Anda di halaman 1dari 14

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
REFERAT
Oktober 2018

PENANGANAN DEHISENSI LUKA MENGGUNAKAN MADU

OLEH :
Fitra Kemalasari Badrun
N 111 17 076

Pembimbing :
dr. Daniel Saranga , Sp.OG (K)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Pembedahan merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan teknik invasif


dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani melalui sayatan yang
diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Pembedahan dilakukan karena beberapa
alasan, salah satunya adalah kuratif dan menurut jenisnya dibedakan menjadi dua jenis yaitu
bedah mayor dan bedah minor. Setiap tindakan yang termasuk bedah mayor selalu
berhubungan dengan adanya insisi (sayatan).1
Dehisensi adalah keadaan dimana terbukanya kembali sebagian atau seluruhnya luka
operasi yang sering pada organ kulit dehisensi luka post operasi merupakan komplikasi utama
yang serius. kejadiannya berkisar antara 0,25 sampai 3 persen dari seluruh operasi yang
dilakukan, dengan angka kematian berkisar antara 10-20%. Terjadinya dehisensi luka berkaitan
dengan berbagai kondisi seperti anemia, hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan
diabetes, usia lanjut, prosedur pembedahan seperti pembedahan pada kolon atau laparotomi
emergency. Dehisensi luka juga dapat terjadi karena perawatan luka yang tidak adekuat serta
faktor mekanik seperti batuk batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta teknik
operasi yang kurang baik.1
Penanganan dehisensi luka secara umum dibedakan menjadi penanganan operatif dan
penanganan non operatif. Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita luka
operasi terbuka. Sedangkan penanganan non operatif dilakukan diberikan kepada penderita
yang sangat tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi. Penggunaan gula pasir atau madu pada
penyembuhan luka melalui pembersihan luka dan jaringan nekrotik dapat mengurangi jumlah
bakteri pathogen serta sebagai debridemen autolitik. 2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dehisensi Luka
1. Definisi
Dehisensi luka adalah salah satu komplikasi dari proses penyembuhan luka yang
didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya kembali sebagian atau
seluruhnya luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses
penyembuhan luka operasi.3

2. Klasifikasi
(1) Dehisensi luka operasi dini; terjadi kurang dari 3 hari pasca operasi yang
biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak
baik.2
(2) Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari
pasca operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya
infeksi, status gizi dan faktor lainnya.2

3. Manifestasi Klinik
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering
merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar disertai
keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus). Pada
pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula tanda-tanda
infeksi umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar
luka operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi.4
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis terjadi
pada hari keempat hingga hari kesembilan pasca operasi. Penderita biasanya datang
dengan klinis febris, hasil lanoratorium didapatkan jumlah leukosit yang sangat
tinggi dan pemeriksaan jaringan disekitar luka operasi didapatkan reaksi radang
berupa kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan terdapat pus. 3

3
4. Etiologi 5
(1) Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan semakin
meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor mekanik
tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom
serta teknik operasi yang kurang.
(2) Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan
keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat mempengaruhi proses
penyembuhan luka.
(3) Faktor infeksi : Secara klinis biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 pasca operasi
dengan gejala suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar
luka.

5. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya wound dehiscence dibedakan atas faktor preoperasi
yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik penderita, faktor operasi
yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik penjahitan, serta faktor
pascaoperasi.4
Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih rentan
dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi, obesitas, diabetes
mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi dan kemoterapi, keganasan,
sepsis, penyakit paru obstruktif serta pemakaian kortikosteroid jangka panjang.
Faktor risiko operasi antara lain :4
(1) Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka daripada
transversal dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik, sehingga arah
kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan arah insisi sehingga akan
mereganggkan jahitan operasi.
(2) Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis juga
berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi memiliki
keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan jaringan, namun di
sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya.
(3) Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih aman daripada
tekhnik penjaitan kontinyu.

4
(4) Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi suatu
perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh tubuh sering
kali tidak dapat diperkirakan.
Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkan terjadinya
dehisensi luka antara lain:6
(a) Peningkatan tekanan intra abdomen misalnya batuk, muntah, ileus dan
retensio urin. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-otot
dinding abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding
abdomen iniah yang akan menyebabkan berkurangnya kekuatan jahitan
bahkan pada kasus yang berat akan menyebabkan putusnya benang pada
jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan dalam ronggaabdomen.
(b) Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal
Perawatan luka pasca operasi yang tidak optimal memudahkan terjadinya
infeksi pada luka sehingga memudahkan pula terjadinya dehisensi luka
operasi.
(c) Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat.
Asupan nutrisi yang tidak adekuat terutama protein salah satunya akan
menyebabkan hipoalbuminemia, keadaan ini akan mengurangi sintesa
kolagen yang merupakan bahan dasar penyembuhan luka. Defisiensi
tersebut akan mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yang
merupakan proses awal penyembuhan luka.
(d) Terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker : radiasi pasca operasi
dapat menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya
fibrosis dan mikroangiopati.

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dehisensi luka dibedakan menjadi penatalaksanaan non
operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif.7,8
(a) Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita dehisensi.
Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka yang
dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang
terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota bag
repair.
5
Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan
hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan keadaan stabil,
dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena kesalahan tekhnik
penjahitan. Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan
debridement terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi.
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi luka
jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu
mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi
dilakukan dalam 48-72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi
ditegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan
lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan sekaligus
dan dapat dipertimbangkan penggunaan drain luka intraabdominal. Jika
terdapat tanda- tanda sepsis akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi
dan lakukan perawatan luka operasi. secara terbuka dan pastikan
kelembaban jaringan terjaga. Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan
ulang adalah benang monofilament nonabsorbable yang besar. Jahitan
penguat luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu.
Selain Rehecting, metode yang biasa dilakukan antara lain mesh repair,
yaitu penutupan luka dengan bahan sintetis yaitu mesh yang berbentuk
semacam kasa halus elastis yang berfungsi sebagai pelapis pada jaringan
yang terbuka tersebut dan bersifat diserap oleh tubuh. Namun mesh repair
menimbulkan angka komplikasi yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat
sekitar 80% pasien dengan mesh repair mengalami komlplikasi dengan 23%
mengalami enteric fistulation.
Selain itu digunakan pula vacuum pack. Tekhnik ini menggunakan
sponge steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu
ditutup dengan vacuum bag dengan sambungan semacam suction di bagian
bawahnya.
Tekhnik lain yang digunakan adalah Bogota bag. Tekhnik ini dilakukan
pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi. Bogota bag adalah kantung
dengan bahan dasar plastik steril yang merupakan kantong irigasi genitourin
dengan daya tampung 3 liter yang digunakan untuk menutup luka operasi
yang terbuka kembali. Plastik ini dijahit ke kulit atau fascia pada dinding
abdomen anterior.
6
(b) Penanganan Nonoperatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat tidak
stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita
berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau
pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat
dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka.
Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat untuk
mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula antibiotik
yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka. Selain itu,
pemberian gula pasir atau madu pada penyembuhan luka melalui
pembersihan luka dan jaringan nekrotik dapat mengurangi jumlah bakteri
pathogen serta sebagai debridemen autolitik.
a) Madu dalam penyembuhan luka
Madu merupakan cairan kental, dengan kandungan gula jenuh,
berasal dari nektar bunga yang dikumpulkan dan dimodifikasi oleh
lebah madu Apis mellifera. Secara umum, madu memiliki
kandungan utama ± 30% glukosa, 40% fruktosa, 5% sukrosa, dan
20% air; selain itu, terkandung pula sejumlah senyawa asam amino,
vitamin, mineral, dan enzim.9
Kandungan gula yang tinggi dalam madu mampu
memperlambat pertumbuhan bakteri. Teksturnya yang kental
membantu pembentukan lapisan pelindung anti pembusukan dari
luar. Hasil penelitian melaporkan bahwa madu diketahui memiliki
kemampuan sebagai efek antibakteri, seperti Staphylococcus aureus
dan Escherichia coli. Penelitian lain juga menyebutkan madu
mengandung zat antibakteri sehingga baik untuk mengobati luka
luar dan penyakit infeksi. Madu mempunyai sifat
osmolalitas yang tinggi sehingga bakteri sulit untuk hidup. Sifat
ini terdapat pada madu murni, sedangkan pada madu campuran
bakteri masih bisa hidup.9,10

7
Aktivitas antibakteri madu terjadi karena adanya hidrogen
peroksida, flavonoid, dan konsentrasi gula hipertonik. Hidrogen
peroksida dibentuk didalam madu oleh aktivitas enzim glucose
oxide yang memproduksi asam glukonat dan hidrogen peroksida
dari glukosa. Enzim ini akan aktif apabila madu diencerkan.
Hidrogen peroksida yang terbentuk akan terakumulasi dalam
medium biakan yang akan menginhibisi pertumbuhan bakteri.
Hidrogen peroksida pada madu merupakan antiseptik
karena sifatnya sebagai antibacterial. Hidrogen peroksida dapat
menghambat sekitar 60 jenis bakteri aerob maupun anaerob serta
bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.9
Flavonoid merupakan antioksidan dan antibiotik yang berfungsi
menguatkan dan mengantisipasi kerusakan pada pembuluh darah
serta bahan aktif yang berfungsi sebagai anti perandangan dan anti
virus. Konsentrasi gula hipertonik dapat memiliki efek dalam
menghambat pertumbuhan bakteri. Glukosa dengan konsentrasi
tinggi yang terkandung terkandung dalam madu mampu
membunuh bakteri karena adanya proses osmosis antara cairan
dalam sel dengan lingkungan luar. 9
Madu mempunyai pH yang berkisar dari 3,5-4,5, sehingga
bakteri tidak dapat mempertahankan hidupnya.
Keasaman memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan
dan kelangsungan hidup bagi sel bakteri. Setiap spesies memiliki
kisaran optimum keasaman untuk pertumbuhan. Ketika pH
turun sampai batas terendah untuk pertumbuhan bakteri, tidak
hanya sel bakteri yang akan berhenti pertumbuhannya, tetapi
bakteri juga akan kehilangan kemampuan hidupnya. Selain itu
madu juga mengandung antibiotik yang berguna untuk melawan
bakteri patogen penyebab penyakit infeksi, sehingga pertumbuhan
beberapa mikroorganisme yang berhubungan dengan penyakit atau
infeksi dapat dihambat oleh madu.10

8
9
10
11
7. Komplikasi
Eviserasi dapat menyertai keadaan dehisensi komplit dan merupakan
komplikasi post op yang berbahaya dengan angka mortalitas 35%.
Dehisensi secara tunggal dapat pula menyebabkan kematian.5

Daftar Pustaka

12
1. Lisa Y. Hasibuan., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta; hal 95-98

2. Sintia Dewi. 2013. Dehisensi Luka Pasca Operasi Laparotomi dan Penanganannya di

RSUD Margino Soekarjo Purwekerto. Diakses 25 November 2018

( https://www.scribd.com/doc/136456518/84467857-Referat-Dehisensi-Sintia-Dewi-

SMK )

3. Singh, Abhijit. 2009. Case Report: Spontaneous scar dehiscence of a repaired bladder

rupture in a 5 yr old girl – a case study. Resident Medical Officer,Max Heart and

Vascular Institute, Saket, New Delhi, India. Cases Journal1:363

4. Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam:Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi

2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

5. Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A,et al . 2009. Wound dehiscence: is still a problem in

the 21th century: a retrospective study.World Journal of Emergency Surgery4:12

6. Sukumar N, Shaharin S, Razman J,et al. Bogota Bag in the Treatment of Abdominal

Wound Dehiscence. Medical Journal Malaysia. 59:2

7. Tawi, Mizral. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Diakses Desember 2011 dari

:http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/proses-penyembuhan-luka/

8. Yadi, Muhammad. 2005. Tesis :Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar . FK UNDIP :

Semarang

9. Anshori, N., dkk. 2014. Pengaruh Perawatan Luka Menggunakan Madu terhadap

Kolonisasi Bakteri Staphylococcus Aureus pada Luka Diabetik Pasien Diabetes

Mellitus di Wilayah Kerja Puskesmas Rambipuji Kabupaten Jember. E-jurnal pustaka

kesehatan. Vol 2 No 3. Fakultas kedokteran Universitas Jember. Jawa Timur

13
10. Gunawan, N,. 2017. Madu : efektivitasnya untuk perawatan luka. CDK 249. Vol 44.

No 2. RS PGI Cikini. Jakarta

14

Anda mungkin juga menyukai