Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMATIC BRAIN INJURY

I. KONSEP DASAR MEDIS


A. Defenisi
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi, 2010).
Cedera kepala adalah trauma yang mengenai kulit kepala, tengkorak,
dan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus
(Brunner & Suddarth, 2013 )
Cedera kepala merupakan adaya pukulan/benturan mendadak pada
kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Traumatik yang terjadi
pada otak yang mampu menghasilkan perubahan pada phisik, intelektual,
emosional, sosial, dan vocational (Susan Martin, 2011)
Trauma atau cedera kepala (brain injury) adalah salah satu bentuk
trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan
keseimbangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan atau
dapat dikatakan sebagai bagian dari gangguan traumatik yang dapat
menimbulkan perubahan – perubahan fungsi otak (black, 2014)
Menurut konsensus perdosi (2015), cedera kepala yang sinonimnya
adalah trauma kapitis = head injury = trauma kranioserebral = traumatic
brain injury merupakan trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat
temporer maupun permanen

B. Etiologi
a. Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal.
Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom serebral,
kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi)
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk :
cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,
hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera
menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.
c. Etiologi lainnya :
1) Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda,
dan mobil.
2) Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3) Cedera akibat kekerasan
C. Klasifikasi
1. Menurut Jenis Cedera dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Cedera Kepala terbuka
Dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan
otak
b. Cedera kepala tertutup
Dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan oedem
serebral yang luas
2. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glow Coma Scale)
a. Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)
1) GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif
2) Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
3) Tak ada fraktur tengkorak
4) Tak ada contusio serebral (hematom)
5) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
6) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
7) Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit
kepala
8) Tidak adanya criteria cedera sedang-berat
b. Cedera kepala sedang
1) GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
2) Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam
(konkusi)
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak
4) Amnesia pasca trauma
5) Muntah
6) Kejang
c. Cedera kepala berat
1) GCS 3-8 (koma)
2) Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran
progresif)
3) Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracrania
4) Tanda neurologist fokal
5) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium
3. Kerusakan Pada Bagian Otak Tertentu
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya
akan mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku
seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggung
jawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera
menentukan jenis kelainan yang terjadi.
a. Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan
keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau
mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah
dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis
bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh
yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis
bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik
yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi
otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata,
meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang
mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan
apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas
yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis
menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan
yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam; penderita
mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.
b. Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari
bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah
kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini.
Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di
sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan
kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada
sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa
menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian
pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan
arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita
dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau
bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya
dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding).
c. Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi
dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus
temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan
memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur
emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan
menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari
dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang
non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak
suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif
dan kehilangan gairah seksual.
4. Cedera Spesifik Otak Kepala
a. Fraktur Tengkorak
Fraktur Linear : Kekuatan benturan lebih luas area tengkorak
Fraktur Basiler: Pada dasar tengkorak atau pada tulang sepanjang
bagian Frontal atau tempora. Fraktur ini cukup serius karena
menimbulkan kontak antara CSS dan dunia luar melalui ruang
subarachnoid dan sinus yang mengandung udara dari wajah atau
tengkorak, memungkinkan bakteri masuk & mengisi drainase
sinus. Fraktur ini bisa melukai arteri dan vena yang kemudian
mengalirkan drahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak.
Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek meningens (selaput
otak). Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan
meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga.
b. Geger Serebral (Contusio)
Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang
biasanya disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala.
Robekan otak adalah robekan pada jaringan otak, yang seringkali
disertai oleh luka di kepala yang nyata dan patah tulang tengkorak.
Hal ini menandakan terjadinya perdarahan pada otak yang dapat
menimbulkan pembengkakan Bakteri ringan dari cedera otak
menyebar, disfungsi neurologis bersifat sementara dapat pulih.
Disorientasi dan bingung sesaat dengan gejala sakit kepala, tak
mampu konsentrasi gangguan memori sementara pusing, peka
omnesia retrograde. Jika terjadi pembengkakan pada otak, maka
bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak;
pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak.
c. Memar / Laserasi cerebral (Komosio)
Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi
neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Umumnya meliputi
sebuah periode tidak sadarkan diri dalam beberapa detik sampai
beberapa menit. Jika jaringan otak di lobus frontal terkena, pasien
dapat menunjukkan perilaku irasional yang aneh, dimana
keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia atau
disorientasi. Komosio cerebral ini merupakan memar pada
permukaan otak yang terdiri dari area hemoragi kecil-kecil yang
tersebar, gejala bersifat neorologis fokal, dapat berlangsung 2-3
hari setelah cedera dan menimbulkan disfungsi luas akibat dari
peningkatan edema serebral. Pada scan tomografi terlihat masa dan
menimbulkan perubahan TIK dengan jelas. Tindakan terhadap
komosio meliputi mengobservasi pasien terhadap adanya sakit
kepala, pusing, peka rangsang, dan ansietas (sindrom pasca-
komosio), yang dapat mengikuti tipe cedera. Dengan memberi
pasien informasi, penjelasan, dan dukungan pada pasien dapat
mengurangi beberapa masalah sindrom pasca - komosio.
d. Hematom Epidural
Adalah suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak
bagian dalam dan lapangan meningens paling luar (dura), terjadi
karena robekan cabang kecil arteri meningeal tengah atau frontal.
Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri.
Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih
cepat memancar. Tanda dan gejala berupa sakit kepala hebat yang
bias segera timbul tetapi bias juga muncul beberapa jam setelah
cedera dengan intensitas nyeri tidak tetap, penurunan kesadaran
ringan, diikuti periode lucid, kemudian penurunan neurologi dari
kacau mental sampai coma, bentuk dekortikasi & deserebrasi, pupil
isokor sampai anisokor. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya
tergantung kepada CT scan darurat. Hematoma epidural diatasi
sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang
tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan
pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
e. Hematoma Subdural
Adalah akumulasi darah dibawah lapangan meningeal duramater
diatas lapangan arakhnoid yang menutupi otak. Penyebabnya
robekan permukaan dan lebih sering pada lansia dan alkoholik
gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang disfasia.
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling
otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera
kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera
kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural pada bayi bisa
menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya
masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada
dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang
besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan.
D. Patofisiologi
Dalam keadaan normal otak mempunyai kemampuan melakukan
autoregulasi aliran darah serebral dan menjamin aliran daerah konstan
melalui pembuluh darah serebral. Faktor-faktor ini dapat mengubah
kemampuan pembuluh serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi serta
mengganggu autoregulasi diantaranya trauma otak, iskemia dan hipoxia,
pada klien dengan kerusakan autoregulasi. Aktivitas yang dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah serebral juga dapat meningkatkan
TIK. Tekanan Intra Kranial (TIK) merupakan tekanan yang dikeluarkan
oleh kombinas dari 3 komplemen intrakranial yaitu jaringan otak, CSS dan
darah. Hipotesa monro kellie mengatakan volume intrakranial sama
dengan volume otak ditambah volume darah serebral dan CSS, dimana
tiap perubahan volume dari tiap-tiap komponan karena gangguan kranial
dapat menyebabkan peningkatan TIK.
Peningkatan TIK mengarah pada timbulnya iskemia, kekakuan otak dan
kemungkinan herniasi. Peningkatan TIK berkembang pada hampir semua
klien dengan lesi intra kranial setelah mengalmi cedera kepala. Pada
semua klien dengan cedera kepala bera, peningkatan TIK yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan kematian. Defisit Nerurologik pada cedera
kepala dimulai dengan adanya trauma pada otak yang dapat menyebkan
fragmentasi jaringan dna contusio, merusakn sawar otak, diserbtai
vasodilatasi dan eksudasi jaringan sehingga timbul edema yang dapat
menyebabkan peningkatan TIK. Keadaan ini dapat menurunkan aliran
daerah serebral, iskemia, hipoksia, asidosis dan kerusakan sawar darah
otak lebih lanjut dan terjadi kematian sel-sel otak dan edema bertambah
positif. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala
meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan
disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol
akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
E. Manifestasi Klinis
1. Konfusi
2. Abnormalitas pupil
3. Piwitan tiba-tiba defisit neurologis
4. Perubahan TTV
5. Gangguan pergerakan
6. Gangguan penglihatan dan pendengaran
7. Disfungsi sensori
8. Kejang otot
9. Sakit kepala
10. Vertigo
11. Kejang
12. Pucat
13. Mual dan muntah
14. Terdapat hematoma
15. Kecemasan
16. Sukar untuk dibangunkan
17. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari
hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang
temporal.
F. Komplikasi
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi
beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di
kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah
terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang
mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan
pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala. Obat-
obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat)
biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut
sering diberikan kepada seseorang yang mengalami cedera kepala yang
serius, untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini seringkali
berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.
2. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa
karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak
mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang
mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan
bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun
dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan
mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang
memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang
terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis
atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang
mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosis
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan
merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan
peran atau fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat
mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda-
benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat
melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya
adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana
ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia
seringkali terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala atau stroke.
Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan
secara spontan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk
mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah
lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti.
Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa
yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd)
atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan
(amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung selama beberapa
menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan
akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat,
amnesi bisa bersifat menetap.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali
dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus
parietalis dan lobus temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap
merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang, yang terjadi
secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu kali
seumur hidup, atau bisa juga berulang. Alkoholik dan penderita
kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut
sindroma Wernicke-Korsakoff. Sindroma ini terdiri dari kebingungan
akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang berlangsung lama.
Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke.
Amnesia Korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat,
cardiac arrest atau ensefalitis akut.
6. Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat
timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
7. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien
mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan
hipernatremia dan deplesi volum.
8. Kebocoran cairan serebrospinal
Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 %
pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan
dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase
lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki
risiko meningitis yang meningkat, pemberian antibiotic profilaksis
masih controversial. Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang
menetap atau meningitis berulang merupakan indikasi untuk reparative.
9. Edema serebral dan herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi 72
Jam setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak
teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan
dikranium dikompensasi oleh tertekannya venosus & cairan otak
bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran darah
otak menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema
otak. Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial dan menimbulkan
herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer otak kebawah / lateral dan
menekan di enchephalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor,
arteri otak posterior, saraf oculomotor, jalur saraf corticospinal, serabut
RES. Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi dan pengatur akan
gagal.
10. Defisit Neurologis dan Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran,
Nyeri kepala hebat, Mual / muntah proyektil (tanda dari
peningkatanTIK)
G. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI :Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
3. Cerebral Angiography : Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti
: perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
4. Serial EEG :Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray :Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER : Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET : Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Punksi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial.
11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
H. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala
adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.

II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1. Primer
a. Airway : Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan
jalan napas.
b. Breathing : Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman
pernapasan, irama pernapasan, tarikan dinding dada, penggunaan
otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung.
c. Circulation : Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan,
kapiler refill.
d. Disability : Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
Tingkat Kesadaran Kualitatif dengan :
1) CMC
Reaksi segera dengan orientasi sempurna, sadar akan sekeliling
, orientasi baik terhadap orang tempat dan waktu.
2) Apatis
Terlihat mengantuk saat terbangun klien terlihat acuh tidak
acuh terhadap lingkungannya.
3) Confuse
Klien tampak bingung, respon psikologis agak lambat.
4) Samnolen
Dapat dibangunkan jika rangsangan nyeri cukup kuat, bila
rangsangan hilang, klien tidur lagi.
5) Soporous Coma
Keadaan tidak sadar menyerupai koma, respon terhadap nyeri
masih ada, biasanya inkontinensia urine, belum ada gerakan
motorik sempurna.
6) Koma
Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan rangsangan.
2. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa
penyebab nyeri/cedera: Peluru kecepatan tinggi? Objek yang
membentuk kepala ? Jatuh ? Darimana arah dan kekuatan pukulan?
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya,
atau kejang/ tidak. Apakah ada penyakti sistemik seperti DM,
penyakit jantung dan pernapasan. Apakah klien dilahirkan secara
forcep/ vakum. Apakah pernah mengalami gangguan sensorik atau
gangguan neurologis sebelumnya. Jika pernah kecelakaan
bagimana penyembuhannya. Bagaimana asupan nutrisi.
c. Riwayat Keluarga
Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia,
penyakit sistemis seperti DM, hipertensi, penyakti degeneratif
lainnya
3. Pengkajian Head To Toe
a. Pemeriksaan kulit dan rambut
Kaji nilai warna, turgor, tekstur dari kulit dan rambut pasien
b. Pemeriksaan kepala dan leher
Pemeriksaan mulai dari kepala, mata, hidung, telinga, mulut dan
leher. Kaji kesimetrisan, edema, lesi, maupun gangguan pada
indera. Pada penderita stroke biasanya terjadi gangguan pada
penglihatan maupun pembicaraan
c. Pemeriksaan dada
1) Paru-paru
Inspeksi : kesimetrisan, gerak napas
Palpasi : kesimetrisan taktil fremitus
Perkusi : suara paru (pekak, redup, sono, hipersonor,
timpani)
2) Jantung
Inspeksi : amati iktus cordis
Palpalsi : raba letak iktus cordis
Perkusi : batas-batas jantung
Batas normal jantung yaitu Kanan atas: SIC II RSB, kiri atas:
SIC II LSB, kanan bawah: SIC IV RSB, kiri bawah: SIC V
medial 2 MCS
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : keadaan kulit, besar dan bentuk abdomen, gerakan
Palpasi : hati, limpha teraba/tidak, adanya nyeri tekan
Perkusi : suara peristaltic usus
Auskultasi : frekuensi bising usus
e. Pemeriksaan ekstremitas
Kaji warna kulit, edema, kemampuan gerakan dan adanya alat
bantu.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
peningktan intrakranial
2. Peningkatan tekanan itntrakranial berhubungan dengan penumpukan
cairan/ darah di dalam otak
3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
adanya penumpukan sekresi di mulut dan tenggorokan
4. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan pola
pernafasan di medula oblongata
5. Nyeri akut berhubungan dengan cedera pada kepala
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan berhubungan dengan
immobisasi
7. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan terpasangnya
tracheostomi tube
8. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik dan tirah
baring
C. Intervensi Keperawatan
Rencana Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
Tujuan Dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi Keperawatan (NIC)

1 Penurunan kapasitas adaptif NOC NIC


berhubungan dengan peningktan Tujuan : Setelah dilakukan intervensi Manajemen Sensasi perifer (2660)
intrakranial keperawatan selama 3 x 24 jam, perfusi
1. Kaji tingkat kesadaran dan respon.
jarin perifer dapat teratasi
2. Ukur vital sign, status neurologis.
Kriteria Hasil :
3. Monitor tanda-tanda kenaikan tekanan
a. Tekanan darah sistolik dalam rentang
intrakranial seperti iritabilitas, tangis
yang diharapkan
melengking, sakit kepala, mual muntah.
b. Tekanan darah diastolik dalam rentang
4. Ukur lingkar kepala dengan meteran/
yang diharapkan
midline.
c. Edema perifer tidak ada
5. Lakukan terapi auditori dan stimuli taktil
d. Nekrosis tidak ada
6. Monitor sensasi tumpul atau tajamatau
panas dan dingin yang dirasakan pasien
7. Instruksikan pasien dan keluarga untuk
menjaga posisi tubuh ketika sedang
mandi, duduk, berbaring atau merubah
posisi
8. Gunakan alat yang dapat mengurangi
penekanan yang sesuai
9. Immobilisasi kepala, leher, dan punggung
yang tepat
10. Berikan obat analgetik, kortikosteoid,
antikonvulsan atau anastesi lokal sesuai
kebutuhan

2 Peningkatan tekanan Tujuan : Setelah dilakukan intervensi 1. Pantau tanda dan gejala peningkatan TIK
itntrakranial berhubungan keperawatan selama 3 x 24 jam, 2. Kaji respon membuka mata, respon
dengan penumpukan cairan/ peningkatan intrakranial dapat teratasi motorik, dan respon verbal
darah di dalam otak Kritria Hasil : 3. Kaji perubahan tanda- tanda vital
a. Kesadaran stabil (orientasi baik) 4. Kaji respon pupil
b. Pupil isokor, diameter 1mm 5. Catat gejala dan tanda- tanda muntah
c. Refleks baik 6. Tinggikan kepala 30- 40 derajat jika tidak
d. Tidak mual dan muntah ada kontraindikasi
7. Ajarkan klien untuk ekspirasi
8. Pertahankan lingkungan yang tenang
9. Pertahankan ventilasi optimal melalui
posisi yang sesuai dengan pengisapan
yang teratur
3 Ketidakefektifan bersihan jalan Tujuan : Setelah dilakukan intervensi Pengisapan Lendir Pada Jalan Nafas
nafas tidak efektif berhubungan keperawatan selama 3 x 24 jam, bersihan 1. Lakukan tindakan cuci tangan
dengan adanya penumpukan jalan nafas dapat teratasi 2. Gunakan alat pelindung diri
sekresi di mulut dan Kriteria Hasil : 3. Tentukan perlunya suksion mulut dan
tenggorokan a. Frekuensi pernafasan dalam kisaran trakea
normal 4. Instruksikan kepada pasien untuk menarik
(16- 20x/ mnt) nafas dalam sebelum dilakukan suction
b. Irama pernafasan dalam kisaran nasotracheal dan gunakan oksigen ssuai
normal kebutuhan
c. Kemampuan dalam mengeluarkan 5. Monitor dan catat warna , jumlah dan
sekret konsistensi sekret
d. Akumulasi sputum tidak ada
4 Ketidakefektifan pola nafas Tujuan : Setelah dilakukan intervensi Monitor Pernafasan
berhubungan dengan kerusakan keperawatan selama 3 x 24 jam, bersihan 1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan
pola pernafasan di medula jalan nafas dapat teratasi kesulitan bernafas
oblongata Kriteria Hasil : 2. Catat pergerakan dada, catat
a. Frekuensi pernafasan dalam kisaran ketidaksimetrisan, penggunaan otot- otot
normal nafas dan retraksi pada otot
b. Irama pernafasan dalam kisaran 3. Monitor suara nafas tambahan
normal 4. Monitor pola nafas
c. Penggunaan otot bantu nafas tidak ada 5. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
d. Suara perkusi nafas tidak ada 6. Auskultasi suara nafas setelah tindakan
e. Tidak terjadi dispnea 7. Berikan bantuan terapi nafas jika
diperlukan
5 Nyeri akut berhubungan dengan Tujuan : Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri :
cedera pada kepala keperawatan selama 3 x 24 jam, klien 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
mampu mengontrol nyeri, nyeri berkurang komprehensif termasuk lokasi,
dan tingkat kenyamanan meningkat. karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
Kriteria Hasil : dan ontro presipitasi.
a. Klien dapat melaporkan nyeri, 2. Observasi reaksi nonverbal dari
frekuensi nyeri, ekspresi wajah, dan ketidaknyamanan.
menyatakan kenyamanan fisik dan 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik
psikologis. 4. Kontrol lingkungan yang mempengaruhi
b. Skala Nyeri 2 NRS nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan,
c. TD : 120/80 mmHg, kebisingan.
N : 60-100x/menit 5. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
S : 36-36,5°C, (farmakologis/non farmakologis).
P : 16-20x/menit 6. Ajarkan teknik non farmakologis
(relaksasi, distraksi dll)
7. Evaluasi tindakan pengurangan
nyeri/kontrol nyeri
8. Penatalaksanaan dalam pemberian
analgetik.
6 Kerusakan integritas kulit Tujuan : Setelah dilakukan intervensi Perawatan Luka
berhubungan berhubungan keperawatan selama 3 x 24 jam, 1. Monitor karakteristik luka, termasuk
dengan immobisasi kerusakan integritas kulit dapat teratasi drainas, warna, ukuran, dan bau
Kriteria Hasil : 2. Ukur luas luka, yang sesuai
a. Suhu kulit tidak terganggu 3. Bersihkan dengan normal saline atau
b. Pigmentasi abnormal tidak ada pembersih yang tidak beracun, dengan
c. Nekrosis tidak ada tepat
d. Pengelupasan kulit tidak ada 4. Berikan perawatan ulkus pada kulit, yang
e. Tidak terjadi kanker kulit diperlukan
5. Oleskan salep yang sesuai dengan kulit
6. Berikan balutan yang sesuai dengan jenis
luka
7. Pertahankan teknik balutan steril ketika
melakukan perawatan luka dengan tepat
8. Anjurkan pasien atau anggota keluarga
untuk mengenal tanda dan gejala infeksi
9. Dokumentasikan lokasi luka, ukuran dan
tampilan
7 Hambatan komunikasi verbal Tujuan : Setelah dilakukan intervensi Peningkatan Komunikasi
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam, hambatan 1. Monitor kecepatan bicara, tekanan,
terpasangnya tracheostomi tube komunikasi verbal dapat teratasi kecepatan, volume
Kriteria Hasil : 2. Monitor proses kognitif, anatomis dan
a. Menggunakan bahas tertulis tidak fisiologi terkait dengan kemampuan
terganggu berbicara
b. Interpretasi akurat terhadap pesan yang 3. Monitor pasien terkait dengan perasaan
diterima frustasi, kemarahan, depresi, karena
c. Menggunakan bahasa non verbal tidak adanya gannguan komunikasi
terganggu 4. Sediakan metode alternatif untuk
d. Pertukaran pesan yang akurat dengan berkomunikasi dengan berbicara
orang lain 5. Instruksikan pasien untuk bicara pelan
6. Modifikasi lingkungan untuk bisa
meminimalkan kebisingan lingkungan
8 Defisit perawatan diri Tujuan : Setelah dilakukan intervensi Bantuan Perawatan Diri : Mandi/
berhubungan dengan kelemahan keperawatan selama 3 x 24 jam, defisit Kebersihan
fisik dan tirah baring perawatan diri dapat teratasi 1. Pertimbangkan budaya pasien saat
Kriteria hasil : mempromosikan aktivitas perawatan diri
a. Mempertahankan kebersihan mulut 2. Sedikan lingkungan yang terapeutik
b. Mempertahankan kebersihan tubuh dengan memastikan kehangatan, privasi
c. Mempertahankan penampilan yang sesuai kebutuhan
rapi 3. Letakkan handuk, sabun, deodoran dan
asesoris yang diperlukan sisi tempat tidur
atau kamar mandi
4. Fasilitasi pasien untuk menggosok gigi
dengan tepat
5. Dukung orang tua/ keluarga berpartisipasi
dalam melakukan kebersihan diri pasien
6. Berikan bantuan sampai pasien benar-
benar mampu merawat diri secara mandiri
D. Implementasi keperawatan
Pelaksanaan implementasi dilakukan dan sesuai dengan intervensi
yang ada. Adapun kalau dalam pelaksanaan implementasi ada diagnosa
keperawatan yang belum berhasil maka akan ditindaklanjuti sesuai
dengan perkembangan klien.

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari proses
keperawatan dengan cara menilai sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak.
Dalam mengevaluasi, perawat harus memiliki pengetahuan dan
kemampuan untuk memahami respon terhadap intervensi keperawatan,
kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai,
serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada
kriteria hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3.
Jakarta : EGC
Closkey ,Joane C. Mc, Gloria M. Bulechek.(2011). Nursing Interventions
Classification (NIC). St. Louis :Mosby Year-Book.
Elizabeth J. Corwin. 2010. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Hudak & Gallo. 2011. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC
Juall,Lynda,Carpenito Moyet. (2010).Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi
10.Jakarta:EGC
Black 2014. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta : EGC
Cecily LB & suriadi. 2010. Buku Saku Keperawatan Pediatrik , Edisi 3. Jakarta :
EGC
Susane CS & Brenda GB. 2011. Buku Ajar Medikal Bedah, Edisi 8. Volume 3.
Jakarta : EGC.
Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2015-2071, NANDA
Herdman, T. Heather (2015) Nanda International Inc. diagnosis keperawatan :
definisi & klasifikasi 2015 ed 10, jakarta : EGC
Bulechek Gloria, Butcher Howard,dkk (2016) Nursing Interventions
Classification (NIC), 6th edition, Elsevier Singapore Pte Ltd
Moorhead Sue, Marion Johnson, dkk (2016) Nursing Outcomes Classification
(NOC), 5th edition, Elsevier Singapore Pte Ltd

Anda mungkin juga menyukai