Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS MENGENAI LIMBAH PLTU MPANAU MEMBAHAYAKAN

MANUSIA DAN RUMPUT LAUT DI TELUK PALU

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Mengenai Dampak


Lingkungan (AMDAL)

Yang dibimbing oleh Bapak I. Wayan Sumberartha, M.Pd.

Oleh:

Krismonik Dwi Maulida (160342606270)

Permata Windra Deasmara (160342606241)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PRODI S1 BIOLOGI
FEBRUARI 2019
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam usaha peningkatan pemenuhan kebutuhan tenaga listrik rakyat dan


digunakan untuk kebutuhan industri, perkantoran khususnya di daerah Palu, salah
satunya dengan adanya infrastruktur ketenagalistrikan yaitu Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) Mpanau Palu, untuk mendukung upaya penurunan emisi gas
rumah kaca. Tenaga listrik berkapasitas 24 Megawatt (unit I) dan 2x36 Megawatt
pada unit II direncanakan dapat memenuhi hingga 80% kebutuhan listrik di Palu.
Bangunan tersebut sudah berjalan sejak tahun 2006, pemilik adalah PT Pusaka Jaya
Palu Power (PJPP).

Pengembangan AMDAL ini untuk mengkoreksi bengunan unit PLTU


Mpanau bahwa sudah terdapat laporan publik terkait proyeksi polutan yang bisa
membahayakan warga. Hasil pemodelan emisi Mpanau (eksisting) dinilai
menghasilkan polutan berbahaya bagi kesehatan manusia, satwa laut, dan industri
wisata di kawasan Palu Teluk Palu. Salah satunya limbah merkuri yang eksisting 30
kg/tahun menjadi lebih dari 80 kg/tahun, limbah merkuri merupakan logam berat
yang sangat beracun penyebab masalah kesehatan bahkan dalam konsentrasi rendah.
Polusi merkuri menimbulkan risiko yang serius untuk perkembangan anak-anak.
PLTU batubara diyakini sebagai sumber emisi merkuri terbesar di atmosfer. Endapan
merikuri dan abu batubara akan jatuh ke perairan dan tanah. Air permukaan dapat
mengalir ke ekosistem pesisir Lovina dan meningkatkan papapran logam berat pada
lumba-lumba, juga terdapat pengendapan asam dapat meningkatkan mobilisasi dan
buangan logam berat ke pesisir perairan yang berdampak pada kualitas pangan laut.
Pembagunan PLTU Mpanau memiliki surat izin lingkungan untuk ekspansi PLTU
berbahan batu bara oleh Gubernur Palu.
Salah satu dampak yang dirasakan adalah pemcemaran udara, dampak sosial-
ekonomi, lingkungan, dan kesehatan yang merugikan warga. Dampak tersebut
mencakup di antaranya: (1) pemiskinan masyarakat karena hancurnya mata
pencaharian, terutama untuk petani dan nelayan tangkap; (2) kerusakan lingkungan di
darat dan di laut, di antaranya, disebabkan oleh limbah sisa pembakaran batubara
khususnya rumput laut; (3) terganggunya kesehatan warga terutama sakit pernafasan
yang diperburuk tidak adanya pemantauan mengenai dampak kesehatan, limbah
berupa fly ash dan bottom ash di bantaran sungai, sama dengan timbunan abrasi
sungai. Pemerintah di berbagai level terus mengabaikan dampak sosial-ekonomi,
lingkungan, dan kesehatan PLTU Mpanau. Masyarakat dibiarkan sendiri menghadapi
persoalan tersebut. Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan pemerintah:
pemerintah Palu: memantau kualitas udara dan melakukan pemeriksaan kesehatan
secara berkala terhadap warga di sekitar PLTU, pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan: melakukan pemantauan terhadap pencemaran udara dan air dan kelayakan
pengelolaan limbah PLTU Mpanau serta membatalkan ekspansi pembangkit listrik
tersebut dan pemerintah pusat: melakukan transisi energi dengan pentahapan yang
jelas dari PLTU batubara ke energi terbarukan.

Dalam analisis AMDAL PLTU Mpanau sebelumnya tidak adanya data


mengenai emisi dan dampaknya. Juga tidak menyertakan pemodelan atmosfer yang
layak mengenai dampak kualitas udara, data kualitas udara setelah pengoperasian
PLTU tahap pertama, dampak kesehatan pada masyarakat, penilaian emisi, dan
dampak merkuri, padahal pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.8/2013
tentang Tata Laksana Penilaian dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup serta
Penerbitan Izin Lingkungan pada pasal 15 tercantum pentingnya menghitung secara
cermat dampak lingkungan dan kesehatan oleh pemrakarsa. Sehingga pengkajian
ulang untuk AMDAL PLTU Mpanau sangat dibutuhkan untuk pengelolaan lanjutan
dan rencana penangulagan dampak yang sudah ada agar aman bagi lingkungan dan
masyarakat.
Rumusan Masalah

Penulisan makalah AMDAL berdasarkan isu limbah PLTU Mpanau


membahayakan manusia dan lumba-lumba memunculkan rumusan masalah meliputi :
1. Bagaimana kondisi lingkungan pra konstruksi PLTU Mpanau yang
membahayakan manusia dan Rumput Laut di Teluk Palu?
2. Bagaimana gambaran kondisi lingkungan pasca kontstruksi PLTU Mpanau yang
membahayakan manusia dan Rumput Laut di Teluk Palu?
3. Bagaimana analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang dapat
dilaporkan jika program tersebut terus berlanjut?

Tujuan Penulisan

Tujuan pembahasan isu lingkungan tentang pengadaan lahan persawahan pada lahan
gambut, antara lain :
1. Untuk mengetahui kondisi lingkungan pra konstruksi PLTU Mpanau yang
membahayakan manusia dan Rumput Laut di Teluk Palu.
2. Untuk mengetahui gambaran kondisi lingkungan pasca kontstruksi PLTU
Mpanau yang membahayakan manusia dan Rumput Laut di Teluk Palu.
3. Untuk mengetahui analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang dapat
dilaporkan jika program tersebut terus berlanjut.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

PLTU Mpanau

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mpanau di Palu Bangunan tersebut sudah
berjalan sejak tahun 2006, pemilik adalah PT Pusaka Jaya Palu Power (PJPP). Lokasi
proyek terletak di Panau, Tawaei, Kota Palu. PLTU Mpanau ini menggunakan
batubara sebanyak 5.200 ton per hari. Tenaga listrik berkapasitas 24 Megawatt (unit
I) dan 2x36 Megawatt pada unit II direncanakan dapat memenuhi hingga 80%
kebutuhan listrik di Palu.

Permasalah akibat PLTU Mpanau

PLTU Mpanau yang merupakan pembangkit listrik berbahan bakar batubara telah
menimbulkan beragam Salah satu dampak yang dirasakan adalah pemcemaran udara,
dampak sosial-ekonomi, lingkungan, dan kesehatan yang merugikan warga. Dampak
tersebut mencakup di antaranya: (1) pemiskinan masyarakat karena hancurnya mata
pencaharian, terutama untuk petani dan nelayan tangkap; (2) kerusakan lingkungan di
darat dan di laut, di antaranya, disebabkan oleh limbah sisa pembakaran batubara
khususnya rumput laut; (3) terganggunya kesehatan warga terutama sakit pernafasan
yang diperburuk tidak adanya pemantauan mengenai dampak kesehatan, limbah
berupa fly ash dan bottom ash di bantaran sungai, sama dengan timbunan abrasi sungai.
Pemerintah di berbagai level terus mengabaikan dampak sosial-ekonomi, lingkungan,
dan kesehatan PLTU Mpanau. Masyarakat dibiarkan sendiri menghadapi persoalan
tersebut. Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan pemerintah: pemerintah
Palu: memantau kualitas udara dan melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala
terhadap warga di sekitar PLTU (Greenpeace, 2018). Hasil pemodelan emisi Mpanau
unit I dan II (eksisting) ini dinilai menghasilkan polutan berbahaya bagi kesehatan
manusia, satwa laut, dan industri wisata di kawasan Palu. Kemudian limbah mekuri
dari batubara, PLTU batubara diyakini sebagai sumber emisi merkuri terbesar di
atmosfer, endapan merikuri dan abu batubara akan jatuh ke perairan dan tanah, jika
masuk dalam perairan maka akan mentup kutikula pada rumput laut sehingga tidak
mampu melakukan fotosintesis dan akhirnya layu, juga terdapat pengendapan asam
dapat meningkatkan mobilisasi dan buangan logam berat ke pesisir perairan yang
berdampak pada kualitas pangan laut.

Dari hasil pemodelan, diperkirakan jumlah merkuri PLTU eksisting sekitar 30


kg/tahun menjadi lebih dari 80 kg/tahun dengan instalasi baru (unit II). Kemudian
NO2 PLTU eksisting 4000 ton/tahun menjadi lebih dari 12 ribu ton/tahun (unit II).
Demikian juga NOx. Hasil pemodelan dengan metode CALPUFF dari Universitas
Harvard untuk PLTU Mpanau I dan II oleh Greenpeace menyebutkan, diperkirakan
terdapat 170.000 jiwa terpapar oleh emisi nitrogen oksida (NO2)dengan konsentrasi
di atas standar aman WHO. Juga terdapat 200,000 jiwa terpapar oleh emisi
SO2 dengan konsentrasi di atas standar aman WHO. Metodelogi CALPUFF untuk
memperkirakan dampak emisi, perkiraan jumlah emisi, pemodelan atmosfer ini
direkomendasikan badan lingkungan hidup Amerika dan negara lain (Greenpeace,
2018).

Dengan adanya eksisting merkuri yang terus naik setiap tahunnya, salah satu
dampak yang dirasakan adalah pemcemaran udara, dampak sosial-ekonomi,
lingkungan, dan kesehatan yang merugikan warga. Dampak tersebut mencakup di
antaranya:
1) Persoalan ganti rugi tanah yang belum selesai, antara lain disebabkan oleh
nilai ganti rugi yang tidak layak dan proses yang tidak transparan.
2) pemiskinan masyarakat karena hancurnya mata pencaharian, terutama untuk
petani dan nelayan tangkap
3) kerusakan lingkungan di darat dan di laut, di antaranya, disebabkan oleh
limbah sisa pembakaran batubara
4) terganggunya kesehatan warga terutama sakit pernafasan yang diperburuk
tidak adanya pemantauan mengenai dampak kesehatan.
RPL dan RKL PLTU

Secara adaministratif, lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan berada di


Kelurahan Lambara Kecmatan Tawaeli Kota Palu. Luasan rencana lokasi sekitar 2,1
Ha, berada relatif jauh dari pemukiman sekitar 1-2 km. Lingkungan di sekitar lokasi
banyak tanaman yang tumbuh didominasi oleh semak belukar. Kendaraan yang dapat
mengakses berupa roda dua maupun roda ampat, dengan kondisi jalan tidak beraspal.

Menurut PP. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3), kegiatan Penyimpanan Limbah B3 adalah kegiatan menyimpan
Limbah B3 yang dilakukan oleh Penghasil Limbah B3 dengan maksud menyimpan
sementara Limbah B3 yang dihasilkannya. Kegiatan penyimpanan Limbah B3 fly ash
dan bottom ash oleh PT. Pusaka Jaya Palu Power pada prinsipnya untuk
menempatkan Limbah B3 untuk meminimalisasi dampak terhadap media lingkungan,
serta berada jauh dan aman dari permukiman masyarakat sekitar.

Rencana luasan lokasi yang digunakan untuk pembangunan TPS fly ash dan
bottom ash oleh PT. Pusaka Jaya Palu Power seluas 2,1 Ha. Fasilitas utama dalam
luasan ini yaitu Fasilitas Penyimpanan, yang terdiri dari 3 unit, yang dilengkapi
dengan komponen fasilitas penunjang lainya, seperti kantor, jalan khusus, drainase,
lahan parkir, gudang/garasi alat berat, tempat pencucian mobil, bak penampungan
sampah, dan ruang terbuka hijau serta taman.
Adendum Amdal Sebelumnya

1) Tahap Prakonstruksi

a. Sosialisasi Rencana Pembangunan/Pengelolaan

TPS Sosialisasi rencana pembangunan/pengelolaan TPS fly ash dan


bottom ash dilakukan melalui beberapa cara sosialisasi, secara formal dan
wawancara terarah dengan masyarakat sekitar dan pejabat di Kelurahan
Lambara. Sosialisasi dilakukan selama 4 kali, 2 kali dilakukan oleh
pemerintah kelurahan dengan masyarakat dan 2 kali dilakukan oleh tim
survey dari perusahaan. Adapun hasil dari sosialisasi tersebut dirangkum
dalam sub bab rona lingkungan sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan
masyarakat. Selain melalui sosialisasi tersebut, pengumuman mengenai
pelaksanaan proyek dilakukan dengan pemasangan papan pengumuman di
sekitar lokasi rencana pembangunan TPS fly ash dan bottom ash. Walaupun
sosialisasi rencana rencana pembangunan TPS fly ash dan bottom ash secara
formal, namun PT. Pusaka Jaya Palu Power secara rutin melakukan
komunikasi dengan pemangku kepentingan untuk memperoleh masukan dan
tanggapan masyarakat. Kemungkinan dampak yang timbul yaitu keresahan
masyarakat jika sekiranya keberadaan TPS fly ash dan bottom ash tersebut
akan mengganggu aktivitas dan mencemari lingkungan mereka.

b. Pembebasan/Pengadaan Lahan

Syarat utama pembuatan Fasilitas Penyimpanan/TPS Limbah B3 yaitu


perusahaan wajib menguasai suatu lahan yang hendak dijadikan TPS. Selain
itu kegiatan ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi adanya klaim dari
masyarakat mengenai kepemilikan lahan. Lahan rencana lokasi kegiatan
pembangunan TPS fly ash dan bottom ash adalah lahan milik masyarakat
yang telah dibebaskan. Rencana pembangunan TPS tersebut beserta fasilitas
penunjangnya berada dalam luasan ± 2,1 Ha ex-lahan milik Pak Lisman.
Kemungkinan dampak yang akan timbul adalah keresahan dari pemilik lahan
jika ganti rugi/pembelian lahan yang diberikan kepadanya tidak sesuai dengan
yang diinginkannya atau tidka sesuai dengan harga yang berlaku.

c. Survei dan Pengukuran

Survei lapangan terdiri dari kegiatan pengukuran dan pemetaan lokasi


pembangunan TPS. Tujuan dan lingkup survey ini ialah mengumpulkan data-
data teknis dan lingkungan yang akan digunakan dalam analisis tahap
perencanaan proyek. Kegiatan ini membutuhkan sejumlah alat ukur dan
tenaga kerja (tenaga ahli dan tenaga kerja kasar/lapangan). Kemungkinan
dampak yang akan timbul dari kegiatan survey dan pengukuran di lokasi
adalah keresahan dan persepsi warga sekitar yang tidak memahami tentang
tujuan kegiatan tim survey

d. Desain Rencana Pembangunan TPS


Kegiatan ini meliputi penyusunan desain teknis pembangunan TPS
yang disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah. Pekerjaan ini merupakan
pekerjaan lapangan dan studio. Luas lahan yang akan digunakan sebagai
lokasi TPS secara keseluruhan adalah seluas ± 2,1 Ha. Dalam hal ini akan
disunan desain teknis, site plan, pemilihan lokasi fasilitas penyimpanan dan
jalur jalan yang digunakan. Kemungkinan dampak yang akan timbul adalah
keresahan masyarakat jika sekiranya hasil desain lokasi TPS tersebut
mengganggu aktivitas mereka dan keresahan pengguna jalan sehubungan
dengan letak lokasi TPS yang relatif dekat dengan jalan raya dan
permukiman.

e. Pemasangan Batas/Pondasi/Pagar dan Papan Proyek

Setelah kegiatan tersebut di atas selesai dilakukan, maka kegiatan


selanjutnya adalah pemasangan batas kawasan pembangunan TPS fly ash dan
bottom ash. Batas-batas tersebut berupa pemagaran dengan tembok/pondasi
beton di sekeliling lokasi. Agar masyarakat dan pemangku kepentingan
lainnya mengetahui jenis kegiatan dan batas kempilikan lahan, juga dipasang
papan proyek sebagai identitas kegiatan. Kemungkinan dampak yang akan
timbul adalah keresahan dari pemilik lahan lainnya yang ada di sekitarnya jika
pemasangan batas lahan tidak sesuai dengan batas kepemilikan lahan lokasi
TPS fly ash dan bottom ash.

2) Tahap Konstruksi

a. Rekruitmen Tenaga Kerja

Tenaga kerja yang dibutuhkan selama kegiatan konstruksi


membutuhkan berbagai jenis pekerjaan/keterampilan seperti mandor, tukang
batu, tukang kayu, tukang besi, tukang cat, mekanik, listrik, operator alat berat
dan genset, serta sopir, di samping itu akan dipekerjakan juga tenaga untuk
staf (perencana dan pengawas) dan tenaga keamanan (security). Jumlah
kebutuhan tenaga kerja pada tahap konstruksi mencapai 125 orang.
Pendidikan minimum juga dibutuhkan keterampilan akan pekerjaan itu
kecuali buruh kasar/helper. Distribusi tenaga kerja yang digunakan
disesuaikan dengan jenis kegiatan. Tenaga kerja yang diperkerjakan akan
diprioritaskan kepada penduduk sekitar lokasi rencana pembangunan TPS
dengan persyaratan sesuai dengan spesifikasi pekerjaan dan keterampilan
yang dimiliki. Rekruitmen tenaga kerja dilakukan secara bertahap sesuai
dengan kebutuhan dan kemajuan pekerjaan.

b. Penyediaan Sarana Jalan Menuju Lokasi TPS

Berdasarkan survey lapangan dimana akses jalan menuju TPS akan


melewati 2 alternatif jalan, yaitu melewati sungai melalui Jln. Trans Palu-
Parigi dan Jln. Trans Palu-Lorong Anja. Pada Jln. Trans Palu-Parigi
meupakan jalan nasional yang menghubungkan antar kota maupun provinsi,
sedangkan Jln. Trans Palu-Lorong Anja merupakan jalan nasional kemudian
masuk kedalam jalan desa/lorong di Kelurahan Lambara menuju TPS. Pada
umumnya arus lalulintas untuk kedua jalan nasional tersebut didomonasi oleh
mobil penumpang, kendaraan berat dan motor. Sedangkan untuk jalan menuju
TPS melalui jalan kolektor didominasi oleh motor.

c. Mobilisasi Peralatan dan Bahan Material

Kegiatan pengangkutan peralatan/bahan dan material untuk


pembangunan TPS dan fasilitas fasilitas penunjangnya, akan menggunakan
jasa angkutan darat. Jalur yang digunakan Jln. Trans Palu-Parigi, memotong
badan Sungai Tawaeli, dan jalan khusus yang dibuka. Jenis-jenis peralatan
yang akan digunakan didatangkan secara khusus baik oleh pemrakrsa maupun
oleh kontraktor seperti bulldozer, excavator, stoom walls, stamper, dump
truck, truk biasa, truk tangki air, truk tangki solar, truk tronton, alat ukut
khusus, dll.

d. Pembangunan Basecamp

Basecamp yang dibangun diperuntukkan bagi para pekerja yang


memiliki tempat tinggal relatif jauh dari lokasi proyek. Pembangunan
basecamp diharapkan mampu mengefisienkan dan memperlancar kegiatan
pembangunan TPS. Besecamp ini juga difungsikan bagi para pekerja yang
tidak langsung seperti perencana dan pengawas serta gudang peralatan.
Basecamp berukuran 20 m x 15 m dengan bangunan semi permanen dan
dilengkapi dengan fasilitas MCK dan mushallah sedang. Basecamp ini tidak
berfungsi sebagai tempat tinggal tetap, melainkan hanya berfungsi sebagai
tempat istirahat bagi para pekerja.

e. Pematangan Lahan

Kegiatan ini meliputi land clearing, perataan/penimbunan, dan


kembali. Pematangan lahan dilakukan dalam kaitan meratakan permukaan
tanah terutama pada pembangunan fasilitas TPS. Kegiatan utama adalah land
clearing dan cut and fill pada lahan seluas ± 2,1 Ha. Kegiatan land clearing
dilakukan pada lokasi TPS dan fasilitas pendukung karena didominasi oleh
semak belukar dan beberapa pepohonan. Volume cutting diprakirakan
mencapai 50.400 m3 (hasil perhitungan konsultan perencana, 2017). Kegiatan
filling dilakukan setelah dinding penahan telah dibangun untuk kemudian
tanah timbunan dihampar pada lokasi tersebut untuk kemudian dipadatkan.

Prinsip pemadatan adalah tanah yang tidak padat menjadi padat. Alat
yang digunakan untuk pemadatan antara lain roller whell atau drum whell.
Alat tersebut dijalankan pada tanah dalam beberapa lintasan. Peralatan
tersebut melintas beberapa kali hingga tanah dinyatakan padat sehingga
mampu menahan beban diatasnya.

f. Pembangunan Fasilitas Penyimpanan Limbah B3 fly ash dan bottom ash

Model Fasilitas Penyimpanan Limbah B3 fly ash dan bottom ash dibuat
berdasarkan PP. 101 Tahun 2014 konsep waste impoundment (pengurung
limbah). Model ini dirancang dengan konsep semi landfill mengggunakan
lapisan alas dan penutup geomembran.

Geomembran yang digunakan diperuntukkan sebagai bahan tahan air, tekanan


alat berat, tahan terhadap korosi, minyak, asam dan panas tinggi. Sehingga
alas dari geomembran akan dapat menahan infiltrasi jika terdapat kebocoran
dari lapisan penutup (akan dibuat pada tahap operasi). Geomembran yang
akan digunakan tipe HDPE (high density polyethlene) dengan ukuran
ketebalan 1,5-2 mm. Lebar standar geomembran adalah 7 m. Sedangkan
panjangnya menyesuaikan dengan ketebalan geomembran itu sendiri. Sebagai
contoh misalnya geomembran tebal 1.5 mm, maka ukuran dalam rollnya
adalah 7m x 184m.

Ukuran tersebut tidak memenuhi dimensi fasilitas penyimpanan, sehingga


untuk memenuhi ukuran luasan fasilitas penyimpanan fly ash dan bottom ash,
segmensegmen geomembran tersebut kemudian disambung. Prinsip dasar
penyambungan geomembran HDPE adalah pemanasan dan cooling time (by
melting or softening) dari 2 bagian yang disambung dengan diberikan tekanan
agar kedua bagian tersebut menyatu/bersenyawa. Kadangkala peyambungan
geomembran diperlukan penambahan HDPE rod agar benar-benar menyatu.
Kemudian, drainase ditempatkan pada sisi-sisi fasilitas penyimpanan dengan
lebar 1-1,5 m dan panjang saluran 80 m. Drainase yang dirancang model
saluran terbuka, yaitu saluran yang lebih cocok untuk drainase air hujan yang
akan mengatur/mengendalikan aliran dari alas tutupan fly ash.
g. Pembangunan/Pengadaan Fasilitas Penunjang
- Pengadaan Sumber Air Pengadaan air bersih untuk mendukung proses
pembangunan/pengelolaan TPS fly ash dan bottom ash bersumber dari
PDAM Palu melalui jaringan pipa dan air tanah (sumur bor) yang ditarik
dengan mesin. Peruntukkan penggunaan air untuk kegiatan operasional di
lokasi TPS digunakan untuk air minum, MCK, penyiraman tanaman, dan
pencucian mobil pengangkut Limbah B3 fly ash dan bottom ash.
- Pengadaan Sumber dan Jaringan Listrik Pengadaan jaringan energi listrik
bersumber dari PLN. Untuk mengantisipasi energi listrik dari PLN yang
terbatas dan sering terganggu maka pihak pengelola juga berusaha sendiri
dengan mengadakan mesin genset sebagai sumber listrik alternatif
dan/atau langsung memasang instalasi langsung dari PLTU selama
kegiatan pembangunan dan operasional TPS fly ash dan bottom ash.
- Jalan Khusus dan Drainase Sarana jalan khusus yang dibangun dalam
lokasi TPS digunakan sebagai penghubung kendaraan yang
berkepentingan, terkait dengan kegiatan pengelolaan/pengoperasian TPS.
- Kantor Pembangunan unit kantor di lokasi TPS bertujuan untuk mengurus
pekerjaan pengaturan administrasi, informasi, dan manajamen, serta
pengarsipan mengenai log book Limbah B3 fly ash dan bottom ash.
Kantor ini juga dilengkapi dengan unit perlengkapan tanggap darurat
kebakaran dan K3, selain terdapat ruang tamu, ruang kerja karyawan dan
kamar mandi/WC.
3) Tahap Pasca Operasi
Penutupan TPS Fly Ash dan Bottom Ash Berdasrkan PP. 101 Tahun
2014 Pasal 21 ayat 1 Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan
penyimpanan hanya berlaku untuk 5 tahun. Setelah waktu tunggu/kegiatan
lain yang dilakukan oleh PT. Pusaka Jaya Palu Power yaitu pembangunan
fasilitas pemanfaatan dan/atau penimbusan akhir telah selesai dan dapat
dioperasionalkan, maka fasilitas TPS fly ash dan bottom ash dalam kurun
waktu 5 tahun ini akan segera ditutup. Namun jika terdapat kendala, maka izin
tersebut akan diperpanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Lahan TPS yang hendak ditutup merupakan aset milik PT. Pusaka
Jaya Palu Power. Konsep penutupan mengikuti PP. 101 Tahun 2014 Pasal 30
ayat 1 dan 2, yaitu pemrakarsa wajib melakukan pemulihan fungsi
lingkungan.
Setelah pemulihan fungsi lingkungan selesai dikerjakan, kedepan
lahan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya sesuai dengan
rencana jangka panjang dari PT. Pusaka Jaya Palu Power untuk pemanfaatan
lahan exTPS fly ash dan bottom ash.
PENUTUP

Simpulan

Lokasi pembangunan PLTU dulunya lahan pertanian masyarakat, Mata


pencaharian masyarakat yang sebagian besar nelayan dan petani tentunya mengalami
banyak perubahan, karena di dalam pembangunan PLTU sendiri memerlukan banyak
lahan dan sektor yang tergusur adalah sektor pertanian.

Keberadaan PLTU di Kelurahan Panau berdampak kepada kehidupan sosial


yaitu polusi dan debu yang dihasilkan oleh aktivitas PLTU di Kelurahan Panau
mengganggu kesehatan masyarakat sekitar seperti gangguan pernafasan dan
menimbulkan suara kebisingan. Selain itu, juga berpengaruh terhadap ekonomi
masyarakat karena nelayan-nelayan kecil menjadi sulit untuk menangkap ikan, karena
di pesisir pantai sudah dicemari oleh air limbah panas yang di hasilkan oleh PLTU.
Daftar Rujukan

Greenpeace. 2018. PLTU Mpanau di Provinsi Sulawesi Tengah. (Online)


http://m.greenpeace.org, 10 Februari 2019.

Julianti, S.A., Jamaluddin, Amiruddin. 2018. Dampak Keberadaan Pembangkit Listrik


Tenaga Uap (PLTU) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Di Kelurahan
Panau Kecamatan Tawaili. E-journal Geo Tadulako. Vol.6 No.2

Pusaka Jaya Palu Power. 2017. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup Dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) Pembangunan/Pengelolaan
Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) Limbah B3 Fly Ash Dan Bottom Ash
Kegiatan Operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Palu: Pusaka
Jaya Palu Power

Anda mungkin juga menyukai