Anda di halaman 1dari 5

Nama : Tirtasakti Nugroho

NIM : 03031381621087

Manfaat Chitosan Sebagai Pengawet

1.1. Pemanfaatan Chitosan Secara Umum


Chitosan mempunyai gugus amino bebas sebagai polikationik, pengkelat,
dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Karakteristik chitosan sebagai
polielektrolit dapat digunakan untuk bahan pengkoagulasi dalam sistem pengolahan
limbah secara fisik dan kimia. Kitin dan chitosan telah dimanfaatkan dalam ber-
bagai keperluan industri seperti industri kertas dan tekstil sebagai zat aditif, industri
pembungkus makanan berupa film khusus, industri metalurgi sebagai absorban un-
tuk ion-ion metal, industri kulit untuk perekat, fotografi, industri cat sebagai
koagulan, pensuspensi, flokulasi, serta aditif makanan (Suptijah dkk. 1992)
Chitosan digunakan sebagai pelapis benih yang akan ditanam sehingga
terhindar dari jamur tanah pada bidang pertanian. Chitosan juga diaplikasikan pada
bidang peternakan sebagai pemisah (separation) spermatozoa yang mobile (ber-
gerak) dan non mobile (tidak bergerak) dari babi jantan dan lembu jantan serta dapat
digunakan sebagai bahan tambahan ransum bagi ayam petelur dan dapat me-
ningkatkan produksi sampai 8,8%. Chitosan dalam bidang pangan dapat digunakan
sebagai pengental atau pembentuk gel yang baik, pengikat, penstabil, dan
pembentuk tekstur karena adanya kandungan senyawa komplek Microcrystalin
Chitin (MCC). Chitosan juga digunakan sebagai bahan penyaring yang efektif
terhadap zat yang tidak diinginkan seperti tanin pada kopi dan pemurni bir.
Chitosan juga telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang kesehatan antara
lain sebagai bahan anti kolesterol, bahan pembungkus kapsul karena memiliki
kemampuan untuk melepas obat ke dalam tubuh secara terkontrol, dan sebagai
bahan antitumor karena chitosan mempunyai sifat antibakterial dan antikoagulan
dalam darah serta dapat menggumpalkan sel-sel leukemia. Chitosan juga dapat
digunakan sebagai pengganti tulang rawan, pengganti saluran darah (baik arteri
maupun vena) serta untuk bahan pembuat membran ginjal buatan (Brzeski, 1987).
Chitosan telah diaplikasikan sebagai benang operasi dan juga dapat digunakan
sebagai bahan dasar pengemas berupa film. Sifat yang dimiliki chitosan sangat
menguntungkan karena bersifat alami, serta merupakan bahan yang biodegradable.
1.2. Pemanfaatan Chitosan Sebagai Pengawet
Chitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang di-
milikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan
sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal
antara produk dan lingkungannya. Mekanisme yang mungkin terjadi antara lain
karena chitosan memiliki afinitas yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga
berikatan dengan DNA yang kemudian menganggu m-RNA dan sintesa protein.
Chitosan dapat berinteraksi langsung dengan membran sel sehingga menganggu
permeabilitas membran dan menyebabkan kebocoran materi protein sel. Selain itu
chitosan juga berfungsi sebagai agen pengkelat yang dapat mengikat traceelement
dan nutrisi esensial untuk pertumbuhan mikroba yang diberikan chitosan.
Chitosan juga telah diujicobakan dan digunakan untuk mengawetkan
berbagai produk pangan di Indonesia antara lain tahu, ikan asin, mie basah, sosis,
bakso, bandeng presto atau segar bebas duri, dan buah-buahan. Produk-produk
segar seperti ayam potong dan ikan segar, chitosan belum menunjukkan efektifitas
yang optimal. Untuk produk ikan dan ayam penyimpanan suhu dingin masih
menjadi pilihan yang disarankan karena terbilang lebih efisien (Hardjito, 2006).
Dalam pemanfaatannya chitosan memiliki standar yang ditunjukkan tabel berikut.

Tabel 1.1. Standar Chitosan


Nama Standar
> 70% (Jenis teknis)
Deasetilasi
> 95% (Jenis farmasi)
Kadar abu < 1%
Kadar air 2-10%
Viskositas 309 cps
E. Coli -
Salmonella -
(Sumber: Saleh, 2013)

Dua faktor utama yang menjadi ciri dari chitosan adalah viskositas atau
berat molekul dan derajat deasetilasi. Oleh sebab itu, pengendalian kedua parameter
tersebut dalam proses pengolahannya akan menghasilkan chitosan yang bervariasi
dalam penerapannya di berbagai bidang. Derajat deasetilasi dan berat molekul
berperan penting dalam kelarutan chitosan, sedangkan derajat deasetilasi sendiri
berkaitan dengan kemampuan chitosan untuk membentuk interaksi isoelektrik
dengan molekul lain. Chitosan dapat berinteraksi dengan bahan-bahan yang be-
rmuatan, seperti protein, polisakarida, anionik, asam lemak, asam empedu, dan
fosfolipid. Chitosan larut pada asam dan air mempunyai keunikan membentuk gel
yang stabil dan mempunyai muatan dwi kutub, yaitu muatan negatif pada gugus
karboksilat dan muatan positif yang ada pada gugus NH (Saleh, 2013).
Sebagai antibakteri, chitosan memiliki sifat mekanisme penghambatan,
dimana chitosan akan berikatan dengan protein membran sel, yaitu glutamat yang
merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membran,
chitosan juga berikatan dengan fosfolipid membran, terutama fosfatidil kolin,
sehingga meningkatkan permeabilitas inner membrane (IM). Naiknya permeabilitas
IM akan mempermudah keluarnya cairan sel pada bakteri yang terpapar chitosan.

1.3. Mekanisme Pengawetan dengan Chitosan


Chitosan merupakan senyawa polikationik dari alam unik yang memiliki
aktivitas antibakteri. gugus amina terprotonasi dapat menghambat pertumbuhan
bakteri dengan menahan muatan ion negatif mikroorganisme. Aktivitas antibakteri
chitosan dipengaruhi oleh viskositas, derajat deasetilasi, dan pH media. Konsentrasi
hambatan minimum chitosan antara 0,005-0,1%, tergantung dari jenis bakteri dan
berat molekul chitosan serta variasi pH. Bakteri dengan perbedaan kondisi per-
tumbuhan mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap chitosan. Derajat dea-
setilasi yang semakin besar menunjukkan jumlah gugus amina dalam chitosan
semakin banyak sehingga kelarutannya dalam asam semakin besar. dengan derajat
deasetilasi lebih dari 65% akan larut dalam asam (Liu dkk, 2006).
Chitosan umumnya menunjukkan efek antibakteri yang besar pada bakteri
gram-positif dibanding gram-negatif dengan konsentrasi chitosan 0,1%. aktivitas
antibakteri chitosan dengan derajat deasetilasi 69,10-92,52%, diperoleh laju reduksi
Escherichia coli 62,14-84,98%, dan Hay bacillus 33,96-82,53%. Selain jenis bak-
teri, faktor lain yang mempengaruhi daya hambat pertumbuhan bakteri adalah berat
molekul chitosan, di mana aktivitas antibakteri pada berat molekul rendah lebih
besar daripada berat molekul tinggi. Menurunnya aktivitas antibakteri pada berat
molekul tinggi karena chitosan dengan berat molekul tinggi memiliki viskositas
besar sehingga sulit terdifusi pada agar mengandung organisme (Zhang dkk, 2003).

1.4. Perkembangan Penggunaan Chitosan Sebagai Pengawet


Di dunia chitosan telah diuji coba dan digunakan untuk pengawet produk
pangan seperti mayonise, buah-buahan, jus, mie basah, dan udang segar (Hirano,
1996). Pada mayonise chitosan dapat mengambat pertumbuhan mikroba Lacto-
bacillus plantarium, L fructivorans, dan Zygosaccharomyces bailii, dan pada suhu
penyimpanan 25oC mampu mempertahan kestabilan emulsi mayonise sampai 10
minggu. Dosis optimal penggunaan chitosan pada suhu 37°C adalah 100 ppm
(setara dengan produk THP dengan konsentrasi 6.6 ml/L). Chitosan berfungsi
sebagai pelapis yang dapat dimakan yang sekaligus memperpanjang umur simpan
dan menekan pertumhuhan mikroba-mikroba pembusuk (Hardjito, 2006).

1.5. Keamanan Pengawet Bebahan Chitosan


Dibandingkan dengan formalin dan bahan pengawet lain yang diijinkan
oleh Departemen Kesehatan, chitosan memiliki beberapa keunggulan. Selain se-
bagai pengawet makanan, chitosan juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba
penyebab penyakit tipus yang telah mengalami resistensi terhadap ampicillin,
chloramphenicol, tetracyclin seperti Salmonella enterica. Chitosan juga telah
dilaporkan dapat menghambat perbanyakan sel kanker Penemuan ini sangat
menggembirakan, sehingga konsumen tidak perlu kawatir menggunakan chitosan
sebagai bahan tambahan makanan dan pengawet. Bila di dalam lambung chitosan
terdegradasi menjadi moiekul kecil. Hal ini tidak akan membahayakan konsumen
tapi justru dapat menghindarkan konsumen dari penyakit kanker (Samiyatun, 2010).
Sebagai bahan alami, chitosan bersifat tidak beracun dan telah digunakan
secara luas sebagai bahan farmasi, konsumsi chitosan yang diperbolehkan tanpa
menimbulkan efek samping adalah 66,5 g/hari. Bila dibandingkan dengan data
penggunaan chitosan sebagai pengawet antara 0.01 - 1 % yaitu 0,1 sampai 10 g/L,
maka dosis chitosan sebagai pengawet masih jauh dari nilai Aceptance Daily Intake
(ADI) sehingga dipastikan aman untuk manusia (Hirano, 1996). Kedepannya
diharapkan produksi terhadap chitosan semakin meningkat di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Brzeski, M. M. 1987. Chitin and Chitosan Pathing Waste to Good Use. Journal of
Biological Macromolecules. 26(2): 63-67.
Hardjito, L. 2006. Chitosan Sebagai Bahan Pengawet Pengganti Formalin. Rubrik
Teknologi. 15(46): 80-84.
Hirano, S. 1996. Chitin Biotechnology Applications. Biotechnology Annual Review.
2(1): 240.
Liu, N., dkk. 2006. Effect of MW and Concentration of Chitosan on Antibacterial
Activity of Escherichia Coli. Carbohydrat Polymer. 64(6): 63.
Saleh, A., Trisnawati, E., dan Andesti, D. 2013. Pembuatan Kitosan dari Limbah
Cangkang Kepiting Sebagai Bahan Pengawet Buah Duku dengan Variasi
Lama Pengawetan. Jurnal Teknik Kimia. 19(2): 19-20.
Samiyatun. 2010. Studi Penambahan Sifat Antibakteri Kitosan dan Komposit
Kitosan-Ag dalam Proses Daur Ulang Limbah Kemasan Polipropilen.
Surakarta: FMIPA Universitas Sebelas Maret
Suptidjah, dkk. 1992. Pengaruh Berbagai Isolasi Khitin Kulit Udang Terhadap
Mutunya. Bogor: FPIK IPB.
Zhang, Y. Q., dkk. 2003. Antibacterial Properties of Cotton Fabrics Treated with
Chitosan. Textile Research Journal. 73(12): 1103-1106.

Anda mungkin juga menyukai