Disusun Oleh:
Pembimbing:
Dr. dr. Syah Mirsya Warli, Sp.U (K)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Benign Prostatic Hyperplasia” Penulisan laporan
kasus ini adalah salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan Klinik Senior
Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr.
Syah Mirsya Warli, Sp.U (K) selaku supervisor pembimbing yang telah
meluangkan waktu dan memberikan masukan dalam penyusunan laporan kasus
ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya.Semoga
laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2.Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menyampaikan laporan
kasus mengenai Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Penyusunan laporan kasus
ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan Program Profesi Dokter (P3D)
di Divisi Bedah Urologi Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
1.3.Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan penulis maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk
mengintegrasikan teori yang telah ada dengan aplikasi pada kasus yang akan
dijumpai di lapangan.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak
adalahsalah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa
pembesaran dari kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran urine
dan menimbulkan gangguan miksi.2
2.3. Anatomi
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak inferior dari buli-buli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Berbentuk seperti buah kemiri
dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan berat kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri
atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam beberapa daerah
4
atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transitional, zona preprostatik dan
zona anterior.2
Secara histopatologi, kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan
stroma. Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf
dan jaringan interstitial yang lain. Prostat menghasilkan suatu cairan yang
merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui
duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan
bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat
merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat. Prostat mendapatkan inervasi
otonomik simpatis dan parasimpatis dari plexus prostatikus. Pleksus prostatikus
menerima masukan serabut parasimpatis dari corda spinalis S2-4 dan simpatis
dari nervus hipogastrikus T10-L2. Stimulasi parasimpatis meningkatkan sekresi
kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatis menyebabkan
pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior seperti pada saat ejakulasi.
Sistem simpatis memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat dan
leher buli-buli. Pada tempat tersebut banyak terdapat reseptor adrenergic α.
Rangsangan simpatis mempertahankan tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar ini
mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi
penekanan uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran
kemih.2
2.4. Etiologi
Etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti, tampaknya bersifat
multifaktor dan berhubungan dengan endokrin. Prostat terdiri dari elemen
epithelial dan stromal dimana pada salah satu atau keduanya dapat muncul nodul
hiperplastik dengan gejala yang berhubungan dengan BPH.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat adalah:
1) Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron
didalam sel prostat oleh 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.DHT
yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk
kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth
factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. 3
2) Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : progesteron relatif
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen didalam prostat berperan didalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan
jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan
terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa
prostat jadi lebih besar.3
3) Interaksi stromal-epitel
Diferensasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma, mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-
sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-
sel stroma itu sendiri secara intrakrin atau autokrin serta mempengaruhi sel-sel
6
2.5. Patologi
BPH terbentuk pada zona transisional. Merupakan proses hiperplasi akibat
dari peningkatan jumlah sel. Secara mikroskopik tampak pola pertumbuhan yang
berbentuk noduler yang terdiri dari jaringan stromal dan ephitelial, stroma terdiri
dari jaringan kolagen dan otot polos.2
Penampilan komponen-komponen BPH secara histologis yang beragam
menjelaskan potensial respon terhadap pengobatan. Terapi dengan α-bloker
memberikan respons yang baik pada pasien BPH dengan komponen dominan otot
polos, sementara bila komponen yang dominan adalah ephitel, memberikan
respons yang baik terhadap 5-α reduktase inhibitor. Penderita BPH dengan
komponen dominan kolagen kurang respon terhadap medikamentosa.2
8
2.6. Patofisiologi
Keluhan dari BPH diakibatkan oleh adanya obstruksi dan sekunder akibat
dari respon kandung kemih. Komponen obstruksi dapat dibagi menjadi obstruksi
mekanik dan dinamik. Pada hiperplasi prostat, obstruksi mekanik terjadi akibat
penekanan terhadap lumen uretra atau leher buli, yang mengakibatkan resistensi
bladder outlet. Sebelum pembagian zona klasifikasi dari prostat, ahli urologi
membagi menjadi 3 lobus yaitu 2 lobus lateral dan 1 lobus medial. Ukuran prostat
pada pemeriksaan rectal toucher (RT) memiliki korelasi yang kurang terhadap
timbulnya gejala, karena pada RT lobus medial kurang atau tidak teraba.2
Komponen obstruksi dinamik menjelaskan berbagai jenis keluhan
penderita. Stroma prostat terdiri dari otot polos dan kolagen, yang dipersyarafi
oleh saraf adrenergik. Tonus uretra pars prostatika diatur secara autonom,
sehingga penggunaan α-blocker menurunkan tonus ini dan menimbulkan
disobstruksi.2
9
Keluhan pada saat berkemih pada pasien BPH akibat dari respons
sekunder kandung kemih. Obstruksi pada kandung kemih mengakibatkan
hipertrofi dan hyperplasia dari otot detrusor disertai penimbunan kolagen, pada
inspeksi tampak penebalan otot detrusor berbetuk sebagai trabekulasi, apabila
berkelanjutan mengakibatkan terjadinya hernia mukosa diantara otot detrusor
yang mengakibatkan terbentuknya divertikel.2
2.8.Diagnosis
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasar- kan atas berbagai pemeriksaan
awal dan pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus
dilakukan oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan
pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk
th
melakukan pemeriksaan itu. Pada 5 International Consultation on BPH (IC-
BPH)membagi kategori pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH menjadi:
pemeriksaan awal (recommended) dan pemeriksaan spesialistik urologi (optional),
sedangkan guidelines yang disusun oleh EAUmembagi pemeriksaan itu dalam:
mandatory, recommended, optional, dan not recommended.
a. Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau
wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang
dideritanya. Anamnesis itu meliputi.7,8
Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu
Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah
mengalami cedera, infeksi, atau pem-bedahan)
Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan
miksi
Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan
pembedahan.
Salah satu pemandu yang tepat untukmengarahkan dan menentukan
adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate
Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA telah mengembangkan dan mensahkan
prostate symptom score yang telah distandarisasi.7,9 Skor ini berguna untuk
menilai dan memantau keadaan pasien BPH.
Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki
nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35 (lihat lampiran kuesioner IPSS yang
telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia). Kuesioner IPSS dibagikan kepada
pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan
11
pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh adalah sebagai
berikut.9,10
o Skor 0-7: bergejala ringan
o Skor 8-19: bergejala sedang
o Skor 20-35: bergejala berat.
Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu
pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga
terdiri atas 7 kemungkinan jawaban.
b. Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemerik-saan fisik pada
regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari
pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat,
konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari
keganasan prostat.7 Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung under-
estimate daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba
besar, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu
keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif
kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam
menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%.11
Perlu dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan
fungsi neuromusluler ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan
pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan
adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral.7
c. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkap- kan adanya leukosituria dan
hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu
buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di antara-nya:
karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis
menunjukkan adanya kelainan. Untuk itu pada kecuri-gaan adanya infeksi saluran
kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan
12
g. Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi
secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi
saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh
informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-
rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapaipancaran maksimum, dan
lama pancaran.8,12 Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai
untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah
mendapatkan terapi.
Hasil uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya
kelainan pancaran urine, sebab pancaran urine yang lemah dapat disebabkan
karena BOO atau kelemahan otot detrusor. Demikian pula Qmax pancaran yang
normal belum tentu tidak ada BOO.1
h. Pemeriksaan residual urine
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine
yang tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada
orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh
delapan persen pria normal mempunyai residual urine kurang dari 5 mL dan
semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL.12
Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan
melakukan pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah
pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui
USG atau bladder scan. Pengukuran melalui kateterisasi ini lebih akurat
dibandingkan dengan USG, tetapi tidak meng-enakkan bagi pasien, dapat
menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi
bakteriemia.8,12
Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai
variasi individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur residual
urinenya pada waktu yang berlainan pada hari yang sama maupun pada hari yang
berbeda, menunjukkan perbedaan volume residual urine yang cukup bermakna.12
Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual urine
15
yang cukup banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu
banyak (<120 ml) hasil pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama.20
Dahulu para ahli urologi beranggapan bahwa volume residual urine yang
meningkat menandakan adanya obstruksi, sehingga perlu dilakukan pembedahan;
namun ternyata peningkatan volume residual urine tidak selalu menunjukkan
beratnya gangguan pancaran urine atau beratnya obstruksi.12 Hal ini diperkuat
oleh pernyataan Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume residual urine
tidak dapat menerangkan adanya obstruksi saluran kemih.21 Namun,
bagaimanapun adanya residu uirne menunjukkan telah terjadi gangguan miksi.7
Watchful waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang
cukup banyak (Wasson et al 1995)22, demikian pula pada volume residual urine
lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi pada buli-buli sehingga terapi
medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.
Beberapa negara terutama di Eropa mere- komendasikan pemeriksaan
PVR sebagai bagian dari pemeriksaan awal pada BPH dan untuk memonitor
setelah watchful waiting. Karena variasi intraindividual yang cukup tinggi,
pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali dan sebaiknya dikerjakan melalui
melalui USG transabdominal.8,13
i. Pencitraan traktus urinarius
Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap
traktus urinarius bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Dahulu
pemeriksaan IVP pada BPH dikerjakan oleh sebagian besar ahli urologi untuk
mengungkapkan adanya: (a) kelainan pada saluran kemih bagian atas, (b)
divertikel atau selule pada buli-buli, (c) batu pada buli-buli, (d) perkiraan volume
residual urine, dan (e) perkiraan besarnya prostat.
Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP atau
USG, ternyata bahwa 70-75% tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran
kemih bagian atas; sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil
saja (10%) yang membutuhkan penanganan berbeda dari yang lain.12 Oleh karena
itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak direkomendasikan sebagai
pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal diketemukan adanya:
16
(a) hematuria, (b) infeksi saluran kemih, (c) insufisiensi renal (dengan melakukan
pemeriksaan USG), (d) riwayat urolitiasis, dan (e) riwayat pernah menjalani
pembedahan pada saluran urogenitalia.8,12
Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna memperkirakan
besarnya prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidak
direkomendasikan.13 Namun pemeriksaan itu masih berguna jika dicurigai adanya
striktura uretra.
Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat,
dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan ultrasonografi
prostat tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin, kecuali hendak
menjalani terapi: (a) inhibitor 5-α reduktase, (b) termoterapi, (c) pemasangan
stent, (d) TUIP atau (e) prostatektomi terbuka. Menilai bentuk dan ukuran
kelenjar prostat dapat dilakukan melalui pemeriksaan transabdominal (TAUS)
ataupun transrektal (TRUS).7,13 Jika terdapat peningkatan kadar PSA,
pemeriksaan USG melalui transrektal (TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai
kemungkinan adanya karsinoma prostat .
j. Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika
dan buli- buli. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher buli-
buli, batu buli-buli, trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel buli- buli. Selain
itu sesaat sebelum dilakukan sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi.
Sayangnya pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan
komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan retensi urine sehingga tidak
dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin pada BPH.8,12 Uretrosistoskopi dikerjakan
pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan perlunya
dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasus
yang disertai dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli sistoskopi
sangat membantu dalam mencari lesi pada buli-buli.7,13
k. Pemeriksaan urodinamika
Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien
mempunyai pancaran urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya,
17
2.10. Penatalaksanaan
Terapi spesifik berupa observasi pada penderita gejala ringan hingga
tindakan operasi pada penderita dengan gejala berat. Indikasi absolut untuk
pembedahan berupa retensi urine yang berkelanjutan, infeksi saluran kemih yang
rekuren, gross hematuria rekuren, batu buli akibat BPH, insufisiensi renal dan
divertikel buli.2
1) Watchful waiting
Penderita dengan BPH yang simptomatis tidak selalu mengalami progresi
keluhan, beberapa mengalami perbaikan spontan. Watchful waiting merupakan
penatalaksanaan terbaik untuk penderita BPH dengan nilai IPSS 0-7. Penderita
dengan gejala LUTS sedang juga dapat dilakukan observasi atas kehendak pasien.
2) Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
19
BAB 3
STATUS ORANG SAKIT
Identitas Pasien
Nama : Tn. AN
No RM : 75.7X.X7
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 73 tahun
Tanggal Masuk : 9 Oktober 2018
Anamnesis
Telaah :
Hal ini telah dialami pasien selama 3 bulan sebelum masuk Rumah Sakit.
Awalnya pasien sering mengeluhkan buang air kecil tersendat-sendat dan sering
merasa tidak puas saat buang air kecil. Pasien juga merasakan pancaran air
kencing yang lemah sewaktu buang air kecil. Pasien juga mengeluhkan sering
terbangun hingga 3-4 kali di malam hari untuk buang air kecil. Kadang-kadang
pasien tidak bisa menahan keinginan untuk buang air kecil sehingga air kencing
sering merembes. Nyeri sewaktu buang air kecil dijumpai. Riwayat buang air
kecil bercampur darah, BAK berpasir, keluar batu waktu BAK dan nyeri pinggang
sebelumnya tidak dijumpai. Sebelumnya pasien pernah berobat ke RSU Sibolga,
dipasang kateter dan diberikan obat tetapi karena keluhan berulang, pasien dirujuk
ke RSHAM. Riwayat diabetes dan hipertensi disangkal. Riwayat trauma
disangkal. Riwayat operasi sistem urogenital sebelumnya disangkal.
Riwayat Operasi : -
Riwayat Keluarga :-
Pemeriksaan Fisik
Status Presens
Status Generalisata
(+/+)
Toraks
Abdomen
Inspeksi : Simetris
Perkusi : Timpani
Genitalia
Ekstremitas
DRE : Inspeksi: perineum dalam batas normal; tonus sfingter ani: ketat; mukosa
anus: licin; teraba prostat, konsistensi kenyal, permukaan licin, nodul (-). Sarung
tangan : feses (+), darah (-)
25
Hasil Laboratorium
Hematologi
Hemoglobin (HGB) 14,7 g/dL 13-18
Eritrosit (RBC) 4,90 juta/ μL 4,5 – 6,5
Leukosit (WBC) 7,790 / μL 4.000 – 11.000
Hematokrit 44% 39 – 54
Trombosit (PLT) 22.000/μL 150.000-450.000
KGD Sewaktu 96 mg/dL <200
Elektrolit
Natrium 139 mEq/L 135-155
Kalium 4,4 mEq/L 3,6-5,5
Klorida 106 mEq/L 96-106
Ginjal
BUN 12 mg/dL 15-40
- Ginjal Kiri : Bentuk dan ukuran normal, Hidrenofrosis (-), acoustic shadow (-)
- Ginjal Kanan : Bentuk dan ukuran normal, acoustic shadow (-), Hidronefrosis (-)
Oktober 2018
FOLLOW UP
9 Oktober 2018
S -
Sensorium : CM
TD : 120/80 mmHg
O
HR : 80 x/i
RR : 18 x/i
P Pre operasi
11 Oktober 2018
S -
Sensorium : CM
O TD : 110/80 mmHg
HR : 80 x/i
28
RR : 18 x/i
Tirah baring
Diet MB
Irigasi kateter 80-100 gtt/i
Inj seftriakson 2 gr/24 jam
P Inj Ranitidin 50 mg/12 jam
Inj Ketorolac 30 mg/8 jam
Inj Transamin 500 mg/8 jam
Inj Vit K 1amp/IM
Cek DR, RFT, Elektrolit,KGD
29
BAB 4
DISKUSI KASUS
TEORI KASUS
Penatalaksanaan
Pada pasien ini, sudah dilakukan
Terapi spesifik berupa observasi pada
tindakan TURP
penderita gejala ringan hingga tindakan
operasi pada penderita dengan gejala berat.
Indikasi absolut untuk pembedahan berupa
retensi urine yang berkelanjutan, infeksi
saluran kemih yang rekuren, gross
hematuria rekuren, batu buli akibat BPH,
insufisiensi renal dan divertikel buli.
1) Watchful waiting
Penderita dengan BPH yang
simptomatis tidak selalu mengalami
progresi keluhan, beberapa mengalami
35
2) Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah
berusaha untuk mengurangi resistensi otot.
36
BAB 5
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
acute urinary retention and need for surgery in men with clinical benign
prostatic hyperplasia. Urol 53, 473-480, 2000
16. Dawson C dan Whitfield H. ABC urology: Bladder outflow obstruction.
BMJ, 312:767- 770, 1996
17. Wijanarko S, Gardjito W, Hardjowijoto S, et al. Studi analitik pengaruh
pemasangan kateter terhadap kadar antigen spesifik prostat dalam darah pada
pasien hiperplasia prostat jinak dengan retensi urine. JURI, 10: 1-8, 2003
18. Brown JS, McNaught KS, Wyman JF, Burgio KL, Harkaway R, Bergner D et
al. Measurement characteristics of voiding diary for use by men and women
with overactive bladder. Urol, 61:802-809, 2003
19. Dunsmuir WD, Feneley M, Bryan J, dan Kirby RS. The day-to day variation
(test-retest reliability) of residual urine measurement. BJU 77, 192-193, 1996
20. Prasetyawan W dan Sumardi R. Korelasi antara volume residu urine dan
adanya obstruksi pada penderita dengan simtom BPH dengan menggunakan
pressure flow study. JURI, 10: 19-21, 2003.
21. Wasson JH, Reda DM, Bruskewitz RC, et al. A comparison of transurethral
surgery with watchful waiting for moderate symptoms of benign prostatic
hyperplasia. N Eng J Med 332: 75-79, 1995
22. Javle P, Jenkin SA, Machin DG, dan Parson KF. Grading of benign prostatic
obstruction can predict the outcome of transurethral prostatectomy. J Urol
160: 1713-1717, 1998
23. Bozdar HR, Memon SR, Paryani JP. Outcome of transurethral resection of
prostate in clinical benign prostatic hyperplasia. J Ayub Med Coll
Abbottabad. 2010 Oct-Dec;22(4):194-6.