Anda di halaman 1dari 7

Nama : Tirtasakti Nugroho

NIM : 03031381621087

Proses Produksi Tempe Skala Industri dan Senyawa yang Digunakan

Sektor perindustrian merupakan sektor yang cukup diandalkan dalam


perekonomian Indonesia, terutama dari sektor industri pengolahan hasil pertanian.
Hal tersebut menjadikan industri pengolahan hasil produk pertanian sangat
berperan dalam pertumbuhan perekonomian, karena sektor pertanian masih
menjadi peng-hasilan utama sebagian besar masyarakat Indonesia, sebagai
masyarakat agraris (Winarno, 2008). Peningkatan kebutuhan akan kedelai pada
industri olahan makanan dan konsumsi masyarakat terhadap olahan kedelai,
mendorong industri pengolahan kedelai terutama industri tempe untuk
meningkatkan jumlah produksi. Peningkatan jumlah produksi haruslah diimbangi
dengan proses produksi yang optimal, sehingga dapat menciptakan industri yang
efisien. Selain itu, permasalahan utama dalam komersialisasi tempe adalah daya
tahan yang tidak lama, sehingga diperlukan senyawa tambahan yang aman tetapi
juga tetap ekonomis.

1.1. Proses Produksi Tempe Secara Umum


Proses pembuatan tempe melibatkan tiga faktor pendukung, yaitu bahan
baku yang dipakai (kedelai), mikroorganisme (kapang tempe), dan keadaan
lingkungan tumbuh (suhu, pH, dan kelembaban). Dalam proses fermentasi tempe
kedelai, substrat yang digunakan adalah biji kedelai yang telah direbus dan
mikroorganisme yang digunakan berupa kapang antara lain Rhizopus olygosporus,
Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer dan lingkungan pendukung yang terdiri dari
suhu 30oC, pH awal 6,8, kelembaban nisbi 70-80%. Selain menggunakan kapang
murni, laru juga dapat digunakan sebagai starter dalam pembuatan tempe Tiga
tahapan penting dalam pembuatan tempe yaitu hidrasi dan pengasaman biji
kedelai dengan direndam beberapa lama (satu malam). Kedua, pemanasan biji
kedelai yaitu dengan perebusan atau pengukusan. Terakhir fermentasi oleh jamur
tempe yang banyak digunakan oleh pengerajin ialah Rhizopus oligosporus
(Kasmidjo, 1990).
Pada akhir fermentasi, kedelai akan terikat kompak. Proses penempean
akan menghilangkan flavour asli kedelai, mensintesis vitamin B12, meningkatkan
kualitas protein dan ketersediaan zat besi dari bahan. Ciri tempe yang “berhasil”
adalah ada lapisan putih di sekitar kedelai dan pada saat di potong, tempe tidak
hancur. Perlu diperhatikan agar tempe berhasil, menjaga kebersihan pada saat
membuat tempe ini sangat diperlukan karena fermentasi tempe hanya terjadi
pada lingkungan yang higienis. Gangguan pada pembuatan tempe diantaranya
adalah tempe tetap basah, jamur tumbuh kurang baik, tempe berbau busuk, ada
bercak hitam, dan jamur hanya tumbuh baik di salah satu tempat (Nout, 2005).
Teknologi pembuatan tempe, seperti halnya teknologi pembuatan
makanan tradisional lainnya, berkembang secara turun temurun, dari mulut ke
mulut dan berubah karena pengalaman. Teknologi pembuatan tempe tradisional
sangat beragam. Selain urutan dalam tahap produksi yang bervariasi, pada
perkembangan-nya terjadi modifikasi pada setiap tahap produksi tempe.
Modifikasi tersebut antara lain waktu dan teknik perendaman, jenis dan cara
penambahan ragi tempe, waktu perebusan dan tambahan proses pemanasan pada
tahap lain, jenis bahan pembungkus dan cara membungkus, serta waktu dan cara
memeram.

Tabel 1.1. Metode Pembuatan Tempe Tradisional


S M M M M M
tep etode 1 etode 2 etode 3 etode 4 etode 5
K R Re Re Re
1
upas ebus ndam bus bus
Cu R K Re Di
2
ci endam upas ndam nginkan
Re K Cu K K
3
bus upas ci upas upas
Tir C Re Cu Cu
4
iskan uci bus ci ci
Di Ti Tir Re Re
5
nginkan riskan iskan bus ndam
In In Di Tir Re
6
okulasi okulasi nginkan iskan bus
Ke K In Di Tir
7
mas emas okulasi nginkan iskan
In In Ke In Di
8
kubasi kubasi mas okulasi nginkan
In Ke In
9 - -
kubasi mas okulasi
1 in Ke
- - -
0 kubasi mas
1 In
- - - -
1 kubasi
(Sumber: Kuswanto dalam Maria, 2006)

Sebelum masuk kedalam langkah langkah tersebut diperlukan penyortiran


pada kedelai. Proses penyortiran bertujuan untuk memperoleh produk tempe yang
berkualitas, yaitu memilih biji kedelai yang bagus dan padat berisi. Biasanya di
dalam biji kedelai tercampur kotoran seperti pasir atau biji yang keriput dan
keropos. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang melekat maupun
tercampur di antara biji kedelai. rebusan bertujuan untuk melunakkan biji kedelai
dan memudahkan dalam pengupasan kulit serta bertujuan untuk menonaktifkan
tripsin inhibitor yang ada dalam biji kedelai. Selain itu perebusan ini bertujuan
untuk mengurangi bau langu dari kedelai dan dengan perebusan akan membunuh
bakteri yang yang kemungkinan tumbuh selama perendaman. Perebusan dilakukan
selama 30 menit atau dapat dilakukan hingga kulit kacang kedelai mudah
terkelupas dari kulit serta kedelai cukup empuk jika ditekan dengan jari tangan
(Reu, 1997).

1.2. Proses Produksi Tempe Skala Rumahan


Dalam industri tempe skala rumahan, kedelai dikupas dengan proses
basah. Hal ini disebabkan proses basah tidak membutuhkan perlatan yang dapat
merusak kedelai itu sendiri. Pekerjaan ini biasa dilakukan oleh perempuan yang
memang mahir dalam pekerjaan ini. Dalam skala yang lebih besar, ketika gaji
pegawai cukup mahal penggunaan proses kering lebih ekonomis, walaupun
banyak kedelai yang rusak selama proses kering. Setelah proses tersebut dilakukan
perendaman yang bertujuan untuk meningkatkan kandungan air dalam kedelai,
mengaktifkan mikroorganisme selama fermentasi, dan mengekstrak secara alami
senyawa antimikroba. Setelah perebusan, air panas dengan cepat harus
dihilangkan dan kedelai yang masih panas di tiriskan supaya dapat mencapai suhu
20-25oC dalam waktu 10-15 menit. Kedelai yang telah dingin dilakukan inakulasi
dengan stater tempe. Stater yang biasa digunakan adalah Rhyzopus oligosporus
(Nout, 2005).

1.3. Inovasi Teknologi Industri Tempe


Ketika industri skala rumahan pengrajin tempe masih menggunakan cara
tradisional, beberapa inovasi teknologi terus berkembang dalam pembuatan tempe.
Saat ini, proses basah pengupasan kedelai sudah dapat dilakukan dengan peralatan
mekanik yang digerakan oleh motor sederhana. Dalam pengemasan, lembaran
polietilen telah menggantikan daun pisang sebagai pembungkus. Serta starter
sudah dijual secara komersil dalam bentuk bubuk yang mudah digunakan.
Beberapa pembuatan tempe cenderung menggunakan fermentasi dengan
perendaman menggunakan bakteri asam laktat dalam rangka peningkatan
komposisi mikroorganisme pada produk akhir. Dalam skala besar terbatasnya
ruang yang memadai untuk pendinginan mengharuskan inovasi teknologi.
Pendinginan sekarang dapat dilakukan dengan sebuah keranjang sentrifugasi
sehingga kedelai dapat cepat dingin tanpa harus memakan ruangan yang besar
(Reu dkk, 1997).

1.4. Industrialisasi Produksi Tempe


Untuk memfasilitasi industrialisasi tempe dibutuhkan pilot plant produksi
tempe. Pembuatan tempe secara besar dilakukan di stationary bed dalam rangka
memfasilitasi kondisi suhu dan berat tempe sehingga memiliki kualitas yang sama.
Untuk mendapatkan tempe yang sama untuk setiap bungkusnya, digunakan
kantong plastik atau kotak platik yang keras. Dalam perspektif kesehatan makanan
ketika melakukan inovasi, penting mengutamakan kesehatan yang terkandung
dalam produk. Buruknya kualitas mikroorganisme pada tempe komersial
diakibatkan oleh kantung plastik yang digunakan untuk melakukan fermentasi
(Vollbrecht, 1997).
Baru-baru ini, konsep yang menarik untuk proses semi-kontinyu dan
produk baru mulai berkembang dalam industri pengolahan tempe. Tempe tidak
lagi langsung dijual dalam bentuk tempe mentah, melainkan diolah langsung oleh
pengarajin menjadi makanan yang tahan lama (Suprapti, 1996). Dengan adanya
perkembangan inovasi pengolahan tempe membuat industri dapat meningkatkan
kapasitas produksi, serta mencukupi permintaan tempe di Indonesia.

1.5. Limbah Industri Tempe


Limbah padat kering terdiri atas kotoran yang tercampur dalam kedelai,
misalnya kerikil, kulit, batang kedelai, atau kedelai yang rusak. Limbah padat
basah berupa kulit kedelai yang telah mengalami proses perebusan dan
perendaman, serta limbah cair berupa air bekas pencucian, perendaman, dan
perebusan kedelai. Limbah padat basah dan cair berbau asam dan menyengat.
Limbah industri dari pengolahan tempe mempunyai kadar Biological Oxygen
Demand (BOD) yang cukup tinggi yakni sekitar 5.000-10.000 mg/l dengan kadar
Chemical Oxygen Demand (COD) yang dihasilkan dari keseluruhan proses
produksi tempe yakni sekitar 7.000-12.000 mg/l. Terdapat tiga alternatif dalam
penanganan limbah, yakni dengan penetralan, dengan pemanfaatan, dan dengan
dilakukan penyaringan. Pemanfaatan limbah dari suatu proses produksi
merupakan salah satu cara dalam mengatasi masalah pencemaran lingkungan yang
diakibatkan sisa produksi.
Kulit ari kedelai dengan jumlah sedikit dapat dicampurkan ke dalam
bahan tempe untuk memacu pertumbuhan jamur tempe. Limbah padat basah dapat
dikerigkan, kemudian digunakan sebagai pupuk atau campuran pakan ternak.
Limbah padatan dari tempe juga dapat diolah menjadi medium bagi pertumbuhan
mikroba, karena kaya akan β-karoten. Medium pertumbuhan mikroba yang
menggunakan ekstrak dari limbah padat tempe dengan konsentrasi tidak terlalu
tinggi agar kestabilan pH medium dapat terjaga (Yuniarti, 2013).

1.6. Senyawa Tambahan pada Proses Pembuatan Tempe


Pada umumnya makanan fermentasi tradisional cukup aman dikonsumsi,
meskipun makanan fermentasi tradisional tersebut diproduksi melalui proses yang
sederhana dan dalam keadaan yang tidak higienis. Kita jarang mendengar adanya
kasus keracunan. Kasus keracunan yang selama ini yang sering terdengar adalah
keracunan tempe bongkrek. Terjadinya keracunan pada tempe bongkrek
disebabkan oleh adanya bakteri Pseudomonas cocovenans. Hal ini terjadi karena
pertumbuhan kapang Rhizopus oligosporus tidak optimal dan dominan sebagai
akibat proses preparasi bahan baku yang kurang baik (Pawiroharsono, 2007).
Dalam pembuatan makanan agar lebih menarik biasanya produk
diberikan perwarna supaya terlihat menarik dan memiliki kualitas yang baik.
Khusus pada proses pembuatan tempe kedelai, agar warna tempe lebih menarik
perlu di-tambahkan bahan pewarna kuning. Berkaitan dengan penggunaan bahan
pewarna makanan telah diatur dalam peraturan menteri kesehatan (Suprapti,
1996 )
Kebutuhan akan kedelai yang semakin tinggi sementara produksi kedelai
yang ada saat ini masih sangat jauh dari kebutuhan dengan besarnya impor kedelai.
Ke-butuhan kedelai dalam negeri terhadap kedelai, sebesar 2,6 juta ton/tahun, dimana
produksi kedelai dalam negri hanya sebanyak 950.000 ton/tahun, dan sisanya
dipenuhi dari impor, serta harga kedelai dunia yang terus naik, maka untuk
menurunkan konsumsi kedelai perlu dilakukan modifikasi bahan baku, salah satunya
pada proses produksi tempe sebagai salah satu produk utama olahan kedelai dengan
menambahkan berbagai jenis bahan tambahan yaitu ampas tahu dan tepung mocaf
(Agustina dkk, 2016). Selain itu, pada proses pembuatan tempe biasanya ditambahkan
Bakteri Asam Laktat (BAL) yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas tempe.
Bakteri asam laktat (BAL) memberikan kontribusi penting dalam proses
fermentasi (Maria, 2006)
DAFTAR PUSTAKA

Kasmidjo, R.B., 1990. Tempe : Mikrobiologi dan Kimia Pengolahan serta Peman-
faatannya. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM.
Maria, D. P. 2006. Modifikasi Pengasaman Kimiawi dalam Pembuatan Tempe
yang Didasarkan pada Aspek Citarasa. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian.
IPB.
Nout, M. J. R. dan Kiers, J. L. 2005. Tempe Fermentation, Innovation And
Functionality. Journal of Applied Microbiology. 1(1): 35-39.
Pawiroharsono. 2007. Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Tepung Tempe Serta
Pengembangan Produk Olahannya Sebagai Makanan Tambahan Bagi Anak.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Suprapti, L. (1996). Teknologi Pengolahan Pangan: Pembuatan Tempe. Surabaya:
Kanisius.
Reu, dkk. 1997. Nonanoic Acid, A Fungal Self-Inhibitor, Prevents Germination Of
Rhizopus Oligosporus Sporangiospores by Dissipation of The Ph Gradient.
Applied and Environmental Microbiology. (63): 180.
Winarno, F. G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Vollbrecht, D. E. 1997. Health Risks For Consumers of Tempeh Fermented Using
The Plastic Bag Method. Advances in Food Sciences. (19): 87-89.
Yuniarti, D. 2013. Analisis Persediaan Bahan Baku Kedelai Di Industri
Pengolahan Tempe Samodra Kota Surakarta. Bogor: Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret.

Anda mungkin juga menyukai