Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

* Pendidikan Profesi Dokter / G1A217064 / Maret 2019


** Preseptor

DERMATITIS ATOPIK
*Muhammad Ferdi Juliantama, S.Ked, ** dr. Elvi Roza, M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PUSKESMAS OLAK KEMANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
DERMATITIS ATOPIK

Oleh:
Muhammad Ferdi Juliantama, S.Ked
G1A217064

Sebagai salah satu tugas program pendidikan profesi dokter


Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Jambi
2019

Jambi, Maret 2019


Preseptor,

dr. Elvi Roza, M.Kes

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“DERMATITIS ATOPIK” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Pendidikan
Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ratna Sugiati, yang telah meluangkan
waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. Selanjutnya, penulis
berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu bagi para pembaca.

Jambi, Maret 2019

Penulis

3
BAB I

STATUS PASIEN

1.1 Identitas Pasien


a. Nama/jenis kelamin/umur : An. Rd. M. Zahir/Laki-laki/2 bulan 12 hari
b. Pekerjaan/pendidikan :-
c. Alamat : RT 02 Olak Kemang

1.2 Latar Belakang Sosio-Ekonomi-Demografi-Lingkungan-Keluarga


a. Status perkawinan :-
b. Jumlah anak/saudara :-
c. Status ekonomi keluarga : Menengah ke bawah
d. Kondisi rumah :

Rumah pasien merupakan rumah panggung, lantai kayu, dinding kayu, atap seng dan
genteng. Rumah terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang keluarga, DUa kamar tidur,
satu dapur, satu kamar mandi, dan satu sumur. Sumber air bersih berasal dari sumur
dan PDAM, serta sumber penerangan berasal dari PLN.

4
e. Kondisi lingkungan di sekitar rumah:
Rumah pasien berjarak dekat dengan rumah lainnya, berada di dalam lorong, dan
tidak ada genangan air untuk sekarang, apabila air pasang, maka rumah pasien akan
tergenang air sampai anak tangga ke 6. Kain alas pasien terbuat dari bulu-bulu halus.
Pasien juga mandi diberikan sabun dove.

1.3 Aspek Perilaku dan Psikologis dalam Keluarga


 Keharmonisan keluarga pasien baik, tidak ada masalah dalam hubungan satu sama
lain
 Dilihat dari suasana di dalam rumah tampak bahwa pasien dan keluarga cukup
menjaga kebersihan rumah.
 Pasien berpindah-pindah tempat tinggal setiap 2 minggu. Terkadang di Olak
kemang, terkadang di Sengeti.

1.4 Keluhan Utama


Muncul bintil-bintil merah di daerah punggung, dada, dan leher pasien.

1.5 Riwayat Penyakit Sekarang


Alloanamnesis : Pasien datang dibawa ibu pasien dengan keluhan timbul bintil-
bintil merah di daerah punggung, dada, dan leher pasien. Bintil muncul sejak 1 hari
yang lalu. Bintil-bintil sering muncul sejak pasien berumur 1 bulan. Biasanya bintil
muncul 2-3 hari lalu menghilang dengan sendiri. Bintil kadang pecah sendiri dan berisi
air. Ibu pasien juga mengaku anaknya sering batuk dan pilek yang hilang-timbul.

1.6 Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat keluhan serupa (+) berulang dan muncul 2-3 hari lalu menghilang
- Riwayat diare sebelumnya (-)
- Riwayat rawat inap (-)
- Riwayat operasi (-)

1.7 Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (-)
- Riwayat alergi makanan laut (+) ibu pasien

5
1.8 Riwayat Alergi
Riwayat alergi disangkal.

1.9 Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalis
1. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
2. Tanda Vital :
Kesadaran : Compos Mentis RR : 32x/menit
Nadi : 122x/menit Suhu : 36,7 oC
BB : 5,5kg
3. Kepala :
a. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor,
refleks cahaya (+/+)
b. THT : Sekret (-), tonsil T1-T1
c. Leher : Pembesaran KGB (-)
4. Thoraks :
a. Jantung: BJ I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
b. Paru : Vesikular (+/+), whezing (-), rhonki (-)
5. Genitalia : Laki-laki/ ♂

6. Ekstremitas
a. Superior: Akral hangat CRT <2 detik
b. Inferior: Akral hangat CRT <2 detik

6
B. Status Dermatologi
1. Inspeksi
EFLORESENSI GAMBAR

Regio thorakalis anterior et


posterior, abdominalis posterior,
cervicalis dextra et sinistra, dan
post auricularis dextra et sinistra:
a. Lesi berupa papul eritema,
ukuran miliar, multiple, batas
sirkumskrip, diskret, pada
perabaan terasa menonjol.

2. Palpasi : nyeri tekan (-)


3. Auskultasi : (-)

7
C. Status Venerelogi
1. Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan

o Inspekulo : Tidak dilakukan pemeriksaan

2. Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

I.10 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan pemeriksaan (Ibu pasien menolak anaknya disuntik pakai jarum)

I.11 Diagnosis Banding


Dermatitis Atopik
Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis Kontak Alergi

I.12 Diagnosis Kerja


Dermatitis Atopik

1.13 Manajemen
1. Promotif
 Mandi memakai sabun dengan pH netral dan yang mengandung pelembab;
 Mandi air hangat 1-2 kali sehari dan tidak lebih dari 10 menit setiap kalinya.
 Mengoleskan krim steroid diberikan sesuai resep dokter dan bila sudah sembuh
kulit harus dijaga kelembabannya dengan mengoleskan krim pelembab segera
setelah mandi.
 Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk
membersihkan formaldehid atau bahan kimia tambahan.
 Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik.
 Selesai berenang harus segera mandi untuk membilas sisa klorin.
 Bayi dan anak jangan terlalu sering dimandikan, cukup dua kali sehari, jangan
menggosok terlalu kuat.
 Pada bayi penting diperhatikan kebersihan daerah popok.

8
2. Preventif
 Jangan memandikan bayi dengan air yang terlalu panas. Cukup hangat-hangat
kuku atau hangat saja
 Jangan mandikan terlalu lama
 Hindari pemberian pembersih antibacterial
 Jangan kenakan pakaian yang terlalu ketat, berbahan tebal seperti wol atau yang
bisa menyebabkan iritasi seperti bahan sintetik
 Hindari makanan yang dicurigai menyebabkan kekambuhan dan lakukan diet
sesuai petunjuk dokter.
 Singkirkan bahan pemicu iritasi yang dapat memicu gatal.

3. Kuratif
Non Medikamentosa
 Hindari semua faktor luar yang mungkin menimbulkan manifestasi klinis
 Menjauhi alergen pemicu
 Hindari pemakaian bahan yang merangsang seperti sabun keras dan bahan
pakaian dari wol
Medikamentosa
 CTM 2 tablet, GG 2 tablet, dan Vitamin C 2 tablet diracik menjadi puyer.

Tradisional
 Kunyit (Curcuma domestica)
 Ambil 1 kepal rimpang
 Bahan dihaluskan
 Lalu ditempel/digosok pada bagian kulit yang eksim

4. Rehabilitatif
- Memantau penyakit pasien secara rutin. Mencari faktor penyebab kekambuhan
penyakit dari pasien dan melaporkannya ke petugas kesehatan untuk
mendapatkan edukasi lebih lanjut.

9
RESEP PUSKESMAS RESEP ILMIAH 1
Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas Olak Kemang Puskesmas Olak Kemang
Jl. H. Tomok, Olak Kemang, Kota Jambi, Jambi 36265 Jl. H. Tomok, Olak Kemang, Kota Jambi, Jambi
dr. Muhammad Ferdi Juliantama dr. Muhammad Ferdi Juliantama
SIP. 1234567 SIP. 1234567
STR. 987654 STR. 987654

Tanggal: Tanggal:

Pro : Pro :
Umur : Umur :
Alamat : Alamat :

RESEP ILMIAH 2 RESEP ILMIAH 3


Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas Olak Kemang Puskesmas Olak Kemang
Jl. H. Tomok, Olak Kemang, Kota Jambi, Jambi 36265 Jl. H. Tomok, Olak Kemang, Kota Jambi, Jambi 36265
dr. Muhammad Ferdi Juliantama dr. Muhammad Ferdi Juliantama
SIP. 1234567 SIP. 1234567
STR. 987654 STR. 987654

Tanggal: Tanggal:

Pro : Pro :
Umur : Umur :
Alamat : Alamat :

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal,

yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan

peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (DA,

rhinitis alergik atau asma bronkhial). Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian

mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).1

Kata "atopi" pertama diperkenalkan oleh Coca (1928), yaitu istilah yang dipakai untuk

sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya,

misalnya : asma bronkial, rinitis alergik, dermatitis atopik, dan konjungtivitis alergik.2

II.2 Epidemiologi

Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat, maka untuk menginterpretasikan

hasil penelitian epidemiologik harus berhati-hati. Berbagai penelitian menyatakan bahwa

prevalensi DA semakin meningkat sehingga merupakan salah satu masalah utama kesehatan

dunia, dengan prevalensi DA pada anak mencapai 10 sampai 20 persen di Amerika Serikat,

Eropa utara dan barat, Afrika, Jepang, Australia dan negara-negara industri lainnya. Prevalensi

DA pada orang dewasa berkisar antara 1-3%. Uniknya, prevalensi DA lebih rendah pada

negara-negara agraris, seperti Cina, Eropa barat, pedalaman Afrika dan Asia. Wanita lebih

banyak menderita DA daripada pria dengan rasio 1,3:1. Sekitar 60% pasien anak dengan DA

tidak menunjukkan gejala apapun pada masa remaja awal, meskipun sebanyak 50% terjadi

rekurensi pada saat dewasa. Onset dini penyakit, permulaan penyakit yang berat, penyakit yang

11
bersamaan dengan asma dan hay fever, serta riwayat keluarga DA merupakan suatu pertanda

perjalanan penyakit yang berlangsung terus-menerus. 2,3,4,6

Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi DA, misalnya jumlah

keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota,

dan meningkatnya penggunaan antibiotik, berpotensi meningkatkan penderita DA.2

II.3 Etiologi dan Patogenesis

II.3.1 Etiologi

Penyebab dermatitis atopi belum diketahui. Sekitar 70% penderita ditemukan riwayat

stigmata atopi pada pasien atau anggota keluarga, yaitu berupa ; 7,8

1. Rhinitis alergika, asma bronkhiale, hay fever

2. Alergi terhadap berbagai alergen protein (polivalen)

3. Pada kulit : Dermatitis atopi, dermatografisme putih dan kecenderungan timbul

urtikaria.

4. Reaksi abnormal terhadap perubahan suhu (panas dan dingin) dan stress.

5. Resistensi menurun terhadap infeksi virus dan bakteri.

6. Lebih sensitif terhadap serum dan obat.

7. Kadang-kadang terdapat katarak juvenelis.

II.3.2 Patogenesis

Patogenesa dari terjadinya dermatitis atopi belum diketahui secara pasti. Pada sebagian

besar penderita (80%) penderita dermatitis atopi ditemukan peningkatan jumlah Ig E dalam

serum, terutama bila terjadi bersamaan dengan asma bronkhiale dan rhinitis alergika karena

defisiensi sel T supressor. 8

12
Pada temuan laboratorium penderita dermatitis atopi terdapat abnormalitas dari sel T

helper (TH2) yang menginduksi peningkatan produksi interleukin 4 (IL-4) dan berujung pada

peningkatan Ig E. Kelebihan produksi IL-4 mengakibatkan penurunan level interferon gamma.

Sel-sel dapat bereaksi dengan antigen lingkungan untuk memproduksi peningkatan level dari

Ig E. Histamin serum dan pengeluaran sel histamin meningkat, dimana dianggap

menimbulkan pengeluaran sel mast dari reaksi antigen-antibodi. 2,7

II.4 Faktor Pencetus5

Pemahaman dan pengaturan terhadap faktor-faktor pencetus diperlukan untuk

keberhasilan penanganan DA. Riwayat anamnesis yang lengkap sangat diperlukan karena tidak

ada pemeriksaan yang standar, seperti pada rhinitis dan asma untuk mengidentifikasi faktor

pencetus DA yang spesifik

 Perubahan suhu dan berkeringat

Penderita atopi tidak tahan terhadap perubahan suhu mendadak. Berkeringat menimbulkan

rasa gatal, terutama pada daerah antecubiti dan fossa poplitea.

 Penurunan kelembaban

Udara dingin tidak mampu memberikan kelembaban yang cukup. Uap yang terkandung

dalam lapisan kulit terluar mencapai titik keseimbangan (ekuilibrium) atmosfer dan secara

konsekuen akan mengurangi kelembaban. uapKulit kering menjadi kurang luwes, lebih rapuh

dan lebih mudah teriritasi.

 Pencucian yang berlebihan

Pengulangan pencucian dan pengeringan mengurangi air yang mengikat lemak dari lapisan

pertama kulit. Mandi setiap hari masih bisa ditoleransi pada musim panas tetapi dapat

menyebabkan kekeringan kulit yang berlebihan pada musim gugur dan salju.

13
 Kontak dengan bahan iritan

Wool, bahan kimia rumah tangga dan industri, kosmetik, dan beberapa sabun dan detergen

dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi pada pasien atopi. Asap rokok mungkin menyebabkan

lesi ekszem pada kelopak mata. Inflamasi seringkali diartikan sebagai reaksi alergi oleh pasien,

sehingga mereka mengklaim bahwa mereka alergi terhadap sesuatu yang mereka sentuh.

 Alergi kontak

Reaksi alergi kontak memerlukan sediaan topical, termasuk kortikosteroid dapat

dipertimbangkan pada pasien yang tidak memebrikan respon terhadap terapi. Uji temple dapat

membantu mengidentifikasi bahan pencetus.

 Aeroallergen

Tungau debu rumah merupakan aeroalergen yang paling penting. Banyak pasien DA yang

memiliki antibodi anti-IgE terhadap antigen tungan debu rumah, tetapi peranan tungau debu

rumah dalam kekambuhan DA masih kontroversial. Inhalasi debu rumah dan penetrasi alergen

melalui kulit mungkin dapat terjadi. Aeroalergen lainnya seperti serbuk sari dan alergen dari

binatang peliharaan atau tembok dapat memperberat DA.

 Agen mikroba

Staphylococus aureus merupakan mikroorganisme utama kulit pada lesi DA. Mikroba ini

secara signifikan meningkat pada kulit yang tidak terinfeksi. Normalnya, S. aureus mewakili

kurang dari 5% dari total mikroflora kulit pada orang tanpa DA. Antibiotik diberikan secara

sistemik atau topical secara dramatis dapat memperbaiki DA.

 Makanan

Makanan diyakini dapat mencetuskan kekambuhan pada DA. Banyak pasien yang

menimbulkan reaksi terhadap makanan tidak mengetahui hipersensitivitas mereka. Makanan

dapat mencetuskan reaksi alergi dan non-alergi. Makan yang paling banyak menimbulkan

14
reaksi alergi adalah telur, kacang, susu, ikan, kedelai dan gandum. Urtikaria, ekszema, gejala

saluran napas atau cerna, atau reaksi anafilaksis mungkin sebagai tanda makanan yang

menimbulkan reaksi.

 Stress emosional

II.5 Gambaran Klinis

Gejala utama dermatitis atopik ialah gatal (pruritus). Akibat garukan akan terjadi

kelainan kulit yang bermacam-macam, misalnya papul, likenifikasi dan lesi ekzematosa berupa

eritema, papulo- vesikel, erosi, ekskoriasi, dan krusta.2

Gambar 1. Predileksi Dermatitis Atopi 6

Karakteristik penyakit berbeda-beda berdasarkan usia. DA dapat dibagi menjadi tiga

fase, yaitu DA infantil (terjadi pada usia 2 bulan sampai usia 2 tahun); DA anak (2 sampai 12

tahun); dan DA pada remaja dan dewasa. Pada DA tipe infantil lebih sering mengenai daerah

wajah dan badan, sedangkan pada DA pada remaja dan dewasa terutama pada daerah fleksural

15
dan tangan. Pola pewarisan DA sampai saat ini masih belum diketahui, namun beberapa data

yang ada menyebutkan bahwa pola pewarisannya bersifat poligenik. 2,5,9

DA infantil (2 bulan - 2 tahun)

Masa awitan paling sering pada usia 2-6 bulan. Lesi mulai di muka (pipi, dahi) dan

skalp, tetapi dapat pula mengenai tempat lain (badan, leher, lengan, dan tungkai). Bila anak

mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut. Lesi berupa eritema dan papulovesikel miliar yang

sangat gatal; karena garukan terjadi erosi, ekskoriasi dan eksudasi atau krusta, tidak jarang

mengalami infeksi. Garukan dimulai setelah usia 2 bulan. Rasa gatal ini sangat mengganggu

sehingga anak gelisah, susah tidur, dan menangis. Lesi menjadi kronis dan residif. Sekitar usia

18 bulan, mulai tampak likenifikasi di bagian fleksor. Pada usia 2 tahun sebagian besar

penderita sembuh, sebagian berlanjut menjadi bentuk anak. 2,5,6

Gambar 2. Dermatitis Atopi infantil 6

DA pada Anak (2-12 tahun)

Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendin (de novo). Lesi kering,

likenifikasi, batas tidak tegas karena garukan terlihat pula ekskoriasi memanjang dan krusta.

16
Tempat predileksi di lipat siku, lipat lutut, leher, pergelangan tangan dan kaki; jarang mengenai

muka. Tangan mungkin kering, likenifikasi atau eksudasi; bibir dan perioral dapat pula terkena;

kadang juga pada paha belakang dan bokong. Sering ditemukan lipatan Dennie Morgan, yaitu

lipatan kulit di bawah kelopak mata bawah. 2,5,6

Gambar 3. Dermatitis atopi Anak 6

DA pada remaja dan dewasa (12-40 tahun)

Tempat predileksi di muka (dahi, kelopak mata, perioral), leher, dada bagian atas, lipat

siku, lipat lutut, punggung tangan; biasanya simetris. Gejala utama adalah pruritus; kelainan

kulit berupa likenifikasi, papul, ekskoriasi dan krusta. Umumnya dermatitis atopik bentuk

remaja dan dewasa berlangsung lama, tetapi intensitasnya cenderung menurun setelah usia 30

tahun. Sebagian kecil dapat terus berlangsung sampai tua. Dapat pula ditemukan kelainan

setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, skalp. 2,5,6

Selain terdapat kelainan tersebut, kulit pendenta tampak kering dan sukar berkeringat.

Ambang rangsang gatal rendah, sehingga pendenta mudah gatal, apalagi bila berkeringat. 2,5,6

Berbagai kelainan dapat menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis

palmaris et plantaris, pomfoliks, pitiaris alba, keratosis pilaris, lipatan Dennie Morgan,

penipisan alis bagian luar (tanda Hertoghe), keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah

17
geografik, liken spinularis (papulpapul tersusun numular), dan keratokonus (bentuk komea

yang abnormal). Selain itu, penderita dermatitis atopik cenderung mudah mengalami kontak

urtikaria, reaksi anafilaktik terhadap obat, gigitan atau sengatan serangga. 2,5,6

Gambar 4. dermatitis atopi dewasa 6

II.6 Pemeriksaan Penunjang 2,10

- Pada pemeriksaan darah perifer ditemukan eosinofilia dan peningkatan kadar Ig E

- Dermatografisme putih (+)

Pada kulit normal jika digores akan menimbulkan 3 respon yaitu ;

1. Garis merah pada tempat yang di gores selama 15 detik

2. Warna merah menjalar ke daerah sekitar garis selama beberapa detik

3. Timbul edem setelah beberapa detik

Pada pasien dengan dermatitis atopi penggoresan pada kulit tidak akan menimbulkan

kemerahan sekitar garis, melainkan kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit dan edem tidak

timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih

18
- Pada pemberian suntikan asetil kolin secara intra kutan 1/5000 akan menyebabkan hiperemia

pada orang normal. Pada pasien dermatitis atopi akan timbul vasokontriksi, terlihat

kepucatan selama 1 jam.

- Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi, eritem akan berkurang. Bila disuntikkan secara

parenteral tampak eritem bertambah pada kulit yang normal.

II.7 Diagnosis

Diagnosis DA biasanya didasarkan pada beberapa variabel, meliputi anamnesis,

pemeriksaan fisik dan laboratorium. Namun, tidak ada gejala kelainan kulit yang spesifik,

gambaran histologis tidak diketahui dengan jelas, dan tidak ada pemeriksaan laboratorium yang

spesifik dalam menegakkan diagnosis DA. Terdapat beberapa karakteristik yang menyatakan

bahwa pasien tersebut menderita DA. Rajka merupakan orang pertama yang membuat daftar

diagnosis yang terdiri dari Kriteria mayor dan minor. Kriteria ini kemudian direvisi dan dikenal

sebagai kriteria Hanifin dan Rajka. Diagnosis DA ditegakkan bila pada pasien dijumpai tiga

atau lebih tanda mayor dan ditambah tiga atau lebih tanda minor. Setiap pasien dapat

menunjukkan kombinasi tanda mayor dan minor yang berbeda. 2,5

Tanda Mayor :1

1. Pruritus.

2. Morfologi dan distribusi yang khas:

- likenifikasi fleksural pada orang dewasa,

- gambaran dermatitis di pipi dan ekstensor pada bayi.

3. Dermatitis kronis atau kronis kambuhan.

4. Riwayat atopi pribadi atau keluarga : Asma, rinitis alergika, dermatitis atopik

19
Tanda Minor :1

1. Tes kulit tipe cepat yang reaktif (tipe 1).

2. Dermografisme putih atau timbul kepucatan pada tes dengan zat kolinergik.

3. Katarak subkapsular anterior.

4. Xerosis/iktiosis/hiperlinear palmaris.

5. Pitiriasis alba.

6. Keratosis pilaris.

7. Kepucatan fasial/warna gelap infra orbital.

8. Tanda Dennie Morgan (lipatan infraorbital)

9. Peningkatan kadar IgE.

10. Keratokonus.

11. Kecenderungan mendapatkan dermatitis nonspesifik di tangan.

12. Kecenderungan infeksi kulit yang berulang.

13. Seilitis

14. Konjungtivitis berulang

15. Kepucatan pada wajah/eritema fasial

16. Gatal saat berkeringat

17. Intoleransi makanan

18. Dermatitis pada putting susu

19. Intoleransi wool

Kriteria ini secara ilmiah dievaluasi dan ditemukan dapat digunakan secara wajar

dengan baik, meskipun tidak ada definisi yang tepat, beberapa tidak spesifik, dan beberapa

tidak umum. William et al mengembangkan daftar minimum kriteria yang dapat dipercaya

untuk menegakkan diagnosis DA yang dapat digunakan secara klinis pada studi epidemiologi.1

20
* Adapted from Williams et al.

Gambar. 5 Kriteria diagnosis dermatitis atopi berdasarkan Williams et al 2

II.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding DA yang penting adalah dermatitis seboroik, psoriasis, rosasea dan

dermatitis perioral, infeksi jamur, ikhtiosis vulgaris, scabies dan dermatitis kontak.2

21
Gambar. 6 Diagnosis banding dermatitis atopi 2

II.9 Penatalaksanaan

Tujuan terapi meliputi usaha untuk mengeliminasi inflamasi dan infeksi, memelihara

dan memperbaiki sawar stratum korneum dengan menggunakan pelembab, menggunakan

bahan anti gatal untuk mengurangi kerusakan kulit akibat perbuatan sendiri, dan mengontrol

faktor-faktor yang menyebabkan kekambuhan. Kebanyakan pasien masih bisa diawasi

dibawah kontrol yang baik hanya kurang dari 3 minggu. Beberapa kemungkinan alasan

kegagalan respon : kesediaan pasien yang jelek, dermatitis kontak alergika dengan pengobatan

topikal, terjadi secara bersamaan dengan asma dan hay fever, sedasi yang inadekuat, dan stres

22
emosional yang berkelanjutan. Terapi terutama fokus terhadap gambaran simptomatik (hidrasi

kulit dan mengurangi gatal). 1,5

Terapi dermatitis atopi dapat didefinisikan sebagai berikut : 1

 Mengurangi tanda dan gejala

 Mencegah atau mengurangi kekambuhan

 Mempersiapkan penanganan jangka panjang dengan mencegah eksaserbasi

 Memodifikasi perjalanan penyakit

Gambar 7. Algoritma terapi dermatitis atopi 1

23
Pengobatan topikal

 Terapi dasar adjuvant

Sebagai sawar, fungsi pada kulit terganggu, terapi dasar adjuvant merupakan

penanganan dasar terhadap penyakit yang meliputi pemakaian rutin pelembab yang adekuat.

Penentuan pelembab pada tiap-tiap pasien berbeda tergantung pilihan tertentu, usia, dan tipe

dermatitis. Emolien menjaga hidrasi kulit dan mengurangi gatal. Emolien digunakan secara

rutin dua kali sehari, meskipun tidak ada gejala penyakit dan setelah berenang atau mandi.

Untuk membersihkan kulit jangan mernakai sabun alkali, tetapi memakai detergen dengan pH

asam, atau sabun nonalkali berlemak.1

 Kortikosteroid topikal

Pengobatan DA dengan kortikosteroid topikal adalah yang paling sering digunakan

sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun, demikian harus waspada karena dapat terjadi efek

samping yang tidak diinginkan.2

Potensi kortikosteroid topikal diklasifikasikan berdasarkan potensinya untuk

vasokonstriksi. Secara umum, hanya sediaan dengan kekuatan sangat lemah atau sedang yang

dapat digunakan di wajah atau daerah genital, sedangkan sediaan dengan kekuatan sedang dan

kuat digunakan untuk daerah lainnya diseluruh tubuh. DA dengan likenifikasi memerlukan

sediaan yang lebih kuat untuk waktu yang lebih lama. 3

Imunomodulator topical2

 Takrolimus

Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat diberikan dalam bentuk

salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa 0,03% dan 0,1%. Takrolimus

24
menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam DA, yaitu : sel Langerhans, sel T, sel mast,

dan keratinosit.

 Pimekrolimus

Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin yaitu imunomodulator

golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil permentasi Streptomyces

hygroscopicus var. ascomyceticus.

 Preparat ter

Efek ter yang sebenarnya belum diketahui pasti; rupanya berkhasiat vasokonstriksi,

astringen, desinfektan, antipruritus, dan memperbaiki keratinisasi abnormal dengan cara

mengurangi proliferasi epidermal dan infiltrasi dermal. Pada penggunaan ter yang lama

dapat terjadi Efek samping ter yang lain ialah fotosensitisasi. Ter dapat pula dikombinasi

dengan kortikosteroid.

 Antihistamin

Pengobatan DA dengan antihistamin topical tidak dianjurkan karena berpotensi kuat

menimbulkan sensitisasi pada kulit.

Pengobatan sistemik 2

 Kortikosteroid

Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut, dalam

jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling (alternate) atau diturunkan

bertahap (tapering), kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian

jangka panjang menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih

berat akan muncul kembali.

25
 Antihistamin

Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama

malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu, antihistamin yang dipakai adalah

yang mempunyai efek sedative, misalnya hidroksisin atau difenhidramin.

 Anti-infeksi

Pada DA ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk yang belum resisten dapat

diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin, sedang untuk yang sudah resisten

diberikan diklosasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin.

 Interferon

IFN-γ diketahui menekan respon IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH2.

Pengobatan dengan IFN- γ rekombinan menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat

menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.

 Siklosporin

Pada pasien tanpa gangguan ginjal, dapat digunakan siklosporin dengan dosis yang

dimulai dari 5 mg/Kg BB/hari. Obat ini di indikasikan apabila semua pengobatan gagal,

tetapi harus di awasi secara ketat. Pengobatan ini hanya terbatas 3 sampai 6 bulan saja

karena potensi efek sampingnya termasuk hipertensi dan penurunan fungsi renal.

Terapi sinar (phototherapy)2

Untuk DA yang berat dan luas dapat digunakan PUVA (photochemotherapy) seperti

yang dipakai pada psoriasis. Kombinasi UVB dan UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA

bekerja pada sel langerhans, dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif

dengan cara memblokade fungsi sel langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit.

26
II.10 Prognosis 2,5

Penderita dermatitis atopik yang bermula sejak bayi, sebagian (± 40%) sernbuh

spontan, sebagian berlanjut ke bentuk anak dan dewasa. Ada pula yang menyatakan bahwa 40-

50% sembuh pada usia 15 tahun. Sebagian besar menyembuh pada usia 30 tahun. Secara

umum, bila ada riwayat dermatitis atopik di keluarga, bersamaan dengan asma bronkial, masa

awitan lambat, atau dermatitisnya berat, maka penyakitnya lebih persisten.

27
BAB III

ANALISIS KASUS

3.1 Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar:

Rumah pasien merupakan rumah panggung, lantai kayu, dinding kayu, atap seng dan
genteng. Rumah terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang keluarga, dua kamar tidur, satu dapur,
satu kamar mandi, dan satu sumur. Sumber air bersih berasal dari sumur dan PDAM, serta
sumber penerangan berasal dari PLN. Rumah pasien berjarak dekat dengan rumah lainnya,
berada di dalam lorong, dan tidak ada genangan air untuk sekarang, apabila air pasang, maka
rumah pasien akan tergenang air sampai anak tangga ke 6. Kain alas pasien terbuat dari bulu-
bulu halus. Pasien juga mandi menggunakan sabun dove. Ada kemungkinan reaksi alergi
pasien berhubungan dengan penggunaan sabun dove dan alas tidur pasien yang terbuat dari
bulu-bulu halus.

3.2 Hubungan diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan dalam keluarga:

Di dalam keluarga, tidak ada masalah dalam keluarga dan keharmonisan dalam
keluarga baik. Pasien juga masih balita dan belum mengerti apa apa. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara diagnosis dengan hubungan dalam
keluarga.

3.3 Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan lingkungan
sekitar:

Pasien masih mendapatkan ASI eksklusif. Kebersihan tempat tinggal pasien juga dijaga
dengan baik. Bisa dikatakan tidak ada hubungan perilaku kesehatan dengan penyakit pasien.

3.4 Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit pada pasien ini:

 Riwayat alergi makanan laut pada ibu


 Riwayat penggunaan sabun dove
 Riwayat alas tidur yang terbuat dari bulu-bulu halus

28
3.5 Analisis untuk mengurangi paparan atau memutus rantai penularan:

 Jangan memandikan bayi dengan air yang terlalu panas. Cukup hangat-hangat kuku
atau hangat saja
 Jangan mandikan terlalu lama
 Hindari pemberian pembersih antibacterial
 Jangan kenakan pakaian yang terlalu ketat, berbahan tebal seperti wol atau yang bisa
menyebabkan iritasi seperti bahan sintetik
 Hindari makanan yang dicurigai menyebabkan kekambuhan dan lakukan diet sesuai
petunjuk dokter.
 Singkirkan bahan pemicu iritasi yang dapat memicu gatal.

3.6 Edukasi yang diberikan pada pasien atau keluarga:

 Edukasi mengenai Dermatitis atopik beserta faktor resikonya.


 Memantau penyakit pasien secara rutin. Mencari faktor penyebab kekambuhan
penyakit dari pasien dan melaporkannya ke petugas kesehatan untuk mendapatkan
edukasi lebih lanjut.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. C.Ellis, T. Luger, D.Abeck, R.Allen, R.A.C.Graham-Brown, Y.de Prost et al.


International Consensus Conference on Atopic Dermatitis II (ICCAD II*): clinical
update and current treatment strategies. British Journal of Dermatology 2003;148
(Suppl. 63):3–10

2. Djuanda Suria, Sri Adi S. Dermatitis. Dalam: Adhi Djuanda, Ed. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi Ke Tiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2004;131-5

3. Hywel C. Williams, Ph.D.. Atopic Dermatitis. N Engl J Med 2005;352:2314-24.

4. B R Allen, M Lakhanpaul, A Morris, S Lateo, T Davies, G Scott et al. Systemic


exposure, tolerability, and efficacy of pimecrolimus cream 1% in atopic dermatitis
patients. Arch Dis Child 2003;88:969–73

5. Habif Thomas P. Atopic Dermatitis. Dalam: Clinical Dermatology: A Color Guide to


Diagnosis and Therapy. Third Edition. St. Louis, Missouri: Mosby-Year Book Inc,
1996;5:345-7

6. Wolff Klaus, Richard Allen Johnson, Dick Suurmond. Atopic Dermatitis. Dalam :
Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis Of Clinical Dermatology. Jakarta : Salemba
Medika, 2005;2:33-8

7. Lorraine M Wilson, Sylvia. Ekzema dan gangguan Vaskuler dalam Patofisiologi


Penyakit. EGC. Jakarta, 2006

8. Mansjoer Arif. Dermatitis Atopi dalam Kapita Selekta Jilid 2 edisi III. Media
Aesculaplus. FKUI, Jakarta, 2001

9. Jan Faergemann. Atopic Dermatitis and Fungi. Clinical Microbiology Reviews, 2002.
p. 545–563

10. Hassan, Rusepno. Dermatitis Atopi dalam Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
Jakarta: Infomedika, 1998

30

Anda mungkin juga menyukai