Anda di halaman 1dari 4

Sampai hari ini, musik-musik edm ramai diputar di

radio apalagi youtube. Musik yang rata-rata cuma


terdiri dari 4 chord terus diulang-ulang, bahkan suka
kedapatan miripnya beberapa lagu dengan lagu lain yang
bergenre sama. Bagian chorus terasa seperti
bridge/build up, dan puncaknya diisi sama melody riff
instrumental atau berupa sampel yang juga repetitif.
Saya bukannya anti, suka malah. Karena kreativitas
para produsernya dalam mengaransemen serta mampu
membuat musik yang asik dan memanipulasi ritme chord
dan riff yang tadinya monoton menjadi enak didengar.
Baik itu dengan menambahkan efek, beat, bassline,
ambient, dan sejenisnya.

Kalau dari segi vocal pun, rata-rata bagus-bagus


semua, apalagi kalau penyanyi vokalnya wanita.
Tapi coba bayangkan. Tiap kali saya memutar radio-
radio lokal, musik yang diputar rata-rata musik edm,
sehingga ada sedikit rasa kangen dengan lagu-lagu yang
diproduksi secara ambisius, organik, kaya dalam
mengeksplor melody, total bereksperimen, berkarakter
dan suara instrumennya betul-betul berasal dari suara
alat musik asli dan bukan dari aplikasi DAW.
Queen contohnya. Band opera rock yang identik dengan
pergantian progress chord yang tiba-tiba berubah, dan
tidak gampang ditebak jika didengarkan pertama kali,
tapi bisa menyambung dan menjembatani satu sama lain
dengan manis. Ditambah lagi dengan teknik dan skill
vocal maupun permainan piano Freddie Mercury yang
betul-betul dewa.

Baik dalam segi lirik dan komposisi


musiknya, Freddie Mercury berada di tempat paling
spesial di hati saya sebagai sosok songwriter paling
jenius. Diksi, frasering dan melody yang tepat, juga
menjadi salah satu kunci kenapa lagu-lagu Queen banyak
menjadi hits, disamping kepiawaian setiap personilnya
dalam bermain musik (Brian May, John Deacon & Roger
Taylor).
Dan rasa rindu itu pun akhirnya terobati ketika saya
pertama kali mendengar musiknya Silverchair. Berawal
dari rasa suka dengan “Across The Night” yang
kontemporer, melody yang tidak gampang ditebak dengan
pergantian nada dasar dan melody yang berubah, sambung
menyambung dengan balutan orchestra yang megah, membuat
saya sempat penasaran dengan band ini.
Dan pada akhirnya saya punya kesempatan untuk dengar
salah satu albumnya secara keseluruhan. Album ini
berjudul Diorama.
Meskipun tidak mengikuti band ini dari awal, tapi
perubahan genre dari grunge menjadi rock kontemporer
dengan nuansa orchestra, merupakan keputusan yang cukup
berani untuk sebuah band yang sudah kian punya
penggemar tetap.
Di album ini, Daniel Johns (vokalis) terasa seperti
mengeksploitasi kreativitasnya dalam menulis dan
menyusun musik, yang kemudian dituangkan ke dalam album
keren ini.
Dari track ke track, lagu yang paling membekas bagi
saya pribadi adalah tracknya yang terakhir
berjudul “After All These Years”. Lagu ini mengobati
rasa rindunya saya dengan musik yang bisa membuat
pendengarnya semakin penasaran pada melodinya yang
tidak gampang ditebak dari bait ke bait.

Lagu ini dinyanyikan dan diiiringi dengan dentingan piano yang


dimainkan sendiri sama Daniel. Disini, Daniel
menunjukkan kebolehannya dalam menyanyikan nada-nada
manis dengan kemampuan vokalnya sambil disertai iringan
string yang memegahkan bagian chorusnya. Frasering
dalam baris liriknya juga terasa saling mengisi dan
melodik.

Line favorit saya dalam lagu ini ada di bagian “All


Those Years, I Was Hurting to Feel Something More Than
Life”. Lirik yang lumayan dalam kalau kamu misalnya
sadar jika selama ini kamu menyiksa diri kamu sendiri
hanya untuk mencapai kebahagiaan instan.
Lagu ini pun menjadi tambang inspirasi buat saya
sebagai songwriter.
Lagu yang juga menginspirasi saya untuk lebih berani
menghasilkan musik, tanpa harus terbebani selera musik
orang kebanyakan.

Anda mungkin juga menyukai