Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA ABDOMEN

OLEH :

DIANA

NIM : 22.14901.15.03

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA PALEMBANG

2023
A. KONSEP TEORI
1. Definisi
Laparatomi merupakan suatu proses insisi bedah ke dalam rongga abdomen
yang dilakukan dengan berbagai indikasi seperti trauma abdomen, penanganan
obstetric (Sectio Saesaria) infeksi pada rongga abdomen, perdarahan saluran cerna,
sumbatan pada usus halus dan usus besar serta masa pada abdomen tindakan
laparatomi dapat menimbulkan berbagai komplikasi pasca bedah antara lain
gangguan perfusi jaringan, infeksi pada luka yang menyebabkan buruknya integritas
kulit serta terjadinya burst abdomen (Afzal, 2009).
Burst abdomen juga dikenal sebagai abdominal wound dehiscence atau luka
operasi terbuka, didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai terbukanya
sebagian atau seluruh luka operasi yang disertai protusi atau keluarnya isi rongga
abdomen. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses penyembuhan luka operasi.
Wound dehiscence merupakan komplikasi pertama dari pembedahan abdominal.
Insidensinya sekitar 0,2% sampai dengan 0,6% dengan angka mortalitas cukup
tinggi, mencapai 10% sampai dengan 40%, disebabkan penyembuhan luka operasi
yang inadekuat (Baxter, 2003).
Terjadinya wound dehiscence dengan berbagai kondisi seperti anemia,
hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan diabetes, usia lanjut, prosedur
pembedahan spesifik seperti pembedahan spesifik seperti pembedahan pada kolon
atau laparatomi emergency. Wound dehiscence dapat juga terjadi karena perawatan
luka yang tidak adekuat serta faktor mekanik seperti batuk batuk yang berlebihan,
ileus obstruktif dan hematom serta tekhnik operasi yang kurang baik (Afzal, 2008).
Burst abdomen atau abdominal wound dehiscence adalah terbukanya tepi-tepi
luka sehingga menyebabkan evirasi atau pengeluaran isi organ-organ dalam seperti
usus, hal ini merupakan salah satu komplikasi post operasi dari penutupan luka di
dalam perut. (Saktya, 2011).
2. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi menjadi dua :
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi yang
biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak
baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari
paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya
infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Sjamsudidajat R, 2005).
3. Etiologi
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme terjadinya
dibedakan atas tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : adanya makanan dapat menyebabkan akibat jahitan jaringan
semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor
mekanik tersebut antara lain batuk batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan
hematom serta tekhnik operasi yang kurang.
b. Faktor metabolic : hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan
keseimbangan elektrolit serta defesiensi vitamin dapat mempengaruhi proses
penyembuhan luka.
c. Faktor infeksi : semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi
akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis biasanya
terjadi pada hari ke 6 sampai dengan 9 pasca operasi dengan gejala suhu badan
yang meningkat disertai tanda peradangan disertai luka.
Menurut National Nosocomial Infection Survelance System, luka operasi dibedakan
menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka
jahitan yang terjadi dini ditandai dengan peningkatan temperature dan terjadinya
selulitis dalam waktu 48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera
terjadi jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebabkan oleh streptococcus
B haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut seringkali tidak disertai peningkatan
temperatur dan pembentukan pus, dan terutama disebabkan oleh Stafilococcus aureus
(Afzal, 2008).
Terjadinya burst abdomen dipengaruhi oleh banyak faktor.  Berdasarkan
beberapa penelitian yang telah dilakukan faktor resiko akan dibedakan menjadi tiga
bagian yaitu faktor pre-operative, operative, dan post-operative (British Medical
Journal: 2008).
a. Pre operasi
Faktor pre-operative ini biasanya berhubungan dengan keadaan pasien sebelum
operasi dan karakteristik pasien. Faktor pre-operative ini biasanya berhubungan
dengan keadaan pasien sebelum operasi dan karakteristik pasien.
1. Jenis kelamin
Kejadian pada pria dan wanita didapatkan perbedaan yang  sedikit meningkat
pada pria yang mana berbanding 3:1. Hal ini dapat dipicu karena faktor
merokok, pada pria sering mengalami batuk persisten sehingga dapat
meningkatkan tekanan intraabdomen dan lebih beresiko terjadi burst
abdomen.
2. Umur
Kejadian burst abdomen meningkat dengan bertambahnya umur. Burst
abdomen pada pasien yang berumur <45 tahun sebesar 1,3%, sedangkan pada
pasien >45 tahun sebesar 5,4%. (Schwartz et al, Principles Of Surgery)
Burst abdomen sering terjadi pada usia >60 tahun. Hal ini dikarenakan
sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan jaringan tubuh mengalami
proses degenerasi dan otot dinding rongga perut melemah. (Lotfy, 2009)
Hal ini mungkin dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
a) Faktor penentu sebelum terjadinya burst abdomen yang sering ditemukan
yaitu batuk kronis, konstipasi kronis dan dysuria.
b) Adanya anemia, hypoproteinaemia, dan beberapa kekurangan vitamin
dalam kelompok usia ini.
c) Komplikasi pasca operasi seperti mengejan, batuk, dan muntah berulang.
3. Anemia
Hemoglobin menyumbang oksigen untuk regenerasi jaringan granulasi dan
penurunan  tingkat hemoglobin mempengaruhi penyembuhan luka. (Lotfy,
2009). Pada beberapa studi dikemukakan bahwa rendahnya kadar
hemoglobin  (<10mg mg/dl) merupakan salah satu faktor resiko terjadinya
burst abdomen.
4. Hipoproteinemia
Hypoproteinemia adalah salah satu faktor yang penting dalam penundaan
penyembuhan, seseorang yang  memiliki tingkat protein serum di bawah 6 g /
dl memiliki resiko burst abdomen. (Saktya, 2011)
5. Defisiensi vitamin C
Vitamin C sangat penting untuk memperoleh kekuatan dalam penyembuhan
luka. Kekurangan vitamin C dapat mengganggu penyembuhan dan
merupakan predisposisi kegagalan luka. Kekurangan vitamin C terkait
dengan delapan kali lipat peningkatan dalam insiden wound dehiscence.
6. Kortikosteroid
Steroid memiliki peranan dalam menghambat proses inflamasi, fungsi
makrofag, proliferasi kapiler, dan fibroblast. Selain itu juga kortikosteroid
dapat menurunkan sistem imun sehingga jika terjadi suatu infeksi, proses
penyembuhan luka terhambat.
7. Merokok
Kebiasaan merokok sejak muda menyebabkan batuk-batuk yang persisten,
batuk yang kuat dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen.
8. Hypoalbuminaemia (serum albumin < 3 mg%)
Keadaan hipoalbuminemia ini akan mengurangi sintesa komponen sulfas
mukopolisarida dan kolagen yang merupakan bahan dasar penyembuhan
luka. Defisiensi tersebut akan mempengaruhi proses fibroblasi dan
kolagenisasi yang merupakan proses awal penyembuhan luka. Hal ini akan
memperlambat proses penyembuhan luka.
Hypo-albuminaemia dapat digunakan sebagai penanda malnutrisi.
Hypoproteinemia merupakan salah satu faktor terpenting dalam proses
penyembuhan. Untuk perbaikan jaringan, sejumlah besar asam amino
diperlukan. Asam amino membantu dalam pembentukan RNA dan DNA.
Kekurangan ini mengarah ke jaringan selular miskin, yang menyebabkan
kekuatan luka hilang.
9. Operasi yang bersifat emergensi
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan dengan terjadinya burst
abdomen. Hal ini mungkin lebih disebabkan karena keadaan hemodinamik
pasien yang tidak stabil dibandingkan dengan persiapan operasi yang
terencana (elektif).
10. Diabetes (GDP > 140 mg/dl atau GDA> 200 mg/dl)
Pada orang dengan diabetes, proses penyembuhan luka berlangsung lama.
(Lotfy, 2009). DM berkaitan dengan gangguan metabolisme pada jaringan
ikat hal tersebut tentu saja amat sangat berpengaruh terhadap daya tahan
tubuh sehingga akan mengganggu proses penyembuhan luka operasi.
Sehingga pengendalian DM yang baik dibutuhkan untuk menghindari DM
sebagai faktor resiko.
b. Operasi
1. Tipe insisi
Midline incision memiliki insiden terjadinya burst abdomen lebih besar dari
pada transverse incision. Midline incision tidak anatomis karena incisi ini
memotong serabut aponeurotik, sedangkan pada transverse incision memotong
diantara serabut. Kontraksi pada dinding abdomen akan memberikan tekanan
untuk membantu penutupan luka. Pada midline incision, kontraksi ini dapat
menyebabkan adanya luka baru pada lateral jahitan, sedangkan pada transverse
incision, jahitan akan merapat. Midline incision banyak digunakan karena
dengan teknik ini lapangan pandang saat operasi menjadi lebih luas untuk
melakukan explorasi.

Tipe insisi midline


Tipe insisi transversal
2. Jahitan luka
Berdasarkan hasil penelitian teknik continuous Z memiliki faktor resiko
terjadinya burst abdomen lebih besar yaitu sebesar 14,8% sedangkan pada
teknik interrupted X hanya sebesar 2,17%.
c. Post operasi
1. Peningkatan tekanan intra-abdominal
Peningkatan tekanan ini dapat disebabkan oleh batuk, muntah, ileus,
dan retensi urine. Setelah beberapa operasi intra abdomen, kejadian ileus tidak
dapat dielakkan. Tekanan  intra abdomen yang tinggi mungkin disebabkan
pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik yang biasanya mereka
menggunakan otot-otot abdomen sebagai otot tambahan untuk respirasi.
Sebagai tambahan, batuk yang terjadi mendadak dapat meningkatkan tekanan
intra abdomen. Beberapa factor yang berperan dalam peningkatan tekanan
abdomen seperti obstruksi usus post opersi, obesitas, dan cirrhosis dengan
adanya ascites. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-otot
dinding abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding abdomen
inilah yang akan menyebabkan berkurangnya kekuatan jahitan bahkan pada
kasus yang berat akan menyebabkan putusnya benang pada jahitan luka
operasi dan keluarnya jaringan dalam rongga abdomen.
Hal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen diantaranya:
1. Mengangkat beban berat
2. Batuk dan bersin yang kuat
3. Mengejan akibat konstipasi
2. Infeksi pada luka
Produk infeksi yang dihasilkan dapat menghambat proses penyembuhan
luka. Gagalnya penyatuan fasia karena adanya nekrosis  dipercaya dapat
menyebabkan burst abdomen. Selain itu terjadinya burst abdomen atau wound
dehiscence  dapat disebabkan oleh beberapa factor sistemik dan local yang
berpengaruh terhadap timbulnya luka komplikasi ini.
a. Faktor Sistemik.
Burst abdomen jarang diderita pada pasien dibawah usia 30 tahun
tetapi pada pasien diatas usia 60 tahun dengan operasi laparotomi hanya
didapatkan sebanyak 5 %. Burst abdomen banyak dijumpai pada pasien
dengan Diabetes mellitus, uremia, immunosuppresion, jaundice, sepsis,
hipoalbuminemia, pasien dengan obesitas, riwayat keganasan, maupun
pasien dengan penggunaan obat-obatan kortikosteroid.
b. Faktor Lokal.  
Ketiga factor local yang penting untuk terjadinya burst abdomen
diantaranya adalah: penutupan luka yang tidak adekuat, peningkatan
tekanan intraabdomen, dan gangguan pada proses penyembuhan luka.
Burst abdomen lebih sering terjadi karena kombinasi ketiga factor tersebut
dibandingkan bila hanya muncul salah satu saja. Jenis incise pada saat
operasi seperti incise transversal maupun longitudinal sampai saat ini tidak
berpengaruh terhadap insiden dari burst abdomen.
3. Penutupan jahitan dari Luka Operasi
Penutupan yang adekuat dari luka operasi merupakan salah factor yang
penting dalam hal penyembuhan luka operasi. Lapisan fasial memberikan
kekuatan pada saat penutupandan ketika fascia terbuka atau rusak (disrupts)
luka akan terbuka dan menjadi rusak. Keakuratan penutupan pada lapisan
anatomi sangat penting untuk penutupan luka yang adekuat. Banyak luka-luka
menjadi rusak (burst/dehiscence) disebabkan karena terputusnya jahitan
sampai kedalam fascia.
Untuk pencegahan masalah ini meliputi bentuk irisan operasi yang bagus
dan bersih, devitalisasi dari fascia yang sangat diperhatikan selama operasi,
penempatan dan penautan jahitan yang tepat, dan pemilihan material jahitan
yang sesuai. Jahitan ditempatkan 2-3 cm dari tepi luka dan kira-kira sepanjang
1 cm.
Luka dehiscence sering disebabkan karena jahitan bekas operasi yang
terlalu melekat dan rapat pada tepi fascia.  Pada pasien dengan factor resiko
terjadinya luka dehiscence, para ahli bedah harus melakukan penutupan yang
kedua pada operasi pertama, dan melakukan perawatan ekstra untuk mencegah
terjadinya luka dehiscence.
Bahan untuk jahitan sintetik yang modern seperti asam polyglycolic,
polypropylene, dan yang lain, digunakan untuk penjahitan pada penutupan
fascia yang superior. Pada luka yang mengalami infeksi, benang dari bahan
polypropylene lebih resisten terhadap degradasi dari pada benang asam
polyglycolic serta rata-rata yang rendah terhadap terjadinya luka yang rusak.
Komplikasi luka menurun dengan adanya obliterasi pada daerah “dead space”.
Ostomies  dan drain setelah operasi ditempatkan diluar dari incise operasi
untuk menurunkan kejadian luka infeksi dan terbuka.
4. Gangguan pada Penyembuhan Luka
Infeksi merupakan factor yang berhubungan pada separuh lebih
terjadinya luka karena rusak. Adanya drain, seroma, dan luka hematom juga
sebagai tanda adanya penyembuhan luka yang terlambat. Normalnya, “healing
ridge” ( penebalan kira-kira 0,5 cm dari masing-masing sisi jahitan) tampak
pada akhir dari minggu pertama setelah operasi. Jika muncul jenis luka seperti
ini maka secara klinis penyembuhan luka berjalan dengan baik dan adekuat,
dan ini biasanya tidak muncul pada luka yang rusak.
Tabel  Faktor Penyebab Luka dehiscence Post operative
Jahitan dipasang kurang tepat Terlalu berdekatan
Ditarik dan diikat terlalu kencang
Tehnik operasi kurang baik Tidak mencapai lapisan fascia
Jaringan nonvital ditinggalkan
Tekanan intra abdomen meninggi Dilatasi usus/ileus paralitik
Asites
Batuk
Muntah
Banyak mengejan
Hematoma di luka dengan atau tanpa  
infeksi
Infeksi luka  
Penyakit Metabolic
Hipoalbuminemia dan atau gizi buruk
Sirosis hepatis
Karsinomatosis
Uremia
Diabetes mellitus

5. Terapi radiasi
Riwayat pemakaian terapi radiasi mengganggu sintesis protein normal,
mitosis, migrasi dari faktor peradangan, dan pematangan kolagen.
4. Manifestasi Klinis
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering
merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar disertai
keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus). Pada
pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula tanda tanda infeksi
umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan hiperemesis pada daerah sekitar luka
operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi
(Sjamsudidajat, 2005).
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis terjadi
pada hari keempat hingga Sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan klinis
febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang sangat tinggi
dan pemeriksaan jaringan disekitar luka operasi didapatkan reaksi radang berupa
kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktasi dan pus (Afzal, 2008).
Keadaan umum pasien juga menurun ditandai dengan wajah tampak anemis dan
pasien tampak sangat kesakitan. Luka yang terjadi pada dinding abdomen menjadi
jelek dan kelihatan rusak. Dalam satu hari keadaan ini akan diikuti oleh penonjolan
usus dari luka kulit yang menganga pada operasi kulit (incisional hernia). Gejala 
intraperitoneal sepsis merupakan salah satu tanda adanya burst abdomen.

a. Nyeri setelah beberapa hari operasi


b. Keluar cairan merah pada bekas jahitan atau bahkan keluar nanah
c. Luka jahitan menjadi lembek dan merah (hiperemi)
d. Perut distended (membesar dan tegang) yang menandai adanya infeksi di daerah
tersebut
e. Keadaan umum pasien juga menurun ditandai dengan wajah tampak anemis dan
pasien tampak sangat kesakitan
5. Patofisiologi
Burst Abdomen bisa disebabkan oleh faktor pre operasi, operasi dan post operasi.
Pada faktor pre operasi, hal-hal yang berpengaruh dalam factor pre operasi ini adalah
usia,kebiasaan merokok, penyakit diabetes mellitus, dan malnutrisi. Pada umur tua
otot dinding rongga perut melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan
jaringan tubuh mengalami proses degenerasi. Kejadian tertinggi burst abdomen sering
terjadi pada umur > 50-65 tahun. Selain itu adanya anemia, hypoproteinaemia, dan
beberapa kekurangan vitamin bisa menyebabkan terjadinya burst abdomen.
Hemoglobin menyumbang oksigen untuk regenerasi jaringan granulasi dan
penurunan  tingkat hemoglobin mempengaruhi penyembuhan luka. Kebiasaan
merokok sejak muda menyebabkan batuk-batuk yang persisten, batuk yang kuat dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen
Penyakit-penyakit tersebut tentu saja amat sangat berpengaruh terhadap daya
tahan tubuh sehingga akan mengganggu proses penyembuhan luka operasi.
Hypoproteinemia adalah salah satu faktor yang penting dalam penundaan
penyembuhan, seseorang yang  memiliki tingkat protein serum di bawah 6 g / dl. 
Untuk perbaikan jaringan, sejumlah besar asam amino diperlukan. Vitamin C sangat
penting untuk memperoleh kekuatan dalam penyembuhan luka. Kekurangan vitamin
C dapat mengganggu penyembuhan dan merupakan predisposisi kegagalan luka.
Kekurangan vitamin C terkait dengan delapan kali lipat peningkatan dalam insiden
wound dehiscence. Seng adalah co-faktor untuk berbagai proses enzimatik dan
mitosis (Saktya, 2011).
Untuk factor operasi, tergantung pada tipe insisi, penutupan sayatan, penutupan
peritoneum, dan jahitan bahan. Kontraksi dari dinding abdomen menyebabkan
tekanan tinggi di daerah lateral pada saat penutupan. Pada insisi midline, ini
memungkinkan menyebabkan bahan jahitan dipotong dengan pemisahan lemak
transversal. Dan sebaliknya, pada insisi transversal, lemak dilawankan dengan
kontraksi. Otot perut rektus segmental memiliki suplai darah dan saraf.  Jika irisan
sedikit lebih lateral, medial bagian dari otot perut rektus mendapat denervated dan
akhirnya berhenti tumbuh.  Ini menciptakan titik lemah di dinding dan pecah perut.
Faktor post operasi terdiri dari peningkatan dari intra-abdominal pressure  yang
menyebabkan suatu kelemahan mungkin disebabkan dinding abdominal yang tipis
atau tidak cukup kuatnya pada daerah tersebut, dimana kondisi itu ada sejak atau
terjadi dari proses perkembangan yang cukup lama, pembedahan abdominal dan
kegemukan. Dapat dipicu juga jika mengangkat beban berat, batuk dan bersin yang
kuat, mengejan akibat konstipasi. Terapi radiasi dapat mengganggu sintesis protein
normal, mitosis, migrasi dari faktor peradangan, dan pematangan kolagen.
Antineoplastic agents menghambat penyembuhan luka dan luka penundaan perolehan
dalam kekuatan tarik
Pada pasien post operasi abdomen yang memiliki penurunan kemampuan
penyembuhan luka, maka akan beresiko mengalami burst abdomen. Pasien burst
abdomen biasanya akan ditemukan peningkatan tekanan intra abdomen sehingga
dapat mengganggu ekspansi paru dan suplai oksigen menurun sehingga menyebabkan
terjadinya sesak napas. Distensi abdomen juga sering ditemukan pada pasien burst
abdomen sehingga dapat menyebabkan penurunan nafsu makan dan terjadi anoreksia.
Luka insisi pada pasien burst abdomen dapat menyebabkan diskontinuitas jaringan
sehingga menimbulkan nyeri pada daerah sekitar luka. dan memiliki resiko tinggi
terjadi infeksi (Medical, 2011).
6. Pathway
Faktor resiko saat Faktor resiko post
Faktor resiko pre operasi operasi
operasi

a. Tipe insisi a. Batuk


a. Batuk b. Jahitan luka b. Distensi abdominal
b. Anemia c. Tipe anatesi c. Ascites
c. Malnutrisi d. Sayatan Perdarahan akut
d. Vomiting
d. Hypoalbumin e. Teknik penutupan Post operasi
e. Kebocoran usus
e. Merokok laparotomi f. Infeksi
f. Usia f. Bahan jahitan g. Hematoma
g. DM g. Perencanaan h. Ketidak seimbangan elektrolit Kehilangan sebagian
h. Jenis Kelamin operasi i. Jaundice besar plasma darah

Anemia
Penurunan cairan intra
Tipe inisisi sell

penurunan Hb
Hipovolemik
Midline incision Peningkatan intra abdomen
Penurunan Suplay o2 ke
jaringan
Titik lemah abdomen Ketegangan pada luka jahitan MK ;Ketidak
seimbangan cairan
elektrolit
Memperlambat proses
penyembuhan luka Burst Abdomen Jahitan terbuka Menekan jahitan pada
dinding abdomen

Penyembuhann Perlukaan pada Kurangnya Luka operasi MK ;Kerusakan Penatalaksanaan


luka yang gagal daerah pemajanan/ terbuka integritas kulit an
abdomen mengingat,
salah interetasi Repair abdomen
Respon tubuh informasi Port de’entry
penurunanan mengeluarkan
rasa nyeri Perlukaan ulang pada
napsu makan
daerah abdomen
Kurangnya Resiko kuman/
MK : Nyeri pengetahuan mikroorganisme
MK; mengenai masuk luka
akut/ kronis
penyakit yang abdoment Luka terpapar udara
Ketidakseimbang
diderita pasien Respon tubuh nyeri kerusakan kulit
an nutrisi kurang luar
dari kebutuhan
Nyeri pada MK : Resiko
tubuh abdomen infeksi F F F
F F 3 4 5
1 2
F F F F F
1 2 3 4 5

MK : Kurang
Metabolisme pengetahuan MK; Nyeri MK; Risiko infeksi Bekas luka operasi
meningkat akut

MK : pola nafas Mk; Gg. Citra tubuh


Frekuensi nafas tidak efektif
meningkat

Peningkatan
kebutuhan
energy pada Timbul
otot cardio pernafasan Acidosis Kelemahan
anaerob metabolik fisik

Intoleransi
aktifitas

MK : defisit
perawatan diri
7. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui resiko yang dapat memperparah
penyakit. Pemeriksaan laboratorium ini meliputi pemeriksaan darah lengkap dan
kimia darah.
2. Sinar X abdomen
Sinar X abdomen menunjukkan abnormalnya tinggi kadar gas dalam usus atau
obstruksi usus.
3. CT scan atau MRI
Untuk mendiagnosa kelainan-kelainan yang terdapat dalam tubuh manusia, juga
sebagai evaluasi terhadap tindakan atau operasi maupun terapi yang akan
dilakukan terhadap pasien.
4. Tes Darah lengkap
Hemoglobin, serum protein, gula darah, serum kreatinin, dan urea. Hitung darah
lengkap dan serum elektrolit dapat menunjukkan hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit), peningkatan sel darah putih, dan ketidakseimbangan elektrolit.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan burst abdomen dipengaruhi oleh keadaan umum pasien dimana dapat
dibagi menjadi dua, yaitu terapi non-operatif dan operatif.
1) Terapi non-operatif
Terapi ini dilakukan bila keadaan umum pasien stabil dan tidak disertai
adanya eviserasi. Perawatan luka yang dilanjutkan dengan penutupan secara steril
perlu dilakukan. Pasien dianjurkan tidak turun dari tempat tidur dan menutup luka
dengan handuk yang dibasahi dengan cairan steril. Abdominal binder dapat
digunakan untuk membantu proses penutupan luka. Diharapkan luka dapat
menutup kembali, atau jika keadaan pasien sudah membaik, maka dapat
direncanakan operasi. Jika pasien datang dengan burst abdomen dan eviserasi :
a. Inform Consent
b. Puasa dilakukan 4 jam sebelum pembedahan, pemasangan NGT dekompresi.
c. Pasang infus, bericairan standard N4 dengan tetesan sesuai kebutuhan.
d. Antibiotik pra bedah diberikan secara rutin.
e. Dilakukan rawat luka pada abdomen dengan teknik steril selama dua hari
sekali.
f. Perlu diperhatikan juga tentang nutrisi pasien. Pemberian nutrisi tinggi protein
dan serat pada pasien dengan burst abdomen membantu penyembuhan dan
fungsi saluran cerna pasien.
2) Terapi operatif
Tindakan yang harus segera dilakukan oleh ahli bedah bila menjumpai adanya
burst abdomen adalah dengan memperbaiki kembali luka operasi yang
ditimbulkan segera dengan terlebih dahulu mengevaluasi struktur di dalamnya.
dibilas dengan cairan isotonis ringer lactate yang mengandung antibiotic dan
kemudian dilakukan penutupan kembali dinding abdomen.
Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi. Tindakan repair ini
harus dilakukan dalam keadaan steril (diatas meja operasi) dan dengan anastesi
general. Lepas dahulu jahitan yang telah dilakukan operasi pada bagian yang
mengalami burst, kemudian explore bagian terdalam dari luka yang rusak dengan
jari yang menggunakan sarung tangan steril sampai bagian jahitan yang terbuka
kemudian evaluasi apa yang terjadi apakah terdapat sumber infeksi.
Kemudian dilakukan pencucian luka secara mekanik dengan cairan isotonis
yang mengandung antibiotic yang berlimpah, setelah itu dilakukanperbaikan
jahitan dengan memberikan jahitan ekstra untuk mencegah timbulnya luka
dehiscence berulang.
9. Prognosis
Menurut Sander (2012), angka mortalitas pasien dengan burst abdomen rata-rata
18,1%, dengan range 9,4% – 43,8%. Apabila terpisahnya jahitan luka pada abdomen
secara partial atau komplit salah satu atau seluruh lapisan dinding abdomen pada luka
post operatif  tidak segera ditangani maka pasien tersebut memiliki kemungkinan
mortalitas 30%.
10. Komplikasi
a. Perdarahan
b. Infeksi luka Operasi
Infeksi Luka Operasi ( ILO )/Infeksi Tempat Pembedahan (ITP)/Surgical Site
Infection (SSI) adalah infeksi pada luka operasi atau organ/ruang yang terjadi dalam
30 hari paska operasi atau dalam kurun 1 tahun apabila terdapat implant. Sumber
bakteri pada ILO dapat berasal dari pasien, dokter dan tim, lingkungan, dan termasuk
juga instrumentasi.
Menurut The National Nosocomial Surveillence Infection (NNSI), kriteria jenis-
jenis SSI ada tiga sebagai berikut :
1) Superficial Incision SSI ( ITP Superfisial )
Merupakan infeksi yang terjadi pada kurun waktu 30 hari paska operasi dan
infeksi tersebut hanya melibatkan kulit dan jaringan subkutan pada tempat insisi
dengan setidaknya ditemukan salah satu tanda sebagai berikut :
a) Terdapat cairan purulen.
b) Ditemukan kuman dari cairan atau tanda dari jaringan superfisial.
c) Terdapat minimal satu dari tanda-tanda inflammasi
d) Dinyatakan oleh ahli bedah atau dokter yang merawat.
2) Deep Insicional SSI ( ITP Dalam )
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska operasi jika
tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan
dan infeksi tersebut memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan
jaringan yang lebih dalam ( contoh, jaringan otot atau fasia ) pada tempat insisi
dengan setidaknya terdapat salah satu tanda :
a) Keluar cairan purulen dari tempat insisi.
b) Dehidensi dari fasia atau dibebaskan oleh ahli bedah karena ada tanda
inflammasi.
c) Ditemukannya adanya abses pada reoperasi, PA atau radiologis.
d) Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter yang merawat
3) Organ/ Space SSI ( ITP organ dalam )
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska operasi jika
tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan
dan infeksi tersebut memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan
suatu bagian anotomi tertentu (contoh, organ atau ruang) pada tempat insisi yang
dibuka atau dimanipulasi pada saat operasi dengan setidaknya terdapat salah satu
tanda :
a) Keluar cairan purulen dari drain organ dalam
b) Didapat isolasi bakteri dari organ dalam
c) Ditemukan abses
d) Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter.
a. Peritonitis (infeksi ke seluruh dinding usus)
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi
pada selaput rongga perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan
jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Cedera
pada kandung empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan
dapat memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi
selama pembedahan untuk menyambungkan bagian usus.
b. Kelemahan fasia/dinding perut yang progresif
c. Kebocoran usus
d. Trauma abdomen mayor
e. Sepsis abdomen yang kasar
f. Retro peritoneal hematom.
g. Kehilangan jaringan pada dinding perut.
B. KONSEP ASKEP
1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Keluhan yang sering muncul pada pasien burst abdomen adalah nyeri pada
daerah sekitar luka operasi di perut akibat membukanya luka bekas operasi atau
akibat perut distended dikarenakan adanya infeksi
b. Riwayat Penyakit sekarang
Mengkaji perjalanan penyakit pasien saat ini dari awal gejala muncul dan
penanganan yang telah dilakukan hingga saat dilakukan pengkajian. Menguraikan
jenis insisi bedah pada klien.
c. Riwayat Penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah pasien mempunyai riwayat penyakit yang  berhubungan
dengan burst abdomen. Seperti anemia, DM, hipoproteinemia, defesiensi vitamin
C, hipoalbumin, dan lain-lain.
d. Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang memiliki gejala penyakit yang sama
seperti pasien.
2. Pola Fungsi Kesehatan :
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Persepsi klien/keluarga terhadap konsep sehat sakit dan upaya klien/keluarga
dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan perilaku yang menjadi gaya hidup
klien/keluarga untuk mempertahankan kondisi sehat.
b. Pola nutrisi dan metabolic
Kebiasaan klien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi sebelum sakit sampai saat
sakit (saat ini) yang meliputi : jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi,
frekuensi makanan, porsi makan yang di habiskan, makanan selingan, makanan
yang di sukai, alergi makanan dan mamakan pantangan. Keluhan yang
berhubungan dengan nutrisi seperti mual, muntah, dan kesulitan menelan, di
buatkan deskripsi singkat dan jelas.Bila di perlukan, lakukan pengkajian terhadap
pengetahuan klien/keluarga tentang diet yang harus di ikuti serta bila ada
larangan adat atau agamapada suatu makanan tertentu.
c. Pola Eliminasi
Kaji eliminasi alvi (buang air besar) dan eliminasi uri (buang air kecil) Pola
eliminasi menggambarkan keadaan eliminasi klien sebelum sakit sampai saat
sakit (saat ini), yang meliputi : frekuensi, konsistensi, warna, bau, adanya darah,
dan lain-lain. Bila di temukan adanya keluhan pada eliminasi, hendaknya
dibuatkan deskripsi singkat dan jelas tentang keluhan yang di maksud.
d. Pola aktivitas dan latihan
Kaji aktifitas rutin yang dilakukan klien sebelum sakit sampai saat sakit mulai
dari bangun tidur sampai tidur kembali, termasuk penggunaan waktu
senggang.Mobilitas selama sakit di lihat dan aktivitas perawatan diri, seperti
makan-minum, mandi, toileting, berpakaian, berhias, dan penggunaan instrumen.
e. Pola tidur dan istirahat
Kaji kualitas dan kuantitas istrahat tidur klien sejak sebelum sakit sampai saat
sakity (saat ini), meliputi jumlah tidur siang dan malam, penggunaan alat
pengantar tidur, perasaan klien sewaktu bangun tidur, dan kesulitan atau masalah
tidur : sulit jatuh tidur, sulit tidur lama, tidak bugar saat bangun, terbangun dini,
atau tidak bisa melanjutkan tidur.
f. Pola hubungan dan peran
Kaji hubungan klien dengan anggota keluarga, masyarakat pada umumnya,
perawat, dan tim kesehatan yang lain, termasuk juga pola komunikasi yang di
gunakan klien dalam berhubungan dengan orang lain.
g. Pola sensori dan kognitif
Kaji kemampuan klien berkomunikasi (berbicara dan mengerti pembicaraan)
status mental dan orientasi, kemampuan pengindraan yang meliputi indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan pengecapan.
h. Pola persepsi dan konsep diri
Kaji pada klien yang sudah dapat mengungkapkan perasaan yang berhubungan
dengan kesadaran akan dirinya meliputi : gambaran diri, ideal diri, harga diri,
peran diri dan identitas diri.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi : adakah pembesaran abdomen, peregangan atau tonjolan dan apakah
ada distensi abdomen. Pada  pasien hipertermi luka post operasi biasanya sedikit
bengkak dan terdapat rembesan darah.
b. Palpasi : pada permukaan perut untuk menilai kekuatan otot-otot perut, nyeri 2
cm pada sekitar luka.
c. Perkusi : normal atau tidak normal
d. Auskultasi : bising usus normal
e. B6 (Bone) : Lemah, turgor jelek
4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium (Hematologi) :
a. Hemoglobin< dari 13-18 gr / dl ( turun )
b. Leukosit> 3,8 – 10,6 ribu mm3 (meningkat )
c. Hematokrit< dari 40-52%
d. Trombosit normal 150 – 440 ribu mm3
e. Albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dl
5. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan terbukanya luka post operasi
b. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya port de entrée dari luka pembedahan
c. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan adanya luka invasive pasca
operasi
6. Intervensi Keperawantan
a. Nyeri berhubungan dengan terbukanya luka post operasi
Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Rasional
Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat nyeri yang 1. Dapat mengindikasikan
keperawatan selama 3x24 dirasakan oleh pasien, rasa sakit akut dan
jam rasa nyeri pasien dapat lokasi dan intensitas (skala ketidaknyamanan.
berkurang dengan skala 1-10) 2. Untuk memahami
nyeri 2-3 2. Kaji tanda-tanda vital, ketidaknyamanan.
perhatikan tachikardi, 3. Melepaskan tegangan
Dengan Kriteria Hasil: hipertensi, dan peningkatan emosional dan otot,
 Pasien melaporkan pernapasan. tingkatkan perasaan
bahwa rasa sakitnya 3. Berikan informasi control yang mungkin
terkontrol atau hilang mengenai sifat dapat meningkatkan
 Tampak santai, dapat ketidaknyamanan, sesuai kemampuan koping.
beristirahat/ tidur dan kebutuhan. 4. Respirasi mungkin
ikut serta dalam 4. Dorong penggunaan tehnik menurun pada
aktivitas sesuai relaksasi, misalnya latihan pemberian narkotik,
kemampuan nafas dalam, bimbingan dan mungkin
imaginasi, visualisasi. menimbulkan efek
5. Kolaborasi untuk sinergistik dengan zat-
pemberian obat analgesic zat anastesi.
yang sesuai 5. Analgesik akan
menimbulkan
penghilangan nyeri
yang lebih efektif.

b. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya port de entrée dari luka


pembedahan
Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
Setelah dilakukan tindakan 1. Control infeksi, 1. Tetapkan mekanisme yang
keperawatan 3x24 jam sterilisasi dan prosedur dirancang untuk mencegah
factor resiko infeksi pada atau kebijakan aseptic. infeksi.
pasien akan hilang. 2. Uji bahwa pembersihan 2. Pembersihan akan
kulit post operasi telah mengurangi jumlah bakteri

Dengan Kriteria Hasil: dilakukan. pada kulit


3. Sediakan pembalut 3. Mencegah kontaminasi
 Pasien terbebas dari
yang steril. lingkungan pada luka baru
tanda dan gejala infeksi
4. Kolaborasikan untuk 4. Dapat digunakan pada
 Pasien menunjukan
melakukan irigasi luka intraoperasi untuk
hygiene pribadi adekuat
yang banyak, misalnya mengurangi jumalh bakteri
 Melaporkan tanda dan
air, antibiotic atau pada lokasi luka debris.
gejala infeksi
analgesic. 5. Dapat diberikan secara
 Jumlah leukosit dalam
5. Kolaborasikan untuk profiaksis bila dicurigai
batas normal : 4,3 –
pemberian antibiotic. terjadi infeksi atau
10,3
kontaminasi.

c. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan adanya luka invasive pasca


operasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan perawatan 1. Mempercepat proses
keperawatan selama 3x24 luka secara teratur penyembuhan luka
jam pasien menunjukan 2. Ajarkan perawatan 2. Supaya keluarga atau pasien
integritas kulit yang baik. luka insisi dapat melakukan perawatan
pembedahan, termasuk luka secara mandiri
tanda dan gejala 3. Menghindari adanya resiko
Dengan Kriteria Hasil : infeksi, cara untuk infeksi
 Terbebas dari adanya mempertahankan luka 4. Untuk memberikan asupan
lesi jaringan insisi tetap kering dan nutrisi yang sesuai sehingga
 Resolusi pada daerah mengurangi stress mempercepat proses
ekstermitas baik pada insisi penyembuhan luka.
3. Buang debris dan 5. Menghindari ketegangan
bekas luka yang pada luka yang dapat
merekat memperburuk keadaan.
4. Konsultasikan pada 6. Mengetahui proses
ahli gizi tentang penyembuhan luka pada
makanan tinggi pasien.
protein, mineral, kalori
dan vitamin.
5. Posisikan pasien untuk
menghindari
ketegangan pada luka,
jika diperlukan
6. Pantau secara teratur
kondisi luka pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Airlangga, Saktya. 2011. Asuhan keperawatan pada burst abdomen.


http://saktyairlangga.wordpress.com/2011/11/27/asuhan-keperawatan-burst-
abdomen/. Diakses pada 23 Januari 2018
Br Med J. 2008. Burst Abdomen. British Medical : www.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses pada 23
Januari 2018

Brunner & Suddarth. 2007. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC


Kumalasari, Arief Mutaqqin. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika
Purnawan Junadi, et al. 2008. Kapita Selekta Kedokteran 2nd ed. Media Aesculapius : FK-UI
Theodore, Schrock. 2009. Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai