TINJAUAN PUSTAKA
3.1. DEFINISI
Pneumonia, salah satu bentuk tersering dari Infeksi Saluran Napas Bawah Akut
(ISNBA), adalah suatu peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Klasifikasi Keterangan
3.2 EPIDEMIOLOGI
Insidensi pneumonia di Amerika berkisar antara 4 juta hingga 5 juta kasus per
tahun, dengan kurang lebih 25% membutuhkan perawatan di rumah sakit.Di Eropa insidensi
pneumonia adalah berkisar 1,2 – 11,6 kasus per 10.000 populasi per tahun, dengan angka yang
sedikit lebih tinggi pada populasi pria dan umur yang sangat tua. Angka perawatan di rumah
sakit berkisar antara 22 % – 51 % disertai dengan angka kematian 0,1 – 0,7 per 1000 orang.
Penyebab terbanyak dari pneumonia adalah S. pneumoniae, yang terjadi pada 20 – 75 % dari
kasus, diikuti oleh Mycoplasma pneumoniae (1 – 18 %), Chlamydia pneumoniae (4 – 19 %),
dan berbagai virus (2 – 16 %).
Menurut data WHO, jumlah anak balita dengan gejala infeksi traktus respiratorius akut
yang dibawa ke institusi kesehatan adalah 75,3 % di Indonesia pada tahun 2012.dan hasil
Riskesdas 2013,terdapat 571,541 balita di Indonesia yang terdiagnosis pneumonia, dengan
55,932 (0,1 %) balita berasal dari Jawa Tengah. Jumlah balita yang mengalami kematian
karena pneumonia pada tahun 2013 di Indonesia adalah 6774 dengan 67 balita (0,01 %) berasal
dari Jawa Tengah. Case Fatality Rate pneumonia pada balita di Indonesia adalah 1,19 %.
Penelitian itu juga menyebutkan bahwa jenis kuman penyebab terbanyak yang
ditemukan adalah S. pneumoniae (49%), P. aeruginosa (15%), C. pneumoniae (9%), dan H.
influenzae (6%).
3.3 ETIOLOGI
3.4 PATOGENESIS
Paru – paru memiliki mekanisme pertahanan yang cukup kompleks dan bertahap.
Mekanisme pertahanan paru yang sudah diketahui hingga kini, antara lain:
Reepitelisasi saluran napas, flora normal, faktor humoral lokal (IgG dan IgA),
sistem transport mukosilier, refleks bersin dan batuk, aliran lendir.
3.5 DIAGNOSIS
A. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat
dapat melebihi 40 0 C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang
disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pengecatan Gram dan kultur pada sputum pasien dapat dilakukan
sebelum terapi diberikan.Kriteria agar sputum dapat diperiksa adalah adanya >25
neutrofil dan <10 sel epitel squamous per lapangan pandang kecil.5 Biasanya satu
mikroorganisme yang predominan dapat ditemui, walaupun bisa juga terdapat beberapa
mikroorganisme pada infeksi bakteri anaerob. Jika tidak didapatkan sputum dari pasien,
seperti yang sering terjadi pada pasien yang berusia tua, dapat dilakukan
bronchoalveolar lavage (BAL) untuk mendapatkan spesimennya,atau cairan pleura
yang didapatkan dari efusi yang tingginya >1cm pada radiografi dada posisi lateral
dekubitus, jika ada.
3.6 TATALAKSANA
Pengobatan terdiri atas terapi etiologi dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotika
pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji
kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris.Terapi first-line
untuk S. pneumoniae, kausa bakteria yang paling sering, adalah penicillin G,
amoxicillin,TMP-SMZ, dan makrolida untuk penicillin- susceptible S. pneumoniae
(PSSP).25 Sedangkan untuk penicillin-resistent S. pneumoniae (PRSP), terapi empiris
diberikan berdasarkan pola sensitivitas.Di Indonesia, diberikan antibiotik betalaktam oral
dosis tinggi (untuk rawat jalan), sefotaksim, seftriakson dosis tinggi, makrolid baru dosis
tinggi, atau fluorokuinolon respirasi.
PSI membagi pasien pneumonia menjadi lima kelas menurut derajat keparahannya.
Pada kenyataannya, PSI dibuktikan tervalidasi paling baik dalam menentukan kelompok pasien
pneumonia mana yang memiliki risiko rendah sehingga dapat dilakukan rawat jalan. PSI
memiliki batasan utama berupa variabel umur yang berskor sangat besar, sehingga
memungkinkan estimasi risiko pneumonia parah/severe yang terlalu rendah pada pasien
pneumonia yang muda.PSI juga memiliki perhitungan yang rumit dengan 20 variabel sehingga
mungkin tidak praktis untuk digunakan secara rutin pada keadaan gawat darurat atau rumah
sakit yang sibuk.
CURB-65 didasarkan dari sebuah skoring yang dibuat oleh British Thoracic Society
dan dimodifikasi oleh Neill et al, yaitu mBTS (modified British Thoracic Society). Akan tetapi,
karena mBTS hanya membagi pasien menjadi dua kategori (parah dan tidak parah, atau severe
dan non-severe), skoring ini tidak mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko rendah yang
dapat dipulangkan dari rawat inap atau dilakukan rawat jalan.
Saat ini, mBTS telah dimodifikasi lebih lanjut menjadi CURB-65 yang telah divalidasi
untuk menentukan pasien menjadi tiga kelompok dengan mortalitas rendah, sedang, dan tinggi,
dengan pilihan tindakan sebagai berikut.
3.7 KOMPLIKASI
Efusi pleura.
Empiema.
Abses Paru.
Pneumotoraks.
Gagal napas.
Sepsis
3.8 PENCEGAHAN
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan
intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka
kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan ,
sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious
Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan
berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III
sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa
meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko
kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah
13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -
35%.
DAFTAR PUSTAKA