Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTEK KLINIK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

DENGAN WOUND DEHISCENCE

DI RUANG KEMUNING V RSUP HASAN SADIKIN BANDUNG

Disusun oleh :

Nama : Nadia Eka Oktaviana Putri

NIM : 1820161074

Prodi : D3 Keperawatan (3A)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


MUHAMMADIYAH KUDUS
SK MENDIKNAS RI No:127/D/O/200

Website : http://www.stikesmuhkudus.ac.id Email : sekretariat@stikesmuhkudus.ac.id

Alamat : Jl. Ganesha I Purwosari Telp./Faks. (0291) 442993 / 437218 Kudus 59316

Tahun Ajaran 2018/2019


1. KONSEP DASAR WOUND DEHISCENCE
1.1 DEFINISI
Dehiscence merupakan komplikasi bedah di mana tepi luka tidak lagi bertemu.
Hal ini juga dikenal sebagai "pemisahan luka." A sehat, penyembuhan luka harus baik-
didekati, yang berarti bahwa tepi memenuhi rapi dan dipegang bersama oleh jahitan,
staples atau metode lain penutupan. Sebagai menyembuhkan sayatan, luka mengisi
dengan jaringan baru, yang disebut "granulasi" atau "jaringan granulasi." Jaringan baru
ini tidak sekuat kulit normal, seperti baru dan tidak memiliki waktu untuk memperkuat
(Jennifer Whitlock, 27 Mei 2014)
Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi luka operasi yang terinfeksi.
Komplikasi lain penyembuhan luka dipindah; yang lambat, morbiditas dan mortalitas
yang meningkat, serta lama rawat yang berkepanjangan (Khan MA, 2009)

Dehisensi dapat dibagi dalam dehisensi inkomplit atau parsial dan dehisensi
komplit. Dehisensi disebut inkomplit bila hanya meliputi jaringan kulit atau jaringan
dibawahnya dan terkadang mencapai jaringan fascia. Dehisensi dikatakan komplit
apabila peritoneum juga ikut terbuka.
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi menjadi dua:
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari pasca operasi yang biasanya
disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari
paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya infeksi,
status gizi dan faktor lainnya (Sjamsudidajat R, 2008).

1.2 ETIOLOGI
Luka dehiscence dapat disebabkan oleh teknik bedah yang buruk seperti
penjahitan yang tidak benar, jahitan lebih-diperketat atau jenis yang tidak pantas dari
jahitan. Luka dehiscence juga dapat disebabkan oleh meningkatnya stres ke daerah luka
sebagai akibat dari latihan berat, angkat berat, batuk, tertawa, bersin, muntah atau
bantalan turun terlalu keras dengan gerakan usus. Dalam beberapa kasus, dehiscence
luka bisa menjadi sekunder untuk luka infeksi atau penyembuhan yang buruk seperti
yang terlihat pada pasien dengan penyakit kronis, kurang gizi atau sistem kekebalan
tubuh yang lemah. Luka dehiscence sekunder dapat terjadi pada pasien dengan AIDS,
penyakit ginjal, diabetes mellitus dan mereka yang menjalani kemoterapi atau
radioterapi.

Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme kerjanya


dibedakan atas tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan semakin
meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor mekanik tersebut
antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta teknik
operasi yang kurang.
b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan
keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat mempengaruhi proses
penyembuhan luka.
c. Faktor infeksi: Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi
akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis biasanya terjadi
pada hari ke 6 - 9 paska operasi dengan gejala suhu badan yang meningkat disertai
tanda peradangan disekitar luka.
Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System, luka operasi
dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi dan kotor. Infeksi
luka jahitan yang terjadi dini ditandai dengan peningkatan temperatur dan terjadinya
selulitis dalam waktu 48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera
terjadi jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebkan oleh streptococcus B
haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut seringkali tidak disertai peningkatan
temperatur dan pembentukan pus, dan terutama disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
(Webster et al, 2009; Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009)
1.3 TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala dehiscence luka yang jelas dan mudah untuk mengidentifikasi oleh
pasien dan dapat ditemukan sebagai salah satu atau lebih dari hal berikut:
 Luka terbuka, jahitan rusak (tanpa penyembuhan)
 Nyeri di tempat luka, luka pendarahan
 Nanah dan / atau drainase berbusa pada luka yang terinfeksi

1.4 PATOFISIOLOGI
Terdapat 4 hal faktor yang berperan terhadap terjadinya dehisensi yaitu:
a. Inokulasi bakteri
b. Virulensi bakteri
c. Lingkungan mikro
d. Daya tahan tubuh penderita
Selanjutnya kontaminasi bakteri dapat melalui udara ruang operasi, peralatan
operasi dan operator yang kontak dengan luka. Inokulasi bakteri terbesar dipengaruhi
pula oleh letak operasi, dalam hal ini organ gastrointestinal berisiko tinggi tempat
koloni bakteri. Kemungkinan infeksi juga semakin besar bila virulensi suatu bakteri
pencemar semakin besar. Suatu bakteri yang jarang menginfeksi namun memiliki
virulensi yang berat seperti Clostridium perfringens hanya memerlukan inokulasi
bakteri yang sedikit hingga menyebabkan infeksi pada luka operasi. Bacteroides sp
memiliki virulensi yang rendah namun bila tumbuh bersama bakteri lain yang
mengkonsumsi oksigen maka akan menimbulkan sinergi mikroba yang menyebabkan
infeksi yang cukup bermakna.
Lingkungan mikro menjadi faktor yang lebih memudahkan terjadinya infeksi
misalnya keadaan hematom dan adanya jaringan nekrotik. Adanya pemecahan ferrum
memacu proliferasi bakteri dan jaringan nekrotik akan menghalangi proses fagositosis
oleh tubuh sel darah putih. Daya tahan tubuh penderita yang lemah bisa sebagai akibat
dari kondisi awal pasien (innate) atau akibat langsung dari penyakit dan tindakan
operasi (acquired) misalnya keadaan syok, hipoksia, hipoalbuminemia, hipotermia dan
lain-lain.
1.5 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK WOUND DEHISCENCE
1. Sinar X Abdomen
Sinar X abdomen menunjukkan abnormalnya tinggi kadar gas dalam usus atau
obstruksi usus.
2. Laboratorium
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui resiko yang dapat memperparah
penyakit. Pemeriksaan laboratorium ini meliputi pemeriksaan darah lengkap dan
kimia darah.
3. CT scan atau MRI
Untuk mendiagnosa kelainan-kelainan yang terdapat dalam tubuh manusia, juga
sebagai evaluasi terhadap tindakan atau operasi maupun terapi yang akan dilakukan
terhadap pasien
4. Tes BGA
Hemoglobin, serum protein, gula darah, serum kreatinin, dan urea. Hitung darah
lengkap dan serum elekrolit dapat menunjukkan hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit), peningkatan sel darah putuh, dan ketidakseimbangan elektrolit.

1.6 PENATALAKSANAAN WOUND DEHISCENCE


Pada wound dehiscence, teknik jahitan ulangan tidak seluruhnya dilakukan.
Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang baik seperti
laboratorium lengkap dan foto thoraks. Penatalaksanaan penderita dengan luka operasi
terbuka tergantung pada keadaan umum penderita yang mana dibedakan atas
penanganan operatif dan nonoperatif.
1. Penatalaksanaan Operatif
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui luka jahitan secara hati-
hati dan memperlebar sayatan jahitan kemudian mengidentifikasi sumber terjadinya
burst abdomen. Tindakan eksplorasi dilakukan dalam 48-72 jam sejak diagnosis
burst abdomen ditegakkan. Teknik yang sering digunakan adalah dengan melepas
jahitan lama dan menjahit kembali lukaoperasi dengan cara satu lapisan sekaligus.
Penjahitan ulang luka operasi dilakukan secara dalam, yaitu dengan menjahit
seluruh lapisan abdomen menjadi satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup
dalam dan hindari tekanan berlebihan pada luka dan tutup kulit secara erat.
Jika terdapat tanda-tanda sepsis akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan
lakukan perawatan luka operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan
terjaga.
2. Penatalaksanaan Non-operatif
Penatalaksanaan nonoperatif diberikan kepada penderita yang sangat tidak stabil
dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita berbaring di
tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau pakaian khusus
steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat dipertimbangkan untuk
mengurangi perburukan luka operasi terbuka, namun jika keadaan umum penderita
membaik, dapat dilakukan operasi ulang secara elektif.
Jika pasien datang dengan burst abdomen dan ada eviserasi:
a. Inform Consent
b. Puasa dilakukan 4 jam sebelum pembedahaan, pemasangan NGT dekompresi.
c. Pasang infus, bericairan standard N4 dengan tetesan sesuai kebutuhan.
d. Antibiotik pra bedah diberikan secara rutin.
e. Dilakukan rawat luka pada abdomen dengan teknik steril selama dua hari sekali.
f. Perlu diperhatikan juga tentang nutrisi pasien. Pemberian nutrisi tinggi protein dan
serat pada pasien dengan burst abdomen membantu penyembuhan dan fungsi
saluran cerna pasien.
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang luka operasi terbuka adalah
benang monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan teknik terputus
sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antara jahitan 3 cm, baik pada
jahitan dalam ataupun pada kulit. Jaringan penguat dengan karet atau tabung plastik
lunak (5-6 cm) dapat dipertimbangkan guna mengurangi erosi pada kulit. Jangan
mengikat terlalu erat. Jahitan penguat luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu.
Penumpukan Jahitan
Ada beberapa teknik penumpukan jahitan, tetapi pada prinsipnya adalah :
a. Memakai jahitan luka yang padat dan tidak menyerap
b. Luas potongan paling tidak 3 cm dari tepi luka dan interval stik jahitan3 cm atau
kurang
c. Salah satu dari eksternal (menggabungkan semua lapisan peritonium melewati
kulit) atau (semua lapisan kecuali kulit) mungkin di gunakan
d. Penumpukan jahitan luka internal dapat menghindari pembentukanbekas luka yang
tidak sedap dipandang akan tetapi luka itu tidak dapat dipindahkan pada waktu
berikutnya (meningkatkan resiko infeksi)
e. Jangan mengikat terlalu kuat
f. Penumpukan jahitan luka eksternal biasanya dibiarkan selama paling tidak 3
minggu
Pada sebagian kecil pasien bisa mendapatkan penatalaksanaannya yang tepat.
Teknik yang tidak aman terkadang tidak mungkin untuk menutup dinding perut dengan
baik. Beberapa kondisi yang mungkin bisa menjadi faktor pada dinding perut yang tidak
bisa menutup dengan baik adalah :

a. Trauma abdomen mayor


b. Sepsis abdomen yang kasar
c. Retro peritoneal hematom
d. Kehilangan jaringan pada dinding perut
Untuk mengatasi keluhan setelah operasi merasakan bagian yang dioperasi seperti
tertarik dan nyeri, kini tersedia jala sintesis yang dikenal dengan “mesh”. Penutupan
“mesh” pada insisi abdomen biasanya menujukkan :

a. Kerusakannya adalah penutupan dari satu atau dua lapisan pada lubang
b. Lubang adalah jahitan luka pada tempat dari jahitan luka yang menembus lapisan
tebal dinding abdomen
c. Perubahan balutan dan granulasi bentuk jaringan berikutnya, akhirnya berpengaruh
pada permukan yang bisa di bungkus dengan pemindahan robekan kulit.
Terdapat perbedaan tipe dari “mesh” yang mempunya keuntungan dan
permasalahan masing-masing :

a. Untuk digunakan sementara


b. Baik untukmabdomen yang terinfeksi
c. Erosi dalam usus dan pembentukan fistula
d. Bentuk pelekatnya tebal atau padat.
2. ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 PENGKAJIAN
A. Identitas: umur untuk menentukan jumlah cairan yang diperlukan
B. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama (keluhan yang dirasakan pasien saat pengkajian) : panas.
2. Riwayat kesehatan sekarang (riwayat penyakit yang diderita pasien saat
masuk rumah sakit): sejak kapan timbul demam, sifat demam, gejala lain
yang menyertai demam (misalnya: mual, muntah, nafsu makn, eliminasi,
nyeri otot dan sendi dll), apakah menggigil, gelisah.
3. Riwayat kesehatan yang lalu (riwayat penyakit yang sama atau penyakit
lain yang pernah diderita oleh pasien).
4. Riwayat kesehatan keluarga (riwayat penyakit yang sama atau penyakit
lain yang pernah diderita oleh anggota keluarga yang lain baik bersifat
genetik atau tidak)
5. Riwayat Alergi
6. Genogram
C. Pola Kebutuhan Dasar ( Data Bio-psiko-sosio-kultural-spiritual)
1. Pola Bernapas
2. Pola makan-minum
3. Pola Eliminasi
4. Pola aktivitas dan latihan
5. Pola istirahat dan tidur
6. Pola Berpakaian
7. Pola rasa nyaman
8. Pola Aman
9. Pola Kebersihan Diri
10. Pola Komunikasi
11. Pola Beribadah
12. Pola Produktifitas
13. Pola Rekreasi
14. Pola Kebutuhan Belajar
D. Pengkajian Fisik
2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan terbukanya luka operasi.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses invasif pada abdomen
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan dan peningkatan
terhadap pajanan.

2.3 RENCANA INTERVENSI

1. Nyeri akut berhubungan dengan terbukanya luka operasi.


Tujuan: rasa nyeri pasien berkurang bahkan hilang
Kriteria hasil:
 Pasien melaporkan bahwa rasa sakitnya telah terkontrol atau hilang
 Tampak santai, dapat beristirahat/ tidur dan ikut serta dalam aktivitas sesuai
kemampuan
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat nyeri yang dirasakan oleh 1. Dapat mengindikasikan rasa sakit
pasien, lokasi dan intensitas ( skala 1-10). akut dan ketidaknyamanan.
2. Kaji tanda-tanda vital, perhatikan 2. Untuk memahami ketidaknyamanan.
tachikardi, hipertensi, dan peningkatan 3. Melepaskan tegangan emosional dan
pernapasan. otot, tingkatkan perasaan control yang
3. Berikan informasi mengenai sifat mungkin dapat meningkatkan
ketidaknyamanan, sesuai kebutuhan. kemampuan koping.
4. Dorong penggunaan tehnik relaksasi, 4. Respirasi mungkin menurun pada
misalnya latihan napas dalam, bimbingan pemberian narkotik, dan mungkin
imajinasi, visualisasi. menimbulkan efek sinergistik dengan
5. Kolaborasikan untuk pemberian obat zat-zat anastesi.
analgesic yang sesuai. 5. Analgesik akan menimbulkan
Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien penghilangan nyeri yang lebih efektif.
sehingga dapat menentukan intervensi
yang sesuai
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka bekas operasi
Tujuan : pasien menunjukan integritas kulit yang baik
Criteria hasil:
- Terbebas dari adanya lesi jaringan
- Resolusi pada daerah ekstermitas baik
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Lakukan perawatan luka secara teratur 1. Mempercepat proses penyembuhan
2. Ajarkan perawatan luka insisi luka
pembedahan, termasuk tanda dan gejala 2. Supaya keluarga atau pasien dapat
infeksi, cara untuk mempertahankan luka melakukan perawatan luka secara
insisi tetap kering dan mengrangi stress mandiri
pada insisi 3. Menghindari adanya resiko infeksi
3. Buang debris dan bekas luka yang 4. untuk memberikan asupan nutrisi
merekat yang sesuai sehingga mempercepat
4. Konsultasikan pada ahli gizi tentang proses penyembuhan luka.
makanan tinggi protein, mineral, kalori dan 5. Menghindari ketegangan pada luka
vitamin yang dapat memperburuk keadaan
5. Posisikan pasien untuk menghindari 6. Mengetahui proses penyembuhan
ketegangan pada luka, jika diperlukan luka pada pasien
6. Pantau secara teratur kondisi luka pasien
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan dan peningkatan
terhadap pajanan
Tujuan: faktor resiko infeksi akan hilang
Kriteria hasil:
- Pasien terbebas dari tanda dan gejala infeksi
- Pasien menunjukan higiene pribadi adekuat
- Melaporkan tanda dan gejala infeksi
Intervensi Rasional
1. Control infeksi, sterilisasi dan rosedur 1. Tetapkan mekanisme yang
atau kebijakan aseptik. dirancang untuk mencegah infeksi.
2. Uji bahwa pembersihan kulit post 2. Pembersihan akan mengurangi
operasi telah dilakukan. jumlah bakteri pada kulit.
3. Sediakan pembalut yang steril. 3. Mencegah kontaminasi lingkungan
4. Kolaborasikan untuk melakukan irigasi pada luka baru
luka yang banyak, misalnya air, antibiotic 4. Dapat digunakan pada intraoperasi
atau analgesic. untuk mengurangi jumlah bakteri pada
5. Kolaborasikan untuk pemberian lokasi luka debris
antibiotik 5. Dapat diberikan secara profiaksis
bila dicurigai terjadi infeksi atau
kontaminasi
DAFTAR PUSTAKA

Kumalasari, Arief Mutaqqin. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta:

Salemba Medika

Keswani SG, Crobleholme TM. Wound Healing: celluler and molecular

mechanisms. Dalam: Oldham KT, Colombani PM, Foglia RP, Skinner MA,

penyunting. Principles and practice of Pediatric Surgery, Lippincott Williams and

Wilkins; 2009 .h.223-38.

Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in

Abdominal Surgery in Public Sector Hospital. Department of Community

Medicine, King Edward Medical University Lahore . Annals 14:3

Sjamsudidajat R, De Jong W. 2009. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu


Bedah Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai