Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Amenorea adalah tidak terjadi haid pada seorang perempuan. Amenorea dapat terjadi
tanpa disertai adanya perkembangan seks sekunder sampai usia 14 tahun atau bahkan
telah ada perkembangan seks sekunder namun sama sekali belum pernah mengalami
menars sampai dengan usia 16 tahun. Amenorea juga dapat terjadi pada wanita yang
telah mengalami menars(1).
Amenorea secara klasik dibedakan menjadi 2 yakni amenorea primer dan amenorea
sekunder yang menggambarkan terjadinya amenorea sebelum atau sesudah menars.
Amenore sekunder adalah amenore yang terjadi setelah menars paling sedikit selama 3
siklus berturut-turut(1,2).
Amenorea sekunder dapat terjadi oleh karena berbagai penyebab yang bila
dirangkum terbagi ke dalam 4 kompartemen yakni uterus dan patensu, ovarium, hipofisis
dan hipotalamus atau susunan saraf pusat(1).
Data Prevalensi amenorea sekunder secara global hampir tidak ada, namun menurut
BMJ prevalensi amenore primer di amerika serikat yakni <0,1% sedangkan amenore
sekunder 4% dari keseluruhan kasus amenore yang ada di amerika serikat. Penelitian
terakhir tentang epidemiologi amenore sekunder di tahun 1973 di Swedia
mengungkapkan bahwa insidens amenore sekunder sebesar 3,3% dan prevalensinya
dalam 1 tahun berkisar antara 4,4%. Belum ada data yang pasti tentang insidens maupun
prevalensi amenorea sekunder di Indonesia(2,3).
Amenorea sekunder disebabkan oleh berbagai penyebab, oleh karena itu penting
untuk mengetahui karakteristik penderita dengan amenore sekunder. Suatu penelitian di
Amerika serikat yakni karakteristik yang berhubungan dengan amenore sekunder dini
dan kehamilan dengan SLE menunjukan karakteristik yang berhubungan antara lain
status pernikahan dan penerimaan transplantasi ginjal. Penelitian terkait karakteristik
penderita amenore sendiri masih minimal(4).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka kami tertarik untuk mengajukan
penelitian dengan judul gambaran karakteristik penderita amenore sekunder di Poliklinik
kebidanan dan kandungan RSUD Prof. W.Z. Johannes Kupang bulan Januari-Desember
Tahun 2017.
1.2 RumusanMasalah
Berdasarkanlatarbelakang di atas, penelitiinginmengetahui “bagaimana
gambarankarakteristikpenderitaAmenore sekunder di poliklinik kebidanan dan kandungan
RSUD Prof. Dr. W.Z Johannes KupangpadabulanJanuari 2017sampaidesember2017?“
1.3 TujuanPenelitian
1.3.1 TujuanUmum
Penelitianinibertujuanuntukmengetahuigambarankarakteristikpenderitaamenore
sekunder di poliklinik kebidanan dan kandungan RSUD Prof. Dr. W.Z Johannes Kupang
pada bulan januari 2017 sampai desember 2017.
1.3.2 TujuanKhusus
a. Untukmengetahuiangkakejadianamenore sekunder di poliklinik kebidanan dan
kandungan RSUD Prof. Dr. W.Z Johannes KupangbulanJanuari
2017sampaiDesember 2017
b.Untukmengetahuisebarankejadianamenore sekunderberdasarkanumur, IMT,
pendidikanterakhir, status pernikahan, riwayat penggunaan kontrasepsi, serta
penyakit komorbiddi Poliklinik kebidanan dan kandungan RSUD Prof. Dr. W.Z
Johannes KupangbulanJanuari 2017sampaiDesember 2017
1.4 ManfaatPenelitian
1.4.1 Bagi SMF Kebidanan dan Kandungan RSUD Prof. W.Z. Johannes
Hasilpenelitianinidapatdijadikaninformasi dan data dasar terkait angka kejadian
amenorea sekunder di poliklinik kebidanan dan kandungan RSUD Prof. W.Z.
Johannes.
1.4.2Bagi dokter muda bagian Obstetri dan Ginekologi
Dapatmenjadipengalamandanmenambahwawasanbagipenelitidanpembacatentanggam
barankarakteristikpenderitaamenore sekunder di poloklinik kebidanan dan kandungan
RSUD Prof. Dr. W.Z Johannes Kupang, sertainformasi yang
diperolehdapatdijadikanacuan databagipenelitiberikutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Amenorea adalah tidak terjadi haid pada seorang perempua dengan mencakup salah
satu dari tiga tanda sebagai berikut:
 tidak terjadi haid sampai usia 14 tahun, disertai tidak adanya pertumbuhan
atau perkembangan tanda kelamin sekunder
 tidak terjadi haid sampai usia 16 tahun, disertai adanya pertumbuhan normal
dan perkembangan tanda kelamin sekunder
 tidak terjadi haid sedikitnya selama 3 bulan berturut-turut pada perempuan
yang sebelumnya pernah haid
Amenorea secara klasik dikategorikan menjadi dua yakni amenore primer dan
amenore sekunder yang menggambarkan terjadinya amenore sebelum atau sesudah terjadi
menarke. Amenore sekunder merupakan amenore yang terjadi sesudah menarke.(1)
2.2 Epidemiologi
Belum didapatkan data global terkait insidens dan prevalensi amenore secara umum
baik primer maupun sekunder namun, data di amerika serikat menunjukan bahwa prevalensi
amenore primer <0,1% sedangkan prevalensi amenore sekunder sebesar 4%. Sumber lain
juga mengatakan bahwa setiap tahunnya 5-7% wanita di Amerika serikat mengalami
amenorea sekunder 3 bulan. Tidak ada bukti yang menunjukan adanya perbedaan prevalensi
amenore pada suku atau kebangsaan tertentu namun faktor lingkungan terkait seperti gizi dan
prevalensi penyakit kronis tanpa diragukan, berkaitan dengan kejadian amenore sekunder.(2,3)
2.3 Etiologi(1,5)
Etiologi amenorea sekunder bervariasi namun bila dirangkum secara garis besar,
etiologi amenorea sekunder tergantung pada empat kompartemen yang mengatur siklus
menstruasi seorang wanita keempat kompartemen tersebut antara lain
 kompartemen 1 : gangguan pada uterus dan patensi (outflow tract)
 kompartemen 2: gangguan pada ovarium
 kompartemen 3: gangguan pada hipofisis
 kompartemen 4 : gangguan pada hipotalamus/ susunan saraf pusat.
1) Gangguan pada kompartemen 1:
 Sindroma Asherman
Terjadi kerusakan endometrium akibat tindakan kuretase berlebihan terlalu
dalam sehingga terjadi perlekatan intrauteri. Perlekatan akan menyebabkan
obliterasi lengkap atau parsial pada rongga uterus, ostium uteri interna, dan
kanalis servikalis. Hematometra tidak terjadi karena endometrium menjadi
tidak sensitif terhadap stimulus.
 Endometritis tuberkulosa
Umumnya timbul sekunder pada penderita salpingitis TB. Keadaan ini
ditemukan setelah dilakukan biopsi endometrium dan ditemukan tuberkel
dalam sediaan.
2) Gangguan pada kompartemen 2:
 Premature ovarian failure (POF)
POF merupakan hilangnya fungsi ovarium sebelum usia 40 tahun. terjadi
pada 1% perempuan dengan deplesi lebih awal pada folikel ovarium.
Keluhan yang timbul adalah amenore, oligomenore, infertilitas, dan keluhan
akibat defisiensi hormon esterogen. Terjadi peningkatan FSH dan LH sampai
lebih dari 5 kali kadar normal oleh karena hilangnya mekanisme umpan balik
ke hipotalamus akibat rendahnya produksi hormon esterogen ovarium. POF
dapat terjadi karena dua hal yakni spontan dan iatrogenik. POF yang terjadi
spontan disebabkan oleh kelainan genetik, penyakit otoimun, dan idiopatik.
Penyebab iatrogenik misalnya karena tindakan pembedahan, dapat juga
karena radiasi dan pemberian obat sitostatik. Penyakit infeksi seperti ooforitis
gondok juga dapat menyebabkan POF.
 PCOS
Sindrom ovarium polikistik adalah suatu anovulasi kronik yang
menyebabkan infertilitas dan bersifat hiperandrogenik, dimana terjadi
gangguan hubungan umpanbalik antara pusat (hipotalamus-hipofisis)dan
ovarium sehingga kadar estrogen selalutinggi yang berakibat tidak pernah
terjadi kenaikan kadar FSH yang cukup adekuat. Gambaran klinis PCOS
sangat bervariasi, tetapi secara umum dapatdijumpai gangguan menstruasi
dan gejala hiperandrogenisme. Keadaan klinis yang ditemukan ialah
gangguan menstruasidengan siklus menstruasi tidak teratur atautidak
menstruasi sama sekali, terkadangdisertai terjadinya perdarahan
uterusdisfungsional. Gejala hiperandrogenisme berupa hirsutisme, kelainan
seboroik padakulit dan rambut serta kebotakan denganpola seperti yang
ditemukan pada pria. Teslaboratorium yang dilakukan berupa teshormonal,
tidak saja penting untukdiagnosis tetapi juga sangat penting untukmelihat
kelainan secara keseluruhan.Kelainan endokrin yang ditemukan
ialahpeningkatan konsentrasi LH dan aktivitasandrogen yaitu testosteron dan
androstenedion. Pada pemeriksaan ultrasonografitransvaginal didapatkan
gambaran lebih dari 10 kista pada salah satu ovariumdengan ukuran <1 cm.
 Tumor Ovarium
Amenorea yang terjadi dapat disebabkan oleh tumor ovarium yang tidak
memrpoduksi hormon maupun oleh tumor ovarium yang memroduksi
hormon. Tumor ovarium yang tidak memroduksi hormon akan merusak
seluruh jaringan ovarium. Hormon yang diproduksi oleh tumor ovarium ialah
androgen dan estrogen. Androgen yang tinggi menekan sekresi gonadotropin,
sehingga menyebabkan amenorea, hirsutisme, hipertrofi klitoris, perubahan
suara, dan akne. Tumor yang memroduksi estrogen jarang menyebabkan
amenorea, namun sering terjadi perdarahan yang memanjang akibat
hiperplasia endometrium.
 Sindroma ovarium resistensi gonadotropin
Sindrom resistensi ovarium terjadi pada wanita amenore dengan
pertumbuhan dan perkembangan yang normal, namun memiliki peningkatan
kadar gonadotropin. Wanita ini akan sulit untuk hamil, bahkan dengan dosis
gonadotropin eksogen yang tinggi. Penyebab pasti kelainan ini belum
sepenuhnya terungkap namun diduga adanya gangguan pembentukan
reseptor gonadotropin di ovarium. Diduga adanya gangguan pembentukan
reseptor gonadotropin di ovarium akibat proses autoimun. Perlu dilakukan
biopsi ovarium untuk membedakan dengan menopause prekok.
3) Gangguan pada kompartemen 3:
 Sindroma Sheehan
Terjadi infark akut dan nekrosis pada kelenjar hipofisis yang disebabkan oleh
perdarahan pasca persalinan dan syok. Keluhan bisa terlihat segera setelah
melahirkan dalam bentuk kegagalan laktasi, berkurangnya rambut pubis dan
aksila. Sering terlihat defisiensi hormon pertumbuhan dan gonadotropin yang
diikuti dengan ACTH. Saat ini sindrom ini sudah jarang ditemukan karena
perawatan obstetri yang baiki pasca persalian. Perlu diketahui, bahwa
adenohipofisis sangat sensitif dalamkehamilan. Gejala baru muncul bila ¾
dariadenohipofisis mengalami kerusakan. Bilahal ini terjadi, maka semua
hormon yangdihasilkan oleh adenohipofisis akanmengalami gangguan.
 Empty sella syndrome
Merupakan kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak lengkapnya
diafragma sella sehingga terjadi ekstensi ruang subarachnoid ke dalam fosa
hipofisis. Tanda klinis akan dijumpai adanya galaktorea dan peningkatan
kadar prolaktin. Pada pemeriksaan sela tursika akan didapatkan gambaran
kelainan tersebut yang terjadi 4-16% pada perempuan dengan amenorea
galaktorea. Sindroma ini bukan merupakan keganasn dan tidak akan berlanjut
menjadi kegagalan hipofisis.
 Amenore galaktore
Pada wanita dengan oligomenore,amenore, galaktorea atau infertilitas, harus
diperiksa kadar prolaktin serum. Hiperprolaktinemia diperkirakan terjadi
pada 9% wanita dengan amenore, 25% wanitadengan galaktorea, dan 70%
wanita denganamenore dan galaktorea. Prolaktin merupakan hormon yang
diproduksi oleh sel-sellaktotrof yang terletak di bagian distallobus anterior
hipofisis. Pengeluaranprolaktin dihambat oleh prolactininhibiting factor (PIF)
yang identik dengandopamin. Bila PIF ini tidak berfungsi, atauproduksinya
berkurang maka akan terjadihiperprolaktinemia. Tidak berfungsinyaPIF
dapat disebabkan oleh: gangguan dihipotalamus; obat-obatan (psikofarmaka,
estrogen, domperidon, simetidin); kerusakanpada sistem portal hipofisis; dan
tumorhipofisis yang menghasilkan prolaktin(prolaktinoma), hipertiroid, dan
akromegali. Hiperprolaktinemia mengakibatkan reaksi umpan balik terhadap
hipotalamus,sehingga terbentuk dopamin dalam jumlahbesar yang akan
menghambat pengeluarangonadotropin-releasing hormone (GnRH)dan
dengan sendirinya akan terjadi
penurunan sekresi FSH dan LH. Hiperprolaktinemia juga
menyebabkanpenurunan sensitivitas ovarium terhadap FSH dan LH, memicu
produksi asi, sertamemicu sintesis androgen suprarenal. Pada
hiperprolaktinemia didapatkankadar prolaktin yang tinggi di dalam
darah(normal 5-25 ng/ml). Bila didapatkan kadarprolaktin yang tinggi harus
dicari adatidaknya prolaktinoma dengan menggunakan MRI atau CT scan.
Umumnya terjadigangguan haid mulai dari oligomenoreasampai amenorea
yang sangat bergantung dari kadar prolaktin serum. Kadar prolaktin>100
ng/ml selalu menyebabkan amenorea.Hiperprolaktinemia mengakibatkan
timbulnya gangguan pada pertumbuhan folikel,sehingga ovulasi tidak terjadi.
Kadang-kadang pasien mengeluh sakit kepala yangdisertai dengan amenorea,
serta gangguanpenglihatan. Bila hal ini ditemukan makaharus dipikirkan
adanya prolaktinoma.
4) Gangguan pada kompartemen 4:
 Amenore hipotalamik
Gangguan hipotalamus didiagnosis dengan menyingkirkan lesi
hipofisis.Gangguan ini sering berhubungan dengan keadaan yang penuh
dengan tekanan.Penyebab fungsional yang paling sering ditemukan berupa
gangguan psikis. Gangguan fungsional seperti ini paling banyak dijumpai
pada wanita pengungsi, dipenjara, sering mengalami stres, atau hidup dalam
ketakutan. Pasien dengan amenore hipotalamik (hipogonadotropin
hipogonadisme) memiliki defisiensi dari sekresi pulsatil GnRH. Tingkat
penekananGnRH menentukan bagaimana klinispasien ini. Penekanan ringan
dapatberhubungan dengan efek marginal darireproduksi, khususnya fase
luteal yangtidak adekuat. Penekanan sedang dapatmenghasilkan anovulasi
dengan ketidakteraturan menstruasi, dan penekanan yangkuat bermanifestasi
sebagai amenorehipotalamik.
 Anoreksia dan bulimia nervosa
Gejala anoreksia nervosa dimulai antara umur 10-30 tahun. badan tampak
kurus dengan berat badan <25% disertai pertumbuhan rambut lanugo,
bradikardia, aktivitas berlebih, bullimia, muntah yang dibuat sendiri,
amenorea dan lainya. Penyakit ini biasanya dijumpai pada perempuan muda
dengan gangguan emosional yang berat. Keadaan dimulai dengan diet untuk
mengontrol berat badan, selanjutnya diikuti ketakutan tidak dapat disiplin
untuk menjaga berat badan.
Bulimia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan episode makan
berlebihan dan dilanjutkan dengan menginduksi muntah, puasa atau
penggunaan obat pencahar dan diuretika. Anoreksia dan bulimia merupakan
gambaran disfungsi mekanisme tubuh untuk mengatur rasa haus, lapar, suhu
dan keseimbangan otonomik yang diregulasi oleh hipotalamus. Kadar FSH
dan LH rendah, sedangkan kadar kortisol meningkat. Pasien dengan bulimia
memiliki insidensi gejala depresif yang tinggi atau gangguan kecemasan.
Baik anoreksia nervosa maupun bulimia menetap sebagai masalah kronis
yang berjangka waktu lama yang ditemukan pada 50% kasus
5) Penyebab lain diluar keempat kompartemen tersebut: (5,6)
 Olahraga
Atlet wanita dengan olahraga yang penuh tekanan memiliki
peningkataninsidensi bermakna dari ketidakteraturan menstruasi dan
amenore akibat efekpenekanan hipotalamus. Bila latihandimulai sebelum
menarke, menarke dapattertunda hingga 2-3 tahun, dan insidensiberikutnya
dari ketidakteraturan menstruasilebih tinggi. Olahraga menurunkan
gonadotropin dan meningkatkan prolaktin, hormonpertumbuhan, testosteron,
ACTH, steroidadrenal, dan endorfin sebagai akibat dari sekresi yang
meningkat maupun bersihan yang berkurang. Hormon yang melepaskan
kortikotropin (CRH) secara langsung menghambatsekresi GnRH
hipotalamik, mungkindengan meningkatkan sekresi opioid endogen. Wanita
dengan amenore hipotalamik (termasuk olahragawan dan wanitadengan
gangguan pola makan) memperlihatkan hiperkortisolisme
(karenapeningkatan CRH dan ACTH), yangmenunjukkan bahwa ini
merupakan jalurdimana tekanan mengganggu fungsi reproduktif. Atlet
amenore yang memilikikadar kortisol kembali ke rentang normalmemperoleh
kembali fungsi menstrualdalam 6 bulan, kebalikan dengan atlet yang
mempertahankan kadar kortisol yangmeningkat dan terus mengalami
amenore.
 Gangguan tiroid dan glandula adrenal
Hipertiroidisme berat lebih banyak menyebabkan amenora dibanding
hipertiroidisme ringan atau hipotiroidisme dan kadar TSH serum harus
dievaluasi pada pasien penderita amenore. Hiperplasia adrena kongenital
onset lambat, androgen secreting tumor dan cushing syndrome harus
dibedakan dengan PCOS dalam evaluasi amenore hiperandrogenik. Kadar
17-hidroksiprogesteron serum yang tinggi yang diukur pada jam 07.00 pagi
menunjukan adanya hiperplasia adrenal kongenitalyagn dapat dikonfirmasi
dengan tes stimulasi adrenokortikotropin. Tumor ovarium atau tumor adrenal
harus dipertimbangkan dengan adanya onset cepat atau gejala atau ketika
kadar androgen serum sangat meningkat meskipun nilai cut off tidak spesifik.
Jarang, hiperkortisolisme karena cushing syndrome dapat mengakibatkan
amenore dan dapat dievaluasi dengan menggunakan tes supresi
deksametason ketika muncul stigmata penyakit
 Kehamilan dan penggunaan kontrasepsi
Semua evaluasi untuk amenore harus dimulai dengan tes kehamilan. Bila ada
nyeri abdomen pertimbangkan adanya suatu kehamilan ektopik. Pasien juga
harus ditanyakan tentang penggunaan kontrasepsi karena penggunaan pil
kombinasi siklus panjang, MPA injeksi (depo-provera) dan levonorgestrel
IUD (Mirena), implantable etonogestrel (implanon) dapat menyebabkan
amenore.

Tabel1 menunjukan penyebab amenore secara garis besar

2.4Penegakan Diagnosis(1,6)
1. Anamnesis
Pasien harus ditanyakan terkait pola makan dan olahraga, perubahan berat badan, mens
sebelumnya, penggunaan obat-obatan, penyakit kronis, ada tidaknya galaktorea dan gejala
kelebihan hormon androgen, gejala kelainan fungsi tiroid dan instabilitas vasomotor. Riwayat
hubungan seksual dapat membantu namun tidak menggantikan fungsi tes kehamilan dalam
evaluasi pasien amenore. Riwayat keluarga harus ditanyakan termasuk usia menars dan
adanya penyakit kronis. Meskipun normal bila menstruasi tidak teratur dalam beberapa tahun
pertama setelah menars, namun interval menstruasi biasanya tidak lebih dari 45 hari.
2. Pemeriksaan fisik
Harus dilakukan pemeriksaan tinggi badan, berat badan, indeks massa tubuh, palpasi massa
tiroid dan dilakukan tanner staging. Perkembangan payudara merupakan tanda produksi
esterogen ovarium. Jerawat, virilisasi atau hirsutisme dapat menunjukan adanya
hiperandrogenemia. Pemeriksaan genital dapat menunjukan adanya virilisasi (pada amenore
primer), bukti adanya obstruksi outflow atau hilangnya atau terjadi malformasi organ.
Mukosa vagina yang tipis menunjukan kadar esterogen yang rendah. Gambaran dismorfik
seperti webbed neck, atau garis rambut pendek, kelainan jantung dan limfedema dapat
menunjukan adanya sindrom turner.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
harus dilakukan pemeriksaan kehamilan dan pemeriksaan kadar LH, FSH, prolaktin dan
TSH serum pada pemeriksaan awal. Bila anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukan
adanya hyperandrogenic state dapat dilakukan pemeriksaan testosteron total dan kadar
dehidroepiandrosteron sulfat. Jika postur pasien pendek, harus dilakuka analisis kariotipe
untuk mengekslusikan adanya sindrom turner. Jika tidak terdapat adanya sekresi estradiol
endogen yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik (dalam hal ini pembentukan
payudara), dapat diperiksa kadar estradiol serum. Hitung darah lengkap dan pemeriksaan
fungsi metabolik menyeluruh dapat berguna bila anamnesis ataupun pemeriksaan fisik
mengarah pada penyakit kronis. USG pelvis dapat membantu mengkonfirmasi ada
tidaknya uterus dan dapat mengidentifikasi abnormalitas struktur organ reproduksi. Bila
dicurigai ada tumor kelenjar pituitari, maka dapat dilakukan MRI kepala. Dapat dilakukan
tes progestin (misalnya dengan medroxyprogesteron asetat (provera) 10 mg per oral setiap
hari selama 7 hari dengan antisipasi adanya perdarahan (withdrawal bleed) untuk
mengkonfirmasi anatomi fungsional dan esterogenisasi adekuat. Namun beberapa ahli
menangguhkan pemeriksaan ini karena korelasinya dengan status esterogen masih relatif
tidak reliabel
berikut ini adalah tabel yang merupakan ringkasan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang membantu dalam menegakan diagnosa pada kasus amenore
Tabel2 menunjukan temuan dalam evaluasi kasus amenore
2.5Evaluasi dan Algoritma Tatalaksana Amenore Sekunder(1,5-6)
Secara umum, diagnosa amenore dilakukan dalam tiga langkah yakni:
 Langkah pertama
Pastikan terlebih dahulu kehamilan dan lakukan pemeriksaan kadar TSH dan
prolaktin. Pemeriksaan kadar TSH untuk mengevaluasi kemungkinan kelainan
tiroid dan kadar prolaktin untuk mengevaluasi hiperprolaktinemia sebagai
penyebab amenore. Adanya galaktore (keluarnya air susu tanpa adanya
kehamilan) menunjukan perlunya pemeriksaan kadar prolaktin dan foto sela
tursika dengan MRI. Bila kedua pemeriksaan tersebut dalam batas normal
dilakukan tes progestin. Tes ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
esterogen endogen dan patensi traktus genitalia. MPA 10 mg diberikan selama
5-7 hari dan selanjutnya ditunggu 2-7 hari setelah obat habis untuk dilihat haid
atau tidak. Bila haid maka diagnosis adalah anovulasi. Tidak ada hambatan pada
traktus genitalia dan kadar esterogen endogen yang cukup untuk meumbuhkan
endometrium telah dapat ditegakan.
 Langkah kedua
Dikerjakan bila tidak terjadi perdarahan dengan tes progestin, yaitu dengan
pemberian esterogen progesteron siklik. Esterogen konjugasi 1,25mg atau
estradiol 2mg setiap hari selama 21 hari ditambah pemberian progestin (MPA
10mg setiap hari) pada 5 hari terakhir. Bila tidak terjadi perdarahan setelah
langkah kedua maka menunjukan adanya gangguan pada kompartemen I
(endometrium). Bila terjadi perdarahan berarti kompartemen I berfungsi baik
dengan stimulasi esterogen eksogen. Hasil ini menunjukan tidak ada esterogen
endogen karena perdarahan yang terjadi diakibatkan oeh stimulus esterogen
progesteron eksogen secara siklik
 Langkah ketiga
Langkah ketiga dikerjakan untuk mengetahui penyebab tidak adanya esterogen
endogen. Seperti diketahui bahwa esterogen dihasilkan folikel yang sefang
berkembang di ovarium setelah mendapat stimulus gonadotropin yang berasal
dari sentral (merupakan hasil kerja sama hipotalamus dan hipofisis). Langkah
ketiga dikerjakan untuk mengetahui apakah masalah tersebut berasal dari
kompartemen II (ovarium) atau kompartemen III dan IV (hipoifisis dan
hipotalamus). Pada langkah ketiga dilakukan pemeriksaan kadar LH dan FSH
yang sebaiknya dikerjakan 2 minggu setelah obat pada langkah ke 2 habis guna
menghindari penekanan esterogen ke sentral. Hasilnya dapat menunjukan kadar
gonadotropin rendah, normal atau meningkat. Kadar gonadotropin tinggi
menunjukan adanya masalah di Kompartemen II (ovarium), sedang bila kadar
gonadotropin rendah atau normal menunjukan ada masalah di kompartemen III
atau IV. Perempuan dengan amenore yang berusia dibawah 30 tahun sebaiknya
melakukan pemeriksaan kromosom kariotipe. Adanya tanda mosaik dengan
kromosom Y merupakan indikasi untuk dilakukan eksisi gonad karena risiko
terjadinya perubahan keganasan. Bila kadar gonadotropin rendah atau normal
perlu dilakukan MRI untuk membedakan lokasi antara hipotalamus atau
hipofisis.
Berikut ini adalah gambar alur diagnosa amenore berdasarkan langkah satu sampai
langkah 3

Gambar 1 alur diagnosa amenore secara umum


Berikut ini merupakan alur diagnosa kasus amenore sekunder menurut AAFP 2013

Gambar2 pendekatan diagnostik amenore sekunder menurut AAFP 2013. (DHEA-S =


dehydroepiandrosterone sulfate; FSH= follicle-stimulating hormone; LH = luteinizing
hormone; MRI = magnetic resonance imaging; TSH = thyroid-stimulating hormone.)

2.6 Komplikasi(2)
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus amenorea antara lain karsinoma endometrium,
tumor sel germinal (gonadoblastoma, disgerminoma), osteoporosis, penyakit kardiovaskuler,
risiko menderita diabetes dan infertilitas.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Identifikasi Variabel
3.1.1 Variabel bebas : Usia, Status Pernikahan, Pekerjaan, Pendidikan Terakhir, indeks massa
tubuh, penggunaan kontrasepsi, penyakit komorbid
3.1.2 Variabel tergantung : Kejadian Amenore sekunder
3.3 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Hasil Skala
Operasional Pengukuran
1. Usia Usia pasien saat Diambil 1. 20-30 tahun Ordinal
terdiagnosis melalui data 2. 31-50 tahun
amenore sekunder rekam medis 3. >50 tahun
2. Pendidikan Tingkat sekolah Diambil 1. Tidak Ordinal
terakhir paling akhir dari melalui data sekolah
pasien rekam medis 2. SD
3. SMP
4. SMA
5. Perguruan
tinggi
3 Indeks Massa Perbandingan Diambil 1. Kurus Numerik
Tubuh antara berat badan melalui data (<17kg/m2
dan kuadrat tinggi rekam medik )
badan 2. Normal
(17-
25kg/m2)
3. Obesitas
(25kg/m2)
4 Penggunaan Cara KB yang Rekam medik  Hormonal Nominal
kontrasepsi digunakan pasien  Non
saat terdiagnosa hormonal
5 Penyakit Penyakit penyerta Rekam medik  Gangguan Nominal
komorbid lain yang dialami tiroid
pasien saat  Adenoma
terdiagnosa hipofisis
amenorea sekunder  Sindrom
asherman
 TBC
 Gangguan
hipotalamu
s
 Gangguan
psikiatri
(anoreksia,
bulimia)

3.4 Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang ditujukan untuk
menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung saat ini atau saat yang
lampau

3.5 Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian ini akan dilakukan di RSUD Prof. Dr. W.Z Johannes Kupang.
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data rekam medis poliklinik kebidanan pada
bulan Januari 2017 sampai Desember 2017.

3.6 Populasi dan Sampel


3.6.1 Populasi
Populasi adalah semua pasien yang terdiagnosis amenore sekunder yang pernah
dirawat dan berkunjung di Poliklinik kebidanan dan kandungan RS W.Z Johannes pada
bulanJanuari 2017sampaiDesember 2017
3.6.2 Sampel
Sampel adalah semua pasien yang terdiagnosis amenore sekunder yang pernah
dirawat dan berkunjung di poliklinik kebidanan dan kandungan RS W.Z Johannes pada bulan
Januari 2017 sampai bulan Desember 2017 yang dipilih dengan menggunakan cara pemilihan
sampel non random yaitu total sampling dimana, peneliti memilih subjek penelitian
berdasarkan atas semua sampel yang didapatkan saat pengambilan data.

3.7 Alur Penelitian

Mengkaji data subjek penelitian


Mengumpulkan data
berdasarkan karekteristik yang diteliti
penelitian

Pembahasan dan Hasil

Kesimpulan

3.8 Analisis Data


3.8.1 Cara Pengumpulan Data
Data yang diambil menggunakan data rekam medis pasien yang terdiagnosa amenore
sekunder yang pernah dirawat dan berkunjung di poliklnik kebidanan dan kandungan RSUD
Prof. Dr. W.Z Johannes Kupang pada bulan Januari 2017 sampai Desember 2017.
3.8.2 Jenis Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan dari catatan rekam medik, kemudian dianalisis secara deskriptif,
berupa :
1. Usia
2. Pendidikan terakhir
3. IMT
4. Penggunaan kontrasepsi
5. Penyakit komorbid
3.8.3Cara Pengolahan Data
Data yang terkumpul akan dianalisis menggunakan analisis data univariat untuk
mendeskripsikan variabel bebas dan terikat yang ditampilkan dalam bentuk grafik, tabel
dan narasi dengan menggunakan bantuan program SSPS 16 for windows
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. DR.W. Z. Johanes

Kupang yang terletak di Jalan Dr. Moch Hatta No.19 Kupang, Nusa Tenggara Timur. Rumah

Sakit Umum Daerah Prof. DR.W. Z. Johannes adalah milik perintah Propinsi Nusa Tenggara

Timur dengan dasar hukum pada surat Keputusan Menteri Kesehatan No.

94/MENKES/SK/1995 tentang Rumah Sakit Umum Prof. DR.W. Z. Johannes. Penelitian ini

dilakukan dengan merekap data pasien amenore sekunder melalui dokumen rekam medik

pada periode januari sampai desember 2017

4.2 Analisis
4.2.1 Usia
Rentang Usia Responden
(Tahun) Frekuensi Persentase
(n) (%)
10 – 20 1 5,3
21 – 30 6 31,6
31 – 40 8 42,1
41 – 50 4 21,0
Total 19 100

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa amenoresekunder terjadi pada ibu-ibu dalam

rentang usia 10 – 50 tahun. Dengan prevalensi tertinggi ditemukan pada rentang usia 31- 40

dengan jumlah 8 kasus (42,1%) dan paling sedikit ditemukan pada usia 10-20 tahun yaitu

berjumlah 1 kasus (5,3%).

4.2.2 Pendidikan
Responden
Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase
(n) (%)
SMP 2 10,53
SMA 9 47,37
Perguruan Tinggi 8 42,1
Total 19 100
Berdasarkan tingkat pendidikan ditemukan bahwa kejadian amenoresekunder paling

sering ditemukan pada tingkat pendidikan SMA sebesar 9 kasus (47,37%) dan paling jarang

ditemukan pada tingkat pendidikan SMP yaitu 2 kasus (10,53%).

4.2.3 Indeks Massa Tubuh


Responden
Indeks Massa Tubuh Frekuensi Prevalensi
(n) (%)
Kurang 3 15,79
Normal 6 31,58
Overweight 4 21,05
Obesitas 6 31,58
Total 19 100

Berdarasakan indeks massa tubuh ditemukan bahwa kejadian amenoresekunder paling

banyak ditemukan pada ibu yang memilikiindeksmassatubuh normal danobesitas yang

masing-masingberjumlah 6 kasus (31,58%) dan paling jarang ditemukan pada ibu dengan

indeks massa tubuh kuran yaitu 3 kasus (15,79%).

4.2.4 PenggunaanKontrasepsi
Responden
PenggunaanKontrasepsi Frekuensi Prevalensi
hormonal (n) (%)
Ya 5 26,32
Tidak 14 73,68
Total 19 100
Berdasarkan Penggunaankontrasepsiditemukanbahwaibu yang

tidakmenggunakankontrasepsi hormonallebihbanyakterjadiamenoresekunderdaripada yang

menggunakanyaitu 13 kasus (73,68%) dan yang menggunakankontrasepsiyaitu 5 kasus

(26,32%).

4.2.5 Faktor Komorbid


Responden
FaktorKomorbid Frekuensi Prevalensi
(n) (%)
Ada 4 21,05
Tidak 15 78,95
Total 19 100

Berdasarkan adatidaknyafaktorkomorbid ditemukankejadian amenoresekunder paling

sering terjadi pada ibu yang tidak memiliki faktor komorbid yaitu sebesar 15 kasus (78,95%)

dan paling sedikit pada ibu yang memilikifaktorkomorbid yaitu sebesar 4 kasus (21,05%).

. Pada penelitian ini didapatkan kejadian amenore sekunder paling banyak terjadi pada

ibu dengan rentang usia 31-40 tahun sebesar 8 sampel (38,7%), kemudian pada tingkat

pendidikan SMA sebanyak 9 kasus (47,37%), pada wanita dengan indeks massa tubuh

normal dan obesitas dimana masing-masing terdapat 6 kasus (31,58%), pada wanita yang

tidak menggunakan kontrasepsi dimana hal ini dapat disebabkan karena sebagian besar

sampel belum menikah, kemudian wanita dengan amenore sekunder yang memiliki faktor

komorbid hanya didapati pada 4 subjek (22,05%).


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai karakteristik pasien amenore sekunder

pada poli rawat jalan Kebidanan dan kandungan RSUD Prof. Dr. W. Z. Yohannes Kupang

pada bulan Januari sampai Desember 2017 dapat disimpulkan :

1. Jumlah pasien dengan diagnosa amenore sekunder yang berobat ke poli kebidanan dan

kandungan bulan Januari sampai Desember 2017 sebanyak19 pasien

2. Karakteristik pasien berdasarkan usia menunjukkan bahwa responden yang paling banyak

mengalami abortus inkomplit adalah usia 31 -40 dengan jumlah 8 kasus (42,1%).

3. Karakteristik pasien berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa responden yang

paling banyak mengalami amenore sekunder adalah responden dengan tingkat

pendidikanSMA sebesar 9 kasus (47,3%).

4. Karakteristik pasien berdasarkan Indeks massa tubuh menunjukkan bahwa pasien yang

paling banyak mengalami amenore sekunder adalah wanita dengaan indeks massa tubuh

normal dan obesitas dimana masing-masing 6 kasus (31,58%)

5. Karakteristik pasien berdasarkan status penggunaan kontrasepsi hormonal menunjukkan

bahwa pasien yang paling banyak mengalami amenore sekunder adalah wanita yang tidak

menggunakan kontrasepsi hormonal yaitu sebanyak 13 kasus (73,68%)

6. Karakteristik pasien berdasarkan faktor penyakit komorbid yang mendasarinya

menunjukkan bahwa pasien yang paling banyak mengalami amenore sekunder adalah

wanita yang tidak memiliki penyakit komorbid yaitu sebanyak 15 kasus (78,95%)

5.2 Saran

a. Pada wanita usia reproduktif untuk memantau keteraturan siklus haid dan

memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan bila didapati siklus haid yang tidak teratur.
b. Bagi penelitian lain diharapkan dapat meneliti lebih lanjut mengenai hubungan

amenore sekunder dengan faktor-faktor risiko yang terkait.

5.3 Keterbatasan Penelitian

a. Penelitian ini hanya berupa penelitian deskriptif dengan menilai mengenai gambaran

karakteristik pasien dengan amenore sekunder tanpa menganalisis hubungannya

b. Prevalensi kejadian amenore sekunder pada penelitian ini hanya mencakup instalasi

rawat jalan saja dan belum mencakup data keseluruhan amenore sekunder.

c. Pada penelitian ini sumber data hanya berupa data sekunder yang didapatkan dari data

register pasien rawat jalan.

d. Pada penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan merupakan non

random yaitu total sampling sehingga memerlukan teknik pengambilan sampel yang

dapat mengurangi bias


DAFTAR PUSTAKA
1) Hendarto H, Buku Ajar Ilmu Kandungan. Jakarta.Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo:
2014. Gangguan Haid/Perdarahan uterus abnormal, hal 173-181. Bahasa Indonesia
2) BMJ Best Practice. Evaluation of Secondary Anemia [Online] Diakses tanggal 6 Mei 2018
[sitasi tanggal 7 Mei 2018]; Available from: URL:http://bestpractice.bmj.com/topics/en-
us/1102
3) Bielak K. Amennorhea [Online] diakses tanggal 6 Mei 2018 [sitasi tanggal 7 Mei 2018];
Available from: URL: https://emedicine.medscape.com/article/252928-overview#a6
4) Knight J, Howards P, Spencer J, Tsagaris K, Lim S. Charactheristics related to secondary
amenorrhea and pregnancy among woman diagnosed with systemic lupus erythematosus:
an analysis using goal study. Lupus Science and Medicine. 2016: 1-10
5) Suparman. Amenorea Sekunder: Tinjauan dan Diagnosis. Jurnal Biomedik. 2017;
9(3):144-151
6) Klein D, Poth M. Amenorrhea: an approach to diagnosis and management. Amerincan
Family Physician. 2013; 87(11): 781-788

Anda mungkin juga menyukai