Anda di halaman 1dari 11

BAB III.

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. DEFINISI

Pneumonia, salah satu bentuk tersering dari Infeksi Saluran Napas Bawah Akut
(ISNBA), adalah suatu peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.

Pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan klinis dan epidemiologis, yaitu :

Tabel 2 Klasifikasi Pneumonia

1. Berdasarkan klinis dan epideologis :

Klasifikasi Keterangan

Pneumonia Komunitas (PK) Sporadis, muda atau tua, didapat sebelum


adanya perawatan dari rumah sakit

Pneumonia nosokomial (PN) Didapat dengan didahului perawatan di rumah


sakit

Pneumonia pada gangguan imun Pada pasien keganasan, HIV/AIDS

Pneumonia aspirasi Sering pada pasien alkoholik dan lanjut usia

2. Berdasarkan bakteri penyebab

a. Pneumonia Bakterial / tipikal Klebsiella pada penderita alkoholik

Staphyllococcus pada penderita pasca


infeksi influenza.
b. Pneumonia Atipikal Disebabkan Mycoplasma, Legionella dan
Chlamydia
c. Pneumonia Virus

d. Pneumonia Jamur infeksi sekunder. Predileksi terutama pada


penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi

a. Pneumonia Lobaris Sering pada pneumania bakterial, jarang


pada bayi dan orang tua. Pneumonia
yang terjadi pada satu lobus atau
segmen kemungkinan sekunder
disebabkan oleh obstruksi bronkus
misalnya : pada aspirasi benda asing
atau proses keganasan
b. Bronkopneumonia Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat
pada lapangan paru. Dapat disebabkan
oleh bakteria maupun virus. Sering pada
bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan
dengan obstruksi bronkus
c. Pneumonia interstisial

3.2 EPIDEMIOLOGI

Penyakit infeksi traktus respiratorius bagian bawah masih menjadi penyebab


kematian yang tinggi di dunia, yaitu pada urutan ke-4 dengan jumlah kematian 3,1
juta orang pada tahun 2012.

Gambar 1. Grafik 10 Penyebab kematian terbanyak di dunia tahun 2012.

Insidensi pneumonia di Amerika berkisar antara 4 juta hingga 5 juta kasus per
tahun, dengan kurang lebih 25% membutuhkan perawatan di rumah sakit.Di Eropa insidensi
pneumonia adalah berkisar 1,2 – 11,6 kasus per 10.000 populasi per tahun, dengan angka yang
sedikit lebih tinggi pada populasi pria dan umur yang sangat tua. Angka perawatan di rumah
sakit berkisar antara 22 % – 51 % disertai dengan angka kematian 0,1 – 0,7 per 1000 orang.
Penyebab terbanyak dari pneumonia adalah S. pneumoniae, yang terjadi pada 20 – 75 % dari
kasus, diikuti oleh Mycoplasma pneumoniae (1 – 18 %), Chlamydia pneumoniae (4 – 19 %),
dan berbagai virus (2 – 16 %).

Sesuai hasil Riskesdas 2013, period prevalence pneumonia berdasarkan


diagnosis/gejala di Indonesia adalah 1,8%, yang telah mengalami penurunan dari 2,13% pada
tahun 2007
Gambar 2. Grafik period prevalence pneumonia berdasarkan diagnosis/gejala
menurut provinsi, Riskesdas 2007 dan 2013.

Terlihat bahwa sebagian besar provinsi mengalami penurunan period prevalence


pneumonia pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2007. Terdapat 11 provinsi (33,3%) yang
mengalami kenaikan period prevalence pneumonia pada tahun 2013.

Menurut data WHO, jumlah anak balita dengan gejala infeksi traktus respiratorius akut
yang dibawa ke institusi kesehatan adalah 75,3 % di Indonesia pada tahun 2012.dan hasil
Riskesdas 2013,terdapat 571,541 balita di Indonesia yang terdiagnosis pneumonia, dengan
55,932 (0,1 %) balita berasal dari Jawa Tengah. Jumlah balita yang mengalami kematian
karena pneumonia pada tahun 2013 di Indonesia adalah 6774 dengan 67 balita (0,01 %) berasal
dari Jawa Tengah. Case Fatality Rate pneumonia pada balita di Indonesia adalah 1,19 %.

Penelitian itu juga menyebutkan bahwa jenis kuman penyebab terbanyak yang
ditemukan adalah S. pneumoniae (49%), P. aeruginosa (15%), C. pneumoniae (9%), dan H.
influenzae (6%).

3.3 ETIOLOGI

Bermacam - macam mikroorganisme patogen dapat menyebabkan pneumonia, antara


lain : bakteri, virus, jamur, dan parasit.6 Pada pasien dewasa, penyebab pneumonia komunitas
yang sering ditemukan adalah bakteri golongan gram positif, yaitu Streptococcus pneumonia,
bersama dengan Staphylococcus aureus dan Haemophilus influenza merupakan bakteri
patogen golongan tipikal. Legionella, Chlamydophila, M.pneumoniae merupakan bakteri
patogen golongan atipikal.

Virus dapat menyebabkan pneumonia, dan Respiratory Syncytial Virus merupakan


etiologi virus yang sering ditemukan. Pada beberapa kasus juga dapat ditemukan virus
influenza tipe A atau tipe B. Pada pasien dengan kondisi imun yang buruk dapat terjadi
pneumonia akibat infeksi jamur. Pada kasus yang jarang, pneumonia dapat disebabkan oleh
aspirasi objek atau substansi yang mengakibatkan iritasi dari paru – paru.

Tabel 3 Patogen penyebab yang sering ditemukan


Penyebab pneumonia komunitas berdasarkan prevalensi kejadian menurut North
American Study (NAS) dan British Thoracic Society (BTS) dapat dilihat pada tabel 4 seperti
berikut

Tabel 4 Penyebab pneumonia komunitas menurut NAS dan BTS

Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia komunitas di Indonesia,


setelah dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dengan pengambilan bahan dan metode yang
berbeda – beda di beberapa pusat pelayanan kesehatan paru, seperti di Medan, Jakarta,
Surabaya, Malang, dan Makassar, ditemukan bahwa bakteri golongan gram positif terbanyak
yang menjadi penyebab pneumonia komunitas adalah Streptococcus pneumonia (14,04%) dan
dari golongan gram negatif yaitu Klebsiella pneumonia (45,18%).6 Hampir sama dengan
penelitian yang dilakukan di Mesir dimana ditemukan prevalensi tertinggi penyebab
pneumonia komunitas dari golongan gram positif adalah Streptoccus pneumonia dan
Staphylococcus aureus, sementara dari golongan gram negatif yaitu Klebsiella pneumoniae. Di
Eropa, bakteri gram positif Streptoccus pneumonia tetap patogen yang utama.

3.4 PATOGENESIS

Paru – paru memiliki mekanisme pertahanan yang cukup kompleks dan bertahap.
Mekanisme pertahanan paru yang sudah diketahui hingga kini, antara lain:

1. Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar

Reepitelisasi saluran napas, flora normal, faktor humoral lokal (IgG dan IgA),
sistem transport mukosilier, refleks bersin dan batuk, aliran lendir.

2. Mekanisme pembersihan di bagian pergantian udara pernapasan

Adanya surfaktan, imunitas humoral lokal IgG, makrofag alveolar dan


mediator inflamasi.

3. Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotik

Terdiri dari anatomik, mekanik, humoral, dan seluler. Merupakan pertahanan


utama dari benda asing di orofaring, seperti adanya penutupan dan reflek batuk.

Pneumonia disebabkan oleh adanya proliferasi dari mikroorganisme patogen pada


tingkat alveolar dan bagaimana respon individu terhadap patogen yang berproliferasi tersebut.
Hal ini erat kaitannya dengan 3 faktor yaitu keadaan individu, utamanya imunitas (humoral
dan seluler), jenis mikroorganisme pathogen yang menyerang pasien, dan lingkungan sekitar
yang berinteraksi satu sama lain. Ketiga faktor tersebut akan menentukan klasifikasi dan
bentuk manifestasi dari pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana
terapi secara empiris, serta prognosis dari pasien.

Mikroorganisme menyerang traktus respiratorius paling banyak adalah melalui aspirasi


sekret orofaringeal. Aspirasi terjadi sering pada saat tidur, terutama pada lansia, dan pada
pasien dengan tingkat kesadaran yang menurun. Beberapa patogen menyerang melalui inhalasi
dalam bentuk droplet, misal Streptococcus pneumoniae. Pada kasus yang jarang, pneumonia
disebabkan penyebaran infeksi via hematogen, misal tricuspidal endocarditis atau melalui
penyebaran infeksi yang meluas dari infeksi pleura atau infeksi rongga mediastinum.

Patogenenesis pneumonia secara skematis dapat dilihat pada gambar 1 sebagai


berikut:

Gambar 1 Patogenesis Pneumonia

3.5 DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan dari manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis telah diuraikan di atas. Pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang akan diuraikan di bawah.

A. Anamnesis

Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat
dapat melebihi 40 0 C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang
disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.

B. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi 1. Bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas


2. Limfadenopati

Palpasi 1. Fremitus mengeras

Perkusi 1. Redup / dullness


Auskultasi 1. Suara napas bronkovesikuler hingga bronkial
dengan intensitas yang menurun
2. Ronki basah halus
3. Ronki basah kasar (pada stadium resolusi)
4. Suara nafas tambahan: rales atau wheezing
5. Pleural friction rub

Pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai antara lain adalah pemeriksaan


radiologis dan laboratorium. Foto toraks (PA/lateral) adalah pemeriksaan penunjang
standar untuk menegakkan diagnosis.26, 7 Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsolidasi dengan air bronchogram, penyebab bronkogenik dan interstisial,
serta gambaran kavitas. Foto toraks saja tidak dapat menunjukkan organisme penyebab
secara pasti, tetapi hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi. Misalnya,
gambaran pneumonia lobaris sering terjadi oleh karena Streptococcus pneumoniae.
Infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sering disebabkan oleh
Pseudomonas aeruginosa. Konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan sering
disebabkan oleh Klebsiella pneumonia.

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya


lebih dari 10.000/μl kadang-kadang mencapai 30.000/μl, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan
diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur
darah dapat positif pada 20 – 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik.

Pemeriksaan pengecatan Gram dan kultur pada sputum pasien dapat dilakukan
sebelum terapi diberikan.Kriteria agar sputum dapat diperiksa adalah adanya >25
neutrofil dan <10 sel epitel squamous per lapangan pandang kecil.5 Biasanya satu
mikroorganisme yang predominan dapat ditemui, walaupun bisa juga terdapat beberapa
mikroorganisme pada infeksi bakteri anaerob. Jika tidak didapatkan sputum dari pasien,
seperti yang sering terjadi pada pasien yang berusia tua, dapat dilakukan
bronchoalveolar lavage (BAL) untuk mendapatkan spesimennya,atau cairan pleura
yang didapatkan dari efusi yang tingginya >1cm pada radiografi dada posisi lateral
dekubitus, jika ada.

3.6 TATALAKSANA

Pengobatan terdiri atas terapi etiologi dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotika
pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji
kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :

1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa


2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris.Terapi first-line
untuk S. pneumoniae, kausa bakteria yang paling sering, adalah penicillin G,
amoxicillin,TMP-SMZ, dan makrolida untuk penicillin- susceptible S. pneumoniae
(PSSP).25 Sedangkan untuk penicillin-resistent S. pneumoniae (PRSP), terapi empiris
diberikan berdasarkan pola sensitivitas.Di Indonesia, diberikan antibiotik betalaktam oral
dosis tinggi (untuk rawat jalan), sefotaksim, seftriakson dosis tinggi, makrolid baru dosis
tinggi, atau fluorokuinolon respirasi.

Tabel 5. Terapi antibiotik empirik yang direkomendasikan menurut evidence- based


guidelines dari ATS/IDSA

No Tipe Perawatan Rekomendasi Antibiotik Empirik


1 Rawat jalan

 Kondisi pasien sebelumnya sehat dan  Makrolida, doksisiklin


tidak ada riwayat pemakaian antibiotik
dalam 3 bulan terakhir

 Ada penyakit komorbid atau ada  Fluorokuinolon,
riwayat pemakaian antibiotik dalam 3 Makrolida,β- Laktam
bulan terakhir.

2 Rawat Inap (non – ICU) Fluorokuinolon, β-Laktam dan


Makrolida
3 Rawat inap (ICU)  β-Laktam (cefotaxime,
ceftriaxone, atau
ampisilin-sulbaktam) plus
azitromisin atau
fluoroquinolone
 Fluorokuinolon dan
aztreonam
direkomendasikan untuk
pasien alergi penisilin.
Terdapat skoring-skoring untuk membantu menentukan apakah seorang pasien
pneumonia perlu dirawat di rumah sakit. Beberapa skoring yang cukup lazim digunakan adalah
CURB-65 yang direkomendasikan oleh British Thoracic Society dan Pneumonia Severity
Index (PSI) yang dibuat di Amerika Serikat. CURB-65 memiliki beberapa varian, antara lain
CRB-65 yang mungkin cocok untuk digunakan pada penggunaan dengan skala besar karena
hanya menggunakan riwayat klinis dan tidak menggunakan pengukuran urea darah; dan CURB
yang tidak menggunakan umur sebagai kriterianya, sehingga mengurangi penekanan pada
umur sebagai faktor prognosis. CURB-65 terdiri dari confusion, uremia, respiratory rate, low
blood pressure, umur 65 tahun atau lebih. Pasien dengan skor CURB-65 lebih dari sama
dengan 3, CURB lebih dari sama dengan 2, dan CRB-65 lebih dari 2 dianggap memiliki risiko
lebih tinggi.Akan tetapi Infectious Diseases Society of America bersama American Thoracic
Society menyarankan untuk pasien dengan skor CURB-65 lebih dari atau sama dengan 2 untuk
dirawat dirumah sakit.

Gambar 5. Algoritme penentuan skor PSI.

Tabel 6. Pembagian kelas risiko mortalitas pneumonia berdasarkan PSI.

PSI membagi pasien pneumonia menjadi lima kelas menurut derajat keparahannya.
Pada kenyataannya, PSI dibuktikan tervalidasi paling baik dalam menentukan kelompok pasien
pneumonia mana yang memiliki risiko rendah sehingga dapat dilakukan rawat jalan. PSI
memiliki batasan utama berupa variabel umur yang berskor sangat besar, sehingga
memungkinkan estimasi risiko pneumonia parah/severe yang terlalu rendah pada pasien
pneumonia yang muda.PSI juga memiliki perhitungan yang rumit dengan 20 variabel sehingga
mungkin tidak praktis untuk digunakan secara rutin pada keadaan gawat darurat atau rumah
sakit yang sibuk.

CURB-65 didasarkan dari sebuah skoring yang dibuat oleh British Thoracic Society
dan dimodifikasi oleh Neill et al, yaitu mBTS (modified British Thoracic Society). Akan tetapi,
karena mBTS hanya membagi pasien menjadi dua kategori (parah dan tidak parah, atau severe
dan non-severe), skoring ini tidak mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko rendah yang
dapat dipulangkan dari rawat inap atau dilakukan rawat jalan.
Saat ini, mBTS telah dimodifikasi lebih lanjut menjadi CURB-65 yang telah divalidasi
untuk menentukan pasien menjadi tiga kelompok dengan mortalitas rendah, sedang, dan tinggi,
dengan pilihan tindakan sebagai berikut.

Gambar 6. Algoritme skoring CURB-65.

3.7 KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi :

 Efusi pleura. 
 Empiema. 
 Abses Paru. 
 Pneumotoraks. 
 Gagal napas. 
 Sepsis 

3.8 PENCEGAHAN

1. Pola hidup sehat termasuk tidak merokok


2. Vaksinasi ( vaksin pneumokokal dan vaksin influenza)

Sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya.


Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya
usia lanjut, penyakit kronik , diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV,
dll. Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping
vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi
yaitu hipersensitiviti tipe 3 .
3.9 PROGNOSIS

Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan
intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka
kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan ,
sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious
Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan
berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III
sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa
meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko
kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah
13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -
35%.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai