Anda di halaman 1dari 5

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.30511/PP/M.

VIII/15/2011

Koreksi Kredit Pajak PPh Pasal 22 sebesar Rp 161.279,00,

1. Bahwa koreksi atas kredit pajak PPh Pasal 22 disebabkan karena bukti potong yang
digunakan sebagai dasar untuk pengkreditan pajak masih atas nama Joint Operation.
Kerjasama operasional (bahasa Inggris: joint venture atau joint operation, disingkat
KSO) adalah sebuah istilah mengenai dua perusahaan atau lebih yang melakukan
kerjasama operasional dalam menyelesaikan suatu proyek. Selain itu, KSO dapat
berbentuk sebuah badan usaha baru berupa usaha patungan (jointventure).
2. Diketahui hal-hal sebagai berikut :
 bahwa dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa BUT Yokogawa Bridge
Corporation tidak melakukan kegiatan usaha apa pun. Semua proyek
dikerjakan oleh Joint Operation yang dimilikinya;
 bahwa Pemohon Banding melakukan pengkreditan PPh Pasal 22 atas
pembelian baja untuk keperluan Joint Operation maka seharusnya atas
pembelian baja tersebut menjadi beban dan atas nama Joint Operation;
 bahwa berdasarkan uraian diatas maka pemeriksa melakukan koreksi atas
kredit pajak PPh Pasal 22 karena merupakan pembelian baja yang tidak
berhubungan langsung dengan kegiatan usaha BUT Yokogawa Bridge
Corporation.
3. Berdasarkan data penjurnalan diketahui bahwa pengakuan pembelian baja sebagai
bagian dari project material ada pada pembukuan Maruwai Bridge YBC CHC JO
sedangkan transaksi pembayaran kepada pihak penjual dicatat pada pembukuan BUT
Yokogawa Bridge Corporation. Transaksi pembelian tersebut pada akhirnya akan
menjadi beban dari BUT Yokogawa Bridge Corporation sebagaimana tertera pada
laporan keuangan konsolidasi;
4. Berdasarkan bukti Joint Operation Agreement for Repair Work of Existing Bridge on
Maruwai Bridge in Central Kalimantan antara BUT Yokogawa Bridge Corporation
dan PT Cigading Habeam Centre diketahui bahwa kedua belah pihak menyetujui
penetapan BUT Yokogawa Bridge Corporation sebagai pihak yang akan menerima
100% profit/loss, aset dan kewajiban Joint Operation yang terkait dengan proyek
tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh penghasilan dan biaya
yang terkait dengan Maruwai YBC-CHC JO akan menjadi penghasilan dan biaya dari
BUT Yokogawa Bridge Corporation.
5. Bahwa dengan tidak adanya surat tanggapan dari KPP Madya Bekasi atas surat
permintaan konfirmasi bukti pemungutan PPh Pasal 22 nomor
GRD/PPH/VII/2006/2638 tanggal 28 Juli 2006 senilai Rp 161.278,88 yang dilakukan
oleh PT Gunung Garuda maka Terbanding tidak dapat meyakini keabsahan bukti
pemungutan PPh Pasal 22 tersebut dan tidak dapat mengakuinya sebagai kredit pajak
yang dapat diperhitungkan dalam melakukan perhitungan PPh Badan yang masih
harus dibayar untuk Tahun Pajak 2006;
6. Menurut Pemohon Banding koreksi kredit pajak PPh Pasal 22 sejumlah
Rp.161.279,00 tersebut tidak tepat dan harus dibatalkan karena bukti potong untuk
kredit pajak tersebut sudah benar atas nama BUT Yokogawa Bridge Corporation dan
seharusnya dapat dikreditkan di SPT Tahunan PPh Badan dari BUT Yokogawa Bridge
Corporation, karena meskipun PPh 22 yang terkait pembelian baja tersebut adalah
untuk kepentingan proyek di JO YBC - CHC Maruwai, namun karena JO bukan
merupakan subjek PPh Badan, maka pengkreditan PPh 22 dimaksud dilakukan di
BUT Yokogawa Bridge Corporation selaku salah satu anggota dari JO;
7. Majelis menetapkan kepada Pemohon Banding untuk membawa bukti arus uang dan
arus barang; bahwa Majelis menetapkan untuk dilakukan uji arus uang dan arus
barang; bahwa dalam sidang Pemohon Banding menyatakan belum membawa bukti-
bukti asli, dan hanya membawa fotokopinya saja; bahwa menurut Pemohon Banding
atas koreksi Kredit Pajak PPh Pasal 22 tidak dapat menyampaikan bukti asli sehingga
Pemohon Banding menerima koreksi Terbanding sebesar Rp.161.279,00;
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan atas fakta-fakta, bukti-bukti, penjelasan
Pemohon Banding dan Terbanding di dalam persidangan dan data-data yang ada
dalam berkas banding, Majelis berkesimpulan karena Pemohon Banding tidak dapat
menunjukkan bukti asli atas ketidakbenaran koreksi sebesar Rp 161.279,00 dan di
dalam persidangan Pemohon Banding mengemukakan dapat menerima koreksi
tersebut, maka Majelis berketetapan bahwa koreksi yang dilakukan oleh Terbanding
atas Kredit Pajak PPh Pasal 22 sebesar Rp 161.279,00 sudah benar sehingga tetap
dipertahankan;
Manajemen Pajak

1. Joint Operation (JO) dalam kaitannya dengan perpajakan di Indonesia tercantum


dalam Surat Dirjen Pajak No. S-123/PJ.42/1989. Ditegaskan dalam surat tersebut
bahwa JO adalah merupakan bentuk kerja sama operasi, yaitu perkumpulan dua badan
atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek.
Penggabungan bersifat sementara hingga proyek selesai. Dalam beberapa surat-surat
penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak, istilah Joint Operation seringkali
dipertukarkan dengan istilah Konsorsium.
a) Administrative JO
Tipe JO ini sering juga disebut sebagai Kerja Sama Operasi (KSO) di mana
kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Ownerditandatangani atas
nama JO. Dalam hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri
terpisah dari perusahaan para anggotanya. Tanggungjawab pekerjaan terhadap
pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota
JO. Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan
peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian
hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada
porsi pekerjaan (scope of works) masing-masing yang disepakati dalam
sebuah Joint Operation Agreement.

b) Non-Administrative JO
JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi
sering disebut sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project
Owner di buat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota.
Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat koordinasi. Tanggung jawab
pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing anggota

Hal yang harus diperhatikan pada kasus koreksi PPh Pasal 22 adalah pemohon
banding seharusnya memiliki kontrak yang jelas atas usaha Jonya. Dimana menurut
pemohon banding, usaha Jonya merupakan sebuah entitas tersendiri sehinggas
seharusnya menurut ketentuan memiliki pembagian yang proporsional atas beban dan
pendapatan. Jika memang tidak memiliki bukti yang lengkap dan asli atas transaksi
bisnisnya, lebih baik untuk menerima koreksi karena nilainya tidak signifikan. PPh
Pasal 22 yang dipungut oleh pihak lain dapat dikreditkan terhadap PPh terutang dari
masing-masing anggota Jo melalui pemindahbukuan seperti yang diatur dalam SE –
26/PJ.9/1991 sesuai dengan bagian yang telah ditentukan dalam perjanjian JO. Sejak
24 Desember 2014 Peraturan Menteri Keuangan nomor 88/KMK.04/1991 telah
dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 242/PMK.03/2014.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 242/PMK.03/2014, pemindahbukuan
meliputi:” Pemindahbukuan dalam rangka pemecahan setoran pajak dalam SSP,
SSPCP, BPN, atau Bukti Pbk menjadi beberapa jenis pajak atau setoran beberapa
Wajib Pajak, dan/atau objek pajak PBB. “ dan menggunakan lampiran berupa
dokumen-dokumen asli.

2. Jika atas penghasilan merupakan objek pajak PPh Pasal 23 atas JO dari WP Badan
dalam negeri, maka bukti potong PPh Pasal 23 tersebut harus dipecah untuk masing-
masing anggota JO sesuai dengan JOA (Join operation agreement) yang telah
disepakati bersama agar dapat dikreditkan masing-masing anggota JO. Prosedurnya
adalah JO mengajukan permohonan pemecahan Bukti pemotongan PPh Pasal 23
kepada pemberi hasil (Project Owner). Pada waktu dilakukan pemotongan, pemberi
hasil membuat bukti pemotongan PPh Pasal 23 atas nama JO q.q anggota (NPWP
anggota) dengan jumlah pajak sebesar masing-masing. Selanjutnya bukti pemotongan
PPh Pasal 23 disampaikan kepada masing-masing JO. Meskipun tidak memiliki
kewajiban membuat SPT PPh Badan, jauh lebih baik JO untuk menyelenggarakan
pembukuan berdasarkan standart akuntansi untuk menghadapi pemeriksaan
perpajakan oleh fiskus. Karena masing-masing JO memiliki tanggungjawab renteng
bilamana terjadi ketidakberesan pembukuan dan ketidaklengkapan dokumen
pembukuan yang diminta fiskus. Dalam hal membuat perjanjian kerja dengan project
owners, JO harus berhati-hati dan cermat dalam aspek perpajakan, karena bisa saja
terjadi perbedaan penafsiran antara JO dengan fiskus yang ujungnya menimbulkan
kerugian materiil. Pada kasus ini, pemohon banding telah melakukan kewajiban
perpajakan dengan baik, hanya saja terjadi kesalahpahaman dengan KPP pada saat
proses pemisahan. Pemohon banding telah melakukan hal yang benar dengan
menyerahkan seluruh bukti asli dan proses bisnis JO telah dilakukan secara wajar.
Dalam hal ini, yang salah fiskus

Beberapa surat penegasan mengenai perlakuan perpajakan JO tidak konsisten antara


satu dan lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Wajib Pajak. Pemerintah
dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak perlu mengatur lebih tegas perlakuan atas JO
tersebut mengingat semakin meningkatnya pelaksanaan pekerjaan proyek konstruksi
dengan pola kerjasama operasi saat ini dan di masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai