LAPORAN PENDUHULUAN
TB PARU (POSITIF)
OLEH :
NAMA : NI MADE FEBRI SUARDIANTINI.
NPM : 015.01.3209
KELAS : VII A
B. PENYEBAB TB PARU
Penyakit TB Paru disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam
ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant,
tertidur lama selama beberapa tahun.Sumber penularan adalah penderita TB BTA
positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam.
Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran
pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan,
kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau penyebaran langsung
kebagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak
negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
a. Patofisiologi
Individu rentan yang menghirup basil tuberkulosis dan menjadi
terinfeksi. Bakteri dipindahkan melalui jalan napas ke alveoli, tempat dimana
mereka terkumpul dan mulai untuk memperbanyak diri. Basil juga dipindahkan
melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagaian tubuh lainnya (ginjal, tulang,
korteks serebri), dan area paru – paru lainnya (lobus atas). Sistem imun tubuh
berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag)
menelan banyak bakteri, limposit spesifik tuborkulosis melisis
(menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan
penumpukan eksudat dalam alveoli, menyebabkan bronkopneumonia.
Infeksi awal biasanya terjadi dua sampai sepuluh minggu setelah
pemajanan. Masa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan
gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati di kelilingi oleh
makrofag yang membentuk dinding protektif granulomas diubah menjadi masa
jaringan fibrosa. Bagian sentral dari masa fibrosa ini di sebut tuberkel ghon.
Bahan (bakteri dan makropag) menjadi nekrotik, membentuk masa seperti keju.
Masa ini dapat mengalami kalsifikasi, membentuk sekar kolagenosa. Bakteri
menjadi dorman tanpa perkembangan penyakit aktif.
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit
aktif karena gangguan atau respon yang inadekuat dari respon sistem imun.
Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri
dorman. Bakteri kemudian menjadi tersebar diudara, mengakibatkan
penyebaran penyakit lebih jauh tuberkel yang memecah, membentuk jaringan
parut. Paru – paru yang terinfeksi lebih membengkak mengakibatkan terjadinya
bronkopneumonia lebih lanjut. Kecuali proses tersebut dapat dihentikan,
penyebarannya dengan lambat mengarah kebawah ke hilum paru-paru dan
kemudian meluas ke lobus yang berdekatan. Proses mungkin berkepanjangan
dan ditandai oleh remisi lama ketika penyakit dihentikan, hanya supaya diikuti
dengan periode aktivitas yang diperbaharui. Hanya sekitar 10 % individu yang
awalnya terinfeksi mengalami penyakit aktif.
b. Pathway
E. TANDA DAN GEJALA
Pada banyak individu yang terinfeksi tuberkulosis adalah
asimtomatis. Pada individu lainnya, gejala berkembang secara bertahap
sehingga gejala tersebut tidak dikenali sampai penyakit telah masuk tahap
lanjut. Bagaimanapun gejala dapat timbul pada individu yang mengalami
imunosupresif dalam beberapa minggu setelah terpajan oleh basil. Menurut
Jhon Crofton (2002) gejala klinis yang timbul pada pasien Tuberculosis
berdasarkan adanya keluhan penderita adalah :
a. Batuk lebih dari 3 minggu
Batuk adalah reflek paru untuk mengeluarkan sekret dan hasil proses
destruksi paru. Mengingat Tuberculosis Paru adalah penyakit menahun,
keluhan ini dirasakan dengan kecenderungan progresif walau agak lambat.
Batuk pada Tuberculosis paru dapat kering pada permulaan penyakit,
karena sekret masih sedikit, tapi kemudian menjadi produktif.
b. Dahak (sputum)
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian
berubah menjadi mukopurulen atau kuning, sampai purulen (kuning hijau)
dan menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan.
c. Batuk Darah
Batuk darah yang terdapat dalam sputum dapat berupa titik darah sampai
berupa sejumlah besar darah yang keluar pada waktu batuk. Penyebabnya
adalah akibat peradangan pada pembuluh darah paru dan bronchus sehingga
pecahnya pembuluh darah.
d. Sesak Napas
Sesak napas berkaitan dengan penyakit yang luas di dalam paru. Merupakan
proses lanjut akibat retraksi dan obstruksi saluran pernapasan.
e. Nyeri dada
Rasa nyeri dada pada waktu mengambil napas dimana terjadi gesekan pada
dinding pleura dan paru. Rasa nyeri berkaitan dengan pleuritis dan tegangan
otot pada saat batuk.
f. Wheezing
Wheezing terjadi karena penyempitan lumen bronkus yang disebabkan oleh
sekret, peradangan jaringan granulasi dan ulserasi.
g. Demam dan Menggigil
Peningkatan suhu tubuh pada saat malam, terjadi sebagai suatu reaksi umum
dari proses infeksi.
h. Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan merupakan manisfestasi toksemia yang timbul
belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses progresif.
i. Rasa lelah dan lemah
Gejala ini disebabkan oleh kurang tidur akibat batuk.
j. Berkeringat Banyak Terutama Malam Hari
Keringat malam bukanlah gejala yang patogenesis untuk penyakit
Tuberculosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah
lanjut.
Gambaran klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Gejala respiratorik, meliputi :
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering
dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan
bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa
garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam
jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena pecahnya pembuluh
darah.
c. Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena
ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorakx, anemia dan
lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan.
Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.
2. Gejala Sistemik, meliputi :
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan
malam hari mirip dengan influenza, hilang timbul dan makin lama makin
panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.
b. Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain adalah keringat malam, anoreksia, penurunan berat
badan serta malaise.
F. KLASIFIKASI
G. PENGKAJIAN
Riwayat keluarga.
Biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit yang sama.
Aspek psikososial.
Aktivitas/istirahat
Tanda : Penurunan BB
Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri dada meningkat karena batuk, gangguan tidur pada malam
hari
Tanda : pasien meringis, tidur tidak nyenyak
Pernapasan
Cardiovaskuler
Gejala : takikardia
(Doengoes, 2000)
g. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Terdengar suara redup terutama pada apeks paru, bila terdapat kavitas
yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonar dan timpani.
Bila mengenai pleura, perkusi memberikan suara pekak.
Auskultasi
a) Data Subyektif
Pasien mengeluh panas
Batuk/batuk berdarah
Sesak bernafas
Nyeri dada
Malaise dan kelelahan
b) Data Obyektif
Ronchi basah, kasar dan nyaring.
Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada
auskultasi memberi suara limforik.
Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis.
Bila mengenai pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan suara
pekak)
Pembesaran kelenjar biasanya multipel.
Benjolan/pembesaran kelenjar pada leher (servikal), axilla, inguinal dan
sub mandibula.
Kadang terjadi abses.
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret kental
atau sekret darah ditandai dengan batuk berdahak yang tercampur darah
K. PENATALAKSANAAN MEDIS.
1. Penatalaksanaan tuberkulosis antara lain :
1) Pencegahan Tuberkulosis Paru
Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes
tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka pemeriksaan
radiologis foto thorax diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negatif,
diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin
dan diberikan kemoprofilaksis.
Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok
populasi tertentu misalnya: karyawan rumah sakit/Puskesmas/balai pengobatan,
penghuni rumah tahanan, dan siswa-siswi pesantren.
Vaksinasi BCG
Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan
dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit.
Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan
BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi kelompok berikut:
bayi di bawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena resiko timbulnya
TB milier dan meningitis TB, anak dan remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tes
tuberkulin positif yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular, individu yang
menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari negatif menjadi positif, penderita yang
menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif jangka panjang, penderita
diabetes mellitus.
Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis
kepada masyarakat di tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh petugas
pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Paru Indonsia – PPTI).
2. Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.
diberikan kepada :
Penderita kambuh
Penderita gagal terapi
Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat
4. Kategori IV
Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah
karena kemungkinan keberhasilan rendah sekali.
Obat-obatan anti tuberkulostatik
1. Isoniazid (INH) : merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah.
Seperti rifampisin, INH harus diikutsertakan dalam setiap regimen pengobatan,
kecuali bila ada kontra-indikasi. Efek samping yang sering terjadi adalah
neropati perifer yang biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang mempermudah
seperti diabetes, alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV.
Dalam keadaan ini perlu diberikan peridoksin 10 mg/hari sebagai profilaksis
sejak awal pengobatan. Efek samping lain seperti hepatitis dan psikosis sangat
jarang terjadi.
2. Rifampisin : merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan.
Sebagaimana halnya INH, rifampisin juga harus selalu diikutkan kecuali bila
ada kontra indikasi. Pada dua bulan pertama pengobatan dengan rifampisin,
sering terjadi gangguan sementara pada fungsi hati (peningkatan transaminase
serum), tetapi biasanya tidak memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-
kadang terjadi gangguan fungsi hati yang serius yang mengharuskan
penggantian obat terutama pada pasien dengan riwayat penyakit hati.
Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati sehingga mempercepat metabolisme
obat lain seperti estrogen, kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea, dan anti-
koagulan. Penting : efektivitas kontrasepsi oral akan berkurang sehingga perlu
dipilih cara KB yang lain.
3. Pyrazinamid : bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang
aktif memlah dan mycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua
atau tiga bulan pertama saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk meningitis TB
karena penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak aktif terhadap Mycrobacterium
bovis. Toksifitas hati yang serius kadang-kadang terjadi.
4. Etambutol : digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi.
Jika resiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan
yang tidak diawasi, etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase
awal dan 15 mg/kg/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg/hari selama
pengobatan). Pada pengobatan intermiten di bawah pengawasan, etambutol
diberikan dalam dosis 30 mg/kg 3 kali seminggu atau 45 mg/kg 2 kali seminggu.
Efek samping etambutol yang sering terjadi adalah gangguan penglihatan
dengan penurunan visual, buta warna dan penyempitan lapangan pandang. Efek
toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada gangguan fungsi ginjal.
Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif; bila hal ini terjadi maka
etambutol harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi
penglihatan akan pulih. Pasien yang tidak bisa mengerti perubahan ini sebaiknya
tidak diberi etambutol tetapi obat alternative lainnya. Pemberian pada anak-anak
harus dihindari sampai usia 6 tahun atau lebih, yaitu disaat mereka bisa
melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan fungsi mata harus dilakukan
sebelum pengobatan.
5. Streptomisin : saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus
resistensi. Obat ini diberikan 15 mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat
badan kurang dari 50 kg atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-700
mg/hari. Untuk pengobatan intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g
tiga kali seminggu dan diturunkan menjadi 750 ng tiga kali seminggu bila berat
badan kurang dari 50 kg. Untuk anak diberikan dosis 15-20 mg/kg/hari atau 15-
20 mg/kg tiga kali seminggu untuk pengobatan yang diawasi. Kadar obat dalam
plasma harus diukur terutama untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek
samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh
dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus. Obat-obat sekunder diberikan
untuk TBC yang disebabkan oleh kuman yang resisten atau bila obat primer
menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi..
DAFTAR PUSTAKA
Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah : Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah : Buku Saku dari Brunner dan
Suddart. Jakarta : EGC
Brooker Chris. 2009. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth, (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 1 & 2.
Jakarta : Penerbit buku kedokteran : EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : Buku Saku. Jakarta : EGC
Crofton, John. 2002. Pedoman penanggulangan Tuberkulosis, Widya Medika : Jakarta.
Departeman Kesehatan. Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran edisi ketiga jilid 1. Jakarta : FKUI.
Price, S., & Wilson. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit, Edisi.2.
Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.