Anda di halaman 1dari 14

MODUL I

Pengenalan dan
Penggunaan
Waterpass
WATERPASS

Waterpass adalah alat yang digunakan untuk mengukur atau menentukan


sebuah benda atau garis dalam posisi rata baik pengukuran secara vertikal
maupun horizontal.

Pengukuran waterpass di antaranya digunakan untuk perencanaan jalan,


jalur kereta api, saluran, penentuan letak bangunan gedung yang didasarkan
atas elevasi tanah yang ada, perhitungan urugan dan galian tanah, penelitian
terhadap saluran-saluran yang sudah ada, dan lain-lain.

Bagian - bagian dalam pesawat penyipat datar (ppd)

Gambar 1 Waterpass / PPD

Fungsi Bagian WP
1. Cermin nivo : untuk memantulkan bayangan nivo
2. Nivo : untuk mengetahui kedataran alat
3. Visir bidikan : untuk mengarahkan arah bidikan
4. Sekrup fokus benang : untuk memfokuskan benang bidikan
5. Lensa bidik : untuk melihat bidikan
6. Sekrup penggerak horisontal : untuk menggerakan secara halus arah
bidikan horisontal teropong
7. Sekrup leveling (kiap) : untuk me-level-kan(mendatarkan) alat
8. Plat dasar: untuk landasan alat ke tripot
9. Body teropong : badan teropong
10. Sekrup fokus obyek : untuk memfokuskan obyek bidikan
11. Rumah lensa depan : untuk tempat lensa depan
12. Skala gerakan sudut horisontal : untuk mengetahui besar gerakan sudut
horisontal
13. No seri alat : nomor seri untuk identifikasi alat
Peralatan yang diperlukan untuk pengukuran sipat datar :

1. PPD ( Pesawat Penyipat Datar )


2. Statif Statif (kaki tiga) berfungsi sebagai penyangga waterpass dengan
ketiga kakinya dapat menyangga penempatan alat yang pada masing-masing
ujungnya runcing, agar masuk ke dalam tanah. Ketiga kaki statif ini dapat
diatur tinggi rendahnya sesuai dengan keadaan tanah tempat alat itu berdiri.

Gambar 2 Statif

3. Unting - unting dipasang di bawah sekrup pengunci yang berfungsi sebagai


tolak ukur apakah waterpass tersebut sudah berada tepat di atas patok.

Gambar 3 Unting-unting
4. Rambu ukur .
Rambu ukur adalah alat yang terbuat dari kayu atau campuran alumunium
yang diberi skala pembacaan. Alat ini berbentuk mistar ukur yang besar,
mistar ini mempunyai panjang 3, 4 bahkan ada yang 5 meter. Skala rambu ini
dibuat dalam cm, tiap-tiap blok merah, putih atau hitam menyatakan 1 cm,
setiap 5 blok tersebut berbentuk huruf E yang menyatakan 5 cm, tiap 2 buah E
menyatakan 1 dm. Tiap-tiap meter diberi warna yang berlainan, merah-putih,
hitam-putih, dll. Kesemuanya ini dimaksudkan agar memudahkan dalam
pembacaan rambu.
Gambar 4 Rambu Ukur

5. Payung
Payung digunakan untuk melindungi pesawat dari sinar matahari langsung
maupun hujan karena lensa teropong pada pesawat sangat peka terhadap
sinar matahari.

6. Kompas
Kompas digunakan untuk menentukan arah utara dalam pengukuran
sehingga dijadikan patokan utama dalam pengukuran yang biasa di sebut
sudut azimut.

Gambar 5 Kompas
7. Roll Meter
Rol meter terbuat dari fiberglass dengan panjang 30-50 m dan dilengkapi
tangkai untuk mengukur jarak antara patok yang satu dengan patok yang lain.

Gambar 6 Roll Meter

8. Patok
Patok ini terbuat dari kayu dan mempunyai penampang berbentuk
lingkaran atau segi empatdengan panjang kurang lebih 30-50 cm dan ujung
bawahnya dibuat runcing, berfungsi sebagaisuatu tanda di lapangan untuk titik
utama dalam pengukuran.
Cara Melakukan Pengukuran beda tinggi menggunakan waterpass

1. Kelengkapan Alat
Alat yang harus dibawa ketika melakukan pengkuran sipat datar, antara lain:

a) Waterpass/Sipatdatar 1 buah
b) Statif 1 buah
c) Rambu ukur 2 buah
d) Stratpot 2 unit
e) Formulir pengukuran
f) Papan jalan dan alat tulis 1 set
g) Payung

2. Persiapan Pengukuran

a. Penempatan Alat

1. Dirikan rambu ukur pada dua titik yang akan diukur beda tingginya dengan
menggunakan stratpot.
Stratpot digunakan jika kondisi tanah tempat meletakkan rambu tidak
stabil, penggunaan stratpot harus konsisten jika rambu depan
menggunakan rambu belakang juga harus menggunakan.

2. Letakkan alat sipat datar di antara titik rambu didirikan.


 Tempatkan pada tempat yang relatif stabil.
 Tempat alat tidak harus pada garis lurus atau sejajar dari kedua
rambu.
 Tempatkan sedemikian rupa, dengan kira-kira jarak ke rambu
belakang dan depan sama.
 Jika tempat yang akan digunakan berada pada medan yang miring,
letakkan 2 kaki statif di bagian yang lebih rendah dan 1 kaki di bagian
yang lebih tinggi

3. Setelah alat sipat datar didirikan, atur menggunakan statif terlebih dahulu
untuk menempatkan gelembung nivo mendekati lingkaran tengah.
4. Gunakan bantuan kiap untuk menempatkan gelembung nivo tepat pada
lingkaran tengah.

b. Pembacaan Rambu

Prosedur pembacaan rambu dilakukan dengan membaca bacaan tengah dari


rambu belakang terlebih dahulu, kemudian bacaan atas, dan bacaan
bawah. Setelah itu baru membaca rambu muka.
 Pastikan nilai orde desimeter (dm) pada pembidikan, yaitu nilai yang
ditunjukan dengan angka
 Tentukan nilai orde centimeter (cm), dengan melihat posisi benang tengah
pada kotak merah keberapa.
 Tentukan nilai orde millimeter (mm), dengan memperkirakan posisi
benang.
 Ulangi untuk pembacaan benang atas dan bawah.
 Lakukan dengan satu kali pembidikan.

BA

BT

BB

Gambar 7

Dari gambar diatas dapat kita baca yaitu :


BA = 2.452 (Orde dm nya bernilai 24, orde cm nya bernilai 5 karena berada di
kotak ke 5, dan orde mm nya 2 karena diperkirakan mendekati batas
bawah blok 5)
BB = 2.058 (Orde dm nya bernilai 20, orde cm nya bernilai 5 karena berada di
kotak ke 5, dan orde mm nya 8 karena diperkirakan mendekati batas
atas blok 5)
BT = 2.255 (Orde dm nya bernilai 22, orde cm nya bernilai 5 karena berada di
kotak ke 5, dan orde mm nya 5 karena diperkirakan berada di tengah
blok 5)

BT = (BA+BB)/2 tidak lebih dari 0.002 bacaan rambu, apabila diatas 0.002
maka dilakukan pembacaan ulang sehingga tidak melebihi toleransi bacaan.

BT = (2.452 + 2.058)/2 = 2.255 tidak melebihi toleransi bacaan

c. Kesalahan Garis Bidik

Kesalahan yang besar pengaruhnya dalam pengukuran metode ini adalah


kesalahan garis bidik, yaitu kesalahan akibat dari pendataran garis bidik yang
tidak baik.

Besar salah garis bidik, diamati dengan cara sebagai berikut :


 Alat ditempatkan condong pada rambu pertama, lakukan pendataran alat
 Lakukan pembacaan data, yang terdiri dari BT , BA dan BB ke arah kedua
rambu
 Pindahkan alat pada tempat II (condong ke rambu kedua), lakukan
pendataran alat
 Lakukan pembacaan data, yang terdiri dari BT , BA dan BB kearah kedua
rambu

di mana :
C = besar kesalahan garis bidik
Di = 100 ( BAi – BBi )
I = dudukan i ( I , II )
Bila C = 1 mm/m, berarti besarnya kesalahan pembacaan BT adalah 1 mm
untuk jarak alat ke rambu sebesar 1 m. Untuk jarak ke rambu adalah 10 m,
maka kesalahan pembacaan adalah sebesar 10 mm.

3. Prosedur Pengukuran

Setelah melakukan penempatan dan pendataran (levelling) alat,


langkah-langkah yang harus dilakukan untuk pengkuran KDV adalah sebagai
berikut:
i. Pengukuran dilakukan dengan membidik rambu belakang terlebih dahulu,
kemudian mencatat benang tengah, benang atas, dan benang bawah
dalam satu kali pembidikan. Pembacaan bacaan tengah, atas, dan bawah
dilakukan sekaligus dengan mata tetap melihat ke teropong.
ii. Pengukuran dilakukan dengan mengarahkan alat ke rambu depan,
kemudian membidiknya, dan melakukan pencatatan sama seperti
sebelumnya.
iii. Melakukan double stand, dengan cara memindahkan sedikit posisi alat
sipat datar dan melakukan levelling kembali.
iv. Pembidikan dilakukan terhadap rambu muka terlebih dahulu, kemudian
mencatat benang tengahnya saja.
v. Pengukuran dilakukan dengan memindahkan semua alat ke posisi
pengukuran slag berikutnya. Untuk alat rambu ukur, gunakan sistem
rambu loncat. Sistem ini dapat memperkecil/menghilangkan pengaruh
kesalahan yang bersumber dari peralatan yaitu salah nol rambu dan
perbedaan titik tempat rambu dari titik sebelumnya.
vi. Ulangi langkah 1 s.d. 5.

4. Ketentuan Teknis Pengukuran

a. Jarak rambu dengan alat sipat datar minimal 2,5 meter.


b. Pembacaan skala rambu yaitu maksimal 2,5 meter
c. Untuk mengurangi kesalahan sistematis, perbedaan jarak alat dengan
rambu belakang dan rambu depan ± 2 m.
d. Pembacaan ketiga benang diafragma (BA, BT, BB) toleransi kontrol
bacaan harus memenuhi :
BT=((BA+BB)/2) ≤ 2 mm

Dimana:
BT = Bacaan Benang Tengah
BA = Bacaan Benang Atas
BB = Bacaan Benang Bawah

e. Beda tinggi pada stand 1 dan stand 2, toleransi perbedaan yang


diperbolehkan harus memenuhi :
ΔBT1 – ΔBT2 ≤ 2mm

ΔBT = Beda tinggi yang diperoleh dari pengukuran stand 1


ΔBT = Beda tinggi yang diperoleh dari pengukuran stand 2

Jika nilai beda tinggi pada stand 1 dan stand 2 lebih dari 2 mm,
membuat stand 3 dengan prosedur yang sama dengan double stand dan
hanya dibaca bacaan tengahnya saja kemudian dipilih 2 bacaan dengan
selisih terkecil untuk dirata-ratakan.

f. Pengukuran dilakukan dengan pergi-pulang pada satu hari yang sama,


dan toleransi yang diperbolehkan untuk perbedaan ketinggian antara
pengukuran pergi dan pengukuran pulang harus memenuhi:

d = Jarak pergi atau pulang pengukuran (km)


Jarak yang digunakan adalah jarak terpendek dari pengukuran pergi atau
pulang.
5. Pengolahan Data

a. Jarak optis dapat diperoleh dengan


D = 100 x (BA-BB)

b. Beda tinggi
Untuk menyatakan perbedaan tinggi dari slag adalah sebagai berikut:
ΔH = BT1 – BT2

Dimana:
ΔH = beda tinggi slag
BT1 = bacaan benang tengah rambu belakang
BT2 = bacaan benang tengah rambu muka

c. Koreksi garis bidik pada beda tinggi slag


Berdasarkan nilai kesalahan garis bidik yang sudah didapatkan dan
nilai beda tinggi setiap slag, maka untuk koreksi pada beda tinggi slag
dapat dituliskan sebagai berikut:

Dimana:

ΔHslag = beda tinggi slag setelah dikoreksi (mm)


ΔHuslag = beda tinggi slag ukuran (mm)
Db = jarak alat ke rambu belakang (m)
Dm = jarak alat ke rambu muka (m)
C = besar salah garis bidik (mm/m)

d. Seksi (beda tinggi yang akan ditentukan) dinyatakan sebagai:

dimana:

ΔHseksi = beda tinggi seksi.


ΣΔHslag = jumlah beda tinggi slag yang sudah terkoreksi dalam satu
seksi tersebut.
e. Hitungan ketinggian titik
Untuk menghitung ketinggian suatu titik dari titik ikat diterapkan
persamaan:

HB = HA + ΔHAB
Dimana:
HB = ketinggian titik yang akan ditentukan ketinggiannya
HA = ketinggian titik yang telah diketahui ketinggiannya
ΔHAB = beda tinggi hasil ukuran

f. Hitungan rangkaian seksi dengan koreksi


Apabila pengukuran terdiri dari beberapa seksi yang titik awal dan titik
akhirnya berupa titik ikat maka akan timbul syarat geometri yang harus
dipenuhi sebagai berikut:

H akhir - H awal = ∑ΔHuseksi - FH

Dimana:
Hakhir = ketinggian titik akhir pengukuran
Hawal = ketinggian titik awal pengukuran
∑ΔHuseksi = jumlah beda tinggi ukuran tiap seksi
FH = salah penutup ketinggian

Bentuk kring yang digunakan menyebabkan titik awal pengukuran akan sama
dengan titik akhir pengukuran sehingga:

atau
6. Contoh :

Tabel Hasil Pengambilan data lapangan :


I II Jarak
No Point Benang Benang ΔH Tinggi
Belakang
Point Target BA ΔH1 BA ΔH2 rata2 Titik
BT BT Muka
BB BB
2.064
BM.01 1.871 1.892 100
1.677
1
1.121
0.919 0.939
0.718
P.1
1.077
1.008 1.012
0.94
2
1.237
P.2 1.178 1.183
1.121

Ket :
No Point adalah Posisi alat berdiri
Point target adalah posisi rambu berdiri
Tinggi titik BM.01 adalah 100
Pengukuran dilakukan double stand

1. Mengitung Beda tinggi


ΔH1= BT BM.01 - BT P1
= 1.871 - 0.919
= 0.952
Jadi beda tinggi dari titik BM.01 ke P.1 adalah 0.952 m untuk stand 1

ΔH2= BT BM.01 - BT P1
= 1.892 - 0.939
= 0.953
Jadi beda tinggi dari titik BM.01 ke P.1 adalah 0.953 m untuk stand 2

Menghitung beda tinggi rata-rata


ΔH rata2= (ΔH1 + ΔH2) /2
= (0.952 + 0.953)/2
= 0.9525

2. Menghitung Jarak

Jarak optis dari alat ke belakang dan ke muka


D = 100 x (BA-BB)

Dbelakang = 100 x (2.064 - 1.677)


= 38.7 m

Dmuka = 100 x (1.121 - 0.718)


= 40.3 m
4. Menghitung tinggi Titik P.1 dari tinggi BM.01

HP.1 = HBM.01 + ΔHrata2


= 100 + 0.9525
= 100.9525 m

Lakukan Tahap hitungan tersebut untuk setiap titik

Anda mungkin juga menyukai