Anda di halaman 1dari 10

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.42759/PP/M.

XVI/15/2013

I. POKOK PERMASALAHAN
Terjadi pokok sengketa koreksi peredaran usaha sebesar Rp 65.962.694.086,00 dengan
rincian sebagai berikut :
1. Koreksi Peredaran Usaha sebesar Rp 64.625.924.623,00
2. Sengketa Harga Pokok Penjualan sebesar Rp 220.647.963,00
3. Sengketa Pengurang Penghasilan Bruto sebesar Rp 1.116.121.500,00.
Dengan keterangan sebagai berikut :
A. Koreksi Peredaran Usaha sebesar Rp 64.625.924.623,00
Menurut Terbanding: bahwa koreksi Peredaran Usaha karena penghitungan kembali
penjualan ekspor ke perusahaan afiliasi dengan harga pasar yang wajar dimana Pemohon
Banding terlalu rendah melaporkan penjualan ekspor tahun 2007.
Menurut Pemohon : bahwa Peredaran Usaha menurut Pemohon Banding adalah sebesar Rp
Rp490.961.924.623,00 sedangkan menurut Pemeriksa sebesar Rp 555.587.147.518,00
sehingga ada selisih sebesar Rp64.625.924.623,00. Pemohon Banding menolak dugaan
adanya transfer pricing oleh pemeriksa karena Pemeriksa melakukan koreksi semata-mata
berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan tetapi Pemohon Banding
melakukan koreksi atas jumlah penjualan berdasarkan data-data dan bukti-bukti sesuai
dengan kondisi perusahaan dan kondisi pasar yang ada. Harga penjualan Pemohon Banding
didasarkan atas harga pasar yang berlaku pada saat ditandatanganinya kontrak penjualan
sehingga tidak benar dugaan adanya transfer pricing tersebut.
Menurut Majelis : bahwa berdasarkan data/bukti yang tersedia serta penjelasan para pihak
selama persidangan, dapat dikemukakan hal-hal berikut :
- bahwa yang menjadi sengketa adalah koreksi harga jual kepada perusahaan affiliasi yaitu
Lanna Resources Public Company Limited, Bangkok 10330, Thailand karena adanya dugaan
transfer Pricing,
- bahwa dasar hukum yang digunakan oleh Terbanding untuk melakukan
koreksi adalah :
- Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan :
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung
besarnya Penghasilan Kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan Wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa;
bahwa hal-hal yang dapat dikemukakan dari perusahaan affiliasi tersebut adalah sebagai
berikut :
- Lanna Resources Public Company Limited, Bangkok 10330, Thailand adalah pemegang
saham Pemohon Banding sebanyak 4.400 lembar @ US 1,000.00 = US 4,400,000.00 = Rp
45.148.400.000,00 dari total Modal Saham yang Diambil dan Disetor penuh sebanyak 8.000
lembar saham = US 8,000,000.00 = Rp82.088.000.000,00 atau sebagai pemegang saham
Pemohon Banding sebanyak 55%,
- bahwa penjualan batubara oleh Pemohon Banding kepada perusahaan affiliasi mencakup
95,64% dan penjualan kepada perusahaan non affiliasi sebesar 4,36%,
- bahwa dari kontrak penjualan batubara kepada perusahaan affiliasi dapat dikemukakan
bahwa pihak yang menandatangani kontrak adalah :

- bahwa berdasarkan data di dalam kontrak penjualan batubara dengan perusahaan affiliasi
dan Akte Notaris Nomor 10 Tanggal 20 Nopember 2008 dari Yulida Vincestra, SH, Notaris di
Jakarta diketahui adanya pengurus di perusahaan Pemohon Banding yang juga menjabat di
perusahaan affiliasi yaitu :
Pemohon Banding menyatakan :
- metode penentuan harga batubara yang digunakan adalah dengan menggunakan
pendekatan atau harga yang berkisar dengan index Barlow Joner Index (BJI) pada saat
kontrak disepakati kedua belah pihak, pertimbangan jumlah (Quantity Batubara yang akan
dijual) serta kualitas dan kandungan kalorinya,
- dengan melihat kuantitas penjualan maka wajar jika Pemohon Banding menjual barang
dengan nilai jual (FOB) yang lebih murah kepada Lanna Resources Public Company Limited
jika dibandingkan penjualan ke Glencore International AG atau Unique Mining Services
Public Company Limited dengan presentase penjualan 95,64% dibandingkan 4,36%,
- penentuan harga jual kepada Lanna Resources Public Company Limited sebagian besar
disepakati sebelum tahun 2007.
bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, Majelis berpendapat :
1. bahwa berdasarkan kepemilikan saham Pemohon Banding oleh Lanna Resources Public
Company Limited sebesar 55% dan adanya unsure management yang sama pada kedua
entity, maka Pemohon Banding mempunyai hubungan istimewa dengan Lanna Resources
Public Company Limited sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan;
2. bahwa Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan memberi wewenang kepada
Direktur Jenderal pajak untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan
serta menentukan utang sebagai modal untuk menentukan besarnya penghasilan kena
pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya
sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa.

Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan antara lain dijelaskan
:
……………Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan atau biaya tersebut dapat dipakai
beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran
serta Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.
3. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
penjelasannya serta landasan teoritis mengenai Transfer Pricing, maka pendekatan yang
dilakukan oleh Terbanding untuk menguji kewajaran harga Transfer Pricing dengan
menggunakan metode Comparable Uncontrolled Price yaitu dengan mengambil data
pembanding dari perusahaan yang independent, jenis barang yang sama, spesifikasi barang
yang sama, syarat penjualan yang sama adalah merupakan pendekatan yang paling
sesuai/cocok untuk menguji kewajaran harga transfer pricing tersebut.
4. bahwa Majelis menilai menurut bukti terdapat unsure management yang sama pada
kedua belah pihak antara kedua perusahaan dipimpin oleh orang-orang yang sama maka
dapat terjadi pengaruh yang dominant terhadap harga transaksi karena penguasaan melalui
manajemen, dan juga karena terbukti harga transaksi batubara yang berkualitas selalu dijual
oleh Pemohon Banding kepada pembeli yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga
kepada pembeli yang tidak mempunyai hubungan istimewa dijual dengan harga yang
berbeda. Oleh karena itu Majelis berkesimpulan harga transaksi tersebut tidak diyakini
sebagai harga yang wajar, maka perlu ditentukan kembali harga yang wajar sesuai dengan
keadaan yang sebenar-benarnya dengan cara pendekatan sebagaimana diperkenankan
dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
5. bahwa berdasarkan penilaian Majelis terhadap bukti kontrak jual beli batubara antara
Pemohon Banding dengan pembeli yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, terbukti
tidak sesuai dengan pernyataan Pemohon Banding yang terungkap dalam persidangan
bahwa penentuan harga jual berpedoman kepada Barlow Joner Index (BJI) yaitu index harga
batubara yang merupakan pedoman bersifat international terhadap harga batubara yang
ada dalam dunia usaha batubara, Dengan demikian terbukti penentuan harga jual batubara
dalam kontrak tersebut ditentukan oleh manajemen yang mempunyai pengaruh dominant
terhadap harga jual, oleh karena itu Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding atas harga
transaksi adalah benar dan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga koreksi
Terbanding tetap dipertahankan.

B. Koreksi Harga Pokok Penjualan sebesar Rp 220.647.963,00


Menurut Terbanding: bahwa koreksi harga pokok penjualan merupakan koreksi atas biaya
sehubungan dengan jasa (other miscellaneous expense) karena bukti yang tidak valid,
sumbangan dan biaya entertainment sebesar US$23.306,52 atau Rp219.365.627,00 serta
biaya equipment dan furniture sebesar Rp1.282.336,00 karena kesalahan perhitungan.
Menurut Pemohon : bahwa Pemohon Banding mengajukan banding atas koreksi Harga
Pokok Penjualan sebesar Rp 220.647.963,00 yang merupakan selisih Harga Pokok Penjualan
menurut Pemohon Banding sebesar Rp 280.174.149.549,00, sedangkan menurut Pemeriksa
sebesar Rp 279.953.501.586,00.
Menurut Majelis : bahwa dengan adanya penjelasan Pemohon Banding pada persidangan
hari Kamis tanggal 4 Agustus 2011 yang menyatakan bahwa Pemohon Banding setuju atas
koreksi Terbanding, maka koreksi Harga Pokok Penjualan sebesar Rp 220.647.963,00 tetap
dipertahankan.

C. Koreksi Pengurang Penghasilan Bruto sebesar Rp 1.116.121.500,00


Menurut Terbanding : bahwa koreksi Pengurang Penghasilan Bruto sebesar Rp
1.116.121.500,00 karena terdapat biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan berdasarkan
Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan berupa biaya yang dibayarkan untuk kepentingan
pribadi, pemberian natura, biaya jamuan, sumbangan, pembayaran PPh, dan biaya-biaya
yang tidak didukung dengan bukti yang memadai.
Menurut Pemohon : bahwa Pemohon Banding mengajukan banding atas koreksi Pengurang
Penghasilan Bruto sebesar Rp 1.116.121.500,00 yang merupakan selisih antara Pengurang
Penghasilan Bruto menurut Pemohon Banding sebesar Rp 133.083.298.490,00, sedangkan
menurut Pemeriksa sebesar Rp 131.967.176.990,00.
Menurut Majelis : bahwa dengan adanya penjelasan Pemohon Banding pada persidangan
hari Kamis tanggal 4 Agustus 2011 yang menyatakan bahwa Pemohon Banding setuju atas
koreksi Terbanding, maka koreksi Pengurang Penghasilan Bruto sebesar Rp
1.116.121.500,00 Tetap Dipertahankan.

bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk menolak
permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor: KEP-553/WPJ.07/2010 tanggal 9 Juni 2010 tentang Keberatan Wajib Pajak atas
SKPKB PPh Badan Tahun Pajak 2007 Nomor : 00007/206/07/056/09 tanggal 27 Maret 2009.
Memperhatikan : Surat Banding, Surat Uraian Banding, Surat Bantahan dan hasil
pemeriksaan serta pembuktian dalam persidangan.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
2. Ketentuan perundang.undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku
dan yang berkaitan dengan perkara ini.
Memutuskan : Menyatakan Menolak permohonan banding Pemohon Banding atas
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-553/WPJ.07/2010 tanggal 9 Juni 2010,
tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan
PPh Badan Nomor: 00007/206/07/056/09 tanggal 27 Maret 2009 Tahun Pajak 2007.

II. MANAJEMEN PAJAK


A. KASUS 1 : Koreksi Peredaran Usaha sebesar Rp 64.625.924.623,00
HASIL KEPUTUSAN KASUS
Pemohon Banding terlalu rendah melaporkan penjualan ekspor pada tahun 2007. Terduga
terjadi koreksi harga jual kepada perusahaan affiliasi yaitu Lanna Resources Public Company
Limited, Bangkok 10330, Thailand karena adanya dugaan transfer Pricing. Pemohon banding
menyatakan metode penentuan harga batubara yang digunakan adalah dengan
menggunakan pendekatan atau harga yang berkisar dengan index Barlow Joner Index (BJI)
pada saat kontrak disepakati kedua belah pihak, pertimbangan jumlah (Quantity Batubara
yang akan dijual) serta kualitas dan kandungan kalorinya. Dengan melihat kuantitas
penjualan maka wajar jika Pemohon Banding menjual barang dengan nilai jual (FOB) yang
lebih murah kepada Lanna Resources Public Company Limited jika dibandingkan penjualan
ke Glencore International AG atau Unique Mining Services Public Company Limited dengan
presentase penjualan 95,64% dibandingkan 4,36%. Penentuan harga jual kepada Lanna
Resources Public Company Limited sebagian besar disepakati sebelum tahun 2007. Karena
terbukti harga transaksi batubara yang berkualitas selalu dijual oleh Pemohon Banding
kepada pembeli yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga kepada pembeli yang
tidak mempunyai hubungan istimewa dijual dengan harga yang berbeda. Oleh karena itu
Majelis berkesimpulan harga transaksi tersebut tidak diyakini sebagai harga yang wajar,
maka perlu ditentukan kembali harga yang wajar sesuai dengan keadaan yang sebenar-
benarnya dengan cara pendekatan sebagaimana diperkenankan dalam ketentuan Pasal 18
ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan bahwa berdasarkan penilaian Majelis terhadap
bukti kontrak jual beli batubara antara Pemohon Banding dengan pembeli yang mempunyai
hubungan istimewa tersebut, terbukti tidak sesuai dengan pernyataan Pemohon Banding
yang terungkap dalam persidangan bahwa penentuan harga jual berpedoman kepada
Barlow Joner Index (BJI) yaitu index harga batubara yang merupakan pedoman bersifat
international terhadap harga batubara yang ada dalam dunia usaha batubara, Dengan
demikian terbukti penentuan harga jual batubara dalam kontrak tersebut ditentukan oleh
manajemen yang mempunyai pengaruh dominant terhadap harga jual, oleh karena itu
Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding atas harga transaksi adalah benar dan telah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga koreksi Terbanding tetap dipertahankan.
PENDEKATAN MASALAH KASUS

Dalam kasus ini, diduga pemohon melakukan transaksi transfer pricing antar perusahaan
dengan tujuan sebagai berikut : Memaksimalkan penghasilan global setelah dikurangi pajak,
mengurangi risiko moneter, mengatur cash flow anak/cabang perusahaan yang memiliki
hubungan istimewa. Transaksi transfer pricing yang dilakukan ditandai dengan adanya
hubungan istimewa dalam penghitungan laba kena pajak merupakan indikasi hubungan
istimewa dalam memperoleh penghasilan. Selain itu, terdapat bukti bahwa perusahaan
tersebut memiliki manajemen yang sama, dalam bukti kotrak penjualan terdapat hasil
bahwa jumlah batubara yang dijual keada dua perusahaan tersebut tidak terlalu jauh
berbeda, namun harganya lebih rendah pada perusahaan yang memiliki hubungan
istimewa. Pemerintah sangat memperhatikan wajib pajak yang melakukan manipulasi harga
transfer (transfer pricing) untuk menggelapkan pajak. Manipulasi transfer pricing bisa
dilakukan oleh suatu perusahaan dalam satu group yang beroperasi di negara-negara yang
memiliki perbedaan sistem pajak. Manipulasi tersebut melibatkan aktivitas penetapan harga
yang tidak wajar, skema transaksi dan struktur usaha artifisial. Hal tersebut bisa
mengecilkan profit setelah pajak (after tax profit) karena menggerus basis pajak. Konsep
transfer pricing sebenarnya tidak dilarang selama tidak bertujuan untuk secara sengaja
menggelapkan pajak. Sayangnya, transfer pricing memberi peluang bagi wajib pajak untuk
memanipulasi besar kewajiban pajaknya.

Khusus untuk Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan


(PMK) Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan atau Informasi Tambahan yang
Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa dan Tata Cara Pengelolaannya. Aturan pelaksana Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2011 ini mengatur secara detail tentang jenis dokumen
dan/atau informasi tambahan yang wajib disimpan oleh WP yang melakukan transaksi
dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa, misalnya WP dan pihak afiliasi,
dan tata cara pengelolaannya. Wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi harus membuat
Dokumen Penentuan Harga Transfer (TP Doc) berupa dokumen induk (master file),
dokumen lokal (local file), dan laporan per negera (country by country report/CbCR).
Dokumen tersebut merupakan sarana untuk membuktikan kewajiban sekaligus membantu
otoritas pajak dalam melakukan pemeriksaan. Kriteria wajib pajak yang wajib
mendokumentasikan local file dan master antara lain nilai peredaran bruto setahun dalam
tahun pajak sebelumnya lebih dari Rp50 miliar, nilai transaksi afiliasi tahun pajak
sebelumnya lebih dari Rp20 miliar untuk barang berwujud dan lebih dari Rp5 miliar untuk
masing-masing jasa, atau pihak afiliasi berada di negara yang dengan tarif kurang dari 25
persen. Master file berisi informasi mengenai grup usaha, paling sedikit memuat struktur
dan bagan kepemilikan serta negara atau yurisdiksi masing-masing anggota, kegiatan usaha
yang dilakukan, harta tidak berwujud yang dimiliki. Selain itu, dokumen tersebut juga
memuat aktivitas keuangan dan pembiayaan serta laporan keuangan konsolidasi entitas.
Entitas-entitas yang biasanya melakukan transfer pricing tersebut membentuk suatu grup
perusahaan yang satu sama lain melakukan transaksi dengan harga lebih rendah dari Harga
Pasar. Harga yang diputuskan adalah harga yang memberikan keuntungan akumulatif secara
maksimal bagi grup perusahaan. Harga tersebut dikenal dengan istilah Harga Transfer.
Maksud utama praktik semacam ini adalah untuk mengoptimalkan laba perusahaan melalui
akumulasi penghindaran beban pajak (PPh dan PPN). Dalam bisnis, Harga Transfer
merupakan bagian dari langkah efisiensi biaya oleh perusahaan. Keberadaanya tidak
dipermasalahkan sampai kemudian negara merasakan bahwa praktik penentuan Harga
Transfer menyebabkan tergerusnya basis pemajakan sehingga mengurangi pajak yang
seharusnya diterima. Indonesia telah mengatur situasi ini dengan menjadikan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm’s length principle/ ALP) sebagai acuan untuk
menentukan nilai wajar suatu transaksi. Dalam ALP, harga pasar wajar dapat dinilai dengan
membandingkan suatu transaksi yang sama dan terjadi dalam kondisi yang sama antar pihak
berafiliasi dengan pihak yang tidak berafiliasi. Penentuan Harga Transfer digunakan antar
entitas melalui sejumlah praktik antara lain Penentuan Harga Penjualan. Dalam kasus ini
dikenal dengan CUP atau Comparable Uncontrolled Price.

SARAN BAGI PIHAK WAJIB PAJAK:


Sebelum menerapkan suatu skema, perusahaan sebaiknya melakukan riset mengenai
kemungkinan apa saja yang akan terjadi apabila wajib pajak menerapkan skema transfer
pricing. Kemudian dalam penerapan skema tersebut diperhatikan mengenai dokumentasi
transfer pricing. Wajib pajak harus menyiapkan bukti-bukti yang dapat digunakan untuk
membuktikan bahwa transaksi yang diberikan oleh pihak yang memiliki hubungan istimewa
adalah benar-benar terjadi dan harga transaksi tersebut merupakan harga pasar wajar dan
sesuai dengan karakteristik perusahaan. sebaliknya dari sisi bisnis, perusahaan cenderung
berupaya meminimalkan biaya-biaya (cost efficiency) termasuk Pajak Penghasilan (PPh)
perusahaan (corporate income tax). Bagi perusahaan berskala global (misalnya
multinational corporations), transfer pricing merupakan salah satu strategi yang efektif
untuk memenangkan persaingan dalam memperebutkan sumber-sumber daya yang
terbatas. Penggunaan transfer pricing berbasis pasar, secara relative cukup objektif apabila
dibandingkan dengan hasil keahlian negosiasi para penjual atau pun pembeli pada pusat
pertanggungjawaban penjualan maupun pusat pertanggungjawaban pembeli. lmplikasi
pajak terhadap pengaturan transfer pricing dapat terlihat pada ilustrasi berikut ini : Dalam
rangka terdapat persesuaian transfer pricing antara otoritas pajak dengan para Wajib Pajak,
berkenaan dengan "arm's length price", dikembangkan pula dalam ketentuan peraturan
perundangundangan perpajakan. Suatu model yang mirip dengan model "transfer pricing
negosiasi dan transfer pricing arbitrasi" tersebut di atas, dengan diperkenalkannya model
"kesepakatan transfer pricing - advance pricing agreement (APA)" seperti yang terlihat
dalam pasal 18 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000.
Kesepakatan transfer pricing (Advance Pricing Agreernen/APA) adalah kesepakatan antara
Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang
dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related pafties)
dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi teriadinya praktik
penyalahgunaan fransfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib
Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal antara lain
harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada
kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan
penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan
produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat
bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan
Wajib Pajak atau bilateral. Meskipun demikian pada parkteknya tidak semua wajib pajak
dapat menggunakan program APA karena prosedurnya cukup mahal dan memakan waktu,
sehingga bagi wajib pajak kecil hal ini menjadi sulit. oleh karena prosedur APA biasanya
hanya membantu dalam kasus transfer pricing yang nilainya cukup besar.

B. KASUS 2 : Sengketa Harga Pokok Penjualan sebesar Rp 220.647.963,00


HASIL KEPUTUSAN KASUS
Koreksi harga pokok penjualan merupakan koreksi atas biaya sehubungan dengan jasa
(other miscellaneous expense) karena bukti yang tidak valid, sumbangan dan biaya
entertainment sebesar US$23.306,52 atau Rp219.365.627,00 serta biaya equipment dan
furniture sebesar Rp1.282.336,00 karena kesalahan perhitungan. Pemohon Banding setuju
atas koreksi Terbanding, maka koreksi Harga Pokok Penjualan sebesar Rp 220.647.963,00
tetap dipertahankan.
PENDEKATAN MASALAH
Dalam sengketa ini, pemohon banding setuju dengan koreksi dikarenakan memang terjadi
kesalahan perhitungan dari WP. Sebenarnya, jika perusahaan dapat memberikan bukti yang
valid untuk pengeluaran atas sumbangan dan biaya entertainment yang telah diatur dalam
sistem perpajakan, bisa dijadikan sebagai pegurang kewajiaban WP asalkan biaya-biaya
tersebut memang dikeluarkan sebagai pengurang pajak dengan aturan yang benar.

C. KASUS 3 : Sengketa Pengurang Penghasilan Bruto sebesar Rp 1.116.121.500,00.


HASIL KEPUTUSAN KASUS
Koreksi Pengurang Penghasilan Bruto sebesar Rp 1.116.121.500,00 karena terdapat biaya-
biaya yang tidak boleh dikurangkan berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan
berupa biaya yang dibayarkan untuk kepentingan pribadi, pemberian natura, biaya jamuan,
sumbangan, pembayaran PPh, dan biaya-biaya yang tidak didukung dengan bukti yang
memadai. Pemohon Banding setuju atas koreksi Terbanding, maka koreksi Pengurang
Penghasilan Bruto sebesar Rp 1.116.121.500,00 Tetap Dipertahankan.
PENDEKATAN MASALAH
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU PPh, biaya-biaya yang boleh dibebankan sebagai pengurang
penghasilan bruto adalah pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang harus dilakukan
dalam bentuk uang. Yaitu :
a. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas
menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan
bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun,
pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang
menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Pengeluaran-pengeluaran
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas
yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian,
apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh
hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto. Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan
dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai
biaya.
b. Sumbangan yang diperbolehkan sebagai pengurang adalah sumbangan dalam rangka
penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah, lalu sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang
dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah,
kemudian biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah, sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah, dan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
c. Biaya jamuan dan sejenisnya harus dapat dibuktikan bahwa biaya-biaya tersebut
telah benar-benar dikeluarkan (formal) dan diketahui bahwa pengeluaran tersebut
telah sesuai dengan kelaziman dan kewajaran dalam praktek dunia usaha sesuai
dengan adat kebiasaan pedagang yang baik serta dapat dibuktikan kebenaran.
Kriterianya adalah biaya jamuan dan sejenisnya digunakan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto,
maka Wajib Pajak harus dapat membuktikan. Pembuktian tersebut melalui
pembuatan daftar nominatif dan daftar nominatif tersebut dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan tahun yang bersangkutan. Daftar dominatif tersebut berisi
:

1. Nomor urut.
2. Tanggal “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan. Nama tempat
“entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
3. Alamat “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
4. Jenis “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan
5. Jumlah (Rp) “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
6. Relasi usaha yang diberikan “entertainment” dan sejenisnya sesuai dengan
nomor urut tersebut di atas berisi :

 Nama
 Posisi
 Nama perusahaan
 Jenis usaha

Anda mungkin juga menyukai