Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Penyakit Asma

2.1.1 Definisi Asma

Asma merupakan Suatu sindrom yang ditandai oleh obstruksi

aliran udara yang sangat bervariasi, baik secara spontan maupun dengan

pengobatan. Para pengidap asma mengalami suatu peradangan di

saluran nafas yang menyebabkan mereka lebih peka terhadap beragam

pemicu dibandingkan bukan pengidap asma, yang menyebabkan

penyempitan berlebihan saluran nafas diikuti berkurangnya aliran udara

serta mengi dan dispneu. Penyempitan saluran nafas biasanya

reversibel, tetapi pada pasien asma kronis mungkin terdapat obstruksi

saluran nafas yang ireversibel. (Loscalzo 2015)

Asma merupakan penyakit radang paru-paru yang menimbulkan

serangan sesak nafas dan mengi yang berulang. Otot dinding saluran

udara berkontraksi seperti kejang, menyebabkan saluran udara

menyempit, sehingga terjadi serangan sesak nafas. Penyempitan

diperburuk oleh sekresi lendir yan berlebihan. Sebagian besar kasus

terjadi dimasa kanak-kanak dan biasanya penyakit yang didasari oleh

alergi seperti eksema dan mempunyai faktor keturunan. Pada asma

7
8

alergen dapat memicu alergen hirup, seperti debu rumah, kecoak, serta

serpihan kulit binatang, seperti anjing dan kucing. (Abata,2014).

Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami

penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang

menyebabkan peradangaan, penyempitan ini bersifat berulang namun

reversible, dan diantara penyempitan bronkus tersebut terdapat keadaan

ventilasi yang lebih normal (NANDA NIC-NOC, 2015: 65).

2.1.2 Etiologi Asma

Jalannya udara terhalang entah karena radang saluran pernapasan

atau penyempitan otot bronchial (bronchopasm). Penyebab yang sering

adalah alergi, sebagai contoh, menghirup serbuk sari, menyebabkan

pengaktifan antibodi yang mengenali penyebab alergi. Mast cell dan

histamin diaktifkan, memulai respon radang lokal. Prostaglandin

meningkatkan efek histamin. Leukotrienes juga merespons,

meningkatkan respon inflamasi. Sel darah putih merespons dengan

melepaskan mediator inflamasi (Digiulio dkk, 2014).

Plaines dan Illinois (2018), menyatakan berbagai macam stimulan

dapat memicu eksaserbasi asma. Setiap individu cenderung memiliki

pemicu tertentu. Pemicu eksaserbasi asma yang umum antara lain :

1. Alergi terhadap makanan atau inhalasi (seperti : serbuk sari, lateks,

jamur, bulu binatang)

2. Olahraga

3. Terpapar dingin (menghirup udara dingin, makan es krim)


9

4. Menghisap tembakau

5. Menghirup bau-bauan yang menyengat

6. Infeksi saluran napas atas

7. Polusi udara

8. Sinusitis, rhinitis

9. Obat-obatan, terutama aspirin obat-obatan anti radang non steroid

Bahan tambahan pada makanan.

2.1.3 Klasifikasi Asma

NANDA NIC-NOC (2015: 65) mengklasifikasikan asma

menjadi dua jenis yaitu:

1. Asma bronkial

Penderita asma bronkial, hipersensitif dan hiperaktif terhadap

rangsangan dari luar seperti debu rumah, bulu binatang, asap, dan

bahan lain penyebab alergi.gejala kemunculannya sangat mendadak,

sehingga gangguan asma bisa datang secara tiba-tiba. Jika tidak

mendapaatkan pertolongan secepatnya, resiko kematian bisa datang.

Gangguan asma bronkial juga bisa muncul lantaran adanya radang

yang mengakibatkan penyempitan saluran pernafasan bagian bawah.

Penyempitan ini akibat berkerutya otot polos saluran pernafasan,

pembengkakan selaput lendir, dan pembentukan timbunan lendir

yang berlebihan.
10

2. Asma kardial

Asma yang timbul akibat adanya kelainan jangtung. Gejala

asma kardial biasanya terjadi pada malam hari, disertai sesak nafas

yang hebat. kejadian ini disebut nokturnal paroxymul dyspnea.

Biasanya terjadi pada penderita yang sedang tidur.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Menurut Digiulio, dkk (2014) manifestasi klinik dari asma adalah

sebagai berikut:

1. Suara ngik-ngik sepanjang siklus pernapasan ketika terjadi inflamasi.

Udara sukar bergerak melalui jaringan napas yang menyempit,

menimbulkan suara.

2. Asimtomatik antara serangan asma. Gejala hilang walaupun tidak ada

inflamasi.

3. Kesulitan bernapas (dyspnea) ketika jaringan napas menyempit karena

inflamasi. Ini secara khas progresif ketika inflamasi berkembang.

4. Frekuensi nafas lebih dari 20 kali per menit (tachypnea) ketika tubuh

berusaha mendapatkan lebih banyak oksigen ke dalam paru-paru untuk

memenuhi kebutuhan fisiologis.

5. Penggunaan otot-otot tambahan untuk bernapas ketika tubuh mencoba

lebih keras untuk mendapatkan lebih banyak udara ke dalam paru-paru.

6. Keketatan di dada terkait dengan penyempitan jalan pernapasan

(bronchoconstriction).
11

7. Takikardia, denyut jantung lebih dari 100, karena tubuh berusaha

mendapatkan lebih banyak oksigen ke jaringan.

2.1.5 Patofisiologi Asma

Peradaan kronis spesifik dimukosa saluran nafas bawah muncul

dipenderita asma. Derajat peradangan kurang berkaitan dengan

keparahan penyakit dan ditemukan pada pasien atopik tanpa gejala

asma. Temuan kas adalah menebalnya membran basal akibat deposisi

kolagen sub epitel. Epitel sering lepas atau rapuh, disertai penurunan

pelekatan ke dinding saluran nafas serta peningkatan jumlah sel epitel

dilumen. Dinding saluran nafas menjadi tebal dan edematosa, terutama

pada asma yang fatal. Oklusi lumen saluran nafas oleh sumbat mukus,

yang terdiri atas gliko protein mukosa yang dikeluarkan oleh sel goblet

dan protein asma dari kebocoran pembuluh bronkus. Peradangan

berkurang oleh pengobatan dengan kortikodteroid inhalasi.

Beberapa riset telah berhasil mengetahui komponen komponen

sel utama pada peradangan namun, masih belum dipastikan bagaimana

sel sel radang berinteraksi dan peradangan berubah menjadi gejala

gejala asma. Terdapat bayak bukti pola spesifik peradangan saluran

nafas pada asma berkaitan dengan hiper responsivitas saluran nafas.

Pola peradangan pada asma adalah kas untuk penyakit alegi, dengan sel

sel radang yang serupa dengan yang ditemukan dimukosa hidung pada

rinitis. Tetapi pada asma intrinsik ditemukan pola peradangan yang


12

tidak dapat dibedakan, hal ini mencerminkan produksi IgE yang bersifat

lokal dari pada sistemik.

Meskipun perubahan perubahan peradangan akut yang terlihat

pada asma, asma sesungguhnya adalah penyakit kronis, dengan

peradangan yang menetap bertahun tahun pada sebagian besar pasien.

Mekanisme dalam menetapnya peradangan pada asma belum diketahui

secara lengkap (Soemantri, 2007).

2.1.6 Komplikasi Asma

Komplikasi pada asma menurut Fajri (2017), yaitu :

1. Asmatikus : adalah suatu keadaan medik lain, bila tidak diatasi

dengan secara cepat dan tepat kemungkinan besar akan terjadi

kegawatan medik yaitu kegagalan nafas.

2. Gagal napas : adalah ketidakmampuan tubuh dalam

mempertahankan tekanan parsial O2 dan atau CO2 didalam

tubuh.

3. Bronkiolitis : adalah infeksi saluran nafas yang menyebabkan

terjadinya radang dan penyumbatan di dalam saluran pernafasan

kecil di dalam paru–paru.

4. Hiposekmia : adalah kondisi kurangnya oksigen di sel dan

jaringan tubuh untuk menjalankan fungsi normalnya.

5. Pneumothoraks : adalah sebuah kondisi dimana terdapat udara

yang mengalir diantara paru–paru dan dinding dada.


13

6. Ephysema : adalah penyakit progresif jangka panjang pada paru–

paru yang umumnya menyebabkan nafas menjadi pendek.

7. Chronic Persistent Bronkhitis : adalah peradangan yang terjadi

pada pipa broncial.

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik Asma

Asma mempunyai gejala khas berupa mengi,dispneu,dan batuk

yang bervariasi secara spontan maupun pengobatan. Gejala lebih buruk

pada malam hari dan pasien biasanya terjaga pada dini hari. Pada

sebagian pasien terjadi peningkatan mukus dan biasanya kental

sehingga sulit dikeluarkan.

Diagnosis asma jelas dari gejala obstruksi saluran nafas yang

bervariasi dan intermiten tetapi perlu dipastikan dengan pengukuran

objektif fungsi paru meliputi :

a. Uji fungsi paru

Spirometri sederhana sudah dapat memastikan keterbatasan aliran

udara berupa penurunan FEV1, rasio FEV1/FVC dan PEF.

b. Resfonsivitas saluran nafas.

Meningkatnya AHR dapat diukur dengan pemberian

metakolin/histamin disertai penghitungan konsentrasi provokatif

yang mengurangi FEV1 sebesar 20%.


14

c. Tes hematologik.

Tes darah jarang diperlukan. IgE serum total dan IgE spesifik

terhadap alergen yang di hirup dapat diukur pada sebagian pasien.

d. Pencitraan.

Foto rogent thoraks tanpak normal tetapi pada pasien dengan sakit

berat ditemukan hiperinflasi paru.

e. Uji kulit.

Uji tusuk kulit (skin prick test) terhadap alergen inhalan umum

positif pada asma alergi dan negative pada asma intrinsik, tetapi

tidak membantu dalam diagnosis, harnya untuk menghindari

alergen.

f. Ekshalasi nitrat oksida.

Ekshalasi NO kini digunakan sebagai test non infasif untuk

mengukur peradangan EO seno filik disaluran nafas.

2.1.8 Penatalaksanaan Asma

Pengobatan Non-Farmologi menurut manurung, (2016) adalah:

1. Pengobatan dan pengendalian gejala asma

2. Mencegah kekambuhan

3. Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin, serta

mempertahankannya.

4. Mengoptimalkan aktivitas harian pada tingkat normal (exercise).

5. Menghindari efek samping obat asma.

6. Mencegah obstruksi jalan nafas yang irreversible.


15

Pengobatan Farmologi

1. Agonis beta: metaproterenol (alupent, metrapel). Bentuknya

aerosol, bekerja sangat cepat diberikan sebnyak 3 – 4 semprot,

dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalah 10 menit.

2. Metilxantin, dosis dewasa diberikan 125 – 200 mg x sehari.

Golongan metilxantin adalah aminofilin dan teofilin. Obat ini

diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang

memuaskan.

3. Kartikosteroid. Jika agonis beta dan metilxantin tidak

memberikan repons yang baik, harus diberikan kartikosteroid.

Steroid dalam bentuk jangka yang lama mempunyai efek

samping, maka klien yang mendapat steroid jangka lama harus

diawasi dengan ketat (Muttaqin, 2014).

2.2 Asuhan keperawatan Asma

2.2.1 Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan.

Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap

berikutnya (Rohmah & Walid, 2016)

1. Identitas pasien/ biodata

Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tanggal lahir,

umur, tempat lahir, asal suku bangsa.


16

2. Pengkajian Primer

a. Airway

Kaji kepatenan jalan napas, observasi adanya lidah jatuh, adanya

benda asing pada jalan napas (bekas muntahan, darah, sekret yang

tertahan), adanya edema pada mulut, faring, laring, disfagia, suara

stidor, gurgling atau wheezing yang menandakan adanya masalah

pada jalan napas.

b. Breathing

Kaji keefektifan pola napas, respiratory rate, abnormalitas

pernapasan, pola napas, bunyi napas tambahan, penggunaan otot

bantu napas, adanya napas cuping hidung, saturasi oksigen.

c. Circulation

Kaji heart rate, tekanan darah, kekuatan nadi, capillary refill,

akral, suhu tubuh, warna kulit, kelembaban kulit, perdarahan

eksternal jika ada.

d. Disability

Berisi pengkajian kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS)

atau AVPU, ukuran dan reaksi pupil.


17

e. Exposure

Berisi pengkajian terhadap suhu serta adanya injury atau kelainan

lain. Atau kondisi lingkungan yang ada di sekitar klien.

3. Pengkajian Sekunder

a. Keadaan/ penampilan umum:

Kesadaran :

Tanda-tanda vital : Tekanan Darah, Nadi, Respirasi, Suhu

b. History (SAMPLE)

1) Subjektif : Berisi keluhan utama yang dirasakan pasien

2) Alergi : Kaji adanya alergi terhadap makanan atau obat –

obatan tertentu.

3) Riwayat penyakit sebelumnya: riwayat penyakit sebelumnya

yang berhubungan dengan sekarang

4) Last Meal : berisi hasil pengkajian makanan atau minuman

terakhir yang dikonsumsi oleh pasien sebelum datang ke IGD

atau kejadian

5) Event Leading :Berisi kronologi kejadian, lamanya gejala

yang dirasakan, penanganan yang telah dilakukan, gejala lain

yang dirasakan, lokasi nyeri atau keluhan lain yang dirasakan


18

4. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum: lemah.

b. Kesadaran: composmetis

c. Tanda-tanda vital:

1) Nadi : takikardi (normalnya 60-100 x/menit)

2) Tekanan darah :hipertensi (normalnya 120/80-140/90 mmhg)

3) Frekuensi pernapasan : takipnea, dispnea progresif, pernafasan

dangkal, penggunaan otot bantu pernafasan.

d. Pemeriksaan dada

Data yang paling menonjol pada pemeriksaan fisik adalah pada

thoraks dan paru-paru

1) Inspeksi : frekuensi irama, kedalaman dan upaya bernafas

antara lain : takipnea, dispnea progresif, pernapasan dangkal.

2) Palpasi : adanya nyeri tekan, masa, peningkatan vokal vremitus

pada daerah yang terkena.

3) Perkusi : pekak terjadi bila terisi cairan pada paru, normalnya

timpani (terisi udara) resonansi.


19

4) Auskultasi : suara pernafasan yang meningkat intensitasnya,

adanya suara mengi (whezing) dan adanya suara pernafasan

tambahanronchi.

2.2.2 Diagnosis

Diagnosis yang sering muncul menurut Manurung (2016) yaitu:

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mukus

dalam jumlah berlebih (00081).

2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi

(00032).

3. Hambatan pertukaran gas berhubungan dengan hiperventilasi

(00030)

4. Defisiensi pengetahuan dengan kurangnya pemaparan informasi

(00126).

2.2.3 Perencanaan/ Intervensi

1. Tujuan: jalan napas kembali efektif.

Kriteria hasil: menunjukkan kepatenan jalan napas dengan bunyi

napas bersih, tidak adanya dispnea, sianosis.

Intervensi:

Monitor pernapasan (3350)

a. Kaji ttv pasien, kaji frekuensi atau kedalaman pernapasan atau

gerakan dada.

b. Auskulasi suara napas.


20

c. Bantu pasien untuk batuk efektif.

Manajemen asma (3210)

d. Berikan O2 dengan nasal kanul untuk memfasilitasi suktion

nasotrakeal.

e. Pemberian nebulixer sesuai indikasi.

2. Tujuan: pola nafas kembali efektif

Kriteria hasil: menunjukkan pola napas efektif dengan frekuensi

dan kedalaman batas normal. Pernapasan normal 16 – 20x/menit.

Intervensi:

Monitor TTV (6680)

a. Monitor TD, Nadi, Suhu, dan RR.

b. Monitor Frekuensi dan Irama Pernafasan.

c. Indikasi Penyebab Perubahan TTV

d. Beri Posisi Tripod

e. Kolaborasi Pemberian O2 sesuai terapi.

3. Tujuan: pertukaran gas kembali normal

Kriteria hasil: Ventilisai adekuat GDA (Gas Darah Arteri) dalam

rentang normal.

Intervensi:

a. Catat frekuensi dan kedalaman pernapasan, penggunaan otot

bantu pernapasan dan napas berat.

b. Auskultasi bunyi paru untuk adanya bunyi napas tambahan.

c. Observasi adanya tanda-tanda sianosis.


21

d. Lakukan tindakan utuk memperbaiki jalan napas.

e. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi pasien.

f. Awasi tanda vital.

g. Kaji tingkat kesadaran.

h. Kaji toleransiterhadap aktivitas.

4. Tujuan: Pengetahuan pasien meningkat atau bertambah.

Kriteria hasil: mengutarakan pemahaman proses penyakit,

melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari

suatu tindakan.

Intervensi:

a. Jelaskan proses penyakit.

b. Instruksikan untuk latihan napas, batuk efektif dan latihan

kondisi umum.

c. Diskusikan obaat-obat pernapasan, efek samping dan reaksi-

reaksi yang tidak diinginkan.

d. Kaji efek bahaya merokok.

e. Diskusikan pentingnya mengikuti perawatan medik

(Menurung, 2016).

2.2.4 Implementasi

Implementasi adalah penatalaksanaan dari rencana intervensi

untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai

setelah rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing orders

untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan dari


22

implementasi adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah

ditetapkan dan mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,

pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping (Nursalam, 2008).

2.2.5 Evaluasi

Evaluasi adalah langkah akhir dari proses keperawatan.

Tugas selama tahap ini termasuk pendokumentasian pernyataan evaluasi

dan revisi rencana asuhan keperawatan dan intervensi. Tujuan evaluasi

adalah untuk menentukan efektivitas asuhan keperawatan untuk

mencegah atau mengobati respons klien terhadap prosedur kesehatan

yang telah diberikan (Nursalam, 2008).

2.3 Konsep Oksigenasi

2.3.1. Definisi Oksigenasi .

Oksigenasi merupakan kebutuhan dasar yang paling vital

dalam kehidupan manusia. Dalam tubuh, oksigen berperan penting di

dalam proses metabolisme sel. Kekurangan oksigen akan berdampak

yang bermakna bagi tubuh, salah satunya kematian. Karenanya,

berbagai upaya perlu dilakukan untuk menjamin agar kebutuhan dasar

ini terpenuhi dengan baik (Mubarak dkk,2008).

Oksigenasi adalah proses penambahan oksigen kedalam

system kimia dan fisika. Oksigen (O2) merupakan gas tidak berwarna

dan tidak berbau yang sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme

sel, sebagai hasilnya terbentuklah karbondioksida, energy dan air.


23

Penambahan karbondioksida yang melebihi batas normal pada tubuh

akan memberikan dampak yang cukup bermakna terhadap aktivitas sel

(Adityana, Rosi,(2012) dalam mubarak dan Chayatin, 2007).

Penelitian oleh Purnajaya, Maryana, dkk (2014) menyatakan

bahwa terapi oksigen menggunakan nasal kanul dapat meningkatkan

konsentrasi oksigen dalam tubuh. Setiap satu liter pemberian terapi

oksigen menggunakan nasal kanul dapat meningkatkan fraksi oksigen

sebesar 4%. Ketepatan pemberian oksigen khususnya dengan alat

bantu nasal kanul diharapkan mampu mempertahankan suplai oksigen

dalam tubuh yang adekuat.

2.3.2. Macam-Macam Terapi Oksigen

1) Nasal Kanul

Nasal kanul tabung plastik yang mempunyai cabang kecil yang

menonjol untuk dimasukkan kedalam lubang hidung. Merupakan peralatan

yang sederhana dan nyaman. Oksigen diberikan dengan kecepatan aliran

dari 2 liter/menit sampai 6 liter/menit. Kecepatan aliran lebih dari 6

liter/menit jarang digunakan karena efek yang ditimbulkannya

menyebabkan mukosa kering dan juga karena jumlah oksigen yang

diberikan sedikit lebih besar.

2) Nasal Kateter

Nasal kateter dapat memberikan konsentrasi lebih tinggi dari nasal

kanul, yaitu 1-5 liter/menit dengan konsentrasi 30%. Masalah yang sering

timbul pada penggunaan nasal kateter adalah pembengkakan laring dan


24

peregangan lambung yang disebabkan oleh udara dan oksigen yang masuk

kedalam lambung.

3) Masker

Pemberian oksigen dengan masker digunakan dengan menutupi

hidung dan mulut. Kelemahan dari alat ini, yaitu dapat menyebabkan

kesulitan untuk makan, minum, dan juga berbicara.

a) Masker oksigen sederhana (simple mask)

Dapat memberikan oksigen konsentrasi 40-60% dengan

kecepatan aliran 6-10 liter/menit (kecepatan kurang dari 5

liter/menit dapat menyebabkan tertahannya CO2 di ruang vakum

masker).

b) Masker rebreathing (rebreathing mask)

Digunakan untuk oksigen dengan konsentrasi 40-60% pada

kecepatan aliran 8-12 liter/menit. Terdapat kantung reservoir untuk

menampung bagian pertama udara yang keluar. Udara ini adalah

oksigen yang bercampur dengan 100% oksigen lagi untuk

penarikan napas berikutnya. Pemakaian masker ini memungkinkan

penghematan penggunaan oksigen.

c) Masker non-rebreathing (non-rebreathing mask)

Memberikan oksigen berkonsentrasi 60-90% pada

kecepatan aliran 6-15 liter/menit. Kantung persediaan diisi dengan

oksigen yang masuk ke dalam masker saat menarik napas.

d) Masker ventury (ventury mask)


25

Memberikan oksigen dengan kepekatan sampai 40%.

Memberikan pengaruh mendinginkan yang dihasilkan dari aliran zat

asam yang lebih tinggi dari udara luar, sehingga memberikan rasa

nyaman.

2.3.3 Tujuan pemberian oksigen.

a. Memenuhi kebutuhan oksigen pada tubuh.

b. Mencegah atau mengatasi hipoksia.

2.4 Posisi tripod

2.4.1 Definisi Posisi Tripod

Gambar 2.1 Posisi Tripod

Posisi tripod adalah posisi klien diatas tempat tidur yang

bertompang di atas overbed table (yang dinaikkan dengan ketinggian yang

sesuai) dan bertumpu pada kedua tangan dengan posisi kaki ditekuk

kearah dalam. (Kozeir & Erb., 2009).


26

2.4.2 Manfaat Posisi Tripod

Manfaat dari posisi tripod menurut Nurmalasari, Sri, Syamsul

(2016) adalah dapat mempertahankan saturasi oksigen, karena posisi

tripod memungkinkan otot diafragma dan otot interkosta eksternal

meningkat sehingga oksigen yang diperoleh lebih banyak.

2.4.3 Indikasi Posisi Tripod

Menurut Nurmalasari, Sri, Syamsul (2016) posisi tripod dapat

dilakukan pada pasien dengan indikasi gangguan pernafasan atau sesak

nafas dan pasien dengan penurunan saturasi oksigen.

2.4.4 Prosedur Tindakan

Menurut KNGF (2008) prosedur tindakan posisi tripod adalah

sebagai berikut :

1. Fase orientasi

a. Memberi salam

b. Memperkenalkan diri

c. Menjelaskan tujuan tindakan

d. Menjelaskan langkah prosedur

e. Menjelaskan kesiapan klien

2. Fase kerja

a. Menghitung saturasi oksigen (SaO2) pasien

b. Merilekskan pasien

c. Mempersiapkan pasien duduk ditempat tidur dengan

punggung membungkuk ke depan membentuk sudut 135o


27

d. Kepala disangga atau diletakkan diatas meja atau bantal

e. Lengan ditopang kepala atau lengan ditompang paha

f. Posisi ini dipertahankan selama 10 menit pertama

g. Posisi dilanjutkan 30 menit setelah jeda 5 menit dari tahap

posisi pertama

h. Pasien diposisikan rileks

3. Fase terminasi

a. Melakukan evaluasi dan menghitung saturasi oksigen

(SaO2) pasien

b. Menyampaikan RTL

c. Berpamitan

d. Dokumentasi
28

2.5 Kerangka Teori

Faktor penyebab

Hipersensitif saluran pernafasan

Reaksi antigen antibodi

Pelepasan mediator-mediator kimia, seperti: Histamin, Slow

Releasing Subtance of Anaphylaksis (SRS-A), Eosinophylie

Chemocetick factor of Anaphylaksis (ECT-A) dan lain-lain.

Kontriksi otot polos Peningkatan Peningkatan sekresi


Pada saluran nafas Permeabilitas kapiler kelenjar mukosa

Bronkhospasme Endema mukosa Peningkatan


Saluran nafas sekresi mukus

ASMA kurang
Pengetahuan

Kesulitan dalam Penumpukan sekret Kelemahan


Bernafas di jalan nafas

Sesak nafas Hiperventilasi Batuk Intoleransi Ansietas


aktivitas

Pola nafas Kerusakan Bersihan jalan


tidak efektif pertukaran gas nafas Tidak efektif

Gambar 2.2 Kerangka Teori

Sumber: Brunner & Suddarth (2013)


29

2.6 Kerangka Konsep

Pemenuhan kebutuhan Pemberian tehnik


oksigenasi posisi tripod

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Anda mungkin juga menyukai