I. KONSEP PENYAKIT
A. Pengertian
Kolelitiasis atau koledokolitiasis merupakan adanya batu di kandung
empedu, atau pada saluran kandung empedu yang pada umumnya komposisi
utamanya adalah kolesterol. (William, 2003)
Kolelitiasis (kalkulus/kalkuli, batu empedu) biasanya terbentuk dalam
kandung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu;
batu empedu memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi.
(Smeltzer, 2002)
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu
empedu digolongkan atas 3 golongan, yaitu:
1. Batu kolesterol; berbentuk oval, multifocal atau mulberry dan
mengandung lebih dari 70% kolesterol.
2. Batu kalsium billirubinan (pigmen coklat); berwarna coklat atau coklat
tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium bilirubinat
sebagai komponen utama.
3. Batu pigmen hitam; berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak
berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak
terekstraksi.
B. Etiologi
Penyebab pasti dari kolelitiasis atau kaledokolitiasis atau batu empedu
belum diketahui. Satu teori menyatakan bahwa kolesterol dapat menyebabkan
supersaturasi empedu di kandung empedu. Setelah beberapa lama, empedu
yang telah mengalami supersaturasi menjadi mengkristal dan membentuk
batu. Tipe lain batu empedu adalah batu pigmen. Batu pigmen tersusun oleh
kalsium bilirubin, yang terjadi ketika bilirubin bebas berkombinasi dengan
kalsium. (Williams, 2003)
C. Patofisiologi
Batu pigmen, kemungkinan akan terbentuk bila pigmen yang tak
terkonyugasi dalam empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga
terjadi batu. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan
jalan operasi.
Batu kolesterol, kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk
empedu bersifat tidak larut dalam air.kelarutannya bergantung pada asam-
asam empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pada pasien yang
cenderung menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesisi asam
empedu dan peningkatan sintesis kolesterol dalam hati; keadaan ini
menyebabkan supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang kemudian
keluar dari getah empedu dan membentuk batu. Getah empedu yang jenuh
oleh kolesterol merupakan predisposisi untuk timbulnya batu empedu dan
berperan sebagai iritan yang menyebabkan peradangan dalam kandung
empedu.
E. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
2. Pemeriksaan radiologis
a. Radiologi Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral
sebagai prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada
penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG
tidak membuat pasien terpajan radiasi inisasi. Prosedur ini akan
memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada
malam harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadan
distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara
yang dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli
dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang mengalami
dilatasi.
b. Radiografi: Kolesistografi Kolesistografi digunakan bila USG tidak
tersedia atau bila hasil USG meragukan. Kolangiografi oral dapat
dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemampuan
kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya,
berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi tidak
digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan
media kontras ke kandung empedu yang mengalami
obstruksi.(Smeltzer, 2002)
c. Sonogram Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah
dinding kandung empedu telah menebal.(Williams, 2003)
d. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung
yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini
meliputi insersi endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus
hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula
dimasukan ke dalam duktus koleduktus serta duktus pankreatikus,
kemudian bahan kontras disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk
menentukan keberadaan batu di duktus dan memungkinkan
visualisassi serta evaluasi percabangan bilier.(Smeltzer, 2002)
e. Foto polos abdomen
F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan non bedah
a. Penatalaksanaan pendukung dan diet.
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung
empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan
nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda
sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk.(Smeltzer, 2002)
Manajemen terapi :
Ø Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
Ø Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
Ø Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
Ø Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk
mengatasi syok.
Ø Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
b. Farmakoterapi.
Obat-obatan yang digunakan untuk penderita batu empedu
biasanya adalah asam ursodeoksilat (urdafalk) dan kenodioksilat
(chenodiol dan chenofalk), yang digunakan untuk melarutkan batu
empedu yang berukuran kecil dan terutama tersusun oleh kolesterol.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis kolesterol dalam
hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu
yang sudah ada dapat dikurangi besarnya, batu yang kecil dilarutkan
dan batu yang baru dicegah.
c. Pengangkatan batu empedu tanpa pembedahan.
Pelarutan batu empedu. Pelarutan batu empedu dengan bahan
pelarut (misal : monooktanoin atau metil tertier butil eter/MTBE)
dengan melalui jalur : melalui selang atau kateter yang dipasang
perkutan langsung kedalam kandung empedu; melalui selang atau
drain yang dimasukkan melalui saluran T Tube untuk melarutkan
batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui
endoskop ERCP; atau kateter bilier transnasal.
Pengangkatan non bedah. Beberapa metode non bedah digunakan
untuk mengeluarkan batu yang belum terangkat pada saat
kolisistektomi atau yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur
pertama sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang
padanya disisipkan lewat saluran T Tube atau lewat fistula yang
terbentuk pada saat insersi T Tube; jaring digunakan untuk
memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus
koledokus. Prosedur kedua adalah penggunaan endoskop ERCP.
Setelah endoskop terpasang, alat pemotong dimasukkan lewat
endoskop tersebut ke dalam ampula Vater dari duktus koledokus.
ESWL (Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy). Prosedur
noninvasiv ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated
Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung
empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah batu
tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen.(Smeltzer, 2002)
2. Penatalaksanaan bedah
a. Kolesistektomi
b. Minikolesistektomi
c. Kolesistektomi laparoskopi (atau endoskopik)
d. Koledoskomi
e. Bedah kolesistostomi
f. Kolesistostomi perkutan
G. Komplikasi
1. Kolistitis obstruksi pada duktus sistikus atau koleduktus.
2. Peritonitis
3. Rupture dinding kandung kemih
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Nama
b. Umur
c. Jenis
d. Alamat
e. Pendidikan/pekerjaan
f. Penanggungjawab pasien
2. Keluhan utama: (pasien dengan kolesistitis merasakan nyeri pada perut
kanan pada bagian atas)
3. Riwayat Kesehatan
a. Kesehatan masa lalu (anamnesa pada pengkajian apakah klien pernah
dirawat di Rumah Sakit atau riwayat penyakit yang pernah diderita
pada masa lalu, penah mengalami kolesistitis sebelumnya.
b. Kesehatan sekarang (merasakan nyeri pada perut kanan pada bagian
atas, mual muntah, terjadi ikterus, regusitasi gas; sendawa dan flatus)
c. Kesehatan keluarga (Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis
mempunyai resiko lebih besar dibandingn dengan tanpa riwayat
keluarga)
4. Riwayat pemenuhan bio-psiko-sosial
a. Aktivitas dan istirahat:
1) subyektif : kelemahan
2) Obyektif : kelelahan, gelisah
b. Sirkulasi :
1) Obyektif : Takikardia, Diaphoresis
c. Eliminasi :
1) Subektif : Perubahan pada warna urine dan feces
2) Obyektif : Distensi abdomen, teraba massa di abdomen
atas/quadran kanan atas, urine pekat .
d. Makan / minum (cairan)
1) Subyektif : Anoreksia, Nausea/vomit.
a) Tidak ada toleransi makanan lunak dan mengandung gas.
b) Regurgitasi ulang, eruption, flatunasi.
c) Rasa seperti terbakar pada epigastrik (heart burn).
d) Ada peristaltik, kembung dan dyspepsia.
2) Obyektif :
a) Kegemukan.
b) Kehilangan berat badan (kurus).
e. Nyeri/ Kenyamanan :
1) Subyektif :
a) Nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu.
b) Nyeri apigastrium setelah makan.
c) Nyeri tiba-tiba dan mencapai puncak setelah 30 menit.
2) Obyektif : Cenderung teraba lembut pada kolelitiasis, teraba otot
meregang /kaku hal ini dilakukan pada pemeriksaan RUQ dan
menunjukan tanda marfin (+).
f. Respirasi :
1) Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal,
rasa tak nyaman.
g. Keamanan :
1) Obyektif : demam menggigil, Jundice, kulit kering dan pruritus,
cenderung perdarahan (defisiensi Vit K ).
B. Diagnose Keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan respons inflamasi billier, kerusakan
jaringan lunak pasca bedah.
2) Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nyeri pasca
kolisistektomi ada saat ekpansi paru.
3) Keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake makanan yang kurang adekuat.
C. Intervensi
Post operatif
Dx 1 : Nyeri berhubungan dengan respons inflamasi billier, kerusakan
jaringan lunak pasca bedah.
Tujuan ; dalam waktu 3 jam pasca-Intervensi nonbedah dan 7 x 24 jam
pasca bedah nyeri berkurang atau teradaptasi.
Kriteria Evaluasi :
Secara subjektif pernyataan nyeri berkurang atau teradaptasi
Skala nyeri 0-1 (0-4)
TTV dalam batas normal, wajah pasien Relaks.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu pasien Pendekatan dengan menggunakan
dengan tindakan pereda relaksasi dan nonfarmakologi
nyeri non farmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan
dan non invasive dalam mengurangi nyeri
Lakukan manajemen Manajemen nyeri merupakan kunci dari
nyeri keperawatan pada penatalaksanaan pasien pasca bedah.
pasien tanpa intervensi
bedah, meliputi :
Kaji nyeri pada Pendekatan PQRST
pendekatan PQRST dapat secara komperhensif menggali
nyeri pasien
Berikan posisi fowler Posisi fowler menurunkan tekanan-
tekanan intra abdominal
.
Kompres hangat pada area Efek dilatasi dinding empedu
abdomen kanan atas memberikan respon spasme akam
menurun.
Kriteria hasil :
Laporan secar subjektif tidak sesak nafas bila bernafas optimal
tanpa disertai nyeri pada insisi lika.
RR dalam batas 16-20x/menit
Pemeriksaan gas arteri.
Kadar elektrolit normal.
Intervensi Rasional
Kolaborasi :
Nurafif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. (2013). Aplikasi Ashuan Keperawatan
Berdasarkan Diagnose Medis dan Nanda Nic Noc. Jakarta: Mediaction
Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G. Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical
Bedah Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC