegah aspirasi makanan
Pada penderita Rett’s disorder, risiko aritmia yang berhubungan
dengan Q-T interval memanjang yang dapat mengancam jiwa ↑
sehingga beberapa jenis obat harus dihindari penggunaannya
termasuk obat prokinetik (contoh: kisaprid), antipsikotik (contoh:
tioridazin), antidepresan trisiklik (contoh: imipramin), antiaritmia
(contoh: kuinidin, sotolol, dan amiodaron), obat anestetik (contoh:
tiopental dan suksinilkolin), dan antibiotik (contoh: ketokonazol dan
eritromisin)
Konseling genetik merupakan salah satu tatalaksana pada Rett’s
disorder

Bibliografi
1. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Edisi ke-5. Washington: American
Psychiatric Association; 2013.
2. Hirtz DG, Wagner A, Filipek PA. Autistic spectrum disorders.
Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting.
Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 905–35.
3. Shah PE, Dalton R, Boris NW. Pervasive developmental disorders
and childhood psychosis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St.
Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 29.
4. Williamson SL, Christodoulou J. Rett’s syndrome: new clinical and
molecular insights. Eur J Hum Gen. 2006;14:896–903.

819
PERVASIVE DEVELOPMENTAL DISORDER-
NOT OTHERWISE SPECIFIED (PDD-NOS)
Batasan
Diagnosis PDD-NOS berdasarkan kriteria DSM-5 yaitu terdapat gang-
guan perkembangan interaksi sosial yang berhubungan dengan gang-
guan pada kemampuan komunikasi verbal atau nonverbal atau
dengan munculnya kebiasaan stereotipik, aktivitas, dan minat yang
terbatas. PDD-NOS disebut juga sebagai autisme atipikal yang ke-
adaannya tidak sesuai untuk kriteria gangguan autistik, gejala klinis
yang atipikal atau gejala klinis subthreshold atau semuanya

Epidemiologi
Terdapat hubungan usia ibu saat melahirkan dengan kejadian PDD-
NOS. Angka kejadian PDD-NOS menempati presentasi tertinggi pada
ibu usia >30 th pada saat melahirkan
Manifestasi Klinis
Perilaku anak dengan diagnosis PDD-NOS hampir sama dengan
perilaku anak autisme klasik dalam berbagai hal. Saat berinteraksi
dengan orang lain, mereka tampak tidak emosional atau tidak
berbicara. Mereka juga memiliki kesulitan dalam mempertahankan
kontak mata, memiliki kesulitan untuk berpindah dari satu aktivitas
ke aktivitas lainnya
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan kriteria DSM-5
Terapi
Terapi perilaku
Terapi sensori disintegrasi
Bibliografi
1. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Edisi ke-4 TR. Washington: American
Psychiatric Association; 2000.
2. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Edisi ke-5. Washington: American
Psychiatric Association; 2013.
3. Dum NJ, Towsend JK, Courchesne E. Prenatal, perinatal, and
neonatal factors in autism, pervasive developmental disorder-
not otherwise spesified, and the general population. Pediatrics.
2001;107:e63.
4. Hirtz DG, Wagner A, Filipek PA. Autistic spectrum disorders.
Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting.
Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. USA: Mosby
Elsevier; 2006. hlm. 905–35.

820
CHILDHOOD DISINTEGRATIVE DISORDER (CDD)
Batasan
Gangguan dikenal sebagai: sindrom Heller, infantil demensia dan
infantil disintegratif. Kelainan ini ditandai perkembangan yang
normal pada dua tahun pertama kehidupan dan kemudian diikuti
kehilangan kemampuan berbahasa secara bertahap, sosial, dan
kemampuan motorik sebelum usia 10 th
Epidemiologi
CDD merupakan kelainan yang jarang. Prevalensi 2:100.000, lebih
banyak pada anak laki-laki
Manifestasi Klinis
Gejala CDD tidak timbul dalam 2 th pertama kehidupan anak
Gejalanya:
Keterlambatan atau hilangnya bahasa ekspresif
Terdapat gangguan kebiasaan nonverbal seperti bahasa tubuh
atau ekspresi wajah, tidak dapat memulai berbicara secara
normal
Tidak dapat membina hubungan dengan sesama teman atau
keluarga
Kehilangan kemampuan gerak motorik
Kehilangan kemampuan berbahasa
Gangguan kandung kemih dan gangguan BAB
Diagnosis
Diagnosis CDD sering tertukar dengan gangguan perkembangan lain,
oleh karena itu kemungkinan diagnosis yang memiliki gejala hampir
sama harus disingkirkan. Penyebab CDD belum diketahui secara pasti.
Penelitian yang sudah ada menunjukkan 50% anak yang didiagnosis
dengan CDD memperlihatkan hasil EEG yang abnormal
Gangguan pada CDD harus dibedakan dengan kelainan lain terutama
pada sindrom Rett, pada 2 th pertama kehidupan anak, dan semua
aspek perkembangan dalam batas normal
Kriteria diagnostik pada CDD:
Perkembangan normal untuk min. 2 th pertama kehidupan
yang bermanifestasi sebagai ketidaksesuaian antara kemam-
puan verbal dan usia, komunikasi nonverbal, hubungan sosial,
bermain, dan kebiasaan adaptif
Kehilangan kemampuan yang didapat secara signifikan (sebe-
lum usia 10 th) pada min. 2 dari gangguan di bawah ini:
Bahasa, ekspresif atau reseptif
Kebiasaan adaptif atau kemampuan sosial
Kontrol kandung kemih dan kebiasaan buang air besar
Bermain
Kemampuan motorik
Terdapat abnormalitas fungsi min. 2 dari gangguan di bawah
ini:
Gangguan kualitatif dalam hal interaksi sosial

821
Gangguan kualitatif dalam hal komunikasi
Pola tingkah laku yang stereotipik, repetitif, dan terbatas
dalam hal keingintahuan aktivitas termasuk gerakan
stereotipik motorik
Terapi
Seperti pada gangguan autis lainnya bahwa tidak ada satu jenis obat
apapun yang terbukti dapat mengobati CDD. Tingkat kompleksitas
dan sedikitnya kelainan ini menyebabkan tidak ada penelitian untuk
pengobatan farmakologi. Pengobatan steroid biasanya digunakan
untuk memperlambat progresivitas kelainan ini
Bibliografi
1. American Psychiatric Association. Childhood disintegrative
disorder-proposed revision. DSM-5 development task force.
Washington: America Psychiatric Association; 2010.
2. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Edisi ke-4 TR. Washington: American
Psychiatric Association; 2000.
3. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Edisi ke-5. Washington: American
Psychiatric Association; 2013.
4. Hirtz DG, Wagner A, Filipek PA. Autistic spectrum disorders.
Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting.
Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. USA: Mosby
Elsevier; 2006. hlm. 905–35.

822
RETARDASI MENTAL (RM, INTELECTUAL DISABILITIES)
Batasan
Keadaan inteligensi umum berfungsi di bawah rata-rata, bermula dari
masa perkembangan, disertai gangguan tingkah laku penyesuaian.
Menurut International Code of Disease (ICD) 10, RM merupakan
perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, terutama
ditandai dengan terdapatnya hendaya (impairment) keterampilan
(skills) selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada
semua aspek inteligensi, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik,
dan sosial
DSM-5 mendefinisikan RM sebagai:
Fungsi intelektual yang berada di bawah rata-rata, dengan IQ rata-
rata ≤70
Terdapat defisit atau gangguan fungsi adaptif pada min. 2 area:
komunikasi, perawatan diri sendiri, hidup berkeluarga, kemampu-
an sosial/interpersonal, kemampuan bermasyarakat, kemampuan
akademik fungsional, dan pekerjaan
Timbul sebelum usia 18 th
Epidemiologi
Retardasi mental merupakan masalah dunia dengan implikasi yang
besar terutama bagi negara berkembang. Diperkirakan angka kejadi-
an retardasi mental berat sekitar 0,3% dari seluruh populasi, dan
hampir 3% mempunyai IQ <70. Sebagai sumber daya manusia
tentunya mereka tidak dapat dimanfaatkan, karena 0,1% dari anak-
anak ini memerlukan perawatan, bimbingan, serta pengawasan se-
panjang hidupnya
Manifestasi Klinis
Gejala yang ditemukan pada RM mencakup:
Keterlambatan berbahasa
Gangguan gerakan motorik halus dan gangguan adaptasi (toileting,
kemampuan bermain)
Keterlambatan perkembangan motorik kasar → jarang ditemukan
kecuali apabila RM disertai dengan kondisi lain, seperti palsi
serebral
Gangguan perilaku, antara lain agresi, menyakiti diri sendiri,
deviasi perilaku, inatensi, hiperaktivitas, kecemasan, depresi, gang-
guan tidur, dan gerakan stereotipik
Diagnosis
Terdapat kendala perilaku adaptif sosial (kemampuan untuk mandiri)
Gejala timbul pada usia <18 th
Fungsi intelektual kurang dari normal (IQ <70)
Berdasarkan tingkat IQ, retardasi mental diklasifikasikan sebagai
berikut

823
Tabel 185 Klasifikasi Retardasi Mental berdasarkan Tingkat IQ
Klasifikasi Tingkat Kecerdasan (IQ)
Retardasi mental ringan 50–55 hingga sekitar 70
Sekitar 85% dari penyandang retardasi
mental berada dalam kelompok ini
Retardasi mental sedang 35–40 hingga 50–55
Sekitar 10% dari penyandang retardasi
mental berada dalam kelompok ini
Retardasi mental berat 20–25 hingga 35–40
Sekitar 3–4% dari penyandang retardasi
mental berada dalam kelompok ini
Retardasi Mental Sangat Berat <20 atau <25
Sekitar 1–2% dari penyandang retardasi
mental berada dalam kelompok ini

Berdasarkan karakteristik perkembangan anak dengan RM, digolong-


kan sebagai berikut

824
Tabel 186 Tingkat Retardasi Mental berdasarkan Karakteristik Perkembangan Anak
Kisaran Kemampuan Usia Kemampuan Usia Kemampuan Masa
Tingkat IQ Prasekolah (Lahir–5 th) Sekolah (6–20 th) Dewasa (≥21 th)
Ringan 52–68 Dapat membangun kemampuan Dapat mempelajari pelajaran kelas 6 Biasanya dapat mencapai
sosial dan komunikasi pada akhir usia belasan tahun kemampuan kerja dan dapat
Koordinasi otot sedikit terganggu Dapat dibimbing ke arah pergaulan bersosialisasi cukup, tetapi bila
Sering kali tidak terdiagnosis sosial mengalami stres sosial atau ekonomi
Dapat dididik perlu bantuan
Moderat 36–51 Dapat bicara dan belajar Dapat mempelajari beberapa Dapat memenuhi kebutuhannya
berkomunikasi kemampuan sosial dan pekerjaan sendiri dengan melakukan pekerjaan
Kesadaran sosial kurang Dapat belajar bepergian sendiri ke yang tidak terlatih atau semiterlatih
Koordinasi otot cukup tempat yang dikenal di bawah pengawasan
825

Memerlukan pengawasan dan


bimbingan ketika mengalami stres
sosial maupun ekonomi yang ringan
Berat 20–35 Dapat mengucapkan beberapa kata Dapat berbicara atau belajar Dapat memelihara diri sendiri di
Mampu mempelajari kemampuan berkomunikasi bawah pengawasan
untuk menolong diri sendiri Dapat mempelajari kebiasaan hidup Dapat melakukan beberapa
Tidak memiliki kemampuan ekspresif sehat yang sederhana kemampuan perlindungan diri dari
atau hanya sedikit lingkungan yang terkendali
Koordinasi otot jelek
Sangat ≤19 Sangat terbelakang Memiliki beberapa koordinasi otot Memiliki beberapa koordinasi otot
berat Koordinasi otot sedikit sekali Kemungkinan tidak dapat berjalan dan berbicara
Mungkin memerlukan perawatan atau berbicara Dapat merawat diri tapi sangat
khusus terbatas
Memerlukan perawatan khusus
Diagnosis
Dilakukan semua parameter pertumbuhan. Untuk diagnosis keter-
lambatan perkembangan, perlu dilakukan pemeriksaan lengkap—
termasuk penilaian kognitif dan tes psikologis. Dapat dilakukan
berbagai tes perkembangan seperti tes Denver II, Caput scales,
Slosson intelligence test, Bayley scales for infant development,
Stanfort-binet intelligence scale, Wechsler preschool and primary
scale of intelligence-revised (WPPSIR), Wechsler intelligence scale for
children-III dan Vineland adaptive behaviour scales
Evaluasi neuropsikologis mencakup kemampuan anak memecahkan
problem verbal dan nonverbal, adaptasi sosial. RM sering disertai
dengan kerusakan otak fokal atau luas, dan kelainan susunan saraf
pusat lainnya. Palsi serebral, epilepsi, gangguan visus, dan pende-
ngaran lebih sering dijumpai pada penyandang RM dibandingkan
dengan populasi umum
Pemeriksaan neurologik, mencakup lingkar kepala, tonus, kekuatan
dan koordinasi otot, refleks tendon dalam, refleks primitif, ataksia,
serta terdapat gerakan-gerakan abnormal seperti distonia atau
atetosis. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan bergantung pada
penyebab, seperti pemeriksaan kromosom (karyotype), EEG, CT-scan
atau MRI, titer virus untuk infeksi kongenital, dan lain-lain
Terapi
Penatalaksaan anak dengan RM bersifat multidimensi dan sangat
individual
Perawatan umum
Kesehatan ↑ dengan memberikan gizi yang baik, mengajarkan
cara hidup sehat
Memberikan perlindungan terhadap penyakit (imunisasi)
Mendeteksi penyakit sedini-dininya
Diagnosis dini PKU dan hipotiroid (kalau ada) untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut
Koreksi defek sensoris, kemudian dilakukan stimulasi dini (stimu-
lasi sensoris, terapi wicara)
Terapi medikamentosa
Pemberian neurotropik—vitamin masih kontroversial
Psikotropika diberikan jika ditemukan komorbiditas spesifik, autis-
me, attention deficit hyperactivity disorder, kelainan tic, gerakan
stereotipik, skizofrenia atau kelainan psikotik lain, kelainan mood,
gangguan cemas, post-traumatic stress disorder (PTSD), kelainan
obsesif-kompulsif, kelainan makan (eating disorder), serta kondisi
medis umum lainnya
Dengan fungsi intelektual di bawah rata-rata menyebabkan anak
tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Bila dididik
dengan tempo lambat, penderita RM yang edukabel mampu ber-
dikari untuk bekerja sebagai pekerja kasar, pekerja tangan, pembantu
rumah tangga, serta melaksanakan pekerjaan rutin dan sederhana di

826
kantor atau pabrik. Bagi penderita RM berat dibutuhkan latihan
dalam higiene dasar, mengurus diri sendiri, dan mengontrol tingkah
laku mencederai diri sendiri
Bibliografi
1. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Edisi ke-4 TR. Washington: American
Psychiatric Association; 2000.
2. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Edisi ke-5. Washington: American
Psychiatric Association; 2013.
3. Sherr EH, Shevell MI. Mental retardation and global
development. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM,
penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 799−820.
4. Shonkoff JP. Mental retardation. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 94−8.

827
ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER
(ADHD)
Gangguan yang bersifat persisten yang ditandai oleh:
Rentang pemusatan perhatian (atensi) buruk
Hiperaktif
Impulsif
Gejala ini biasanya muncul pada masa usia prasekolah dan sekolah
dini
Etiologi belum diketahui dengan pasti, diduga multifaktor di antara-
nya faktor genetik (gen D2, D4, D5 reseptor dopamin, gen DAT-1),
faktor neurobiologi (ketidakseimbangan beberapa neurotransmiter
dopamin, serotonin, sirkuit frontostriatal), dan faktor lingkungan
(penyulit kehamilan dan persalinan, keracunan timbal)
Epidemiologi
Prevalensi bervariasi karena perbedaan kriteria diagnostik, peneliti,
setting, dan geografis. American Academy of Pediatrics Committee on
Quality Improvement and Subcommittee on ADHD 2000 bekerja sama
dengan Technical Resources Internasional, Washington DC (the
Agency for Health Care Research and Quality) melaporkan prevalensi
laki-laki 9,2% dan perempuan 2,9%, prevalensi ADHD pada anak usia
sekolah 4–12%, prevalensi ADHD pada komunitas 10,3%
Manifestasi Klinis
Terbagi atas 3 tipe:
Tipe inatensi
Tipe hiperaktif-impulsif
Tipe kombinasi
Diagnosis
Berdasarkan DSM-5:
Salah satu A atau B
Enam atau lebih gejala ganggguan pemusatan perhatian yang
menetap sedikitnya 6 bl, sehingga mengganggu dan tidak sesuai
tingkat perkembangan
Gangguan pemusatan perhatian
Sering tidak dapat memusatkan perhatian atau membuat
kecerobohan saat melakukan tugas di sekolah atau aktivitas
lain
Sulit memusatkan perhatian saat diberi tugas atau permainan
Pada percakapan langsung seperti tidak mendengarkan pem-
bicaraan
Sering tidak dapat mengikuti apa yang diperintahkan dan
tidak mampu menyelesaikan tugas sekolah (bukan karena
perilaku oposional atau tidak mengerti perintah)
Kesulitan pada aktivitas terstruktur
Menolak atau tidak suka melakukan aktivitas yang memerlu-
kan usaha mental dalam waktu lama seperti tugas sekolah,
pekerjaan rumah
828
Sering menghilangkan barang-barang (pensil, mainan, buku)
Perhatian mudah teralihkan
Sering lupa pada aktivitas sehari-hari
Enam atau lebih gejala hiperaktivitas impulsif menetap min.
6 bl, sehingga mengganggu dan tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan
Hiperaktif
Tidak dapat duduk diam, tangan dan kaki bergerak-gerak
Sering berdiri saat seharusnya ia duduk di kursi
Sering lari-lari, memanjat, tidak ada tujuan, dan tidak sesuai
dengan situasi
Sering membuat onar saat bermain atau aktivitas lain
Tidak dapat diam, ”tampak seperti tidak mengenal lelah”
Bicara berlebihan
Impulsif
Sering menjawab tidak terkendali sebelum pertanyaan selesai
Sulit menunggu giliran atau mengantri
Sering interupsi (pada percakapan atau permainan)
Gejala ini menyebabkan gangguan dan sudah muncul sebelum usia
7 th
Gejala tampak pada ≥2 situasi (sekolah dan rumah) harus didapat-
kan bukti bahwa gejala ini → gangguan yang nyata di sekolah dan
lingkungan sosial
Gejala ini tidak disebabkan gangguan mental lain (mood disorder,
gangguan ansietas, gangguan disosiatif, atau gangguan kepribadi-
an)
Berdasarkan kriteria ini, ada 3 tipe ADHD:
ADHD tipe predominan inatensi, bila IA terpenuhi, IB tidak ter-
penuhi
ADHD tipe hiperaktif-impulsif, bila IB terpenuhi, IA tidak terpenuhi
Terapi
Terapi dilakukan secara koordinasi antara orangtua, dokter, dan guru
Tujuan terapi yaitu:
Perlu diberikan obat stimulan, selain intervensi perilaku (terapi
perilaku)
Memaksimalkan fungsi di sekolah, rumah, dan lingkungan sosial
Memperbaiki hubungan dengan orangtua/keluarga, guru, dan
teman
Memperbaiki prestasi sekolah
Memperbaiki kemandirian dalam aktivitas sehari-hari dan di
sekolah
Memperbaiki rasa percaya diri
Stimulan dapat memperbaiki kemampuan mengikuti perintah/
aturan, menurunkan reaksi emosi berlebihan

829
Tabel 187 Obat Stimulan untuk Terapi Anak ADHD
Nama Generik (Nama Dagang) Jadwal Dosis Harian
Pemberian
Stimulan (terapi lini pertama)
Metilfenidat
Short acting (Ritalin®) 2–3×/hr 5–20 mg, 2–3×/hr
Intermediate acting (Ritalin SR®) 1–2×/hr 2–40 mg, 1×/hr atau
40 mg pagi hr dan
20 mg sore hr
Long acting (Concerta®) 1×/hr 18–72 mg, 1×/hr
Atomoxetine (Xenocy®) 2×/hr 2,5–10 mg/hr

Prognosis
Dengan intervensi dini, dukungan orangtua, guru, dan lingkungan,
anak ADHD dapat berkembang dan beradaptasi dalam bidang
akademik dan sosial dengan baik. Sebesar 70–80% anak ADHD yang
mendapat terapi stimulan akan menunjukkan perbaikan gejala ter-
utama gejala hiperaktivitas, sedangkan gejala inatensi dan impulsif
sering berlanjut sampai usia dewasa.

Bibliografi
1. American Academy of Pediatrics, Committee and Quality
Improvement and Subcommittee on Attention Deficit/
Hyperactivity Disorder. Diagnosis and evaluation of the child with
attention deficit hyperactivity disorder. Pediatrics. 2000;105(5):
1158–70.
2. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Edisi ke-4 (text revision).
Washington: American Psychiatric Association; 2000.
3. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. Edisi ke-5. Washington: American
Psychiatric Association; 2013.
4. Greenhill LL, Pliszka S, Dulcan MK, Bernet W, Arnold V,
Beitchman J, dkk. Summary of the practice parameter for the use
of stimulant medications in the treatment of children,
adolescents, and adults. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry.
2001;40(11):1352–5.
5. Mandelbaum DE. Attention deficit hyperactivity disorder. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric
neurology: principles & practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2006. hlm. 871–86.

830
SINDROM GUILLAIN-BARRE
(ACUTE INFLAMMATORY
POLYRADICULONEUROPATHY/
ACUTE ASCENDING PARALYSIS)
Epidemiologi
Insidensi sindrom Guillain-Barre (SGB) bervariasi 0,25–1,5 kasus per
100.000 anak usia <16 th. Kejadian pada laki-laki 1,5 lebih banyak.
Usia termuda pernah dilaporkan 4 bl. Data di Indonesia mengenai
gambaran epidemiologi belum banyak
Manifestasi Klinis
Beberapa infeksi yang berhubungan dengan SGB: Barrelia
burgdorferi, Brucellosis, Campylobacter spesies, CMV, Epstein-Barr
virus, infeksi enterovirus, hantavirus, virus hepatitis, virus herpes,
measles, mumps, mikoplasma, rocky mountain spotted fever, dan
demam tifoid
Gejala klinis SGB terdiri atas 3 fase:
1. Fase inisial (10–12 hr). Pada fase ini muncul gejala yang
mendadak dan progresif. Kurang lebih 50–75% penderita
mengalami kelumpuhan hingga 2 mgg, 90–98% hingga 4 mgg
2. Fase plateu (10–12 hr). Pada fase ini dapat berlangsung hingga
4 mgg
3. Fase penyembuhan. Mulai dari beberapa mgg hingga bl.
Sebagian mengalami perbaikan dalam 6 bl, 80% hingga 24 bl
Beberapa varian SGB dapat diklasifikasikan yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
(AIDP)
2. Acute motor and sensory axonal neuropathy (AMSAN).
Terdapat onset kelumpuhan yang akut, hiporefleksia, protein
LCS ↑, dan pada EMG menunjukkan keterlibatan azonal
dengan CMAP ↓
3. Acute motor axonal neuropathy (AMAN). Pada elektrofisiologi
dan histopatologi ditemukan bukti degenerasi minimal
terhadap akson sensoris
4. Sindrom Miller Fisher. Onset akut oftalmoplegia, hiporefleksia,
dan ataksia dengan protein LCS ↑
5. Polineuritis kranialis. Terdapat onset akut kelumpuhan saraf
kranialis yang multipel (N.VII bilateral dan N.II), protein LCS ↑,
kecepatan konduksi motorik ↓, dan penyembuhan yang lama
6. SGB dengan gambaran ensefalopati. Kelemahan progresif dan
hiporefleksia, protein LCS ↑, dan pada EMG menunjukkan
neuropati demielinasi disertai ensefalopati dan gejala
gangguan batang otak

831
Diagnosis
Gambaran Klinis
Diagnosis
Kelemahan motorik yang progresif >1 ekstremitas
Arefleksia
Hal yang mendukung kuat diagnosis
Kelemahan progresif hingga 4 mgg, 50% mengalami plateu
selama 2 mgg, 80% 3 mgg, dan 90% 4 mgg
Simetris
Gejala sensoris yang ringan
Keterlibatan saraf kranial, ½ penderita mengalami kelemahan
saraf fasialis
Disfungsi autonom
Tidak disertai demam saat terjadi kelumpuhan
Mengalami perbaikan sesudah 2–4 mgg fase progresif
Terdapat beberapa variasi:
Panas badan saat kelumpuhan
Gangguan sensoris yang berat disertai nyeri
Fase progresif berlangsung hingga >4 mgg
Penyembuhan yang tidak baik atau gejala permanen
Disfungsi springter
Gangguan SSP
Gejala yang meragukan diagnosis
Gangguan motorik asimetris dan persisten
Disfungsi pencernaan atau saluran kemih persisten
Disfungsi pencernaan atau saluran kemih saat onset
Gangguan sensoris yang berbeda
Gejala yang dapat menyingkirkan diagnosis
Keracunan hexa carbon
Porphyria
Menderita difteria sebelumnya
Intoksikasi timbal
Sindrom gangguan sensorik yang murni
Gangguan paralitik yang berlainan
Pemeriksaan Laboratorium
Cairan serebrospinal (CSS): kadar protein CSS ↑ pada mgg ke-2
tanpa atau disertai sedikit kenaikan leukosit (albuminocytologic
dissociation)
Pemeriksaan Elektrofisiologi
EMG dan nerve conduction velocity (NCV):
Minggu I: terjadi pemanjangan atau hilangnya F-response (88%),
prolong distal latencies (75%), blok pada konduksi (58%), dan
kecepatan konduksi ↓ (50%)
Minggu II: potensial aksi otot ↓ (100%), prolong distal latencies
(92%), dan kecepatan konduksi ↓ (84%)
Pemeriksaan Radiologi
MRI: MRI spinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
mielites transversal. Terdapat enhancement serabut saraf sensitif
sebesar 83% dalam menentukan SGB
832
Diagnosis Banding
Serebral
Stroke bilateral
Histeria
Serebelar
Acute cerebellar ataxia syndrome
Lesi struktural di fasa posterior
Spinal
Mielopati kompresi
Mielitis transversal
Sindrom arteri spinal anterior
Saraf perifer
Neuropati toksik
Obat: amintriptilin, dapson, glutimid, hidralazin, INH, nitrofurantin,
NO
Racun: acrylamide, lem, racun ikan, racun logam berat, insektisida,
organofosfat
Difteria
Neuropati berat
Paralisis tics
Porphyria
Neuromuscular junction
Botulism
Miastenia gravis
Neuromuscular blocking agents
Penyakit otot
Miosistis virus akut
Miopati inflamatori akut
Miopati metabolik
Paralisis periodik
Tatalaksana
Sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara
umum bersifat simtomatik. Meskipun penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan
angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap
harus diberikan. Pengobatan plasmafaresis atau imunoglobulin
efektif bila dilakukan dalam 7 hr sesudah onset
1. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange (PE) bertujuan untuk
mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian
plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa
perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu napas
yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek.
Pengobatan dengan mengganti 200–250 mL plasma/kgBB dalam
833
7–14 hr. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal
onset gejala (minggu pertama). Hati-hati dapat terjadi
hiperkalsemia, perdarahan karena kelainan pembekuan darah
dan gangguan autonom. Pada SGB yang ringan dapat dilakukan
2 siklus plasmafaresis tetapi pada keadaan yang berat dapat
dilakukan hingga 4 siklus
2. Imunoglobulin i.v.
Pengobatan dengan gama globulin intervena (IVIG) lebih
menguntungkan dibandingkan dengan plasmaparesis karena efek
samping/penyulit lebih ringan. Dosis 2 g/kgBB diberikan dalam 2
atau 5 hr
Prognosis
Pada umumnya penderita mempunyai prognosis baik tetapi pada
sebagian kecil dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa.
Sebanyak 80% mengalami penyembuhan yang baik dalam 6 bl dan
20% mengalami defisit neurologi ringan. Prognosis buruk bila anak
mengalami gagal napas dan tidak mengalami perbaikan sesudah
3 mgg
Bibliografi
1. Doorn PA, Ruts L, Jacobs BC. Clinical features, pathogenesis, and
treatment of Guillain-Barre syndrome. Lancet Neurol. 2008;7:
939–50.
2. Sladky JT, Ashwal S. Inflammatory neuropathies. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric
neurology: principles & practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2006. hlm. 1919–39.
3. Smith SA, Ouvrier R. Peripheral neuropathies. Dalam: Swaiman
KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology:
principles & practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier;
2006. hlm. 1887–917.

834
PALSI SEREBRAL
(CEREBRAL PALSY/CP)
Epidemiologi
Palsi serebral merupakan kelainan dalam otak yang kekal dan
nonprogresif, mengakibatkan gangguan motorik pada masa bayi
dengan gejala khas berupa perubahan tonus otot. Kelainan otak
tersebut terjadi sebelum SSP mencapai kematangan
Palsi serebral terjadi pada 1,2–2,5 anak/1.000 kelahiran hidup. Faktor
risiko yang terbesar prematuritas (50–60%), diikuti BBLR (8–10%),
dan kehamilan ganda (10%). Risiko terjadi kematian lebih tinggi pada
5 th pertama kehidupan

Etiologi dan Faktor Risiko CP


Kerusakan otak saat neonatal
Hipoksia-iskemia (6–28%)
Stroke neonatal (13–37%)
Trauma
Perdarahan intrakranial
Kerusakan otak yang berhubungan dengan prematuritas
Leukomalasia periventikular
Perdarahan intraventikular
Abnormalitas perkembangan
Malformasi otak (9–14%)
Genetik
Gangguan metabolik
Kerusakan otak postnatal
Kern ikterus
Infeksi SSP
Faktor risiko prenatal
Korloamnionitis pada ibu
IUGR
Terpapar racun (alkohol, metil merkuri)
Infeksi TORCH
Manifestasi Klinis
Palsi serebral dapat diikuti kelainan penyerta, seperti retardasi
mental (5%), epilepsi (45%), gangguan penglihatan (28%), gangguan
bicara dan bahasa (38%), serta gangguan pendengaran (12%)
Klasifikasi palsi serebral yang umum digunakan berdasarkan peng-
amatan defisit motorik
Palsi serebral tipe spastik (kuadriplegia, diplegia, hemiplegia)
Palsi serebral tipe ekstrapiramidal (choreoathetotic, distonia)
Palsi serebral ataksik
Palsi serebral tipe hipotrofi (atoni)
Palsi serebral tipe campuran

835
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat prenatal, neonatal, dan postnatal
Keterlambatan perkembangan → sering
Pemeriksaan status neurologis
Mencari tanda-tanda upper motor neuron (klonus (+) >2 bl,
refleks fisiologis ↑, refleks patologis (+), refleks primitif yang
menetap atau belum hilang)
Tabel 188 Refleks Primitif
No. Refleks Usia Muncul Usia Menghilang (Bulan)
1 Palmar Sejak lahir 6 bl
2 Plantar Sejak lahir 15 bl
3 Galant Sejak lahir 4 bl
4 ATNR Sejak lahir 3 bl
5 Moro Sejak lahir 6 bl

Pemeriksaan Penunjang: MRI (89%) dan CT-scan kepala (77%) dapat


mengetahui kelainan struktur otak
Penatalaksanaan
1. Fisioterapi
Fisioterapi merupakan salah satu aspek terpenting dalam terapi
palsi serebral. Tujuan fisioterapi untuk mencegah kelemahan atau
deteriorasi otot yang dapat menyebabkan atrofi dan mencegah
kontraktur yang dapat menyebabkan deformitas sendi. Hal-hal
yang dilakukan pada fisioterapi:
Menganalisis bentuk pergerakan sebagai akibat efek postur
dan asimetri tubuh, kontrol dan distribusi tonus otot, respons
postural serta refleks primitif
Maintenance range of motion
Pemeliharaan otot dan sendi, mencegah dislokasi dan
deformitas
Membiasakan penderita dalam keadaan dan postur yang
normal
Dalam posisi kontrol postural/posisi tegak (anti-gravity)
Terapis mempunyai kemampuan untuk memotivasi anak
Meningkatkan metode terapis untuk bekerja sama dengan guru
dan psikolog
Postur dan gerak halus terintegrasi dengan kognitif, komuni-
kasi, dan perkembangan sosial
Memberikan alat bantu yang diperlukan
Promotion of fitness
Terapi Okupasi
Terapi okupasi berperan dalam mengembangkan kemampuan
motorik halus, yaitu keterampilan jari, tangan, dan otot mulut

836
Terapi Wicara
Tujuan terapi wicara agar anak dapat memahami bahasa, instruksi
verbal, dan anak dapat berkomunikasi. Hal ini dapat memerlukan
bahasa isyarat, tanda, bantuan elektronik atau papan gambar,
dan lain-lain
Pola makan yang baik berhubungan dengan perkembangan bicara
yang normal karena otot yang dipakai dalam proses makan
merupakan otot yang sama dengan berbicara. Dengan demikian,
pengembangan pola makan yang baik perlu dikembangkan dahulu
sebelum anak terapi bicara. Pada terapi wicara ini juga diperlukan
pernapasan yang baik
2. Obat Pelemas Otot (Muscle Relaxant)
Obat digunakan untuk mengurangi ketegangan dan spasme otot.
Penggunaan obat-obatan dilakukan dengan pertimbangan risk-
benefit dan dengan memantau efek obat serta memastikan
ketepatan dosis serta penyulit yang ada
Obat-obatan yang biasa digunakan seperti dalam Tabel 189

837
Tabel 189 Obat Pelemas Otot untuk Terapi Anak Palsi Serebral
Obat Lokasi Kerja Mekanisme Kerja Dosis Efek Samping
Baclofen Reseptor GABA di Menurunkan pelepasan Mulai dengan 2,5–5 mg, Kelemahan, kebingungan,
medula spinalis neurotransmiter maks. 20 mg qd depresi sistem respirasi
eksitatoris dari terminal
aferen
Dantrolen Serat otot Menurunkan pelepasan Mulai 0,5 mg/kgBB, dinaikkan 0,5 Kelemahan, rasa lelah,
kalsium dari retikulum mg/kgBB, maks. 12 mg/kgBB/hr–400 mg mengantuk, diare
sarkoplasma
Diazepam Reseptor di batang Meningkatkan ikatan Mulai 1–2 mg, maks. 20 mg/hr Rasa kantuk, kelelahan
otak, formasio GABA, potensiasi inhibisi
838

retikular medula presinaps


spinalis
Fenol Motor end plate Denaturasi protein dan Solution 4–6%, maks. 220 mL Nyeri, iritasi kulit,
saraf perifer mengganggu myoneural neuropati perifer
junctions
Botulinum Motor end plate Mencegah pelepasan 1–12 IU/kgBB bergantung pada ukuran Kelemahan, nyeri kram
toksin A saraf perifer asetilkolin otot (50 IU tiap lokasi)
3. Operasi
Operasi direkomendasikan pada keadaan ekstrem yang tidak
berespons terhadap terapi palsi serebral yang lainnya, dilakukan
pada anggota gerak bawah, dengan tujuan untuk memperbaiki
mobilitas penderita palsi serebral. Operasi dilakukan berupa
pemanjangan, pemendekan, atau pemotongan tendon, atau
pemasangan alat dekat tulang yang deformitas untuk meluruskan
tulang tersebut
Beberapa jenis operasi yang sudah dilakukan pada penderita palsi
serebral:
Selective dorsal root rhizotomy
Operasi ini dilakukan dengan melokalisasi dan menyeleksi
saraf yang aktif berlebihan dan mengontrol otot kaki
Chronic cerebellar stimulation
Operasi ini dilakukan dengan menanamkan implan elektroda
di permukaan serebelum, elektroda tersebut menstimulasi
saraf di serebelum
Stereotaxic thalamotomy
Operasi ini dilakukan dengan memotong bagian talamus yang
me-relay pesan dari otot dan sensoris untuk ↓ tremor
hemiparesis
4. Edukasi
Karena palsi serebral merupakan kelainan yang bersifat per-
manen, edukasi pada orangtua penderita mengenai penyakit
anaknya sangat penting baik bagi anak maupun orangtua.
Orangtua juga perlu mengetahui dan bekerja sama dalam
program fisioterapi yang akan dijalankan demi keberhasilan
terapi. Orangtua harus mengetahui hal-hal apa yang dapat
memperberat keadaan penderita seperti posisi yang salah, atau
memakaikan sepatu yang terlalu ketat, dan lain-lain
Orangtua dan dokter harus bekerja sama terutama bila ada hal-
hal yang dapat memperberat keadaan penderita, seperti infeksi
saluran kemih atau konstipasi
5. Terapi di Rumah (Home Care Management)
Prinsip dasar perawatan anak palsi serebral yaitu kontrol kepala.
Hal ini merupakan dasar bagi seluruh gerakan dan aktivitas. Anak
normal akan memosisikan kepala berada di garis tengah tubuh
pada saat ia bergerak. Pada penderita palsi serebral, tidak hanya
kontrol kepala yang terlambat dan tidak adekuat, tetapi juga
terdapat reaksi abnormal batang tubuh mulai dari kepala, leher,
dan tulang belakang
Program terapi di rumah merupakan bagian yang penting dalam
perencanaan terapi penderita palsi serebral. Home care
management harus dirancang agar dapat dilakukan dalam
menunjang program fisioterapi (position dan pergerakan). Saat
merencanakan terapi, seorang terapis harus melibatkan orangtua
dan keluarganya serta memberi pelatihan terhadap orangtua agar
dapat melakukan latihan di rumah. Selanjutnya orangtua diminta
melakukan evaluasi kemajuan perkembangan anak dan melapor-
839
kan setiap kebiasaan yang baru, sehingga pada terapi berikutnya
anak tersebut dapat ditingkatkan dalam terapinya. Perkembangan
kebiasaan anak dapat direkam melalui video, gambar, atau tulisan
untuk evaluasi kemajuan anak palsi serebral
Prognosis
Faktor-faktor yang memengaruhi prognosis palsi serebral:
Tipe klinis palsi serebral
Beratnya keterlambatan perkembangan
Refleks patologis
Derajat kecerdasan
Pada palsi serebral tipe spastik diplegia 50% dapat berjalan di usia 3
th tetapi sering tidak normal. Anak dengan spastik kuadriplegia 25%
memerlukan perawatan total, 33% dapat berjalan
Untuk menilai fungsi motorik kasar dan halus pada anak palsi
serebral diperlukan alat ukur yang tidak hanya mampu menilai
ketidakmampuan fisik, tetapi juga untuk mengevaluasi keberhasilan
intervensi yang sudah dilakukan. Gross motor function classification
system (GMFCS) dan gross motor function measures (GMFM) me-
rupakan alat yang sering digunakan untuk menilai fungsi motorik
kasar pada anak dan menilai derajat berat ringannya palsi serebral.
Kedua alat ini juga digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi
atau intervensi yang sudah dilakukan pada anak palsi serebral
Pembagian GMFCS berdasarkan usia dikelompokkan menjadi:
Usia <2 th
Usia 2–4 th
Usia 4–6 th
Usia 6–12 th
Usia <2 tahun
Tingkat 1:
Bayi dapat duduk dengan kedua tangan bebas untuk mema-
nipulasi benda
Bayi merangkak dengan kedua tangan dan lututnya serta dapat
berdiri dan melangkah dengan memegang perabot. Bayi ber-
jalan pada usia 18 bl–2 th tanpa alat bantu
Tingkat 2:
Bayi duduk dengan kedua tangan menopang lantai untuk
menjaga keseimbangan
Bayi merangkak dengan perutnya atau kedua tangan dan
lututnya. Bayi dapat berdiri dan melangkah dengan memegang
perabot
Tingkat 3:
Bayi mempertahankan posisi duduk dengan punggung ditopang
orang lain
Bayi berguling dan merangkak dengan perutnya
Tingkat 4:
Bayi dapat mempertahankan kepalanya tetapi untuk duduk
harus dibantu sepenuhnya
Bayi dapat berguling untuk terlentang atau telungkup

840
Tingkat 5:
Keterbatasan gerak, bayi tidak dapat mempertahankan anti-
gravitasi kepala dan badannya
Bayi membutuhkan bantuan orang dewasa untuk berguling
Usia 2–4 tahun
Tingkat 1:
Anak duduk di lantai dengan kedua tangan bebas memanipulasi
benda. Berdiri dari posisi duduk tanpa bantuan orang dewasa
Berjalan tanpa bantuan alat bantu gerak
Tingkat 2:
Anak dapat duduk dan mungkin mengalami gangguan kese-
imbangan ketika kedua tangannya memanipulasi objek. Berdiri
dari posisi duduk tanpa bantuan orang dewasa
Dapat berdiri dengan posisi stabil. Dapat merangkak dengan
kedua tangan dan lututnya. Berjalan dengan bantuan alat bantu
gerak
Tingkat 3:
Anak duduk dengan posisi W, mungkin memerlukan bantuan
orang dewasa untuk mempertahankan posisinya
Dapat berdiri pada posisi stabil dan bergerak sedikit. Merangkak
dengan perutnya atau kedua lengan dan lutut. Dapat berjalan
dalam ruangan dengan alat bantu dan memerlukan bantuan
orang dewasa untuk berputar
Tingkat 4:
Anak dapat duduk ketika diposisikan di lantai dan tidak dapat
mempertahankan keseimbangannya tanpa ditopang oleh kedua
tangan. Sering kali membutuhkan alat untuk duduk dan berdiri
Dapat bergerak pendek dalam ruangan dengan berguling,
merangkak dengan perut atau kedua lengan dan lutut tanpa
gerak kaki yang bergantian
Tingkat 5:
Keterbatasan gerak, tidak dapat mempertahankan antigravitasi
kepala dan badannya. Semua area fungsi motorik terbatas.
Keterbatasan fungsi duduk dan berdiri tidak sepenuhnya
terbantu dengan teknologi
Anak tidak dapat melakukan gerak sendiri yang berarti dan
harus diangkat. Beberapa anak dapat bergerak sendiri dengan
bantuan kursi roda dengan adaptasi yang sulit
Usia 4–6 tahun
Tingkat 1:
Anak duduk dan berdiri dari kursi tanpa bantuan tangan. Anak
dapat berdiri dari posisi duduk di lantai atau kursi tanpa
bantuan objek untuk menopang
Berjalan di dalam dan luar rumah, memanjat tangga.
Kecenderungan untuk berlari dan melompat
Tingkat 2:
Anak dapat duduk di kursi dengan kedua tangan bebas. Berdiri
dari posisi duduk dengan memegang suatu permukaan yang
stabil untuk mengangkat badannya
841
Berjalan dalam ruangan tanpa alat bantu dan berjalan sedikit di
luar ruangan. Menaiki tangga dengan memegang pinggir tangga.
Tidak dapat berlari dan melompat
Tingkat 3:
Anak dapat duduk di kursi biasa tetapi dengan badan dan
punggung ditopang. Berdiri dari posisi duduk dengan memegang
suatu permukaan yang stabil untuk mengangkat badannya
Berjalan dalam ruangan dengan alat bantu dan memanjat
tangga dengan bantuan orang dewasa. Anak sering kali diangkut
jika dibawa jauh di luar ruangan atau tanah yang tidak rata
Tingkat 4:
Anak dapat duduk di kursi tetapi perlu kontrol adaftif untuk
kontrol badan dan memaksimalkan fungsi tangan. Berdiri dari
posisi duduk dengan bantuan orang dewasa atau permukaan
yang stabil untuk mengangkat badannya
Berjalan dalam ruangan dengan alat bantu dan supervisi orang
dewasa tetapi sulit untuk berputar dan mempertahankan
keseimbangan pada tanah yang tidak rata. Anak sering kali
diangkut dalam komunitas. Anak dapat begerak sendiri
menggunakan kursi roda automatis
Tingkat 5:
Sama dengan usia 2–4 th
Usia 6–12 tahun
Tingkat 1:
Anak dapat berjalan di dalam dan luar ruangan serta dapat
memanjat tangga tanpa keterbatasan
Anak dapat berlari dan melompat tetapi kecepatan, kese-
imbangan, dan koordinasinya menurun
Tingkat 2:
Anak dapat berjalan di dalam dan luar ruangan serta dapat
memanjat tangga dengan memegang pinggiran tangga tetapi
terbatas berjalan pada permukaan yang tidak rata dan mendaki
serta daerah yang padat dan sempit
Kemampuan minimal berlari dan melompat
Tingkat 3:
Anak dapat berjalan di dalam dan luar ruangan dengan alat
bantu gerak. Anak mungkin dapat memanjat tangga dengan
memegang pinggiran tangga. Bergantung pada fungsi alat gerak
atas, anak dapat mendorong kursi roda secara manual atau
digendong saat berada di luar tanah lapang yang tidak rata
Tingkat 4:
Anak mungkin mempertahankan fungsi sebelum usia 6 th atau
mengandalkan kursi roda saat di rumah, sekolah, atau komuni-
tas. Anak mungkin dapat bergerak sendiri menggunakan kursi
roda automatis
Tingkat 5:
Gangguan kontrol gerak volunter dan tidak dapat memper-
tahankan posisi tubuh dan kepala. Semua area fungsi motorik
terbatas. Anak tidak dapat melakukan gerak sendiri yang berarti

842
dan harus diangkut. Beberapa anak dapat bergerak sendiri
dengan bantuan kursi roda dengan adaptasi yang sulit

Bibliografi
1. Accardo PJ, Hoon AH. The challenge of cerebral palsy
classification: the ELGAN study. J Pediatr. 2008;153(4):451–2.
2. Beckung E, Hagberg G, Uldall P, Cans C. Probability of walking in
children with cerebral palsy in Europe. Pediatrics.
2008;121:e187–2.
3. Berker N, Yalcin S. The help guide to cerebral palsy. Istanbul:
Rotamat Press Co; 2005.
4. Drikova L, Hashim MK, Fadhlia K. Children with cerebral palsy
after 6-month physiotherapy. Scripta Medica. 2007;49:219–24.
5. Johnston MV. Enchephalopathies. Dalam: Kliegman RM,
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007. hlm. 2494–6.
6. Krigger KW. Cerebral palsy: an overview. AAFP. 2006;73:91–100.
7. Kuban KCK, Alfred EN, O’Shea M, Paneth N, Pagano M. An
algorithm for identifying and classifying cerebral palsy in young
children. J Pediatr. 2008;153:466–72.
8. Lim MSY, Wong CP. Impact of cerebral palsy on the quality of life
in patients and their families. Neurology Asia. 2009;14:27–33.
9. livingston MH< Rosenbaum PL, Russel DJ. Quality of life among
adolescents with cerebral palsy: what does the literature tell us?
Dev Med Child Neurol. 2007;49:225–31.
10. Novak I, Cusick A, Lannin N. Occupational therapy home
programs for cerebral palsy: double-blind, randomized,
controlled trial. Pediatrics. 2009;124:606–14.
11. Oeffinger D, Gorton G, Bagley A, Nicholson D, Barnes D, Damiano
D. Outcome assessments in children with cerebral palsy, part I;
descriptive characteristics of GMFCS levels I to III. Dev Med Child
Neurol. 2007;49:172–80.
12. Patel DR. Therapeutic interventions in cerebral palsy. Indian J
Pediatr. 2005;72:979–83.
13. Pountney T. Physiotherapy for children. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007.
14. Rosenbaum PL, Walter SD, Hanna SE. Prognosis for gross motor
function in cerebral palsy: creation of motor development
curves. JAMA. 2002;288:1357–63.
15. Russel DJ, Rosenbaum PL, Avery LM, Lane M. Gross motor
function measure (GMFM-66 & GMFM-88) user’s manual.
Canada: Mac Keith Press; 2002.
16. Scholtes VABm Becher JG, Beelen A, Lankhorst GJ. Clinical
assessment of spasticity in children with cerebral palsy: a critical
review of available instruments. Dev Med Child Neurol.
2006;48:64–73.
17. Swaiman KF, Wu Y. Cerebral palsy. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S,
Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology: principles &
practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. hlm.
492–500.
843
18. Westborn L, Josenby AL, Wagner P, Nordmark E. Growth in
children with cerebral palsy during five years after selective
dorsal rhizotomy: a practice-based study. BMC Neurol.
2010;10:1–10.
19. Yeargin-Allsopp M, Braun KVN, Doernberg NS, Benedict RE, Kirby
RS, Durkin MS. Prevalence of cerebral palsy in 8-year-old children
in three areas of the United States in 2002: A Multisite
Collaboration. Pediatrics. 2008;121:547–54.

844
RABIES
(HIDROFOBIA)
Batasan
Infeksi virus mengenai SSP, biasanya ditularkan melalui kontaminasi
luka dengan air liur binatang yang menderita rabies
Etiologi
Rabies virus
Diagnosis
Riwayat gigitan atau jilatan pada luka goresan, luka berat, luka beset,
luka terbuka, ulkus oleh binatang: anjing, kucing, kera, tupai, kele-
lawar, serigala yang menderita rabies atau dicurigai menderita rabies
Lama terjadinya rabies sejak digigit berkisar 3–8 mgg (dapat sampai
1 th)
Dua bentuk gejala klinis: tipe furious (80%) atau tipe paralitik (20%)
Tipe furious
Stadium prodromal (2–4 hr)
Nyeri kepala
Panas
Serak
Rasa baal/kesemutan/rasa dibakar/gatal/sakit berdenyut/sakit
seperti tusukan di daerah gigitan dan gatal di tenggorokan
Kadang-kadang ditemukan hiperakusis, fotofobia, dilatasi pupil,
lakrimasi, hipersaliva, hiperhidrasi
Stadium eksitasi
Panas
Hipersaliva, lakrimasi, hiperhidrasi, dilatasi pupil
Hidrofobia
Sulit menelan karena spasme otot laring dan faring saat makan
dan minum. Hanya mendengar suara air sudah dapat membuat
spasme otot tersebut keadaan ini disebut hidrofobia
Kejang
Tonus otot ↑, refleks tendo ↑
Bingung, halusinasi, ingin menyerang, menggigit pakaian, mero-
bek sprei, sarung bantal, muka tampak beringas
Stadium paralisis
Gejala paralisis dapat terjadi sejak permulaan penyakit atau
kapan saja
Kelumpuhan otot sekitar gigitan
Muka tampak depresi
Spasme otot menghilang
Apati → stupor → koma → meninggal
Tipe paralitik
Sesudah gejala prodromal, akan muncul gejala paralisis flasid pada
tungkai yang digigit, kemudian terjadi ascending paralysis yang

845
bersifat asimetris atau simetris dengan rasa sakit dan fasikulasi,
diikuti dengan kelumpuhan otot yang bertambah berat yang
melibatkan juga otot pernapasan

Pemeriksaan Penunjang
Fluorescent antibody stain dari hapus (smear) sel epitel korneo atau
irisan kulit leher sebatas garis rambut
Serologik pada periode akut dengan pemeriksaan terhadap neutral-
izing antibody baik serum maupun cairan serebrosplinal >100 IU
Terapi
Terapi dasar untuk virusnya sendiri tidak ada
Penanggulangan untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala
klinis hanya simtomatik dan suportif, sedangkan untuk orang yang
baru digigit binatang yang dicurigai sakit rabies adalah profilaksis
dengan vaksinasi
Prognosis
Bila penanganan lebih dini dan tepat → risiko terjadinya rabies ↓
dari 35–70% menjadi hampir tidak ada. Penanganan yang terlambat
→ prognosis buruk
Pencegahan
Sebelum terjadi gigitan: bergantung pada jenis vaksin yang digunakan
Suckling mouse brain vaccine (SMBV)
Imunisasi dasar: 3 kali @ 0,25 mL selang 3 mgg
Imunisasi ulangan: tiap 1 th @ 0,25 mL i.k.
Purified vero-cell rabies vaccine (PVRV)
Imunisasi dasar: 2 suntikan 0,5 mL s.k. atau i.m. dengan waktu
selang 1 bl. Booster satu dosis 1 th kemudian
Imunisasi ulangan: tiap 3 th satu dosis
Sesudah terjadi gigitan
Terapi luka gigitan
Pertolongan pertama
Luka gigitan harus segera dicuci dengan air sabun atau deter-
gen, kemudian dibilas dengan air bersih
Selanjutnya luka gigitan diberi alkohol 40–70%, tinktura yodii
atau zefiran 0,1%
Terapi luka secara khusus (dengan pengawasan dokter)
Lakukan seperti di atas, kemudian
Semprotkan serum antirabies ke dalam luka dan infiltrasikan
serum tersebut di sekitar luka
Jangan menjahit luka karena akan memperbesar kemungkinan
rabies
Berikan pencegahan terhadap tetanus bila ada indikasi dan anti-
biotik untuk mencegah infeksi sekunder kuman lain
Terapi spesifik
Belum pernah mendapat vaksinasi

846
Rabies immunoglobulin (RIG) diberikan secara i.m. dengan
dosis 20 IU/kgBB, jika perlu berikan ½ dosis suntikan sekitar
luka dan ulangi sesudah 7 hr pemberian vaksin pertama
PVRV: diberikan sebanyak 5 kali pada hari ke-0, 3, 7, 14, dan
30, dosis 0,5 mL
Anti-rabies serum (ARS) dosis 0,5 mL/kgBB
SMBV
Imunisasi dasar:
7 kali suntikan s.k. sekitar luka @ 2 mL (<3 th: 1 mL), tiap
hari 1 dosis selama 7 hr berturut-turut, diikuti 2 suntikan
i.k. di bagian fleksor lengan bawah, dosis @ 0,25 mL (<3
th: 0,1 mL) pada hari ke-11 dan ke-15 sesudah suntikan
s.k. pertama
Ulangan:
Diberikan pada hr ke-25, 35, dan 90 sesudah suntikan
s.k. pertama, bila diberikan juga antirabies serum
Pada hari ke-30 dan 90 setelah suntikan s.k. pertama,
bila tidak diberikan antirabies serum
Pernah mendapat vaksinasi
PVRV:
Masa vaksinasi lengkap <1 th diberikan 1 kali 0,5 mL s.k.
atau i.m.
Masa vaksinasi lengkap >1 th diberikan 3 kali 0,5 mL s.k.
atau i.m.
SMBV:
Jarak 3 bl dari suntikan vaksinasi lengkap terakhir, tidak
perlu divaksinasi
Bila >3–6 bl setelah suntikan terakhir, perlu diberikan 2 kali
s.k. dengan masa antara 2 mg
Bila >6 bl setelah suntikan terakhir, dianggap penderita
baru dan harus diberikan pengobatan lengkap
Surat Rujukan
Diperlukan
Bibliografi
1. Dyken PR. Viral disease of the nervous system. Dalam: Swaiman
KF, penyunting. Pediatric neurology: principles and practice.
Philadelphia: Mosby Co; 1989. hlm. 475–515.
2. Madiadipura ILD. Rabies. Hal ihwal imunisasi dan aplikasinya.
Bandung: Perum Biofarma; 1987.
3. Semoes EAF. Immunization. Dalam Hay WM, Hayward AR, Levin
MJ, penyunting. Current pediatric diagnostic & treatment. Edisi
ke 14. London: Prentice-Hall Inc; 1999. hlm. 219–20.
4. Vademekum. Bandung: PT Bio Farma; 1990.
5. Warrel DA, Warrel MJ. Rabies. Dalam: Shakir RA, Newman PK,
Poser CM, penyunting. Tropical neurology. Philadelphia: WB
Saunders Co; 1996. hlm. 51–76.

847
Nutrisi & Penyakit Metabolik
Julistio T.B. Djais
Dida Akhmad Gurnida
Tisnasari Hafsah
KURANG ENERGI PROTEIN (KEP)
Batasan
Suatu kondisi patologis yang diakibatkan kegagalan kronik dan
kumulatif terpenuhinya kebutuhan fisiologis energi dan protein.
Manifestasi klinis dipengaruhi berbagai faktor: usia, infeksi, kondisi
status gizi sebelumnya, serta jenis dan jumlah keterbatasan makanan
yang diterima
Klasifikasi
Penilaian status gizi anak balita menggunakan indeks antropometri
BB untuk TB atau BB untuk PB (BB/TB atau BB/PB) yang
merefleksikan proporsi tubuh dan sensitif menggambarkan ganggu-
an pertumbuhan akut. Selain itu, digunakan indeks antropometri
tinggi atau PB untuk usia (TB/U atau PB/U) yang merefleksikan
kondisi pertumbuhan linier dan menggambarkan gangguan tumbuh
jangka panjang. Standar yang digunakan untuk pembanding pada
anak balita adalah kurva WHO Child Growth Standard (WCGS) 2006.
Untuk menghindari tidak terdeteksinya KEP berat jenis kwashiorkor,
digunakan juga aspek klinis
Tabel 190 Klasifikasi Kurang Energi Protein
KEP Sedang KEP Berat
Edema simetris Tidak Ya
kwashiorkor
BB/TB −2 s.d. −3 SD <−3 SD
(Z-skor) (kurus) marasmus
(sangat kurus)
TB/U −2 s/d −3 SD <−3 SD
(Z-skor) (pendek) (sangat pendek)

Untuk anak >5 th, sebagai pembanding digunakan referensi kurva


pertumbuhan WHO 2007 dan menggunakan indeks antropometri
BMI untuk usia (BMI/U) sebagai pengganti BB/TB
Etiologi
Primer: kekurangan konsumsi karena tidak tersedia bahan makanan
Sekunder: kekurangan kalori-protein akibat penyakit (misal penyakit
infeksi, ginjal, hati, jantung, paru, dll.)
Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Asupan makanan, aktivitas, penyakit yang mendasari
Pemeriksaan Fisis
Klinis penyakit yang mendasari, tanda-tanda klinis defisiensi makro
dan mikronutrien, antropometri

851
Pemeriksaan Penunjang
Darah: Hb, leukosit, eritrosit, nilai absolut eritrosit, Ht, apus darah
tepi, albumin, protein total, ureum, kreatinin, kolesterol total, HDL,
trigliserida, Fe, TIBC, elektrolit, glukosa, dan biakan
Urin: rutin, kultur
Apus rektal untuk pemeriksaan parasit
Foto Rontgen toraks
Penyulit
Mudah terserang infeksi, sepsis
Diare
Hipotermia
Hipoglikemia
Anemia
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Terapi KEP III (KEP Berat)
Pada tatalaksana rawat inap KEP berat di rumah sakit terdapat
5 aspek penting yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat (10 langkah utama)
2. Pengobatan penyakit penyerta
3. Kegagalan pengobatan
4. Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas
5. Tindakan pada kegawatan
Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah
utama sebagai berikut:
1. Atasi/cegah hipoglikemia
2. Atasi/cegah hipotermia
3. Atasi/cegah dehidrasi
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
5. Obati/cegah infeksi
6. Koreksi defisiensi mikronutrien
7. Mulai pemberian makanan
8. Fasilitas tumbuh-kejar (catch up growth)
9. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental
10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut sesudah sembuh
Pengobatan terdiri atas 3 fase: stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi.
Petugas kesehatan harus terampil memilih langkah mana yang cocok
untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita
kwashiorkor, marasmus, maupun marasmik-kwashiorkor. Bagan dan
jadwal pengobatan sebagai berikut (Tabel 191)

852
Tabel 191 Bagan dan Jadwal Pengobatan Kurang Energi Protein
Berat
Stabilisasi Transisi Rehabilitasi
Fase
Hr ke-1–2 Hr ke-2–7 Mgg ke-2 Mgg ke-3–7
Hipoglikemia
Hipotermia
Dehidrasi
Elektrolit
Infeksi
Pemberikan makanan
Tumbuh kejar/peningkatan
pemberian makanan
Mikronutrien Tanpa Fe Dengan Fe
Stimulasi
Tindak lanjut

Pengobatan Penyakit Penyerta


Pengobatan ditujukan pada penyakit yang sering menyertai KEP
berat yaitu:
Defisiensi vitamin A
Bila terdapat tanda defisiensi vit. A pada mata → vit. A pada
hr ke-1, 2, dan 14 p.o. dengan dosis:
Usia >1 th : 200.000 SI/kali
6–12 bl: 100.000 SI/kali
0−5 bl : 50.000 SI/kali
Bila terdapat ulserasi pada mata → tambahkan perawatan
lokal untuk mencegah prolaps lensa berupa:
Tetes mata kloramfenikol atau salep mata tetrasiklin setiap
2–3 jam selama 7–10 hr
Tetes mata atropin 1 tetes 3×/hr selama 3–5 hr
Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali
Dermatosis
Ditandai hipo/hiperpigmentasi, deskuamasi/kulit mengelupas,
lesi ulserasi eksudatif yang menyerupai luka bakar dan sering
disertai infeksi sekunder a.l. oleh kandida; umumnya terdapat
defisiensi Zn
Sesudah suplementasi Zn dan dermatosis membaik →
penyembuhan akan lebih cepat bila diberikan:
Kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KMnO4
(K-permanganat) 1% selama 10 mnt
Salep/krim (Zn dengan minyak kastor)
Usahakan daerah perineum tetap kering
Parasit/cacing
Mebendazol 100 mg p.o. 2x/hr selama 3 hr

853
Diare berlanjut
Diare biasa menyertai KEP berat, tetapi akan berkurang
dengan sendirinya pada pemberian makanan secara hati-hati.
Intoleransi laktosa tidak jarang sebagai penyebab diare.
Diobati hanya bila diare berlanjut dan tidak ada perbaikan
keadaan umum
Berikan formula bebas/rendah laktosa
Metronidazol 7,5 mg/kgBB p.o. setiap 8 jam selama 7 hr
Sering kerusakan mukosa usus dan giardiasis merupakan
penyebab lain berlanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan
pemeriksaan feses mikroskopik
Tuberkulosis (TB)
Bila ada dugaan kuat menderita TB, lakukan tes tuberkulin/
Mantoux (sering kali anergi) dan foto Rontgen toraks
Bila (+) atau sangat mungkin TB → obati sesuai pedoman
pengobatan TB
Kegagalan Pengobatan
Tercermin pada angka kematian dan kenaikan BB
Perhatikan saat terjadi kematian
Dalam 24 jam pertama: kemungkinan hipoglikemia, hipotermia,
sepsis yang terlambat atau tidak diatasi, atau proses rehidrasi
kurang tepat
Dalam 72 jam: periksa apakah volume formula terlalu banyak
atau pemilihan formula tidak tepat
Malam hr: kemungkinan hipotermia karena selimut kurang
memadai, tidak diberi makan, atau perubahan konsentrasi
formula terlalu cepat
Kenaikan BB tidak adekuat pada fase rehabilitasi
Penilaian kenaikan BB
Baik : >10 g/kgBB/hr
Sedang: 5–10 g/kgBB/hr
Kurang : <5 g/kgBB/hr
Penyebab kenaikan BB <5 g/kgBB/hr
Pemberian makanan tidak adekuat
Defisiensi nutrien tertentu
Infeksi yang tidak terdeteksi sehingga tidak diobati (HIV/AIDS)
Masalah psikologis
Penanganan Penderita Pulang Sebelum Rehabilitasi Tuntas
Rehabilitasi dianggap lengkap dan anak siap dipulangkan bila BB/U
>80% atau BB/TB >90%. Anak KEP berat yang pulang sebelum
rehabilitasi tuntas, di rumah harus terus diberi makanan tinggi
energi (150 kkal/kgBB/hr) dan tinggi protein (4–6 g/kgBB/hr)
Beri anak makanan yang sesuai (energi dan protein), min. 5 kali
sehari
Beri makanan selingan di antara makanan utama
Upayakan makanan selalu dihabiskan
Beri suplementasi vitamin dan mineral/elektrolit
ASI teruskan

854
Tindakan pada Kegawatan
Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat
dan sulit dibedakan secara klinis. Syok karena dehidrasi akan
membaik dengan cepat pada pemberian cairan i.v., sedangkan
syok sepsis tanpa dehidrasi tidak akan membaik. Hati-hati
terhadap overhidrasi
Pedoman pemberian cairan
Berikan cairan dekstrosa 5%: NaCl 0,9% (1:1) atau Ringer-
dekstrosa 5% (1:1) → 15 mL/kgBB dalam 1 jam pertama
Evaluasi sesudah 1 jam:
Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi, dan
pernapasan) dan status hidrasi → syok disebabkan dehidrasi.
Ulangi pemberian cairan seperti di atas untuk 1 jam
berikutnya dengan cairan p.o. atau nasogastrik → cairan
rehydration solution for malnutrition (resomal) 10 mL/kgBB/jam
sampai 10 jam, selanjutnya beri formula khusus (F-75/
pengganti)
Bila tidak ada perbaikan klinis → anak menderita syok septik
→ berikan cairan rumatan 4 mL/kgBB/jam dan transfusi
darah 10 mL/kgBB perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian
mulai berikan formula (F-75/pengganti)
Anemia berat
Transfusi darah segar 10 mL/kgBB dalam 3 jam, bila
Hb <4 g/dL atau
Hb 4–6 g/dL disertai distres pernapasan
Bila terdapat tanda gagal jantung → packed red cells dengan
jumlah yang sama
Furosemid 1 mg/kgBB i.v. pada saat transfusi dimulai
Amati reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok)
Anak dengan distres pernapasan sesudah transfusi, Hb tetap
<4 g/dL atau 4–6 g/dL → jangan diulangi
Sepuluh Langkah Utama pada Tatalaksana KEP Berat
Langkah ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia
Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersamaan
sebagai tanda terdapat infeksi. Periksa kadar gula darah bila
hipotermia (suhu ketiak <36 °C/suhu dubur <36 °C). Pemberian
makanan yang sering penting untuk mencegah kedua kondisi
tersebut
Bila hipoglikemia (kadar gula darah <54 mg/dL atau 3 mmol/dL),
berikan:
Bila anak sadar
Glukosa 10% atau larutan sukrosa 10% 50 mL bolus
(pemberian sekaligus) (1 sdt gula dalam 5 sdm air) p.o.
atau pipa nasogastrik (nasogastric tube/NGT)
Selanjutnya berikan larutan tersebut setiap 30 mnt selama
2 jam (setiap kali berikan ¼ bagian dari jatah untuk 2 jam)
Berikan antibiotik (lihat langkah 5)
Secepatnya berikan makan setiap 2 jam, siang dan malam
(lihat langkah 6)
855
Bila anak tidak sadar
Glukosa 10% i.v. 5 mg/kgBB diikuti dengan glukosa atau
sukrosa 10% sebanyak 50 mL melalui NGT. Bila anak mulai
sadar segera berikan F75 (lihat langkah 6)
Pemantauan
Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula
darah dengan darah dari ujung jari atau tumit sesudah 2 jam
Sekali diobati kebanyakan anak akan stabil dalam 30 mnt
Bila gula darah ↓ lagi sampai <50 mg/dL, ulangi pemberian
50 mL (bolus) larutan glukosa 10% atau sukrosa dan teruskan
pemberian setiap 30 mnt sampai stabil
Ulangi pemeriksaan gula darah bila suhu aksila <36 °C dan
atau kesadaran ↓
Pencegahan
Mulai segera pemberian makanan setiap 2 jam (langkah 6)
sesudah dehidrasi dikoreksi
Selalu memberikan makanan sepanjang malam
Catatan
Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah
setiap anak KEP berat menderita hipoglikemia dan atasi
segera
Langkah ke-2: Pengobatan/Pencegahan Hipotermia
Bila suhu ketiak <36 °C
Periksa suhu rektal dengan menggunakan termometer suhu
rendah. Bila tidak tersedia termometer suhu rendah dan suhu
anak sangat rendah pada pemeriksaan dengan termometer
biasa, anggap anak menderita hipotermia
Bila suhu dubur <36 °C
Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan
rehidrasi bila perlu)
Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai
menutup kepala, letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan
gunakan botol air panas) atau peluk anak di dada ibu, dan
selimuti
Berikan antibiotik (lihat langkah 5)
Pemantauan
Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai
>36,5 °C, bila memakai pemanas ukur setiap 30 mnt
Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang waktu,
terutama malam hr
Raba suhu anak
Bila ada hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia
Pencegahan
Segera beri makan/formula khusus setiap 2 jam (lihat langkah 6)
Sepanjang malam selalu beri makan
Selalu selimuti dan hindari basah
Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau
pemeriksaan medis terlalu lama)

856
Langkah ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi
Jangan menggunakan jalur i.v. untuk rehidrasi kecuali pada
keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan
hati-hati, tetesan perlahan-lahan untuk menghindari beban
sirkulasi dan jantung (lihat penanganan kegawatan)
Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak
Na dan kurang K untuk penderita KEP berat. Sebagai pengganti,
berikan larutan garam khusus yaitu resomal atau penggantinya
(lihat lampiran tentang cairan resomal)
Tidak mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP
berat dengan menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap
semua anak KEP berat dengan diare encer mengalami dehidrasi
sehingga harus diberi:
Cairan resomal/pengganti sebanyak 5 mL/kgBB/30 mnt
selama 2 jam p.o. atau lewat NGT
Selanjutnya beri 5–10 mL/kgBB/jam untuk 4–10 jam
berikutnya; jumlah tepat yang harus diberikan bergantung
pada berapa banyak anak menginginkannya dan jumlah
kehilangan cairan melalui feses dan muntah
Ganti resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10
dengan formula khusus berjumlah sama, bila keadaan
rehidrasi menetap/stabil
Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6)
Selama pengobatan, pernapasan cepat dan nadi lemah akan
membaik, serta anak mulai BAK
Pemantauan
Penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½–1 jam
selama 2 jam pertama → setiap jam untuk 6–12 jam, dengan
memantau:
Denyut nadi
Pernapasan
Frekuensi BAK
Frekuensi diare/muntah
Air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun
besar yang berkurang, serta perbaikan turgor kulit
merupakan tanda rehidrasi sudah berlangsung, tetapi pada
KEP berat perubahan ini sering kali tidak terlihat walaupun
rehidrasi sudah tercapai. Pernapasan dan denyut nadi yang
cepat dan menetap selama rehidrasi menunjukkan infeksi
atau kelebihan cairan
Tanda kelebihan cairan: frekuensi pernapasan dan nadi ↑,
edema dan pembengkakan kelopak mata ↑. Bila terdapat
tanda-tanda tersebut, segera hentikan pemberian cairan dan
nilai kembali sesudah 1 jam
Pencegahan
Bila diare encer berlanjut → teruskan pemberian formula
khusus (langkah 6)
Ganti cairan yang hilang dengan resomal/pengganti (jumlah
lebih kurang sama). Sebagai pedoman, berikan resomal/
pengganti sebanyak 50–100 mL setiap kali BAB cair
Bila masih mendapat ASI teruskan
857
Langkah ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Pada semua KEP berat terjadi kelebihan Na tubuh, walaupun
kadar Na plasma rendah
Defisiensi K dan Mg sering terjadi dan paling sedikit perlu 2 mgg
untuk pemulihan
Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan dalam edema.
Jangan obati edema dengan pemberian diuretikum, berikan:
K 2–4 mEq/kgBB/hr (150–300 mg KCl/kgBB/hr)
Mg 0,3–0,6 mEq/kgBB/hr (7,5–15 mg MgCl2/kgBB/hr)
Untuk rehidrasi, beri cairan rendah Na (resomal/pengganti)
Siapkan makanan tanpa diberi garam
Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang
ditambahkan langsung dalam makanan. Penambahan 20 mL
larutan pada 1 L formula dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg
(lihat cara pembuatan larutan)
Langkah ke-5: Pengobatan dan Pencegahan Infeksi
Pada KEP berat, tanda yang biasanya menunjukkan infeksi
seperti demam sering kali tidak tampak, sehingga pada semua
KEP berat diberikan secara rutin:
Antibiotik spektrum luas
Vaksinasi campak bila usia anak >6 bl dan belum pernah
diimunisasi, bila keadaan anak sudah memungkinkan (paling
lambat sebelum anak dipulangkan)
Ulangi pemberian vaksin sesudah keadaan gizi anak membaik
Beberapa ahli memberikan metronidazol (7,5 mg/kgBB setiap
8 jam selama 7 hr) sebagai tambahan pada antibiotik
spektrum luas untuk mempercepat perbaikan mukosa usus
dan mengurangi risiko kerusakan oksidatif dan infeksi
sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerob dalam usus
halus
Pilihan antibiotik spektrum luas
Bila tanpa penyulit
Kotrimoksazol 5 mL suspensi pediatri p.o. 2×/hr selama
5 hr (2,5 mL bila BB <4 kg)
Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada penyulit
(hipoglikemia, hipotermia, infeksi kulit, saluran respiratori
atau kemih), berikan:
Ampisilin 50 mg/kgBB i.m./i.v. setiap 6 jam selama 2 hr,
kemudian p.o. amoksisilin 15 mg/kgBB setiap 8 jam selama
5 hr
Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgBB
setiap 6 jam p.o. dan
Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hr i.m./i.v. selama 7 hr
Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis,
tambahkan kloramfenikol 25 mg/kg/BB i.m./i.v. setiap
6 jam selama 5 hr
Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan
antibiotik spesifik yang sesuai. Tambahkan obat anti-
malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria (+)

858
Bila anoreksia menetap sesudah 5 hr pengobatan
antibiotik, lengkapi pemberian hingga 10 hr. Bila masih
tetap ada, nilai kembali keadaan anak secara lengkap,
termasuk lokasi infeksi, kemungkinan terdapat organisme
yang resisten, serta apakah vitamin dan mineral sudah
diberikan dengan benar
Langkah ke-6: Koreksi Defisiensi Mikronutrien
Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral
Walaupun anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru
memberikan preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai anak mau
makan dan BB-nya mulai ↑ (biasanya sesudah mgg ke-2).
Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan
infeksinya
Berikan setiap hr:
Multivitamin
Asam folat 1 mg/hr (5 mg pada hr pertama)
Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hr
Tembaga (Cu) 0,2 mg/kgBB/hr
Bila BB mulai ↑: Fe 3 mg/kgBB/hr atau sulfas ferosus 10
mg/kgBB/hr
Vitamin A oral pada hr ke-1
Anak >1 th : 200.000 SI
6–12 bl: 100.000 SI
0–5 bl : 50.000 SI (jangan berikan bila sebelumnya
anak sudah pasti mendapat vit. A)
Langkah ke-7: Mulai Pemberian Makanan
Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat hati-
hati karena keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas
homeostatik berkurang. Pemberian makanan harus dimulai
segera sesudah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa
sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi
metabolisme basal
Formula khusus seperti F WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal
pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat
mencapai prinsip tersebut di atas
Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah,
berikan dengan sendok/pipet
Pada anak dengan selera makan baik tanpa edema, jadwal
pemberian makanan pada fase stabilisasi dapat diselesaikan
dalam 2–3 hr (1 hr/tahap). Bila masukan makanan <80
kkal/kgBB/hr, berikan sisa formula nasogastrik. Jangan mem-
berikan makanan >100 kkal/kgBB/hr pada fase stabilisasi ini
Pantau dan catat:
Jumlah yang diberikan dan sisanya
Muntah
Frekuensi BAB dan konsistensi feses
BB harian
Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan ↓ dan BB mulai
↑. Tetapi pada penderita dengan edema, BB akan ↓ dulu
859
bersamaan dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB
mulai ↑. Bila diare berlanjut atau memburuk (walaupun
pemberian nutrisi sudah berhati-hati) → lihat bab diare persisten
Langkah ke-8: Perhatikan Tumbuh Kejar
Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara
gencar agar tercapai masukan makanan yang tinggi dan
pertambahan BB >10 g/kgBB/hr. Awal fase rehabilitasi ditandai
dengan kemunculan selera makan, biasanya 1–2 mgg sesudah
dirawat
Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko
gagal jantung yang dapat terjadi bila anak mengonsumsi
makanan dalam jumlah banyak secara mendadak
Pada periode transisi dianjurkan untuk merubah secara
perlahan-lahan dari formula khusus awal ke formula khusus
lanjutan
Ganti formula khusus awal (energi 75 kkal dan protein
0,9–1,0 g/100 mL) dengan formula khusus lanjutan (energi
100 kkal dan protein 2,9 g/100 mL) dalam jangka waktu 48
jam
Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan
dengan kandungan energi dan protein yang sama
Kemudian naikkan dengan 10 mL/kali sampai hanya sedikit
formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30
mL/kgBB/kali (= 200 mL/kgBB/hr)
Pemantauan pada masa transisi
Frekuensi napas
Frekuensi denyut nadi
Bila terjadi peningkatan detak napas >5×/mnt dan denyut nadi
>25×/mnt dalam pemantauan setiap 4 jam berturut-turut,
kurangi volume pemberian formula
Sesudah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di
atas
Sesudah periode transisi dilampaui, anak diberi:
Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering
Energi: 150–220 kkal/kgBB/hr
Protein 4–6 g/kgBB/hr
Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi berikan juga
formula, karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi
untuk tumbuh kejar
Pemantauan sesudah periode transisi
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan BB
Timbang anak setiap pagi sebelum anak diberi makan
Setiap mgg, kenaikan BB dihitung (g/kgBB/hr)
Bila kenaikan BB:
Kurang (<5 g/kgBB/hr) → reevaluasi menyeluruh
Sedang (5–10 g/kgBB/hr) → evaluasi apakah masukan
makanan mencapai target atau apakah infeksi sudah dapat
diatasi

860
Langkah ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik dan Dukungan Emosional
Pada KEP berat, terjadi keterlambatan perkembangan mental
dan perilaku, berikan:
Kasih sayang
Lingkungan yang ceria
Terapi bermain terstruktur selama 15–30 mnt/hr
Aktivitas fisik segera sesudah sembuh
Keterlibatan ibu (memberikan makan, memandikan, bermain,
dsb.)
Langkah ke-10: Tindak Lanjut di Rumah
Bila BB anak sudah mencapai 80% BB/U, dapat dikatakan anak
sembuh
Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap
dilanjutkan di rumah sesudah penderita dipulangkan
Peragakan kepada orangtua:
Pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan
nutrien yang padat
Terapi bermain terstruktur
Sarankan
Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur
Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)
Pemberian vit. A setiap 6 bl
Tatalaksana Diet pada Balita KEP Berat
Tatalaksana diet pada balita KEP berat ditujukan untuk memberi-
kan makanan tinggi energi, protein, dan cukup vitamin mineral
secara bertahap, guna mencapai status gizi optimal
Ada 4 kegiatan penting dalam tatalaksana diet, yaitu pemberian
diet, pemantauan dan evaluasi, penyuluhan gizi, serta tindak lanjut
Pemberian Diet
Pemberian diet pada KEP berat harus memenuhi syarat sbb.:
Melalui 3 fase yaitu fase stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi
Kebutuhan energi 100–200 kal/kgBB/hr
Kebutuhan protein 1–6 g/kgBB/hr
Pemberian suplementasi vitamin dan mineral bila ada
defisiensi atau pemberian bahan makanan sumber mineral
tertentu sbb.:
Sumber Zn : daging sapi, hati, makanan laut, kacang
tanah, telur ayam
Sumber Cu : tiram, daging, hati
Sumber Mn: beras, kacang tanah, kedelai
Sumber Mg : daun seledri, bubuk coklat, kacang-kacangan,
bayam
Sumber K : jus tomat, pisang, kacang-kacangan, kentang,
apel, alpukat, bayam, daging tanpa lemak
Jumlah cairan: 150–200 mL/kgBB/hr, bila edema dikurangi
Cara pemberian: p.o. atau lewat NGT
Porsi makanan kecil dan frekuensi sering

861
Makanan fase stabilisasi harus hipoosmolar, rendah laktosa,
dan rendah serat (lihat Tabel 192)
Terus memberikan ASI
Jenis makanan → berdasarkan BB
BB <7 kg diberikan kembali makanan bayi
BB >7 kg dapat langsung diberikan makanan anak secara
bertahap (lihat tabel tentang fase pemberian diet dan cairan)
Mempertimbangkan hasil anamnesis riwayat gizi (lihat
lampiran tentang catatan pola makan)
Evaluasi dan Pemantauan Pemberian Diet
BB sekali seminggu
Bila tidak ↑, kaji penyebab a.l.: masukan zat gizi tidak
adekuat, defisiensi zat gizi tertentu, misalnya iodium, ada
infeksi, dan ada masalah psikologis
Pemeriksaan laboratorium: Hb, gula darah, feses (ada cacing),
dan urin
Masukan zat gizi: bila kurang → modifikasi diet sesuai selera
Kejadian diare: gunakan formula rendah atau bebas laktosa dan
hipoosmolar, misal susu rendah laktosa, tempe,
dan tepung-tepungan
Kejadian hipoglikemia: beri minum air gula atau makan per 2 jam
Penyuluhan Gizi di Rumah Sakit
Menggunakan leaflet khusus yang berisi: jumlah, jenis, dan
frekuensi pemberian bahan makanan
Selalu memberikan contoh menu
Mempromosikan ASI
Memerhatikan riwayat gizi
Mempertimbangkan sosioekonomi keluarga
Memberikan demonstrasi/praktik memasak makanan balita
untuk ibu
Tindak Lanjut
Merujuk ke Puskesmas
Merencanakan dan mengikuti kunjungan rumah
Merencanakan pemberdayaan keluarga

862
Tabel 192 Formula WHO dan Modifikasi

Bahan Per F75 F100 F135


1.000 mL
Formula WHO
Susu skim bubuk g 25 85 90
Gula pasir g 100 50 65
Minyak kelapa/kacang g 30 60 75
Larutan elektrolit mL 20 20 27
Tambahan air sampai mL 1000 1000 1000
dengan
Nilai gizi per 100 mL
Energi Kalori 75 100 135
Protein g 0,9 2,9 3,3
Laktosa g 1,3 4,2 4,8
K mmol 3,6 5,9 6,3
Na mmol 0,6 1,9 2,2
Mg mmol 0,43 0,73 0,8
Zn mg 2,0 2,3 3,0
Cu mg 0,25 0,25 0,34
% energi protein - 5 12 10
% energi lemak - 36 53 57
Osmolalitas mosm/L 413 419 508
Modifikasi Formula WHO Modifikasi Modifikasi Modifikasi
F75 F100 F135
Susu full cream g 35 110 25
Gula pasir g 100 50 75
Tepung beras/tapioka g - - 50
Tepung tempe g - - 150
Minyak kelapa/kacang g 20 30 60
Larutan elektrolit mL 20 20 27
Nilai gizi per 100 mL
Energi kal 75 109,8 132,8
Protein g 0,9 3,0 3,8
Laktosa g 1,3 5,2 1,3
% energi protein - 5 12 11
% energi lemak - 36 53 48
Osmolalitas mosm/L 413 419 508
Keterangan:
Fase stabilisasi diberikan formula WHO F75 atau modifikasi
Fase transisi diberikan formula WHO F75 sampai F100 atau modifikasi
Fase rehabilitasi diberikan secara bertahap dimulai dari pemberian formula
WHO F135 sampai makanan biasa

863
Cairan Resomal
Terdiri atas:
Air 2L
Bubuk WHO-ORH untuk 1 L (*) 1 pak
Gula pasir 50 g
Larutan elektrolit/mineral (**) 40 g
Setiap 1 L cairan resomal mengandung Na 45 mEq, K 40 mEq, dan Mg
1,5 mEq
(*) Bubur WHO-ORS untuk 1 L mengandung NaCl 3,5 g, trisodium
citrat dihidrat 2,9 g, KCl 1,5 g, dan glukosa 20 g
(**) Larutan elektrolit mineral terdiri atas:
KCl 224 g
Tripottassium citrat 81 g
MgCl2 6H20 76 g
Zn asetat 2H20 8,2 g
CuSO4 5H20 1,4 g
Air sampai larutan menjadi 2.500 mL
Bila tidak memungkinkan untuk membuat larutan elektrolit/mineral
seperti di atas, sebagai alternatif atau pengganti resomal dapat
dibuat larutan sbb.:
Air 2L
Bubuk WHO-ORS untuk 1 L (*) 1 pak
Gula pasir 50 g
Bubuk KCl 4g
Atau bila sudah ada WHO-ORS yang siap pakai (sudah dilarutkan),
dapat dibuat larutan pengganti sbb.:
Larutan WHO-ORS 1L
Air 1L
Gula pasir 50 g
Bubuk HCl 4g
Oleh karena larutan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu,
maka berikan makanan yang merupakan sumber mineral tersebut.
Dapat pula diberikan MgSO4 50% i.m. 1× dengan dosis 0,3 mL/kgBB
(maks. 2 mL)
Bibliografi
1. Bahwere P. Community-based theurapeutic care. A field manual.
Oxford: Valid International; 2006.
2. Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, Caulfield LE, de Onis M, Ezzati M,
dkk. Maternal child undernutrition: global and regional
exposures and health consequences. Lancet. 2008;371(9608):
243–60.
3. Briend A, Prudhon C, Prinzo ZW, Daelmans BM, Mason JB.
Putting the management of severe malnutrition back on the
international health agenda. Food Nutr Bull. 2006;27(3 suppl):3–
6.

864
4. Collins S. Treating severe acute malnutrition seriously. Arch Dis
Child. 2007;92:453–61.
5. Golden MH. Proposed recommended nutrient densities for
moderately malnourished children. Food Nutr Bull. 2009;30(3
Suppl):267–342.
6. World Health Organization. WHO child growth standards and the
identification of severe acute malnutrition in infants and
children. Geneva: WHO and the Unicef; 2009.
7. World Health Organization. Working together for health.
Geneva: WHO; 2006.

865
PERHITUNGAN ENERGI DAN PROTEIN
UNTUK KEJAR TUMBUH DAN UNTUK
ANAK SAKIT BERAT

Tabel 193 Kebutuhan Energi dan Protein Anak Sehat & Gizi Baik
EER (Estimated Energy Requirements)
Usia (Bulan) EER (kkal/hr)
0–3 (89 × BB (kg)) + 75
4–6 (89 × BB (kg)) − 44
7–12 (89 × BB (kg)) − 78
13–36 (89 × BB (kg)) − 80

Tabel 194 EER untuk Anak Usia 3–18 Tahun


Usia
(Tahun) EER (kkal/hr)
3–8 L 108,5 − 61,9 × usia (th) + PA × {26,7 × BB (kg) + 903 × tinggi (m)}
P 155,3 − 30,8 × usia (th) + PA × {10,0 × BB (kg) + 934 × tinggi (m)}
9–18 L 113,5 − 61,9 × usia (th) + PA × {26,7 × BB (kg) + 903 × tinggi (m)}
P 160,3 − 30,8 × usia (th) + PA × {10,0 × BB (kg) + 934 × tinggi (m)}

Tabel 195 Physical Activity Coefficient’s (PA) Anak Usia 3–18 Tahun
PA
Physical Activity Level (PAL)
Laki-laki Perempuan
Ringan (sedentary) 1,00 1,00
Aktivitas rendah 1,13 1,16
Aktif 1,26 1,31
Sangat aktif 1,42 1,56

Tabel 196 RDA Kebutuhan Protein


Kelompok Usia Kebutuhan
Bayi 1,5 g/kgBB/hr
1–3 th 1,1 g/kgBB/hr
4–13 th 0,95 g/kgBB/hr
14–18 th 0,85 g/kgBB/hr
Dewasa 0,8 g/kgBB/hr

866
Estimasi Kebutuhan Energi untuk Kejar Tumbuh
EER dihitung menggunakan EER untuk height-age dan disesuaikan
dengan BB ideal untuk berat terhadap tinggi. Height-age adalah usia
yang disesuaikan dengan usia, sedangkan tinggi berada pada median
dari kurva tinggi untuk usia dari referensi

EER untuk height-age × berat ideal untuk tinggi (kg)


Energi (kkal/hr) =
Berat aktual (kg)

Protein sesuai RDA untuk height-age × berat ideal


untuk tinggi (kg)
Protein (g/hr) =
Berat aktual (kg)

Kebutuhan Kalori pada Anak dengan Penyakit Akut


Untuk 2–3 hr pertama tidak perlu dikhawatirkan kekurangan
masukan kalori
Kebutuhan kalori ↑ 10% untuk setiap kenaikan 1 °C
Anak sakit berat atau pascaoperasi perlu penambahan kalori
sebanyak 20–30%
Kebutuhan protein dinaikkan sampai 3× kebutuhan baku pada
keadaan metabolisme jaringan berlebihan
Vitamin dan mineral diberikan setiap hr sesuai kebutuhan
Untuk anak sakit akut, rumus prediksi pengeluaran energi saat
istirahat/resting energy expenditure (REE) dapat digunakan. WHO
dan Schofield sudah mengembangkan rumus prediksi REE untuk
penderita anak yang dirawat di rumah sakit. Nilai REE tersebut
kemudian dikalikan dengan faktor stres untuk menghitung
perubahan kebutuhan energi akibat kondisi klinis overfeeding. Pada
anak sakit kritis harus dihindarkan karena kemungkinan terdapat
penyulit pulmonal dan hepatik

Tabel 197 Rumus WHO untuk Memperkirakan REE


Usia (Tahun) REE (kkal/hr)
0–3 L {60,9 × BB (kg)} − 54
P {61,0 × BB (kg)} − 51
3–10 L {22,7 × BB (kg)} + 495
P {222,5 × BB (kg)} + 499
10−8 L {17,5 × BB (kg)} + 651
P {12,2 × BB (kg)} + 746

867
Tabel 198 Faktor Stres untuk Setiap Tipe Stres
Tipe Stres Faktor Stres
Starvasi 0,7–0,8
Operasi 1,05–1,5
Sepsis 1,2–1,6
Trauma kepala 1,3
Trauma 1,1–1,8
Gagal tumbuh 1,5–2,0
Luka bakar 1,5–2,5

868
RAWAT GABUNG
Syarat utama rawat gabung penuh: bayi yang kuat menghisap dan ibu
yang tidak sakit berat sedangkan pelaksanaannya bergantung pada
kondisi dan situasi rumah sakit setempat
Rawat gabung parsial dapat dilakukan pada bayi yang memerlukan
observasi atau pengawasan seperti BBLR, bayi lahir dengan tindakan,
dll.
Kebutuhan minimum untuk sarana pelaksanaan rawat gabung yang
ideal tercantum pada pelaksanaan rawat gabung di rumah sakit
Rawat gabung dapat dilakukan sesuai dengan tujuannya, hal-hal yang
dilakukan berkenaan dengan pelaksanaan rawat gabung sbb.
Di Unit Rawat Jalan Kebidanan
Melaksanakan komunikasi informasi edukasi (KIE) dengan pesan
antara lain tentang manfaat ASI dan rawat gabung
Melaksanakan KIE dengan pesan antara lain tentang perawatan
payudara dan makanan ibu hamil
Melaksanakan KIE tentang KB, imunisasi, dan kebersihan
Mengatasi masalah pada payudara ibu, kalau perlu dirujuk ke klinik
laktasi
Menyelenggarakan senam hamil
Di Ruang Bersalin
Segera sesudah bayi dilahirkan, bayi dibawa kepada ibunya
diletakkan di atas dada ibu skin to skin contact dan dibiarkan selama
1–1 ½ jam (inisiasi menyusu dini (IMD). Bayi dibiarkan bergerak
mencari dan menghisap payudara ibu
Bila ibu melahirkan dengan cara operasi, IMD tetap dapat dilakukan
pada operasi dengan pembiusan spinal. Untuk ibu yang mendapat
narkose umum, bayi disusukan sesudah ibu sadar
Di Ruang Rawat Gabung
Bayi diletakkan dekat ibu
Paramedis di ruang rawat gabung, harus mengawasi agar bayi
disusukan minimal 8 kali dalam 24 jam tanpa dilakukan penjadwalan
(sesuai keinginan dan kebutuhan bayi on demand feeding). Setiap kali
menyusukan, bayi harus mendapatkan susu dari kedua payudara
secara bergantian
Pada hari ke-1 bayi tidak boleh diberi prelacteal feeding (larutan gula,
madu, air putih). Bayi harus segera mendapatkan ASI dari ibu, bila
pada hari berikutnya ASI belum keluar dan bayi rewel, boleh diberi
minum namun harus diberikan dengan sendok. Bila bayi tidak rewel
tetap diberikan ASI saja
Memberi KIE tentang perawatan payudara/tali pusat, cara
mempertahankan/memperbanyak produksi ASI, cara memberi ASI
pada ibu bekerja, makanan ibu menyusui, KB, cara memandikan bayi,
imunisasi, dan penanggulangan diare
Memotivasi ibu pada saat pulang dari rumah sakit tentang manfaat
klinik laktasi

869
Di Klinik Laktasi
Tempat konsultasi, dilakukan kegiatan:
Memantau kesehatan ibu nifas dan bayi
Memberi KIE dengan pesan gizi ibu, mengatasi kesulitan proses
laktasi, dan menjaga kelangsungan proses menyusui
Melakukan demonstrasi perawatan bayi
Peran Dokter dalam Rawat Gabung
Menggariskan kebijaksanaan dan tata tertib rawat gabung
Melaksanakan perawatan ibu dan anak
Merencanakan, melaksanakan, dan menilai kegiatan KIE kepada ibu
dan keluarganya tentang laktasi dan gizi ibu
Peran Paramedis dalam Rawat Gabung
Pada rawat gabung ibu dapat berperan sbb:
Mempraktikkan hal yang diajarkan petugas kesehatan, misalnya
tentang merawat payudara, menyusui bayi, merawat tali pusat, dll.
Mengamati hal yang tidak dapat (kelainan) yang terjadi pada bayi
atau pada dirinya dan melaporkan pada petugas
Persyaratan Rawat Gabung yang Ideal
Bayi
Ditempatkan dalam boks tersendiri dekat tempat tidur ibu
sehingga mudah dijangkau dan dilihat oleh ibu
Bila tidak terdapat tempat tidur bayi, bayi boleh diletakkan di
tempat tidur ibu
Agar mengurangi bahaya bayi jatuh dari tempat tidur, sebaiknya
dua tempat tidur ibu didekatkan
Tesedianya pakaian bayi
Ibu
Tempat tidur ibu diusahakan rendah untuk memudahkan
naik/turun
Tersedia perlengkapan nifas
Ruangan
Ukuran ruang untuk satu tempat tidur 1,5 x 3 m2
Ruang unit ibu/bayi yang masih memerlukan perawatan harus
dekat dengan ruang petugas
Sarana
Lemari pakaian (ibu dan anak)
Tempat mandi bayi dan perlengkapannya
Tempat cuci tangan ibu (air mengalir)
Setiap ruangan mempunyai kamar mandi tersendiri bagi ibu
Sarana penghubung (bel/intercom)
Petunjuk/sarana perawatan payudara, perawatan bayi, makanan
ibu menyusui, dan nifas dengan bahasa yang sederhana (buku
pintar)
Perlengkapan perawatan bayi
Petugas
Satu orang petugas untuk 6 pasang ibu dan bayi
Mempunyai kemampuan dan keterampilan pelaksanaan rawat
gabung
870
Lain-lain
Perlengkapan lain sesuai dengan kelas perawatan rumah sakit
pendidikan
Tersedianya sarana audiovisual mengenai hal yang berkaitan
dengan rawat gabung
Tersedianya buku yang berkaitan dengan perawatan ibu hamil,
melahirkan, nifas, menyusui dan perawatan bayi, gizi ibu dan bayi,
imunisasi
Sistem pencatatan dan pelaporan
Catatan medis diperlukan untuk mencatat keadaan bayi dan ibu
setiap hari
Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui
Setiap fasilitas yang menyediakan pelayanan persalinan dan perawat-
an BBL seyogyanya
1. Mempunyai kebijakan tertulis tentang menyusui yang secara
rutin
2. Melatih semua staf pelayanan kesehatan dengan keterampilan
yang diperlukan untuk menerapkan dan melaksanakan
kebijaksanaan tersebut
3. Menjelaskan kepada seluruh ibu hamil tentang manfaat dan
penatalaksanaan menyusui
4. Membantu ibu untuk mulai menyusui bayinya dalam waktu ½
jam sesudah melahirkan
5. Memperlihatkan kepada ibu bagaimana cara menyusui dan cara
mempertahankan pelaksanaannya sekalipun pada saat ibu harus
berpisah dengan bayinya
6. Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI
kepada bayi baru lahir, kecuali bila ada indikasi medis
7. Melaksanakan/memungkinkan/mengizinkan rawat gabung ibu
dan anak untuk selalu bersama selama 24 jam
8. Mendukung ibu agar memberi ASI sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan bayi on demand
9. Tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang sedang
menyusu
10. Membentuk kelompok pendukung menyusui dan menganjurkan
ibu yang pulang dari rumah sakit atau klinik untuk selalu
berhubungan kelompok tersebut

871
Nasihat untuk Ibu
Tabel 199 Pemecahan Masalah yang Paling Sering Dijumpai
Masalah : Puting susu yang tertarik ke dalam, mengerut, dan datar
Penyebab : Invaginasi lekukan payudara yang persisten/menetap
sekunder terhadap proses patologis intra mammae
(jarang, misalnya duktus ektasi, papiloma intraduktal)
Perawatan : Hoffman’s exercises, yaitu kedua ibu jari mengurut
puting susu secara sentrifugal
Memompa payudara
Memakai penarik puting susu dari plastik (alat khusus)
Perawatan payudara
Masalah : Puting susu yang sakit, pecah-pecah ataupun lecet
Penyebab : Teknik dan posisi menyusui yang salah
Bendungan
Iritasi oleh bahan seperti sabun, lotion, dll.
Monilia/jamur
Bayi dengan frenulum pendek (jarang)
Perawatan : Posisi menyusui yang tepat
Cegahlah bendungan dengan lebih sering menyusui
Jangan ditutup dan biarkan kering di udara
Salep lanolin atau minyak vitamin E
Pemberian nistatin bila ada indikasi
Rangsanglah bayi sebelum menyusui agar refleks
letdown sempurna
Mulailah setiap kali menyusui pada payudara yang
paling sedikit terkena
Pemakaian analgetik ringan
Memakai penutup puting susu dari plastik
Terakhir (bila sakit sekali) berhenti menyusui untuk
24–36 jam, tapi ASI harus diperas keluar untuk tidak
mengganggu produksi
Masalah : Bendungan
Penyebab : Pengeluaran ASI yang kurang (tidak adekuat) atau
kurang sering menyusui
Perawatan : Kompres dengan air hangat atau disiram air hangat
Diurut dan diperas atau dipompa untuk mengurangi
bendungan alveolar
Lebih sering menyusui
Memakai analgetik yang ringan

Bibliografi
1. Butte NF, Lopez-Alarcon MG, Garza C. Nutrient adequacy of
exclusive breastfeeding for term infant during the first six
months of life. Geneva: WHO; 2002.
2. Cattaneo A. Promoting breastfeeding in the community. BMJ;
2009 Jan:338:a2625.

872
3. Edmond KM, Zandoh C, Quigley MA, Amenga-Etego S, Owusu-
Agyei S, Kirkwood BR. Delayed breastfeeding initiation increases
risk of neonatal mortality. Pediatrics. 2006;117:380–6.
4. Victoria CG. Nutrition in ealy life: a global priority. Lancet. 2009;
374:1123−5.
5. Weight NE. Management of common breastfeeding issues.
Pediatr Clin North Am. 2001;48:273–98.
6. World Health Organization. Breast crawl: initiation of
breastfeeding by breast crawl. Geneva: WHO; 2007.

873
DEFISIENSI VITAMIN A (XEROFTALMIA)
Batasan
Berbagai macam manifestasi akibat defisiensi vitamin A, khususnya
kelainan pada mata (xeroftalmia)

Klasifikasi
Klasifikasi xeroftalmia menurut WHO
XN : rabun senja
XIA : xerosis konjungtiva
XIB : bercak bitot
X2 : xerosis kornea
X3A: ulkus kornea/keratomalasia <⅓ permukaan kornea
X3B : ulkus kornea/keratomalasia >⅓ permukaan kornea
XS : jaringan parut pada kornea-XF: xeroftalmia fundus
Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Berkurangnya penglihatan di waktu senja (rabun senja)
Mata bersisik, silau, keluar cairan, dan sakit mata
Pemeriksaan Fisis
Kelainan kulit berupa hiperkeratosis folikuralis (biasanya pada
bagian lateral lengan, tungkai bawah, dan bokong)
Gejala Lain
Malabsorpsi lemak, diare menahun, dan penyakit hati menahun
Pemeriksaan Penunjang
Kadar normal vit. A 20–60 μg/dL, bila kadarnya <20 μg/dL maka
disebut defisiensi vit. A
Terapi
Usia >1 th
Hari ke-1: vit. A 200.000 SI p.o.
Hari ke-2: vit. A 200.000 SI p.o.
Saat dipulangkan: vit. A 200.000 SI p.o.
Usia <1 th → ½ dosis di atas
Konsultasi
Bagian Mata, untuk kasus X2 dan seterusnya
Bagian Kulit (bila perlu)
Bibliografi
1. Benn CS, Martins C, Rodrigues A. Randomized study of effect of
different doses of vitamin A on childhood morbidity and
mortality. BMJ. 2005;331:1428–30.
2. Erhardt J. Biochemical methods for the measurement of vitamin
A deficiency disorders (VADD). Sight Life. 2003;2:5–7.

874
3. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. Advanced nutrition and human
metabolism. Edisi ke-4. Belmont: Thomson Wadsworth; 2005.
4. Labadarios D, Randal P. Presentation highlights: vitamin A and
the common agenda for micronutrients. XXII IVACG meeting, 15–
17 November 2004. Lima, Peru. Sight Life. 2005;1:9–17.
5. Sommer A, West Jr KP. Treatment of vitamin A deficiency and
xerophthalmia. Vitamin A deficiency: health survival and vision.
New York: Oxford University Press; 1996.
6. Zile M. Vitamin A deficiencies and excess. Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsievier; 2011. hlm. 728–37.

875
PHENYLKETONURIA (PKU)
Batasan
Peningkatan kadar fenilalanin plasma >20 mg/dL akibat defisiensi
enzim phenilalanine hydroxylase (PAH)

Etiologi
Mutasi pada gen PAH yang menyebabkan defisiensi enzim PAH
Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Muntah, gangguan kognitif, gangguan perkembangan dan perilaku,
gangguan pertumbuhan, kejang, serta kaku
Pemeriksaan Fisis
Normal saat lahir
Gangguan kognitif dan perilaku autistik
Gerakan tangan tak bertujuan
Atetosis
Bau khas asam fenilasetil seperti bau tikus
Gejala neurologis: kejang, spastis, hiperrefleks, tremor
Mikrosefal
Maksila menonjol
Celah antargigi melebar
Hipoplasia enamel
Gangguan pertumbuhan
Pemeriksaan Penunjang
Skrining pada bayi baru lahir: kartu kertas filter
Plasma: fenilalanin ↑, Ɵrosin normal sampai ↓
Phenyilketon pada urin
Diagnosis Banding
Defisiensi kofaktor BH4
Terapi
Diet restriksi fenilalanin (kadar fenilalanin plasma dipertahankan 2–6
mg/dL)
Suplementasi asam amino esensial + trace element (rekomendasi
berbeda tiap negara)
Suplementasi BH4 sudah diteliti sebagai terapi potensial pada PKU
ringan
Penyulit
Gangguan kognitif, neurologis, pertumbuhan, dan perkembangan
Prognosis
Terapi segera dan efisien: perkembangan dan intelegensi normal
Tanpa terapi: kerusakan otak berat dengan mental retardasi, kejang
dan spatisitas

876
Bibliografi
1. Blau N, Blanger-Quintana A, Demirkol M. Management of
phenylketonuria in Europe: survey results from 19 countries. Mol
Genet Metab. 2010;99:109–15.
2. Blau N. Defining tetrahydrobiopterin (BH4)-responsiveness in
PKU. J Inherit Metab Dis. 2008;31:2–3.
3. Blau Van, Spronsen FJ, Levy HL. Phenylketonuria. Lancet. 2010;
376:1417–27.
4. Blau N, Blanger-Quintana A, Demirkol M. Optimizing the use of
sapropterin (BH4) in the management of phenylketonuria. Mol
Genet Metab. 2009;96:158–63.
5. Clarke JTR. A clinical guide to inherited metabolic diseases. Edisi
ke-2. New York: University of Cambridge; 2004.
6. Feillet F, Van Spronsen FJ, MacDonald A. Challenges and pitfalls
in the management of phenylketonuria. Pediatrics. 2010;126:
333–41.
7. Rezvani I, Melvin JJ. Defects in metabolism of amino acids.
Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF,
Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1448–53.
8. Zschocke J, Hoffman GF. Vedemecum metabolicum: manual of
metabolic paediatrics. Edisi ke-2. Leck: Clausen and Bosse GmbH;
2004.

877
HIPERKOLESTEROLEMIA FAMILIAL
Batasan
Kelainan autosomal monogenik kodominan, disebabkan oleh mutasi
yang memengaruhi reseptor LDL. Terjadi peningkatan kadar LDL
kolesterol, penyakit kardiovaskular prematur, xantelasma, xantoma
arkus kornea, dan xantoma tendon
Etiologi
Mutasi pada gen autosomal monogenik kodominan yang meng-
akibatkan perubahan pada reseptor LDL
Klasifikasi
Tabel 200 Klasifikasi Hiperkolesterolemia Familial
Lipoprotein
Kelainan yang Temuan Genetik
Meningkat
Hiperkolesterolemia LDL Xantoma tendon, Autosomal
familial penyakit jantung dominan
koroner
Defek familial LDL Xantoma tendon, Autosomal
ApoB-100 penyakit jantung dominan
koroner
Hiperkolesterolemia LDL Xantoma tendon, Autosomal
autosomal resesif penyakit jantung resesif
koroner
Sitosterolemia LDL Xantoma tendon, Autosomal
penyakit jantung resesif
koroner
Hiperkolesterolemia LDL Penyakit jantung
poligenik koroner
Hiperlipidemia familial LDL, TG Penyakit jantung Autosomal
kombinasi (FCHL) koroner dominan
Disbetalipoproteinemia LDL, TG Xantoma, penyakit Autosomal
familial vaskuler perifer dominan
Familial TG Xantoma eruptif, Autosomal
chylomicronemia hepatosplenomegali, resesif
(Frederickson type I) pankreatitis
Hipertrigliseridemia TG ± penyakit jantung Autosomal
familial (Frederickson koroner dominan
type IV)
Familial TG Xantoma ± penyakit Autosomal
hipertrigliseridemia jantung koroner dominan
(Frederickson type V)
Familial hepatic lipase VLDL Penyakit jantung autosomal
deficiency koroner resesif
Keterangan: LDL, low-density lipoprotein; TG, triglyceride; VLDL, very low
density lipoprotein

878
Diagnosis
Aterosklerosis prematur, penyakit vaskular famillial (infark), xantoma,
xantelasma, penebalan tendon (misalnya tendon Achilles), arkus
kornea
Homozygous: aterosklerosis berat sejak usia anak-anak
Etiologi
Protein : reseptor LDL (RLDL)
Genetik : inheritan, autosomal ko-dominan; insidensi heterozygous
sekitar 1:500
↑ kolesterol (heterozygous hingga 300 mg/dL, homozygous
>600 mg/dL, trigliserida normal, ↓ HDL; analisis mutasi;
riwayat keluarga (kolesterol >260 mg/dL + penyakit kardio-
vaskular pada orangtua)
Terapi
Kolesterol total >220 mg/dL (5,7 mmol/L), HDL normal (>35 mg/dL):
Kolesterol LDL 130–150 mg/dL → ulangi pemeriksaan dalam 2 th
Kolesterol LDL >150 mg/dL (3,9 mmol/L) → diet restriksi kolesterol
Kolesterol LDL >190 mg/dL (4,9 mmol/L) dengan diet 6–12 bl atau
>160 mg/dL (4,2 mmol/L) + riwayat keluarga (+) → pertimbangkan
terapi obat
Kolesterol >250 mg/dL (6,5 mmol/L) → kirim ke pusat pelayanan
kesehatan
Diet
Kolesterol <300 mg/hr → modifikasi komposisi lemak, lemak total
<1/3 energi)
Obat
Anion exchanger (kolestiramin → ditingkatkan bertahap, dosis
0,2–0,4 g/kgBB dalam 2–3 dosis)
Pertimbangkan sitoserin (1–6 g/hr), fibrat, inhibitor HMG-CoA
reduktase (statin)
Penderita homozygous
Apheresis LDL (1–2 mgg sekali) untuk membuang kolesterol
Pertimbangkan transplantasi hati
Terapi gen belum memberikan hasil yang memuaskan
Follow up tiap 3–6 bl selama terapi diet
Bibliografi
1. Austin MA, Hutter CH, Zimmern RL. Familial hyper-
cholesterolemia and coronary heart disease: a huge association
review. Am J Epidemiol. 2004;160:421–9.
2. De Jongh S, Ose L, Szamosi T. Efficacy and safety of statin therapy
in children with familial hypercholesterolemia. Circulation. 2002;
106:2231–7.
3. Durrington P. Dyslipidaemia. Lancet. 2003;362:717–31.
4. Goldberg AC, Aditi S, Ji L. Efficacy and safety of ezetimibe
coadministered with simvastatin in patients with primary hyper-
cholesterolemia: a randomized, double-blind, placebo-controlled
trial. Mayo Clin Proc. 2004;79:620–62.

879
5. Grundy SM, Hansen B, Smith SC. Clinical management of
metabolic syndrome: report of the American Heart Association/
National Heart, Lung, Blood Institute/American Diabetes
Association Conference on scientific issues related to
management. Circulation. 2004;109:551–6.
6. Leren T. Cascade genetic screening for familial hypercholes-
terolemia. Clin Genet. 2004;66:483–7.
7. Merkens LS, Connor WE, Linck LM. Effects of dietary cholesterol
on plasma lipoproteins in Smith-Lemli-Opitz syndrome. Pediatr
Res. 2004;56:726–2.
8. Neal WA. Disorders of lipoprotein metabolism and transport.
Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF,
Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1554–77.
9. Raitakari OT. Arterial abnormalities in children with familial
hypercholesteremia. Lancet. 2004;363:342–3.
10. Wiegman A, Hutten BA, de Groot E. Efficacy and safety of statin
therapy in children with familial hypercholesterolemia. JAMA.
2004;292:331–7.
11. Zschocke J, Hoffman GF. Vedemecum metabolicum: manual of
metabolic paediatrics. Edisi ke-2. Leck: Clausen and Bosse GmbH.
2004. hlm.

880
NUTRISI ENTERAL
Definisi
Nutrisi enteral adalah pemberian asupan nutrisi melalui saluran cerna
dengan menggunakan feeding tube, kateter, atau stoma langsung
melintas sampai ke bagian tertentu saluran cerna
Pemberian nutrisi dengan cara ini mengabaikan peran mulut dan
esofagus sebagai tempat pertama masuknya makanan. Target yang
dituju adalah bagian usus paling proksimal yang masih dapat
menjalankan fungsinya, dimulai dari lambung hingga usus halus
Manfaat
Manfaat nutrisi enteral tidak jauh berbeda dengan cara pemberian
p.o. yaitu:
Proses pencernaan dan absorbsi nutrisi dapat berlangsung secara
aman mendekati fungsi fisiologis
Mampu menjaga imunitas saluran cerna
Mengurangi pertumbuhan bakteri yang berlebihan
Menjaga keseimbangan mikrorganisme saluran cerna
Mudah dan lebih murah dari segi finansial
Indikasi
Dukungan nutrisi enteral dapat dipertimbangkan untuk diberikan
pada anak sakit berdasarkan indikasi tertentu
Tabel 201 Indikasi Pemberian Nutrisi Enteral pada Anak
Gangguan mencerna makanan p.o. secara adekuat
Prematuritas
Gangguan neurologi dan neuromuskular, palsi serebral, disfagia
Penurunan kesadaran
Tracheoesophageal fistula
Ca pada kavum oral
Ca pada kepala dan leher
Ventilasi mekanik
Refluks gastroesofageal berat
Pemberian kemoterapi
Depresi
Gangguan mencerna atau mengabsorpsi asupan nutrisi
Cystic fibrosis
Short bowel syndrome
Inflammatory bowel disease
Enteritis
Intractable diarrhea of infancy
Pascaoperasi saluran gastrointestinal
Fistula intestinal
Gangguan motilitas saluran pencernaan
Chronic pseudo-obstruction
Ileocolonic Hirschprung’s disease

881
Kelainan psikiatri dan tingkah laku yang memengaruhi asupan nutrisi p.o.
Anorexia nervosa
Gangguan tingkah laku berat, autism
Pankreatitis akut/kronik
Sumber: Forchielli dan Bines 2008

Rute Nutrisi Enteral


Pemberian nutrisi enteral dapat dilakukan dengan feeding tube
Berdasarkan lokasi insersi feeding tube dibedakan menjadi:
Transnasal
Enterostomi
Nutrisi Enteral Transnasal
Transnasal dikenal sebagai cara yang noninvasif, dapat diberikan
melalui orogastrik, nasogastrik, nasoduodenal, dan nasojejunal.
Nutrisi enteral dengan menggunakan cara transnasal dilakukan
dengan menginsersikan feeding tube melalui mulut atau hidung
sampai ke lokasi saluran cerna tertentu. Penggunaan feeding tube
secara transnasal pada umumnya digunakan sebagai pilihan terapi
nutrisi secara intermiten dan jangka pendek (<3 bl). Ukuran NGT
atau pipa orogastrik (orogastric tube/OGT) yang digunakan
disesuaikan dengan usia anak

Tabel 202 Ukuran NGT dan OGT untuk Anak berdasarkan Usia

Usia Ukuran Tube Panjang Tube


(Fr) (cm)
Prematur s.d. neonatus 4–5 33–41
Bayi s.d. anak 5–8 41–91
Anak s.d. remaja 8–14 91–114
Sumber : Forchielli dan Bines 2008

Nutrisi Enteral Enterostomi


Enterostomi adalah cara pemberian nutrisi enteral yang invasif.
Pemberian nutrisi secara enterostomi dapat dilakukan dengan cara
gastrostomi dan jejunostomi. Formula nutrisi diberikan melalui
feeding tube yang terpasang pada area gastrostomi dan
jejunostomi. Pemberian nutrisi enteral secara gastrotomi atau
jejunostomi dianggap mampu mempertahankan posisi feeding
tube dalam jangka waktu lama (>3 bl), karena terfiksasi pada
dinding abdomen anterior, tidak terpengaruh gerakan pernapasan,
dapat menghindari penyulit chronic nasal discharge, sinusitis,
perkembangan yang abnormal dari hidung, trauma psikologi, serta
problem feeding di kemudian hari
Akses gastrotomi menggunakan feeding tube yang berukuran
besar (14–24 Fr). Makanan melalui gastrostomi dapat diberikan
dalam volume yang besar, dengan resiko oklusi minimal. Pada

882
jejunostomi, feeding tube yang digunakan berukuran lebih kecil
yaitu 9–12 Fr
Gastrostomi dan jejunostomi dapat dilakukan dengan mengguna-
kan teknik pemasangan secara radiologi, endoskopi, serta bedah.
Kebersihan daerah stoma harus selalu dijaga, untuk menghindari
iritasi yang berasal dari sekresi gaster dan kemungkinan potensi
infeksi
Formula Dukungan Nutrisi Enteral
Dukungan nutrisi pada anak sakit secara ideal pada prinsipnya harus
memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh, yang meliputi asupan
makronutrien, mikronutrien, dan trace elements secara adekuat.
Pemberian nutrisi enteral dapat dilakukan dengan menentukan
formula yang akan diberikan berdasarkan usia penderita, penyakit
yang diderita, kebutuhan kalori, cairan kondisi saluran cerna, serta
status gizi penderita
Osmolaritas
Pada pemberian dukungan nutrisi enteral, osmolaritas formula
enteral harus diperhatikan. Pemberian nutrisi enteral untuk anak,
diberikan dengan kalori 1 kkal/mL. Osmolaritas formula enteral
pada anak yang dianjurkan ± 200–750 mosm/L
Jenis nutrisi yang digunakan dapat disiapkan secara manual
maupun menggunakan produk kemasan yang siap pakai. Bentuk
formula nutrisi enteral dapat berupa bahan makanan yang
diblender, formula polimerik, dan formula elemental
Cara Pemberian Nutrisi Enteral
Pemberian dukungan nutrisi enteral dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu:
Bolus feeding
Continuous drip feeding
Pemberian bolus feeding dapat dilakukan di rumah sakit maupun di
rumah, sementara pemberian nutrisi enteral dengan cara continuous
drip feeding diberikan pada penderita yang dirawat di rumah sakit
Bolus Feeding
Dapat dilakukan dengan menggunakan NGT/OGT dan diberikan
secara terbagi setiap 3–4 jam sebanyak 250–350 mL. Bolus feeding
dengan formula isotonik dapat dimulai dengan jumlah keseluruhan
sesuai yang dibutuhkan sejak hari pertama, sedangkan formula
hipertonik dimulai setengah dari jumlah yang dibutuhkan pada
hari pertama
Sebaiknya diberikan dengan tenang ± selama 15 mnt dan diikuti
dengan pemberian air 25–60 mL untuk mencegah dehidrasi
hipertonik dan membilas sisa formula yang masih berada di
feeding tube. Formula yang tersisa pada sepanjang feeding tube
dapat menyumbat feeding tube, sedangkan yang tersisa pada
ujung feeding tube dapat tersumbat akibat penggumpalan yang
disebabkan oleh asam lambung dan protein formula

883
Continuous Drip Feeding
Dilakukan dengan menggunakan infuse pump. Formula enteral
diberikan dengan kecepatan 20–40 mL/jam dalam 8–12 jam
pertama, ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan
toleransi anak. Volume formula ditingkatkan 25 mL setiap 8–12
jam, dengan pemberian maks. 50–100 mL/jam selama 18–24 jam.
Pemberian formula enteral dengan osmolaritas isotonik (300
mosm/kg air) dapat diberikan sesuai dengan jumlah yang
dibutuhkan, sedangkan pemberian formula hipertonis (500
mosm/kg air) harus dimulai dengan memberikan setengah dari
jumlah yang dibutuhkan. Pada kasus pemberian formula yang tidak
ditoleransi dengan baik, konsentrasi formula yang diberikan dapat
diturunkan terlebih dahulu dan selanjutnya kembali ditingkatkan
secara bertahap
Pemberian formula enteral yang telah disiapkan tidak boleh
diberikan >4–8 jam dan harus digantikan dengan formula enteral
yang baru. Bahan sediaan yang telah dibuka sebaiknya disimpan di
dalam refrigator dan tidak digunakan kembali setelah 24 jam
Penyulit dan Pemantauan Nutrisi Enteral
Penyulit nutrisi enteral meliputi penyulit mekanik, gastrointestinal,
dan metabolik
Penyulit mekanik meliputi lesi dekubitus, obstruksi kateter, kateter
displacement
Penyulit gastrointestinal meliputi regurgitasi, aspirasi, muntah,
diare, konstipasi, pneumatosis intestinal, dan nekrosis jejunal
Penyulit metabolik meliputi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, hiperglikemia, serta refeeding syndrome
Selama pemberian nutrisi enteral harus dimonitoring secara ketat
untuk mewaspadai timbulnya penyulit yang mungkin terjadi
Tabel 203 Pemantauan Nutrisi Enteral
Parameter Pemantauan
Berat badan Min. 3×/mgg
Tanda-tanda edema Setiap hr
Tanda-tanda dehidrasi Setiap hr
Intake dan output cairan Setiap hr
Asupan kalori, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, Min. 2×/mgg
dan mineral
Keseimbangan nitrogen (nitrogen urea urin 24 jam) Setiap mgg
Sisa cairan gastrik Setiap 4 jam
Konsistensi BAB Setiap hr
Elektrolit serum, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin, 2–3×/mgg
dan hitung sel darah
Profil kimia darah, yaitu protein serum total, albumin, Setiap mgg
prealbumin, kalsium, magnesium, fosfor, dan tes
fungsi hepar
Sumber: Courtney dkk. 2005

884
Bibliografi
1. Alvarez Hernández J, Peláez Torres N, Muñoz Jiménez A. Clinical
use of enteral nutrition. Nutr Hosp. 2006 May;21(Suppl 2):85–97.
2. Bankhead R, Boullata J, Brantley S, Corkins M, Guenter P,
Krenitsky J, dkk. Enteral nutrition practice recommendations.
JPEN J Parenter Enteral Nutr. 2009 Mar–Apr;33(2):122–67.
3. Courtney E, Grunko A, McCarthy T. Enteral nutrition. Dalam:
Hendicks KM, Duggan C, penyunting. Manual of pediatric
nutrition. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker; 2005. hlm. 252–316.
4. Duggan C. Nutritional assessment in sick or hospitalized children.
Dalam: Hendicks KM, Duggan C, penyunting. Manual of pediatric
nutrition. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker; 2005. hlm. 239–51.
5. Forchielli ML, Bines J. Enteral nutrition. Dalam: Duggan C,
Watkins JB, Walker WA, penyunting. Nutrition in pediatrics: basic
science, clinical applications. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker;
2008. hlm. 766–75.
6. Johnson T, Sexton E. Managing children and adolescents on
parenteral nutrition: challenges for the nutritional support team.
Proc Nutr Soc. 2006 Aug;65(3):217–21.
7. Kerner JA, Hurwitz M. Parenteral nutrition. Dalam: Duggan C,
Watkins JB, Walker WA, penyunting. Nutrition in pediatrics: basic
science, clinical applications. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker;
2008. hlm. 777–93.
8. Lochs H, Dejong C, Hammarqvist F, Hebuterne X, Leon-Sanz M,
Schütz T, dkk. ESPEN guidelines on enteral nutrition:
gastroenterology. Clin Nutr. 2006 Apr;25(2):260–74.
9. Mascarenhas MR, Enriquez L. What is pediatric nutrition support.
Dalam: Baker SS, Baker RD, Davis AM, penyunting. Pediatric
nutrition support. Sudbury: Jones and Bartlett Publishers; 2007.
hlm. 123–33.
10. Skipper A, Nelms MN. Methods of nutrition support. Dalam:
Nelms MN, Sucher K, Long S, penyunting. Nutrition therapy and
pathophysiology. Belmont: Thomson Brooks/Cole; 2007. hlm.
154–76.
11. Weissman TE, Wershil BK. Enteral feeding. Pediatr Rev. 2008
Mar;29(3):105−6.

885
NUTRISI PARENTERAL
Definisi
Dukungan nutrisi parenteral adalah pemberian asupan nutrisi yang
diberikan melalui pembuluh darah dan masuk ke dalam sirkulasi
darah

Indikasi
Diberikan apabila keadaan penderita tidak memungkinkan untuk
mendapatkan dukungan nutrisi enteral dan atas pertimbangan
indikasi tertentu. Pemberian nutrisi secara parenteral harus
dilakukan secara hati-hati, sesuai dengan penyakit yang mendasari
Kontraindikasi
Tidak boleh diberikan pada anak sakit dengan fungsi saluran
gastrointestinal normal, yang dapat menerima dukungan nutrisi p.o.
maupun enteral
Cara Pemberian Nutrisi Parenteral
Dapat dibedakan berdasarkan konsentrasi formula nutrisi parenteral
yang ingin diberikan kepada penderita yaitu larutan isotonis dan
hipertonis. Larutan isotonis diberikan melalui akses vena perifer,
sedangkan nutrisi dengan larutan hipertonis diberikan melalui vena
sentral
Tabel 204 Perbedaan Pemberian Nutrisi Parenteral Perifer dengan
Sentral
Nutrisi parenteral perifer
Diberikan kepada penderita yang tidak mampu menoleransi nutrisi enteral.
Dapat diberikan selama <2 mgg, selanjutnya diharapkan penderita telah
mampu mendapat dukungan nutrisi enteral
Dapat digantikan dengan nutrisi enteral atau selama fase transisi sampai
penderita memungkinkan untuk mendapat nutrisi enteral
Pada keadaan malnutrisi ringan atau sedang, untuk mencegah malnutrisi
lebih lanjut
Dapat diberikan dalam keadaan metabolisme tubuh yang normal atau
meningkat
Tidak terdapat kegagalan organ yang memerlukan restriksi
Terdapat keterbatasan osmolaritas formula nutrisi, tidak boleh ≤900
mosm/L
Nutrisi parenteral sentral
Dapat diberikan selama lebih dari 2 mgg
Diberikan pada keadaan peningkatan metabolisme yang sedang atau berat
Diberikan pada penderita yang disertai keadaan malnutrisi sedang hingga
berat, yang tidak mampu dikoreksi dengan pemberian nutrisi enteral
Dapat diberikan pada keadaan gagal organ seperti gagal jantung, ginjal, hati
maupun keadaan lain yang memerlukan restriksi cairan
Keterbatasan akses vena perifer
Dapat diberikan konsentrasi formula yang lebih tinggi dibandingkan dengan
akses perifer

886
Komposisi Formula Nutrisi Parenteral
Komposisi nutrisi parenteral harus memenuhi kebutuhan makro-
nutrien (karbohidrat, lemak, dan protein), mikronutrien (vitamin dan
trace elements), serta keseimbangan cairan

Energi
Perhitungan kalori dan energi yang dibutuhkan untuk pemberian
nutrisi secara parenteral dapat mempergunakan berbagai metode,
salah satu metode yang sering digunakan adalah metode Schofield
Perhitungan rumus Schofield menggunakan resting energy
expenditure (REE)

Tabel 205 Rumus Schofield untuk Menghitung REE


Usia (Tahun) Jenis Kelamin REE (kkal/hr)
0–3 Laki-laki 0,167 BB + 15,17 TB − 617,6
Perempuan 16,252 BB + 10,232 TB − 413,5
3–10 Laki-laki 19,59 BB + 1,303 TB + 414,9
Perempuan 16,969 BB + 1,618 TB + 371,2
10–18 Laki-laki 16,25 BB + 1,372 TB + 515,5
Perempuan 8,365 BB + 4,65 TB + 200
Keterangan sampel: BB=berat badan (kg); TB=tinggi badan (cm)
Sumber: Duggan 2005

REE yang diperoleh dikalikan dengan faktor stres metabolik sesuai


dengan aktivitas fisik, status kesehatan, dan atau kebutuhan kejar
tumbuh untuk mendapatkan kebutuhan harian total (TEE)

Tabel 206 Faktor Stres pada Perhitungan Energi


Tipe Stres Kalikan REE dengan
Demam 12% per derajat >37 °C
Starvasi 0,7–0,85
Operasi 1,05–1,5
Sepsis 1,2–1,6
Trauma kepala 1,3
Trauma 1,1–1,8
Gagal tumbuh 1,5–2
Luka bakar 1,5–2,5
Gagal jantung 1,15–1,25
Sumber: Duggan 2005

Cairan
Cairan yang diberikan pada pemberian nutrisi parenteral ditentu-
kan oleh status hidrasi, usia, faktor lingkungan, dan penyakit yang
mendasari. Pemberian cairan tidak boleh diberikan secara ber-
lebihan, untuk mencegah overload cairan
Rekomendasi jumlah cairan pada pemberian nutrisi parenteral
sebagai berikut (Kerner dan Hurwitz 2008):

887
<10 kg : 100 mL/kgBB/hr
10–30 kg : 2.000 mL/m2/hr
30–50 kg : 100 mL/jam (2,4 L/hr)
>50 kg : 124 mL/jam (3 L/hr)
Volume cairan dapat ditingkatkan:
10 mL/kgBB/hr pada anak sampai jumlah kalori yang diinginkan
tercapai, dengan jumlah cairan maks. dapat diberikan 200
mL/kgBB/hr
>10 kg: ditingkatkan 10% dari volume inisial setiap hr sampai
dicapai jumlah kalori yang diinginkan (maks. diberikan
4.000 mL/m2/hr)
Karbohidrat
Sumber kalori utama nonprotein pada pemberian nutrisi
parenteral adalah D-glukosa yang tersedia dalam bentuk sediaan
monohidrat untuk peemberian secara i.v. Osmolaritas cairan
nutrisi parenteral ditentukan oleh konsentrasi glukosa yang
diberikan. Penggunaan glukosa dengan konsentrasi >10% pada
pemberian nutrisi parenteral dapat meningkatkan risiko flebitis.
Glukosa dapat diberikan pada neonatus dengan kecepatan
pemberian 5–12 mg/kgBB/mnt, sedangkan pada anak dan remaja
kecepatan pemberian 2–5 mg/kgBB/mnt. Kadar glukosa serum
harus selalu dipantau pada pemberian nutrisi parenteral
Protein
Kebutuhan protein pada nutrisi parenteral diperoleh dari sediaan
asam amino. Jenis asam amino yang diberikan disesuaikan dengan
kebutuhan anak dan penyakit yang mendasari
Tabel 207 Kebutuhan Protein pada Anak dan Remaja
Usia (Tahun) Protein (g/kgBB/hr)
1–6 1–2
7–10 1–2
11–14 1–2
15–18 (laki-laki) 0,9–2
15–18 (perempuan) 0,8–2
Sumber: Kerner dan Hurwitz 2008

Pada penderita yang disertai hipoalbuminuria, albumin dapat


diberikan dengan dosis 0,5–1 g/kgBB/hr. Albumin secara paren-
teral harus diberikan secara terpisah menggunakan konektor Y.
Karena albumin merupakan produk darah tidak boleh diberikan
>8 jam, memiliki risiko untuk terjadi flokulasi bila diberikan
bersama larutan nutrisi parenteral yang lain dan meningkatkan
potensi terjadi sepsis
Lemak
Lemak dapat diberikan pada pemberian nutrisi parenteral dalam
bentuk larutan isotonis 20%. Pada pemberian nutrisi secara
parenteral, lemak digunakan sebagai sumber kalori yang penting
888
Tabel 208 Dosis Pemberian Lemak Intravena*
Peningkatan Dosis
Usia Dosis Awal Harian Dosis Maksimum
0–6 bl 1–1,5 1–1,5 3,5
6–12 bl 1–1,5 1–1,5 3
1–10 th 1 1–1,5 3
11–18 th 1 1 2–3
*Dalam g/kgBB/hr
Sumber: Kerner dan Hurwitz 2008

Elektrolit
Keseimbangan elektrolit harus tetap diperhatikan untuk mencegah
penyulit yang dapat timbul akibat gangguan keseimbangan
elektrolit
Tabel 209 Kebutuhan Elektrolit pada Anak
Elektrolit dan Mineral Kebutuhan Harian
Fosfat 0,5–2 mM/kgBB
Natrium 2–4 mEq/kgBB
Kalium 2–3 mEq/kgBB
Klorida 2–3 mEq/kgBB
Asetat 1–4 mEq/kgBB
Magnesium 0,25–0,5 mEq/kgBB
Kalsium glukonas 50–500 mg/kgBB
Sumber: Kerner dan Hurwitz 2008

Vitamin
Pemberian vitamin pada dukungan nutrisi parenteral secara ideal
harus tetap diberikan. Vitamin yang diberikan meliputi kelompok
vitamin yang larut dalam lemak dan air
Tabel 210 Rekomendasi Vitamin Parenteral
Vitamin Dosis Anak (/hr)
Larut lemak
A (μg) 700
E (mg) 7
K (μg) 200
D (μg) 10
(IU) 400
Larut air
Asam askorbat (mg) 80
Tiamin (mg) 1,2
Riboflavin (mg) 1,4
Piridoksin 1
Niasin (mg) 17
Pantotenat (mg) 5
Biotin (μg) 20
Folat (μg) 140
Vitamin B12 (μg) 1
Sumber: Kerner dan Hurwitz 2008

889
Trace Elements
Trace elements merupakan unsur penting yang harus diberikan
dalam dukungan nutrisi secara parenteral, meskipun dalam jumlah
yang kecil. Defisiensi trace elements dapat memperberat penyakit
penderita yang tentunya akan menghambat proses penyembuhan

Tabel 211 Rekomendasi Kebutuhan Trace Elements

Elemen Dosis Anak Dosis Maksimum


µg/kgBB/hr µg/hr
Zinc 50,0
Copper 20,0 300
Selenium 2,0 30
Chromium 0,2 5
Mangan 1,0 50
Iodida 1,0 1
Sumber: Kerner dan Hurwitz 2008

Penyulit Nutrisi Parenteral


Penyulit yang terjadi pada pemberian nutrisi parenteral dapat berupa
penyulit teknis, metabolik, maupun infeksi
Penyulit teknis dari penggunaan nutrisi parenteral meliputi
pneumotoraks, hemotoraks, hidromediastinum, trauma arteri,
laserasi arteri, hematoma, dan emboli kateter. Penggunaan kateter
dalam pemberian nutrisi parenteral berkaitan erat dengan infeksi,
biasanya berhubungan dengan perawatan kateter yang tidak baik
Penyulit metabolik berhubungan dengan penggunaan infus cairan
intravena, penggunaan karbohidrat dan protein, osteopenia
prematuritas, serta disfungsi hepatobilier. Disfungsi hepar merupa-
kan penyulit nutrisi parenteral yang paling sering dan berbahaya

Pemantauan Nutrisi Parenteral


Pemberian nutrisi parenteral membutuhkan pemantauan terutama
untuk menghindari penyulit metabolik karena pemberian makanan
melalui cara ini tidak melalui proses seleksi absorpsi, detoksifikasi
dan metabolisme nutrien, sehingga kemungkinan dapat terjadi
kelebihan atau toksisitas

890
Tabel 212 Pemantauan Nutrisi Parenteral
Pemeriksaan Nilai Awal Follow-up
Pertumbuhan
Berat badan Harian Harian–bulanan
Panjang/tinggi badan Mingguan–bulanan Bulanan
Lingkar kepala Mingguan Mingguan−bulanan
Komposisi tubuh Bulanan Bulanan−tahunan
Metabolisme (serum)
Elektrolit Harian–bulanan Mingguan–bulanan
BUN/kreatinin Mingguan Mingguan–bulanan
Ca, PO4, Mg 2× seminggu Mingguan–bulanan
Asam/basa Atas indikasi Mingguan–bulanan
Albumin/prealbumin Mingguan/2 mingguan 2 mingguan/bulanan
Glukosa Harian–mingguan Mingguan–bulanan
Trigliserida Harian bila ada perubahan Mingguan–bulanan
Tes hati Pada waktu 2 mgg Mingguan–bulanan
Darah lengkap Mingguan Mingguan–bulanan
Trombosit, PT/PTT Mingguan Mingguan–bulanan
Indikator besi Atas indikasi 3–4 bl
Trace elements Bulanan 2× setahun–tahunan
Vitamin larut lemak Atas indikasi 2× setahun–tahunan
Karnitin Atas indikasi 2× setahun–tahunan
Folat/B12 Atas indikasi 2× setahun–tahunan
Amonia Atas indikasi 2× setahun–tahunan
Metabolisme (air kemih)
Glukosa/keton 2–6× sehari Harian–mingguan
Berat jenis/urea Atas indikasi Atas indikasi
nitrogen
Lain-lain
Bone density Atas indikasi Atas indikasi
Cek line placement Awal, atas indikasi Setiap 6–12 bl
pertumbuhan
Perkembangan Bulanan Setiap 6–12 bl
Occupational therapy Pada 1 bl, atas indikasi Tahunan
Sumber: Prawirohartono 2011

Bibliografi
1. Alvarez Hernández J, Peláez Torres N, Muñoz Jiménez A. Clinical
use of enteral nutrition. Nutr Hosp. 2006 May;21(Suppl 2):85–97.
2. Bankhead R, Boullata J, Brantley S, Corkins M, Guenter P,
Krenitsky J, dkk. Enteral nutrition practice recommendations.
JPEN J Parenter Enteral Nutr. 2009 Mar–Apr;33(2):122–67.
3. Courtney E, Grunko A, McCarthy T. Enteral nutrition. Dalam:
Hendicks KM, Duggan C, penyunting. Manual of pediatric
nutrition. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker; 2005. hlm. 252–316.
4. Duggan C. Nutritional assessment in sick or hospitalized children.
Dalam: Hendicks KM, Duggan C, penyunting. Manual of pediatric
nutrition. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker; 2005. hlm. 239–51.

891
5. Forchielli ML, Bines J. Enteral nutrition. Dalam: Duggan C,
Watkins JB, Walker WA, penyunting. Nutrition in pediatrics: basic
science, clinical applications. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker;
2008. hlm. 766–75.
6. Johnson T, Sexton E. Managing children and adolescents on
parenteral nutrition: challenges for the nutritional support team.
Proc Nutr Soc. 2006 Aug;65(3):217–21.
7. Kerner JA, Hurwitz M. Parenteral nutrition. Dalam: Duggan C,
Watkins JB, Walker WA, penyunting. Nutrition in pediatrics: basic
science, clinical applications. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker;
2008. hlm. 777–93.
8. Lochs H, Dejong C, Hammarqvist F, Hebuterne X, Leon-Sanz M,
Schütz T, dkk. ESPEN guidelines on enteral nutrition:
gastroenterology. Clin Nutr. 2006 Apr;25(2):260–74.
9. Mascarenhas MR, Enriquez L. What is pediatric nutrition support.
Dalam: Baker SS, Baker RD, Davis AM, penyunting. Pediatric
nutrition support. Sudbury: Jones and Bartlett Publishers; 2007.
hlm. 123–33.
10. Prawirohartono, EP. Nutrisi parenteral. Dalam: Sjarif DR, Lestari
ED, Mexitalia M, Nasar SS, penyunting. Buku ajar nutrisi pediatrik
dan penyakit metabolik. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2011. hlm. 63–76.
11. Skipper A, Nelms MN. Methods of nutrition support. Dalam:
Nelms MN, Sucher K, Long S, penyunting. Nutrition therapy and
pathophysiology. Belmont: Thomson Brooks/Cole; 2007. hlm.
154–76.
12. Weissman TE, Wershil BK. Enteral feeding. Pediatr Rev. 2008
Mar;29(3):105−6.

892
DIET PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK
Definisi
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan suatu kondisi kerusakan
ginjal atau penurunan fungsi ginjal yang bersifat ireversibel dan dapat
bersifat progresif. Penyulit yang dapat terjadi pada penderita PGK
adalah malnutrisi, asidosis metabolik karena pengeluaran ion
hidrogen berkurang, gangguan pada tulang, ketidakseimbangan
mineral (kalsium, fosfor, dan vitamin D), anemia yang disebabkan
oleh gangguan eritropoesis, dan rendahnya cadangan zat besi
rendah, dan penyakit kardiovaskular
Tujuan
Anak PGK membutuhkan suatu rancangan dukungan nutrisi yang
optimal baik makronutrien maupun mikronutrien untuk mencegah
malnutrisi, penyulit PGK, dan penurunan rata-rata pertumbuhan
Tatalaksana diet pada anak PGK secara umum difokuskan pada
pembatasan asupan zat yang dapat berakumulasi menjadi kadar yang
toksik seperti kalium dan fosfor, pembatasan asupan natrium untuk
mengontrol volume dan tekanan darah, serta asupan protein dalam
jumlah yang cukup untuk mencegah malnutrisi. Diet anak PGK juga
harus memerhatikan risiko kesakitan dan kematian pada saat dewasa
nantinya
Pemberian Nutrisi pada Penderita PGK
Mencakup 5 komponen utama yaitu energi, makronutrien, cairan,
elektrolit, serta mikronutrien (kalsium, fosfor, dan vitamin D)
Pemberian dapat p.o. ataupun melalui selang bantu makan baik
secara NGT maupun pipa gastrostomi
Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi pada anak PGK sama dengan anak sehat. Target
asupan energinya 100% dari estimated energy requirement (EER)
berdasarkan usia dan jenis kelamin. Hal ini berlaku pada semua
stadium PGK (lihat Tabel 213)
Kebutuhan Makronutrien
Asupan makronutrien pada anak dengan PGK harus seimbang
Usia <1 th sesuai dengan yang terdapat pada susu formula
(karbohidrat 36–56%, lemak 40–54%, dan protein 7–12%)
Usia 1–3 th kebutuhan karbohidrat 45–65% dari total kalori,
lemak 30–40%, dan protein 5–20%
Usia 4–18 th kebutuhan karbohidrat 45–65%, lemak 25–35%,
dan protein 10–30%
Pemberian protein pada anak PGK harus diperhatikan. Hal ini
berkaitan dengan metabolisme protein pada ginjal sehingga
kebutuhan protein pada anak PGK harus diatur sedemikian rupa
untuk mencegah malnutrisi dan toksisitas dari hasil metabolisme
protein. Kebutuhan protein pada anak PGK disesuaikan dengan
usia dan stadium PGK (lihat Tabel 214)
893
Tabel 213 Kebutuhan Energi pada Anak dengan Penyakit Ginjal Kronik
PGK PGK Hemo- Peritoneal
Asupan Energi yang Direkomendasikan Stadium 3 Stadium 4–5 dialisis Dialisis
Usia (kkal/hr)
Estimated Energy Requirement (EER)
0–3 bl (89 × BB (kg) − 100) + 175 100% EER 100% EER 100% EER 100% EER
4–6 bl (89 × BB (kg) − 100) + 56
7–12 bl (89 × BB (kg) − 100) + 22
1–3 th (89 × BB (kg) − 100) + 20
3–8 th Laki-laki:
88,5 − 61,9 × usia (th) + PA × [26,7 × BB (kg) + 903 × TB (m)] + 20
Perempuan:
135,3 − 30,8 × usia (th) + PA × [10 × BB (kg) + 934 × TB (m)] + 20
9–18 th Laki-laki:
88,5 − 61,9 × usia (th) + PA × [26,7 × BB (kg) + 903 × TB (m)] + 25
867

Perempuan:
135,3 − 30,8 × usia (th) + PA × [10 × BB (kg) + 934 × TB (m)] + 25
Sumber: KDOQI Work Group 2009

Tabel 214 Kebutuhan Protein pada Anak dengan Penyakit Ginjal Kronik
Asupan Protein yang Direkomendasikan PGK Stadium 3 PGK Stadium 4–5 Hemodialisis Peritoneal Dialisis
Usia (g/kgBB/hr) Dietary Reference Intake (DRI)
0–6 bl 1,50 1,50–2,10 1,50–1,80 1,60 1,8
7–12 bl 1,20 1,20–1,70 1,20–1,50 1,30 1,5
1–3 th 1,05 1,05–1,50 1,05–1,25 1,15 1,3
4–13 th 0,95 0,95–1,35 0,95–1,15 1,05 1,1
14–18 th 0,85 0,85–1,20 0,85–1,05 0,95 1,0
Catatan: Pada keadaan hemodialisis DRI ditambahkan 0,1 g/kgBB/hr, sedangkan pada keadaan peritoneal dialisis DRI ditambahkan 0,15–0,3 g/kgBB/hr
Sumber: KDOQI Work Group 2009
Kebutuhan Cairan dan Elektrolit
Kebutuhan cairan dan elektrolit pada anak PGK harus dibatasi apabila
telah terjadi oligouria atau anuria untuk mencegah penyulit.
Kebutuhan cairan harian yang direstriksi dapat dirumuskan sebagai
berikut:

Daily fluid restriction = Insensible fluid losses + Urine output +


Amount to replace additional losses
Sumber: KDOQI Work Group 2009

Insensible fluid losses pada anak dibedakan berdasarkan kelompok usia,


untuk bayi prematur 40 mL/kgBB/hr, neonatus 20–30 mL/kgBB/ hr, dan
anak serta dewasa 20 mL/kgBB/hr atau 400 mL/m2
Kebutuhan elektrolit pada anak PGK disesuaikan dengan kondisi klinis
yang terjadi. Apabila didapatkan hipertensi atau kelebihan cairan
maka kebutuhan natrium harus dibatasi 1,5–2,4 g/hr atau setara
dengan 1–2 mmol/kgBB/hr. Apabila dilakukan hemodialisis atau
peritoneal dialisis maka kemungkinan dapat terjadi kehilangan
natrium sehingga perlu suplementasi natrium 2–4 mmol/kgBB/hr.
Kebutuhan kalium juga harus dibatasi untuk mencegah hiperkalemia.
Pada bayi dan anak dapat diberikan kalium 40–120 mg/hr atau 1–3
mg/kgBB/hr

Kebutuhan Mikronutrien
Mikronutrien seperti vitamin A, B1, B2, B3, B5, B6, B8, B12, C, K, zinc,
dan asam folat digunakan untuk membantu proses metabolisme.
Apabila kebutuhan mikronutrien tersebut tidak dapat terpenuhi
dalam kebutuhan harian dalam makanan, maka suplementasi
mikronutrien seperti vitamin dan mineral dapat diberikan pada anak
PGK
Pada anak PGK, keseimbangan kalsium di dalam tubuh mengalami
gangguan. Hal ini disebabkan karena peningkatan absorbsi kalsium
dalam usus dan berkurangnya kadar vitamin D dalam darah

Tabel 215 Rekomendasi Asupan Kalsium untuk Anak PGK Stadium 2–5

Usia DRI Batas Maksimal Batas Maksimal Untuk


(Untuk Anak Sehat) PGK Stadium 2–5
0–6 bl 210 ND ≤420
7–12 bl 270 ND ≤540
1–3 th 500 2.500 ≤1.000
4–8 th 800 2.500 ≤1.600
9–18 th 1.300 2.500 ≤2.500
Sumber: KDOQI Work Group 2009

Pada keadaan kekurangan vitamin D dapat diberikan suplementasi


vitamin D sebagai berikut:

895
Tabel 216 Rekomendasi Suplementasi Vitamin D pada Anak PGK
Dosis Ergocalciferol
Kadar 25(OH)D Definisi (Vitamin D2), Durasi
(ng/mL) serum Cholacalciferol (Bulan)
(Vitamin D3)
<5 Defisiensi vitamin D 8.000 IU/hr 3
berat
5–15 Defisiensi vitamin D 4.000 IU/hr 3
sedang
16−30 Insufisiensi vitamin D 2.000 IU/ hr 3
Sumber: KDOQI Work Group 2009

Pada anak PGK stadium 3–5 disarankan pengurangan asupan fosfor


apabila nilai paratiroid hormon serum di atas nilai kadar kisaran pada
PGK dan kadar fosfor serum dalam batas normal sesuai usia.
Makanan yang mengandung fosfor adalah buncis, kacang, sereal, dan
kacang polong. Apabila asupan fosfor telah direstriksi maka harus
dilakukan pemantauan konsentrasi fosfor dalam darah atau peme-
riksaan min. setiap 3 bl pada anak PGK stadium 3–4 dan setiap bl
pada anak PGK stadium 5
Bibliografi
1. Apostolou A, Karagiozoglou-Lampoudi T. Dietary adherence in
children with chronic kidney disease: a review of the evidence. J
Ren Care. 2014 Jun;40(2):125–30.
2. Armstrong JE, Laing DG, Wilkes FJ, Kainer G. Smell and taste
function in children with chronic kidney disease. Pediatr Nephrol.
2010 Aug;25(8):1497–1504.
3. Foster JB, McCauley L, Mak RH. Nutrition in infants and very
young children with chronic kidney disease. Pediatr Nephrol.
2012 Sep;27(9):1427 Nutrition in infants and very young children
with chronic kidney disease 39.
4. Garibotto G, Sofia A, Saffioti S, Bonanni A, Mannucci I, Parodi EL,
dkk. Effects of peritoneal dialysis on protein metabolism. Nutr
Metab Cardiovasc Dis. 2013 Dec;23(Suppl 1):S25–30.
5. Griffin LM, Denburg MR, Shults J, Furth SL, Salusky IB, Hwang W,
dkk. Nutritional vitamin D use in chronic kidney disease: a survey
of pediatric nephrologists. Pediatr Nephrol. 2013 Feb;28(2):265–
75.
6. Guyton AC, Hall JE, penyunting. Textbook of medical physiology.
Edisi ke-11. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006.
7. Harambat J, van Stralen KJ, Kim JJ, Tizard EJ. Epidemiology of
chronic kidney disease in children. Pediatr Nephrol. 2012 Mar;
27(3):363–73.
8. Insel P, Ross D, McMahon K, Bernstein M, penyunting. Dalam:
Nutrition. Edisi ke-4. Sudbury: John and Bartlett Publishers; 2010.
9. Kydney Disease Improving Global Outcomes. KDIGO 2012 clinical
practice guideline for the evaluation and management of chronic
kidney disease. Kidney Int Suppl. 2013 Jan;3(1):1–150.
896
10. KDOQI Work Group. KDOQI clinical practice guideline for
nutrition in children with CKD: 2008 update. Executive summary.
Am J Kidney Dis. 2009 Mar;53(3 Suppl 2):S11–104.
11. Kovesdy CP. Significance of hypo- and hypernatremia in chronic
kidney disease. Editorial Review. Nephrol Dial Transplant. 2012
Mar;27(3):891–8.
12. Massengill SF, Ferris M. Chronic kidney disease in children and
adolescents. Pediatr Rev. 2014 Jan;35(1):16–29.
13. National Kydney Disease Education Program. Chronic kidney
disease (CKD) and diet: assessment, management, and
treatment. Treating CKD patients who are not on dialysis. An
overview guide for dietitians. Revised June 2014 [diunduh 12
September 2014]. Tersedia dari: http://nkdep.nih.gov/resources/
ckd-diet-assess-manage-treat-508.pdf.
14. Oliveira CM, Kubrusly M, Mota RS, Silva CA, Oliveira VN.
Malnutrition in chronic kidney failure: what is the best diagnostic
method to assess? J Bras Nefrol. 2010 Mar;32(1):55–68.
15. Rees L, Jones H. Nutritional management and growth in children
with chronic kidney disease. Pediatr Nephrol. 2013 Apr;28(4):
527–36.
16. Sienna JL, Saqan R, Teh JC, Frieling ML, Secker D, Cornelius V,
dkk. Body size in children with chronic kidney disease after
gastrostomy tube feeding. Pediatr Nephrol. 2010 Oct;25(10):
2115–21.
17. Sozeri B, Mir S, Kara OD, Dincel N. Growth impairment and
nutritional status in children with chronic kidney disease. Iran J
Pediatr. 2011 Sep;21(3):271−7.
18. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of anatomy and physiology,
atlas and registration card. Edisi ke-11. Danvers: Biological
Sciences Textbooks Inc. and Bryan Derrickson; 2006.
19. Walker K. Guidelines for the nutritional management of children
with renal disease. Dietetics Department Royal Hospital for Sick
Children, Women and Children’s Directorate. March 2013
[diunduh 12 September 2014]. Tersedia dari: http://www.clinical
guidelines.scot.nhs.uk/Dietetics/YOR-DIET-001%20Nutritional%2
0Management%20of%20Children%20With%20Renal%20Disease
%20March%202012.pdf.
20. Wright
th
M, Jones C. Clinical practice guidelines. Nutrition in CKD.
5 Edition, 2009–2010 [diunduh 12 September 2014]. Tersedia
dari: http://www.renal.org/docs/default-source/guidelines-reso
urces/Nutrition_in_CKD_-_Final_Version_-_17_March_2010.pdf?
sfvrsn=0.

897
Respirologi
Cissy B. Kartasasmita
Adi Utomo Suardi
Heda Melinda Nataprawira
Sri Sudarwati
Diah Asri Wulandari
RINITIS (COMMON COLD)
Batasan
Penyakit infeksi saluran respiratori atas yang bersifat akut, dapat
sembuh sendiri (self-limiting) dan disebabkan oleh infeksi virus

Etiologi
Virus:
Rhinovirus (30–50%)
Coronavirus (10–15%)
Virus influenza (5–15%)
Respiratory syncytial virus/RSV (5%)
Virus parainfluenza (5%)
Adenovirus (5%)
Gejala klinis yang terjadi biasanya karena respons imunitas innate,
bukan karena kerusakan akibat virus
Patogenesis
Infeksi virus pada mukosa nasofaring tidak menyebabkan langsung
manifestasi klinis, tetapi melalui respons inflamasi. Virus yang masuk
terdeposit pada mukosa hidung dan konjungtiva → melekat pada
reseptor di nasofaring → masuk dan menginfeksi → sel terinfeksi
melepas sitokin (IL-8) yang merupakan kemoatraktan bagi sel
polymorphonuclear (PMN) → permeabilitas vaskular ↑ dan cairan
plasma (bradikinin, albumin) keluar → sekresi nasal ↑
Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Gejala berupa bersin, hidung tersumbat, pilek, nyeri tenggorokan,
batuk, demam tidak begitu tinggi, sakit kepala ringan, mata berair,
dan malaise
Masa inkubasi 24–72 jam
Gejala juga dapat bergantung pada usia:
Bayi: demam, pilek, tidak mau makan, rewel
Usia sekolah: hidung tersumbat, batuk berdahak, bersin-bersin
Pemeriksaan Fisis
Hidung: sekret hidung (+) jernih dan encer tetapi dapat menjadi
lebih kental dan berwarna kekuningan sesudah beberapa hari,
edema dan hiperemis mukosa (+)
Demam tidak begitu tinggi, limfadenopati servikal anterior →
jarang
Diagnosis Banding
Rinitis alergi
Benda asing
Rinitis vasomotor
Rinitis medikamentosa
Rinosinusitis

901
Penyulit
Sinusitis bakterial akut
Infeksi saluran respiratori akut bawah (bronkiolitis karena infeksi
RSV)
Otitis media akut (risiko meningkat pada anak usia 6–11 bl)
Konjungtivitis
Faringitis
Tatalaksana
Terapi suportif, cairan dan makanan diberikan secukupnya
Demam → obat penurun panas (pemberian aspirin tidak disarankan
karena efek samping Reye’s syndrome)
Antibiotik tidak dibenarkan kecuali ada komplikasi infeksi bakteri
Zinc dapat dipertimbangkan, karena dapat mengurangi hari sakit,
walaupun sampai saat ini masih menjadi perdebatan
Edukasi kepada orangtua penting untuk menjelaskan perjalanan
penyakit dan terapi yang diberikan
Pencegahan
Mencuci tangan secara teratur dan tidak menyentuh mulut, hidung,
dan mata secara sembarangan
Disinfeksi
Imunisasi
Probiotik (beberapa penelitian menunjukkan ↓ angka kejadian sakit)
Bibliografi
1. Centers for Disease Control. Rhinitis versus sinusitis in children. 2012.
[diunduh 28 Agustus 2012]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/
getsmart/campaign–materials/info–sheets/child–rhin–vs–sinus.
2. Goldman RD, Canadian Paediatric Society, Drug Therapy and
Hazardous Substances Committee. Treating cough and cold:
guidance for caregivers of children and youth. Pediatr Child
Health. 2011 Nov;16(9):564–6.
3. Pappas DE, Hendley JO. The common cold and decongestant
therapy. Pediatr Rev. 2011 Feb;32(2):47–54.
4. Roxas M, Jurenka J. Colds and influenza: a review of diagnosis
and conventional, botanical, and nutritional consider. Altern
Med Rev. 2007 Mar;12(1):25–48.
5. Science M, Johnstone J, Roth DE, Guyatt G, Loeb M. Zinc for the
treatment of the common cold: a systematic review and meta-
analysis of randomized controlled trials. CMAJ. 2012 Jul;184(10):
E551–61.
6. Turner RB. Hayden GF. The common cold. Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelpia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 5144–54.

902
RINOSINUSITIS
Sinus paranasal merupakan lokasi yang sering terinfeksi pada anak
dan remaja. Infeksi sinus paranasal sering menyebabkan morbiditas
dan dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa. Infeksi
saluran respiratori atas yang disebabkan oleh virus kebanyakan
terdapat pada hidung dan sinus paranasal (viral rinosinusitis).
Penyebab bakteri biasanya hanya melibatkan sinus paranasal
sedangkan hidung hanya terlibat sebagai saluran yang dilalui oleh
sekret yang diproduksi sinus. Faktor predisposisi sinusitis yang
disebabkan bakteri yaitu infeksi respiratori atas (IRA) yang
disebabkan oleh virus (80%) serta reaksi inflamasi yang disebabkan
alergi (20%)
Batasan
Sinusitis sering kali disebut juga sebagai rinosinusitis karena
umumnya muncul bersamaan dan terdapat bukti keterlibatan
mukosa nasal selama berlangsungnya sinusitis
Rinosinusitis: peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasalis
Rinosinusitis terbagi atas:
Rinosinusitis akut: berlangsung selama ≤4 mgg
Rinosinusitis subakut: 4–12 mgg
Rinosinusistis kronik: gejala berlangsung >12 mgg
Rinosinusitis rekurens: 3 episode atau lebih selama 1 th tanpa
gejala yang menetap antarepisode
Etiologi
Virus, bakteri (S. pneumoniae, H. influenzae, M. catarrhalis), defi-
siensi imun, fibrosis kistik, disfungsi silier, refluks gastrointestinal,
defek anatomis seperti cleft palate, polip hidung, benda asing di
hidung (termasuk pipa nasogastrik)
Klasifikasi
Berdasarkan etiologi mikroorganisme penyebab sinusitis akut:
Sinusitis viral
Sinusitis yang disebabkan virus biasanya dimulai dengan nyeri
tenggorokan yang diikuti suara serak dan batuk. Demam
biasanya terjadi pada awal penyakit dan menghilang dalam 1–2
hr. Hidung tersumbat dan hidung meler merupakan gejala yang
dominan dengan karakter sekret yang pada awal bersifat jernih
dan encer lama-kelamaan menjadi mukoid dan keruh. Saat akan
membaik sekret akan mengering atau kembali menjadi encer
dan jernih. Gejala ini berlangsung selama 10 hr
Sinusitis bakterialis akut
Gejala IRA atas menetap yaitu >10 hr (0,5–2%) merupakan
komplikasi IRA atas
Demam tinggi >38,5 °C (3–4 hr) disertai dengan sekret nasal
yang purulen
Pada anak besar dapat mengeluh nyeri fokal pada wajah

903
Pola gejala bifasik yaitu sesudah gejala IRA membaik, 1 mgg
kemudian mengalami perburukan berupa demam tinggi, hidung
tersumbat dan sekret hidung purulen
Diagnosis
Diagnosis klinis sinusitis bakterial akut pada anak ≤6 th harus
didasarkan dari riwayat penyakit/kriteria klinis
Anamnesis
Gejala utama
Hidung tersumbat
Sekret hidung jernih sampai purulen
Anterior/postnasal drip
Nyeri wajah
Gejala lain
Demam (>39 °C)
Batuk
Malaise
Sakit kepala
Napas berbau (halitosis)
Edema periorbital
Pemeriksaan Fisis
Hidung: mukosa eritema dan bengkak; sekret (+)
Sinus: sinus tenderness
Transiluminasi rongga sinus → cairan dalam sinus (sulit dilakukan
pada anak dan kurang dapat dipercaya)
Pemeriksaan Penunjang
Foto sinus (foto Water): penebalan mukosa dan opasifikasi sinus
atau air-fluid level (menunjukkan inflamasi sinus, tetapi tidak
dapat membedakan virus atau bakteri atau alergi sebagai
penyebab inflamasi)
Catatan: Batuk pilek (common cold) sering kali memberikan
gambaran keterlibatan sinus, oleh karena itu melakukan
pemeriksaan foto sinus harus dipertimbangkan secara hati-hati.
Pemeriksaan radiologis tidak rutin dilakukan pada pengelolaan
awal untuk kecurigaan sinusitis bakterial akut tanpa komplikasi.
Pemeriksaan radiologis tidak diperlukan untuk memastikan
diagnosis
CT-scan sinus paranasalis dilakukan apabila operasi merupakan
penatalaksanaan yang dipertimbangkan dilakukan pada gejala
yang berat, rekurens atau sebelum operasi, penderita imuno-
kompromais, dan kecurigaan komplikasi
Diagnosis Banding
Infeksi saluran respiratori atas akibat virus: demam, batuk, pilek
<10–14 hr, didahului demam
Rinitis alergika: biasanya musiman dan ditemukan eosinofilia pada
pemeriksaan sekret hidung

904
Rinitis nonalergika
Benda asing dalam hidung
Penyulit
Orbital
Selulitis periorbital: eritema dan pembengkakan jaringan sekitar bola
mata
Selulitis orbital: proptosis, kemosis, ketajaman penglihatan ↓,
penglihatan ganda, gangguan pergerakan mata, nyeri mata
Intrakranial
Meningitis, trombosis sinus kavernosus, empiema subdural, abses
epidural, abses otak, osteomielitis tulang frontal
Apabila diidentifikasi kecurigaan penyulit → terapi antibiotik agresif
dan rujuk THT atau mata atau bedah saraf
Tatalaksana
Antibiotik
Amoksisilin 50 mg/kgBB/hr atau amoksisilin dan asam klavulanat
(amoksisilin dosis standar) p.o dibagi 2 dosis → faktor risiko (−)
untuk S. pneumoniae resisten-penisilin yaitu:
Tinggal di penitipan anak
Baru mendapat antibiotik (<30 hr)
Usia <2 th
Terpajan lingkungan asap rokok
Apabila tidak berespons dalam 72 jam → amoksisilin dan asam
klavulanat dosis tinggi
Amoksisilin dosis tinggi (80–90 mg/kgBB/hr) atau amoksisilin dan
asam klavulanat (amoksisilin dosis tinggi) p.o dibagi 2 dosis →
faktor risiko (+), diberikan selama 10–14 hr
Tidak berespons dalam 72 jam → sefuroksim 30 mg/kgBB/hr dibagi
2 dosis atau sefpodoksim 10 mg/kgBB → 1×/hr (antibiotik lini ke-2)
Klindamisin dan sefiksim (antibiotik lini ke-3) → gagal dengan lini
ke-2
Klaritromisin/azitromisin/trimetoprim-sulfametoksazol → bila
alergi penisilin
Sinusitis frontalis → seRriakson parenteral
Lama terapi: bersifat individual dan berlangsung sampai 7 hr bebas
gejala (min. 10–14 hr)
Obat batuk dan obat utuk mengatasi kongesti → tidak rutin
Konsultasi
Bila tidak menunjukkan respons dengan terapi awal (min. sesudah
6 mgg pemberian antibiotik) → konsul THT
Bila diperlukan → konsul mata
Bibliografi
1. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Management
of Sinusitis and Committee on Quality Improvement. Clinical
practice guideline: management of sinusitis. Pediatrics. 2001
Sep;108(3):798–808.

905
2. CDC. Rhinitis versus sinusitis in children [diunduh 28 Agustus
2012]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/getsmart/campaign-
materials/info-sheets/child-rhin-vs-sinus.
3. Centers for Disease Control. Careful antibiotic use [diunduh 28
Agustus 2012]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/getsmart/
campaign-materials/info-sheets/child-approp-treatmt.
4. Chow AW, Benninger MS, Brook I, Brozek JL, Goldstein EJ, Hicks
LA, dkk. IDSA clinical practice guideline for acute bacterial
rhinosinusitis in children and adults. Clin Infect Dis. 2012 Apr;
54(8):e72–112.
5. DeMuri GP, Wald ER. Complications of acute bacterial sinusitis in
children. Pediatr Infect Dis J. 2011 Aug;30(8):701–2.
6. Desrosiers M, Gerald AE, Keith PK, Wright ED, Kaplan A,
Bouchard J, dkk. Canadian clinical practice guidelines for acute
and chronic rhinosinusitis. Allergy Asthma Clin Immunol. 2011
Feb;7(2):1–2.
7. Dowell SF, Schwartz B, Phillips WR. Evidence-based cure
guideline for medical management of acute bacterial sinusitis in
children 1 through 17 years of age [diunduh 26 Juli 2012].
Tersedia dari: http://www.cincinnatichildrens.org/svc/alpha/h/hea
th-policy/ev-based/sinus.htm.
8. Leung RS, Katial R. The diagnosis and management of acute and
chronic sinusitis. Prim Care. 2008 Mar;35(1):11–24.
9. McQuillan L, Crane LA, Kempe A. Diagnosis and management of
acute sinusitis by pediatrician. Pediatrics. 2009 Feb;123(2):e193–8.
10. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis diagnosis management
for clinician: a synopsis of recent consensus guideline. Mayo
Clinic Proc. 2011 May;86(5):427–43.
11. Pappas DE, Hendley JO. Sinusitis. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi Ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 1436–9.
12. Ramadan HH. Chronic rhinosinusitis in children. Int J Pediatr.
2012;2012:573942.
13. Shapiro DJ, Gonzales R, Cabana MD, Hersh AL. National trends in
visit rates and antibiotic prescribing for children with acute
sinusitis. Pediatrics. 2011 Jan;127(1):28–34.

906
FARINGITIS AKUT

Batasan
Peradangan akut pada saluran respiratori atas yang meliputi faring
dan tonsil sehingga sering disebut tonsilofaringitis
Etiologi
Faringitis akut dapat disebabkan oleh virus (adenovirus, influenza
virus tipe A dan B, parainfluenza virus tipe 1−4, enterovirus) atau
bakteri yang tersering adalah group A β-hemolytic streptococci=
GABHS). Faringitis streptokokus terjadi pada semua usia, tersering
pada anak sekolah dan remaja dan jarang pada anak <3 th
Diagnosis
Anamnesis
Dapat ditemukan keluhan demam, lesu, nafsu makan ↓, suara
serak, batuk, dan pilek
Gejala dan tanda faringitis GABHS sering tumpang tindih dengan
faringitis yang bukan disebabkan GABHS, sehingga tidak mungkin
menegakkan diagnosis hanya berdasarkan temuan klinis. Tidak
satupun dari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis yang dapat
memastikan atau menyingkirkan faringitis GABHS
Pemeriksaan Fisis
Faring hiperemis dan tonsil membesar, kadang-kadang disertai
eksudat/lakuna, petekia pada palatum mole, pembesaran kelenjar
getah bening leher anterior yang nyeri pada penekanan

Tabel 217 Sistem Skoring (Modified Centor Score) untuk Memper-


kirakan Faringitis Group A β–hemolytic Streptococci
Kriteria Skor
Demam (suhu >38 °C) 1
Batuk (−) 1
Nodus kenyal, nyeri pada servikal anterior 1
Pembesaran tonsil 1
Usia (th)
3–<15 1
15–<45 0
≥45 −1
*Skor 0/(−): 1–2,5%; skor 1: 5–10%; skor 2: 11–17%;
skor 3: 28–35%; skor 4: 51–53%
Sumber: Wessel 2011

Pemeriksaan Penunjang
Rapid antigen detection
Kultur apus tenggorok

907
Tatalaksana
Umum: istirahat, analgetik
Khusus: antibiotik (pada infeksi GAHBS)
Penisilin V merupakan antibiotik pilihan, dosis 40 mg/kgBB/hr p.o.
selama 10 hr. Apabila tidak tersedia berikan amoksisilin oral (mem-
punyai efektivitas yang sama dengan penisilin V) 20 mg/kgBB/hr
2×/hr diberikan selama 10 hr atau 50 mg/kgBB/hr 1×/hr (maks. 1 g)
selama 10 hr. Pada keadaan ringan direkomendasikan 12,5
mg/kgBB/dosis, 2×/hr atau 10 mg/kgBB/dosis 3×/hr. Pada keadaan
berat 22,5 mg/kgBB/dosis, 2×/hr atau 13,3 mg/kgBB/dosis 3×/hr
Sefadroksil 30 mg/kgBB/hr 1×/hr selama 10 hr
Antibiotik untuk anak yang alergi penisilin:
Eritromisin estolate 20–40 mg/kgBB/hr selama 10 hr
Klindamisin 30 mg/kgBB/hr 2×/hr (maks. 1,8 g/hr) selama 10 hr
Azitromisin 12 mg/kgBB/hr 1×/hr (maks. 500 mg) selama 5 hr
Klaritromisin 15 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis (maks. 250 mg)
selama 10 hr
Amoksisilin klavulanat 40 mg/kgBB/hr, 3×/hr selama 10 hr
Penyulit
Komplikasi Supuratif
Limfadenitis servikal, abses peritonsiler, abses retrofaringeal, otitis
media, mastoiditis, sinusitis
Komplikasi ini terjadi apabila tanda dan gejala tidak mendapat
pengobatan seharusnya
Sekuele Nonsupuratif
Demam reumatik akut, glomerulonefritis akut poststreptokokal,
Sydenham chorea, artritis reaktif
Bibliografi
1. Asher MI, Grant CC. Infection of the upper respiratory tract.
Dalam: Taussig LM, Landau LI, Souef PN, Morgan WJ, Martinez
FD, Sly PD, penyunting. Pediatric respiratory medicine. Edisi ke-2.
Phyladelphia: Elsevier; 2008. hlm. 453–80.
2. Chiappini E, Regoli M, Bonsignori F, Sollai S, Parretti A, Galli L,
dkk. Analysis of different recommendations from international
guidelines for the management of acute pharyngitis in adults and
children. Clin Ther. 2011 Jan;33(1):48–58.
3. Wessel MR. Clinical practice. Streptococcal pharyngitis. N Engl J
Med. 2011 Feb;364(7):648–55.

908
OTITIS MEDIA AKUT
Batasan
Peradangan akut pada saluran telinga bagian tengah
Etiologi
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Branhamella
catarrhalis, Streptococcus β hemolyticus group A, Staphylococcus
aureus
Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan demam tinggi yang
sering kali dirasakan terus-menerus disertai dengan nyeri telinga
dan pendengaran berkurang
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan otoskop: membran timpani hiperemis dan menonjol
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti bila memenuhi 3 kriteria, yaitu onset cepat, tanda
efusi telinga tengah, gejala inflamasi telinga tengah
Kondisi ringan: otalgia ringan dan demam <39 °C
Kultur sekret telinga
Tatalaksana
Umum
Istirahat dan pemberian analgesik
Khusus
Tabel 218 Pemberian Antibiotik
Usia Diagnosis Pasti Diagnosis Tidak Pasti
<6 bl Terapi antibiotik Terapi antibiotik
6 bl–2 th Terapi antibiotik Terapi antibiotik
bila kondisi berat,
observasi 48–72
jam bila kondisi
ringan
≥2 th Terapi antibiotik bila kondisi berat, Observasi
observasi 48–72 jam bila kondisi ringan
Pemberian agen topikal*
Siprofloksasin/hidrokortison
3 tetes, 2× sehari
Hidrokortison/neomisin/polimiksin B
4 tetes, 3–4× sehari
Ofloksasin
5 tetes, 2× sehari
*Obat ini digunakan 7–10 hr kronik supuratif otitis media
Sumber: Ramakrishnan dkk. 2007

909
Antibiotik
Amoksisilin (pilihan utama) pada otitis media tanpa komplikasi.
Pilihan antibiotik lain: amoksisilin + asam klavulonat, eritromisin +
sulfonamid, azitromisin, klaritromisin, serta sefalosporin generasi
ke-2 dan 3 (seperti: sefiksim, seprozil, sefuroksim)
Dosis:
Amoksisilin 80−90 mg/kgBB/hr selama 10 hr
Bila alergi terhadap penisilin:
Azitromisin 10 mg/kgBB pada hr pertama selanjutnya 5
mg/kgBB selama 4 hr dosis tunggal
Klaritromisin 15 mg/kgBB selama 10 hr atau 5−7 hr bila ber-
usia ≥6 th
Sefuroksim 30 mg/kgBB terbagi dalam 2 dosis
Seftriakson 50 mg/kgBB selama 1–3 hr
Miringektomi
Indikasi:
Anak dengan kondisi berat
Imunokompromais
Neonatus usia <2 mgg
OMA berulang
Bibliografi
1. Choby BA. Diagnosis and treatment of strephtococcal
pharyngitis. Am Fam Physician. 2009 Mar;79(5):383–90.
2. Gould JM, Matz PS. Otitis media. Pediatr Rev. 2010 Mar;31(3):
102–16.
3. Guasekera H, Morris PS, McIntyre P, Craig JC. Management of
children with otitis media: a summary of evidence from recent
systematic reviews. J Pediatr Child Health. 2009 Oct;45(10):554–
62.
4. Ramakrishnan K, Sparks RA, Berryhill WE. Diagnosis and
treatment of otitis media. Am Fam Physician. 2007 Dec;76(11):
1650–8.

910
SINDROM CROUP
Batasan
Kelompok penyakit yang bervariasi dalam hal anatomik yang terlibat
dan mikroorganisme penyebab. Sering kali mengenai anak dan
bermanifestasi suara serak, batuk menggonggong, stridor inspirasi,
dan berbagai derajat distres pernapasan
Epidemiologi
Sindrom croup meliputi 15% penyakit yang sering dijumpai. Insidensi
1,5–6% terutama pada usia 13–24 bl. Umumnya menyerang anak
usia 6 bl–4 th
Klasifikasi
Sindrom croup meliputi:
Laringotrakeobronkitis viral
Spasmodic croup
Epiglotitis
Trakeitis bakteri
Abses peritonsilar
1. Laringotrakeobronkitis atau Disebut juga Viral Croup
Batasan
Penyakit infeksi saluran respiratori yang menyebabkan pada
daerah laring dan faring obstruksi saluran respiratori atas
Etiologi
Parainfluenzae virus tipe 1, 2, 3, influenzae virus A dan B, RSV,
adenovirus, herpes virus, human metapneumovirus. Infeksi bakteri
jarang terjadi
Manifestasi Klinis
Sering terjadi pada usia 3 bl–3 th. Gejala didahului dengan
rhinorrhea, faringitis, dan panas badan tidak begitu tinggi selama
beberapa hr, dapat juga disertai dengan batuk ringan. Dalam
waktu 12–48 jam mulai tampak gejala obstruksi saluran respiratori
atas. Anak mulai mengalami batuk menggonggong, suara serak,
dan stridor inspirasi dengan atau tanpa demam. Gejala umumnya
mulai membaik dalam 3–7 hr. Pada kasus berat, manifestasi klinis
dapat berlangsung 7–14 hr
Pemeriksaan Fisis
Takipnea, faring hiperemis/normal, coryza, demam
Pemeriksaan Penunjang
Leukosit >10.000/mm3 (predominasi PMN), foto Rontgen soft
tissue leher menunjukkan penyempitan di daerah subglotis
(steeple sign)

911
2. Spasmodic Croup
Batasan
Penyakit yang ditandai dengan terbangunnya anak tiba-tiba pada
malam hari menunjukkan stridor, batuk menggonggong, dan suara
parau
Etiologi
Belum jelas, mungkin berhubungan dengan reaksi alergi terhadap
antigen virus, sering muncul pada anak dengan faktor atopi
Manifestasi Klinis
Anamnesis
Sering terjadi pada usia 3 bl–3 th
Gejala muncul tiba-tiba, biasanya anak terbangun dari tidurnya
pada malam hari dengan gejala sesak napas dan stridor,
umumnya tanpa panas badan
Gejala obstruksi berupa stridor, batuk menggonggong, dan
suara parau dapat bersifat ringan atau sedang, jarang terjadi
berat atau progresif
Keadaan ini dapat sembuh spontan atau muncul berulang
Pemeriksaan Fisis
Mukosa laring tampak pucat
Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen toraks: dapat ditemukan gambaran thumb sign
akibat pembengkakan epiglotis
3. Epiglotitis
Batasan
Keadaan yang mengancam jiwa anak akibat obstruksi saluran
respiratori yang disebabkan peradangan akut disertai edema pada
daerah supraglotis laring yang meliputi epiglotis beserta plika
ariepiglotika dan hipofaring dan disebut juga supraglotitis
Etiologi
Haemophilus influenzae tipe B (99%), Streptococcus β hemolyticus
group A, Staphylococcus aureus (jarang)
Manifestasi Klinis
Anamnesis
Paling sering pada anak 2–7 th
Gejala klinis muncul tiba-tiba dengan panas badan tinggi, sakit
tenggorokan, nyeri menelan, batuk, dan dalam beberapa jam
cepat menjadi progresif, sehingga muncul stridor inspirasi,
disfagia, megap-megap, pucat, gelisah, sianosis, dan tampak
toksik
Pada anak yang besar biasanya berada dalam posisi duduk
membungkuk ke depan, mulut terbuka, lidah menjulur, dan air
liur menetes (tripod sign)
Biasanya tidak didahului infeksi saluran respiratori atas
912
Pemeriksaan Fisis
Menunjukkan tanda/gejala distres pernapasan
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang hanya boleh dilakukan dalam ruang
perawatan intensif
Leukositosis dengan pergeresan ke kiri
Foto Rontgen soft tissue leher AP menunjukkan pembesaran
dan pembengkakan epiglotis serta pelebaran hipofaring
Gambaran radiologi khas yaitu thumb print like pada epiglotis
yang membengkak
Laringoskopi: epiglotis tampak pucat
4. Trakeitis Bakteri
Batasan
Keadaan yang mengancam jiwa akibat infeksi bakteri akut pada
saluran respiratori atas yang tidak melibatkan epiglotis, sehingga
menimbulkan obstruksi saluran respiratori yang berat dan dapat
berakhir dengan kematian
Biasanya epiglotitis dapat juga ditemukan pada trakeitis bakteri
Sering juga disebut sebagai pseudomembranous croup
Etiologi
Staphylococcus aureus (terbanyak), Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenza tipe B, M. catarrhalis
Manifestasi Klinis
Biasanya menyerang anak <3 th
Batuk menggonggong, stridor inspirasi, dan panas tinggi diawali
dengan infeksi saluran respiratori atas ringan beberapa hari
sebelumnya
Penderita tampak toksik dengan distres napas dan obstruksi
saluran respiratori
Gejala lainnya seperti tercekik, ortopnea, nyeri menelan, sering
disertai infeksi penyerta terutama pneumonia
Pemeriksaan Penunjang
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
Radiologi: foto Rontgen soft tissue leher AP menunjukkan
penyempitan di daerah subglotis. Foto Rontgen soft tissue leher
lateral menunjukkan kolom trakea tampak buram dengan
iregularitas pada jaringan lunak luminal. Laringoskopi: tampak
banyak sekret kental di trakea
5. Abses Retrofaringeal
Etiologi
Staphylococcus aureus, beberapa spesies Streptococcus,
Haemophilus influenzae B
Manifestasi Klinis
Biasanya menyerang anak <6 th
Gejala biasanya tidak spesifik
913
Anak dapat mengalami panas badan tinggi, disfagia, serta nyeri
dan kekakuan pada leher, stridor, drooling
Pemeriksaan Fisis
Terkadang dapat ditemukan massa retrofaringeal atau massa pada
leher yang dapat terlihat dari luar dan teraba, serta panas badan
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: leukositosis dengan pergeseran ke kiri (shift to the
left)
Radiologi: foto Rontgen soft tissue leher lateral menunjukkan
pelebaran jaringan lunak di daerah prevertebral
Tabel 219 Penilaian Derajat Croup (Westley Score)
Indikator Skoring
Stridor inspiratori
Tidak ada 0
Hanya dengan aktivitas 1
Saat istirahat 2
Retraksi interkostal
Tidak ada 0
Ringan 1
Sedang 2
Berat 3
Udara masuk
Normal 0
Berkurang sedikit 1
Berkurang banyak 2
Sianosis
Tidak ada 0
Saat aktivitas 4
Saat istirahat 5
Tingkat kesadaran
Normal 0
Terganggu 5
Sumber: Malhotra dan Krilov 2011
Keterangan: <4: derajat ringan; 4–6: derajat sedang; >6: derajat berat

Tatalaksana
Penguapan
Tidak terbukti efikasi terapi penguapan pada croup
Oksigen
Oksigen diberikan pada anak dengan hipoksia (saturasi oksigen
pada udara ruangan <92%) dan distres pernapasan yang signifikan
Analgesik dan Antipiretik
Tidak ada penelitian tentang penggunaan analgesik atau antipiretik
pada anak dengan croup. Penggunaan analgesik atau antipiretik

914
membuat anak lebih nyaman karena dapat ↓ gejala demam dan
nyeri

Antitusif dan Dekongestan


Tidak ada penelitian tentang penggunaan antitusif dan
dekongestan pada anak dengan croup, serta tidak ada dasar
rasional dalam penggunaannya sehingga tidak boleh diberikan
pada anak dengan croup

Antibiotik
Epiglotitis: antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga
(seftriakson atau sefotaksim) selama 7–10 hr. Kloramfenikol
selama 5 hr sama efektifnya dengan pemberian seftriakson.
Trakeitis bakteri dan abses retrofaring: antibiotik spektrum luas
selama 10–14 hr i.v.

Epinefrin
Nebulisasi epinefrin sering kali digunakan untuk meredakan gejala
viral croup. Tetapi hal ini dapat menimbulkan beberapa efek
samping seperti takikardia dan hipertensi. Selain itu, efeknya
hanya sebentar (<2 jam) dan segera sesudah efek tersebut hilang,
maka gejala akan muncul kembali (rebound phenomenon).
Epinefrin dibatasi pada serangan viral croup. Nebulisasi epinefrin
1/1.000 0,4–0,5 mL/kgBB (maks. 5 mL) tanpa diencerkan
mempunyai efektivitas dengan rasemic epinefrin: epinefrin 2,25%,
0,5 mL dilarutkan dengan 4,5 mL NaCl fisiologis
Penderita harus diobservasi selama 6 jam sesudah nebulisasi.
Pemberian epinefrin dapat diulang
Continuous epinefrin digunakan pada anak yang mendapat
perawatan di ICU

Kortikosteroid
Kortikosteroid terbukti dapat mengurangi edema pada mukosa
laring
Dosis deksametason 0,15–0,6 mg/kgBB (maks. 10 mg/hr) p.o. atau
nebulisasi steroid → budesonid, flutikason)
Efektivitas steroid oral sama dengan nebulisasi
Pemberian oral lebih disukai karena tidak menimbulkan traumatis
Hasil penelitian penggunaan kortikosteroid:
Kortikosteroid mengurangi jumlah dan lama intubasi, kebutuh-
an untuk reintubasi, frekuensi serta durasi rawat inap, dan
frekuensi kembali ke dokter atau pusat pelayanan kesehatan
untuk gejala croup yang persisten
Gejala croup lebih ringan dan gangguan tidur lebih ringan dalam
24 jam sesudah terapi
Orangtua penderita mengalami stres yang lebih ringan dalam 24
jam sesudah terapi
Biaya pengobatan ↓

915
Tidak ditemukan efek samping, kecuali anak yang mengalami
defisiensi imun atau baru terinfeksi varisela
Tidak ada penelitian kontrol yang sudah dipublikasikan yang
membuktikan bahwa pemberian kortikosteroid dengan dosis
multipel memberikan keuntungan yang lebih besar dibanding-
kan dengan dosis tunggal
Pada anak dengan muntah → gunakan steroid hirupan
Penderita dengan ancaman gagal napas → budesonid diberikan
bersamaan dengan epinefrin

Intubasi Endotrakea
Perlu dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respons
atau mengalami tanda hiperkarbia dan gagal napas seperti stridor
yang bertambah berat, takikardia, takipnea, retraksi, sianosis, atau
gangguan kesadaran

Drainase
Perlu dilakukan pada kasus abses retrofaringeal

916
Tabel 220 Algoritme Penatalaksanaan Croup
Penilaian Derajat
Obstruksi Jalan Napas
Ringan Sedang Berat Mengancam Jiwa
Status mental normal Cemas, letih Gelisah, sangat lelah Kebingungan, mengantuk
Tidak ada stridor atau Stridor ketika istirahat
hanya ketika terjadi distres
Tidak ada atau sedikit Penggunaan sedikit otot Penggunaan otot pernapasan Penggunaan maks. otot
penggunaan otot tambahan, tarikan trakea, tambahan jelas terlihat, tarikan tambahan, tarikan trakea, atau
tambahan, tarikan trakea, ataupun retraksi trakea, atau retraksi dinding retraksi dinding dada
atau retraksi dinding dada dada
Denyut jantung normal Peningkatan denyut jantung Peningkatan jelas denyut
jantung
917

Dapat berbicara dan atau Keterbatasan dalam berbicara Peningkatan kecepatan napas, Usaha napas yang jelek
makan dan atau makan sangat sulit untuk berbicara dan Silent chest
atau makan
Sangat pucat Sianosis*
Tonus otot lemah
*Catatan: jika penderita memiliki tanda dan gejala lintas kategori, selalu tangani berdasarkan gambaran yang paling parah
Penanganan Awal
Rujuk ke rumah sakit segera Rujuk ke rumah sakit segera
Sediakan oksigen Sediakan oksigen
Nebulisasi adrenalin empat Nebulisasi adrenalin empat
1 mL vial (total 4 mL) dari 1 mL vial (total 4 mL) dari
larutan 1:1.000 larutan 1:1.000
Jangan dilarutkan Jangan dilarutkan
Berikan nebulisasi dengan Berikan nebulisasi dengan
oksigen jika memungkinkan oksigen jika memungkinkan
Pertimbangkan prednisolon Prednisolon oral Prednisolon oral 1,0 mg/kgBB Prednisolon oral 1,0 mg/kgBB
oral 1,0 mg/kgBB 1,0 mg/kgBB atau deksametason atau deksametason
0,6 mg/kgBB i.m. 0,6 mg/kgBB i.m.
Biarkan anak mengambil Biarkan anak mengambil Biarkan anak mengambil posisi Biarkan anak mengambil posisi
posisi yang menurut posisi yang menurut mereka yang menurut mereka paling yag menurut mereka paling
mereka paling nyaman paling nyaman nyaman nyaman
Berikan informasi kepada Berikan informasi kepada
orangtua orangtua
Kirim pulang jika stabil atau Dipantau jika fasilitas tersedia
diperiksa ulang sesudah atau kirim ke rumah sakit
918

1 jam jika ada perhatian Diperiksa ulang dalam 1 jam


khusus
Respons terhadap Pengobatan
Respons Baik
Kirim pulang ke rumah ketika tidak terdapat tanda dari obstruksi jalan napas sedang hingga berat dan secara klinis baik
Sediakan informasi kepada penderita, termasuk alasan untuk kembali
Respons Jelek
Rujuk ke rumah sakit
Penurunan saturasi oksigen merupakan tanda keparahan. Oksigenasi mungkin dipertahankan bahkan pada croup parah SpO2
<92% merupakan indikator peningkatan keparahan. Bagaimanapun, hal ini dikenali bahwa bentuk pemeriksaan ini tidak akan
tersedia pada sebagian besar dokter umum
Sumber: Rajapaksa dan Starr 2010
Bibliografi
1. Asher MI, Grant CC. Infection of the upper respiratory tract.
Dalam: Taussig LM, Landau LI, Souef PN, Morgan WJ, Martinez
FD, Sly PD, penyunting. Pediatric respiratory medicine. Edisi ke-2.
Philadelphia: Elsevier; 2008. hlm. 453–80.
2. Balfour Lynn IM, Davies JC. Acute infection producing upper
airway obstruction. Dalam: Chernick V, Kendig EL, penyunting.
Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 404–15.
3. Bjornson C, Russel KF, Vandermeer B, Durec T, Klassen TP,
Johnson DW. Nebulized epinephrine for croup in children.
Cochrane Database Syst Rev. 2011 Feb;(2):CD006619.
4. Health for Kids in the South East Croup Guideline Development
Group. Evidence based practice guideline for the management of
croup in children. 2007 [diunduh 6 Januari 2009]. Tersedia dari:
http://www.mihsr.monash.org/pdf.
5. Malhotra A, Krilov LR. Viral croup. Pediatr Rev. 2001 Jan;22(1):5–
12.
6. Mazza D, Wilkinson F, Turner T, Harris C; Health for Kids
Guideline Development Group. Evidence based guideline for the
management of croup. AFP. 2008;37(6):14–9.
7. Rajapaksa S, Starr M. Croup - assesment and management. Austr
Fam Physician. 2010 May;38(5):280–2.
8. World Health Organization. WHO model prescribing information
drug used in bacterial infection. 2001 [diunduh 6 Januari 2009].
Tersedia dari: http://apps.who.int/medicinedocs/pdf/s5406e/s5
406e.pdf.
9. Zoorob R, Sidani M, Murray J. Croup: an overview. Am Fam
Physician. 2011 May;83(9):1067–73.

919
BRONKIEKTASIS
Batasan
Kondisi patologi saluran respiratori ireversibel ditandai dengan
gambaran radiografi berupa dilatasi bronkus dan secara klinis
didapatkan batuk kronik produktif. Terdapat istilah established
bronchiectasis bila dilatasi bronkus tidak membaik dalam 2 th.
Terminologi bronkiektasis yang diterangkan pada bagian ini
merupakan non-cystic bronkiektasis
Epidemiologi
Insidensi bronkiektasis yang dirawat di rumah sakit pada anak 5–14 th
adalah 1,3/100.000 anak. Insidensi pada beberapa tahun terakhir
menurun karena program imunisisasi yang meningkat, higiene dan
nutrisi yang baik, serta mudahnya akses ke pelayanan kesehatan.
Perbandingan pria:wanita adalah 1:1,4
Klasifikasi
Berdasarkan gambaran patologi
1. Bronkiektasis silindrikal: garis bronkial regular, dilatasi difus
bronchial tree, lumen terputus karena sumbatan mukus
2. Bronkiektasis varikosa: bronkus lebih dilatasi, dengan konstriksi
lokal menyebabkan gambaran bronkial ireguler menyerupai vena
varikosa, mungkin terdapat sakulasi kecil
3. Bronkiektasis sakular/kistik: merupakan bentuk paling berat,
dilatasi bronkus hebat menyebabkan bentuk balon berisi cairan
atau mukus
Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi bronkiektasis pada anak:
Pascainfeksi (pneumonia berat) penyebab tersering (29,7%)
Inherited immune deficiency
Primary ciliary dyskinesis (PCD)
Asma
Malformasi kongenital
Defek imun sekunder
Aspirasi benda asing
GERD
Tuberkulosis
Kistik fibrosis
Tidak diketahui
Faktor risiko antara lain hirupan iritan, higiene oral yang buruk,
malnutrisi, overcrowding
Patofisiologi
Mekanisme perkembangan bronkiektasis dari berbagai macam etilogi
saling berkaitan. Lingkaran ini dimulai dengan obstruksi cabang
bronkus yang disebabkan oleh infeksi dan inflamasi. Respons inang
yang berkali-kali mengalami jejas berulang menyebabkan obstruksi
destruksi epitel bronkus. Gangguan ini menyebabkan gangguan
920
klirens mukosilia dan retensi sekresi. Mekanisme ini saling berkaitan
dalam suatu siklus berulang antara infeksi bakteri kronik dan respons
inflamasi persisten. Secara histologis, gangguan epitel silia dapat
berubah menjadi bentuk skuamousa, bahkan pada tahap awal
parenkim sel dikelilingi oleh sel inflamasi. Gangguan lebih lanjut
jaringan sekitar terjadi pada bronkiektasis silindrikal dan sakular yang
juga merusak lapisan otot, struktur kartilago dan vaskular yang
menyebabkan endarteritis obstruktif dan akhirnya menyebabkan
hipertensi pulmonal

Gambar 72 Patofisiologi Bronkiektasis


Sumber: Chang dan Redding 2006

Diagnosis
Anamnesis
Bronkiektasis ditandai dengan batuk kronik atau berulang dengan
dahak purulen atau mukopurulen, sesak bila beraktivitas,
wheezing berulang, infeksi paru berulang, batuk darah, dan gagal
tumbuh
Pemeriksaan Fisis
Hipoksemia, dengan/tanpa deformitas dada (hiperinflasi)
Auskultasi paru → cracles kasar inspiratori ataupun wheezing,
pada ekstremitas dapat ditemukan jari tabuh sekitar 3–51%
kejadian

921
Pemeriksaan Penunjang
High-resolution computerized tomography (HRCT):
Merupakan baku emas
Gambaran karakterisitik signet ring yang memperlihatkan
diameter internal dilatasi bronkus lebih besar daripada diameter
pembuluh darah
Gambaran lain: air fluid level pada bronkus yang mengalami
dilatasi, tram line, varikosa, rongga kistik, penyumbatan oleh
mukus, dilatasi bronkus perifer, dan penebalan dinding bronkus
karena fibrosis peribronkial
Gambaran abnormalitas pada jaringan paru di sekitarnya dapat
berupa hilangnya parenkim paru, emfisema, parut, dan fokus
nodular
Foto Rontgen toraks tidak sensitif untuk mendiagnosis bronkiektasis,
gambarannya dapat berupa peningkatan tram lines, rongga kistik,
air fluid level, dan gambaran honey comb
Bronkoskopi dilakukan pada bronkiektasis obstruktif
Lima tipe temuan bronkoskopi yang berhubungan dengan
bronkiektasis: tipe 1 → hanya abnormalitas/inflamasi mukosa; Xpe
2 → bronkomalasia; Xpe3 → obliterative-like; tipe 4 → kombinasi
malasia dengan obliterative-like; tipe 5 → Xdak ada kelainan
Spirometri dilakukan untuk menilai beratnya bronkiektasis, pada
awal penyakit didapatkan gambaran obstruksi, dan pada fase
lanjut menjadi gabungan obstruksi dan restriksi
Ventilation-perfusion scintigraphy dapat dilakukan untuk menilai
perfusi vaskular dan pertukaran udara
Kultur sputum, pada anak sering ditemukan kuman Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae non-type B, Moraxella
catarrhalis, Haemophilus parainfluenzae, Staphylococcus aureus,
dan Pseudomonas spp.
Tatalaksana
Bergantung pada penyakit yang mendasari
Terapi inisial → mengurangi obstruksi dan mengendalikan infeksi
Pemilihan antibiotik parenteral berdasarkan identifikasi kuman:
Amoksisilin/asam klavulanat 22,5 mg/kgBB/kali, 2×/hr
Roksitromisin dengan dosis 4 mg/kgBB/kali, 2×/hr diberikan 6–12
mgg
Makrolid digunakan karena mempunyai efek antisektretori dan
antiinflamasi, makrolid lain seperti klaritromisin maupun azitromi-
sin dapat digunakan selama 3–6 bl
Penggunaan antibiotik jangka panjang sebaiknya diberikan hanya
bila sering terjadi eksaserbasi
Penelitian intervensi jangka panjang pada anak bronkiektasis
belum dilakukan
Fisioterapi dada dapat meningkatkan mucociliary clearance, terutama
pada penderita kistik fibrosis
Suplementasi nutrisi yang adekuat
Terapi asma, antiinflamasi, zat mukoaktif dan antisekretori, serta
hirupan NaCl hipertonik, indometasin, maupun hirupan manitol
belum terbukti manfaatnya pada anak dengan bronkiektasis
922
Pembedahan: lobektomi/pneumonektomi
Indikasi: gejala tidak membaik dengan terapi medikal yang optimal
sesudah 2 th, gangguan pertumbuhan dengan terapi medikal yang
optimal, hemoptisis berat dan berulang karena embolisasi arteri
bronkial
Kontraindikasi: bronkiektasis menyeluruh, usia muda (<6 th), dan
gejala asimtomatik
Pemberian terapi imunoglobulin pada anak dengan dasar etiologi
imunodefisiensi dan gangguan respons antibodi

Pencegahan
Perbaikan keadaan lingkungan, meliputi pencegahan paparan iritan
seperti asap rokok, pengurangan kepadatan, peningkatan kebersihan
tangan, peningkatan higiene gigi, olahraga, dan pengobatan
malnutrisi dapat mencegah bronkiektasis
Vaksinasi pertusis, campak, pneumokokus, dan influenza dapat
mencegah pneumonia

Prognosis
Penderita bronkiektasis sering menderita penyakit paru berulang
sehingga sering tidak masuk sekolah, bertubuh pendek, dan
mengalami osteoporosis
Prognosis yang baik terjadi pada anak dengan penyakit yang masih
terlokalisasi
Penelitian pada 79 anak penderita bronkiektasis yang dilakukan
bronkogram berulang selama 6–8 bl, didapatkan 58% tidak ada
perbaikan, 34% perburukan, dan 9% mengalami perbaikan. Penelitian
lain pada 80 anak yang mendapat terapi pembedahan 55%
perbaikan, sedangkan 16% masih ada gejala minimal
Kematian pascaoperasi sangat rendah

Bibliografi
1. Chang AB, Redding GJ. Bronchiectasis. Dalam: Chernick V, Kendig
EL, penyunting. Kendig’s disorders of the respiratory tract in
children. Edisi ke–7. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. hlm.
463–77.
2. Redding GJ. Update on treatment of childhood bronchiectasis
unrelated to cystic-fibrosis. Pediatr Respir Rev. 2011 Jun;12(2):
119–23.
3. Banjar H. Childhood bronchiectasis: a review. Bahrain Med Bull.
2006 Jun;28(2):1–10.
4. Jones MH, Marostica PC. Bronkiektasis. Dalam: Taussig LM,
Landau LI, Le Souĕf PN, Martinez FD, Morgan WJ, Sly PD,
penyunting. Pediatric respiratory medicine. Edisi ke–2.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. hlm. 999–1003.
5. Lakser O. Bronkiektasis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St.
Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatric. Edisi ke–19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 525–6.
6. O'Donnell AE. Bronchiectasis. Chest. 2008 Oct;134(4):815–23.
923
7. Karadag B, Karakoc F, Ersu R, Kut A, Bakac S, Dagli E. Non-cystic-
fibrosis bronchiectasis in children: a persisting problem in
developing countries. Respiration. 2005 May–Jun;72(3):233–8.

924
BRONKITIS
BRONKITIS AKUT
Batasan
Peradangan sementara pada trakea dan bronkus yang menimbulkan
batuk-batuk dan biasanya tanpa pengobatan akan sembuh dalam
waktu 28 hari
Epidemiologi
1:10.000.000 penduduk dunia
Bronkitis akut ditemukan dalam semua kelompok usia, terjadi sama
antara pria dan wanita
Salah satu infeksi saluran respiratori yang paling umum terdiagnosis
oleh dokter keluarga
Sering terjadi pada musim hujan
Etiologi
Virus influenza, parainfluenza, rhinovirus, RSV, metapneumovirus,
dan adenovirus
Diagnosis
Anamnesis
Batuk mula-mula kering, nonproduktif, beberapa hari kemudian
batuk produktif mengeluarkan mukus/dahak purulen, disertai
muntah berisi mukus; gejala batuk ini hilang sesudah 10–14 hr
Gejala lain yang merupakan gejala penyakit sistemik seperti
demam dan rasa tidak nyaman di dada biasanya ≤3 hr
Pemeriksaan Fisis
Biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, kadang-
kadang ditemukan suara mengi/wheezing
Terapi
Penatalaksanaan ditujukan terhadap gejala utamanya seperti:
Hindarkan asap rokok, asap lainnya, serta sumber polusi udara
lainnya
Meningkatkan kelembapan dan pemberian cairan yang baik
Analgetik dan antipiretik
Istirahat cukup
Posisi bayi diubah-ubah
Bronkodilator bila didapatkan bronkospasme
Hindarkan penggunaan obat batuk yang menekan pusat/refleks
batuk
Antibiotik diberikan hanya pada kasus yang dicurigai secara klinis
atau terbukti terdapat infeksi bakteri dari preparat gram atau
kultur sputum
Kortikosteroid tidak direkomendasikan
Pada kasus bronkitis akut tanpa komplikasi dengan sputum
purulen, disarankan pemberian antiinflamasi seperti ibuprofen 800
mg/8 jam selama 10 hr sebelum makan
925
BRONKITIS KRONIK
Batasan
Batuk kronik yang produktif yang terjadi selama ≥3 bl dalam 1 th atau
apabila gejala bronkitis akut menetap dan berlangsung lebih dari
2–3 mgg, walaupun pada suatu penelitian klinis dinyatakan bahwa
batuk produktif yang lama pada kenyataannya jarang pada anak
Epidemiologi
Di Amerika Serikat >2,5 juta anak menderita bronkitis kronik
Faktor penyebab sama dengan bronkitis akut
Pajanan saluran respiratori yang berlangsung terus-menerus sesudah
terjadi kerusakan saluran respiratori sebelumnya akibat infeksi akut
menyebabkan peradangan kronik
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat penyakit, yaitu batuk yang menetap >2–3 mgg, hubungan
dengan makan/minum, episode sebelumnya, sumber kontak,
sumber pencetus dari lingkungan dan riwayat keluarga
Gejala utama bronkitis → batuk produktif (berdahak) yang
mengeluarkan dahak berwarna putih kekuningan atau hijau
Dikatakan bronkitis kronik bila keadaan ini berlangsung >3 bl
Mukus yang berwarna selain putih atau bening, menandakan
infeksi sekunder
Pemeriksaan Fisis
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan, ronki kering,
wheezing, clubbing jari, serta pembengkakan sinus maksilaris dan
fontalis
Terapi
Pada prinsipnya sama dengan penatalaksanaan bronkitis akut, yaitu:
Hindarkan asap rokok, asap lainnya, serta sumber polusi udara
lainnya
Istirahat cukup
Posisi bayi diubah-ubah
Bronkodilator
Bibliografi
1. Goodman DM. Bronchitis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St.
Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 528–30.
2. Llor C, Moragas A, Bayona C, Morros R, Pera H, Cots JM, dkk.
Effectiveness of anti-inflammatory treatment versus antibiotic
therapy and placebo for patient with no-complicated acute
bronchitis with purulent sputum. BMC Pulm Med. 2011
Jun;2:11–38.

926
3. Loughlin GM. Bronchitis. Dalam: Chernick V, Kendig EL,
penyunting. Kendig’s disorders of the respiratory tract in
children. Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. hlm.
416–22.

927
BRONKIOLITIS
Batasan
Peradangan di bronkiolus
Dikenal berbagai definisi antara lain:
1. Penyakit viral yang mempunyai karakteristik demam, pilek, dan
wheezy cough yang bersifat kering
2. Gejala klinis yang diawali dengan prodromal infeksi virus saluran
respiratori atas diikuti dengan peningkatan usaha napas dan
wheezing pada anak <2 th
Karakteristik bronkiolitis: inflamasi akut, nekrosis sel epitel saluran
respiratori kecil, produksi mukus ↑, edema mukosa, bronkospasme
Etiologi
Bronkiolitis merupakan penyebab terbanyak infeksi respiratori bawah
pada bayi dan anak yang berusia ≤2 th
RSV (50–80%)
Adenovirus
Human metapneumovirus (3–19%)
Virus influenza
Parainfluenza virus tipe 3
Koinfeksi beberapa virus lain (10–30% bayi dirawat)
Diagnosis
Bronkiolitis harus didiagnosis dan ditentukan derajat penyakit
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis
Klinisi tidak dianjurkan secara rutin melakukan pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiologis untuk diagnosis (Evidence
B)
Anamnesis
Bayi mengalami gejala batuk, pilek, dapat disertai demam yang
kemudian diikuti gejala akibat keterlibatan saluran respiratori
bawah seperti wheezing, takipnea, dan retraksi. Takipnea dapat
ringan sampai terjadi gagal napas. Karakteristik gejala klinis adalah
puncak penyakit terjadi pada hr ke-3–4
Pemeriksaan Fisis
Bayi dapat ditemukan merintih (grunting), sianosis, suhu tubuh
normal, subfebris atau tinggi, takipnea, pernapasan cuping hidung,
sekret hidung, retraksi subkostal, interkostal dan suprasternal.
Pada perkusi dapat ditemukan hiperresonansi, suara pernapasan
mungkin normal atau ekspirasi memanjang, wheezing, dan
crackles
Hepar dan lien dapat teraba akibat hiperinflasi toraks
Apnea merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada bayi
prematur dengan bronkiolitis yang disebabkan oleh RSV

928
Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen toraks dapat menunjukkan gambaran foto normal
atau hiperinflasi dengan depresi/pendataran diafragma, atelektasis
atau konsolidasi
Pulse oximetry memperlihatkan saturasi O2 ↓
Laboratorium
AGD didapatkan hipoksemia. Pada bronkiolitis berat dapat
disertai hiperkapnia dan asidosis
Enzyme linked immunosorbent assay (EIA) atau immuno-
fluorescence dari sekret hidung: antigen RSV (+) → bila
memungkinkan dilakukan
Diagnosis Banding
Asma bronkial
Bronkopneumonia
Aspirasi benda asing
Gagal jantung
Fibrosis kistik
Tatalaksana
Tatalaksana di berbagai negara dan tempat serta rumah sakit masih
beragam
Pada dasarnya suportif (hidrasi, O2). Jauhkan dan hindarkan bayi
dari asap rokok (Evidence B), berikan ASI/menetek
Bronkiolitis ringan → rawat jalan
Nasihat untuk orangtua: teruskan pemberian makanan, tingkat-
kan pemberian cairan. Bila memberat → rawat
Bronkiolitis berat → rawat
O2 lembap selama sesak dengan pemantauan saturasi O2 meng-
gunakan pulse oxymetri (O2 diberikan dengan nasal kanul)
Bila p.o. tidak memungkinkan atau ada risiko aspirasi → i.v.
Cairan infus: terutama bila hitung napas >60–70×/mnt, tidak mau
minum, sesak napas
Antibiotik bila dicurigai infeksi bakteri:
Ampisilin 100–200 mg/kgBB/hr i.v. dibagi 4 dosis
Bila ada konjungtivitis pada bayi berusia 1–4 bl, kemungkinan
infeksi sekunder oleh Chlamydia trachomatis → eritromisin 40
mg/kgBB/hr p.o. dibagi 4 dosis
Chest physiotherapy tidak dianjurkan karena tidak efektif untuk
memperbaiki keadaan ventilation-perfusion mismatch baik cara
vibrasi maupun perkusi (Evidence B)
Nasal suction hanya bermanfaat mengurangi sementara kongesti
hidung, tetapi jika berlebihan → edema nasal
Nebulisasi epinefrin (adrenalin):
Hasil lebih baik bila digunakan bersama deksametason karena
mempunyai efek sinergis. Adrenalin lebih aman dan relatif
murah, tetapi nebulisasi epinefrin dan glukokortikoid tidak
direkomendasikan sebagai terapi rutin untuk bronkiolitis
(Evidence A)

929
Dosis epinefrin rasemik 2,25% 0,25–0,75 mL dalam NaCL
fisiologis 3 mL/20 mnt. Bila tidak tersedia, dapat diganti dengan
epinefrin-levo 5 mL larutan 1:1.000
Nebulisasi NaCl 3%
Dosis 4 mL larutan NaCl 3%
Dapat diberikan pada penderita rawat jalan maupun rawat inap
Nebulisasi dengan NaCl 3% diberikan karena dapat meningkat-
kan clearance mucous serta memperpendek masa rawat inap
Pemberian nebulisasi NaCl 3% pada rawat inap dapat diberikan
3–6×/hr (Evidence A)
Dalam menilai kegawatan penderita dapat digunakan respiratory
distress assessment instrument (RDAI) yang menilai distres napas
berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi
Nilai >15 : kategori berat
Nilai <3 : kategori ringan

Tabel 221 Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)


Nilai
Nilai Maks.
0 1 2 3 4
Wheezing:
Ekspirasi − Akhir ½ ¾ Sepan- 4
Inspirasi − Sebagian Semua jang 2
Lokasi − ≤2 dari 4 ≥3 dari 4 2
lapang paru lapang paru
Retraksi:
Supraklavikular − Ringan Sedang Jelas 3
Interkostal
Subkostal − Ringan Sedang Jelas 3
− Ringan Sedang Jelas 3
Total 17

Bibliografi
1. American Academy of Pediatrics Subcommittee on Diagnosis and
Management of Bronchiolitis. Diagnosis and management of
bronchiolitis. Pediatrics. 2006 Oct;118(4):1774–93.
2. Bialy L, Foisy M, Smith M, Fernandes RM. The cochrane library
and the treatment of bronchiolitis in children: an overview of
reviews. Evid Based Child Health. 2011 Jan;6(1):258–75.
3. Zorc JJ, Hall CB. Bronchiolitis: recent evidence on diagnosis and
management. Pediatrics. 2010 Feb;125(2):342–9.
4. Wright M, Piedimonte G. Respiratory syncytial virus prevention
and therapy: past, present, and future. Pediatr Pulmonol. 2011
Apr;46(4):324–47.
5. Hartling L, Fernandes RM, Bialy L, Milne A, Johnson D, Plint A,
dkk. Steroids and bronchodilators for acute in the first two years
of life: systematic review and meta-analysis. BMJ. 2011 Apr;342:
d1714.

930
6. Ralston S, Hill V, Martinez M. Nebulized hypertonic saline
without adjunctive bronchodilators for children with
bronchiolitis. Pediatrics. 2010 Sep;126(3):e520–5.
7. Laham FR, Trott AA, Bennett BL, Kozinetz CA, Jewell AM,
Garofalo RP, dkk. LDH concentration in nasal-wash fluid as a
biochemical predictor of bronchiolitis severity. Pediatrics. 2010
Feb;125(2):e225–33.

931
PNEUMONIA
Epidemiologi
Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak usia <5 th di
seluruh dunia, terutama di negara berkembang

Etiologi
Bakteri, virus, mikobakterium, dan jamur
Bakteri adalah penyebab utama di negara berkembang, yaitu:
Streptococcus pneumoniae (30−50%)
Haemophilus influenzae type b (Hib)
Staphylococcus aureus
Klebsiella pneumoniae
Virus merupakan penyebab utama di negara maju, yaitu:
RSV → 15–40%
Virus Influenza A dan B
Parainfluenza
Human metapneumovirus
Adenovirus
Di negara industri, epidemi RSV dan atau influenza koinsidensi
dengan epidemi S. pneumoniae. Di negara berkembang, infeksi virus
sering disertai infeksi sekunder
Usia merupakan prediktor yang baik untuk memperkirakan patogen
penyebab pneumonia
Virus → penyebab utama pneumonia pada anak usia lebih muda
(<2 th)
Bakteri → penyebab sebagian besar pneumonia pada anak besar
Tabel 222 menunjukkan bakteri dan virus yang umum menyebabkan
pneumonia pada anak berdasarkan usia
Faktor risiko pneumonia pada anak meliputi malnutrisi, berat badan
lahir rendah (BBLR), tidak mendapat ASI eksklusif, tidak mendapat
imunisasi campak, polusi udara dalam rumah, dan kepadatan hunian

932
Tabel 222 Penyebab Utama Pneumonia yang Didapat di
Masyarakat pada Anak berdasarkan Usia
Usia Penyebab Tersering Penyebab Jarang
0–20 hr Bakteri Bakteri
Escherichia coli Organisme
Group B streptococci Group B streptococci
Listeria monocytogenes Haemophilus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Cytomegalovirus
Herpes simplex virus
3 mgg–3 bl Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
S. pneumoniae H. influenzae tipe B dan
Virus non-typeable
Adenovirus Moraxella catarrhalis
Influenza virus Staphylococcus aureus
Parainfluenza virus 1, 2, U. urealyticum
and 3 Virus
Respiratory syncytial virus Cytomegalovirus
4 bl–5 th Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis H. influenzae tipe B
Mycoplasma pneumoniae M. catarrhalis
S. pneumoniae Mycobacterium
Virus tuberculosis
Adenovirus Neisseria meningitis
Influenza virus S. aureus
Parainfluenza virus Virus
Rhinovirus Varicella-zoster virus
Respiratory syncytial virus
6–18 th Bakteri Bakteri
C. pneumoniae H. influenza
M. pneumoniae Legionella species
S. pneumoniae M. tuberculosis
S. aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
Varicella-zoster virus
Sumber : Ostapchuk dkk. 2004

933
Manifestasi Klinis
Sebagian besar pneumonia pada anak menunjukkan gambaran klinis
yang ringan sampai sedang sehingga dapat berobat jalan saja
Hanya sebagian kecil anak mengalami pneumonia berat yang
mengancam kehidupan dan mungkin terdapat komplikasi, sehingga
memerlukan perawatan di rumah sakit
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada
berat ringan infeksi
Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, nafsu
makan ↓, keluhan gastrointesXnal seperX mual, muntah atau diare;
kadang-kadang ditemukan gejala ekstraparu. Pada anak dengan
malnutrisi berat, demam jarang terjadi
Gejala gangguan respiratori: batuk, sesak napas, retraksi dinding
dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan
sianosis
Gambaran klinis pneumonia pada anak malnutrisi berat kurang
spesifik dan dapat tumpang tindih dengan sepsis
Penelitian mengenai validasi tanda klinis WHO menunjukkan bahwa
tanda klinis yang direkomendasikan oleh WHO kurang sensitif
sebagai prediktor pneumonia dibandingkan dengan gambaran
radiologis pada anak malnutrisi berat
Pneumonia bakterial harus dipertimbangkan pada anak usia <3 th
yang mengalami panas badan >38,5 °C disertai retraksi dinding dada
dan frekuensi napas ≥50×/mnt. Pneumonia yang disebabkan
Pneumoccocus spp. biasanya diawali dengan demam dan napas
cepat. Gejala lain yang umum ditemukan adalah kesukaran bernapas,
retraksi dinding dada, dan anak tampak tidak sehat (unwell
appearance)
Pneumonia yang disebabkan Staphylococcus spp. mempunyai gejala
yang sama dengan pneumonia yang disebabkan pneumoccocus,
sering ditemukan pada bayi, tetapi dapat ditemukan pada anak yang
lebih besar sebagai komplikasi dari influenza
Pneumonia yang disebabkan Mycoplasma spp. harus dicurigai pada
anak usia sekolah yang menunjukkan gejala demam, nyeri sendi, sakit
kepala, batuk
Diagnosis
Anamnesis
Demam tinggi, batuk, gelisah, rewel, dan sesak napas
Pada bayi, gejala tidak khas, sering kali tanpa demam dan batuk
Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen, sertai
muntah
Pemeriksaan Fisis
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan
kelompok usia tertentu
Neonatus: sering dijumpai takipnea, grunting, pernapasan cuping
hidung, retraksi dinding dada, sianosis, dan malas menetek
Bayi yang lebih besar: jarang ditemukan grunting. Gejala lain yang
sering terlihat adalah batuk, panas, dan iritabel

934
Anak prasekolah, selain gejala di atas, dapat ditemukan batuk
produktif/nonproduktif, dan dispnea
Anak sekolah dan remaja, gejala lainnya yang dapat dijumpai yaitu
nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi, dan letargi
Takipnea berdasarkan WHO:
Usia <2 bl → ≥60×/mnt
Usia 2–<12 bl → ≥50×/mnt
Usia 1–5 th → ≥40×/mnt
Takipnea terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
dalam mendiagnosis pneumonia
Menurut WHO derajat berat pneumonia pada anak usia 2 bl–5 th
seperti Tabel 223 di bawah ini
Tabel 223 Klasifikasi Derajat Berat Pneumonia pada Anak Usia
2 Bulan sampai 5 Tahun
Gambaran Klinis Berat Penyakit
Batuk atau kesulitan bernapas dengan: Pneumonia sangat
Saturasi oksigen <90% atau sianosis berat
sentral
Distres saluran respiratori berat (tarikan
dinding dada bagian bawah berat,
grunting)
Tanda pneumonia disertai tanda bahaya
(tidak dapat minum, penurunan kesa-
daran, kejang)
Tarikan dinding dada bagian bawah Pneumonia berat
Napas cepat: Pneumonia
≥50×/mnt pada anak usia 2–11 bl
≥40×/mnt pada anak usia 1–5 th
Tidak ada tanda pneumonia atau Bukan pneumonia;
pneumonia sangat berat batuk atau “flu”
Sumber: WHO 2013

Auskultasi → fine crackles (ronki basah halus) yang khas pada anak
besar, mungkin tidak ditemukan pada bayi
Iritasi pleura akan menyebabkan nyeri dada; bila berat gerakan
dada tertinggal waktu inspirasi, anak berbaring ke arah yang sakit
dengan kaki fleksi
Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu, dan perut
Pemeriksaan Penunjang
Radiologis
Foto Rontgen toraks proyeksi posterior-anterior (PA) merupa-
kan dasar diagnosis utama pneumonia
Foto lateral dibuat bila diperlukan informasi tambahan (tidak
rutin dilakukan). Untuk negara berkembang foto Rontgen toraks
secara rutin tidak direkomendasikan terutama pneumonia yang
tidak memerlukan perawatan di rumah sakit
935
Indikasi spesifik foto Rontgen toraks adalah pneumonia sangat
berat, dugaan komplikasi pneumonia (misal efusi pleura), atau
tidak berespons terhadap terapi yang diberikan, dan kecurigaan
LTBI
Indikasi tambahan lainnya adalah gejala atipikal dan pemantau-
an pada anak dengan kolaps lobar atau gejala yang berlanjut
Pemeriksaan foto Rontgen toraks ulang hanya dilakukan bila
pada foto sebelumnya didapatkan lobar collapse, gambaran
round pneumonia, atau bila gejala menetap atau memburuk
Pada bayi dan anak yang kecil, gambaran radiologis sering tidak
sesuai dengan gambaran klinis
Foto Rontgen toraks tidak dapat membedakan antara
pneumonia bakteri dan pneumonia virus
Gambaran radiologis yang klasik dapat berupa:
Konsolidasi lobar atau segmental disertai air bronchogram,
biasanya disebabkan infeksi Pneumoccocus spp. atau bakteri
lain
Pneumonia interstisial, biasanya karena virus atau
mikoplasma; gambaran berupa corakan bronkovaskular
bertambah, peribronchial cuffing, dan overaeration; bila
berat terjadi patchy consolidation karena atelektasis
Gambaran difus bilateral, corakan peribronkial bertambah,
dan infiltrat halus sampai ke perifer. Gambaran pneumonia
karena S. aureus biasanya menunjukkan pneumatokel
Laboratorium
Jumlah leukosit >15.000/µL dengan dominasi neutrofil sering
didapatkan pada pneumonia bakteri, tetapi dapat pula karena
pneumonia nonbakteri
Diagnosis pasti pneumonia bakterial yaitu dengan isolasi mikro-
organisme dari paru, cairan pleura, atau darah. Pengambilan
spesimen dari paru sangat invasif dan tidak rutin diindikasikan
dan dilakukan
Kultur darah hanya (+) pada 10−30% kasus
Pemeriksaan C-reactive protein perlu dipertimbangkan pada
pneumonia dengan komplikasi dan dapat bermanfaat untuk
melihat respons antibiotik
Tidak dapat membedakan pneumonia akibat virus atau bakteri
Meskipun penyebab pneumonia sulit ditentukan, tetapi ada
beberapa gejala dan tanda yang dapat dikenali secara klinis,
yaitu:
Staphylococcus aureus:
Progresivitas penyakit sangat cepat dengan gejala
respiratori sangat berat: grunting, sianosis, takipnea, dan
gambaran radiologis necrotizing pneumonia, pneumonia
dengan komplikasi (efusi pleura, empiema, piopneumo-
toraks), perburukan klinis dan radiologis yang sangat cepat,
atau pada keadaan pascainfeksi campak (saat ini atau
4 mgg sebelumnya)
Pada kulit penderita dapat dijumpai bisul atau abses

936
Streptococcus grup A:
Penyebab tersering faringitis, tonsilitis dengan limfadenitis
koli, demam, malaise, sakit kepala, dan gejala pada abdomen
Sering merupakan komplikasi infeksi kulit pada anak
dengan varisela
Penyakit memburuk dalam 24 jam
Sering diikuti dengan syok septik, empiema, dan pneu-
matokel yang terjadi dalam beberapa hr sampai 1 mgg
sesudah pengobatan
Pulse oxymetri
Pengukuran saturasi O2 merupakan pemeriksaan noninvasif
yang dapat memperkirakan oksigenasi arteri
Semua anak yang dirawat inap karena pneumonia seharusnya
diperiksa pulse oxymetri. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan
untuk negara berkembang dengan keterbatasan sarana untuk
mendeteksi hipoksemia
Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan biakan darah harus dilakukan pada semua anak
yang dicurigai menderita pneumonia bakteri, pneumonia berat,
pneumonia dengan komplikasi
Hasil (+) hanya didapatkan pada 10–30% kasus
Pemeriksaan sputum
Walaupun kurang berguna, tetapi jika anak memungkinkan
untuk mengeluarkan sputum, periksa preparat gram
Rapid test untuk deteksi antigen bakteri mempunyai spesifisitas
dan sensitivitas rendah. Saat ini di RSHS tidak tersedia dan tidak
dilakukan
Tatalaksana Pneumonia Berat
Rawat di rumah sakit
Pemberian oksigen bila saturasi O2 <90%
Tatalaksana patensi jalan napas
Pemberian antibiotik
Terapi demam
Perawatan Umum di Rumah Sakit
Terapi oksigen
Bayi dan anak yang mengalami hipoksia mungkin tidak tampak
sianosis
Agitasi mungkin menjadi indikasi hipoksia
Oksigen diberikan pada penderita dengan saturasi oksigen <90%
pada udara kamar untuk mempertahankan saturasi oksigen
≥90%, dan pada penderita dengan distres napas
Analgetik antipiretik
Anak yang terkena infeksi saluran respiratori bagian bawah akut
umumnya mengalami pireksia dan dapat merasakan nyeri

937
seperti nyeri kepala, nyeri dada, nyeri sendi, nyeri perut, dan
nyeri telinga
Terapi Cairan
Anak yang tidak mampu mempertahankan asupan cairan akibat
sesak atau kelelahan memerlukan terapi cairan
Pipa nasogastrik dapat memengaruhi pernapasan dan karena itu
harus dihindari pada anak yang sakit berat, terutama bayi
dengan lubang hidung yang kecil
Penderita yang muntah-muntah atau sakit berat memerlukan
cairan i.v.
Bila diperlukan, cairan i.v. diberikan 80% dari kebutuhan basal
dan perlu dipantau elektrolit serum
Pemberian antibiotik
Antibiotik empiris diberikan berdasarkan usia penderita dan
derajat penyakit
Antibiotik yang sesuai harus diberikan segera sesudah penderita
masuk rumah sakit
Untuk pneumonia atau bukan pneumonia berat dapat diberikan
kotrimoksazol (8 mg/kgBB/dosis trimetoprim dalam 2 dosis p.o.)
atau amoksisilin 25 mg/kgBB/dosis diberikan tiap 12 jam p.o.
(penelitian menunjukkan amoksisilin dua dosis sehari memiliki
konsentrasi dalam darah yang sama dengan amoksisilin 3
dosis/hr) selama 3–5 hr
Efikasi kedua obat sama, kecuali di daerah yang mengalami
resistensi pada salah satu obat
Antibiotik parenteral harus diberikan pada anak dengan
pneumonia berat
Pilihan pemberian antibiotik inisial pada pneumonia anak
Ampisilin 50 mg/kgBB/dosis i.v. atau i.m. setiap 6 jam yang
harus dipantau dalam 24 jam selama 48–72 jam pertama
Bila keadaan klinis berat, pengobatan inisial berupa kombinasi
ampisilin-gentamisin
Bayi usia <2 bl atau pneumonia sangat berat, ampisilin dosis di
atas ditambah gentamisin 7,5 mg/kgBB i.v. atau i.m. sekali
sehari
Pada keadaan dicurigai meningitis (malas menetek, letargis,
kejang, menangis lemah, fontanel menojol) dan septikemia,
maka obat pilihan pertama adalah sefotaksim atau seftriakson
i.v.
Sesudah 48 jam pengobatan pneumonia sangat berat tidak
tampak perbaikan, antibiotik diubah menjadi sefalosporin
generasi ketiga, seperti seftriakson dan sefotaksim
Pneumonia pada anak HIV
Pada anak bukan pneumonia berat, terapi inisial dengan
amoksisilin oral (25–30 mg/kgBB/dosis, 2×/hr selama 5 hr).
Penderita memerlukan pemantauan kondisi klinis. Pneumonia
berat harus dirawat di rumah sakit karena risiko tinggi cepat
938
perburukan dan kegagalan terapi. Pemberian antibiotik inisial
harus memerhatikan pemberian antibiotik sebelumnya dan
prevalensi resistensi antibiotik di daerah tersebut
Ampisilin dan gentamisin dapat diberikan selama 10 hr. Bila
tidak ada respons, antibiotik dapat diganti dengan seftriakson
atau sefotaksim
Jika diduga infeksi S. aureus dapat diberikan kloksasilin dan
gentamisin
Pada anak usia <1 th dengan pneumonia berat dapat diterapi
secara empiris dengan kotrimoksazol i.v. (15–20 mg/kgBB/hr
komponen trimetoprim) dalam tiga atau empat dosis terbagi
diinfus dalam 1 jam selama 21 hr
Terapi kotrimoksazol oral diberikan pada penyakit yang ringan
atau sedang atau bila sudah terjadi perbaikan
Perbaikan klinis biasanya lambat, membutuhkan 5–7 hr
Kortikosteroid sudah terbukti menurunkan ketergantungan O2
dan mortalitas penderita HIV dewasa bila diberikan dalam 72
jam pemberian terapi kotrimoksazol
Hal ini belum dapat dibuktikan pada anak, tetapi mungkin
efektif pada dosis 1 mg/kgBB/hr selama 7 hr dan kemudian di-
tappering selama 7 hr berikutnya
Pneumonia pada anak malnutrisi berat
Ampisilin dan gentamisin merupakan antibiotik inisial
Terapi suportif seperti mempertahankan suhu, pencegahan
hipoglikemia, dan pemberian nutrisi yang tepat sangat penting
untuk memperoleh hasil terapi yang baik
Pemantauan
Sesudah pemberian antibiotik inisial, pantau dalam 24 jam
selama 48–72 jam pertama. Apabila kondisi klinis membaik;
tidak didapatkan tanda sepsis, empiema, necrotizing
pneumonia, dan abses paru; tanda vital stabil selama min. 48
jam; biakan darah tidak menunjukkan pertumbuhan kuman; dan
dapat makan/minum p.o. maka:
Antibiotik i.v dapat diganti dengan antibiotik oral. Umumnya
peralihan ke antibiotik oral dilakukan sesudah 2–4 hr
pemberian antibiotik i.v. Selanjutnya, terapi dilanjutkan di
rumah dengan amoksisilin p.o. (15 mg/kgBB/kali 3×/hr).
Pemberian antibiotik pada pneumonia berat dilanjutkan
sampai 5–7 hr atau kepustakaan lain menyatakan 7−10 hr,
dan pada pneumonia sangat berat diberikan selama 7–10 hr
atau kepustakaan lain menyatakan 10–14 hr
Apabila:
Demam atau manifestasi klinis lainnya menetap sesudah 48
jam pemberian antibiotik, atau keadaan klinis memburuk
sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat (tidak
dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres
pernapasan berat) maka terapi harus dievaluasi kembali dan
dipertimbangkan foto Rontgen toraks ulang. Tambahkan
939
kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali i.m. atau i.v. setiap 8 jam atau
gentamisin 7,5 mg/kgBB i.v. atau i.m. 1×/hr
Apabila terjadi kegagalan terapi pada penderita yang diberi
kotrimoksazol, diganti dengan amoksisilin
Jika obat pertama yang diberikan adalah amoksisilin, maka
bila terjadi kegagalan terapi dapat ditambahkan gentamisin
atau diganti dengan amoksisilin-asam klavulanat (80−90
mg/kgBB/hr amoksisilin dalam dosis terbagi dengan maks. 6,4
mg/kgBB/hr asam klavulanat) untuk meningkatkan aktivitas
terhadap Haemophilus influenzae penghasil β-laktamase dan
S. pneumoniae yang resisten
Bila terjadi kegagalan terapi berikutnya, sefalosporin generasi
ke-2 (sefuroksim) atau generasi ke-3 (seftriakson, sefopodok-
sim) dapat digunakan untuk memperluas cakupan terhadap
organisme penghasil β-laktamase
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik
dengan gentamisin (7,5 mg/kgBB i.m. 1×/hr) dan kloksasilin
(50 mg/kgBB i.m. atau i.v. setiap 6 jam). Bila keadaan anak
membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral
4×/hr sampai mencapai 3 mgg, atau klindamisin secara oral
selama 2 mgg
Pilihan antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil pemeriksaan
pola kepekaan antibiotik
Indikasi Penderita Dipulangkan
Perbaikan secara klinis, nafsu makan membaik, bebas demam
12–24 jam, stabil, saturasi O2 >92% dalam udara ruangan selama
12–24 jam (tanpa O2), orangtua sudah mengerti untuk melanjut-
kan pemberian antibiotik oral
Pencegahan
Vaksinasi dengan vaksin pertusis (DTP), campak, pneumokokus, dan
H. influenzae
Vaksin influenza untuk bayi >6 bl dan usia remaja
Untuk orangtua atau pengasuh bayi <6 bl disarankan untuk diberikan
vaksin influenza dan pertusis

940
941

Gambar 73 Algoritme Tatalaksana CAP Menurut Usia


Sumber: Stuckey-Schrock dkk. 2012
942

Gambar 74 Algoritme Tatalaksana CAP Menurut Usia (Lanjutan)


Sumber: Stuckey-Schrock dkk. 2012
Bibliografi
1. Singh V, Aneja S. Pneumonia-management in the developing
world. Paediatr Respir Rev. 2011 Mar;12(1):52−9.
2. Wardlaw T, Salama P, Johansson EW, Mason E. Pneumonia: the
leading killer of children. Lancet. 2006 Sep;368(9541):1048–50.
3. Gray D, Zar HJ. Childhood pneumonia in low and middle income
countries: burden, prevention and management. Open Infect Dis
J. 2010;4:74–84.
4. India Clinical Epidemiology Network (IndiaCLEN) Task Force on
Pneumonia. Rational use of antibiotics for pneumonia. Indian
Pediatr. 2010 Jan;47(1):11–8.
5. Don M, Canciani M, Korppi M. Community-acquired pneumonia
in children: what’s old? what’s new? Acta Paediatr. 2010 Nov;
99(11):1602–8.
6. Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, Campbell H.
Epidemiology and etiology of childhood pneumonia. Bull World
Health Organ. 2008 May;86(5):408–16.
7. Harris M, Clark J, Coote N, Fletcher P, Harnden A, McKean M,
dkk. British Thoracic Society guidelines for the management of
community acquired pneumonia in children: update 2011.
Thorax. 2011 Oct;66(Suppl 2):ii1–23.
8. Sandora TJ, Sectish TC. Community acquired pneumonia. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman
RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 524–8.
9. World Health Organization. Pocket book of hospital care for
children. Guidelines for the Management of Common Childhood
Illnesses. Edisi ke-2. Geneva: WHO; 2013.
10. Williams DJ, Hall M, Shah SS, Parikh K, Tyler A, Neuman MI, dkk.
Narrow vs broad-spectrum antimicrobial therapy for children
hospitalized pneumonia. Pediatrics. 2013 Nov;132(5):e1141–8.
11. Stuckey-Schrock K, Hayes BL, George CM. Community-acquired
pneumonia in children. Am Fam Physician. 2012 Oct;86(7):661–7.

943
RECURRENT PNEUMONIA
Batasan
Dua atau lebih episode pneumonia dalam satu tahun, atau lebih dari
3 episode kapanpun pada seorang anak, dengan gambaran foto
Rontgen toraks menunjukkan paru-paru yang bersih di antara
episode tersebut. Seorang anak dengan recurrent pneumonia harus
dipantau ketat untuk mencegah komplikasi. Penyakit yang men-
dasarinya harus diidentifikasi untuk menentukan terapi yang tepat
Etiologi
Infeksi oleh organisme yang virulen, resisten atau organisme atipikal
Pemberian antibiotik yang tidak adekuat
Malformasi kongenital pada saluran respiratori atas dan bawah,
pembuluh darah paru, maupun sistem kardiovaskular (pirau kiri ke
kanan, vascular ring)
Aspirasi berulang
Defek pada sekresi saluran respiratori seperti fibrosis kistik dan
diskinesia silia
Gangguan sistem imun seperti HIV dan penggunaan obat
imunosupresan
Diagnosis
Anamnesis
Usia onset
Kelainan kongenital, misal pada tracheoesophageal fistula, cystic
adenomatoid malformation and congenital lobar emphysema.
Kelainan imunologi humoral
Gambaran rinci episode pneumonia
Pada setiap serangan perlu dijabarkan: onset, durasi dan gambaran
batuk, demam ada/tidak, infeksi saluran respiratori bawah ada/
tidak, foto Rontgen toraks, antibiotik yang diberikan, respons
terapi, dan perawatan
Perlu ditanyakan kepada orangtua saat gejala timbul, hubungan-
nya dengan makan dan perubahan pada posisi, muntah, iritabilitas,
batuk malam hari, dan wheezing
Riwayat sakit sebelumnya
Infeksi yang berulang mungkin disebabkan oleh gangguan imun.
Riwayat tersedak benda asing. Malabsorpsi mungkin tampak
pada cystic fibrosis
Riwayat persalinan
Prematur, riwayat bronchopulmonary dysplasia, paparan pada
oksigen, infeksi ibu, mekonium pada saat persalinan
Riwayat keluarga
Riwayat alergi pada keluarga, asma, kelainan kongenital
Faktor lingkungan seperti paparan pada infeksi, polutan, iritan, dan
asap rokok
Gejala
Anak dengan reccurent pneumonia pada lobus yang bervariasi,
mungkin terdapat gangguan dalam batuk atau mekanisme
944
pembersihan oleh mukosiliar, penyempitan aliran udara yang
menghambat pembersihan jalan napas, fungsi imun lokal atau
sistemik. Aspirasi pada kasus ini berhubungan dengan gangguan
dalam batuk dan penyempitan aliran udara. Hal ini merupakan
hasil gangguan menelan, berhubungan dengan abnormalitas SSP,
penyakit neuromuskular, atau lesi anatomis orofaring
Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen toraks menunjukkan infiltrat, yang penting dalam
menentukan episode pneumonia pada kasus suspek pneumonia atau
reccurent pneumonia
Perbandingan dua foto Rontgen toraks diperlukan untuk konfirmasi
diagnostik pneumonia, dan penilaian konsolidasi pada satu lobus
atau bila terdapat kelainan multifokal yang dapat menjadi pertim-
bangan dalam diagnosis banding
CT-scan
Indsikasi pada infeksi saluran respiratori bawah:
Dugaan komplikasi pneumonia bakteri
Menyingkirkan kelainan yang mendasari reccurent pneumonia
Investigasi pada anak dengan gangguan imun yang foto Rontgen
toraksnya normal atau ekuivokal
Terapi
Mayoritas anak dengan reccurent pneumonia memiliki penyebab
yang mendasarinya. Terapi ditujukan pula pada kelainan yang
menjadi etiologinya
Anak dengan riwayat batuk malam hari, batuk atau wheezing, perlu
dipikirkan pemberian steroid dan bronkodilator
Anak dengan reccurent pneumonia yang disebabkan oleh aspirasi
mungkin mengalami gastroesophageal reflux
Recurrent pneumonia pada anak dengan gangguan imunitas sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae (37%) dan Haemophilus
influenzae (26%). Terapi antibiotik dan intravenous gammaglobulin
(IVIG) menurunkan mortalitas dan morbiditas
Bibliografi
1. Patria F, Longhi B, Tagliabue C, Tenconi R, Ballista P, Ricciardi G,
dkk. Clinical profile of recurrent community-acquired pneumonia
in children. BMC Pulm Med. 2013 Oct;13:60.
2. Panitch HB. Evaluation of recurrent pneumonia. Pediatr Infect
Dis J. 2005 Mar;24(3):265–6.
3. Brand PL, Hoving MF, de Groot EP. Evaluating the child with
recurrent lower respiratory tract infections. Paediatr Respir Rev.
2012 Sep;13(3):135–8.
4. Hoving MF, Brand PL. Causes of recurrent pneumonia in children
in a general hospital. J Paediatr Child Health. 2013 Mar;49(3):
E208–12.
5. Lodha R, Kabra SK. Recurrent/persistent pneumonia. Indian
Pediatr. 2000 Oct;37(10):1085–92.

945
HOSPITAL ACQUIRED PNEUMONIA
Batasan
Penyakit infeksi saluran respiratori akut dengan gejala utama akibat
radang pada parenkim paru yang terjadi pada ≥48 jam sesudah
perawatan di rumah sakit, dibagi menjadi dini bila penyakit terjadi
<5 hr, sedangkan lanjut bila penyakit terjadi sesudah ≥5 hr perawatan
Etiologi
Patogen Gram Negatif
Pseudomonas aeruginosa, A. baumanii, mikroorganisme yang ter-
golong ke dalam Enterobacteriaceae (Klebsiella spp., Enterobacter
spp., Serratia spp., dll.) dan dalam beberapa kondisi, mikroorganisme
seperti Haemophilus influenza
Patogen Gram Positif
Patogen gram positif yang menyebabkan hospital acquired pneumonia
(HAP) antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus spp. dan
Streptococcus pneumonia
Bakteri lain: Prevotella spp., Fusobacterium spp., dan Veillonella spp.
Patogen nonbakteri: Candida spp., Aspergillus spp.
Diagnosis
Klinis
Menegakkan diagnosis HAP sulit dilakukan karena belum ada
kriteria klinis yang disetujui secara menyeluruh, penderita disebut
suspek HAP jika terbukti terjadi infiltrat baru pada gambaran
radiologis dalam ≥48 jam sesudah dirawat di rumah sakit disertai
demam >38,3 °C, leukositosis atau leukopenia, dan sputum yang
purulen (leukosit >25/lapang pandang besar pada pewarnaan
gram aspirasi trakea). Konsensus di Eropa menyetujui penderita
positif HAP jika setidaknya didapatkan infiltrat paru pada gam-
baran radiologi disertai 2 dari 3 kriteria klinis di atas
Clinical pulmonary infection score (CPIS) merupakan suatu sistem
skoring untuk mendiagnosis HAP yang terdiri atas 6 kriteria yaitu
timbul demam >38,3 °C, leukositosis atau leukopenia, kultur
sputum positif, timbul perburukan atau infiltrat baru pada
gambaran radiologi, gangguan oksigenasi, dan kultur semikuanti-
tatif dari aspirasi trakea dengan atau tanpa apus gram. Clinical
pulmonary infection score ini diakui memiliki sensitivitas yang lebih
baik dalam mendiagnosis HAP (sensitivitas 78%, spesifisitas 56%)
Radiologi
Diagnosis radiologi terbatas pada timbul infiltrat baru pada
gambaran foto Rontgen toraks, sedangkan CT-scan dapat
dilakukan sebagai alat diagnostik tambahan untuk menyingkirkan
kelainan lain jika gambaran dari foto Rontgen toraks meragukan.
Pada penderita HAP karena S. aureus sering didapatkan gambaran
radiologis berupa pneumatokel yang muncul rata-rata 2–8% pada
penderita HAP yang disebabkan oleh S. aureus
946
Mikrobiologi
Kultur darah memiliki nilai prognostik dan diagnostik namun
dilaporkan sensitivitasnya hanya 8–20%, dengan demikian
perannya terbatas. Bakteri yang paling sering ditemukan pada
kultur adalah P. aeruginosa, S. aureus, Enterobacteriaceae
(terutama Klebsiella, E. coli, dan Enterobacter spp.). Semakin lama
penderita dirawat di rumah sakit, spektrum bakteri yang
ditemukan biasanya semakin luas, multipel, dan resisten terhadap
obat. Hospital acquired pneumonia dini lebih sering disebabkan
oleh bakteri yang timbul pada CAP seperti S. pneumoniae atau H.
infuenzae, sedangkan HAP lanjut biasanya disebabkan oleh bakteri
yang resisten terhadap berbagai obat seperti P. aeruginosa dan K.
pneumonia, ataupun oleh bakteri MRSA
Media kultur yang dapat digunakan untuk S. aureus adalah
MacConkeys pada suhu 37 °C selama 18 jam, apabila positif akan
ditemukan gambaran koloni berwarna kuning keemasan, bulat
dengan koloni pigmen berwarna putih
Pemeriksaan sputum juga belum diketahui sensitivitas dan
spesifisitasnya sehingga tidak rutin diperiksa, selain itu spesimen
sputum dapat berasal dari area yang tidak terinfeksi dan dapat
terkontaminasi oleh flora saluran respiratori bagian atas.
Pemeriksaan noninvasif yang cukup berguna adalah pemeriksaan
aspirasi trakeobronkial. Pemeriksaan ini sensitivitasnya tinggi
namun kelemahannya tidak dapat membedakan organisme
penyebab pneumonia. Pemeriksaan lain seperti bronkoskopi
langsung atau bronchoalveolar lavage (BAL) memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang baik tetapi bersifat invasif dan jarang
dilakukan

Tatalaksana

Hospital acquired pneumonia

Early onset: tidak Late onset: risiko


didapatkan risiko multidrug-resistant
multidrug-resistant

Organisme penyebab Organisme lain yang juga


early onset menyebabkan early onset
dan termasuk late onset

Gambar 75 Alur Tatalaksana Hospital Acqured Pneumonia


Sumber: American Thoracic Society 2005

947
Tabel 224 Terapi Empiris Antibiotik pada HAP Onset Dini
Patogen Potensial Regimen yang Direkomendasikan
Streptococcus Sefalosporin generasi ketiga
pneumoniae (seftriakson, sefotaksim) atau
Haemophilus influenzae Fluorokuinolon (moksifloksasin,
MSSA levofloksasin) atau
Antibiotic-sensitive β-laktam/β-laktamase inhibitor
enteric (amoksisilin/asam klavulanat;
Basil gram negatif ampisilin/sulbaktam) atau
Escherichia coli Karbapenem (ertapenem) atau
Klebsiella pneumoniae Sefalosporin generasi ketiga ditambah
makrolid atau
Monobaktam ditambah klindamisin
(untuk penderita yang alergi β-laktam)
Enterobacter species
Proteus species
Serratia marcescens
Sumber: Song 2008

Tabel 225 Terapi Empiris Antibiotik pada HAP Onset Lambat


Patogen Potensial Regimen yang Direkomendasikan
Patogen yang termasuk Sefalosporin antipseudomonas
penyebab onset dini (sefepim, seftazidim) atau
dan patogen MDR Karbapenem antipseudomonal
Pseudomonas (imipenem/meropenem) atau
aeruginosa β-laktam/β-laktamase inhibitor
Klebsiella pneumoniae (piperasilin tazobaktam)
(ESBL)
Acinetobacter spp.
MRSA Fluorokuinolon (siprofloksasin atau
levofloksasin) atau
Aminoglikosida (amikasin, gentamisin,
atau tobramisin)
Legionella pneuophila Sefoperazon/sulbaktam ditambah
fluorokuinolon atau aminoglikosid
ditambah ampisilin/sulbaktam atau
Fluorokuinolon (siprofloksasin)
ditambah aminoglikosida ditambah
linezolid/vankomisin, ditambah
azitromisin atau fluorokuinolon
Sumber: Song 2008

Risiko terjadi multidrug-resistant (MDR)


Terapi antibiotik sudah dimulai dalam 90 hr
Onset pneumonia terjadi selama 5 hr saaat dirawat
Frekuensi tinggi resisten antibiotik
948
Lama dirawat di ICU atau terpasang ventilator mekanik
Status imunokompromais (penggunaan medikasi imunosupresan,
HIV, transplantasi sumsum tulang atau organ)
Bibliografi
1. American Thoracic Society; Infectious Disease Society of
America. Guidelines for the management of adult with hospital-
acquired pneumonia, ventilator-associated and healthcare-
associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med. 2005 Feb;
171(4):388–416.
2. Jones RN. Microbial etiologies of hospital-acquired bacterial
pneumonia and ventilator-associated bacterial pneumonia. Clin
Infect Dis. 2010 Aug;51(Suppl 1):S81–7.
3. Kieninger AN, Lipsett PA. Hospital acquired pneumonia:
pathophysiology, diagnosis, and treatment. Surg Clin North Am.
2009 Apr;89(2):439–61.
4. Song JH; Asian HAP Working Group. Treatment recommendations
of hospital-acquired pneumonia in Asian countries: first consensus
report by the Asian HAP Working Group. Am J Infect Control
2008 May;36(4 Suppl):S83–92.

949
EMPIEMA
Batasan
Empiema merupakan infeksi supuratif yang terjadi di dalam rongga
pleura
Empiema didefinisikan sebagai kondisi terdapat pus di dalam rongga
pleura
Istilah empiema berkaitan dengan efusi parapneumonia yaitu
terdapat akumulasi cairan pleura eksudatif yang menyertai infeksi
paru
Suatu efusi dikatakan empiema bila kadar leukosit secara
makroskopis terlihat sangat jelas, cairan menjadi kental dan keruh

Epidemiologi
Efusi parapneumonia terjadi pada 20–40% penderita yang dirawat
dengan pneumonia
Diperkirakan bahwa 1 dari 150 anak yang dirawat dengan pneumonia
akan menjadi empiema. Sebanyak 40–60% empiema berhubungan
dengan pneumonia, seperti parapneumonik

Etiologi
Staphylococcus aureus (terbanyak), Streptococcus pneumoniae, dan
Streptococcus pyogenes. Belakangan ini dikenal Streptococcus
anginosus (atau dikenal dengan Streptococcus milleri) sebagai
penyebab utama empiema
Bakteri anaerob juga pernah ditemukan 25–76% sebagai penyebab
tunggal maupun bersamaan dengan infeksi bakteri lain
Empiema dapat terjadi akibat infeksi sekunder dari hemotoraks atau
kontusi paru
Biasanya empiema sekunder menyertai luka tembus dada atau
infeksi pada rongga pleura sesudah tindakan torakotomi
Empiema juga pernah dilaporkan menyertai apendisitis akut, abses
hepar, dan abses paru. Diperkirakan 10% efusi pleura pada
tuberkulosis disertai dengan infeksi sekunder
Faktor predisposisi empiema yaitu penyakit paru kronik, DM, terapi
steroid lama, aspirasi berulang

Patofisiologi
Empiema terdiri atas 3 fase, yaitu fase akut, bersifat eksudatif, diikuti
fase fibrinopurulen, dan fase kronik atau organizing phase. Saat
leukosit PMN ↑ dan terjadi deposit fibrin → merupakan saat
peralihan fase eksudatif menjadi fase fibrinopurulen
Stadium 1: Stadium Eksudativa/Fase Akut (Minggu ke-1)
Terjadi inflamasi pleura yang meningkatkan permeabilitas dan
pengumpulan cairan dalam jumlah sedikit. Analisis cairan pleura →
sel neutrofil dengan pH dan kadar glukosa normal
Biasanya pada kultur tidak didapatkan pertumbuhan bakteri/steril

950
Pada stadium ini terdapat produksi sitokin proinflamasi → meng-
aktifkan sel mesotel pleura → memudahkan cairan masuk ke
dalam rongga pleura
Karakteristik cairan pleura: pH >7,29, glukosa >60 mg/dL, LDH <500
IU/dL, protein >2,5 g/dL, albumin >500/µL, BJ >1,018, cairan serosa
atau keruh
Stadium 2: Stadium Fibrinopurulen/Fase Transisional (Minggu ke-2)
Stadium ini memiliki karakteristik invasi organisme ke dalam
rongga pleura, inflamasi semakin progresif, dan invasi leukosit
PMN yang signifikan. Invasi bakteri dapat mempercepat reaksi
imun, migrasi neutrofil ↑ dan mengaktivasi kaskade koagulasi
yang kemudian → peningkatan procoagulant dan menekan
aktivitas fibrinolitik. Hal tersebut → deposisi fibrin dan lokulasi
cairan. Peningkatan deposit fibrin → pemisahan atau lokulasi
rongga pleura. Inflamasi memiliki karakteristik kadar glukosa
cairan pleura dan pH ↓ serta protein dan kadar lactate
dehydrogenase (LDH) ↑
Karakteristik cairan pleura: pH 7,00–7,29, glukosa 40–60 mg/dL,
dan LDH 500–1.000 IU/dL
Stadium 3: Stadium Organisasi/Fase Kronik (Minggu ke-3–4)
Terjadi resorpsi cairan pleura dan berhubungan dengan proliferasi
fibroblas yang dapat mengakibatkan perlengketan (entrapment)
parenkim
Terbentuk membran tidak elastis (pleural peel) berupa jaringan
fibrosa keras pada membran pleura yang menggantikan jaringan
fibrin yang lunak → terhambatnya proses pengembangan paru dan
dapat mengganggu fungsi paru
Karakteristik cairan pleura: pH <7,00, glukosa <40 mg/dL dan LDH
>1.000 IU/dL
Tabel 226 Gambaran Laboratorium Cairan Pleura pada Tiap Fase
Empiema
Karakteristik Fase Fase Fase
Cairan Pleura Eksudativa Fibrinopurulen Organisasi
pH >7,29 7,00–7,29 <7,00
Glukosa >60 mg/dL 40–60 mg/dL <40 mg/L
LDH <500 IU/dL 500–1.000 IU/dL >1.000 IU/dL

Diagnosis
Anamnesis
Gejala klinis empiema sama dengan pneumonia
Demam menetap 48 jam dengan pemberian antibiotik yang tepat
mengindikasikan kemungkinan empiema
Pemeriksaan Fisis
Gejala akibat peradangan pleura berupa nyeri dada, dada terasa
penuh, dan sesak napas Anak yang besar dapat mengeluh nyeri

951
dada saat inspirasi atau batuk dan nyeri dapat menjalar ke bahu
atau perut
Nyeri dada yang hebat akan mengganggu gerak pernapasan dan
menimbulkan sesak napas Bila cairan bertambah banyak nyeri
dada akan berkurang, tetapi anak makin bertambah sesak
Panas badan, lemas, muntah, anoreksia, letargi, dan tampak sakit
berat
Dapat ditemukan distensi abdomen akibat ileus paralitik
Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen toraks diperlukan untuk kecurigaan suatu empiema,
foto lateral tidak rutin dilakukan
Lateral dekubitus dibutuhkan untuk membedakan efusi parapneu-
monia sederhana dengan empiema jika ultrasound tidak ada
Rontgen serial tiap hari tidak dibutuhkan untuk memantau
perkembangan karena perubahan gambaran Rontgen terjadi
sesudah perubahan klinis
Ultrasound merupakan pemeriksaaan penunjang utama yang
digunakan untuk membedakan cairan dengan suatu konsolidasi,
memperkirakan besar efusi, dan urutan kompleksitas, menun-
jukkan rongga-rongga fibrin, dan penempatan chest drain.
Pemeriksaan CT-scan dibutuhkan untuk kasus dengan komplikasi
yang tidak mempunyai respons terhadap terapi atau terdapat
keadaan patologis lain misalnya tumor
Pemeriksaan darah seperti kultur, pemeriksaan darah lengkap,
C-reactive protein dapat membantu menegakkan diagnosis dan
memantau perkembangan penyakit, tetapi bukan menjadi
pemeriksaan rutin
Pemeriksaan cairan pleura pada empiema menunjukkan cairan
yang purulen, jumlah leukosit >10.000/μL, dan cairan bersifat
eksudat
Kriteria Light menunjukkan cairan efusi bersifat eksudat bila
ditemukan 1 dari 4 hal, yaitu:
1. Rasio protein pleura/serum >0,5
2. Rasio LDH pleura/serum >0,6
3. Konsentrasi protein pleura ≥3 g/dL
4. Konsentrasi LDH pleura >⅔ normal LDH serum
Terapi
Suportif
Anak dengan saturasi <93% harus diberikan oksigen
Pemberian cairan, antipiretik, dan analgesia
Chest physiotherapy tidak direkomendasikan, hal ini berbeda
dengan mobilisasi awal dan latihan bernapas yang dalam sesudah
dilakukan intervensi
Antibiotik
Antibiotik diberikan dengan dosis tinggi untuk memastikan dapat
mencapai daerah pleura. Jika tidak ada hasil kultur, pilihan
antibiotik bergantung pada kebijakan rumah sakit setempat dalam
hal pengendalian community-acquired pneumonia

952
Antibiotik harus mencakup S. pneumoniae dan S. aureus
Jika terdapat risiko aspirasi, perlu dipertimbangkan antibiotik
untuk infeksi anaerob. Golongan makrolid perlu diberikan jika
diketahui penyebabnya Mycoplasma pneumoniae. Empiema sedang
sampai besar membutuhkan drainase
Respons terhadap antibiotik bergantung pada patogen yang
terlibat, stadium empiema, serta status imunitas anak. Pada
stadium awal eksudat, antibiotik sendiri dengan konsentrasi yang
tinggi sangat efektif, sedangkan pada stadium lanjut antibiotik
kurang efektif dalam pengobatan penyakit tanpa intervensi bedah.
Lini pertama antibiotik sefalosporin dosis tinggi kecuali sudah
dilakukan tes sensitivitas atas patogen yang terkait. Dosis
sefalosporin 50 mg/kgBB/dosis 3×/hr. Apabila ditemukan ganggu-
an fungsi ginjal → dosis ini ↓. Antibiotik lain yang dapat diberikan:
flukosaksilin, amoksisilin, gentamisin, dan meropenem bergantung
pada hasil tes sensitivitas yang didapatkan pada pemeriksaan
organism yang diisolasi dari darah atau aspirasi cairan pleura. Pada
beberapa kasus, walaupun sudah dilakukan drainase yang adekuat,
sepsis tetap berlanjut. Hal ini biasanya berhubungan dengan
pneumonia nekrosis (necrotizing pneumonia) atau penyebaran
dari fokus septik di tempat yang lain. Pada keadaan seperti ini,
klindamisin mungkin berguna untuk menangani infeksi bakteri
gram-positif. Pada kasus empiema kompleks seperti ini biasanya
diperlukan pemberian antibiotik kombinasi. Antibiotik i.v. dilanjut-
kan sekurang-kurangnya 5–7 hr sesudah demam hilang sehingga
lama pemberian antibiotik 10–14 hr selama perawatan
Menurut WHO, lini pertama antibiotik → kloramfenikol saja,
antibiotik spektrum luas yang masih efektif terhadap S. aureus,
pneumococcus, dan Haemophilus influenzae
Kloksasilin menunjukkan aktivitas antistafilokokal yang baik
terhadap S. aureus. Penambahan gentamisin sebagai obat anti-
stafilokokal dianjurkan oleh WHO dan sudah digunakan dalam
beberapa penelitian karena efek sinergistik
Antibiotik oral diberikan selama 1–4 mgg sesudah penderita
pulang
Tatalaksana Bedah
Tujuan intervensi bedah untuk mencapai volume penuh ekpansi
paru serta resolusi empiema. Intervensi yang dilaksanakan lebih
awal pada empiema anak dapat mengurangi morbiditas. Kegagalan
terapi harus dikenal pasti lebih awal untuk mengelakkan
progresivitas penyakit
Tindakan torakosentesis tidak digunakan untuk diagnosis
Pemeriksaan sitologi cairan pleura dilakukan termasuk kultur
terhadap Mycobacterium tuberculosis. Idealnya dilakukan dengan
metode polymerase chain reaction (PCR)
Chest drainage yang dianjurkan yaitu metode percutaneous small
bore drainage dengan agen fibrinolitik atau video assisted
thorascopic surgery (VATS), sehingga tidak dianjurkan lagi dilakukan
open thoracotomy

953
Tabel 227 Kategori Risiko Prognosis Buruk pada Penderita Efusi Parapneumonik dan Empiema

Bakteriologi Cairan Risiko


Anatomi Rongga Pleura Pleura Biokimia Cairan Pleura Kategori Prognosis Drainase
Buruk
A0: efusi bebas minimal (<10 dan Bx: hasil kultur dan dan Cx: pH tidak diketahui 1 Sangat Tidak
mm pada lateral pewarnaan gram rendah
dekubitus) tidak diketahui
A1: efusi bebas kecil hingga dan B0: hasil kultur dan dan C0: pH ≥7,20 2 Rendah Tidak
sedang (>10 mm dan <½ pewarnaan gram-
hemitoraks) negatif
954

A2: efusi bebas yang besar atau B1: hasil kultur dan atau C1: pH <7,20 3 Sedang Ya
(≥½ hemitoraks), pewarnaan gram-
Efusi terlokalisasi, atau positif
efusi dengan penebalan
dinding parietal pleura
B2: pus 4 Tinggi Ya
Sumber: Colice dkk. 2000
Gambar 76 Algoritme Penatalaksanaan Empiema pada Anak
Sumber: Strachan dan Jaffe 2011

Bibliografi
1. Colice Gl, Curtis A, Deslauriers J, Heffner J, Light R, Littenberg B,
dkk. Medical and surgical treatment of parapneumonic effusions:
an evidence-based guideline. Chest. 2000 Oct;118(4):1158–71.
2. Grijalva CG, Zhu Y, Nuorti JP, Griffin MR. Emergence of
parapneumonic empyema in the USA. Thorax. 2011 Aug;66(8):
663–8.

955
3. Light RW. Parapneumonic effusion and empyema. Proc Am
Thorac Soc. 2006;3(1):75–80.
4. Parikh DH. Empyema thoracis. Dalam: Parikh DH, Crabbe DCG,
Auldist AW, Rothenberg SS, penyunting. Pediatric Thoracic
Surgery. London: Springer-Verlag; 2009. hlm. 109–27.
5. Strachan RE, Jaffe A; Thoracic Society of Australia and New
Zealand. Recommendation for managing paediatric empyema
thoracis. Med J Aust. 2011 Jul;195(2):20–9.

956
PNEUMOTORAKS
Batasan
Akumulasi udara di dalam rongga pleura karena terdapat hubungan
langsung rongga pleura dengan atmosfir akibat defek pada dinding
dada melalui pleura parietalis akibat tindakan operasi atau pecahnya
alveoli. Selain itu, walaupun jarang dapat terjadi sebagai akibat
infeksi mikroorganisme penghasil gas

Etiologi
Spontan
Idiopatik primer karena ruptur bleb subpleura
Terdapat penyakit paru yang mendasari
Kelainan kongenital paru:
Ruptur kista paru kongenital (malformasi adenomatoid paru
kongenital, kista bronkogenik)
Hipoplasia paru: pneumotoraks yang berkaitan dengan hipoplasia
paru yang terjadi dalam 1 jam pertama kelahiran. Disertai dengan
berkurangnya volume cairan amnion (sindrom Potter, agenesis
ginjal)
Peningkatan tekanan intratorakal: asma, bronkiolitis, emfisema
lobaris, air-block syndrome pada neonatus, fibrosis kistik, benda
asing dalam saluran respiratori
Infeksi: pneumatokel (ruptur pneumatokel), abses paru, fistula
bronkopleural
Penyakit paru difus: histisiosis sel langerhans, sklerosis tuberous,
sindrom Marfan, sindrom Ehlers-Danlos
Keganasan metastatik biasanya osteosarkoma
Aspirasi → obstruksi bronkial atau bronkiolar tipe ball-valve

Traumatik
Iatrogenik
Torakotomi
Torakoskopi
Torakosentesis
Trakeostomi
Pungsi pleura
Ventilasi mekanik
Noniatrogenik
Trauma penetrasi
Trauma tumpul
Tekanan udara tinggi (musik keras)

Klasifikasi
Simtomatik
Nonsimtomatik
Tension pneumothorax
Non-tension pneumothorax

957
Ringan–sedang (bagian paru yang kolaps <30%)
Berat (bagian paru yang kolaps 30–70%)
Total (curigai tension pneumothorax)

Patofisiologi
Trauma pada dinding dada dapat merobek jaringan paru yang
mengakibatkan udara dari dalam alveoli masuk ke dalam rongga
pleura
Pada penyakit saluran respiratori bagian bawah sering didapatkan
penyumbatan saluran inkomplit atau konsolidasi parenkim paru.
Tekanan intraalveolar meningkat akan menyebabkan jaringan ikat
peri-vaskular di daerah tersebut akan teregang dan menipis sehingga
apabila tekanan tersebut melewati batas kemampuan peregangan
jaringan maka akan terjadi robekan pada dasar alveoli sehingga udara
akan memasuki ruangan perivaskular dan menjalar ke arah hilus dan
masuk ke dalam mediastinum (pneumomediastinum) atau merobek
pleura viseralis dan memasuki rongga pleura
Pada penderita tuberkulosis tipe kavernosa atau yang progresif maka
infiltrat yang terletak subpleural akan hancur dan menyebabkan
nekrosis serta robekan pada pleura
Penyebaran/metastasis sarkoma ke jaringan paru akan menyebabkan
nekrosis bronkus, sedangkan emboli oleh tumor akan menyebabkan
infark paru yang berakibat terjadinya air leak
Diagnosis
Anamnesis
Bergantung pada luas bagian paru yang kolaps, derajat tekanan
intrapleura, kecepatan awitan, dan usia
Penderita dapat mengalami kolaps kardiorespirasi tanpa
menunjukkan tanda bahaya klinis atau asimtomatik (diagnosis
berdasarkan foto Rontgen toraks)
Pada neonatus dapat terjadi spontan tanpa berhubungan dengan
penyebab yang diketahui. Pada neonatus normal, gejala
pneumotoraks spontan sering kali bersifat subtle
Gejala-gejala antara lain:
Sesak napas, terjadi secara mendadak, akibat riwayat trauma
toraks
Penggunaan ventilator mekanik (cepat memburuk, diperlukan
peningkatan tekanan inspirasi (sugestif tension pneumothorax)
Akibat resusitasi
Penyakit paru yang mendasari
Nyeri yang menyebar ke bahu
Pemeriksaan Fisis
Takipnea, sesak napas, sianosis, pergeseran letak trakea, retraksi,
bagian dada yang terkena lebih cembung (bulging), pergeseran
letak pulsasi jantung
Pergerakan dada asimetris
Timpani atau hiperresonans pada perkusi di bagian dada yang
terkena

958
Suara pernapasan melemah, rongga interkostal melebar
Perburukan tiba-tiba dengan perubahan tanda vital: laju nadi
menurun, tekanan darah menurun, frekuensi napas menurun,
tekanan nadi sempit sampai dengan terjadi henti
Kardiorespirasi
Radiologis
Bayangan lucent yang dikelilingi oleh jaringan paru opaque yang
luas, lokal, multipel
Rongga interkostal melebar
Penekanan mediastinum dan jantung ke sisi yang sehat
Laboratorium
Darah: AGD (bila diperlukan dan memungkinkan)
Diagnosis Banding
Kista paru yang sangat besar
Obstruksi paru parsial yang disertai hiperinflasi sekunder
Hernia diafragmatika (USG, pemeriksaan barium)
Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen toraks
CT-scan toraks pada pneumotoraks persisten atau rekurens
Tatalaksana
Terapi bervariasi bergantung pada luas kolaps paru dan berat
penyakit yang mendasari
Terapi ekpektatif/konservatif untuk pneumotoraks kecil (<5%),
tidak progresif, asimtomatik atau bergejala ringan dan tidak
berhubungan dengan penyakit yang mendasari karena diharapkan
gas akan diabsorpsi
Resolusi spontan biasanya diharapkan tercapai dalam 1 mgg
Analgetik untuk mengatasi nyeri pleura
Oksigen 100% untuk loculated pneumothorax
Aspirasi jarum untuk tension pneumothorax yang sama
efektivitasnya dengan torakostomi untuk penatalaksanaan
pneumotoraks primer
Chest tube drainage dilakukan pada:
Pneumotoraks dengan kolaps paru luas (>5%) atau berulang
Pengangkatan chest tube biasanya sudah dapat dilakukan
sesudah 24–48 jam
Pengobatan terhadap penyakit primer
Aspirasi menggunakan kateter
Closed thoracotomy atau water sealed drainage (WSD) yang
memungkinkan dapat diangkat sesudah 72 jam
Chemical pleurodesis menggunakan doksisiklin atau iodopovidon
untuk pneumotoraks berulang
Konsultasi
Bedah toraks

959
Prognosis
Bergantung pada kecepatan diagnosis dan pengobatan
Pneumotoraks rekurens dapat terjadi apabila resolusi lambat terjadi
(>7 hr)
Sesudah mengalami pneumotoraks penderita dianjurkan tidak
mengikuti olahraga menyelam, olahraga dengan kontak fisik, naik
pesawat, main musik tiup 4 mgg sesudah resolusi
Bibliografi
1. Montgomery M, Sigalet D. Air and liquid in the pleural space.
Dalam: Chernick V, Kendig EL, penyunting. Kendig’s disorders of
the respiratory tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2006. hlm. 381–7.
2. Winnie GB, Lossef SV. Pneumothorax. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier: 2011. hlm. 538–9.

960
ABSES PARU
Batasan
Terdapat rongga yang berbatas tegas berdinding tebal pada jaringan
paru, berisi cairan purulen yang berasal dari supurasi dan nekrosis
parenkim paru
Klasifikasi
Abses primer: tidak ada penyakit yang mendasari
Abses sekunder: terdapat penyakit atau faktor predisposisi yang
mendasari
Etiologi
Penyebab tersering adalah kuman anaerob
Kuman anaerob:
Kokus: Peptostreptococcus spp., Veillonella spp., Microaerophilic
streptococci
Batang gram-positif: Bifidobacterium spp., Clostridium spp.
Batang gram-negatif: Fusobaacterium spp., Bacteroides spp.
Kuman aerob dan fakultatif:
Kokus gram-positif: Streptococcus pneumoniae, Streptococcus ß
hemolyticus grup A, Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis
Batang gram-negatif: Proteus spp., Pseudomonas aeruginosa,
Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli, Serratia marcescens,
Enterobacter spp., Haemophilus influenzae
Hampir semua jenis mikroorganisme yaitu bakteri, virus, protozoa,
dan fungi dapat menyebabkan abses
Diagnosis
Anamnesis
Gejala utama pada abses primer maupun sekunder yaitu panas
tinggi mencapai 40 °C disertai lemah, muntah, dan BB turun
Beberapa hr atau mgg sebelumnya anak sudah sakit
Gejala yang berhubungan dengan saluran respiratori berupa batuk
berdahak, nyeri dada, dispnea, napas berbau, dan hemoptisis
Identifikasi faktor predisposisi:
Aspirasi, pneumonia, kistik fibrosis, GERD, fistula trakeo-
esofageal, imunodefisiensi, komplikasi postoperasi tonsilektomi
dan adenoidektomi, kejang dan kelainan neurologis. Pada anak
sumber utama infeksi yaitu aspirasi benda asing
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis daerah toraks bervariasi: tidak ditemukan
kelainan sampai menunjukkan tanda takipnea, tarikan dinding
dada, pergerakan toraks tertinggal, pekak pada perkusi, serta
suara pernapasan ↓, crackles, pernapasan bronkial pada
auskultasi
Dapat ditemukan clubbing jari-jari, terdapat sumber infeksi

961
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Foto Rontgen toraks posisi PA, lateral, oblik dan dekubitus
Tampak rongga berdinding tebal di paru, dapat soliter atau
multipel
Abses primer hampir selalu soliter, sering pada lobus atas dan
bawah paru kanan, sedangkan abses sekunder dapat soliter
atau multipel dapat unilokuler atau multilokuler
Tampak gambaran radioopak bila tidak ada hubungan antara
rongga abses dan cabang bronkus. Bila terdapat hubungan
dengan bronkus tampak gambaran rongga abses dengan air
fluid level
Bila abses besar akan tampak atelektasis alveoli sekitarnya
USG dan CT-toraks bila diperlukan
Laboratorium
Leukosit meningkat dengan PMN yang dominan
Pewarnaan gram sputum
Kultur dari pungsi paru, aspirasi perkutaneus (dengan CT-
guiding) atau trantrakeal
Kultur darah jarang ditemukan organisme penyebab terutama
pada abses primer
Diagnosis Banding
Empiema dengan fistula bronkopleural kista paru kongenital
Pseudokista traumatik
Pneumatokel
Emfisema kongenital pada bayi baru lahir
Neoplasma
Penyulit
Pneumotoraks
Ekspansi abses dengan pergeseran mediastinum
Empiema
Fistula bronkopleura
Septikemia
Abses otak
Konsultasi
Bedah toraks
Tatalaksana
Umum
Makanan dan cairan yang cukup
O2 bila sesak napas
Khusus
Antibiotik
Antibiotik harus segera diberikan sambil menunggu hasil kultur
Antibiotik harus mencakup untuk bakteri anaerob dan aerob

962
Antibiotik I diberikan selama 2–3 mgg, dilanjutkan antibiotik p.o.
sampai total 4–6 mgg atau sampai gambaran pada foto
menunjukkan resolusi total atau terdapat luka parut yang kecil
dan tidak meningkat
Apabila penyebab bakteri anaerob, dibutuhkan terapi yang lebih
panjang (6–12 mgg) untuk mencegah kambuh
Antibiotik yang diberikan harus mencakup penicilinase-resistant
agent yang aktif terhadap S. aureus dan klindamisin untuk
bakteri anaerob
Bila terdapat kemungkinan gram-negatif ditambahkan amino-
glikosida
Operasi
Dilakukan bila antibiotik yang optimal tidak berhasil dalam 7–10
hr dilakukan aspirasi per kutan dengan CT-guiding
Lobektomi jarang diperlukan kecuali bila terjadi ekspansi masif
abses yang mengakibatkan kompresi jaringan sekitarnya
Postural drainage
Prognosis
Abses primer umumnya baik, rongga biasanya menghilang bila pus
sudah keluar karena dibatukkan (melalui bronkus)
Abses sekunder bervariasi bergantung pada penyakit yang
mendasarinya
Mortalitas pada abses paru berkisar 30–40%
Bibliografi
1. Brook I. Lung abscess and pulmonary infections due to anaerobic
bacteria. Dalam: Chernick V, Kendig EL, penyunting. Kendig’s
disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 478–84.
2. Lakser O. Pulmonary abscess. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2011. hlm. 527.

963
EMBOLI PARU
Batasan
Emboli paru (EP) adalah udara, lemak, cairan amnion, tumor, atau
benda asing, maupun trombus (disebut juga tromboemboli) yang
menyebar ke pembuluh darah paru dan menyebabkan obstruksi
pembuluh darah paru

Epidemiologi
Hasil autopsi dari suatu penelitian mengemukakan kejadian EP pada
anak sebesar 0,05–3%
Penelitian lain menyatakan insidensi EP pada anak dan remaja yang
dirawat di rumah sakit sebanyak 1/1.000, tetapi hanya 25% yang
menampilkan gejala klinis
Walaupun insidensi lebih besar pada orang tua dan jarang dilaporkan
pada anak <15 th, tetapi insidensi tertinggi terjadi pada anak usia
<1 th dan usia 11–18 th

Etiologi dan Faktor Risiko


Lebih dari 90% EP disebabkan trombi yang berasal dari vena dalam
besar tungkai, terutama vena poplitea dan vena dalam di atasnya,
tetapi dapat juga berasal dari vena kecil dalam betis, yang kemudian
dilepaskan ke dalam sirkulasi vena dan menyebar di kedua paru
(65%), paru kanan (25%), dan paru kiri (10%). Lobus paru bawah
empat kali lebih sering terkena daripada lobus atas
Faktor risiko terjadi EP meliputi:
Primer (genetik): mutasi faktor V, defisiensi antitrombin III,
defisiensi protein C atau protein S, defek fibrinolisis, golongan
darah A
Sekunder (didapat): tirah baring lama atau perjalanan yang lama,
infark miokardium, kerusakan jaringan (operasi, patah tulang, luka
bakar), keganasan, katup jantung buatan, KID, lupus antikoagulan,
atrial fibrilasi, kardiomiopati dilatasi, tromboflebitis, sindrom
nefrotik, kateterisasi jantung, sickle-cell anemia, pemasangan
kateter vena sentral, kemoterapi, ventriculoatrial shunt pada
hidrosefalus, sindrom Gullain-Barre, duchenne muscular dystrophy,
kegemukan, gagal jantung kongestif, penyalahgunaan obat (i.v.),
kolitis ulseratif, dan trombositosis
Faktor risiko pada bayi baru lahir meliputi: trauma lahir, dehidrasi,
sepsis, kelainan jantung bawaan seperti patent ductus arteriosus
(PDA), operasi jantung
Faktor risiko pada ibu, seperti DM, hidramnion, dan toksemia

Kejadian pada anak terutama terjadi pada:


Abnormalitas koagulasi (sampai 70%, terutama defisiensi protein
C dan S)
Penderita leukemia yang mendapat kemoterapi (2,9%)

964
Diagnosis
EP harus dipertimbangkan pada anak dengan hipertensi pulmonal
yang tidak dapat dijelaskan, terdapat gangguan respirasi, KID, serta
riwayat keluarga dengan defek koagulasi atau meninggal karena
kejadian trombosis pada usia <50 th
Anamnesis
Gejala klinis bervariasi, meliputi nyeri dada, sesak, nyeri punggung¸
pundak, perut bagian atas, batuk darah, pingsan, wheezing,
berdebar, atau gejala toraks lain yang tidak dapat dijelaskan.
Berdasarkan the prospective investigation of pulmonary embolism
diagnosis (PIOPED), gejala yang paling sering ditemukan sesak
(73%), nyeri dada pleuritik (66%), batuk (37%), dan batuk darah
(13%). Tiga gejala dan tanda klasik EP berupa batuk darah, sesak,
dan nyeri dada, tetapi penderita yang meninggal karena EP masif
hanya 60% mempunyai gejala sesak, 17% dengan gejala nyeri
dada, dan 3% dengan batuk darah. Gejala nyeri dada pleuritik pada
anak dilaporkan sampai 84%, batuk sebesar 50%, dan hanya
sejumlah kecil remaja dan dewasa muda dengan gejala batuk
darah. Sebanyak 21% penderita muda terbukti menderita EP
datang hanya dengan keluhan nyeri dada pleuritik
Pemeriksaan Fisis
Pada fase awal didapatkan pemeriksaan fisis yang normal.
Takipnea merupakan gejala yang paling sering ditemukan.
Pemeriksaan fisis lain meliputi takikardia, dispnea, demam, flebitis,
rales, wheezing, hemaptoe, komponen pulmonal pada suara
jantung kedua yang mengeras, murmur, peningkatan vena
jugularis, gallop, edema tungkai, hipotensi, diaporesis, sianosis,
dan pleuritic rub
Tabel 228 Kriteria Wells dalam Prediksi Tromboemboli Secara Klinis
Tampilan Klinis Nilai
Gejala klinis DVT 3
Diagnosis lain lebih tidak mungkin daripada EP 3
Denyut nadi >100×/mnt 1,5
Imobilisasi atau operasi dalam 4 mgg yang lalu 1,5
DVT/EP sebelumnya 1,5
Batuk darah 1
Keganasan 1
Nilai: >6 : risiko tinggi (78,4%)
2–6 : risiko sedang (27,8%)
<2 : risiko rendah (3,4%)
Sumber: Kearon 2003

Pemeriksaan Penunjang
D-dimer: digunakan untuk tromboemboli vena. Pemeriksaan
D-dimer dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
mempunyai sensitivitas yang tinggi (85–98%), tetapi mempunyai

965
spesifisitas yang rendah (40–70%), serta mempunyai nilai (+)
palsu yang tinggi (53%). Pemeriksaan D-dimer harus dipertim-
bangkan bila dilakukan bersama ventilation/perfusion (V/Q)-scan
untuk diagnosis EP
Foto Rontgen toraks: atelektasis, efusi pleura, infiltrat pulmonal,
dan elevasi hemidiafragma. Tanda klasik seperti Hamptom’s
hump (densitas pleural berbentuk baji di area infark paru), tanda
Westermark (vaskularitas menurun ditunjukkan dengan densitas
lusen di daerah perifer meningkat), dan tanda Fleischner (arteri
pulmonalis berbentuk sosis) jarang ditemukan dan bukan
prediktor yang baik untuk EP
Ultrasonography (USG): mendeteksi DVT secara noninvasif,
dengan sensitivitas 30–50% dan spesifisitas 97%. Pada DVT, vena
tidak dapat kolaps secara sempurna ketika tekanan diberikan
melalui probe USG
Elektokardiografi dilakukan bila dicurigai gangguan jantung.
Perubahan yang terjadi pada EP tidak spesifik seperti takikardia,
perubahan gelombang ST-T (50%), right bundle branch block
(RBBB), right axis deviation (RAD), gelombang T inversi, dan P
pulmonal, tetapi gambaran EKG dapat normal pada 20–30%
penderita EP
Transthoracic atau transesophageal echocardiography dapat
memperlihatkan tromboemboli pada ruang jantung kanan
(terutama atrium kanan) dan arteri pulmonalis sentral, serta
memperlihatkan perubahan hemodinamik jantung kanan
Diagnosis EP ditentukan bila terdapat daerah dengan ventilasi
normal, tetapi terjadi perfusi menurun. Hasil pemeriksaan dibagi
dalam lima kategori, yaitu normal, very low probability, low
probability, intermediate probability, high probability. High
probability ditentukan bila ditemukan ≥2 defek perfusi dengan
normal ventilasi, tetapi low probability tidak menyingkirkan
diagnosis EP
Angiografi merupakan pemeriksaan gold standard untuk
mendiagnosis EP. Hasil (+) didefinisikan sebagai defek pengisian
intraluminal yang tampak lebih dari satu gambaran radiografi.
Hasil (+) memberi gambaran 100% bila memang terdapat
obstruksi aliran darah arteri pulmonalis, sedangkan hasil (−) dapat
memastikan sebesar >90% untuk menyingkirkan diagnosis EP
Gambaran kronik pada pulmonary computed tomografi
angiography (PCTA) atau multidetector helical (spiral) CT
memperlihatkan: 1) trombus terletak eksentrik atau berdekatan
dengan dinding pembuluh darah, 2) diameter arteri berkurang
>50%, 3) rekanalisasi di dalam trombus, dan 4) terdapat arterial
web. Gambaran akut jika terdapat trombus di tengah lumen atau
terjadi oklusi pembuluh darah (vessel cut-off sign)
Pada MRI, trombi tampak sebagai defek pengisian pada arteri
pulmonalis
Pemeriksaan Penunjang Lain
Pulmonary angiography (PA): defek pengisian intraluminal
Spiral CT: defek pengisian intraluminal pada arteri pulmonalis
utama dan lobar

966
V/Q-scan: high probability scan dan moderate/high clinical
probability
Tes diagnostik untuk DVT: DVT akut dengan V/Q-scan atau spiral CT
Diagnosis EP dapat disingkirkan bila: 1) PA: normal, 2) perfusion
scan: normal, 3) D–dimer: normal, 4) kecurigaan klinis yang rendah
untuk EP, 5) fraksi alveolar dead space normal, nondiagnostik (low-
intermediate) V/Q-scan/spiral CT normal, dan 7) USG normal

Diagnosis Banding
Acute coronary syndrome
Acute respiratory distress syndrome
Anemia
Stenosis aorta
Asma
Fibrilasi atrial
Kardiomiopati dilatasi
Kardiomiopati restriktif
Gagal jantung kongestif dengan edema paru
Hantavirus cadiopulmonary syndrome
Mitral stenosis
Miokarditis
Perikarditis
Tamponade jantung
Pneumonia
Pneumotoraks
Stenosis pulmonal
Syok kardiogenik
Syok septik
Superior vena cava syndrome
Toxic shock syndrome

967
CT-angiografi -scan

(−)
-scan

diagnosis lain

Clinical

Menengah (−)

Tes D-dimer Follow up untuk

(−)

Follow up untuk diagnosis lain

Gambar 77 Algoritme Diagnosis Tromboemboli Paru


Sumber: Ramzi dan Leeper 2004

Tatalaksana
Penatalaksanaan dasar EP yaitu resusitasi dan stabilisasi penderita
Penderita EP yang sudah stabil diberikan:
Antikoagulan (untuk mencegah meluasnya trombus dan komplikasi
lanjut berupa rekurens):
Unfractioned heparin:
Dosis loading 75 IU/kgBB dalam 10 mnt i.v. dilanjutkan dosis
rumatan 28 IU/kgBB/jam i.v. (usia <1 th) atau 20 IU/kgBB/jam
i.v. (usia >1 th)
Pemantauan: APTT, trombosit
Low molecular weight heparins (LMWHS):
Enoxaparin: <2 bl: 1,5 mg/kgBB/dosis tiap 12 jam s.k.
>2 bl: 1,0 mg/kgBB/dosis tiap 12 jam s.k.
Reviparin: <5 kg: 150 IU/kgBB/dosis tiap 12 jam s.k.
>5 kg: 100 IU/kgBB/dosis tiap 12 jam s.k.
Pemantauan: trombosit, kadar anti-factor Xa

968
Antagonis vitamin K:
Warfarin:
Dosis loading: 0,2 mg/kgBB dilanjutkan dosis rumatan
bergantung pada target INR (2,0–3,0). Pemberian min. 5 hr
(7–10 hr)
Pemantauan: INR
Untuk penderita dengan hemodinamik tidak stabil:
Trombolitik
Tissue plasminogen activator (rt-PA): 0,1–0,6 mg/kgBB/jam i.v.
selama 6 jam
Pemantauan: fibrinogen, plasminogen, D-dimer, trombosit, APTT,
PT
Embolektomi dilakukan pada penderita dengan hemodinamik yang
tidak stabil dan pemberian trombolisis tidak efektif atau merupakan
kontraindikasi

Prognosis
Prognosis TP bergantung pada penyakit yang mendasarinya,
diagnosis, dan terapi EP yang tepat. Dalam 5 hr terapi antikoagulan
36% defek pada sidik/scan paru menghilang, dalam 2 mgg terapi 52%
defek menghilang, dan sesudah 3 bl terapi 73% defek menghilang.
Pada umumnya penderita yang mendapat terapi antikoagulan tidak
memunculkan gejala sisa jangka panjang. Angka kematian penderita
EP yang tidak terdiagnosis 30%. Berdasarkan PIOPED, angka kematian
1 th sebanyak 24% dan kematian disebabkan penyakit jantung, EP
rekurens, infeksi, serta kanker. Sekitar 17% penderita EP rekurens
menderita DVT proksimal

Bibliografi
1. Carman TL, Deitcher SR. Advances in diagnosing and excluding
pulmonary embolism: spiral CT and D-dimer measurement. Cleve
Clin J Med. 2002 Sep:69(9):721–9.
2. Charles HW. Pulmonary angiography [diunduh 8 Mei 2012].
Tersedia dari: http://emedicine.pulmonaryangiography.html.
3. Coluciello SA. Pulmonary embolism: etiology and clinical features
[diunduh 8 Mei 2012]. Tersedia dari: http://www.emrtextbook.com.
4. Feled G, Handler JA. Pulmonary embolism. eMedicine 2006.
[diunduh 8 Mei 2012]. Tersedia dari: http://www. emedicine.com/
emerg/topic490.html.
5. Jones MR, Reid JH. Emergency chest radiology: thoracic aortic
disease and pulmonary embolism. Imaging. 2006 Sep;18(3):122–
38.
6. Kearon C. Diagnosis of pulmonary embolism. CMAJ. 2003 Jan;
168(2):183–94.
7. Kohli A, Rajput D, Gomes M, Desai S. Review article: imaging of
pulmonary thromboembolism. Indian J Radiol Imaging. 2002:
12(2):207–12.

969
8. Nevin MA. Pulmonary embolism, infarction, and hemorrhage.
Dalam: Kliegman RM, Staton SF, St. Geme III JW, Schor NF.
penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-19.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 534–5.
9. Ramzi DW, Leeper KV. DVT and pulmonary embolism: Part I.
Diagnosis. Am Fam Physician. 2004 Jun;69(12):2829–36.
10. Van Ommen CH, Peters M. Acute pulmonary embolism in
childhood. Thromb Res. 2006;118(1):13–25.
11. Wittman B, Donnerstein R. Pulmonary embolism. Dalam: Taussig
LM, Landau LI, Le Souĕf PN, Martinez FD, Morgan WJ, Sly PD,
penyunting. Pediatric respiratory medicine. Edisi ke-2.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. hlm. 773–7.

970
TUBERKULOSIS
Batasan
Tuberkolusis (TB) anak adalah penyakit infeksi yang disebabkan
M. tuberculosis pada anak berusia <15 th

Etiologi
Mycobacterium tuberculosis complex dan yang menjadi penyebab
utama penyakit tuberkulosis pada manusia adalah M. tuberculosis

Epidemiologi
WHO memperkirakan 30% penduduk dunia terinfeksi oleh M.
tuberculosis, terutama di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Tuberkulosis
merupakan penyebab kesakitan dan kematian anak di beberapa
negara endemis TB. Kesulitan dalam mendiagnosis TB dan banyak
kejadian TB pada anak yang tidak dilaporkan menyebabkan beban
kejadian TB pada anak tidak diketahui secara pasti. Dari 4.452.860
kasus baru yang dilaporkan pada tahun 2010 dari 22 negara endemis
TB, hanya 157.135 atau 3,5% (rentang 0,1–15%) terjadi pada anak.
Estimasi kejadian TB baru pada anak <15 th adalah 11%, sehingga
lebih dari 332.000 kasus TB anak tidak terlaporkan atau tidak
terdiagnosis. Kejadian TB paru anak dengan batang tahan asam (BTA)
positif pada 22 negara tersebut <10%. Indonesia melaporkan
terdapat 1.086 penderita TB anak terutama pada usia 12–60 bl
(42,9%) di tujuh RS pusat pendidikan selama 5 th dengan angka
kematian bervariasi 0–14,1%. Sebanyak 70–80% TB anak terjadi di
paru, sisanya di ekstraparu. Tuberkulosis anak sering diabaikan dalam
program nasional karena kesulitan dalam mendiagnosis, TB anak
tidak infeksius, sarana terbatas, dan pelaporan masih kurang

Penularan
Tuberkulosis merupakan penyakit yang ditularkan melalui udara
(airborne), 95% penularan melalui hirupan droplet nuclei penderita
TB paru atau TB laring saat batuk, bersin, berbicara, maupun
menyanyi. Oleh karenanya bila seorang anak didiagnosis menderita
TB, maka harus dicari penderita TB dewasa yang menjadi sumber
penularan pada anak tersebut, begitu juga sebaliknya

Klasifikasi
Terpapar
Individu yang terpapar dengan penderita TB, asimtomatik, peme-
riksaan fisis dan radiologis normal, serta tes kulit tuberkulin (−)

Latent Tuberculosis Infection (LTBI)


Individu yang terpapar dengan penderita TB, dengan hasil tes kulit
tuberkulin (+), tetapi tidak gejala, pemeriksaan fisis dan radiologis
dalam batas normal

971
Penyakit TB
Individu yang mempunyai gejala dan radiologi menunjukkan TB
TB intraparu:
TB paru (pada anak: TB paru primer)
Kronik TB paru/adult tipe TB/TB reaktivasi
Endobronkial TB
TB ekstraparu:
TB kelenjar
TB saluran respiratori atas dan telinga
TB mata
TB pleura
TB jantung
TB abdomen
TB retikuloendotelial
TB genitourinaria
TB susunan saraf pusat
TB tulang dan sendi
TB diseminata/milier

Pendekatan Diagnosis
Anak umumnya dievaluasi untuk kemungkinan menderita TB karena
muncul gejala dan tanda penyakit TB atau sebagai temuan dari
penelusuran terdapat kontak TB. Diagnosis TB anak sulit ditegakkan
karena baku emas untuk diagnosis TB yaitu konfirmasi bakteriologi
sering memberikan hasil yang (−). Hal ini berkaitan dengan sifatnya
yang paucibaciler dan sulit mendapatkan sediaan untuk pemeriksaan
bakteriologi. Bentuk TB yang sering terjadi pada anak adalah TB paru
(TB paru primer), sedangkan TB reaktifasi/adult type umumnya
terjadi pada anak yang lebih besar/remaja
Pendekatan diagnosis TB pada anak yang direkomendasikan WHO
meliputi:
Anamnesis yang teliti termasuk kontak TB dan gejalanya
Pemeriksaan fisis termasuk penilaian pertumbuhan
Tes kulit tuberkulin
Konfirmasi bakteriologi bila memungkinkan
Pemeriksaan yang relevan untuk kemungkinan TB paru dan TB
ekstraparu
Pemeriksaan HIV pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi
Anamnesis
Riwayat kontak erat dengan penderita TB. Kontak erat adalah
penderita TB yang tinggal serumah atau sering kontak dengan
sputum BTA (+). Penderita TB sputum (−) tetapi kultur (+) juga
dapat menularkan ke anak
Gejala yang sering ditemukan pada penderita TB anak adalah
Batuk persisten
Batuk terus-menerus tanpa episode sembuh >21 hr dan tidak
sembuh dengan pengobatan lini pertama. Hemoptisis jarang
ditemukan kecuali pada adult type TB

972
Panas lama
Panas badan >38 °C selama 14 hr, tetapi bukan karena infeksi
saluran respiratori, malaria, bakteremia, dan sepsis
BB ↓ atau gagal tumbuh
Penting untuk melihat data pada kurva pertumbuhan,
kecurigaan terhadap TB bila didapatkan kurva BB tetap/↓
melewati garis persentil selama 3–6 bl ke belakang
Keringat malam
Keringat malam hari yang berlebihan sehingga harus
mengganti baju
Gejala lain
Anoreksia, lesu, batuk darah (jarang). Mengorok, batuk
menggonggong, suara serak yang menetap ditemukan pada
TB laring. Nyeri dada unilateral dengan atau tanpa sesak
merupakan gejala pleuritis TB, sedangkan gangguan
kesadaran merupakan gejala meningitis TB

Pemeriksaan Fisis
Tidak ada temuan khusus pada pemeriksaan fisis yang dapat
mengonfirmasikan TB paru. Pemeriksaan status nutrisi harus selalu
dilakukan pada setiap anak yang dicurigai menderita TB. Pemerik-
saan fisis yang menunjang TB ekstraparu antara lain:
Conjuctivitis flictenularis pada TB mata
Limfadenopati servikal: unilateral, tidak sakit, diameter >2 cm
dan sering membentuk formasi fistula
Skrofuloderma pada TB kulit
Penurunan suara pernapasan, dullness, crackles ditemukan pada
pleuritis TB
Nyeri dada dan bunyi jantung redup ditemukan pada
perikarditis TB
Wheezing dapat ditemukan pada pembesaran kelenjar limfe
peribronkial
Perut membesar dan asites ditemukan pada TB abdomen
Pembengkakan sendi yang tidak nyeri menunjukkan artritis TB
Gibbus pada spinal yang tidak sakit menunjukkan spondilitis TB

Pemeriksaan Penunjang
Tes kulit tuberkulin
Tes tuberkulin dilakukan dengan menyuntikkan purified protein
derivative (PPD) RT23 2TU kekuatannya setara dengan PPDS 5
TU secara intradermal sebanyak 0,1 mL pada permukaan volar
lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48–72 jam sesudah injeksi.
Pada anak imunokompeten, tanpa melihat status imunisasi BCG
maka cut-off point diameter transversal indurasi ≥10 mm
dikatakan (+), sedangkan pada anak imunodefisiensi seperti
penderita HIV dan KEP berat maka cut-off point diameter
transversal indurasi ≥5 mm

973
Konfirmasi bakteriologi
WHO merekomendasikan pemeriksaan batang tahan asam
(BTA) dan kultur baik dari sediaan sputum (disarankan pada
anak usia ≥10 th), aspirat cairan lambung, cairan tubuh lain
(pleura, perikardial, dll.), biopsi kelenjar limfe ataupun organ
lain bila fasilitas laboratorium tersedia
Pemeriksaan radiologi
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB paru tidak khas, dan
gambaran normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika
klinis dan pemeriksaan penunjang lain mendukung. Gambaran
radiologis yang sering ditemukan adalah pembesaran kelenjar
limfe hilus. Pada adult type TB ditemukan gambaran infiltrat
yang luas atau kavitas. Gambaran radiologis lain yang dapat
ditemukan adalah milier, konsolidasi segmental/lobar, efusi
pleura, atelektasis, kalsifikasi disertai infiltrat, dan tuberkuloma
Pemeriksaan lain
Serologis dan polymerase chain reaction (PCR) tidak direkomen-
dasikan dilakukan secara rutin untuk diagnosis TB. Interferon-
gamma release assays (IGRAs) digunakan untuk mendiagnosis
infeksi laten TB dan hasil pemeriksaan ini tidak dipengaruhi oleh
imunisasi BCG. Pemeriksaan HIV dianjurkan dilakukan pada
semua penderita TB
Mengingat sulit mendiagnosis TB pada anak, maka Unit Kerja
Koordinasi (UKK) Respirologi PP IDAI bekerja sama dengan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia membuat sistem skoring
yang sudah dites dalam suatu penelitian dan sudah direvisi untuk
mempermudah diagnosis TB anak terutama di daerah dengan
fasilitas kesehatan yang kurang memadai (Tabel 229)

974
Tabel 229 Sistem Penilaian/Skoring Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB di Sarana Kesehatan Terbatas
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas − Laporan keluarga, BTA (−) BTA (+)
atau tidak tahu, BTA tidak
jelas
Tes kulit tuberkulin (−) − − Positif (≥10 mm atau ≥5
mm pada keadaan
imunosupresif)
BB/keadaan gizi − BB/TB <90% atau Klinis gizi buruk −
BB/U <80% BB/TB <70% atau BB/IU <60%
Demam yang tidak diketahui − >2 mgg − −
975

sebabnya
Batuk kronik − ≥3 mgg − −

Pembesaran kelenjar limfe − >1 cm, jumlah >1, − −


kolli, aksila, inguinal tidak nyeri
Pembengkakan tulang/sendi − Ada pembengkakan − −
panggul, lutut, falang
Foto Rontgen toraks Normal/ kelainan Gambaran sugestif − −
tidak jelas TB*
Sumber: UKK Respirologi 2008
Keterangan:
Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, rujuk ke RS:
1. Foto Rontgen toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi
pleura
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya: kejang, kaku kuduk, kesadaran ↓, kegawatan lain
misalnya sesak napas
Bila ditemukan skrofuloderma penderita dapat langsung didiagnosis TB
BB dinilai saat penderita datang
Foto Rontgen toraks bukan merupakan alat diagnosis utama TB anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem
skoring
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥6
Penderita balita yang mendapat skor 5 dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut
* Gambaran foto Rontgen toraks sugestif TB berupa: pembesaran kelenjar
hilus atau partrakheal dengan/tanpa infiltrat, konsolidasi segmental/lobar,
milier, kalsifikasi dengan infiltrat, atelektasis, tuberkuloma

Tatalaksana
Obat antituberkulosis (OAT) diberikan dalam 2 fase yaitu fase intensif
dan fase lanjutan yang diberikan selama 6–12 bl. Pada fase intensif
diberikan min. 3 macam obat selama 2 bl pertama dan pada fase
lanjutan diberikan min. 2 macam obat selama 4–10 bl selanjutnya.
Pemberian OAT dapat menggunakan fixed dose combinations (FDC)
maupun regimen obat terpisah. Tablet FDC yang tersedia untuk fase
intensif terdiri atas INH 50 mg, rifampisin 75 mg, dan PZA 150 mg,
sedangkan fase lanjutan terdiri atas INH 50 mg dan rifampisin 75 mg.
Pemberian INH bila dikombinasikan dengan rifampisin, maka dosis
INH tidak boleh >10 mg/kgBB/hr. Rifampisin tidak boleh diracik
dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu
bioavailabilitas rifampisin. Stategi directly observed short-course
therapy (DOTs) digunakan untuk memastikan kepatuhan pengobatan
dan ketersediaan OAT

976
Tabel 230 Regimen Pengobatan TB Anak yang Direkomendasikan WHO 2010
Regimen OAT
Kasus TB dan Kategori Diagnostik
Fase Intensif Fase Lanjutan
Regimen penderita baru 2 HRZE 4HR
BTA (+)
BTA (−) dengan keterlibatan paru yang luas
TB ekstraparu berat selain meningitis TB
Regimen penderita baru 2HRZ 4HR
BTA (−) tanpa keterlibatan paru yang luas
TB ekstraparu ringan (misalnya TB servikal adenitis)
Regimen penderita baru 2HRZS* 4HR
Meningitis TB
Regimen retreatment 2HRZES/1HRZE 5HRE
977

Sebelumnya pernah diobati dengan BTA (+) (relaps, pengobatan sesudah terputus, atau
gagal terapi)
Jika risiko rendah untuk MDR-TB atau risiko tidak diketahui: lanjutkan dengan regimen
retreatment
Jika risiko tinggi untuk MDR: gunakan regimen MDR-TB
Regimen MDR-TB Regimen individual
MDR-TB
Sumber: Graham 2011
Keterangan:
Tabel di atas merupakan rekomendasi WHO 2010
H: INH; R: rifampisin; Z: pirazinamid; E: etambutol; S: streptomisin
Perubahan utama adalah semua tipe TB (kecuali TB meningitis dan TB osteoartikular) di daerah endemik HIV harus disertai obat ke-4
pada fase intensif 2HRZE/4RH
Pada TB meningitis streptomisin tidak lagi direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada anak, pengantian streptomisin dengan
etionamid dan diberikan 9–12 bl
Tabel 231 Dosis Obat Antituberkulosis Lini Pertama dan Kedua yang Direkomendasikan untuk TB Anak
Dosis Tunggal Harian
Obat Cara Kerja Efek Samping mg/kgBB/hr (Rentang)
[Dosis Maksimal]
Lini pertama
Isoniazid Bakterisidal Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas 10 (5–15) [300]
Rifampisin Bakterisidal dan Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, 15 (10–20) [600]
sterilisasi trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid Sterilisasi Toksisitas hepar, artralgia, gastrointestinal 35 (30–40) [2.000]
978

Etambutol Bakteriostatik Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta 20 (15–25) [1.200]
warna merah hijau, hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin bakteriostatik Ototoksik, nefrotoksik 15 (12–18) [1.000]
Lini kedua
Etionamid Bakterisidal Muntah, hepatitis, hipotiroid 15–20 [1.000]
Fluorokinolon Bakterisidal Insomnia, atralgia
Ofloksasin 15–20 [800]
Levofloksasin 7,5–10 [750]
Moksifloksasin 7,5–10 [400]
Aminoglikosida Bakterisidal Ototoksik, nefrotoksik 15–30 [1.000]
Kanamisin
Amikasin
Polipeptida Bakteriostatik Ototoksik, nefrotoksik 15–30 [1.000]
Kapreomisin
Sikloserin Bakteriostatik Psikosis, depresi, kejang 10–20 [1.000]
Dibagi 2–3 dosis/hr
Asam para Bakteriostatik Diare, muntah, hipotiroid 150–200 [12.000]
979

amino salisilat Dibagi 2–3 dosis/hr


(PAS)
Sumber: Marais dkk. 2011
Keterangan:
Pada anak berusia <5 th yang terpapar penderita TB, tetapi terbukti terdapat infeksi maupun penyakit TB direkomendasikan untuk
mendapat kemoprofilaksis INH 10 mg/kgBB/hr selama 6–9 bl
Tuberkulosis pada Keadaan Khusus
Beberapa keadaan khusus pada TB anak meliputi: infeksi TB laten, TB-
HIV, MDR-TB, TB perinatal, dan TB ekstraparu
Infeksi TB Laten
Infeksi TB laten pada anak menyumbangkan terjadi TB pada saat
remaja/dewasa. Infeksi TB laten dipastikan dengan hasil tes kulit
tuberkulin (+), sedangkan anak tidak bergejala, dan hasil
pemeriksaan fisis dan radiologis dalam batas normal. WHO
merekomendasikan profilaksis pada anak <5 th yang
terpapar/terinfeksi TB dan penderita HIV dengan INH 10 mg/kgBB
selama 6–9 bl. Pengobatan kemoprofilaksis dengan INH akan ↓
kemungkinan TB sebesar ⅔ kasus. Jika diketahui sumber penularan
resisten terhadap INH atau penderita tidak dapat menoleransi INH
diberikan rifampisin dengan dosis 10 mg/kgBB/hr selama 6 bl. Bila
sumber penularan adalah penderita multidrug-resistant (MDR) TB
maka diberikan kemoprofilaksis sesuai dengan hasil tes kepekaan
obat
TB HIV
Diagnosis TB pada penderita HIV sangat sulit ditegakkan karena
pada penderita HIV gejala TB sering tumpang tindih dengan gejala
HIV, sensitivitas uji tuberkulin rendah (cut-off point PPD (+):
indurasi ≥5 mm), sering mengalami penyakit paru akut dan kronik
yang disebabkan patogen selain M. tuberculosis, pemeriksaan foto
Rontgen toraks overlaping dengan penyakit paru yang
berhubungan dengan HIV. Tes HIV sebaiknya dilakukan pada setiap
anak yang didiagnosis TB. Skrining TB melalui gejala klinis harus
dilakukan pada setiap anak HIV. Penderita TB HIV sering menderita
TB ekstraparu. Pemeriksaan kultur dan BTA sebaiknya dilakukan
untuk mengonfirmasikan TB pada penderita HIV. Tatalaksana TB
paru dan ekstraparu (selain meningitis dan osteoartritis TB) pada
penderita HIV adalah 2RHZE/4RH, bila respons klinis lambat fase
lanjutan dapat dilanjutkan sampai 9 bl. Tatalaksana penderita
meningitis TB dan TB tulang pada penderita HIV adalah
2RHZE/10RH. Pemberian OAT sebaiknya dilakukan 2–8 mgg
sebelum pemberian ART. Imunisasi BCG tidak diberikan pada bayi
yang lahir dari ibu terinfeksi HIV
Multidrug-Resistant TB
Terdapat beberapa istilah pada drug resistance TB, yaitu: 1) Mono-
resistance: terbukti secara in vitro dengan hasil kultur didapatkan
resisten terhadap 1 OAT lini pertama; 2) Poly-resistance: terbukti
secara in vitro dengan hasil kultur didapatkan resisten terhadap ≥2
OAT lini pertama, selain resisten terhadap INH dan Rifampisin; 3)
MDR-TB: bila pada hasil kultur didapatkan resisten terhadap
minimal INH dan rifampisin, 4) Extensive drug resistance (XDR):
MDR ditambah dengan resisten terhadap fluoroquinolon dan OAT
injeksi lini kedua. Penderita yang dicurigai menderita MDR-TB dan
direkomendasikan untuk dilakukan drug susceptibility testing,
antara lain: gagal terapi TB/gagal pada terapi ulangan TB, terpapar
penderita yang diketahui menderita MDR-TB, kambuh, BTA tetap
980
(+) min. sesudah 2 atau 3 bl, tinggal di daerah endemik MDR-TB,
MDR
pengobatan TB tidak adekuat, dan penderita HIV. Apabila MDR-TB
sudah diidentifikasi maka diberikan OAT min. 18–2418 bl dengan
mengunakan 3–4 4 jenis OAT selain INH dan rifampisin ditambah 1
obat TB suntik dengan fase intensif berlangsung selama 6 bl (4 bl
sesudah kultur (−)) dan fase lanjutan 12–18 bl sesud
sudah kultur (−)
TB Perinatal
TB paru dan ekstraparu pada ibu dapat menularkan TB pada anak
saat antenatal, intrapartum, maupun postpartum. Gejala TB
kongenital/perinatal dapat muncul sesudah lahir, tetapi dapat
terjadi mulai mgg ke-2–3 kehidupan. Aspek utama deteksi TB pada
bayi baru lahir adalah anamnesis pada ibu antara lain pneumonia
yangg tidak membaik, kontak erat TB serumah, TB pada ibu, ibu dan
riwayat pengobatannya. Gejala pada bayi biasanya tidak spesifik,
meliputi sesak napas, panas badan, hepatosplenomegali,enomegali, malas
menetek, gangguan kesadaran, limfadenopati, perut membesar,
gagal tumbuh, kejang, kuning, keluar sekret telinga, lesi kulit, dan
gangguan hematologis. Gambaran milier sering ditemukan pada
foto Rontgen toraks. Pemeriksaan lain meliputi pemeriksaan
pem BTA
dan kultur M. tuberculosis dari sediaan aspirat lambung/trakea,
cairan tubuh lain, lesi kulit, dan biopsi
iopsi kelenjar limfe/organ lain

foto toraks TB foto toraks TB

Gambar 78 Algoritme Tatalaksana Bayi Baru Lahir yang Terpapar TB


Sumber: Adhikari dkk. 2009
981
Profilaksis diberikan INH dengan dosis 10 mg/kgBB selama 3 bl
atau kombinasi INH dan rifampisin 10 mg/kgBB/hr dan bila hasil
PPD tes (–) sesudah 3 bl profilaksis dihentikan dan bayi dilakukan
imunisasi BCG 2 mgg kemudian. Terapi TB pada bayi baru lahir
2RHZ/4RH, dengan dosis INH 10 mg/kgBB/hr, rifampisin 10
mg/kgBB/hr, dan PZA 25 mg/kgBB/hr
TB Milier
Gejala TB milier yang sering dijumpai adalah anoreksia, BB ↓ atau
gagal tumbuh, demam lama, batuk, dan sesak napas. Pada 50%
penderita terdapat limfadenopati superfisial, hepatosplenomegali.
Tuberkel koroid didapatkan 13–87%. Pada pemeriksaan foto
Rontgen toraks terdapat gambaran khas berupa tuberkel halus
(millet seed) yang tersebar merata di seluruh lapang paru dengan
ukuran yang hampir seragam (1–3 mm). Pemeriksaan pungsi
lumbal sebaiknya dilakukan untuk menyingkirkan meningitis TB.
Tatalaksana TB milier adalah pemberian 4–5 OAT selama 2 bl
pertama, dilanjutkan dengan INH dan rifampisin selama 6–9 bl
(Tabel 230)
TB Ekstraparu
TB kelenjar
Umumnya terjadi 6–12 bl sesudah infeksi. Manifestasi klinis
tersering terjadi di kelenjar leher, terutama leher anterior,
unilateral, tidak sakit, diameter >2×2 cm dan sering mem-
bentuk formasi fistula. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisis, tes tuberkulin, pemeriksaan foto
Rontgen toraks, dan diagnosis defenitif memerlukan pemerik-
saan BTA, histopatologi serta konfirmasi bakteriologis yang
didapat dari biopsi/fine needle aspiration (FNA) kelenjar limfe.
Pengobatan TB kelenjar adalah 2RHZ 4RH
TB saluran respiratori atas dan telinga
TB saluran respiratori atas dan telinga jarang dijumpai. TB laring
mempunyai gejala batuk seperti croup, sakit tenggorokan,
serak, dan disfagia. Gejala otitis media TB adalah otore yang
tidak sakit, tinitus, pendengaran ↓, paralisis wajah, dan
perforasi membran timpanik. Diagnosisnya sulit karena BTA dan
kultur cairan telinga biasanya (−), dan histologi memberikan
hasil nonspesifik berupa inflamasi kronik tanpa granuloma.
Terapi dengan OAT 2RHZ/4RH
TB mata
Bentuk TB mata yang sering ditemukan adalah TB koroid.
Papulonekrotik TB dan conjunctivitis flictenularis merupakan
reaksi hipersensitif yang berkaitan dengan TB primer, berupa
nodul putih/merah muda pada konjungtiva disertai hiperemis di
sekitarnya. Uveitis TB bermanifestasi sebagai panuveitis atau
iridosiklitis granuloma kronis. Pada TB milier sering ditemukan
tuberkel koroid tunggal ataupun multipel. Tatalaksana yang
diberikan sama dengan terapi TB paru yaitu 2RHZ/4RH

982
TB pleura
Pleuritis TB sering terjadi pada anak, biasanya terjadi dalam 3–9
bl pertama sesudah terjadi TB primer. Manifestasi klinis yang
sering ditemukan adalah batuk, nyeri dada saat inspirasi, sesak
napas, dan BB ↓. Efusi pleura umumnya bersifat unilateral
terjadi pada sisi yang sama dengan kelainan pada parenkim.
Karakteristik cairan pleura pada pleuritis TB yaitu cairan
berwarna kuning, protein ↑, PH cairan biasanya 1,012–1,025
(<7,3), kadar glukosa ↓ (20–40 mg/dL), protein >30 g/L, lactate
dehydrogenase (LDH) >200 IU/L, dan adenosin deaminase (ADA)
↑ >47 IU/L. Jumlah sel ratusan sampai ribuan dengan limfo-
sitosis, tetapi pada awal penyakit dapat ditemukan predominan
sel polymorphonuclear (PMN). Kultur M. tuberculosis cairan
pleura (+) pada 25–30% kasus, kultur biopsi/FNA (+) sampai 12%
dari pemeriksaan biopsi/FNA. Terapi 2RHZ/4RH disertai
pemberian kortikosteroid
TB jantung
Perikarditis TB paling sering ditemukan, terutama pada
penderita HIV. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan adalah
sesak napas, nyeri dada, batuk, keringat malam, ortopne, BB ↓,
edema tungkai, kariomegali, hepatomegali, panas, takikardia,
pericardial rub, pulsus paradoksus, tekanan vena jugularis ↑,
efusi pleura, dan bunyi jantung yang lemah. Pemeriksaan foto
Rontgen toraks didapatkan kardiomegali dan konfirmasi efusi
perikardial dengan pemeriksaan CT-toaks. Pemeriksaan cairan
perikardial sama dengan temuan pada pleuritis TB. Kultur dari
biopsi perikardial memberikan hasil lebih baik daripada cairan
perikardial, tetapi bersifat lebih invasif. Tatalaksana perikarditis
TB meliputi kardiosentesis, OAT 2RHZE/4RH, dan pemberian
kortikosteroid
TB abdomen
Tuberkulosis abdomen merupakan TB yang mengenai organ
dalam abdomen, antara lain orofaring TB (ulserasi kronik,
jarang), esofageal TB (fistula trakeoesofageal, jarang), peritonitis
TB (nyeri perut, asites, anoreksia, panas badan, dan teraba
massa abdomen lunak ireguler), enteritis TB terutama jejunum,
ileum, dan apendiks (nyeri perut, panas badan, BB ↓,
diare/konstipasi kronik). TB abdomen lebih sering terjadi pada
penderita HIV. Tes kulit tuberkulin biasanya (+). Konfirmasi
diagnosis meliputi endoskopi, BTA dan kultur dari cairan asites,
maupun biopsi material peritoneal. Biokimia cairan asites sama
dengan temuan pada pleuritis dan perikarditis TB. Terapi TB
abdomen adalah 2RHZE/4RH, pemberian kortikosteroid, dan
pembedahan bila terdapat komplikasi
TB sistem retikuloendotelial
Sistem retikuloendotelial (RES) TB pada anak jarang dilapor-kan.
Pada anak dapat mengenai hati, sumsum tulang, atau lien yang
umumnya merupakan bagian dari TB diseminata. Manifestasi
klinis dapat berupa panas badan, hepatomegali dan spleno-
983
megali, serta anemia. Gejala lain meliputi ikterik, anoreksia, dan
nyeri perut. Abses tunggal maupun multipel. Pemeriksaan USG
dan CT-scan dapat membantu diagnosis untuk melihat lesi
intrahepatik. Pemeriksaan BTA, kultur, dan histopatologi dari
bahan pemeriksaan yang didapat dari FNA/biopsi hati dilakukan
pada abses atau granuloma yang besar. Pengobatan dengan
OAT untuk TB ekstraparu yaitu 2RHZE/4RH, tetapi bila
merupakan bagian dari TB diseminata, pengobatan sesuai
dengan TB diseminata yaitu 2RHZE/10RH
TB tulang dan sendi
Bentuk yang sering dijumpai adalah spinal/spondilitis TB diikuti
oleh artritis TB. Pada spondilitis TB sering terjadi pada vertebra
toraks bawah dan vertebra lumbal atas, serta umumnya
mengenai 2 vertebra yang berdekatan. Gejala klinis meliputi
nyeri pada tulang belakang, deformitas tulang belakang karena
destruksi vertebra menyebabkan gibbus dan kiposis, serta
gangguan neurologis seperti paraplegi
Artritis TB sering terjadi pada tulang panggul dan lutut dan
umumnya hanya mengenai 1 sendi/tulang. TB tulang muncul
lambat (1–3 th sesudah infeksi) dan umumnya terjadi pada anak
yang lebih besar
Terapi OAT yang diberikan adalah 2RHZE/10RH dan operasi
dilakukan bila terdapat ketidakstabilan tulang belakang yang
menyebabkan deformitas yang berat
TB SSP
Meningitis TB merupakan bentuk TB SSP yang sering dijumpai
selain tuberkuloma intrakranial dan spinal arahnoiditis,
merupakan bentuk yang berat pada TB anak, serta sering
menyebabkan kematian. Saraf otak yang sering terkena adalah
sarafotak III, VI, dan VII, serta sering menyebabkan hidrosefalus
komunikans. Gejalanya muncul lambat selama beberapa mgg
dan dapat dibagi menjadi 3 stadium:
Stadium 1 berlangsung 1–2 mgg dengan gejala tidak spesifik
seperti panas badan, sakit kepala, mengantuk, dan malaise,
tidak terdapat gangguan neurologis (Glasgow coma
scale/GCS: 15)
Stadium 2 dengan gejala muncul tiba-tiba, seperti kesadaran
↓, kejang, kaku kuduk, muntah, hipertoni, gangguan saraf
otak, Brudzinski dan Kernig (+), serta gejala neurologi lainnya
(GCS 11–14)
Stadium 3 terdapat gangguan kesadaran yang lebih dalam
(GCS ≤10), hemiplegi atau paraplegi, hipertensi, deserebrasi,
dan sering menimbulkan kematian
Tes kulit tuberkulin (−) pada 50% kasus dan foto Rontgen toraks
normal ditemukan pada 20–50% kasus
Pemeriksaan cairan serebrospinal sangat penting untuk
diagnosis meningitis TB dengan rentang jumlah lekosit 10–500
sel/mm3, pada awal penyakit dominasi oleh PMN, tetapi
umumnya limfosit. Glukosa <40 mg/dL tetapi jarang <20 mg/dL.

984
Protein cairan ↑ (400–5.000 mg/dL). Pemeriksaan BTA dari
cairan likuor (+) pada 30% kasus dan kultur (+) pada 50–70%
kasus. Dibutuhkan bahan pemeriksaan 5–10 mL cairan
serebrospinal untuk pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan BTA
dan kultur dapat diperiksa dari aspirasi cairan lambung
Pada anak tuberkuloma sering terjadi infratentorial, dengan
lokasi pada dasar otak dekat serebelum. Lesi dapat tunggal
maupun multipel. Gejala yang sering muncul berupa sakit
kepala, panas badan, dan kejang. Pada pemeriksaan CT-
scan/MRI kepala didapatkan gambaran lesi diskret dikelilingi
daerah edema berbentuk seperti cincin (ring-like)
Tatalaksana TB SSP adalah OAT 2RHZE/10RH dan kortikosteroid.
Tatalaksana hidrosefalus komunikans diberikan asezolamid 50
mg/kgBB/hr dan furosemid 1 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis selama
1 bl, sedangkan tatalaksana pembedahan dilakukan untuk
mengatasi hidrosefalus nonkomunikans dengan pemasangan
shunt
TB genitourinaria
TB ginjal jarang terjadi pada anak karena membutuhkan waktu
yang lama (5–25 th) dan biasanya terjadi unilateral. Pada
stadium awal sering tidak bergejala, hanya terdapat piuria steril,
mikroskopis hematuria, kemudian berkembang menjadi disuria,
nyeri abdomen/pinggang, dan gross hematuria. Komplikasi yang
dapat terjadi adalah hidronefrosis dan striktur ureter.
Pemeriksaan BTA urin (+) pada 50–70 kasus, dan kultur (+)
didapatkan pada 80–90% kasus. Pielogram dan CT-scan
mendeteksi komplikasi
TB genital jarang didapatkan sebelum usia pubertas. Pada anak
remaja putri dapat terjadi TB pada tubulus falopi, endometrion,
ovarium, dan servik. Gejala yang dapat muncul berupa
dismenore atau amenore, gejala sistemik biasanya tidak ada,
foto Rontgen toraks umumnya normal dan tes tuberkulin sering
(+). Pada remaja putra dapat mengenai prostat, vesika
seminalis, epididimis, dan testis. Gejalanya asimtomatik tetapi
dapat muncul piuria dengan/tanpa hematuria steril dan nodul
unilateral tidak sakit pada skrotum
Terapi pada TB genitourinaria adalah dengan menggunakan OAT
2RHZE/4RH
TB kulit
Bentuk TB kulit yang sering ditemukan adalah skrofuloderma,
lupus vulgaris, dan verukosa kutis. Skrofuloderma biasanya
ditemukan di leher, yaitu anterior servikal, submandibula,
supraklavikula, dan ketiak. Lupus vulgaris terjadi di ekstremitas,
sedangkan kutis verukosa terjadi di kaki dan telapak kaki.
Diagnosis ditegakkan dengan granuloma sel epiteloid dan
nekrosis kaseosa pada sitologi/biopsi. Aspirasi lesi kutaneus
skrofuloderma BTA (+) pada 70% kasus sedangkan lupus vulgaris
hanya 22% kasus. Terapi OAT yang diberikan adalah 2RHZ/4RH

985
Terapi Tambahan pada TB
Kortikosteroid diberikan pada penderita meningitis TB dengan
gangguan kesadaran dan neurologi, efusi pleura dan perikardial,
laringitis dengan obstrusi saluran respiratori atas, hipertropi
kelenjar limfe yang sering berhubungan dengan TB milier yang
menyebabkan kompresi bronkial atau arteri, serta TB saluran
kemih untuk mencegah stenosis ureter. Prednison diberikan
dengan dosis 1–2 mg/kgBB/hr selama 4–8 mgg
Vitamin B6 (5–10 mg/hr) diberikan pada bayi yang mendapat ASI,
penderita malnutrisi, HIV (+), remaja yang sedang hamil, dan diet
rendah susu atau daging
Pemantauan Terapi
Selama terapi dilakukan pemantauan tiap bl untuk mengetahui
kepatuhan terhadap pengobatan, melihat respons klinis terapi,
toksisitas dan efek samping OAT. Pemeriksaan berkala foto
Rontgen toraks tidak direkomendasikan untuk evaluasi peng-
obatan TB
Hepatotoksisitas merupakan efek samping berat dan paling sering
terjadi. Keadaan ini dapat disebabkan oleh INH, RIF, dan PZA. Efek
samping muncul pada 2–4 mgg pertama sesudah pemberian OAT.
Tatalaksana pada penderita yang mengalami hepatotoksisitas
adalah bila sesudah mendapat OAT penderita menjadi kuning
(bilirubin total >1,5 mg/dL) atau muncul gejala drug-induced
hepatotoxicity dengan alanin aminotransferase (ALT)= SGPT ↑ >3×
normal, atau SGPT >5× normal walaupun tanpa gejala maka
pemberian OAT harus dihentikan (lihat Gambar 79). Pada
penderita TB berat dapat diberikan 2 atau 3 obat yang mempunyai
efek hepatotoksik rendah seperti streptomisin, etambutol, dan
ofloksasin. OAT dapat segera diberikan secara bertahap bila fungsi
hati sudah normal kembali dimulai dengan INH atau rifampisin
Antituberculosis Drug-Induced Hepatotoxicity (ADIH)
Bila pada anak yang mendapat OAT terjadi ADIH, maka pemberian
semua OAT dihentikan. Kriteria ADIH yaitu bila didapatkan:
SGPT ↑ ≥5× nilai batas atas normal tanpa gejala klinis
SGPT ↑ ≥3× nilai batas atas normal disertai dengan gejala klinis
SGPT ↑ dengan nilai berapapun di atas batas normal sebelum
diberikan terapi yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea,
muntah
Bilirubin total (BT) serum ↑ >1,5 mg/dL
Panduan tatalaksana ADIH:
Bila didapatkan gejala klinis seperti ikterik, mual, muntah, dan
nilai SGPT ≥3× nilai batas atas normal → OAT diberhentikan
Bila tidak didapatkan gejala klinis tetapi nilai SGPT ≥5× nilai
batas atas normal → OAT diberhentikan
Bila tidak didapatkan gejala klinis tetapi nilai bilirubin >1,5
mg/dL → OAT diberhentikan
Dilakukan skrining untuk mencari kemungkinan etiologi yang
lain seperti hepatitis A, B, dan C
986
Dilakukan pemantauan gejala klinis dan SGPT selama 2–4 mgg
Bila gejala klinis perbaikan dan laboratorium normal kembali
mulai diberikan kembali OAT secara bertahap yang disebut
reintroduction therapy

Reintroduction therapy
1. Sesudah nilai SGPT <2× nilai normal, dapat dimulai
pemberian rifampisin dengan atau tanpa etambutol. Pada
penderita dengan regimen OAT yang terdiri atas 3 macam
obat → reintroduction therapy dimulai dengan rifampisin
saja, tetapi bila regimen OAT yang terdiri atas 4 macam obat
→ reintroduction therapy dimulai dengan rifampisin
(bertahap) dan etambutol (dosis penuh)
Dosis rifampisin dimulai:
Hr 1 & 2: ⅓ dosis
Hr 3 & 4: ⅔ dosis Pantau klinis
Hr 5 & 6: dosis penuh
2. Pada hr ke-7, periksa SGPT, bila baik mulai diberikan INH:
Hr 1 & 2: ⅓ dosis
Hr 3 & 4: ⅔ dosis Pantau klinis
Hr 5 & 6: dosis penuh
3. Jika gejala klinis muncul atau SGPT ↑ → INH dihentikan
4. PZA tidak perlu diberikan kembali dan terapi diberikan
hingga 9 bl

987
Gambar 79 Algoritme Tatalaksana Antituberculosis Drug-Induced
Hepatotoxicity (ADIH)
Keterangan: INH, isoniazid; RIF, rifampisin; EMB, etambutol
Sumber: modifikasi dari American Thoracic Society 2007

988
Pencegahan
Prioritas utama pada program TB adalah penemuan dan terapi indeks
kasus. Imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG) mempunyai efek
proteksi 0–80%, efek proteksi untuk menurunkan angka kejadian TB
baru dalam populasi, bukan individual
Bibliografi
1. Mandalakas AM, Starke JR. Tuberculosis and nontuberculous
mycobacterial disease. Dalam: Wilmott RW, Boat TF, Bush A,
Chernick V, Deterding RR, Ratjen F, penyunting. Kendig and
Chernick’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-8.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012. hlm. 506–30.
2. Caminero JA, Sotgiu G, Zumla A, Migliori GB. Best drug treatment
for multidrug-resistant and extensively drug-resistant tuberculosis.
Lancet Infect Dis. 2010 Sep;10(9):621–9.
3. Cruz AT, Starke JR. Pediatric tuberculosis. Pediatr Rev. 2010 Jan;
31(1):13–26.
4. Donald PR, Schoeman JF. Central nervous system tuberculosis in
children. Dalam: Schaaf HS, Zumla A, penyunting. Tuberculosis: a
comprehensive clinical reference. Missouri: Elsevier; 2009. hlm.
513–43.
5. Hassan G, Qureshi W, Kadri SM. Congenital tuberculosis. JK Sci.
2006;8(4):193–4.
6. Graham SM. Treatment of paediatric TB: revised WHO
guidelines. Paediatr Respir Rev. 2011 Mar;12(1):22–6.
7. Graham SM, Marais BJ, Gie RP. Clinical features and index of
suspician of tuberculosis in children. Dalam: Schaaf HS, Zumla A,
penyunting. Tuberculosis: a comprehensive clinical reference.
Missouri: Elsevier; 2009. hlm. 154–63.
8. Marais BJ, Gie RP, Schaaf HS, Beyers N, Donald PR, Strarke JR.
Childhood pulmonary tuberculosis: old wisdom and new
challenges. Am J Respir Crit Care Med. 2006 May;173(10):1078–90.
9. Marais BJ, Schaaf H.S, Donald PR. Management of tuberculosis in
children and new treatment options. Infect Disord Drug Targets.
2011 Apr;11(2):144–56.
10. Marais BJ, Graham AM. Tuberculosis lymphadenitis and
involvement of the reticuloendotelial system in children. Dalam:
Schaaf HS, Zumla A, penyunting. Tuberculosis: a comprehensive
clinical reference. Missouri: Elsevier; 2009. hlm. 391–400.
11. Mukherjee J, Schaaf HS. Multidrug-resistant tuberculosis in
children. Dalam: Schaaf HS, Zumla A, penyunting. Tuberculosis: a
comprehensive clinical reference. Missouri: Elsevier; 2009. hlm.
532–8.
12. Starke JR. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman
RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.
Philadelphia: WB Saunders; 2011. hlm. 998–1011.
13. Reuter H, Wood R, Schaaf HS, Donald PR. Overview of
extrapulmonary tuberculosis in adult and children. Dalam:
Schaaf HS, Zumla A, penyunting. Tuberculosis: a comprehensive
clinical reference. Missouri: Elsevier; 2009. hlm. 377–90.
989
14. Swaminathan S, Rekha B. Pediatric tuberculosis: global overview
and challenges. Clin Infect Dis. 2010 May;50(Suppl 3):184–94.
15. World Health Organization. Guidelines for the programmatic
management of drug-resistant tuberculosis. Geneva: WHO;
2006.
16. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis
programmes on the management of tuberculosis in children.
Geneva: WHO; 2006.
17. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis
and HIV programmes on the management of tuberculosis in HIV-
infected children: Recommendations for a public health
approach. Geneva: WHO; 2010.

990
ASMA
Batasan
Asma merupakan inflamasi kronik saluran respiratori yang
mengakibatkan obstruksi aliran udara secara episodik. Inflamasi
kronik ini berhubungan dengan sifat hiperresponsif saluran respiratori
yang menyebabkan wheezing, sesak napas, dada terasa berat (rasa
dada tertekan), dan batuk berulang terutama pada malam atau pagi
hari. Keadaan ini dapat menghilang baik spontan maupun dengan
pengobatan
Epidemiologi
Kejadian asma di seluruh dunia meningkat meskipun penatalaksana-
an asma mengalami kemajuan yang cukup signifikan. International
Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) mendapatkan
hasil penelitian angka kejadian current wheeze (wheezing dalam satu
tahun terakhir) pada anak di 97 negara bervariasi sebesar 0,8–37,6%,
diagnosis asma didapatkan pada 13,1% anak. Kejadian asma ini
berhubungan erat dengan kejadian dermatitis atopik dan rino-
konjungtivitis alergika, dan penyakit alergi lain. Anak laki-laki lebih
banyak dibandingkan dengan anak perempuan (14:10%)
Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang paling sering ditemukan pada asma anak adalah
batuk dan wheezing (mengi) berulang. Pada anak lebih besar sering
ditemukan gejala berupa rasa dada tertekan (dada terasa berat) dan
napas pendek. Semua gejala klinis ini umumnya memburuk pada
malam hari terutama pada saat eksaserbasi yang dipicu oleh infeksi
saluran pernapasan akut bagian atas atau alergen inhalan. Gejala
klinis asma yang muncul pada siang hari umumnya berhubungan
dengan peningkatan aktivitas fisik anak. Gejala klinis lain yang tidak
spesifik dan sering tidak terdeteksi adalah aktivitas fisik terbatas,
kelelahan umum (disebabkan oleh gangguan tidur). Mengi sering
dikeluhkan oleh orangtua penderita sebagai bunyi napas berisik
(noisy breathing) pada 59% penderita asma anak, tetapi hanya 36%
yang betul-betul sebagai mengi dalam arti wheezing sesudah
diperlihatkan video. Anak yang mengalami batuk kronik, dalam
pengamatan selama 3 tahun ternyata 75% di antaranya didiagnosis
asma. Sesak berulang dan napas pendek jarang merupakan gejala
yang berdiri sendiri, umumnya disertai mengi
Eksaserbasi asma dapat dipicu oleh sejumlah kondisi atau pajanan
antara lain aktivitas fisik berlebihan, hiperventilasi (misalnya tertawa,
menangis), udara kering atau dingin, zat iritatif (asap rokok, ozon,
sulfur dioksida, asap kayu bakar, debu, parfum, hairsprays),infeksi
virus pada saluran respiratori, rhinitis, sinusitis, gastrooesophageal
reflux (GER). Selama terjadi eksaserbasi asma, pada auskultasi
umumnya ditemukan wheezing ekspiratoir dan ekspirasi memanjang.
Kadang didapatkan penurunan suara napas terutama pada daerah
paru kanan bawah akibat obstruksi percabangan bronkus. Crackles
dan ronki dapat terdengar akibat produksi lendir yang berlebihan
991
karena proses inflamasi pada saluran respiratori. Pada eksaserbasi
berat ditemukan distress pernapasan yang ditandai oleh wheezing
pada fase ekspirasi dan inspirasi, pemanjangan ekspirasi, retraksi
suprasternal dan interkostal, pernapasan cuping hidung, pemakaian
otot pernapasan tambahan lainnya, dan pada kondisi sangat berat
udara yang masuk paru hanya sedikit maka wheezing tidak terdengar
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat sesak napas, mengi, batuk, dan dada terasa tertekan yang
bersifat episodik sesudah terpapar alergen dan berkaitan dengan
musim, serta adanya riwayat asma atau atopi pada anggota
keluarga
Gejala tersebut dapa dipicu oleh: asap, uap, bau yang menyengat,
serbuk bunga, maupun aktivitas fisik, yang memburuk pada saat
malam hari dan berespons terhadap terapi asma
Beberapa pertanyaan yang dapat membantu diagnosis asma
adalah apakah anak mengalami mengiatau mengi berulang, batuk
malam hari, batuk atau mengi sesudah beraktivitas, mengi/batuk/
rasa dada tertekan/sesak sesudah terpapar alergen udara/polutan,
menderita pilek perlu waktu >10 hr untuk sembuh, dan apakah
gejala membaik sesudah pemberian obat antiasma?
Pemeriksaan Fisis
Pada anak asma, pemeriksaan fisis harus meliputi penilaian status
nutrisi dan tumbuh kembangnya. Pada keadaan tidak eksaserbasi,
maka mungkin tidak ditemukan kelainan, kadang-kadang
ditemukan suara lendir ataupun crackles yang berubah seiring
perubahan posisi atau batuk. Dapat pula ditemukan wheezing atau
pemanjangan ekspirasi ketika penderita diminta melakukan
ekspirasi yang kuat
Mengi, hiperinflasi dada, sianosis, takikardia, kesulitan untuk
berbicara, retraksi dinding dada umumnya ditemukan pada
periode serangan akut dan bergantung pada derajat serangan/
eksaserbasi. Beberapa parameter penting untuk menentukan
derajat eksaserbasi adalah posisi badan (nyaman pada posisi
terlentang, lebih nyaman posisi duduk, duduk sambil mem-
bungkuk), cara bicara (kalimat, kalimat terpotong, kata), kesadaran
(mungkin gelisah, gelisah, kesadaran ↓), penggunaan otot
pernapasan (ringan tidak ada, sedang dan berat ada, paradoksik
pada ancaman henti napas), nadi (<100, 100–120, >120,
bradikardia), dan wheezing (ringan pada akhir ekspirasi, jelas, tidak
terdengar). Dalam keadaan eksaserbasi dapat digunakan penilaian
singkat derajat eksaserbasinya:
1. Eksaserbasi ringan
Penderita dapat berbicara dengan kalimat yang utuh,
intensitas wheezing ringan sampai sedang (hanya terdengar
pada akhir ekspirasi), tidak ada pemakaian otot pernapasan
tambahan, saturasi O2 >95%

992
2. Eksaserbasi sedang
Bicara dengan kalimat terpotong, wheezing terdengar keras
(pada seluruh fase ekspirasi), ada penggunaan otot
pernapasan tambahan, saturasi O2 90–95%
3. Eksaserbasi berat
Bicara sepatah demi sepatah kata, intensitas wheezing keras
(pada seluruh fase ekspirasi dan inspirasi), penggunaan otot
bantu napas jelas, saturasi O2 <90%
4. Ancaman henti napas
Tidak dapat bicara, kesadaran ↓, wheezing tidak ada,
gerakan napas paradoksikal, saturasi O2 <90%, bradikardia

993
Tabel 232 Manifestasi Klinis Derajat Eksaserbasi

Manifestasi Klinis Ringan Sedang Berat Ancaman Henti Napas

Bicara Kalimat utuh Kalimat terpotong Sepatah kata Tidak dapat bicara
Wheezing Ringan sampai sedang Terdengar keras pada Terdengar keras Tidak ada
seluruh fase ekspirasi pada seluruh fase
ekspirasi dan
inspirasi
Otot pernapasan Tidak ada Ada Jelas ada Gerakan napas
994

tambahan paradoksal
Saturasi ≥95% 90–95% <90% <90%, bradikardia
Pemeriksaan Penunjang
Tes fungsi paru
Tes fungsi paru sebaiknya dilakukan pada anak usia >6 th.
Dilakukan oleh seorang pemeriksa yang knowledgeable,
penderita melakukan manuver FVC (tiupan sekuat mungkin dan
ekspirasi sepanjang mungkin). Terdapat dua metode tes fungsi
paru, yaitu pengukuran forced expiratory volume in one second
(FEV1) dan forced vital capacity (FVC) menggunakan spirometer
dan peak expiratory flowrate (PEFR) menggunakan peak
flowmeter. Diagnosis asma menggunakan penilaian reversibili-
tas obstruksi saluran respiratori sesudah pemberian bronko-
dilator (reversibility test). Prosedur dimulai dengan pengukuran
FEV1 atau PEFR min. 3× manuver yang benar diambil nilai yang
tertinggi, kemudian diberikan bronkodilator hirupan. Sesudah
istirahat 15 mnt, penderita melakukan manuver kembali seperti
sebelumnya, hasil FEV1 atau PEFR dicatat lagi kemudian dihitung
peningkatannya (dalam %) dibandingkan dengan nilai FEV1 atau
PEFR sebelum bronkodilator. Hasil dapat menunjang diagnosis
asma apabila terjadi peningkatan ≥12% atau ≥200 mL. Tes
reversibilitas ini lebih memungkinkan untuk dilakukan di klinik
dibandingkan dengan tes provokasi bronkus yang lebih berisiko
atau exercise challenge test yang kurang praktis
Pemeriksaan status alergi
Pemeriksaan tes alergi (tes kulit atau IgE spesifik serum)
diperlukan untuk kasus asma berat yang kemungkinan besar
berhubungan dengan alergi terhadap suatu alergen spesifik.
Kedua pemeriksaan ini tidak terlalu bermanfaat dalam
menunjang diagnosis asma, tetapi dapat membantu meng-
identifikasi faktor risiko maupun faktor pencetus

Klasifikasi
Klasifikasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan
tatalaksana lanjutan (jangka panjang). Global Initiative for Asthma
(GINA) membagi asma menjadi 4 klasifikasi, yaitu asma intermiten,
asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten
berat (Tabel 233), sedangkan menurut pedoman nasional asma anak
(PNAA) membagi klasifikasi derajat penyakit asma menjadi asma
episodik jarang, sering, dan persisten (Tabel 234). Dasar pembagian
atau klasifikasi asma pada anak adalah frekuensi serangan, lama
serangan, aktivitas di luar serangan, dan beberapa pemeriksaan
penunjang. Saat ini untuk menilai strata asma, lebih ditujukan pada
hasil pengobatan dan keadaan anak pada saat pengendalian. Untuk
memulai terapi dan tindak lanjut dilakukan penilaian derajat klinis
asma (Tabel 235)
Menurut WHO pada WHO Consultation on Severe Asthma di Jenewa,
6–7 April 2009 sudah mengusulkan istilah untuk menyeragamkan
istilah asma berat. Asma berat termasuk dalam 3 kelompok yang tiap
namanya membawa pesan kesehatan masyarakat dan tantangannya
sendiri yaitu:

995
1. Asma berat yang tidak diterapi/untreated severe asthma
Adalah asma yang dapat dikendalikan dengan mudah dengan
pengobatan yang tepat serta ketaatan pengobatan dan teknik
yang baik. Cara ini menyebabkan mereka mencapai bentuk
asma yang kurang berat
2. Asma berat yang sulit diterapi/difficult to treat asthma
Adalah asma dengan respons yang buruk atau parsial terhadap
terapi. Hal ini mengindikasikan terdapat faktor selain asma
sendiri, seperti akses yang buruk terhadap terapi, ketaatan dan
teknik hirupan, paparan lingkungan, serta masalah psikososial
3. Asma berat yang resisten terhadap terapi/treatment-resistant
severe asthma, kelompok ini terdiri atas:
a. Asma yang terkendali secara parsial atau tidak terkendali,
walaupun terapi kortikosteroid dosis tinggi atau kombinasi
kortikoteroid hirupan dosis tinggi dan β-agonis jangka
panjang atau penggunaan kronik kortikosteroid sistemik
sudah diberikan. Sebelumnya bentuk asma seperti ini disebut
asma refrakter atau asma berat
b. Asma yang terkontrol dengan baik hanya dengan terapi
rekomendasi paling tinggi. Penderita ini masih mungkin
berisiko eksaserbasi berat

996
Tabel 233 Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Menurut GINA (2002–2010)
Parameter Klinis Intermiten Mild Persistent Moderate Persistent Severe Persistent
Gejala klinis <1×/mgg <1×/mgg Setiap hr Setiap hr
Serangan Singkat Mengganggu tidur/aktivitas Mengganggu tidur/aktivitas Sering
Gejala asma malam hari ≤2×/bl >2×/bl <1×/mgg Sering
Tes faal paru (FEV2/PEF) ≥80% ≥80% 60–80% ≤60%
Variabilitas <20% 20–30% >30%
Sumber: Pedersen dkk. 2011

Tabel 234 Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Menurut Pedoman Pengendalian Penyakit Asma
997

Parameter Klinis, Kebutuhan Obat, Asma Episodik Jarang Asma Episodik Sering Asma Persisten
dan Faal Paru
Frekuensi serangan <1×/bl >1×/bl Sering
Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam
Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
Pemeriksaan fisis di luar serangan Normal Mungkin terganggu Tidak pernah normal
Obat pengendali Tidak perlu Perlu Perlu
Uji faal paru >80% 60−80% <60%
Variabilitas >15% >30% >50%
Sumber: Rahajoe 2004
Tabel 235 Derajat Kontrol Asma

Terkontrol Terkontrol Sebagian Tidak Terkontrol

Gejala ≤2 hr/mgg, ≤1x/hr >2hr/mgg, >1x/hr Sepanjang hr


Bangun malam ≤1x/bl ≥2 x/bl ≥2x/mgg
Gangguan aktivitas Tidak ada Beberapa keterbatasan Sangat terbatas

Gangguan Pemakaian bronkodilator ≤2 hr/mgg >2 hr/mgg Beberapa kali/hr


FEV1/PEFR >80% 60–80% <60%
998

FEV1/FVC >80% 75–80% <75%


Eksaserbasi yang membutuhkan 0–1x/th ≥2x/th ≥2x/th
kortikosteroid sistemik oral
Sumber: Kendig 2012
Tatalaksana
Tatalaksana asma anak dibagi menjadi: tatalaksana komunikasi,
informasi, dan edukasi (KIE) pada penderita dan keluarganya,
penghindaran terhadap faktor pencetus, dan medikamentosa
Tatalaksana medikamentosa dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu
tatalaksana saat serangan dan tatalaksana jangka panjang

Tahapan Tatalaksana Serangan Asma


1. Tatalaksana di Klinik atau Unit Gawat Darurat
Semua anak yang mengalami serangan asma harus dinilai
derajat serangan, apakah serangan ringan, sedang, berat, atau
ancaman henti napas. Cara nebulisasi dan jenis obat yang
digunakan bergantung pada derajat serangan asma yang terjadi
dan kemudian dinilai hasil nebulisasi yang diberikan.
Pertimbangan obat untuk nebulisasi adalah sebagai berikut:
a. Serangan asma derajat ringan dan sedang
Untuk serangan asma derajat ringan dan sedang, nebulisasi
dilakukan dengan obat tunggal, yaitu β-agonis. Nebulisasi
dapat dilakukan 2× berturut-turut, bergantung pada respons
terapi. Jarak antara nebulisasi I dan II adalah 20 mnt; sesudah
nebulisasi ke-2 juga dinilai selama 20 mnt. Dilakukan
penilaian perbaikan klinis setiap selesai nebulisasi. Tindakan
berikutnya adalah sebagai berikut:
Jika dengan nebulisasi I dan atau II serangan mereda,
penderita diobservasi selama 1 jam di UGD. Jika selama
observasi tersebut tetap membaik, sesudah melihat hasil
penunjang, penderita dipulangkan
Jika selama observasi 1 jam di UGD serangan kambuh
ulang, maka penderita dipindahkan ke ruang rawat sehari
(RRS) untuk tatalaksana berikutnya (lihat tatalaksana di
RRS)
Jika sesudah 2× nebulisasi hanya terjadi perbaikan parsial,
maka penderita dialih rawat ke RRS untuk tatalaksana
lebih lanjut (lihat tatalaksana di RRS)
b. Serangan asma berat
Bila sejak awal dinilai sebagai serangan berat, maka
nebulisasi awal langsung dengan menggunakan kombinasi
β-agonis dan antikolinergik disertai pemberian oksigen 2−4
L/mnt yang diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi.
Pasang jalur parenteral dan dilakukan foto Rontgen toraks.
Penderita langsung dialih rawat ke ruang rawat inap (lihat
tatalaksana di ruang rawat inap)
c. Serangan asma dengan ancaman henti napas
Bila penderita menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti
napas harus langsung dirawat di ruang rawat intensif (lihat
tatalaksana di Ruang Rawat Intensif Anak/Pediatric Intensive
Care Unit = PICU)

999
2. Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari (RRS)
Pemberian oksigen sejak dari UGD diteruskan. Sesudah 2×
nebulisasi di UGD dengan respons parsial, di RRS diteruskan.
Pemberian nebulisasi kombinasi β-agonis dengan antikolinergik
dan dilakukan tiap 2 jam. Diberikan steroid sistemik oral berupa
metil prednisolon atau prednison dilanjutkan 3−5 hr. Jika dalam
8–12 jam klinis tetap baik, penderita dipulangkan dan dibekali
obat β-agonis dan steroid untuk rawat jalan. Bila dalam 12 jam
responsnya tetap tidak baik, maka penderita alih rawat ke RRI
dengan tatalaksana asma berat (lihat tatalaksana di RRI)
3. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap (RRI)
Penderita yang tidak mengalami perbaikan selama observasi
dan tindakan di RRS dengan pemantauan dialih rawat ke RRI.
Tindakan yang dilakukan di RRI:
Pemberian oksigen diteruskan
Jika terdapat dehidrasi dilakukan rehidrasi dan koreksi
asidosis bila ada
Steroid diberikan i.v. dengan cara bolus tiap 6–8 jam
Dosis steroid i.v. 0,5–1 mg/kgBB/hr
Di RRI, nebulisasi dilakukan dengan menggunakan kombinasi
β-agonis dan antikolinergik. Jarak nebulisasi tiap 1–2 jam. Jika
dalam 4–6× pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak
dapat diperlebar menjadi setiap 4–6 jam
Pemberian aminofilin sesuai dengan dosis inisial dan dosis
rumatan
Dosis inisial:
Belum mendapat aminofilin sebelumnya, dosis aminofilin
yang diberikan 6–8 mg/kgBB yang dilarutkan dalam
dekstrosa atau NaCl fisiologis sebanyak 20 mL, diberikan
dalam 20–30 mnt. Bila sudah mendapat aminofilin
(<8 jam), dosis aminofilin diberikan separuhnya
Dosis rumatan:
Untuk rumatan aminofilin diberikan dengan dosis 0,5–1
mg/kgBB/jam
Selama perawatan di RRI, penderita diobservasi apakah terjadi
perbaikan atau tidak. Bila terjadi perbaikan klinis, nebulisasi
diteruskan tiap 6–24 jam. Pemberian steroid dan aminofilin
diganti dari pemberian i.v. menjadi p.o. Jika dalam 24 jam
penderita tetap stabil dapat dipulangkan. Jika tidak ada
perbaikan selama tatalaksana di RRI, penderita dialih rawat ke
PICU
4. Tatalaksana di PICU
Penderita yang sejak awal masuk ke UGD sudah memperlihat-
kan tanda ancaman henti napas langsung dirawat di PICU.
Kriteria penderita yang memerlukan PICU adalah:
Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di
UGD dan atau perburukan asma yang cepat

1000
Kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti
napas atau hilang kesadaran
Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana di RRI. Ancaman
henti napas: hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi
oksigen (kadar PaO2 <60 mmHg dan atau PaO2 >45 mmHg,
walaupun tentu saja gagal napas dapat terjadi dalam kadar
PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah).
Pemberian Obat Saat Dipulangkan
Penderita dapat dipulangkan dengan pertimbangan sebagai berikut:
Untuk serangan ringan atau sedang yang dengan satu atau 2×
nebulisasi terjadi respons baik/perbaikan yang sempurna dan
sesudah observasi 1 jam di UGD tidak muncul serangan ulang
Penderita yang dirawat di RRS karena tidak mengalami respons
dengan 2× nebulisasi di UGD, tetapi mengalami perbaikan
sempurna sesudah perawatan selama 12 jam di RRS
Penderita dengan derajat serangan berat yang mengalami
perbaikan yang sempurna sesudah observasi pengobatan selama
24 jam di RRI
Obat yang digunakan pada waktu dipulangkan sama untuk semua
penderita, baik yang tidak mengalami perawatan maupun yang
sempat dirawat di RRS atau RRI. Obat tersebut adalah:
Obat β-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4–6 jam
Steroid oral diberikan jika pencetus serangan infeksi virus, hanya
diberikan untuk jangka pendek (3–5 hr)
Penderita dianjurkan untuk kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam
waktu 24–48 jam untuk evaluasi tatalaksananya
Tatalaksana Jangka Panjang
Asma Episodik Jarang
Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa
bronkodilator β-agonis hirupan kerja pendek (short acting β2-
agonist, SABA) atau golongan santin kerja cepat bila perlu saja,
yaitu jika ada gejala/serangan (Evidence A). Bila obat hirupan
tidak ada/tidak dapat digunakan, maka β-agonis diberikan p.o.
(Evidence D). Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator makin
kurang perannya dalam tatalaksana asma karena batas
keamanannya sempit.Pemberian antiinflamasi tidak dianjurkan
sebagai obat pengendali untuk asma ringan
Asma Episodik Sering
Jika penggunaan β-agonis hirupan sudah lebih dari 3×/mgg, atau
serangan sedang/berat terjadi >1/bl, maka diberikan obat
antiinflamasi sebagai pengendali (Evidence A). Tahap pertama
obat pengendali adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah
yang biasanya cukup efektif. Obat steroid hirupan yang sudah
sering digunakan pada anak adalah budesonid. Dosis rendah
steroid hirupan adalah setara dengan 100–200 μg/hr budesonid
(50–100 μg/hr flutikason) untuk anak berusia <12 th, dan 200–
400 μg/hr budesonid (100–200 μg/hr flutikason) untuk anak

1001
berusia >12 th. Sesuai dengan mekanisme dasar asma, yaitu
inflamasi kronik, obat pengendali berupa antiinflamasi
membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Sesudah
pengobatan selama 6–8 mgg dengan steroid hirupan dosis
rendah tidak berespons (masih terdapat gejala asma atau
gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan
dengan tahap kedua, yaitu menaikkan dosis steroid hirupan
sampai dengan 400 μg/hr yang termasuk dalam tatalaksana
asma persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit
asma sudah adekuat, tetapi responsnya tetap tidak baik dalam
6–8 mgg, maka derajat tatalaksananya berpindah ke yang lebih
berat (step-up). Sebaliknya, jika asmanya terkendali dalam 6–8
mgg, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down).
Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya
Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan
penghindaran pencetus, cara penggunaan obat, faktor
komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti rintis
dan sinusitis
Asma Persisten
Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi
ke rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya
dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat
dikendalikan, bergantung pada kasusnya. Dalam keadaaan
tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat,
dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai
steroid oral jangka pendek (3−5 hr). Selanjutnya dosis steroid
hirupan diturunkan sampai dosis terkecil yang masih optimal.
Dosis steroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara
budesonid 400 μg/hr. Sesudah pemberian steroid hirupan dosis
rendah tidak mempunyai respons yang baik, diperlukan terapi
alternatif pengganti, yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis
medium atau terapi steroid hirupan dosis rendah ditambah
dengan long acting β-2 agonist (LABA) atau ditambahkan
theophylline slow release (TSR) atau ditambahkan anti-
leucotriene receptor (ALTR) (Evidence A). Dosis medium adalah
setara dengan 200–400 μg/hr budesonid (100–200 μg/hr
flutikason) untuk anak berusia <12 th, 400–600 μg/hr budesonid
(200–300 μg/hr flutikason) untuk anak berusia >12 th
Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6–8 mgg tetap
terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis
ketiga, yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai
dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan
dengan LABA, atau TSR, atau ALTR (Evidence A). Dosis tinggi
setara dengan >400 μg/hr budesonid (>200 μg/hr flutikason)
untuk anak berusia <12 th, dan >600 μg/hr budesonid (>300
μg/hr flutikason) untuk anak berusia >12 th
Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 μg/hr,
tetapi tetap tidak mempunyai respons, maka baru digunakan
steroid oral (sistemik). Untuk steroid oral sebagai dosis awal

1002
dapat diberikan 1–2 mg/kgBB/hr. Dosis kemudian diturunkan
sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari
Obat lain:
Antileukotrien seperti montelukas dan zafirlukas. Penggunaan
obat antileukotrien jenis zafirlukas masih terbatas pada anak
usia >6 th, sedangkan jenis montelukas sudah digunakan
pada anak >2 th
Antihistamin dapat diberikan pada tatalaksana asma jangka
panjang apabila penderita menderita asma disertai rinitis
alergika kronik. Pemberian obat ini masih kontroversial

Bibliografi
1. Basquet J, Mantzouranis E, Cruz AA, Aït-Khaled N, Baena-Cagnani
CE, Bleecker ER, dkk. Uniform definition of asthma severity,
control, and exacerbations: document presented for the World
Health Organization Consultation on Severe Asthma. J Allergy
Clin Immunol. 2010 Nov;126(5):926–38.
2. Bush A, Saglani S. Management of severe asthma in children.
Lancet. 2010 Sep;376(9743):814–25.
3. Federico MJ. Asthma. Dalam: Bajaj L, Kerby G, Hambidge SJ,
Nyquist AC, penyunting. Berman’s pediatric decision making.
Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 738–61.
4. Kartasasmita CB. Epidemiologi asma anak. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi
anak. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008. hlm. 71–84.
5. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pengendalian penyakit
asma. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2009.
6. Kercsmar CM. Wheezing in older children: asthma. Dalam:
Wilmott RW, Chernick V, Boat TF, Deterding RR, Bush A, Ratjen F,
penyunting. Disorders of the respiratory tract in children. Edisi
ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012. hlm. 699–735.
7. Liu AH, Covar RA, Spahn JD, Leung DYM. Childhood asthma.
Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St. Geme III GW,
Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-
19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 780–801.
8. Nataprawira HM. Diagnosis asma pada Anak. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi
anak. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008. hlm. 105–19.
9. NIH. National asthma education and prevention program. Expert
panel report III: guidelines for the diagnosis and management of
asthma. USA: National Heart, Lung, and Blood Institute; 2007.
10. Pedersen SE, Hurd SS, Lemanske RF Jr, Becker A, Zar HJ, Sly PD,
dkk. Global strategy for the diagnosis and management of
asthma in children 5 years and younger. Pediatr Pulmonol. 2011
Jan;46(1):1–17.
11. Potter PC. Current guideline for the management of asthma in
young children. Allergy Asthma Immunol Res. 2010 Jan;2(1):1–
13.

1003
12. Rahajoe NN. Tatalaksana jangka panjang asma pada anak. Dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar
respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008.
hlm. 134–47.
13. Supriyatno B, Makmuri HS. Serangan asma akut. Dalam: Rahajoe
NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi
anak. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008. hlm. 120–33.
14. Wood PR, Hill VL. Practical management of asthma. Pediatr Rev.
2009 Oct;30(10):375–85.

1004
ASMA DI BAWAH USIA 5 TAHUN
Walaupun secara definisi asma merupakan inflamasi kronik saluran
respiratori yang mengakibatkan obstruksi aliran udara secara
episodik, namun tantangan penegakan diagnosis asma tidaklah
sesederhana itu. Tantangan penegakan diagnosis asma di bawah 5 th
(preschool/prasekolah) diakibatkan pola penyakit yang bersifat
singkat sering kali berupa eksaserbasi batuk dan wheezing rekurens
yang dipicu oleh infeksi virus
Berdasarkan natural history yang dikemukakan Tucson asma bersifat
heterogen dengan berbagai fenotipe. Variasi heterogen tersebut
antara lain early transient wheezer (usia <3 th dan membaik pada
usia 6 th), persistent wheezer (usia <3 th dan masih bergejala pada
usia 6 th), late-onset wheezer (usia 3–6 th). Kejadian asma terbagi
menjadi 2 fenotipe mayor yaitu:
Virus-induced wheezing/episodic/severe intermittent wheezing
yang merupakan bentuk intermiten dari obstruksi rekurens saluran
respiratori dengan premorbid paru normal dan ditemukan
asimtomatik. Prognosis pada kasus ini baik dan hanya memerlukan
terapi suportif. Serangan berat biasanya dicetuskan oleh infeksi
respiratory syncytial virus (RSV)
Multitrigger wheezing terkait dengan kejadian alergi dan biasa
terjadi pada awal kehidupan yang kemudian bermanifestasi
sampai usia sekolah, sering kali dihubungkan dengan riwayat
keluarga asma dan alergi

Diagnosis
Penegakan diagnosis asma prasekolah sulit karena tidak ada standar
baku yang pasti, kekurangan pengukuran fungsi paru yang tersedia
pada anak balita, perbedaan anatomi saluran respiratori yang
kompleks yaitu ukuran yang lebih kecil dan inspiratory flow rate yang
rendah. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan seorang dokter
sebelum mendiagnosis asma pada anak <5 th antara lain:
Dalam penilaian asma, seorang dokter harus mengarah pada
diagnosis bukan asma, possible asma, dan pasti asma
Diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya dalam 1 kali pertemuan
Tanyakan tentang gejala dan terapi preventif pada setiap kali
kunjungan
Anak dengan infeksi virus pencetus asma berespons baik pada
terapi antagonis leukotrien
Evaluasi pengaruh tatalaksana asma yang diberikan
Rekomendasi The European Respiratory Society (ERS) Task Force
dalam pendekatan wheezing prasekolah antara lain:
1. Menilai pola kejadian dan faktor pemicu wheezing, riwayat
keluarga dengan alergi, anggota keluarga yang merokok
2. Semua episode wheezing yang dikeluhkan oleh orangtua harus
ditelaah oleh tenaga kesehatan yang profesional
3. Melakukan tes alergi pada anak yang memerlukan terapi jangka
panjang
1005
4. Pemeriksaan lanjutan sebaiknya dihindarkan pada usia awal,
kecuali pada kasus berat, terapi resisten atau didapatkan
manifestasi klinis yang tidak biasa
Beberapa indikator dikembangkan untuk memprediksi kejadian risiko
asma antara lain Asthma Predictive Index (API) dan modifikasinya
yaitu Modified Asthma Predictive Index (mAPI) seperti tampak pada
tabel berikut:
Tabel 236 Kriteria mAPI dan API
Riwayat ≥4 episode wheezing dengan ≥1 diagnosis dokter
Anak harus memenuhi ≥1 kriteria mayor atau ≥2 kriteria minor
Kriteria mayor mAPI Kriteria mayor API
Riwayat orangtua asma Riwayat keluarga asma
Diagnosis dokter atopik dermatitis Diagnosis dokter atopik dermatitis
Sensitisasi alergi karena
≥aeroalergen
Kriteria minor mAPI Kriteria minor API
Sensitisasi alergi terhadap susu, Terdiagnosis rinitis alergi
telur atau kacang Wheezing tidak berhubungan
Wheezing tidak berhubungan dengan dingin
dengan dingin Eosinofil darah >4%
Eosinofil darah ≥4%
Sumber: Bacharier dan Gilbert 2012

Anamnesis
Pertanyaan yang dapat mendukung diagnosis antara lain:
Waktu dan pola wheezing (akut atau kronik)
Faktor yang berhubungan antara lain infeksi virus, sensitisasi
terhadap aeroalergen seperti tungau kecoa, bulu binatang,
konsumsi diet ibu pada saat hamil dan menyusui, polutan
terutama asap rokok, faktor komorbid
Riwayat keluarga dengan penyakit atopi
Riwayat anak dengan gejala atopi sebelumnya
Faktor sosial dan lingkungan yang berkontribusi terhadap angka
kesakitan
Faktor psikososial
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis didapatkan hiperekspansi toraks, wheezing, dan
ekspirasi memanjang, bukti ada rinitis kronis (tanda infraorbital
“shiners”, transverse nasal crease). Terdapat gangguan pertum-
buhan harus dipikirkan sebagai keterkaitan dengan penyakit lain
seperti penyakit jantung bawaan, fibrosis kistik, dan imuno-
defisiensi. Pemeriksaan ekstremitas penting dilakukan untuk
melihat gangguan kronis dan akut, apakah terdapat clubbing finger
atau akrosianosis. Pemeriksaan neurologis seperti mikrosefal dan
kelemahan otot yang berpengaruh pada kemungkinan aspirasi
sebagai penyebab wheezing

1006
Diagnosis Banding
Para klinisi harus memikirkan beberapa diagnosis banding
mendiagnosis asma <5 th, antara lain:
Trakeomalasia
Fibrosis kistik
Aspirasi benda asing
Infeksi saluran respiratori
Bronkopulmonal displasia
Bronkiektasis
Kongenital anomali seperti vascular ring
Tumor
Refluks gastroesofageal
Edema paru
Kapan Harus Dirujuk?
Anak usia <1 th dengan rekuren wheezing, kapan harus dibedakan
antara kongenital dan asma
Diagnosis meragukan terutama pada periode awal
Asma sulit terkendali atau dipikirkan diagnosis lain yang memerlukan
rujukan
Anak dengan dugaan asma, namun tidak berespons dengan
penggunaan kortikosteroid selama 8 mgg dengan kepatuhan yang
baik
Anak usia ≥5 th dengan tipe asma persisten untuk dilakukan
spirometri. Pemeriksaan spirometri pada anak >3 th dapat dimodifi-
kasi dan dapat membantu diagnosis
Rujuk ke spesialis alergi untuk dilakukan skin prick test
Rujuk ke edukator asma untuk membantu pengendalian asma

1007
Tabel 237 Klasifikasi dan Derajat Berat Asma
Klasifikasi Berat Ringan Gejala Asma
Derajat Keparahan
Usia 0–4 Tahun
Intermiten Persisten
Ringan Sedang
Kelainan Gejala ≤2 mgg ≥2 hr/mgg Setiap hari
tapi tidak
setiap hari
Gejala 0 1–2×/bl 3–4×/bl
terbangun di
malam hari
Penggunaan β2 ≤2 hr/mgg >2 hr/mgg Setiap hari
agonis sebagai tapi tidak
kendali gejala setiap hari
Pengaruh Tidak ada Keterbatasan Beberapa
terhadap minimal keterbatasan
aktivitas
Faktor Eksaserbasi 0–1/th ≥2 eksaserbasi dalam 6 bl
risiko yang membutuhkan kortikosteroid
membutuhkan oral sistemik atau ≥4 episode
kortikosteroid wheezing/1 th yang berlangsung
oral >1 hr dan ada faktor risiko untuk
asma persisten
Pertimbangkan bertanya gejala dan interval sejak
terakhir terjadi eksaserbasi
Frekuensi dan beratnya dapat berubah setiap
saat
Eksaserbasi dari segala tingkat keparahan dapat
terjadi pada penderita di segala kategori
Langkah rekomendasi untuk Langkah 1 Langkah 2 Langkah 3
memulai terapi dan
pertimbangan
penggunaan
kortikosteroid
sistemik oral
jangka pendek
Dalam 2–6 mgg, bergantung pada berat gejala,
evaluasi dari level kendali asma yang sudah
dilakukan
Jika tidak terdapat keuntungan yang nyata
selama 4–6 mgg masa observasi, pertimbang-
kan untuk mengganti terapi
Komponen Kendali Klasifikasi Berat Ringan Gejala Asma
Asma Usia 0–4 Tahun
Terkendali Tidak Sangat Tidak
Terkendali Terkendali
Kelainan Gejala ≤2 hr/mgg tapi >2 hr/mgg Sepanjang hari
tidak setiap
hari
Terbangun di ≤1×/bl >1×/bl >1×/mgg
malam hari

1008
Penggunaan β2 ≤2 hr/mgg >2 hr/mgg Beberapa kali
agonis sebagai dalam sehari
kendali gejala
Pengaruh Tidak ada Beberapa Sangat terbatas
terhadap keterbatasan
aktivitas
Faktor Eksaserbasi 0–1/th 2–3/th >3/th
risiko yang
memerlukan
kortikosteroid
oral
Pengobatan Efek samping pengobatan dapat bervariasi
yang terkait intensitasnya dari tidak ada sampai beragam efek
efek samping samping. Derajat keparahan tidak berhubungan
dengan kontrol spesifik, namun harus dipertim-
bangkan pada seluruh penilaian risiko
Langkah rekomendasi untuk Pertahankan Naikkan 1 Pertimbangkan
memulai terapi terapi yang level dan kortikosteroid
sedang reevaluasi sistemik oral
berlangsung dalam 2–6 jangka pendek
Pemantauan mgg Jika tidak ada
teratur setiap Jika tidak ada perbaikan
4–6 bl perbaikan dalam 4–6 bl,
Jika terkendali dalam 4–6 bl, pertimbang-
selama paling pertimbang- kan pengganti-
tidak 3 bl, kan peng- an terapi atau
dapat turun gantian penyakit
ke langkah terapi atau lainnya
bawah penyakit Jika ada efek
lainnya samping per-
Jika ada efek timbangkan
samping per- terapi lain
timbangkan
terapi lain
Sumber: GINA 2009

Tatalaksana
Tatalaksana yang dikembangkan belum memiliki panduan yang pasti,
beberapa rekomendasi masih terus dikembangkan antara lain oleh
The National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP)/
EPR3. The ERS Task Force juga mengembangkan panduan tersendiri
mengenai pedoman tatalaksana wheezing untuk anak usia <6 th, The
Global Initiative for Asthma mengembangkan pendekatan tata-
laksana pada anak usia <5 th. The NAEPP/EPR3 dan The Global
Initiative for Asthma lebih memfokuskan pengendalian asma
(Gambar 80), sedangkan ERS menatalaksana melalui pendekatan
perbedaan wheezing baik viral maupun multitrigger

1009
Gambar 80 Pendekatan Stepwise Asma Anak Usia 0–4 Tahun
(berdasarkan Derajat Beratnya)
Sumber: GINA 2009

Edukasi, kontrol lingkungan, kebutuhan terhadap β2 agonis kerja cepat


Terkendali dengan Terkendali sebagian Tidak terkendali, atau
kebutuhan β2 agonis dengan kebutuhan β2 terkendali sebagian, butuh
agonis glukokortikosteroid dosis
rendah

Pilihan obat pengendali


β2 agonis Steroid hirupan dosis Steroid hirupan dosis ganda
dilanjutkan rendah
Leukotrien modifier Steroid hirupan dosis rendah
+ leukotrien modifier

Gambar 81 Manajemen Asma berdasarkan Kontrol pada Anak


Berusia di Bawah 5 Tahun
Sumber: GINA 2009

1010
Tatalaksana Intermiten
Terapi harian
Terapi intermiten dibuat berdasarkan frekuensi dan keparahan
episode wheezing. Penggunaan kortikosteroid hirupan telah
terbukti menurunkan eksaserbasi gejala asma pada usia 2–3 th
dengan risiko asma (hasil mAPI positif seperti pada Tabel 236).
Respons kortikosteroid hirupan ini dipengaruhi oleh beberapa
karakteristik antara lain jenis kelamin laki-laki, ras kulit putih,
riwayat perawatan sebelumnya). Berdasarkan penelitian
metaanalisis terhadap pemakaian kortikosteroid hirupan asma
di bawah 5 th dapat mengurangi 40% kejadian eksaserbasi.
Penggunaan harian leukotriene receptor antagonist (LRTA)
montelukast telah terbukti mengurangi eksaserbasi asma
sebanyak 31,9% dibandingkan dengan plasebo pada anak usia
2–5 th dengan asma intermiten
Terapi intermiten
Penggunaan terapi intermiten sangat bervariasi berdasarkan
beberapa penelitian. Sebagaii terapi awal direkomendasikan
pemberian dosis tinggi steroid hirupan, apabila tidak berespons
dapat diberikan steroid hirupan harian dengan dosis rendah
atau penggunaan LRTA, yang dinaikkan menjadi dosis sedang
atau terapi kombinasi. Penggunaan LRTA secara episodik
mengurangi gejala sebesar 28,5% dibandingkan dengan
penggunaan plasebo (Gambar 82)

Gambar 82 Algoritme Diagnosis dan Tatalaksana Asma Prasekolah


Sumber: Bacharier dan Guilbert 2012

1011
Tatalaksana Persisten
Kortikosteroid hirupan harian
Pendekatan tatalaksana jangka panjang menurut NAEPP/EPR3
ditujukan pada anak yang mengalami ≥4 episode wheezing
dalam 1 th terakhir, berlangsung >1 hr dan mengganggu tidur.
NAEPP/EPR3 merekomendasikan dosis sedang steroid hirupan
pada penderita yang tidak berespons terhadap dosis rendah
sebelum mempertimbangkan terapi tambahan. Pemberian
kortikosteroid dosis rendah ini juga direkomendasikan pada
pedoman asma anak usia di bawah 5 th yang dikeluarkan GINA
(Tabel 238)
Tabel 238 Rekomedasi Steroid Hirupan Dosis Rendah
Obat Dosis Rendah Harian (µg)
Beclomethasone dipropionate 100
Budesonid MDI+spacer 200
Budesonid nebulized 500
Ciclesonide NS*
Fluticasone propionate 100
Mometasone furoate NS
Triamcinolone acetonide NS
Beclomethasone dipropionate 100
*NS: not studied in this age group
Sumber: GINA 2009

LRTA harian
Penggunaan montelukast selama 12 mgg secara bermakna
menurunkan frekuensi asma, mengurangi penggunaan kortiko-
steroid oral dan jumlah eosinofil darah perifer. Penggunaan
montelukast diindikasikan untuk mengurangi inflamasi akibat
asma, resistensi, dan mencegah bronkokonstriksi. Pada anak
usia 2–5 th pemberian dosis montelukast adalah 4 mg/hr
sebelum tidur, namun saat ini obat ini belum tersedia di
Indonesia
Kombinasi steroid hirupan/long acting β agonist
Pada kasus persisten yang tidak respons terhadap steroid
hirupan dosis medium maka perlu penambahan β2 agonis kerja
panjang (LABA) yang secara statistik bermakna mengurangi
frekuensi wheezing dan angka kejadian perawatan di rumah
sakit
Bibliografi
1. Bacharier LB, Guilbert TW. Diagnosis and management of early
asthma in preschool-aged children. J Allergy Clin Immunol 2012
Aug;130(2):287–96.
2. Cave AJ, Atkinsons LL. Asthma in preschool children: a review of
the diagnostic challenges. J Am Board Fam Med. 2014 Jul–
Aug;27(4):538–48.

1012
3. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma diagnosis
and prevention in children 5 years and younger. Updated 2009
[diunduh 12 November 2014]. Tersedia dari: http://www.ginasth
ma.org/local/uploads/files/GINA_Under5_2009_CorxAug11.pdf.
4. Lambert L. Montelukast in the treatment of asthma. S Afr Pharm
J. 2014;81(1):22–24.
5. National Asthma Education and Prevention Program, Third
Expert Panel on the Diagnosis and Management of Asthma.
Expert Panel Report 3: guidelines for the diagnosis and
management of asthma. Bethesda: National Heart, Lung, and
Blood Institute (US); 2007.
6. Potter PC. Current guidelines for the management of asthma in
young children. Allergy Asthma Immunol Res. 2010 Jan;2(1):1–
13.
7. Savenije OE, Kerkhof M, Koppelman GH, Postma DS. Predicting
who will have asthma at school age among preschool children. J
Allergy Clin Immunol. 2012 Aug;130(2):325–31.
8. Van Bever HP, Han E, Shek L, Yi Chng S, Goh D. An approach to
preschool wheezing: to label as asthma? World Allergy Organ J.
2010 Nov;3(11):253–57.

1013
MALFORMASI KONGENITAL PARU
(CONGENITAL PULMONARY MALFORMATIONS)
Malformasi kongenital paru (congenital pulmonary malformations=
CPM) adalah sekelompok abnormalitas paru yang jarang, melibatkan
saluran respiratori, parenkim, dan pembuluh darahnya yang
bermanifestasi sebagai spektrum perkembangan yang abnormal.
Kelainan ini disebabkan perkembangan embriologi paru tidak lazim
yang terjadi pada berbagai tahapan kehidupan intrauterin. Dengan
perkembangan sonografi fetal dan Doppler, banyak kelainan ini yang
dapat dideteksi in utero. Kelainan ini mencakup berbagai macam
jenis, antara lain:
Congenital pulmonary airway malformation (CPAM)
Congenital lobar emphysema (CLE)
Bronchopulmonary sequestration (BPS)
Bronchogenic cyst (BC)
Pleuropulmonary blastoma
Manifestasi Klinis
Riwayat perjalanan alamiah CPM cukup bervariasi, dapat ditemukan
sebagai berikut:
Lesi menghilang sebelum lahir
Malformasi diidentifikasi pada masa neonatus dini dengan distres
pernapasan akibat terdapat massa
Asimtomatik: hanya terdeteksi pada masa usia dewasa yang tampak
pada foto Rontgen toraks yang dilakukan karena alasan lain
Beberapa bentuk CPM mempunyai kecenderungan mengalami
perubahan ke arah keganasan
Congenital Pulmonary Airway Malformation (CPAM)
Dulu dikenal sebagai congenital cystic adenomatoid malformation
(CCAM)
Gambaran histologis ditandai daerah adenomatosa solid yang
terdiri atas struktur tubuler padat menyerupai bronkiolus terminal
tanpa alveoli matur
Terdapat 5 subtipe CPAM, bergantung pada proporsi besar kista,
jaringan adenomatosa, dan tipe sel yang dominan
Lesi tipe 1:
Biasanya kista tunggal, soliter
Kista dapat berisi cairan
Sedikit/tidak terdapat jaringan adenomatosa
Kista berukuran besar, diameter >2 cm, dibatasi epitel
pseudostratified columnar
Ditemukan serabut otot polos
Lesi tipe 2:
Kista berukuran kecil, diameter <1 cm
Tidak ditemukan sel mukosa dan kartilago
Serabut otot lurik
CPAM tipe 2 ditemukan bersamaan degnan sekuestrasi
ekstralobar
1014
Lesi tipe 1 dan 2 merupakan lesi yang paling sering ditemukan
Lesi tipe 4:
Kista berukuran besar dan dibatasi sel epitel alveolar,
beberapa di antaranya mengandung surfaktan
Terdapat pada bagian perifer paru
Dapat bermanifestasi sebagai tension pneumothorax

Diagnosis
Anamnesis
Distres pernapasan pada periode neonatus akibat efek massa
Asimtomatis dan baru diketahui saat dilakukan skrining Rontgen
toraks
Pneumonia dengan atau CPAM terinfeksi (43%), distres pernapasan
(14%), pneumotoraks spontan (14%)

Pemeriksaan Fisis
Wheezing
Takipnea

Pemeriksaan Penunjang
USG rutin prenatal (paling sering)
Foto Rontgen toraks
CT-scan toraks untuk konfirmasi diagnostik

Diagnosis Banding
Hernia diafragma kongenital

Tatalaksana
Perjalanan naik pesawat menjadi kontroversi karena meningkatkan
risiko pneumotoraks
Diagnosis CPAM antenatal harus dievaluasi
Penderita dengan gejala harus menjalani reseksi (operasi)
Asimtomatik cukup observasi, tetapi perkembangan risiko kompresi
paru, infeksi, keganasan, oleh karena itu banyak klinisi lebih memilih
tindakan operasi

1015
Tabel 239 Perbedaan Tipe Malformasi Paru Kongenital
Insidensi/ Gambaran Klinis Tatalaksana Keterangan
Prevalensi
CPAM 1:8.300 1 lobus Terapi definif → reseksi Regresi lesi antenatal pada
Banyak kasus terdeteksi dengan USG prenatal operasi 59% kasus
Gejala pada periode neonatal → distres napas Asimtomatis → serial Tipe 1 dan 4 berisiko
86% asimtomatik → simtomatik hingga saat pencitraan menjadi ganas
usia 13 th (rata-rata usia 2 th)
Gejala: pneumonia ± CPAM terinfeksi, distres
napas, pneumotoraks spontan
CLE 1:20.000 Lobus kiri atas Reseksi lobus yang terkena Anomali jantung
♂>♀ Asimtomatik/distres napas pada neonatus, lesi pada neonatus kongenital sering
1016

dispnea, infeksi napas berulang simtomatis menyertai CLE


15% → kelainan jantung bawaan Asimtomatis → observasi
BC 1:68.000 Cabang trakeobronkial Operasi direkomendasikan Sering dijumpai pada
Kista besar → distres napas, sianosis, pada semua kasus dekade kedua kehidupan
gangguan makan pada neonatus
Mengi, stridor, atelektasis paru distal,
disfagia, dan pneumonia rekuren
BPS 0,29% Lobus bawah Simtomatis → intervensi Infeksi, gagal jantung,
♂>♀ Distres napas pada neonatus, pneumonia bedah karsinoma, dan
rekuren, nyeri dada, hemoptisis, sesak ILS asimtomatis → reseksi perdarahan dapat terjadi
napas elektif
Penderita dengan ELS sering kali asimtomatis
CPAM: congenital pulmonary airway malformation; CLE: congenital lobar emphysema; BC: bronchogenic cysts; BPS: bronchopulmonary
sequestration; ILS: intralobar sequestration; ELS: extralobar sequestration
Bibliografi
1. Laberge JM, Puligandla P, Flageole H. Asymptomatic congenital
lung malformations. Semin Pediatr Surg. 2005 Feb;14(1):16–33.
2. Nadeem M, Elnazir B, Greally P. Congenital pulmonary
malformation in children. Scientifica (Cairo). 2012;2012:209896.
3. Pham TT, Benirschke K, Masliah E, Stocker TJ, Yi ES. Congenital
pulmonary airway malformation (congenital cystic adenomatoid
malformation) with multiple extrapulmonary anomalies: autopsy
report of a fetus at 19 weeks of gestation. Pediatr Dev Pathol.
2004 Nov–Dec;7(6):661–6.
4. Wilson RD, Hedrick HL, Liechty KW, Flake AW, Johnson MP,
Bebbington M, dkk. Cystic adenomatoid malformation of the
lung: review of genetics, prenatal diagnosis, and in utero
treatment. Am J Med Genet A. 2006 Jan;140(2):151–5.
5. Wong A, Vieten D, Singh S, Harvey JG, Holland AJ. Long-term
outcome of asymptomatic patients with congenital cystic
adenomatoid malformation. Pediatr Surg Int. 2009 Jun:25(6):
479–85.

1017
LARINGOMALASIA
Batasan
Laringomalasia atau laring flaksid kongenital merupakan penyebab
tersering kelainan laring kongenital dengan gejala stridor inspiratori
kronik pada bayi. Kondisi ini terjadi akibat struktur supraglotis kolaps
ke jalan napas selama fase inspirasi. Bayi dengan laringomalasia
memiliki kelainan yang bervariasi disebabkan oleh kelainan dinamik
pada supraglotis. Abnormalitas kelainan ini adalah:
Aryepiglottic folds yang pendek dan sangat vertikal, epiglotis
melengkung menyerupai bentuk omega
Kartilago cuneiforme dan corniculate berada di atas kartilago
aritenoid dan prolaps ke arah jalan napas
Mukosa menjadi longgar menutupi prolaps aryepiglottic fold
terhadap jalan napas

Epidemiologi
Terjadi pada 45–75% bayi dengan stridor kongenital

Etiologi
Etiologi pasti tidak diketahui
Teori etiologi yang sudah ada:
Anatomik akibat jaringan flaccid yang posisinya abnormal
Kartilago laring yang imatur dan
Neurologis terdapat teori inervasi saraf imatur yang menyebabkan
hipotoni
Sindrom ini banyak terjadi pada golongan sosioekonomi rendah
sehingga kekurangan gizi mungkin merupakan salah satu faktor
etiologi

Patofisiologi
Laringomalasia dapat terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun
pada keduanya. Bila mengenai epiglotis terjadi elongasi dan bagian
dindingnya terlipat. Epiglotis yang bersilangan membentuk omega
dan lesi ini dikenal sebagai epiglotis omega (omega-shaped
epiglottis). Jika mengenai kartilago aritenoid akan tampak
pembesaran

Diagnosis
Anamnesis
Bunyi stridor (mengorok) yang tercetus dan memburuk oleh
aktivitas apapun (menangis, agitasi, minum, posisi terlentang)
Gejala utama berhubungan dengan minum (sulit dalam melakukan
koordinasi hisap-telan-bernapas): regurgitasi, emesis, batuk,
tersedak, dan minum pelan-pelan
Muncul pada 2 mgg pertama kehidupan dan semakin memberat
hingga usia 6–8 bl
Disfagia

1018
Pemeriksaan Fisis
Ditemukan high-pitched stridor: terdengar pada fase inspirasi,
ekspirasi, atau keduanya (bifasik)
Takipnea
Retraksi suprasternal dan substernal bahkan epigastrik dan
interkostal
Dapat ditemukan sianosis
Pectus excavatum
Obstructive sleep apnea
BB menurun bahkan failure to thrive
Pemeriksaan Penunjang
Laringoskopi fleksibel
Foto Rontgen toraks
Contrast swallow study dan esophagogram, bila ada disfagia
Bronkoskopi dilakukan bila ada obstruksi moderat hingga berat
Klasifikasi Spektrum Penyakit
Ringan (40%) : tidak ada feeding-related symptoms
Sedang (40%) : stridor dengan feeding-related symptoms, saturasi
≤96%
Berat (20%) : stridor, feeding-related symptom, sianosis, aspirasi,
failure to thrive, saturasi ≤86%
Spektrum penyakit berdasarkan gejala yang berhubungan dengan
minum dan obstruksi, tidak hanya berdasarkan stridor
Diagnosis Banding
Trakeomalasia
Croup
Asma
Bronkiolitis
Reactive airway disease
Tatalaksana
Pada sebagian besar kasus dapat sembuh spontan. Resolusi terjadi
pada usia 12–24 bl
Jika bayi tidak mengalami significant feeding-related symptoms. Tidak
memerlukan intervensi
Spektrum penyakit yang berhubungan dengan significant feeding-
related symptoms. Posisi setengah duduk saat minum, memperbaiki
tekstur susu formula/ASI dengan dikentalkan
Jika bayi mengeluarkan stridor yang lebih keras dan mengganggu
tidur, dapat diatasi dengan menghindari tempat tidur, bantal, atau
selimut yang terlalu lembut untuk memperbaiki posisi bayi
Jika terjadi hipoksemia berat (saturasi oksigen <90%), diberikan
tambahan oksigen
Spektrum penyakit sedang dengan saturasi oksigen ≤91%, dilakukan
supraglottoplasty
Bila prosedur supraglottoplasty gagal, ditemukan kondisi komorbid
medis yang multipel, di antaranya gastroesophageal reflux,

1019
laryngopharingeal reflux, cerebral palsy, retardasi mental, penyakit
jantung kongenital, ditemukan spektrum penyakit berat di antaranya
kondisi distres pernapasan hingga terjadi apnea dan failure to thrive
dilakukan trakeostomi
Penyulit
Hipoksia kronik yang mengarah pada kondisi hipertensi pulmonal dan
korpulmonal
Sudden death
Konsultasi
THT
Bibliografi
1. Abel RM, Bush AB. Respiratory disorders in newborn. Dalam:
Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A, penyunting. Kendig’s
disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 291–2.
2. Fauroux B, Pigeot J, Polkey MI, Roger G, Boulé M, Clément A,
dkk. Chronic stridor caused by laryngomalacia in children: work
of breathing and effects of noninvasive ventilatory assistance.
Am J Respir Crit Care Med. 2001 Nov;164(10 Pt 1):1874–8.
3. Holinger LD. Laryngomalacia. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-19. Philadephia: Saunders Elsevier; 2011. hlm.
507–8.
4. Kay DJ, Goldsmith AJ. Laryngomalacia: a classification system and
surgical treatment strategy. Ear Nose Throat J. 2006 May;85(5):
328–31, 336.
5. Landry AM, Thompson DM. Laryngomalacia: disease
presentation, spectrum and management. Int J Pediatr. 2012;
2012:753526.
6. Lovinsky-Desir S, Bye MR. Laringomalacia. 2012 [diunduh 4
September 2012]. Tersedia dari: http://www.emedicine.com/
ped/topic1280.htm.
7. Vicencio AG, Parikh S. Laryngomalacia and tracheomalacia:
common dynamic airway lesions. Pediatr Rev. 2006 Apr;27(4):
e33–5.

1020
Tumbuh Kembang Pediatri Sosial
Kusnandi Roesmil
Eddy Fadlyana
Meita Damayanti
Rodman Tarigan
PEMERIKSAAN BAYI/ANAK SEHAT
Anamnesis
Keluhan utama
Riwayat
Kehamilan dan persalinan
Makanan
Pertumbuhan, perkembangan, dan perilaku
Imunisasi yang sudah didapat sebelumnya
Kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) sebelumnya
Riwayat penyakit dan operasi
Riwayat keluarga: paritas, spacing
Pemeriksaan
Pengukuran antropometri
Ubun-ubun, sutura
Mata: katarak kongenital
Telinga
Kelainan jantung bawaan
Tumor intra abdomen
Genitalia
Testis belum turun
Hidrokel
Fimosis
Hernia
Sinekia vulva
Tulang belakang
Kelainan kongenital lain
Perkembangan

Kesimpulan
Bayi sehat tanpa masalah
Bayi sehat dengan masalah (misalnya: perkembangan, pola makan,
pola asuh, dll.)
Bayi tidak sehat

Tindakan
Konseling/penyuluhan
Imunisasi/melengkapi imunisasi
Stimulasi
Rujuk/konsul

1023
PENILAIAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
PERTUMBUHAN
Batasan
Setiap perubahan tubuh yang berhubungan dengan bertambahnya
ukuran tubuh, baik fisik (anatomis) maupun struktural dalam arti
sebagian atau keseluruhan
Indikator
Berat Badan (BB)
Berat badan lahir (BBL) rata-rata 3,4 kg (2,7–4,1 kg)
Bayi yang dilahirkan cukup bulan akan kehilangan BB selama 3–4
hr pertama dan akan kembali sama dengan BBL pada hari ke-8–9
BB usia 5 bl → 2× BBL
BB usia 1 th → 3× BBL
BB usia 2 ½ th → 4× BBL
Tinggi Badan (TB)
Tinggi badan (panjang badan/PB) lahir rata-rata ± 50 cm
PB usia 1 th → 1 ½ PB lahir
Penambahan PB
Usia 6 bl ke-1: 2,5 cm/bl
6 bl ke-2: 1,25 cm/bl
1–7 th: 7,5 cm/th
Tabel 240 Formula Praktis untuk Menentukan Tinggi Badan Normal
pada Bayi dan Anak
Panjang/Tinggi Badan Sentimeter (cm)
Lahir 50
1 th 75
2–12 th [Usia (th) x 6] + 77
Sumber: Needlman 1996

Lingkar Kepala (LK)


Rata-rata lingkar kepala lahir 33,0–35,6 cm
Pada th ke-1 lingkar kepala menjadi 44,4–46,9 cm (↑ ± 10 cm)
Pada th ke-2 menjadi 46,9–49,5 cm (↑ ± 2,5 cm)
Pada th ke-3 menjadi 47,7–50,8 cm (↑ ± 1,25 cm)
Erupsi Gigi
Gigi susu berjumlah 20 bh dan biasanya sudah tumbuh seluruhnya
pada usia 2,5 th

1024
Tabel 241 Usia Rata-rata Erupsi Gigi Susu dan Gigi Tetap pada Anak
Gigi Susu Usia (bl)
2 insisor sentral bawah 5–10
4 insisor atas 8–12
2 insisor lateral bawah 12–15
4 molar ke-1 12–16
4 kuspid 16–20
4 molar ke-2 20–30
Gigi Tetap Usia (th)
4 molar ke-1 5–7
8 insisor 7–9
8 premolar 10–12
4 kaninus 11–12
4 molar ke-2 13
4 molar ke-3 16–21
Sumber: Wasserman 1981

Pusat Osifikasi
Pada akhir bl ke-2 kehidupan janin, kerangka tulang rawan embrio
sudah terdiferensiasi menjadi sejumlah segmen yang merupakan
cikal bakal tulang kerangka

1025
Postoksipital
Parietal

Temporal Frontal
Basioksipital
Maksila
Mandibula
Klavikula
Skapula Metakarpal
Radius
Ulna
Humerus

Tibia
Fibula
Metatarsal
Ilium
Femur

Gambar 83 Pusat Osifikasi Primer pada Embrio


Sumber: Markum dkk. 1991

Osifikasi pertama tampak pada klavikula dan bagian membranosa


tulang tengkorak, kemudian dengan cepat diikuti pada tulang
panjang dan vertebra
Dikenal 2 pusat osifikasi, yaitu pusat osifikasi primer umumnya
dibentuk pada masa janin, sedangkan pusat osifikasi sekunder
dibentuk sesudah lahir, kecuali pada epifisis distal femur dan
proksimal tibia
Pada waktu lahir biasanya ditemukan pusat osifikasi di kalkaneus,
kuboideus, tibia proksimal, talus dan femur distal. Sesudah usia
6 bl pergelangan tangan dan tangan baru bisa memberikan
informasi untuk menentukan usia tulang

1026
Femur 6–12 mgg

Humerus
6–8 mgg
Pusat osifikasi sekunder
janin 6–10 bl
Radius 6–12 mgg Pusat osifikasi sekunder
8 bl janin–1 bl postnatal
Ulna 6–8 mgg Tibia 6–12 mgg
Fibula 6–10 mgg
Metakarpal
2–4 bl
Falangs
2–6 bl Astragalus 4–8 bl
Kalkaneus 4–7 bl

Metatarsal 2–4 bl
Falangs 2–4 bl

Gambar 84 Pusat Osifikasi Primer pada Janin


Sumber: Markum dkk. 1991

Penilaian
Untuk mengetahui ukuran pertumbuhan seorang anak apakah
normal atau tidak, maka ukuran anak tersebut harus dibandingkan
dengan ukuran normal populasi yang sebaya. Berbagai nilai baku
antropometri dapat dipergunakan untuk menilai pertumbuhan fisik
seorang anak, namun yang paling sering dipakai adalah ukuran BB,
PB, dan LK. Baku standar yang digunakan saat ini adalah WHO Child
Growth Standards (WCGS)
Langkah pemantauan pertumbuhan menggunakan WCGS
1. Hitung usia anak
Cara menghitung usia anak adalah dengan cara mengurangi
tanggal pemeriksaan terhadap tanggal lahir
Menghitung usia anak yang lahir prematur
Untuk bayi prematur, dalam mengukur BB, PB, dan LK harus
digunakan usia koreksi sampai anak berusia 2 th. Cara
menghitung usia koreksi adalah dengan cara mengurangi usia
kronologis terhadap jumlah minggu prematur
1027
Contoh:
Bayi Ani lahir pada tanggal 20 Desember 2002, lahir dengan
usia gestasi 33 mgg, dengan berat lahir 2.000 g
Tanggal pemeriksaan 5 Juli 2004: 2004 07 05
Tanggal lahir 20 Desember 2002: 2002 12 20
Usia kronologis: 1 06 15
Prematur 7 mgg: 01 21
Usia koreksi: 1 04 24
Usia anak adalah 1 th 4 bl 24 hr, dan diplot pada 16 ½ bl
2. Plot hasil pengukuran ke dalam Kurva Pertumbuhan
WHO menyediakan 2 macam kurva pertumbuhan yaitu WCGS
untuk anak usia 0–5 th dan WHO reference untuk anak usia 5–19
th. Indeks antropometri dinyatakan dalam z-score, persentil, dan
persen median
Dalam penggunaan sehari-hari, secara klinis di Unit Tumbuh
Kembang Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin digunakan kurva
pertumbuhan yang disajikan dalam z-score
Tabel 242 Kurva WCGS
Jenis Kelamin Usia Kurva
Laki-laki 0–2 th PB/U, BB/U, BB/PB
2–5 th TB/U, BB/U, BB/TB
0–5 th BB/U, LK/U
5–10 th BB/U
5–19 th IMT/U
Perempuan 0–2 th PB/U, BB/U, BB/PB
2–5 th TB/U, BB/U, BB/TB
0–5 th BB/U, LK/U
5–10 th BB/U
5–19 th IMT/U

3. Menilai hasil pertumbuhan


Dalam menilai pertumbuhan diperlukan beberapa kali pengukuran
untuk melihat arah pertumbuhan. Pada neonatus sebaiknya pada
mgg ke-1, ke-2, ke-4, selanjutnya dianjurkan melakukan
pengukuran antropometri 1×/bl
Berikut di bawah ini beberapa kriteria yang digunakan untuk
menilai bahwa terdapat masalah dalam pertumbuhan
Hasil pengukuran PB/U; TB/U; BB/TB; IMT/U di bawah −3 SD atau
di bawah persentil 5
Arah pertumbuhan ↓ melewaM dua batas persenMl, misalnya
dari persentil 75 turun menjadi persentil 25 dalam beberapa
bulan pengamatan

1028
Tabel 243 Indikator Pertumbuhan Menurut Z-score
Indikator Pertumbuhan
Z-score
PB/U atau TB/U BB/U BB/PB atau BB/TB BMI/U
Di atas 3 Lihat catatan 1 Sangat gemuk (obese) Sangat gemuk (obese)
Di atas 2 Lihat catatan 2 Gemuk (overweight) Gemuk (overweight)
Di atas 1 Risiko gemuk Risiko gemuk
(lihat catatan 3) (lihat catatan 3)
0 (median)
Di bawah −1
1029

Di bawah −2 Pendek (stunted) BB kurang (underweight) Kurus (wasted) Kurus (wasted)


(lihat catatan 4)
Di bawah −3 Sangat pendek (severely BB sangat kurang Sangat kurus Sangat kurus
stunted) (lihat catatan 4) (severely underweight) (severely wasted) (severely wasted)

Keterangan:
1. Seorang anak dalam kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya tidak menjadi masalah, kecuali anak yang sangat tinggi
mungkin mengalami gangguan endokrin seperti adanya tumor yang memproduksi hormon pertumbuhan. Rujuklah anak tersebut jika
diduga mengalami gangguan endokrin (misalnya anak tersebut tinggi sekali menurut usianya, sedangkan tinggi orangtua normal)
2. Seorang anak berdasarkan BB/U pada kategori ini kemungkinan mempunyai masalah pertumbuhan, tetapi akan lebih baik bila anak
ini dinilai berdasarkan indikator BB/PB atau BB/TB atau IMT/U
3. Hasil plotting di atas 1 menunjukkan kemungkinan risiko. Bila kecenderungannya menuju garis z-score 2 berarti risiko lebih pasti
4. Anak yang pendek atau sangat pendek, kemungkinan akan menjadi gemuk bila mendapatkan intervensi gizi yang salah
Tindak Lanjut
Sesuai dengan batasan, deteksi pertumbuhan merupakan suatu
upaya dalam skrining untuk menentukan suatu penyimpangan
pertumbuhan. Bila hasil skrining tersebut menunjukkan terdapat
masalah pertumbuhan, maka harus dilakukan tindak lanjut untuk
menentukan diagnosis dan terapi. Kegiatan ini memerlukan
pengamatan lebih teliti, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Di negara berkembang, gangguan
pertumbuhan sebagian besar disebabkan faktor gizi

PERKEMBANGAN
Batasan
Bertambahnya kemampuan (skill), struktur, dan fungsi tubuh yang
lebih kompleks
Penilaian
Deteksi dini perkembangan anak dilakukan dengan cara pemeriksaan
perkembangan secara berkala, apakah sesuai dengan usia atau sudah
terjadi penyimpangan perkembangan normal.
Pemantauan perkembangan anak dapat dilakukan dengan
melihat pola perkembangan (milestone) atau dengan beberapa tahap
yaitu:
Tahap awal dengan melakukan skrining bila ditemukan kecurigaan
gangguan perkembangan, kemudian dilakukan penilaian selanjutnya
untuk menegakkan diagnosis.
Tahapan Perkembangan Anak menurut Usia
Usia 0–3 bulan
Mengangkat kepala setinggi 45°
Menggerakkan kepala dari kiri/kanan ke tengah
Melihat dan menatap wajah anda
Mengoceh spontan atau bereaksi dengan mengoceh
Suka tertawa keras
Bereaksi terkejut terhadap suara keras
Membalas tersenyum ketika diajak bicara/tersenyum
Mengenal ibu dengan penglihatan, penciuman, pendengaran,
dan kontak
Usia 3–6 bulan
Berbalik dari telungkup ke telentang
Mengangkat kepala setinggi 90°
Mempertahankan posisi kepala tetap tegak dan stabil
Menggenggam pensil
Meraih benda yang ada dalam jangkauannya
Memegang tangannya sendiri
Berusaha memperluas pandangan
Mengarahkan matanya pada benda-benda kecil
Mengeluarkan suara gembira bernada tinggi atau memekik
1030
Tersenyum ketika melihat mainan/gambar yang menarik saat
bermain sendiri
Usia 6–9 bulan
Duduk (sikap tripoid-—sendiri)
Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian berat
badan
Merangkak meraih mainan atau mendekati seseorang
Memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya
Memungut 2 benda, masing-masing tangan memegang 1
benda pada saat bersamaan
Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup
Bersuara tanpa arti: mamama, bababa, dadada, tatatata
Mencari mainan/benda yang dijatuhkan
Bermain tepuk tangan/cilukba
Bergembira dengan melempar benda
Makan kue sendiri
Usia 9–12 bulan
Mengangkat badannya ke posisi berdiri
Belajar berdiri selama 30 detik atau berpegangan di kursi
Dapat berjalan dengan dituntun. Mengulurkan lengan/badan
untuk meraih mainan yang diinginkan
Menggenggam erat pensil
Memasukkan benda ke mulut
Mengulang menirukan bunyi yang didengar
Menyebut 2–3 suku kata sama tanpa arti
Mengeksplorasi sekitar, ingin tahu, ingin menyentuh apa saja
Bereaksi terhadap suara yang perlahan atau bisikan
Senang diajak bermain cilukba
Mengenal anggota keluarga, takut pada orang yang belum
dikenal
Usia 12–18 bulan
Berdiri sendiri tanpa berpegangan
Membungkuk memungut mainan, kemudian berdiri kembali
Berjalan mundur 5 langkah
Memanggil ayah dengan kata “papa”; memanggil ibu dengan
kata “mama”
Menumpuk 2 kubus
Memasukkan kubus di kotak
Menunjuk apa yang diinginkan tanpa menangis/merengek,
anak bisa mengeluarkan suara yang menyenangkan atau
menarik tangan ibu
Memperlihatkan rasa cemburu/bersaing
Usia 18–24 bulan
Berdiri sendiri tanpa berpegangan selama 30 detik
Berjalan tanpa terhuyung-huyung
Bertepuk tangan, melambai-lambai
Menumpuk 4 buah kubus gambar
Memungut benda kecil dengan ibu jari dan jari telunjuk
Menggelindingkan bola ke arah sasaran
Menyebut 6 kata yang mempunyai arti
1031
Membantu/menirukan pekerjaan rumah tangga
Memegang cangkir sendiri, belajar makan-minum sendiri
Usia 24–36 bulan
Jalan naik tangga sendiri
Dapat bermain dan menendang bola kecil
Mencoret-coret pensil pada kertas
Bicara dengan menggunakan 2 kata
Dapat menunjuk 1 atau lebih bagian tubuhnya ketika diminta
Melihat gambar dan dapat menyebut dengan benar nama 2
benda atau lebih
Membantu memungut mainannya sendiri atau membantu
mengangkat piring jika diminta
Makan nasi sendiri tanpa banyak tumpah
Melepas pakaiannya sendiri
Usia 36–48 bulan
Berdiri 1 kaki selama 2 detik
Melompat, kedua kaki diangkat
Mengayuh sepeda roda tiga
Menggambar garis lurus
Menumpuk 8 buah kubus
Mengenal 2–4 warna
Menyebut nama, usia, dan tempat
Mengerti arti kata di atas, di bawah, dan di depan
Mendengarkan cerita
Mencuci dan mengeringkan tangan sendiri
Bermain bersama teman dan mengikuti aturan permainan
Mengenakan sepatu sendiri
Mengenakan celana panjang, kemeja, dan baju
Usia 60 bulan
Berdiri 1 kaki selama 6 detik
Melompat-lompat 1 kakiMenari
Menggambar silang
Menggambar lingkaran
Menggambar orang dengan 3 bagian tubuh
Mengancing baju atau pakaian boneka
Menyebut nama lengkap tanpa dibantu
Senang menyebut baru
Senang bertanya tentang sesuatu
Menjawab pertanyaan dengan kata-kata yang benar
Bicaranya mudah dimengerti
Bisa membandingkan/membedakan sesuatu dari ukuran dan
bentuknya
Menyebut angka, menghitung jari
Menyebut nama-nama hari
Berpakaian sendiri tanpa dibantu
Menggosok gigi tanpa dibantu
Bereaksi tenang dan tidak rewel ketika ditinggal ibu
Usia 60–72 bulan
Berjalan lurus
Berdiri dengan 1 kaki selama 11 detik
1032
Menggambar dengan 6 bagian, menggambar orang lengkap
Menangkap bola kecil dengan kedua tangan gambar
Menggambar segi empat
Mengerti arti lawan kata
Mengerti pembicaraan yang menggunakan 7 kata atau lebih
Menjawab pertanyaan tentang benda terbuat dari apa dan
kegunaannya
Mengenal angka, bisa menghitung angka 5–10
Mengenal warna-warni
Mengungkapkan simpati
Mengikuti aturan permainan
Berpakaian sendiri tanpa dibantu
1. Penjaringan Perkembangan (Skrining)
Tujuan untuk menjaring/memisahkan anak yang diduga
mempunyai kelainan perkembangan. Dapat dilakukan 1 atau 2
tahap.
Skrining 2 tahap terdiri atas:
Tahap praskrining
Tahap ini dilakukan dengan menggunakan instrumen:
- Kuesioner praskrining perkembangan (KPSP)
- Parents evaluation developmental status (PEDS)
- Kuesioner masalah mental emosional (KMME)
- Checklist for autism in toddlers (CHAT)
- Formulir deteksi dini gangguan pemusatan perhatian
dan hiperaktivitas (abbreviated conners ratting
scale)
- Tes daya dengar (TDD)
- Tes daya lihat (TDL)
Tahap skrining (dilakukan bila hasil praskrining meragukan/
abnormal)
Alat skrining yang dipakai antara lain:
Denver II
Bayley infant neurodevelopmental screener (BINS)
1.1 Kuesioner praskrining perkembangan (KPSP)
KPSP anak merupakan daftar 9–10 pertanyaan singkat kepada
orangtua mengenai kemampuan yang sudah dicapai oleh
anaknya yang berusia 0–6 tahun, untuk mengetahui apakah
perkembangan anaknya sesuai atau menyimpang.

Tujuan
Mengetahui secara dini penyimpangan perkembangan
anak di tingkat petugas
Cara menggunakan KPSP:
- Anak harus dibawa, tentukan usia anak
Tanyakan tanggal lahir (tanggal, bulan, tahun).
Kelebihan 16 hr dibulatkan menjadi 1 bulan. Contoh:
anak usia 3 bl 16 hr, dibulatkan menjadi 4 bl.
1033
- Pilih daftar pertanyaan yang sesuai usia anak
- Pertanyaan pada KPSP ada 2 macam, yaitu:
1. Pertanyaan yang cukup dijawab oleh ibu/pengasuh
anak, contoh: dapatkah bayi Anda makan kue
sendiri?
2. Perintah kepada ibu/pengasuh anak untuk
melaksanakan tugas seperti yang tertulis pada
KPSP. Contoh: pada posisi bayi Anda telentang,
tariklah bayi pada pergelangan tangannya secara
perlahan ke posisi duduk.
- Jelaskan kepada orangtua untuk tidak ragu-ragu atau
takut menjawab
- Tanyakan kepada ibu/pengasuh anak daftar pertanyaan
tersebut secara berurutan, satu per satu
- Catat jawaban orangtua dan hasil pengamatan
kemampuan anak ketika melaksanakan tugas KPSP,
dengan jawaban ‘Ya’/’Tidak’.
- Sesudah orangtua menjawab, tanyakan pertanyaan
berikutnya
- Teliti kembali apakah semua pertanyaan sudah dijawab
Interpretasi hasil KPSP:
a. Interpretasi jawaban ‘Ya’ atau ‘Tidak’:
• Jawaban ‘Ya’ apabila orangtua menjawab: anak bisa
atau pernah atau sering atau kadang melakukannya
• Jawaban ‘Tidak’ apabila ibu/pengasuh anak
menjawab: anak belum pernah melakukan atau tidak
pernah atau ibu/pengasuh anak tidak tahu
b. Hitunglah jumlah jawaban ‘Ya’
c. Apabila jumlah jawaban ‘Ya’ = 9 atau 10, berarti
perkembangan anak sesuai tahap perkembangannya
(S)
d. Apabila jumlah jawaban ‘Ya’ = 7 atau 8, berarti
meragukan (M)
e. Apabila jumlah jawaban ‘Ya’ = 6 atau kurang,
kemungkinan ada penyimpangan (P). Dirinci jenis dan
jumlah aspek yang jawabannya ‘Tidak’ (gerak kasar,
gerak halus, bicara dan bahasa, sosialisasi dan
kemandirian)

1034
Tabel 244 KPSP Anak Usia 3 Bulan
1. Pada waktu bayi Anda telentang, apakah masing-masing lengan dan tungkai Gerak kasar Ya Tidak
bergerak dengan mudah? Apabila salah satu atau kedua tungkai atau lengan
bayi bergerak tak terarah/tak terkendali, maka lingkarilah kata “Tidak”.
2. Pada waktu bayi Anda telentang apakah ia melihat dan menatap wajah Anda? Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
3. Apakah bayi Anda dapat mengeluarkan suara-suara lain (mengoceh) di samping Bicara & bahasa Ya Tidak
menangis?
4. Pada waktu bayi Anda telentang, apakah ia dapat mengikuti gerakan Anda Gerak halus Ya Tidak
dengan menggerakkan kepalanya dari kanan/kiri ke tengah?
1035
5. Pada waktu bayi Anda telentang, apakah ia dapat mengikuti gerakan Anda Gerak halus Ya Tidak
dengan menggerakkan kepalanya dari satu sisi hampir sampai pada sisi yang
lain?
1036

6. Pada waktu Anda mengajak bayi Anda berbicara dan tersenyum, apakah ia Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
tersenyum kembali kepada Anda?

7. Pada waktu bayi Anda telungkup pada alas yang datar, apakah ia dapat Gerak Kasar Ya Tidak
mengangkat kepalanya seperti pada gambar di bawah ini?
8. Pada waktu bayi Anda telungkup pada alas yang datar, apakah ia dapat Gerak kasar Ya Tidak
mengangkat kepalanya sehingga membentuk sudut 45° seperti pada gambar di
bawah ini?

9. Pada waktu bayi Anda telungkup pada alas yang datar, apakah ia dapat Gerak kasar Ya Tidak
1037

mengangkat kepalanya dengan tegak seperti pada gambar di bawah ini?

10. Apakah bayi Anda suka tertawa keras walaupun tidak digelitik atau pun Bicara & bahasa Ya Tidak
diraba-raba?
Tabel 245 KPSP Anak Usia 6 Bulan
1. Pada waktu bayi Anda telentang, apakah ia dapat mengikuti gerakan Anda Gerak halus Ya Tidak
dengan menggerakkan kepalanya sepenuhnya dari satu sisi ke sisi yang lain?
1038

2. Dapatkah bayi Anda mempertahankan posisi kepalanya dalam keadaan tegak Gerak kasar Ya Tidak
dan stabil? Jawablah. Jika kepalanya cenderung untuk jatuh ke kanan/kiri atau
ke dadanya.
3. Ikutilah perintah-perintah ini dengan saksama dan jawablah pertanyaan di Gerak halus Ya Tidak
bawah ini berdasarkan hasil pengamatan Anda. Sentuhkan pena atau pensil di
punggung tangan atau ujung jari bayi (jangan meletakkan di atas telapak tangan
bayi). Apakah bayi Anda dapat menggenggam pensil itu selama beberapa detik?
4. Pada waktu bayi Anda telungkup pada alas yang datar, apakah ia dapat Gerak kasar Ya Tidak
mengangkat dadanya dengan menggunakan kedua lengannya sebagai
penyangga seperti pada gambar di bawah ini?

5. Pernahkah bayi Anda mengeluarkan suara gembira bernada tinggi atau Bicara & bahasa Ya Tidak
memekik tetapi bukan menangis?
6. Pernahkah bayi Anda berbalik paling sedikit 2 kali, dari telentang ke telungkup Gerak Kasar Ya Tidak
1039

atau dari telungkup ke telentang?


7. Pernahkah Anda melihat bayi Anda tersenyum melihat mainan yang lucu, Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
gambar-gambar atau binatang peliharaan pada saat ia bermain sendiri?
8. Dapatkah bayi Anda mengarahkan mata pada benda kecil sebesar kacang, Gerak halus Ya Tidak
kismis atau uang logam? Jawablah TIDAK jika ia dapat mengarahkan matanya.
9. Dapatkah bayi Anda meraih mainan yang berada dalam jangkauan tangannya? Gerak halus Ya Tidak
10. Pada posisi bayi Anda telentang, tariklah bayi pada pergelangan tangannya Gerak kasar Ya Tidak
secara perlahan ke posisi duduk. Dapatkah bayi Anda mempertahankan
lehernya secara kaku seperti gambar sebelah kiri? Jawablah TIDAK jika kepala
jatuh kembali seperti gambar sebelah kanan.

Jawablah: YA Jawablah: TIDAK

Tabel 246 KPSP Anak Usia 9 Bulan


1040

1. Pada posisi bayi Anda dalam telentang, tariklah bayi pada pergelangan Gerak kasar Ya Tidak
tangannya secara perlahan ke posisi duduk. Dapatkah bayi Anda
mempertahankan lehernya secara kaku seperti gambar sebelah kiri? Jawablah
TIDAK jika kepalanya jatuh kembali seperti gambar sebelah kanan.

Jawablah: YA Jawablah: TIDAK


2. Pernahkah Anda melihat bayi Anda nda dapat memindahkan sesuatu seperti balok Gerak halus Ya Tidak
kecil atau kue kering dari satu tangan ke tangan yang lain? Benda-benda
panjang seperti sendok atau kerincingan bertangkai tidak ikut dinilai.
3. Ikutilah petunjuk-petunjuk ini dengan saksama. Tariklah perhatian bayi Anda Gerak halus Ya Tidak
dengan memperlihatkan selendang, sapu tangan atau serbet, kemudian
jatuhkan sampah di luar pandangannya. Apakah bayi Anda mencoba untuk
mencarinya? Misalnya, apakah ia mencarinya tidak di bawah meja atau di
belakang kursi?
4. Apakah bayi Anda memungut dua benda (misalnya mainan atau kue kering) dan Gerak halus Ya Tidak
masing-masing tangan memegang satu benda pada saat yang sama?
Jawablah TIDAK jika Anda tidak pernah melihat bayi Anda melakukan perbuatan
ini.
5. Jika Anda mengangkat bayi Anda melalui ketiaknya, dapatkah ia menahan Gerak kasar Ya Tidak
sebagian berat badannya dengan kakinya?
Jawablah YA jika ia mencoba berdiri dengan kaki dan menyangga sebagian berat
1041

badannya.
6. Dapatkah bayi Anda memungut benda-benda kecil seperti kismis atau Gerak halus Ya Tidak
potongan-potongan makanan dengan tangannya, dengan gerakan miring atau
Ya tidak menggerap seperti gambar di bawah ini?
7. Tanpa disangga oleh bantal, kursi atau dinding, dapatkah bayi Anda duduk Gerak kasar Ya Tidak
sendiri selama 60 detik?

8. Dapatkah bayi Anda makan kue kering sendiri? Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
1042

9. Pada saat bayi Anda bermain, Anda diam-diam datang dan berdiri di Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
belakangnya, apakah ia kadang-kadang menengok ke belakang seolah-olah olah ia
mendengar Anda?
Suara keras tidak ikut dihitung. Jawablah YA hanya jika Anda melihat reaksinya
terhadap suara yang perlahan atau bisikan.
10. Jika suatu mainan yang dinginkannya berada di luar jangkauan sehingga tidak Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
dapat dicapai, apakah bayi Anda mencoba mendapatkannya dengan meng--
ulurkan lengan atau badannya?
Tabel 247 KPSP Anak Usia 12 Bulan
1. Jika anak Anda bersembunyi di belakang sesuatu (atau di pojok) dan kemudian Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
muncul dan menghilang secara berulang, apakah bayi Anda mencari Anda atau
mengharapkan Anda muncul kembali?
2. Berikan anak Anda pena/pensil dan letakkan di telapak tangannya. Cobalah Gerak halus Ya Tidak
untuk mengambil pena/pensil tersebut secara perlahan. Sulitkah Anda
mendapatkan pena/pensil itu kembali?
3. Apakah bayi Anda dapat berdiri selama 30 detik atau lebih dengan berpegangan Gerak halus Ya Tidak
pada kursi atau meja?
4. Dapatkah bayi Anda mengatakan 2 suku kata yang sama, misalnya: “ma-ma” Bicara & bahasa Ya Tidak
atau “pa-pa”? Jawablah YA jika bayi anda mengeluarkan salah satu suara tadi.
5. Dapatkah bayi Anda mengangkat dirinya sendiri sampai berdiri tanpa bantuan Gerak kasar Ya Tidak
1043

Anda?
6. Dapatkah bayi Anda membedakan Anda dengan orang yang belum ia kenal? Ia Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
dapat menunjukkan sikap malu-malu atau ragu-ragu pada saat permulaan
bertemu dengan orang yang belum dikenalnya.
7. Jika bayi Anda memungut benda kecil seperti kacang, apakah ia mengambilnya Gerak halus Ya Tidak
dengan meremas di antara ibu jari dan jarinya seperti yang terlihat pada
gambar?

8. Dapatkah bayi Anda duduk sendiri tanpa bantuan? Gerak halus Ya Tidak
9. Sebutkan 2 atau 3 kata yang dapat ditiru oleh bayi Anda (perlu kata-kata yang Bicara & bahasa Ya Tidak
lengkap). Menurut pendapat Anda, apakah ia mencoba meniru kata-kata tadi?
10. Tanpa Anda menggerakkan tangan bayi Anda, dapatkah ia mempertemukan Gerak halus Ya Tidak
dua balok kecil? Kerincing bertangkai dan tutup panci ikut dinilai.

Tabel 248 KPSP Anak Usia 15 Bulan (1 Tahun 3 Bulan)


1. Tanpa Anda menggerakkan tangan anak Anda, dapatkah ia mempertemukan Gerak halus Ya Tidak
dua balok kecil-kecil? Kerincing bertangkai dan tutup panci tidak ikut dinilai.
2. Dapatkah anak Anda jalan sendiri atau jalan dengan berpegangan? Gerak kasar Ya Tidak
3. Tanpa bantuan, dapatkah anak Anda bertepuk tangan atau melambai-lambai? Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
Jawablah TIDAK jika ia membutuhkan bantuan.
1044

4. Dapatkah anak Anda mengatakan “pa-pa” jika ia memanggil atau melihat Bicara & bahasa Ya Tidak
ayahnya? Dapatkah anak Anda mengatakan “ma-ma” jika ia memanggil atau
melihat ibunya?
Jawablah YA jika anak Anda mengatakan salah satu di antaranya.
5. Dapatkah anak Anda berdiri sendiri tanpa berpegangan selama kira-kira 5 detik? Gerak kasar Ya Tidak
6. Dapatkah anak Anda berdiri sendiri tanpa berpegangan selama 30 detik atau Gerak kasar Ya Tidak
lebih?
7. Tanpa berpegangan atau menyentuh lantal, dapatkah anak Anda membungkuk Gerak kasar Ya Tidak
untuk memungut mainan atau benda lain di lantai dan kemudian berdiri
kembali?
8. Dapatkah anak Anda menunjukkan apa yang diinginkannya tanpa menangis Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
atau merengek?
Ia dapat melakukannya dengan menunjuk, menarik atau mengeluarkan suara
yang menyenangkan.
9. Dapatkah anak Anda berjalan sepanjang ruangan tanpa jatuh atau terhuyung- Gerak kasar Ya Tidak
huyung?
10. Jika anak Anda memungut benda kecil seperti kacang, apakah ia Gerak halus Ya Tidak
mengambilnya dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk seperti gambar
di bawah ini?

Tabel 249 KPSP Anak Usia 18 Bulan (1 Tahun 6 Bulan)


1045

1. Tanpa bantuan, dapatkah anak Anda bertepuk tangan atau melambai-lambai? Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
Jawablah TIDAK jika ia membutuhkan bantuan.
2. Dapatkah anak Anda mengatakan “pa-pa” jika ia memanggil atau melihat Bicara & bahasa Ya Tidak
ayahnya?
Dapatkah anak Anda mengatakan “ma-ma” jika ia memanggil atau melihat
ibunya?
Jawablah YA jika anak Anda mengatakan salah satu diantaranya.
3. Dapatkah anak Anda berdiri sendiri tanpa berpegangan selama kira-kira 5 detik? Gerak kasar Ya Tidak
4. Dapatkah anak Anda berdiri sendiri tanpa berpegangan selama 30 detik atau Gerak kasar Ya Tidak
lebih?
5. Tanpa berpegangan atau menyentuh lantai, dapatkah anak Anda membungkuk Gerak kasar Ya Tidak
untuk memungut mainan atau benda lain di lantai dan kemudian berdiri
kembali?
6. Dapatkah anak Anda menunjukkan apa yang diinginkannya tanpa menangis Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
atau merengek? Ia dapat melakukannya dengan menunjuk, menarik atau
mengeluarkan suara yang menyenangkan.
7. Dapatkah anak Anda berjalan sepanjang ruangan tanpa jatuh atau terhuyung- Gerak kasar Ya Tidak
huyung?
8. Jika anak Anda memungut benda kecil seperti kacang, apakah ia mengambilnya Gerak halus Ya Tidak
dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk seperti gambar di bawah ini?

9. Jika Anda menggelindingkan bola ke anak Anda, apakah ia menggelindingkan Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
atau melemparkan kembali kepada Anda?
1046

10. Dapatkah anak Anda memegang sendiri cangkir atau gelas dan meminum dan Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
tempat tersebut tanpa tumpah?

Tabel 250 KPSP Anak Usia 21 Bulan (1 Tahun 9 Bulan)


1. Tanpa berpegangan atau menyentuh lantai, dapatkah anak Anda membungkuk Gerak kasar Ya Tidak
untuk memungut mainan atau benda lain di lantai dan kemudian berdiri
kembali?
2. Dapatkah anak Anda menunjukkan apa yang diinginkannya tanpa menangis Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
atau merengek?
Ia dapat melakukannya dengan menunjuk, menarik atau mengeluarkan suara
yang menyenangkan.
3. Dapatkah anak Anda berjalan sepanjang ruangan tanpa jatuh atau terhuyung- Gerak kasar Ya Tidak
huyung?
4. Jika anak Anda memungut benda kecil seperti kacang, apakah ia mengambilnya Gerak halus Ya Tidak
dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk seperti gambar di bawah ini?

5. Jika Anda menggelindingkan bola ke anak Anda, apakah ia menggelindingkan Gerak halus Ya Tidak
atau melemparkan kembali kepada Anda?
6. Dapatkah anak Anda memegang sendiri cangkir atau gelas dan meminum dari Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
tempat tersebut tanpa tumpah?
1047

7. Jika Anda sedang melakukan pekerjaan rumah tangga, apakah anak Anda Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
meniru apa yang anda lakukan?
8. Dapatkah anak Anda meletakkan satu kubus di atas kubus yang lain tanpa Gerak halus Ya Tidak
menjatuhkan kubus itu?
Kubus yang digunakan berukuran 2,5 cm, bukan kubus yang berukuran lebih
dari 5 cm.
9. Dapatkah anak Anda mengucapkan paling sedikit 3 kata yang mempunyai arti Bicara & bahasa Ya Tidak
selain “pa-pa” dan “ma-ma”?
10. Dapatkah anak Anda berjalan mundur 5 langkah atau lebih tanpa kehilangan Gerak kasar Ya Tidak
keseimbangan?
Anda mungkin dapat melihat anak melakukan hal ini pada saat menarik
mainannya?
Tabel 251 KPSP Anak Usia 24 Bulan (2 Tahun)
1. Jika Anda sedang melakukan pekerjaan rumah tangga, apakah anak Anda Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
meniru apa yang Anda lakukan?
2. Dapatkah anak Anda meletakkan satu kubus di atas kubus yang lain tanpa Gerak halus Ya Tidak
menjatuhkan kubus itu? Kubus yang digunakan berukuran
2,5 cm, bukan kubus yang berukuran lebih dari 5 cm.
3. Dapatkah anak Anda mengucapkan paling sedikit 3 kata yang mempunyai arti Bicara & bahasa Ya Tidak
selain “pa-pa” dan “mama”?
4. Dapatkah anak Anda berjalan mundur 5 langkah atau lebih tanpa kehilangan Gerak kasar Ya Tidak
keseimbangan?
Anda mungkin dapat melihat anak melakukan hal ini pada saat menarik
mainannya?
1048

5. Dapatkah anak Anda melepas pakaiannya misal: baju, rok, atau celananya? Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
(Topi dan kaos kaki tidak ikut dinilai).
6 Dapatkah anak Anda berjalan naik tangga sendiri? Jawablah YA jika ia dapat Gerak kasar Ya Tidak
naik dengan posisi tegak, dengan berpegangan pada dinding atau pegangan
tangga.
Jawablah TIDAK jika: 1) ia merangkak pada saat menaiki tangga, 2) Anda
membolehkannya naik tangga, 3) ia harus berpegangan pada seseorang.
7. Tanpa bimbingan, petunjuk atau bantuan Anda, dapatkah anak Anda Bicara & bahasa Ya Tidak
menunjukkan paling sedikit satu bagian dari badannya (rambut, mata, hidung,
mulut, atau bagian badan yang lain)? Jawablah YA jika ia dapat menunjuk
dengan benar.
8. Dapatkah anak Anda makan nasi sendiri tanpa banyak tumpah? Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
9. Dapatkah anak Anda membantu memungut mainannya sendiri atau membantu Bicara & bahasa Ya Tidak
mengangkat piring jika diminta?
10. Tanpa berpegangan pada apa pun, dapatkah anak Anda menendang bola kecil Gerak kasar Ya Tidak
(seperti bola tenis) ke depan?
Mendorong tidak ikut dinilai.

Tabel 252 KPSP Anak Usia 30 Bulan (2 Tahun 6 Bulan)


1. Dapatkah anak Anda melepaskan pakaiannya misal: baju, rok, atau celananya? Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
(Topi dan kaos kaki ikut dinilai).
2. Dapatkah anak Anda berjalan naik tangga sendiri? Gerak kasar Ya Tidak
Jawablah YA jika ia dapat naik dengan posisi tegak, dengan berpegangan pada
dinding atau pegangan tangga.
Jawablah TIDAK jika:
Ia merangkak pada saat menaiki tangga
1049

Anda tidak memperbolehkannya naik tangga


Ia harus berpegangan pada seseorang
3. Tanpa bimbingan, petunjuk atau bantuan Anda, dapatkah anak Anda Bicara & bahasa Ya Tidak
menunjukkan paling sedikit satu bagian dari badannya (rambut, mata, hidung,
mulut, atau bagian badan yang lain)? Jawablah YA jika ia dapat menunjuk
dengan benar.
4. Dapatkah anak Anda makan nasi sendiri tanpa banyak tumpah? Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
5. Dapatkah anak Anda memungut mainannya sendiri atau membantu Bicara & bahasa Ya Tidak
mengangkat piring jika diminta?
6. Tanpa berpegangan pada apa pun, dapatkah anak Anda menendang bola kecil Gerak kasar Ya Tidak
(seperti bola tenis) ke depan?
Mendorong tidak ikut dinilai.
7. Bila diberikan sebuah pinsil, dapatkah anak Anda mencoret-coret kertas tanpa Gerak halus Ya Tidak
bantuan dan petunjuk?
8. Dapatkah anak Anda meletakkan satu kubus di atas kubus yang lain tanpa Gerak halus Ya Tidak
menjatuhkan kubus itu?
Kubus yang digunakan berukuran 2,5 cm, bukan kubus yang berukuran lebih
dari 5 cm.
9. Dapatkah anak Anda menggunakan 2 kata pada saat bebicara seperti “minta Bicara & bahasa Ya Tidak
minum”, “mau tidur”?
(“Terima kasih” dan “da-da” tidak ikut dinilai).
10. Apakah anak Anda dapat menyebutkan 2 di antara gambar-gambar ini tanpa Bicara & bahasa Ya Tidak
bantuan? Penyebutan dengan menggunakan suara binatang tidak dinilai.
1050

Tabel 253 KPSP Anak Usia 36 Bulan (3 Tahun)


1. Bila diberikan sebuah pensil, dapatkah anak Anda mencoret-coret kertas tanpa Gerak halus Ya Tidak
bantuan dan petunjuk?
2. Dapatkah anak Anda meletakkan satu kubus di atas kubus yang lain tanpa Gerak halus Ya Tidak
menjatuhkan kubus itu? Kubus yang digunakan berukuran 2,5 cm, bukan kubus
yang berukuran lebih dari 5 cm.
3. Dapatkah anak Anda menggunakan 2 kata pada saat berbicara seperti “minta Bicara & bahasa Ya Tidak
minum”, “mau tidur”? (“Terima kasih” dan “da-da” tidak ikut dinilai).
4. Dapatkah anak Anda dapat menyebutkan 2 di antara gambar-gambar
gambar ini tanpa Bicara & bahasa Ya Tidak
bantuan? Penyebutan dengan menggunakan suara binatang tidak dinilai.

5. Dapatkah anak Anda melempar bola lurus ke arah perut atau dada Andanda dari Gerak kasar Ya Tidak
jarak 1,5 meter?
6. Ikutilah perintah ini dengan saksama.
ksama. Jangan memberi isyarat (menunjuk atau Bicara & bahasa Ya Tidak
melirik) pada saat memberikan petunjuk-petunjuk berikut ini:
“Letakkan kertas ini di lantai”.
1051

“Letakkan kertas ini di kursi”.


“Berikan kertas ini kepada ibu”.
Dapatkah ia melaksanakan ketiga perintah tadi?
7. Buatlah garis lurus ke bawah sepanjang sekurang-kurangnya 2,5 cm. Suruhlah Gerak halus Ya Tidak
anak Anda menggambar garis lain di samping garis tersebut. Dapatkah anak
Anda menggambar garis lurus di samping garis yang Anda buat?
Jawablah YA bila ia menggambar garis seperti ini:

Jawablah TIDAK bila ia menggambar garis seperti ini:


Gerak halus Ya Tidak
8. Letakkan selembar kertas (kira-kira selebar buku ini) di lantai. Gerak kasar Ya Tidak
Dapatkah anak Anda mengangkat kedua kakinya secara bersamaan, melompati
kertas tersebut tanpa didahului dengan lari?
9. Dapatkah anak Anda mengenakan sepatunya sendiri? Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
10. Dapatkah anak Anda mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter? Gerak kasar Ya Tidak

Tabel 254 KPSP Anak Usia 42 Bulan (3 Tahun 6 Bulan)


1. Dapatkah anak Anda mengenakan sepatunya sendiri? Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
2. Dapatkah anak Anda mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter? Gerak kasar Ya Tidak
1052

3. Sesudah makan, apakah anak Anda mencuci dan mengeringkan tangannya Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
dengan baik sehingga Anda tidak perlu mengulanginya?
4. Suruhlah anak Anda berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan. Jika perlu Gerak kasar Ya Tidak
tunjukan caranya dan beri anak Anda kesempatan melakukannya 3 kali.
Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau lebih?
5. Letakkan selembar kertas (kira-kira sepanjang buku) di lantai. Suruhlah anak Gerak kasar Ya Tidak
Anda melompati bagian panjang kertas dengan kedua kakinya tanpa berlari.
Dapatkah ia melakukannya tanpa menginjak kertas?
6. Suruhlah anak Anda menggambar seperti contoh di kertas kosong yang Gerak halus Ya Tidak
tersedia. Jangan sebutkan bahwa itu lingkaran. Dalam memberi nilai lihatlah
contoh-contoh di bawah ini.

Jawablah: YA

Jawablah: TIDAK
Dapatkah anak Anda menggambar lingkaran?
7. Dapatkah anak Anda meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain Gerak halus Ya Tidak
1053

tanpa menjatuhkan kubus tersebut?


Kubus yang digunakan berukuran 2,5 cm, bukan kubus yang berukuran lebih
dari 5 cm.
8. Apakah anak Anda bermain petak umpet, ular naga atau permainan lain di Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
mana ia ikut bermain dan mengikuti peraturan bermain?
9. Dapatkah anak Anda mengenakan celana panjang, kemeja, baju atau kaos kaki Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
tanpa dibantu?
(Termasuk memasang kancing, gesper dan ikat pinggang)
Tabel 255 KPSP Anak Usia 48 Bulan (4 Tahun)
1. Dapatkah anak Anda mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter? Gerak kasar Ya Tidak
2. Sesudah makan, apakah anak Anda mencuci dan mengeringkan tangannya Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
dengan baik sehingga anda tidak perlu mengulanginya?
3. Suruhlah anak Anda berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan. Jika perlu Gerak kasar Ya Tidak
tunjukan caranya dan beri anak Anda kesempatan melakukannya 3 kali.
Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau lebih?
4. Letakkan selembar kertas (kira-kira sepanjang buku ini) di lantai. Suruhlah anak Gerak kasar Ya Tidak
Anda melompati bagian panjang kertas dengan kedua kakinya tanpa berlari.
Dapatkah ia melakukannya tanpa menginjak kertas?
5. Suruhlah anak Anda menggambar seperti contoh di kertas kosong yang Gerak halus Ya Tidak
tersedia. Jangan sebutkan bahwa itu lingkaran. Dalam memberi nilai lihatlah
1054

contoh-contoh di bawah ini.

Jawablah: YA

Jawablah: TIDAK
Dapatkah anak Anda menggambar lingkaran?
6. Dapatkah anak Anda meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain Gerak halus Ya Tidak
tanpa menjatuhkan kubus tersebut?
Kubus yang digunakan berukuran 2,5 cm, bukan kubus yang berukuran lebih
dari 5 cm.
7. Apakah anak Anda bermain petak umpet, ular naga atau permainan lain di Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
mana ia ikut bermain dan mengikuti peraturan bermain?
8. Dapatkah anak Anda mengenakan celana panjang, kemeja, baju, atau kaos kaki Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
tanpa dibantu? (Tidak termasuk memasang kancing, gesper dan ikat pinggang)
9. Dapatkah anak Anda menyebutkan nama lengkapnya tanpa dibantu? Jawablah Bicara & bahasa Ya Tidak
TIDAK jika ia hanya menyebutkan sebagian namanya atau ucapannya tidak
dapat dimengerti dengan mudah.

Tabel 256 KPSP Anak Usia 54 Bulan (4 Tahun 6 Bulan)


1055

1. Dapatkah anak Anda meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain Gerak halus Ya Tidak
tanpa menjatuhkan kubus tersebut?
Kubus yang digunakan berukuran 2,5 cm, bukan kubus yang berukuran lebih
dari 5 cm.
2. Apakah anak Anda bermain petak umpet, ular naga atau permainan lain di Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
mana ia ikut bermain dan mengikuti peraturan bermain?
3. Dapatkah anak Anda mengenakan celana panjang, kemeja, baju atau kaos kaki Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
tanpa dibantu?
(Tidak termasuk memasang kancing, gesper dan ikat pinggang)
4. Dapatkah anak Anda menyebutkan nama lengkapnya tanpa dibantu? Jawablah Bicara & bahasa Ya Tidak
TIDAK jika ia hanya menyebutkan sebagian namanya atau ucapannya tidak
dapat dimengerti dengan mudah.
5. Isilah titik-titik di bawah ini dengan jawaban anak Anda. Jangan membantu Bicara & bahasa Ya Tidak
kecuali mengulangi pertanyaan.
“Apa yang kamu lakukan jika kamu kedinginan?”……
“Apa yang kamu lakukan jika kamu lapar?”…….
“Apa yang kamu lakukan jika kamu lelah?”……..
Dapatkah ia menjawab ketiga pertanyaan tadi dengan kata-kata yang benar,
bukan dengan gerakan atau isyarat?
Untuk kedinginan jawaban yang benar adalah “menggigil”, “kenakan mantel”
atau “masuk ke dalam rumah”
Untuk lapar, jawaban yang benar adalah “makan”
Untuk lelah, jawaban yang benar adalah “mengantuk” atau “minta tidur”’,
“berbaring (tidur-tiduran)”, ”istirahat” atau “diam sejenak”
6. Dapatkah anak Anda mengancingkan bajunya atau pakaian bonekanya? Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
7. Suruhlah anak Anda berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan. Jika perlu Gerak kasar Ya Tidak
1056

tunjukan caranya dan beri anak Anda kesempatan melakukannya 3 kali.


Dapatkah ia mempertahankan keseimbangannya dalam waktu 6 detik atau
lebih?
8. Jangan mengoreksi atau membantu anak Anda. Jangan menggunakan kata Gerak halus Ya Tidak
“lebih besar”.
Perlihatkan kedua garis di bawah ini kepada anak Anda. Jangan membantu atau
membetulkan apabila salah. Tanyakan mana yang lebih panjang.

Sesudah anak menunjuk, putarlah lembar ini lagi dan tanyakan untuk ketiga
kalinya: “Mana garis yang lebih panjang?”
Dapatkah anak Anda menunjuk garis yang lebih panjang sebanyak 3 kali dengan
benar?
9. Jangan memberitahukan nama gambar ini dan jangan membantu anak Anda. Gerak halus Ya Tidak
Katakan padanya: “Buatlah gambar seperti ini (sambil menunjuk gambar di
bawah ini)”

Suruh ia menggambar di kertas kosong yang tersedia. Berikan 3 kali


kesempatan.
Untuk penilaian lihat gambar di bawah ini.

Jawablah: YA Jawablah: TIDAK


1057

Dapatkah anak Anda menggambar tanda palang?


10. Ikutilah perintah ini dengan saksama. Jangan memberi isyarat (menunjuk atau Bicara & bahasa Ya Tidak
melirik) pada saat memberikan petunjuk-petunjuk berikut ini:
“Letakkan kertas ini di atas lantai”
“Letakkan kertas ini di bawah kursi”
“Letakkan kertas ini di depan kamu”
“Letakkan kertas ini di belakang kamu”
Jawablah YA hanya jika anak Anda mengerti arti “di atas”, “di bawah”, “di
depan”, dan “di belakang”.
Tabel 257 KPSP Anak Usia 60 Bulan (5 Tahun)
1. Isilah titik-titik di bawah ini dengan jawaban anak Anda. Jangan membantu Bicara & bahasa Ya Tidak
kecuali mengulangi pertanyaan.
“Apa yang kamu lakukan jika kamu kedinginan?”……
“Apa yang kamu lakukan jika kamu lapar?”…….
“Apa yang kamu lakukan jika kamu lelah?”……..
Dapatkah ia menjawab ketiga pertanyaan tadi dengan kata-kata yang benar,
bukan dengan gerakan atau isyarat?
Untuk kedinginan jawaban yang benar adalah “menggigil”, “kenakan mantel”
atau “masuk ke dalam rumah”
Untuk lapar, jawaban yang benar adalah “makan”
Untuk lelah, jawaban yang benar adalah “mengantuk” atau “minta tidur”’,
“berbaring (tidur-tiduran)”, ”istirahat” atau “diam sejenak”
2. Dapatkah anak Anda mengancingkan bajunya atau pakaian bonekanya? Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
1058

3. Suruhlah anak Anda berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan. Jika perlu Gerak kasar Ya Tidak
tunjukan caranya dan beri anak Anda kesempatan melakukannya 3 kali.
Dapatkah ia mempertahankan keseimbangannya dalam waktu 6 detik atau lebih?
4. Jangan mengoreksi atau membantu anak Anda. Jangan menggunakan kata Gerak halus Ya Tidak
“lebih besar”.
Perlihatkan kedua garis di bawah ini kepada anak Anda. Jangan membantu atau
membetulkan apabila salah. Tanyakan mana yang lebih panjang.

Sesudah anak menunjuk, putarlah lembar ini lagi dan tanyakan untuk ketiga
kalinya: “Mana garis yang lebih panjang?”
Dapatkah anak Anda menunjuk garis yang lebih panjang sebanyak 3 kali dengan
benar?
5. Jangan memberitahukan nama gambar ini dan jangan membantu anak Anda. Gerak halus Ya Tidak
Katakan padanya: “Buatlah gambar seperti ini (sambil menunjuk gambar di
bawah ini)”

Suruh ia menggambar di kertas kosong yang tersedia. Berikan 3 kali


kesempatan.
Untuk penilaian lihat gambar di bawah ini.
1059

Jawablah: YA Jawablah: TIDAK


Dapatkah anak Anda menggambar tanda palang?
6. Ikutilah perintah ini dengan saksama. Jangan memberi isyarat (menunjuk atau Bicara & bahasa Ya Tidak
melirik) pada saat memberikan petunjuk-petunjuk berikut ini:
“Letakkan kertas ini di atas lantai”
“Letakkan kertas ini di bawah kursi”
“Letakkan kertas ini di depan kamu”
“Letakkan kertas ini di belakang kamu”
Jawablah YA hanya jika anak Anda mengerti arti “di atas”, “di bawah”, “di
depan”, dan “di belakang”.
7. Apakah anak Anda bereaksi dengan tenang dan rewel (tanpa menangis atau Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
menggelayut pada Anda) pada saat Anda meninggalkannya?
8. Jangan menunjuk, membantu atau membetulkan, katakan pada anak Anda: Bicara & bahasa Ya Tidak
“Tunjukkan segi empat merah”
“Tunjukkan segi empat kuning”
“Tunjukkan segi empat biru”
“Tunjukkan segi empat hijau”

Dapatkah anak Anda menunjuk keempat warna itu dengan benar?


9. Suruhlah anak Anda melompat dengan satu kaki beberapa kali tanpa Gerak kasar Ya Tidak
berpegangan (lompatan dengan dua kaki tidak ikut dinilai).
1060

Dapatkah ia melompat dua atau tiga kali dengan satu kaki?


10. Dapatkah anak Anda sepenuhnya berpakaian sendiri tanpa bantuan? Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
Tabel 258 KPSP Anak Usia 66 Bulan (5 Tahun 6 Bulan)
1. Jangan memberitahukan nama gambar ini dan jangan membantu anak Anda. Gerak halus Ya Tidak
Katakan padanya: “Buatlah gambar seperti ini (sambil menunjuk gambar di
bawah ini)”

Suruh ia menggambar di kertas kosong yang tersedia. Berikan 3 kali


kesempatan.
Untuk penilaian lihat gambar di bawah ini.
1061

Jawablah: YA Jawablah: TIDAK


Dapatkah anak Anda menggambar tanda palang?
2. Ikutilah perintah ini dengan saksama. Jangan memberi isyarat (menunjuk atau Bicara & bahasa Ya Tidak
melirik) pada saat memberikan petunjuk-petunjuk berikut ini:
“Letakkan kertas ini di atas lantai”
“Letakkan kertas ini di bawah kursi”
“Letakkan kertas ini di depan kamu”
“Letakkan kertas ini di belakang kamu”
Jawablah YA hanya jika anak Anda mengerti arti “di atas”, “di bawah”, “di
depan”, dan “di belakang”.
3. Apakah anak Anda bereaksi dengan tenang dan rewel (tanpa menangis atau Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
menggelayut pada Anda) pada saat Anda meninggalkannya?
4. Jangan menunjuk, membantu atau membetulkan, katakan pada anak Anda: Bicara & bahasa Ya Tidak
“Tunjukkan segi empat merah”
“Tunjukkan segi empat kuning”
“Tunjukkan segi empat biru”
“Tunjukkan segi empat hijau”

Dapatkah anak Anda menunjuk keempat warna itu dengan benar?


5. Suruhlah anak Anda melompat dengan satu kaki beberapa kali tanpa Gerak kasar Ya Tidak
1062

berpegangan (lompatan dengan dua kaki tidak ikut dinilai).


Dapatkah ia melompat dua atau tiga kali dengan satu kaki?
6. Dapatkah anak Anda sepenuhnya berpakaian sendiri tanpa bantuan? Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
7. Suruhlah anak anda menggambar di tempat kosong yang tersedia. Katakan Gerak halus Ya Tidak
padanya: “Buatlah gambar orang”.
Jangan memberi perintah lebih dari itu. Jangan bertanya atau mengingatkan
anak bila ada bagian yang belum tergambar. Dalam memberi nilai, hitunglah
berapa bagian tubuh yang tergambar.
Untuk bagian tubuh yang berpasangan seperti mata, telinga, lengan, dan kaki,
setiap pasang dinilai satu bagian.
Dapatkah anak Anda menggambar sedikitnya 3 bagian tubuh?
8. Pada gambar orang yang dibuat pada nomor 7, dapatkah anak Anda Gerak halus Ya Tidak
menggambar sedikitnya 6 bagian tubuh?
9. Tulislah apa yang dikatakan anak Anda pada kalimat-kalimat yang belum selesai Bicara & bahasa Ya Tidak
ini (jangan membantu kecuali mengulang pertanyaan):
“Jika kuda besar maka tikus….”
“Jika api panas maka es….”
“Jika ibu seorang wanita maka ayah seorang….”
Dapatkah anak Anda menjawab dengan benar (tikus kecil, es dingin, ayah
seorang pria)
10. Dapatkah anak Anda menangkap bola kecil seperti bola tenis, bola kasti dan Gerak kasar Ya Tidak
lainnya hanya dengan menggunakan kedua tangannya? Bola besar tidak ikut
dinilai.

Tabel 259 KPSP Anak Usia 72 Bulan (6 Tahun)


1063

1. Jangan menunjuk, membantu atau membetulkan, katakan pada anak Anda: Bicara & bahasa Ya Tidak
“Tunjukkan segi empat merah”
“Tunjukkan segi empat kuning”
“Tunjukkan segi empat biru”
“Tunjukkan segi empat hijau”

Dapatkah anak Anda menunjuk keempat warna itu dengan benar?


2. Suruhlah anak Anda melompat dengan satu kaki beberapa kali tanpa Gerak kasar Ya Tidak
berpegangan (lompatan dengan dua kaki tidak ikut dinilai).
Dapatkah ia melompat dua atau tiga kali dengan satu kaki?
3. Dapatkah anak Anda sepenuhnya berpakaian sendiri tanpa bantuan? Sosialisai & kemandirian Ya Tidak
4. Suruhlah anak anda menggambar di tempat kosong yang tersedia. Katakan Gerak halus Ya Tidak
padanya: “Buatlah gambar orang”.
Jangan memberi perintah lebih dari itu. Jangan bertanya atau mengingatkan
anak bila ada bagian yang belum tergambar. Dalam memberi nilai, hitunglah
berapa bagian tubuh yang tergambar.
Untuk bagian tubuh yang berpasangan seperti mata, telinga, lengan, dan kaki,
setiap pasang dinilai satu bagian.
Dapatkah anak Anda menggambar sedikitnya 3 bagian tubuh?
5. Pada gambar orang yang dibuat pada nomor 4, dapatkah anak Anda Gerak halus Ya Tidak
menggambar sedikitnya 6 bagian tubuh?
6. Tulislah apa yang dikatakan anak Anda pada kalimat-kalimat yang belum selesai Sosialisasi & kemandirian Ya Tidak
ini (jangan membantu kecuali mengulang pertanyaan):
1064

“Jika kuda besar maka tikus….”


“Jika api panas maka es….”
“Jika ibu seorang wanita maka ayah seorang….”
Dapatkah anak Anda menjawab dengan benar (tikus kecil, es dingin, ayah
seorang pria)
7. Dapatkah anak Anda menangkap bola kecil seperti bola tenis, bola kasti dan Gerak kasar Ya Tidak
lainnya hanya dengan menggunakan kedua tangannya? Bola besar tidak ikut
dinilai.
8. Suruhlah anak Anda berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan. Jika perlu Gerak kasar Ya Tidak
tunjukkan caranya. Beri anak anda kesempatan melakukannya 3 kali. Dapatkah
ia mempertahankan keseimbangannya dalam waktu 11 detik atau lebih?
9. Jangan memberitahukan nama gambar ini dan jangan membantu anak Anda. Gerak halus Ya Tidak
Katakan padanya: “Buatlah gambar-gambar ini” (sambil menunjuk gambar ini).
Suruh ia menggambar di tempat kosong yang tersedia. Berikan 3 kali
kesempatan.
Untuk penilaian lihatlah gambar di bawah ini.

Jawaban: YA

Jawaban: TIDAK
1065

Dapatkah anak Anda menggambar segi empat?


10. Isilah titik-titik di bawah ini dengan jawaban anak Anda. Bicara & bahasa Ya Tidak
Jangan membantu kecuali mengulang tiap pertanyaan sampai 3 kali apabila
anak Anda menanyakannya.
“Sendok dibuat dari apa?”
“Sepatu dibuat dari apa?”
“Pintu dibuat dan apa?”
Dapatkah anak Anda menjawab ketiga pertanyaan di atas dengan benar?
Sendok dibuat dari besi, baja, plastik, kayu. Sepatu dibuat dari kulit, karet,
kain, plastik, kayu. Pintu dibuat dari kayu, besi, kaca.
1.2 Parents’ evaluation developmental status (PEDS)
Glascoe mengembangkan metode parents' evaluation of
developmental status (PEDS) yaitu kuesioner yang dapat
diselesaikan dalam 5 menit, membantu dokter menggali
keluhan orangtua mengenai gangguan perkembangan-
perilaku putra-putrinya. PEDS membantu mengidentifikasi
anak yang mempunyai risiko dan anak yang tidak terdeteksi
gangguan pertumbuhan dan tingkah laku. PEDS membantu
menjawab pertanyaan tentang kebutuhan psikososial anak
dan keluarga
Para petugas atau tenaga kesehatan dianjurkan menggunakan
PEDS tiap tahun sekali atau 2 kali seperti yang disarankan oleh
National Association for Education of Young Children and
Other Education Organizations
PEDS dapat digunakan untuk anak sejak lahir sampai usia 8 th.
Alat ini mempunyai sensitivitas tinggi dan mengidentifikasi
74–80% anak yang menderita kelainan dengan pemeriksaan
skrining perkembangan standar. Spesifitas cukup tinggi, 70–
80% anak tanpa gangguan diidentifikasi mempunyai
perkembangan normal. Kuesioner dapat mudah dikerjakan
oleh tenaga profesional, para profesional atau petugas
administrasi, dan hanya memerlukan latihan minimal, serta
dapat dikerjakan sendiri oleh orangtua di ruang tunggu, ruang
pemeriksaan, atau rumah

Petunjuk pengisian dan penilaian PEDS


Langkah 1: mempersiapkan orangtua. Jelaskan bahwa tujuan pelak-
sanaan PEDS adalah untuk mengetahui perkembangan
dan tingkah laku anak
Langkah 2: mengisi kolom nilai PEDS sesuai usia anak
Langkah 3: tandai kotak pada lembar penilaian untuk setiap
jawaban pada pertanyaan nomor 1
Jika orangtua memberikan pernyataan seperti ‘Dahulu
saya khawatir terhadap anak saya tetapi saat ini saya lihat
dia dapat melakukan lebih baik’, tandai ini sebagai
perhatian pada jenis perkembangan yang dimaksud.
Sama halnya jika orangtua melaporkan bahwa mereka
hanya ‘sedikit’ memperhatikan anaknya mengalami
gangguan/kelainan, hal itu juga harus ditandai sebagai
perhatian terhadap kelainan yang terjadi pada anaknya
Langkah 4: tandai kotak pada lembar penilaian untuk setiap
jawaban atau perhatian orangtua pada pertanyaan 2–10
Untuk setiap nomor dengan jawaban ‘Ya’ atau ‘Sedikit’,
tandai sesuai dengan kotak pada lembar penilaian PEDS.
Jika orangtua tidak menulis apapun kecuali melingkari
pilihan ‘Ya’ atau ‘Sedikit’ pada pertanyaan 2–10, lakukan
pemeriksaan ulang dengan mengisi ulang lembar PEDS
dengan wawancara atau tanya jawab

1066
Langkah 5: jumlahkan hasil penilaian di lembar penilaian PEDS
Kotak kecil abu-abu menunjukkan perhatian yang
signifikan (berisiko terhadap gangguan perkembangan).
Hitung jumlah pada kotak kecil abu-abu pada kolom di
atas dan tuliskan jumlahnya pada kotak besar abu-abu di
bawahnya
Kotak kecil putih menunjukkan perhatian yang tidak
signifikan, tidak menunjukkan kemungkinan kelainan.
Hitung jumlah kotak putih kecil yang ditandai kemudian
tuliskan jumlahnya pada kotak besar putih pada dasar
lembar tersebut
Langkah 6: tentukan langkah yang sesuai seperti pada lembar
interpretasi PEDS
Nilai PEDS yang ada pada formulir menunjukkan satu di
antara lima bentuk penafsiran (interpretasi). Cara-cara ini
merupakan langkah yang paling akurat dalam menjawab
setiap bentuk hasil PEDS
Langkah 7: lengkapi lembar penilaian
Di sebelah kanan dari lembar penilaian PEDS terdapat
kolom untuk menulis keputusan spesifik, rujukan, hasil
tes skrining tambahan, topik konseling, rencana selanjut-
nya dan lain-lain. Lembar ini dapat digunakan untuk
memantau anak tersebut

1067
Tabel 260 Parents’ Evaluation Developmental Status
Jika Ada, Tandai Kotak
Jenis Kelainan Jenis Respons dalam Kolom Sesuai Usia
pada Lembar Penilaian
PEDS dalam:
Global/kognitif Tampak terbelakang, tidak dapat mengerjakan sesuatu yang dapat Nomor 1
dilakukan oleh anak lain, lamban, imatur, kemampuan belajar lambat,
perlu waktu lama untuk mempelajari sesuatu, kesulitan dalam
mempelajari/mengerjakan sesuatu
Artikulasi dan Tidak dapat berbicara normal, menggunakan kalimat-kalimat pendek, Nomor 2
bahasa ekspresif tidak selallu dapat mengatakan apa yang dimaksud, kadang-kadang tidak
masuk akal, tidak dapat berbicara secara terencana, tidak ada yang
1068

mengerti perkataannya kecuali saya


Bahasa reseptif Tidak mengerti apa yang Anda katakan, tidak mendengarkan dengan baik Nomor 3
Motorik halus Tidak dapat membuat garis lurus, tidak dapat menulis nama, tidak dapat Nomor 4
menggambar suatu bentuk, tidak benar dalam memegang pensil, belum
dapat makan menggunakan sendok atau makan berantakan
Motorik kasar Canggung, berjalan aneh, belum dapat naik sepeda, sering terjatuh, Nomor 5
pincang, kurang keseimbangan, tidak menyukai sepakbola
Perilaku Keras kepala, over aktif, gangguan pemusatan perhatian, manja, Nomor 6
menjengkelkan, hanya melakukan apa yang dia mau
Emosi sosial Senang menyendiri, cengeng, tidak menyukai perubahan, pemarah, Nomor 7
mudah frustasi, pemalu, ingin menang sendiri, perasaan mudah berubah
Kemandirian Tidak mau melakukan sesuatu sendiri, tidak memberitahu jika basah, Nomor 8
belum bisa latihan kebersihan, masih minum susu botol, tidak dapat
berpakaian sendiri
Sekolah Tidak bisa menulis nama (nilai sama seperti motorik halus), tidak tahu Nomor 9
warna atau angka, tidak mau belajar membaca, tidak dapat mengingat
huruf, kadang-kadang tidak dapat mengeja kata-kata
Lain-lain Infeksi telinga, asma, kecil untuk anak seusianya, sering sakit, Nomor 10
pendengaran kurang baik, penglihatan kurang baik
Tidak ada Anak normal, perkembangan normal Jika tidak ada kelainan,
1069

kelainan kotak dikosongkan


kemudian ikuti langkah 4
1070
1071
1072
1.3 Kuesioner deteksi dini masalah mental emosional
Tujuan
Untuk mendeteksi secara dini masalah mental emosional pada
anak usia 3–6 th
Dilakukan setiap 6 bl
Cara melakukan
1. Tanyakan satu per satu dengan lambat, jelas, dan nyaring
perilaku yang tertulis pada daftar perilaku anak kepada
orangtua atau pengasuh anak
2. Catat jawaban berupa ”Ya“ atau ”Tidak“
3. Catat jumlah jawaban ”Ya“
Interpretasi
Bila orangtua memberikan ≥1 jawaban “Ya”, anak kemungkin-
an mengalami masalah mental emosional
Intervensi
1. Bila masalah mental emosional yang ditemukan hanya 1
(satu):
Lakukan konseling kepada orangtua menggunakan
dengan Buku Pedoman Pola Asuh yang Mendukung
Perkembangan Anak
Lakukan evaluasi sesudah 3 bl. Bila tidak ada perubahan,
rujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas kesehatan
jiwa/tumbuh kembang anak
2. Bila masalah mental emosional yang ditemukan ≥2:
Rujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas kesehatan
jiwa/tumbuh kembang anak
3. Rujukan harus disertai informasi mengenai jumlah dan
masalah mental emosional yang ditemukan
Berikut 12 pertanyaan yang dapat membantu mengenali
problem mental emosional anak usia 3–6 th

Tabel 261 Daftar Pertanyaan untuk Deteksi Dini Masalah Mental


Emosional
No Pertanyaan Ya Tidak
1. Apakah anak Anda sering kali terlihat marah
tanpa sebab yang jelas? (seperti banyak
menangis, mudah tersinggung, atau bereaksi
berlebihan terhadap hal-hal yang sudah biasa
dihadapinya)
2. Apakah anak Anda tampak menghindar dari
teman-teman atau anggota keluarganya? (seperti
ingin merasa sendirian, menyendiri atau merasa
sedih sepanjang waktu, kehilangan minat
terhadap hal-hal yang biasa sangat dinikmati)

1073
3. Apakah anak Anda terlihat berperilaku merusak
dan menentang terhadap lingkungan di
sekitarnya? (seperti melanggar peraturan yang
ada, mencuri, sering kali melakukan perbuatan
yang berbahaya bagi dirinya, atau menyiksa
binatang atau anak lainnya)
dan tampak tidak perduli dengan nasihat yang
sudah diberikan kepadanya?
4. Apakah anak Anda memperlihatkan perasaan
ketakutan atau kecemasan berlebihan yang tidak
dapat dijelaskan asalnya dan tidak sebanding
dengan anak lain seusianya?
5. Apakah anak Anda mengalami keterbatasan oleh
karena konsentrasi yang buruk atau mudah
teralih perhatiannya, sehingga mengalami
penurunan dalam aktivitas sehari-hari atau
prestasi belajarnya?
6. Apakah anak Anda menunjukkan perilaku
kebingungan sehingga mengalami kesulitan
dalam berkomunikasi dan membuat keputusan?
7. Apakah anak Anda menunjukkan perubahan pola
tidur? (seperti sulit tidur sepanjang waktu,
terjaga sepanjang hari, sering terbangun di waktu
tidur malam karena mimpi buruk, mengigau)
8. Apakah anak Anda mengalami perubahan pola
makan? (seperti kehilangan nafsu makan, makan
berlebihan atau tidak mau makan sama sekali)
9. Apakah anak Anda sering kali mengeluh sakit
kepala, sakit perut atau keluhan fisik lainnya?
10. Apakah anak Anda sering kali mengeluh putus
asa atau berkeinginan untuk mengakhiri
hidupnya?
11. Apakah anak Anda menunjukkan kemunduran
perilaku atau kemampuan yang sudah
dimilikinya? (seperti mengompol kembali,
menghisap jempol, atau tidak mau berpisah
dengan orangtua/pengasuhnya)
12. Apakah anak Anda melakukan perbuatan yang
berulang-ulang tanpa alasan yang jelas?

1.4 Ceklis deteksi dini autis (checklist for autism in toddlers/


CHAT)
Tujuan
Untuk mendeteksi secara dini autis pada usia 18–36 bl

1074
Waktu
Pemeriksaan dilakukan bila ada keluhan dari ibu/pengasuh
atau ada kecurigaan tenaga kesehatan, kader kesehatan, BKB,
petugas PADU, pengelola TPA dan guru TK, karena terdapat ≥1
keadaan di bawah ini:
Keterlambatan berbicara
Gangguan komunikasi/interaksi sosial
Perilaku yang berulang-ulang
Cara melakukan
Ceklis CHAT ada 2 jenis, yaitu:
1. Sembilan pertanyaan yang dijawab oleh ibu/pengasuh anak
Pertanyaan diajukan secara berurutan, satu per satu.
Jelaskan kepada orangtua untuk tidak ragu-ragu atau takut
menjawab
2. Lima perintah bagi anak, untuk melaksanakan tugas seperti
yang tertulis dalam CHAT
3. Catat jawaban orangtua dan hasil pengamatan kemampuan
anak ketika melaksanakan tugas, dengan jawaban
“Ya”/”Tidak”
4. Teliti kembali apakah semua pertanyaan sudah dijawab
Interpretasi
1. Risiko tinggi menderita autis bila jawaban “Tidak” pada
pertanyaan A5, A7, B2, B3, dan B4
2. Risiko rendah menderita autis bila jawaban ”Tidak” pada
pertanyaan A7 dan B4
3. Kemungkinan gangguan perkembangan lain bila jawaban
”Tidak” jumlahnya ≥3 untuk pertanyaan A1–A4; A6; A8–
A9; B1; B5
4. Anak dalam batas normal bila tidak termasuk dalam
kategori 1, 2, dan 3
Tabel 262 Ceklis Deteksi Dini Autis (Checklist for Autism in
Toddlers/CHAT) untuk Anak Usia 18–36 Bulan
A. Alo Anamnesis Ya Tidak
1. Apakah anak senang diayun-ayun atau diguncang-
guncang naik turun (bounched) di paha anda?
2. Apakah anak tertarik (memperhatikan) anak lain?
3. Apakah anak suka memanjat-manjat benda seperti
memanjat tangga?
4. Apakah anak suka bermain ”ciluk ba”, ”petak
umpet”?
5. Apakah anak pernah bermain seolah-olah
membuat secangkir teh menggunakan mainan
berbentuk cangkir dan teko, atau permainan lain?
6. Apakah anak pernah menunjuk atau meminta
sesuatu dengan menunjukkan jari?
1075
7. Apakah anak pernah menggunakan jari untuk
menunjuk ke sesuatu agar anda melihat ke sana?
8. Apakah anak dapat bermain dengan mainan yang
kecil (mobil atau kubus)?
9. Apakah anak pernah memberikan suatu benda
untuk menunjukkan sesuatu?
B. Pengamatan Ya Tidak
1. Selama pemeriksaan apakah anak menatap
(kontak mata) dengan pemeriksa?
2. Usahakan menarik perhatian anak, kemudian
pemeriksa menunjuk sesuatu di ruangan
pemeriksaan sambil mengatakan: ” Lihat itu ada
bola (atau mainan lain)”!
Perhatikan mata anak, apakah ia melihat ke benda
yang ditunjuk, bukan melihat tangan pemeriksa?
3. Usahakan menarik perhatian anak, berikan mainan
gelas/cangkir dan teko. Katakan pada anak:
”Buatkan secangkir susu buat mama”!
4. Tanyakan pada anak: ”Tunjukkan mana gelas”!
(gelas dapat diganti dengan nama benda lain yang
dikenal anak dan ada disekitar kita). Apakah anak
menunjukkan benda tersebut dengan jarinya?
Atau sambil menatap wajah Anda ketika menunjuk
ke suatu benda?
5. Dapatkah anak Anda menumpuk kubus/balok
menjadi suatu menara?
Sumber: American Academy or Pediatrics. Pediatrics. 2001;107

1.5 Kuesioner deteksi dini gangguan pemusatan perhatian dan


hiperaktivitas (GPPH)
Tujuan
Mendeteksi secara dini anak dengan gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktif (GPPH) pada anak usia ≥3 th oleh
tenaga kesehatan
Waktu
Pemeriksaan dilakukan bila ada keluhan dari ibu/pengasuh
atau ada kecurigaan tenaga kesehatan, kader kesehatan, BKB,
petugas PADU, pengelola TPA dan guru TK, karena anak tidak
bisa duduk tenang, selalu bergerak
Cara melakukan
1. Kuesioner terdiri atas 10 pertanyaan yang ditanyakan kepada
ibu/pengasuh anak/guru dan diamati oleh pemeriksa
2. Pertanyaan atau pengamatan dilakukan secara berurutan,
satu per satu. Jelaskan kepada orangtua untuk tidak ragu-
ragu atau takut menjawab

1076
3. Keadaan yang ditanyakan atau diamati terdapat di mana
saja (di rumah, sekolah, pasar, toko, dll.); kapan saja,
dengan siapa saja
4. Catat jawaban dan hasil pengamatan perilaku anak selama
dilakukan pemeriksaan
5. Jawaban dicatat dan diberi nilai sebagai berikut:
Tidak pernah, nilai 0
Kadang-kadang, nilai 1
Sering, nilai 2
Selalu, nilai 3
6. Teliti kembali apakah semua pertanyaan sudah dijawab
Interpretasi
Anak kemungkinan dengan GPPH bila jumlah nilai total ≥13

Tabel 263 Formulir Deteksi Dini Anak Gangguan Pemusatan


Perhatian dan Hiperaktivitas (Abbreviated Conners
Ratting Scale)
Kegiatan yang diamati 0 1 2 3
1. Tidak kenal lelah, atau aktivitas yang berlebihan
2. Mudah menjadi gembira, impulsif
3. Mengganggu anak-anak lain
4. Gagal menyelesaikan kegiatan yang sudah
dimulai, rentang perhatian pendek
5. Menggerak-gerakkan anggota badan atau kepala
secara terus-menerus
6. Kurang perhatian, mudah teralihkan
7. Permintaannya harus segera dipenuhi, mudah
menjadi frustrasi
8. Sering dan mudah menangis
9. Suasana hatinya mudah berubah dengan cepat
dan drastis
10. Ledakkan kekesalan, tingkah laku eksplosif dan
tak terduga
JUMLAH
NILAI TOTAL:

2. Tahap Skrining
2.1 Denver developmental screening test II (DDST II)
Deteksi dini penyimpangan perkembangan anak usia <6 th,
berisi 125 gugus tugas yang disusun dalam formulir menjadi 4
sektor untuk menjaring fungsi berikut:
1. Personal social (sosial personal)
Penyesuaian diri dengan masyarakat dan perhatian
terhadap kebutuhan perorangan
1077
2. Fine motor adaptive (motor halus adaptif)
Koordinasi mata tangan, memainkan, menggunakan
benda-benda kecil
3. Language (bahasa)
Mendengar, mengerti dan menggunakan bahasa
4. Gross motor (motor kasar)
Duduk, jalan, melompat dan gerakan umum otot besar
Bahan yang diperlukan
Benang
Kismis
Kerincingan dengan gagang yang kecil
Balok-balok berwarna luas 10 inci
Botol kaca kecil dengan lubang ⅝ inci
Bel kecil
Bola tenis
Pensil merah
Boneka kecil dengan botol susu
Cangkir plastik dengan gagang/pegangan
Kertas-kertas kosong
Pencatatan hasil
1. Koreksi faktor prematuritas
Tarik garis usia dari garis atas ke datar dan cantumkan
tanggal pemeriksaan pada ujung atas garis usia
2. Semua uji coba dilakukan untuk tiap sektor dimulai
dengan uji coba yang terletak di sebelah kiri garis usia,
kemudian dilanjutkan sampai ke kanan garis usia
3. Pada tiap sektor dilakukan min. 3 uji coba yang paling
dekat di sebelah kiri garis usia serta tiap uji coba yang
ditembus garis usia
4. Bila anak tidak mampu melakukan salah satu uji coba
pada langkah 3 (“gagal”; “menolak”; “tidak ada kesem-
patan”) → lakukan uji coba tambahan ke sebelah kiri
pada sektor yang sama sampai anak dapat “lewat” 3 uji
coba
Skor Penilaian
Skor dari tiap uji coba ditulis pada kotak segi empat
Uji coba dekat tanda garis 50%
P: pass/lewat. Anak melakukan uji coba dengan baik,
atau ibu/pengasuh anak memberi laporan (tepat/
dapat dipercaya bahwa anak dapat melakukannya)
F: fail/gagal. Anak tidak dapat melakukan uji coba
dengan baik atau ibu/pengasuh anak memberi
laporan (tepat) bahwa anak tidak dapat
melakukannya dengan baik
No: no opportunity/tidak ada kesempatan. Anak tidak
mempunyai kesempatan untuk melakukan uji coba
karena ada hambatan. Skor ini hanya boleh dipakai
pada uji coba dengan tanda R

1078
R: refusal/menolak. Anak menolak untuk melakukan uji
coba. Penolakan dapat dikurangi dengan mengata-
kan kepada anak “apa yang harus dilakukan”, jika
tidak menanyakan kepada anak apakah dapat mela-
kukannya (uji coba yang dilaporkan oleh ibu/
pengasuh anak tidak diskor sebagai penolakan)
Interpretasi penilaian individual
1. Lebih (advanced)
Bilamana seorang anak lewat pada uji coba yang
terletak di kanan garis usia, dinyatakan perkembang-
an anak lebih pada uji coba tsb.
2. Normal
Bila seorang anak gagal atau menolak melakukan uji
coba di sebelah kanan garis usia
3. Caution/peringatan
Bila seorang anak gagal atau menolak uji coba, garis
usia terletak pada atau antara persentil 75 dan 90
skornya
4. Delayed/keterlambatan
Bila seorang anak gagal atau menolak melakukan uji
coba yang terletak lengkap di sebelah kiri garis usia
5. Opportunity/tidak ada kesempatan ujicoba yang dila-
porkan orang tua
Interprestasi DDST II
Normal
Bila tidak ada keterlambatan dan atau paling banyak
satu caution
Lakukan ulangan pada kontrol berikutnya
Suspek
Bila didapatkan ≥2 caution dan atau ≥1 keterlambatan
Lakukan uji ulang dalam 1–2 mgg untuk menghilang-
kan faktor sesaat seperti rasa takut, keadaan sakit
atau kelelahan
Tidak dapat diuji
Bila ada skor menolak pada ≥1 uji coba terletak di
sebelah kiri garis usia atau menolak pada >1 uji coba
yang ditembus garis usia pada daerah 75–90%
Uji ulang dalam 1–2 mgg
Bila ulangan hasil uji coba didapatkan suspek atau tidak
dapat diuji, maka dipikirkan untuk dirujuk (referal
consideration)

2.2 Bayley infant neurodevelopmental screener (BINS)


Untuk mengidentifikasi bayi berusia 3–24 bl yang mengalami
keterlambatan tumbuh kembang atau mengalami gangguan
neurologis
Aspek perkembangan yang diuji oleh BINS meliputi: 1) fungsi
neurologis dasar → mengukur kelengkapan perkembangan

1079
SSP; 2) fungsi penerimaan (reseptif); 3) fungsi ekspresif; dan 4)
fungsi pengertian (kognitif)
Dalam format pencatatan, hasil skor total bayi disesuaikan
dengan distribusi skor yang disesuaikan dengan usia krono-
logis bayi. Setiap usia memiliki titik potong yang terbagi dalam
3 klasifikasi yang mengindikasikan besarnya risiko untuk
terjadi keterlambatan dalam perkembangan atau gangguan
neurologis, yaitu: 1) risiko rendah; 2) risiko sedang; dan 3)
risiko tinggi. Tindak lanjut dari hasil penilaian BINS sebagai
berikut:
Resiko rendah
Dianggap memiliki risiko min. atau tidak memiliki risiko
terjadi hambatan perkembangan. Walaupun demikian,
tetap harus diingat terdapat variabel yang tidak dapat
diukur oleh BINS namun dapat memengaruhi perkembang-
an, misalnya faktor lingkungan
Resiko sedang
Direkomendasikan uji BINS sekitar 3 bl yang akan datang.
Selama itu, orangtua diberi petunjuk untuk memberikan
stimulasi sebagai latihan perkembangan anak. Bila dari
pemeriksaan selanjutnya didapatkan keterlambatan, maka
harus dilakukan pemeriksaan lain untuk mendiagnosis
penyebab keterlambatan perkembangan
Resiko tinggi
Dibutuhkan uji diagnostik lebih lanjut

1080
1081
1082
1083
1084
1085
Diagnostik Perkembangan
Merupakan tindak lanjut dari skrining
Tujuannya untuk menentukan secara tepat tingkat perkembangan
anak dan penyebab terjadinya gangguan tersebut
Pemeriksaaan meliputi anamnesis/riwayat penyakit, pemeriksaan
fisis umum, penglihatan, pendengaran, neurologik, gangguan
metabolik/genetik, gangguan bicara/bahasa, serta gangguan fungsi
perkembangan intelektual/kecerdasan
Integrasi dari hasil penemuan tersebut kemudian ditetapkan untuk
penatalaksanaan, konsultasi dan prognosisnya
1086
PENAPISAN GANGGUAN PERTUMBUHAN LINIER
Penilaian indikator pertumbuhan berdasarkan:
Tinggi/usia (T/U)
Berat/tinggi (B/T) dan atau
Indeks massa tubuh/usia (IMT/U)

Gambar 85 Dugaan Perawakan Pendek (T/U <−2 SD)


Sumber: Vogiatzi dan Copeland 1998

Lengkapi Anamnesis
Riwayat keluarga (perawakan pendek, kelainan pubertas, kelainan
kongenital)
Kapan mulai tampak pendek
Riwayat perinatal
Mulai pubertas
Riwayat konsumsi makan dan obat-obatan
Riwayat menderita sakit
Lengkapi Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan sistem tubuh
Gambaran dismorfik
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan lapang pandang dan funduskopi
Kelenjar tiroid
Auskultasi

1087
Analisis Kurva Pertumbuhan
Reliabilitas pengukuran
Tinggi badan absolut
Kecepatan pertumbuhan
Rasio berat badan terhadap tinggi badan
Periksa Usia Tulang
Metode Greulich dan Pyle: menilai maturasi epifise tangan dan
pergelangan tangan
Periksa darah lengkap atas indikasi
Untuk menilai keseimbangan elektrolit, fungsi hematologi, hati dan
ginjal
Periksa hormonal atas indikasi
Pemeriksaan fungsi tiroid
Kadar T4 dan TSH: untuk skrining hipotiroidisme
Pemeriksaan kadar IGF-1 dan IGFBP-3
Pemeriksaan GH provokatif untuk menilai secara langsung
kapasitas sekresi GH
Pemeriksaan hormon gonadotropin (FSH dan LH)

TIM TUMBUH KEMBANG FK UNPAD/RSHS BANDUNG


Untuk meningkatkan pelayanan tumbuh kembang anak di RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung sudah dibentuk Tim Tumbuh Kembang
FKUP/RSHS Bandung yang beranggotakan berbagai disiplin ilmu yang
ada di lingkungan FKUP/RSHS
Tujuan
1. Mengelola anak yang menderita gangguan tumbuh kembang
secara terpadu
2. Menerima konsultasi masalah tumbuh kembang anak
3. Membuka jalinan komunikasi diantara disiplin ilmu yang terkait

Gambar 86 Bagan Tim Tumbuh Kembang FK Unpad/RSHS Bandung

1088
BEBERAPA GANGGUAN PERKEMBANGAN
YANG SERING TERJADI
Masalah perkembangan yang spesifik
Temper tantrum
Berbohong
Mencuri
Gangguan makanan
Penolakan makan
Pika
Anoreksia nervosa
Bulimia
Gangguan tidur
Gangguan tidur teror
Tidur berjalan
Gangguan proses eliminasi
Enuresis
Enkoporesis
Gangguan perkembangan spesifik
Gangguan ketrampilan akademis (berhitung, menulis, membaca,
bicara)

ENURESIS
Batasan
Keadaan anak buang air kecil di celana yang terjadi di luar
kemauannya tanpa kelainan organik pada usia anak diharapkan
sudah dapat mengontrolnya (4 th)
Etiologi
Trauma psikologis
Diagnosis
Pengeluaran urin pada pakaian atau tempat tidur, tidak sengaja, dan
berulang siang maupun malam hari
Frekuensi min. 2×/mgg dalam waktu 3 bl berturut-turut
Usia kronologis min. 5 th
Tidak disebabkan oleh kelainan organik
Tatalaksana
Memberi hadiah bila tidak ngompol
Membersihkan sprei dan baju yang dikotorinya
Membatasi pemberian cairan sebelum tidur
Sebelum tidur anak harus buang air kecil
Membangunkan anak tengah malam untuk buang air kecil
Melatih anak untuk mengendalikan retensi
Menggunakan alat khusus (alarm)

1089
Medikamentosa: imipramin (naframil): 25 mg/24 jam sebelum waktu
tidur
Psikologi

ENKOPRESIS
Batasan
Pengeluaran feses pada tempat yang tidak semestinya yang terjadi
pada usia anak yang diharapkan sudah dapat mengontrolnya
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis bergantung pada kelainan yang mendasari keadaan
enkopresis ini. Pada kebanyakan kasus terdapat kelainan fungsi
sfingter ani. Mungkin akan ditemukan tanda-tanda retensi fekal.
Enkopresis primer biasanya berhubungan dengan global develop-
mental delay dan enuresis
Terapi
Psikoterapi
Bio feedback training

PEMBERIAN MAKANAN BAYI


Tabel 264 Jadwal Pemberian Makanan Bayi
Usia (bl) Jenis Makanan Jumlah Pemberian Keterangan
0–6 ASI Sesuka bayi
6–7 ASI Sesuka bayi Waktu pemberian
Buah-buahan 1–2 kali sesuai dengan jam
Bubur susu 1–2 kali makan keluarga
7–8 ASI Sesuka bayi s.d.a.
Buah-buahan 2 kali s.d.a.
Bubur susu 2 kali s.d.a.
Bubur saring 1 kali
8–9 ASI Sesuka bayi s.d.a.
Buah-buahan 2 kali s.d.a.
Bubur nasi 1 kali s.d.a.
2 kali
9–12 ASI Sesuka bayi s.d.a.
Buah-buahan 2 kali s.d.a.
Bubur nasi 3 kali
Nasi tim
12–24 ASI
Makanan sesuai pola makanan
keluarga

1090
IMUNISASI
Jadwal Imunisasi
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2013
Imunisasi Rutin
a. Imunisasi dasar
Tabel 265 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar
Usia (Bulan) Jenis
0 Hepatitis B0
1 BCG, Polio 1
2 DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 DPT-HB-Hib 3, Polio 4
9 Campak

Catatan:
Bayi lahir di Institusi Rumah Sakit, Klinik, dan Bidan Praktik
Swasta, imunisasi BCG dan Polio 1 diberikan sebelum
dipulangkan
Bayi yang sudah mendapatkan imunisasi dasar DPT-HB-Hib 1,
DPT-HB-Hib 2, dan DPT-HB-Hib 3, dinyatakan mempunyai
status imunisasi T2
b. Imunisasi lanjutan
Imunisasi lanjutan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
melengkapi imunisasi dasar pada bayi yang diberikan kepada
anak batita, anak usia sekolah, dan wanita usia subur (WUS)
termasuk ibu hamil
Imunisasi lanjutan pada WUS salah satunya dilaksanakan pada
waktu melakukan pelayanan antenatal
Tabel 266 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Bawah Tiga
Tahun
Usia (Bulan) Jenis
18 DPT-HB-Hib
24 Campak

Tabel 267 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Usia Sekolah


Dasar
Sasaran Imunisasi Waktu Pelaksanaan
Kelas 1 SD Campak Agustus
DT November
Kelas 2 SD Td November
Kelas 3 SD Td November

1091
Catatan:
Batita yang sudah mendapatkan imunisasi lanjutan DPT-HB-
Hib dinyatakan mempunyai status imunisasi T3
Anak usia sekolah dasar yang sudah mendapatkan imunisasi
DT dan Td dinyatakan mempunyai status imunisasi T4 dan T5
Tabel 268 Imunisasi Lanjutan pada Wanita Usia Subur (WUS)
Status Interval Minimal Masa Perlindungan
Imunisasi Pemberian
T1 − −
T2 4 mgg sesudah T1 3 th
T3 4 bl sesudah T2 5 th
T4 1 th sesudah T3 10 th
T5 1 th sesudah T4 >25 th

Catatan:
Sebelum imunisasi, dilakukan penentuan status imunisasi T
(screening) terlebih dahulu, terutama pada saat pelayanan
antenatal
Pemberian imunisasi TT tidak perlu diberikan, apabila
pemberian imunisasi TT sudah lengkap (status T5) yang harus
dibuktikan dengan Buku Kesehatan Ibu dan Anak, rekam
medis, dan atau kohort

Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia Tahun 2014


Jadwal imunisasi anak usia 0–18 tahun rekomendasi Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 87
berikut ini

1092
1093

Gambar 87 Jadwal Imunisasi Anak Usia 0–18


18 Tahun Rekomendasi IDAI Tahun 2014
Keterangan:
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januari 2014
Vaksin Hepatitis B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam
sesudah lahir dan didahului pemberian injeksi vitamin K1. Bayi
lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatitis B dan
imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang
berbeda. Vaksinasi hepatitis B selanjutnya dapat menggunakan
vaksin hepatitis B monovalen atau vaksin kombinasi
Vaksin Polio. Pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin
polio oral (OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3,
dan polio booster dapat diberikan vaksin OPV atau IPV, namun
sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV
Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bl,
optimal usia 2 bl. Apabila diberikan sesudah usia 3 bl, perlu
dilakukan uji tuberkulin
Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada
usia 6 mgg. Dapat diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau
kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak usia lebih dari 7 th
DTP yang diberikan harus vaksin Td, di-booster setiap 10 th
Vaksin Campak. Campak diberikan pada usia 9 bl, 2 th, dan
pada SD kelas 1 (program BIAS)
Vaksin Pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7–12
bl, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bl; pada usia lebih
dari 1 th diberikan 1 kali. Keduanya perlu dosis ulangan 1 kali
pada usia lebih dari 12 bl atau minimal 2 bl sesudah dosis
terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup
satu kali
Vaksin Rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali,
vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus
monovalen dosis I diberikan usia 6–14 mgg, dosis ke-2
diberikan dengan interval minimal 4 mgg. Sebaiknya vaksin
rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum usia 16 mgg
dan tidak melampaui usia 24 mgg. Vaksin rotavirus
pentavalen: dosis ke-1 diberikan usia 6–14 mgg, interval dosis
ke-2 dan ke-3 4–10 mgg, dosis ke-3 diberikan pada usia kurang
dari 32 mgg (interval minimal 4 mgg)
Vaksin Varisela. Vaksin varisela dapat diberikan sesudah usia 12
bl, namun terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
Bila diberikan pada usia lebih dari 12 th, perlu 2 dosis dengan
interval minimal 4 mgg
Vaksin Influenza. Vaksin influenza diberikan pada usia minimal
6 bl, diulang setiap tahun. Untuk imunisasi pertama kali
(primary immunization) pada anak usia kurang dari 9 th diberi
dua kali dengan interval minimal 4 mgg. Untuk anak 6–<36 bl,
dosis 0,25 mL
Vaksin Human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat
diberikan mulai usia 10 th. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
kali dengan interval 0, 1, 6 bl; vaksin HPV tetravalen dengan
interval 0, 2, 6 bl

1094
Tabel 269 Imunisasi Hepatitis B untuk Anak yang Sudah Terpapar
Penderita Hepatitis B
Sumber HBIG Vaksin
Penularan Dosis Keterangan Jumlah Keterangan
Perinatal 0,5 mL i.m. Dalam 12 3× Dalam 7 hr, 1 dan
jam 6 bl
Kontak 0,5 mL i.m. Segera 3× 0,1 dan 6 bl
dengan 3× Periksa darah,
penderita kemudian
(ibu, ayah, imunisasi sda
dll.)

Tabel 270 Jadwal Imunisasi Bila Imunisasi Terlambat


Kunjungan Usia <7 th Usia ≥7 th Keterangan
Kunjungan BCG (PPD-) BCG (PPD-) Dosis 0,05 mL (≤1 th),
pertama 0,1 mL (>1 th ), i.k.
DTP Td I Dosis 0,5 mL, i.m.
HB I HB I Dosis 2 tetes, p.o.
POLIO I POLIO I Dosis sesuai pabrik
1 bl Campak atau Campak atau Dosis 0,5 ml, s.k.
kemudian MMR MMR
2 bl DTP II Td II s.d.a.
kemudian POLIO II POLIO II
HB II HB II
4 bl DTP III s.d.a.
kemudian POLIO III
5 bl POLIO IV s.d.a.
kemudian
8–14 bl HB III Td III s.d.a.
kemudian POLIO III
HB III
10–16 bl DTP ulang s.d.a.
kemudian POLIO ulang
Booster Td tiap 10 th Td tiap 10 th s.d.a.
Keterangan:
Vaksin polio oral tidak diberikan pada anak ≥18 th. Jika kemungkinan terjadi
kontak → gunakan vaksin polio inaktif (IPV)

1095
Tabel 271 Program Imunisasi di UKS
Kunjungan Imunisasi Keterangan
Kelas I DT 2× dengan interval 1 bl, bila belum
mendapat imunisasi dasar DPT
1× bila sudah mendapat imunisasi dasar,
dosis 0,5 mL i.m.
Kelas VI TT s.d.a.
wanita Dosis 0,5 mL i.m.

Kontraindikasi Imunisasi
Sakit sedang sampai berat dengan atau tanpa demam merupa-kan
kontraindikasi imunisasi DTP
Penderita imunodefisiensi dan imunosupresif merupakan
kontraindikasi, kecuali dalam keadaan tertentu (lihat hal-hal khusus)
Pemakaian kortikosteroid topikal jangka lama dan anak sehat yang
diobati dengan kortikosteroid dosis biasa selama >2 mgg atau dosis
tinggi (dosis >2 mg/kgBB atau 20 mg/hr) merupakan kontraindikasi
pemberian vaksin virus hidup
Keadaan yang Bukan Merupakan Kontraindikasi
Sakit akut yang ringan dengan atau tanpa panas atau mencret yang
ringan
Baru mendapat antibiotik atau pada fase konvalesens
Terjadi reaksi pada suntikan DTP sebelumnya yang berupa rasa sakit,
kemerahan atau pembengkakan pada tempat suntikan atau panas
tinggi
Prematuritas (pemberian imunisasi pada bayi prematur sama seperti
pada bayi normal)
Baru terpapar infeksi
Satu-satunya virus vaksin yang dapat diisolasi dari ASI adalah virus
vaksin rubela, tetapi terbukti tidak berbahaya buat bayi
Riwayat alergi yang tidak spesifik
Alergi penisilin atau antibiotik lainnya kecuali reaksi anafilaktik
terhadap neomisin dan streptomisin
Alergi daging bebek
Riwayat kejang dalam keluarga terutama untuk vaksin pertusis
Riwayat sudden infant death di keluarga, misalnya untuk vaksin DTP
Riwayat kejadian efek samping di keluarga sesudah imunisasi
Malnutrisi
Imunisasi pada Keadaan Khusus
Penderita HIV
Pemberian vaksin OPV, campak, MMR, dan BCG merupakan
kontraindikasi
Pemberian vaksin DTP, influenza, H. influenzae, IPV, dan
pneumokokus dapat diberikan
Vaksin morbili usia 12–15 bl bisa diberikan jika:
Risiko terpapar tinggi
Terjadi kejadian luar biasa

1096
Di daerah insidensi TBC tinggi, WHO merekomendasikan pemberian
BCG pada kasus HIV asimtomatik
Kontak serumah dengan penderita klinis HIV tidak boleh mendapat
OPV, dianjurkan IPV
Anak tanpa manifestasi HIV, boleh diberikan imunisasi rutin
Bayi prematur
Diberikan imunisasi sesuai usia kronologis
Dosis tidak perlu dikurangi

1097
REMAJA

Batasan
World Health Organization (WHO) mendefinisikan remaja sebagai
suatu periode kehidupan usia 10–19 tahun, yang sedang mengalami
perubahan karakteristik fisik, sosial, dan emosi yang signifikan

Gambaran Umum
Di Indonesia, kelompok remaja, yaitu penduduk dalam rentang usia
10–19 tahun, memiliki proporsi kurang lebih ⅕ dari jumlah seluruh
penduduk. Hal ini sesuai dengan proporsi remaja di dunia yaitu
jumlah remaja diperkirakan 1,2 miliar atau sekitar ⅕ dari jumlah
penduduk dunia

Tahap Perkembangan Remaja


Masa remaja awal/dini (early adolescent): usia 10–13 tahun
Peningkatan cepat pertumbuhan dan pematangan fisik
Masa puber, hubungan dengan teman, pemikiran konkret
Memerhatikan tahapan fisik dan seksual
Rasa tanggung jawab, interaksi verbal dan visual

Masa remaja tengah (middle adolescent): usia 14–16 tahun


Hampir lengkap pertumbuhan pubertasnya, muncul dorongan
seks
Berpikir abstrak
Timbul keterampilan berpikir yang baru, peningkatan pengenalan
terhadap kedatangan masa dewasa, serta keinginan untuk
memapankan jarak emosional dan psikologis dengan orangtua
Menarik lawan jenis, kebebasan bertambah

Masa remaja lanjut (late adolescent): usia 17–19 tahun


Kematangan fisik, saling berbagi rasa, idealis
Persiapan untuk peran orang dewasa, termasuk klarifikasi tujuan
pekerjaan dan internalisasi suatu sistem nilai pribadi
Hubungan individual lebih terbuka
Memahami tanggung jawab, tujuan hidup, dan kesehatan

Permasalahan Remaja
Di negara berkembang permasalahan kesehatan remaja yang menonjol
menurut WHO adalah:
Kesehatan mental dan emosional
Rokok
Minum minuman beralkohol
Penyalahgunaan obat-obatan terlarang
Kesehatan reproduksi

1098
1099
Alat Skrining Permasalahan pada Remaja
Teknik wawancara HEEADSSS
HEEADSSS merupakan akronim yang digunakan untuk memu-
dahkan petugas kesehatan mengingat hal-hal penting yang perlu
dieksplorasi saat melakukan wawancara. Teknik ini membuat
wawancara menjadi mudah dan teratur dalam mendeteksi
perilaku berisiko pada remaja
Berikut akronim dari HEEADSSS:
H Home: rumah atau keluarga
E Education/employment: sekolah atau pekerjaan
E Eating: masalah makan atau berat badan
A Activities: aktifitas dalam dan luar rumah, termasuk hobi
D Drugs: obat-obatan termasuk NAPZA dan alkohol
S Sexuality : Seksualitas dan perilaku seksual
S Suicide/depression: depresi dan bunuh diri
S Safety: Keamanan lingkungan
Akronim ini perlu diingat, agar saat melakukan wawancara, tidak
perlu selalu melihat kertas catatan
Jika saat wawancara terdeteksi terdapat risiko, maka jawaban yang
diberikan remaja perlu ditelusuri lebih lanjut, dengan
menggunakan kalimat tanya terbuka, “mengapa....“ atau
“ceritakan lebih lanjut mengenai hal itu”

Tabel 272 Checklist Wawancara HEEADSSS


Tidak Dilakukan
No. Kegiatan Cukup Tidak Komentar
Dilakukan
Sesuai Cukup
1 Perkenalan dengan remaja
2 Menjamin kerahasiaan
3 Wawancara ‘Home’
4 Wawancara ‘Education/
Employment’
5 Wawancara ‘Eating’
6 Wawancara ‘Activities’
7 Wawancara ‘Drugs’
8 Wawancara ‘Sexuality’
9 Wawancara ‘Suicide/
Depression’
10 Wawancara ‘Safety’
11 Mencari faktor-faktor
positif yang ada pada
remaja
12 Menanyakan adakah
masalah lain yang ingin
dikemukakan
13 Bersikap empati
14 Mendiskusikan hasil
wawancara dengan remaja

1100
The strengths and difficulties questionnaire (SDQ)/kuesioner kekuatan
dan kesulitan
Dapat digunakan untuk anak dan remaja hingga usia 17 th
Terdiri atas 25 pertanyaan
Digunakan untuk mendeteksi masalah psikososial pada anak
hingga remaja
Penggunaan cukup singkat, sekitar 10 mnt
Sensitivitas dan spesifisitas 63–94% dan 88–98%
Dapat diisi oleh orangtua sendiri atau dengan bimbingan
Digunakan untuk mengukur perubahan perilaku dan pemantauan
terapi
Bagian pertama terdiri atas 20 pertanyaan, bagian kedua 120
pertanyaan mengenai masalah perilaku atau emosi 6 bl terakhir

Tabel 273 Kuesioner Kekuatan dan Kesulitan pada Anak (Usia 11–17
Tahun)
Untuk setiap pernyataan, beri tanda √ pada kotak Tidak Benar, Agak
Benar, atau Benar. Akan sangat membantu kami apabila kamu mau
menjawab semua pernyataan sebaik mungkin meskipun kamu tidak yakin
benar. Berikan jawabanmu menurut bagaimana segala sesuatu telah
terjadi pada dirimu selama enam bulan terakhir.
Nama : .................................................... Laki-laki/Perempuan
Tanggal lahir/usia : .................................................... (…… tahun)
Tanggal : …………………………………
Skor Skor
No. Pertanyaan Tidak Agak Benar Anak
Benar Benar
1 Saya berusaha bersikap baik kepada orang lain.
Saya peduli dengan perasaan mereka
2 Saya gelisah, saya tidak dapat diam untuk
waktu lama
3 Saya sering sakit kepala, sakit perut, atau
macam-macam sakit lainnya
4 Kalau saya memiliki mainan, CD, atau
makanan, saya biasanya berbagi dengan orang
lain
5 Saya menjadi sangat marah dan sering tidak
dapat mengendalikan kemarahan saya
6 Saya lebih suka sendirian daripada bersama
dengan orang-orang yang seusia saya
7 Saya biasanya melakukan apa yang
diperintahkan orang lain
8 Saya banyak merasa cemas atau khawatir
terhadap apa pun
9 Saya selalu siap menolong jika ada orang yang
terluka, kecewa, atau merasa sakit
10 Bila sedang gelisah atau cemas, badan saya
sering bergerak-gerak tanpa saya sadari

1101
11 Saya mempunyai satu orang teman baik atau
lebih
12 Saya sering bertengkar dengan orang lain. Saya
dapat memaksa orang lain melakukan apa
yang saya inginkan
13 Saya sering merasa tidak bahagia, sedih, atau
menangis
14 Orang lain seusia saya pada umumnya
menyukai saya
15 Perhatian saya mudah teralihkan, saya sulit
memusatkan perhatian pada apa pun
16 Saya merasa gugup dalam situasi baru, saya
mudah kehilangan rasa percaya diri
17 Saya bersikap baik terhadap anak-anak yang
lebih muda dari saya
18 Saya sering dituduh berbohong atau berbuat
curang
19 Saya sering diganggu atau dipermainkan oleh
anak-anak atau remaja lainnya
20 Saya sering menawarkan diri untuk membantu
orang lain (orang tua, guru, anak-anak)
21 Sebelum melakukan sesuatu saya berpikir
dahulu tentang akibatnya
22 Saya mengambil barang yang bukan milik saya
dari rumah, sekolah, atau dari mana saja
23 Saya lebih mudah berteman dengan orang
dewasa daripada dengan orang-orang yang
seusia saya
24 Banyak yang saya takuti, saya mudah menjadi
takut
25 Saya menyelesaikan pekerjaan yang sedang
saya lakukan. Saya mempunyai perhatian yang
baik terhadap apa pun

Tabel 274 Panduan Pemberian Skor Kuesioner Kekuatan dan


Kesulitan pada Anak (Usia 11–17 tahun)
Skor Skor
No. Pertanyaan Kode Tidak Agak
Benar Anak
Benar Benar
1 Saya berusaha bersikap baik kepada Pr -1 0 1 2
orang lain. Saya peduli dengan
perasaan mereka
2 Saya gelisah, saya tidak dapat diam H-1 0 1 2
untuk waktu lama
3 Saya sering sakit kepala, sakit perut, E-1 0 1 2
atau macam-macam sakit lainnya
4 Kalau saya memiliki mainan, CD, atau Pr-2 0 1 2
makanan, saya biasanya berbagi
dengan orang lain

1102
5 Saya menjadi sangat marah dan sering C-1 0 1 2
tidak dapat mengendalikan kemarahan
saya
6 Saya lebih suka sendirian daripada P-1 0 1 2
bersama dengan orang-orang yang
seusia saya
7 Saya biasanya melakukan apa yang C-2 2 1 0
diperintahkan oleh orang lain
8 Saya banyak merasa cemas atau E-2 0 1 2
khawatir terhadap apa pun
9 Saya selalu siap menolong jika ada Pr-3 0 1 2
orang yang terluka, kecewa, atau
merasa sakit
10 Bila sedang gelisah atau cemas, badan H-2 0 1 2
saya sering bergerak-gerak tanpa saya
sadari
11 Saya mempunyai satu orang teman P-2 2 1 0
baik atau lebih
12 Saya sering bertengkar dengan orang C-3 0 1 2
lain. Saya dapat memaksa orang lain
melakukan apa yang saya inginkan
13 Saya sering merasa tidak bahagia, E-3 0 1 2
sedih, atau menangis
14 Orang lain seusia saya pada umumnya P-3 2 1 0
menyukai saya
15 Perhatian saya mudah teralihkan, saya H-3 0 1 2
sulit memusatkan perhatian pada apa
pun
16 Saya merasa gugup dalam situasi baru, E-4 0 1 2
saya mudah kehilangan rasa percaya
diri
17 Saya bersikap baik terhadap anak-anak Pr-4 0 1 2
yang lebih muda dari saya
18 Saya sering dituduh berbohong atau C-4 0 1 2
berbuat curang
19 Saya sering diganggu atau P-4 0 1 2
dipermainkan oleh anak-anak atau
remaja lainnya
20 Saya sering menawarkan diri untuk Pr-5 0 1 2
membantu orang lain (orang tua, guru,
anak-anak)
21 Sebelum melakukan sesuatu saya H-4 2 1 0
berpikir dahulu tentang akibatnya
22 Saya mengambil barang yang bukan C-5 0 1 2
milik saya dari rumah, sekolah, atau
dari mana saja
23 Saya lebih mudah berteman dengan P-5 0 1 2
orang dewasa daripada dengan orang-
orang yang seusia saya
24 Banyak yang saya takuti, saya mudah E-5 0 1 2
menjadi takut
25 Saya menyelesaikan pekerjaan yang H-5 2 1 0
sedang saya lakukan. Saya mempunyai
perhatian yang baik terhadap apa pun

1103
Tabel 275 Skor berdasarkan Aspek
No. Aspek Pertanyaan Nomor Total
1 Gejala emosional (E) 3+8+13+16+24=
2 Masalah perilaku (C) 5+7+12+18+22=
3 Hiperaktivitas (H) 2+10+15+21+25=
4 Masalah teman 6+11+14+19+23=
sebaya (P)
5 Prososial (Pr) 1+4+9+17+20=
6 Total kesulitan Jumlah semua skor gejala emosional+
masalah perilaku+hiperaktivitas+masalah
teman sebaya (tanpa skor prososial)=
Rentang skor total kesulitan: 0–40

Tabel 276 Interpretasi Skor (Kuesioner yang Diisi oleh Orangtua)


Normal Perbatasan Tidak normal
Skor total kesulitan 0–13 14–16 17–40
Skor gejala emosional 0–3 4 5–10
Skor masalah perilaku 0–2 3 4–10
Skor hiperaktivitas 0–5 6 7–10
Skor masalah teman sebaya 0–2 3 4–10
Skor prososial 6–10 5 0–4

Tabel 277 Interpretasi Skor (Kuesioner yang Diisi oleh Guru)


Normal Perbatasan Tidak normal
Skor total kesulitan 0–11 12–15 16–40
Skor gejala emosional 0–4 5 6–10
Skor masalah perilaku 0–2 3 4–10
Skor hiperaktivitas 0–5 6 7–10
Skor masalah teman sebaya 0–3 4 5–10
Skor prososial 6–10 5 0–4

Tabel 278 Interpretasi Skor (Kuesioner yang Diisi oleh Remaja)


Normal Perbatasan Tidak normal
Skor total kesulitan 0–15 16–19 20–40
Skor gejala emosional 0–5 6 7–10
Skor masalah perilaku 0–3 4 5–10
Skor hiperaktivitas 0–5 6 7–10
Skor masalah teman sebaya 0–3 4–5 6–10
Skor prososial 6–10 5 0–4

Hasil:
Skor total kesulitan =
Skor gejala emosional =
Skor masalah perilaku =
Skor masalah hiperaktivitas =
Skor masalah teman sebaya=
Skor prososial =
Langkah selanjutnya:

1104
Pediatric symptom checklist (PSC)
Alat skrining psikososial untuk mengenali ada masalah emosional
dan perilaku, sehingga intervensi yang sesuai dapat dilakukan
sedini-dininya
Pertama kali dipublikasikan oleh Jellinek dkk. (1988)
Skrining perilaku anak usia 4–16 th
Berisi pertanyaan yang dinilai oleh orangtua, pengasuh, atau guru
sekolah
Untuk remaja usia lebih dari 11 th, kuesioner dapat diisi sendiri
oleh remaja → PSC versi remaja (youth-PSC)
Cara melakukan pemeriksaan PSC-17 versi remaja
PSC-17 versi remaja (Y-PSC-17) terdiri atas 17 pertanyaan
seputar perilaku yang harus dijawab oleh remaja sesuai
penilaian remaja terhadap dirinya sendiri
Tujuh belas pertanyaan tersebut dikelompokkan menjadi 3
subskala perilaku sebagai berikut:
Subskala internalisasi (5 pertanyaan)
Subskala eksternalisasi (7 pertanyaan)
Subskala perhatian (5 pertanyaan)
Tiap pertanyaan dapat dijawab sebagai:
Tidak pernah (nilai 0)
Kadang-kadang (nilai 1)
Selalu (nilai 2)
Jumlahkan nilai masing-masing subskala perilaku tersebut
Jumlahkan nilai dari ketiga subperilaku tersebut menjadi nilai
total
Gangguan perilaku dicurigai bila:
Jumlah nilai internalisasi 5 atau lebih
Jumlah nilai eksternalisasi 7 atau lebih
Jumlah nilai perhatian 7 atau lebih
ATAU
Nilai total internalisasi+eksternalisasi+perhatian 15 atau lebih
Pertanyaan yang tidak dijawab oleh remaja dapat diabaikan
(diberi nilai 0). Demikian juga dengan pertanyaan yang dijawab
dengan lebih dari 1 jawaban, diberi nilai 0. Jika terdapat ≥4
pertanyaan yang tidak dijawab, maka kuesioner dianggap invalid

1105
Tabel 279 Pediatric Symptom Checklist-17
Nama : ...........................................................
Jenis kelamin : L/P
Tanggal lahir : ..... / ..... / .......
Tanggal pemeriksaan : ..... / ..... / .......
Nama pemeriksa : ...........................................................
Mohon diberi tanda (√) pada tempat ___ yang paling sesuai dengan
kondisimu

Subskala Perilaku Tidak Kadang- Sering


Pernah kadang
Internalisasi
1 Merasa sedih, tidak bahagia ___ ___ ___
2 Mudah putus asa ___ ___ ___
3 Cemas, khawatir ___ ___ ___
4 Menyalahkan diri sendiri ___ ___ ___
5 Kurang gembira ___ ___ ___
Nilai Internalisasi ______
Eksternalisasi
1 Berkelahi dengan remaja lain ___ ___ ___
2 Tidak memperhatikan aturan ___ ___ ___
3 Tidak mengerti perasaan teman ___ ___ ___
4 Mengganggu teman ___ ___ ___
5 Menyalahkan orang lain atas ___ ___ ___
kesalahan sendiri
6 Menolak berbagi ___ ___ ___
7 Mengambil barang milik orang ___ ___ ___
lain
Nilai Eksternalisasi ______
Perhatian
1 Gelisah, sulit untuk duduk diam ___ ___ ___
2 Banyak melamun ___ ___ ___
3 Mudah teralih perhatian ___ ___ ___
4 Sulit konsentrasi ___ ___ ___
5 Aktivitas seolah-olah ___ ___ ___
dikendalikan oleh mesin
Nilai Perhatian ______
Nilai Total _________

CRAFFT
CRAFFT merupakan alat skrining kesehatan yang direkomendasikan
oleh American Academy of Pediatrics’ Committee pada Substance
Abuse untuk remaja:
Dikembangkan dari modifikasi pertanyaan-pertanyaan alat
skrining yang lebih panjang
Mengombinasikan pertanyaan serupa
Pengukuran validitas berulang untuk mengetahui pertanyaan
terbaik dalam mengidentifikasi remaja yang yang memerlukan
terapi substance abuse
1106
CRAFFT merupakan akronim dari beberapa pertanyaan, terdiri atas:
C : Car
R : Relax
A : Alone
F : Forget
F : Friends
T : Trouble

Gambar 88 The CRAFFT Screening Questions

1107
Bibliografi
1. 37 persen [diunduh 26 Oktober 2010]. Tersedia dari:
http://www.suarapembaruan.com.
2. Cheng PS. Management of childhood short stature. HK Medical
Diary. 2006 Oct;11(10):21–3.
3. Cohen P, Bright GM, Rogol AD, Kappelgaard AM, Rosenfeld RG.
Effects of dose and gender on the growth and growth factor
response to GH in GH-deficient children: implications for efficacy
and safety. J Clin Endocrinol Metab. 2002 Jan;87(1):90–8.
4. Frasier SD. Short stature in children. Pediatr Rev. 1981 Dec;3(6);
171–9.
5. Grimberg A, Lifshitz F. Worrisome growth. Dalam: Lifshitz F,
penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi ke-5. New York:
Informa Health Care; 2007. hlm. 1–50.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jadwal imunisasi IDAI 2014
[diunduh 12 September 2014]. Tersedia dari: http://idai.or.id/pu
blic-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2014.html.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
8. Kim HJ, Song H, Shyam A, Heon SS, Unnikrishnan R, Song S.
Skeletal age in idiopathic short stature: an analytical study by the
TW3 method, Greulich and Pyle method. Indian J Orthop. 2010
Jul;44(3):322–6.
9. Narendra MB. Penilaian pertumbuhan dan perkembangan anak.
Dalam: Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh
IGD, penyunting. Tumbuh kembang anak dan remaja. Jakarta:
Sagung Seto; 2002. hlm. 95–111.
10. Rose SR, Vogiatzi MG, Copeland KC. A general pediatric approach
to evaluating a short child. Pediatr Rev. 2005 Nov;26(11):410–20.
11. Rose SR. Isolated central hypothyroidism in short stature. Pediatr
Res. 1995 Des;38(6):967–73.
12. The Association for Clinical Biochemistry, British Thyroid
Association, British Thyroid Foundation. UK guidelines for the use
of thyroid function tests [diunduh 02 Januari 2010]. Tersedia
dari: http://www.acb.org.uk/docs/TFTguidelinefinal.pdf.
13. Vogiatzi MG, Copeland KC. The short child. Pediatr Rev. 1998
Mar;19(3):92–9.
14. WHO Multicentre Growth Reference Study Group. WHO child
growth standards: length/height-for-age, weight-for-age, weight-
for-length, weight-for-height and body mass index-for-age:
methods and development. Geneva: World Health Organization;
2006.
15. World Health Organization. Training course on child growth
assessment. Version 1-November 2006. Geneva: WHO; 2006.
16. World Health Organization. World health statistics 2009. Geneva:
World Health Organization; 2009.

1108
Herry Garna
Heda Melinda Nataprawira Nilai Normal pada Anak
Pemeriksaan Diatesis Hemoragik
Rumple leede (torniquet test)
Negatif <5 petekia/2,5 x 2,5 cm2
Waktu perdarahan: 2–5 detik
Waktu pembekuan: 6–11 detik
Recalfication time: <5 detik dari kontrol
Protrombine consumpt time: >40 detik
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011

Tabel 280 Nilai Normal Keseimbangan Asam-Basa

Parameter Arteri Vena Vena


Campuran
pH 7,40 7,36 7,36
(rentang) (7,35–7,45) (7,31–7,41) (7,31–7,41)
pO2 (mmHg) 80-100 35–40 30–50
pCO2 (mmHg) Neonatus 27–40 41–51 40–52
Bayi 27–41
Setelah usia bayi
L: 35–48
P: 32–45
Saturasi O2 >95% 60–80% 60–85%
HCO3− (mEq/L) 21–28 22–26 22–29
Basedifference Neonatus (−2)–(+2) (−2)–(+2)
(deficit/excess) (−10)–(−2)
Infant (−7)–(−1)
Child (−4)–(−1)
Setelahnya
(−3)–(+3)
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011

Tabel 281 Nilai Normal Darah Rutin

Usia Hb (g/dL) Ht (%) Leukosit 3 MCH MCV


(sel/mm ) (pg) (fL)
0–30 hr 15,0–24,0 44–70 9.100–34.000 33–39 99–115
1–23 bl 10,5–14,0 33–42 6.000–14.000 24–30 72–88
2–9 th 11,5–14,5 33–43 4.000–12.000 25–31 76–90
10–17 th 12,5–16,1 36–47 4.000–10.500 26–32 78–95
(laki-laki)
10–17 th 12,0–15,0 35–45 27–31
(perempuan)
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011

1111
Tabel 282 Nilai C-Reactive Protein (CRP) berdasarkan Usia dan Jenis
Kelamin
Usia Nilai Rujukan Laki-laki Nilai Rujukan
(mg/L) Perempuan (mg/L)
0–90 hr 0,8–15,8 0,9–15,8
91 hr –12 bl 0,8–11,2 0,5–7,9
13 bl–3 th 0,8–11,2 0,8–7,9
4–10 th 0,6–7,9 0,5–10,0
11–14 th 0,8–7,6 0,6–8,1
15–18 th 0,4–7,9 0,6–7,9
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011

Nilai Normal Urin


Kejernihan: jernih Urobilin: ±/+
Warna: kuning muda Gula: −/+
Berat jenis: 1,015–1,02 Endapan
pH: 5,0–7,3 (pembesaran
Protein: − mikroskopik 400×)
Bilirubin: − Leukosit: 0–5/LPB
Eritrosit: 0–3/LPB
Epitel: 0–1/LPB
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011

Tabel 283 Kriteria Napas Cepat WHO


Usia ( bl ) Frekuensi/mnt
<2 ≥60
2–12 ≥50
12–60 ≥40
Sumber: WHO guidelines on detecting pneumonia in children. Lancet. 1991

1112
Tabel 284 Nilai Normal Kecepatan Nadi berdasarkan Usia dan Jenis
Kelamin

Usia Batas Bawah Nilai Rata-rata Batas Atas Nilai


Normal (×/mnt) (×/mnt) Normal (×/mnt)
Neonatus 70 125 190
1–11 bl 80 120 160
2 th 80 110 130
4 th 80 100 120
6 th 75 100 115
8 th 70 90 110
10 th 70 90 110

Usia Laki- Perem- Laki- Perem- Laki- Perem-


laki puan laki puan laki puan
12 th 65 70 85 90 105 110
14 th 60 65 80 85 100 105
16 th 55 60 75 80 95 100
18 th 50 55 70 75 90 95
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011

1113
Tabel 285 Tekanan Darah Anak Laki-laki berdasarkan Persentil
Tinggi Badan

1114
Tabel 286 Tekanan Darah Anak Perempuan berdasarkan Persentil
Tinggi Badan

1115
Tabel 287 Pertambahan BB dan TB
Pertambahan Pertambahan
Usia Tinggi Badan Berat Badan
(cm) (g)
0–1 bl 3,8–4,4 500–1.400
1–2 bl 3,2–3,7 500–1.300
2–3 bl 2,8–3,2 500–1.100
3–4 bl 2,4–2,6 500–800
4–5 bl 2,2–2,3 400–700
5–6 bl 1,9–2,1 400–600
6–7 bl 1,6 400–500
7–8 bl 1,4–1,5 400–500
8–9 bl 1,3 300–400
9–10 bl 1,3 300–400
10–11 bl 1,3 200–400
11–12 bl 1,2–1,3 200–300
1–2 th 10,8–12,8 1.800–3.000
2–3 th 6,7–9,7 1.500–2.800
3–4 th 6,0–7,6 1.200–2.500
4–5 th 5,6–7,3 1.200–2.200
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011

Pertumbuhan Fase Infant


Tahun pertama pertambahan TB kira-kira 1½ kali panjang lahir
Tahun kedua (late infancy) pertambahan TB 10 cm
Berat badan satu tahun pertama 3 kali BB lahir
Pertumbuhan Fase Childhood
Pertumbuhan berkisar 5–7 cm/th

1116
Kurva Lingkar Kepala

KURVA LINGKAR KEPALA

Keterangan: ukuran lingkar kepala digolongkan normal apabila


berada di antara garis putus-putus (−2 SD sampai +2 SD)
Sumber: Nellhouse. Pediatrics. 1968

1117
Grafik Pertumbuhan CDC

CDC Growth Chart

Panjang Badan/Usia, Persentil:


Laki-laki, 0–36 bulan

1118
CDC Growth Chart

Tinggi Badan/Usia, Persentil:


Laki-laki, 2–20 tahun

1119
CDC Growth Chart

Panjang Badan/Usia, Persentil:


Perempuan, 0–36 bulan

1120
CDC growth chart

Tinggi Badan/Usia, Persentil:


Perempuan, 2–10 tahun

1121
1122
1123
1124
1125
1126
1127
1128
1129
1130
1131
1132
1133
1134
1135
1136
1137
1138
1139
1140
1141
1142
1143
1144
1145
1146
1147
1148
Tabel 288 Interpretasi Indikator Pertumbuhan
Indikator Pertumbuhan
Z-score
TB/PB Menurut Usia BB Menurut Usia BB/PB atau BB/TB BMI Menurut Usia
Di atas 3 Lihat catatan 1 Sangat gemuk (obese) Sangat gemuk (obese)
Di atas 2 Lihat catatan 2 Gemuk (overweight) Gemuk (overweight)
Di atas 1 Kemungkinan risiko Kemungkinan risiko
overweight overweight
(lihat catatan 3) (lihat catatan 3)
0 (median)
Di bawah −1
Di bawah −2 Pendek (stunted) BB kurang Kurus Kurus
1149

Lihat catatan 4 (underweight) (wasted) (wasted)


Di bawah −3 Sangat pendek BB sangat kurang Sangat kurus Sangat kurus
(severely stunted) (severely underweight) (severely wasted) (severely wasted)
Lihat catatan 4
Catatan:
1. Seorang anak pada kisaran ini sangat tinggi. Anak yang tinggi jarang merupakan masalah, kecuali jika berlebihan dapat
mengindikasikan terdapat masalah endokrin seperti tumor penghasil hormon pertumbuhan. Rujuk anak ini untuk
pemeriksaan jika terdapat kecurigaan kelainan endokrin, misalnya jika kedua tinggi orangtua normal, sedangkan tinggi anak
berlebih menurut usia
2. Seorang anak yang BB berdasarkan usia terletak pada rentang ini, mungkin memiliki masalah pertumbuhan, tetapi lebih baik
dinilai dari BB berdasarkan usia atau BMI berdasarkan usia
3. Nilai plot BB/PB di atas menunjukkan terdapat kemungkinan risiko, bila tren menuju garis z-score 2 menunjukkan risiko
definitif
4. Kemungkinan pendek atau sangat pendek sehingga anak menjadi gemuk
Kurva Pertumbuhan Bayi Prematur (Kurva Fenton)

Sumber: Fenton. BMC Pediatr. 2003

1150
Tabel 289 Pola Perkembangan Bayi-Anak Sampai Usia 5 Tahun
Pola Perkem-
bangan Bayi- Perkembangan Motorik Adaptasi Perkembangan Bahasa Perkembangan Sosial
Anak sampai
Usia 5 Tahun
0–3 bl Mengangkat kepala 45°, Bereaksi terkejut dengan Mengoceh spontan, suka Melihat wajah Anda, membalas
menggerakkan kepala suara keras tertawa keras senyum, mengenal ibu dengan
kiri/kanan dan ke tengah penglihatan, penciuman,
pendengaran, kontak
3–6 bl Berbalik dari telungkup ke Menggengam pensil, meraih Mengeluarkan suara Berusaha memperluas
terlentang benda dalam jangkauannya gembira, tersenyum pandangannya, mengarahkan mata
Mengangkat kepala 90°. ketika melihat sesuatu pada benda kecil, tersenyum ketika
1151

Mempertahankan posisi yang menarik melihat sesuatu yang menarik


kepala Mengeluarkan suara gembira
6–9 bl Duduk (sikap tripod-sendiri) Memindahkan kubus dari
Berteriak dengan Bermain tepuk tangan-cilukba,
Merangkak, meraih mainan tangan satu ke tangan yang
senang/membuat suara bergembira dengan melempar
atau mendekati seseorang, lain tanpa arti benda, makan kue sendiri
belajar berdiri Mendengarkan suaranya
sendiri
9–12 bl Mengangkat badan ke posisi Mengulurkan tangan/badan Menirukan bunyi yang Mengeksplorasi sekitar,mengenal
berdiri, berjalan dengan untuk meraih mainan yang didengar, menyebut 2–3 anggota keluarga,bereaksi terhadap
dituntun diinginkan suku kata tanpa arti suara perlahan/bisikan
12–18 bl Berdiri sendiri tanpa Menumpuk 2 kubus, Dapat mengucapkan dan Menunjuk apa yang diinginkan,
pegangan, membungkuk, memasukkan kubus ke memanggil papa, mama menangis/merengek menarik
berjalan mundur 5 langkah dalam kotak tangan ibu
Memperlihatkan rasa cemburu/
bersaing
18–24 bl Berdiri sendiri tanpa Bertepuk tangan, melambai- Menyebut 5–6 kata yang Membantu, menirukan pekerjaan
berpegangan 30 detik, lambai, menumpuk 4 mempunyai arti rumah tangga
berjalan tanpaterhuyung- kubus Memegang cangkir sendiri, belajar
huyung Menggelindingkan bola ke makan dan minum sendiri
sasaran
24–36 bl Berjalan, naik tangga Meniru, mencoret-coret Dapat menunjuk bagian Melepas pakaiannya sendiri, makan
sendiri, menendang bola pensil pada kertas tubuh, melihat gambar sendiri tanpa banyak tumpah,
kecil dan menyebut dengan memungut mainan sendiri dan
benar nama 2 benda atau membantu jika diminta
jenis
36–48 bl Berdiri dengan 1 kaki selama Menumpuk 8 kubus, Menyebutkan nama, usia, Mencuci dan mengeringkan tangan
2 detik, melompat dengan membuat garis lurus tempat, mengerti arti katasendiri, bermain bersama dan ikut
kedua kaki diangkat, di atas, mendengarkan aturan
mengayuh sepeda roda 3 cerita Memakai sepatu sendiri,
mengenakan celana panjang, baju
1152

46–60 bl Berdiri 1 kaki 6 detik, Membuat tanda silang, Menyebut nama lengkap, Berpakaian sendiri, menggosok gigi
melompat 1 kaki, menari lingkaran, mengambar menjawab pertanyaan tanpa dibantu, bereaksi tenang dan
orang dengan 3 bagian dengan benar, memakai tidak rewel ketika ditinggal ibu,
tubuh kata-kata baru menyebut angka, menghitung jari
60–72 bl Berjalan lurus, berdiri 1 kaki Menggambar 6 bentuk, Mengerti lawan kata, Berpakaian tanpa dibantu,
11 detik menggambar orang lengkap, mengerti pertanyaan mengikuti aturan, mengungkapkan
menggambar segi empat dengan 7 kata atau lebih simpati, mengenal angka-angka,
mengenal warna
Sumber: Deteksi dini tumbuh kembang balita. Depkes RI. 2006
Cara Racikan Beberapa Jenis Obat
1153

Sumber: Shann. Drug doses. Edisi ke-15. 2010


Tabel 290 Dosis Obat yang Sering Digunakan
Nama Obat Dosis
Albendazol 20 mg/kgBB dosis tunggal, diulang setelah
2 mgg
Alupurinol 10 mg/kgBB/kali, setiap 12–24 jam
Amikasin Neonatus: 15 mg/kgBB, dilanjutkan
7,5 mg/kgBB
Aminofilin Loading 10 mg/kgBB dalam 1 jam, dilanjutkan
2,5 mg/kgBB setiap 12 jam
Amoksisilin 15–25mg/kgBB/kali, 3 kali sehari
Ampisilin 15–25 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari,
infeksi berat 50 mg/kgBB/kali
Ampisilin sulbaktam 25–50 mg/kgBB, 4 kali sehari
Aspirin 10–15 mg/kgBB/kali, 4–6 kali sehari
Asam folat Untuk defisiensi, 50 mcg (neonatus),
0,1–0,25 mg (<4 th), 0,5–1 mg (>4 th), sekali
sehari i.v., i.m., p.o.
Asam mefenamat 100 mg/kgBB tiap 8 jam
Asetazolamid 25–50 mg/kgBB tiap 6–8 jam ditambah
furosemid 0,25 mg/kgBB tiap 6 jam untuk
hidrosefalus karena tuberkulosis efek
samping alkalosis berat
Asiklovir 400 mg <2 th atau 800 mg >2 th p.o. 5 kali
sehari selama 7 hr
Asam valproat 5 mg/kgBB/kali, 2–3 kali sehari
Deksametason 0,1–1 mg/kgBB/hr
Diazepam 0,1–0,4 mg/kgBB/kali
Domperidon 0,2–0,4 mg/kgBB/kali, 3 kali sehari
Flukonazol 12 mg/kgBB/hr, dosis lebih tinggi pada infeksi
yang berat
Fenobarbital Loading 20–30 mg/kgBB i.m./i.v., rumatan
5 mg/kgBB sehari
Gentamisin 8 mg/kgBB/hr, dilanjutkan 6 mg/kgBB/hr
Ibuprofen 5–10 mg/kgBB/hr, 3–4 kali sehari
Kaptopril 0,1 mg/kgBB/kali setiap 8 jam
Kalsium bikarbonat Neonatus: 50 mg/kali, 4–6 kali sehari
1–3 th: 100 mg/hr
4–12 th: 300 mg/hr
>12 th: 100 mg/hr
Karbamazepin 2 mg/kgBB/kali, setiap 8 jam
Kloralhidrat 50 mg/kgBB (hipnotik) maks. 2 g
10 mg/kgBB, 3–4 kali sehari (sedatif)

1154
Kalsium bikarbonat Neonatus: 50 mg/kali, 4–6 kali sehari
1–3 th: 100 mg/hr
4–12 th: 300 mg/hr
>12 th: 100 mg/hr
Kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari
Klorokuin 10 mg/kgBB (maks. 600 mg/hr) selama 3 hr
Kolesteramin <6 th: 1 g/hr
6–12 th: 2–4 g/hr
>12 th: 4 g/hr
Klaritromisin 7,5–15 mg/kgBB/kali, 2 kali sehari
Klindamisin 6 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari
Kloksasilin 25–50 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari
Kotrimoksazol TMP 4 mg/kgBB, tiap 12 jam
Metoklopramid 0,15–0,3 mg/kgBB, tiap 6 jam
Morpin Neonatus: 0,1 mg/kgBB
0,1–0,2 mg/kgBB/hr
Mebendazol 100 mg tiap 12 jam selama 3 hr
Meropenem 10–20 mg/kgBB tiap 8 jam drip selama
5–30 mnt
Metformin Inisial 500 mg tiap 8–24 jam p.o.,
maks. 1 g/dosis setiap 8 jam
Metildopa 3 mg/kgBB tiap 8 jam p.o., dapat ditingkatkan
sampai 15 mg/kgBB/dosis
Metoklorpramid 0,15–0,3 mg/kgBB tiap 6 jam i.v., i.m., p.o.
Metronidazol Loading 15 mg/kgBB, selanjutnya
7,5 mg/kgBB tiap 8 jam (maks. 1 g)
Giardiasis: 30 mg/kgBB, 3 kali sehari
Amebiasis: 15 mg/kgBB tiap 8 jam p.o. selama
10 hr
Midazolam Sedasi: 0,1–0,2 mg/kgBB sampai dengan
0,5 mg/kgBB
Neomisin 1 g/m2 tiap 4–6 jam
Nifedipin 0,25–0,5 mg/kgBB tiap 6–8 jam p.o. atau
sublingual
Nistatin <12 bl: 100.000 IU, >12 bl: 500.000 IU
Ofloksasin 5 mg/kgBB tiap 8–12 jam
Omeprazol 0,4–0,8 mg/kgBB tiap 12–24 jam p.o.
Ondansentron Profilaksis 0,15 mg/kgBB, terapi 0,2 mg/kgBB,
p.o. 0,1–0,2 mg/m2
Oksasillin 15–30 mg/kgBB tiap 6jam
Parasetamol 20 mg/kgBB kemudian 15 mg/kgBB tiap 4 jam
Penisillin benzatin 25 mg/kgBB i.m.
Penisillin benzatin + 900 mg/300 mg dalam 2 mL
prokain
Pirantel 10 mg/kgBB sekali sehari p.o.
Ranitidin 1 mg/kgBB tiap 6–8 jam
1155
Rifampisin 10–15 mg/kgBB
Salbutamol 0,1–0,15
0,15 mg/kgBB tiap 6 jam p.o.
Sefadroksil 15–25
25 mg/kgBB/kali, setiap 12 jam
Sefazolin 10–15 mg/kgBB, 4 kali sehari
Sefiksim 5 mg/kgBB, 1–2 kali sehari
Sefotaksim 25–50
50 mg/kgBB/kali, 3 kali sehari
Terbutalin 0,05–0,1
0,1 mg/kgBB, 3 kali sehari
Ursodeoxycholic acid 5–10
10 mg/kgBB tiap 12 jam p.o.
(UDCA)
Vankomisin 10 mg/kgBB tiap 6 jam i.v. selama 1 jam
Vitamin A <8 kg: 10.000 IU/kali
>8 kg: 200.000 IU/kali
Vitamin B 50–150 mg/kali, 1–2 2 kali sehari
Vitamin C 200–5.000 mg/hr
Vitamin D 0,2 μg/hr (gangguan hepar)
Vitamin E Bayi prematur: 40 IU/hr
Malabsorpsi: 50–100
100 mg/hr (<3 th),
200–400 mg/hr (>3 th)
Kolestasis: 50 IU/kgBB
Vitamin D 0,02 μg/kgBB/hr
(1,25 Kalsitriol)
Sumber: Shann. Drug Doses. Edisi ke-15. 2010

Nomogram Luas Permukaan Tubuh

Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011


1156
Tabel 291 Nilai Normal Laboratorium yang Sering Digunakan
Pemeriksaan Spesimen Rentang Rujukan Faktor Rentang Rujukan
Unit Internasional
IU/L ×1 IU/L
Alanin Serum 0–7 hr 6–40 6–40
aminotransferase 8–30 hr (L) 10–40 10–40
(ALT, SGPT) 8–30 hr (P) 8–32 8–32
1–12 bl 12–45 12–45
1–19 th 5–45 5–45
g/dL g/dL
Albumin Plasma Prematur 1,8–3 ×10 18–30
Cukup bl <6 hr 2,5–3,4 25–34
8 hr–1 th 1,9–4,9 19–49
1–3 th 3,4–4,2 34–42
4–19 th 3,5–5,6 35–56
1157

IU/L ×1 IU/L
Alkali fosfatase Serum 1–9 th 145–420 145–420
10–11 th 140–560 140–560
L P L P
12–13 th 200–495 105–420 200–495 105–420
14–15 th 130–525 70–230 130–525 70–230
16–19 th 65–260 50–130 65–260 50–130
IU/L ×1 IU/L
Aspartat Serum 0–7 hr 30–100 30–100
Aminotransferase 8–30 hr (L) 24–95 24–95
(AST, GOT) 8–30 hr (P) 22–31 22–31
1–12 bl 22–63 22–63
1–3 th 20–60 20–60
3–9 th 15–50 15–50
10–15 th 10–40 10–40
16–19 th (L) 15–45 15–45
16–19 th (P) 5–30 5–30
Asam urat Serum mg/dL ×59,48
1–3 th 1,8–5,0 100–300
4–6 th 2,2–4,7 130–280
7–9 th 2,0–5,0 120–295
10–11 th (L) 2,3–5.4 135–320
10–11 th (P) 3,0–4,7 180–280
12–13 th (L) 2,7–6,7 160–400
14–15 th (L) 2,4–7,8 140–465
12–15 th (P) 3,0–5,8 180–345
16–19 th (L) 4,0–6,6 235–510
16–19 th (P) 3,0–5,9 180–350
Besi Serum Seluruh usia 22–184 µ g/dL ×0,179 4–33 µmol/L
ng/mL g/L
Feritin Serum 0–6 mgg 0–400 ×1 0–400
7 mgg–365 hr 10–95 10–95
1158

1–9 th 10–60 10–60


10–18 th (L) 10–300 10–300
10–18 th (P) 10–70 10–70
Fosfor Serum, plasma (heparin) mg/dL ×0,3229
0–5 hr 4,8–8,2 1,55–2,65
1–3 th 3,8–6,5 1,25–2,10
4–11 th 3,7–5,6 1,20–1,80
12–15 th 2,9–5,4 0,95–1,75
16–19 th 2,7–4,7 0,90–1,50
mg/dL mmol/L
Glukosa Serum Tali pusat 45–96 ×0,0555 2,5–5,3
Prematur 20–60 1,1–3,3
Neonatus 30–60 1,7–3,3
Baru lahir 2,2–3,3
1 hr 40–60 2,8–5,0
>1 hr 50–90 3,3–5,5
Anak 60–100 3,9–5,8
ɣ-glutamyl Serum IU/L ×1 IU/L
transpeptidase Tali pusat 37–193 37–193
(GGT, GGTP) 0–1 bl 13–147 13–147
1–2 bl 12–123 12–123
2–4 bl 8–90 8–90
4 bl–10 th 5–32 5–32
10–15 th 5–24 5–24
Hemoglobin A Darah (EDTA, sitrat, atau >95% ×0,01 Fraksi Hb: >0,95
heparin)
Hemoglobin A2 Darah (EDTA, oksalat) Dewasa: 1,5–3,5% Fraksi massa
(HbA2) (2 SD) 0,015–0,035 (2 SD)
Lebih rendah pada Fraksi massa
bayi <1 th HbA >0,95
Hemoglobin (Hb) Darah (EDTA, sitrat atau HbA >95% ×0,01 HbA2 0,015–0,035
elektroforesis heparin) HbA2 1,5–3,5% %HbF HbF <0,02
1159

HbF <2% 77,0±7,3 Fraksi massa HbF


Hemoglobin F Darah (EDTA) 1 hr 4,7±2,2 0,77±0,073
denaturasi alkali 6 bl <2,0 0,047±0,022
(White) Dewasa % HbF <0,020
1 hr 77,0±7,3 Fraksi massa HbF
Hemoglobin fetus Darah (EDTA) 5 hr 76,8±5,8 0,77±0,73
(HbF) 3 mgg 70,0±7,3 0,768±0,058
0,70±0,07
3 6 6
Hitung eosinofil Whole blood (EDTA atau 50–350 sel/mm ×10 50–350 × 10
heparin), darah kapiler (µL) sel/L
Hitung jenis leukosit Whole blood (EDTA)
% Angka fraksi
Mielosit 0 ×0,01 0
Neutrofil batang 3–5 0,03–0,05
Neutrofil segmen 54–62 0,54–0,62
Limfosit 25–33 0,25–0,33
Monosit 3–7 0,03–0,07
Eosinofil 1–3 0,01–0,03
Basofil 0–0,75 0–0,0075
3 6
sel/mm (µL) ×1 ×10 sel/L
Mielosit 0 0
Neutrofil batang 150–400 150–400
Neutrofil segmen 3.000–5.800 3.000–5.800
Limfosit 1.500–3.000 1.500–3.000
Monosit 285–500 285–500
Eosinofil 50–250 50–250
Basofil 15–50 15–50
3 9
Hitung leukosit Whole blood (EDTA) ×1.000 sel/mm (µL) ×10 sel/L
6
0–30 hr 9,1–34,0 ×10 9,1–34,0
1–23 bl 6,0–14.0 6,0–14,0
2–9 th 4,0–12,0 4,0–12,0
1160

10–17 th 4,0–10,5 4,0–10,5


Hitung retikulosit Whole blood (EDTA, Dewasa: 0,5–1,5% ×0,01 0,0055–0,015
heparin, atau oksalat) jumlah eritrosit atau3 6
(angka fraksi)
25.000–75.000/mm ×10 25.000–75.000
6
(µL) ×10 /L
% ×0,01
Kapiler 1 hr 0,4–6,0 0,004–0,060
7 hr <0,1–1,3 <0,001–0,013
1–4 mgg <1,0–1,2 <0,001–0,012
5–6 mgg <0,1–2,4 <0,001–0,024
7–8 mgg 0,1–2,9 0,001–0,029
9–10 mgg <0,1–2,6 <0,001–0,026
1–12 mgg 0,1–1,3 0,001–0,013
3 3 6 9
×10 /mm (µL) ×10 ×10 /L
Hitung trombosit Darah penuh (EDTA) Neonatus: (setelah 84–478 84–478
1 mgg = dewasa)
Dewasa 150–400 150–400
Kalium Serum mmol/L ×1 mmol/L
0–1 mg 3,2–5,5 3,2–5,5
1 mg–1 bl 3,4–5,0 3,4–5,0
1–6 bl 3,5–5,6 3,5–5,6
6 bl–1 th 3,5–6,1 3,5–6,1
>1 th 3,3–4,6 3,3–4,6

Kalsium/ion kalsium Serum atau plasma mg/dL ×0,25 mmol/L


Tali pusat 5,0–6,0 1,25–1,50
Neonatus 3–24 jam 4,3–5,1 1,07–1,27
1161

24–48 jam 4,0–4,7 1,00–1,17


Setelahnya 4,8–4,92 1,12–1,23
Kalsium/total Serum mg/dL ×0,25 mmol/L
Tali pusat 9,0–11,5 2,25–2,88
Neonatus 3–24 jam 9,0–11,5 2,3–2,65
24–48 jam 7,0–12,0 1,75–3,00
4–7 hr 9,0–10,9 2,25–2,73
Anak 8,8–10,8 2,20–2,70
Setelahnya 8,4–10,2 2,10–2,55
mg/dL ×0,0259 mmol/L
Kolesterol, total Serum atau plasma (EDTA) Umbilikus 45–100 1,17–2,59
Neonatus 53–135 1,37–3,50
Bayi 70–175 1,81–4,53
Anak 120–200 3,11–5,18
Remaja 120–210 3,11–5,44
Dewasa 140–310 3,63–8,03
Rentang yang
dianjurkan
(dikehendaki) untuk
dewasa 140–250 3,63–6,48
Kreatinin (IDMS) Serum, plasma mg/dL ×88,4 µ mol/L
enzimatik 0–4 th 0,03–0,50 2,65–44,2
4–7 th 0,03–0,59 2,65–52,2
7–10 th 0,22–0,59 19,4–52,2
10–14 th 0,31–0,88 27,4–77,8
>14 th 0,50–1,06 44,2–93,7
2
mL/mnt/1,73m
Klirens kreatinin Serum, plasma, kemih Neonatus 40–65
<40 th, L 97–137
P 88–128
Menurun 6,5
1162

mL/mnt/10 th
Laju endap darah
(LED)
mm/jam mm/jam
Westergren, Whole blood (EDTA) Anak 0–10 0–10
modifikasi Dewasa, L <50 th 0–15 0–15
P <50 th 0–20 0–20
Wintrobe Anak: 0–13 0–13
Dewasa, L 0–9 0–9
P 0–20 0–20
Laktat dehidrogenase Serum IU/L ×1 IU/L
(LDH) <1 th 160–580 160–580
1–9 th 150–500 150–500
10–19 th 120–330 120–330
Natrium Serum mmol/L ×1 mmol/L
Neonatus 133–146 133–146
Bayi 134–144 134–144
Anak 134–143 134–143
Setelahnya 135–145 135–145
Magnesium Plasma (heparin) mg/dL ×0,411 mmol/L
0–6 hr 1,2–2,6 0,48–1,05
7 hr–2 th 1,6–2,6 0,65–1,05
2–14 th 1,5–2,3 0,60–0,95
Protein total Serum g/dL ×10 g/L
Prematur 4,3–7,6 43–76
Neonatus 4,6–7,4 46–74
1–7 th 6,1–7,9 61–79
8–12 th 6,4–8,1 64–81
13–19 th 6,6–8,2 66–82
1163

Tiroglobulin (Tg) Serum <50 ng/mL ×1 <50 µg/L


ng/dL pmol/L
Tiroksin, bebas (T4) Serum 0–3 hr 2,00–5,00 ×12,9 25,7–64,3
3–30 hr 0,90–2,20 11,6–28,3
31 hr–18 th 0,7–2,00 9,0–25,7
µg/dL nmol/L
Tiroksin, total (T4) Serum 0–3 hr 8,0–20,0 ×12,9 103–258
3–30 hr 5,0–15,0 64–193
31–365 hr 6,0–14,0 77–180
1–5 th 4,5–11,0 58–142
6–18 th 4,5–10,0 58–129
mg/dL mmol/L
Tirosin Serum Prematur 7,0–24,0 ×0,0552 0,39–1,32
Neonatus 1,6–3,7 0,088–0,20
Dewasa 0,8–1,3 0,044–0,07
mg/dL ×0,01 g/L
Transferin Serum Neonatus 130–275 1,3–2,7
Dewasa 200–400 2,0–4,0
Kadar yang
dianjurkan
(diharapkan) untuk
dewasa, L 40–160 0,40–1,60
P 35–135 0,35–1,35
Total iron binding Serum Bayi 100–400 µ g/dL x0,179 17,90–71,60 µ mol/L
capacity (TIBC) Setelahnya 250–450 µ g/dL 44,75–71,60 µ mol/L
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011

Tabel 292 Cairan Serebrospinal


1164

Jenis Pemeriksaan Usia Nilai Normal


Jumlah sel Anak 0–5 /mm3
Neonatus 0–15 /mm3
Protein Anak 10–40 mg/dL
Neonatus ≤120 mg/dL
Glukosa Anak 45–80 mg/dL
Warna Anak Tidak berwarna
Kejernihan Anak Jernih
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011
Normogram Perhitungan Glucose Infusion Rate (GIR)

(Gunakan garis lurus untuk menghitung jumlah cairan yang diperlukan


tiap 24 jam)
Sumber: Klaus dan Fanaroff 1979

Tabel 293 Rentang Normal Denyut Jantung Saat Beristirahat


Usia Denyut Jantung/Menit
Neonatus 110–150
2 th 85–125
4 th 75–115
>6 th 60–100
Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006

Tabel 294 Nilai Rata-rata dan Rentang Normal Axis QRS


Usia Rata-rata (Rentang)
1 mgg–1 bl +110 derajat (+30 sampai +180)
1–3bl +70 derajat (+10 sampai +125)
3 bl– 3 th +60 derajat (+10 sampai +110)
>3 th +60 derajat (+20 sampai +120)
Dewasa +50 derajat (−30 sampai +105)
Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006

1165
Tabel 295 Interval PR dengan Denyut Jantung dan Usia (Nilai Batas Atas Normal)
Rate (Denyut
Jantung/ 0–1 bl 1–6 bl 6 bl–1 th 1–3 th 3–8 th 8–12 th 12–16 th Dewasa
Menit)
<60 0,16 (0,18) 0,16 (0,19) 0,17 (0,21)
60–80 0,15 (0,17) 0,15 (0,17) 0,15 (0,18) 0,16 (0,21)
80–100 0,10 (0,12) 0,14 (0,16) 0,15 (0,16) 0,15 (0,17) 0,15 (0,20)
100–120 0,10 (0,12) (0,15) 0,13 (0,16) 0,14 (0,15) 0,15 (0,16) 0,15 (0,19)
120–140 0,10 (0,11) 0,11 (0,14) 0,11 (0,14) 0,12 (0,14) 0,13 (0,15) 0,14 (0,15) 0,15 (0,18)
140–160 0,09 (0,11) 0,10 (0,13) 0,10 (0,13) 0,11 (0,14) 0,12 (0,14) 0,17
160–180 0,10 (0,11) 0,10 (0,12) 0,10 (0,12) 0,10 (0,12)
>180 0,09 0,09 (0,11) 0,10 (0,11)
1166

Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006

Tabel 296 Durasi QRS berdasarkan Usia: Nilai Rata-rata (Batas Atas Nilai Normal) (Dalam Detik)
0–1 bl 1–6 bl 6–12 bl 1–3 th 3–8 th 8–12 th 12–16 th Dewasa
Detik 0,05 0,055 0,055 0,055 0,06 0,06 0,07 0,08
(0,07) (0,075) (0,075) (0,075) (0,075) (0,085) (0,085) 0,10
Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006
Tabel 297 Voltase R Menurut Lead dan Usia: Rata-rata (dan Batas Atas*) (Dalam mm)
0–1 bl 1–6 bl 6–12 bl 1–3 th 3–8 th 8–12 th 12–16 th Dewasa
I 4 (8) 7 (13) 8 (16) 8 (16) 7 (15) 7 (15) 6 (13) 6 (13)
II 6 (14) 13 (24) 13 (27) 12 (23) 13 (22) 14 (24) 14 (24) 5 (25)
III 8 (16) 9 (20) 9 (20) 9 (20) 9 (20) 9 (24) 9 (24) 6 (22)
aVR 3 (8) 2 (6) 2 (5) 2 (5) 2 (4) 1 (4) 1 (4) 1 (4)
aVL 2 (7) 4 (8) 5 (10) 5 (10) 3 (10) 3 (10) 3 (12) 3 (9)
aVF 7 (14) 10 (20) 10 (16) 8 (20) 10 (19) 10 (20) 11 (21) 5 (23)
1167

V3R 10 (19) 6 (13) 6 (11) 6 (11) 5 (10) 3 (9) 3 (7)


V4R 6 (12) 5 (10) 4 (8) 4 (8) 3 (8) 3 (7) 3 (7)
V1 13 (24) 10 (19) 10 (20) 9 (18) 8 (16) 5 (12) 4 (10) 3 (14)
V2 18 (30) 20 (31) 22 (32) 19 (28) 15 (25) 12 (20) 10 (19) 6 (21)
V5 12 (23) 20 (33) 20 (31) 20 (32) 23 9380 26 (39) 21 (35) 12 (33)
V6 5 (15) 13 (22) 13 (23) 13 (23) 15 (26) 17 (26) 14 (23) 10 (21)
*Batas atas normal mengacu pada persentil ke-98
Voltase diukur dalam milimeter, katika 1 mV= kertas 10 mm
Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006
Tabel 298 Voltase S Menurut Lead dan Usia: Rata-rata (dan Batas Atas*) (Dalam mm)
0–1 bl 1–6 bl 6–12 bl 1–3 th 3–8 th 8–12 th 12–16 th Dewasa

I 5 (10) 4 (9) 4 (9) 3 (8) 2 (8) 2 (8) 2 (8) 1 (6)


V3R 3 (12) 3 (10) 4 (10) 5 (12) 7 (15) 8 (18) 7 (16)
V4R 4 (9) 4 (12) 5 (12) 5 (12) 5 (14) 6 (20) 6 (20)
V1 7 (18) 5 (15) 7 (18) 8 (21) 11 (23) 12 (25) 11 (22) 10 (23)
V2 18 (33) 15 (26) 16 (29) 18 (30) 20 (33) 21 (36) 18 (33) 14 (36)
V5 9 (17) 7 (16) 6 (15) 5 (12) 4 (10) 3 (8) 3 (8)
1168

V6 3 (10) 3 (9) 2 (7) 2 (7) 2 (5) 1 (4) 1 (4) 1 (13)


*Batas atas normal mengacu pada persentil ke-98.
Voltase diukur dalam milimeter, katika 1 mV= kertas 10 mm.
Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006
Tabel 299 Perbandingan R/S berdasarkan Usia: Rata-rata, Batas Bawah, dan Batas Atas Nilai Normal
Lead 0–1 bl 1–6 bl 6 bl–1th 1–3 th 3–8 th 8–12 th 12–16 th Dewasa
V1 LLN 0,5 0,3 0,3 0,5 0,1 0,15 0,1 0,0
Mean 1,5 1,5 1,2 0,8 0,65 0,5 0,3 0,3
ULN 19 S= 0 6 2 2 1 1 1
V2 LLN 0,3 0,3 0,3 0,3 0,05 0,1 0,1 0,1
Mean 1 1,2 1 0,8 0,5 0,5 0,5 0,2
ULN 3 4 4 1,5 1,5 1,2 1,2 2,5
V6 LLN 0,1 1,5 2 3 2,5 4 2,5 2,5
Mean 2 4 6 20 20 20 10 9
ULN S=0 S= 0 S=0 S=0 S=0 S=0 S=0 S= 0
1169

LLN, lower limit of normal; ULN, upper limit of normal


Voltase diukur dalam milimeter, katika 1 mV = kertas 10 mm
Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006

Tabel 300 Voltase Q berdasarkan Usia: Rata-rata (dan Batas Atas) (Dalam mm)
Lead 0–1 bl 1–6 bl 6–12 bl 1–3 th 3–8 th 8–12 th 12–16 th Dewasa
III 1,5 (5,5) 1,5 (6,0) 2,1 (6,0) 1,5 (5,0) 1,0 (3,5) 0,6 (3,0) 1,0 (3,0) 0,5 (3,4)
aVF 1,0 (3,5) 1,0 (3,5) 1,0 (3,5) 1,0 (3,0) 0,5 (3,0) 0,5 (2,5) 0,5 (2,0) 0,5 (2)
V5 0,1 (3,5) 0,1 (3,0) 0,1 (3,0) 0,1 (3,0) 1,0 (5,5) 1,0 (3,0) 0,5 (3,0) 0,5 (3,5)
V6 0,5 (3,0) 0,5 (3,0) 0,5 (3,0) 0,5 (3,0) 1,0 (0,5) 0,5 (3,0) 0,5 (3,0) 0,5 (3)
Lokasi Kuadran Aksis QRS dengan Menggunakan Lead I dan aVF
1170

Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006
Tabel 301 Konversi Analisis Gas Darah Vena ke Arteri
Vena Arteri
pH pH arteri= pH vena + 0,05–0,1
pCO2 PC02 arteri= PCO2 vena – 5–10 mmHg
Sp O2 SpO2 arteri= SpO2 vena + 20–25%
Sumber: Kaufman. Interpretation of arterial blood gases (ABGS)

Tabel 302 Intepretasi Analisis Gas Darah


Asidosis respiratorik pH ↓ PaCO2 ↑ HCO3 normal
Asidosis metabolik pH ↓ PaCO2 ↓ HCO3 ↓
Alkalosis respiratorik pH ↑ PaCO2 ↓ HCO3 normal
1171

Alkalosis metabolik pH ↑ PaCO2 ↑ HCO3 ↑


Sumber: Kaufman. Interpretation of arterial blood gases (ABGS)

Tabel 303 Mekanisme Kompensasi Keseimbangan Asam Basa


Kelainan Kompensasi yang diharapkan Faktor koreksi
Asidosis metabolik PaCO2 = (1,5 x [HCO3−]) + 8 ±2
Asidosis respiratorik akut HCO3 = 24 + {(kadar pCO2 sekarang – 40)/10}
Asidosis respiratorik kronik HCO3− = 24 + 4 {(kadar pCO2 sekarang – 40)/10}
Alkalosis metabolik PaCO−2= 0,7 x (HCO3) + 20 ±2
Alkalosis respiratorik akut HCO3 = 24 – 2{(40 – kadar pCO2 sekarang)/10}
Alkalosis respiratorik kronik HCO3− = 24 – 5 {(40 – kadar pCO2 sekarang)/10} ±2
Sumber: Brandis. Acid base physiology. 2011
Hasil hitungan kompensasi yang diharapkan dibandingkan dengan gas darah penderita, jika:
1. HCO3 penderita lebih rendah dibandingkan dengan HCO3 yang diharapkan maka asidosis metabolik
2. HCO3 penderita lebih tinggi dibandingkan dengan HCO3 yang diharapkan maka alkalosis metabolik
3. pCO2 penderita lebih rendah dibandingkan dengan pCO2 yang diharapkan maka alkalosis respiratorik
4. pCO2 penderita lebih tinggi dibandingkan dengan pCO2 yang diharapkan maka asidosis respiratorik

Tabel 304 Perhitungan Anion Gap


Rumus Nilai Normal Anion Gap
Anion Gap= Na+ − (Cl− + HCO3−) 8–16 mEq/L (rata-rata 12 mEq/L)
Anion Gap= Na+ + K+ − (Cl− + HCO3−) 10–112 mEq/L
1172

Peningkatan anion gap atau klorida menandakan 2 kelompok penyebab asidosis metabolik
- Anion gap 20–30 menandakan kemungkinan besar asidosis metabolik (67%)
- Anion gap >30 menandakan pasti asidosis metabolik
Menentukan Rasio Delta
Rumus: (anion gap terukur – 12) / (24 – HCO3 terukur)
Tabel 305 Rasio Delta

Rasio Delta Keterangan


<0,4 Hiperkloremik normal asidosis anion gap
0,4–0,8 Gabungan anion gap tinggi dan asidosis anion gap normal
1 Ketoasidosis diabetikum karena hilangnya keton lewat urin
1–2 Asidosis metabolik anion gap tinggi
1173

>2 Terdapat pula alkalosis metabolik (meningkatkan HCO3) atau juga ada asidosis respiratorik
kronik (elevasi kompensasi HCO3)
Sumber: Brandis. Acid base physiology. 2011

Anda mungkin juga menyukai