BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
Pityriasis versicolor adalah infeksi jamur superfisial pada kulit yang
disebabkan oleh Malassezia furfur atau Pityrosporum orbiculare dan ditandai
dengan adanya makula di kulit, skuama halus dan disertai rasa gatal. Infeksi ini
bersifat menahun, ringan dan biasanya tanpa peradangan. Pityriasis versicolor
biasanya mengenai wajah, leher, badan, lengan atas, ketiak, paha, dan lipatan
paha. (Madani A, 2000)
Penyakit ini terutama terdapat pada orang dewasa muda, dan disebabkan
oleh ragi Malassezia, yang merupakan komensal kulit normal pada folikel
pilosebaseus. Ini merupakan kelainan yang biasa didapatkan di daerah beriklim
sedang, bahkan lebih sering lagi terdapat di daerah beriklim tropis. Alasan
mengapa multipikasi ragi tersebut sampai terjadi dan dapat menimbulkan lesi kulit
pada orang-orang tertentu belum diketahui. (Graham-Brown, 2005)
2.1.2. Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah Malassezia furfur, yang dengan pemeriksaan
morfologi dan imunoflorensi indirek ternyata identik dengan Pityrosporum
orbiculare. (Madani A, 2000). Prevalensi Pityriasis versicolor lebih tinggi (50%)
di daerah tropis yang bersuhu hangat dan lembab. (Radiono, 2001)
2.1.3. Epidemiologi
Pityriasis versicolor adalah penyakit universal tapi lebih banyak dijumpai
di daerah tropis karena tingginya temperatur dan kelembaban. Menyerang hampir
semua umur terutama remaja, terbanyak pada usia 16-40 tahun. Tidak ada
perbedaan antara pria dan wanita, walaupun di Amerika Serikat dilaporkan bahwa
penderita pada usia 20-30 tahun dengan perbandingan 1,09% pria dan 0,6%
wanita. Insiden yang akurat di Indonesia belum ada, namun diperkirakan 40-50%
dari populasi di negara tropis terkena penyakit ini, sedangkan di negara subtropis
yaitu Eropa tengah dan utara hanya 0,5-1% dari semua penyakit jamur. (Partogi,
2008)
Pityriasis versicolor dapat terjadi di seluruh dunia, tetapi penyakit ini lebih
sering menyerang daerah yang beriklim tropis dan sub tropis. Di Mexico 50%
penduduknya menderita penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi pada pria dan
wanita, dimana pria lebih sering terserang dibanding wanita dengan perbandingan
3 : 2. (Amelia, 2011)
2.1.5. Patogenesis
Pityriasis versicolor timbul bila Malassezia furfur berubah bentuk menjadi
bentuk miselia karena adanya faktor predisposisi, baik eksogen maupun endogen.
(Partogi, 2008)
1. Faktor eksogen meliputi suhu, kelembaban udara dan keringat,
(Budimulja, 2001). Hal ini merupakan penyebab sehingga Pityriasis
versicolor banyak di jumpai di daerah tropis dan pada musim panas di
daerah subtropis. Faktor eksogen lain adalah penutupan kulit oleh pakaian
atau kosmetik dimana akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi CO2,
mikroflora dan pH. (Partogi, 2008)
2. Sedangkan faktor endogen meliputi malnutrisi, dermatitis seboroik,
sindrom cushing, terapi imunosupresan, hiperhidrosis, dan riwayat
keluarga yang positif. Disamping itu bias juga karena Diabetes Melitus,
pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan, dan penyakit – penyakit
berat lainnya yang dapat mempermudah timbulnya Pityriasis versicolor.
(Partogi, 2008)
Patogenesis dari makula hipopigmentasi oleh terhambatnya sinar matahari
yang masuk ke dalam lapisan kulit akan mengganggu proses pembentukan
melanin, adanya toksin yang langsung menghambat pembentukan melanin, dan
adanya asam azeleat yang dihasilkan oleh Pityrosporum dari asam lemak dalam
serum yang merupakan inhibitor kompetitf dari tirosinase. (Partogi, 2008)
2.1.8. Diagnosis
Selain mengenal kelainan-kelainan yang khas yang disebabkan oleh
Malassezia fulfur diagnosa Pityriasis versicolor harus dibantu dengan
pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10%.
2.1.9. Pengobatan
Pengobatan Pityriasis versicolor dapat diterapi secara topikal maupun
sistemik. Tingginya angka kekambuhan merupakan masalah, dimana mencapai
60% pada tahun pertama dan 80% setelah tahun kedua. Oleh sebab itu diperlukan
terapi, profilaksis untuk mencegah rekurensi:
1. Pengobatan Topikal
2. Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun dan konsisten. Obat
yang dapat digunakan ialah :
a. Selenium sulfida 1,8% dalam bentuk shampoo 2-3 kali seminggu. Obat
digosokkan pada lesi dan didiamkan selama 15-30 menit sebelum
mandi
b. Salisil spiritus 10%
c. Turunan azol, misalnya : mikozanol, klotrimazol, isokonazol dan
ekonazol dalam bentuk topikal
d. Sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%
e. Larutan Natrium Tiosulfas 25%, dioleskan 2 kali sehari sehabis mandi
selama 2 minggu. (Partogi, 2008)
3. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus Pityriasis versicolor yang luas
atau jika pemakaian obat topikal tidak berhasil. Obat yang dapat diberikan
adalah :
a. Ketoconazole
Dosis: 200 mg per hari selama 10 hari
b. Fluconazole
Dosis: dosis tunggal 150-300 mg setiap minggu
c. Itraconazole
Dosis: 100 mg per hari selama 2 minggu. (Madani A, 2000)
kedaan yang bertahan lama ini janganlah dianggap sebagai suatu kegagalan
pengobatan. (Graham-Brown, 2005)
2.1.10. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya Pityriasis versicolor dapat disarankan
pemakaian 50% propilen glikol dalam air untuk pencegahan kekambuhan. Pada
daerah endemik dapat disarankan pemakaian ketokonazol 200 mg/hari selama 3
bulan atau itrakonazol 200 mg sekali sebulan atau pemakaian sampo selenium
sulfid sekali seminggu. (Radiono, 2001)
Untuk mencegah timbulnya kekambuhan, perlu diberikan pengobatan
pencegahan, misalnya sekali dalam seminggu, sebulan dan seterusnya. Warna
kulit akan pulih kembali bila tidak terjadi reinfeksi. Pajanan terhadap sinar
matahari dan kalau perlu obat fototoksik dapat dipakai dengan hati-hati, misalnya
oleum bergamot atau metoksalen untuk memulihkan warna kulit tersebut.
(Madani A, 2000)
2.1.11. Prognosis
Prognosisnya baik dalam hal kesembuhan (Radiono, 2001) bila
pengobataan dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten. Pengobatan harus di
teruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu Wood
dan sediaan langsung negatif. (Partogi, 2008)
2) Obesitas.
2) Konsumsi alkohol.
3) Kebiasaan mendengkur.
4) Faktor stress.
5) Kebiasaan merokok.
6) Jenis kelamin.
7) Lama tidur.
2.2.4. Patofisiologi
Diabetes Melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan
insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3
jalan, yaitu :
a. Rusaknya sel-sel β pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia
tertentu, dll).
e. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat
perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik.
Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
berbagai percobaan, baik in vitro maupun in vivo, yang dapat berperan penting
dalam pertumbuhan sel, diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks ekstraselular.
Diantara zat ini adalah mitogen activated protein kinases (MAPKs), PKC-13
isoform dan extracellular regulated protein kinase (ERK). Ditemukannya zat yang
mampu menghambat aktivitas zat zat tersebut telah terbukti mengurangi akibat
yang timbul, seperti mencegah peningkatan derajat albuminuria dan derajat
kerusakan struktural berupa penumpukan matriks mesangial. Kemungkinan besar
perubahan ini diakibatkan penurunan ekspresi transforming growth factor-f3
(TGF-) dan penurunan extra-cellular matrix (ECM). Peran TGF- dalam
perkembangan nefropati diabetik ini telah ditunjukkan pula oleh berbagai peneliti,
bahwa kadar zat ini meningkat pada ginjal pasien diabetes. Berbagai proses di atas
dipercaya bukan saja berperan dalam terbentuknya nefropati pada pasien DM
akan tetapi juga dalam progresifitasnya menuju tahap lanjutan. (Suwitra, 2006).
b. Banyak kencing.
c. Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun 5-10
kg dalam waktu 2-4 minggu).
d. Mudah lelah.
e. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh
yang disebut dengan koma diabetik.
4) Kram.
5) Capai.
6) Mudah mengantuk.
Kriteria Diagnosis DM
b. Gejala klasik DM + Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/ dl (7.0 mmol/L).
Puasa adalah pasien tak mendapat kalori sedikitnya 8 jam.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDTP tergantung dari hasil
yang diperoleh :
TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dl (7,8-
11,0 mmol/L)
GDPT : glukosa darah puasa antara 100 – 125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/L)
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan atau menghambat
timbulnya komplikasi dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal
penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan tes penyaringan terutama pada populasi
resiko tinggi. Menurut WHO (1994) untuk negara berkembang termasuk
Indonesia kegiatan tersebut memerlukan biaya yang sangat besar (PERKENI,
2002). Pada pencegahan sekunder penyuluhan tentang perilaku terhadap sehat
seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan ditambah dengan peningkatan
pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan, disamping itu
juga diperlukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal
mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.
c. Pencegahan Tertier
Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya terdiri
dari 3 tahap, antara lain :
1. Mencegah timbulnya komplikasi.
Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik antara pasien dan dokter
maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan
komplikasinya. Dalam hal ini peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya (Soegondo,
2004).
a. Edukasi / Penyuluhan
Edukasi diabetes adalah pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan
dan keterampilan dalam pengelolaan diabetes yang diberikan kepada setiap
penderita diabetes. Disamping kepada penderita, edukasi juga diberikan kepada
anggota keluarga penderita dan kelompok masyarakat yang beresiko tinggi. Tim
kesehatan harus senantiasa mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku. Makanya dibutuhkan edukasi yang komprehensif, pengembangan
keterampilan dan motivasi (Waspadji, 1997).
Beberapa hal yang perlu dijelaskan pada penderita Diabetes Melitus
adalah apa penyakit Diabetes Melitus itu, cara perencanaan makanan yang benar
(jumlah kalori, jadwal makan dan jenisnya), kesehatan mulut (tidak boleh ada sisa
makan dalam mulut, selalu berkumur setiap habis makan), latihan ringan, sedang,
teratur setiap hari dan tidak boleh latihan berat, menjaga baik bagian bawah ankle
joint (daerah berbahaya) seperti : sepatu, potong kuku, tersandung, hindari trauma
dan luka (Waspadji, 1997).
b. Diet Diabetes
Tujuan utama terapi diet pada penderita Diabetes Melitus adalah
menurunkan atau mengendalikan berat badan disamping mengendalikan kadar
gula atau kolesterol. Semua ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien dan mencegah paling tidak menunda terjadinya komplikasi akut maupun
kronis. Penurunan berat badan pasien Diabetes Melitus yang mengalami obesitas
umumnya akan menurunkan resistensi insulin. Dengan demikian, penurunan berat
badan akan meningkatkan pengambilan glukosa oleh sel dan memperbaiki
pengendalian glukosa darah (Mirza, 2008).
c. Latihan Fisik
Diabetes Melitus akan terawat dengan baik apabila terdapat keseimbangan
antara diet, latihan fisik secara teratur setiap hari dan kerja insulin. Latihan juga
dapat membuang kelebihan kalori, sehingga dapat mencegah kegemukan juga
bermanfaat untuk mengatasi adanya resistensi insulin pada obesitas (Noer, 1996).
Meskipun latihan teratur itu baik untuk penderita diabetes melitus, tetapi
syarat yang harus dipenuhi adalah persediaan insulin di dalam tubuh harus cukup.
Apabila latihan dikerjakan oleh penderita Diabetes Melitus yang tidak cukup
persediaan insulinnya, maka latihan akan memperburuk bagi penderita tersebut.
Beberapa kegunaan dari latihan teratur setiap hari pada penderita diabetes melitus
antara lain :
a. Meningkatkan kepekaan insulin apabila dikerjakan setiap 1,5 jam sesudah
makan dapat mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas
insulin pada reseptornya.
d. Glikogen otot dan hati menjadi kurang, maka selama latihan akan dirangsang
pembentukan glikogen baru.
d. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah normal
belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan fisik. Dalam pengelolaan
diabetes melitus yang memakai obat hipoglikemia ini ada dua macam obat yang
diberikan yaitu pemberian secara oral dan secara injeksi. Obat yang diberikan
secara oral/hipoglikemia yang umum dipakai adalah Sulfonilurea dan Binguanid.
Sedangkan yang diberikan secara injeksi adalah insulin (Waspadji, 1997).
2.2.10. Prognosis
2.3.1. Patofisiologi
Patofisiologi timbulnya manifestasi penyakit kulit pada penderita diabetes
melitus belum sepenuhnya diketahui. Menurut Djuanda (2007), kadar gula kulit
(glukosa kulit) merupakan 55% kadar gula darah (glukosa darah) pada orang
biasa. Pada penderita diabetes, rasio meningkat sampai 69-71% dari glukosa darah
yang sudah meninggi. Pada penderita yang sudah diobati pun rasio melebihi 55 %.
Gula kulit berkonsentrasi tinggi di daerah intertriginosa dan interdigitalis. Hal
tersebut mempermudah timbulnya dermatitis, infeksi bakterial (terutama
furunkel), dan infeksi jamur (terutama kandidosis). Keadaan-keadaan ini
dinamakan diabetes kulit.