PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari laparratomi.
2. Untuk mengtahui etiologi dari laparatomi.
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari laparatomi.
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis laparatomi.
5. Untuk mengetahui patofisiologi laparatomi.
6. Untuk mengetahui WOC laparatomi.
7. Untuk mengetahui komplikasi yang disebabakan laparatomi.
8. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang lparatomi.
9. Untuk mengetahui bagaimna penatalaksanaan laparatomi.
10. Untuk mengetahui dan memahasi asuhan keperawatan post operasi laparatomi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Laparatomi adalah pembedahan perut, membuka selaput perut dengan operasi. (Lakaman
2011).
Laparatomy yaitu pembedahan perut, membuka selaput perut dengan operasi (Ramali
Ahmad, 2000 : 194).
Jadi dapat disimpulkan bahwa post laparatomy adalah periode / waktu setelah dilakukan
tindakan pembedahan di daerah perut.
perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yangh diberikan kepada
pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut. tujuan perawatan post
laparatomi, yaitu :
2.2 Etiologi
1. Obstruksi usus halus disebabkan oleh perlekatan usus, hernia, neoplasma, intususepsi,
volvulus, benda asing, batu empedu yang masuk ke usus melalui fistula
kolesisenterik, penyakit radang usus (inflammatory bowel disease), striktur,
fibrokistik, dan hematoma.
2. Obstruksi usus besar disebabkan oleh karsinoma, volvulus, kelainan divertikular,
inflamasi, tumor jinak, imfaksi fekal dll.
3
3. Tumor kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang dari polyp
adenoma. Kanker kolorektal merupakan penyakit keganasan ketiga paling sering
ditemui dan menjadi penyebab kematian akibat kanker
4. Apendisitis adalah peradangan dari apendik vermiforis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering.
5. Adenocarcinoma endometrium adalah karsinoma endometrium. Peningkatan angka
kejadian karsinoma endometrium berhubungan dengan meningkatnya status
kesehatan sehingga usia harapan hidup kaum wanita semakin tinggi yang
mengakibatkan jumlah wanita yang berusia lanjut semakin banyak yang diiringi
dengan penggunaan preparat estrogen eksogen atau penggunaan terapi hormon
pengganti untuk mengatasi gejala-gejala menopausenya
6. Kanker Indung Telur merupakan tumor ganas pada ovarium (indung telur). Kanker
ovarium paling sering ditemukan pada wanita yang berusia 50-70 tahun dan 1 dari 70
wanita menderita kanker ovarium.
7. Peritonitis
a. Peritonitis Primer
Peritonotis primer biasanya disebabkan oleh penyebaran infeksi dari darah dan
kelenjar getah bening, peritonitis tipe ini sangat jarang ditemukan, insidennya + 1
% dari semua penyebab peritonitis.
b. Peritonitis Sekunder
Peritonitis skunder biasanya terjadi akibat infeksi bakteri, organisme berasal dari
penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari organ reproduksi internal.
Selain itu juga dapat terjadi dari sumber eksternal seperti cedera atau trauma
(Misal : luka tembak / tusuk).
Bakteri yang biasanya menyebabkan peritonitis ialah E. Coli, Klebsiella, Proteus dan
Pseudomonas. Inflamasi dan Ileus Paralitik adalah efek langsung dari infeksi.
Penyebab umum lain dari peritonitis adalah apendisitis, ulkus periforasi, divertikulitis
dan perforasi usus.
4
2.3 Klasifikasi
1. Mid-line incision
Midline incision yaitu Insisi pada garis tengah abdomen.
2. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm), panjang (12,5 cm).
5
4. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah 4cm
diatas anterior spinaliliaka, misalnya; pada operasi appendictomy. Latihan - latihan
fisik seperti latihan napas dalam, latihan batuk, menggerakan otot-otot kaki,
menggerakkan otot-otot bokong, Latihan alih baring dan turun dari tempat tidur.
Semuanya dilakukan hari ke 2 post operasi.(Smeltzer, 2012).
2.5 Patofisiologi
Rongga abdomen memuat baik organ-organ yang padat maupun yang berongga.
Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan kerusakan yang serius bagi organ-
organ padat, dan trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-organ berongga.
Kompresi dan perlambatan dari trauma tumpul menyebabkan fraktur pada kapsula dan
parenkim organ padat, sementara organ berongga dapat kolaps dan menyerap energi
benturan. Bagaimanapun usus yang menempati sebagian besar rongga abdomen, rentan
untuk mengalami oleh trauma penetrasi. Secara umum, organ-organ padat berespons
terhadap trauma dengan perdarahan. Organ-organ berongga pecah dan mengeluarkan
isinya dan ke dalam rongga peritoneal menyebabkan peradangan dan infeksi.
6
Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen. Pasien yang memperlihatkan
adanya cedera abdomen penetrasi fasia dalam peritoneal, ketidakstabilan hemodinamik,
atau tanda-tanda dan gejala-gejala abdomen akut dilakukan eksplorasi dengan
pembedahan. Pada kebanyakan kasus trauma abdomen lainnya, dilakukan lavase
peritoneal diagnostic (LPD). LPD yang positif juga mengharuskan dilakukan ekplorasi
pembedahan.
Baik LPD ataupun scan CT adalah 100 % diagnostic, sehingga pasien-pasien trauma
dengan hasil negatif harus diobservasi. Dilakukan serangkaian pengukuran tingkat
hematokrit dan amylase. Pengobatan nyeri mungkin ditunda sehingga tidak mengaburkan
tanda-tanda dan gejala-gejala yang potensial. Masukan per oral juga ditunda untuk
berjaga-jaga jika diperlukan pembedahan. Pasien dikaji untuk mendapatkan tanda-tanda
abdomen akut : distensi, rigiditas, guarding dan nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan
menjadi perlu dengan adanya awitan setiap tanda-tanda dan gejala-gejala yang
mengindikasikan cedera. Penggunaan T abdomen telah memperoleh popularitas dan
sering digunakan atau sebagai tambahan pada LPD. Cedera retroperitoneal, seringkali
terlewatkan dengan LPD dan bahkan dengan pembedahan eksplorasi, sering dapat
diidentifikasi dengan CT san. Namun CT scan tidak terlalu diandalkan dalam mendeteksi
cedera pada organ-organ berongga.
2.6 WOC
Terlampir
2.7 Komplikasi
1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh
darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak.
Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini.
2. Infeksi.
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang
paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram
positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka
7
yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan
antiseptik.
3. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah
keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi
adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat
pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah.
4. Ventilasi paru tidak adekuat
5. Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, aritmia jantung
6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
7. Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan
Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi,
kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan
adanya lesi pada saluran kencing.
8
Balutan: Apakah ada tube, drainage ? Apakah ada tanda-tanda infeksi? Bagaimana
penyembuhan luka ?
Peralatan: Monitor yang terpasang, cairan infus atau transfusi.
Rasa nyaman: Rasa sakit, mual, muntah, posisi pasien, dan fasilitas ventilasi.
Psikologis : Kecemasan, suasana hati setelah operasi.Pengkajian
2.9 Penatalaksaan
Tirah Baring total 24 jam, kemudian mobilisasi secara bertahap.
Kontrol tensi, nadi tiap 15 menit, suhu tiap 30 menit bila stabil tiap 4 jam.
Selama 13-24 jam pertama, pemasukan makanan per os distop. Kemudian secara
bertahap diberikan makanan cair hingga padat sesuai keadaan penderita.
Bila kesakitan, berikan analgetik narkotik, betadine 50mg maksimal 4 kali dalam 24
jam.
Perawatan pasca pembedahan :
1. Tindakan keperawatan
a. Monitor kesadaran, ttv, CPV, intake dan output.
b. observasi dan catat sifat darai drain (warna,jumlah) drainage.
c. Dalam mengatur dan menggerakkan posisi pasien harus hati-hati, jangan
sampai drain tercabut.
d. Perawatan luka operasi secara steril.
2. Makanan
Pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan menelan makanan
sesudah pembedahan. makanan yang dianjurkan pada pasien post iperasi adalah
makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein sangat diperlukan pada proses
penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang mengandung anti oksidan
membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan infeksi.
pembatasan diit yang dilakukan adalah NPO (Nothing PerOral).
biasanya makanan bari diberikan jika :
Perut tidak kembung.
Peristaltik usus normal.
Flatus positif.
Bowel movement positif.
9
3. Mobilisasi
Biasanya pasien diposisikan untuk berbaring di tempat tidur agar keadaannya
stabil. Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus tetap dilakukan
perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pasien yang menjalani pembedahan
abdomen dianjurkan untuk melakukan ambulasi dini.
4. Pemenuhan kebutuhan eliminasi
Sistem perkemihan
Kontrol volunteer fungsi perkemihan kembali setelah 6-8 jam post
anastesia. Inhalasi, IV, spinal. nasthesia, infuse IV, manipulasi operasi :
retensio urine.
Pencegahan : inspeksi, palpasi, perkus : abdomen bawah (distensi buli-
buli).
Dower chateter : kaji warna, jumlah urin, output urine < 30 ml / jam:
komplikasi ginjal, sistem gastrointestinal.
Mual, muntah : 40% klien dengan GA selama 24 jam pertamadapat
menyebabkan stress dan iritasi luka GI dapat meningkatkan TIK pada
bedag kepala dan leher serta TIO meningkat.
Kaji fungsi gastrointestinal dengan auskultasi suara usus
Kaji paralitik ileus : suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus.
Jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 8 jam.
Insersi Ng tube intra operatif mencegah komplikasi post operasi dengan
dekompresi dan drainase lambung.
Meningkatkan istirahat.
Memberikan kesempatan penyembuhan pada Gi trac bawah.
Memonitor pendarahan.
Mencegah obstruksi usus.
Irigasi dan pemberian obat.
10
BAB III
3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar utama atau langkah awal dari proses keperawatan secara
keseluruhan. Pada tahap ini semua data atau informasi tentang klien yang dibutuhkan
dikumpulkan dan dianalisa untuk menentukan diagnosa keperawatan (Gaffar, 1999 : 57).
Tahap pengkajian keperawatan pada klien dengan post laparatomi sama seperti pada kasus
keperawatan lainnya yaitu terdiri dari dua tahap :
a. Pengumpulan Data
1) Identitas klien dan penanggung jawab: Identitas klien terdiri dari : nama, umur,
jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, tanggal
masuk rumah sakit, tanggal pengkajian. Identitas penanggung jawab terdiri dari :
nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan
alamat.
2. Keluhan Utama: Keluhan utama ini diambil dari data subjektif atau objektif
yang paling menonjol yang dialami oleh klien. Keluhan utama pada klien
peritonitis ialah nyeri di daerah abdomen, mual, muntah, demam (Brunner
& Suddarth, 2002 : 1104).
11
Q (Qualitas) : Menggambarkan seperti apa keluhan dirasakan.
R (Region) : Mengetahui lokasi dari keluhan yang dirasakan, apakah
keluhan itu menyebar atau mempengaruhi area lain.
S (Severity) : Merupakan skala / intensitas keluhan.
T (Time) : Waktu dimana keluhan itu dirasakan.
b. Pola Eliminasi
Pada pola eliminasi yang harus dikaji meliputi frekuensi buang air
besar, konsistensinya dan keluhan selama buang air besar. Frekuensi
buang air kecil, warna, jumlah urine tiap buang air kecil. Pada klien
dengan post operasi biasanya dijumpai penurunan jumlah urine akibat
intake cairan yang tidak adekuat akibat pembedahan.
12
c. Pola Istirahat dan Tidur
Pada pola istirahat tidur yang harus dikaji adalah lama tidur dalam
sehari, kebiasaan pada waktu tidur. Pada klien post operasi bisa
ditemukan gangguan pola tidur karena nyeri.
e. Pola Aktivitas
Pada pola aktivitas meliputi kebiasaan aktivitas sehari-hari. Pada klien
dengan post operasi biasanya ditemukan keterbatasan gerak akibat
nyeri.
7. Pemeriksaan Fisik
2. Sistem Kardiovaskuler
Pada klien post operasi biasanya ditemukan tanda-tanda syok
13
seperti takikardi, berkeringat, pucat, hipotensi dan penurunan
suhu tubuh.
3. Sistem Gastrointestinal
Ditemukan distensi abdomen, kembung (penumpukan gas), mukosa
bibir kering, penurunan peristaltik usus juga biasanya ditemukan
muntah dan konstipasi akibat pembedahan.
4. Sistem Perkemihan
Terjadi penurunan haluaran urine dan warna urine menjadi pekat /
gelap, terdapat distensi kandung kemih dan retensi urine.
5. Sistem Muskuloskeletal
Kelemahan dan kesulitan ambulasi terjadi akibat nyeri di abdomen
dan efek dari pembedahan atau anastesi sehingga menyebabkan
kekakuan otot.
6. Sistem Neurologi
Nyeri dirasakan bervariasi, tingkat dan keparahan nyeri post operasi
tergantung pada anggapan fisiologi dan psikologi
individu serta toleransi yang ditimbulkan oleh nyeri.
7. Sistem Integumen
Ditemukan luka akibat pembedahan di area abdomen. Karakteristik
luka tergantung pada lamanya waktu setelah pembedahan.
8. Aspek Psikologis
a. Status Emosional
Kemungkinan ditemukan emosi klien jadi gelisah dan labil,
karena proses penyakit yang tidak diketahui / tidak pernah
diderita sebelumnya dan akibat pembedahan.
14
b. Konsep Diri
Menurut Keliat (2001 : 9) terdapat lima komponen dalam
konsep diri, yaitu :
2. Harga Diri
Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan
menganalisa seberapa jauh memenuhi ideal diri. Aspek
utama adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang
lain.
3. Ideal Diri
Harapan terhadap tubuh, posisi, status, tugas / peran dan
harapan terhadap penyakitnya.
4. Peran
Peran yang diemban dalam keluarga atau kelompok
masyarakat dan kemampuan klien dalam melaksanakan
tugas /
peran tersebut.
5. Identitas
Status dan posisi klien sebelum dirawat, kepuasan klien
terhadap status dan posisinya.
c) Stressor
Stressor adalah setiap faktor yang menimbulkan stress atau
mengganggu keseimbangan (Keliat, : 2001). Seseorang yang
mempunyai stresor akan mempersulit dalam proses suatu
penyembuhan penyakit.
6. Mekanisme Koping
Mekanisme koping ini merupakan suatu cara bagaimana
15
seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan stress
yang dihadapi (Keliat : 2001).
3.2Diagnosa Keperawatan
16
3.3Perencanaan
17
terpenuhi dengan setiap jam dan mendeteksi kekurangan
2. Hasil laboratorium menambah
KH : perbandingkan
keadaan objektif dari
1. Menunjuk . Ukur dan ketidakseimbangan. Penurunan
an level osmolalitas urine berhubungan
dokumentasika
elektrolit, dengan diuresis, peningkatan
BUN, n output urine serum osmolalitas, serum
hematokrit sodium dan hematokrit
setiap 1-4 jam.
dan serum menunjukan hemokonsentrasi
osmolalita 2. Monitor hasil 3. Hasil laboratorium menambah
s dalam keadaan objektif dari
laboratorium
keadaan ketidakseimbangan. Penurunan
normal.1. sesuai indikasi osmolalitas urine berhubungan
2. Urine dengan diuresis, peningkatan
(osmolalitas
output serum osmolalitas, serum
dalam urine sodium dan hematokrit
batas menunjukan hemokonsentrasi
<200mOsm/kg
normal3. 4. Edema dapat terjadi karena
3. Hasil , osmolalitas perpindahan cairan berkenaan
hemodina dengan penurunan kadar
serum >300
mika albumin serum/protein.
dalam mOsm/kg, 5. Cairan isotonic adalah
batas pengganti cairan untuk
serum sodium
normal kehilangan cairan tubuh.
>145 mEq/L, Produk darah, koloid, atau
albmin, dapat digunakan untuk
peningkatan
peningkatan MAP. Monitor
level BUN dan digunakan untuk mencegah
overload volume cairan. Cairan
hematokrit)
dengan potassium harus
3. Pantau tanda- dipantau dengan seksama
karena pottasium mengiritasi
tanda vital
vena dan infus potassium yang
dengan sering, cepat dapat menyebabkan
hiperkalemia. Hipertermia dan
perhatikan
infeksi terjadi akibat kehilangan
peningkatan cairan karena peningkatan
metabolic, peningkatan keringat
nadi dan
dan ekskresi cairan melalui
perubahan pernafasan.
tekanan darah.
4. Perhatikan
adanya edema
5. kolaborasi
pemberian
terapi sesuai
indikasi,
18
biasanya
cairan isotonic
dengan
penambahan
potassium
klorida jika
serum
potassium
rendah. Pantau
akses IV ,
antisipasi
peningkatan
pemberian
cairan jika
hipertermia
atau adanya
infeksi.
3 Setelah dilkukan 1. Monitor 1. Permulaan pengkajian yang
perawatan 3x24 karakteristik merupakan langkah awal utnuk
jam pasien dapat luka meliputi memberikan perawatan
mengetahui lokasi, individual. Penemuan abnormal
tentang infeksi ada/tidaknya dapat menjadi data untuk
dengan KH : dan karakter masalah dan dapat digunakan
1. Pasien eksudat, untuk pedoman perencanaan
akan
ada/tidaknya perawatan
menunjuk
an jaringan 2. Pencegahan komplikasi luka
perwatan
nekrotik, terhadap kontaminasi silang
optimal
kulit dan ada/tidaknya dan membantu penyembuhan
luka
tanda-tanda luka.
secara
rutin infeksi (nyeri, 3. Pencegahan kerusakan kulit
2. Menunjuk
bengkak, merupakan salah satu
an
intgritas kemerahan, penanganan mudah masalah
kulit dan
peningkatan sebelum kerusakan kulit
membrane
mukosa sushu, berkembang
19
adekuat ( penurunan 4. Menurunkan imunokompentesi,
temperatur
fungsi). ini mempengaruhi pemulihan
e jaringan,
elastisitas, 2. Bersihkan dan luka pada infeksi.
hidrasi,
ganti balutan Meningkatkan vaskulitis dan
pigmentas
i, dan (wound care) fibrosis pada jaringan
warna)
luka dengan penyambung, mempengaruhi
3. Mencapai
pemulihan teknik steril.
luka tepat
3. Minimalisir
waktu
tanpa ada penekanan
komplikas
pada bagian
i.
luka.
4. kolaborasi
pemberia
antibiotic
sesuai indikasi
20
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Laparatomi adalah salah satu jenis operasi yang di lakukan pada daerah abdomen.
Operasi laparatomy di lakukan apabila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area
abdomen, misalnya trauma abdomen
4.2 Saran
Semoga makalah ini dapat di pahamai dan dimengerti oleh pembaca
21
DAFTAR PUSTAKA
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8
Vol.3. EGC : Jakarta
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: Yayasan IAPK Pajajaran
Bandung
Soeparman, dkk. 1987. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Callahan MD MPP, Tamara L. 2005. Benign Disorders of the Upper Genital
22