terdiri dari 4 chord terus diulang-ulang, bahkan suka kedapatan miripnya beberapa lagu dengan lagu lain yang bergenre sama. Bagian chorus terasa seperti bridge/build up, dan puncaknya diisi sama melody riff instrumental atau berupa sampel yang juga repetitif. Saya bukannya anti, suka malah. Karena kreativitas para produsernya dalam mengaransemen serta mampu membuat musik yang asik dan memanipulasi ritme chord dan riff yang tadinya monoton menjadi enak didengar. Baik itu dengan menambahkan efek, beat, bassline, ambient, dan sejenisnya.
Kalau dari segi vocal pun, rata-rata bagus-bagus
semua, apalagi kalau penyanyi vokalnya wanita. Tapi coba bayangkan. Tiap kali saya memutar radio- radio lokal, musik yang diputar rata-rata musik edm, sehingga ada sedikit rasa kangen dengan lagu-lagu yang diproduksi secara ambisius, organik, kaya dalam mengeksplor melody, total bereksperimen, berkarakter dan suara instrumennya betul-betul berasal dari suara alat musik asli dan bukan dari aplikasi DAW. Queen contohnya. Band opera rock yang identik dengan pergantian progress chord yang tiba-tiba berubah, dan tidak gampang ditebak jika didengarkan pertama kali, tapi bisa menyambung dan menjembatani satu sama lain dengan manis. Ditambah lagi dengan teknik dan skill vocal maupun permainan piano Freddie Mercury yang betul-betul dewa.
Baik dalam segi lirik dan komposisi
musiknya, Freddie Mercury berada di tempat paling spesial di hati saya sebagai sosok songwriter paling jenius. Diksi, frasering dan melody yang tepat, juga menjadi salah satu kunci kenapa lagu-lagu Queen banyak menjadi hits, disamping kepiawaian setiap personilnya dalam bermain musik (Brian May, John Deacon & Roger Taylor). Dan rasa rindu itu pun akhirnya terobati ketika saya pertama kali mendengar musiknya Silverchair. Berawal dari rasa suka dengan “Across The Night” yang kontemporer, melody yang tidak gampang ditebak dengan pergantian nada dasar dan melody yang berubah, sambung menyambung dengan balutan orchestra yang megah, membuat saya sempat penasaran dengan band ini. Dan pada akhirnya saya punya kesempatan untuk dengar salah satu albumnya secara keseluruhan. Album ini berjudul Diorama. Meskipun tidak mengikuti band ini dari awal, tapi perubahan genre dari grunge menjadi rock kontemporer dengan nuansa orchestra, merupakan keputusan yang cukup berani untuk sebuah band yang sudah kian punya penggemar tetap. Di album ini, Daniel Johns (vokalis) terasa seperti mengeksploitasi kreativitasnya dalam menulis dan menyusun musik, yang kemudian dituangkan ke dalam album keren ini. Dari track ke track, lagu yang paling membekas bagi saya pribadi adalah tracknya yang terakhir berjudul “After All These Years”. Lagu ini mengobati rasa rindunya saya dengan musik yang bisa membuat pendengarnya semakin penasaran pada melodinya yang tidak gampang ditebak dari bait ke bait.
Lagu ini dinyanyikan dan diiiringi dengan dentingan piano yang
dimainkan sendiri sama Daniel. Disini, Daniel menunjukkan kebolehannya dalam menyanyikan nada-nada manis dengan kemampuan vokalnya sambil disertai iringan string yang memegahkan bagian chorusnya. Frasering dalam baris liriknya juga terasa saling mengisi dan melodik.
Line favorit saya dalam lagu ini ada di bagian “All
Those Years, I Was Hurting to Feel Something More Than Life”. Lirik yang lumayan dalam kalau kamu misalnya sadar jika selama ini kamu menyiksa diri kamu sendiri hanya untuk mencapai kebahagiaan instan. Lagu ini pun menjadi tambang inspirasi buat saya sebagai songwriter. Lagu yang juga menginspirasi saya untuk lebih berani menghasilkan musik, tanpa harus terbebani selera musik orang kebanyakan.