Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan
bakterimia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus
dan Peyer’s patch.
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam
enteric. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid
namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis
sedangkan demam enteric dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.
Terdapat 3 bioserotipe Salmonella enteriditis yaitu bioserotipe paratyphi A, paratyphi B (S.
Schotsmuelleri), paratyphi C (S. Hirschfeldii).1

2.2 Epidemiologi
Beberapa negara sudah menjalankan imunisasi tifoid sesuai rekomendasi World Health
Organization (WHO) sehingga sulit menentukan prevalens penyakit tersebut di dunia.
Beberapa sistem surveilans untuk kasus demam tifoid di negara berkembang sangat terbatas,
terutama di tingkat komunitas, sehingga prevalens penyakit yang sesungguhnya sangat sulit
diperoleh. Data surveilans yang tersedia menunjukkan bahwa pada tahun 2000, estimasi
penyakit adalah sebanyak 21.650.974 kasus, kematian terjadi pada 216.510 kasus tifoid dan
5.412.744 pada penyakit paratifoid. Data tersebut diekstrapolasi dari beberapa penelitian
sehingga dapat kurang tepat, apalagi karena pemeriksaan penunjang diagnosis yang tidak
akurat. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19
tahun mencapai 91%kasus. Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari Amerika
Selatan.2,1
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reservoir).
Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengeksresikannya melalui secret saluran
nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang
berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S.
typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan
dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63oC). Terjadinya penularan Salmonella typhi
3
4

sebagian besar melalui minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari
penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui rute
oral fekal = jalur oro fekal). Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil
yang berada dalam bakterimia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal
dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber
kuman berasal dari laboratorium penelitian.1

2.3 Etiologi
Salmonella typhi dengan Salmonela yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai
flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen
somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan
envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan
endotoksin. Salmonella typhi juga memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan
resistensi terhadap multiple antibiotik.1

Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 16 juta kasus demam tifoid per tahun, dan
menyebabkan 600.000 kematian. Bakteri tifoid hanya menginfeksi manusia. Infeksi ini
ditandai oleh demam berkepanjangan manifestasi ekstraintestinal, sedangkan manifestasi
diare yang terjadi sifatnya inkonsisten. Masa inkubasi demam tifoid umumnya sekitar 7-14
hari (dengan kisaran 3-60 hari). Pasien tifoid tanpa gejala atau karier kronik dapat menjadi
reservoir dan menjadi sumber penyebaran penyakit secara terus menerus. Pasien karier
seringkali mengidap kolelitiasis.3

2.4 Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina
propria. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke
5

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental,
dan koagulasi. Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia
akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini
dapat berkembang hingga ke lapisan otot,serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan
organ lainnya.4

2.5 Manifestasi Klinis


Demam tifoid mengakibatkan 3 kelainan pokok, yaitu:
 Demam berkepanjangan
 Gangguan sistem pencernaan
 Gangguan kesadaran5
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 haridengan rata-rata antara 10-14
hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak
memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala
ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit
dirumahnya.1
6

Demam lebih dari tujuh hari merupakan gejala yang paling menonjol. Demam ini bisa
diikuti oleh gejala tidak khas lainnya, seperti anoreksia atau batuk. Gangguan saluran
pencernaan yang sering terjadi adalah konstipasi dan obstipasi (sembelit), meskipun diare
bisa juga terjadi. Gejala lain pada saluran pencernaan adalah mual, muntah atau perasaan
tidak enak diperut. Pada kondisi yang parah, demam tifoid bisa disertai dengan gangguan
kesadaran yang berupa penurunan kesadaran ringan, apatis, somnolen, hingga koma. Rose
spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm. seringkali
dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih,
tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 –
10 dan bertahan selama 2 – 3 hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid sehingga
buku ajar lama bahkan menganggap sebagai bagian dari penyakit demam tifoid. Bradikardi
relatif jarang dijumpai pada anak.5,1

2.6 Kriteria Diagnosis


a. Anamnesa
Gejala yang paling menonjol adalah prolonged fever (38,8oC – 40,5oC), dan berlanjut
hingga 4 minggu jika tidak ditangani. S. Paratyphi A dapat mengakibatkan gejala
penyakit yang lebih ringan daripada S.typhi, dengan predominan gejala
gastrointestinal. Pada minggu pertama, gejala yang ditemukan adalah sakit kepala,
menggigil, batuk berkeringat, mialgia, malaise, dan artralgia. Gejala gastrointestinal
yang ditemukan yaitu: anoreksia, nyeri abdomen, mual, muntah, diare, konstipasi.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah
meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu
kedua gejala-gejala menjadi jelas berupa demam, bradikardi relative (peningkatan
suhu 10C, tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput
(kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatosplenomegali,
splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pada orang Indonesia.
c. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan darah perifer lengkap
Sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal, atau
leukositosis walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat ditemukan
anemia dan trombositopenia. Nilai SGOT dan SGPT seringkali meningkat.
7

 Uji Widal.
Kuman tifoid yang mengandung antigen (O dan H) dapat menstimulasi host
untuk terbentuknya antibodi. Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai
aglutinin yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering
dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan
dapat berbeda diberbagai laboratorium setempat. Pada uji Widal, bila terjadi
kenaikan 4 kali titer antibody O dan H pada spesimen yang diambil dalam jarak 2
minggu, maka kemungkinan tinggi terjadi proses infeksi S. typhi. Pembentukan
agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat
secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Bagaimanapun juga, pemeriksaan ini mempunyai presentase
sensitivitas sekitar 70% dan mempunyai nilai spesifitas yang rendah, banyak
strain Salmonella non tyhpoidal terjadi reaksi silang, dan sirosis hepatis dapat
mengakibatkan false-positif.
 Kultur Darah, Feses, dan Urin
Biasanya positif pada awal 2 minggu pertama, tapi kultur feses biasanya positif
selama minggu ke 3 hingga ke 5. Sedangkan kultur urin pada minggu ke 4. Jika
kultur tersebut negative tetapi secara klinis suspek kuat demam tifoid, maka
kultur biopsi spesimen sumsum tulang belakang dapat dijadikan pertimbangan
untuk mencari kuman Salmonella. Tingkat sensitivitas kultur sumsum tulang
mencapai 55-90%, dan tidak seperti kultur darah, hasil kultur tidak berkurang
walaupun setelah 5 hari pemberian antibiotik sebelumnya. Akan tetapi, metode
ini memakan waktu lama dengan tingkat sensitivitas dan spesifitas yang relatif
rendah, dan juga memerlukan fasilitas laboratorium yang khusus.
 Uji TUBEX
Uji TUBEX ini merupakan uji semikuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa
menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini digunakan untuk mendeteksi
antibody anti-S.typhi 09 pada serum pasien. Deteksi terhadap anti 09 dapat
dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3
untuk infeksi sekunder. Pada penelitian tahun 2006, di Jakarta, Surya H dkk,
didapatkan sensitivitas uji Tubex sebesar 100%, spesifitas 90%.

Tabel 1. Interpretasi Hasil Uji Tubex


8

Skor Interpretasi Keterangan


<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian,
apabila masih meragukan lakukan pengulangan beberapa
hari kemudian
4 -5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

 Uji Typhidot
Dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membrane
luar Salmonella Typhi. Hasil positif didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat
mengidentifikasi secara spesifik IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50
kD, yang terdapat pada strip nitritselulosa.6

2.7 Diagnosis Banding


Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat
menjadi diagnosis bandingnya yaitu demam dengue, influenza, gastroenteritis, bronchitis dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular
seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga
perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit
Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.1,6

2.8 Tatalaksana
Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
 Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya ditempat seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil/besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur,
pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap
perlu diperhatikan dan dijaga.
 Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)
9

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit
demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum
dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi
lama.
Dimasa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan
diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur
saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna
atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat
dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran
yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam.4
 Pemberian Antimikroba
a. Obati dengan kloramfenikol (50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis per
oral atau intravena) selama 10-14 hari.
b. Jika tidak dapat diberikan kloramfenikol, dipakai amoksisilin 100
mg/kgBB/hari peroral atau ampisilin intravena selama 10 hari, atau
kotrimoksazol 48 mg/kgBB/hari (dibagi 2 dosis) peroral selama 10 hari.
c. Bila klinis tidak ada perbaikan digunakan generasi ketiga sefalosporin seperti
seftriakson (80 mg/kgBB IM atau IV, sekali sehari, selama 5-7 hari) atau
sefiksim oral (20 mg/KgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari).
 Perawatan Penunjang
Jika anak demam (>39oC) berikan parasetamol.7

2.9 Pencegahan
Kebersihan makanan dan minuman sangat penting dalam pencegahan demam tifoid.
Merebus air minum dan makanan sampai mendidih juga sangat membantu. Sanitasi
lingkungan, termasuk pembuangan sampah dan imunisasi, berguna untuk mencegah penyakit.
Secara lebih detail, strategi pencegahan demam tifoid mencakup hal-hal berikut:
1. Penyediaan sumber air minum yang baik
2. Penyediaan jamban yang sehat
3. Sosialisasi budaya cuci tangan
4. Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum
10

5. Pembersihan lalat
6. Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman
7. Sosialisasi pemberian ASI pada ibu menyusui
8. Imunisasi aktif dapat membantu menekan kejadian demam tifoid1,5

2.10 Komplikasi
a. Komplikasi Intestinal : Perdarahan Intestinal, perforasi usus, ileus paralitik,
pancreatitis.
b. Komplikasi Ekstra-Intestinal : Kejang, Ensefalopati, Syok septic, miokarditis,
tromboflebitis, anemia hemolitik.4,7

2.11 Prognosis
Prognosis adalah bonam, namun ad sanationam dubia ad bonam, karena penyakit dapat
terjadi berulang. Jika tidak diobati, angka kematian pada demam tifoid 10-20%, sedangkan
pada kasus yang diobati angka mortalitas demam tifoid sekitar 2%. Kebanyakan kasus
kematian berhubungan dengan malnutrisi, balita dan lansia. Pasien lanjut usia atau pasien
debil prognosisnya lebih buruk. Bila terjadi komplikasi, maka prognosisnya semakin buruk.
Relaps terjadi pada 25% kasus.8,6

Anda mungkin juga menyukai