Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus Bedah Urologi

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

Disusun Oleh:

AISHWARYA A/P KUMAL 130100435


SUYATA ADELINA TANJUNG 130100287
VANISEERY A/P SUBRAMANIAM 110100393
ZAHRIFA DWI ANDINA 130100179

Pembimbing:
Dr. dr. Syah Mirsya Warli, Sp.U (K)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT RUJUKAN HAJI ADAM MALIK
DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Benign Prostatic Hyperplasia” Penulisan laporan
kasus ini adalah salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan Klinik Senior
Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr.
Syah Mirsya Warli, Sp.U (K) selaku supervisor pembimbing yang telah
meluangkan waktu dan memberikan masukan dalam penyusunan laporan kasus
ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya.Semoga
laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 05 November 2018

Penulis
ii

DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB1 PENDAHULUAN ........................................................................................ 1


1.1.Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Tujuan ......................................................................................... 2
1.3. Manfaat ....................................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3


2.1. Definisi ........................................................................................ 3
2.2. InsidensiEpidemiologi ................................................................ 3
2.3. Anatomi....................................................................................... 3
2.4. Etiologi ........................................................................................ 5
2.5. Patologi ....................................................................................... 7
2.6. Patofisiologi ................................................................................ 8
2.7. Gejala Klinis ............................................................................... 9
2.8. Diagnosis..................................................................................... 10
2.9. Diagnosis Banding ...................................................................... 18
2.10. Penatalaksanaan ........................................................................ 18
BAB 3 STATUS PASIEN ............................................................................ 22
BAB 4 DISKUSI ........................................................................................... 29
BAB 5 KESIMPULAN ................................................................................ 36
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar dan
jaringan selular kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin
berkenaan dengan proses penuaan. Benign Prostatic Hyperplasia adalah
pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria.1
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna
pada populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam
bidang bedah urologi. Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah
kesehatan utama bagi pria diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan
kualitas hidup seseorang. Suatu penelitian menyebutkan bahwa sepertiga dari pria
berusia antara 50 dan 79 tahun mengalami hiperplasia prostat. Adanya hiperplasia
ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi
obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang
paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling
berat yaitu operasi.1
Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari setengah (50%) pada laki-laki usia
60-70 tahun mengalami gejala-gejala BPH dan antara usia 70-90 tahun sebanyak
90% mengalami gejala-gejala BPH. Hasil riset menunjukkan bahwa laki-laki di
daerah pedesaan sangat rendah terkena BPH dibanding dengan laki-laki yang
hidup di daerah perkotaan. Hal ini terkait dengan gaya hidup seseorang.Laki-laki
yang bergaya hidup modern kebih besar terkena BPH dibanding dengan laki-laki
pedesaan.1
Di Indonesia pada usia lanjut, beberapa pria mengalami pembesaran
prostat benigna. Keadaan ini di alami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan
kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.1
2

1.2.Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menyampaikan laporan
kasus mengenai Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Penyusunan laporan kasus
ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan Program Profesi Dokter (P3D)
di Divisi Bedah Urologi Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

1.3.Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan penulis maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk
mengintegrasikan teori yang telah ada dengan aplikasi pada kasus yang akan
dijumpai di lapangan.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak
adalahsalah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa
pembesaran dari kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran urine
dan menimbulkan gangguan miksi.2

2.2. Insidensi & Epidemiologi


BPH merupakan tumor jinak yang paling sering pada laki-laki, insidennya
berhubungan dengan usia. Prevalensi histologis BPH meningkat dari 20% pada
laki berusia 41-50 tahun, 50% pada laki usia 51-60 tahun hingga lebih dari 90%
pada laki berusia diatas 80 tahun. Meskipun bukti klinis belum muncul, namun
keluhan obstruksi juga berhubungan dengan usia. Pada usia 50 tahun + 25% laki-
laki mengeluh gejala obstruksi pada saluran kemih bagian bawah, meningkat
hingga usia 75 tahun dimana 50% laki-laki mengeluh berkurangnya pancaran atau
aliran pada saat berkemih.2
Faktor-faktor resiko terjadinya BPH masih belum jelas, beberapa
penelitian mengarah pada predisposisi genetik atau perbedaan ras. Kira-kira 50%
laki-laki berusia dibawah 60 tahun yang menjalani operasi BPH memiliki faktor
keturunan yang kemungkinan besar bersifat autosomal dominan, dimana penderita
yang memiliki orangtua menderita BPH memiliki resiko 4x lipat lebih besar
dibandingkan dengan yang normal. 2

2.3. Anatomi
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak inferior dari buli-buli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Berbentuk seperti buah kemiri
dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan berat kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri
atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam beberapa daerah
4

atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transitional, zona preprostatik dan
zona anterior.2
Secara histopatologi, kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan
stroma. Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf
dan jaringan interstitial yang lain. Prostat menghasilkan suatu cairan yang
merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui
duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan
bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat
merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat. Prostat mendapatkan inervasi
otonomik simpatis dan parasimpatis dari plexus prostatikus. Pleksus prostatikus
menerima masukan serabut parasimpatis dari corda spinalis S2-4 dan simpatis
dari nervus hipogastrikus T10-L2. Stimulasi parasimpatis meningkatkan sekresi
kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatis menyebabkan
pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior seperti pada saat ejakulasi.
Sistem simpatis memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat dan
leher buli-buli. Pada tempat tersebut banyak terdapat reseptor adrenergic α.
Rangsangan simpatis mempertahankan tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar ini
mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi
penekanan uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran
kemih.2

Gambar 2.1. Anatomi Prostat


5

2.4. Etiologi
Etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti, tampaknya bersifat
multifaktor dan berhubungan dengan endokrin. Prostat terdiri dari elemen
epithelial dan stromal dimana pada salah satu atau keduanya dapat muncul nodul
hiperplastik dengan gejala yang berhubungan dengan BPH.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat adalah:
1) Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron
didalam sel prostat oleh 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.DHT
yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk
kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth
factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. 3
2) Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : progesteron relatif
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen didalam prostat berperan didalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan
jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan
terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa
prostat jadi lebih besar.3
3) Interaksi stromal-epitel
Diferensasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma, mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-
sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-
sel stroma itu sendiri secara intrakrin atau autokrin serta mempengaruhi sel-sel
6

epitel secara parakrin. Stimulasi itu sendiri menyebabkan terjadinya proliferasi


sel-sel epitel maupun sel stroma. 3
4) Berkurangnya kematian sel prostat
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan
seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat
sehingga menyebabkan pertambahan masa prostat. 3
5) Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis,selalu dibentuk
sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ektensif. Kehidupan sel ini sangat
tergantung pada keberadaan hormon androgen sehingga jika hormone ini
kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan apoptosis.
Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya
aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada sel stroma
maupun sel epitel.3
Observasi dan penelitian pada laki-laki jelas mendemontrasikan bahwa
BPH dikendalikan oleh sistem endokrin, di mana kastrasi mengakibatkan regresi
pada BPH dan perbaikan keluhan. Pada penelitian lebih lanjut tampak korelasi
positif antara kadar testosteron bebas dan estrogen dengan volume pada BPH. Hal
ini berhubungan dengan peningkatan estrogen pada proses penuaan yang
mengakibatkan induksi dari reseptor androgen yang menjadikan prostat lebih
sensitif pada testosteron bebas. Namun belum ada penelitian yang
mendemontrasikan peningkatan reseptor estrogen level pada penderita BPH.2
6) Teori Inflamasi
Sejak tahun 1937, terdapat hipotesa bahwa BPH merupakan peyakit
inflamasi yang dimediasi oleh proses imunologi. Uji klinis terbaru juga
menunjukkan adanya hubungan antara proses inflamasi pada prostat dengan
7

LUTS.Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis memiliki risiko delapan kali


lebih besar untuk terjadinya BPH.4
Pasien dengan inflamasi kronik pada prostat memiliki risiko lebih tinggi
terhadap progresifitas BPH dan terjadinya retensi urin. Pada pasien dengan
volume prostat yang kecil, hanya yang disertai dengan proses inflamasi yang
mengalami gejala obstruksi. Inflamasi prostat juga dikaitkan dengan pembesaran
volume prostat, semakin berat derajat inflamasi, semakin besar volume prostat
dan semakin tinggi nilai IPSS. Sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan efek
inflamasi terhadap LUTS.4

2.5. Patologi
BPH terbentuk pada zona transisional. Merupakan proses hiperplasi akibat
dari peningkatan jumlah sel. Secara mikroskopik tampak pola pertumbuhan yang
berbentuk noduler yang terdiri dari jaringan stromal dan ephitelial, stroma terdiri
dari jaringan kolagen dan otot polos.2
Penampilan komponen-komponen BPH secara histologis yang beragam
menjelaskan potensial respon terhadap pengobatan. Terapi dengan α-bloker
memberikan respons yang baik pada pasien BPH dengan komponen dominan otot
polos, sementara bila komponen yang dominan adalah ephitel, memberikan
respons yang baik terhadap 5-α reduktase inhibitor. Penderita BPH dengan
komponen dominan kolagen kurang respon terhadap medikamentosa.2
8

Gambar 2.2. Anatomi Kelenjar Prostat2


Pembesaran nodul pada zona transitional menekan zona luar pada prostat
yang mengakibatkan terbentuknya surgical capsule. Kapsul ini memisahkan zona
transisional dengan zona perifer, dan juga merupakan batas dilakukannya
prostatektomi terbuka.2

2.6. Patofisiologi
Keluhan dari BPH diakibatkan oleh adanya obstruksi dan sekunder akibat
dari respon kandung kemih. Komponen obstruksi dapat dibagi menjadi obstruksi
mekanik dan dinamik. Pada hiperplasi prostat, obstruksi mekanik terjadi akibat
penekanan terhadap lumen uretra atau leher buli, yang mengakibatkan resistensi
bladder outlet. Sebelum pembagian zona klasifikasi dari prostat, ahli urologi
membagi menjadi 3 lobus yaitu 2 lobus lateral dan 1 lobus medial. Ukuran prostat
pada pemeriksaan rectal toucher (RT) memiliki korelasi yang kurang terhadap
timbulnya gejala, karena pada RT lobus medial kurang atau tidak teraba.2
Komponen obstruksi dinamik menjelaskan berbagai jenis keluhan
penderita. Stroma prostat terdiri dari otot polos dan kolagen, yang dipersyarafi
oleh saraf adrenergik. Tonus uretra pars prostatika diatur secara autonom,
sehingga penggunaan α-blocker menurunkan tonus ini dan menimbulkan
disobstruksi.2
9

Keluhan pada saat berkemih pada pasien BPH akibat dari respons
sekunder kandung kemih. Obstruksi pada kandung kemih mengakibatkan
hipertrofi dan hyperplasia dari otot detrusor disertai penimbunan kolagen, pada
inspeksi tampak penebalan otot detrusor berbetuk sebagai trabekulasi, apabila
berkelanjutan mengakibatkan terjadinya hernia mukosa diantara otot detrusor
yang mengakibatkan terbentuknya divertikel.2

2.7. Gejala Klinis


Tidak semua BPH menimbulkan gejala. Sebuah penelitan pada pria
berusia di atas 40 tahun, sesuai dengan usianya, sekitar 50% mengalami
hiperplasia kelenjar prostat secara histopatlogis. Dari jumlah tersebut, 30-50%
mengalami LUTS, yang juga dapat disebabkan oleh kondisi lain.5
Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala obstruksi
berupa hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat berkemih,
double voiding, mengejan saat berkemih dan urin menetes setelah berkemih.
Gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi dan nokturia. Gejala-gejala tersebut
disebut sebagai gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract
Syndrome (LUTS).5
LUTS dapat dibagi menjadi gejala penampungan, pengosongan, dan
pascamiksi. Umumnya, LUTS dikaitkan dengan adanya obstruksi yang
diakibatkan oleh pembesaran kelenjar prostat. Namun penelitian lebih lanjut
menunjukkan bahwa LUTS tidak hanya disebabkan oleh adanya kelainan pada
prostat. Adanya gangguan dari kandung kemih dapat juga menyebabkan LUTS,
misalnya peningkatan aktivitas otot detrusor, gangguan kontraktilitas pada fase
penampungan, dan penurunan aktivitas otot detrusor pada fase pengosongan.
Kondisi lain baik kondisi urologis maupun neurologis juga dapat berkontribusi
terhadap adanya LUTS.6
Anamnesa yang lengkap dan mendalam dilakukan untuk menyingkirkan
etiologi penyebab yang lain seperti ISK, neurogenik bladder, striktur uretra dan
kanker prostat. 6
10

2.8.Diagnosis
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasar- kan atas berbagai pemeriksaan
awal dan pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus
dilakukan oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan
pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk
th
melakukan pemeriksaan itu. Pada 5 International Consultation on BPH (IC-
BPH)membagi kategori pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH menjadi:
pemeriksaan awal (recommended) dan pemeriksaan spesialistik urologi (optional),
sedangkan guidelines yang disusun oleh EAUmembagi pemeriksaan itu dalam:
mandatory, recommended, optional, dan not recommended.
a. Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau
wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang
dideritanya. Anamnesis itu meliputi.7,8
 Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu
 Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah
mengalami cedera, infeksi, atau pem-bedahan)
 Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
 Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan
miksi
 Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan
pembedahan.
Salah satu pemandu yang tepat untukmengarahkan dan menentukan
adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate
Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA telah mengembangkan dan mensahkan
prostate symptom score yang telah distandarisasi.7,9 Skor ini berguna untuk
menilai dan memantau keadaan pasien BPH.
Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki
nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35 (lihat lampiran kuesioner IPSS yang
telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia). Kuesioner IPSS dibagikan kepada
pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan
11

pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh adalah sebagai
berikut.9,10
o Skor 0-7: bergejala ringan
o Skor 8-19: bergejala sedang
o Skor 20-35: bergejala berat.
Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu
pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga
terdiri atas 7 kemungkinan jawaban.
b. Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemerik-saan fisik pada
regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari
pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat,
konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari
keganasan prostat.7 Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung under-
estimate daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba
besar, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu
keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif
kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam
menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%.11
Perlu dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan
fungsi neuromusluler ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan
pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan
adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral.7
c. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkap- kan adanya leukosituria dan
hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu
buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di antara-nya:
karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis
menunjukkan adanya kelainan. Untuk itu pada kecuri-gaan adanya infeksi saluran
kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan
12

adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine.7,10 Pada


pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah memakai kateter,
pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada
leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter.
d. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus
urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH
terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan
resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan
tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih
banyak.12 Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem
pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika
terdapat kelainan kadar kreatinin serum.13 Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal
ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan
pada saluran kemih bagian atas.
e. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi
bukan cancer specific.14 Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan
penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan
volume prostat lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih
jelek, dan (c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut.15,16 Pertumbuhan volume
kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Dikatakan oleh
Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi kadar PSA makin cepat laju
pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun
pada kadar PSA 0,2- 1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar
PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3
mL/tahun.15 Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada
keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada
retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua.17
Sesuai yang dikemukakan oleh Wijanarko et al (2003) bahwa serum PSA
meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan kadarnya perlahan-lahan
13

menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi.18 Rentang kadar PSA


yang dianggap normal berdasarkan usia adalah:17
o 40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml
o 50-59 tahun:0-3,5 ng/ml
o 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml
o 70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml
Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat,
tetapi kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat.
Pemeriksaan PSA bersamaan dengan colok dubur lebih superior daripada
pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh
karena itu pada usia ini pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna
mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat.12
Sebagian besar guidelines yang disusun di berbagai negara
merekomendasikan pemerik-saan PSA sebagai salah satu pemeriksaan awal pada
BPH, meskipun dengan sarat yang berhu-bungan dengan usia pasien atau usia
harapan hidup pasien. Usia sebaiknya tidak melebihi 70-75 tahun atau usia
harapan hidup lebih dari 10 tahun, sehingga jika memang terdiagnosis karsinoma
prostat tindakan radikal masih ada manfaatnya.8,10,12
f. Catatan harian miksi (voiding diaries)
Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus
urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik.
Pencatatan miksi ini sangat ber-guna pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai
keluhan yang menonjol.8,13 Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan
cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang dikemihkan
dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor
akibat obstruksi infra-vesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih.
Sebaiknya pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil
yang baik13, namun Brown et al (2002) mendapatkan bahwa pencatatan selama 3-
4 hari sudah cukup untuk menilai overaktivitas detrusor.19
14

g. Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi
secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi
saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh
informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-
rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapaipancaran maksimum, dan
lama pancaran.8,12 Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai
untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah
mendapatkan terapi.
Hasil uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya
kelainan pancaran urine, sebab pancaran urine yang lemah dapat disebabkan
karena BOO atau kelemahan otot detrusor. Demikian pula Qmax pancaran yang
normal belum tentu tidak ada BOO.1
h. Pemeriksaan residual urine
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine
yang tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada
orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh
delapan persen pria normal mempunyai residual urine kurang dari 5 mL dan
semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL.12
Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan
melakukan pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah
pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui
USG atau bladder scan. Pengukuran melalui kateterisasi ini lebih akurat
dibandingkan dengan USG, tetapi tidak meng-enakkan bagi pasien, dapat
menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi
bakteriemia.8,12
Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai
variasi individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur residual
urinenya pada waktu yang berlainan pada hari yang sama maupun pada hari yang
berbeda, menunjukkan perbedaan volume residual urine yang cukup bermakna.12
Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual urine
15

yang cukup banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu
banyak (<120 ml) hasil pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama.20
Dahulu para ahli urologi beranggapan bahwa volume residual urine yang
meningkat menandakan adanya obstruksi, sehingga perlu dilakukan pembedahan;
namun ternyata peningkatan volume residual urine tidak selalu menunjukkan
beratnya gangguan pancaran urine atau beratnya obstruksi.12 Hal ini diperkuat
oleh pernyataan Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume residual urine
tidak dapat menerangkan adanya obstruksi saluran kemih.21 Namun,
bagaimanapun adanya residu uirne menunjukkan telah terjadi gangguan miksi.7
Watchful waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang
cukup banyak (Wasson et al 1995)22, demikian pula pada volume residual urine
lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi pada buli-buli sehingga terapi
medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.
Beberapa negara terutama di Eropa mere- komendasikan pemeriksaan
PVR sebagai bagian dari pemeriksaan awal pada BPH dan untuk memonitor
setelah watchful waiting. Karena variasi intraindividual yang cukup tinggi,
pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali dan sebaiknya dikerjakan melalui
melalui USG transabdominal.8,13
i. Pencitraan traktus urinarius
Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap
traktus urinarius bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Dahulu
pemeriksaan IVP pada BPH dikerjakan oleh sebagian besar ahli urologi untuk
mengungkapkan adanya: (a) kelainan pada saluran kemih bagian atas, (b)
divertikel atau selule pada buli-buli, (c) batu pada buli-buli, (d) perkiraan volume
residual urine, dan (e) perkiraan besarnya prostat.
Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP atau
USG, ternyata bahwa 70-75% tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran
kemih bagian atas; sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil
saja (10%) yang membutuhkan penanganan berbeda dari yang lain.12 Oleh karena
itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak direkomendasikan sebagai
pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal diketemukan adanya:
16

(a) hematuria, (b) infeksi saluran kemih, (c) insufisiensi renal (dengan melakukan
pemeriksaan USG), (d) riwayat urolitiasis, dan (e) riwayat pernah menjalani
pembedahan pada saluran urogenitalia.8,12
Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna memperkirakan
besarnya prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidak
direkomendasikan.13 Namun pemeriksaan itu masih berguna jika dicurigai adanya
striktura uretra.
Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat,
dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan ultrasonografi
prostat tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin, kecuali hendak
menjalani terapi: (a) inhibitor 5-α reduktase, (b) termoterapi, (c) pemasangan
stent, (d) TUIP atau (e) prostatektomi terbuka. Menilai bentuk dan ukuran
kelenjar prostat dapat dilakukan melalui pemeriksaan transabdominal (TAUS)
ataupun transrektal (TRUS).7,13 Jika terdapat peningkatan kadar PSA,
pemeriksaan USG melalui transrektal (TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai
kemungkinan adanya karsinoma prostat .
j. Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika
dan buli- buli. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher buli-
buli, batu buli-buli, trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel buli- buli. Selain
itu sesaat sebelum dilakukan sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi.
Sayangnya pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan
komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan retensi urine sehingga tidak
dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin pada BPH.8,12 Uretrosistoskopi dikerjakan
pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan perlunya
dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasus
yang disertai dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli sistoskopi
sangat membantu dalam mencari lesi pada buli-buli.7,13
k. Pemeriksaan urodinamika
Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien
mempunyai pancaran urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya,
17

pemeriksaan uro-dinamika (pressure flow study) dapat mem-bedakan pancaran


urine yang lemah itu disebabkan karena obstruksi leher buli-buli dan uretra
(BOO) atau kelemahan kontraksi otot detrusor.7,8,12
Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak menjalani pembedahan.
Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh pasien bukan disebabkan oleh BPO
melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi otot detrusor sehingga pada
keadaan ini tindakan desobstruksi tidak akan bermanfaat. Pemerik-saan
urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi pasien BPH
bergejala.7,13
Meskipun merupakan pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini
merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi
prostat (BPO), dan mampu meramal- kan keberhasilan suatu tindakan pem-
bedahan. Menurut Javle et al (1998)23, pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas
87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%. Indikasi
pemeriksaan uro-dinamika pada BPH adalah: berusia kurang dari 50 tahun atau
lebih dari 80 tahun dengan volume residual urine>300 mL, Qmax >10 ml/detik,
setelah menjalani pembedah-an radikal pada daerah pelvis, setelah gagal dengan
terapi invasif, atau kecurigaan adanya buli-buli neurogenik.
l. Pemeriksaan yang tidak direkomendasikan pada pasien BPH
Berbagai pemeriksaan saat ini tidak dire- komendasikan sebagai piranti
untuk diagnosis pada pasien BPH, kecuali untuk tujuan penelitian, di antaranya
adalah:7
1. IVU, kecuali jika pada pemeriksaan awal didapatkan adanya: hematuria,
infeksi saluran kemih berulang, riwayat pernah menderita urolitiasis, dan
pernah menjalani operasi saluran kemih.
2. Uretrografi retrograd, kecuali pada pemeriksaan awal sudah dicurigai
adanya striktura uretra.
3. Urethral pressure profilometry (UPP)
4. Voiding cystourethrography (VCU)
5. External urethral sphincter electromyography
6. Filling cystometrography.
18

2.9. Diagnosa Banding


Obstruksi saluran kemih bagian bawah lain seperti striktur uretra,
kontraktur pada leher buli, batu buli atau keganasan prostat. Riwayat
instrumentasi uretra, uretritis atau trauma harus dieksklusi untuk menyingkirkan
striktur uretra atau kontraktur leher buli. Hematuria dan nyeri umumnya
berhubungan dengan batu buli-buli,keganasan prostat dapat terdeteksi awal dari
colok dubur dan peningkatan PSA.2
Infeksi saluran kemih dapat menyerupai gejala iritatif dari BPH. Dapat
diidentifikasi dari urinalisis dan kultur, walaupun infeksi saluran kemih ini dapat
merupakan komplikasi dari BPH. Keluhan iritatif juga dapat berhubungan dengan
keganasan kandung kemih terutama karsinoma in situ, di mana pada urinalisis
didapatkan hematuria. Riwayat kelainan neurologis, stroke, DM dan cedera tulang
belakang dapat mengarah ke neurogenic bladder. Umumnya didapatkan
penurunan sensibilitas pada perineum dan ekstremitas inferior dan penurunan
tonus sphincter ani dan reflek bulbokavernosus, mungkin didapatkan perubahan
pola defekasi.2

2.10. Penatalaksanaan
Terapi spesifik berupa observasi pada penderita gejala ringan hingga
tindakan operasi pada penderita dengan gejala berat. Indikasi absolut untuk
pembedahan berupa retensi urine yang berkelanjutan, infeksi saluran kemih yang
rekuren, gross hematuria rekuren, batu buli akibat BPH, insufisiensi renal dan
divertikel buli.2
1) Watchful waiting
Penderita dengan BPH yang simptomatis tidak selalu mengalami progresi
keluhan, beberapa mengalami perbaikan spontan. Watchful waiting merupakan
penatalaksanaan terbaik untuk penderita BPH dengan nilai IPSS 0-7. Penderita
dengan gejala LUTS sedang juga dapat dilakukan observasi atas kehendak pasien.
2) Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
19

infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa (adrenergic alfa


blocker) dan mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara
menurunkan kadar hormon testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui
penghambat 5α-reduktase. Selain kedua cara diatas, sekarang banyak dipakai
terapi menggunakan fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.

Tabel 2.1. Klasifikasi Terapi Medikamentosa pada BPH


3) Operatif
Tindakan operatif dilakukan apabila pasien BPH mengalami retensi urin
yang menetap atau berulang, inkontinensia overflow, ISK berulang, adanya batu
buli atau divertikel, hematuria yang menetap setelah medikamentosa, atau dilatasi
saluran kemih bagian atas akibat obstruksi dengan atau tanpa insufisiensi ginjal
(indikasi operasi absolut). Selain itu adanya gejala saluran kemih bagian bawah
yang menetap setelah terapi konservatif atau medikamentosa merupakan indikasi
operasi relatif.6
20

a. TURP (Transurethral Resection of the Prostate)


Terapi operatif dari penderita BPH dapat dilakukan cara endoskopi, di
mana tindakan ini menggunakan pembiusan spinal dan lama perawatan yang
relatif singkat. TURP menjadi baku emas tindakan operatif pada penderita BPH.
Dikatakan TURP dapat mengurangi gejala saluran kemih bagian bawah dan
menurunkan IPSS pada 94,7% kasus.24
Di Indonesia, tindakan Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
masih merupakan pengobatan terpilih untuk pasien BPH. Pada pasien dengan
keluhan derajat sedang, TURP lebih bermanfaat daripada watchful waiting. TURP
lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan
memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat
memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga
100% . Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-23%, dan
yang paling sering adalah perdarahan sehingga membutuhkan transfusi.
Timbulnya penyulit biasanya pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari 45
gram, usia lebih dari 80 tahun, ASA II-IV, dan lama reseksi lebih dari 90 menit.
Sindroma TUR terjadi kurang dari 1%.1
Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia stress <1%
maupun inkontinensia urge 1,5%, striktura uretra 0,5-6,3%, kontraktur leher buli-
buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang berukuran kecil 0,9-3,2%, dan
disfungsi ereksi. Angka kematian akibat TURP pada 30 hari pertama adalah 0,4%
pada pasien kelompok usia 65-69 tahun dan 1,9% pada kelompok usia 80-84
tahun. Dengan teknik operasi yang baik dan manajemen perioperatif (termasuk
anestesi) yang lebih baik pada dekade terakhir, angka morbiditas, mortalitas, dan
jumlah pemberian transfusi berangsur-angsur menurun.1
Resiko atau komplikasi dari TURP antara lain ejakulasi retrograde sekitar
75%, impotensi 5-10%, inkontinensia 1%, dan komplikasi lain berupa perdarahan,
striktur uretra, kontraktur leher buli, perforasi dari kapsul prostat, dan sindrom
TURP.2
21

b. Transurethral Incicion of the Prostate


Penderita dengan LUTS sedang atau berat dan prostat yang kecil
seringkali memiliki hiperplasia dari komisura posterior (elevasi leher buli), di
mana hal ini merupakan indikasi untuk insisi prostat. Keuntungannya berupa
tindakan lebih cepat, morbiditas lebih rendah d engan resiko ejakulasi
retrograde lebih rendah (25%).2
c. Prostatektomi terbuka
Diindikasikan pada prostat yang terlalu besar untuk dilakukan tindakan
endoskopik, juga dapat dilakukan pada penderita dengan divertikulum buli atau
didapatkannya batu buli. Prostatektomi terbuka dibagi menjadi 2 cara pendekatan
yaitu suprapubik (Millin procedure) dan retropubik (Freyer procedure).2
4) Terapi Minimal Invasive.
Dapat berupa Terapi laser (TULIP), Transurethral Electrovaporization of
the Prostat, Microwave Hypertermia, Transurethral Needle Ablation of the
Prostat, High Intencity Focused Ultrasound, Stent Intraurethral.3
22

BAB 3
STATUS ORANG SAKIT

Identitas Pasien
Nama : Tn. AN
No RM : 75.7X.X7
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 73 tahun
Tanggal Masuk : 9 Oktober 2018

Anamnesis

Keluhan Utama : Sulit buang air kecil

Telaah :

Hal ini telah dialami pasien selama  3 bulan sebelum masuk Rumah Sakit.
Awalnya pasien sering mengeluhkan buang air kecil tersendat-sendat dan sering
merasa tidak puas saat buang air kecil. Pasien juga merasakan pancaran air
kencing yang lemah sewaktu buang air kecil. Pasien juga mengeluhkan sering
terbangun hingga 3-4 kali di malam hari untuk buang air kecil. Kadang-kadang
pasien tidak bisa menahan keinginan untuk buang air kecil sehingga air kencing
sering merembes. Nyeri sewaktu buang air kecil dijumpai. Riwayat buang air
kecil bercampur darah, BAK berpasir, keluar batu waktu BAK dan nyeri pinggang
sebelumnya tidak dijumpai. Sebelumnya pasien pernah berobat ke RSU Sibolga,
dipasang kateter dan diberikan obat tetapi karena keluhan berulang, pasien dirujuk
ke RSHAM. Riwayat diabetes dan hipertensi disangkal. Riwayat trauma
disangkal. Riwayat operasi sistem urogenital sebelumnya disangkal.

Riwayat Penyakit Terdahulu : Tidak jelas

Riwayat Penggunaan Obat : Tidak jelas


23

Riwayat Operasi : -

Riwayat Keluarga :-

Pemeriksaan Fisik

Status Presens

Sensorium : Compos Mentis


Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Temperatur : 37,2oC
VAS :0

Status Generalisata

Kepala : deformitas (-)

Mata : konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-), sklera ikterik (-

/-), pupil isokor, diameter 3 mm / 3 mm, refleks cahaya

(+/+)

Telinga : dalam batas normal

Hidung : dalam batas normal

Tenggorokan : dalam batas normal

Mulut : dalam batas normal

Leher : dalam batas normal


24

Toraks

Inspeksi : Simetris Fusiformis

Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : Suara pernapasan: Vesikuler, Suara Tambahan: -

Abdomen

Inspeksi : Simetris

Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Peristaltik (+) normal

Genitalia

Dalam batas normal

Ekstremitas

Superior : edema (-/-)

Inferior : edema (-/-)

DRE : Inspeksi: perineum dalam batas normal; tonus sfingter ani: ketat; mukosa
anus: licin; teraba prostat, konsistensi kenyal, permukaan licin, nodul (-). Sarung
tangan : feses (+), darah (-)
25

Hasil Laboratorium

Tanggal : 28 September 2018

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan

Hematologi
Hemoglobin (HGB) 14,7 g/dL 13-18
Eritrosit (RBC) 4,90 juta/ μL 4,5 – 6,5
Leukosit (WBC) 7,790 / μL 4.000 – 11.000
Hematokrit 44% 39 – 54
Trombosit (PLT) 22.000/μL 150.000-450.000
KGD Sewaktu 96 mg/dL <200

Elektrolit
Natrium 139 mEq/L 135-155
Kalium 4,4 mEq/L 3,6-5,5
Klorida 106 mEq/L 96-106

Ginjal
BUN 12 mg/dL 15-40

Ureum 26 mg/dL 19-44

Creatinin 1,02 mg/dL 0,7-1,3


26

Hasil Foto Thoraks (1/10/2018)

Tidak tampak kelainan pada cor dan pulmo

USG Ginjal, Buli dan Prostat (28/9/2018)


27

- Ginjal Kiri : Bentuk dan ukuran normal, Hidrenofrosis (-), acoustic shadow (-)

- Ginjal Kanan : Bentuk dan ukuran normal, acoustic shadow (-), Hidronefrosis (-)

- Buli : massa (-), shadow (-)

- Prostat: TBP: 57 gram

Kesimpulan : BPH, anjuran: Cek Lab, TURP

Diagnosa Kerja : BPH + Retensi urin

Tindakan : TURP (Transurethral Resection Prostate) tanggal 10

Oktober 2018

FOLLOW UP

9 Oktober 2018

S -

 Sensorium : CM
 TD : 120/80 mmHg
O
 HR : 80 x/i
 RR : 18 x/i

A BPH + Retensi Urin

P  Pre operasi

11 Oktober 2018

S -

 Sensorium : CM
O  TD : 110/80 mmHg
 HR : 80 x/i
28

 RR : 18 x/i

A BPH post TURP

 Tirah baring
 Diet MB
 Irigasi kateter 80-100 gtt/i
 Inj seftriakson 2 gr/24 jam
P  Inj Ranitidin 50 mg/12 jam
 Inj Ketorolac 30 mg/8 jam
 Inj Transamin 500 mg/8 jam
 Inj Vit K 1amp/IM
 Cek DR, RFT, Elektrolit,KGD
29

BAB 4
DISKUSI KASUS

TEORI KASUS

Anamnesis Pada anamnesis didapatkan


Anamnesis meliputi : keluhan utama berupa sulit
 Keluhan yang dirasakan dan buang air kecil sejak  3 bulan
seberapa lama keluhan itu telah sebelum masuk Rumah Sakit.
mengganggu Gejala tambahan dijumpai yaitu:
-Buang air kecil tersendat-
 Riwayat penyakit lain dan penyakit
sendat
pada saluran urogenitalia (pernah
-Perasaan tidak puas saat buang
mengalami cedera, infeksi, atau
air kecil
pem-bedahan)
- Pancaran air kencing yang
 Riwayat kesehatan secara umum dan lemah sewaktu buang air kecil
keadaan fungsi seksual - Sering terbangun di malam
hari untuk buang air kecil
 Obat-obatan yang saat ini
-Tidak bisa menahan keinginan
dikonsumsi yang dapat
untuk buang air kecil sehingga
menimbulkan keluhan miksi
air kencing sering merembes
 Tingkat kebugaran pasien yang -Nyeri sewaktu buang air kecil
mungkin diperlukan untuk tindakan
pembedahan. Dari anamnesis juga didapatkan
informasi berupa:
-Riwayat buang air kecil
Salah satu pemandu yang tepat untuk bercampur darah, BAK berpasir,
mengarahkan dan menentukan adanya keluar batu waktu BAK dan
gejala obstruksi akibat pembesaran prostat nyeri pinggang sebelumnya
adalah International Prostate Symptom tidak dijumpai.
30

Score (IPSS). -Riwayat trauma dan operasi


sistem urogenital disangkal
Pemeriksaan fisik -Riwayat diabetes melitus dan
Colok dubur atau digital rectal examina-tion hipertensi disangkal
(DRE) merupakan pemeriksaan yang -Riwayat konsumsi obat saat ini
penting pada pasien BPH, disamping tidak dijumpai
pemerik-saan fisik pada regio suprapubik
untuk mencari kemungkinan adanya distensi Pada pemeriksaan fisik colok
buli-buli. Dari dubur/ DRE didapatikan:
pemeriksaancolokduburinidapatdiperkirakan Inspeksi : Dalam batas normal
adanya pembesaran prostat, konsistensi Tonus anus : ketat
prostat, dan adanya nodul yang merupakan Mukosa anus : licin
salah satu tanda dari keganasan prostat. Prostat : permukaan halus,
konsistensi kenyal, nodule (-)
Sarung tangan : Feses (+),
Darah (-)
Pemeriksaan Penunjang

Urinalisis : untuk melihat leukosituria dan


hematuria. BPH yang sudah menimbulkan
komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-
buli atau penyakit lain yang menimbulkan
keluhan miksi, di antara-nya: karsinoma
buli-buli in situ atau striktura uretra, pada
pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya
kelainan. Untuk itu pada kecuri-gaan adanya
infeksi saluran kemih perlu dilakukan
pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat
kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu
dilakukan pemeriksaan sitologi urine.

Pemeriksaan fungsi ginjal : Obstruksi


31

infravesika akibat BPH menyebabkan


gangguan pada traktus urinarius bawah Pada pemeriksaan laboratorium
ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal faal ginjal, didapatkan nilai ureum
ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dan kreatinin dalam batas normal.
dengan rata-rata 13,6%. Pasien LUTS yang
diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi
sistem pelvikalises 0,8% jika kadar
kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9%
jika terdapat kelainan kadar kreatinin serum.
Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini
berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya
melakukan pemeriksaan pencitraan pada
saluran kemih bagian atas.

Pemeriksaan PSA (Prostate Specific


Antigen) : PSA disintesis oleh sel epitel
prostat dan bersifat organ specific tetapi
bukan cancer specific. Serum PSA dapat
dipakai untuk meramalkan perjalanan
penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar
PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume
prostat lebih cepat, (b) keluhan akibat
BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan (c)
lebih mudah terjadinya retensi urine akut

Rentang kadar PSA yang dianggap normal


berdasarkan usia adalah:17

o 40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml


o 50-59 tahun:0-3,5 ng/ml
o 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml
o 70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml
32

Catatan harian miksi : Pencatatan miksi


ini sangat ber-guna pada pasien yang
mengeluh nokturia sebagai keluhan yang
menonjol. Dengan mencatat kapan dan
berapa jumlah asupan cairan yang
dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah
urine yang dikemihkan dapat diketahui
seorang pasien menderita nokturia idiopatik,
instabilitas detrusor akibat obstruksi infra-
vesika, atau karena poliuria akibat asupan
air yang berlebih.

Uroflometri : Uroflometri adalah


pencatatan tentang pancaran urine selama
proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan
ini ditujukan untuk mendeteksi gejala
obstruksi saluran kemih bagian bawah yang
tidak invasif.

Pemeriksaan residual urine : Residual


urine atau post voiding residual urine (PVR)
adalah sisa urine yang tertinggal di dalam
buli-buli setelah miksi. Jumlah residual
urine ini pada orang normal adalah 0,09-
2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh
puluh delapan persen pria normal
mempunyai residual urine kurang dari 5 mL
dan semua pria normal mempunyai residu
33

urine tidak lebih dari 12 mL

Pencitraan traktus urinarius : Pencitraan


traktus urinarius pada BPH meliputi
pemeriksaan terhadap traktus urinarius
bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan
prostat. Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH Pada pemeriksaan USG didapatkan
dikerjakan oleh sebagian besar ahli urologi hasil:
untuk mengungkapkan adanya: (a) kelainan -Ginjal Kiri : Bentuk dan ukuran
pada saluran kemih bagian atas, (b) normal, Hidrenofrosis (-), acoustic
shadow (-)
divertikel atau selule pada buli-buli, (c) batu
pada buli-buli, (d) perkiraan volume - Ginjal Kanan : Bentuk dan
ukuran normal, acoustic shadow (-
residual urine, dan (e) perkiraan besarnya
), Hidronefrosis (-)
prostat.
- Buli : massa (-), shadow (-)
pencitraan saluran kemih bagian atas tidak
- Prostat: TBP: 57 gram
direkomendasikan sebagai pemeriksaan
pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan
awal diketemukan adanya: (a) hematuria,
(b) infeksi saluran kemih, (c) insufisiensi
renal (dengan melakukan pemeriksaan
USG), (d) riwayat urolitiasis, dan (e)
riwayat pernah menjalani pembedahan pada
saluran urogenitalia

Uretrosistoskopi : Pemeriksaan ini secara


visual dapat mengetahui keadaan uretra
prostatika dan buli- buli. Terlihat adanya
pembesaran prostat, obstruksi uretra dan
leher buli-buli, batu buli-buli, trabekulasi
buli-buli, selule, dan divertikel buli- buli.
34

Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan


dilakukan tindakan pembedahan untuk
menentukan perlunya dilakukan TUIP,
TURP, atau prostatektomi terbuka.
Disamping itu pada kasus yang disertai
dengan hematuria atau dugaan adanya
karsinoma buli-buli sistoskopi sangat
membantu dalam mencari lesi pada buli-
buli.`

Pemeriksaan urodinamika ; pemeriksaan


uro-dinamika (pressure flow study) dapat
mem-bedakan pancaran urine yang lemah
itu disebabkan karena obstruksi leher buli-
buli dan uretra (BOO) atau kelemahan
kontraksi otot detrusor.

Penatalaksanaan
Pada pasien ini, sudah dilakukan
Terapi spesifik berupa observasi pada
tindakan TURP
penderita gejala ringan hingga tindakan
operasi pada penderita dengan gejala berat.
Indikasi absolut untuk pembedahan berupa
retensi urine yang berkelanjutan, infeksi
saluran kemih yang rekuren, gross
hematuria rekuren, batu buli akibat BPH,
insufisiensi renal dan divertikel buli.

1) Watchful waiting
Penderita dengan BPH yang
simptomatis tidak selalu mengalami
progresi keluhan, beberapa mengalami
35

perbaikan spontan. Watchful waiting


merupakan penatalaksanaan terbaik untuk
penderita BPH dengan nilai IPSS 0-7.
Penderita dengan gejala LUTS sedang juga
dapat dilakukan observasi atas kehendak
pasien.

2) Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah
berusaha untuk mengurangi resistensi otot.
36

BAB 5
KESIMPULAN

Pasien laki-laki, usia 73 tahun datang ke RS HAM dengan keluhan sulit


buang air kecil yang sudah dialami selama 3 bulan ini dan didiagnosis dengan
Benign Prostatic Hyperplasia + Retensi Urin dan sudah dilakukan tindakan
TURP.
37

DAFTAR PUSTAKA

1. Nursalam dan Fransisca. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan.


Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
2. Purnomo BB. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto. 2012.
3. Krieger N. Proximal, Distal and the Politics of Causation: What’s Level Got
to Do With It?. Am J Public Health. 2008 February;98(2): 221-230.
4. Roehrborn CG. Pathology of benign prostatic hyperplasia. Int J Impot Res.
2008 Dec;20 Suppl 3:S11-8.
5. Oelke M, et all. Monotherapy with tadalafil or tamsulosin similarly improved
lower urinary tract symptoms suggestive of benign prostatic hyperplasia in an
international, randomised, parallel, placebo-controlled clinical trial. Eur Urol.
2012 May;61(5);917-25.
6. AUA practice guidelines committee. AUA guideline on management of
benign prostatic hyperplasia (2003). Chapter 1: diagnosis and treatment
recommendations. J Urol 170: 530- 547, 2003
7. Lepor H dan Lowe FC. Evaluation and non- surgical management of benign
prostatic hyperplasia. Dalam: Campbell’s urology, edisi ke 7. editor: Walsh
PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB Saunders Co.,
1337-1378, 2002
8. Barry MJ, Fowler FJ, O’Leary MP, et al. The American Urological
Association Symptom Index for Benign Prostatic Hyperplasia. J Urol 148:
1549, 1992
9. Kirby M. Management of benign prostatic hyperplasia (BPH) in a primary
care setting. http://www.urohealth.org/editorials/display_edit
orial.asp?EDITORIAL_ID=79&EDITORIAL_ CAT=BPH
10. Roehrborn CG, Sech S, Montoya J, Rhodes T, dan Girman CG Interexaminer
reliability and validity of a three-dimensional model to assess prostate volume
by digital rectal examination. Urology, 57:1087, 2001
11. McConnell. Guidelines for diagnosis and management of BPH.
http://www.urohealth.org/bph/specialist/future/c hp43.asp
12. de la Rossette JJMH, Alivizatos G, Madersbacher S, Nording J, Emberton M,
dan Sanz CR. EAU guidelines on benign prostatic Hyperplasia (BPH). Eur
Urol 40: 256-263, 2001
13. Laguna P dan Alivizatos G. Prostate specific antigen and benign prostatic
hyperplasia. Curr Oppin urol 10: 3-8, 2000
14. Roehrborn CG, McConnell J, Bonilla J, Rosenblatt S, Hudson PB, Malek
GM, et al. Serum prostate specific antigen is a strong predictor of future
prostate growth in men with benign prostatic hyperplasia. J Urol 163: 13-20,
2000
15. Roehrborn CG, McConeell JD, Lieber M, Kaplan S, Geller J, Malek GH, et
al. Serum prostate-specific antigen concentration is a powerful predictor of
38

acute urinary retention and need for surgery in men with clinical benign
prostatic hyperplasia. Urol 53, 473-480, 2000
16. Dawson C dan Whitfield H. ABC urology: Bladder outflow obstruction.
BMJ, 312:767- 770, 1996
17. Wijanarko S, Gardjito W, Hardjowijoto S, et al. Studi analitik pengaruh
pemasangan kateter terhadap kadar antigen spesifik prostat dalam darah pada
pasien hiperplasia prostat jinak dengan retensi urine. JURI, 10: 1-8, 2003
18. Brown JS, McNaught KS, Wyman JF, Burgio KL, Harkaway R, Bergner D et
al. Measurement characteristics of voiding diary for use by men and women
with overactive bladder. Urol, 61:802-809, 2003
19. Dunsmuir WD, Feneley M, Bryan J, dan Kirby RS. The day-to day variation
(test-retest reliability) of residual urine measurement. BJU 77, 192-193, 1996
20. Prasetyawan W dan Sumardi R. Korelasi antara volume residu urine dan
adanya obstruksi pada penderita dengan simtom BPH dengan menggunakan
pressure flow study. JURI, 10: 19-21, 2003.
21. Wasson JH, Reda DM, Bruskewitz RC, et al. A comparison of transurethral
surgery with watchful waiting for moderate symptoms of benign prostatic
hyperplasia. N Eng J Med 332: 75-79, 1995
22. Javle P, Jenkin SA, Machin DG, dan Parson KF. Grading of benign prostatic
obstruction can predict the outcome of transurethral prostatectomy. J Urol
160: 1713-1717, 1998
23. Bozdar HR, Memon SR, Paryani JP. Outcome of transurethral resection of
prostate in clinical benign prostatic hyperplasia. J Ayub Med Coll
Abbottabad. 2010 Oct-Dec;22(4):194-6.

Anda mungkin juga menyukai