Anda di halaman 1dari 2

I.

Gambaran Kasus

Terjadi sengketa pajak antara pihak terbanding dengan pihak pemohon banding dimana pihak
terbanding menemukan selisih kurang pada pengenaan pajak PPh pasal 21 di tahun 2006
sebesar Rp.14.534.514.775,00 pada pihak pemohon banding.

II. Permasalahan kasus

Sengketa ini terjadi karena pihak terbanding melakukan koreksi pengenaan pajak PPh pasal 21
berdasarkan ekualisasi yaitu pengecekan kesesuaian antaran satu jenis pajak dengan jenis pajak
lainnya yang memiliki hubungan dengan menyamakan biaya atau pendapatan (obyek pajak)
pada laporan keuangan dengan biaya atau pendapatan yang dilaporkan pada SPT tahunan.
Namun pihak pemohon banding menolak hal tersebut karena menganggap biaya-biaya tersebut
tidak semuanya objek PPh 21.

III. Pedoman Aturan PPh 21 atas badan


 Badan usaha yang memiliki pendapatan bruto sampai Rp 4,8 miliar per tahun:
Dikenakan tarif pajak PPh final, yaitu PPh Pasal 4 Ayat 2 dengan perhitungan pajak
1% dikalikan dengan seluruh pendapatan bruto dari hasil usaha perseroan.
 Berdasarkan PP 46 Tahun 2013, wajib pajak atau badan usaha wajib menyetorkan Pajak
PPh tersebut setiap bulan paling lambat tanggal 15.
 Badan usaha yang memiliki pendapatan bruto lebih dari Rp 50 miliar per tahun:
 Besarnya tarif pajak penghasilan PPh badan dikenakan tarif pajak tunggal 25%
dikalikan dengan laba bersih sebelum pajak.
 Badan usaha yang memiliki pendapatan bruto antara Rp 4,8 miliar – Rp 50 miliar:Tarif
sebesar 12,5% untuk pajak penghasilan yang mendapatkan fasilitas (pendapatan bruto
sampai dengan Rp 4,8 miliar).
 Tarif sebesar 25% untuk pajak penghasilan yang tidak mendapatkan fasilitas
(pendapatan bruto Rp 4,8 miliar – Rp 50 miliar).
IV. Pembahasan danSolusi

Dalam kasus ini ada 3 pihak yang terlibat yaitu pihak terbanding, pemohon banding, dan
majelis. Secara umum pemohon banding dalam hal ini adalah WP sudah melakukan pelaporan
dan pembayaran pajak PPh 21 dengan benar. Selisih yang muncul karena koreksi yang
dilakukan pihak terbanding melalkui ekualisasi secara aturan juga sah, namun praktek atau
penerapan ekualisasi itu sendiri kurang sesuai karena memasukan biaya yang bukan seharusnya
menjadi objek pajak seperti biaya tenaga kerja outsourcing, iuran Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK), iuran Jaminan Kematian (JKM) dan iuran Jaminan Hari Tua (JHT). Seharusnya pihak
terbanding melakukan kajian terlebih dahulu sebelum melakukan ekualisasi sehingga koreksi
yang dilakukan bisa benar-benar mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Bagi pihak majelis
seharusnya juga mempertimbangkan keabsahan koreksi yang dilakukan pihak terbanding dan
mempertimbangkan bukti berupa berkas-berkas yang disampaikan pihak pemohon banding.
Karena bukti tersebut sudah cukup kuat untuk membuktikan bahwa pelaporan SPT tahunan
dan pembayarannya sudah dilakukan dengan benar.

Anda mungkin juga menyukai