Anda di halaman 1dari 446

LIMA TAHUN YANG LALU

"Aaa!"

"Aaa!"

Vita berteriak kencang sambil menutup wajahnya dengan buku yang tadi ia ambil.
Kemudian disusul teriakan lain yang dari suaranya dapat dipastikan laki- laki.

"LO GILA, YA?!" teriak mereka serentak.

Cowok itu memakai baju kemejanya, tanpa dikancing. Hingga ketika ia berjalan
mendekati Vita, seragam itu akan terkibar menampakkan otot perut yang tercetak jelas, membuat
Vita kaget bukan kepalang.

"Ngapain lo teriak- teriak?" tanya cowok itu yang kini sudah ada dihadapan Vita.

"Elo sendiri ngapain buka baju sembarangan?!" Vita berbalik nanya dengan kesal.

"Sembarangan? Elo gak tau ini loker khusus cowok? Atau lo pura- pura gak tau? Biar
bisa liatin abs cowok di sini?" sarkasnya sambil berkacak pinggang, angkuh.

"Jijay!" hardik Vita segera.

Cowok itu mengangkat sebelah alisnya, lalu memiringkan kepala, berusaha mencari celah
untuk melihat wajah Vita.

"Ya udah kali, gak usah ta—"Cowok itu terdiam mendadak.

Vita membuka wajahnya walau hanya sebatas hidung. Memperlihatkan matanya yang
indah.

Deg!

Ada getaran aneh yang menjalar di dadanya. Bahkan dalam hati, cowok itu mengakui
bahwa ia terpesona akan keindahan ini. Apalagi, tatapan tajam Vita seakan menambah daya pikat
tersendiri baginya.

"Apa liat- liat?!" sentak Vita. Kemudian, Vita berlari menjauhi cowok itu.
"Nama gue Nevan!" pekiknya. Namun Vita sama sekali tak menghiraukannya.

Anak laki- laki itu menghembuskan nafas, tak melepaskan pandangan dari perginya Vita.
Nevan mengulum senyum ketika sebuah ide terlintas dikepalanya.

Ia sudah menentukan targetnya.

{|}

Vita dengan seragam resmi Indonesia High School terus mendumel sambil mempercepat
langkah pendeknya. Merutuki kejadian di loker tadi kemudian merasakan ingin mencakar
matanya yang sudah tidak suci.

“Ta!”

Vita otomatis berhenti. Memutar tubuhnya dan melihat Arga berlari ke arahnya.

“Kamu mau ke mana?” tanya Arga begitu sudah ada didekat Vita.

“Ke kelas.” Vita menjawab.

“Buku kakak mana? Tadikan kakak minta tolong ambilin buku.”

Vita menepuk dahinya sendiri. Dia lupa kalau tujuannya ke loker khusus kelas XII adalah
untuk mengambilkan buku kumpulan soal milik Arga.

“Nih.” Ucap Vita seraya menyerahkan buku itu pada Arga.

Arga menyambut buku itu lalu mendekapnya ke dada. “Kamu kenapa?” heran Arga
setelah melihat wajah Vita yang mendung.

“Huhu, mataku ternoda.” Adu Vita sambil memajukan bibirnya ke depan.

Arga membelalak kaget.”Hah?! Maksudnya? Kamu diapain, Ta? Sama siapa?” cerca
Arga panik. Cowok dengan seragam sama seperti Vita itu bahkan mencengkeram kedua bahu
Vita. Menuntut jawaban.

Vita membulatkan mata. Reaksi Arga terlalu berlebihan. “Tenang, kak. Oke aku cerita.
Tadi tuh pas di loker, ada cowok buka baju dan aku gak sengaja liat.” Terang Vita yang diakhiri
dengusan sebal.
“Tapi, kamu gak di apa- apain, kan?” Arga mulai melihat semua pakaian Vita.
Memastikan tidak ada yang disentuh.

“Syukurnya gak ada, kak.” Balas Vita.

Arga menghela napas lega. Dengan ringan, tangannya terulur untuk menyentuh puncak
kepala Vita. “Syukurlah. Makanya lain kali nurut kalo kakak bilang kakak aja yang ambil
bukunya.” Semprot Arga memperingati.

Vita terkekeh. “Iya, deh.”

Arga dan Vita saling melempar senyum, lalu berjalan bersisian sembari membicarakan
beberapa hal.

“Kalo kamu ngambek, biasanya ngapain, Ta?” tanya Arga.

“Hah? Apa?”

"Kalo ngambek, kamu ngapain?" ulang Arga.

Vita mengetuk- ngetuk telunjuknya ke dagu, nampak berpikir. "Biasanya sih, aku bakal
ngelempar koper yang isinya poundsterling, kak." jawab Vita ngawur.

Tawa Arga menggelegar." Ngomong sama holkay emang beda, ya?"

Vita terkekeh. "Maklum, kak. Tidurnya aja pake emas berlapis dolar." balas Vita tambah
ngawur.

Arga menggeleng seraya berusaha menghentikan tawanya. "Tapi itu cuma bercanda,
kan?"

"Enggak."

"Hah, enggak?!"

"Enggak salah lagi maksudnya." ucap Vita cengengesan.

Arga lagi- lagi tak bisa menahan tawanya.


"Kalau di saat kayak gini, kamu tuh lebih cocok jadi pelawak tau, gak." seloroh Arga
yang sudah menghentikan tawanya.

Vita mengernyit. "Pelawak, ya?"

"Kalau jadi calon istri kakak aja , gimana? Cocok, gak?" ceplos Vita sambil tersenyum
sumringah.

"Apa?" Arga hanya bisa terpelongo, mulutnya terbuka sempurna. Tidak menyangka
dengan sepaket kalimat yang meluncur indah dari mulut Vita.

Astaga, Vita gercep! Rutuk Vita dalam batin.

Tiba- tiba Vita tertawa, kuat sambil memegangi perutnya. "Haduh, bercanda doang, kak.
Bercanda." ucap Vita masih tertawa.

Arga memperbaiki ekspresi wajahnya, meneguk ludah, lalu bicara dengan gugup.

"Gak jadi, kamu gak bakat jadi pelawak." kata Arga.

Vita yang sudah mampu menguasai tawanya pun langsung mengangguk. "Iya. Aku juga
memang gak minat jadi pelawak. Cewek cantik kayak aku tuh cocoknya jadi ibu- ibu sosialita.
Kan akunya holkay atau HOLANG KAYAHHH." gurau Vita.

Arga menutup hidungnya. "Hawa mulutmu gak enak, Ta."

Senyum di bibir Vita memudar seketika. "Ye elah nyebelin amat." jengah Vita sambil
memutar matanya malas.

Arga tertawa."Bercanda, Ta. Lagian kamu kan sikat giginya pake parfum Casablanca
kelas elit, jadi pasti wangi."

Vita ingin sekali tertawa keras- keras sekarang. Lawakan garingnya dibalas lawakan juga.
Biasanya, tidak akan ada yang mau meladeni Vita. Tapi, Arga berbeda. Dan Vita jatuh hati
padanya karena itu.

“AK!” panggil seseorang sambil menepuk bahu Arga.


Arga menoleh. “Ya, Ben?” sahutnya.

“Ikut ke ruang Osis.” Titah cowok itu—Ben.

“Oh, oke.” Arga mengangguk. Mengode Ben agar pergi terlebih dahulu. Seakan
mengerti, Ben pun mengacungkan jempol dan sempat mengerling untuk menggoda Vita.

“Kakak ke ruang Osis dulu, ya.”pamit Arga.

“Oh, oke.” Sahut Vita.

“Cie, jawabannya sama kayak kakak.” Arga menoel lengan Vita.

“Haha, apasih? Udah sanaa,” Vita mendorong tubuh Arga. Menyuruh cowok itu
menyusul wakilnya menuju ruang Osis. Untunglah, ketua Osis itu menurut.

Vita menggeleng geli dengan tingkah Arga. Tiba- tiba, kedua pipinya terasa panas.
Mungkin, memikirkan bagaimana indahnya pertemuan pertamanya dengan Arga mampu
menyuntikkan adrenalin di dirinya. Sebab, Vita sering deg degan hanya karena memikirkannya.

“Kakak seneng kok bisa merhatiin kamu. Kamu Avita Dwi Fabdilla, kan? Kakak panggil
‘Ta’, ya? Lucu soalnya.”

Oh, tolong. Vita kepanasan.

Vita berbelok ketika melewati sebuah pertigaan. Ia hendak ke toilet. Sesampainya di


sana, Vita masuk ke salah satu bilik. Semenit kemudian, tepat ketika Vita membuka pintu bilik,
seorang lelaki jangkung tengah duduk di atas meja di mana dua wastafel terletak.

Vita memelotot. “Lo?!”

“Hai.” Nevan menyeringai.

Vita tersulut, kenapa harus bertemu cowok mesum ini di—toilet wanita?

“Lo ngintip ya, anjir?!” tuduh Vita sambil menunjuk Nevan.


Nevan terkekeh. Memainkan punting rokok yang sudah habis separuh tanpa menjawab
tuduhan Vita. Membuat Vita semakin kesal tak karuan. Kemudian dengan tenaga yang kuat, Vita
pukul kepala Nevan dengan tangannya sendiri.

"GUE NANYA DIJAWAB KEK!" teriak Vita frustasi.

Nevan meringis singkat. "Buset. Parah sih lo main geplak aja." Nevan mengusap- usap
kepalanya yang menjadi korban kekerasan Vita.

"Lo tuh yang parah! Mesum banget sampe ke toilet cewek!" gerutu Vita.

"Jodohnya Nevan kok marah mulu?" rayu Nevan sambil mencubit pipi Vita.

Vita menepis kasar tangan Nevan yang ada di pipinya. Lalu, ia layangkan tangannya
untuk memukul kepala Nevan lagi. Namun, dengan mudah Nevan memegang tangan Vita
sebelum tangan itu kembali menghakiminya.

Vita terbelalak dengan apa yang Nevan lakukan. Sangat amat iseng, Nevan menghisap
rokok dan menghembuskan asapnya ke wajah Vita.

"Beg— uhuk! Uhuk!" Vita terbatuk begitu hidungnya menghirup asap rokok. Nafasnya
seperti tercekat dan mata Vita jadi memerah.

"Vita?!" seru Nevan panik. Ia jatuhkan sisa rokoknya dan ia jejak agar apinya padam.

"Lo gapapa?" tanya Nevan sambil menangkup wajah Vita.

PLAK!

Vita mendorong tubuh Nevan setelah menampar pipi mulus Nevan. Membuat kulit
Nevan yang mulus berubah agak kemerahan.

Nevan mematung, namun matanya menatap wajah Vita yang tertekuk kesal. Mulai
menghela napas ketika Vita berbalik dan melangkah menjauh. Dipandangnya punggung cewek
itu hingga hilang dibalik pintu.
Nevan tersenyum miring, Vita memang yang ia inginkan.

{|}

Dengan langkah yang dihentak- hentakkan, Vita keluar dari toilet. Berencana masuk
karena malas bertemu lagi dengan cowok menyebalkan itu.

Vita tak habis pikir, kenapa ia harus ditakdirkan terus bertemu Nevan? Vita merinding
setiap kali mendengar pertemuan tak menyenangkannya bersama cowok itu. Vita ingin muntah,
apalagi cowok itu berani menggodanya bahkan saat mereka tidak saling mengenal.

Tapi, Vita tidak bisa mengelak, bahwa… Nevan itu tampan. Tinggi, hidung mancung,
mata tajam, dan kulit putih. Sekilas seperti tampan tanpa cela. Tapi, Nevan ada cela. Dia mesum.

"Dwi!" panggil seseorang dari belakang.

Vita menghentikan langkahnya. Sejurus kemudian dahinya mengkerut bingung. Siapa


yang memanggilnya seperti itu?

Dengan penasaran, Vita menoleh. Dan kerutan di dahinya semakin dalam tatkala melihat
Nevan berjalan ke arahnya.

"Ngapain lo manggil gue gitu?" tanya Vita begitu Nevan sudah berapa didekatnya.

"Kenapa? Nama lo Avita Dwi Fabdilla, kan?" ucap Nevan seraya menunjuk dada bagian
kanan Vita.

Vita memelotot, lalu dengan cepat ia tampar tangan Nevan yang menunjuk ke arah
dadanya. "Jangan tunjuk- tunjuk dada gue, anjir!" hardik Vita kesal.

"Gue gak nunjuk dada lo, ya. Gue cuma liat name tag di seragam lo." sahut Nevan
enteng.

Vita berdesis singkat, sambil matanya menatap Nevan tajam. Kalau saja tatapan dapat
melukai seseorang, mungkin Nevan sudah terbelah dua sekarang.

"Oh iya Dwi, lo mau kemana?" tanya Nevan sumringah.


Alih- alih menjawab, Vita malah berekspresi geli. "Panggil gue pake nama yang biasa aja.
Geli gue denger panggilan itu dari mulut lo." cetus Vita.

Nevan menggeleng, menegaskan penolakannya. "Gue pengen manggil lo dengan


panggilan beda. Khusus punya gue." tutur Nevan.

"Aneh! Biar dibilang apa coba lo kek gitu?" ada nada meremehkan ketika kalimat itu
meluncur dari mulut Vita.

Nevan senyum ganteng. "Biar dibilang romantis." ungkapnya.

"PRET!" sentak Vita spontan.

"Lo manis deh, Dwi." puji Nevan.

"Makasih." balas Vita seadanya.

"Dan gue suka." tambah Nevan lagi.

Vita bagai tersedak air ludah sendiri. Ia terbatuk dengan mata membulat kaget. Nevan
tidak waras, seenaknya saja bilang begitu. Apa dia tidak malu?

"Tapi gue enggak. Wlek!" Vita menjulurkan lidahnya untuk mengejek Nevan.

"Bukan enggak, tapi belom." ujar Nevan menambahkan.

“Vita?”

Vita terlonjak. Suara itu, suara berat tapi selalu sempurna di telinga Vita. Vita mengambil
ancang- ancang untuk berbalik badan. Namun, belum sempat Vita melakukan niatnya, satu
gerakan dari Nevan berhasil membuat Vita terpaku.

Vita membelalak, ia bisa mencium parfum mint khas cowok yang maskulin. Dan detik
berikutnya wajah Vita memerah, hingga ke telinga.

Arga kaget, tentu. Gadis yang selama ini Arga suka dan Arga impikan tengah dalam
dekapan seseorang. Bodohnya lagi Arga tak mampu melakukan apapun.
Lalu sebuah smirk meremehkan tercetak di wajah tampan Nevan. Mata bak elangnya
terfokus pada wajah kaget sekaligus kesal milik Arga.

Nevan memeluk Vita. Memeluk gadis itu dengan satu tangannya, sedangkan tangan yang
lain dimasukkan ke dalam saku celana.

"Nevan, apa- apaan, sih?!" gertak Vita berusaha melepaskan diri dari pelukan Nevan.

Sungguh, Nevan hanya menggunakan satu tangannya untuk memeluk Vita. Tapi
tenaganya cukup kuat untuk membuat Vita kewalahan dalam usahanya memberontak. Vita
memukul dada Nevan keras- keras, bagaimana pun asal mampu keluar dari jeratan Nevan.
Namun Nevan sama sekali tak terpengaruh dan tak memerdulikannya.

"Silence, or i'll kill him." titah Nevan dingin.

"H-hah?" bingung Vita. Bukan karena tidak mendengar, tapi karena tidak mampu
menangkap maksud ucapan Nevan barusan.

"I want you to silence. If not, Arga will die!" ucap Nevan lagi.

Vita terdiam. Kini kakinya gemetar. Vita memejamkan mata dan menggeleng pelan.
Untuk dalam keadaan sempit seperti yang Vita alami sekarang, gertakan Nevan begitu serius di
telinga Vita.

Vita menggeleng kuat, dalam artian berjanji akan diam dan berharap Nevan tidak akan
melakukan apapun pada Arga. Arga menggeram kesal. Tak sabar. Arga pun menarik pergelangan
tangan Vita hingga pelukan Nevan terlepas begitu saja.

Lalu, Arga membawa Vita berjalan menjauhi Nevan. Arga butuh ruang berdua untuk Vita.

{|}

Satu hari sebelumnya.

Anak laki- laki tampan itu bersandar di kursi kantin. Bangku paling tengah yang tentu
akan jadi pusat perhatian jika ia mendudukinya. Nevan tak perduli, ia tetap memasang wajah
datar. Masa bodoh, ia hanya ingin bersantai sejenak.

"Bro?" panggil seseorang ramah.


Dahi Nevan mengkerut. Ia membuka mata, namun kembali menutupnya tanpa merespon
panggilan itu.

"Gue boleh duduk di sini?" tanya cowok itu sembari mengambil ancang- ancang untuk
duduk.

Namun yang dilakukan Nevan benar- benar diluar dugaan.

Anak laki- laki itu mengangkat kedua kakinya ke atas meja dan melipat tangan ke dada.
Semakin mengabaikan banyak pandangan tak suka atau bahkan cibiran buruk untuknya. Sebagai
murid pindahan, sikap Nevan terlampau berani dan kurang ajar.

"Lo mending pergi sebelum gue hajar." ancam Nevan dingin.

Cowok itu meneguk ludah kasar. Kemudian dengan langkah cepat ia meninggalkan
Nevan dengan 'bangku' kekuasaannya.

Nevan membuka mata, menghadiahkan pandangan dingin untuk semua orang yang
menatapnya. Wajah datar yang siap sedia untuk kaum hawa yang menyukai ketampanannya atau
kaum adam yang mencoba berteman dengannya.

Nevan benci orang- orang asing yang berusaha masuk ke kehidupannya. Mengganggu.
Nevan tak suka diusik.

Tangan Nevan merogoh saku celananya. Mengeluarkan benda pipih yang Nevan beli
dengan harga mahal lalu digunakannya benda itu untuk bermain game.

Nevan tenggelam dalam dunianya. Dunia yang selama ini menemani keseharian Nevan.
Kecuali, jika Nevan lebih memilih menyalurkan kebosanannya lewat kekerasan. Seperti
menghajar orang- orang yang menentangnya? Hal sekasar itu sudah biasa bagi Nevan.

Nevan mendelik ketika seorang cowok berseragam menggeser posisi kakinya. Apalagi
deheman cowok itu begitu mengganggu di telinga Nevan.

"Pergi." titah Nevan dingin.


"Lo Nevaniel Geraldie?" tanyanya sembari duduk didepan Nevan. Karena telapak kaki
Nevan tepat dihadapan wajahnya, cowok itu pun kembali menggesernya.

"Gue Arga, ketua OSIS Indonesia High School." tutur cowok berseragam itu- Arga
sambil tersenyum ramah.

"Gak perduli." sangkahnya acuh.

Arga mengangkat satu kakinya ke atas paha, lalu ia bersender dan melipat tangan ke
dada. "Gue tau apa yang udah lo lakuin di sekolah sebelumnya sampe harus pindah ke sini." ujar
Arga sarkas.

Nevan mengangkat sebelah alisnya. "Bukan urusan lo." tukasnya.

Arga tersenyum miring. Lalu ia berdiri dan kembali menggeser kaki Nevan. Kali ini
dengan kuat hingga kaki Nevan jatuh ke bawa.

Merasa diremehkan, Nevan pun bangkit dan menggebrak meja. "Maksud lo apa, hah?!"
teriaknya marah.

Sontak, semua yang ada di kantin terdiam. Mata mereka membulat kaget.

Arga pasang wajah datar, tak kalah dingin dari Nevan. "Berbuat onar di sini, lo gue
tunggu di BK." ucap Arga sarkartik lalu meninggalkan kantin.

Nevan diam. Namun mata tajamnya yang sarat akan amarah terus menatap Arga, tidak
peduli meski cowok itu bahkan sudah hilang di keramaian kantin.

Nevan ditantang? Bagus, Nevan suka tantangan. Baginya hidup adalah tentang
bagaimana kita menyelesaikan suatu hambatan, bukan hanya sekedar menjalani keseharian
membosankan.

Nevan tersenyum miring. Peringatan Arga tadi lebih mirip ajakan dipikiran Nevan.
Mungkin, Nevan akan membuat masalah nanti?

Nevan siap melakukannya.

{|}
Nevan berhasil keluar kelas dengan alasan sakit maagh, padahal penyakit seperti itu tidak
pernah Nevan alami. Lagipula, cowok itu sudah makan di istirahat pertama tadi.

Nevan memasukkan tangan ke saku celana, sedangkan tangan satunya ia gunakan untuk
bermain ponsel. Tak lupa, sepasang headshet menyumpal telinganya.

Nevan berencana untuk pergi ke rooftop, karena ia yakin tidur di perpustakaan tidaklah
aman. Bisa- bisa jatah tidur siang Nevan terpotong karena ocehan orang yang memergokinya.

Nevan hendak belok ditikungan ketika matanya menangkap sosok yang tak asing.

Gadis dengan seragam yang terpasang rapi itu tampak berjalan beriringan dengan cowok
yang wajahnya cukup familiar bagi Nevan, namun sulit untuk ia ingat.

Abaikan dulu cowok itu, Nevan penasaran dengan gadis itu. Gadis yang membuat Nevan
jatuh hati pada pandangan pertama. Hanya dengan sebuah pelototan gratis yang gadis itu berikan
untuknya.

Nevan menarik kerah kemeja seorang cowok berkacamata bulat yang lewat
disampingnya. Lalu dengan wajah dingin ia bertanya, "Kenal cewek itu?" tanya Nevan sambil
menunjuk gadis yang ia maksud.

Si kacamata bulat itu memicing, lalu ia mengangguk dengan gemetar. "Itu namanya
Avita. Pa- pacarnya Arga." jawabnya.

Nevan menyipit tak suka, kemudian didorongnya si kacamata bulat itu hingga terjatuh ke
belakang.

"Pergi." titah Nevan yang sukses membuat si kacamata ketakutan. Ia pun segera berlari
menjauhi Nevan.

Nevan mendengus. Titik fokusnya hanya satu. Vita dan Arga.

Nevan berdecih, rupanya wanita—yang tidak sengaja Nevan jambak rambutnya sewaktu
di kantin dan membuat Nevan jatuh cinta hanya dari pelototannya—tengah dekat dengan Arga?
Ketua OSIS yang dengan lagaknya menantang seorang Nevaniel Geraldie? Nevan sungguh
merasa tertantang.
Seperti yang Nevan katakan, ia suka tantangan. Dan Vita adalah tantangan tersulit yang
pernah Nevan hadapi. Tapi sesulit apapun, Nevan tak akan menyerah. Nevan tak mau kalah.
Bagaimana pun, ia akan menaklukkan apa yang menjadi tantangannya.

Sebuah senyuman miring terukir di bibirnya. Nevan sudah memutuskan, ia akan


membalas Arga dengan cara yang lebih menyakitkan.

Merebut Vita, mungkin? Nevan rasa itu ide yang bagus. Lagipula sejak pertama kali
melihat Vita, Nevan sudah jatuh hati padanya. Jadi, alasan itu sudah cukup bagi Nevan untuk
melancarkan aksinya.

Vita berbeda, dan itulah yang Nevan sukai.

Lamunan Nevan buyar ketika Vita dan Arga berjalan ke arah yang berbeda.

Nevan pun bersembunyi agar kehadirannya tidak dilihat Arga. Setelah Arga melewatinya,
barulah Nevan berjalan cepat menyusul Vita.

***

Tiga hari kemudian.

Ada persaingan tak kasat mata antara Arga dan Nevan. Hanya siasat- siasat nyata yang
mereka lakukan guna memenangkan taruhan yang mereka buat beberapa hari lalu. Arga sesering
mungkin menghampiri Vita, mengajak gadis itu ke kantin, membicarakan banyak hal, tertawa,
memberikan beberapa hadiah pada si gadis, dan banyak perhatian lainnya. Sedangkan Nevan
semakin gencar mendekati Vita. Pernah suatu hari Nevan mengikuti Vita UKS agar bisa
menemani gadis itu yang mungkin sedang sakit. Tapi, bukan Vita, melainkan temannya yang
terluka. Tapi meski begitu, Nevan tetap mengikuti. Berusaha sok paham dengan mencoba
membantu mengobati luka temannya Vita, tapi berujung dengan obat merah ditangannya
mengotori lantai dan termasuk tangan Vita. Vita mengomel, menarik Nevan keluar UKS. Tapi,
setelahnya, meski dengan kesal dan tidak berperasaan, Vita mengelap tangan Nevan.
Menyentuhnya, lalu mengusapkan tisu itu secara kasar. Tak apa, itu perkembangan bagus.

Ini puncaknya, Arga tak suka gadisnya diganggu. Vita miliknya, dan Arga harus segera
menetapkan hal itu.
Ini istirahat, dan Arga sudah berapa di depan kelas Vita. Dengan kakinya yang bergerak
gelisah serta dirinya yang gugup setengah mati. Misinya kali ini sangat mendebarkan, Arga takut
tidak sesuai dengan ekspetasinya.

“Kak!” seru Vita yang baru saja keluar kelas.

Arga mendongak. Tersenyum. “Hai. Yuk.”

Arga menarik lembut pergelangan tangan Vita menjauhi kelas dan korior. Dengan
langkahnya yang tergesa- gesa Arga membawa Vita ke taman. Tempat yang ingin Arga jadikan
saksi bisu bagaimana segala perasaannya terungkap.

"Ta.."panggil Arga sambil membalikkan badannya agar menghadap Vita.

Arga tersenyum. Dan seperti seorang anak kecil yang penurut, Vita kini ikut menatap
Arga dengan seulas senyum manis menghiasi bibirnya.

“Ta, pertemuan pertama sama kamu adalah takdir. Setiap waktu di mana kita bertemu,
tanpa disengaja, juga adalah takdir. Begitu juga dengan rasa ini. Takdir terindah dari Tuhan, Ta.”

Vita termangu. Ia mengerjapkan matanya, tidak mengerti.

Arga menarik napas. Mengulas senyum terbaik. “Avita Dwi Fabdilla, maukah kamu
menjadi satu- satunya gadis yang kakak impikan, kakak butuhkan, kakak ingin bahagiakan, dan
kakak miliki seutuhnya?" tanya Arga sembari berlutut didepan Vita dengan satu tangannya
menengadah.

Vita membulatkan mata, dan rahangnya hampir saja jatuh karena terlalu terbuka. Vita
mengerjap lagi, bersamaan dengan dahinya mengkerut tak percaya. Vita menengok ke sekeliling,
memastikan bahwa ia tengah menapak di tanah, tidak terbang karena terlampau senang.

Lalu, Vita mencubit pipinya yang berakhir dengan cewek itu mengaduh kesakitan.
Sejurus kemudian Vita kembali menaruh pandangan pada Arga. Dan detik berikutnya sebuah
senyum memesona tercetak di bibir pinknya.

Melihat senyum Vita, seakan ada sebuncah harapan yang hadir dalam benak Arga. Rasa
yang selama ini hanya mampu ia rasaakn dan tak pernah ia utarakan sebentar lagi akan terbalas
Vita pasti menerimanya, kan?

"Kak.." Vita menunduk, menatap rerumputan yang sedang ia injak. Perlahan namun pasti
senyumnya memudar, berganti dengan raut wajah yang Arga sendiri tidak bisa mengartikannya.

Tidak, jangan sampai Vita menolaknya.

"Aku gak bisa, kak." kata Vita pelan, ada nada terluka di sana.

Arga hampir saja jatuh terduduk jika ia tidak cepat- cepat menggunakan tangannya untuk
menopang tubuh. Sungguh, Arga tidak salah dengar, kan? Vita menolaknya?

Hanya Vita satu- satunya wanita yang mampu membuat Arga jatuh hati. Vita adalah
wanita yang mengajarkan Arga tentang apa itu cinta dan apa penubjang suatu hubungan. Vita
tidak sempurna, tapi Arga berkeinginan untuk menyempurnakannya.

Dan Arga tak habis pikir, mengapa Vita menolaknya? Apa Vita tidak menyukainya?

Arga bangkit, menatap lurus- lurus dua manik hitam Vita. "Kenapa, Ta?" tanya Arga.

Vita terlihat menghela napas. Butuh beberapa detik hingga akhirnya ia mendongak dan
membalas tatapan Arga.

"Gak bisa nolak maksudnya." lanjut Vita yang kemudian terkekeh.

Ya ampun!

Jantung Arga rasanya ingin copot ketika mendengar penolakan Vita, dan kini gadis itu
malah nyengir manis. Arga tersenyum lega, bahkan sempat tertawa begitu menyadari bahwa Vita
mengerjainya.

Arga mengangguk. "You are my little girl." tutur Arga sambil menatap Vita.

Vita mengulas senyum paling manis miliknya. "Yes, I'm yours." sahut Vita.

Kemudian, Arga dan Vita saling mengangkat tanga. Menyatukan telapak tangan mereka
lalu mulai menempelkan satu demi satu jarinya.
Bagi Arga, tak ada yang sempurna, bahkan sosok Vita juga. Namun, Arga tetap
mencintainya, sebab baginya wanita adalah tulang rusuk yang bengkok. Akan patah jika
diluruskan secara paksa. Arga harus menuntunnya dengan sabar, memperbaiki kesalahannya
dengan perlahan. Sehingga tidak akan menyakiti wanitanya. Dan Arga kini sudah selangkah
dalam memulai, Vita sudah jadi miliknya.

Dan bagi Vita, memiliki Arga adalah kesempurnaan hidupnya. Karena Arga adalah
terbaik dari yang terbaik. Arga adalah orang yang tepat bersama Vita, karena pria itu selalu bisa
memperbaiki serta mengajari Vita dengan lembut. Itu yang Vita butuhkan.

***

Vita bahagia. Hanya ada dia dan Arga dalam hubungan ini. Tidak ada yang mengganggu.
Selintas, Vita lega, namun agak bingung. Bertanya- tanya, di mana cowok mesum yang suka
mengganggunya itu? Masih hidup atau tidak?

Vita pun berjalan menuju taman, ia berencana menemui Arga, mungkin Arga sudah
menunggunya di sana. Sambil bersenandung pelan, Vita menengok kanan kiri. Dan sambil
memegangi perutnya yang terasa nyeri karena sedang kedatangan tamu bulanan.

Vita berjalan terus tanpa menyadari bahwa tali sepatunya tidak terikat. Hingga kita satu
ayunan langkah Vita menginjak tali sepatu itu dan sukses membuatnya hampir tersungkur.

Vita menunduk, kemudian mendengus sambil menepuk jidatnya sendiri. Ia akui ia


ceroboh dan hampir membuatnya mempermalukan diri.

Vita pun berjongkok dan mengikat tali sepatunya dengan kuat. Pokoknya jangan sampai
lepas lagi. Untuk sesaat Vita mengeluh, kenapa tidak dibuatkan saja sepatu tanpa tali atau
perekat? Asal masuk saja, kan tidak repot.

Vita mengusap- usap kedua ujung sepatunya. Hendak berdiri dan melanjutkan perjalanan,
hingga sebuah suara yang tak asing tertangkap oleh indera pendengarannya.

"Gue menang saingan, Van. So, jauhin Vita."


Vita mengerutkan dahi. Merasa namanya disebut- sebut dalam pembicaraan yang
sepertinya penting, Vita pun menengok ke sebelah kirinya yang merupakan persimpangan
koridor.

Dan apa yang Vita lihat langsung membuatnya membulatkan mata. Itu Arga dan Nevan.
Apa yang Arga katakan barusan? Saingan apa? Apa urusan yang terjadi di antara mereka?
Bukankah Arga dan Nevan tidak pernah akur? Ia pun berdiri dan bersembunyi dibalik tembok
untuk menguping percakapan antara Arga dan Nevan.

Di koridor itu, Arga dan Nevan nampak saling menatap tantang. Tersirat kekesalan yang
dalam dari sorot mata Nevan. Bagaimana Arga bisa memiliki Vita?

"Lo curang." cetus Nevan dingin.

Arga tertawa kecil. "Lo kalah. Dan sesuai perjanjian kita, kalo gue menang saingan ini, lo
harus jauhin Vita." ucap Arga.

Nevan memandang sinis pada Arga. "Dwi is mine."

"Kalo lo lupa, gue adalah pemenangnya di sini. Vita pacar gue." sahut Arga.

Nevan memalingkan wajah. Kesal. Tentu Nevan sangat murka. Ingin sekali ia menghajar
Arga habis- habisan sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Namun Nevan akan dicap pengecut jika
melakukan itu. Tidak masalah, Nevan akan menghabisi orang lain saja nanti.

"You lost." tekan Arga seraya tersenyum miring pada Nevan.

"Iya. Hebat ya kakak bisa menang."

Arga dan Nevan secara kompak menoleh ke sumber suara. Detik berikutnya mereka
sama- sama kaget. Orang yang tengah mereka perebutkan kini berdiri dengan wajah yang cukup
pucat, namun tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya.

Arga dan Nevan meneguk ludah secara bersamaan. Sial, jangan sampai Vita mendengar
percakapan mereka.
"Ta, kakak cu—" Ucapan Arga langsung disela Vita. "Bener ya, kakak tuh hebat dalam
segala hal. Jadi, untuk masalah persaingan ini aja kakak hebat. Selamat, kak. Udah dapetin
hadiahnya, kan?" kata Vita sambil mencetak senyum paksanya.

Arga menggeleng. "Ta, dengerin kakak du—"

"Perut aku sakit, kak. Aku ke kelas dulu, ya." pamit Vita dan segera berbalik. Namun
sebuah tangan mencekal tangan Vita. Ketika Vita menoleh, Nevan berdiri dengan wajah yang
sama piasnya dengan Arga.

"Dwi, gue mau ngomong." ujar Nevan.

Vita menggeleng lemah. "Gak bisa. Bentar lagi masuk." tolaknya.

"Bentar doang, Dwi." bujuk Nevan.

Namun Vita masih menggeleng. Ia menarik tangannya dari cekalan Nevan dan terus
berjalan. Butuh kekuatan besar agar Vita tidak menangis di sana. Butuh ketahanan kuat supaya
Vita tidak berteriak lantang, mengeluarkan kekecewaannya pada dua orang yang dengan tega
mempermainkan perasaannya. Menjadikannya objek taruhan. Memangnya perasaan sebercanda
itu?

***

Tak akan ada yang baik- baik saja ketika perasaan dipermainkan. Itu yang dirasakan Vita.
Ia tertawa riang bersama para sahabatnya, lalu izin ke toilet dan menangis di sana. Bagaimana
bisa senior yang ia sukai sejak awal pertemuan mampu menjadikannya sekedar objek taruhan?
Apalagi, itu dilakukan Arga bersama Nevan, makhluk paling Vita hindari.

Nyatanya, Vita memang tidak boleh semudah itu terbawa perasaan. Pun jika itu adalah
Arga, atau laki- laki mana pun yang ia anggap baik, Vita tetap tidak boleh sembarangan menaruh
kepercayaan. Beberapa orang terkadang memakai topeng manis untuk menutup berbagai mimik
asli mereka.

Kak Arga

Taaa
Kakak mau jelasin

Ketemuan ayuuuk

Kakak janji jelasin selengkap lengkapnya

Taaaa:(

Vita mendengus. Arga bawel sekali. Lagipula Vita tidak tahu, haruskah menemui Arga
dan membiarkan lelaki itu memberikan penjelasannya?

Tidak. Jawabannya tidak. Vita pun menyimpan ponselnya di bawah kasur. Lalu berkenala
ke alam mimpi meski sebenarnya ia sedang tidak mengantuk.

{|}

Tak akan ada yang baik- baik saja ketika perasaan dipermainkan. Itu yang dirasakan Vita.
Ia tertawa riang bersama para sahabatnya, lalu izin ke toilet dan menangis di sana. Bagaimana
bisa senior yang ia sukai sejak awal pertemuan mampu menjadikannya sekedar objek taruhan?
Apalagi, itu dilakukan Arga bersama Nevan, makhluk paling Vita hindari.

Nyatanya, Vita memang tidak boleh semudah itu terbawa perasaan. Pun jika itu adalah
Arga, atau laki- laki mana pun yang ia anggap baik, Vita tetap tidak boleh sembarangan menaruh
kepercayaan. Beberapa orang terkadang memakai topeng manis untuk menutup berbagai mimik
asli mereka.

Vita tidak menerima pesan atau telepon dari Arga. Biarkan saja cowok itu memikirkan
kesalahannya yang dengan tega menjadikan Vita sebagai objek taruhan. Memangnya perasaan
sebercanda itu?

Di bagian bumi lain, Arga gelisah tak menentu. Ia tahu ini salahnya, tapi pemikiran Vita
juga salah. Seharusnya, mereka bertemu dan Arga akan menjelaskan segalanya sedetail mungkin.
Tapi, gadis itu menolak. Terpaksa, Arga yang harus menemuinya.

Di perjalanan, mobil sedan hitam langsung memotong jalan dan berhenti tepat didepan
Arga. Arga langsung mengerem motornya. Arga mulai merasa curiga ketika mobil itu menutup
jalan, atau lebih tepatnya, mengepung secara sengaja.
Arga langsung membuka helm dan turun dari motor dengan tatapan tajamnya yang tak
berpindah dari mobil itu. Mengesampingkan tujuannya untuk sampai ke rumah Vita.

Satu orang berpakaian all black keluar dari sedan. Wajah lelaki itu mengenakan masker,
dan kepalanya tertutup topi. Semakin tampak misterius di mata Arga.

Arga semakin mempererat pegangannya pada tangan Vita. Semakin merasa terancam kala
dua orang itu mendekat ke arah mereka.

"I must do something for you." Ucapnya.

Arga menatap tajam. Siap melawan kapan pun jika mulai diserang.

"Who are you?" tanya Arga.

"Kita gak saling kenal, tapi kita akan bersenang- senang." jawab cowok itu.

Arga mengkerutkan dahi tak paham. Sedetik kemudian, sebuah tendangan menghujam
punggung Arga. Membuat Arga tersungkur dengan wajah yang hampir terseret ke aspal.

Arga bangkit. Menyerang balik cowok itu. Lengah, satu tinjuan telak didapati sang
cowok hingga topinya terlepas. Arga berang, namun tak lama ia tertegun.

“Ne—van?”

Mata cowok itu membulat. Secepat kilat ia menghujani Arga dengan serangannya. Arga
sempat melawan beberapa kali, tapi kelengahan sedetik saja membuat Arga terjerembab. Rahang
dan sudut matanya lebam, serta darah keluar dari mulutnya. Pakaian Arga yang tadinya bersih
kini bercampur tanah dan darah dengan beberapa bagian sobek.

Rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuh dan menggerogoti dada membuat Arga
kesulitan bernafas. Ia sempat mendengar suara mobil menjauh sebelum telinga berdengung.
Mata dan kepalanya terasa berat. Akhirnya Arga terpejam.

Arga kehilangan kesadarannya.

“See? Gue akan lakukan apapun untuk Dwi,” Senyuman miring itu tampak
meremehkan.
Lalu, semuanya di luar rencana Nevan. Ia ditangkap, Vita menjauh, dan bagian
terburuknya adalah Arga mendapatkan Vita secara utuh sebagai kekasihnya. Nevan menjadi
tersangka, tapi ia dibebaskan bersyarat sebab akan mengikuti ujian nasional.

{|}

Vita merosot saat itu juga. Di lantai rumah sakit yang dingin, bersama Febri dan Rilya.
Tangisnya pecah. Vita tidak bersungguh- sungguh tentang dirinya yang marah pada Arga. Vita
hanya emosional, seharusnya ia tidak mengabaikan cowok itu. Karena sekarang, kata dokter,
kemungkinan Arga untuk selamat sangat tipis.

“Dwi..”

Vita mendongak cepat. Menyorot penuh benci pada Nevan yang berdiri di antara dua
polisi.

Ia berdiri. "Gue benci lo, sumpah!" hardik Vita kesal sambil menangis.

Nevan memalingkan wajahnya, teringin mengacuhkan gadis yang menangis sesegukan


dihadapannya. Namun dari hatinya yang paling dalam ia tak bisa, ia tak suka melihat Vita
menangis.

"Kak Arga salah apaan sampe lo sebegini benci sama dia?!" tanya Vita kesal. Bahkan
bertambah kesal tatkala Nevan masih saja membisu.

"Gue nanya! Lo jangan diem aja!" teriak Vita sekuat tenaga.

Berteriak sambil menangis sesegukan sungguh menyesakkan. Namun Vita mengabaikan


penderitaannya sendiri. Ia hanya butuh jawaban dari Nevan, namun pemuda itu hanya diam tak
merespon. Amarah Vita menggebu- gebu. Kekhawatirannya semakin memuncak tatkala terlintas
segala kemungkinan yang bisa saja terjadi pada Arga karena cedera yang dialami.

"Gue nanya, Van. Plis jawab." Ucap Vita.

Vita hendak melangkah ketika tiba- tiba kakinya tak mampu menopang tubuhnya.
Akhirnya tubuh Vita jatuh ke lantai. Ia menangis sekeras- kerasnya, layaknya anak kecil.
"Maaf, Dwi.. " sesal Nevan tak mampu menahan keperduliannya. Ia pun ikut berjongkok
dengan wajah bersalah.

Sedangkan Vita tak menghiraukan apapun dan siapapun, ia tetap menangis. Sebenarnya
bukan karena Nevan, tapi jelas karena Arga.

"Dwi.." Panggil Nevan pelan. Ia tatap lekat- lekat sepasang mata yang tak henti- hentinya
mengeluarkan air mata itu.

"Gak usah sentuh gue!" Vita menyingkirkan tangan Nevan segera setelah ia merasakan
sentuhan di pundaknya.

"Tenang, Dwi. Plis tenang dulu." Ucap Nevan.

Vita menatapnya tajam. "Gue gak butuh lo! " hardiknya lagi.

"Maaf. Dwi, gue bener- bener minta maaf." Pinta Nevan melirih.

Ia sungguh menyesal telah menghajar Arga. Ia tak tahu jika Vita akan se menderita ini
ketika melihat Arga tak sadarkan diri. Sungguh, Nevan menyesal. Jika bisa diulang, ia akan
memilih untuk menerima semuanya dengan lapang dada, tidak menggunakan kekerasan seperti
ini.

"Maaf dari lo juga ga bakal bangunin Kak Arga! Jadi mending lo pergi!" usir Vita.

Nevan mengacak rambutnya frustasi. Namun ia tetap tak menyerah. Nevan masih setia
menunggui Vita hingga gadis itu selesai menangis. Vita tentu saja risih karena Nevan terus
menerus menatapnya. Akhirnya Vita pun menyeka air matanya, lalu berdiri.

"Gue baik- baik aja. Dan gue bakal lebih baik-baik aja kalo lo pergi dari sini." Ucap Vita.

Nevan yang awalnya melihat Vita sambil mendongak kini ikut berdiri "Tapi Dwi—“

"Apanya yg tapi?! Lo ga bisa jawab pertanyaan gue, kan? Jadi sekarang lo disini mau
ngapain, hah?!" Ucap Vita kembali meninggikan bicaranya.

Nevan menekuk wajahnya kesal. "Gue suka lo, dan alasan gue ngehajar Arga ya cuma
karena gue suka sama lo, Dwi!" Balas Nevan akhirnya menjawab pertanyaan Vita.
PLAK!!!

Sebuah tamparan keras tepat mengenai pipi kanan Nevan. Vita yg sudah terlewat marah
merasa ingin menghajar Nevan lebih parah lagi. Namun tamparan ini bukan untukk menyakiti
tubuh Nevan saja, namun juga hatinya. Setelah ini, Vita berharap Nevan akan membencinya. Jika
rasa yang Nevan miliki untuk Vita malah akan membahayakan Arga, Vita akan memilih untuk
membuat Nevan benci padanya. Agar ia bisa pastikan, Arga baik- baik saja.

Namun setelah tamparan itu, Nevan tak bereaksi. Bahkan ia tak memegangi pipinya yang
memerah dengan cap lima jari milik Vita tertinggal disana. Nevan tak menatap Vita, atau bahkan
bergerak. Namun dadanya naik turun, sepertinya Nevan juga sama marahnya seperti Vita.

"Itu untuk Kak Arga. Apa yang udah lo lakuin ke dia jauh lebih sakit dibanding tamparan
ini." ucap Vita sembari meninggalkan Nevan.

"Dwi." Panggil Nevan sambil menghentikan langkah Vita.

Vita menarik nafasnya dalam- dalam. Mau apalagi dia? Batinnya.

"Gue gak akan pernah benci sama lo." Ucap Nevan dengan tatapan sendu.

Vita menoleh menatap wajah itu. Sekali lagi, Nevan bersikap terlampau tenang.
Tamparan yang masih membekas itu tidakkah sakit? Kenapa Nevan bisa setenang ini?

Vita tak menjawab, ia hanya berdecih kemudian meninggalkan Nevan.

Setelah itu, hari- hari Vita hanya untuk Arga. Sepulang sekolah, Vita akan mengerjakan
tugas, lalu pamit ke rumah sakit untuk menemani Arga. Arga selamat, dan Vita patut bersyukur
atas kebaikan Tuhan itu. Sementara Nevan, ia dibebaskan bersyarat. Meski begitu, tak ada usilan
atau gangguan darinya. Nevan benar- benar meninggalkan Vita untuk tenang bersama Arga.

{|}

Vita duduk di sisi ranjang, di samping Arga yang sedang menunduk dalam. Vita sudah
bersedia mendengarkan penjelasan Arga. Namun dua menit ini, cowok itu sama sekali tak
membuka suara.
"Aku ngambek ya, kak, kalo gak ngomong juga." ancam Vita yang langsung ditanggapi
gelengan dari Arga. "Iya, kakak ngomong."

Vita menghela napas, lalu mengangguk. Sedangkan Arga menarik napas dalam- dalam,
bersiap menceritakan segalanya secara detail.

"Jadi, kemarin pas waktu Nevan meluk kamu, kakak ngomelin dia. Kakak bilang itu
terlalu berani, dan gak seharusnya dia berani ngelakuin itu. Tapi dasarnya Nevan yang bengal itu,
dia malah nantangin kakak. Dia bilang kalo kakak kalah dari dia untuk dapetin kamu, maka
kakak harus ngasih kamu ke dia. Kakak jelas gak mau! Orang kakak suka kamu dari awal, masa
mau ngasih gitu aja ke dia." kata Arga menjelaskan dengan 'penuh perasaan'. Diam- diam bibir
Vita bergetar menahan tawanya yang hendak tersembur keluar karena ekspresi menggemaskan
Arga.

"Yah jadi kakak terima deh tantangannya. Tapi, kakak gak pernah niat untuk
mempermainkan perasaan kamu. Kakak tuh justru termotivasi dari tantangan Nevan." ungkap
Arga yang langsung membuat Vita menoleh dengan satu alisnya terangkat. "Motivasi apa?"

Arga mengangguk. "Buat secepatnya ngungkapin perasaan kakak, biar kamu gak diambil
orang.”

"Maaf, ya.." melas Arga sambil menampilkan puppy eyesnya yang tampak lucu bagi Vita.

Merasa terhibur, Vita pun berniat mengerjai Arga. Hingga akhirnya dengan sangat tega
Vita menggeleng. "Males."

Arga mencebik kecewa. Arga tidak mau Vita marah padanya. Harus bagaimana lagi?
Arga pun menoel lengan atas Vita dengan manja. Layaknya seorang anak kecil yang merengek
minta es krim pada ibunya.

"Ta, maaf.." lirihnya. Namun Vita tetap menggeleng. Wajah Arga sangat membuat Vita
gemas.

Arga tidak kehabisan akal. Ia pun berdiri didepan Vita. Mengangkat dagu cewek itu agar
mata mereka bertemu. Lalu, dua kata yang mrluncur dari mulut Arga sukses membuat Vita
tertawa.
"Sayaaang, maaf."

Tidak penting apa yang orang katakan. Karena ulah manja Arga, Vita akhirnya mengacak
gemas rambut Arga. Untuk pertama kalinya Arga memanggil Vita 'sayang'. Rasanya sangat
manis dan sedikit menggelikan.

"Iya. Cie panggil sayang." goda Vita sambil menoel pipi Arga.

"Ih, kamu ngerjain kakak, ya?" ucap Arga menatao selidik pada Vita.

Vita tertawa lagi. "Enggak, dih!"

"Gak salah lagi." lanjut Arga datar. Membuat tawa Vita semakin kencang.

Setelahnya, tawa itu bertahan hingga beberapa bulan. Tepat di bulan ke-3, ada yang
terjadi, tak diduga, dan tak mampu dihindari.

***

"Vita!" Pekik Arga yang melihat Vita terduduk lemas dan bersender di dinding beton.

"Vita?" Panggil Arga sambil mendekati Vita.

Vita menutup wajahnya dengan kedua tangan, ia tengah terisak hebat. Apalagi luka serta lebam di kepala
Vita mengeluarkan darah yang tak sedikit.

"Dek." Arga mencoba memegang pundak Vita.

Gemetar, tubuhnya bergetar hebat.

Arga semakin mengeratkan pegangannya pada pundak Vita, mencoba membuat gadis itu berhenti
gemetar.
Kemudian tanpa memperdulikan apapun, Arga segera menarik tubuh Vita kedalam
pelukannya.Membenamkan kepala Vita ke dada bidangnya, dan ia peluk erat gadis malang itu.

Arga dapat merasakan getaran tubuh Vita tak hilang sedikitpun, bahkan ia merasakan basah di dadanya.
Arga tahu Vita menangis, namun anehnya tak ada suara yang terdengar.

"Ta, kalo Vita mau nangis, menangislah. Kalo mau teriak, teriaklah. Disini Vita bisa keluarkan suara tanpa
ada yg bisa melarang." Pujuk Arga.

Tak lama, Vita pun mengeluarkan suaranya. Ia meraung² menangis dalam pelukan Arga, bahkan
tubuhnya semakin bergetar hebat. Segera Arga peluk lebih erat gadis dengan pakaian sekolah yang
sudah lusuh itu. Arga membiarkannya selama beberapa waktu. Mengingat bahwa Vita telah dianiaya
sedemikian tragisnya oleh anak dari sekolah lain itu.

Arga berusaha menenangkan Vita dengan membelai rambut Vita, hingga mengecup tangan Vita. Namun
didalam hatinya, Arga merasa begitu marah. Ia bertekad akan membuat cewek gila itu masuk penjara!

"Sakit, ya? Yang mana yang sakit?" Tanya Arga lembut.

"Se-semuanya." Jawab Vita disela tangisannya.

Sambil terisak², perlahan tubuhnya tak gemetar lagi. Tangisannya pun sudah mereda. Arga melepaskan
pelukannya. Kemudian ia tatap lekat² mata sembab Vita.

"Vita bisa berdiri?" Tanya Arga.

Vita kembali menangis, saat dirasakannya kakinya tak mampu digerakkan lagi.
"Ga papa kok, sini kakak gendong." Ucap Arga tersenyum, ia tak mau Vita panik karena kakinya tak
mampu berjalan.

Arga pun mengangkat tubuh Vita dengan gaya bridal style. Vita melingkarkan tangannya ke leher Arga,
bahkan ia memeluk erat karena benar² merasa takut.

"Permisi." Ucap Arga saat melewati keramaian.

Keramaian yang terjadi karena seluruh murid sudah tahu tentang kabar penganiayaan Vita. Yang Arga tak
suka adalah bukannya membantu, semua orang itu hanya berjejalan tak jelas untuk menonton sang
korban. Benar² bodoh ...

"Arga, bawa kemari, nak. " Ucap Bu Wardah yang meminta Arga membaringkan Vita diatas kasur
bersprei putih polos itu.

"Tolong, bu. Kepala Vita berdarah banyak banget." Ucap Arga sambil membaringkan Vita dengan hati².
Vita meringkuk kesakitan saat ia dibaringkan terlentang.

"Aw." Ringis Vita. Lagi² ia mengeluarkan air mata karena tiba² merasa sakit dibagian perutnya.

"Vita, ayo tenang dulu, nak." Ucap Bu Wardah sambil membersihkan luka di kepala Vita dengan kain
basah.

"Sakit." Gumam Vita pelan.

Arga mendekatkan wajahnya ke wajah Vita.

"Apa yang sakit, Ta?" Tanya Arga pelan nan lembut. Tampak wajah begitu khawatir.
"Perut, kepala. Sakit semua." Jawab Vita pelan.

Arga mengacak rambutnya frustasi. "Bu, ini sudah ga mampu diobati disekolah. Kita bawa Vita kerumah
sakit, bu. " Saran Arga.

"Sebentar, ibu telepon Pak Emdi. " Ucap Bu Wardah meraih telepon di saku bajunya. Pak Emdi adalah
supir sekolah yg bertugas menyupir mobil yg sekolah sediakan di situasi darurat spt ini.

"Pak Emdi, segera bawa mobil ke depan UKS. Ada keadaan darurat." Ucap Bu Wardah singkat. Yang
diseberang telepon hanya mengiyakan dengan sigap.

"Pak Emdi akan dtg sebentar lagi." Ucap Bu Wardah, yang kini mengusap² telapak tangan Vita, berusaha
membuatnya selalu hangat.

"Kapan, bu?" Ucap Arga yg panik setengah mati.

Kemudian Arga mengangkat tubuh Vita yg sudah tak sadarkan diri dengan gaya yg sama, lalu ia berlari
menerobos keramaian. Waktu itu berharga, jika satu detik saja terlewatkan, Vita bisa hilang, dan Arga tak
mau itu terjadi.

Tepat setelah Arga membawa Vita keluar UKS, mobil sekolah telah parkir didepan UKS. Arga pun segera
masuk kemobil, dan membaringkan Vita disebelahnya dengan kepala berada dipangkuan Arga. Disusul
Bu Wardah untuk terus memberikan pengobatan pertama agar kondisi Vita tak memburuk. Pak Emdi
pun langsung memacu mobil.

Sepanjang perjalanan, Arga terus menggenggam tangan Vita. Dengan sekelibat doa ia lafalkan agar Vita
akan baik² saja. Tiba² Arga melihat setetes air mata keluar dari mata below Vita. Arga pun menyeka air
mata itu, dan teringat dengan video yg menampilkan adegan kekerasan siswi sekolah lain sedang
menghajar Vita. Ia jadi geram, dan ingin sekali rasanya menghajar balik sipelaku.
"Bu, saya mohon tindaklanjuti kasus ini. Saya bisa pastikan bukan nama sekolah kita yg akan tercoreng.
Kejahatan apapun bisa terjadi bagaimanapun caranya, walau kita sudah memberikan keamanan ekstra.
Jadi saya mohon, biarkan Vita mendapat keadilan, bu. Tuntut cewek gila itu, saya mohon. " Pinta Arga
memelas, dengan sedikit menyindir keegoisan sesaat Bu Wardah tadi.

"Kamu punya bukti?" Tanya Bu Wardah agak canggung.

"Punya, bu. Videonya, video kejadian itu." Balas Arga.

"Video? Darimana?"

"Nevan. Dia ngasih saya video itu. " Balas Arga dengan suara yg lemah.

"Kok bisa dia yg kasih?"

"Dalam keadaan panik, Nevan datengin saya dan bilang saya harus ke belakang sekolah. Saya fikir Nevan
bakal ngajak saya berantem disana. Makanya saya nolak. Terus dia ngelempar handphone nya dan
nyuruh saya liat video yg ada di file hp nya. Habis itu dia pergi. Terus ..." Ucap Arga menggantung.

"... Saya langsung datengin wc ketika selesai nonton video itu. Dan ketika dtg, Vita udah babak belur,
bu." Ucap Arga hampir menangis. Jika saja ia tak cepat menyeka air matanya, mungkin Bu Wardah akan
mengetahui bahwa murid kesayangannya inu begitu lembut nan lemah jika sudah mengkhawatirkan
wanita kesukaannya.

"Lalu, dimana Nevan skrg?" Tanya Bu Wardah.

"Nevan?" Arga mulai mengingat itu. Setelah melempar hp nya, Nevan tak lagi tampak. Bahkan ditempat
kejadian itu, cewek gila yg jadi pelaku pun tak terlihat. Mau menelepon, tapi Argansadar ponsel Nevan
ada dengannya. Raefall pun mengacak rambutnya frustasi. Namun ia kembali menggenggam tangan Vita,
ia tak mau kehilangan Vita-nya itu.

{|}
Arga dipanggil ke ruang osis, nevan manggil vita dwi, vita keluar dari wc dan Nampak
nevan (rooftop)arga nengok nevan dengan vita, ngajak taruhan,
Secepat kilat, Vita beranjak dari kasur. Membuka lemari dan langsung mencomot satu
dress kaus dan memakainya. Vita hanya memakai bedak bayi secara rata ke seluruh wajah.
Bahkan, lip glos sekalipun tidak ia pakai.

Vita menggerai rambutnya. Ia juga langsung memakai sepatu, tanpa kaus kaki. Ribet,
pikirnya. Setelah selesai berdandan dengan the power of kepepet, Vita pun memandang dirinya
dicermin.

Full body. Cermin itu memantulkan bayangan Vita. Sejenak, Vita mematung,
memerhatikan seluk beluk pakaiannya. Sudah pantaskah dilihat Arga?

“Setiap kali melihatmu menangis, entah kenapa hatiku seolah ikut merasakannya.”
Arga telah mandi dan mengganti pakaian dengan celana jeans dan baju kaus santai. Arga menyisir
rambutnya asal saja, karena mau diapakan pun, Arga tetap terlihat tampan.

Arga menatap dirinya sendiri didepan cermin yang besar dan mampu memantulkan bayangan dirinya
secara penuh. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Arga memutar badan sambil terus
memperhatikan cermin, guna memastikan penampilan sudah baik.

Lalu sambil bersenandung pelan, Arga meraih benda pipih yang tadinya tergeletak di nakas dan
menggunakannya sembari berjalan keluar kamar.

Arga menuruni tangga dan langsung mendaratkan pinggul ke sofa ruang keluarga. Ia tidak berniat
menonton atau membaca majalah, namun ingin mengirim pesan untuk sekarang.

Arga geser layar benda pipih itu. Setelah membuka password, Arga mulai mengetik pesan disalah satu
layanan pesan berbasis internet.

Me

Hai, Ta

Arga menghembuskan nafas gugup ketika melihat bahwa pesannya memiliki dua ceklis, yang berarti
pesan itu sudah masuk dan akan dibalas.

Arga langsung duduk tegak saat melihat Vita mulai mengetik balasan. Tiba- tiba Arga jadi mules, efek
gugup.

Avita

Iya, kak?

Diam- diam, Arga menarik kedua sudut bibirnya ke atas.


ME

Makasih ya tadi udah

bantu perbaiki mobil

kakak�

Tak butuh waktu lama, pesan itu langsung di read dan Vita balas.

Avita

Iya sama- sama, kak:)

ME

Lagi ngapain, Ta?

Avita

Lagi uring- uringan, kak

Soalnya gak lagi

ngapa- ngapain, hehe

ME

Oh, udah makan?

Avita

Udah, kak
ME

Oh gitu

Oiya Ta, kakak boleh

minta sesuatu, gak?

Avita

Boleh, kak

Mau apa?

ME

Karena kamu udah

bantuin kakak, kakak

mau ngajak kamu

jalan keluar, mau?

Diseberang sana, Vita yang tengah minum pun langsung tersedak. Matanya membelalak tak percaya.
Jadi, Arga mengajaknya kencan atau apa?

Avita

Iya, boleh, kak

Kapan?

Arga tersenyum lebar, menampakkan deretan giginya yang rapi. Seakan ada kupu- kupu yang
beterbangan didalam perutnya, menggambarkan betapa bahagianya Arga saat ini.

Arga langsung menelepon Vita, yang tak lama langsung diangkat oleh gadis itu.
"Hai, Ta. Kakak otw ke rumahmu, ya. Bye!" Setelah berujar demikian, Arga menutup panggilan dengan
cepat. Ia tidak mengerti, kenapa jantungnya berdetak berkali- kali lebih cepat dan membuatnya gugup
setengah mati.

"Tenang, Arga." Ucapnya sambil menghela nafas pelan.

"Ngajak Vita jalan pake apa, ya? Motor? Bisa, sih. Tapi entar dandanan dia jadi lusuh, gimana? Tapi kalo
pake mobil, entar malah mogok lagi. Kan kasihan Vita kalo mukanya jadi cemong lagi, walau malah
ngegemesin, sih. Ya udah deh, motor aja." Ucap Arga bermonolog sendiri.

“Meski aku bukan satu- satunya yang pernah membahagiakanmu, tapi aku sangat
berharap predikat terbaik bisa kamu tujukan untukku.”
“Ehem. Batuknya jomblo yang kurang belaian.”

Tangan Vita ditarik dengan cekatan hingga gadis itu langsung berdiri sempoyongan. Vita
menyorot kaget sebuah tangan yang menggenggam pergelangan tangan kanannya Sret!
“Perasaan cinta itu murni, berasal dari hati. Jadi, tidak peduli siapa kamu di masalalu. Karena
kini aku jatuh cinta padamu.”

-Avita Dwi Fabdilla-

Dengan satu kali tarikan, Vita terhuyung ke belakang. Ia mengerjapkan mata beberapa
kali, hingga menemukan punggung kokoh yang menutupi tubuhnya yang mungil.

“Nevan?” Vita bersuara dengan bingung. Ia menyelisih pakaian dan postur tubuh cowok
di depannya ini dengan teliti. Ia yakin, sosok ini pasti kekasihnya.
Kakak seneng kok bisa merhatiin kamu

Arga Keano Rajendra

••

TIN!!!

Seseorang menarik Vita dari tempat ia berdiri. Vita membuka mata dengan kaget.
Lebih kaget lagi setelah mendongak, dan Vita mendapati Arga tengah menatapnya sambil mencengkram
pelan siku Vita. Vita balas menatap dengan tatapan bingung.

"Ta? Kamu gpp, kan? Ada yang sakit? Kok kamu gak liat- liat sih, dek." Ucap Arga bertubi- tubi, dengan
nada bicara dan raut wajah yang khawatir.

"Oh, ma- maaf, kak. Aku gak liat." Balas Vita.

" Kamu ... demam? " Tanya Arga, setelah merasakan tubuh Vita panas.

" Makasih ya, kak. Udah bantuin aku. " Ucap Vita tersenyum simpul.

" Itu bukan jawaban dari pertanyaan kakak, Ta. " Ucap Arga.

" Hm?"

" Kamu demam? " Tanya Arga dengan penekanan di setiap katanya.

" Gpp kok, kak. Ini Cuma sakit biasa, nanti siang juga pasti baikan. " Ucap Vita tersenyum.

Tak lama, Febri menghampiri Vita. Matanya terfokus pada tangan Arga yang memegang siku Vita.
Kemudian Febri segera mengalihkan pandangannya.

" Hai, Kak Arga. " Sapa Febri canggung.

" Hai. " Jawab Arga singkat sambil tersenyum sekilas.


" Ya udah, kami ke kelas dulu ya, kak. Assalammualaikum. " Ucap Vita sambil menarik tangannya dari
pegangan Arga.

Kemudian Vita melangkah sambil diikuti Febri.

***

Kegiatan materi di gugus enam sudah dimulai sejak satu jam yang lalu. Kakak MOPDB yang bertugas hari
ini bukan Arga, dan itu membuat Vita tak semangat. Di saat lesu seperti ini, ia hanya butuh satu
senyuman manis dari Arga. Oke, lebay:v

"Sekarang pukul 09.00 . Selamat beristirahat." Bel khas Indonesia High School berbunyi.

Vita menenggelamkan wajah pada kedua tangannya. Ia benar- benar lemas dan ingin berbaring di rumah
sambil ditemani sang Mama. Ia menyesal karena tadi ngotot ingin sekolah. Kini kondisinya semakin tidak
baik.

" Avita, ke UKS, yuk. " Ajak seseorang. Dari suara, Vita kenal itu siapa.

" Gak, ah. " Balas Vita dengan suara yang terdengar samar- samar, apalagi suara memang sedang serak.

Rilya mendengus, sebenarnya ia sudah menebak Vita takkan mau ke UKS.

Kemudian Rilya menengok ke seseorang disampingnya, yang tadi memaksa Rilya untuk bertanya pada
Vita. Orang itu menggigit bibir bawahnya.

" Dek, kakak anter ke UKS, mau? " Ucap seseorang itu.
Dari balik lipatan tangan, wajah Vita kaget. Ia kenal betul suara ini. Suara yang sangat suka Vita dengar.
Suara baritone namun lembut di hati.

Vita mendongakkan wajahnya pelan- pelan. Lalu ia tersenyum simpul ketika melihat Arga.

" Itu ditawarin sama Kak Arga, malah senyum- senyum aja. " Ucap Febri yang duduk disebelah Vita.

Vita segera menghadiahkan pelototan gratis pada Febri, hingga yang dipelototi memalingkan wajah.

"Makasih, kak. Tapi, kayaknya gak usah, deh." Ucap Vita sambil tersenyum.

Berusaha semangat didepan Arga, namun wajahnya yang pucat tentu tak bisa membohongi.

"Hmm, oke." Jawab Arga singkat, tersenyum, lalu pergi.

Febri dan Rilya saling berpandangan, bingung. Hanya sesingkat itu? Kenapa Vita nya tak digendong aaja
biar mau ke uks? Masa cuma nawarin, ditolak terus pergi? Kan tak romantis. Pertanyaan usil itu hilir
mudik dipikiran mereka.

Sementara Vita jadi merasa tak enak. Apakah Arga tersinggung akan penolakannya? Tapi, Vita rasa Arga
bukan tipe orang yang mudah tersinggung. Lantas, mengapa Arga besikap sedingin itu? Ah, Vita jadi
semakin pusing.

•••

Vita kembali merebahkan kepalanya diatas meja. Karena bosan dan lemas, Vita bersenandung pelan
menyanyikan lagu berjudul Friend . Nyanyiannya kali ini kurang merdu karena suaranya yang tengah
dalam kondisi tak baik.
Febri dan Rilya pergi ke kantin. Sebenarnya tadi salah satu dari mereka hendak tinggal untuk menemani
Vita. Namun pikiran itu berubah ketika Vita menyebut mereka " lebay". Akhirnya mereka pergi. Bukan
karena tersinggung, namun karena mereka paham, Vita tak mau merepotkan orang lain.

"Kalau lagi serak ga usah nyanyi, dek. Nanti suaramu hilang." Ucap seseorang dengan suara berat.

Vita mendongakkan wajah, dan membulatkan matanya. Kak Arga ... lagi?

"K- kak Arga, ngap...-"

"Syut." Ucap Arga meletakkan telunjuknya tepat didepan bibir Vita. Hingga tubuh gadis itu seakan
membeku.

"Ini makanan sama obat deman buat kamu. Makanannya diabisin dan obatnya diminum, ya." Ucap Arga
sembari meletakkan kantung plastik ke atas meja.

Vita masih diam, tak melepaskan padangannya dari Arga. Orang tampan memang selalu bisa
menghipnotis.

"Eng- enggak usah, kak. Terlalu merepotkan." Ucap Vita segera setelah Arga melambaikan tangan tepat
didepan matanya.

Arga mengernyitkan dahi. "Kamu kan lagi sakit, Ta. Kalau gak mau ke UKS, biar UKS nya aja yang datengin
kamu. Iya, kan?" Ucap Arga tersenyum.

"Tapikan merepotkan kakak." Ucap Vita pelan.


"Siapa bilang?" Balas Arga. Dengan ringan, tangannya terulur untuk menyentuh ubun- ubun Vita.

"Kakak seneng kok bisa merhatiin kamu." Sambungnya.

BLUSH!

Bisa dibayangkan wajah Vita sekarang. Bukan hanya pipinya yang memerah, tapi seluruh wajahnya.
Jantungnya berdebar secara berlebihan, kayak habis lari marathon.

"Ya udah, ini makanannya. Kamu harus makan didepan kakak." Ucap Arga.

Ia mengambil sandwich dari kantung plastik bawaannya tadi, lalu menyodorkannya pada Vita.

Vita hanya menerimanya dengan kikuk, sambil berusaha menetralisir kegugupannya.

Arga mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Sesekali ia melirik Vita yang malan dengan perlahan.

Arga tersenyum tanpa sadar. Jika dilihat lebih dekat, Vita punya mata yang indah, hidung mancung, alis
yang tebal dan bibir yang merah alami. Cantik!

"Uhuk uhuk!"

"Eh, Ta!" Arga gelabakan mengambil air mineral dari kantung plastik, membukanya dan memberikannya
pada Vita.

Vita menerima air itu dengan cepat, lalu ia meminumnya dengan rakus.
"Udah baikan?" Tanya Arga. Vita mengangguk.

"Kamu bisa makan obat pil? Atau mau yang cair aja?" Tanyanya lagi.

"Hmm, yang pil bisa kok, kak." Balas Vita.

Arga mengambil satu set obat demam dengan berbagai macam merek terkenal.

" Biasanya kamu minum yang mana?" Arga memperlihatkan semua obat ditangannya

"Yang (sensor), kak."

Arga segera membuka bungkus obat yang dimaksud Vita. Lalu memberikan satu butir pada Vita.

"Ini minum." Titah Arga.

Lagi- lagi Vita hanya bisa mengangguk, dan melaksanakan apa yang Arga suruh.

"Sekarang pukul 09.20 . Dimohon untuk kembali ke kelas. Selamat belajar." Bel iyu berbunyi lagi.

" Ya udah, kakak balik, ya. Kamu baik- baik disini. Kalo kira- kira gak kuat, lambaikan tangan." Ucap Arga
ngawur.

"Emangnya uji nyali?" Tanya Vita menahan tawanya.


Arga terkekeh. "Kalo gak kuat, kasih tau kakak MOPDB nya aja, oke?" Ucap Arga menyentuh puncak
kepala Vita. Lalu ia pergi.

Kali ini ia lebih tenang saat Arga menyentuh kepalanya. Sepertinya sudah mulai terbiasa.

###

Vita datang lebih awal di kegiatan MOS hari kedua ini. Ia tak mau terlambat seperti kemarin. Untung saja
kemarin Arga mau menyelamatkan Vita dari hukuman kedua kakak MOPDB itu.

Tapi semakin sore, ia semakin merasa tak enak badan. Vita pernah memegang dahinya untuk mengetes
apakah tubuhnya panas atau tidak, dan ternyata panas. Berarti Vita masih demam. Namun ia tetap
memaksa untuk ke sekolah, entah alasan apa yang membuatnya bersikukuh.

Vita melirik kanan kiri, mencari para sahabatnya, namun hasilnya nihil. Entah mereka yang datang
terlambat atau Vita yg datang kecepatan. Tapi nyatanya tetap saja Vita duduk sendirian.

Di taman baca, Vita dengan baju kaos dan celana training hanya duduk sambil mengalunkan lagu
kesukaannya. Handphone ditangannya tak menarik sama sekali, hingga Vita lebih memilih mengedarkan
pandangannya keseluruh penjuru sekolah.

Lalu ia menghembuskan nafas, bosan.

Vita mencari sesuatu yang bisa ia mainkan. Sesuatu yang bisa membuatnya tidak bosan lagi. Tapi apa?

"Satu satu, aku suka kamu. Dua dua, kamu suka dia. Tiga tiga, kalian pacaran. Satu dua tiga, akunya
nyesekkan."

Entah apa yang terjadi dengan otak Vita hari ini, ia tiba- tiba jadi ngawur dan aneh.
"Ih! Bosen!" Vita berdiri, lalu dengan langkah gontai, ia pergi kemana saja. Ke tempat manapun yang
membuatnya tidak bosan.

Ke ruang OSIS mungkin? Vita berharap Arga akan ada di sana.

•••

"Ayo ayo semua peserta MOPDB harap kumpul dan membentuk barisan seperti kemarin. Ada misi
penting yang harus kalian kerjakan." Ucap salah satu kakak MOPDB manis yang bicara menggunakan toa
orang demo.

Seluruh peserta pun kompak membentuk barisan yang rapi dan runtut. Tak memerdulikan panasnya
terik matahari yang begitu terasa di aula outdoor ini. Semangat mereka tak luntur meski merasa lelah.

"Baiklah. Bisa dengar kakak?" Tanya Sisi.

"Bisa!"

"Oke. Kakak akan beritahu kalian apa yang harus dilakukan. Jadi, hari ini, kami punya misi untuk kalian.
Sebelumnya, ada yang bisa menebak, misi apa yang kakak maksud?" Ucap Sisi.

"Nebak apa, kak? Kalo nebak perasaan kakak saya bisa!" Teriak seorang cowok dari dalam barisan.
Membuat beberapa teman didekatnya menjitaki kepala anak cowok itu.

"Elah si kambing emang. Kak Sisi itu incaran gue! Pala lu gue jejelin didalam tanah kuburan baru tau!"
Ucap cowok yang lain.

"Bangke lu! Kak Sisi punya gue!"


"Enggak! Punya gue!"

"Punye lu apaan, dah? Lu kira barang?!"

"Bodo!"

"Jangan ngegas, monyet."

Tanpa diduga, keributan tiba- tiba terjadi. Beberapa peserta MOPDB cowok saling melempar ucapan
yang agak kasar. Intinya hanya memperebutkan Sisi.

"Tenang!" Teriak Sisi.

Hening.

"Bagus. Denger, gue ini udah punya pacar, jadi lu pada gak usah deketin gue." Ucap Sisi yang sontak
membuat semua peserta bersorak heboh.

"Oke. Langsung aja lah ya, toh kalian dikasih kesempatan gak digunakan dengan benar." Ucap Sisi
tersenyum miring.

"Kasih aku kesempatan lagi, kak Sisi. Aku janji gak akan nyia- nyiain kakak." Ucap salah satu cowok dari
barisan.

"Udah, bege! Udah!" Sentak yang lain.


"Gak usah baperan, anjir!" Timpal mereka.

Lalu tak lama Arga datang dengan wajah tegas, yang memberi efek ngeri bagi yang melihatnya.

Arga mengulurkan tangannya. Sisi mengangguk lalu memberikan mic pada Arga.

"Bisa tenang sekarang?" Tanya Arga, yang dijawab dengan anggukan dari seluruh peserta MOPDB.

"Baik, kakak yang akan beritahu apa misinya. Kalian disuruh untuk mencari botol yang disebar di
halaman sekolah ini. Tapi, jelas tidak akan semudah itu. Karena botol itu diletakkan ditempat yang sulit
diprediksi. Sampai di sini, paham?" Tanya Arga.

"Paham!" Jawab seluruh peserta serentak.

"Selanjutnya, silahkan kalian lihat kertas yang ada didalam botol itu. Apapun yang kalian dapat, jangan
kalian tukar. Mengerti?" Tanya Arga lagi.

"Mengerti!"

"Dan yang terakhir, silahkan minta tanda tangan dari pemilik nama dikertas yang kalian dapat. Baik,
itulah misi kalian hari ini. Semuanya dapat dipahami?"

"Paham, kak!"

"Are you ready?" Tanya Arga, yang dijawab penuh semangat. "Yes, i'm ready!" Jawab seluruh peserta
MOPDB.
"Baiklah, silahkan memulai!"

•••

Vita berjalan sendirian menelusuri halaman sekolah elite ini. Sambil ia mencari- cari Febri dan Rilya yang
sampai sekarang tak kelihatan batang hidungnya. Lihat saja nanti, Vita akan memarahi mereka habis-
habisan.

Tak sengaja, Vita melihat botol plastik yang tersembunyi diatas pohon yang cukup tinggi. Vita
memicingkan matanya untuk memperjelas objek yang ia lihat. Setelah cukup yakin, akhirnya Vita pun
tersenyum. Di saat yang lain masih sibuk mencari, ia sudah menemukannya.

Tapi kemudian Vita mengerutkan dahinya, berpikir bagaimana caranya untuk mengambil botol diatas
ketinggian itu? Vita menengok ke dahan di pohon itu, memungkinkan sih untuk dipanjati. Tapi masa Vita
harus memanjat untuk mengambil botol itu?

"Selain dipanjat, caranya ngambilnya gimana, ya?" Tanya Vita pada dirinya sendiri.

Ia terdiam beberapa saat sambil terus memandangi pohon dihadapannya.

Tiba- tiba Vita tersenyum lebar, seakan sebuah lampu keluar dari kepalanya. Ia punya ide untuk
mendapatkan botol itu tanpa harus dipanjat.

Vita mengambil beberapa buah batu, satu batu ia lemparkan keatas, berusaha mengenai botol itu.
Namun lemparannya meleset.

Vita mencoba untuk kedua kalinya, batu dengan ukuran yang sama kembali ia lrmpar, berusaha agar kali
ini tak meleset. Namun hasilnya tetap sama, batu itu nyaris mengenai botolnya.
Lalu dengan batu ketiga, Vita memicingkan matanya dan berusaha mengambil ancang- ancang agar kali
ini sasarannya tepat. Dalam hitungan ketiga, Vita kembali melempar batu itu, dan botolnya pun terjatuh.

Vita hampir berteriak senang ketika ia berhasil menjatuhkan botol itu. Namun ia menutup mulutnya agar
pekikannya tak terdengar. Bisa malu ia kalau jadi pusat perhatian.

Vita pun segera mengambil botol plastik itu, dan membukanya. Lalu ia ambil kertas didalamnya.
Sebenarnya Vita agak ragu membuka lipatan kertas ini, karena siapapun kakak MOPDB yang akan ia
mintai tanda tangan pasti akan mempermainkannya dulu. Karena sepertinya sudah jadi kebiasaan ketika
senior mengerjai junior.

Dengan terpaksa Vita membuka lipatan itu. Ia pun mulai mengeja satu persatu huruf dikertas itu.

" H-A-N-G-G-I? Hanggi?" Ucap Vita bingung. Yang mana itu Kak Hanggi? Dia cewek atau cowok? Gimana
mau minta tanda tangannya kalo orangnya aja gak tau yang mana?!

Vita menoleh kekanan dan kekiri, sebenarnya ia juga bingung bagaimana harus mencari seseorang
bernama Hanggi ini. Bertanya pada siapa? Para kakak MOPDB? Bolehkah?

"Permisi, kak. Saya udah dapet botolnya, dan setelah saya buka, ada nama Kak Hanggi disana. Tapi Kak
Hanggi itu yang mana, ya?" Tanya Vita sesopan mungkin, pada para kakak MOPDB yang sedang
berkumpul di aula.

"Hanggi? Hanggi bukannya gak masuk, ya? " Tanya kakak MOPDB yang Vita ingat adalah orang yang
hampir menghukumnya kemarin.

Kakak MOPDB yang sedang duduk sambil menulis pun mendongak. " Iya. Coba kamu ambil botol yang
lain aja. Karena Hanggi hari ini ga dateng, jadi dia ga bisa kasih ttd." Ucapnya.

Vita menghela nafas, dalam hati ia menggerutu, kalo gak dateng kenapa namanya dimasukkin ke botol!
Vita hanya pasrah akan perintah dari kakak MOPDB didepan, toh acara ini ditangani mereka, jadi ya
semaunya mereka saja.

Vita memilih botol yang tersusun rapi di meja. Sepertinya botol- botol itu tidak disebar ke seluruh
penjuru sekolah.

Dengan ringan, tangan Vita mengambil salah satu dari botol itu. Lalu ia membukanya, dan terbelalak
kaget.

"Dapet siapa?" Tanya kakak MOPDB sambil mendekati Vita.

"Ah, ini...- " Vita menjawab dengan gelagapan.

"Oh, dapet AK." Ucap nya lagi. Vita meneguk ludah, Kak Arga? Batinnya.

" Ya udah, sana kamu cari AK dan minta tanda tangannya." Ucap kakak MOPDB itu.

Vita mengangguk pelan, pasrah saja lah, lagian kan sudah cukup kenal sama Arga, dia tak seperti senior
yang lain. Kakak senior seperti Arga pasti akan memberikan tanda tangannya dengan mudah.

•••

Vita mencari Arga hingga ke ruang OSIS, karena pikirnya ketua osis pasti akan sibuk di ruang OSIS. Vita
memasukkan kepalanya sedikit sambil melihat ke dalam, berharap matanya akan menangkap sosok Arga.
Namun hasilnya nihil, rupanya Arga tidak ada disana. Dengan rasa kecewa, Vita pun meninggalkan ruang
OSIS.
Vita berbalik sambil menghela nafas berat, namun tiba- tiba ia menabrak seseorang.

"Eh, hati- hati." Ucap seseorang itu sambil memegang pundak Vita.

Vita mendongak untuk melihat siapa orang yang telah menabraknya.

"Hai, Ta. Kamu ngapain disini?" Tanya Arga segera, setelah menyadari bahwa orang yang tak sengaja ia
tabrak adalah Vita.

Vita membulatkan matanya, sambil meneguk ludah ia merasakan Arga masih memegang pundaknya.

" Nya- nyariin kakak." Balas Vita gugup. Vita meremas- remas ujung baju kaosnya.

"Nyariin kakak? Mau ngapain?" Tanya Arga.

"Anu kak, itu- tangan kakak- mmh." Vita bingung bagaimana cara memberitahu Arga untuk melepaskan
tangannya dari pundak Vita.

Melihat gelagat Vita, Arga pun menggeser pandangannya. Dan ia pun sadar, ia masih memegang pundak
Vita.

"Ups, maaf, Ta." Ucap Arga segera mengangkat tangannya. Vita akhirnya menghela nafas lega.

Ia pun tersenyum pada Arga. "Iya gpp, kak. Ini aku mau minta tanda tangan kakak." Ucap Vita sambil
menyerahkan kertas yang ada di botol tadi.

"Ttd?" Tanya Arga.


"Kamu dapet nama kakak?" Tanyanya lagi. Vita mengangguk.

"Hmm kalo mau ttd kakak, harus ngelakuin satu hal." Ucap Arga tersenyum.

Vita melongo, ia tak menyangka Arga memberikan persyaratan agar ia bisa mendapatkan tanda tangan
Arga.

"A- apa, kak?" Tanya Vita terbata- bata. Ia khawatir Arga akan minta macam- macam.

Namun segera ia buang pikiran negative thinking itu, Arga tak mungkin melakukannya.

"Buka handphone mu." Perintah pertama Arga. Vita mengerutkan dahinya, mau apa? Batinnya.

Arga mengangkat bahu. "Kalau gak mau, ya sudah." Ucap Arga hendak meninggalkan Vita.

"Eh tunggu dulu, kak. Iya mau. " Cegat Vita. Ia pun meraih handphone dari saku celananya.

"Udah." Ucap Vita. Arga tersenyum.

"Catet apa yang kakak ucapkan." Perintah kedua Arga. Vita mengangguk.

"081234567890." Ucap Arga. Dengan cepat, Vita mencatat nomor itu.

"Lalu?" Tanya Vita.


"Save ya, itu nomor kakak. Setelah di save, kamu chat kakak, biar nanti nomormu juga kakak save."
Perintah Arga ketiga.

Vita membulatkan matanya lagi, apa ia baru saja bertukar nomor ponsel? Ia, dan Arga? Seriuskah?
Nyatakah ini?

Vita masih tak mempercayai apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan ia tak habis
pikir. Arga orangnya tak ketebak banget.

" Ya udah, sini kertasnya." Ucap Arga mengambil kertas dari tangan Vita. Kemudian ia memberikan tanda
tangannya, lalu mengembalikan kertas itu pada Vita.

"Kakak duluan, ya. Masih ada beberapa hal yang harus kakak kerjakan." Ucap Arga tersenyum.

Vita mengangguk pelan sambil mengambil kertas dari tangan Arga. Arga pun pergi meninggalkan Vita
yang masih mematung.

Jantung ini, tak bisakah berdetak normal?

•••

Vita kembali ke lapangan. Ia dapat melihat antrian panjang didepan meja kakak MOPDB yang bertugas
memeriksa tanda tangan yang peserta dapatkan.

Vita menghela nafas sambil mengekor diantrian panjang itu. Sebenarnya Vita agak malas mengantri, ia
juga benci karrna hari cukup panas. Namun ini tetap tugas, jadi ia harus rela melakukannya.

Beberapa saat kemudian, antrian panjang itu memendek. Tinggal tiga orang didepan Vita, dan sisanya
mengekor dibelakang Vita.
Dua orang lagi dan setelah itu Vita bisa duduk sejenak untuk meluruskan kakinya. Vita menghela nafas
entah untuk yang keberapa kali.

Kemudian Arga datang dan menyapa semua kakak MOPDB didepan. Mereka tampak bercanda, mungkin
agar keadaan tidak terlalu tegang. Arga memang ahli dalam menghidupkan suasana.

Lalu kakak MOPDB yang bertugas memeriksa tanda tangan itu berdiri, dan mempersilahkan Arga untuk
menggantikannya. Arga sempat menolak, namun mereka meyakinkan Arga.

"Lah AK, gpp. Ini gue mau urus yang lain. Lo diem disini aja sambil meriksa ttd dari peserta. Kalo lo yang
kerja mulu, yang lain pada ngapain?" Ucapnya.

Arga tersenyum sambil mengangguk. Akhirnya ia duduk dan mulai memeriksa tanda tangan dari peserta
MOPDB.

Vita agak menggerutu kesal ketika melihat Arga yang memeriksa tanda tangan. Padahal setelah orang
didepannya selesai, giliran Vita yang maju. Jantungnya saja masih lemah karena kejadian tukaran nomor
ponsel tadi, dan sekarang, Vita harus berhadapan lagi dengan Arga. Jika sudah berhadapan dengan Arga,
jantung Vita berdetak tak teratur lagi. Sepertinya Vita harus terbiasa dengan hal ini.

Vita pun maju dan menyerahkan kertas itu pada Arga. Arga yang melihat tanda tangan itu tersenyum.
Lalu langsung memberi tanda ceklis sebagai tanda bahwa tugas sudah dipenuhi. Arga pun mendongak.

"Selanjutnya." Ucap Arga. Vita pun cepat- cepat minggir dan mempersilahkan orang dibelakangnya untuk
maju.

Untung saja kali ini Arga tidak melakukan apapun yang membuat jantung Vita kembali melemah. Vita
pun pergi dari sana, dan kembali mencari Rilya dan Febri, dimana sih mereka?
Vita akhirnya berjalan menjauhi antrian itu. Tidak tahu kemana langkah kaki akan membawanya. Vita
hanya berjalan tanpa arah.

Panas yang terik membuat kepala Vita berdenyat- denyut. Membuat gadis itu meringis sesaat. Vita
merasa dadanya sesak dan tubuhnya seakan hendak terbang terbawa angin.

Akhirnya Vita berjongkok. Entah dimana posisinya saat ini, ia tak peduli. Yang terpenting adalah segera
menetralisir rasa sakit ini. Walau setelah berjongkok, rasanya sama saja. Kepala Vita masih berdenyut.

"Dek, kamu kenapa?" Tanya seseorang yang dari langkahnya terdengar terburu- buru.

Vita mendongakkan wajah.

"Astaga, Ta! Wajahmu kok pucet?" Arga segera mendekati Vita.

"Kenapa, AK?" Tanya Sisi yang langsung menghampiri Arga.

"Lo anak PMR kan?" Tanya Arga pada Sisi. Yang ditanya mengangguk.

"Gue bawa dia ke UKS, sisanya lo yang ngobatin." Titah Arga.

"Oke." Jawabnya.

Arga pun segera menuntun Vita berdiri. Lalu ia menggendong Vita dengan gaya bridal style, dan berjalan
secepat mungkin menuju UKS.
Arga mengabaikan banyak tatapan yang tak bisa ia mengerti. Tatapan yang dilayangkan semua peserta
MOPDB cewek yang cemburu akan prmandangan ini. Siapa sih yang akan suka melihay gebetannya
gendong cewek lain?

Arga membaringkan tubuh lesu Vita diatas brankar. Dan Sisi langsung menangani Vita. Menyiumkan
aroma minyak kayu putih hingga menggosok- gosok telapak tangan Vita.

Arga sendiri duduk dipinggir ranjang sambil terus memperhatikan Vita. Gadis itu tampak pucat, dan suhu
tubuhnya tinggi.

"Kayaknya dia demam tinggi, deh." Ucap Sisi.

"Iya, dari tadi pagi juga dia udah sakit." Balas Arga dengan mata yang tak lepas dari wajah manis Vita.

Sisi mengangguk. "Gue ambil kompres dulu, deh."

Arga menatapnya sekilas, lalu mengangguk.

•\•

Arga menyelipkan anak rambut Vita ke telinga, lalu mengusap lembut pipi Vita. Mata gadis itu masih
terpejam, tampak lemah. Arga menghela nafas, khawatir.

Arga menatap Vita lebih dekat, ketika Arga lihat Vita menautkan alisnya tak karuan.

Seperti gelisah akan sesuatu, namun enggan membuka mata.


"Kenapa, Ta?" Tanya Arga lembut.

Vita tak menjawab. Sejurus kemudian, ia mengigau. "Sakit."

"Yang mana?" Tanya Arga lagi.

"Ngh." Vita menggeliat tak nyaman.

"Sakit? Yang mananya, Ta?" Tanya Arga sekali lagi.

"Kepala." Balas Vita lirih.

Arga langsung duduk di sisi bankar Vita, lalu dengan gerakan lembut dan hati- hati, ia pijat kepala gadis
manis itu.

Arga memang tak terlalu ahli dalam hal ini, tapi ia tahu dasarnya. Jadi, Arga berharap Vita akan merasa
lebih nyaman setelah ini.

Vita menggigit bibir bawahnya gelisah. Ia selalu merasa tak nyaman jika sedang sakit. Jika sudah begini,
hanya Mama yang bisa menenangkannya.

"Ta, mau apa?" Tanya Arga pelan sambil terus memijat kepala Vita.

"Minum." Ucap Vita lemah.

"Iya, bentar, ya." Arga beranjak dari sisi bankar, lalu ia meraih cangkir dan mengambil air dari dispenser.
Dengan cepat, ia menghampiri Vita lagi.
"Sini, kakak bantu bangun." Ucap Arga sembari menggunakan tangan kirinya sebagai tumpuan kepala
Vita, hingga gadis itu bisa minum dengan posisi setengah berbaring.

Arga meminumkan air itu hati- hati. Ia tak mau kalau nanti Vita tersedak dan malah memperburuk
kondisinya.

"Udah?" Tanya Arga lembut. Vita mengangguk lemah.

Arga meletakkan gelas itu ke atas nakas, lalu ia membaringkan Vita dengan hati- hati lagi. Pokoknya, Vita
itu ibarat barang yang mudah pecah, hingga harus dijaga dengan sepenuh hati.

Sisi yang sempat keluar kini datang kembali, dengan membawa semangkuk air hangat beserta kain untuk
mengompresnya.

Dengan sigap, ia mencelupkan kain itu ke dalam air, mengurasnya lalu meletakkannya di dahi Vita.

"Gue jagain dia kok, AK. Lo gabung aja sama yang lain. Entar kalo ada apa- apa, gue kabarin." Ucap Sisi,
yang dibalas anggukan kecil dari Arga.

Ia tak melepaskan pandangan dari wajah pucat Vita. Baginya, ada sesuatu dari dirinya yang hilang karena
melihat kondisi Vita sekarang.

Tapi Arga sendiri tidak tahu apa itu.

Akhirnya, Arga keluar dari UKS dengan langkah berat. Bagaimanapun, ia tetap Ketua OSIS yang tak boleh
melalaikan tugas, apapun alasannya.

###
Kakak suka hujan. Karena hujan mampu memberikan kesenangan dan kepedihan secara bersamaan

Arga Keano Rajendra

•••

Sore itu, cuaca kurang bersahabat. Hujan turun dan menghentak setiap inci bumi dengan rakus. Padahal,
tadi terik matahari begitu menyengat.

Vita duduk diatas bankar UKS sambil memeluk dirinya sendiri dengan erat. Sesekali ia juga menggosok-
gosokkan kedua telapak tangannya. Melakuman alternatif apapun agar tubuhnya tidak kedinginan.

"Sini, aku peluk." Ucap Rilya yang baru saja masuk. Ia duduk disamping Vita dan langsung memeluk
tubuh ramping Vita.

Vita tersenyum sinpul menerima pelukan itu. Setidaknya, pelukan dari Rilya mampu mengurangi hawa
dingin yang kala itu menyerbak ke seluruh tubuhnya.

"Bang Denis gak jemput?" Tanya Rilya yang masih memeluk Vita.

"Gak tau. Dia pasti lagi kuliah." Jawab Vita. Rilya hanya manggut- manggut.

"Kalo lo sakit seharusnya gak usah ikut kegiatan sore, Vi. Lo yang lagi sakit gini bikin kita khawatir." Ucap
Rilya seraya melepas pelukannya.

Vita hanya nyengir dengan wajah pucatnya. "Iya, gue juga gak tau bakal separah ini. Biasanya demam
doang, gak pake sakit kepala." Jawabnya.
"Iya, deh." Rilya hanya menjawab malas.

"Lagian lo tadi dimana, sih? Si Febri juga. Gue cari gak nemu- nemu." Tanya Vita.

Rilya mengernyit, sedetik kemudian ia berucap."Oh itu, gue sama Febri nyari botol itu, loh. Kita nyari
sampe ke taman belakang sekolah. Dan anjirnya itu botol gak kesebar sampe kesana. Pusing gue mah
kalo inget itu." Balas Rilya sambil tertawa kecil. Vita mengangguk.

"Terus Febri sekarang kemana?" Tanya Vita lagi.

"Bang Yoland tadi jemput." Balas Rilya singkat.

"Jemput siapa?"

Rilya mendengus. "Tadi lo nanya siapa?"

"Febri." Balas Vita dengan tautan alisnya.

"Ya berarti Bang Yoland jemput...?" Rilya sengaja menggantung ucapannya agar Vita bisa
meneruskannya.

"Jemput siapa?" Vita bertanya dengan polos. Khas wajah yang tak tahu apa- apa.

Rilya menggerakkan tangannya seolah sedang mencakar wajah Vita. "Untung lo lagi sakit, Vi. Kalo enggak
udah gue ajak gulat lu." Sungut Rilya sebal.

Vita tertawa renyah, menyaksikan raut wajah Rilya yang terasa lucu baginya.
Sepuluh menit berlalu, dan hujan turun dengan ambigu. Terkadang begitu deras, lalu reda secara tiba-
tiba. Saat Vita dan Rilya hendak menuju parkiran motor, hujan kembali turun dengan deras. Terpaksa,
keinginan untuk pulang mereka urungkan.

Sebenarnya mereka bisa saja menerobos hujan tanpa harus menunggu reda. Namun karena sekarang
Vita sedang sakit, jadi tak memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya. Bisa- bisa keadaan Vita
makin parah.

"Kakak suka hujan. Karena hujan mampu memberikan kesenangan dan kepedihan secara bersamaan."
Ucap seseorang dari ambang pintu.

Mereka menoleh cepat ke sumber suara, memicing dan mengerjapkan mata berkali- kali.

"Eh, Kak Arga." Sapa Rilya duluan.

Arga yang memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana pun tersenyum simpul, lalu berjalan
mendekati bankar.

"Aduh, Vi. Gue ke toilet dulu, ya." Ucap Rilya langsung berdiri. Vita menahan tangannya.

"Mau ngapain?" Tanya Vita.

" Ya elah pake ditanya lagi. Orang ke toilet ya mau buang air, lah." Jawab Rilya datar.

"Air itu harusnya digunakan seperlunya, jangan dibuang- buang." Ucap Vita. Entah pura- pura tak paham
atau otaknya memang agak lelet.
Rilya memelototinya, lalu tersenyum sekilas pada Arga dan pergi ke toilet.

Vita tertawa kecil melihat pelototan dari Rilya yang sangat jarang Rilya tampilkan.

Seperkian detik kemudian, Vita kembali menengok ke arah Arga, yang kini sudah berada didekatnya.

"Ada apa, kak?" Tanya Vita.

Arga tak menjawab. Namun ia tersenyum dan langsung menyejajarkan wajahnya dengan Vita.

Vita menahan nafasnya dengan mata yang membulat kaget. Jarak wajah mereka cukup dekat dan itu
membuat Vita merasakan pipinya menghangat karena blush.

"Udah baikan?" Tanya Arga menatap lembut mata Vita.

Vita menjawab terbata- bata. "U- udah, kak."

Arga menyentuhkan punggung tangannya ke dahi Vita.

"Kayaknya kamu masih demam, Ta." Ucap Arga menghembuskan nafas.

"Iya, tapi udah gapapa." Ucap Vita sambil tersenyum.

Melihat senyum itu, seakan menular hingga Arga ikut menarik dua sudut bibirnya ke atas. "Get well
soon, ya. Biar besok bisa ke sekolah."
Vita mengangguk. "Makasih, kak."

Lalu mata Arga menatap lurus ke luar jendela, dimana hujan masih setia menari diatas tanah.

"Tapi hujannya lumayan deras, Ta." Ucap Arga terdengar khawatir.

Vita ikut menengok ke arah yang dilihat Arga. Ia juga berpikir hal yang sama, itu membuatnya menghela
nafas pelan.

Tiba- tiba Vita menoleh dengan segenap rasa kaget.

Ketika ia lihat Arga sedang melepaskan jaket. Buru- buru Vita mengalihkan pandangannya ke tempat lain,
kemana pun asalkan bukan ke arah Arga. Jantungnya berdebar. Kenapa Kak Arga buka jaket gitu, sih?!

Arga memakaikan jaket hitam dengan nomor punggung 99 itu ke pundak Vita. Vita tersentak sambil
memegang jaket yang kini sudah nangkring dipundaknya.

"Jangan dilepas, Ta. Pakai buat pulang nanti. Hujan- hujan begini gak baik buat orang demam." Ucap Arga
ketika melihat Vita hendak melepaskan jaket itu.

Vita menatap Arga, tak lama ia mengangguk.

"Ya udah, kakak duluan, ya. Assalammualaikum." Arga mengelus puncak kepala Vita sambil tersenyum
hangat.

"Kakak pulang pake apa?" Tanya Vita cepat.


"Pake motor."

"Hujan- hujan gini pake motor? Dan kakak juga gak pake jaket." Ucap Vita, samar terdengar nada
khawatir.

Arga tersenyum lagi. "Gpp, Ta. Kamu lebih penting." Arga berbalik dan melangkah meninggalkan UKS.

"Wa'alaikumussalam." Jawab Vita lirih.

Vita memandangi jaket yang ada dipundaknya. Lalu tak lama sebuah senyuman terukir indah di bibirnya.

"Terimakasih, kak." Bisik Vita pelan, seolah hanya dia yang boleh mendengar ucapannya itu.

Tanpa Vita sadari, Rilya sudah berdiri di ambang pintu sambil bersandar dan melipat tangan ke dada.
Memperhatikannya dengan sebuah senyuman kecil.

Rilya yakin, ada sesuatu antara Arga dan Vita.

"Oy tahu bulat! Ayo balik. Bang Denis jemput." Ujar Rilya.

Vita terkesiap, lalu tak lama ia nyengir. "Rilya, ini gue...-"

Belum sempat Vita mengatakan kalimat yang telah ia susun, Rilya menyela. "Iya biar lo gak sakit, Kak
Arga rela ngasih jaketnya buat lo."

Vita membulatkan mata. "Lo tau darimana?"


Rilya terkekeh. "Jaket mahal dengan nomor punggung 99 cuma punya Kak Arga, doang."

Vita mengangguk dengan senyuman manisnya. "Gue spesial banget bagi dia, ya, Ril? Dia rela hujan-
hujanan demi gue, lho."

Rilya berjalan mendekati Vita, lalu, ia dorong kepala gadis itu dengan telunjuknya. "Iya, terserah. Buruan
balik, entar makin sakit."

"Hehe, iya."

~~~

Alhamdulillah meski gak banyak yang vote, tapi masih ada yang berkenan untuk membac a�. Jika
merasa cerita ini bagus, dimohon untuk kasih vote, ya. Gampang, kok, cuma tinggal klik aja, hehe

Kalo ada yang kurang, silahkan komen apa kekurangannya

Udah ah, kepanjangan

Bye:)

Please vote and comment:)))

###

Jangan sedih. Karena jika kau merasakannya, aku juga akan mengalaminya

Arga Keano Rajendra


•••

"Sekarang pukul 09.00, selamat beristirahat."

Vita segera keluar dari kelas setelah kakak MOPDB keluar dari sana. Tanpa menghiraukan panggilan Febri
ataupun Rilya, Vita terus berlari sambil tangan kanannya menenteng jaket.

Vita menutup bibirnya rapat- rapat. Ketika ingatan saat di kelas tadi memenuhi pikirannya. Beberapa
cewek membicarakannya, dan desas desus berita bahwa Vita mengejar- ngejar Arga berhembus. Vita
benci dikatai seperti itu. Karena menurutnya, selama ini ia hanya berani mengagumi Arga, tidak sampai
menggoda atau semacamnya. Toh, jaket ini Arga yang berikan, bukan Vita yang meminta.

Vita berhenti didepan ruang OSIS. Matanya membulat kaget ketika melihat Arga dan Sisi tampak bicara
dengan rileks. Vita meneguk saliva yang bercampur rasa pahit.

Vita menarik nafas, menghembuskan, menarik nafas, lalu menghembuskannya lagi.

Dengan gugup, Vita ketuk pintu ruangan itu. Membuat orang yang ada didalam menengok ke arah pintu.

Arga memicing. "Hai, Ta." Sapanya sambil tersenyum.

Vita menggenggam jaket Arga sembari kakinya bergerak gelisah. Tidak tahu kenapa tiba- tiba rasanya
Vita ingin mengompol.

Arga menghampiri Vita, lalu disusul Sisi dibelakangnya.

"Ada apa, Ta?" Tanya Arga.


Vita menatap mata Arga sambil terus menggigit bibir bawahnya. "I- ini, jaket kakak." Ucap Vita.

Arga mengernyit. "Pakai. Kakak kan ngasih ke kamu biar kamu makai." Ucap Arga.

Vita tersenyum sambil menggeleng. "Udah saya pake, kak. Ini, saya balikin. Makasih, kak."

Arga semakin mengernyit tak mengerti. Sejak kapan Vita mulai memakai bahasa formal seperti ini?

Arga menghela nafas, lalu ia mengambil jaket itu kembali. "Ya udah."

Vita tersenyum lagi. "Permisi, kak. Assalammualaikum." Vita tersenyum pada Sisi, lalu meninggalkan
ruang OSIS dengan ayunan langkah cepat. Hatinya berdebar tak karuan, dan ia hampir saja ngompol di
sana.

Gila saja, apa benar Arga semudah itu melupakan segala kebaperan yang telah ia berikan pada Vita? Yang
membuat Vita baper setengah mati? Bahkan, sampai berharap lebih pula.

Vita semakin menggigit bibir bawahnya serta meremas kemeja putihnya. Ia tak rela kalau Arga
memberika kebaperan yang sama dengan cewek lain. Siapapun itu!

Tapi kemudian Vita menghela nafas berat. Ia sadar, posisinya tak lebih dari seorang adik kelas yang
menyukai kakak senior. Jadi, Vita itu ibarat platshoes, tak ada hak!

"Dia tuh cantik, ya." Ucap Sisi yang masih menatap punggung Vita.

Arga terkekeh. "Masih cantikan elo, kali." Balasnya.


Sisi mencebik. "Iya, kalo diliat dari ujung sedotan."

"Beuh, lo tau aja gue mau ngomong itu." Ledek Arga.

"Tai!"

•••

Secepat mungkin, Vita hanya ingin masuk ke ruangan dan memukul- mukul kepalanya dengan penggaris
rotan. Kenapa bisa ia begitu larut jatuh dalam sikap manis Arga? Yang rupanya, sikap manis itu Arga
berikan bukan hanya untuknya, tapi juga untuk cewek lain. Ah, Vita kesal jika mengingatnya.

Dengan langkah yang menghentak- hentak tak jelas, Vita berjalan menuju kantin. Vita tetap sama, ia tak
suka keramaian, namun rasanya ia ingin berteriak mengeluarkan segala kekesalannya. Akhirnya, Vita
memutuskan untuk curhat dengan Febri dan Rilya. Hanya dua makhluk itu yang mengerti perasaan Vita.

Vita memicing, berusaha mencari Febri atau Rilya ditengah keramaian. Ia belum masuk ke kantin, masih
berdiri didekat pintu.

"Ah, Feb...-"

Tangan Vita ditarik seseorang, membuat cewek ramping itu tergopoh- gopoh karena tidak siap ditarik.

"Eh, lo siapa?" Tanya Vita sambil meronta melepaskan cengkeraman orang itu.

Namun orang itu acuh, ia terus berjalan. Dari bahunya yang bidang, Vita menebak orang itu adalah
cowok. Apalagi setelah matanya turun, orang itu memakai celana. Fix, dia cowok.
Akhirnya mereka berhenti didepan ruang OSIS. Vita segera menarik tangannya, lalu mengelus
pergelangan tangan kanannya yang dicengkeram cowok tadi.

Cowok itu berbalik. "Ta." Panggilnya.

Vita melebarkan mata, lalu ia mengernyit. "Kak Arga?"

Arga tak membalas. Alih- alih mengatakan tujuannya menarik Vita, ia malah meraih pergelangan kanan
Vita dengan lembut.

"Tadi kakak nariknya kasar banget, ya?" Tanya Arga.

Vita diam. Ia jadi asma mendadak setiap kali berada di sekitar Arga. Jantungnya berdegup kencang dan
tempo nafasnya tak teratur.

Arga menatap lurus Vita. "Maaf." Ucapnya lirih.

Vita langsung menggeleng. "Enggak, kak. Gapapa."

Arga tersenyum. "Tadi kenapa kembaliin jaket dari kakak? Ini masih hujan, lho. Kamu masih sakit, kan?"

"Hmm, itu, kak. Aku tuh...eh saya maksudnya...itu...anu." Ucap Vita tak jelas.

Arga tidak mengernyit tanda tak paham, ia malah tersenyum tanda gemas dengan sikap Vita.

"Gak usah gugup. Mau denger kakak bilang sesuatu?" Tanya Arga yang otomatis membuat Vita langsung
menghembus nafas lega. Ia jadi tak perlu bingung memikirkan jawaban yang akan diberikan pada Arga.
Vita mengangguk. "Boleh, kak."

Arga lagi- lagi tersenyum. "Sisi itu cantik, pinter, baik juga. Umur dia kisaran kakak, cuma agak tuaan dia
dua bulan, lah."

Vita membulatkan mata, kenapa topik pembicaraan mereka banting setir jadi ke sana?

Jujur, Vita tak terlalu menyukai ketika nama Sisi disebut.

"Oh." Sahut Vita acuh.

"Denger dulu." Pinta Arga.

Vita mengangguk- angguk saja. " 2 minute."

Arga tersenyum. "Kakak suka dia."

Vita membelalakkan mata kaget. Benar- benar tak menduga. Dan tak sepenuhnya mengerti.

"Terus kenapa bilang ke aku?" Tanya Vita yang sudah lepas kendali.

"Denger dulu, Ta." Ucap Arga tenang. Vita saja bertanya- tanya, bagaimana Arga bisa setenang itu?

Vita menggeleng, lalu ia berbalik hendak meninggalkan Arga.


Dua langkah menjauhnya Vita, Arga mulai bersuara lagi. "Dia sahabat kakak, Ta. Ayah dia itu pengacara
keluarga kakak."

Vita menghentikan langkahnya. Ia mengernyit tak mengerti. Namun kekesalan karena Arga memuji Sisi
tadi masih membekas, hingga Vita terdiam tanpa niatan untuk berbalik badan.

"Kakak suka dia sebagai sahabat, Ta. Dari kecil, kakak udah sahabatan sama dia. Selama 10 tahun, kakak
kenal dia dan keluarganya dengan baik. Dia memang cantik, kakak cuma mengakui satu hal yang bener
adanya." Jelas Arga.

Vita masih memunggungi Arga. Walau sudah pasti tak dapat dilihat Arga, Vita mencebik.

"Ta, liat kakak dulu sini." Pinta Arga lembut.

Kenapa suara itu bisa selembut kue brownies sih, kak? Keluh Vita dalam hati.

Kelembutan yang hakiki, membuat Vita akhirnya luluh dan berbalik badan. Pergerakan itu membuat
senyum Arga semakin mengembang.

"Jangan heran kalo kakak deket sama dia, jangan marah juga kalo kakak muji dia."

Vita terdiam setelah mencerna semua ucapan Arga. Namun tetap saja ada yang mengganjal di hati Vita.
Apalagi Vita pernah mendengar bahwa tidak ada persahabatan murni antara cewek dan cowok, salah
satu dari mereka pasti memiliki rasa lebih.

"Tapi kami gak seperti yang kamu bilang, kok."

Vita terkesiap, lalu ia mengernyit. Bagaimana Arga bisa tahu pemikirannya?


"Maksudnya?"

"Kakak sama Sisi gak ada perasaan lebih. Bener- bener sahabat, bahkan kayak adek kakak."

Vita merasa lega, walau ia agak tersipu karena Arga mampu membaca pikirannya.

Arga mendekati Vita, lalu ia tersenyum manis sambil menyentuh puncak kepala Vita. "Sudah jelas, kan?
Gak usah salah paham lagi. Itu jaketnya dipake lagi, ya?"

Vita yang sedari tadi menunduk untuk menyembunyikan pipinya yang memerah pun menggeleng.

"Kenapa? Masih ada yang perlu kakak jelasin?"

Vita masih menggeleng.

"Terus?" Tanya Arga lagi.

"Itu jaket kakak, jadi yang pake kakak. Nanti kalo memang hujannya deras, aku pasti bakal minta jaket itu
ke kakak. Tenang aja." Ucap Vita.

Arga tersenyum. "Bagus. Untuk seterusnya, pake 'aku' aja, ya. Jangan pake 'saya', gak enak dengernya."
Vita mengangguk.

Tanpa direncanakan, mereka berdua menatap hujan bersama. Dimana air hujan terus jatuh, tanpa
merasa lelah karena keberadaannya terkadang tak diinginkan.
Bagi Arga, perubahan sikap Vita berdampak besar bagi dirinya. Arga akan gelisah tidak karuan, berakhir
pada ia akan menghampiri cewek itu untuk menjelaskan segalanya secara detail. Terkadang Arga saja
bingung, apakah Vita sudah menjadi sebagian dari dirinya?

Sedangkan bagi Vita, semua sikap Arga padanya itu terasa manis dan membekas. Namun, beberapa kali
Arga seolah acuh tak acuh padanya. Seolah tak ada yang terjadi. Dan Vita tidak tahu, apakah Arga sedang
mempermainkan perasaannya atau memang menginginkannya?

~~

Ketemu lagi dengan author yang manis kece ulalalla

(digampar readers:(()

Rencananya pengen update malam nanti, pas malam ahad�

Tapi rupanya kuota gak mendukung, dan daripada gak sempet update mending diupdate sore ini

Yakk
Tinggalkan vote and comment manteman

Saya yakin pembaca yang bijak akan mengapresiasi suatu cerita, bukan hanya membacanya

Oke, thank you

###

Aku pengen jadi gula, yang manis dan terutama kakak sukai:)

Avita Dwi Fabdilla

•••

Vita menjemput Febri dan Rilya untuk berangkat bersama ke sekolah. Hingga didalam mobil ada satu
laki- laki sebagai supir, dan tiga orang cewek sebagai penumpang.

Denis menghela nafas. Dari kaca spion diatas setir, ia melihat ketiga cewek itu melakukan hal- hal absurd.
Mulai dari menggunakan rambut sebagai kumis, selfie dengan memonyong- monyongkan bibir, dan
kegiatan absurd lainnya.

Denis menghentikan mobil yang telah sampai didepan sekolah. Tanpa disuruh, ketiga cewek rempong itu
segera turun dari mobil.

"Makasih lho Bang Denis, aku doain makin ganteng, ya." Ucap Febri tersenyum lebar.
"Makasih, Bang." Ucap Rilya seadanya.

Denis hanya tersenyum sambil mengangguk. Lalu tak lama ia menatap Vita.

"Kenapa lo?" Tanya Denis.

"Ulu ulu Abang terbest gue makasih, yak. Muah." Ucap Vita lebay sambil meniupkan ciuman jarak jauh.

"Jijay!" Balas Denis dengan raut wajah jijik.

Vita hanya terkekeh, lalu mereka bertiga masuk ke dalam sekolah.

•••

Mereka bertiga segera menuju taman baca. Dimana angin yang berhembus lembut bisa dirasakan
dengan tenang.

"Ini udah jam berapa?" Tanya Rilya yang duduk diatas kursi kayu panjang.

Vita menengok jam tangan di pergelangan kirinya. "Sepuluh menit lagi kegiatan bakal dimulai."

"Gue nanya jam berapa, bukan kegiatan mulai jam berapa." Balas Rilya flat.

Haduh pengin ngomong kasar jadinya, sungut Vita dalam hati.


Suasana hening seketika. Mereka bertiga terdiam, berkutat pada kegiatan masing- masing, tanpa
keinginan untuk mencari topik pembicaraan.

"Oh iya, lo semalem sakit kan, Vi?" Tanya Febri.

Vita yang tengah menatap langit menoleh pada Febri. "Iya."

"Sorry. Gue gak ada waktu lo sakit." Ucap Febri terdengar lemah dan penuh penyesalan.

Vita tersenyum. "Gapapa, gue its okay."

"Lo gak tau kan kalo Vita dapet bonusan semalem?" Ucap Rilya yang matanya masih fokus ke
smartphone.

Febri menoleh ke Rilya. "Kalian dapet bonus apa?"

"Gue gak dapet, cuma Vita yang dapet." Balas Rilya.

"Apaan? Cerita kali." Pinta Febri yang sudah penasaran.

"Kampret lah ini anak. Oy Ril, bonus paan? Lo kira gue baju di mall apa?" Sungut Vita tak terima.

"Bacot!" Sentak Rilya melayangkan pandangan ke arah Vita. Sontak, Vita pun terdiam.

"Berisik ae lu, mercon sinting. Diem dulu, gue mau denger Rilya cerita." Ucap Febri sambil mengacak-
acak wajah Vita.
Rilya terkekeh. "Semalem Vita sakit, dan yang ngejagain dia Kak Arga."

Febri langsung menunjukkan reaksi dramatis yang ingin sekali Vita timpuk pakai kursi. "Beneran? Rilya, lo
gak bohong, kan? Seriusan? Anjer ada drama romantis tapi gue gak nonton."

Rilya yang melihat reaksi berlebihan Febri hanya tertawa kecil.

"Drama itu masih bersambung, kok." Ucap Vita.

Febri dan Rilya sontak menoleh ke arahnya. "Maksud lo?" Tanya Rilya.

"Iya. What are you mean?" Timpal Febri dengan pengucapan yang kurang benar.

Vita tersenyum lebar. "Its a romantic movie. You'll see."

•••

"Game hari ini masih bersangkutan dengan misi semalam. Dimana, kemarin kalian disuruh untuk
mencari botol beserta tanda tangan dari kakak MOPDB yang namanya ada didalam botol. Nah sekarang,
tantangan untuk kalian adalah, masing- masing dari kalian harus memberikan gombalan kepada kakak
MOPDB yang kalian mintai tanda tangan!"

Hening.

Semua peserta saling berpandangan. Agaknya sulit untuk mencerna perintah terakhir dari panitia
didepan mereka ini.
Namun tak lama suara pekikan senang terdengar.

"Yeyyy!" Sorak seluruh peserta MOPDB kegirangan.

Apalagi peserta cewek, yang dari awal MOPDB sudah menjadikan kakak panitia yang ganteng- ganteng
sebagai target mereka. Tantangan ini jadi ajang untuk mengungkapkan perasaan.

Sedangkan Vita, Rilya dan Febri hanya mendengus sebal. Mereka bertiga kompak mager untuk
melakukan misi terakhir itu.

•••

Vita mengacak- acak rambutnya yang terkuncir rapi. Ia bete dengan tugas dari panitia MOPDB tadi.
Kenapa harus menggombali?

Jujur saja, Vita itu cukup mahir dalam urusan memberi rayuan. Untunglah dia tidak jadi playgirl karena
keahliannya itu.

Namun masalahnya adalah, Vita akan merayu Arga. Arga?!

Vita tidak punya nyali sebesar itu untuk mengatakan hal- hal receh pada Arga. Walau itu hanyalah
sekedar misi, namun kenyataannya tetap saja Vita harus merayu Arga.

Harus!

Harus?

Vita semakin ragu. Ia malah menarik kuncirnya frustasi. Pelampiasan untuk terakhir kali sebelum ia
benar- benar mampu menghadapi kegugupannya.
Vita mendekati Arga yang tengah duduk di kursi taman sambil meminum jus jeruk. Vita menghembuskan
nafas, berusaha tenang. Ini hanyalah tugas dihari akhir MOPDB. Dan tugas tetap tugas yang tak boleh
diabaikan.

"Kakak." Panggil Vita tersenyum dan langsung duduk disebelah Arga.

Arga menatap dengan heran, sambil menggeser posisi duduknya untuk memberikan tempat pada Vita.

"Boleh nanya sebentar?" Tanyanya.

"Apa?" Balas Arga.

"Minuman itu, gulanya banyak atau dikit?" Tanya Vita sambil menujuk minuman ditangan Arga dengan
dagunya.

"Gulanya banyak." Jawab Arga menautkan alisnya.

"Kalau begitu aku mau jadi gula aja." Ucap Vita sambil menyelipkan anak rambutnya ke telinga.

"Kenapa?" Tanya Arga.

"Supaya kakak menyukaiku." Ucap Vita tersenyum semanis mungkin.

Dengan kesadaran penuh, satu gombalan lolos dari mulut Vita.


Arga tertawa kecil sambil menunduk malu. Baru kali ini Arga merasa jantungnya berdegup lebih kencang
dan kakinya jadi gemetar. Ini first Arga mengalami nervous karena gombalan cewek.

Sedangkan Vita dapat melihat dengan jelas pipi Arga memerah malu. Vita tersenyum sambil
mengacungkan kepalan tangan ke atas, berteriak dalam hati bahwa tugasnya selesai.

"Kalau gitu kakak berubah pikiran." Ucap Arga tiba- tiba.

"Hah?" Senyuman Vita menghilang seketika.

"Kakak gak suka gula." Ucap Arga menyamping.

"Kenapa?" Tanya Vita.

"Soalnya kakak suka kamu." Balas Arga tersenyum sambil mengelus lembut gerai rambut Vita.

Vita tersenyum sambil menutup wajahnya karena malu. Niat hati mau ngegombalin, eh malah
digombalin balik.

"Curang, kok balik ngombalin?" Tanya Vita dengan pipinya yang memerah.

"Itu gak gombal, Avita." Balas Arga.

Vita terdiam, lalu tak lama ia bangkit dan segera meninggalkan Arga sebelum pipinya semakin memerah
karena perlakuan manis Arga.

Seahli apapun Vita merayu, nyatanya Arga jauh lebih handal.


•••

Apel sebagai penutupan Masa Orientasi Peserta Didik Baru tahun ajaran ini selesai berlangsung. Dimana
Arga mengatakan banyak kata- kata motivasi untuk semua generani yang siap memasuki masa- masa
SMA.

Arga juga menjelaskan secara detail tentang apa yang harus dilakukan untuk meraih masa depan cerah.
Arga berbicara lantang dan meyakinkan, sehingga semua yang mendengar ikut merasakan dan bertekad.

Vita terkesiap ketika menyadari kebisingan dari jarak yang tak jauh darinya. Ada sekumpulan anak cewek
yang sibuk ber selfie ria dengan kakak MOPDB cowok. Vita tak terlalu memerdulikannya, ia pun
melangkah menjauhi aula outdoor.

"Hai, Ta."

Vita menoleh pelan.

Arga datang dari arah samping sambil tersenyum pada Vita.

"Hai." Sapa Arga lagi. Vita mengerjap beberapa kali, lalu tak lama ia ikut mengulum senyum. "Hai, kak."

"Sudah dijemput?" Tanyanya.

Vita hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Kakak mau ngomong sama kamu." Ucap Arga yang mulai menatap manik hitam Vita.
"Hah?"

Aduh, ini eneng udah deg- degan, kang.

Tak sadar, Vita mengangguk mempersilahkan Arga memulai ucapannya.

Arga lagi- lagi tersenyum. "Kamu baik, Ta. Kakak seneng bisa kenal kamu, walaupun baru tiga hari. Ketika
melihat kamu untuk pertama kalinya, kakak tau gak ada yang seperti ini sebelumnya, kamu adalah hal
yang terbaik yang pernah ada.” Ucapnya.

Vita terenyuh. Bersamaan dengan helaan nafas, Vita semakin memperlebar senyumnya.

"In my eye, you beautifull, your face and your heart. Intinya, kakak seneng bisa mengenal kamu, Ta."
Tutup Arga.

Semburat kemerahan sudah merambat kedua pipi Vita. Hatinya senang, bahkan rasanya ingin melompat
keluar tubuh. Kata- kata Arga tidak terlalu roman, tapi mampu menyentuh hati Vita dengan lembut.

Mata Vita berbinar. "Thank you. I feel it with you too ." Mereka pun bertatapan.

Dibawah langit sore, dengan sinar matahari yang memucat. Ada secercah harapan yang hadir. Memberi
kesempatan untuk menapak lebih jauh.

Meski sulit, akan ada cahaya yang menuntun agar saling terhubung. Dalam sebuah harapan, ada
perjuangan keras untuk mewujudkannya.

Setelah ini, Vita akan berjuang segigih mungkin untuk menggapai harapan yang ada.
Bersama kesempatan yang mungkin takkan datang untuk kedua kalinya.

~~~

Setelah chapter ini akan saya publish bonus chat ArTa (ArgaVita)

Jadi, tinggalkan vote dan comment

Dan saya berharap kalian bisa merasakaan feel chapter ini�

###

Vita dengan semangat '45, berjalan menuju kelas barunya. Apalagi hari ini adalah hari perdana Vita
memakai baju seragam khusus sekolah hari Rabu dan Kamis. Berupa kemeja putih, rok selutut merah
dengan motif kotak- kotak, serta dasi dengan warna dan motif senada. Seragam formal yang
menggunakan rompi hanya dipakai pada hari Senin dan Selasa.

Mata Vita berbinar ketika melihat namanya ada di kelas X MIPA 1, bersama Febri dan Rilya. Kebahagiaan
yang sederhana bisa satu kelas dengan sahabat.

Vita segera duduk di kursi tengah yang memang sudah Rilya sisakan untuk Vita. Suasana kelas pagi itu
agak riuh, Vita juga tak tahu mengapa. Tapi yang jelas, Vita hanya duduk diam disamping Rilya.

"Febri duduk dimana?" tanya Rilya.


"Gak tau. Padahal dia minta cariin bangku sama gue. Tapi gue sengaja duduk sama lo. Soalnya kalo duduk
sama Febri, guenya capek ditempelin terus." ucap Vita. Rilya tertawa geli mendengar aduan Vita.

Tak lama, mereka kembali diam. Melakukan kegiatan masing- masing tanpa banyak berkomentar.

Lalu tiba- tiba Febri datang dengan langkah gedebak- gedebuk dan bibir yang maju beberapa centi.

"Lo kenapa, sih?" tanya Rilya mengernyit.

"Abang gue pergi gak tau kemana padahalkan hari ini gue mau datang ke sekolah cepet- cepet biar dapet
bangku strategis sama Vita tapi sekarang Vita sama Rilya terus gue sama siapa?" cerocos Febri tanpa titik
ataupun koma.

"Nyesel gue nanya. " ucap Rilya dengan wajah datarnya.

"Ya elah knalpot racing, kalo udah ngomong gak bisa berenti." Vita memutar mata malas.

Febri semakin cemberut. Bahkan ia mulai menjentik- jentik tangan Vita hingga membuat Vita risih.

"Udah sana cari tempat duduk." usir Vita.

"Cariin." balas Febri manja tanpa menghentikan kelakuannya.

"Ih resek, deh. Sakit, ey!" Vita berusaha menangkap tangan Febri.

"Hai."
Vita, Rilya dan Febri menoleh ke sumber suara.

"Oh, hai." balas Vita sambil tersenyum. Sedangkan Febri hanya menatap cowok itu sambil terus
menjentik tangan Vita. Dan Rilya kembali melanjutkan lukisannya.

"Boleh kenalan?" tanya cowok hitam manis itu tersenyum lebar.

"Hmm." Vita berpikir sebentar, lalu ia mengangguk. "Boleh."

Cowok itu mengulurkan tangannya. "Nama gue Sigit."

"Gue Avita, panggil aja Vita." Vita menjabat tangan Sigit sebentar.

"Gue denger kalian ada masalah? Tadi ada yang gak dapet bangku, ya?" tanya Sigit ramah.

"Oh iya, ini namanya Febri. Dia emang gak dapet kursi." jawab Vita sambil menunjuk Febri.

"Mau duduk disebelahku?" tanya Sigit pada Febri. Febri tertegun, lalu menunduk malu.

"Boleh, tuh!" Vita yang menyahut.

Febri melotot, lalu ia mencubit tangan Vita. "Kan yang ditanya gue!" tukasnya.

Vita nyengir. "Abisnya lo gak jawab, sih."


"Emangnya lo duduk dimana?" tanya Vita pada Sigit.

"Di sana." Sigit menunjuk bangku dipojok depan. Vita dan Febri melihat ke arah yang Sigit maksud.

"Mampus lo, Feb. Duduk didepan berarti gak bisa tidur." ledek Vita sambil tertawa.

Febri mendengus kesal. Akhirnya, ia menyumpal mulut Vita dengan kaos kaki. Eh, enggak kok. Pake
kertas punya Rilya yang udah tak terpakai.

Vita segera mengeluarkan kertas itu lalu menoyor kepala Febri.

"Mau?" tanya Sigit lagi. Febri terdiam beberapa saat, lalu mengangguk setuju.

"Ya udah, yuk." ajak Sigit.

"Vi, Ril, gue ke kursi dulu, ya." ucap Febri.

"Kursi apa? Kursi pelaminan?" celetuk Vita yang sukses membuat Febri memelototinya lagi, sedangkan
Sigit hanya tertawa kecil.

"Bye." Sigit dan Febri pergi.

Vita menyikut siku Rilya. "Kayaknya bakal ada yang fall in love, nih." ucapnya jahil tanpa henti menatap
Sigit dan Febri yang baru saja sampai di bangku depan.

Rilya menatap datar. "Lo yakin cowok itu bakal tahan duduk sama knalpot racing?"
Vita berdecak. "Kalo cinta mah, bisa- bisa aja."

Rilya hanya mengangguk malas. "Whatever."

•••

Hari pertama setelah tiga hari MOPDB hanya diisi dengan perkenalan. Mulai dari perkenalan guru
dengan murid, hingga murid dengan murid.

Vita dan Rilya paling benci jika disuruh maju satu persatu untuk memperkenalkan diri. Selain karena
canggung dengan orang baru, Vita dan Rilya memang tipe yang tidak terlalu percaya diri. Berbeda
dengan Febri, dia paling antusias kalau disuruh tampil didepan umum.

Akhirnya setelah dua jam terjebak dalam kegiatan membosankan, bunyi yang ditunggu- tunggu semua
murid pun terdengar. Bel istirahat yang paling dinanti untuk menyegarkan otak dan mengisi perut. Kantin
menjadi tempat paling ramai diserbu.

Vita, Febri dan Rilya tak keluar dari kelas. Bahkan mereka tak beranjak dari bangku dan kegiatan masing-
masing.

Keheningan berkuasa sekitar lima menit lamanya, hingga Febru yang tak mampu diam dalam waktu yang
lama pun menoleh ke belakang, ke bangku Vita dan Rilya.

"Lo kok gak ke kantin?" tanya Vita setelah melihat Febri menarik nafas sambil mengapa, gestur mau
ngomong panjang kali lebar.

"Rame." Rilya yang menyahut.

"Biasanya juga rame." ucap Vita menopang kepalanya dengan tangan kanan.
Febri hendak menyahut.

"Tapi hari ini lebih rame karena kelas X sampe XII kan istirahatnya bareng." Kini masih Rilya yang
menjawab. Febri menarik bibirnya ke dalam, sepertinya kehadirannya tak diinginkan.

"Eh sorry, Feb. Tadi lo mau ngomong apa?" tanya Vita.

Febri berdecak kesal. "Basi!"

"Cie si monkey marah." celetuk Vita yang sukses membuat Febri melemparkan sepatunya ke kepala Vita.

"Anjir! Berani ya lo ngelempar sepatu ke adeknya Manurios!" teriak Vita sambil mengusap- usap
kepalanya.

"Lebih tepatnya pantat Manurios!" balas Febri tak kalah sengit.

"Bacot!" sentak Rilya. Singkat, namun mampu menghentikan celetukan aneh Vita dan Febri.

"Sama- sama bulu kakinya Manurios aja belagu." lanjutnya.

BUG!

Vita melempar sepatu Febri yang tepat mengenai pundak kanan Rilya.

"Kutu aer!" Rilya melempar sepatu itu kembali ke Vita.


Vita menjulurkan lidah dan menjulingkan mata. Lalu ia melempar sepatu itu balik ke Rilya dan berlari ke
luar kelas.

Rilya memungut sepatu itu dan mengejar Vita yang kini sudah jauh dari jangkauannya.

"Anjay! Sepatu gue sahabat lucknut!" teriak Febri frustasi.

Masalahnya, sepatu itu baru ia beli empat hari yang lalu.

•••

Arga masuk ke kelas setelah menyelesaikan tugasnya di ruang OSIS. Dengan langkah santai, Arga duduk
di bangku depan tengah.

Lalu Arga memijit pangkal hidungnya, merasa pusing akan sesuatu, mungkin karena tugas selama
MOPDB yang cukup membuat tenaganya terkuras.

"Capek?" tanya cowok bertubuh agak gemuk yang langsung duduk disamping Arga.

Arga menoleh sebentar, lalu kembali memejamkan mata. "Iya."

"Gue kira selesai MOPDB, kerja panitia juga selesai. Rupanya belum, ya." ucap cowok itu.

Arga mengangguk, lalu tak lama ia kembali menoleh pada sahabatnya itu. "Bastian tumben gak ke sini?"

Chandra mengangkat bahu. " Ke kantin, kali."


"Tumben gak ngajak kita. " Arga melonggarkan simpul dasinya, membiarkan sistem pernafasannya
bekerja lebih ringan.

"Tadi dia ngajak gue, cuma karena gak ada lo, gue jadi males. Akhirnya dia ke sana sendirian." jawab
Chandra.

Arga hanya mengangguk paham. "Gue nyusul Bastian, deh. Lo ikut?" ajak Arga bangkit dari kursinya.

"Boleh." Chandra ikut bangkit. Lalu mereka keluar dari kelas.

•••

"Oy, nyet! Balikin sepati gue!" teriak Febri membahana sambil mengejar Rilya yang sedang mengejar
Vita.

"Bodo, Feb, dont care!" balas Rilya tanpa menoleh ke belakang. Sedangkan Vita sesekali berlari mundur
sambil menjulurkan lidah mengejek Rilya dan Febri.

Sepanjang koridor, mereka terus berkejar- kejaran tak jelas. Bahkan tak meminta maaf meski beberapa
kali menabrak orang yang lewat di koridor.

Febri memperlambat larinya. "Pantat Manurios, berhenti!" pekiknya.

Vita memutar badan, berlari mundur." Koreksi! Adeknya Manurios!" balas Vita nyengir.

BUG!
"Ah!"

Vita menabrak sesuatu dibelakangnya, hingga membuatnya kehilangan keseimbangan. Namun ketika
Vita membuka mata, ia mendapati bahwa tubuhnya tak berada di lantai. Tapi dalam dekapan seseorang.

Untuk sesaat, Vita terpesona akan wajah itu.

BUG!

Kini giliran Febri yang menabrak Rilya, hingga mereka jatuh bertindihan.

Vita mengerjapkan matanya, lalu tak lama ia berdiri dengan gelagapan.

"Ta, kamu gapapa?" tanya Arga.

Vita menggenggam kuat ujung roknya. "Em, gapapa, kak."

"Siapa, Ga?" tanya Chandra.

Arga terdiam beberapa saat. "Adek kelas." jawabnya singkat.

"Cuma adek kelas?" tanya Chandra lagi."

"Iya."
"Gak lebih gitu?" ujar Chandra terdengar usil. Segera Arga menoyor kepala Chandra.

"Udah, ah. Duluan ya, dek." ucap Arga, lalu segera menarik Chandra pergi dari sana.

Vita menatap punggung dua anak laki- laki itu menjauh hingga hilang di keramaian.

Vita menghembuskan nafas, lalu berbalik, menatap Febri dan Rilya yang menatapnya dengan tatapan
aneh.

"What?"

Febri dan Rilya berpandangan, lalu secara kompak mereka berteriak. "CIAH! NGENES AMAT GAK DIAKUIN
SAMA GEBETAN!" Lalu mereka berdua berbalik arah dan berlari sekencang mungkin meninggalkan Vita
yang belum memberikan reaksi apapun.

"TERGUK GUK, YA!"

•••

Vita duduk sendirian di taman baca, menunggu jemputan. Tadi Febri dan Rilya sudah dijemput oleh
Abang dan Ayah masing- masing. Tersisalah Vita sendirian, karena rumah mereka berjarak cukup jauh,
jadi Vita segan menerima tawaran untuk diantarkan pulang. Merepotkan, pikir Vita.

Vita sudah memberitahu Denis untuk menjemputnya lewat telepon sekolah tadi, namun kakak laki-
lakinya itu belum kelihatan sama sekali. Berapa lama lagi harus menunggu? Vita menghembuskan nafas
bosan dan kesal, sambil ia remas- remas tali tas ranselnya.

Hanya tinggal beberapa anak yang sama seperti Vita, belum dijemput. Lalu sisanya tidak pulang karena
mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Kebetulan, hari ini adalah hari ekskul badminton.
Vita gusar, ia menutup wajah manisnya dengan tangan. Kakinya yang tergantung, tidak cukup sampai
menginjak ke lantai diayun- ayunkan.

"Ayo pulang."

Dari balik tangan, Vita mendengus. Ia siap memarahi Abangnya yang sudah membuatnya menunggu
lama. Akhirnya, Vita membuka wajah dan mendongak.

"Lo kok lama amat sih, Bang?!" ucap Vita kesal.

"Eh? M- maaf."

Vita memperbesar kedua matanya. Bego! Sungut batin Vita.

"Eh, K- Kak Arga. Itu- enggak maksud." Vita berdiri sambil tersenyum tak enak.

Arga sendiri juga tersenyum bingung, sambil mengelus tengkuknya.

"Lagi nungguin seseorang, ya?" tanya Arga.

Vita malah menunduk. "Maaf." lirihnya.

"Enggak, kok. Its okay, kakak paham kamu pasti bete karena belum dijemput." balas Arga.

Vita hanya tersenyum kecil.


"Kakak bisa nganter kamu. Mau?"

Vita mendongak, menatap kedua manik Arga. Lalu tak lama ia kembali menunduk. Dirinya ingin menatap
keajaiban Tuhan didepannya ini lebih lama, tapi sayang jantungnya tak cukup kuat.

"Engg...-"

"Kakak yang nawarin, kamu gak merepotkan. Jadi jangan nolak, ya." ucap Arga tersenyum.

"Haduh, gimana ya, kak." Vita ragu, ia takut jika nanti akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan

"Ayo, Ta. Kakak anter sampe ke rumah, kok. Janji."

Vita masih diam.

"Kamu boleh teriak, deh, kalo misalnya nanti ngerasa gak aman sama kakak."

"Enggak gitu. Kakak gak mungkin ngapa- ngapain."

Arga terkekeh. "Ayo."

Akhirnya Vita mengangguk.Mereka pun berjalan menuju parkiran.

•••
Vita hendak berbelok ke pakiran motor, hingga Arga menarik tangannya untuk terus berjalan lurus.

"Lho? Mau kemana, kak?" tanya Vita.

"Kakak gak bawa motor." jawab Arga.

"Jadi, pake apa?" tanya Vita lagi.

Arga tak menjawab, ia mempercepat langkahnya sambil satu tangan memegang tangan Vita.

"Masuk." titah Arga setelah membukakan pintu mobil untuk Vita.

Vita tercengang, sedetik kemudian dahinya mengkerut. "Mobil kakak?" tanyanya polos.

Arga tersenyum. "Bukan, masih punya orang tua. Tapi ini fasilitas kakak. Masuk dulu, kalo mau nanya-
nanya didalem aja."

Vita manggut- manggut, lalu ia masuk ke dalam mobil. Arga menutup pintu mobil itu, lalu berjalan
menuju kursi kemudi.

"Rumah kamu dimana, Ta?" tanya Arga begitu sudah duduk dan menutup pintu.

Vita menoleh. "Jalan xxx no xx. Kak Arga tau?"

Arga memutar kunci, lalu menyalakan mesin. Tanpa menoleh, ia menjawab. "Tau. Entar kalo nyasar,
kamu aja yang nyetir."
"Ho'oh, entar kalo mobil mahal ini nyungsep ke kubangan, jangan marah, ya." balasan Vita yang random
malah membuat Arga tergelak. "Gak bisa nyetir, ya?"

Vita berdecak. "Bisa, cuma terakhir kali nyetir mobil Bang Denis lecet- lecet karena kena pembatas jalan.
So, you know what happens next. Aku dilarang nyetir lagi sama Papa." ucap Vita dengan merendahkan
suara diakhir kalimat.

Arga menoleh sebentar ketika mendengar nada bicara Vita yang melemah, namun tak lama kembali
fokus ke depan. "Gapapa, setiap kesalahan justru untuk membangun kita supaya lebih baik. Nanti kalo
sudah waktunya, belajar nyetir lagi, ya." ucap Arga tersenyum.

"Hehe, oke."

Arga menghentikan laju mobil ketika melihat kepadatan didepan, diatasnya terlihat lampu merah.

Arga menoleh. "Kok diem?" tanyanya.

Vita yang sedang asyik bersenandung pun menoleh pada Arga. "Emangnya mau ngomongin apa lagi?"

"Ya, terserah."

"Apa, ya? Gak ada, tapi nanti kalo ada yang mau aku tanyain, aku tanya, kok."

"Siap."

Arga kembali memandang lurus ke depan, lalu ia mulai menjalankan mobil itu lagi.
"Oh iya, nama belakang kakak itu ngikut nama orang tua, ya?" tanya Vita tiba- tiba.

Arga mengangguk. "Nama Ayah kakak Abi Rajendra. Jadi, nama Rajendra itu turun temurun."

"Ooh." Vita mengangguk- angguk paham.

"Kakak punya saudara? Namanya?" tanya Vita lagi.

"Ada adik, namanya Ayra Kasyila Rajendra. Umurnya baru delapan tahunan." balas Arga tanpa menoleh.

"Aku nanya namanya doang, umurnya enggak, kak."

Arga mengernyit sambil melirik Vita sebentar. "Nyebelin."

Tawa Vita menyembur setelah mengamati rauh wajah Arga yang bete. Namun tak lama ia kembali diam,
ketika Arga mendelik ke arahnya.

"Tadi kamu minta jemput Abang kamu. Itu Abang kandung?" Kini giliran Arga yang bertanya.

Vita menggeleng. "Dia memang Abang aku, tapi kayaknya gak kandung. Soalnya dia gak mirip sama aku,
bahkan dia juga jarang ngakuin aku adeknya. Palingan kalo ada maunya doang." aku Vita jujur.

Arga menahan tawanya yang hampir keluar. "Sebegitu gak miripnya, ya?"

Vita melirik Arga. "Abang aku ganteng, kok. Tapi tetep aja gak mirip aku. Mungkin karena dia cowok dan
aku cewek. Maybe."
Arga hanya tersenyum menanggapi kejujuran Vita.

"Berarti kamu anak bungsu, dong." ucap Arga.

"Iya." jawab Vita.

"Pernah denger gak, katanya kalo anak sulung sama anak bungsu dijodohin, bakal langgeng, loh. Karena
sifat mereka saling melengkapi. Si sulung yang sabar dan dewasa, dan si bungsu yang manja dan rewel."
ucap Arga panjang.

Vita hanya mengangguk pelan, belum sepenuhnya mengerti.

Arga menatap Vita. "Gak paham, ya?

Vita tersentak, lalu ia mengkerutkan dahi sambil menggeleng pelan.

Arga tersenyum dan kembali memandang ke depan. "Kayaknya kita cocok, Ta."

"Cocok jadi apa?" tanya Vita.

"Couple."

~~

Cie minggu ini saya update double�


Selain karena saya lagi senang, ini update terakhir karena minggu depan saya UTS, mau fokus belajar,
mau pertahanin juara hwhw

Tapi, setelah UTS saya akan update lagi kok

Oke deh, silahkan tinggalkan jejak guys. Vote dan commentnya

See you ~

###

"Hah?!" Vita membelalakkan mata kaget dengan bibir yang agak terbuka.

Arga tersenyum tanpa menoleh. Entah kenapa, melihat Arga seserius ini, rasanya jantung Vita berdetak
kencang.

Arga menoleh sebentar. "Gapapa."

Vita yang tadinya tengah terperangah karena larut dalam wajah tampan Arga pun langsung terkesiap.
Lalu ia tersenyum kikuk, dan melempar pandangan ke luar jendela.

Detik demi detik berubah menjadi menit yang sunyi dan senyap didalam mobil.

Beberapa lama kemudian, Vita kembali menoleh pada Arga, ketika dirasakan bahwa mobil itu mulai
menurun kecepatannya. Padahal, perumahan Vita belum terlihat.

"Kenapa berenti, kak?" tanya Vita.


Arga memutar kunci, menyalakan mesin berulang kali, namun mesin itu sama sekali tak mau menyala.

"Ada masalah." balas Arga singkat karena sedang berusaha menghidupkan mesil mobilnya.

"Mogok?" tanya Vita lagi yang dijawab anggukan kecil dari Arga.

"Mobil ini ada di bagasi sekitar dua mingguan, hari ini perdana kakak pake. Wajar kalo ada masalah." ujar
Arga sembari melepas sabuk pengaman.

Vita hanya mengangguk pelan.

"Tunggu di sini ya, Ta. Kakak mau liat letak mogoknya." kata Arga yang dibalas anggukan dari Vita.

Dari kursi duduknya, Vita dapat melihat siluet Arga yang gagah dan kekar. Walau hanya siluet, tetap saja
ketampanan seorang Arga Keano Rajendra tidak hilang.

Kok gue malah enak- enakkan didalem mobil, sedangkan yang punya lagi diluar buat bagusin mobil. Kan
gak tau diri namanya! Ucap Vita dalam hati.

Karena merasa tidak enak, Vita pun membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil.

Arga yang melihat pergerakan dari pintu mobil pun langsung menoleh. "Gak usah keluar, Ta. Panas." ucap
Arga.

Vita yang sudah diluar segera menutup pintu dan berjalan menghampiri Arga. "Aku juga harus keluar,
kak." balas Vita senyum.
Kemudian, Arga dan Vita bersama- sama membuka kap mobil. Asap yang berjembul langsung keluar
membuat kedua manusia itu terbatuk- baruk dan mengipaskan kedua tangan ke wajah agar asap
berbahaya itu tidak masuk ke indera penciuman mereka.

"Kakak gak ngerti yang kayak beginian, lagi." keluh Arga sambil menatap mesin di kap mobilnya.

"Ya terus gimana, kak?" tanya Vita.

Arga tersenyum, lalu tangan kanannya menyentuh ubun- ubun Vita. "Kakak ambil handphone di tas dulu,
mau nelepon montir."

Vita yang diperlakukan seperti itu hanya mengangguk. Kemudian, Arga kembali masuk ke dalam mobil
untuk mengambil handphone di tas ranselnya.

Vita beralih menegok ke arah mesin, dimana pemandangan seperti sekarang sudah sering Vita lihat di
mobil milik Denis.

Setelah sekian lama terdiam sambil memandang mesin- mesin mobil itu, Vita akhirnya mulai
menggerakan tangannya untuk memperbaiki sesuatu yang dianggap penyebab mogoknya mobil.

Arga membuka pintu lalu duduk di kursi dengan salah satu kaki berada diluar mobil. Ia hidupkan benda
pipih itu, menggeser layar dan membuka password. Setelah itu, ia segera menelepon montir yang sudah
menjadi langganan keluarganya.

"Halo Kang, mobil ada masalah, nih." Ucap Arga.

"Dimana lokasi, AK?" Tanya montir itu di seberang sana.

"Jalan xxx. Buruan yak, Kang."


"Siap."

Arga melepas ponsel itu dari telinganya, lalu kembali memasukkannya ke dalam tas.

Baru saja Arga hendak kembali keluar, tiba- tiba ia mendengar Vita mengatakan sesuatu.

"Kak Arga, nyalain mesinnya!" titah Vita sambil berteriak.

Arga tertegun, lalu beranjak dari kursi mobil.

"Udah gak, kak?" teriak Vita lagi.

Arga pun mengurungkan niatnya untuk menghampiri Vita. "Bentar, kakak coba." balas Arga dengan
kerutan dahi.

Arga memutar kunci, lalu menyalakan mobil itu. Dan ajaibnya, mobil itu menyala. Arga langsung
tersenyum lebar, bak menemukan harta karun.

"Bisa, Ta!" ucap Arga senang.

Vita yang mendengar balasan dari Arga pun ikut tersenyum sambil menghela nafas. Jadi usahanya
selama ini melihat Denis memperbaiki mobil tidak sia- sia.

Arga segera keluar dari mobil dan menghampiri Vita.

"Ta, maka...-" ucapan Arga terhenti. Mulutnya terbuka dan matanya tak berkedip. Sesaat, Arga
terperangah akan pemandangan didepannya ini.
Wajah Vita yang biasanya manis dan selalu menebar pesona indah, kini tampak tak karuan. Pasalnya, ada
noda hitam seperti oli yang mendominasi di wajahnya. Membuat Vita jadi agak aneh.

"Ta, kamu...-" Arga sudah tertawa, namun segera ia tahan agar tawa lain tak keluar.

"Hah? Kenapa?" tanya Vita setelah melihat Arga tertawa.

"Kamu cantik." jawab Arga sambil tertawa kecil.

Vita yang mendengar itu tentu tak langsung percaya. Ia tahu ada sesuatu di wajahnya yang membuat
Arga tertawa seperti itu.

"Kak Arga bohong, kan?" tanya Vita sambil menatap Arga dengan tatapan selidik.

"Hehe, enggak, tadi ad-Eh Vita sakit!"

"Ih, ada apa sama muka aku?" ucap Vita sambil mencubit pelan perut Arga. Bagi Vita, perut Arga itu
keras, seakan ototnya terlatih sejak dini.

Apa nama kerennya? Sixpack?

"Maaf, iya maaf, Ta. Udah, sih." bujuk Arga sambil berusaha menutupi perutnya agar tak terjangkau Vita.

Vita menarik tangannya, meletakkannya di dada. Ia mengerucutkan bibir. "Kakak nyebelin."

Arga terkekeh. "Bercanda." balas Arga lembut.


"Terus di muka aku ada apa?" tanya Vita.

Arga menghela nafas, lalu ia menggeleng pelan. "Bentar." ucapnya sambil tersenyum.

Vita tidak menjawab atau memberikan reaksi. Ia hanya diam, melihat Arga yang memasukkan tangan
kanannya ke saku celana, lalu mengeluarkannya dengan menggenggam sebuah kain putih.

"You look cute." ucap Arga sembari mendekatkan wajahnya dengan wajah Vita.

"Ah, ap...-" Baru Vita hendak mengatakan sesuatu, Arga terlebih dulu membungkamnya dengan
meletakkan kain itu tepat didepan bibir Vita.

"Diem." Titah Arga.

Seperti tersihir, Vita akhirnya mematung, bahkan matanya tak melepas pandangan dari Arga.

Arga tersenyum lagi, lalu ia mulai menggerakkan kain itu ke seluruh wajah Vita yang kotor sebab noda
oli.

Arga menyelipkan anak rambut Vita ke telinga, lalu ia bersihkan noda oli yang berada di bawah telinga
Vita.

Dan apa yang dilakukan Arga memberi efek tersendiri bagi Vita. Gadis itu menegang, dengan jantung
yang berdetak cepat, dan pipi memanas hingga akhirnya bersemu merah.

Arga begitu dekat, hingga Vita bisa merasakan hembusan nafas cowok itu dan membuatnya gugup tak
terkira.
"Ko- kotor ya, kak?" tanya Vita.

Arga mengangguk. "Tapi tetep cantik, kok."

Vita meremas rok yang ia kenakan. Anggap saja sebagai pelampiasan karena kini nervousness itu kembali
hadir.

Kalau Vita ingat- ingat, Arga itu suka memperlakukannya dengan manis. Seperti saat Vita sakit kemarin,
Vita ingat betapa perhatiannya Arga padanya. Dan sekarang, Vita semakin luluh dengan makhluk ciptaan
Tuhan yang tampan ini.

"Kamu suka bagusin mobil atau gimana, Ta?" tanya Arga disela- sela kegiatannya.

Vita menatap wajah Arga yang sedemikian dekat dengan wajahnya. "I- iya. Sering liat di- di mobil Bang
Denis." balasnya.

Arga mengangguk. "Maaf ya harus bikin kamu kepanasan sama kotor gini." ucap Arga lembut.

"Iya."

"Pinter. Kakak suka."

Setelah membersihkan noda di wajah Vita, Arga belum menjauhkan wajahnya, bahkan ia tersenyum
sambil menatap mata Vita dengan jarak yang dekat.

"Little girl." ucap Arga sambil mengelus puncak kepala Vita.


Vita hanya menyunggingkan senyum super canggung. Nafasnya jadi tak teratur sangking gugupnya.

"Masuk, gih. Di sini panas." ucap Arga sambil menatap lembut Vita.

Masih tersisa bius ketampanan Arga, hingga Vita tak menjawab apapun.

"Nanti kakak susul." ucap Arga lagi.

Vita terkesiap. "I-iya, kak."

Kemudian, Arga mengalihkan pandangannya ke kap mobil yang belum tertutup. Segera Arga
menutupnya, dan memberikan jeda bagi Vita untuk bernafas normal.

Vita memandang Arga, sambil memegang pipinya yang tiba- tiba memanas.

Bolehkah ia baper sekarang?

"Ayo, masuk sama kakak." ajak Arga lembut. Lalu, mereka pun masuk ke mobil dan melanjutkan
perjalanan.

~~

Haee, ehem ini saya mau bawa visual Arga ya. Semoga sukaa�
Seperti yang saya bilang, dalam pikiran saya Arga itu cowok ganteng dan manis secara bersamaan.
Senyumnya dia khas anak- anak dan tentunya ngegemesin eaa�

Tinggalkan jejak ya, vote dan komen. Oke mksihh

###

Akhirnya, Vita memilih duduk menyamping. Setidaknya itu lebih baik, daripada ia harus berganti baju lagi
dan akan menghabiskan banyak waktu.

Dan seperti yang Arga sarankan tadi, Vita langsung memegang pundak Arga begitu sudah naik ke atas
motor. Rasanya sangat canggung. Sukses membuat Vita blushing lagi.

Lima menit perjalanan, Arga dan Vita sama- sama diam. Tak ada yang bersuara. Hanya Arga yang fokus
mengemudikan motor dan Vita yang melihat- lihat ke sekitar.

Arga membawanya ke alun- alun. Dimana ada banyak jualan cemilan, buah- buahan dan atraksi lainnya.

Jarang sekali Vita keluar rumah. Alasan utamanya adalah mager, malas gerak. Selain itu, Vita juga lebih
suka di rumah sambil menyalakan televisi dengan volume keras, lalu meninggalkannya ke kamar.
Kegiatan kurang ajar.

Vita baru menyadari, rupanya, udara sore itu sejuk. Pemandangannya menyegarkan, dan ada banyak
hiburan dipinggir jalan. Anak- anak berlarian dan orangtua mereka tersenyum hangat sambil berjalan
santai.

Sesaat, Vita jadi merindukan Mama dan Papa. Mungkin lain kali, Vita bisa mengajak mereka jalan- jalan?
Ide bagus.

"Kak Arga, kita mau kemana?" tanya Vita sembari memiringkan kepalanya.

Arga bergumam. "Kamu maunya kemana?" ucapnya berbalik nanya.


"Gak tau, kan kakak yang ngajak." balas Vita dengan suara anak- anak.

Tanpa dilihat Vita, Arga tertawa kecil. "Ya udah, kita keliling kota aja, ya. Sekalian kalo mau liat sunset?"
tawar Arga.

Vita langsung mengangguk antusias. "Mau!" jawabnya senang.

Arga pun memperlambat motornya, membiarkan Vita menikmati lebih banyak dari pemandangan sore
ini.

"Kak Arga, itu topeng monyet, ya?" tanya Vita sambil menunjuk ke pertunjukkan yang ia maksud.

Arga menoleh, melihat seekor monyet yang dipakaikan baju sedang menaiki sepeda kecil.

"Iya. Kenapa? Mau liat?" tawar Arga lagi.

Vita menggeleng. "Enggak. Kasian monyetnya, bukannya dilepas ke alam malah dijadiin pekerja. Mana
lehernya diiket kek gitu. Kalo kecekek gimana?" ucap Vita polos sambil mengerucutkan bibirnya.

Arga tertawa geli mendengar penuturan Vita. Tapi ia juga tahu Vita merasa prihatin pada monyet itu.

"Ta, coba liat ke sana, deh. Ada gulali, mau gak?" tanya Arga sambil menunjuk gerobak penjual gulali.

Vita menengok ke arah yang Arga maksud. "Enggak, ah. Itu gulali mahal tapi isinya dikit. Kapas doang."
tolak Vita.
Arga menghela nafas. Taktiknya untuk mengalihkan pikiran Vita gagal total. "Ya udah, nanti kalo ada yang
kamu mau, bilang ke kakak, ya?"

"Siap, Kak Arga."

Vita duduk dengan tenang. Ia tak berhenti tersenyum melihat ke tempat- tempat yang ia lewati dengan
Arga. Namun, belum ada yang menarik perhatiannya sepenuhnya.

"Kak Arga, berhenti." ucap Vita.

"Um?" Sesuai kemauan Vita, Arga meminggirkan motornya.

Arga membuka kaca helmnya. "Kenapa, Ta?"

"Beli jeruk, yuk!" ajak Vita.

"Jeruk?" tanya Arga.

Vita mengangguk. "Iya. Jeruk itu bagus, vitamin c nya mencegah sariawan." jelas Vita diiringi senyum
manisnya.

Arga tersenyum juga. Lalu ia mengangguk. "Ayuk."

Setelah mendapat persetujuan Arga, Vita pun turun dari motor. Disusul Arga yang melepas helm lalu ikut
turun.
"Ayo." Arga menggenggam tangan Vita, lalu mulai mengayunkan langkah menuju kios yang menjual
jeruk.

Vita membulatkan mata. Jantungnya mulai berdegup kencang. Untuk kesekian kalinya, Arga melakukan
kontak fisik dengan Vita.

Dalam hati, Vita senang bukan main. Vita merasa sedang jalan romantis bersama pacarnya. Ehem!

Tapi tunggu dulu, Arga belum memberikan status resmi untuk hubungan ini.

"Silahkan pilih Neng, Kang." ucap pedagang jeruk bertato itu. Ketika melihatnya, Vita merasa agak takut
dan beralih menutupi diri ke tubuh Arga.

Arga pun tersenyum pada Vita, bermaksud menenangkan. Kemudian ia mulai memilih- milih jeruk. Vita
pun mengikutinya.

Namun, begitu Vita tengah memegang sebuah jeruk, ia melihat ada yang tak beres. Kulit jeruk itu rusak
dan ada semacam bekas suntikan di sana.

"Kak Arga, ini disuntik pake obat- obatan, ya?" tanya Vita sambil mendekatkan jeruk ditangannya ke Arga.

Arga menoleh ke jeruk itu. "Gak ta--"

"Eh Neng, jangan sembarangan, ya. Ini jeruk import dari luar negeri. Ori!" sela pedagang jeruk itu.

Karena ucapan pedagang itu terdengar agak sensitif di telinga Vita, Vita pun membalas dengan kekesalan
yang menelusup di hatinya. "Abang biasa aja, dong. Saya kan nanya. Nanya nya juga enggak ke Abang
tapi ke temen saya. Ini jeruk mau ori atau fake tetep aja jeruk. Saya nanya, Bang, bukan nuduh Abang
nyuntik cairan- cairan gak baik!" cerca Vita.
Arga membulatkan mata. Merasa akan terjadi hal yang tak diinginkan, Arga pun mengambil jeruk dari
tangan Vita.

"Jeruknya saya cancell ya, Bang." ucap Arga pada pedagang jeruk itu.

"Bilangin sama Enengnya, Kang. Jangan ngomong sembarangan. Tau gak ini mahal! Gak tau diri banget."
gerutu pedagang jeruk itu.

Arga mengkerutkan dahi. Seperti menyiram minyak ke kobaran api. Ucapan pedagang itu membuat
emosi Arga tersulut.

"Kami nanya ya, Bang! Bukannya nuduh! Gak sampe bikin Abang rugi, kan? Lagian kalo memang gak
ngelakuin yang dipertanyakan, gak usah ngomel! Ribet banget." balas Arga kesal.

Arga tatap pedagang jeruk itu dengan tajam, lalu ia menarik Vita menjauh dari kios itu. Masa bodoh,
semoga tato pedagang itu membusuk!

"Kak.." panggil Vita pelan.

"Kamu gak salah, Ta. Kamu nanya, dianya aja yang nyolot."Ucap Arga menghadap Vita.

Arga tersentak. Wajah Vita memerah dan matanya berkaca- kaca. Tanpa mengerjap pun, air mata itu
akan lolos dari matanya.

"Ta, jangan nangis.." ucap Arga sambil menangkup wajah Vita.

Vita menggigit bibir bawahnya, kemudian dengan gerakan kasar ia mengusap pipinya.
"Jangan dipikirin. Sini, jalan- jalan lagi, yuk." ajak Arga tersenyum lebar.

Vita hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Yuk." Arga menarik tangan Vita menuju tempat lain. Kemana pun asal mampu memperbaiki mood Vita.

Arga membawa Vita ke motor. Lalu ia memasang helm dan naik ke atas motor. Tanpa disuruh, Vita ikut
berbonceng dibelakang. Dengan wajah cemberut, tidak ceria seperti tadi.

Dari kaca spion, Arga menatap Vita dengan tatapan kecewa. Kecewa karena membuat Vita badmood.

•••

Sesampainya di bazar, Arga segera menautkan jari- jarinya ke sela jari Vita, membuat gadis itu agak
tersentak. Namun Arga menenangkannya dengan tersenyum manis, lalu mereka mulai berjalan sambil
melihat stand yang diadakan panitia.

Setelah memasuki bazar lebih dalam, Arga menghentikan langkahnya.

"Ta, kamu mau main apa?" Tanya Arga menatap sayang kedua mata Vita.

Vita tak membalas pandangan Arga, ia menghembuskan nafas sambil menatap sepatu sneakers nya.

Sebenarnya, Vita tidak ada mood untuk melanjutkan jalan sore ini.

"Apa aja." jawab Vita lesu.


Arga menghela nafas perlahan. Kedua sudut bibirnya naik ke atas, membuat senyuman manis yang
mempesona.

"Ta.." Panggil Arga sambil mencubit pelan hidung Vita," Jangan manyun, entar kakak makin suka, lho.
Kamu mau tanggungjawab?" kata Arga.

Vita yang tengah menunduk langsung mengangkat kepala. Perlahan, ada semburat kemerahan menjalar
dikedua pipinya.

"Ih, Kak Arga.." Vita semakin mengerucutkan bibirnya.

Arga tertawa ganteng. "Apa?"

Vita menggeleng pelan, membuat Arga semakin gemas dengan tingkah manja dari Vita.

Arga sedikit menunduk guna menyejajarkan wajahnya dengan wajah Vita."Kamu gak mau main? Ya udah,
kita gak main. Tapi kamu mau sesuatu?" Tanya Arga.

Vita menatap sekilas kedua mata menenangkan Arga, lalu ia mulai mengedarkan pandangan ke seluruh
penjuru bazar. Mencari- cari sesuatu yang mungkin bisa menarik perhatiannya.

Namun, mau bagaimana pun Vita berusaha fokus ke tempat lain, Arga yang berada didepannya selalu
bisa menarik kembali titik fokusnya. Seakan Arga adalah pusat dunia Vita.

"Kamu dari tadi liatin jus jeruk itu. Kamu mau ya, Ta?" Tanya Arga.
Vita tersentak, tak lama ia mengangguk cepat tanpa melepas pandangan dari kios yang menjual jus
buah- buahan itu.

"Iya, mau.." rengeknya. Arga yang melihat itu hanya terkekeh pelan. "Ya udah, kakak beliin, ya."

Vita melempar pandangan pada Arga. "Kakak yang bayarin?" tanyanya.

"Iya." balas Arga.

"Eh, jangan!" ujar Vita yang membuat Arga mengernyit bingung. "Kenapa?"

"Gapapa. Aku bisa beli sendiri, kok, kak." sahut Vita.

Arga tersenyum. "Kakak juga gapapa, Ta. Kakak mau beli es krim sekalian."

"Es krim?" tanya Vita dengan membulatkan mata indahnya.

"Iya. Es krim."

"Aku beliin ya, kak. Mau?" tawar Vita.

Arga mengkerutkan dahi sambil tertawa pelan."Kok?"

Vita terkekeh. "Kita itu harus seperti simbiosis mutualisme, saling menguntungkan." sahut Vita.
"Sip, deh, kalo kamu maunya gitu. Ya udah, kakak ke kios sana dulu, ya." ucap Arga sambil menunjuk kios
jus buah- buahan.

Vita mengangguk. "Aku ke gerobak es krim itu juga ya."

Kemudian, mereka melangkah ke tujuan masing- masing. Dimana antrian panjang yang sesak agak
membuat mereka mengeluh malas.

Tapi untunglah, penjual es krim itu sangat cekatan melayani pembeli, hingga antrian panjang tadi dalam
hitungan menit sudah menghilang.

Kini giliran Vita untuk dilayani.

"Bang, es krim coffee satu, ya." pinta Vita sambil tersenyum menampakkan lesung pipinya. Agak
mengundang tatapan kagum dari penjual es krim.

"Hehe, ke sini sendirian aja, Neng?" tanya penjual es krim itu sambil memasukkan es krim ke dalam
koktail.

"Enggak, saya sama temen, Bang." balas Vita.

"Mana temennya?" tanya penjual itu lagi.

Vita mendengus. "Huh! Abang kepo ya, kek Dora!" tukas Vita cemberut.

Tak lama, es krim pesanan Vita sudah siap. Setelah membayar, Vita pun duduk di kursi yang ada didekat
sana sembari menunggu Arga menyelesaikan pembeliannya.
Arga sendiri sudah gusar. 6 menit ia berdiri di sini namun tak kunjung dilayani. Ia yakin Vita pasti sudah
menunggu. Ia juga yakin Vita pasti tengah bosan, dan mungkin saja tidak nyaman? Mood cewek itu kan
kurang baik tadi.

Sungguh, Arga tak mau mengecewakan Vita untuk kesekian kalinya. Ia ingin jalan- jalan sore ini
menyenangkan untuk Vita. Arga suka senyum Vita yang menurutnya manis dan tulus. Jadi, Arga harus
terus membahagiakan Vita, agar gadis itu terus mengukir senyum manisnya.

Ah, Arga selalu suka segala tentang gadis itu.

"Ya Allah, nih Abang- Abang penjual lelet amat, sih." gerutu Arga pelan. Arga sudah mengacak rambutnya
setengah frustasi. Kapan penantian ini usai? Arga tidak sabar menemui Vita lagi.

"Apa perlu gue beliin mesin pemarut jeruk dari luar negeri biar tuh penjual bisa buruan?" gerutu Arga
lagi.

Karena kesal tiada tara dengan keleletan si penjual, Arga pun meraih ponsel di sakunya. Lalu segera
meletakkannya di telinga.

"Halo?"

"Ta.." panggil Arga manja.

"Kenapa, kak?"

"Penjualnya lama banget.." ucap Arga lagi.

"Yah, terus gimana, dong? Emang dari tadi gak dilayani? Lama banget. Capek gak, kak?"
Arga menggeleng. "Ta, tunggu bentar lagi gapapa, kan?"

"Gak usah, kak. Sini samperin aku aja. Gapapa, aku beli makanan atau minuman lain aja, gak jadi jusnya."

"Kenapa gak jadi?"

"Hehe, tiba- tiba gak selera."

"Beneran?"

"Iya. Buruan, kak. Nih es krim kakak udah mau meleleh."

"Ya udah, kakak ke sana dulu, ya." Setelah itu, Arga matikan sambungan telepon itu. Menatap geram ke
arah penjual jus yang tengah sibuk lalu pergi dari sana.

•••

Vita menggigit kuku telunjuk kanannya sembari kedua kakinya mengayun- ayun. Sudah sekitar 10 menit
ia menunggu sambil melihat khalayak ramai.

Sebenarnya, ada satu permainan yang membuat Vita penasaran. Bianglala. Vita ingin mencobanya,
walau sebenarnua Vita juga agak ngeri sebab ia takut ketinggian.

Tiba- tiba sebuah benda yang dingin dan basah tertempel di pipi Vita. Vita pun menoleh dengan cepat.

Arga menyambutnya dengan senyum paling manis. "Hai, Ta. Nih jus kamu." ucapnya.
"Lho? Kakak bilang gak sempet dilayani?" tanya Vita menatap Arga terheran- heran.

Arga ikut duduk disebelah Vita. "Jadi, tadi selesai nelepon kamu, kakak udah mau ninggalin kios itu. Tapi
tiba- tiba penjual kios itu manggil kakak. Pas kakak noleh dan nyamperin dia, dia bilang maaf karena gak
sadar kalo kakak lebih dulu dateng dari yang lain. Akhirnya kakak dilayani, deh. Dan plusnya, kakak dapet
dua jus!" jelas Arga yang diakhiri dengan senyum lebar.

Vita ikut tersenyum lebar. Dengan setengah kesadaran, tangan Vita terulur lembut untuk mencubit kedua
pipi Arga.

"Makasih, kak." ucap Vita.

"Eh, tapi...-" Vita tiba- tiba menghembuskan nafas gusar. Matanya menatap nanar ke arah bawah. Ke
koktail es krim yang isinya sudah mencair!

"Kak.." Vita mendongak dan menatap sendu dua mata Arga. "Es krim kakak cair. Gimana?" tanya Vita.

Arga ikut melihat es krim ditangan Vita, tersenyum, lalu kembali menatap Vita. "Udah, gapapa. Kakak
juga suka jus jeruk, kok. Kita minum ini aja, ya? Atau kamu mau cemilan yang lain? Sini, kakak beliin."

~~~

Ahay!�Arga harus ekstra sabar yaa sama Vita. Dia mah moodyan banget! Apalgi kalo PMS, beuuh jadi
macan dianya�

Dan juga update lebih cepat karena kuota saya sekarat, takut gak bisa update nantii�
Kalo mau cepet update, tinggalkan vote yaa

Bye

###

"Sekarang pukul 09.00, selamat beristirahat."

Vita langsung menegakkan posisi duduknya begitu mendengar bel khas IHS. Ia nyengir ketika melihat Pak
Zam yang sedang menjelaskan terpaksa berhenti karena waktu istirahat sudah tiba. Lalu dengan cepat,
Pak Zam keluar dari kelas, dan Vita masih mempertahankan senyum pasta giginya.

"Najis, Vi. Ngapain lo cengar cengir?" celetuk Febri dari bangkunya.

Vita menoleh. "Gue mau ketemu seseorang." jawab Vita.

"Arga, ya?" tanya Sigit yang duduk di sebelah Febri.

Vita mengangguk sambil terkekeh. "Iya. Eh, btw kok lo bisa kenal dekat sama Kak Arga sih, Git?" tanya
Vita heran.

"Dulu gue tetanggaan sama Arga, waktu TK kalo gak salah. Gue TK dan Arga udah SD. Singkatnya sih kita
sering main bareng, sampe gue harus pindah ngikut ortu pas kelas 4 SD yang berarti Arga udah kelas 6
SD." jelas Sigit.

"Ngerti, Vi?" tanya Febri yang melihat Vita hanya manggut- manggut.

Vita kembali terkekeh dengan gelengan kepalanya. "Enggak."


"Beg--"

"Iya gue paham. Kebiasaan nyinyir lo." ketus Vita pada Febri sambil memutar matanya malas. Sedangkan
Febri malah nyengir.

"Kalo gak nyinyir bukan Febri namanya." Sigit melirik Febri sambil tersenyum.

Vita ikut tersenyum, namun senyumannya yang jahil. "Oke deh. Feb, Ril, Git, gue ke taman dulu, ya."
pamit Vita.

Febri dan Sigit kompak mengangguk. Masih terfokus pada lukisannya, Rilya bergumam sebagai jawaban.
"Hm."

Vita menampilkan senyum terbaiknya, kemudian ia keluar dari kelas.

•••

Arga selesai membaca buku yang sempat membuat Vita terpelongo karena halamannya yang sangat
tebal. Arga menyandarkan tubuhnya di pohon rindang sambil kedua tangan terbuka lebar, bermaksud
meregangkan otot.

Vita dapat melihat wajah lelah Arga, namun yang membuat Vita bangga adalah semangat belajar Arga
yang begitu tinggi.

"Ta?" panggil Arga sambil menatap Vita yang bengong melihatinya.

"Ah, iya?" Vita menjawab dengan agak kaget.


"Liatin apa? Di wajah kakak ada yang aneh?" tanya Arga sambil meraba semua bagian wajahnya.

Vita menggeleng. "Bukan, kak. Dih, geer banget sih." ledek Vita.

Arga menautkan alis. "Kalo gak liatin kakak, kenapa matanya nengok ke sini?" tanya Arga tak mau kalah.
Ingin membuat Vita skak mat.

"Inikan mataku, suka- suka aku lah." balas Vita enteng sambil mengibaskan rambutnya.

"Oke. Berarti terserah kakak juga dong kalo kakak mikirnya kamu liatin kakak. Inikan pikiran kakak, suka-
suka kakak lah." ucap Arga menirukan Vita. Wajahnya dibuat secool mungkin.

Vita menghembuskan nafas kesal. "Gak mau ngalah, ih!" tukas Vita sambil mengerucutkan bibir.

"Iya, maafin kakak, ya." Arga tersenyum seraya mengelus puncak kepala Vita. Perlakuan sederhana yang
nampu memperbaiki mood Vita dengan baik.

"Kakak mau ambil buku di loker. Ikut?" Arga mulai berdiri.

Vita menggeleng. "Kakak di sini aja, biar aku yang ambil bukunya." ucap Vita ikut berdiri.

"Emang tau bukunya yang mana?" tanya Arga mengangkat sebelah alisnya.

"Palingan buku kumpulan soal UN, kan?" balas Vita.


Arga terkekeh pelan. "Ya udah. Loker kakak gak dikunci, tuh. Tapi nanti kalau udah selesai ambil bukunya
tolong dikunci, ya?" ucap Arga.

"Oke."

•••

Vita berjalan santai menuju loker khusus kelas XII. Waktu itu, loker sedang sepi. Mungkin karena hari ini
hari Jum'at, yang berarti sekolah tidak menerapkan jam olahraga. Karena tak ada olahraga, jadi tak ada
yang ke loket untuk berganti baju.

Vita membuka pintu loker Arga. Sejenak, Vita terdiam melihat fotonya ada di sana. Ia sempat tersenyum
sumringah menatap potret manis dirinya itu.

Lalu Vita mengambil buku yang Arga maksud. Tidak ada bedanya, bahkan buku itu jauh lebih tebal
dibanding yang sering Arga baca.

Vita kembali menutup loker itu, tidak lupa ia kunci dan kuncinya ia masukkan ke kantung kemeja. Namun
ketika Vita menengok ke sebelah kanan, sekitar 10 langlah dari tempatnya berdiri, Vita langsung
membelakakkan mata kaget.

"Aaa!"

"Aaa!"

Vita berteriak kencang sambil menutup wajahnya dengan buku yang tadi ia ambil. Kemudian disusul
teriakan lain yang dari suaranya dapat dipastikan laki- laki.

"LO GILA, YA?!" teriak mereka serentak.


Cowok itu memakai baju kemejanya, tanpa dikancing. Hingga ketika ia berjalan mendekati Vita, seragam
itu akan terkibar menampakkan roti sobeknya yang membuat Vita kaget bukan kepalang.

"Ngapain lo teriak- teriak?" tanya cowok itu yang kini sudah ada dihadapan Vita.

"Elo sendiri ngapain buka baju sembarangan?!" Vita berbalik nanya dengan kesal.

"Sembarangan? Elo gak tau ini loker khusus cowok? Atau lo pura- pura gak tau? Biar bisa liatin abs cowok
di sini?" sarkasnya sambil berkacak pinggang, angkuh!

"Jijay!" hardik Vita segera.

Cowok itu mengangkat sebelah alisnya, lalu memiringkan kepala, berusaha mencari celah untuk melihat
wajah Vita.

"Ya udah kali, gak usah ta--"Cowok itu terdiam mendadak.

Vita membuka wajahnya walau hanya sebatas hidung. Memperlihatkan matanya yang indah.

Deg!

Ada getaran aneh yang menjalar di dadanya. Bahkan dalam hati, cowok itu mengakui bahwa ia terpesona
akan keindahan ini. Apalagi, tatapan tajam Vita seakan menambah daya pikat tersendiri baginya.

"Apa liat- liat?!" sentak Vita. Kemudian, Vita berlari menjauhi cowok itu.
"Nama gue Nevan!" pekiknya. Namun Vita sama sekali tak menghiraukannya.

Anak laki- laki itu menghembuskan nafas, tak melepaskan pandangan dari perginya Vita. Nevan
mengulum senyum ketika sebuah ide terlintas dikepalanya.

Ia sudah menentukan targetnya.

•••

"Kak Arga!"

Arga menoleh cepat, tatkala didengarnya suara perempuan memanggil.

Seorang gadis berambut panjang dengan bando pink itu menghanpiri Arga dengan nafas ngos- ngosan.

"Ya?" jawab Arga bingung.

"Kak, jadilah pacarku!" ucap gadis itu lantang, sambil mengulurkan kedua tangannya yang menggenggam
coklat.

Arga mengernyit. "Hah?"

"Aku suka kakak." ucapnya lagi.

Arga mengangguk asal, lalu tak lama ia tersenyum. "Nama kamu siapa?" tanya Arga.
"Jadilah pacarku, kak." ulang gadis itu lagi.

Arga jadi bingung sendiri. Ia mengusap tengkuknya sembari bergumam tak jelas.

"Hmm, kamu baik, lucu juga. Mau berteman saja dengan kakak?" tanya Arga.

Gadis itu mendongak. "Kenapa? Apa kakak menolakku?" Gadis itu gemetar. Kedua tangannya yang tadi
diulurkan kini perlahan turun.

"Focus to our study, dek." ucap Arga tersenyum.

Gadis itu menundukkan kepala. "Kakak menolakku." ujarnya lemah. Mata belownya mengeluarkan air
mata. Seketika, ia menangis sesegukkan. Coklat ditangannya terlepas.

"Lho? Eh?! Kamu jangan nangis! Coklatnya mubazir, tuh!" ucap Arga panik.

Ditempat yang tak jauh, Bastian dan Chandra tengah bersembunyi. Di tanaman yang dirawat dengan baik
oleh penjaga kebun sekolah. Walau tak terlalu lebar untuk menutupi tubuh keduanya, tak apa, ini bukan
tanaman transparan.

"Tuhkan gue bener, Chand. Tuh adkel suka sama Arga."

Ucap Bastian bersemangat.

Chandra yang ada disebelah Bastian hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari Arga dan
gadis itu.

"Tapi lo tau darimana kalo Arga bakal ditembak?" Tanya Chandra.


Bastian nyengir lebar. "Gue denger. Pas di kantin, tuh adkel ngomong sama temennya kalo dia suka sama
Arga dan bakal nembak Arga selesai istirahat. Lokasinya ya di taman ini. Kan lumayan sepi kalo udah bel."
Jelas Bastian.

Lagi- lagi Chandra mengangguk.

"Tapi kok perasaan gue Arga gak pernah nerima cewek manapun yang nembak dia, ya?" Kata Chandra
sembari menatap Bastian.

"Hmm?" Bastian bergumam sembari mengetuk kepalanya dengan jari telunjuk.

"Eh, Chand?" Panggil Bastian.

"Hah, paan?" Jawab Chandra.

"Gue kok khawatir ya?" Ucap Bastian.

Chandra berdecak. "Apaan sih?"

Bastian menatap Chandra. "Arga tuh normal atau enggak sih? Dia gak suka cewek, ya?"

Chandra melirik Bastian, lalu kembali ke Arga yang jauh di sana masih membujuk gadis didepannya.

Ia meneguk ludah kasar. "Entahlah, Bas. Gue juga takut." Balasnya.


Di sisi berlawanan, seorang gadis menatap sepasang insan yang sedang bicara di area taman itu dengan
dahi mengkerut.

Vita memicing, ia yakin itu bukan Sisi, sahabat masa kecilnya Arga. Jadi, kenapa Arga terlihat begitu dekat
dengan cewek itu?

Vita bisa melihat gadis itu menangis. Terbukti dari tubuhnya yang sesekali bergerak sesegukkan dan
tangannya yang tak henti mengusap mata.

Rasanya Vita ingin datang ke sana. Bertanya ada apa, atau menenangkan gadis itu terlebih dulu. Tapi,
Arga apakan gadis itu hingga ia menangis?

"Oy!"

"Hah?!" Seperti ada balon yang dipecahkan tepat di telinga Vita, gadis itu tersentak kaget.

Rilya dan Febri berpandangan, lalu tak lama mereka tertawa.

"Elah, mata lo copot, tuh." Ledek Rilya.

"Kenapa gak sekalian aja latah? Eh kodok atau eh biawak kembar? Wkwkwk." Timpal Febri.

"Berisik, sat." Balas Vita datar.

"Galak, ih." Ucap Febri sambil menoel pipi Vita.

"Ngapain tegak di sini? Yuk ke kelas. Jamnya Bu Dian, nih." Ucap Rilya.
"Bentar." Sergah Vita.

Vita membalikkan titik fokusnya pada Arga, yang tak menyadari kehadirannya. Tak sadar, Vita menghela
nafas pelan.

"Nyesek ya, Vi? Gue tau rasanya, kok." Gurau Rilya yang ikut menengok ke arah Arga.

"Ye, enggak. Gue tuh bingung aja kenapa kok tuh cewek nangis. Diapain Kak Arga coba?" Tanya Vita.

"Eh, tadi kita izin ke toilet, kok lama banget baliknya?!" Ucap Febri mulai panik.

Vita mengangkat kedua alisnya. "Ketahuan bohongnya. Gue tau letak toilet dimana dan sekarang kalian
dimana."

Febri dan Rilya terkekeh serentak. "Udah, yuk balik." Ajak Rilya. Lalu, mereka pun mengayunkan langkah
menuju kelas.

•••

Arga berdesis sambil mengusap wajahnya kasar. Baru saja ia mengatakan sesuatu yang seharusnya tak ia
keluarkan. Seusai mendengar ucapan Arga, gadis itu langsung berbalik dan meninggalkan Arga tanpa
mengatakan sepatah kata pun. Arga terpaku, apa yang baru saja ia katakan semakin membuat bahunya
turun. Arga kesal sekaligus menyesal.

"Ah! Kenapa harus gue bilang, sih?" Gerutu Arga pada dirinya sendiri.
Sedangkan Bastian dan Chandra sama sekali tak melepaskan pandangan pada gadis itu. Ketika dia
menghilang ditengah keramaian, barulah Bastian dan Chandra keluar dari persembunyian mereka.
Berlagak seolah tak tahu apa- apa.

"Eh, AK? Kok di sini? Tumben bolos juga?" Tanya Chandra.

"Bosen? Ya udah, yuk bolbar. Bolos bareng." Bastian nyengir, namun, yang dilakukan cowok cempreng itu
tak direspon apapun oleh Arga.

Chandra berdehem. "Lo gak salah, Ga." Ucapnya.

Bastian mengkerutkan dahi, tapi tak lama kemudian ia ikut menimpali. "Iya. Lo kan dah sering nolak
cewek. Kenapa gini amat?"

"Gak." Balas Arga singkat.

Chandra menyipit, memperhatikan sahabat karibnya yang tengah tak bersemangat ini. Segundah itu
hanya karena menolak cewek?

"Alay, Ga." Cibir Bastian sambil mencebik.

"Ada satu hal yang gak gue kasih tau ke kalian, karena itu privasi gue. Tapi tadi keceplos gitu aja." Jujur
Arga. Ia menghela nafas gusar, masih kesal.

Bastian dan Chandra mengernyit bingung. "Rahasia?" Tanya mereka kompak.

"Rahasia apa?" Tanya Chandra.


"Seriusan AK punya rahasia? Biasanya juga kalo ngigo pun masih cerita ke kita." Ucap Bastian.

Arga menghela nafas berat dan lama. Matanya terus menatap tali sepatu hitamnya.

"Kelas yuk, Ga." Ajak Chandra.

"Eh, jangan! Kalo ke kelas entar makin gak fokus. Perpustakaan, yuk? Lumayan bisa tidur di sana. Atau lo
mau ke rooftop?" Ajak Bastian yang langsung direspon gelengan pelan dari Arga.

"Gue ke toilet dulu, ya." Ujar Arga sambil menampilkan senyum terpaksanya. Anak laki- laki itu segera
menjauh, berjalan ke arah toilet.

Bastian dan Chandra selaku sahabat dekat Arga tak melempar pandangan ke arah lain. Mereka masih
setia memandangi punggung Ketua Osis itu hingga hilang ditikungan.

"Dia kalo galau emang seneng ke toilet, ya?" Tanya Bastian heran.

"Arga gak pernah segalau ini sebelumnya."

"Hah?!" Bastian menjerit alay. "Ini perdana seorang Arga Keano Rajendra galau?" Sambungnya heboh.

Dengan satu kepalan tangan, Chandra jitak kepala cowok disebelahnya ini. "Gak usah melebay, deh."
Ucap Chandra jengah.

Bastian meringis sesaat, lalu ia rangkul sahabatnya yang agak gendut itu. "Ini pasti serius deh, Chand.
Kita kenal sama Arga pas sama- sama belajar tengkurep. Arga gak pernah kek gini, kan?" Tanya Bastian.
"Ya terus gimana, dong? Kita gak bisa ngontrol Arga buat bersikap kayak gimana." Sahut Chandra.

"Chand," Ucap Bastian sambil menepuk pundak kanan Chandra. "Kita bakal cari tau apa yang sebenarnya
terjadi." Ucap Bastian sambil menyeringai aneh.

"Caranya?"

"Kita bakal jadi detektif."

"Detektif?"

Bastian berdecak. "Itu loh, cowok ganteng yang pake baju serba hitam sama super pintar otaknya." Ucap
Bastian sambil menerawang ke langit- langit koridor.

Dalam imajinasinya, Bastian membayangkan dirinya memakai kemeja putih yang di balut jas hitam dan
celana dengan warna senada. Dasi pita yang menghiasi kerah kemejanya. Dan, sebuah topi koboi hitam
yang nangkring di kepalanya.

"Gue ganteng deh, Chand." Ucap Bastian yang masih tenggelam dalam imajinasinya.

"Chand?" Panggil Bastian.

"Chandra!" Panggilnya lagi, karena panggilannya yang tadi tidak mendapat respon.

"Chand, lo budeg, kah?" Cerca Bastian kesal sambil menoleh.

Ia terkekeh. "Jadi gua ngomong sendirian." Katanya.


"CHANDRA KALO KETEMU GUA JADIIN SEPATU DELMAN, YA!" Teriak Bastian sambil berlari.

~~

Ya ampun sahabatnya Arga si Bas sama Chand receh amat, yak�

Dan ya, kita sudah mau masuk konflik. Saya gak bisa pastikan setelah konflik ini usai, ArTa bakal balik
atau gak. Tapi saya juga gatega sih bikin mereka pisah:))

Ngikut alur aja dah, kalo kalian komen next dan vote, sip bakal aku usahain happy

###

Selama di kelas, Vita terus termenung. Penjelasan Bu Dian didepan sama sekali tak diperhatikannya.
Dalam otaknya kini tengah bersemayam ribuan pertanyaan, namun induknya hanya satu.

Siapa cewek yang bersama Arga tadi?

"Tadi Kak Arga sama siapa, Vi?" Tanya Rilya yang langsung mengagetkan Vita. "Kok sama?" Ucapnya agak
keras.

Rilya memelotot, volume bicara Vita tidak bersahabat. Bisa- bisa Bu Dian menendang Vita dan Rilya
keluar dari kelas karena ketahuan ngobrol.

"Apanya?" Tanya Rilya berbisik.


Vita menggeleng. "Enggak. Gue lagi mikirin hal lain."

Rilya menaikkan sebelah alisnya, berdesis kesal lalu kembali melihat ke depan.

Vita sendiri hanya menghembuskan nafas. Buku ditangannya lebih menarik dari pada penjelasan Bu
Dian.

Vita usap buku tebal yang menjadi buku pegangan Arga ketika belajar. Vita bisa mencium bau khas Arga
dan segala kehangatannya. Anggap saja Vita berlebihan, tapi beginilah dia, apapun tentang si 'kakak
senior' begitu sempurna baginya.

•••

Waktu pulang sudah tiba. Vita yang tak suka berdesakkan masih menunggu didalam kelas. Ia tengah
asyik melantunkan lagu yang pernah ia dengar dari Friska.

"Oh angin bisikkan padanya, ku cinta dia. Takkan ada yang lain...

Ku harap dirinya dapat men...-"

"Ta.."

Vita yang tengah mendongak ke atas langsung menoleh ke pintu, sumber dari suara yang barusan
memanggilnya.

Vita memicing. "Ya?"

Seseorang itu mendekat dengan terburu- buru.


"Ta, buku kakak yang tadi kamu ambil mana?" Tanya Arga to the point.

Vita membulatkan mata, hingga ia lupa berkedip. Hampir setengah harian ini kepala Vita hendak
meledak akibat memikirkan Arga, dan orang itu kini tengah ada dihadapannya.

"Ta?" Arga memetik jari didepan wajah Vita.

Vita terkesiap. "Oh, buku?"

Vita segera membuka tas, merogoh isinya dan mengeluarkan buku tebal milik Arga tadi.

"Ini, kak. Maaf tadi aku gak dateng lagi ke taman." Ucap Vita seraya memberikan buku itu pada Arga.

Arga menyambut buku itu lalu langsung memasukkannya ke dalam tas. "Its okay, kakak justru seneng
kamu gak ke sana." Balasan Arga membuat Vita mengernyit bingung. "Memangnya ada apa?"

Arga yang tengah menutup resleting tasnya terhenti sesaat. Ia berdehem sebentar lalu menatap Vita
sambil meneguk saliva.

"Enggak. Oh iya, kakak pulang duluan, Ta. Ada urusan Osis diluar."

"Oh gitu, oke hati- hati, kak." Vita tersenyum.

Arga pun melakukan hal yang sama. "See you tomorrow, little girl." Ucap Arga sembari mengusap puncak
kepala Vita.
Arga pun bergegas keluar kelas. Meninggalkan Vita dengan segala kebingungan di otaknya.

"Makin lengket, cuy!" Ledek Febri sambil cengengesan tak jelas.

"Bacot amat, Feb." Lirih Vita malas.

"Ye, kampret. Baru juga di bilang gitu udah dikatain bacot guenya." Balas Febri tak kalah malas.

"Lo gak mau nanya sama Kak Arga siapa cewek yang tadi sama dia?" Tanya Rilya tanpa menoleh ke Vita.

Vita memdecakkan lidah. "Udahlah, palingan temen atau adek kelas doang."

"Kalo bukan gimana?" Tanya Febri.

"Hah, maksudnya Kak Arga ada gebetan gitu?" Ucap Vita sambil terkekeh pelan.

"Enggak, maksud gue tuh kalo cewek tadi pacarnya Kak Arga, gimana?"

"Gak mungkinlah. Udah, yuk balik." Ajak Vita sambil merangkul Febri.

"Ayo!" Jawab Febri antusias.

"Vi, pulang sama gue, ya? Gue bawa motor." Kata Rilya.

"Oke, siap. Siapa sih yang bakal nolak gratisan."


"Najis amat, Vi."

Tiga cewek rempong itu pun berjalan keluar kelas. Saling menggandeng tangan satu sama lain dan
bersiul- siul.

Tiba- tiba, mata Vita tertuju pada seorang gadis yang tengah berdiri didepan gerbang. Vita memicing, tak
lama kemudian ia mengkerutkan dahi. Ia seperti mengenali cewek itu, tapi tidak mampu mengingatnya.

"Eh, kunci motor gue mana?" Ucap Rilya panik sambil meraba kantung kemeja dan rok nya.

"Lah anjir, tas gua mana, Ril?!" Ucap Febri lebih panik. Rupanya, sedari tadi ia jalan melenggang tanpa
menggendong ranselnya.

"Buruan, ambil." Rilya menarik Febri untuk kembali memasuki kelas.

Melihat tingkah konyol Febri dan Rilya membuat Vita tak mampu menahan tawanya. Gadis itu sampai
memegangi perutnya karena terlalu kuat tertawa.

"Bego dipelihara. Temen siapa sih itu?" Cetus Vita berusaha menghentikan tawanya.

Vita seka air mata yang menumpuk diekor matanya. Kebiasaan, Vita bisa mengeluarkan air mata jika
tertawa terpingkal- pingkal.

Vita menggelengkan kepala, yang dilakukan dua sahabatnya memang terkadang terlampau sulit
dimaklumi. Lalu Vita berjalan duluan menuju gerbang, dia akan menunggu Febri dan Rilya di sana.

"Kak Arga mau ke rumah? Oh iya, boleh, kak."


"..."

"Enggak, kak. Celin udah gak nangis."

"..."

"Iya. Good bye too, sayang."

Vita menghentikan langkahnya yang tinggal beberapa lagi akan sampai didekat cewek itu. Bukankah,
baru saja cewek itu menyebut nama Arga?

Dahi Vita mengkerut, ia berpikir keras untuk mencerna yang beberapa detik lalu terjadi. Ada suatu hal
yang membuat Vita bingung, kesal, dan dilema.

Sayang? Celin tadi memanggil Arga sayang, kan?

Sejurus kemudian Vita melebarkan mata. Bukankah tadi ia melihat cewek itu bersama Arga di taman?
Yang menangis sesegukkan dan Arga yang membujuknya?

Vita mengerjapkan mata beberapa kali. Ada hubungan apa Celin dengan dengan Arga? Apa mereka
sebenarnya ...?

Tidak, Vita harus yakin bahwa Arga yang dimaksud Celin bukanlah Arga-nya Vita.

Masa bodoh, Vita tidak perlu memikirkan hal itu berlarut- larut. Toh apa yang dilakukan Arga selama ini
sudah seperti mengistimewakan sosok Vita.
Jadi, Arga menyukai Vita, kan?

"Permisi?"

"Iya?" Jawab Celin sambil tersenyum ramah.

Sial, kaki Vita berjalan sendiri menuju Celin, tanpa kemauan Vita. Mulutnya juga bersuara tanpa
sepertujuan Vita. Membuat yang empunya membelalak kaget, tak percaya dengan yang ia lakukan
sendiri.

Vita merutuki pemikirannya yang tak sinkron dengan tindakannya. Selalu saja, apa yang Vita pikirkan,
malah hal lain yang ia lakukan.

Tapi, bukankah lebih baik bertanya daripada menduga- duga? Orang yang membuat pikiran Vita
terganggu beberapa jam yang lalu sekarang ada dihadapannya.

Vita harus menggunakan kesempatan ini. Jangan sampai ia salah paham dengan Arga.

"Lo, mmh?" Ucap Vita menggantung

Vita mengernyit ketika tiba- tiba bibirnya jadi bergetar. Tak tahu mau bicara apa dan bagaimana.

"Duh, maaf, ya. Kak Arga mau ke rumahku, jadi aku harus pulang cepet. Bye." Kata Celin sambil
mengayunkan langkahnya.

"Kak Arga siapa?" Cetus Vita spontan.


Celin tertawa kecil. "Arga Keano Rajendra, Ketua OSIS Indonesia High School, gak mungkin banget lo gak
tau." Katanya.

"Oh, oke." Hanya itu yang bisa Vita katakan. Tak ada yang perlu ditanyakan, juga tak ada yang bisa
dijelaskan.

Vita menarik satu kesimpulan, Arga yang Celin maksud memang benar Arga-nya Vita.

Vita berdecih. Bisa- bisanya Vita menganggap Arga menyukainya, padahal Arga sama sekali tak melirik
Vita seistimewa itu.

Haruskah Vita percaya pada segala ucapan manis Arga? Atau justru mempercayai apa yang baru ia
dengar?

Arga hebat, ia bisa membawa orang berada dipuncak tertinggi lalu menjatuhkannya ke titik terendah
dalam hubungan.

Membuat Vita kehilangan keberanian, semangat dan pupusnya harapan yang semula ada.

Sesimple itu dan Vita jadi terluka karenanya.

~~

Kenapa vote nya berkurang, ya?�Jadi kurang semangat nulisnya �

Jangan silent readers, dimohon sekali�


Saya menerima krisar, kok, jadi setelah vote boleh kasih krisar kalo memang ada yang kurang.

Terimakasih:)

###

Budayakan vote sebelum atau sesudah membaca guna mengapresiasi karya seseorang:)

~~

Selama di mobil, Denis menyalakan lagu remix dan menggerak- gerakkan kepalanya mengikuti irama.
Sedangkan Vita hanya diam, memandang keluar jendela.

Ia menghela nafas, berusaha kembali semangat. Memang, sejak sepulang sekolah kemarin, Vita jadi
malas melakukan atau mengatakan apapun. Segala yang mengingatkan Vita pada Arga dijauhkannya.
Terutama ponsel. Walau Vita tahu semalaman cowok itu terus mengiriminya pesan bahkan menerornya
dengan telepon. Tapi, Vita tak mau menggubris. Vita sebal, tapi tak tahu harus dilampiaskan kemana.
Akhirnya, Vita lebih memilih memendamnya sendiri.

"Turun, gih." Usir Denis.

"Gak usah diusir segala!" Tukas Vita manyun. Ia salami Denis lalu keluar dari mobil.

Dipandangnya mobil itu hingga menjauh dan hilang dari pandangannya. Kemudian Vita memasuki
halaman sekolah sambil memainkan kedua tali tasnya.

Di lorong khusus kelas X, dua manusia berseragam tampak berlari menuju Vita. Vita tidak heran, karena
ia tahu bentuk badan itu. Febri dan Rilya pastinya.
"Oy, Vi!" Panggil Febri ngos- ngosan. Sedangkan Rilya mengatur nafas.

"Kenawhat?" Tanya Vita.

"Gue ada kabar!" Ucap Rilya yang jarang sekali bereaksi heboh seperti sekarang.

"Mengejutkan!" Timpal Febri sambil merentangkan kedua tangannya.

Rilya yang berada disamping Febri pun terganggu karena tangan Febri mengenai wajahnya.

"Lebay amat, Feb." Sindir Rilya.

"Apaan, seh?" Sahut Febri kesal.

"Tangan lo bau kemenyan!"

"Masa?"

"Iya."

"Masa bodo!"

"Eh, si kambing." Rilya menjambak rambut Febri sekilas.


"Nih bedua kenapa, sih? Gue udah penasaran ini." Gerutu Vita sebal.

"Sabar." Ucap Febri dan Rilya secara serentak.

"SABAR PALA LU!"

Febri dan Rilya secara kompak mendengus lalu menoyor kepala Vita.

"Jadi gini, Vi..." Febri menarik nafas, "KAK ARGA PUNYA PACAR!" Teriaknya lantang.

Rilya mengangguk antusias. "Tapi gue gak percaya ya, Vi. Secara gue yakin Kak Arga demennya sama lu."
Ucap Rilya.

Vita tak bereaksi. Ketika ia hendak membuka mulut, rasanya malah sebuah isakan yang akan keluar.

Jadi, Vita hanya tersenyum sambil merangkul dua sahabatnya itu.

"Gitu doang?" Tanya Febri.

"Apanya?" Tanya Vita balik.

"Lo gak marah?"

Vita berdecak. "Gosip biasa itu mah. "Balas Vita enteng.


"Tapi satu kelas udah pada tau, Vi. Dan semua anak cewek heboh banget ngomongin itu gosip." Ucap
Rilya sembari mengikuti Vita berjalan.

"Elah, kayak gak tau aja. Gue gak demen ngegosip."

Febri dan Rilya hanya mengangguk pasrah. Sia- sia mereka panik dan berlarian mengejar Vita. Malah
orang yang dikhawatirkan hanya merespon biasa saja.

Sesampainya di kelas, Vita meletakkan tas di kursi. Memang, pada pagi itu suasana kelas agak riuh.
Terutama siswi yang berkelompok membicarakan gosip sang 'ketua OSIS' dengan antusias.

Vita hanya menghela nafas. Ia duduk diam hingga bel masuk berbunyi dan pelajaran dimulai.

•••

Arga menutup buku tulis dan memasukkannya ke laci meja. Tak lupa diselipkannya sebuah bolpoin
disebelah buku tebal khusus soal UN. Sejenak, Arga teringat sesuatu.

24 jam ini ia tidak mendapat kabar dari Vita.

Sejak kemarin, Arga merasa ada yang tak beres dengan Vita. Padahal, seusai sekolah kemarin Arga
mendatangi Vita ke kelas dan mereka bicara seperti biasa.

Apa karena Arga tidak mengantar Vita pulang semalam? Rasanya, Vita tidak akan marah hanya karena
hal sepele itu. Lagipula kan Vita sendiri tidak mau merepotkan orang lain.

Atau karena Arga mengatakan hal sensitif tanpa ia sengaja didepan Vita? Tapi, Arga selalu berucap manis
didepan Vita, sebab jika berdekatan dengan gadis itu membuat Arga begitu hangat. Vita sederhana,
namun Arga bisa gila dibuatnya.
"Kantin, kuy?" Ajak Chandra sambil merangkul Arga.

"Ah? Oh, iya. Bastian mana?" Tanya Arga.

Chandra mengedikkan bahu. "Jemput aja."

"Traktir yak, Chand." Pinta Arga memelas.

Chandra mencebik jijik. "Najis, Ga." Ucapnya.

Arga terkekeh pelan lalu dirangkulnya balik Chandra dan mereka bersama keluar kelas.

•••

Nevan memasuki kantin sambil bersiul dan memutar- mutar kalung ditangannya.

Tatapan- tatapan kagum dilayangkan cewek di kantin untuk Nevan. Mereka akui, setelah Ketua Osis
mereka, wajah Nevan juga tak kalah ganteng.

Nevan segera menghampiri meja kantin yang menjual makanan dan minuman ringan.

"Air mineral satu." Pinta Nevan dengan wajah dingin dan datar.

"Oalah, udah habis. Ndak ada lagi. Tadi udah dibeli sama mbak itu." Ucap penjual itu dengan logat
Jawanya yang kental sambil menunjuk gadis yang sedang membelakaki Nevan.
Nevan menoleh, sedetik kemudia ia memicing. Penglihatannya turun ke arah tangan gadis itu yang
tengah menggenggam sebotol air mineral.

Nevan mengacuhkan penjual itu. Dengan langkah sedang namun pasti ia dekati gadis itu. Tanpa aba- aba,
Nevan menarik si gadis menjauh dari kesesakkan kantin.

•••

Nevan membawa cewek ramping itu ke sudut kantin. Mendorongnya hingga menyentuh dinding dan
memagari kanan kiri si gadis dengan tangannya.

"Gue mau air itu." Ucap Nevan to the point.

Vita melebarkan mata. Tatapan intens Nevan membuat Vita merasa terintimidasi.

"Lo ngapain, sih?!" Vita berusaha mendorong tubuh Nevan.

"Lo budek? Gue mau air itu." Ulang Nevan dengan penekanan di empat kata terakhir.

Vita memelotot. "Enggak! Ini punya gue!" Sahut Vita lantang.

Nevan mengernyit. Bukan karena tidak mengerti dengan yang dikatakan gadis ini, hanya rasanya
pelolotan gadis didepannya ini terasa akrab.

Nevan berusaha mengingat, dimana ia pernah bertemu cewek ini?


Sambil Nevan mengalihkan pandangan ke tempat lain. Vita mengerucutkan bibir kesal karena tidak bisa
mendorong Nevan menjauh dari dirinya. Vita sesak, apalagi tubuh Nevan hampir menghimpit tubuh
mungilnya.

Dan kalau dipikirkan lagi, posisi mereka sekarang tidaklah aman.

Vita berdesis kasar. Mau apa sebenarnya cowok ini? Tadi menariknya tanpa izin, lalu sekarang ingin
merampas sesuatu miliknya. Dasar cowok aneh.

Tiba- tiba Nevan kembali menjatuhkan arah pandangannya pada Vita. Kemudian Nevan menutup mulut
dan hidung Vita dengan tangannya, membuat Vita melotot tak terima.

"Lo ... cewek yang ngintipin gue kemaren, kan?" Celetuk Nevan.

Mata Vita yang sudah memelotot kini bertambah lebar. Lalu dengan segenap kekesalan Vita menendang
selangkangan Nevan.

BAK!

"Ah!!" Nevan langsung merapatkan kedua kakinya lalu terjatuh di lantai sambil meringkuk memegangi
bawah perutnya.

Vita juga agak meringis, apa yang dilakukannya sama sekali tidak direncanakan. Spontan, terjadi begitu
saja.

Namun, mengingat apa yang sudah Nevan lakukan, Vita akhirnya kembali kesal.

"Minuman ini punya gue, lo gak berhak ngambil punya orang. Dan yang terpenting, gue gak ngintipin lo!"
Tukas Vita sembari mengayunkan langkah.
"Satu lagi," Ucap Vita sambil berbalik menatap Nevan. "Lo tuh memang cowok mesum!" Sinis Vita sambil
berjalan meninggalkan Nevan.

Nevan memukul- mukul lantai dengan satu tangannya yang tidak memegang ke area yang sakit. Jika saja
itu cowok, maka dengan senang hati Nevan akan menghajarnya. Tapi karena itu adalah Vita, Nevan
urungkan niat itu.

Keputusan Nevan sudah bulat, ia menginginkan gadis itu.

•••

Vita keluar dari kantin dengan wajah merengut kesal. Waktu istirahatnya terbuang sia- sia karena cowok
mesum yang menguncinya dengan posisi ambigu tadi.

Sambil menghentak- hentakkan kaki, Vita berjalan cepat menuju kelasnya.

Diseberang sana, Arga dan dua sahabatnya tengah berjalan sambil bersenda gurau. Mereka tertawa dan
beberapa kali saling menjitaki satu sama lain.

Vita tak menyadarinya, begitu mereka berpapasan, Vita langsung melengos tanpa menyapa atau
tersenyum sedikitpun.

Arga yang memang dari jauh sudah melihat Vita dan berancang- ancang untuk menegur cewek itu
langsung bungkam. Semua kalimat yang telah ia susun rapi kini hilang terbawa angin.

Sikap Vita begitu acuh dan Arga jadi ciut seketika.


Arga menghela nafas kalut. Secepat itu kondisi hubungannya dengan Vita berubah. Bahkan Vita marah
padanya untuk alasan yang Arga sendiri tidak tahu apa.

Arga mendengus. Kesal pada dirinya sendiri yang entah kenapa tiba- tiba kehilangan percaya diri. Ia akui
dadanya sesak karena diacuhkan gadis manis itu.

Seperti yang pernah Arga katakan, ada sesuatu darinya yang hilang jika melihat sikap Vita yang sekarang.

•••

Vita duduk di kursinya, menengadah dan memejamkan mata sejenak.

Vita baru akan bernafas tenang hingga sebuah seruan melengking terdengar hingga membuat Vita
membuka matanya.

"VITA! LO GAK DIAPA- APAIN, KAN?!" Pekik Febri dramatis. Ingin sekali Vita timpuk pakai sendal jepit.

Sedangkan dibelakangnya terlihat Rilya yang selalu berwajah datar. Vita saja kadang jengah melihat Rilya
jarang berekspresi.

"Itu toa jangan dibawa kemana- mana, please." Ucap Vita malas.

"Eh, tapi sejak kapan kalian dibelakang gue?" Tanya Vita sambil mendudukkan diri tegak.

Rilya duduk disebelah Vita. "Gila kan, lo? Kita tereakin dari kantin tapi gak denger. Udah jalan kayak mau
ngerobohin lante. Gedebak- gedebuk." Tukas Rilya.
"Tapi lo gak diapa- apain sama Nevan, kan, Vi?" Tanya Febri yang duduk didepan Vita.

Vita mengernyit. "Nevan?"

Febri berdecak. "Jangan bilang lo gak tau siapa Nevan. Itu loh, cowok yang tadi narik lo dari kantin, terus
yang bikin lo badmood." Jelas Febri sambil menggigit gorengan didalam plastiknya.

"Gue juga gak tau, Feb." Komentar Rilya yang menyeruput teh gelas.

"Kudet banget sih kalean." Ujar Vita jengah.

Vita dan Rilya saling berpandangan, lalu mengedikkan bahu tak peduli.

"Cowok mesum doang, mah. Jijik gue ngedenger namanya." Ucap Vita melipat tangan ke dada.

"Eh, Vi!" Panggil Febri mendadak.

"Hmm." Vita hanya bergumam tanpa membuka mata. Ia lelah, entah kenapa ada banyak perasaan kesal
dan gelisah menghampirinya beberapa hari ini.

"Vi!" Panggil Febri lagi.

"Apa?"

"Viiii!" Febri kesal.


Vita berdesis malas, lalu ia buka matanya. "Va Vi Va Vi, mulu. Kenapa?" Tanya Vita.

"Lo liat Kak Arga gak tadi?"

"Hah?" Vita mengernyit. "Kapan?" Tanyanya.

"Pas kita keluar dari kantin, gak sengaja papasan sama Kak Arga dan lo gak nyapa dia. Padahal Kak Arga
ngeliatin lo." Ini Rilya yang menjelaskan.

Vita menyipitkan mata, lalu tak lama ia menutup wajahnya.

"Gue gak liat." Ucap Vita parau.

Dengan sisa tenaga yang ada, Vita menggaruk- garuk meja sambil menjerit tertahan.

Vita yakin hubungannya dengan Arga akan bertambah buruk.

Sebelllllll!

###

"Seriusan, deh. Celin pacarnya Kak Arga." ujar Celin bangga pada sekumpulan teman ceweknya.

"Serius banget, nih?"

"Gak yakin."
"Ih, gak deh. Kamu bohong, kan?"

"Kalian gak percaya? Nih buktinya." Ucap Celin sambil memperlihatkan riwayat percakapannya dengan
kontak yang ia beri nama 'Arga♥'.

"Romantis banget, Cel." Ucap temannya menatap kagum layar handphone Celin.

"Ih, Kak Arga bener pacarmu." Tukas yang lain dengan separuh kekesalan di dada.

Celin tersenyum, berbangga hati karena senior yang terkenal suka menolak cewek itu kini adalah
pacarnya.

Arga yang sulit ditaklukkan namun luluh dengan Celin. Gadis bule itu jelas bangga dan menampilkan
senyum sumringahnya.

"Apa ini?" Febri tiba- tiba menyerobot di antara kumpulan dan mengambil handphone Celin lalu
membacanya dengan teliti.

"Kamu siapa?" Tanya Celin sambil merebut kembali handphonenya.

"Itu siapa?" Tanya Febri.

"Kok balik nanya?"

"Kak Arga pacar lo? Jadi elo cewek yang digosipin sama Kak Arga itu?!" Tanya Febri dengan menampilkan
reaksi dramatisnya.
Celin mengernyit, namun tak lama seringaian penuh makna terukir di bibirnya. Celin mengangguk.

"Lo pasti seneng, kan? Secara satu sekolah ngegosipin lo." Cerca Febri sarkastik.

"Celin seneng bisa pacaran sama Kak Arga. Tapi kalo masalah gosip, Celin gak tau." Balas Celin santai,
tersenyum, kemudian pergi dari sana.

Febri menatap sinis ke arah Celin. Ia mengumpat kesal, dilayangkannya sumpah serapah pada gadis bule
yang sok cantik itu.

•••

"Nih!" Ucap Febri sembari meletakkan kantung plastik berisi beberapa makanan dan minuman ke atas
meja Vita.

"Wih, makasih, Feb." Vita memandang makanan itu dengan mata berbinar antusias.

"Setiap istirahat, lo aja yang ke kantin, jadi gue sama Rilya tinggal nitip." Kata Vita sambil membuka
menusukkan sedotan ke susu kemasannya.

Febri langsuk mencebik. "Oh, tidak bisa itu. Gantian! Males banget gue beliin titipan kalian." Tolak Febri
sinis.

Vita dan Rilya tertawa melihatnya.

"Entar gue sama lo aja ya, Feb, yang ke kantin. Vita gak usah." Usul Rilya yang langsung direspon
anggukan dari Febri.
"Ih, thank you.." Ucap Vita girang. Diberikannya ciuman jarak jauh untuk Febri dan Rilya hingga mereka
merasa ingin muntah.

Mereka bertiga diam selang beberapa menit. Menikmati makanan atau minuman dengan tenang.

Ditengah kegiatan itu, Febri mengingat sesuatu. Membuat mulutnya terasa gatal untuk
memberitahukannya.

Febri melirik Vita. Gadis itu tampak lebih baik dari hari sebelumnya. Dimana kemarin Vita badmood
habis- habisan. Bawaannya ingin mencakar atau bahkan meneriaki orang. Untung, Febri dan Rilya tahan
berteman dengan Vita yang super moodyan.

Untung juga, hari ini mood Vita sedang baik. Ia ceria dan bersemangat. Karena mood Vita yang baik
membuat Febri mengurungkan niatnya. Ia tak mau mengacaukan mood Vita.

Diam- diam, Rilya memperhatikan tindak tanduk Febri. Ia sadar Febri seperti ingin mengatakan sesuatu,
namun terhalang sesuatu pula.

"Feb, temenin gue ke toilet, dong." Rilya berdiri dari duduknya.

"Eh? Oke, yuk." Balas Febri ikut berdiri.

"Eh eh? Kok gue gak diajak?" Ucap Vita mendongak. Menatap dua sahabatnya yang lebih tinggi karena
posisinya yang duduk dan mereka berdua berdiri.

"Toilet rame, lo kan gak suka keramaian." Balas Rilya.

Vita mengerucutkan bibir. Namun tak lama kemudian ia mengangguk. Rilya dan Febri pun pergi ke toilet.
•••

Setelah melewati lorong kelas, Rilya menghentikan Febri. Ia celingak celinguk melihat keadaan sekitar.

"Mau ngomong apa?" Tanya Rilya to the point.

Febri yang mendengar itu langsung mengernyit. "Lo Roy Kiyoshi, yak? Tau aja ada yang mau gue
omongin." Celetuk Febri yang membuat Rilya memutar mata malas. "Gue sleding ancur lo." Ancamnya.

Febri terkekeh. "Lo tau gosip terbaru, terpanas dan penuh sensasi?" Ucapnya dengan bibir yang dilentik-
lentikkan, seakan ia adalah presenter acara gosip di stasiun televisi terkenal.

"Y." Balas Rilya singkat. Koreksi:terlalu singkat.

"Nah, tadi gue ketemu curut, cewek yang ngayal jadi pacarnya Kak Arga." Febri menjeda kalimatnya.

"Dan ternyata ... JRENG JRENG JRENG!" Febri membesarkan kedua matanya.

"Gak usah melotot juga, Feb." Ucap Rilya seraya mendorong wajah Febri dengan telapak tangannya.

Febri berdesis sambil menepis tangan Rilya. "Tangan lo bau tanah."

"Tanah apa?" Tanya Rilya bingung.

"Tanah kuburan!"
"Wanjer." Balas Rilya flat.

"Bhakk! Muka lo kek jalan baru di aspal. Datar!" Hardik Febri sambil tertawa keras.

"Lanjut, ah." Desak Rilya yang sudah penasaran.

"Oh iya, elu sih ngajak gue ngomong yang lain, jadinya kan gu...-"

"BODO AMAT, FEB! BURUAN NGOMONG, LAMA AMAT!" Teriak Rilya kencang.

Febri terkekeh lagi. "Curut itu beneran pacarnya Kak Arga."

"Hah?!" Ucap Rilya kaget sekaligus tak percaya. "Gak mungkin." Lanjutnya tak terima.

"Udah ada bukti chat, Ril." Ucap Febri lemah.

"Ih!" Rilya bersungut- sungut sebal.

Febri dan Rilya tentu tak suka dengan apa yang telah terjadi. Walau Vita tak pernah bilang, tak pernah
cerita dan tak mau jujur. Febri maupun Rilya jelas tahu bahwa ada rasa antara Vita dan Arga. Mereka
yakin seakan tak ada celah karena Vita dan Arga saling menyukai.

Namun buruknya, kedua insan yang tengah jatuh cinta ini berperilaku tak menentu. Seakan saling
bungkam lebih baik. Padahal, yang mereka lakukan jauh akan memperburuk keadaan.

Febri dan Rilya mendesah. Tak tahu harus berbuat apa. Semoga saja, Tuhan kirimkan ide cemerlang agar
mereka mampu memperbaiki hubungan ArgaVita.
•••

"AK, nyatet, gih. Elah, udah sampe mana lo?" Tanya Chandra sambil menatap sekilas teman
sebangkunya.

Arga menoleh dengan pulpen yang dijepitkan antara hidung dan bibir yang manyun.

Arga melirik catatannya, lalu beralih ke papan tulis.

"Udah bagian B." Jawab Arga singkat sambil kembali menulis catatan Fisika.

Chandra meletakkan pulpennya di atas buku. Kemudian ia berbalik menghadap Arga yang tengah
menulis dengan dahi mengkerut.

"Cewek yang digosipin sama lo siapa, Ga?" Tanya Chandra setengah berbisik.

Arga menoleh, menaikkan sebelah alisnya sambil menghela nafas. "Gak tau. Gak peduli juga, sih." Balas
Arga.

Jujur, Arga tak mempersalahkan tentang rumor ini. Karena sebelumnya pun Arga pernah menghadapi hal
yang sama. Dan seiring berjalannya waktu, rumor itu menghilang dengan sendirinya.

Jadi kali ini Arga lebih memilih cuek dan bersikap seperti biasa.

Namun, Chandra tak merasakan hal demikian. Ia selalu tak nyaman setiap mendengar rumor tentang
Arga.
"AK, sumpah gue gak suka." Ucap Chandra.

Arga tersenyum kecil. "Udah tenang aja. Gue rasa semuanya bakal baik- baik aja." Kata Arga berusaha
menenangkan Chandra.

Chandra menghela nafas berat, ia mengangguk walau sebenarnya tak rela.

"Ga."Panggil Chandra.

Arga tak menoleh. "Huh? Paan?"

"ARGA, KOK CATATANNYA UDAH SAMPE BAGIAN D?!"

Arga menautkan alis. "Emang kenapa?"

"GUE BARU MASUK BAGIAN B, GA!" Teriak Chandra dramatis.

"Alay banget, Chand. Jijik gua." Komentar Arga.

•••

Vita duduk dengan tenang walau dari tadi ia terus memasang wajah manyun.

Sejak kembali dari toilet, Febri dan Rilya tak banyak bicara. Padahal biasanya, saat jamkos seperti
sekarang, mereka bertiga akan berbincang atau melakukan permainan lawas. Permainan yang pernah
mereka mainkan sewaktu kecil. ... misalnya.
"Feb, Ril, ngomong napa. Diem- diam bae." Celetuk Vita.

Febri tersenyum, namun dimata Vita, itu lebih pantas dikatakan seringaian masam. Sedangkan Rilya
memberikan reaksi datar, sama seperti biasa.

"Hai, Vi." Sapa teman sekelas Vita, yang ia ketahui bernama Friska.

"Hai." Balas Vita sambil tersenyum lebar.

"Lo tipe anak yang kalem ya, Vi." Cetus Friska berdiri disamping meja Vita.

"Huekk." Febri tiba- tiba mual, mual bohongan maksudnya. Sedangkan garis lurus bibir Rilya tampak
bergetar, menandakan ia sedang menahan tawa. Vita mendeliki dua sahabatnya itu.

"Gue mau cerita sama lo, boleh?" Tanya Friska.

"Iya, boleh." Sahut Vita.

"Lo pasti tau gosip tentang Kak Arga, kan?" Tanya Friska memulai obrolan panas yang akhir- akhir ini
mencuat ke permukaan.

Vita mengangguk berat.

"Kalo ada buktinya, lo baka percaya, gak?!" Tanyanya antusias, membuat Vita agak terkejut.

"Emangnya ud- ah ada bukti?" Tanya Vita khawatir.


"Ada!" Jawab Friska lebih antusias.

"Aduh duh." Tiba- tiba Rilya mengaduh sambil memegang kepalanya. Dengan cekatan, Vita segera
mendekati Vita.

"Are you okay?" Tanya Vita. "UKS, yuk?" Ajaknya.

Rilya bangkit dari kursi dibantu Vita dan Febri. Tiga sahabat itu lalu berjalan meninggalkan Friska yang
menghela nafas kesal karena ceritanya terpotong.

•••

"Catatan kumpul sama gue, ya." Pekik Arga pada seluruh temannya.

"Sabar, Arga kampret. Gue ketinggalan banyak ini." Chandra menulis dengan terburu- buru.

"Lelet." Cibir Arga.

Seorang cewek tomboy namun berwajah manis menghampiri Arga sambil menyodorkan sebuah buku.

"Gue gak nyangka, lo pacaran sama adek kelas, Ga. Kemarin lo nolak gue alesannya pengen fokus belajar,
kan?" Sinis cewek itu.

Arga mengkerutkan dahi, sedetik kemudian ia bersikap cuek.


Berbeda dengan Chandra, cowok itu terang- terangan memperlihatkan pelototan khasnya. Yang
dipelototi pergi setelah mencebik kesal.

"Santai. Lo kok kayak mau nelen orang." Ejek Arga.Chandra menghembuskan nafas.

"Oke, deh. Gue anter buku catatan anak- anak dulu, ya." Pamit Arta sambil mengangkat tumpukan buku
tulis.

"Gue bantu?" Tawar Chandra berbaik hati.

"Gak usah. Gue bisa sendiri. Lo gak usah sok baik." Ucap Arga nyengir sambil berjalan keluar kelas. Tak
lupa ia dihadiahi lemparan sepatu dari Chandra.

•••

BRUK!

Vita mengaduh pelan saat ia menabrak sesuatu. Sesaat setelah ia membuka mata, tumpukan buku
tampak berserakan dan seorang laki- laki berseragam itu mengumpulkan buku- bukunya kembali.

Vita yang merasa tak enak, langsung mendekati cowok itu dan membantu berberes buku.

"Maaf.." Ucap Vita.

Anak laki- laki itu mendongak. Sehingga Vita membelalakkan matanya.

"Kak Arga?" Serunya kaget.


Arga dan Vita berdiri. Melihat tumpukan buku ditangan Arga membuat Vita merasa tak enak.

"Maaf, kak. Tadi aku gak liat." Cicit Vita.

"Iya, gapapa, Ta. Darimana mau kemana?" Tanya Arga seolah ingin menghilangkan jarak yang beberapa
hari ini membentang di antara mereka.

Jantung Vita mulai memompa lebih cepat dengan darah yang berdesir deras.

"Engh, dari kelas mau ke UKS, kak." Jawab Vita.

"UKS?"

"Iya."

"Kamu sakit?" Tanya Arga.

"Enggak, kak. Tapi tadi temen aku yang sakit." Balas Vita. Diam- diam Arga menghembuskan nafas lega.

"Kakak sendiri mau kemana?" Tanya Vita sembari berjalan menyejajarkan diri dengan langkah panjang
Arga.

Mendengar itu, kontan membuat sebuah senyum manis tercetak di bibir Arga. "Ke ruang guru."
Jawabnya.

"Oh." Vita manggut- manggut.


"Ta..." Panggil Arga lembut.

Vita menoleh, ada apa?

~~

Vote dan komen

tAuthor butuh semanga t

###

Jika aku tahu saat itu kau akan mematahkan hatiku yang tulus untukmu, aku memilih untuk tidak
mengenalmu terlebih dulu

Avita Dwi

•••

"Ta..."

Vita menoleh dengan alis bertautan.

"Senyum kamu manis, jangan pernah berhenti senyum, ya."

Vita mengerutkan dahi selama beberapa detik. Dan setelahnya, raut wajah Vita terlihat pasrah.
Nafas Vita tercekat. Apa yang Arga katakan barusan lebih seperti menggores hati Vita lebih dalam.
Seakan mengambil secercah harapan yang pernah Vita lindungi dengan segenap jiwa.

Bagaimana Vita bisa terus menampilkan senyum yang Arga sukai itu jika Arga sendiri yang telah
menghapusnya?

Seharusnya Arga mengatakan sesuatu yang lain. Seperti memberi kejelasan mungkin? Yang dibutuhkan
Vita sekarang adalah hal itu.

"Kakak yakin kamu akan jauh lebih mempercayai kakak. Jadi, nothing must for I explain." Jelasnya tanpa
menoleh.

Vita mengerutkan dahi khawatir. Diteguknya saliva dengan berat dan terasa tersendat di kerongkongan.

"Iya." sahut Vita sambil tersenyum.

Vita merasakan matanya memanas dan dadanya agak sesak. Vita menoleh ke arah berlawanan dari Arga.
Dikuceknya kedua matanya agar tak ada bulir bening yang menetes.

Kemudian mereka berpencar, berpisah tanpa sepatah kata pun. Vita sempat menyadari satu hal, yang
membuatnya semakin hancur.

Akankah hubungannya dengan Arga akan berakhir begitu saja tanpa sebuah kejelasan atau penjelasan?

Vita berjalan lebih cepat. Mengabaikan matanya yang memanas, ia hanya ingin segera melesat ke UKS.

•••
Rilya dan Febri duduk diatas bankar. Sebenarnya, Rilya tak sungguh- sungguh sakit. Ia hanya berusaha
membuat Vita tak mendengar ocehan Friska tentang bukti chat antara Arga dan Celin.

"Gimana sih, tuh curut bisa ada bukti chat?" Tanya Rilya dengan nada kesal.

"Auk, tuh! Demi kadal Mesir yang nyasar ke Afrika, gue sumpahin jadi adonan bolu kukus deh itu cewek."
Cerca Febri tak kalah kesal.

"Iya. Entar loyangnya biar gue yang beliin. Loyang berbentuk fesesnya kudanil." Timpal Rilya.

Setelah mengeluarkan unek- unek mereka, Febri dan Rilya tertawa. Dilanjutkan dengan ber tos ria.

Febri dan Rilya kompak menoleh ketika ada bayangan seseorang memasuki UKS. Setelah memicing, satu
di antara mereka membuka suara.

"Vi, kenapa?" Tanya Rilya yang sudah khawatir duluan sebab melihay wajah muram Vita.

"Sini, duduk deket gue." Ajak Febri sambil menepuk- nepuk sisi kirinya, menyuruh Vita duduk di sana.

Vita pun duduk dengan lemah. Ia gigit bibir bawahnya hingga tampak membekas kemerahan.

"Ada apa?" Tanya Rilya.

"Lo gak sakit lagi?" Tanya Vita.

Rilya berdecak. "Gue nanya duluan, ya. Jadi lo harus jawab."


Dengan iseng, Febri menusuk- nusukkan telunjuknya ke pipi Vita. "Jawab, jawab, jawab." Desaknya
kekanak- kanakan.

Vita mendesah. "Tadi gue ketemu Kak Arga." Ucapnya yang sukses membuat Febri dan Rilya
membulatkan mata kaget.

"Tapi gue tuh bingung, deh. Bukannya jelasin apa- apa, Kak Arga malah nyuruh gue supaya terus senyum.
Aneh." Adu Vita.

Febri mengangkat dagu Vita hingga mereka berdua bertatapan. "Terus?" Tanyanya penasaran.

"Kak Arga ngomong apa lagi?" Tanya Rilya.

"Kak Arga juga bilang gak ada yang perlu dia jelasin, karena dia yakin kalo gue percaya sama dia. Tapi,
gue tuh ngerasa aneh sama perasaan gue sendiri, Feb, Ril." Keluh Vita kalut.

"Maksud Kak Arga apaan, cobak?" Sambungnya.

Rilya menyipit, lalu mengangguk yakin. "Gini ya, Avita Dwi. Menurut pengamatan seorang Rilya Adeline,
maksud seorang Arga Keano bilang kayak gitu adalah, dia pengen lo terus senyum apapun yang terjadi
karena Kak Arga yakin banget lo pasti gak terpengaruh sama rumor buruk tentang dia. Jadi, intinya
adalah, Kak Arga pengen lo tetep sama dia walau dunia menjauhi dia. Kak Arga bilang senyum lo manis,
kan?

Nah, tandanya dia suka senyum lo, Vi. Dan penyemangat Kak Arga sekarang adalah senyum lo. Jadi lo
jangan pernah berenti senyum, karena kalo lo berenti maka semangat Kak Arga bakal ilang." Jelas Rilya
panjang namun tak lebar.
Butuh waktu lama untuk Febri mengerti, namun setelah paham ia mengangguk setuju.

Sedangkan Vita memiringkan kepalanya, memikirkan penuturan Rilya. Sebelum Rilya bilang, teori
semacam itu memang terpikirkan oleh Vita. Namun, karena kekesalan tak beralasan dan tingginya ego
Vita membuatnya menampik semua hal itu.

Kini, setelah Rilya jelaskan, barulah Vita mengambil satu kesimpulan.

Kepercayaan adalah kunci sukses berjalannya suatu hubungan.

Dan Vita harus percaya pada Arga, karena meski dunia berkata buruk tentang Arga, Vita tetap lebih
mengenal Arga.

Jika Vita adalah semangat Arga, maka Arga adalah kebanggaan Vita. Apapun yang terjadi, hati Vita selalu
punya alasan untuk membanggakan Arga.

Vita harus menyelesaikannya secepat mungkin.

"Makasih, Ril. Gue udah ngerti sekarang." Ucap Vita sambil memeluk Rilya.

"Keliatan, kan? Selama beberapa hari belakangan bego lo kumat, makanya lebih milih manyun gak jelas
daripada temuin Kak Arga." Cetus Rilya membalas pelukan Febri.

"Ih, Febri ikut.." Rengek Febri sambil memeluk dua sahabatnya itu.

Vita menghela nafas tenang. Setidaknya, satu masalah sudah hampir terselesaikan.
•••

Vita tengah duduk di taman. Sendirian, karena Febri dan Rilya sudah dijemput sejak 15 menit yang lalu.

Vita terus menunggu. Tak peduli sudah berapa lama ia duduk dan ditanyai hal yang sama oleh beberapa
orang yang lewat.

"Nunggu siapa?"

Itulah pertanyaan yang terlontar dari setiap orang yang lewat di koridor. Menyapa Vita sekilas sebelum
kembali melanjutkan perjalanannya.

Jawaban Vita juga sama, yakni menunggu sang kakak senior.

Sepulang dari UKS tadi, Vita langsung menulis sepucuk surat untuk Arga yang diletakkan didalam loker.
Hanya sebuah kertas kecil yang berisikan permohonan maaf serta ajakan untuk bertemu.

Vita menengok benda melingkar di pergelangan kirinya. Arloji silver itu menunjukkan pukul 14.55 . Vita
menghela nafas panjang, ia harus lebih bersabar. Buang segala pikiran negative dan yakin saja bahwa
Arga terlambat karena ada urusan OSIS.

Vita memilih duduk sembari menyaksikan langit yang kurang baik. Sebab awan gelap berkumpul dan
membuat cahaya jadi agak menggelap. Mendung, sebentar lagi pasti akan hujan.

Vita agak gelisah. Ia jadi ragu apakah suratnya sudah dibaca Arga atau belum. Jika belum, maka wajar
saja Arga tidak datang.

Vita kembali melirik arlojinya yang sudah berdalih menunjukkan pukul 14.58 . Untuk ke sekian kalinya,
Vita menghembuskan nafas. Sudah terlalu lama dan Arga belum datang sama sekali.
"Neng!" Pekik seseorang bersuara berat dari koridor.

Vita berbalik dan menoleh ke arah itu. Ia memicing.

Seseorang itu segera menghampiri Vita karena tidak mendapat respon. "Neng, Avita Dwi, ya?" Tanyanya.

Vita mengangguk. "Iya, pak. Ada apa?" Jawab Vita pada satpam sekolah itu.

"Udah dijemput, Neng. Saya disuruh untuk nganter Neng ke luar." Ucapnya lagi.

Entah karena apa, mata Vita jadi berbinar. "Dijemput siapa, Pak?"

"Abangnya Eneng."

Vita mencebik kecewa. Abang, berarti itu adalah Denis. Vita pikir Arga yang akan mengantarnya pulang
hari ini sekaligus karena ia tidak bisa datang ke taman.

Vita mengangguk. Lalu berdiri dan berjalan dengan kaki agak menghentak. Yakin saja, Arga tidak
membaca surat yang Vita berikan hingga Arga tidak tahu untuk datang ke taman. Vita mengangguk
berusaha yakin.

Vita memeluk dirinya sendiri karena bulu kuduknya berdiri sebab kedinginan. Langit lebih gelap dan
suara- suara geledek sudah terdengar. Dengan cepat, Vita ayunkan langkah menuju mobil Denis.

Namun langkah itu berhenti,dengan mata yang membulat tak percaya dan hati yang tiba- tiba sakit.
Vita menyaksikan bagaimana Arga tengah bicara pada sosok yang selama ini Vita tidak sukai. Sosok yang
dikatakan adalah pacarnya Arga.

Mereka saling melempar senyum dan tampak rileks, seakan mereka sudah dekat sejak lama, tidak ada
jarak.

Vita mematung, tak tahu harus berbuat apa. Bahkan ia sampai bingung harus berkedip atau tidak, sebab
ia tidak mau meninggalkan sedikit momen pun antara dua orang itu.

Nafas Vita semakin sesak dan salivanya sulit untuk ditelan. Vita melihat dengan jelas, Arga memegang
sesuatu ditangannya. Sesuatu benda kecil yang menjadi harapan besar bagi Vita.

Surat yang Vita letakkan di loker. Arga memegang surat itu.

Itu berarti Arga telah membacanya, kan? Lantas mengapa Arga tidak datang ke sana dan menemui Vita?
Apa alasan penting untuk mengabaikan ajakan perdamaian itu?

Apa alasannya adalah Celin? Jika begitu, Vita patut bertepuk tangan untuk kebodohan dirinya. Yang
menunggu tanpa tujuan jelas. Mencoba mempercayai sesuatu yang salah. Vita tersenyum miring, dia
memang tak mungkin memiliki Arga.

Kaki mungil itu diayunkan menuju luar gerbang, dimana Denis sudah menunggu di sana. Vita baik- baik
saja, ia tidak akan menangis. Vita kuat dan tidak lemah.

"Tumben jemput." cerca Vita begitu masuk ke mobil.

"Kampret, ngapain duduk dibelakang? Lo kira gue supir lo apa?" tolak Denis karena melihat Vita duduk di
kursi belakang.
Vita berdecak. "Buruan, elah."

Denis memutar matanya malas, lalu ia hidupnya mesin mobilnya.

Vita melempar pandangan ke luar jendela, menyaksikan rintik demi rintik hujan mulai turun membasahi
bumi.

Dan sekali lagi, Vita harus merasakan hatinya sakit dan perih.

Baru saja Vita melihat Arga dan Celin masuk ke mobil yang sama. Berdua, tanpa ada rasa canggung.

Tak sadar, Vita menggenggam rok sekolahnya hingga kusut. Vita menengok ke depan, ke arah Denis yang
ternyata sesekali mencuri pandang lewat spion diatas setir.

Vita pun membalikkan tubuhnya. Sengaja biar Denis tidak melihat raut wajahnya yang kecewa.

Vita sekuat tenaga mengatur nafas agar isakanya tak keluar. Vita kecewa, sangat kecewa. Segala harapan
baik untuk hubungannya dengan Arga kini menguap seketika. Berbagai rencana indah yang telah
direncanakan lenyap tanpa bekas. Tinggal menyisakan luka yang menyakiti seluruh raga.

Arga mengantar Celin pulang namun tidak mau menyempatkan sedikit dari waktunya yang sibuk untuk
sekedar memenuhi ajakan Vita. Apa Vita tidak sepenting itu? Ada dinomor berapa Vita dalam daftar
prioritas Arga?

Dan jika Arga tidak mau datang, Arga bisa mengatakannya. Jangan bersikap seolah tak tahu apa- apa dan
malah menimbulkan kekecewaan yang mendalam.

Vita menghela nafas, ia sadar satu hal.


Arga memang ahli mempermainkan perasaan. Selalu membuat orang berada di langit tinggi lalu dengan
tega menjatuhkan ke lubang suram.

Arga memang hebat, dan Vita harus mengakuinya.

~~

Yang greget sama Arga silahkan tampol onlin e�Author juga keze l�

Jangan silent reader! Kasih vote dan komen untuk menghargai karya seseorang:)

Btw, aing inget siapa aja pembaca setia. Aing berharap banget cerita ini bisa tembus 100k vote atau
bahkan lebih. Aing pengen cerita ini dibukukan. Aamiin in aja:)

Aing inget siapa semangat aing kalo bikin ini cerita. Aing inget nama mereka yang jadi pembaca paling
awal kalo aing up. Gak usah disebut, aing cuma berharap mereka gak bosen dan semoga pembacanya
makin banyak. Aamiin

###

Anak laki- laki tampan itu bersandar di kursi kantin. Bangku paling tengah yang tentu akan jadi pusat
perhatian jika ia mendudukinya.

Nevan tak perduli, ia tetap memasang wajah datar. Masa bodoh, ia hanya ingin bersantai sejenak.

"Bro?" panggil seseorang ramah.


Dahi Nevan mengkerut. Ia membuka mata, namun kembali menutupnya tanpa merespon panggilan itu.

"Gue boleh duduk di sini?" tanya cowok itu sembari mengambil ancang- ancang untuk duduk.

Namun yang dilakukan Nevan benar- benar diluar dugaan.

Anak laki- laki itu mengangkat kedua kakinya ke atas meja dan melipat tangan ke dada. Semakin
mengabaikan banyak pandangan tak suka atau bahkan cibiran buruk untuknya. Sebagai murid pindahan,
sikap Nevan terlampau berani dan kurang ajar.

"Lo mending pergi sebelum gue hajar." ancam Nevan dingin.

Cowok itu meneguk ludah kasar. Kemudian dengan langkah cepat ia meninggalkan Nevan dengan
'bangku' kekuasaannya.

Nevan membuka mata, menghadiahkan pandangan dingin untuk semua orang yang menatapnya. Wajah
datar yang siap sedia untuk kaum hawa yang menyukai ketampanannya atau kaum adam yang mencoba
berteman dengannya.

Nevan benci orang- orang asing yang berusaha masuk ke kehidupannya. Mengganggu. Nevan tak suka
diusik.

Tangan Nevan merogoh saku celananya. Mengeluarkan benda pipih yang Nevan beli dengan harga mahal
lalu digunakannya benda itu untuk bermain game.

Nevan tenggelam dalam dunianya. Dunia yang selama ini menemani keseharian Nevan. Kecuali, jika
Nevan lebih memilih menyalurkan kebosanannya lewat kekerasan. Seperti menghajar orang- orang yang
menentangnya? Hal sekasar itu sudah biasa bagi Nevan.
Nevan mendelik ketika seorang cowok berseragam menggeser posisi kakinya. Apalagi deheman cowok
itu begitu mengganggu di telinga Nevan.

"Pergi." titah Nevan dingin.

"Lo Nevaniel Geraldie?" tanyanya sembari duduk didepan Nevan. Karena telapak kaki Nevan tepat
dihadapan wajahnya, cowok itu pun kembali menggesernya.

"Gue Arga, ketua OSIS Indonesia High School." tutur cowok berseragam itu- Arga sambil tersenyum
ramah.

"Gak perduli." sangkahnya acuh.

Arga mengangkat satu kakinya ke atas paha, lalu ia bersender dan melipat tangan ke dada. "Gue tau apa
yang udah lo lakuin di sekolah sebelumnya sampe harus pindah ke sini." ujar Arga sarkas.

Nevan mengangkat sebelah alisnya. "Bukan urusan lo." tukasnya.

Arga tersenyum miring. Lalu ia berdiri dan kembali menggeser kaki Nevan. Kali ini dengan kuat hingga
kaki Nevan jatuh ke bawa.

Merasa diremehkan, Nevan pun bangkit dan menggebrak meja. "Maksud lo apa, hah?!" teriaknya marah.

Sontak, semua yang ada di kantin terdiam. Mata mereka membulat kaget.

Arga pasang wajah datar, tak kalah dingin dari Nevan. "Berbuat onar di sini, lo gue tunggu di BK." ucap
Arga sarkartik lalu meninggalkan kantin.
Nevan diam. Namun mata tajamnya yang sarat akan amarah terus menatap Arga, tidak peduli meski
cowok itu bahkan sudah hilang di keramaian kantin.

Nevan ditantang? Bagus, Nevan suka tantangan. Baginya hidup adalah tentang bagaimana kita
menyelesaikan suatu hambatan, bukan hanya sekedar menjalani keseharian membosankan.

Nevan tersenyum miring. Peringatan Arga tadi lebih mirip ajakan dipikiran Nevan.

Mungkin, Nevan akan membuat masalah nanti?

Nevan siap melakukannya.

•••

Nevan berhasil keluar kelas dengan alasan sakit maagh, padahal penyakit seperti itu tidak pernah Nevan
alami. Lagipula, cowok itu sudah makan diistirahat pertama tadi.

Nevan memasukkan tangan ke saku celana, sedangkan tangan satunya ia gunakan untuk bermain ponsel.
Tak lupa, sepasang headshet menyumpal telinganya.

Nevan berencana untuk pergi ke rooftop, karena ia yakin tidur di perpustakaan tidaklah aman. Bisa- bisa
jatah tidur siang Nevan terpotong karena ocehan orang yang memergokinya.

Nevan hendak belok ditikungan ketika matanya menangkap sosok yang tak asing.

Gadis dengan seragam yang terpasang rapi itu tampak berjalan beriringan dengan cowok yang wajahnya
cukup familiar bagi Nevan, namun sulit untuk ia ingat.
Abaikan dulu cowok itu, Nevan penasaran dengan gadis itu. Gadis yang membuat Nevan jatuh hati pada
pandangan pertama. Hanya dengan sebuah pelototan gratis yang gadis itu berikan untuknya.

Nevan menarik kerah kemeja seorang cowok berkacamata bulat yang lewat disampingnya. Lalu dengan
wajah dingin ia bertanya, "Kenal cewek itu?" tanya Nevan sambil menunjuk gadis yang ia maksud.

Si kacamata bulat itu memicing, lalu ia mengangguk dengan gemetar. "Itu namanya Avita. Pa- pacarnya
Arga." jawabnya.

Nevan menyipit tak suka, kemudian didorongnya si kacamata bulat itu hingga terjatuh ke belakang.

"Pergi." titah Nevan yang sukses membuat si kacamata ketakutan. Ia pun segera berlari menjauhi Nevan.

Nevan mendengus. Titik fokusnya hanya satu. Vita dan Arga.

Nevan berdecih, rupanya wanita yang Nevan suka tengah dekat dengan pria yang Nevan musuhi?

Ketua OSIS yang dengan lagaknya menantang seorang Nevaniel Geraldie? Nevan sungguh merasa
tertantang.

Seperti yang Nevan katakan, ia suka tantangan.

Dan Vita adalah tantangan tersulit yang pernah Nevan hadapi.

Tapi sesulit apapun, Nevan tak akan menyerah. Nevan tak mau kalah. Bagaimana pun, ia akan
menaklukkan apa yang menjadi tantangannya.
Sebuah senyuman miring terukir di bibirnya. Nevan sudah memutuskan, ia akan membalas Arga dengan
cara yang lebih menyakitkan.

Merebut Vita, mungkin? Nevan rasa itu ide yang bagus. Lagipula sejak pertama kali melihat Vita, Nevan
sudah jatuh hati padanya. Jadi, alasan itu sudah cukup bagi Nevan untuk melancarkan aksinya.

Vita berbeda, dan itulah yang Nevan sukai.

Lamunan Nevan buyar ketika Vita dan Arga berjalan ke arah yang berbeda.

Nevan pun bersembunyi agar kehadirannya tidak dilihat Arga. Setelah Arga melewatinya, barulah Nevan
berjalan cepat menyusul Vita.

•••

Nevan dan Vita berjarak cukup jauh. Namun selama Nevan bisa mengawasi gadis itu, maka jarak ini tidak
masalah bagi Nevan.

Nevan tak mau sesuatu yang dia inginkan malah menjadi orang lain. Nevan jarang sekali tertarik dengan
satu hal, tapi jika sudah tertarik, maka tak akan pernah Nevan lepas ditengah jalan. Akan dia raih sekuat
tenaga.

Nevan tersenyum kecil. Nama gadis yang ia sukai itu cantik, sama seperti pemiliknya. Dan yang
terpenting, Nevan suka nama itu. Nevan suka gadis itu.

Nevan berhenti ketika melihat Vita masuk ke ruang UKS. Nevan mendecakkan lidah kesal. Vita hilang dari
pandangannya, dan entah mengapa itu membuat Nevan kesal.

Nevan menendang udara, lalu ia pun berbalik. Melakukan tujuan awalnya tadi.
Tidur di rooftop.

~~

Ini about Nevan, ya.

Saya sengaja bikin chapter khusus Nevan biar pembaca lebih mengenal sosok penting dalam cerita ini.

Nevan berpengaruh besar lho untuk hubungan ArgaVita, jadi, saya harap kalian bisa menerima Nevan.

Btw ini Nevan, ya, hehe

Saya suka visual Nevan karena mukanya pas. Ganteng dan dingin, apalagi rambutnya putih kek salju�
Asli dingin coy

Nevan tuh miskin ekspresi, jadi foto diatas kan Nevan senyum dikit, nah itu terjadi kalo deket sama Vita,
doang�

Dont forget vomment

###

"Avita Dwi Fabdilla!" panggil Rilya yang baru saja melewati pintu kelas.
Vita yang sedang duduk sambil menulis langsung mendongak. "Lo manggil apa ngabsen gue, Ril?
Lengkap amat."

Rilya berdecak. Ketika sudah dekat dengan cewek itu, Rilya langsung mendorong kepala Vita dengan
telunjuknya. "Lo kalo badmood boleh, tapi jangan semua orang Lo ketusin, cantik." ujarnya.

Vita hanya mengangguk asal lalu kembali menunduk untuk melanjutkan tulisannya.

"Yok ikut gua!" ajak Rilya langsung menarik tangan Vita.

"NJIR RILYA LO BISA PELAN- PELAN GAK, SIH?!" teriak Vita kesal.

Rilya tidak membalas, ia malah terkekeh pelan sambil terus menarik tangan Vita.

•••

Rilya mengajak Vita ke rooftop, yang menampilkan bangunan menjulang tinggi dengan beberapa pohon
rindang mengiringinya.

Senyum Vita mengembang. Vita merentangkan krdua tangannya sambil menengadah. Dadanya naik
turun dengan tempo teratur, menandakan Vita sedang menghirup udara dengan santai.

Sejenak, beban berat Vita serasa terbang bebas. Membiarkan pundaknya lebih ringan dan santai.

Melihat wajah Vita yang jauh lebih segar membuat Febri dan Rilya saling melempar senyum lega.
"Cantik." celetuk Febri berdiri di sebelah Vita sambil menatap hamparan prmandangan kota milenial
dengan kagum.

Vita menoleh. "Iya, gue tau gue cantik. Makasih." sahut Vita dengan pedenya.

"Njis!" sentak Rilya sembari menyodorkan masing- masing sebotol air mineral pada Vita dan Febri.

Vita terkekeh pelan lalu meneguk air dari botol.

"Vi, penyelesaian masalah terbaik adalah dengan membicarakannya, bukannya malah menarik
kesimpulan sepihak tanpa penjelasan." nasehat Rilya.

Vita langsung menoleh ke arah sahabatnya yang kalem itu. Dimiringkannya kepala sebagai gestur tertarik
dengan apa yang Rilya katakan.

"Dan camkan satu hal, gak semua yang lo liat adalah kebenaran." tambah Rilya.

Vita mendesah. Mencetak senyum palsu yang membuatnya lelah. Yang dikatakan Rilya tidak salah,
namun apa yang Vita lihat kemarin juga tidak bisa disangkal.

"Salahnya kalian adalah gak ada yang mau mengalahkan ego. Malah kek anak kecil, diem- dieman
doang." cibir Febri yang jarang bisa serius.

Vita tertawa kecil. Lalu menoleh pada Febri, yang kalau dilihat dari samping lumayan manis.

"Iya." balas Vita.


Febri mendelik. "Gue ngomong serius gini jangan diketawain." ucap Febri galak yang sukses membuat
Vita bingung sekaligus kesal, "Yang ngetawain lo siapa, ogeb?" sahutnya.

"Jujur aja, dalam hati lo ketawa, kan?" tuduh Febri asal.

"Kampret! Gue lagi serius juga." gerutu Vita kesal.

"Ril, si Vita ketawain gue kan pas gue ngomong serius tadi?" tanya Febri ke Rilya.

Rilya mengedikkan bahu acuh. "Auk. Tanya aja sama rumput yang berdisko." jawabnya ngasal.

Seharusnya Vita dan Febri memukul kepala Rilya bersama- sama karena jawabannya yang tak masuk
akal.

Tapi, Vita dan Febri tampak antusias mendengar jawaban Rilya. Cepat- cepat mereka berlari menuju ke
pagar pembatas pinggiran rooftop dan menunduk ke bawah. Ada kumpulan ilalang panjang yang
bergoyang sebab tertiup angin.

"WOY RUMPUT! VITA TADI NGETAWAIN GUE, KAN?" pekik Vita bertanya pada rerumputan dibawah.

Vita tertawa sambil menepuk kepala Febri keras. "Pinter! Mana bisa dia jawab."

Febri berdesis sambil membalas Vita dengan mencubit lengan cewek itu. "Biarin, sih. Sesuka gue."
tukasnya.

Vita hanya mengangguk- angguk sembari mengusap ekor matanya yang hampir mengeluarkan air mata.
Setelah itu, Vita tersenyun sumringah begitu sebuah ide muncul di otaknya.
"HAI RUMPUT! CIE DISAPA AVITA YANG CANTIK! AKU MAU NANYA, EMANGNYA TADI AKU KETAWA, YA?"
pekik Vita.

"NAJES, VI! NARSIS AMAT!" Febri tertawa dan menggeplak kepala Vita.

"Kalo gue najis elu hadats, Feb." balas Vita sambil menepuk jidat Febri.

Vita dan Febri tertawa, tak bisa berhenti. Rilya hanya memerhatikan mereka saja dari belakang. Rasanya
sangat lega melihat Vita tersenyum begitu lebar.

KLANG!

"Aw!"

Vita dan Febri sontak menoleh ke belakang. Mata mereka membulat kaget. Rilya meringis kesakitan
sambil memegangi kepala bagian belakangnya.

"Anying, siapa sih yang nendang kaleng sembarangan?!" rutuk Rilya spontan dengan nada tinggi.

"Ril!" Vita dan Febri langsung mendekati Rilya dan mengusap kepala cewek itu.

"Sakit?" tanya Febri.

"Gak usah ditanya, pinter. Ya udah pasti sakit, lah!" sahut Vita.

"Iye. Gak usah ngegas, nyet." jengah Febri.


"Bacot! Kepala gue pusing." ujar Rilya.

"Feb, anter Rilya ke uks. Entar gue nyusul." usul Vita yang langsung dikerjakan Febri. Dirangkulnya Rilya
untuk berdiri dan mereka pun berjalan ke UKS.

Vita berdiri, memicing sambil berkacak pinggang. Memasang wajah galak agar orang yang menendang
kaleng tadi takut.

Mata Vita melebar ketika sampai diujung rooftop. Di sana, Vita melihat seorang cowok dengan kaus
putih polos dan celana sekolah tengah menyulut tembakau.

Vita mendengus. Ia kumpulkan keberanian sebelum akhirnya mengayunkan langkah mantap menuju
cowok itu.

"Heh!" tegur Vita galak dan dengan suara garangnya.

"Lo yang tadi nendang kaleng, kan? Lo tau gak kalo kaleng itu kena kepala temen gue? Kalo dia geger
otak gimana?!" tandas Vita kesal.

Cowok itu diam. Masih menyulut rokoknya dengan tenang. Bahkan sesekali menghembuskan asap
rokoknya ke udara.

"Woy!" panggil Vita.

Cowok itu tak merespon. Entah dia yang memang tidak mendengar atau sengaja tidak membalas karena
malas berdebat dengan macan betina ini.

Vita memekik tertahan sangking kesalnya. Ia jadi tak kelihatan galak jika si cowok saja tidak
memandanngnya.
Vita menarik nafas, menahannya dan berseru lantang. "KALO GUE NGOMONG DIPERHATIIN!" pekik Vita
sambil memutar tubuh cowok itu agar mereka berhadapan.

Dan apa yang Vita lakukan berhasil. Cowok itu menghadapnya. Namun, detik berikutnya Vita
membulatkan mata kaget. Kemudian dengan tenaga yang kuat, Vita pukul kepala Nevan dengan botol air
mineral yang masih banyak isinya.

"KOK LO LAGI, SIH?!" teriak Vita frustasi.

Nevan meringis singkat. "Buset. Parah sih lo main geplak aja." Nevan geleng- geleng kepala.

"Lo tuh yang parah! Capek gue ketemu lo mulu!" gerutu Vita.

Nevan malah mengangkat sebelah alisnya. Menampakkan ekspresi yang ingin sekali Vita timpuk pakai
sepatu. "Kalo kita sering ketemu berarti kita jodoh." sahut Nevan santai yang langsung membuat Vita
menyentak, "PRET!"

"Jodohnya Nevan kok marah mulu?" rayu Nevan sambil mencubit pipi Vita.

Vita menepis kasar tangan Nevan yang ada di pipinya. Lalu, ia layangkan botol air ditangannya untuk
memukul kepala Nevan lagi. Namun, dengan mudah Nevan memegang tangan Vita sebelum botol itu
menghakiminya.

Vita terbelalak dengan apa yang Nevan lakukan. Sangat amat iseng, Nevan menghisap rokok dan
menghembuskan asapnya ke wajah Vita.

"Nevan beg-- uhuk! Uhuk!" Vita terbatuk begitu hidungnya menghirup asap rokok. Nafasnya seperti
tercekat dan mata Vita jadi memerah.
"Vita?!" seru Nevan panik. Ia jatuhkan sisa rokoknya dan ia jejak agar apinya padam.

"Lo gapapa?" tanya Nevan sambil menangkup wajah Vita.

PLAK!

Vita mendorong tubuh Nevan setelah menampar pipi mulus Nevan. Membuat kulit Nevan yang mulus
berubah agak kemerahan.

Nevan mematung, namun matanya menatap wajah Vita yang tertekuk kesal.

Nevan mulai menghela nafas ketika Vita berbalik dan melangkah menjauh. Dipandangnya punggung
cewek itu hingga hilang dibalik pintu.

Nevan tersenyum miring, Vita memang yang ia inginkan.

•••

Vita menyusul Febri dan Rilya di UKS. Setelah menyapa singkat guru piket, Vita dengan cepat menuju
banjar dimana Febri baru saja akan mengobati Rilya.

"Udah diobatin?" tanya Vita khawatir.

Febri dan Rilya menoleh. Tidak merespon, mereka hanya diam dan terus menatap lamat pada Vita.
Vita yang tidak mendapat jawaban pun melirik Febri, lalu Rilya. Febri lagi, kemudian kembali pada Rilya.
"Jawab bisa gak? Budek lo pada?" kesal Vita.

"Vi?" panggil Febri.

Vita mengernyit. "Ha?"

"Lo bawa dia ngapain?" Ini Rilya yang bertanya.

"Hah? Siapa?" bingung Vita.

Febri dan Rilya dengan kompak menunjuk ke arah samping Vita. Membuat kerutan di dahi Vita makin
dalam.

Dengan gerakan perlahan, Vita menoleh ke arah tunjuk dua sahabatnya. Dan mata Vita langsung
membulat kaget begitu melihat Nevan disampingnya.

"Ngapain lo ngikutin gue?" ketus Vita.

"Temen lo luka karena gue, jadi gue pengen ngobatin dia." jawab Nevan sembari mengambil alih obat
merah dan kapas tadi tangan Febri.

Vita mencebik, lalu ia melirik Rilya, yang dari wajahnya menunjukkan ketidaksukaan terhadap Nevan.

Vita melirik Nevan, lalu ia mengangkat sebelah alisnya sambil berucap, "Gapapa nih, Ril? Kalo si cowok
mesum yang ngobatin lo?" tanya Vita.
"Gue gak mau." jawab Rilya singkat dan penuh penekanan.

Mendengar itu, sontak membuat Vita menampilkan smirk nya. "Korban gak mau diobatin sama pelaku."
sengit Vita.

"Gih, pergi aja lo." usir Vita sambil menggerak- gerakkan tangannya untuk menyuruh Nevan menjauh.

Nevan mendecakkan lidah kesal. Lalu ia mengangkat wajah, menampakkan ekspresi dingin dan
mencekam. "Gue gak terima penolakan." ucapnya.

Vita berdesis kesal. Mulutnya komat kamit melontarkan sumpah serapah pada cowok mesum yang entah
sejak kapan selalu hadir dihidupnya ini.

Nevan tersenyum diam- diam. Ia senang ketika melihat Vita tidak lagi memberikan perlawanan. Baginya,
ini adalah sebuah kemajuan.

Apa yang Nevan lakukan memang murni keinginannya. Hanya saja ada tujuan terselubung dibalik niat
baik yang jarang sekali ia lakukan itu.

Selain agar tampak sebagai seorang lelaki yang bertanggungjawab didepan Vita, Nevan juga
menggunakan kesempatan ini untuk bisa lebih dekat dengan Vita. Lebih lama menatap wajah manis Vita
dan mengetahui lebih banyak tentang gadis itu.

Dan sekarang, tujuan Nevan berhasil.

Namun seperkian detik kemudian dahi Nevan mengkerut. Ia ingin mengobati luka, kan? Tapi, Nevan tak
tahu caranya. Harus diteteskan berapa banyak obat merah ini? Kemana meneteskannya? Ke kapas yang
ia pegang atau langsung ke kepala yang luka itu?
Nevan meneguk ludah. Ia bingung, tapi tak mungkin ia bertanya pada Vita. Bisa- bisa ia diusir karena
tidak berguna.

Kemudian, dengan wajah datar, Nevan menuangkan obat merah ke kapas. Menuangkan terlalu banyak
hingga menetes ke atas keramik.

"YA AMPUN, NEVAN LO KOK BEGO BANGET, SIH?!" teriak Vita kencang sambil membelalakkan matanya.

Teriakan itu mendapat reaksi keras di penjaga UKS. Bu guru piket langsung memelotot sambil
mengacungkan jari telunjuknya pada Vita.

Vita berdesis pelan. "Bego, bego." sungutnya.

Vita merampas obat merah itu dari tangan Nevan, lalu diberikannya pada Febri.

Botol obat merah itu dipenuhi oleh noda merah. Hingga ketika Vita memegangnya, tangan Vita ikut-
ikutan terkena noda.

"Ih!" sungut Vita kesal sambil membersihkan tangannya.

"Gara- gara Lo sih jadinya tangan gue ikutan kotor!" omel Vita.

Nevan yang sedang membersihkan noda merah di kedua tangannya langsung mendongak sambil
menaikkan satu alis. "Tangan gue juga kena." sahutnya dingin.

Vita hanya merespon dengan desisan kesal. Dihadiahinya cowok badboy itu dengan pelototan gratis.
"Nih tisu." ucap Febri sembari menyerahkan dua lembar tisu pada Vita.

"Thanks." Vita mengambil tisu itu lalu digunakannya untuk membersihkan tangan.

"Minta satu dong, Vi. Gue pengen bersihin tangan gue." pinta Nevan sambil menengadahkan tangannya.

Vita melirik sekilas, lalu kembali membersihkan tangannya tanpa merespon ucapan Nevan.

Nevan mendengus. Jelas ia kesal, karena sebelumnya tak ada yang berani memperlakukan Nevan seperti
sekarang. Mengabaikan dan berani menolak permintaannya.

Vita adalah orang pertama yang melakukan hal itu dan bersikap biasa saja setelahnya.

Nevan mendecakkan lidah kesal. Untung saja orang yang melakukan itu adalah Vita. Jika bukan, maka
dengan senang hati Nevan akan membenturkan kepala orang itu ke dinding sangking kesalnya.

Nevan mengedarkan pandangan ke penjuru UKS, mencari benda yang bisa dipakai untuk membersihkan
tangannya.

Tak lama, pencarian Nevan terhenti ketika ia melihat titai hijau yang bergantung tenang mengelilingi
setiap bankar. Dengan langkah cepat, Nevan berjalan menuju tirai itu.

Vita melirik Nevan yang mulai bergerak menjauh. Vita tersenyum miring. Bagus, akhirnya cowok itu pergi
dengan sendirinya. Tidak merepotkan Vita untuk berteriak- teriak mengusirnya.

Vita tak melepas pandangan dari Nevan hingga cowok itu mulai mengambil satu sisi tirai. Vita
mengernyit, dan di detik berikutnya Vita langsung membelalakkan mata kaget.
Nevan ingin menggunakan tirai UKS untuk membersihkan noda ditangannya.

"OY!"tegur Vita berteriak. Lalu cepat- cepat Vita menutup mulutnya karena tidak sengaja mengeluarkan
suara bising. Diliriknya bu guru piket, mewaspadai kalau ia akan ditegur untuk kedua kalinya.

Vita memelototi Nevan, kemudian segera Vita tarik Nevan untuk keluar dari UKS.

Kenapa? Kenapa manusia se'aneh' Nevan harus diciptakan?! Kesal Vita dalam hati.

•••

Sesampainya di UKS, Vita langsung mengeluarkan suara. "Lo ngapain, sih?" tanya Vita kesal.

"Emangnya gue ngapain?" tanya Nevan dengan wajah tanpa dosa.

"Lo mau make tirai buat bersihin noda ditangan lo, kan?" kata Vita menatap selidik pada Nevan.

Nevan malah nyengir. "Iya." jawabnya.

"Bego! Kalo tirainya jadi kotor gimana? Kalo kita dituduh guru jaga gimana? Kalo entar disuruh cuciin
tiraunya gimana? GIMANA?!" cerca Vita galak.

"Ya abisnya tangan gue kotor dan lo gak mau berbagi tisu." rengek Nevan.

Vita memutar mata jengah. Nevan memang merepotkan. Siapa suruh tadi sok ingin mengobati? Tapi Vita
sudah sangat malas mengeluarkan suara, jadi ia menarik nafas dan menghembuskannya pelan.
Tanpa gerakan terbaca, Vita menarik tangan Nevan dan mulai membersihkannya dengan gerakan cepat.

Dan apa yang dilakukan Vita membuat Nevan tertegun. Darahnya berdesir cepat hingga membuat
jantungnya berdegup kencang. Nevan tak menyangka hanya dengan sedikit sentuhan dari Vita mampu
membuat Nevan baper akut.

Bersamaan dengan itu, ada seseorang yang mematung. Ada seseorang yang mengepalkan tangan kuat-
kuat. Ada seseorang yang hancur perasaannya serta terluka hatinya.

Arga memalingkan wajah. Rahangnya mengeras dan bibirnya jadi bergetar. Arga berusaha sebisa
mungkin untuk tidak melangkah mendekati dua orang itu, yang malah akan semakin menyakitinya.

Arga menghela nafas. Tadinya ia ingin mengambil obat karena kepalanya pusing. Tapi, Arga rasa ia akan
semakin sakit jika melewati dua orang itu. Jadi, Arga lebih memilih berbalik meninggalkan UKS.

~~

Kini giliran Arga yang salah paham.

Jadi, kalian tim ArTa atau NevVi?

Kalau mau saya update cepet, bantu pakai vote. Jangan silent readers. Terimakasih:)

###

Katakan aku berlebihan. Tapi, segalanya terasa alami bagi orang yang sedang jatuh cinta.
Nevaniel Geraldie

•••

Bel khas Indonesia High School sudah terdengar sejak 15 menit yang lalu. Tapi Vita dan Febri sama sekali
tak bergerak dari posisi mereka.

Tadi Vita meminta izin kepada guru piket untuk tidak masuk kelas karena ingin menemani Rilya yang
sedang sakit. Padahal apa yang Rilya alami tidak terlalu parah, bahkan si pasien pun ngotot ingin masuk
kelas.

Guru piket dengan mudahnya memberi izin tanpa curiga dengan alasan Vita.

"Najis amat sih, Vi, cara lo biar gak masuk kelas." cibir Rilya flat.

Bukannya merasa bersalah, Vita malah nyengir kuda."Gapapa. Sekali doang gak bakal bahaya buat nilai,
kok. Iya kan, Feb?" tanya Vita pada Febri sambil menaikturunkan alisnya.

Febri yang berdiri bersebrangan dengan Vita ikut nyengir lebar sambil mengacungkan dua jempolnya.
"So pasti, dong." ungkapnya setuju.

Rilya berdecak beberapa kali, lalu mendongak, melihat jam putih yang menempel di dinding.

"Istirahat masih dua jam lagi." keluh Vita sambil menghela nafas.

Rilya langsung memelototinya. "Udah gak masuk kelas, malah pengen cepet- cepet keluar main lagi!"
tukasnya kesal.
"Iya, dong. Kenikmatan mana yang ingin didustakan. Iya gak, Vi?" tanya Febri.

Vita terkekeh sambil mengangguk antusias."So pasti." balasnya girang.

"Heran gue, kok otak lo jadi sejenis kayak Febri sih, Vi?" protes Rilya dengan sedikit sindiran untuk Febri.

"Heh! Heh! Maksudnya sejenis apaan, nih? Lu kira otak gue apa pake jenis- jenisan segala!" ucapnya tak
terima.

"Vi, lo galau boleh, tapi jangan kek gini. Salah caranya!" ucap Rilya seolah tak menghiraukan protesan
Febri.

Vita mengernyit. "Apa sih, Ril? Gue gapapa, kok. Cuma lagi malas aja masuk kelas."

"Gue paling tau lo tuh murid teladan, gak pernah bolos gini." sahut Rilya keukeuh.

"Enggak, elah." Vita memutar mata jengah.

Rilya menghela nafas, terserah Vita sajalah.

Rilya tersentak kaget ketika melihat Febri, yang matanya membesar hingga hendak keluar.

"Buset itu mata udah kek bakso beranak! Gede!" tandas Rilya ngawur.

"Lo bilang otak gue apaan tadi, hah?!" tanya Febri kesal.
"Bakso beranak gurih nyoy!" sahut Rilya makin ngawur.

"Bakso pale lu!" sentak Febri.

"Otak lo baksonya, urat lo mie nya, darah lo kuahnya." balasan Rilya sukses membuat Febri bergidik
ngeri. "Anjir, psycho lo."

Rilya tertawa.

"Oh iya, gue pengen nanya." ucap Vita tiba- tiba menandang serius Febri dan Rilya.

"Paan?" sahut Febri dan Rilya berbarengan. Mereka berpandangan, lalu saling menampakkan ekspresi
mengejek.

"Ada gak si yang namanya psycho boyfriend?" tanya Vita yang entah kenapa kepikiran soal itu.

Dahi Febri dan Rilya sontak mengkerut, dan mereka hampir berbarengan lagi.

"Ikutin aja terus, Ril." sindir Febri.

"Ciah! Si plagiat ngatain yang ori!" balas Rilya sengit.

"LU...-"

"Yah uban- uban Spongebob udah jangan berantem. Ini pertanyaan puteri kerajaan Inggris jawab dulu."
ujar Vita pede.
"Ada."

Jawaban itu berasal dari mulut Febri dan Rilya secara serentak.

Entah kenapa, Febri dan Rilya merasa agak jijik jika mereka melakukan sesuatu hampir bersamaan
seperti sekarang.

"Jangan ngikutin gue, Feb, please." ucap Rilya jengah.

"Gue gak ngikutin lo, bege!" sahut Febri tak kalah jengah.

"Terus kenapa bisa samaan?" tanya Rilya sambil mengangkat dagunya.

"Jodoh kali." jawab Vita random.

"Anjir! Enggak mau, ya!" hardik Rilya spontan.

"Kenapa? Lo kan gak pernah suka sama cowok." goda Febri sambil tersenyum jahil.

"Jijay, Feb! Mending gue jadi janda tua dari pada suka sesama!" tegas Rilya.

Febri mendecakkan lidah kesal. "Iyee, elah. Gue juga gak mau sama lo." ungkap Febri.

"Dih, bukannya tadi lo kayak mau sama gue, ya?" usil Rilya.

"Najis!" hardik Febri.


"Gue juga najis!"

"Ya udah najis!"

"Njis!"

"Njay!"

Vita mendengus sambil memandang dua sahabatnya dengan ekspresi flat.

Apa susahnya menjawab pertanyaan Vita dulu baru bertanding mengeluarkan kata- kata mutiara
mereka? Kenapa harus membuat kehadiran Vita seolah tak diinginkan?

Vita berdecak beberapa kali. Dipandangnya Febri dan Rilya dengan jengah, lalu digeplaknya kepala kedua
sahabatnya itu.

"KACANG!" teriak Vita kesal.

•••

Dengan langkah yang dihentak- hentakkan, Vita keluar dari UKS. Berencana masuk karena malas
menghadapi kegaduhan Febri dan Rilya.

Vita tak habis pikir, kenapa Rilya bisa berkali- kali lebih cerewet jika sedang sakit? Buktinya, tadi ia
membalas keusilan Febri dengan cepat dan tepat. Padahal biasanya Rilya akan mengangguk asal,
mengiyakan apapun yang Febri katakan karena tidak mau berdebat dengan cewek itu.
Tapi kini? Kepala Vita rasanya ingin meledak karena terlampau kesal dengan tingkah usil keduanya.

Dasar moodboster dan moodbroker nya Vita.

"Dwi!" panggil seseorang dari belakang.

Vita menghentikan langkahnya. Sejurus kemudian dahinya mengkerut bingung. Siapa yang
memanggilnya seperti itu?

Dengan penasaran, Vita menoleh. Dan kerutan di dahinya semakin dalam tatkala melihat Nevan berjalan
ke arahnya.

"Ngapain lo manggil gue gitu?" tanya Vita begitu Nevan sudah berapa didekatnya.

"Kenapa? Nama lo Avita Dwi Fabdilla, kan?" ucap Nevan seraya menunjuk dada bagian kanan Vita.

Vita memelotot, lalu dengan cepat ia tampar tangan Nevan yang menunjuk ke arah dadanya.

"Jangan tunjuk- tunjuk dada gue, anjir!" hardik Vita kesal.

"Gue gak nunjuk dada lo, ya. Gue cuma liat name tag di seragam lo." sahut Nevan enteng.

Vita berdesis singkat, sambil matanya menatap Nevan tajam.

Kalau saja tatapan dapat melukai seseorang, mungkin Nevan sudah terbelah dua sekarang.
"Oh iya Dwi, lo mau kemana?" tanya Nevan sumringah.

Alih- alih menjawab, Vita malah berekspresi geli. "Panggil gue pake nama yang biasa aja. Geli gue denger
panggilan itu dari mulut lo." cetus Vita.

Nevan menggeleng, menegaskan penolakannya. "Gue pengen manggil lo dengan panggilan beda. Khusus
punya gue." tutur Nevan.

"Aneh! Biar dibilang apa coba lo kek gitu?" ada nada meremehkan ketika kalimat itu meluncur dari mulut
Vita.

Nevan senyum ganteng. "Biar dibilang romantis." ungkapnya.

"PRET!" sentak Vita spontan.

"Lo manis deh, Dwi." puji Nevan.

"Makasih." balas Vita seadanya.

"Dan gue suka." tambah Nevan lagi.

Vita bagai tersedak air ludah sendiri. Ia terbatuk dengan mata membulat kaget.

Nevan tidak waras, seenaknya saja bilang begitu. Apa dia tidak malu?

"Tapi gue enggak. Wlek!" Vita menjulurkan lidahnya untuk mengejek Nevan.
"Bukan enggak, tapi belom." ujar Nevan menambahkan.

"Bac--"

"Ta?"

DEG!

Tubuh Vita menegang seketika. Suara itu, suara yang selalu Vita sukai. Suara berat tapi selalu sempurna
di telinga Vita.

Sungguh, Vita masih belum siap bertemu Arga. Luka yang kemarin sempat menganga belum sepenuhnya
pulih.

Vita takut, jika nanti lukanya akan terasa perih begitu melihat dia. Padahal, dulu Vita berpikir bahwa Arga
adalah penyembuh rasa sakitnya kelak.

Vita masih diam ditempat. Tidak bergerak dari posisinya yang menghadap Nevan dan membelakangi
Arga.

Sebenarnya Vita ingin lari, tapi ia takut Arga akan tersinggung. Jika Vita berbalik, ia takut tak mampu
menatap wajah Arga.

Vita sudah seperti makan buah simalakama. Serba salah.

Derap langkah teratur terdengar, membuat Vita otomatis mendongak. Tidak terencana, Vita menatap
wajah Nevan yang entah sejak kapan tatapannya tajam dan dingin.
Vita dan Nevan tidak bergerak. Jadi, langkah itu milik Arga, kan?

"Ta, kakak mau bicara." pinta Arga yang sudah berdiri tepat dibelakang Vita.

Vita meneguk ludahnya yang terasa tersendat di kerongkongan. Ia menarik, lalu menghembuskan nafas
perlahan. Digigitnya bibir bawahnya sebagai bukti kegugupan di dada.

"I- iya, kak." sahut Vita.

Untuk sekali lagi, Vita menghela nafas pelan, berusaha tenang dan tidak gugup. Rupanya menghadapi
Arga jauh lebih menegangkan daripada menghadapi Pak Sahrul, guru matematika paling greget.

Vita mengambil ancang- ancang untuk berbalik badan. Namun, belum sempat Vita melakukan niatnya,
satu gerakan dari Nevan berhasil membuat Vita terpaku.

Vita membelalak, ia bisa mencium parfum mint khas cowok yang maskulin. Dan detik berikutnya wajah
Vita memerah, hingga ke telinga.

Arga shock, tentu. Gadis yang selama ini Arga suka dan Arga impikan tengah dalam dekapan seseorang.
Bodohnya lagi Arga tak mampu melakukan apapun.

Lalu sebuah smirk meremehkan tercetak di wajah tampan Nevan. Mata bak elangnya terfokus pada
wajah kaget sekaligus kesal milik Arga.

Nevan memeluk Vita. Memeluk gadis itu dengan satu tangannya, sedangkan tangan yang lain
dimasukkan ke dalam saku celana.
"Nevan, apa- apaan, sih?!" gertak Vita berusaha melepaskan diri dari pelukan Nevan.

Sungguh, Nevan hanya menggunakan satu tangannya untuk memeluk Vita. Tapi tenaganya cukup kuat
untuk membuat Vita kewalahan dalam usahanya memberontak.

"Ta, kemari." perintah Arga dengan suara tegas.

Vita memukul dada Nevan keras- keras, bagaimana pun asal mampu keluar dari jeratan Nevan. Namun
Nevan sama sekali tak terpengaruh dan tak memerdulikannya.

"Silence, or i'll kill him." titah Nevan dingin.

"H-hah?" bingung Vita. Bukan karena tidak mendengar, tapi karena tidak mampu menangkap maksud
ucapan Nevan barusan.

"I want you to silence. If not, Arga will die!" ucap Nevan lagi.

Vita terdiam. Kini kakinya gemetar. Vita memejamkan mata dan menggeleng pelan.

Untuk dalam keadaan sempit seperti yang Vita alami sekarang, gertakan Nevan begitu serius di telinga
Vita.

Vita menggeleng kuat, dalam artian berjanji akan diam dan berharap Nevan tidak akan melakukan
apapun pada Arga.

Arga menggeram kesal. Tak sabar. Arga pun menarik pergelangan tangan Vita hingga pelukan Nevan
terlepas begitu saja.
Lalu, Arga membawa Vita berjalan menjauhi Nevan. Arga butuh ruang berdua untuk Vita.

•••

"Aku gak ada apa apa sama dia kok, kak. Itu tadi dia tiba tiba meluk. Aku gak suka." jelas Vita begitu Arga
berhenti didepan kelasnya.

Walau Arga sama sekali tak mengatakan apapun selama perjalanan mereka. Entah kenapa Vita
berkeinginan untuk menjelaskan segalanya.

Vita hanya tidak ingin Arga salah paham. Vita tidak ingin membuat Arga bingung.

Arga menghela nafas. Kemudian berbalik, menatap teduh kedua manik Vita."Iya, kakak percaya. Kamu
masuk kelas gih."

"Tadi bukannya kakak mau ngmong sesuatu?" tanya Vita pelan.

"Gak jadi." Arga tersenyum,"See you, Ta."

Vita tersenyum. Entah sudah berapa lama ia tidak mendapat tatapan seteduh dan semenenangkan ini.

Vita merindukan Arga. Teramat merindukan. Tapi, apakah yang dirindukan juga merindukan dirinya?
Untuk beberapa alasan, Vita ragu akan hal itu.

"Ya udah." ucap Vita menyudahi percakapan mereka.

•••
Arga menyapu pandangan ke seluruh bagian rooftop. Ia tahu anak bandel dan suka melanggar peraturan
sekolah akan berdiam di rooftop guna menghindari pelajaran.

Rahang Arga kembali mengeras. Anak laki- laki itu terlalu berani untuk menyentuh milik Arga.

Langkah teratur Arga mendekat ke arah anak laki- laki dengan baju seragam urak- urakan itu. Walau dia
membelakangi Arga, tapi Arga tahu pasti bahwa cowok itu sedang menyulut rokok. Terbukti dari kepulan
asap yang terbang diudara.

"Ayo bicara layaknya seorang teman, Van." ajak Arga dengan nada bicara datar dan terkesan formal.

Nevan menoleh sedikit, lalu kembali menyulut rokoknya sebagai sulutan terakhir.

Nevan membuang sisa rokoknya ke samping dan berbalik. Menatap Arga dengan wajah dingin.

Arga mengatur nafas, berusaha agar tidak emosi karena kejadian tadi. Kejadian Nevan memeluk Vita.

"Sikap lo tadi terlampau berani, Van. Lo tau itu termasuk peleceh--"

"Lo cemburu, kan?" potong Nevan cepat.

"Cem- cemburu?" ulang Arga tersendat.

Nevan tersenyum miring. "Gue tau Vita gebetan lo," ucapnya sinis.

Arga mengernyit. Darimana Nevan tahu?


"Gak usah ngalihin pembicaraan." elak Arga.

"Haha," tawa sinisme Nevan malah keluar. "Seharusnya kata- kata itu cocok buat lo sendiri." sengit
Nevan sambil menunjuk tepat didepan wajah Arga.

Arga memandang telunjuk Nevan dengan tenang, seolah tak terganggu atau merasa diremehkan dengan
kelakuan Nevan itu.

Nevan menurunkan jarinya. Berdalih menatap Arga tajam dan berucap dengan nada serius, "Gue suka
Dwi, dan gue mau dia. Ayo jadi rival, dan bersaing secara benar." tawar Nevan.

Arga menegang. Kaget, Arga bungkam seribu bahasa.

"I will win, and at that time, get ready to release my Dwi." lanjut Nevan dengan menyeringai.

Arga balas menatap tak kalah tajam, "I will not take it off, because you will not win." sahut Arga yakin.

Kemudian, Arga berbalik, begitu juga dengan Nevan. Mereka saling menguatkan tekad masing- masing.

Nevan mengajaknya bersaing untuk Vita, dan menyuruhnya berlapang dada menyerahkan Vita jika
Nevan menang? Tidak, Arga tidak akan pernah membiarkannya.

Arga sudah menjawab Nevan dengan mengatakan Vita tidak akan pernah ia berikan pada Nevan, karena
Nevan takkan bisa menang dari Arga.

Jadi, Arga harus menyelesaikan masalahnya dengan Vita dan memiliki gadis itu sepenuhnya.
Dan tanpa Arga ketahui, Nevan tersenyum miring, ia yakin Vita atau Dwi-nya Nevan akan jadi miliknya.

Nevan tak sabar untuk mengklaim Vita sebagai miliknya

~~~

Aing up mumpung kuota masih ada:v

Kira- kira hasil dari saingan ini apa? Arga atau Nevan yang berhasil deketin Vita? Author ikutan bingung_-

Dan ga akan bosen aing ingatkan VOTE & KOMEN

Semoga cerita ini dibukukan, aamiin

Makasih doanya��

###

Arga merebahkan tubuhnya diatas kursi kelas. Hingga kini ia setengah berbaring.

Tempo nafasnya tak terlalu teratur, malah agak cepat. Pikirannya tak karuan, ia khawatir akan satu hal.

Arga membuka smartphone yang dari tadi ia genggam. Setelah membuka kuncinya, Arga mulai mengetik
sesuatu.
Si

Arga terdiam beberapa saat. Ia lihat gadis itu tengah online, pesannya pasti akan dibalas sebentar lagi.

Sisi

Apaan?

Tak terasa, kedua sudut bibir Arga tertarik.

Gue kangen

Arga menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan. Matanya terus berkutat pada layar benda pipih
itu, melihat Sisi sedang mengetik.

Sisi

Bodo amat, AK, bodo amat

Arga tertawa kecil.

Gue kangen dia, bukan elo

Diseberang sana, Sisi yang tengah duduk didalam kelas bersama Ben- kekasihnya mendengus.

Sisi

Bodo amat
Bantuin gue, Si

Sisi

Lah?

Lo sendiri gak cerita masalahnya apa

Mas bro, gue gak bakal bisa bantu kalo lo gak ceritain masalahnya

Jadi gini ....

Oh

Belum juga gue cerita

Tapi ya gitu deh

Sisi

Hah?!

Demi apa, AK?

Elo jangan nyia-nyiain cewe kek dia

Elah masa gak bisa berbuat apa apa

Gue bingung, Si

Gue takut kalo gue bertindak, nanti dia semakin tersakiti

Lo sendiri kalo jadi dia, apa yang bakal lo lakuin?

Sisi
Kalo gue sih pasti marah

dan ya, bakal gue usahain move on jelas

Gue gak mau dia move on

dari gue...

Sisi

Ya jelasin sejelas jelasnya sama dia, AK

Gak sekarang

Gue harus liat gimana sikap dia ke gue dulu

Sisi

Gue doain deh biar lo lancar lancar aja sama dia ya

Lo baru sekali ini suka sama cewek eh ada aja masalahnya

Selo ae, lagian gue ganteng kan�

Sisi

AK, bodo amat, bodo!

Arga tertawa kecil. Sisi adalah orang yang tepat untuk Arga di saat ia sedang bingung seperti sekarang.
Sahabat kecilnya itu memang terlihat jutek, tapi percayalah, hanya dia yang rela tidak ikut ke luar negeri
bersama orang tuanya hanya demi menemani Arga yang sedang sakit.

Kejadian 5 tahun yang lalu, saat mereka sama- sama berusia 12 tahun. Sisi rela tinggal berdua bersama
pembantu rumahnya karena tidak mau meninggalkan Arga yang tengah sakit.
Manis, kan? Tapi mereka hanya bersahabat, tidak ada perasaan lebih.

Gue ke kelas lo

Ada yang mau gue omongin

Sisi

Gue lagi sama Ben

Terus?

Sisi

Laknat!

Ganggu gue aja!

Buruan!

Setengah menit!

Lagi, Arga tertawa melihat balasan Sisi.

•••

Arga pun mendatangi kelas XII MIPA 4, yaitu kelasnya Sisi. Dari pintu, Arga dapat melihat Sisi yang sedang
tertawa lebar sambil memasangkan eyeliner ke mata pacarnya.

Arga terkekeh pelan. Ben, teman OSIS sekaligus teman dekat Arga semenjak Ben pacaran sama Sisi.
Cowok itu macho, dia juga kapten klub kesebelasan di IHS. Tapi semenjak berpacaran dengan Sisi, Ben
harus rela- rela saja begitu kekasih cantiknya itu memakaikan segala macam tetek bengek make up
cewek ke wajahnya. Ben ingin sekali marah, masa cowok maskulin seperti dirinya didandani? Tapi
sudahlah, Ben sayang dengan Sisi.

"Ben!" panggil Arga sembari mengangkat satu tangannya ke atas.

Ben yang sedang memejam langsung membuka mata. Hampir membuat Sisi yang akan memakaikan
eyeliner ke mata Ben tersentak.

"Ben! Jangan gerak mendadak, untung mata lo gak ke colok!" sengit Sisi manyun.

Ben malah nyengir. "Maaf, yang. Itu sahabat kamu manggil." ujar Ben sambil menunjuk Arga yang
rupanya sudah ada didekat mereka.

"Kenapa lo?" tanya Arga pada Sisi.

Sisi melirik datar, lalu ia memukul perut Arga dengan kepalan tangannya. "Bego lu ah! Ganggu moment
pacaran gue aja."

Arga meringis sesaat. "Sakit, Si. Pacaran aja mulu sampe dogok." cibir Arga.

Ben dan Sisi saling berpandangan, tak lama kemudian tawa mereka berderai.

"Kalo jomblo emang gitu ya, yang? Suka ngiri." celetuk Ben sambil tertawa ngakak.

Sisi ikut menimpali dengan mengangguk antusias. "Dia mah jomblo karatan, Ben. Eh giliran ada gebetan
malah dramatis gitu." Setelah mengucapkan itu, Sisi ikut tertawa sambil menunduk- tunduk.
Membuat tangan Arga terangkat untuk menjitak kepala Ben dan menoyor kepala Sisi. "Ketawa aja mulu
sampe dongok." sentaknya jengah.

"Oke." jawab Ben dan Sisi, kemudian melanjutkan tawa mereka.

Arga berdecak. Dipandanginya dua sejoli dengan otak sekecil atom ini dengan delikkan matanya. Lalu,
Arga menarik Sisi keluar dari kelas.

"Ben, Sisi gue pinjem dulu." ujar Arga seraya menarik telinga kanan Sisi hingga cewek itu mengaduh
sambil meninju ketiak Arga.

"Bawa aja, AK! Tapi inget, entar balikin gue jangan sampe rusak!" balas Ben.

"SELESAI INI GUE PUTUSIN LO, BEN!" ancam Sisi kesal sambil berteriak. Kini tawa Arga yang tersembur
keluar.

Arga dan Sisi berhenti didepan kelas. Arga melepas jewerannya di telinga Sisi dan bersandar di dinding
pembatas yang hanya setinggi perutnya. Sisi memukul bahu Arga sebelum akhirnya mendengus dan ikut
bersandar disamping Arga.

"Apaan?" tanyanya ketus.

"Yang tadi," Arga menghela nafas dalam- dalam. "Menurut lo apa yang terjadi, sih?"

Sisi menyipit, menoleh ke samping dan tak sengaja berdecak kagum melihat wajah Arga. Kenapa ia baru
sadar kalau sahabat masa kecilnya ini sangat ganteng?

Ups, inget Beben, Si. Cetusnya dalam hati.


"Gini ya, AK. Ibarat sebuah gelas, dia pernah menjadi indah, sebelum pecah. Dia pernah menjadi utuh
sebelum terjatuh. Seperti halnya hati saat ini kecewa, dia pernah bahagia, sebelum terluka." tutur Sisi
lancar hanya dalam sekali tarikan nafas.

"Bagi gue, menebas jarak penyekat diantara kalian tuh bukan hal yang sulit dan bisa lo lakukan kapan
saja. Tapi, menunggu adalah keputusan terbaik yang bisa menjadi pilihan lo." tambah Sisi yang kembali ia
lakukan dalam sekali tarikan nafas.

"Maksud lo?" bingung Arga.

"Maksud gue, lo gak salah, Ga. Tentang lo yang belum memberi kejelasan. Biarin Vita berlarut dalam
pikiran dan perasaannya sendiri. Sampai kalian bener- bener ngerasa mampu untuk menguasai ego dan
mengungkapkan kesalahan kalian. Saling menyelesaikan masalah dan semuanya akan baik- baik aja."
tandas Sisi dengan senyum terbit diakhir ucapannya.

Arga menunduk dalam. Menatap keramik putih yang ia jejak sambil memikirkan penjelasan Sisi. Dan
ketika ia mulai memahami segalanya, Arga tersenyum lebar.

"Makasih ya, Si. Gak nyesel gue biarin lo pacaran sama Ben." cetus Arga.

Sisi mendelikkan mata tajam. "Kampret."

"Oh iya. Btw, Ben jangan lo putusin, Si. Kasian." ucap Arga memelas.

Sisi yang mendengar itu langsung cekikikan. "Enggaklah! Gue cuma boong kali. Gak bakal gue ninggalin
Ben. Gue cinta dia." ungkap Sisi.

"Emang cinta doang cukup, ya?" tanya Arga polos.


"Enggak juga, sih. Buktinya kalo lo lagi laper, cinta lo gak bisa dimakan, kan? Cinta itu kebutuhan
sekunder, AK. Lo bisa aja hidup tanpa cinta, tapi yakin gak bakal uring- uringan?" kekeh Sisi.

Arga menggumam. "Kok lo cinta Ben?" tanyanya lagi.

Sisi senyum. "Cinta gak ada alasan."

•••

Nevan mendrible bola berwarna orange itu dengan tempo lambat. Tatapan tajamnya tampak kosong,
seolah Nevan tengah bergerak dengan pikiran yang entah berada dimana.

"Ck! Arga. Cowok berengsek yang bisa nantangin orang, doang. Pas gue tantang balik, takut." decak
Nevan meremehkan Arga.

Nevan mendongak, memandang ring basket itu dengan tajam. Tiba- tiba, Nevan membayangkan bahwa
didepan ring itu berdiri seorang cowok. Cowok yang membuat decakan remeh kembali keluar dari mulut
Nevan.

Lalu dengan penuh kekuatan, Nevan melempar bola basket itu ke arah ring. Melemparnya dengan penuh
kekesalan, menganggap itu adalah Arga.

Nevan mengusap wajahnya kasar dan memutar tubuh dengan kekesalan yang berkobar di dada.

Nevan dengar semua percakapan Arga dan Sisi, dimana Arga meminta solusi dari Sisi untuk
menyelesaikan kesalahpahamannya dengan Vita dan memenangkan tantangan dari Nevan.
Nevan mendengar semuanya, dan jujur itu sempat membuat Nevan kesal. Nevan takut jika Vita akan
memaafkan Arga dan menerima Arga. Nevan tak mau kalah bahkan sebelum benar- benar bersaing.

Nevan tidak pernah mrnginginkan sesuatu seserius ini. Dan jika Nevan sudah begini, hanya ia yang boleh
menang dan memiliki sesuatu itu.

Dalam hal ini, Vita adalah keinginan terbesar Nevan. Harus ia dapatkan.

Nevan mengambil baju kemeja seragamnya. Tidak dipakai, hanya ia ikat ke pinggang kemudian melengos
dengan gaya jalannya yang cool dan sangat manly.

Nevan melewati koridor dengan wajah datar. Namun malah membuat teriakan kagum serta puja puji
manis mengarah padanya.

"Ya ampun Kak Nevan tuh my perfect badboy banget!"

"Gila. Arga kalah sama Nevan."

"Enggak! Arga nomor satu tapi Nevan segalanya."

Nevan mengulum senyum tipis. Tipis sekali hingga tidak memberikan perbedaan di antara wajah
dinginnya. Pujian itu sangat pas menggambarkan bahwa Nevan lebih unggul dari pada Arga. Tidak peduli
dalam hal fisik atau kecerdasan, tetap saja Nevan selangkah lebih maju dari Arga.

"Tapi nih ya, Kak Arga tuh number 1 forever. Karena selain ganteng, dia juga ketos dan pinter. Idaman,
kan? Wajar banyak yang suka. Kak Nevan kan ganteng doang."

Nevan menggeram. Tidak sadar, kedua tangannya mengepal kuat- kuat. Amarah Nevan mendidih, dan
harus dilampiaskan dengan sesuatu.
Nevan memandang semua cowok yang ada di sepanjang.koridor. Mata bak elangnya menyelisih satu
persatu cowok di sana untuk dijadikan pelampiasan kesal Nevan.

Dan begitu melihat cowok bantet dengan kacamata bulat bertengger di hidung peseknya, Nevan
menyeringai.

Ia akan menghabisi si bantet itu.

•••

Arga menghela nafas sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. Arga bahkan membuat
baper adik kelas ceweknya tanpa disengaja. Ketika ada yang menyapa Arga, tentu saja akan Arga balas.
Namun hal sesederhana itu mampu membuat si adik kelas dan teman- temannya berteriak senang lalu
cekikikan malu.

Arga berada didepan kelas X MIPA 1, kelasnya Vita. Arga berniat menjelaskan segalanya kepada Vita,
sebab ia rasa sudah terlalu lama membiarkan Vita larut dalam perasaannya. Dan Arga tidak tega dengan
itu. Alhasil di sinilah Arga, berdiri didepan kelas Vita tanpa berani untuk masuk. Padahal, Arga sudah
berdiri di sana sekitar 5 menitan.

Saat sedang galau- galaunya, seorang cewek yang familiar bagi Arga keluar dari kelas. Arga pun spontan
memanggilnya. "Dek!"

Sosok yang Arga maksud menoleh, namun bukannya menjawab ia malah bertanya. "Kakak manggil gue?"
tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.

Arga mengangguk. "Iya. Temennya Avita, kan?"


Febri langsung mengangkat dua alisnya sambil tersenyum lebar. "Iya. Kenapa? Kak Arga mau nyari Vita?
Gue panggil dulu, ya." tanya dan jawab Febri.

Arga terkekeh sambil mengusap dagunya. "Iya, kakak nyari Vita. Tolong ya, dek, Vitanya dipanggil." ucap
Arga.

Febri mengacungkan dua jempolnya. "Tunggu ya, kak." Lalu, Febri melesat masuk ke kelas dengan
langkah gembiranya.

Arga tersenyum malu. Pipinya terasa panas secara tiba- tiba. Keringat dingin keluar begitu saja, padahal
tadi Arga tidak merasa kepanasan. Arga pernah merasakan hal seperti ini. Dulu, saat pertama kali Arga
mengajak Vita jalan.

Arga gugup, sangat gugup.

"AK?" panggil seseorang sambil menepuk bahu Arga.

Arga menoleh. "Ya, Ben?" sahutnya.

"Ikut ke BK."titahnya.

Arga mengkerutkan dahi." Kenapa?" tanyanya.

"Nevaniel Geraldie. Murid pindahan yang kemarin lo kaish peringatan, hari ini dia ngehajar orang sampe
masuk IGD." ungkap Ben terdengar muak.

Arga langsung memaki. "Shit!"


Kemudian, Arga dan Ben langsung berlari menuju BK.

Bersamaan dengan Arga dan Ben yang pergi menjauh dari koridor kelas X, Vita keluar dari kelasnya
dengan wajah sumringah. Dengan semangat ia menoleh ke sana kemari untuk mencari sosok Arga. Tapi,
tidak ada. Kakak senior-nya Vita tidak ada di sana.

"Mana, Feb?" tanya Vita pada Febri.

Febri ikut celingak celinguk mencari Arga, namun ia juga tak menemukannya.

"Tadi ada, kok." jawab Febri pelan yang langsung membuat Vita menghapus ulasan senyum manisnya.
Berganti dengan raut wajah kecewa.

"Gak ada, tuh." lirihnya.

"Ya udah, gue ke toilet aja, deh." ucap Vita lalu berjalan gontai meninggalkan Febri.

Febri sendiri merasa bersalah, sangat. Niatnya ingin memperbaiki jarak antara Arga dan Vita, namun Arga
entah pergi kemana.

Satu hal yang Febri yakin, Vita pasti kecewa lagi.

~~~

Mohon bersabar ini ulangan, eh ujian maksudnya�


a

Sampe di chapter ini, kesan kalian baca Hi My Senior apa sih?


Dan masih konsisten sama team awal gak, nih?

#ArTa or #NevVi

Jangan lupa vote dan komen.

###

Vita melewati toilet. Karena memang ia tidak ingin ke sana. Hanya sepik ingin menghindari Febri agar tak
melihat wajah kecewanya.

Vita menoleh ke arah kanan ketika melewati jendela ruang BK. Dan tak sengaja, Vita melihat sosok yang
ia kenal didalam sana. Vita pun berhenti dan memilih mengintip dari balik jendela.

Vita memicing, karena ia punya minus di mata kirinya, jadi ia agak kesulitan memastikan tentang orang
itu. Tapi jika dilihat dari penampilan, Vita yakin itu Arga.

Vita pun berdehem, lalu berjalan melewati pintu ruangan itu. Lagi- lagi hanya sepik agar ia bisa melihat
dengan jelas apa yang terjadi di ruangan horror itu.

Vita memperlambat jalannya didepan pintu itu dan melirik sedikit ke dalam. Namun tak lama ia langsung
membuka matanya lebar, dan rahangnya hampir saja copot.

Cowok mesum! Ceplos Vita dalam hati.

Itu Nevan. Cowok dengan kaus putih tanpa lengan dan celana seragamnya. Sosok itu tengah duduk
menunduk dihadapan Bu Wardah, guru BK. Entah tengah melamunkan kesalahannya atau malah
mengabaikan segala ucapan dan nasehat Bu Wardah. Nevan tetap saja diam, menunduk dan tidak
memberi penjelasan apapun.
Didepan Nevan, disamping Bu Wardah, berdiri Arga dan Ben dengan wajah tegas dan terkesan formal.
Vita mengambil kesimpulan, bahwa si cowok mesum itu sudah melakukan pelanggaran. Tidak menarik.

Vita hendak melangkah pergi meninggalkan lokasi ketika seseorang dari belakang tidak sengaja
menyenggol bahu kirinya.

"Duh!" Vita mengaduh pelan. Orang itu menatap Vita tajam, hingga akhirnya Vita pun meringis dan
meminta maaf.

Orang itu berdesis kesal dan pergi dari sana. Sementara Vita juga bersiap untuk melangkah dari sana.
Hingga sekali lagi, seseorang dari dalam ruangan BK menarik tangan Vita hingga gadis itu ikut masuk ke
sana.

Vita membulatkan matanya kaget. Tangannya yang digenggam Nevan bergerak memutar dengan tangan
yang lainnya memukul tangan cowok itu. Vita kelimpungan untuk melepaskan diri dari Nevan.

"Nevan!" panggil Arga dengan suara tegas.

"Duduk, Van!" titah Ben tak kalah tegas. Mengingat mereka berdua adalah ketua dan wakil ketua OSIS
IHS. Jadi jika ada murid yang bermasalah, mereka harus ada di ruang BK untuk membantu guru
menyelesaikan masalahnya.

"Saya mau duduk asalkan dia juga." sahut Nevan sambil menunjuk Vita dengan dagunya.

Membuat Vita langsung menggerutu dan melayangkan sumpah serapah pada Nevan.

"Kamu siapa?" tanya Bu Wardah pada Vita.


Karena gugup, Vita pun menjawab dengan terbata- bata. "Avi-ta, Bu."

"Siapanya Nevan?" tanya Bu Wardah lagi.

"Ga--"

"Teman saya." Ini Nevan yang menjawab. Membuat Vita kembali membulatkan matanya, lalu mendelik
tak suka.

Bu Wardah menghela nafas. "Nevan, apa kamu tidak ada keinginan untuk berubah? Sekolah lama sudah
mengeluarkan kamu, jangan sampai IHS juga melakukan itu. Karena kasihan orang tua kamu. Mereka
mengeluarkan biaya yang banyak agar kamu bisa bersekolah ditempat terbaik, Nevan." nasehat Bu
Wardah dengan sabar.

Vita menatap Nevan yang hanya menatap kosong ke arah depan. Vita yakin, ucapan Bu Wardah tadi pasti
mantul ke otaknya Nevan. Tidak masuk sama sekali.

"Elo sih!" hardik Vita kesal karena selain sudah membuat kesalahan, Nevan malah tidak menampakkan
penyesalan sama sekali. Bahkan ia mengacuhkan omongan orang yang lebih tua. Vita tak suka sikap
seperti itu. Wajar jika Vita tak mampu menahan suaranya agar tak mengutuk Nevan.

"Iya, maaf." lirih Nevan.

Semua yang ada di ruangan langsung mengernyit. Dan itu tak lepas dari pandangan Vita. Vita ikutan
mengkerutkan dahi, apa yang salah?

"Nak Avita, kamu teman dekatnya Nevan, ya?" tanya Bu Wardah.


Vita ingin sekali menggeleng, menyatakan ketidakbenaran hal tersebut. Namun untuk kedua kalinya,
malah Nevan yang menyahut. "Dia sahabat saya."

Arghhh! Teriak Vita murka dalam hati.

"Memangnya kenapa, Bu?" tanya Vita sopan sambil tersenyum tipis.

"Nevan mampu mengucapkan maaf hanya karena satu kalimat dari kamu. Sedangkan Ibu dari setengah
jam yang lalu ngomong gak dihiraukan sama dia." tutur Bu Wardah.

Vita pun langsung menunduk tak enak. Rasanya Nevan sangat bodoh, dan membuat Vita ikut- ikutan
bodoh.

"Van, duduk lagi. Ada surat yang harus kamu dan orang tau kamu tanda tangani. Lepaskan tangan Avita."
titah Arga dengan eskpresi formalnya.

Dan Vita kembali kelimpungan karena baru menyadari bahwa sedari tadi Nevan memegang pergelangan
tangannya.

"Kenapa?" tanya Nevan.

"Apa yang kenapa?" tanya Ben balik.

"Ketua, kenapa harus saya lepas tangannya Avita?" tanya Nevan dingin dengan nada sarkas.

Arga menatap nyalang ke arah Nevan, dan melirik Vita dengan pandangan:karena dia milikku.
"Hargai wanita dan jangan libatkan orang lain dalam masalah kamu." jawab Arga yang sangat berbeda
dari jawaban hatinya sendiri.

Nevan mendecakkan lidah kesal. Detik berikutnya Vita langsung pamit pada Bu Wardah ketika
genggaman Nevan terlepas. Vita pun keluar ruangan.

"Nevan bego! Kok manusia kayak lo hidup sih, Van?! Pengen banget gue mutilasi! Gue jadiin sate daging
lo, pala lo gue jadiin bola, mata lo gue jadiin pimpong. ANJIR!" rutuk Vita kesal sambil menghentakkan
kakinya di sepanjang perjalanan menuju kelas.

SRET!

Dengan satu kali tarikan, Vita berhenti mendadak dan tubuhnya langsung terputar ke belakang.

Lagi, Nevan mencekal tangan Vita dengan ekspresi dinginnya.

Vita menatap Nevan dengan kesal yang tiada tara. Vita menyentak tangan Nevan dari pergelangannya
dan kembali memutar tubuh.

Namun dasar keras kepala, Nevan kembali mencekal tangan Vita dan sukses membuat Vita berseru
lantang. "JANGAN SENTUH! GUE JIJIK!"

"You're mine." ucap Nevan pelan. Terlalu pelan hingga Vita tidak bisa mendengarnya.

Vita meringis, dan menatap Nevan dengan wajah kesakitan. Pergelangan tangan Vita terasa diremuk, dan
itu karena Nevan terlalu kuat mencengkeramnya.

"Sakit, Van." keluh Vita sambil berusaha melepaskan cengkeram Nevan.


Nevan langsung tampak terkesiap. Sejurus kemudian ia melepas tangan Vita dan menatap lembut Vita
dengan perasaan bersalah. "Maaf, Dwi. Gue gak sengaja." ucapnya.

Vita mengelus pergelangan tangannya dengan wajah merah, menahan tangis. Vita ingin buka suara
ketika ia melihat sosok yang berjalan di arah belakang Nevan.

Vita pun mendorong Nevan keras lalu berlari ke sosok itu.

"Kak Arga.." panggil Vita yang lebih mirip seperti aduan.

Arga menatap pergelangan tangan Vita yang berbekas kemerahan. Dengan cepat, Arga meraih tangan
Vita. Ditatapnya bekas cengkeraman itu dengan rahang mengeras. Lalu Arga menarik Vita ke belakang
tubuhnya, dan memandang Nevan dengan tajam.

"Don't touch her, or you're coward." sarkas Arga.

Nevan malah menyeringai. Menunjuk kedua matanya dengan jari telunjuk dan jari tengah, lalu
mengarahkan dua jari itu ke arah Arga.

Seolah mengingatkan Arga tentang persaingan mereka.

Arga menghembuskan nafas kasar, dan menarik Vita berjalan melewati Nevan. Nevan sempat
memandang Vita dengan rasa bersalah. Nevan tak berniat menyakiti gadisnya. Ia hanya terbawa emosi
dan tak sengaja melampiaskannya ke Vita.

Nevan meninju udara sambil mengacak rambutnya frustasi. Baru saja, Nevan semakin membuat Vita
menjauh darinya.
•••

Arga terus menarik tangan Vita tanpa mengatakan sepatah kata pun. Hanya ingin mengantar Vita ke
kelasnya dengan selamat. Tidak diganggu oleh Nevan atau siapapun itu.

Vita sendiri menghela nafas. Dulu, Vita merasakan jantungnya berdetak melebihi ritme jika Arga sedang
melakukan kontak fisik dengannya seperti sekarang. Vita akan bulshing dan sangat deg- degan.

Tapi kali ini, apa yang Arga lakukan tidak berasa apa- apa pada diri Vita. Bahkan Vita sangat menyesali
tindakannya tadi. Saat ia malah berlari kepada Arga untuk menjauhi Nevan. Padahal, Vita ingin
menghindari kedua cowok itu.

"Kak Arga.."

Itu bukan suara Vita. Lantas, Arga dan Vita pun menoleh ke pemilik suara yang rupanya baru saja
berpapasan dengan mereka.

Setelah melihat si pemilik suara yang memanggil Arga tadi, Vita langsung melempar pandangan pada
Arga. Malas, Vita akui ia sangat malas melihat wajah cewek itu. Rasanya menyesakkan, entah mengapa.

"Celin?" Arga bersuara.

Celin tersenyum sumringah, yang malah semakin membuat Vita tak menyukainya.

"Kak Arga, aku pamit." ucap Vita sembari melepas pegangan tangan Arga.

Arga melepaskannya begitu saja. Seolah tidak keberatan. Arga menatap dan tersenyum sekilas pada Vita.
Astaga, hati Vita terluka dan terasa sakit sekali. Vita pun berjalan meninggalkan dua orang itu. Entahlah,
segala yang sudah terjadi rasanya menguap begitu saja.

Vita terus mengayunkan langkah. Berharap Arga akan menghentikannya. Menarik lengannya untuk tetap
menemani Arga. Namun, hingga langkah itu semakin membawa Vita menjauhi Arga, tak ada panggilan
terdengar. Vita berdecih, bisa- bisanya ia berharap sebegitu tinggi. Vita seharusnya sadar, ekspetasi tak
seindah realita.

Akhirnya, Vita mempercepat langkannya. Ia hanya ingin ke kelas. Mau berteriak kepada Febri dan Rilya
untuk mengeluarkan kekesalannya.

"Ada apa?" tanya Arga pada Celin.

"Vita kenapa, kak?" tanya Celin sambil mengulas senyum andalannya.

Arga mendesah. Topik tentang little girl-nya Arga itu sangat memprihatinkan dan Arga selalu menyesal
jika mengingat Vita mengalami itu semua karena dirinya.

"Gapapa."

"Celin tau kok, kak." ungkap Celin yang langsung membuat Arga menautkan alis. "Maksudnya?"

"Celin denger Kak Nevan ngehajar pembully Vita, kan, kak?" tanya Celin berusaha akrab.

Arga mendesah. Dengan berat ia mengangguk.

"Oh, bener. Lupain aja. Kak Arga mau kemana? Sama Celin aja, yuk?" ajak Celin tanpa ragu.
Arga mengangkat wajah dan satu alisnya. Melihat itu, Celin terkekeh geli. "Gapapa kalo gak mau. Celin
mau ke ruang Tante eh, Bu Wardah maksudnya." cicit Celin.

"Dah, kak!" Celin mengerlingkan mata dan melambai sambil berjalan. Arga hanya tersenyum geli. Celin
sangat kekanak- kanakan.

~~~

Pokoknya gabakal lupa buat ngingetin "Vote dan komen" buat cerita ini.

Kalo bisa kesannya baca HMS apa?

Team #ArTa / #NevVi?

###

Vita berjalan di koridor tanpa tahu kemana langkah kaki akan membawanya. Pikirannya juga sedang
tidak dalam kondisi yang baik, entah karena alasan apa. Vita lelah, bingung dan juga sakit. Bukan
dibagian fisik, tapi dibagian jiwanya.

Vita celingak- celinguk, lalu menghentikan pandangannya disalah satu ruangan disebelah UKS.

Perpustakaan besar itu sedang sepi, bahkan sepertinya tidak ada siapapun didalamnya. Minat membaca
murid jaman sekarang sudah berkurang, bahkan menghilang.

Akhirnya Vita memutuskan pergi ke perpustakaan. Dengan langkah gontai, ia mendekat ke arah
perpustakaan. Vita menghembus nafas, semoga moodnya akan baik jika berada di ruang penuh buku itu.
Vita langsung menuju rak buku dan tampak perlahan memilih buku. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu
mau membaca buku apa. Tapi jika nanti ia menemukan buku dengan sampul yang menarik, maka Vita
akan membacanya.

Akhirnya, pencarian Vita terhenti disalah satu buku cetak dengan tulisan 'SASTRA INGGRIS'. Selain
sampulnya yang menarik, Bahasa Inggris adalah pelajaran kesukaan Vita.

Vita duduk di kursi dan langsung membuka bukunya tanpa lama. Seperkian detik kemudian, Vita sudah
larut dalam bacaannya. Syukurlah, mood membaca Vita sedang baik.

"Suka sastra Inggris, ya?" tanya seseorang.

Fokus dengan bacaannya, Vita hanya mengangguk tanpa berniat mendongak.

Seseorang itu terdengar menghela nafas, lalu ia duduk di kursi dihadapan Vita.

"Aku juga suka, lho." ucapnya masih mengajak Vita bicara. Membuat Vita akhirnya mendongak dengan
malas.

Vita membelalakkan matanya kaget. Tak lama kemudian ia meneguk saliva dengan susah payah.

Seseorang itu tersenyum ramah. "Hai, Ta."

Vita mengerjap, bersamaan dengan menarik nafas lalu menghembuskannya cepat. Lalu Vita tersenyum
sekilas, dan kembali menunduk, melanjutkan bacaannya.

Vita menyadari, bahwa sedikit demi sedikit ia sudah kehilangan ketertarikan untuk berinteraksi dengan
Arga. Bahkan suara berat namun lembut itu seakan ingin Vita bisukan dari indera pendengarannya. Vita
tak suka suara itu lagi, tidak.
"Kakak mau nanya, boleh?" tanya Arga yang mulai membuka buku tebal ditangannya.

"Apa?" sahut Vita tanpa menatap si lawan bicara.

" 'My lovely' itu artinya apa, sih?" tanya Arga.

Vita mendongak, lalu menjawab dengan santai. " Kesayanganku.."

"Iya, apa sayangku?" jawab Arga tiba- tiba.

Vita mengerutkan kening, bingung. Namun tak lama ia menyadari satu hal.

Arga barusaja mengusilinya.

"Cie yang panggil- panggil sayang." kata Arga jahil.

Vita blush seketika. Bolpoin yang sedari tadi ia pegang kini ia genggam erat- erat. Berusaha menyalurkan
rasa groginya ke dalam tinta pena itu. Ah bodoh, Vita jadi tak waras jika sudah berhadapan dengan Arga.

"Apa, sih?" Vita berpura- pura jutek. Padahal ia sendiri tidak bisa menampik, bahwa ia sempat terbang
karena keusilan Arga tadi.

Arga terkekeh.

Keheningan menyelimuti setiap inci ruangan itu. Hanya dentang jam dan suara hembusan nafas masing-
masing yang terdengar.
Arga tampak sedang fokus membaca buku, sesekali ia mengernyit, mungkin tak faham dengan
panjangnya rumus yang ia lihat di buku Arimatik itu.

Vita menunduk, berusaha menganggap bahwa Arga tidak sedang bersamanya. Jadi, Vita tidak perlu
merasa canggung dan gugup. Namun ia tak bisa, semakin berusaha menormalkan detak jantungnya,
maka semakin susah pula untuk fokus pada buku didepannya.

Arga mendongak seraya memijit pangkal hidung mancungnya. Lalu tak lama ia menatap Vita. Gadis
didepannya ini terlihat begitu fokus.

"Suka sastra Inggris sejak kapan, Ta?" tanya Arga.

"Hah?!" Vita terperanjat.

Elah pinguin Afrika, biasa aja kali reaksinya! Sungut Vita dalam batin pada dirinya sendiri.

"Suka sastra Inggris sejak kapan, Ta?" ulang Arga dengan sabar.

"Hmm, sejak SMP kalo gak salah." balas Vita.

Arga mengangguk- angguk. "Pernah ikut olimpiade?" tanyanya lagi.

Vita terdiam seraya mengingat, tak lama kemudian ia mengangguk.

"Oh, ya? Dimana?" tanya Arga antusias.


"Soul Of Champion di luar kota, kak." jawab Vita.

Arga tampak kagum. "Kece kamu, Ta. Cuma anak- anak pilihan lho yang bisa ikut olimpiade itu."

Vita tersenyum. "Iya, kak. Syukur banget kemarin ke pilih. Awalnya sempet ragu, kirian jurinya salah
sebut nama. Eh, rupanya enggak." ujar Vita cengengesan sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Arga tertawa kecil. "Ya enggak lah, gimana bisa salah nyebutin nama. Itu event besar, gak sembarangan,
Ta."

Vita nyengir. "Iya, kak."

Arga ikut tertawa.

"Kalo lagi ngambek, biasanya kamu ngapain, Ta?" T

Tanya Arga lagi. Sebenarnya ia hanya ingin menetralkan keadaan, tidak canggung seperti sebelumnya.

"Hah?" Lagi- lagi Vita terbengong.

Hah hoh hah hoh! Ini nih akibat kalo kuping ke sumpel cireng Bu kantin! Budeg! Sungut Vita sebal pada
dirinya.

"Kalo ngambek, kamu ngapain?" ulang Arga.

Vita mengetuk- ngetuk telunjuknya ke dagu, nampak berpikir. "Biasanya sih,aku kalo lagi ngambek bakal
ngelempar koper yang isinya poundsterling, kak." jawab Vita ngawur.
Tawa Arga menggelegar." Ngomong sama holkay emang beda, ya?"

Vita terkekeh. "Maklum, kak. Tidurnya aja pake emas berlapis dolar." balas Vita tambah ngawur.

Arga menggeleng seraya berusaha menghentikan tawanya. "Tapi itu cuma bercanda, kan?"

"Enggak."

"Hah, enggak?!"

"Enggak salah lagi maksudnya." ucap Vita cengengesan.

Arga lagi- lagi tak bisa menahan tawanya.

"Kalau di saat kayak gini, kamu tuh lebih cocok jadi pelawak tau, gak." seloroh Arga yang sudah
menghentikan tawanya.

Vita mengernyit. "Pelawak, ya?"

"Kalau jadi calon istri kakak aja , gimana? Cocok, gak?" ceplos Vita sambil tersenyum sumringah.

"Apa?" Arga hanya bisa terpelongo, mulutnya terbuka sempurna. Tidak menyangka dengan sepaket
kalimat yang meluncur indah dari mulut Vita.

Bego! Ya elah Vita bikin malu aje, sumpah! Rutuk Vita dalam batin.
Tiba- tiba Vita tertawa, kuat sambil memegangi perutnya. "Haduh, bercanda doang, kak. Bercanda." ucap
Vita masih tertawa.

Arga memperbaiki ekspresi wajahnya, meneguk ludah, lalu bicara dengan gugup.

"Gak jadi, kamu gak bakat jadi pelawak." kata Arga.

Vita yang sudah mampu menguasai tawanya pun langsung mengangguk. "Iya. Aku juga memang gak
minat jadi pelawak. Cewek cantik kayak aku tuh cocoknya jadi ibu- ibu sosialita. Kan akunya holkay atau
HOLANG KAYAHH." gurau Vita.

Arga menutup hidungnya. "Hawa mulutmu gak enak, Ta."

Senyum di bibir Vita memudar seketika. "Ye elah nyebelin amat." jengah Vita sambil memutar matanya
malas.

Arga tertawa."Bercanda, Ta. Lagian kamu kan sikat giginya pake parfum Casablanca kelas elite, jadi pasti
wangi."

Tawa Vita menggema ke seisi ruangan, sulit dikontrol.

Melihat itu, membuat Arga larut dalam tawa Vita yang menyegarkan. Walau sebenarnya Arga tak pernah
tahu, bahwa tawa itu menggema hanya untuk menutupi tangisan yang menjerit.

Vita akhirnya menghentikan tawanya, terbatuk- batuk, lalu mengatur nafas.

Arga masih setia memandang gadis dihadapannya.


"Udah?" ucap Arga.

Vita menatap, kemudian mengangguk." Udah."

"Kamu ke sini sendirian aja?" tanya Arga.

"Iya, lagi jomblo soalnya. Enggak kayak kakak yang punya pacar." balas Vita spontan. Samar tampak
kekecewaan dari cara bicara hingga raut wajahnya.

Hening.

Vita menutup bibirnya yang gemetar rapat- rapat. Sial! Kenapa bisa ia melontarkan kata- kata
menyebalkan itu? Kenapa ia tak mampu menyembunyikan rasa kecewa ini kepada seseorang yang telah
memberi kekecewaan itu sendiri?

Ah persetan dengan apa yang telah terjadi. Karena sudah terlanjur, mending dilanjutkan saja.

Vita menarik kedua sudut bibirnya, membentuk senyuman kecil.

"Kakak udah punya pacar, kan?" tanyanya pelan.

Arga menghela nafas berat. Tubuhnya tiba- tiba menegang, dan mulutnya berat untuk sekadar
mengucapkan satu jawaban.

Akhirnya Arga hanya mampu terdiam, terus menatap intens Vita tanpa niat untuk menjawab.

Untuk saat ini, bagi Vita, diam berarti 'iya'.


Dan diamnya Arga menghancurkan pertahanan Vita selama ini. Benteng kokoh yang Vita sebut
kepercayaan itu roboh seketika.

Tiba- tiba hati Vita sakit, tak tau dimana. Mungkin patah, Vita juga tak tahu pasti.

Lalu Vita menghela nafas berat, sambil menunduk ia mengatakan. "Padahal aku udah suka sama kakak
dari dulu, lho." aku Vita sambil tertawa kecil. Menertawakan nasibnya yang tak mampu meraih sang
kakak senior.

Hening.

Vita mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu tak lama ia mendongak dengan mata yang membulat
kaget.

Kunaon ini teh?! Barusan keceplosan, kan, yak? Rutuk Vita dalam batin.

Arga menatap Vita dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Tatapan yang berisi senang, marah, takut,
sedih, dan emosi lainnya yang tak mampu dijelaskan.

Bolpoin ditangan Vita terjatuh. Di saat bersamaan matanya memanas, dan pandangannya mulai kabur.

Vita pun merunduk ke samping kanan kursinya untuk mengambil bolpoin berwarna hitam itu. Sebelum
kembali mendongak, Vita menyeka air mata yang berhasil lolos dari matanya.

Anjir! Mata gue perih, siapa sih yang narok bawang di sini?! Ucap Vita pelan.

Vita pun mengangkat punggungnya untuk bangkit.


BUG!

"Aw!" Vita meringis sambil memegangi kepalanya yang terbentur meja.

"Ta?!" Teriak Arga panik, lalu dengan cepat ia bangkit mendekati Vita dan berjongkok didepan kursi yang
Vita duduki.

"Sakit, ya?" tanya Arga khawatir sembari tangannya menindih tangan Vita yang terangkat menyentuh
kepalanya.

Vita tertegun sesaat merasakan perhatian itu. Perhatian yang semakin membuatnya terluka.

"Enggak." jawab Vita singkat.

Vita menyingkirkan tangan Arga, lalu berdiri dan meninggalkan ruangan itu.

Arga agak kaget dengan reaksi yang ia dapat dari Vita. Lalu ia menoleh, memperhatikan Vita yang
berjalan cepat dan hilang dibalik pintu.

Satu hal yang Arga tak tahu, bahwa Vita mulai menangis ditengah perjalanannya. Amarah dan emosi
yang selama ini ia pendam meronta kuat, hingga batin Vita tak lagi mampu menahannya.

Akhirnya Vita membiarkan semuanya keluar. Tangisan dan rasa kecewanya. Meluapkan segalanya tanpa
ragu.

BRUK!
"Ya Allah, Vi?" Rilya memegang pundak Vita.

Vita menengok ke arah Rilya, lalu Febri dan Friska yang berada dibelakang Rilya. Seakan menemukan
jalan, Vita akhirnya memeluk Rilya. Dan menangis disana.

"Vita, lo kenapa?" Tanya Friska.

"Syut. Jangan ditanya dulu. Biarin dia tenang, nanti kalo udah, Vita pasti cerita kok." Ucap Rilya sambil
mengusap punggung Vita.

Febri dan Friska mengangguk.

~~~

Budayakan vote yaa.

Maafkan diriku yang telah mengombang- ambing hubungan kalian:(

Komentar? Silahkan.

Vote? Haruskan.

###

Vita keluar dari perpustakaan ketika mendengar bel masuk berbunyi. Karena keasyikan membaca, Vita
tak sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul 09.20.
Sebenarnya Vita tak terlalu menyukai perpustakaan lagi. Karena di ruangan penuh buku itu, adalah
tempat dimana Vita menerima kenyataan pahit. Kakak senior kesukaannya, nyatanya telah memiliki
kekasih.

Namun Vita tetap tak bisa menjauhi ruangan yang sunyi dan damai itu. Karena di saat sedih seperti
sekarang, perpustakaan adalah tempat bernaung yang menenangkan bagi Vita.

Vita berlari sekencang mungkin agar bisa sampai di kelas sebelum guru bidang studi. Sedari tadi
pikirannya sudah tak tenang, perasaannya gelisah.

Masalahnya, yang akan masuk setelah istirahat ini adalah guru killer paling ditakuti. Bisa mati Vita kalau
sampai terlambat.

Tapi pada akhirnya, Vita menghentikan larinya, mengganti dengan berjalan cepat, sembari nafasnya tak
terkendali.

Vita menyelipkan anak rambutnya yang lengket di pipi karena keringat, lalu memejamkan mata sambil
menghembus nafas panjang.

"Ah!"

Sebuah tangan mengulur menyentuh lengan Vita, menariknya dari koridor.

Tubuh mungil Vita terhempas ke dinding. Membuat gadis manis itu merasakan nyeri di bagian
punggungnya. Lalu Vita membuka mata dengan wajah yang menahan sakit.

"Hei, bitch!" Wanita dengan bibir merah terang itu menjambak kuncir rambut Vita, membuat Vita
mengaduh kesakitan.
"Tarik dia ke gudang. Kita gak mungkin menghabisi dia di sini, kan?" Ucap cewek yang lebih cantik dari
dua temannya. Ucapan yang disertai seringaian menakutkan.

"Oke." Cewek yang menjambak Vita itu tersenyum miring, lalu berjalan dengan tangan masih
menjambak rambut Vita. Vita sudah meronta keras, namun pada akhirnya ia hanya mampu berjalan
dengan tangan memegangi kulit kepala yang rasanya akan terkelupas.

•••

Tubuh ramping itu lagi- lagi dihempaskan ke dinding.

Vita menahan nafas ketika sebuah isakan hampir saja keluar dari bibirnya yang bergetar ketakutan. Vita
mencengkram kuat ujung roknya, dengan kedua kaki yang gemetar.

Dalam pikirannya terbesit satu pertanyaan, apa kesalahannya?

Sambil terus menunduk, Vita berusaha tidak menangis. Ia tak ingin terlihat lemah, yang malah akan
membuat tiga cewek didepannya ini semakin leluasa menghajarnya.

"Jadi ini, cewek ganjennya Kak Arga?" Ucap cewek berambut panjang dan lebat itu dengan sarkartik.

Vita mendongak sambil menggigit bibir tak terima. Ganjen? Vita tidak seperti itu.

Akhirnya Vita mengerti, alasan kenapa ia berada dalam posisi sekarang. Jadi Arga lah penyebabnya.

Meski Vita sudah berusaha menjauhi Arga, tetap saja, orang- orang selalu iri padanya yang bisa dekat
dengan Arga. Padahal, kenyataannya adalah Arga mempunyai kekasih. Dan wanita beruntung itu,
bukanlah Vita.
Kenapa bukan Celin saja yang mereka bully? Kenapa harus Vita? Vita bukan kekasih Arga.

"Sini deh lo, gue mau liat muka sok kecakepan lo. Sampe- sampe lo bisa bikin Kak Arga suka sama lo!"
Cewek itu mencengkram dagu Vita kasar.

"Ah!" Vita memejamkan mata sambil menahan sakit di dagunya.

"Ugly!" Ucap cewek itu tertawa sambil menghempaskan dagu Vita. Jika saja Vita tak menjaga
keseimbangan, maka tubuh rampingnya bisa saja terjengkang ke belakang.

•••

Rilya berlari menelusuri lorong kelas. Matanya tak henti membaca satu persatu tanda pengenal kelas
yang terletak diatas ventilasi. Rilya kebingungan sendiri mencari kelas XII MIPA 1. Padahal, ia harus
menemukan kelas itu sesegera mungkin.

Rilya rasanya mau menangis ketika melihat Vita ditarik kasar oleh tiga cewek tak dikenal itu. Apalagi,
wajah Vita tampak kesakitan karena rambutnya dijambak kasar.

Rilya bukan cewek pemberani yang akan menghajar orang lain hingga orang itu sekarat. Rilya hanya gadis
biasa yang tak terlalu berani, hingga ketika melihat Vita diperlakukan seperti itu, Rilya hanya bisa
memutar otak, berpikir siapa yang bisa menolongnya.

Febri? Tidak, Febri memang tomboy. Ia bisa menghajar orang. Tapi berbeda dengan tiga cewek yang
tampak beringas itu, Rilya yakin Febri tak mampu menghadapinya.

Friska? Cewek itu hanya kasar dibagian mulut. Ia bisa melontarkan caci maki yang menusuk hati, namun
tak mampu melayangkan jurus yang menghujam tubuh hingga remuk.
Akhirnya, Rilya terpikirkan tentang Arga. Rilya yakin, Arga bisa menolong Vita.

"Kelas Kak Arga yang mana, sih?" Rilya bersungut sebal tanpa mengalihkan pandangannya dari tanda
pengenal di masing- masing pintu.

BRUK!

"Maaf." Ucap Rilya refleks ketika tubuhnya menabrak seseorang.

Cowok itu mengangguk. "Hati- hati."

Rilya hanya mengangguk sekilas, lalu bergeser memberi jalan untuk kakak kelasnya ini. Rilya mulai
mengayunkan langkah lagi, ketika ia teringat untuk mencari pertolongan pada Vita.

"Kamu daritadi nyari apa?" Tanya cowok itu.

Rilya menoleh. "Ke- kelas Kak Arga dimana, kak?

Cowok itu mengernyit, lalu tak lama ia menoleh ke belakangnya. "Itu." Ucapnya sambil menunjuk salah
satu ruang kelas.

Rilya memicing. "Oh, makasih."

"Itu kelas kakak. Nyariin Arga mau ngapain?"

Rilya mendengus. Sebenarnya itu kelas Arga atau kelas dia?


"Kelas Kak Arga mana?!" Tanya Rilya frustasi. Ingatan tentang Vita yang ditarik paksa terekam jelas di
otaknya. Segala kemungkinan tak baik hilir mudik dikepalanya.

"Chand!"

Cowok berisi itu menoleh ke belakang.

"AK!"

Rilya melihat ke arah yang sama. Lalu sebuah senyum merekah tampil di wajahnya.

Arga berlari kecil menyusul keberadaan Chandra. Setelah sampai di sana, Arga merangkul Chandra.

"Mau ke toilet? Gue juga mau ke ruang OSIS." Ucap Arga.

Chandra menggeleng. "Ada yang nyariin lo."

"Kak?"

Arga menoleh, menatap gadis yang sedang menatapnya dengan penuh harapan.

"Ya?" Arga mengernyit.

"Tolong, kak. Saya gak tau kenapa mau minta bantu sama kakak. Tapi tolong ke gudang sekarang, kak!"
Ucap Rilya panik.
"Ada apa?" Tanya Arga. Chandra hanya diam, lebih baik menguping.

"Vita!" Seru Rilya dengan mata berkaca- kaca.

Arga mengernyit tak paham. "Vita kenapa, dek?"

"Fans kakak ngeroyok Vita!" Ucapan itu sukses membuat Arga membelalak kaget.

"Ah, apa- apaan!" Arga spontan berlari meninggalkan Chandra dan Rilya.

•••

"Muka lo gak cantik tapi kok bisa bikin Kak Arga suka? Pake pelet ya lo?"

"Tau tuh! Muka modal centil aja belagu!"

"Udah, ancurin aja muka sok cakepnya."

Vita yang ketakutan pun masih memejamkan matanya. Mau tak mau ia harus menerima kata- kata tak
menyenangkan dari tiga cewek yang berhasil menguasai dirinya ini. Lutut Vita sudah lemas, dan
kepalanya pusing.

Cewek yang sepertinya adalah ketua geng pun membuka sebuah botol air mineral. Dimana dari tatapan
dan senyuman miringnya, mengatakan bahwa ia akan menyiramkan air itu ke tubuh Vita.
Vita melirik, lalu menutup matanya lagi. Ia bisa apa? Dari jumlah saja ia sudah kalah. Vita tak mampu
melawan.

"JALANG!" Sentak cewek itu.

Sontak, Vita memelotot mendengar panggilan tak senonoh itu. Amarah yang sedari tadi ia tahan kini
memblunjak. Akhirnya, Vita berseru lantang.

"ELO SIAPA SIH, ANJIR!"

PLAK!

Pipi kanan Vita memanas, perih dan sukses membuat Vita hampir menangis.

"Bacot lu, ya." Ucapnya dengan menyeringai. Cewek itu menyiramkan air ke arah wajah Vita.

Namun, tak ada apapun yang mengenai Vita.

Vita pun membuka matanya, dan membukanya lebih lebar ketika mendapati sebuah punggung
didepannya.

Ketiga cewek itu tampak kaget, kemudian raut wajah mereka berubah ketakutan.

Bukan Vita yang mereka siram, tapi Arga. Ketika salah satu cewek itu mengayunkan botol air mineral
untuk menyiram Vita, di saat itu lah Arga datang menjadi perisai agar air itu tak mengenai Vita. Namun,
wajah hingga baju seragam Arga basah.
Arga menutup mata ketika merasakan air itu mengalir di setiap inci wajahnya, lalu ia mendongak,
menatap tajam ketiga cewek kasar itu.

Tatapan tajam dan dingin, spontan membuat ketiga cewek itu merinding. Mereka menunduk beberapa
kali, lalu pergi terbirit- birit.

"Kak Ar--"

Arga segera berbalik dan menarik kepala Vita ke dadanya. Membiarkan gadis itu mendengar detak
jantungnya yang tak karuan karena khawatir. Arga benar- benar panik karena Vita.

"You can cry if you want. I'm here for you. Don't be afraid. " Ucap Arga dengan suara gemetar.

Vita mengangguk pelan, namun ia samasekali tak menangis. Malah sebuah senyum manis terbit di
bibirnya.

"Baju kakak basah. Ganti dulu, ya?" Ucapnya pelan.

Arga menggeleng. "Cry, Ta, cry." Pujuknya.

Vita mendorong dada Arga untuk melepas pelukannya.

"I'm wan't cry. I'm strong." Balas Vita tersenyum.

"Makasih, kak." Sambungnya.

"Vi?" Rilya menarik pelan bahu Vita dan menatapnya penuh khawatir.
"Ke UKS bareng gue." suruh Rilya sambil memapah Vita.

"Iya." Vita pun mengikuti langkah Rilya yang terkesan buru- buru. Tentu saja, Rilya sangat getir melihat
kondisi Vita sekarang.

BRUK!

"Vi?!"

"Ta?!"

Rilya dan Arga segera berjongkok untuk membantu Vita yang tiba- tiba terjatuh ketika berjalan. Vita
memegangi kedua kakinya dengan wajah yang tampak pias.

"Kenapa? Sakit? Bisa jalan gak lo?" cerca Rilya khawatir.

"Bentar. Kaki gue gak berasa, Ril. Sumpah." ucap Vita.

Setelah itu, tanpa menunggu lama, Arga segera menggendong Vita ala bridal style. Dan diikuti Rilya yang
mengekor dibelakang Arga.

Mereka berjalan melewati koridor yang sepi karena kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung.

"Ta?" panggil Arga pelan.

Vita yang memegang bahu Arga dengan canggung langsung mendongak. "Ya?"
"Kalo mau nangis, kakak ada dideket kamu. Kalo mau cerita, kakak siap dengerin kamu. Jangan ragu, ya.
Kakak di sini untuk kamu." kata Arga.

Vita mengangguk. Ya, Vita sangat butuh Arga saat ini. Tolong siapapun biarkan Vita berharap sekali ini
saja, bahwa ia bisa kembali merajut kedekatan seperti dulu, bersama kakak seniornya, Arga Keano
Rajendra.

~~~

Alhamdulillah

Cie double up�

Jangan lupa vote dan komen. Mood aing bisa naik turun, jadi kalo gak dikasih semangat bisa males up�

###

Egois rasanya jika aku menginginkanmu namun malah sering memberi luka.

Arga Keano Rajendra

Arga melaporkan masalah pembullyan ini kepada BK. Dan Arga sudah memanggil ketiga pelaku beserta
korbannya, Vita.

Arga tengah duduk disamping Vita sambil menggenggam erat tangan gadis itu. Memberikan keberanian
melalui sentuhan dan tatapan teduhnya.
Bu Wardah dan Pak Alaq akan mengatasi ketiga pelaku pembullyan itu. Sementara Arga ditugaskan untuk
menemani Vita. Menenangkan atau mengobati jika Vita punya luka.

"Seriusan kamu gak ada luka, Ta?" tanya Arga.

"Enggak, kak." jawab Vita sambil tersenyum kecil. Arga mendesah. Senyum Vita tidak secerah biasanya.
Karena kini wajahnya pucat dan Arga sakit terluka melihat itu.

Ini semua karena kesalahannya.

Tiba- tiba Ben masuk sambil menarik Nevan dibelakangnya. Ben tampak kesal sedangkan Nevan masih
tenang, hanya sesekali ia memberontak ketika Ben menariknya terlalu kasar.

"Ada apa ini?!" tanya Pak Alaq memelotot. Belum selesai satu masalah, datang masalah lain yang tak
kalah parah. Nevan, murid terparah yang pernah Pak Alaq tangani. Entah kenapa Nevan suka sekali
berkunjung ke ruang BK ini dengan membawa masalahnya. Pak Alaq sampe muak melihat wajah Nevan
yang itu- itu saja.

"Pak, Nevan menghajar lima cewek secara bersamaan dibelakang sekolah." adu Ben dengan nafas
tersengal- sengal.

"Astagfirullah!" Otomatis Bu Wardah langsung nyebut. Ia memegangi dadanya sebagai efek dramatis
dengan apa yang Nevan lakukan.

Begitu parah dan sangat pyscho!

"Nevan, duduk!" titah Pak Alaq.


Nevan menepis tangan Ben, lalu dengan santai Nevan duduk disalah satu sofa ruangan itu. Disusul Pak
Alaq yang memijat pangkal hidungnya ketika berjalan menghampiri Nevan.

"Jelaskan!" titah Pak Alaq begitu sudah ada didepan Nevan.

"Mereka ngebully Avita." jelas Nevan singkat namun padat. Ia hanya menyampaikan intinya, itu pun
dengan nada bicara dan sikap yang sangat malas.

"Bukannya pembully Nak Avita adalah mereka bertiga?" tanya Pak Alaq bingung sambil menunjuk tiga
cewek yang tengah bersama Bu Wardah.

"Itu komplotannya." sahut Nevan dengan tatapan tajamnya untuk ketiga cewek itu.

Pak Alaq menggeleng- geleng tak sangka. Rupanya murid sebaik Vita punya musuh yang cukup banyak.

"Lalu apa yang kamu lakukan?" tanya Pak Alaq lagi.

"Saya hanya memberi mereka pelajaran." sahut Nevan santai.

"Sok- sokan kamu! Pelajaran kamu aja kacau!" hardik Pak Alaq yang sudah sangat muak.

Sedangkan Nevan hanya memandangnya malas tanpa keinginan untuk menyahut.

Pak Alaq mendesah. Lalu ia menarik nafas, siap menceramahi Nevan atau lebih tepatnya menyiramkan
Nevan dengam ucapan kerohaniaan. Berharap dengan itu maka Nevan akan taubat.

Di mejanya, Bu Wardah sudah menyelesaikan permasalahan ketiga cewek itu. Mereka diskors selama 5
hari dan disuruh mengerjakan tugas sebanyak satu paket buku selama masa skors itu.
"Kalian boleh keluar." ucap Bu Wardah yang langsung membuat ketiga cewek pembully itu berdiri dan
meninggalkan ruangan dengan wajah tertunduk malu.

Bu Wardah menghela nafas, kemudian menengok ke arah Arga dan Vita yang duduk tak jauh dari dirinya.

"Arga." panggil Bu Wardah hingga si pemilik nama menyahut dengan sopan. "Ya, Bu?"

"Kamu tau masalah yang Nevan lakukan kali ini?" tanya Bu Wardah.

Arga melirik Nevan, lalu kembali pada Bu Wardah. "Tau, Bu. Awalnya saya memang berniat melaporkan
mereka yang membully Vita di sosial media. Tapi saya tak tau kalo mereka bakal melakukan sesuatu yang
lebih parah sama Vita. Jadi tanpa pikir panjang, saya tarik mereka yang menganiaya Vita ke sini. Dan saya
sempat lupa sama mereka yang membully Vita di sosial media." terang Arga.

Bu Wardah tampak mengangguk paham. "Dan alasan Nevan menghajar mereka karena Vita?"

Arga mendesah. Ia tak suka kalimat itu. Seolah- olah Nevan rela mempertaruhkan dirinya sendiri demi
melindungi Vita. Seakan Vita sangat berharga bagi Nevan dan Nevan siap mengambil tindakan apapun
karena tak mau Vita diganggu.

Membuat nyali Arga seketika menciut. Dengan berat hati, Arga mengangguk. "Iya, Bu."

"Baiklah. Biar orang- orang yang bersangkutan dengan pembullyan Vita di sosial media diurus oleh Ben
dan Sisi. Kamu boleh istirahat, bawa Avita bersama kamu." tutur Bu Wardah.

Arga mengangguk. Kemudian menuntun Vita untuk berdiri secara perlahan. Mengingat kaki Vita bergetar
dan tak sanggup berdiri tadi. Setelah itu, Arga dan Vita pamit kepada Bu Wardah serta Pak Alaq. Lalu
keluar dari ruang BK dan berjalan menuju kelas.
"Yakin ke kelas, Ta?" tanya Arga sekali lagi dengan tangan kirinya melingkar di pundak Vita dan tangan
kanannya menggenggam erat tangan Vita. Membopong gadis itu dengan perlahan. Arga tidak mau
menyakitinya.

"Iya, kak." jawab Vita pelan.

Arga bergumam. "Ke UKS aja lah, Ta. Kakak anter sama temenin, ya?" tawar Arga.

Vita terdiam. Jujur kepalanya masih cukup pusing dan nyut- nyutan, jika ia masuk kelas maka percuma
saja. Tidak akan ada materi yang masuk ke kepalanya. Akhirnya, Vita berucap. "Ya udah."

Arga pun segera membawa Vita ke UKS dengan langkah sabar dan pelan. Di sepanjang perjalanan
mereka, Arga terus mencuri pandangan pada Vita. Bagaimana gadis itu menerima banyak luka karena
dirinya. Arga tidak pernah tahu bahwa rasa sayang yang ia miliki untuk Vita akan menyebabkan gadisnya
berasa dalam masalah.

"Kakak selalu berharap bisa bikin senyum kamu terus terukir. Tapi," Arga menjeda kalimatnya dengan
tertunduk kecewa.

Arga otomatis menghentikan langkahnya. Vita mengangkat wajah dan menatap Arga bingung.

"Kalo penyebab kamu selalu dalam masalah adalah kakak. Kakak siap menghilangkan rasa ini, Ta. Apapun
demi kebahagiaan kamu."

Vita tertawa sumbang. Yang malah membuat Arga mengkerutkan dahi. "Kenapa, Ta?" tanyanya heran.

"Kalo memang mau pergi, seharusnya jangan pernah datang menemui, kak." sahut Vita.
Penuturan Arga sangat mengena di hatinya. Sukses membuat hati Vita terluka lagi. Hancur dan kecewa
lebih dalam. Awalnya Vita berharap, bahwa Arga akan selalu melindunginya seperti sekarang ketika Vita
menghadapi masalah. Perduli dan selalu menyemangati Vita ketika terpuruk. Menjadi teman paling
mengerti saat Vita kehilangan pusat dunianya.

Nyatanya Arga tak berpikiran hal yang sama. Malah orang yang sangat Vita harapkan ingin menghapus
rasa di antara mereka dan menjadi orang asing. Menjauhi untuk alasan kebaikan Vita? Itu naif, dan Vita
sangat prihatin dengan itu.

"Bukan gitu, Ta.." lirih Arga menatap teduh manik Vita.

"Iya, aku ngerti," Vita tersenyum.

Arga ingin buka suara ketika Vita menyingkirkan tangan Arga yang ada di pundak serta genggaman
tangannya. Vita tersenyum. Senyum yang kentara akan luka. Semakin membuat nafas Arga tercekat
mendadak. Bukan itu maksud Arga.

"Good bye, kakak senior."

Lalu, Vita menyeret langkah meninggalkan Arga yang tengah terpaku. Mungkin, ini adalah langkah awal
Vita untuk meninggalkan semua kenangan bersama Arga. Menghancurkan setiap rasa yang ada. Semoga
saja Vita mampu melepas Arga semudah Arga melepasnya.

Semoga.

~~~

Ambyar sudah pertahananmu ya, Vi�


Percayalah, rasanya sakit kalau ada di posisi Vita.

Jangan lupa vote nya ya. Akan dilanjutkan jika vote sudah sampai target. Terimakasih:)

###

"Vita!" Pekik Arga yang melihat Vita terduduk lemas dan bersender di dinding beton.

"Vita?" Panggil Arga sambil mendekati Vita.

Vita menutup wajahnya dengan kedua tangan, ia tengah terisak hebat. Apalagi luka serta lebam di kepala
Vita mengeluarkan darah yang tak sedikit.

"Dek." Arga mencoba memegang pundak Vita.

Gemetar, tubuhnya bergetar hebat.

Arga semakin mengeratkan pegangannya pada pundak Vita, mencoba membuat gadis itu berhenti
gemetar.

Kemudian tanpa memperdulikan apapun, Arga segera menarik tubuh Vita kedalam
pelukannya.Membenamkan kepala Vita ke dada bidangnya, dan ia peluk erat gadis malang itu.

Arga dapat merasakan getaran tubuh Vita tak hilang sedikitpun, bahkan ia merasakan basah di dadanya.
Arga tahu Vita menangis, namun anehnya tak ada suara yang terdengar.
"Ta, kalo Vita mau nangis, menangislah. Kalo mau teriak, teriaklah. Disini Vita bisa keluarkan suara tanpa
ada yg bisa melarang." Pujuk Arga.

Tak lama, Vita pun mengeluarkan suaranya. Ia meraung² menangis dalam pelukan Arga, bahkan
tubuhnya semakin bergetar hebat. Segera Arga peluk lebih erat gadis dengan pakaian sekolah yang
sudah lusuh itu. Arga membiarkannya selama beberapa waktu. Mengingat bahwa Vita telah dianiaya
sedemikian tragisnya oleh anak dari sekolah lain itu.

Arga berusaha menenangkan Vita dengan membelai rambut Vita, hingga mengecup tangan Vita. Namun
didalam hatinya, Arga merasa begitu marah. Ia bertekad akan membuat cewek gila itu masuk penjara!

"Sakit, ya? Yang mana yang sakit?" Tanya Arga lembut.

"Se-semuanya." Jawab Vita disela tangisannya.

Sambil terisak², perlahan tubuhnya tak gemetar lagi. Tangisannya pun sudah mereda. Arga melepaskan
pelukannya. Kemudian ia tatap lekat² mata sembab Vita.

"Vita bisa berdiri?" Tanya Arga.

Vita kembali menangis, saat dirasakannya kakinya tak mampu digerakkan lagi.

"Ga papa kok, sini kakak gendong." Ucap Arga tersenyum, ia tak mau Vita panik karena kakinya tak
mampu berjalan.

Arga pun mengangkat tubuh Vita dengan gaya bridal style. Vita melingkarkan tangannya ke leher Arga,
bahkan ia memeluk erat karena benar² merasa takut.

"Permisi." Ucap Arga saat melewati keramaian.


Keramaian yang terjadi karena seluruh murid sudah tahu tentang kabar penganiayaan Vita. Yang Arga tak
suka adalah bukannya membantu, semua orang itu hanya berjejalan tak jelas untuk menonton sang
korban. Benar² bodoh ...

"Arga, bawa kemari, nak. " Ucap Bu Wardah yang meminta Arga membaringkan Vita diatas kasur
bersprei putih polos itu.

"Tolong, bu. Kepala Vita berdarah banyak banget." Ucap Arga sambil membaringkan Vita dengan hati².
Vita meringkuk kesakitan saat ia dibaringkan terlentang.

"Aw." Ringis Vita. Lagi² ia mengeluarkan air mata karena tiba² merasa sakit dibagian perutnya.

"Vita, ayo tenang dulu, nak." Ucap Bu Wardah sambil membersihkan luka di kepala Vita dengan kain
basah.

"Sakit." Gumam Vita pelan.

Arga mendekatkan wajahnya ke wajah Vita.

"Apa yang sakit, Ta?" Tanya Arga pelan nan lembut. Tampak wajah begitu khawatir.

"Perut, kepala. Sakit semua." Jawab Vita pelan.

Arga mengacak rambutnya frustasi. "Bu, ini sudah ga mampu diobati disekolah. Kita bawa Vita kerumah
sakit, bu. " Saran Arga.

"Enggak!" Ucap Bu Wardah cepat.


Arga mengernyitkan dahi tak paham. "Maksud ibu?" Tanya Arga.

"Kalo Vita kita bawa kerumah sakit, bagaimana kalo ada yang bertanya? Apa iya kita harus jawab kalo
Vita terluka parah spt ini karena dianiaya? Lantas orang² akan mempertanyakan dimana keamanan
sekolah kita ini. Nama baik kita akan tercoreng, Ga." Jelas Bu Wardah.

"Tapi kan memang keamanan sekolah ini kurang, bu! Sampai² Vita bisa dianiaya oleh siswi dari sekolah
lain. " Balas Arga.

"Iya. Tapi masalah itu cukup kita saja yg tahu, orang luar tidak perlu." Ucap Bu Wardah lagi.

Ucapan yang sangat Arga rasa tak berperikemanusiaan.

"Jadi maksud ibu, Vita ga udah dibawa kerumah sakit?" Tanya Arga.

Bu Wardah mengangguk pelan sambil meneguk ludahnya kasar.

"Ibu tau apa aja yg bisa terjadi sama Vita? Kepalanya dibenturkan ke dinding, dipukuli bertubi².
Badannya didorong sana sini. Kakinya dipangkah sampai ga bisa jalan lagi. Dan untuk itu semua, ibu
masih berpikir ngobatin Vita disekolah aja?!" Ucap Arga emosi. Rasa kesal telah melupakannya bahwa
sosok guru didepannya ini sudah seperti ibu kandungnya sendiri.

"Arga!" Bentak Bu Wardah.

Tiba² dua orang menyerobot masuk ke UKS, yaitu Rilya dan Febri. Mereka masuk dengan tergesa gesa
bahkan tak memerdulikan banyaknya orang didepan UKS yang berkumpul hanya utk menonton saja.
"Vi" Panggil Febri dan Rilya serentak. Mereka mendatangi Vita yg terbaring diatas kasur.

"Vi? Are you okay?" Tanya Rilya, tak terasa ia menitikkan air mata khawatir.

"Vita." Panggil Febri pelan. Ia tak menyangka sahabatnya itu kini telah mendapat luka lebam hampir
diseluruh bagian kepalanya.

"Biar saya yg bicara sama Kepala Sekolah! Saya yg tanggung semua resikonya. Saya bersedia bayar
berapapun untuk mengembalikan nama baik sekolah ini yg tercoreng karena saya membawa Vita
kerumah sakit!"

"Ini bukan masalah uang. Ini ga semudah yang kamu pikirkan!"

"Ini juga bukan masalah nama baik, nyawa seseorang tengah dipertaruhkan!" Balas Arga.

Kini Bu Wardah seperti melemah. Ia menatap iba ke arah Vita. Kemudian ia kembali menatap tajam Arga.

"Baik. Kita akan bawa Vita kerumah sakit." Ucap Bu Wardah.

Arga pun juga melemah, ia menunduk kemudian mengangguk pelan.

"Vita!" Pekik Febri tiba².

"Vi! Bangun!" Ucap Rilya menggoyang²kan tubuh Vita.

Mata Vita terpejam, dan tak terbangun meski sudah dibangunkan berkali² oleh Febri dan Rilya.
"Dek?" Arga memegang kedua pipi Vita. Ia tepuk pelan guna memastikan apakah Vita masih sadar atau
tidak.

"Sebentar, ibu telepon Pak Emdi. " Ucap Bu Wardah meraih telepon di saku bajunya. Pak Emdi adalah
supir sekolah yg bertugas menyupir mobil yg sekolah sediakan di situasi darurat spt ini.

"Pak Emdi, segera bawa mobil ke depan UKS. Ada keadaan darurat." Ucap Bu Wardah singkat. Yang
diseberang telepon hanya mengiyakan dengan sigap.

"Pak Emdi akan dtg sebentar lagi." Ucap Bu Wardah, yang kini mengusap² telapak tangan Vita, berusaha
membuatnya selalu hangat.

"Kapan, bu?" Ucap Arga yg panik setengah mati.

Kemudian Arga mengangkat tubuh Vita yg sudah tak sadarkan diri dengan gaya yg sama, lalu ia berlari
menerobos keramaian. Waktu itu berharga, jika satu detik saja terlewatkan, Vita bisa hilang, dan Arga tak
mau itu terjadi.

Tepat setelah Arga membawa Vita keluar UKS, mobil sekolah telah parkir didepan UKS. Arga pun segera
masuk kemobil, dan membaringkan Vita disebelahnya dengan kepala berada dipangkuan Arga. Disusul
Bu Wardah untuk terus memberikan pengobatan pertama agar kondisi Vita tak memburuk. Pak Emdi
pun langsung memacu mobil.

Sepanjang perjalanan, Arga terus menggenggam tangan Vita. Dengan sekelibat doa ia lafalkan agar Vita
akan baik² saja. Tiba² Arga melihat setetes air mata keluar dari mata below Vita. Arga pun menyeka air
mata itu, dan teringat dengan video yg menampilkan adegan kekerasan siswi sekolah lain sedang
menghajar Vita. Ia jadi geram, dan ingin sekali rasanya menghajar balik sipelaku.

"Bu, saya mohon tindaklanjuti kasus ini. Saya bisa pastikan bukan nama sekolah kita yg akan tercoreng.
Kejahatan apapun bisa terjadi bagaimanapun caranya, walau kita sudah memberikan keamanan ekstra.
Jadi saya mohon, biarkan Vita mendapat keadilan, bu. Tuntut cewek gila itu, saya mohon. " Pinta Arga
memelas, dengan sedikit menyindir keegoisan sesaat Bu Wardah tadi.

"Kamu punya bukti?" Tanya Bu Wardah agak canggung.

"Punya, bu. Videonya, video kejadian itu." Balas Arga.

"Video? Darimana?"

"Nevan. Dia ngasih saya video itu. " Balas Arga dengan suara yg lemah.

"Kok bisa dia yg kasih?"

"Dalam keadaan panik, Nevan datengin saya dan bilang saya harus ke belakang sekolah. Saya fikir Nevan
bakal ngajak saya berantem disana. Makanya saya nolak. Terus dia ngelempar handphone nya dan
nyuruh saya liat video yg ada di file hp nya. Habis itu dia pergi. Terus ..." Ucap Arga menggantung.

"... Saya langsung datengin wc ketika selesai nonton video itu. Dan ketika dtg, Vita udah babak belur,
bu." Ucap Arga hampir menangis. Jika saja ia tak cepat menyeka air matanya, mungkin Bu Wardah akan
mengetahui bahwa murid kesayangannya inu begitu lembut nan lemah jika sudah mengkhawatirkan
wanita kesukaannya.

"Lalu, dimana Nevan skrg?" Tanya Bu Wardah.

"Nevan?" Arga mulai mengingat itu. Setelah melempar hp nya, Nevan tak lagi tampak. Bahkan ditempat
kejadian itu, cewek gila yg jadi pelaku pun tak terlihat. Mau menelepon, tapi Argansadar ponsel Nevan
ada dengannya. Raefall pun mengacak rambutnya frustasi. Namun ia kembali menggenggam tangan Vita,
ia tak mau kehilangan Vita-nya itu.

###

Kuharap aku bisa menghilangkan perasaan ini secepat aku kehilanganmu.


"BANGS*T!"

Rilya dan Friska menelotot begitu ungkapan kasar itu keluar dari mulut Febri.

Vita sendiri hanya tertawa kecil melihat reaksi Febri setelah ia menceritakan tentang dirinya yang dibully
oleh para pengagum Arga.

"Gue gapapa." ucap Vita.

Rilya menoleh dengan wajah yang menampakkan ketidaksukaannya. "Bohong lo. Gue tau gimana mereka
ngejambak lo." komentar Rilya sambil mengusap pelan puncak kepala Vita. Rilya menyayangi Vita, sangat
menyayangi sahabatnya itu. Rilya akui ia sangat salah dengan tidak membela Vita tadi. Itu karena Rilya
tidak punya nyali dan sempat gemetar melihat kejadian tadi.

"Dijambak doang. Biasanya Febri juga sering jambak gue kalo kesel. Ya gak, Feb?" tanya Vita sambil
mencolek pinggang Febri yang ada disamping kanannya.

Febri menoleh dengan wajah memerah kesal. "Anak kelas mana mereka?!" tanyanya dengan mata
berapi- rapi marah.

"Eh eh, lo mau ngapain? Jangan dibales mereka, Feb. Mereka udah ditangani guru BK, kok. Udah diskors
malahan, sama dikasih tugas matematika Pak Sahrul yang gak bisa dijawab itu. Entar malah lo lagi yang
dihukum kek gitu. Dih, amit- amit ya, Ril, Fris?" cerca Vita panjang lebar dan diakhiri alis kirinya yang naik
turun pada Rilya dan Friska.

Rilya menatap Vita iba. Bagaimana Vita bisa sekuat ini padahal tadi ia sangat menderita?

"Nangis aja deh, Vi. Gue gak tega liat lo gini." saran Rilya yang mengusap pundak kiri Vita.
"Gue tau lo cengeng, Vi." timpal Friska.

"Ye, kampret." ucap Vita memutar matanya malas. Lalu Vita beralih menggoyang- goyangkan lengan
Febri, layaknya anak kecil. "Febri, jangan, ya? Mereka jangan lo apa- apain." rengek Vita dengan wajah
memelas.

Febri menyentil hidung Vita. "Gaklah! Orang gue nanya doang!" tukas Febri yang kemudian terkekeh.

"Haha, kampret." balas Vita datar.

Febri, Rilya dan Friska saling melempar pandangan. Kemudian secara kompak mereka memeluk Vita, dan
membuat Vita terlonjak.

"Kenapa nih?" tanyanya.

"Gue sayang lo, Vi. Maaf ya, gue cuma bisa ngirim Kak Arga buat nolongin lo tadi." ujar Rilya.

"Gue juga sayang lo, Vivi. Maaf juga gak ada saat lo di gituin. Seharusnya tadi gue bawa palunya Thor
buat lempengin pala mereka." hardik Febri.

"Maaf karena gue gak tau apa- apa, Vi. Kalo lo mau nangis atau cerita ke kita, cerita aja. Gue sayang lo."
tutup Friska.

Vita tersenyum dan membalas pelukan ketiga sahabatnya itu sambil berurai air mata.

"Kalian sahabt terbaik. Gue juga sayang kalian.


•••

"Sekarang pukul 14.30, waktunya pulang."

Kelas yang tadinya hening langsung bersiap untuk pulang. Setelah melantunkan do'a, semuanya keluar
dari kelas. Menyisakan Vita, Febri dan Rilya yang selalu pulang terakhiran.

"Yah, Bang Yolanda jemput, nih." ucap Febri sambil menghela nafas.

"Ya udah pulang aja sono." usir Rilya.

Febri mencebik. "Gue mau sama Vita.." rengeknya manja.

Vita langsung tertawa. "Najong! Guenya gak mau, gimana dong?" gurau Vita.

Vita pikir, Febri akan menggeplak kepalanya atau menjambak rambutnya karena kesal pada Vita yang
selalu bercanda di saat serius. Namun, yang Febri katakan berikutnya berhasil membuat Vita terenyuh.

"Gue mau jagain lo, Vi. Gue gak mau lo kenapa- napa lagi.

"JANGAN SENTUH AKU! AKU JIJIK!" teriak Vita .

Detik berikutnya, Vita mendengus. Memilih duduk di kursi halte sambil memainkan tali tasnya.
Melempar pandangan ke jalanan yang sepi tanpa menghiraukan kehadiran Nevan.

Dan Vita kembali menggerutu dalam hati ketika dari ekor matanya, ia melihat Nevan duduk
disebelahnya.
"Ngapain sih lo mepet amat sama gue?!" sengit Vita sambil menjauhka diri dari Nevan.

"Dimana mereka nyentuh lo?" tanya Nevan dengan mimik wajah dan intonasi bicara yang datar.

Vita mendelik. "Apa, sih?!"

"Dimana mereka nyentuh lo?" ulang Nevan dengan mimik dan intonasi yang sama.

"Mereka siapa, ogeb!" hardik Vita kesal.

Nevan menghela nafas. Kesal. Kenapa Vita selalu nyolot jika bicara dengannya?

"Dwi, gue udah ngasih pelajaran buat cewek yang bully lo di sosmed. Dan sekarang gue tanya sama lo,
pembully yang bermasalah di BK tadi nyentuh lo dimana?" ujar Nevan.

Vita terperangah.

"Gue gapapa kok, Van."

"Gue bales mereka satu- satu."

"Jangan! Catatan BK lo udah penuh padahal belum sebulan lo masuk IHS."

"Gue gak jamin. Selama mereka ganggu lo, di saat itu gue bakal terus nambah catatan BK gue."
"Alay!"

"Pulang bareng gue."

"Hah?"

"Pulang bareng Nevan."

"Dih! Enggak!"

Nevan memutar mata jengah begitu melihat Vita nemungguginya. Ia tahu ini akan terjadi. Vita akan
menolaknya ajakan Nevan mentah- mentah. Jadi, Nevan sudah memikirkan solusinya.

Tanpa ancang- ancang, Nevan menarik tas gendong Vita dan berjalan menuju parkiran mobilnya.

"ANJIR! KAMPRET! NEVAN, NGAPAIN, BEGO!" teriak Vita kesal sambil mengikuti langkah Nevan dengan
berjalan mundur.

Tapi Nevan sama sekali tidak menggubris teriakan serta pemberontakan dari Vita. Jika Vita keras kepala
tidak mau pulang bersama Nevan, maka Nevan akan lebih keras keoala untuk mengajak Vita masuk ke
mobilnya.

Nevan tidak pernah ditolak. Dan Nevan ingin mengajarkan Vita tentang itu.

Vita sudah lelah memberontak. Nafasnya menderu kesal dan tangannya gatal ingin mencakar wajar sok
ganteng Nevan. Namun sialnya Vita ditarik dari belakang, membuatnya sulit menjangkau Nevan.
Akhirnya Vita hanya bisa berteriak melampiaskan kekesalan yang tidak akan usai karena Nevan sama
sekali tidak menghiraukannya.
Vita memekik tertahan sambil mengepal kedua tangannya kuat- kuat. Vita mendengus sebelum akhirnya
berhenti berjalan dan membiarkan tas gendongnya terlepas begitu saja karena Nevan masih terus
berjalan.

Vita berbalik. Menyipit dan kembali melebarkan matanya begitu melihat Nevan menenteng tas ranselnya
sambil meneruskan langkahnya dengan santai. Mengabaikan si pemilik tas dan melenggang dengan gaya
jalannya yang badboy.

"TAS GUE, ANJIR!" pekik Vita frustasi.

Kenapa makhluk mesum seperti Nevan selalu berhasil membuat darah Vita mendidih dan siap meledak?

•••

Nevan membuka pintu mobil disamping kemudi dan meletakkan tas Vita didalam sana. Begitu Nevan
hendak menutup pintu, Vita segera menahannya dan mengambil tasnya kembali.

Tapi Nevan langsung menepis tangan Vita. Sukses membuat Vita melotot kesal. Dan Nevan tersenyum
geli melihat itu, sebab ia suka pelototan Vita. Tidak menyeramkan sama sekali, malah terlihat
menggemaskan.

Vita merasa matanya akan keluar karena terlalu lama memelotot, akhirnya Vita kembali mengambil
tasnya. Untuk menghentikan gadis ini, Nevan pun mencengkeram pergelangan tangan Vita.

"Ah!!" Refleks, Vita menepis kasar tangan Nevan yang kembali mencengkeramnya terlalu kuat. Padahal,
bekas cengkeraman Nevan tempo hari masih terasa sakit.

"SUKA BANGET SIH NYAKITIN GUE!" teriak Vita dengan wajah memerah karena kesal sekaligus menahan
tangis. Vita sangat lelah hari ini. Ia tidak masuk kelas karena dibully dan harus ke BK. Kini giliran sudah
waktunya pulang, ia malah dipaksa bahkan diperlakukan kasar untuk ke sekian kalinya.
Nevan otomatis mengangkat kedua tangannya dengan wajah pias. "Maaf, Dwi. Tangan yang kemarin
masih sakit, ya?" tanya Nevan lembut.

Vita tidak menjawab. Sungguh, air matanya sudah menumpuk diekor mata. Jika Vita bersuara sekali saja,
maka ia tidak akan mampu lagi untuk menahan agar air mata itu tidak jatuh.

Vita hampir melangkah pergi dari sana. Hampir! Hingga Nevan menarik tubuh Vita dan mendorongnya
hingga punggung Vita menempel di pintu mobil Nevan.

Nevan memagari kanan kiri Vita dengan tangannya seraya menatap lamat- lamat mata berair Vita.

"Denger dan ikutin aku, jangan berani untuk nolak. Aku anter pulang." tukasnya final.

"Gak mau gue." ucap Vita pelan. Berbarengan dengan setetes air matanya lolos dan sukses menarik
perhatian Nevan.

"Dwi, jangan nangis. Aku kasar, ya?" tutur Nevan lembut.

"Iyalah! Pake nanya lagi!" omel Vita galak.

"Ikutin kata gue apa susahnya sih, Dwi?" kesal Nevan.

"Susah!" sengitnya lalu mendorong tubuh Nevan ke belakang. Vita pun mengambil tas ranselnya dan
berjalan menjauhi Nevan dengan langkah bedebak bedebuk.

BRUK!
"Duh!" spontas Vita karena bahunya bertabrakan dengan bahu seseorang. Vita mengangkat wajah untuk
melihat siapa yang menabraknya. Tentu saja Vita bersiap memelototinya karena mood Vita sedang
sangat buruk sekarang.

Namun, apa yang Vita lihat sangat membuatnya terkejut. Didepannya berdiri dua orang yang selalu ingin
Vita hindari. Dua orang yang membuat nafas Vita tercekat pilu. Itu Arga dan Celin.

"Maaf, Vi. Duluan, ya." Setelah mengucap permintaan maaf alakadarnya. Celin menarik Arga menjauh
dari sana.

Bukan tabrakan itu yang membuat Vita membeku ditempat. Melainkan tatapan dingin dari Arga yang
kentara akan sinisme. Dimana tatapan Arga yang menenangkan bagi Vita?

Tatapan itu masih ada, tentu. Tapi bukan lagi untuk Vita, itu tertuju untuk Celin. Secepat itu Arga
melepas Vita dan bersikap biasa sajah

Nevan ikut terpaku diposisinya. Dahinya mengkerut bingung dan kepalanya miring. Kenapa Arga bersama
gadis lain dan tidak menyapa Vita seperti biasanya? Nevan tidak melihat tatapan teduh yang selalu Arga
berikan pada Vita. Hanya wajah datar dan terkesan formal.

Nevan menaruh pandangan pada Vita. Dan detik berikutnya sebuah senyuman miring tercetak di
bibirnya.

Poor Arga. Cibir Nevan dalam hati.

Nevan berjalan mendekati Vita. Kemudian menarik tangan Vita drngan lembut dan menuntunnya
menuju mobil.
"Masuk." suruh Nevan. Vita terkesiap. Ia menatap Nevan sebentar lalu menengok ke arah belakang
Nevan. Sedetik kemhdian Vita menyesal karena menoleh ke sana, karena bertepatan dengan itu Vita
melihat Arga dan Celin masuk ke mobil. Mereka akan pulang bersama.

"Masuk, Dwi." suruh Nevan lagi.

Vita mendelikkan mata tajam pada Nevan, mendengus lalu membuka pintu penumpang belakang. Vita
masuk dan langsung membanting pintu kuat- kuat. Membuat Nevan menyeringai puas.

Nevan masuk ke mobil dan duduk dibelakang kemudi. Ia menyalakan mesin dan melaju dijalan.

•••

Kenapa rasanya begitu sakit padahal Arga tidak mengatakan apapun? Rasanya sangat perih hanya karena
Arga menatapnya dengan datar, tak ada perasaan apapun yang terwakilkan melalui tatapannya. Sangat
menjatuhkan Vita ke jurang tak berdasar.

"Is!" desis Vita kesal saat dadanya sesak. Di detik yang sama matanya memanas dan bibirnya bergetar.
Vita memang cengeng. Hanya karena melihat Arga dan Celin saja sukses membuatnya ingin menangis.

Vita terisak tertahan. Ia jelas tidak mau Necan mendengar tangisannya. Malu, dan Vita pasti akan terlihat
sangat lemah. Padahal Vita hanya ingin mengeluarkan sefala emosinya. Vita pun melempar pandangan
ke luar jendela yang kacanya terbuka. Vita terus berusaha agar ia berhenti menangis.

Nevan memperlambat laju mobil ketika lampu merah di persimpangan jalan menyala. Nevan menghela
nafas, lalu ia terpikirkan satu hal. Bahkan hanya dengan memikirkannya, kedua sudut Necan
melengkung, membentuk senyum tipis namun tulus. Nevan pun berbalik, menengok ke arah Vita yang
duduk di kursi penumpang belakang.
Nevan terlonjak. Senyumnya tadi kini berganti dengan mimik wajah bingung sekaligus panik. Kenapa Vita
menangis? Bahkan, gadis itu menangis tanpa suara. Nevan tahu betul, menangis aeperti itu lebih
menyakitkan dari pada menangis tersedu- sedu.

Nevan menatap lampu merah yang masih menyala, ia yakin masih ada beberapa detik hingga lamph
metah itu berganti. Dalma waktu sinfkat itu, Nevan harus berhasil menenangkan Vita.

Nevan pun memasang rem depan mobilnya, lalu merunduk dan berpindab tempat dari kursi pengemudi
ke sebelah Vita.

"Dwi?" Nevan menyentuh bahu Vita. Gemetar, Vita tengah menangis.

Nevan tidak akan bertanya apapun. Nevan tidak akan memaksa Vita memberitahunya, dan Nevan siap
mendengar segala keluh kesha Vita nanti ketika crwek itu mau. Untuk saat ini, Vita butuh dukungan. Dan
Nevan akan mebemani Vita.

"Nangis aja, Dwi. Tapi nanti, tolong cerita ke gue, ya." Setelag berkata seperti itu, Nevan menutup mata
Vita yang basah akan air mata.

"Nangis aja. Gue tutup mata lo biar gak ada yang liat. Keluarin suara lo, jangan ditahan." ucap Nevan.

Seakan menemukan cahaya, Vita menurut Nevan. Nevan dapat mendengar Vita terisak, seakan
melampiaskan semua kesedihan yang tak Nevan ketahui sebabnya.

TIN!

TIN!

"Hei, jalan!"
"Buruan!"

"Woy, mau dibakar mobil lo?!"

Nevan tidak menghiraukan suara bising yang diakibatkan oleh dirinya sendiri. Nevan malah menutup
kaca mobilnya dan tidak beranjak dari posisinya. Bagi Nevan, menenangkan Vita yang sedang terpuruk
lebih penting dari yang lain.

"Telinga gue panas, Van. Mereka berisik." adu Vita sambil menjauhkan tangan Nevan dari matanya.

"Gue marahin." kata Nevan yang hendak keluar mobil.

Vita langsung menarik kerah kemeja Nevan. "Jangan! Lo nya aka yang ke depan terus jalanin mobilnya."
suruh Vita dengan siaranya yang parau.

"Lo udah gapapa?" tanya Nevan memastikan.

Vita berdecak. "Udah. Gapapa gue."

Nevan pun menurut. Ia segera kembali pindah ke kursi pengemudi dan menjalankan mobil itu pergi.

•••

Nevan memberhentikan mobil ketika Vita menyuruhnya berhenti didepan sebuah rumah dengan pagar
tinggi.
"Rumah lo, Dwi?" tanya Nevan.

"Rumah Bapak gue. Gue gak ada duit buat beli sendiri." ketus Vita.

Nevan tersenyum geli. Ia tidak marah, karena sudah biasa bahwa Vita nyolot setiap bicara dengannya.
Tidak masalah selama gadis itu masih mau bicara dengannya, itu sudah lebih dari cukup.

Vita pun membuka pintu mobil, hendak keluar sebelum Nevan kembali bicara dengannya.

"Kalo lagi kesel, keluarinnya sama gue aja ya, Dwi." ujar Nevan.

Dwi menoleh dan mengernyit. "Maksud?" bingungnya.

"Ya, kalo lo lagi pengen ngeluarin kata- kata 'mutiara' lo ke gue gapapa, kok. Asalkan dengan itu semua
kekesalan lo ilang. Gue rela kali dikata-katain sama lo." tutur Nevan.

Mendengar itu spontan membuat Vita tertawa. Alasan itu sangat kocak, dan Nevan mengatakannya
dengan serius.

Vita mengibaskan tangannya. "Ngawur."

"Dwi.." panggil Nevan. Vita pun memandang Nevan dengan alis kiri yang terangkat.

"Always happy, ya." kata Nevan dengan senyuman tulus terukir di bibirnya.

Vita jadi membisu. Baru kali ini, kharisma seorang Nevan memengaruhi Vita. Jika biasanya Vita akan
mempertanyakan dimana letak ketampanan Nevan, maka sekarang Vita akui Nevan memang seperti itu.
Vita mengangguk canggung. "Iya."

Vita turun dari mobil, dan Nevan langsung melajukan mobilnya keluar dari perumahan itu.

Apa gue baper sama Nevan, ya? Tanya Vita dalam hati.

Vita menggeleng, tidak setuju dengan ucapannya sendiri. Cowok mesum itu tidak akan ada posisi di hati
Vita. Tidak akan.

Vita mendengus. Mengayunkan langkah menuju rumahnya yang ada di blok A. Sudah lewat karena
sekarang ia ada di blok B. Sengaja, Vita tidak mau Nevan datang ke rumahnya.

###

Arga membanting tasnya ke atas kasur. Duduk dipinggiran ranjang dengan nafas cepat. Arga
memejamkan nata dengan rahang mengeras.

Kenapa begitu cepat Vita melupakannya? Dan kenapa Vita harus bersama Nevan yang notabene adalah
musuh Arga? Bukankah Arga jauh lebih baik dari pada Nevan?

Arga menggeram kemudian meninju udara kosong. Melampiaskan emosinya sambil terus bertanya-
tanya.

Mengapa? Mengapa Vita bisa bersama Nevan?

Kenyataan itu sangat menyakiti perasaan Arga. Melukai diri Arga sebagai seorang laki- laki.

Flashback
Arga tersenyum tipis tanpa menoleh pada Celin, yang sedari tadi terus berceloteh ria disampingnya.
Seperti kemarin, Arga kembali diberi amanat dari Bu Wardah untuk mengantar Celin pulang. Karena yang
meminta adalah Bu Wardah, maka Arga tidak kuasa menolaknya.

"Kak, Celin tuh suka ngantuk kalo Pak Sahrul ngajar. Tapi Pak Sahrul tuh lebih cocok ngelawak daripada
ngajar, deh." gurau Celin sambil tertawa renyah.

Jika Celin yang mengatakan hal itu, maka Arga hanya akan tertawa seadanya. Berbeda jika itu adalah
Vita, dengan senang hati Arga akan membalas celotehannya dengan lebih antusias.

Sayang, gadis itu kini menjauhi Arga. Little girlnya Arga sudah membuat keputusan dan Arga tidak bisa
mencegahnya. Karena akan cukup egois jika Arga melakukannya. Sudah cukup dibku oren.jsjs

Arga menghentikan laju mobil begitu lampu merah di persimpangan mulai menyala. Arga mendesah.
Melirik sebentar ke arah Celin yang rupanya turut memerhatikan Arga dari samping.

"Kenapa kok liatin aku gitu?" tanya Arga.

Celin terkekeh malu. "Kakak ganteng, jadi Celin kagum." jawabnya.

Arga lagi- lagi hanya merespon dengan tawa kecilnya yang terkesan hambar. Arga bukan tipikal moodyan,
tapi entah kenapa hari ini mood nya sedang berada dalam fase yang buruk.

Arga kembali meluruskan pandangannya ke depan. Namun titik fokusnya terganggu kala dari sudut
matanya, samar- samar Arga melihat mobil disamping kanannya bergerak. Arga pun menoleh untuk
melihat secara lebih jelas. Detik berikutnya, Arga memaki tertahan.
Itu mobil yang Arga lihat di parkiran saat Celin tidak sengaja menabrak Vita tadi. Dan Arga tahu siapa
pemiliknya. Rival Arga, si Nevan.

Bukan itu permasalahan yang mengganggu Arga. Melainkan seseorang yang ada didalamnya. Nevan
duduk di kursi penumpang belakang sambil menutup mata gadis itu. Gadis yang menjadi cinta
pertamanya Arga. Nevan menenangkan Vita yang tampak tengah terisak.

Hal itu memang mengganggu Arga. Ia jelas tidak senang ketika Nevan menyentuh Vita. Namun, yang
terjadi pada Vita jauh lebih membuat Arga penasaran dan kalang kabut. Kenapa Vita menangis bahkan
sampai tersedu- sedu begitu?

Apa Nevan yang membuatnya menangis? Jika itu benar, mengapa Vita tidak menghindar atau menepis
tangan Nevan yang menyentuhnya?

Berarti itu tidak benar. Vita tidak menangis karena Nevan. Dan Arga sangat geram melihatnya. Tak sadar,
ia mencengkeram kemudi dengan kencang dan rahang mengeras. Mereka terlalu dekat. Terlalu
bersahabat dan terlalu rawan.

•••

Arga menggenggam rambutnya frustasi. Vita seperti pusat dunianya Nevan hingga saat orang- orang
menyalakan klakson untuj menyuruh Nevan menjalankan mobilnya, Nevan tidak memerdulikannya sama
sekali. Nevan terus menutup mata Vita yang terus mengeluarkan air mata.

Di saat Arga tengah sangat kacau, sebuah video call masuk ke ponselnya. Arga menatap benda pipih yang
tergeletak di nakas itu. Ia memutar mata, lalu berdiri dari ranjang dan masuk ke kamar mandi.

Lima menit kemudian Arga keluar dari kamar mandi dengan wajah yang basah dan pakaian yang sudah ia
ganti menjadi lebih santai.
Arga kembali duduk di sisi ranjangnya lalu mengambil ponsel yang sedari tadi terus bergetar sebab video
call dari seseorang. Arga menghela nafas. Menatap layar ponselnya dengan tidak bersemangat.
Kemudian dengan menampilkan senyum terpaksanya, Arga mengangkat video call itu.

"Hai, Kak Argaa!" pekik Celin dengan wajah sunringahnya begitu melihat Arga.

"Hai, Cel. Kenapa?" tanya Arga to the point.

"Celin mau v-call kakak doang. Ganggu, ya?" tanya Celin.

Arga menggeleng pelan. "Enggak. Kamu udah makan?" tanya Arga yang sukses membuat Celin
tersenyum begitu lebar.

"Udaah. Kak Arga udah? Celin siap kok nyuapin kakak kalo gak selera makan. Hihi." cengir Celin sambil
mengedipkan matanya beberapa kali. Tentu saja ia ingin terlihat cantik dan menggemaskan didepan
Arga. Walau sebenarnya itu sama sekali tidak berhasil. Arga justru lebih suka sikap yang terjadi secara
natural, tidak dibuat- buat.

"Belum, sih. Tapi nanti pasti makan, kok. Gak usah disuapin segala." jawab Arga.

Celin tampak manggut- manggut. "Kak? Tadi Vita balik bareng Kak Nevan, ya?"

Ulasan senyum yang tadi Arga paksakan kini luntur. Topik tentang Vita dan Nevan semakin memeprburuk
moodnya.

"Gini ya, kak. Celin udah sering liat Kak Nevan deketin Vita. Dan seperti yang Celin bilang kemarin, Celin
tau Kak Nevan bikin masalah karena mau ngelindungi Vita. Benerkan, kak?" kata Celin yang tampak
bersemangat.
Arga memalingkan wajahnya sebentar dari kamera depan ponselnya. Ia mengusap wajahnya kasar, lalu
kembali menghadap ke kamera.

"Cel, menurut kamu itu bener, ya?" tanya Arga melemah.

Mendapati pertanyaan dari Arga, langsung membuat Celin tersenyum lebar lagi. "Celin kan perempuan,
kak. Jadi Celin tau perasaan Vita. Menurut Celin, perlakuan Kak Nevan itu gentle banget, kak. Secara kan
dia rela ngapain saja demi Vita, dan Vita pasti ngerasa baper dong, kak. Eh tapi, Celin gak muji Kak
Nevan, ya. Celin cuma mengutarakan pendapat kalo misalnya Celin jadi Vita. Menurut Celin, Kak Arga
nomor satu dalam segala hal. Gak tau deh kalo Vita." terang Celin.

Untuk kesekian kalinya, Celin dapat mendengar helaan nafas Arga. "Cel, gini," Arga menarik nafas dalam-
dalam. "Kemarin waktu kamu nembak kakak, kakak pernah bilang sesuatu, kan? Kamu inget apa itu?"

Celin tampak mengernyit. Lalu ia mengalihkan pandangannya seraya mengingat- ingat moment itu.

"Bilang apa ya, kak? Celin lupa nih." sahut Celin.

"Yang bikin kamu nangis." ucap Arga.

Setelah beberapa saat, barulag Celin connect. "Oh, yang Kak Arga bilang suka sama Vita?" sembur Celin
tanpa sadar. Detik berikutnya, raut wajah Celin berubah drastis. Yang tadinya begitu sumringah, kini
malah mencebik tak suka.

Arga mengangguk membenarkan. "Tapi kayaknya kakak gak bisa sama dia, Cel." aku Arga lirih.

Celin mengernyit lagi. "Maksudnya, kak?"


"Cel.." panggilnya, "Kakak capek. Kamu tau kan gimana kakak nolak kamu demi Vita? Tapi, apa yang
kakak dapet? Gak ada! Malahan Vita sama Nevan." ucap Arga yang sangat terlihat kecewa.

Celim bungkam seribu bahasa. Dia tidak salah dengar, kan? Arga curhat?

"I- iya. Terus kakak mau gimana? Celin bantu kalo bisa." ujar Celin.

Lagi, Arga menghela nafas yang kali ini berat. "Kamu gak perlu bantuin apa- apa. Cukup selalu sama
kakak aja. Kakak butuh teman sekarang. Mau gak, Cel?" tanya Arga penuh harapan.

Celin langsung tersenyum bahagia. Bahkan wajahnya langsung memerah, dan Arga dapat melihat itu
dengan jelas dari balik layar. Tak lama, Celin jelas mengangguk antuasias. "Mau!"

Arga akhirnya tersenyum. "Thanks. Kamu istirahat, gih. Kakak mau makan."

"Iya, kak. See you."

"Too, Celin."

Senyum dan sapaan Arga sangat amat membuat Celin berat hati untuk menghentikan aktivitas video call
mereka. Namun tidak masalah, ini adalah awal yang bagus bagi Celin. Karena tanpa Celin duga, semua
rencananya berjalan begitu baik. Bahkan, kehadiran Nevan sangat membantunya secara tidak langsung.

•••

Malam harinya ...


ABC Group Chat

ME

BC!

Bas

Chand

Bastian

Hadir, bos!

Gendut mana nih?

Chandra

Kenapa, AK?

Bacot, tan

Bastian

Tan apaan? Mantan?

Gak bisa mupon loh?�

Chandra

Mantan tuh bertebaran

di sungai dekat rumah

Pak Sahrul

Bastian
Anjir! Maksud lo mantan

itu sampah, Chand?�

Chandra

Auk�Serah lo aja

mikirnya gimana�

Btw tan yg gue maksud

adalah seTAN

Bastian

Ngehe!

ME

Hmm

Chandra

Oh iya, ada apa nih

lo chat, AK?

Bastian

Baru galau gegara tuh

gosip lo, AK?

Chandra

<2
ME

Hmm

Agak, sih

Baru ganggu pikiran gue

Bastian

Tuhkan!

Chandra

Otw ke rumah lo nih, AK

ME

Oke, Chand

Bastian

Jemput, Chand

Chandra

Buruan.

Arga menunggu Bastian dan Chandra di ruang tamu. Ia mengajak dua sahabatnya ke rumah karena
memang ia sedang sendirian, orang tuanya dan Ayra ada diluar kota. Selain itu, Arga juga sangat gelisah
dengan masalahnya ini. Kenapa begitu berlarut dan seakan tidak akan habis?

Bastian menyerahkan gitar itu pada Arga. Arga memangkunya, dan menghela nafas panjang begitu
tangannya menyentuh senar. Menciptakan irama yang akan mengiringi lagunya.
Semoga lagu yang dipenuhi penyesalan ini akan menggapai langit

Aku berdoa sepanjang malam berharap aku bisa menyentuh hatimu

Aku belum dewasa, aku tak menyangka

Akan seperti ini jadinya, jadi aku biarkan saja

Senyuman yang kau tinggalkan masih ada dalam hatiku

Jujur, aku membutuhkan cinta yang belum aku dapatkan

Aku sangat merindukan dirimu dan juga momen itu yeah

I miss you so much

Akhirnya aku merasakan ruang diantara kita

I miss you so much

Air mataku mengalir, kenapa aku tak menyadarinya?

So beautiful beautiful
Kau lebih cantik dari yang lain

Jangan sakit (jangan sakit) ini lagu untukmu

Kalau kau mendengarnya, kembalilah

Oh aku merindukanmu...

Arga menghela nafas yang panjang sekali lagi. Lalu menatap Bastian dan Chandra dengan mata lelahnya.

"Gue harus move on, ya Bas, Chand?," lirih Arga bertanya.

Bastian dan Chandra hanya diam. Mereka tidak ingin menyela apa yang Arga katakan, karena sebenarnya
Arga tidak memberi pertanyaan melainkan pernyataan.

Arga menunduk lagi. "Bantu gue, Bas, Chand. Tolong.."

"Lo mau move on?" tanya Bastian memastikan.

"Mau move on sebelum memiliki, AK?" timpal Chandra.

Arga mendesah lemah. "Iya, gue pengen lupain dia di sama lalu."

Bastian dan Chandra mengangguk. Sebenarnya mereka tidak sepenuhnya setuju, namun mereka yakin
Arga punya alasan kuat hingga membuat keputusan final seperti ini.
Semoga Arga tidak salah membuat keputusan.

###

Mata Arga dan Vita bertemu. Sejenak, bahkan dalam kurun waktu beberapa detik, dua insan itu larut
dalam tatapan yang dalam. Seakan menghantarkan mereka kembali pada setiap moment, yang sudah
sepakat ingin mereka hapus.

Vita terkesiap. Demi apapun, jangan sampai pendiriannya goyah. Ini semua demi kebaikan dirinya dan
Arga. Vita terus merafalkan mantra itu. Lalu, ia pun membalikkan badan, hendak pergi dari sana untuk
menghindari Arga.

Namun, langkah Vita terpaksa berhenti karena hambatan didepannya. Untung saja tidak tertabrak, kalo
terjadi Vita bisa malu.

Vita mengangkat wajah, tak lupa ia pasang pelototan galaknya. Dan detik berikutnya, Vita mendengus
sambil memutar mata malas.

"Lo tuh ya!" sengit Vita kesal pada Nevan.

Nevan hanya nyengir. Vita mendengus sekali lagi. Kemudian ia berjalan dan dengan sengaja
menabrakkan bahu kanannya dengan bahu kiri Nevan keras- keras.

"Babe.." panggil Nevan manja.

"Minggir, bego!" hardik Vita kesal bukan main. Ia segera mendorong tubuh Nevan, namun selalu gagal
karena cowok itu sama sekali tak berkutik.

"Iya, gue bego." ucap Nevan.


"Ho'oh, bego! Udah sana!" usir Vita sambil terus berusaha mendorong Nevan.

"Gue bego karna gak ngejar lo dari dulu." ucap Nevan dengan senyum serta tatapan mautnya.

Vita terdiam. Usaha memberontaknya juga berhenti. Ia menatap Nevan lamat- lamat.

Senyum Nevan semakin lebar. Ia yakin, sangat yakin malahan, Vita pasti luluh dengannya. Karena dari
pengalaman Nevan sebelumnya, cewek sangat suka ucapan manis seperti itu.

Namun, Vita malah memukul kepala Nevan sangat keras dengan tangannya. "Bangke! Ngapain gombalin
gue, heh?!" teriak Vita kesal.

"Dwi, sakit!" Nevan mengusap- usap kepalanya. Ia lupa, bahwa Vita berbeda dari wanita yang pernah
Nevan pacari. Vita sungguh berbeda dan itulah yang membuat Nevan jatuh cinta padanya.

"Kenapa? Lo gak seneng?" tantang Vita sambil mengangkat dagu.

"Iya!" balas Nevan maju selangkah.

"Terus lo mau ngapain? Mukul gue? Iya? Sini!" Vita ikut maju selangkah.

Ibarat cuaca, ada awan gelap diatas kepala mereka berdua, yang langsung membiat suasana menjadi
keruh. Bak ada aliran listrik dari kedua mata, menampakkan perlawanan yang sengit.

"Gue mau nyium lo." ucap Nevan sambil menyeringai.


Vita membulatkan mata. Lalu dengan kekesalan yang menggebu- gebu ia berseru galak. "BANGS*T!"

Nevan malah tertawa. Ia juga menyentil bibir Vita. "Haduh itu mulut siapa yang ngajarin, sih? Kasar
banget." ledek Nevan.

Vita memukul kepala Nevan lagi. "Bacot! Kesel gue sama lo."

"Iya, gue juga sayang kok sama lo." ucap Nevan dengan suara yang sengaja dibesarkan.

Vita berdesis kesal sambil mendelik tajam pada Nevan. Yang Nevan katakan barusan tidak nyambung,
ditambah sangat 'ngawur'. Vita pun mendorong Nevan dan berlari menjauhi koridor. Nevan terkekeh,
lalu ia ikut berlari mengekor dibelakang Vita.

Sosok yang melihat kejadian itu sedari awal hanya menatap mereka berdua dengan datar. Arga diam saja
ditempat, terus melihat dan mendengar interaksi antara Nevan dan Vita. Arga merasakan sesuatu yang
aneh ketika melihat itu semua. Rasanya tidak jelas. Kesal, senang, bahkan marah.

Arga mendesah. Diayunkannya langkah meninggalkan ruang OSIS menuju kelas.

•••

Vita berjalan cepat hingga sampai didepan kelas. Begitu Vita menoleh ke belakang, Vita langsung
membulatkan mata. Lalu berhenti sambil mendengus sebal.

"Lo ngapain sih ngejar gue mulu?" omel Vita kesal.

Nevan ikut berhenti."Soalnya kata orang cinta itu harus dikejar." jawabnya seraya nyengir.
"Tapi gue bukan cinta lo, ya." kata Vita.

"Siapa bilang? Toh perasaan ini cuma gue yang tau." sahut Nevan dengan pedenya.

Vita mencebik. "Paan dah? Ngebet amat sama gue. Gue gak kenal lo, Van. Udah, jangan ganggu gue."

"Gak kenal tapi manggil Van." ledek Nevan.

"BODO!" teriak Vita kesal lalu masuk ke kelas. Tidak lupa ia mrnghadiahi Nevan pelototan gratis hingga
akhirnya benar- benar tubuhnya hilang masuk ke dalam.

Nevan tersenyum. Tulus. Nevan tidak pernah setulus ini ketika mengumbar senyum. Tapi kali ini, senyum
itu hadir karena Vita.

Memikirkannya saja membuat pipi Nevan bersemu merah. Nevan menutup wajahnya sebentar, lalu
berbalik meninggalkan lorong kelas X. Rasanya sangat senang bisa bicara dengan Vita, walau sama sekali
tidak lembut, malah terkesan ngegas. Nevan juga suka pelototan itu. Kenapa Vita bisa jadi imut karena
pelototannya? Nevan tidak tahu, tapi yang jelas Nevan semakin tertarik dengan Vita.

###

"Kak, Celin masih suka sama kakak. Jadi, sekarang kita bisa pacaran, gak?" tanya Celin sambil tangannya
menggenggam tangan Arga.

Arga menoleh pada Celin. Mulutnya sedikit terbuka, namun tidak ada jawaban yang keluar dari sana.
Detik berikutnya, Arga mengangguk, menghela nafas dan mengukir senyum tipisnya.

"Kamu lucu, Cel. Aku suka.." Arga menatap dalam- dalam dua manik Celin.
Senyum Celin langsung merekah. "Kak Arga, love you." Setelah mengucapkan itu, Celun segera
meletakkan kepalanya di pundak Arga. Dan Arga, sama sekali tidak keberatan dengan itu.

"Celin seneng banget, kak. Bangeeet." ujarnya kekanak- kanakan.

Arga terkekeh pelan sambil menunduk menatap Celin. "Sebegitunya?"

Celin ikut nyengir. "Iya. Kan dulu pas Celin nembak Kak Arga, kakak masih suka sama Vita, makanya Celin
ditolak. Tapi sekarang Celin bisa ngehapus posisi Vita dari hati kakak. Sekarang kakak suka Celin, deh!"
cetusnya sumringah.

"Tapi aku punya rumor, lho." ungkap Arga.

Celin yang tadinya tengah tersenyum lebar segera menegakkan posisi duduknya. Ia menatap bingung
pada Arga.

"Rumor apa, kak?" tanya Celin.

Arga membuang nafas pelan. "Rumor kalo aku punya pacar. Duh, ada aja cewek yang ngaku- ngaku pacar
aku, Cel." sahut Arga.

Celin speechless. Tanpa Arga sadari, Arga telah membicarakan sosok Celin. Karena selama ini, Celin lah
yang menyebarkan rumor itu agar fans Arga merasa cemburu. Terutama Vita, alasan utama Arga
menolak Celin dulu adalah karena gadis itu. Jadi, Celin berkeinginan membuatnya patah hati. Kehadiran
Nevan begitu membantu rencana Celin. Karena itu semakin membuat jarak yang lebar terbentang di
antara Arga dan Vita.

Celin tidak takut dibully karena ulahnya itu. Tantenya- Bu Wardah punya posisi sebagai guru BK Indonesia
High School, jadi, sangat dipastikan tidak akan ada yang berani bertindak kasar pada Celin.
Celin meneguk ludah ketika panggilan Arga menariknya kembali ke dunia nyata. Cowok tampan
didepannya ini tengah mengkerutkan dahi bingung.

"Mikir apa, Cel?" tanya Arga.

Celin menggeleng cepat. "Enggak. Itu bukan rumor kali, kan kita emang pacaran." ucap Celin
cengengesan.

Arga tertawa kecil. "Dasar!" tukasnya gemas.

•••

"Kak, Celin ke toilet dulu, ya. Btw, ini handphone Celin," ujar Celin sembari menyerahkan ponsel bercase
Mickey Mouse miliknya. "Kakak aja yang pegang."

Arga menerima ponsel itu dengan bingung. "Kenapa kasih ke aku?"

"Kan kakak pacarnya Celin, Celin percaya sama kakak. Udah ya, Celin kebelet nih." cicit Celin langsung
masuk ke toilet.

Arga tertawa melihatnya. Celin sangat kekanak- kanakan. Lebih dari pada Vita. Bicara tentang gadis itu,
bagaimana dia sekarang? Apa kabar hubungannya dengan Nevan? Apa posisinya di hati Vita sudah
tergantikan? Aega sangat penasaran dengan itu.

Arga menatap ponsel Celin ditangannya. Lalu Arga mulai menyalakannya dan menscrool layar. Memang,
ponsel Celin tidak pernah dilock. Jika pun dilock, sandinya adalah nama Arga sendiri.
Betapa manisnya cewek manja itu. Arga terkekeh geli dibuatnya.

Arga bersenandung pelan begitu melihat- lihat file yang ada di ponsel Celin. Beberapa detik kemudian,
Arga tersenyum, entah untuk apa. Kemudian Arga mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Arga
berkutat pada dua ponsel itu. Matanya secara silih berganti memandang layar ponsel Celin lalu ke
ponselnya. Dan setelah urusannya selesai, Arga segera mendongak seraya memasukkan ponselnya
kenbali ke saku celana.

"Kak Arga ngapain?" tanya Celin begitu sudah keluar dari toilet.

Arga tampak gelabakan. Ia hanya tertawa canggung karena bingung harus menjawab apa.

Celin yang melihat reaksi pias Arga langsung panik. Apa yang Arga lihat di ponselnya?

"Kak, ngapain?" tanya Celin langsung merebut ponselnya dari tangan Arga.

"Engh," Arga mengusap tengkuknya, "Maaf ya, Cel."

"Buat?" tanya Celin bingung.

"Tadi, aku nyalin foto kamu ke hp aku. Gapapa, kan?" ucap Arga pelan.

Celin menghela nafas, ia benar- benar khawatir tadi. Ia pikir, Arga melihat sesuatu yang salah di
ponselnya. Namun rupanya Arga hanya melakukan itu. Celin tentu tidak punya masalah.

"Boleh dong. Masa pacarnya Celin gak boleh." ucap Celin gemas sambil mencubit pipi Arga.
"Makasih, ya." ucap Arga.

"Iya." sahut Celin manja. Lalu, ia bergelayut manja ditangan kekar Arga dan melanjutkan perjalann
menuju kelas.

•••

Arga dan Celin jalan beriringan. Dengan Celin yang masih saja bergelayutan ditangan Arga. Mereka saling
mengobrol, dan tampak begitu senang.

Arga mendesah. Ia tak menyangka segalanya akan secepat ini. Maksudnya, secepat itu sosok little girl
digantikan oleh Celin. Bibir Arga rasanya tak sanggup mengucap nama itu. Hati Arga juga tak kuasa
menyebut nama itu. Arga benar- benar ingin melupakan yang sudah berlalu.

"Kak Arga, Celin mau ke kantin." rengek Celin tiba- tiba.

Arga terkesiap. Rengekan Celin menariknya kembali ke dunia nyata. "Apa?"

Di saat bersamaan Arga menunduk untuk melihat Celin yang masih bergelayut ditangannya, ada
seseorang yang berjalan melewati mereka. Tidak ada sapaan atau seruan. Seolah tak saling kenal,
seseorang itu bahkan tidak melirik satu sama lain.

Arga berhenti, dan itu membuat Celin mendongak. Mengkerutkan dahi begitu melihat wajah Arga yang
tiba- tiba menegang.

Tangan Arga mengepal, tidak peduli dengan kulitnya yang memerah karena meninggalkan bekas. Itu tadi
Vita. Gadis yang dulunya menempati hati Arga, namun kini malah sangat acuh padanya.
Arga secepat mungkin langsung berbalik dan berjalan mendekati Vita. Rasanya gerakan Arga saat ini
tidak dikendalikan oleh dirinya sendiri. Terjadi karena spontanivitas.

Begitu sudah ada didekat Vita, Arga segera menahan pergelangan tangan Vita yang langsung membuat
cewek itu terlonjak kaget. Arga menatap Vita lurus dan dalam. Entah kenapa, rasanya Arga sangat tidak
suka diacuhkan Vita seperti tadi. Mood Arga langsung buruk karena kejadian itu.

"Kenapa, kak?" tanya Vita bingung.

Arga terkesiap. Ia seperti orang linglung. "Apa?"

Kerutan di dahi Vita jadi semakin dalam. "Itu, tangan kakak."

Arga menunduk, dan detik selanjutnya ia membelalak dennan tindakan tak terkontrolnya. Cepat- cepat
Arga menarik tangannya kembali dan bicara dengan canggung. "Maaf, Ta."

Vita tersenyum manis. "Sudah dimaafkan. Kakak mau kemana?" tanya Vita.

Arga meneguk ludah. Butuh beberapa detik hingga Arga menjawab pertanyaan Vita dengan ragu. "Ke
kelas Celin."

"Oh. Duluan ya, kak." pamit Vita lalu pergi bersama Febri dan Rilya.

Arga menghela nafas sambil memandangi punggung gadis manis itu. Arga menghela nafas dan berbalik
menuju Celin.

"Tadi kamu bilang apa?" tanya Arga.


"Tadi mau ke kantin. Tapi gak jadi, deh." sahut Celin sambil tersenyum kecut. Awalnya Celin ingin pamer
pada seluruh sekolah bahwa ia sudah pacaran dengan Arga, tapi karena Vita akan ada di sana, Celin
mengurungkan keinginannya itu. Celin tidak mau Arga berdekatan dengan Vita.

"Ayok, kaak." rengek Celin kembali bergelayut di lengan Arga.

###

Aku tidak menyangka kamu akan melupakan semuanya secepat ini. Seakan kita tidak pernah mengenal
apalagi memiliki rasa untuk satu sama lain.

Avita Dwi Fabdilla

••

Vita memilih langsung duduk di bangku sementara Febri dan Rilha pergi memesan makanan. Orang-
orang yang hilir mudik di sekitarnya tak terlalu Vita hiraukan. Ia malah sibuk memainkan selembar tissue
ditangannya. Ia lipat, robek, hingga ia remas- remas.

Entah sejak kapan Vita jadi suka kantin, atau tempat apapun yang selalu ramai. Padahal dulu Vita tidak
terlalu suka keramaian. Mungkin, beberapa kejadian mampu merubah perasaan dan pendirian yang dulu
Vita jaga. Karena masalah beberapa waktu lalu, Vita jadi suka orang- orang ramai. Rasanya lebih baik dan
tidak terlalu menyedihkan.

Sambil terus memainkan tissue yang sudah tak berbentuk, samar- samar Vita melihat seseorang duduk
di kursi depannya. Merasa itu adalah Rilya, Vita pun mendongak.

"Mesennya udah?" tanya Vita.

"Hm? Kamu mau apa, babe?"


Vita terlonjak. Kenapa cowok mesum ini ada dihadapannya?

Vita mengerjapkan mata beberapa kali. Bahkan, ia memicing, melihat sosok didepannya ini dengan lebih
seksama.

"Ini gue manusia, babe, bukan hantu." ucap seseorang itu lagi dengan senyum manis seraya
mengedipkan satu matanya.

"Gak- gak. Gue kok kayak ngeliat makhluk tanah liat gak jadi, ya?" ucap Vita asal.

Seulas senyum dari bibir Nevan menghilang. Ia memutar matanya jengah. "Pasti, deh."

Vita tak menanggapi. Ia melempar pandangan ke samping kanan. Masa bodohlah dengan cowok mesum
yang selalu membuatnya kesal sampe ke ubun- ubun. Walau sebenarnya, Nevan tidau terlalu
mengesalkan, karena beberapa kali ia sempat membantu Vita yang sedang terpuruk.

"Eh, itu Avita lagi sama Kak Arga, ya?"

"Bukan, Kak Arga gak mungkin pake seragam awut- awutan gitu."

"Terus siapa?"

"Ah, itu Kak Nevan!"

"Gila! Demi foundation gue yang super mahal. Setelah Kak Arga, sekarang Nevan deketin Vita?"
"Vitanya aja yang sok kecantikan deketin most wanted di sini."

Telinga Vita panas. Tangannya tanpa sadar mengepal dengan nafas memburu. Ini sudah kesekian kali
sebuah tatapan kebencian dan ujaran tak mengenakkan dilayangkan padanya. Vita ingin sekali marah
dan menjelaskan segala ketidakbenaran ini. Namun Vita sadar, itu semua takkan berguna. Orang yang
membencinya akan terus menbenci, walau sudah Vita jelaskan.

Akhirnya, Vita hanya mampu menghela nafas, berusaha meredam emosinya.

Vita menengok ke depan, lalu ia mengerutkan dahi ketika melihat Nevan tak lagi ada didekatnya. Sedetik
kemudian Vita mendengus, dasar jelangkung. Datang tak diundang, pulang tak diantar.

"Ah! Kak Nevan!" jerit seorang siswi yang spontan membuat perhatian terarah pada sumber suara itu.
Tak terkecuali Vita, ia segera berdiri ketika mendengar jeritan itu.

"Vi, lo gapapa?" Febri datang dengan nafas ngos- ngosan.

Vita mengernyit. "Hah? Kenapa?"

"Itu, Nevan berantemin cewek yang tadi bisik- bisikiin lo." adu Febri. Vita membelalak. "Hah?!"

Febri segera menarik Vita menerobos ke kerumunan yang ramai dan gerah. Apalagi semua krang di sana
berkumpul bukan untuk melerai, namun hanya menonton.

Vita langsung menutup mulut begitu melihat adegan jambak- jambakkan didepannya. Cewek itu tampak
membungkuk dengan kedua tangannya memegangi rambut. Sedangkan cowok itu berdiri, menyeringai
dengan satu tangannya menjambak kasar rambut cewek itu.

"Kak.." Cewek berambut panjang itu sudah terisak.


"Kenapa? Mau dikuatin jambakkannya? Oke." ucap Nevan yang langsung dibalas teriakan. "Jangan, kak!"

"Lo harus tau, sakitnya elo sekarang gak sebandkng sama sakitnya dia. Dia yang udah lo maki semaunya
sama omongan lo yang sampah! Berengs*k, lah!" omel Nevan kesal.

"Kalo memang gak tau apa- apa, gak usah ngebacotin orang. Kayak hidup lo udah bener aja!" ucap Nevan
lagi tanpa melempas jambakkannya, membuat cewek itu semakin meronta.

"Bukan salah dia kalo gue yang suka sama dia. Nih gue tegasin, GUE SUKA AVITA DWI DAN GUE BAKAL
NGEHAJAR SIAPAPUN YANG BIKIN DIA SEDIH. Jadi, jangan sampe gue denger kalian ngomong jelek
tentang cewek yang gue suja. Ngerti?!" ucap Nevan tegas dan penuh penekanan. Menegaskan bahwa ia
tidak menerima penolakan.

Tak ada yang berani bersuara.

Nevan menghempas cewek itu ke lantai. Otomatis jidat cewek itu langsung menyentuh lantai dengan
kasar hingga menimbulkan lebam.

Nevan memandang semua orang dengan tajam. Namun tatapan itu berubah menjadi teduh ketika
memandang Vita, yang wajahnya memucat karena shock.

Dengan langkah sedang, Nevan berjalan mendekati Vita. Dan mengambil tangan gadis itu sambil
tersenyum miring.

"She is ma girl." ucap Nevan pada semua orang. Vita benar- benar shock, hingga ia bahkan tidak kuat
untuk sekadar mengumpat pelan pada Nevan yang seenaknya mengklaim Vita.

Nevan menatap Vita. "Mine.."


Vita terkesiap, ia memandang tidak suka pada Nevan. Nevan berlebihan, kenapa harus menyakiti
seseorang?

Baru saja Vita hendak menarik tangannya dari pegangan Nevan, seorang anak laki- laki masuk ke tengah
kerumunan, disusul cewek cantik dibelakangnya.

"Apa yang terjadi?" tanyanya.

"Si, urus dia." titahnya. Sisi mengangguk, lalu langsung menghampiri cewek yang sedang sesegukkan
ditengah kerumunan yang membentuk formasi lingkaran.

"Siapa yang bertanggungjawab atas kejadian ini?" tanya sang ketua OSIS dengan ekspresi tegas.

"Gue." sahut Nevan santai sambil mendekati Arga. Tentu dengan tangan yang masih menggenggam
tangan Vita hingga gadis itu ikut tertarik.

Arga menoleh ke sumber suara. Detik berikutnya Arga melebarkan mata.

"Lo?"

"Iya, gue." jawab Nevan masih santai.

Arga tidak masalah dengan itu, karena memang Nevan selalu bermasalah. Arga sampai lelah menangani
pelaku BK yang orangnya selalu sama.
Tapi setelah Nevan, wajah yang Arga lihat adalah Vita. Mengapa Vita terlibat? Mata Arga turun ke bawah,
dan di saat itu juga, rahang Arfa mengeras. Dadanya naik turun dengan tempo tak teratur, matanya
menatap nyalang kedua tangan yang sedang berpegangan itu.

"Nevaniel Geraldie, ikut saya ke BK!" titah Arga.

"Oke, tapi," Nevan menjeda kalimatnya.

"Hanya gue. Dwi gak perlu ikut." ucap Nevan.

Arga menatap keduanya dengan sangat datar. Lalu ia mengangguk. Namun, satu kalimat yang Vita
keluarkan sangat membuat Arga kesal.

"Aku mau ikut." ucap Vita tiba- tiba.

Nevan menoleh cepat. Menatap Vita dengan intens, meminta penjelasan secara signifikan. Namun yang
ditatap malah melihat ke arah lain. Vita melihat Arga, dan saling melempar tatapan yang sarat akan
formalitas, terasa hambar dan sangat datar.

Nevan tersenyum miring ketika mulai mengerti situasi ini. Nevan melirik Arga dengan mata bak elangnya.
Secara perlahan, Nevan menautkan jarinya ke sela- sela jari Vita, kemudian menggenggamnya sebagai
tanda kepemilikan.

Vita terlonjak dan segera menoleh pada Nevan ketika merasakan genggaman tangan Nevan. Seperti baru
menyadari apa yang ia lakukan, Vita tampak kelimpungan bagaimaba mengatsi situasi yang tidak
terencana ini.

Beberapa detik kemudian, Vita menghembuskan nafas pelan. Berusaha tenang ketika sebuah jde
melintas dikepalanya. Akhirnya, dengan gerakan sangat getir, Vita menggenggam balik tangan Nevan.
Membuat kedua tangan mereka saling mengunci, dan sangat amat membuat Nevan bersenang hati.
Mampus! Tadi kenapa mulut gue nyembur aja, sih? Kan jadi salting gue. Anjir. Sungut Vita membatin.

•••

Nevan dan Vita duduk bersebelahan didepan meja Bu Wardah. Mereka berdua menunduk, sama- sama
memandang tangan mereka yang masih saling menggenggam dengan perasaan berbeda. Nevan
berbahagia, tentu. Dan Vita hampir menangis karena tidak suka tangannya digenggam Nevan. Tapi ia
akui ini kebodohannya. Salah sendiri tadi sok pahlawan dengan mau ikut Nevan ke BK.

"Jelaskan." suruh Bu Wardah. Disampingnya telah berdiri dua orang yang berkedudukan penting di OSIS,
yakni Arga dan Ben.

Vita menggigit bibir bawahnya dan menggerakkan kaki gelisah. Ini hari pertama dimana Vita masuk ke
ruang BK dan diinterogasi layaknya seorang pelaku. Vita sangat takut meski bukan dirinya yang
melakukan sesuatu.

Karena ketakutan itu, tidak sadar Vita menggenggam tangan Nevan lebih erat. Dan Nevan menyadari itu.
Ia menoleh, menatap wajah Vita yang tertunduk. Lalu, Nevan mendongak pada Bu Wardah.

"Alasannya tetap sama, Bu. Mereka ngebully Avita." ucap Nevan.

Vita menoleh pada Arga. Ia agak lega, tidak tahu untuk alasan apa. Tiba- tiba Vita berpikir bahwa Nevan
cukup baik, tidak seburuk yang Vita bilang.

"Lagi?" kata Bu Wardah yang terdengar jengah.

Vita ikut mendongak. Kemudian ia menghela nafas sebelum akhirnya tersenyum tipis pada Bu Wardah.
"Bu, saya gak maksud lancang. Tapi, apa yang Nevan lakukan kali ini saya rasa benar. Karena Nevan
berniat membela saya. Kalau saja mereka gak ganggu saya, saya yakin Nevan gak akan melakukan hal itu.
Maaf, Bu." jelas Vita.

Bu Wardah menganggukkan kepala, tampak menimang- nimang ucapan Vita.

"Nevan, karena Ibu sudah capek sama kelakuan kamu, hari ini kamu dimaafkan. Lagipula kamu sudah
menjalankan segala macam hukuman, Ibu jadi bingung mau kasih kamu hukuman apa lagi." jengah Bu
Wardah.

Nevan dan Vita langsung mengkerutkah dahi, namun tak lama mereka menghembuskan nafas lega.

"Makasih, Bu." ucap Vita. Bu Wardah tersenyum hangat dan mengangguk.

"Nevannya tolong dijaga ya, Avita. Diubah perilaku jeleknya." nasehat Bu Wardah.

Vita tersenyum dan mengangguk kikuk. "I- iya, Bu."

Nevan dan Vita berdiri, mereka pamit dengan sopan pada Bu Wardah lalu mulai berjalan keluar ruang
BK.

Saat Nevan menarik Vita melewati Arga, mereka masih sempat bertatapan. Arga dengan tatapan
dinginnya dan Vita dengan tatapan datarnya.

Seolah, mereka tak pernah saling mengenal. Tak pernah ada rasa di antara mereka. Tak pernah ada, dan
mungkin tak akan pernah ada.
Vita dan Nevan keluar dari ruang BK. Cepat- celat Vita menarok tangannya dari genggaman Nevan dan
langsung berkalan menjauh. Untuk saat ini Vita sangat berharap Nevan tidak akan mencekalnya kali ini.
Karena Vita sangat malu sekaligus mebyesal.

"Gue harap lo gak jadiin Nevan pelampiasan, Vi." ucap Rilya.

"Yuk. Sini ke kelas." ajak Febri.

Vita termenung. Bimbang. Apakah ia memang berniat menjadikan Nevan pelampaisan?

###

Arga♥

Cel?

Istirahat ini ke koridor, ya?

Kakak mau ngomong

"Buruan, Cel!" desak Tifa, teman sebangku Celin.

Rencananya, Tifa dan Celin akan ke kantin untuk memburu makanan. Namun, begitu Celin hendak
berdiri, satu pesan masuk ke ponselnya. Celin pun aege

Vita menengok ke tempat dibagian belakang Arga. Menunjuknya dengan wajah sumringah seolah-
seolah menemukan harta karun.

"Kak Arga itu ada Jonathan Christie!" ucap Vita girang.

Arga memandang lurus- lurus mata Vita. "Biarin. Gak perduli." ketus Arga.
Vita mencebik sambil menatap Arga. "Gak boleh gitu. Kalo ada orang yang dateng itu dihargain." tutur
Vita.

"Kalo gitu kamu juga harus ngehargain dan dengerin kakak, karena kakak datang untuk kamu." balas
Arga.

Vita langsung kicep. Bibirnya menutup rapat- rapat sambil menunduk dengan ekspresi menggemaskan.
Layaknya anak kecil yang merajuk sebab dimarahi Ayahnya.

Arga menghela nafas. Ditariknya kedua sudut bibirnya hingga melengkung, membentuk senyuman
mempesona.

"Ta, kakak mau...-"

"Kak Arga itu pak presiden kita!" teriak Vita lagi dengan menunjuk kembali ke posisi belakang Arga.

Arga menaikkan sebelah alisnya. "Siapa?"

Vita mengernyit sambil memandang Arga. "Ih! Masa presiden sendiri gak tau!" tukasnya manyun.

"Yang nanya!" lanjut Arga.

Vita mendengus sambil memutar matanya malas.

"Kak Arga, aku mau pergi, ya." pamit Vita sembari melangkah meninggalkan Arga.
Arga mencekal tangan Vita. "Kakak mau ngomong." sergahnya.

Vita tetap melangkah, tidak memerdulikan Arga yang mencekal tangannya.

"Duh, ada tugas kelompok, kak. Jadi aku harus ke kantin." tukas Vita beralasan.

"Kalo ada tugas itu ke kelas bukannya ke kantin, Ta." sahut Arga yang terus berusaha mengejar Vita.

"Iya itu maksudnya! Misi kak, aku mau ke kelas, pengen makan." ucap Vita ngawur.

Arga berdecak. Demi mengeluarkan kata- kata yang sudah siap diujung lidah, Arga pun memperbesar
langkahnya dan melewati Vita. Lalu berhenti didepan jalan cewek itu.

Vita langsung mengerem ayunan langkahnya. Ia sempat menatap kaget pada Arga sebelum akhirnya
hendak berbalik menghindar.

Dan Arga kembali mencekal tangan gadis itu sambil berucap lantang. "Kakak juga suka kamu, Ta!"

DEG!

Vita membulatkan mata tak percaya.

"Siapa?" tanya Vita.

"Kakak serius, Ta."


"Ih aku juga, kak."

"Kakak. Suka. Sama. Kamu." Arga sengaja mengatakan itu dengan intonasi yang lambat serta jelas agar
Vita bisa mencernanya.

Vita menggeleng, lalu meninggalkan Arga.

"Bagaimana dengan postingan yang gue bagikan di instagram? Kalian udah pada liat?" tanya Arga pada
aeluruh orang yang berkumpul di halaman utama sekolah. Semua kumpulan itu mengangguk,
mengisyaratkan bahwa mereka sudah melihatnya.

"Jadi, gue mau ngasih tau sama kalian tentang postingan itu," Arga menjeda kalimatnya. Tatapannya
yang sarat akan amarah tertuju pada Celin, membuat kerutan di dahi gadis berbando pink itu semakin
dalam.

Arga semakin menatapnya tajam, dan mulai memceritakan segalanya.

•••

Arga menggeser layar ponsel Celin sembari mmebaca satu persatu file atau aplikasi yang ada di ponsel
cewek itu. Arga tidak tertarik dengan foto, video, atau apapun tentanh Celin. Bahkan, jika didalam ponsel
Celin terdapat foti atau sesuatu tentnag dirinya, sungguh Arga sangat tidak perduli. Karena bukan itu
yang Arga inginkan sekarang. Arga ingin bukti. Bukti kuat untuk menyelesaikan segala rumor yang
menimpanya selama ini.

Arga sudah memutuskan, ia akan menyelesaikan permasalahan ini. Kemarin, saat Vita mengucapkan
salam peprisahan pada Arga, Arga merasa sangat hancur. Ia tidak pernah merasa sesakit ini hanya karena
seorang gadis. Gadis itu tidak banyak bicara, tidak menangis juga, namun sukses membuat Arga sesak
karenanya.
Dari sanalah, Arga memutuskan untuk membuat rencana. Bersama Bastian dan Chandra, Arga meminta
pendapat kedua sahabatnya itu. Apa yang harus ia lakukan sebagai awal rencananya?

"Kalo menurut gue, AK, lo harus tau siapa dalangnya." ucap Chandra.

"Fix! Seperti yang gue bilang dulu, AK. Dalangnya Celin, ponakan Bu Wardah!" sahut Bastian yakin.

"Nah, kalo udah tau dalangnya. Udah gampang, AK!" cetus Chandra.

Arga memutar otak dan menguras pikiran dengan sangat keras. Beberapa clue sudah ia dapatkan, dan
seharusnya sebuah rencana sudha terususn dikepalanya. Sayang, Arga belum menemukan ide apapun.

"Lo tau dia punya fake chat sama lo?" tanya Bastian. Arga menggeleng, karena memang ia tidak tahu
tentang hal itu.

"Nah! Gue yakin, dia pasti udah sekongkol sama seseorang buat ngejebak lo. Bisa aja kan, dia pake
whatsapp orang lain tapi dikasih nama elo? Biar pas chattan yang romantis gitu dikira elo!" ucap Bastian
menduga- duga.

Arga dan Chandra mengangguk- anggukkan kepala. Yang dikatakan Bastian ada benarnga juga.

"Eh, tapi bisa jadi enggak gitu, Bas." sergah Chandra.

"Kan jaman sekarang aplikasi udha bejibun nih, mungkin aja dia pake aplikasi fake chat gitu. Jadi dia bikin
percakapn seolah- oalh ada dua irnag padahal mah dia aja yang balas- valasan." tutur Chandra.

"Jadi, intinya tuh bukti ada di hp dia?" tanya Arga.


Bastian dan Chandra kompak mengangguk."Iya!"

"Jadi, gue harus dapetin hp dia? Tapi gimana?" tanya Arga yang kebingungan.

Mereka bertiga salinf memandang selama bebrrapa detik, hingga akhirnya suasan kembali sunyi sebab
tengah berperang dengan likiran masing- masing.

"Celin suka lo kan, AK?" tanya Bastian.

"Iya." sahut Arga.

Bastian menganggukkan kepala. Ia mengetuk- ngetuk dagunya berpikir, pose yang sama dilakukan
Chandra.

"Gue tau!" teriak Arga tiba- tiba.

Bastian dan Chandra langsung heboh. "Apa?"

"Karena Celin suka gue, gimana kalo gue deketin dia aja? Terus pas udah dapet kepercayaan dia, entar
gue ambil deh hp nya dia. Gue ambil screenshot aplikasi itu terua gue sebarin ke sosmed. Gimana?" ujar
Arga menyampaikan idenya.

"ANJER BAGUS SETAN!" teriak Bastian sambil mengacungkan jempolnya tepat ke depan wajah Arga.

Begitulah awal pembiatan rencana yang kini sudah Arga jalankan. Arga sudah mendekati Celin, sudah
juga mendapat kepercayaan cewke ktu, bahkan kini ponselnya ada ditnagan Arga. Arga sangat antusias,
ia berharap ada bukti di ponsel Celin hingga semua rencananya selama ini tidak akan sia- sia.
Arga tersengum begktu menemukan aplikasi faje chat yang dikatan Chansdra kemarin, dan setelag
membukanya, Aega dapat melihat sebuah chaftttan yang mengatasnamakan dirinya dengan isi chat yang
begitu romantis.

Tidak butuh waktu lama, Arga segera mengeluatkan ponselnya. Berniat memindahkan foto foto
screenshot apliaksi dan oercakapn tiu ke ponselnya, lalu membagikannya ke instaftam. Srtelah itu, Arga
akan mempermalukan Celin djdepna umum, membuak kedok liciknga dan memperbaiki nama baik Arga
sendjri.

Kan kmren fans arga bukky vita dhtu febri ngmpor sruhny fans arga t bully velin kan celin ngaku pcar arga

"Ta, kakak tau ini gak romantis. Tapi, will you be mine?"

Vita tersenyum, tapi tak lama senyum itu memudar bersamaan dengan

Arga menarik Vita setelah merasa cukup memberi prlajaran pada cewek itu, yang namanya sangat malas
Arga ucapkan. Arga sudah terlalu baik dengan diam walau tahu rumor tentang dirinya, dan tidak
mengambil tindakan meski apa yang dirumorkan itu hampir merampas milik Arga.

Vita. Hampir saja Arga kehilangan dia sebelum memilikinya secara utuh.

Arga menarik lembut perfelangan tangan Vita menjauhi keramaian di koridor tadi. Dengan langkahnya
yang tergesa- gesa Arga membawa Vita ke taman. Tempat yang ingin Arga jadikan saksi bisu bagaimana
segala perasaannya terungkap.

"Ta.."panggil Arga sambil membalikkan badannya agar menghadap Vita.


Arga tersenyum. Dan seperti seorang anak kecil yang penurut, Vita kini ikut menatap Arga dengan seulas
senyum manis menghiasi bibirnya.

"Ta, kakak selalu berpikir kalau kamu gak butuh penjelasan, kakak selalu berpikir kalau kamu bisa
menyelesaikan segalanya sendiri, termasuk keraguan kamu. Tapi kakak lupa, selain kepercayaan, ada hal
lain yang dibutuhkan dalam suatu hubungan. Yakni kejelasan. Salah paham itu biasa, terkadang sulit
dihindari. Apalagi banyak faktor pendukungnya," Arga menjeda ucapannya sambil tersenyum getir.

"Kakak minta maaf karena gak memberikan kamu kejelasan sebelumnya. Ta, kakak tau ini gak romantis.
Tapi, maukah kamu menjadi tempat kakak bersandar ketika lara menjelma menjadi air mata?" tanya Arga
sembari berlutut didepan Vita dengan satu tangannya menengadah.

Vita membulatkan mata, dan rahangnya hampir saja jatuh karena terlalu terbuka. Vita mengerjap,
bersamaan dengan dahinya mengkerut tak percaya.

Vita menengok ke sekeliling, memastikan bahwa ia tengah menapak di tanah, tidak terbang karena
terlampau senang.

Lalu, Vita mencubit pipinya yang berakhir dengan cewek itu mengaduh kesakitan. Sejurus kemudian Vita
kembali menaruh pandangan pada Arga. Dan detik berikutnya sebuah senyum memesona tercetak di
bibir pinknya.

Melihat senyum Vita, seakan ada sebuncah harapan yang hadir dalam benak Arga. Rasa yang selama ini
hanya mampu ia rasaakn dan tak pernah ia utarakan sebentar lagi akan terbalas

Vita pasti menerimanya, kan?

"Kak.." Vita menunduk, menatap rerumputan yang sedang ia injak. Perlahan namun pasti senyumnya
memudar, berganti dengan raut wajah yang Arga sendiri tidak bisa mengartikannya.
Tidak, jangan sampai Vita menolaknya.

"Aku gak bisa, kak." kata Vita pelan, ada nada terluka di sana.

Arga hampir saja jatuh terduduk jika ia tidak cepat- cepat menggunakan tangannya untuk menopang
tubuh. Sungguh, Arga tidak salah dengar, kan? Vita menolaknya?

Hanya Vita satu- satunya wanita yang mampu membuat Arga jatuh hati. Vita adalah wanita yang
mengajarkan Arga tentang apa itu cinta dan apa penubjang suatu hubungan. Vita tidak sempurna, tapi
Arga berkeinginan untuk menyempurnakannya.

Dan Arga tak habis pikir, mengapa Vita menolaknya? Bukankah semua sudah jelas? Atau, sebenarnya Vita
masih kecewa dengan semua yang terjadi selama ini?

Arga bangkit, menatap lurus- lurus dua manik hitam Vita. "Kenapa, Ta?" tanya Arga.

Vita terlihat menghela nafas. Butuh beberapa detik hingga akhirnya ia mendongak dan membalas
tatapan Arga.

"Gak bisa nolak maksudnya." lanjut Vita yang kemudian terkekeh.

Ya ampun!

Jantung Arga rasanya ingin copot ketika mendengar penolakan Vita, dan kini gadis itu malah nyengir
manis.

Arga tersenyum lega, bahkan sempat tertawa begitu menyadari bahwa Vita mengerjainya.
Arga mengangguk. "You are my little girl." tutur Arga sambil menatap Vita.

Vita mengulas senyum paling manis miliknya. "Yes, I'm yours." sahut Vita.

Kemudian, Arga dan Vita saling mengangkat tanga. Menyatukan telapak tangan mereka lalu mulai
menempelkan satu demi satu jarinya.

Bagi Arga, tak ada yang sempurna, bahkan sosok Vita juga. Namun, Arga tetap mencintainya, sebab
baginya wanita adalah tulang rusuk yang bengkok. Akan patah jika diluruskan secara paksa. Arga harus
menuntunnya dengan sabar, memperbaiki kesalahannya dengan perlahan. Sehingga tidak akan
menyakiti wanitanya. Dan Arga kini sudah selangkah dalam memulai, Vita sudah jadi miliknya.

Dan bagi Vita, memiliki Arga adalah kesempurnaan hidupnya. Karena Arga adalah terbaik dari yang
terbaik. Arga adalah orang yang tepat bersama Vita, karena pria itu selalu bisa memperbaiki serta
mengajari Vita dengan lembut. Itu yang Vita butuhkan.

###

Arga dan Vita duduk diatas rerumputan taman tanpa alas. Dibawah pohon yang besar dan rindang agar
terik matahari tak menyentuh kulit mereka.

Ditangan Arga, tergenggam sebuah buku tebal yang Vita ingat adalah buku kumpulan soal UN kelas XII.

Vita tersenyum kecut melihat buku itu. Vita tidak menyesal, tidak juga marah dengan peristiwa itu.
Namun ingatan tentang saat- saat dulu tentu saja masih terngiang dipikirannya.

Karena mengambil buku itu, Vita harus bertemu dengan Nevan. Pertemuan itu mengantarkan Vita pada
setiap pertengkaran dengan Nevan. Lalu bagaimana Nevan seakan berhasil masuk dan hampir
menggeser posisi Arga di hati Vita.mm
"Kak Arga, kakak tau kenapa langit itu biru?" tanya Vita sambil memiringkan kepalanya.

Arga menoleh. Menautkan alisnya bingung yang malah membuatnya semakin tampan.

"Kamu mau gombalin kakak?" tebak Arga.

Vita yang tadinya tersenyum lebar langsung cemberut. Rupanya, Arga tahu tujuannya.

"Gak jadi!" balas Vita ketus sambil mengalihkan pandangan dari Arga.

Percayalah, Arga sedang sangat gemaa dengan sikap kekanak- kanakan Vita. Wajah Vita jadi berkali- kali
lebih imit ketika ngambek seperti sekarang. Dan Arga tidak tahan untuk tidak mencubit pipi Vita.

"Dih, ngambek. Lagian sejak kapan otak kamu isinya receh kek gitu?" cibir Arga sambil tertawa kecil.

"Auk!" ketus Vita sambil melipat tangan ke dada. Karena sedang dalam mode ngambek on, Vita harus
jaim agar tampak meyakinkan dimata Arga.

Arga terkekeh, lalu tangannya terulur untuk mengacak prlan rambut Vita, yang entah sejak kapan sudah
tergerai indah. Padagal saat perjalanan ke taman tadi, Arga ingat dengan jelas kalau rambut Vita masih
terukir rapi.

"Kamu mau tau kenapa langit warnanya biru?" tanya Arga lembut.

Vita menoleh pelan, tapi masih dengan wajah yang cemberut. "Um?" jawabnya.
"Karena itu udah tandirnya Tuhan. Sama kayak kita, pertemuan kita tuh adalah takdir terindah dari
Tuhan." tutur Arga seraya tersenyum.

Mendengar penuturan Arga otomatis membuat Vita tersenyum. Senyum yang ia dapat karena tertular
dari Arga.

"Aku sebel sama kakak!" cetus Vita menatap tajam mata Arga.

Arga langsung kelimpungan. "Salah kakak apa, Ta?"

"Iya sebel. Karena kakak tuh selalu berhasil buat aku jatuh cinta setiap saatnya." sahut Vita yang diakhiri
cengiran tak berdosanya.

Arga tampak menghela nafas lega, hingga akhirnya tawanya lepas. Ia sempat panik karena mengacaukan
mood Vita, tapi rupanya gadis itu hanya mengerjainya.

"Rambutnya kenapa digerai?" tanya sambil memainkan rambut hitam Vita yang sudah lebih sepundak.

"Lagi pengen aja. Kakak suka?" tanya Vita balik.

Arga mengangguk. "Suka. Kan kakak suka segalanya tentang kamu." balas Arga sembari menatap puncak
kepala Vita.

Melihat Arga sedekat ini selalu sukses membuat jantung Vita bekerja lebih cepat. Perlakuan manis Arga
selalu mengundang rona merah di kedua pipi Vita.

Arga berdalih menatap Vita. "Tapi hari ini panas. Kalo rambutnya kamu gerai bakal bikin gerah."
komentar Arga.
"Oh, kalo gitu dikuncir lagi aja." ucap Vita seraya mengambil ikat rambut dari saku seragamnya.

Vita pun merapikan anak rambutnya. Namun, ketika ia hendak mengumpulkan rambut, Arga menahan
tangannya.

"Kenapa, kak?" tanya Vita heran.

Arga tak menjawab. Ditatapnya Vita lekat- lekat hingga gadis itu seakan terhipnotis. Terdiam dan terpaku.
Tangan Arga bergerak mengambil ikat rambut dari genggaman tangan Vita, yang tentu saja membuat
Vita terkesiap. Sejurus kemudian, Arga mengalungkan tangannya ke leher Vita, dan mulai mengikatkan
rambut gadisnya itu.

Vita membulatkan mata. Yang dilakukan Arga membuat Vita gugup setengah mati. Jarak mereka sangat
dekat, seakan dengan gerakan tipis saja maka pipi kiri Vita akan bersentuhan dengan pipi kiri Arga.

"A-aku bisa sen-diri kok, kak." ucap Vita pelan.

"Its okay, babe. Kakak cuma belajar untuk melakukan apa yang bisa kamu lakukan." jawab Arga.

Demi apapun, debaran jantung Vita terlampau cepat, pipi Vita rasanya sangat panas, dan tubuhnya
menegang karena terlalu gugup. Arga sangat manis, dan itu tidak baik untuk kesehatan Vita.

Setelah menyelsaikan kegiatannya, Arga pun mundur. Memberi jarak lagi antara dirinya dan Vita. Lalu, ia
tersenyum sambil mengusap gemas pipi Vita.

"Cie yang blushing." goda Arga.


Wajah Vita memerah lagi. Vita tidak tahu sudah semerah apa wajahnya sekarang. Tapi ia yakin benar-
benar merah hingga mengundang gelak tawa Arga.

Arga tertawa melihat wajah blushing Vita. Vita sangat menggemaskan. Ia juga bertambah manis jika
sedang bersemu merah seperti sekarang. Sepertinya, Arga punya hobi baru. Yaitu membuat Vita
blushing.

Vita mencebik kesal. Kenapa Arga tertawa puas sekali?

Akhirnya, Vita membekap mulut Arga dengan tangan mungilnya. Satu tangannya yang lain menjewer
pelan telinga Arga.

"Kak Arga nakal ya!" omel Vita.

Arga mengucapkan sesuatu, namun malah jadi gumaman tak jelas karena mulutnya sedang ditutup oleh
Vita.

"Ampun, gak?!" tandas Vita galak.

Arga mengangguk sebagai permohonan maaf. Vita mendengus dibuatnya, kemudian Vita melepas
bekapan dan jeweran tangannya dari Arga.

Dan Vita cengengesan. "Maaf ya Kak Arga, bawaannya gregetan gitu sama kakak." ucapnya.

Arga mendengus sambil melirik Vita. "Tersiksa kakak sama kamu, Ta." akunya.

"Harus terbiasa, dong. Kan tadi malam udah ketemu Papa sama Bang Denis. Ehem!" goda Vita sambil
menaikturunkan alis kirinya.
Tanpa Vita duga, wajah Arga yang mulus tiba- tiba memerah. "Gak nyangka deh, Ta. Semalem Papa kamu
sama Bang Denis baik banget sama kakak. Terus mereka nyuruh kakak jagain kamu. Gak usah disuruh
juga udah kakak jagain." ucap Arga antusias. Vita hanya tertawa mendengar cerita dan melihat
keantusiasan Arga.

"Iya, semoga gak goyah ya niatannya." ucap Vita.

"Pasti enggak!" sahut Arga yakin.

"Oke, deh."

"Oh iya, Ta. Kamu suka jeruk, kan?" tanya Arga.

Vita mengangguk. "Iya."

Arga tampak merogoh saku celana seragamnya, lalu mengeluarkan dua bungkus permen berwarna
oranye.

"Nih, kakak punya permen jeruk buat kamu." ucap Arga seraya menyodorkan sebungkus permen pada
Vita.

Vita mengambilnya dengan cepat. "Makasih, kak." ucapnya.

Mereka pun membuka permen itu dan memakannya. Saling melempar senyum hingga akhirnya Arga
meletakkan kepalanya di pundak Vita.
"Kamu tuh cinta pertama kakak, tau. Jadi maaf ya, kalo kakak belum ahli atau kurang peka sama kamu."
ucap Arga tiba- tiba.

Vita menunduk untuk melihat wajah Arga, lalu ia nyengir. "Aku juga."

Arga dan Vita menatap lurus ke depan dengan senyuman mereka yang manis. Beberapa saat kemudian,
Arga menegakkan tubuhnya dan menyampingkan posisi duduknya agar menghadap Vita.

"Buka mulut, Ta." suruh Arga tiba- tiba.

"Kenapa? Aku udah sikat gigi kok, kak."

"Bukan itu, Ta. Buka dulu."

Vita pun membuka mulutnya.

Arga melihat ke dalam mulut Vita, lalu mendengus sambil memutar matanya malas.

Sedangkan Vita masih mempertahankan posisinya dengan mulut terbuka. Karena Arga tidak
menyuruhnya untuk menutup mulut, maka Vita tidak mengubah posisi nulutnya.

Dan itu membuat Arga gregetan. Kenapa bisa ia menyukai gadis sepintar Vita?

"Udah, mulutnya mingkem lagi." Vita pun langsung menurutinya.

"Emangnya ada apa, kak?"

"Kalo makan permen itu dihisap, Ta, bukan digigit." ucap Arga.
Vita terkekeh."Abisnya gak berasa kalo dihisap doang."

"Itu gak baik lho buat gigi kamu." peringat Arga.

"Iya, entar aku coba." Vita tersenyum lebar sambil mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk
V.

Arga hanya geleng- geleng kepala sambil tersenyum geli. Dasar Vita, kenapa dia bisa seimut itu? Arga kan
tidak tahan jadinya.

Arga menengok ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Kemudian ia menatap Vita.

"Ta, ke kelas, yuk?" ajak Arga.

Vita tidak menjawab, ia malah ikutan menengok jam tangannya. "Belum masuk kok, kak." ujarnya.

"Bukan itu. Kakak mau latihan." ucap Arga.

Vita mengangkat kepala. "Latihan apa?"

"Dance buat pensi."

Mata Vita tampak berbinar antusias. "Pensi? Pasti banyak cogan yang tampil ya, kak?" ceplosnya.

Arga langsung mencebik tak suka. "Kakak karungin ya kamu kalo sampe kepincut cogan IHS." peringat
Arga sambil menunjuk tepat didepan wajah Vita.
Vita tertawa. "Ya enggaklah! Kenapa harus kepincut sama cogan lain kalo pacar aku aja Pemimpin Cogan
IHS." ucap Vita.

Arga terkekeh. "Ya udah yuk."

Baru dua langkah mereka berjalan, Vita melebarkan mata dan langsung kembali menarik Arga mundur ke
posisi awal mereka tadi. Membuat Arga mengernyit bingung sekaligus heran.

"Kenapa, Ta?" tanya Arga.

"Ha? Engh, itu. Apa namanya, engh..." ucap Vita tak jelas.

"Apa?" ulang Arga tak sabar.

Vita mendengus. Dengan wajah yang tidak nyaman ia berbisik pada Arga. "Aku takut kucing, kak.."
ungkap Vita.

Arga tersenyum dengan alisnya yang masih bertautan. Pengakuan Vita tadi terasa lucu dan juga agak
membingungkan bagi Arga.

"Kamu takut kucing?" tanya Arga. Vita mengangguk.

"Badan kamu tuh lebih gede tau daripada kucing. Masa takut." gurau Arga.

Vite mencebik. "Iya, tapi kucing tuh lebih garang dari aku. Kan serem." adu Vita polos.
Arga tertawa, sukses membuat Vita memelintir pinggang Arga.

"Aw! Iya ih, maaf. Jangan dipelintir, dong." kata Arga yang sudah mengusaikan tawanya.

"Ya udah yuk. Buruaaan." rengek Vita seraya menarik tangan Arga.

Arga terkekeh. "Iya."

"AK, ke ruang sekarang, yuk. Ada Pak Jami, tuh. Mau ngasih koreografi."

"Oh iya, Bas. Entar gue nyusul."

"Kamu dulu--"

"Iya, aku duluan. Cemungut, Kak Arga!"

"Ya Allah, rupanya pacar Arga alay."

•••

"Van."

Nevan menoleh.

"Gue mau minta maaf."


"Buat?"

"Gue gak tau gue salah apa enggak. Tapi, gue ngerasa gak enak aja."

"Gue gak ngerti."

"Pokoknya maaf kalo lo ngerasa dipermaini sama gue. Gue gak mak--"

"Oke."

"Lo marah sama gue, Van?"

"Marah? Sama lo? Enggaklah, gue gak ada alasan buat marah ke elo. Lo tetep punya posisi yabg kiat di
hati gue."

###

Vita berjalan santai sambil sesekali membalas sapaan dari orang- orang yang lewat didekatnya. Senyum
lebar ia berikan secara gratis hari ini karena hatinya sedang sangat senang.

Namun senyum itu memudar dengan cepat, ketika mata Vita melihat Nevan tengah berjalan diarah yang
berlawanan dengan Vita.

Vita memelotot ketika Nevan menyapanya. Tak mau memberikan sedikit senyuman pun pada Nevan
yang super menyebalkan itu. Lalu Vita memutar badan dan ingin segera lari menjauhi Nevan.
Namun sial, Nevan sudah berada didekat Vita. Bahkan untuk menghentikan Vita, Nevan dengan teganya
menarik rambut Vita.

Vita memutar badannya menghadap Nevan sambil mengusap akar rambutnya yang sakit.

"Sakit, bego!" hardik Vita kesal.

"Maaf. Abisnya lo kalo gak digituin gak bakal berenti." Balas Nevan dengan puppy eyes nya.

Kalau sebagian wanita akan langsung luluh melihat itu, maka tidak dengan Vita! Ia justru malah enek
melihat ekspresi itu dari Nevan.

"Auk!" ucap Vita acuh sambil berlalu meninggalkan Nevan. Namun Nevan menarik tangan Vita, lagi- lagi
ia mencegat Vita.

"Gak usah pegang- pegang, kupret!" hardik Vita bertambah kesal.

"Tadi gue narik rambut lo salah, sekarang narik tangan lo juga salah." balas Nevan mengerucutkan
bibirnya.

"Ya intinya lo gak usah sentuh gue! Ngerti?!" Vita berteriak.

Orang- orang yang lalu lalang didekat mereka pun sontak menatap kaget dan heran pada Vita. Ada ya
orang yang tega membentak cowok setampan Nevan?

Vita yang menyadari itu pun hanya meneguk ludah, lalu bersikap normal.
Nevan terkekeh. " Tuhkan, malu sendiri." ledeknya.

Vita memelototinya lagi. "Berisik!"

Vita segera mendorong Nevan dan hendak pergi sebelum Nevan lagi- lagi mencegatnya dengan menarik
rok Vita.

Vita berteriak refleks. " Mesum, anjir!"

"Gue salah lagi? Kan gue gak nyentuh fisik lo. Gue nyentuh rok doang." ucap Nevan tanpa rasa bersalah
sedikitpun.

"COWO MESUM GAK PUNYA OTAK!" Vita memekik di telinga Nevan dengan segenap rasa kesal di
dadanya. Dan ajaibnya Nevan hanya nyengir tak berdosa.

"Gimana sih cara bikin lo suka sama gue?" tanya Nevan tiba- tiba.

Vita mendelik. "Gak ada caranya. Gue gak bakal pernah suka sama lo." ucapnya lantang.

Nevan mengernyitkan dahi. Lalu tak lama ia menunduk, menghela nafas panjang, dan mendongakkan
wajah.

"Dwi..." panggilnya lirih. Vita memandang dengan malas.

"Gue suka lo. Lo jadi pacar gue sekarang!" ucap Nevan serius dengan menatap Vita intens.

"A- apa?" Vita tak mengerti.


"Lo jadi pacar gue." ulang Nevan dengan penekanan di setiap kata.

Vita mengernyit dan tentu saja tak terima. Rasanya ia ingin menimpuk coeok belagu didepannya ini
dengan kursi. Atau menusukkan samurai ke jantungnya? Apapun itu, asalkan tragis dan mampu
melenyapkan Nevan selamanya dari kehidupan Vita.

"Bodo!" sungut Vita acuh sambil mengibaskan tangannya.

Nevan menangkap tangan Vita dan seketika membuat Vita terdiam.

"Lo gak nolak gue, kan?" tanyanya.

"Gue gak nerima lo!" balas Vita kesal.

Nevan melepaskan tangan Vita dengan semburat kebingungan di wajahnya.

"Kenapa sih, lo kok gak tertarik sama gue. " tanya Nevan menautkan alisnya tak karuan.

"Harus banget ya, gue tertarik sama lo? Lo siapa coba? Sampe gue harus ngedeketin luh. Najes, amat."
balas Vita ketus.

Nevan meneguk saliva. Bicara sama Vita jadi agak menyebalkan, ya?

"Gue kan ganteng, tajir pula." ucap Nevan.


Entah sedang pamer atau memuji diri sendiri. Namun ucapan itu mampu meningkatkan emosi Vita
hingga ia sempat berpikir untuk mengubur Nevam hidup- hidup didalam adonan semen.

"Ada kok, yang lebih ganteng dan tajir dari lo." balas Vita enteng sambil menyeringai.

"Siapa?"

"Kak Arga."

"Ya, dia sama sih kayak gue. Tapi kan gue pasti. Gue suka sama lo. Arga belum tentu pengen sama lo."
balas Nevan mengangkat bahu.

Lahh kan gue udah jadian sama Kak Arga?! Minta dikubur idup- idup nih mesum! Omel Vita dalam hati.

Oke Vita, sabar sabar.

"Intinya gue gak suka sama lo. Suka gak bisa dipaksa. Oke?" ucap Vita mulai lelah menghadapi Nevan.

Setelah mengatakan itu, Vita berharap Nevan akan mengerti bahwa ia hanya ingin lari dari percakapan
abnormal ini.

"Pacaran aja dulu, mana tau cocok." Nevan bicara dengan nada memelas. Bahkan raut wajahnya layak
anak kecil yang merengek minta es krim.

"Gak." jawab Vita ketus.

"Ayolah, Dwi."
"Gak."

"Gue suka lo."

"Gak nanya."

"Dwi."

"Paan sih?!"

"Mau, ya?"

"Et dah nih boneka Chukky, maksa amat." sungut Vita kesal.

"Ta.."

"Apa?!" sentak Vita berbalik sambil mengibaskan tangannya.

Arga membelalakkan mata kaget.

"Eh, kak Arga. Maaf, kak." cicit Vita panik ketika menyadari sikap kasarnya pada Arga.

Arga berdehem. "Iya, gpp kok, Ta. " Arga tersenyum tipis.
Vita yang merasa tak enak pun menatap tajam bak pisau yang baru diasah kearah Nevan.

Arga mengikuti arah pandang Vita. Arga langsung mengernyit ketika melihat Nevan menyeringai
kepadanya.

"Tadi kok kamu kesel gitu, Ta?" tanya Arga.

Vita menoleh dan langsung mengadu. "Nevan kak, sumpah nyebelin banget." Vita mengerucutkan
bibirnya kesal.

"Dia ngapain lo lagi, Vi?" tanya Chandra yang berdiri di sebelah Arga.

"Lo gak usah ngajak pacar gue ngobrol. Gue gak suka." ucap Nevan possessive sambil menarik Vita ke
belakang tubuhnya.

"Pacar pala lu botak. Sekali lagi manggil gue pacar gue tonjok lu ya." Vita menggeser Nevan dari
hadapannya.

"Kok Dwi kasar banget sama Nevan? Oh, didepan mereka aja kan?" ucap Nevan sok imut.

Vita mendengus kesal sambil memutar bola matanya malas. "Gue mah kalo ngomong ama lu juga
emosian mulu."

"Pfft." Bastian dan Chandra berusaha menatan tawa mereka agar tak tersembur keluar.

"Lo gak ada abis- abisnya ya gangguin Vita." Kini Arga mulai menatap Nevan dengan tatapan menantang.
"Lo kali yg gangguin Vita, dia kan cewek gue." Balas Nevan tersenyum miring sambil merangkul paksa
pundak Vita.

Vita menggebuk perut Nevan sekuat mungkin. "Gak usah pegang- pegang gue, tentakel gurita! "

Gebukan Vita sukses membuat Nevan melepaskan rangkulannya.

"Ih sakit, beb." Nevan mengeluarkan gaya andalannya, puppy eyes.

"Ya allah. Sumpah deh Van nih sepatu melayang ke muka lo." ucap Vita muak.

"Dont tease her." ucap Arga sambil menarik Vita ke belakang tubuhnya. Menegaskan kepemilikkannya.

"Lo siapanya Vita sih, Ga? Kok lo yg paling ribet kalo gue deketin Vita. Temen lu si gendut ama si
cungkring gak seribet lu tuh." ucap Nevan mulai terdengar kesal.

Bastian dan Chandra yang merasa tersindir pun langsung menggerakkan leher mereka ke kanan dan kiri
sambil kedua tangan mengepal erat. Namun satu gerakan jari Arga membuat mereka berdua terdiam.

"Gue cuma mau lo berhenti bersikap kayak gini. Vita risih sama lo." balas Arga.

"Gue gangguin banyak cewek sebelumnya. Lo kok gak ikut campur? Jawab!" bentak Nevan.

"Ya karena mereka gak ngadu. Kalo gue kan ngadu. Elu budeg sih udah gue tolak juga,-" Kini Vita yang
menyahut.

"Dwi diem dulu. Nevan gak ngomong sama Dwi." Nevan menatap lembut ke arah Vita.
Sontak, Vita tiba- tiba jadi ingin muntah. Muntah boongan maksudnya.

"Kresek oy gue ga tahan lagi." Chandra segera memberikan Vita keresek bekas gorengannya tadi.

"Mending kita selesain secara gentle aja deh. Lo sama gue berantem disini." Ajak Nevan sambil melepas
kemeja nya.

Kini ia hanya memakai kaus dalaman berwarna putih.

"Anjir, dia buka baju lagi." Vita menutup matanya.

"Lo tau jabatan gue disini apa? Gue ketua osis, dan gak bakal berantemin murid kayak lo." Arga
menjawab dengan santai sambil tersenyum miring.

"Secara ga level dong." Timpal Bastian mencibir.

"Syut." Chandra menepuk mulut Bastian yang kebiasaan menyela orang lain.

"Takut? Bilang aja, Ga. Gue ngerti kok." Ucap Nevan menyeringai meremehkan.

"Kak Arga, udahlah. Nevan gak usah diladeni. Gesrek emang dia." Vita menggoyang- goyangkan lengan
Arga.

"Kakak lebih gak mau kamu yg dia ganggu, Ta." Balas Arga menatap Vita.

"Ih, gak usah, kak." keukeuh Vita.


Arga berdesis. "Kakak gak tenang beneran kalo dia masih gangguin kamu."

Nevan menampilkan senyuman miringnya yang kentara akan meremehkan. Lalu, dengan sangat yakin,
Nevan berkata,

"Lo gak ada hak atas Dwi, Ga. Jadi, stoping do it, dan jangan sok belain dia." sarkas Nevan dengan
tatapan tajamnya.

Mendengar itu, spontan membuat Arga mendelik padanya. Sejurus kemudian tawa sinisme Arga keluar.
Arga mengangkat satu sudut bibirnya, mencetak sebuah smirk.

"Makanya, jangan bolos sekolah lama- lama, Van. Lo gak tau, kan, kalo Vita itu pacar gue?" ungkap Arga.

Nevan menegang. Senyum miring yang terukir di wajah tampannya luntur. Diganti dengan raut wajah
kaget sekaligus bingung.

Arga tertawa kecil. "Bye, my rival." Usai mengatakan itu, Arga menarik lembut pergelangan tangan Vita
dan pergi dari sana. Entahlah, reaksi Nevan selanjutnya tidak begitu penting bagi Arga. Intinya, Vita milik
Arga sekarang.

Little girl-nya Arga.

•••

"Jadi tadi aku jadian sama Nevan apa gimana, kak?" tanya Vita yang sudah duduk di kursi kelasnya.
Sementara Arga berdiri didepannya sambil melipat tangan ke dada.
Arga membulatkan mata. "Ya enggaklah! Kamu kan pacar kakak, Ta." sahut Arga.

"Iya juga, sih." Vita mengangguk- anggukkan kepalanya beberapa kali.

Arga menghembuskan nafas cepat. Melirik gadis didepannya ini dengan dahi mengkerut.

"Kemarin pernah pulang sama Nevan, ya?" tanya Arga.

Vita yang tadinya tengah menghitung jumlah keramik kelas langsung menatap Arga. Ia menyipit. "Iya,
pernah." jawabnya santai. Tidak tahu bahwa Arga tiba- tiba kesal mendengar itu.

"Kok bisa?" tanya Arga.

"Nevan yang ajak, kak."sahut Vita tanpa menoleh.

"Kok kamu mau?" tanya Arga lagi. Yang tanpa disadari, Arga tengah bersikap selayaknya seorang pacar
yang 'possessive'.

Vita yang masih menghitung keramik langsung memukul lengan Arga karena merasa terganggu
konsentrasinya dengan setiap pertanyaan yang Arga ajukan.

"Ih! Kakak kok dipukul, Ta?" seloroh Arga bingung.

"Kakak berisik! Tau gak aku lagi menjalankan misi penting?" ujar Vita dengan wajah marahnya. Namun
sangat tidah sesuai. Karena Vita jadi terlihat imut dsngan ekspresi itu.

"Misi apa?" heran Arga.


"Ngitungin keramik yang udah berjasa untuk kita. Dia rela diinjek- injek supaya kaki kita gak lecet kalo
kena semen atau batu. Puas?!" cetus Vita dalam sekali tarikan nafas.

Arga menarik nafas dalam- dalam hingga akhirnya menghembuskannya secara perlahan. Arga yakin Vita
tidak seperti ini dulu. Lantas mengapa sekarang berubah? Atau orang jenius memang berkelakuan
seperti Vita?

Okelah, selintar

Seneng?

Seneng gak Nevan kalah dan ArgaVita jadian?�

###

Vita membuka, lalu menutup pintu gerbang. Ia berjalan santai menuju Arga yang sudah menyambut
paginya dengan sebuah senyuman hangat.

"Pagi, Ta. Kamu cantik hari ini." Sapa Arga sambil membukakan pintu mobil untuk Vita.

"Hari ini doang?" Vita masuk ke dalam mobil. "Berarti krmarin² enggak, gitu?" Tanya Vita sarkartik.

Arga terkekeh. "Tapi hari ini lebih, Ta. Kamu cantik banget."

"Lebay." Cibir Vita.

Arga menutup pintu mobil itu dan berjalan ke arah kursi kemudi. Membuka pintu lalu masuk.
"Biasanya juga aku kayak gini. Pake sabun muka yang sama, bedak yang sama, sisiran pake gaya yang
sama. Dan kakak ga pernah tuh muji aku." Sambung Vita sambil mengangkat bahu.

Arga langsung mengerucutkan bibirnya dan menutup pintu mobil. Oke, tidak masalah. Jika cara pertama
yang Arga baca di internet tidak berhasil, maka ia punya cara kedua yang akan ia usahakan sukses.

Arga menyampingkan posisi duduknya, menghadap Vita.

"Kakak punya sesuatu untuk kamu." Ucap Arga tersenyum.

"Apa?"

"Tutup mata dulu." Pinta Arga.

"Kakak mau ngasih aku kejutan, ya?" Tanya Vita sumringah dengan mata berbinar.

Senyum Arga makin mengembang. Lalu ia mengangguk.

"Tapi kan aku ga lagi ulang tahun." Vita menyandarkan tubuhnya di kursi.

Arga memutar matanya malas. "Emangnya kejutan itu buat orang yang lagi ultah, aja?"

Vita terkekeh. "Enggak, sih."

Arga berdecak. " Ya udah, buruan merem." Titahnya lagi. Kali ini Vita menurut.
"Jangan buka mata sebelum kakak suruh, Ta." Ucap Arga mengingatkan. Vita mengangguk antusias.

Arga segera meraih setangkai mawar merah yang ia letakkan di kursi belakang kemudi. Arga merapi-
rapikan bunga itu lalu mencium aromanya. Wangi. Arga yakin Vita pasti suka.

"Oke. Kamu boleh buka mata sekarang." Titah Arga yang telah mengulurkan bunga ditangannya.

Vita membuka matanya. Ia mengernyit sebelum sebuah senyuman tipis terbit di bibirnya.

"Tumben."

Bukannya berterimakasih, Vita malah melontarkan sebuah kata yang langsung membuat Arga berwajah
masam.

"Kenapa? Kamu ga suka?" Ucap Arga menurunkan tangannya. Samar- samar terdengar kekecewaan.

Vita mengelus rahang Arga dengan lembut sambil tersenyum menampakkan lesung pipinya.

"Suka, kok. Makasih, ya." Ucap Vita sambil mengambil mawar dari tangan Arga. Lalu mencium aromanya
hingga dirinya hampir tersedak. Cara kedua ini tak buruk juga.

Arga terus memerhatikan wajah Vita, yang menurutnya semakin hari semakin manis dan enak dilihat.
Kini Arga mengerti, mengapa dulu ia bisa tertarik dengan Vita hanya dengan sekali melihat wajahnya.
Rupanya wajah orang manis itu selalu nyaman untuk diingat.

"Udah atuh ngeliatinnya. Buruan jalan." Ucap Vita tersenyum dengan tatapan nakal.
Arga gelagapan. Lalu ia menyalakan mesin dan memacu mobil dengan kecepatan sedang. Tak terburu-
buru karena jam masih menunjukkan pukul 06.35 .

Disela kegiatan menyetirnya, Arga melirik sedikit ke arah Vita. Tampak sepasang headset menyumpal
kedua telinganya. Gadis manis itu terlihat komat- kamit, sepertinya mengikuti lirik lagu yang sedang ia
dengar.

Tak sadar, Arga tersenyum. Rasanya ia beruntung memiliki Vita dalam hidupnya. Walau masih seumur
jagung, kedekatannya dengan Vita mampu membuat semangat Arga untuk mengejar impian dan cita-
citanya menjadi besar. Yang awalnya Arga hanya menuruti apa yang orangtuanya katakan, yaitu akan
mewarisi kerajaan bisnis keluarga. Sekarang Arga punya impiannya sendiri, yaitu membahagiakan gadis
yang begitu ia sayangi ini.

"Kak Arga, berenti!" Tiba- tiba Vita berteriak dengan wajah panik terus menatap ke depan.

Arga pun segera mengerem mobilnya. Untunglah saat itu ia tidak melajukan mobilnya dalam kecepatan
tinggi, hingga saat melakukan rem dadakan mobil mahal itu tidak terguling.

"Pikiran kakak kemana, sih? Kok ga liat udah lampu merah?" Tanya Vita sambil memandang Arga dan
melepas headsetnya.

Arga menoleh. "Maaf, Ta. Abisnya, wajah kamu selalu muter- muter dipikiran kakak, sih. Itu yang bikin
kakak ga fokus." Jawab Arga.

Vita mengernyit, lalu segera menggunakan punggung tangannya untuk menyentuh dahi Arga.

"Kakak gpp, kan? Kok ngawur gitu jawabnya?" Tanya Vita.

Arga menurunkan tangan Vita untuk menyentuh pipi kirinya.


"I'm okay, my lovely."

Vita tak mengerti apa yang terjadi dengan Arga. Ia hanya mampu menarik tangannya dan memasang
wajah biasa, seperti tidak ada percakapan apapun yang terjadi. Serasa mengganjal, ada apa dengan Arga
hari ini?

Lampu lalu lintas itu berganti warna menjadi hijau. Arga pun kembali memacu mobilnya. Sedangkan Vita
lebih memilih untuk menatap ke luar jendela. Dimana keramaian ibukota terasa menyesakkan di pagi
hari. Seakan tak ada ruang untuk sekadar menarik nafas dari alam.

Disepanjang perjalanan, tak ada yang membuka suara. Hanya nafas masing- masing yang terdengar. Vita
menoleh ke arah Arga yang sedang fokus menyetir. Dari samping, hidung simetris Arga semakin terlihat
mancung. Dan sorot matanya, tajam namun menenangkan. Sudut bibir Vita tertarik keatas, membentuk
lengkungan yang orang sebut senyuman. Beruntungnya Vita karena mampu memiliki Arga dalam
hidupnya.

"Aku tau aku ganteng. Tapi kamu ga usah liatin gitu juga kali." Ucap Arga tersenyum tanpa menoleh.

Vita berdesis. "Geer."

Arga menepikan mobilnya di area parkir roda empat INDONESIA HIGH SCHOOL. Lalu ia sempat
bercermin di kaca spion yang ada diatas setir.

"Kakak kok hari ini kayak beda, sih?" Tanya Vita akhirnya.

Arga mengernyit. "Apa yang beda?"

"Enggak, deh."
"Lho? Kenapa?"

"Enggak."

"Kamu gaje deh, Ta."

"Ih, enggak. Udah turun."

"Tuhkan. Kok jadi marah ga jelas, sih?"

"Berisik, Kak Arga. Berisik!"

"Ta."

"Apa?"

"Kamu ... Pms ya?"

Vita memelotot. "Arga, diem kamu!" Teriaknya.

Arga tertawa kecil. "Oh jadi bener, kamu lagi pms." Ucapnya lagi, dengan penekanan di kata PMS.

"Ih ga usah diulang, Arga jelek!" Vita meninju pelan lengan Arga sambil menunduk menyembunyikan
pipinya yang sudah merona.
"Mau aku beliin roti jepang?" Tanya Arga.

Vita mendongak dengan pipi yang masih terlihat samar- samar merah.

"Hah?"

"Itu lho, roti jepang yang dipake cewek pas lagi pms." Ucap Arga santai sambil keluar dari mobil.

Arga berjalan menuju pintu sebelah kursi kemudi. Lalu membukanya.

BUG!

Vita melemparkan sepatunya yang tepat mengenai perut Arga.

"JANGAN MACEM- MACEM DEH PAKE MAU BELIIN ITU SEGALA!" Teriak Vita kesal sambil kembali
menarik pintu mobil itu hingga tertutup. Meninggalkan Arga diluar yang memegangi perutnya.

Semanis apapun Vita, kalau lagi pms, serem juga. Batin Arga.

Arga memungut satu sepatu yang tadi Vita lempar.

Orang yang lewat disana pun memandangi Arga dengan tatapan bingung, dan kaget. Ada ya cewek yang
tega ngebentak cowok seganteng Arga?

***

Vita masuk ke kelas dengan langkah gedebak gedebuk. Wajahnya juga mendung, seakan ada awan hitam
yang turut menyertainya.
Vita hanya memakai sepatu di kaki sebelah kanan, sepatu sebelah kiri malah ia tenteng.

Lalu Vita meletakkan tasnya ke atas meja dan duduk di sembarang sisi kursi.

"Vita pms." Celetuk Rilya yang sudah stay dengan muka flat nya.

"Oh." Febri yang duduk dikursi didepan Rilya manggut- manggut. Saat Vita sedang pms, mereka sudah
sepakat tidak akan menganggunya.

"Tadi berangkat bareng siapa? Kak Arga?" Tanya Febri.

Vita tak menjawab. Ia tengah sibuk memakai sepatu.

"Ya elah bege, kalau ditanya jawab." Kali ini Febri yang nyeletuk.

Vita hanya memandang malas.

"Nih anak kalo udah pms kayaknya jadi budeg, deh." Celetuk Febri untuk yang kedua kalinya. Rilya hanya
nyengir.

"Oy kutil badak, lu budeg apa tuli, sih?" Tanya Rilya. Sederhana, tapi menusuk.

"Berisik! Gue sleding ancur lo,-" Balas Vita.

Febri menoleh ke arah pintu, lalu ia memicing.


"Ga usah dijawab juga gue udah tau jawabannya." Ucap Febri.

"Maksudnya?" Rilya mengernyit.

Febri menunjuk seseorang yang tengah berdiri didepan pintu dengan dagunya. Membuat Rilya juga
melihat kesana. Rilya memicing, lalu mengangguk.

"Kak Arga." Ucap Rilya.

Vita menatap sahabatnya itu segera.

"Ga usah bohong, deh. Kak Arga udah ke kelasnya tadi." Ucap Vita lirih.

Rilya tak menjawab.

Febri menatap Vita geli. Ia tahu kalau menjahili Vita disaat sedang pms bisa menyenangkan, namun bisa
juga menyeramkan. Untuk saat ini, menjahili Vita jadi menyenangkan.

"Git!"

Sigit yang sedang duduk di kursinya sambil menyalin pr dari buku Febri mendongak, lalu memicing
melihat seorang cowok berjalan ke arahnya.

"Eh, Arga. Kenapa?" Tanya Sigit.

Arga berdiri didepan meja Sigit. Matanya sesekali mencuri pandangan ke bangku Vita.
Vita saat itu sedang menutup wajahnya dengan tas. Entah kenapa mood cewek itu tiba- tiba berubah
drastis. Memburuk!

"Anu...-" Arga tak tahu mau bilang apa. Tujuannya ke kelas X MIPA 1 adalah untuk melihat Vita. Namun
sepertinya mood Vita sedang jelek, Arga jadi takut untuk mendekatinya.

Seakan mampu memahami gelagat Arga. Sigit pun melakukan sesuatu.

"Bentar." Ucap Sigit. Lalu ia menoleh kebelakang.

"Feb, sini bentar, dong." Panggil Sigit.

Febri menoleh, tanpa lama ia segera mendekati Sigit.

"Ini gimana? Kok bisa dapet segini?" Tanya Sigit sambil menunjuk rumus panjang yang sama sekali tak ia
mengerti.

Febri mengangkat bahu. "Itu juga semalem aku nyontek sama Rilya. Jadi yang tau penjelasannya ya cuma
dia." Balas Febri nyengir.

"Oke. Panggilin dia kesini, dong."

"Oke." Febri menoleh pada Rilya. "Ril, sini bentar."

Rilya mendongak, lalu dengan langkah malas ia berjalan ke arah Febri.

Arga yang kini mampu melihat peluang pun segera meninggalkan bangku Sigit dan berjalan menuju
bangku Vita.
Dilihatnya gadis itu masih menutup wajah dengan tas. Arga menghela nafas. Lalu ia menyingkirkan tas
yang menutupi wajah Vita dengan perlahan.

Vita terperanjat. Namun reaksi itu hanya terjadi selama tiga detik. Setelah itu Vita langsung memasang
wajah datar.

"Maaf." Ucap Arga.

Vita menghela nafas." Kakak ga

salah." Balas Vita.

"Sikap kakak hari ini aneh, ya?" Tanya Arga lembut.

Vita menggigit bibir bawahnya." Agak."

"Apa yang beda?"

"Hari ini, kayaknya kakak kebanyakan gombal gombel, deh." Vita menyelipkan anak rambutnya ke
telinga.

"Maksud kamu, tentang bilang kamu cantik sama ngasih bunga itu?"

Vita mengangguk.

"Emangnya seaneh itu ya, kalo kakak mau bikin kamu seneng?" Tanya Arga menatap lembut mata Vita.
"Enggak gitu." Vita mendesah. "Rasanya, aku ga ngeliat kakak hari ini. Apalagi pas kakak bilang aku
muter- muter dipikiran kakak, itutuh lebih kaya semacam gombalan receh." Ucap Vita menekankan kata
receh.

Arga menghela nafas. " Jujur, kakak belum ngerasa bisa nyenengin kamu. Alhasil, kakak cari di internet
cara bikin pasangan seneng. Dan dari sana, kakak tau, kalo cewek itu suka dipuji dan dikasih kejutan.
Cewek juga suka sama gombalan yang menurut mereka nyegerin." Jelas Arga.

"Lantas, kakak ikutin cara itu. Tapi kayaknya ga berhasil, ya?" Arga menghela nafas lagi.

Vita menggigit bibir bawahnya.

"Kak, aku udah seneng kok. Dan selama kakak sama aku, aku bakalan bahagia. Kakak ga perlu merubah
diri kakak hanya untuk memberikan yang terbaik untuk orang yang kakak sayang. Menurut aku, kakak itu
hebat, dan selalu saja hebat."

Vita menyentuh puncak kepala Arga sambil tersenyum hangat. "Jadi, tetaplah menjadi diri kakak apa
adanya. Karena aku bahagia dengan itu. Ya?"

Arga tersenyum. "Iya." Jawabnya lembut.

"Ehem."

Satu orang berdehem. Lalu disusul deheman lainnya.

"Anjir, pagi- pagi udah keselek bijih durian." Tukas teman sekelas yang otaknya absurd.

"Otot mata gue denyat denyut dari tadi, rupanya pertanda bakal nangis karena gebetan diambil temen
sekelas:(" Timpal teman sekelas Vita yang secara terang- terangan mengakui rasa sukanya pada Arga.
"Mampus stok cogan berkurang!"

"Tukang somvlak, gebetan luh si Vita juga diambil orang, bege!"

"Gpp. Kan masih ada elu."

"Najisun.-"

"Tenang- tenang! Gue sebagai ketua kelas mau bicara." Ucap Hannah, cewek tomboy yang kini sedang
bicara menggunakan buku yang dilipat. Sengaja biar mirip toa.

"Gue sebagai ketua kelas, dan anggota dari PERGERAKAN PERTENTANGAN PACARAN atau 3P
memutuskan bahwa di kelas ini ga ada yang boleh pacaran!" Teriaknya lantang.

"Anjir, gue bunuh juga nih ketua kelas." Rutuk Khira, yang dipojok kelas lagi ngerjain pr bareng pacarnya,
Nandu.

"Nyantet orang dosa ga, ya?!" Teriak Rani, yang suaranya ngalahin toa mesjid. Lagi berdiri didepan pintu
sambil ngapel sama cowoknya.

"Lo nya aja yang iri karena JOMBLO!" Timpal Ihsan, mantan gebetan si ketua kelas.

"Shit. Tuh mulut gue sumpel pake cilok basi baru tau rasa lu, ya!" Hannah menunjuk Ihsan dengan
tatapan horornya.

"Gue dukung si Hannah. JOMBLO ITU BEBAS MEN! GA ADA YANG NGATUR- NGATUR." Teriak Salsa, si ratu
alay yang kalo ngomong pake cengkok dangdut.
"Si boneka santet mah pasti dukung temennya." Timpal Ray, pacarnya Rani, cowok yang kalo ngomong
santai tapi bikin gedek.

"Anjir luh Setan!" Pekik Salsa. Kalau di telinga terdengar seperti nada sumbang.

"Paret! " Pekik Rahman tambah memanaskan suasana.

"Intinya yang jomblo, jomblo aja. Yang pacaran,ya terserah mereka!" Teriak Friska, ratu gosip tapi cukup
bijak.

Mendengar itu, membuat kegaduhan agak hening. Namun tak lama sorai tepuk tangan terdengar.
Membanggakan Friska yang jarang- jarang bisa ngomong bijak.

"Anjir! Bege semua temen gue." Timpal Febri setelah berusaha menghentikan tawanya.

"Gilak! Gue bangga bisa sekelas bareng kalian." Lanjut Sigit.

"Kok bisa ya gue temenan sama makhluk gak berotak kayak kalian?." Rilya yang jarang gabung dalam
kegiatan absurd ini pun tak dapat menahan tawanya.

Pagi itu, kelas X MIPA 1 jadi riuh seketika. Perdebatan absurd tak terelakkan, beberapa pasangan yang
cinlok pun merasa iri akan keromantisan Arga dan Vita. Padahal, mereka berdua merasa biasa saja.
Memberi nasehat dan dukungan kepada orang terkasih itu memang perlu, kan?

Atau tempatnya yang salah? Mungkin, sih:v

###

Vita menjatuhkan kepalanya ke atas meja sambil kedua tangan memeluk perutnya yang terasa nyeri.
Tamu rutin yang selalu datang setiap bulan ini selalu memberikan rasa sakit. Namun, Vita selalu bisa
menerimanya. Terkadang sesuatu yang menyakitkan justru yang terbaik untuk kita. Kalau saat ini Vita tak
pms, masa depannya kan bisa kacau? Kemungkinan tak bisa punya anak akan besar. Wanita mana sih
yang mau begitu?

Oke, Vita ngelantur.

Mood Vita sudah membaik semenjak Arga datang ke kelasnya untuk meminta maaf. Namun kembali
hancur ketika guru killer pelajaran Matematika, yaitu Pak Sahrul masuk dan menyalahkan Vita atas suatu
kesalahan yang tak Vita mengerti.

Berawal dari kegaduhan yang terjadi pagi itu. Pak Sahrul masuk sebelum bel berbunyi. Kelas yang dalam
keadaan riuh itu pun tak bisa mengelak ketika Pak Sahrul masuk dan langsung memelotot.

Bagaimana tidak, saat ia masuk, yang pacaran masih sibuk ketawa ketiwi. Yang lagi mengerjakan PR
masih berkutat pada soal- soal dengan rumus sepanjang penggaris tiga puluh centi. Ketua kelas yang
seharusnya menenangkan suasana malah melempar kursi ke semua cowok yang berani menentang dia.

Melihat ketua kelas yang kayak orang kesurupan, anggota kelas yang lain ikut meramaikan dengan jadi
supporter. Mendukung Hannah untuk lebih semangat mengejar Rahman, cowok paling bikin gedek.

Pak Sahrul berteriak, lalu tak lama keadaan hening. Ruang kelas yang sudah dirapikan oleh petugas piket
jadi kacau, bak kapal pecah.

"Ih kalian ini!" Pak Sahrul mengetuk kepala Ana, cewek yang duduk di bangku di depan meja guru. Orang
paling mudah dijangkau sama Pak Sahrul. Alhasil dia lah yang kena ketuk.
Ana meringis. Padahal sedari tadi ia tidak banyak bertindak. Malahan hanya menimpali dengan tawa.
Tapi dia yang harus menanggungnya. Mana kepalanya diketuk pakai cincin akik segede biji salak.
Sumpah, sakit!

"NGAPAIN KALIAN BIKIN KACAU?!" Tanya Pak Sahrul dengan pelototan khasnya yang menyeramkan.

Hening.

Tak ada yang berani menjawab kalau Pak Sahrul sudah bertanya. Sepertinya mereka semua trauma
karena sudah pernah diketuk Pak Sahrul.

Mereka hanya kembali ke tempat duduk masing- masing tanpa mengeluarkan suara. Bahkan decitan
sepatu diusahakan tidak terdengar.

Vita dan Rilya saling bersenggolan kaki. Tingkah khas yang selalu mereka lakukan ketika merasa ngeri
sebab guru killer.

"SIAPA KETUA KELAS?!"Tanya Pak Sahrul lagi, pelototannya masih diperlihatkan.

Hannah meneguk ludah kasar sambil terus menunduk. Firasatnya tak enak.

Pak Sahrul melirik Salsa, yang wajahnya memang terlihat santai, tidak tegang seperti yang lain.

"HEI KAMU! SIAPA KETUA KELAS? KAMU, YA?!" Tanya Pak Sahrul lagi.

Salsa terperanjat. " Bukan, pak. Dia!"


Salsa langsung menunjuk Hannah yang duduk disebelahnya. Hannah memelototi Salsa sambil
menampakkan kepalan tangan.

Pak Sahrul berjalan mendekati Hannah.

"Kamu ...-

Belum Pak Sahrul menyelesaikan kalimatnya, Hannah sudah terlebih dahulu melindungi kepalanya
dengan helm yang memang sengaja ia bawa..

Kelihatan, Hannah lah orang yang paling trauma dengan ketukan Pak Sahrul.

"Siapa biangnya?" Tanya Pak Sahrul.

"Bukan saya, pak." Jawab Hannah segera dengan takut.

Pak Sahrul mengedarkan pandangannya ke seluruh murid yang menunduk, tak berani menampakkan
wajah mereka.

Lalu pandangan Pak Sahrul terhenti tatkala melihat bangku nomor tiga. Ada suatu pemandangan yang
mengusik jiwa Pak Sahrul.

Vita dan Rilya masih sibuk menyenggolkan kaki satu sama lain. Dan mereka tidak menyadari, bahwa
sedari tadi Pak Sahrul menatap mereka dengan intens.

"Ngapain kamu?!" Tanya Pak Sahrul keras.


Membuat semua yang tertunduk mendongak. Termasuklah Vita dan Rilya yang takut bukan kepalang
melihat Pak Sahrul berdiri didepan mereka.

"Ih kalian ini, ga tau apa- apa." Pak Sahrul merajuk.

Vita terdiam, tak berani menjawab.

"Ngapain kamu bikin keributan?" Tanya Pak Sahrul.

Vita mengernyit, namun tak lama ia kembali menunduk. Tatkala tatapan Pak Sahrul benar- benar
membuat bulu kuduknya berdiri.

"Kamu kerjakan tugas matematika dari bapak! Cepat!" Titah Pak Sahrul.

"Yang lain diam dulu. Biar dia yang mengerjakan." Lanjutnya.

Semua murid pun bersorak kesenangan, walau tak terdengar karena hanya dilakukan dalam hati masing-
masing.

Dan Vita masih terdiam. Sambil meratapi kenyataan, bahwa selain perutnya yang nyeri, kepalanya juga
akan pecah memikirkan jawaban dari soal- soal Pak Sahrul yang sebenarnya tak bisa dikerjakan.

"Vi, lo gpp, kan?" Tanya cowok yang suka sama Vita.

"Kalo gue kenapa- napa pun lo bisa apa?" Jawab Vita ketus.
Yang bertanya hanya tersenyum kecut, lalu segera pergi ketika sadar kehadirannya tak begitu diinginkan.

"Ciah tumben ketus." Ledek Rilya.

"Sakit, Ril." Keluh Vita.

"Gue tau, mending lo ke taman, aja. Kak Arga biasanya nungguin di sana, kan?" Ucap Rilya memberi
saran.

Vita menghela nafas. Haruskah ia ke sana? Dalam keadaan seperti ini? Mager.

Vita terdiam dengan posisi yang sama sambil berpikir. Sedangkan Rilya hanya melirik Vita sesekali disela
kegiatan menggambarnya.

Lalu tak lama, ada pemandangan yang membuat Vita cukup terhibur.

Febri dan Sigit masuk ke kelas usai ke kantin bersama. Tampak mereka sudah begitu dekat, apalagi
sepertinya selera jajanan mereka sama.

Sama- sama menyukai pempek selam.

Walau dalam keadaan nyeri karena tamu rutin, Vita tetap tak melewatkan kejadian ini.

Dengan usil, Vita menyikut siku Rilya, hingga gambar yang Rilya buat tercoret.

"Sahabat durhaka." Sungut Rilya pelan dengan wakah datarnya.


"Bener, kan gue. Febri sama Sigit bakalan fall in love." Ucap Vita.

"Emang."

"Hah? Maksud lo, udah jadian?" Vita membulatkan matanya.

"Belom. Tapi Febri kayaknya suka sama Sigit." Balas Rilya masih datar.

Vita manggut- manggut. Vita mengerti Febri memang sudah saatnya mengalami 'remajaproblem'.

Tiba- tiba Vita teringat akan satu sahabatnya.

Rilya.

Cewek itu tak pernah sekalipun menceritakan sosok yang ia suka.

"Lo tuh normal ga, sih?" Tanya Vita tiba- tiba.

Rilya menatapnya tajam, lalu memutar mata malas.

Rilya berdecak. "Kenapa?"

Vita berdehem. "Abisnya, lo ga ada suka sama cowok, gitu?"


Vita menaik turunkan alisnya sembari menunggu jawaban dari Rilya.

Tapi Rilya hanya diam. Sepertinya malas untuk menjawab pertanyaan Vita.

"Budeg!" Hardik Vita datar.

Vita langsung berdiri dan berjalan meninggalkan kelas. Diam- diam Rilya cekikikan karena merasa geli
telah menggurai Vita.

•••

Vita pun berjalan menuju taman, ia berencana menemui Arga, mungkin Arga sudah menunggunya di
sana. Sambil bersenandung pelan, Vita menengok kanan kiri. Dan sambil memegangi perutnya yang
terasa nyeri.

Vita berjalan terus tanpa menyadari bahwa tali sepatunya tidak terikat. Hingga kita satu ayunan langkah
Vita menginjak tali sepatu itu dan sukses membuatnya hampir tersungkur.

Vita menunduk, kemudian mendengus sambil menepuk jidatnya sendiri. Ia akui ia ceroboh dan hampir
membuatnya mempermalukan diri.

Vita pun berjongkok dan mengikat tali sepatunya dengan kuat. Pokoknya jangan sampai lepas lagi. Untuk
sesaat Vita mengeluh, kenapa tidak dibuatkan saja sepatu tanpa tali atau perekat? Asal masuk saja, kan
tidak repot.

Vita mengusap- usap kedua ujung sepatunya. Hendak berdiri dan melanjutkan perjalanan, hingga sebuah
suara yang tak asing tertangkap oleh indera pendengarannya.

"Gue menang saingan, Van. So, jauhin Vita."


Vita mengerutkan dahi. Merasa namanya disebut- sebut dalam pembicaraan yang sepertinya penting,
Vita pun menengok ke sebelah kirinya yang merupakan persimpangan koridor.

Dan apa yang Vita lihat langsung membuatnya membulatkan mata. Itu Arga dan Nevan. Apa yang Arga
katakan barusan? Saingan apa? Apa urusan yang terjadi di antara mereka? Bukankah Arga dan Nevan
tidak pernah akur?

Vita mendesah pelan. Ia pun berdiri dan bersembunyi dibalik tembok untuk menguping percakapan
antara Arga dan Nevan.

Di koridor itu, Arga dan Nevan nampak saling menatap tantang. Tersirat kekesalan yang dalam dari sorot
mata Nevan. Bagaimana Arga bisa memiliki Vita?

"Lo curang." cetus Nevan dingin.

Arga tertawa kecil. "Lo kalah. Dan sesuai perjanjian kita, kalo gue menang saingan ini, lo harus jauhin
Vita." ucap Arga.

Nevan memandang sinis pada Arga. "Dwi is mine."

"Kalo lo lupa, gue adalah pemenangnya di sini. Vita pacar gue." sahut Arga.

Nevan memalingkan wajah. Kesal. Tentu Nevan sangat murka. Ingin sekali ia menghajar Arga habis-
habisan sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Namun Nevan akan dicap pengecut jika melakukan itu. Tidak
masalah, Nevan akan menghabisi orang lain saja nanti.

"You lost." tekan Arga seraya tersenyum miring pada Nevan.


"Iya. Hebat ya kakak bisa menang."

Arga dan Nevan secara kompak menoleh ke sumber suara. Detik berikutnya mereka sama- sama kaget.
Orang yang tengah mereka perebutkan kini berdiri dengan wajah yang cukup pucat, namun tidak bisa
menyembunyikan rasa kecewanya.

Arga dan Nevan meneguk ludah secara bersamaan. Sial, jangan sampai Vita mendengar percakapan
mereka.

"Ta, kakak cu--" Ucapan Arga langsung disela Vita. "Bener ya, kakak tuh hebat dalam segala hal. Jadi,
untuk masalah persaingan ini aja kakak hebat. Selamat, kak. Udah dapetin hadiahnya, kan?" kata Vita
sambil mencetak senyum paksanya.

Arga menggeleng. "Ta, dengerin kakak du--"

"Perut aku sakit, kak. Aku ke kelas dulu, ya." pamit Vita dan segera berbalik. Namun sebuah tangan
mencekal tangan Vita. Ketika Vita menoleh, Nevan berdiri dengan wajah yang sama piasnya dengan Arga.

"Dwi, gue mau ngomong." ujar Nevan.

Vita menggeleng lemah. "Gak bisa. Bentar lagi masuk." tolaknya.

"Bentar doang, Dwi." bujuk Nevan.

Namun Vita masih menggeleng. Ia menarik tangannya dari cekalan Nevan dan terus berjalan. Butuh
kekuatan besar agar Vita tidak menangis di sana. Butuh ketahanan kuat supaya Vita tidak berteriak
lantang, mengeluarkan kekecewaannya pada dua orang yang dengan tega mempermainkan
perasaannya. Menjadikannya objek taruhan. Memangnya perasaan sebercanda itu?
•••

Kak Arga

Ta, bales ih

Kakak mau jelasin sesuatu

Ta?

Kakak tau kamu online

Ih malah off

Taaaaa

Ta:-(

Little girl

Kakak ke rumah kamu, ya?

Me

Mau ngapain?

Kak Arga

Akhirnya dibales

Maaf, Ta

Kakak mau jelasin ke kamu

Me

Gak usah

Aku sama keluarga lagi

diluar
Besok aja kalo ketemu, kak

Kak Arga

Kok 'kalo' ketemu?

Emangnya gak niat pengen

nemuin kakak, ya?

Vita mendengus. Arga bawel sekali, Vita lelah dibuatnya. Vita pun meletakkan ponsel itu di meja
didepannya. Saat ini, Vita, Febri dan Rilya sedang ada di ruang tamu. Vita memanggil Febri dan Rilya ke
rumahnya untuk menemani Vita yang sedang galau.

"Kak Arga, ya?" tanya Rilya yang memasukkan keripik ke dalam mulutnya.

Vita mengangguk. "He'eh."

"Ril, minta satu." pinta Febri sambil menengadahkan tangannya. Rilya mendelik, semakin mempererat
pelukannya pada toples keripik kesukaannya. Tidak mau berbagi.

"Eh nyet, bagi napa! Bukan lo yang beli juga." sengit Febri.

"Orang sahabat gue yang beli. Noh si Vita." bela Rilya sambil menunjuk Vita dengan dagunya.

Febri berdecak kesal. "Vita kan juga sahabat gue."

"Yang bilang enggak siapa?" ucap Rilya.

"Wah, bejat nih manusia." kesal Febri sambil melempar Rilya dengan kulit jeruk ditangannya.
"Berantem terus Feb, Ril! Habisin aja makanan gue. Berasa makan besar kalian."sindir Vita jengah.

Bukannya merasa salah, Febri dan Rilya malah nyengir.

"Kering dah tu gigi." Vita terkekeh dengan ucapannya sendiri.

"Vi, pikiran baik- baik, ya." celetuk Rilya tiba- tiba. Vita menoleh. "Maksudnya?"

"Berdasarkan pengalaman sebelumnya, jangan gegabah. Dulu salah paham sama Kak Arga gara- gara gak
dapet penjelasan. Nah sekarang jangan sampe lo nolak penjelasan dari Kak Arga. Biar hubungan lo
awet." tutur Febri.

Rilya mengangguk setuju. "Kalian kan udah pacaran, jangan sampe putuslah gegara salah paham." ucap
Rilya.

Spontan, Vita tersenyum. Tadi Febri dan Rilya masih berdebat tentang makanan, tapi sekarang sudah
memberi nasihat dan masukkan padanya. Memang, persahabatan mereka unik sekali. Tidak bisa
tertebak.

"Kampret kalian, ah! Tetiba berubah." ucap Vita sambil menahan senyumnya.

"Sempret?" Mata Febri tiba- tiba berbinar. "Mana? Gue mau kue sempret!" teriaknya senang.

"Apa? Lo ngajakin gue main karet, Feb?" tanya Rilya tak nyambung.

Febri memajukan bibirnya kesal. "Otak lo tuh dikoret!" tukasnya.


"Ultah lo maret, Feb? Gue kira Februari." sahut Rilya makin tak nyambung.

"Goyang dombret yihaaa!" Febri naik ke atas sofa dan mulai berjoget ria. Vita yang melihat itu langsung
tertawa terpingkal- pingkal. Dan anehnya Rilya malah bergabung dengan Febri.

Benarkan, tadi serius memberi nasihat, lalu langsung gila lagi. Untung Vita sayang.

###

Arga duduk tertunduk disamping Vita yang sedang melipat tangan ke dada. Vita sudah datang ke taman
dan bersiap mendengarkan penjelasan Arga. Namun dua menit ini, cowok itu sama sekali tak membuka
suara.

"Aku balik ya, kak, kalo gak ngomong juga." ancam Vita yang langsung ditanggapi gelengan dari Arga.
"Iya, kakak ngomong."

Vita menghela nafas, lalu mengangguk. Sedangkan Arga menarik nafas dalam- dalam, bersiap
menceritakan segalanya secara detail.

"Jadi, kemarin pas waktu Nevan meluk kamu, kakak ngomelin dia. Kakak bilang itu terlalu berani, dan gak
seharusnya dia berani ngelakuin itu. Tapi dasarnya Nevan yang bengal itu, dia malah nantangin kakak.
Dia bilang kalo kakak kalah dari dia untuk dapetin kamu, maka kakak harus ngasih kamu ke dia. Kakak
jelas gak mau! Orang kakak suka kamu dari awal, masa mau ngasih gitu aja ke dia." kata Arga
menjelaskan dengan 'penuh perasaan'. Diam- diam bibir Vita bergetar menahan tawanya yang hendak
tersembur keluar karena ekspresi menggemaskan Arga.

"Yah jadi kakak terima deh tantangannya. Tapi, kakak gak pernah niat untuk mempermainkan perasaan
kamu. Kakak tuh justru termotivasi dari tantangan Nevan." ungkap Arga yang langsung membuat Vita
menoleh dengan satu alisnya terangkat. "Motivasi apa?"
Arga mengangguk. "Motivasi buat segera nyelesian salah paham antara kita. Buka rencana Celin dan
menutup rumor itu." jelas Arga.nsjs

"Maaf, ya.." melas Arga sambil menampilkan puppy eyesnya yang tampak lucu bagi Vita.

Merasa terhibur, Vita pun berniat mengerjai Arga. Hingga akhirnya dengan sangat tega Vita menggeleng.
"Males."

Arga mencebik kecewa. Arga tidak mau Vita marah padanya. Harus bagaimana lagi?

Arga pun menoel lengan atas Vita dengan manja. Layaknya seorang anak kecil yang merengek minta es
krim pada ibunya.

"Ta, maaf.." lirihnya. Namun Vita tetap menggeleng. Wajah Arga sangat membuat Vita gemas.

Arga tidak kehabisan akal. Ia pun berdiri didepan Vita. Mengangkat dagu cewek itu agar mata mereka
bertemu. Lalu, dua kata yang mrluncur dari mulut Arga sukses membuat Vita tertawa.

"Sayaaang, maaf."

Tidak penting apa yang orang katakan. Karena ulah manja Arga, Vita akhirnya mengacak gemas rambut
Arga. Untuk pertama kalinya Arga memanggil Vita 'sayang'. Rasanya sangat manis dan sedikit
menggelikan.

"Iya. Cie panggil sayang." goda Vita sambil menoel pipi Arga.

"Ih, kamu ngerjain kakak, ya?" ucap Arga menatao selidik pada Vita.
Vita tertawa lagi. "Enggak, dih!"

"Gak salah lagi." lanjut Arga datar. Membuat tawa Vita semakin kencang.

"Ta, perut kamu sakit?" tanya Arga tiba- tiba.

Tawa Vita berderai. Secara perlahan mulai berhenti. "Enggak, tuh."

"Seri--"

"Iya serius, kak. Gak sakit. Emang sakit apa, sih?" bingung Vita.

"Semalem kamu bilang sakit perut, kan?" tanya Arga.

Vita mengernyit. Ia mengalihkan pandangannya sebentar dari Arga.

"Oh, itu!" teriak Vita yang sudha berhasil mrngibgatnya.

"Iya. Kenapa, Ta?" tanya Arga lagi.

Vita terkekeh. "Semalem PMS, kak. Hari pertama, jadi sakit." jawab Vita.

"Emangnya sakit banget, ya?"

"Iya. Hari pertama tuh dahsyat, kak." sahut Vita.


Arga terkekeh. "Sekarang masih sakit? Mau beli obat pereda nyeri haid?" tawar Arga.

"Gak, ah." tolak Vita sambil menjepit hidungnya. "Rasanya gak enak. Vita gak suka!" tukasnya manyun.

Membuat Arga tak bisa menahan tawa gemasnya. "Oke- oke. Sekarang ke ruang dance, yuk? Liat kakak
latihan?" ajak Arga.

Mata Vita langsung menyala- nyala antusias. Senyumnya merekah. "Ada banyak cogan ya, kak?!"
tanyanya semangat.

Arga mencebik. Lalu ia menyentil kening dan hidung Vita. "Cogan mulu pikirannya." hardik Arga tak
terima.

Vita berdesis. "Kenapa sih emangnya?"

"Gapapa." jawab Arga dengan mengerucutkan bibir.

Vita menyipit. Apa yang baru saja Arga ucapkan sangat berbandinh terbalik dengan sikapnya. Tadi dia
bilang tidak apa- apa, tapi sikapnya menunjukkan bahwa ada sesuatu yang mengganggunya.

"Kakak gak suka Vita ngomongin cogan?" tebak Vita yang memang benar. Arga tidak suka Vita
mengagumi laki- laki lain. Karena dulu saat pertama kali bertemu, Vita juga mengagumi Arga, lalu rasa itu
berkembang hingga mereka menjalin hubungan.

Dengan gerakan perlahan, Arga mengangguk mengiyakan. Sukses membuat Vita mendengus sambil
memutar mata malas.
"Kezel aing mah!" jengah Vita.

"Itu doang, kok. Kakak gak mau kamu mengagumi cowok lain aja. Kamu gak suka ya kakak larang gitu?"
tanya Arga pelan.

"Enggak!" sahut Vita cepat.

Arga semakin mengerucutkan bibir. Ia kan hanya melarang hal sesimple itu, kenapa Vita tidak mau?

"Kena--"

"Percaya deh, kak, Vita tuh gak mau sama yang lain. Mau sama kakak doang, kok." kata Vita sambil
mencubit gemas dua pipi Arga.

"Sewriuwswan?" tanya Arga tak jelas karena pipinya masih dicubit Vita.

Vita mendengus lagi. Ia menarik tangannya yang terulur mencubit pipi Arga. "Aku lagi pms lho, kak.
Pengen aku santet online, ya? Bikin greget aja." jengah Vita sekali lagi.

Arga tertawa, namun langsung diam begitu melihat delikkan mata Vita.

"Ya udah, Vita temenin ke ruang dance, boleh?"

Arga tersenyum dan mengangguk. "Boleh! Lagian hari ini jamkos, karena guru juga bakal bantu
persiapan, ada yang rapat juga." ungkap Arga.
Vita langsung tersenyum lebar. Ia berteriak senang dalam hati begitu mengetahui seharian penuh ini
akan free study. Vita akan ke kelas dulu untuk mengabari Febri dan Rilya. Ah, beruntungnya punya pacar
ketua OSIS, segala informasi diketahui.

•••

Arga dan Vita masuk ke ruang latihan dance. Semuanya lelaki, hanya Vita yang merupakan makhluk
'paling benar'. Arga menyuruh Vita untuk duduk di kursi panjang disamping ruangan. Vita bisa melihat
Arga latihan di sana.

Sementara Arga berganti pakaian seragamnya menjadi kaus dan celana training, Vita mengedarkan
pandangan kepada 4 laki- laki yang juga akan latihan. Rasa sakit di perut Vita rasanya menghilang
seketika, di sini benar- benar tempatnya para cogan. Vita normal, tentu saja ia terpana dengan keempat
makhluk tuhan yang gagah rupawan ini.

Vita melempar pandangan pada Arga yang sudah mengganti pakaiannya. Dan sekali lagi, Vita mengucap
kagum dalam hati. Arga sangat tampan, berkilau, memesona, dan segala ungkapan yang
menggambarkan betapa sempurnanya sosok Arga.

Di saat tengah larut dalam lamunannya, nyeri itu kembali hadir. Membuat Vita meringis dan memegangi
perutnya sambil tertunduk. Rasanya sangat nyeri.

"Sakit banget ya, Ta?" tanya Arga.

Vita mengangkat wajah, sejurus kemudian ia mengangguk sambil tersenyum kecut. "Biasanya enggak
gini. Gak tau kok hari ini sakitnya kelewat." aku Vita.

Arga tampak khawatir. Ia tidak suka melihat Vita sakit. Arga ingin menghilangkan rasa sakit ini. Tapi, Arga
tahu ia tak bisa. Jadi Arga berpikir untuk membagi rasa sakit Vita dengan dirinya.
"Sini, deh." ucap Arga sembari menarik tangan Vita untuk menggenggam tangannya.

Vita mengernyit. Dengan raut wajahnya seolah bertanya maksud tindakan Arga.

"Kalo sakitnya dateng, remas aja tangan kakak." kata Arga.

Vita semakin bingung. "Kenapa?"

Arga tersenyum menenangkan sambil menyelipkan anak rambut Vita ke telinga. "Biar sama- sama
sakitnya. Kamu sakit karena pms, kakak sakit karena kamu remas. Biar kakak ngerasain apa yang kanu
rasa." tutur Arga.

Mendengar itu sontak membuat Vita terkekeh geli. "Bisa ya gitu?" usilnya.

"Bisa, dong. Coba aja." sahut Arga.

Vita menggeleng. "Enggak, ah. Vita gak mau nyakitin kakak."

"Gombalin kakak, ya?" selidik Arga.

"Iya. Kenapa? Gak suka?" sensi Vita tiba- tiba.

"Su- suka." jawab Arga seraya mengangguk. Ia lupa, bahwa seorang gadis manis bisa menjadi sosok
menyeramkan layaknya 'valak' jika sedang pms.

Vita yang tadinya merengut langsung tersenyum lagi. Manis lagi, dan Arga gemas lagi. Tuhkan, dia
berubah lagi dalam sekejap mata.
"Kakak tinggal, ya? Mau mulai, nih." ucap Arga.

Vita mengangguk sekali. "Iya. Aku keluar ya, kak." izinnya.

"Kemana?" tanya Arga.

Vita nyengir. Kemudian ia mendekat ke arah Arga dan berbisik, "Aku takut mimisan kalo liat para cogan
dance."

Arga mendengus dan memandang malas pada Vita yang sedang cengengesan. "Bagus."

"Ya? Vita keluar, ya?" izinnya lagi dengan puppy eyes.

Arga mengangguk dan tersenyum."Oke. Tapi nanti ke sini lagi, ya?"

Dua jempol Vita langsung mengudara. "Siap, kak."

•••

Vita menghembuskan nafas lega begitu sudah keluar dari ruang dance. Vita takut khilaf jika nanti melihat
para kumpulan cowok ganteng itu bergerak mengikuti irama.

Vita pun berjalan menelusuri koridor. Dengan berjalan rasanya nyeri di perut Vita agak berkurang, jadi
Vita pun terus mengayunkan langkah.

"Dwi, gue minta maaf."


Vita berhenti dengan dahi mengkerut dalam. Segera Vita berbalik dan melihat siapa yang barusan
mengatakan kalimat itu.

"Dwi, maaf."

Vita membulatkan mata. Getir. Vita mundur ketika Nevan berjalan mendekatinya.

Wajah Nevan kusut, rambutnya tak karuan, kantung matanya menghitam, dan baju kaus nya robek
dibagian lengan atas.

"L- lo kenapa?" tanya Vita gemetar.

"Gue gak maksud bikin lo jadi objek taruhan. Itu gue lakuin semata- mata karena gue mau lo, Dwi. Gue
rela ngapain aja buat lo. You everything for me." sahut Nevan sendu.

Vita menghembuskan nafas pelan. "Gue udah maafin kalian berdua. Tapi, Van, bilang ke gue kalo lo gak
abis mukulin anak orang. Bilang ke gue!" desak Vita. Ia curiga, keadaan Nevan sekarang pasti terjadi
karena Nevan habis berkelahi dengan seseorang. Celana seragamnya kotor, begitu pula kaus putihnya
yang kucal.

Nevan tersenyum kecut. "Gue selalu nyesel karena lahir di keluarga gak lengkap. Gue benci hidup gue.
Tapi, gue gak akan ngerasa kayak gitu seandainya gue tau kalo suatu saat bakal ketemu cewek secantik
dan semenarik lo, Dwi." kata Nevan tulus. Vita terdiam, tidak mau menyela dan memilih mendengarkan
hingga selesai.

"Gue mau lo. Terserah lo jodoh gue atau enggak, pokoknya I just wanna you." tambahnya.
Vita masih diam. Ia tidak tahu apa yang membuat Nevan berbuat dan berkata seperti ini. Apa Nevan
merasa bersalah?

"Inget ya, gue bakal lakuin apapun buat lo." tutupnya dengan tersenyum.

"Gue ke BK dulu, Dwi. Dah!" Setelah itu, Nevan berjalan melewati Vita yang masih tak bergerak dan tak
tahu bagaimana haris merespon. Bahkan hingga Nevan benar- benar sudah menjauh, Vita belum mampu
mengerti yang baru saja terjadi.

"Itu tadi Nevan ngomong apa, ya? Panjang banget, Vita kan gak ngerti." gerutunya bingung.

Yah, begitulah Vita. Gadis pintar dan oon secara bersamaan. Loadingnya lama, bahkan kadang sering
gagal loading.

Bersyukur ada yang mau dengan gadis seajaib Vita.

Arga latihan, Vita sama Nevan ngommg. Dhtu Nevan ngjak Vita blek rempak soalny Arga msih ltihan.

###

Sekarang pukul 12.30, dan sekolah sudah membunyikan bel pulang dikarenakan tidak ada kegiatan
belajar mengajar, jadi siswa memang sengaja dipulangkan cepat.

Vita mendengus didalam kelas. Hanya ada ia, Febri, Rilya dan Friska di sana. Mereka malas pulang,
alasannya beragam. Seperti Febri yang malas sendirian di rumah, Rilya yang tidak mau pulang sebelum
menyelesaikan tulisannya, dan Friska yang enggan pulang sebab malas bertengkar dengan adiknya.

Vita sendiri tidak pulang karena sedang menunggu Arga yang tak kunjung selesai latihan. Beberapa kali
Vita balik ke ruang latihan itu, namun Arga dan teman- temannya masih belum berniat untuk pulang.
"Udah selesai. Kuy Feb, Fris, pulang." ajak Rilya sembari membereskan peralatan melukisnya.

"Naik bis?" tanya Friska yang dijawab anggukan dari Rilya.

"Gak mungkin kan pakai pintu kemana aja dari doraemon?" gurau Febri yang tak lucu sama sekali.

"Buruan, yuk." ajak Rilya.

"Febri sama Friska doang, Ril? Gue enggak?" tanya Vita.

Rilya menengok pada Vita sambil memperbaiki tali tasnya. "Enggak." sahutnya santai.

"Kenapa?" bingung Vita.

"Lo kan sama Kak Arga." Friska yang menyahut.

"Yang udah taken gak usah gabung ke kita. Kita mah ijo lumut. Ya gak, Ril, Fris?" tanya Febri sambil
menaikturunkan alisnya.

"Ijo lumut paan?" tanya Rilya.

"Ikatan JOmblo LUcu dan iMUT." jawab Febri seraya menangkup wajahnya dan tersenyum lebar.

"Dih! Gue enggak, ya!" kilah Friska menjauh.


"Gue juga enggak." timpal Rilya.

"Ciah! Lu aja yang jomblo sendirian!" ledek Vita yang dilanjutkannya dengan tawa.

"Pulang bareng gue yuk, sayang?" ajak Nevan.

Vita langsung mencebik. "Sayang? Mau gue bikin melayang lo pake manggil gue kayak gitu lagi." ketus
Vita.

"Mau dong dibikin melayang sama orang cantik." balas Nevan usil sambil mengedipkan matanya.

Vita berdesis geli. Jujur saja Vita agak merasa aneh dengan sikap Nevan hari ini. Terakhir kali Nevan
menemuinya tadi, kondisi cowok itu sangat buruk. Tapi kini ia bersikap seolah tak ada yang terjadi.

"Eh, Dwi! Itu ada kucing di kaki lo!" seru Nevan dengan menunjuk hewan mamalia yang berada didekat
kaki Vita.

Vita tersenyum miring. "Gue gak bego, ya. Sampe bisa lo bo--"

"Miaw."

"--hongin. KAMPRET! KUCING SIAPA INI, WOY?!" jerit Vita panik sambil menaikkan kedua kakinya ke atas.

Nevan terkekeh. "Takutkan lo." ledeknya.

Vita sudah gemetaran. Demi apapun, Vita tak suka kucing karena hewan itu pernah menyakar seluruh
kakinya saat ia masih kecil. Dan seiring berjalannya waktu, ketakutan itu semakin bertambah.
Kucing putih polos itu masih kecil dan beberapa kali ia melompat hendak naik ke arah Vita.

"Nevan, bantuin kek!" kesal Vita karena Nevan hanya menertawakannya.

"Ayo makanya pulang bareng gue." kata Nevan yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Memaksa Vita ditengah ketakutan gadis itu.

"Tolongin dulu.." Suara dan tubuh Vita gemetar semua.

"Pulang bareng gue atau gak gue bantu." ancam Nevan sambil tersenyum penuh arti.

"Nevan, ah. Hiks.." Vita terisak.

"Gue takut. Hiks... Hiks... HUWAAA!" Vita menangis dengan keras, layaknya anak kecil.

Nevan yang melihat itu tentu saja kaget. Ia tak menyangka keusilannya begitu menakutkan bagi Vita.

Vita menekuk kaki, lalu menenggelamkan wajahnya di sana dan menangis tersedu- sedu.

Nevan mengusap tengkuknya, merasa tak enak hati

"Hus!" usir Nevan sambil menggerakkan tangan mengusir kucing itu. Namun, kucing itu sama sekali tak
menjauh. Malah semakin mendekat ke arah Vita.

Akhirnya Nevan mengambil kucing itu lalu meletakkannya dipinggir jalan. Yang penting tidak didekat
Vita. Setelah itu, Nevan mendekati Vita.
"Dwi, jangan nangis. Gue minta maaf." lirih Nevan.

Vita mengangkat wajah. Baru sebentar ia menangis, tanpa wajahnya sudah penuh keringat dan air mata.

"Mati aja lo!" kesal Vita laly kembali melanjutkan tangisannya.

Nevan benar- benar merasa bersalah. Nevan mengulurkan tangan untuk mengusap bahu Vita, namun
sebuah cekalan lebih dulu menghentikan niatnya.

"Lo apain Vita?!" tanya Arga sembari menyingkirkan tangan Nevan agar menjauh dari Vita.

Vita membuka matanya dan segera mengusap seluruh wajah sambil berdiri. "Kak Arga, pulang!" ujarnya.

Arga menatap Vita. "Iya, pulang. Jangan nangis." ucap Arga membantu mengusap air mata Vita.

"Dwi, maaf.." lirih Nevan.

Arga menatap Nevan tajam. Tanpa berkata apa- apa, Arga menarik Vita menuju mobilnya. Meninggalkan
Nevan yang mendesah kecewa. Melihat Vita menangis rasanya sangat sesak bagi Nevan. Membuat emosi
Nevan membuncah.

"Argh!" Nevan menjambak rambutnya frustasi. Usahanya untuk mengajak Vita pulang gagal. Malah gadis
itu menangis karena dirinya.

Marah, Nevan berniat melampiaskannya dengan sesuatu. Nn


•••

Mobil sedan hitam langsung memotong jalan dan berhenti tepat didepan Arga. Arga langsung mengerem
motornya. Arga mulai merasa curiga ketika mobil itu menutup jalan, atau lebih tepatnya, mengepung
secara sengaja.

Arga langsung membuka helm dan turun dari motor dengan tatapan tajamnya yang tak berpindah dari
mobil itu.

"Turun, Ta." suruh Arga yang langsung dituruti Vita. Gadis itu sudah cemas, itu membuat gerakan
menjadi gemetar.

Begitu Vita sudah turun, Arga segera menarik Vita ke belakang tubuhnya, menempatkan cewek itu dalam
perlindungannya.

"Kak Arga, itu siapa?" tanya Vita setengah berbisik.

Arga menggeleng perlahan. "Gak tau. Tapi nanti kalo ada apa- apa, kamu lari, ya." pesan Arga.

"Takut.." lirih Vita.

Arga menatap Vita dan tersenyum. "Jangan takut. Kakak sama kamu di sini."

Ucapan itu mampu membuat Vita tersenyum kecil. Agak merasa lega walau ketakutan masih dominan di
hatinya.

Dua orang berpakaian all black keluar dari sedan. Wajah mereka tidak tertutup apa- apa,
memperlihatkan identitas secara terang- terangan.
Arga semakin mempererat pegangannya pada tangan Vita. Semakin merasa terancam kala dua orang itu
mendekat ke arah mereka.

"We must do somethinf for you." ucap salah satu dari dua orang tersebut.

Arga menatap tajam mereka. Siap melawan kapan pun jika mulai diserang.

"Who are you?" tanya Arga.

"Kita gak saling kenal, tapi kita akan bersenang- senang." jawab cowok itu.

Arga mengkerutkan dahi tak paham. Sedetik kemudian, sebuah tendangan menghujam punggung Arga.
Membuat Arga tersungkur dengan wajah yang hampir terseret ke aspal.

"Kak Ar--hmpth!"

Arga bangkit dengan kedua lengan kemejanya sobek dibagian siku.

Seorang dari dua cowok tadi melayangkan tendangan ke wajah Arga yang dengan mudahnya Arga
tangkis. Arga balas dengan meninju rahang cowok itu. Berakhir membuat mulut cowok itu mengeluarkan
darah.

"Shit!" Sebuah umpatan kasar keluar dari mulut cowok berambut ikal. Dengan marah, ia menyerang Arga
tanpa henti. Dan semua serangan itu mampu Arga tangkis.

Cowok yang tadi terluka karena tinjuan Arga kini bangkit dan menatap nyalang temannya yang berusaha
menumbangkan Arga. Meradang, cowok itu mengeluarkan pisau dan berlari menuju Arga.
"Yaaaa!"

•••

"Siapa sih lo?!" teriak Vita sambil bergerak memberontak.

Mata Vita ditutup menggunakan kain. Tangannya digenggam kuat dibelakang tubuh, dan seseorang itu
terus memaksa Vita berjalan.

Vita sudah memberontak dan berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga. Namun tenaga seseorang
itu jauh lebih besar dan harus membuat Vita menuruti langkah lebarnya dengan paksa.

"Kak Ar--mmffh!"

"Diem!" bentak orang itu. Kasar dan memekakkan telinga. Tangan besarnya yang kira- kira dapat
menutup seluruh wajah Vita ia gunakan untuk membekap mulut Vita. Ia lelah mendengar suara Vita
yang menurutnya sangat bising.

Orang itu menghempas tubuh Vita ke sebuah pohon besar didekat hutan. Mengeluarkan tali tambang
dan mengikat Vita di sana.

"Akh! Sakit.." lirih Vita. Tubuhnya terasa panas dengan kedua tangan yang ia yakin tergores dahan hingga
menimbulkan sensasi perih.

"Jangan kabur!" bentak orang itu lagi. Vita dapat mendengar langkah kaki yang perlahan menjauh hilang.
"Kak Arga.." Vita menangis. Seluruh tubuhnya gemetar. Disertai dengan keringat dingin yang bercucuran
di leher dan pelipisnya.

Selain rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuh, Vita juga panik begitu memikirkan Arga. Cowok itu
bagaimana? Sekuat apapun seorang Arga, Vita yakin ia akan kewalahan karena ketidakseimbangan dalam
jumlah. Kecuali ada orang yang melihat perkelahian itu, lalu membubarkannya dan menelepon polisi.
Namun pikiran Vita yang lain mengatakan, bahwa jalan itu sepi, jarang sekali ada yang melewatinya.

Vita menggeram. Ia ingin melepaskan diri namun tubjhnya terasa kaku untuk digerakkan. Ia ingin
berteriak namun suaranya tak bisa keluar. Bahlan, Vita menangis tanpa suara. Berada ditrmpat antah
berantas membuat mental Vita ciut.

Vita ketakutan.

•••

Arga terjerembab. Rahang dan sudut matanya lebam, serta darah krluar dari mulutnya. Seragam Arga
yang tadinya bersih kini bercampur tanah dan darah dengan beberapa bagian sobek.

Rasa sakit yang menggerogoti dada membuat Arga kesulitan bernafas. Ia sempat mendengar suara mobil
menjauh sebelum trlinga berdengung. Mata dan kepalanya terasa berat. Akhirnya Arga terpejam.

Arga kehilangan kesadarannya.

•••

Vita menghembuskan nafas, untuk mengatur tempo detak jantungnya yang membrutal. Vita tidak tahu
sampai kapan ia akan begini. Vita sangat takut dan khawatir.
"Kenapa diem? Capek?" tanya suara yang menyeramkan tadi. Terdengar dekat dan mampu membuat
bulu kuduk Vita berdiri.

Cowok kekar dan kulit hitam dan tinggi itu berdiri didepan Vita. Memicing beberapa saat kemudian
menampilkan seringaian mengerikannya.

"Cantik." puji cowok itu

Vita malah menangis. Di telinganya, pujian itu lebih seperti ancaman, seketika membuat Vita semakin
takut sekaligus jijik.

Cowok itu menengok ke sekeliling, lalu kembali pada Vita.

Dengan kurang ajar, cowok itu mengusap leher Vita lalu semakin turun. Vita yang merasakan sentuhan di
area leher ha langsung bergerak brutal, berusaha menghentikan aksi sensual cowok itu.

"Jangan sentuh!" teriak Vita dengan siara paraunga.

Cowkk itu jelas tidak menghiraukan. Satu detik kemudian, sebuah seruan lantang dan suara pukhlan
terdengar.

"SETAN! NGAPAIN LO, ANJING!"

BHUK! BHUK! BHUK!

Setelah itu, Vita kembali mendengar suara tubuh yang diseret dan menjauhi dirinya. Setelah dirasanya
orang- orang yang suka berteriak itu menjauh, Vita pun menangis sesegukkan.
###

"SIALAN! GUE SURUH LO BAWA DIA NGEJAUH BUKANNYA LO PEGANG- PEGANG!" teriak Nevan marah
sambil melayangkan pukulan brutal ke wajah cowok dibawahnya ini.

Cowok itu tidaj melawan. Ia sudah terkapar pasrah oleh teman kesepakatannya ini.

Memang, pada awalnya Nevan mengajak ketiga teman satu gengnya dulu untuk melampiaskan kekesalan
yang selama ini bersemayam di dada.

Sejak pertama melihat Vita, Nevan jatuh hati padanya. Setelah sekian lama berjuang, yang mendapatkan
Vita malah Arga? Tidak, Nevan tak mau dikalahkan. Dalam kamus kehidupan Nevan, apa yang sudah
Nevan ingingkan, harus menjadi miliknya.

Karena alasan itu, hingga kini, Nevan punya dendam pada Arga. Nevan tak pernah dikalahkan, namun
Arga selalu berhasil menyainginya. Nevan ingin masuk ke hati Vita, namun Arga lebih dulu menempati
ruang rasa itu.

Jika Arga adalah seekor kelinci, maka Nevan adalah serigala. Dari sekian banuak mangsa yang bisa ia
lahap, sang serigala lebih memilih kelinci. Karena yang terpenting adalah hasratnua terlampiaskan.

"BANGSAT! DWI ITU PUNYA GUE, BEGO! NGAPAIN LO SENTUH DIA?! PENGEN MATI LO?!" teriak Nevan
kencang dan penuh amarah. Uratnya lehernya terlihat akibat terlalu kuat berteriak. Urat pelilisnya
tampak dipermukaan karena terlanpau murka.

Akhirnya, tanpa belas kasihan, Nevan melayabgkan pujulan, tendangan di kepala dan dada, serta injakan
di leher cowok itu.

"Berani lo mikirin tentang cewek tadi, gue pastiin ini leher ancur gegara gue." Kemudian, Nevan
meludahi tubuh tak sadarkan diri itu. Seluruh tubuhnya luka, lebam bahkan membengkak.
Sedangkan Nevan sama sekali tidak tersentuh. Hanya sedikit luka disudut mata kirinya, dan tidak ada
rasa sakit sedikitpun.

Lantas, Nevan pun berlari menjauh dari lokasi itu. Ada gal penying lain yang harus Nevan atasi.

•••

Vita melemah. Ketika ia menangis, tak ada aor nata lagi yang keluar. Ketika ia bergeeser sedikit, kakinya
seakan lumpuh. Tak cukup kuat untuk menapak. Vita juga sudah kesulitan bernafas, hanya tersisa
sesegukkan pilu yabg menyesakkan dada.

Vita mengkerutkan dahi krtika telinga menangkap suara langkah seseorang mendekat. Vita pasrah jika
memang orang itu adalah penjahat yabg trlah membawanya ke dalam kondisi ini. Vita terlalu lemah
untuk memberontak. Saat ini, hanya suara hati Vita yang terus memohon pertolongan. Lirih, hatinya
seperti hancur mengingat kondisi dirinya dan Arga.

"Lho? Dwi?!" Suara yang akrab di telinga Vita membuatnya tersentak. Suara itu seakan memberi harapan
baru untuk Vita. Menghidupkan kembali keberanian yang semula hilang.

Dengan gemetar, Vita berucap, "Nevan, help.." melas Vita.

"Iya. Bentar ya, Dwi." ucap Nevan sembari melepaskan ikatan tali itu dari tubuh Vita.

"Dwi, yang tenang. Lo udah aman."ucap Nevan menenangkan Vita.

Setelah berhasil melepaskan ikatan itu. Nevan buka kain penutup nata Vita. Nevan bisa merasakan kain
itu basah oleh air mata dan keringat Vita. Seketika, rahang Nevan mengeras. Ia genggam kaib hitam itu
dengan geram lalu ia buang ke sembarang tempat.
Belum Vita membuka nata, segera Nevan rengkug tubuh mungil itu dalam pelukannya.

"Dwi, nangis aja. Gue udah sama lo, lo aman." kata Nevan mengeratkan pelukannya.

"Van, sakit.." keluh Vita sambil mendorong Nevan tanpa tenaga.

Sontak, Nevan langsung melepas rengkuhannya. Kaki Vita habg tak mampu dirasakan membuat tubuh
Vita tumbang ke belakang. Untung saja Nwvan cekatan, hingga ia kembali merengkuh pinggan Vita.
Mencegah gadis itu tersentak ke tanah.

Nevan pun menggendkng Vita ala bridal style lalu berjalan cepat menuju mobilnya. Vita ingin
melepaskan diri, namun ia terlalu lemah.

•••

Nevan mendudukkan Vita di kursi penumpang depan dengan hati- hatj. Vita langsung tersandar lemah
dengan mata membengkak dan merah. Vita sempat menghela nafas kasar sebelum dahinya mengkerut
dan sebuah rintihan keluar dari mulutnya. Melihat dan mendengar itu membuat Nevan panik.

"Dwi, tahan bentar, ya. Kita otw ke rumah sakit." ucap Nevan lembut.

Nevan langsung menutup pintu dan duduk di kursi kemudi. Nevan menggenggam erat tangan kanan Vita.
Ditatapnya gadis manis itu dengan sendu. Ada sedikit amarah yang tersisa melihat Vita dalam kondisi
kesakitan seperti sekarang. Sumpah, Nevan akan membuat keadaan orang tadi lebih parah.

Tanpa menunggu lama, Nevan menjalankan mobil ke rumah sakit terdekat. Hanya satu tangannya yang
memegang setir, sedangkan tangan lainnya masih menggenggam tangan Vita. Sesekali Nevan mengusap
pipi Vita untuk memberi kenyamanan pada gadis itu.
"Van.." panggil Vita pelan.

Nevan menoleh cepat. "Ya, Dwi?"

"Mata gue sakit.." adu Vita.

"Banget?" tanya Nevan khawatir.

Vita mengangguk sekali. "Van, kita pulang aja." pinta Vita.

Nevan menautkan alis. "Kenapa?".

"Gue gak mau bikin orang tua gue khawatir karena pulang telat." kata Vita

"Astaga, Dwi! Orang tua lo bakal lebih khawatir kalo lo pulang dengan keadaan kek gini." balas Nevan.

"Terus gimana?" tanya Vita.

"Lo bawa handphone?" tanya Nevan. Vita menggeleng.

"Ya udah, lo telepon ortu lo pake hp gue." ucap Nevan sembari mengeluarkan ponselnya dari saku
celana.

"Hafal nomernya kan, Dwi?" Nevan memberikan ponsel itu pada Vita.

Vita mengangguk sambil meriah ponsel Nevan.


"Van, password lo apa?" tanya Vita sambil terus mrnatap layar ponsel Nevan.

Nevan menoleh dan tersenyum. "Passwordnya nama lo." jawabnya.

Vita mengernyit tak percaya. Namun ia tetap mrncoba pasword yang Nevan bilang. Tak lama, screenlock
itu terbuja dan ponsel sudah bisa digunakan.

Vita pun mulai mengetik nomor, namun detik berikutnya ia merengek. "Gue haus.."

Nevan meraba bagian sisi kirinya, namun tak ada botol moneral di sana.

"Gue turun bentar ya, Dwi. Di mobil gak ada air." tutur Nevan seraya menepikan mpbilnya didepan
earung grosir.

Nevan bergegas keluar mobil dan langsing membrli air di warung tersebut.

Selama Nevan krliar, Vita cepat- cepat menelepon nomot yang sudah ia ketik.

"Halo drngan kantor polisi pusat. Ada yang bisa kami bantu?"

"Saya Avita. Saya ingin melaporkan adanya insiden penganiayaan dijalan ***. Korban masih di sana."
seloroh Vita cepat. Ia juag terus menengoj warung itu, was- was jika Nevan kelaur dari sana.

"Apa Anda masih di lokasi?"


"Enggak. Saya mohon cepat. Saya juga mohon selamatkan korban. Oh iya, saya mau ke RS. Harapan, saya
akan kasih keterangan di sana." ucap Vita setengah berbisik.

"Baik."

Setalh itu, Vita mematikan sambungan teleponnya. Mebghapus riwayat panggilan dan kembali
meletakkannya di telinga.

Bersamaan dengan itu, Nevan masjk ke mobil dengan satut angan memegang botol air

"Dwi--"

"Aku lagi sama temen, Ma. Iya, aman. Dah, Ma!" Vita menarik ponsel itu dan langsing menoleh pada
Nevan.

"Itu Mama lo, Dwi?" tanya Nevan sambil menyerahkan air itu pada Vita.

Vita mengangguk, lalu sambil membuka segel tutup botol, ia berujar, "Gue gak bilang keadaan gue. Gue
cuma bilang bakal kerkel sama temen."

Nevan mengambil alih botol air dari tangan Vita. Membuka segel serta tutup botolnya lalu
menyerahkannya lagi pada Vita.

"Gue bakal anter lo pulang nanti. Gue juga bakal jelasin semuanya ke Mama lo." ucap Nevan.

Vita hanya mengangguk. Meneguk sedkit air dari botol otu dan melempar pandangan ke lair jendela.
Semoga Arga bisa diselamatkan. Vita tidak mau kehilangan Arga untuk kesua kalinha.

###

Nevan menghempas tangan Tyas, cewek yg tadi menganiaya Vita secara brutal. Nafas Nevan memburu,
matanya merah dan menatap tajam mata Tyas.

Tyas dengan pakaian lusuh dan basah tak membalas tatapan Nevan. Nevan mencengkram lengan Tyas
dengan kasar, bahkan sangat kuat hingga memberikan bekas.

"Lo apain Vita, hah?!" tanya Nevan dengan nada bicara yg tinggi. Tampak ia murka akan kejadian yg tlh
menimpa Vita, yg disebabkan Tyas.

"Jawab, sialan!" hardiknya.

Tyas tampak menekuk wajahnya kesal dengan mata berair. Ia memukul² lengan kekar Nevan agar
melepaskan cengkraman yg menurut Tyas begitu menyakitkan.

Melihat usaha Tyas melepaskan genggamannya itu, Nevan semakin mengeratkannya cengkeramannya
hingga Tyas berteriak.

"Sakit, Van!" teriaknya..

Nevan menatap Tyas dengan penuh kebencian. Lalu ia hempaskan tangan Tyas. Tyas memegangi
tangannya yg terasa panas dan sakit dengan bekas tangan Nevan tertinggal disana.

"Lo janji ga bakal nyakitin gue kan?!" tanya Tyas berteriak kesal. Ia juga menangis. Namun tangisan itu
tak mampu menghilangkan amarah Nevan.
"Lo gila! Lo mau mati hah? Ngapain lo nyerang Vita? Dia ga salah, lo harus tau itu!" balas Nevan. Tyas
terisak.

"Lo khianatin gue, Van. Wajar gue marah." ucap Tyas melemah. Air matanya turun, dan tubuhnya
bergetar ketakutan.

"Siapa yg khianatin lo?! " tanya Nevan.

Tyas mengangkat wajahnya. " Dulu lo mati²an ngejar gue, bahkan lo rela berantem sama pacar gue dulu
buat dapetin gue. Sekarang setelah dapet kenapa lo ninggalin gue?!" balas Tyas kembali meninggikan
suaranya.

Nevan tersenyum sinis. "Karena lo ga sebaik yg gue kira. Kanea yg sebenarnya adalah yg suka ngajain
pacarnya mojok ga jelas disemak²? Itu yg namanya cewek baik yg gue harus pertahankan?" ucap Nevan.
Tyas membuang muka dari Nevan.

Nevan kembali mengingatkannya akan kejadian setengah tahun lalu saat Tyas menggoda Nevan untuk
bermesraan disemak². Untunglah saat itu Nevan masih sadar hingga ia menolak bahkan memutuskan
hubungannya dengan Kanea segera.

"Gue pindah sekolah, karena gue mau lo pergi dari hidup gue." Ucap Nevan dengan nada yg terdengar
meremehkan Kanea. Kanea masih terdiam, tak membalas satupun ucapan Nevan.

Karena geram, Nevan mencengkeram kasar dagu Kanea dan memaksa Kanea menatap dirinya.

"Terus lo nyerang Vita apa urusannya hah?! Bukan salah dia kalo gue yg jatuh cinta sama dia. Andai dulu
lo sebaik Vita, sampe skrg gue masih pertahanin lo, Yas!" Hardik Nevan.

"Kalo gue buruk, seharusnya lo bantu perbaiki sikap gue. Bukannya malah ninggalin gue kyk sekarang."
Ucap Kanea akhirnya membalas ucapan Nevan. Namun ia seakan tak kuat lagi utk berteriak.
Nevan pun menghempaskan dagu Kanea hingga Kanea jatuh.

"Kalo Vita sampai kenapa². Gue pastiin lo bakal terima akibatnya, Ne. " Ucap Nevan.

Ia pun meninggalkan Kanea yg tergeletak dilantai sambil menangis.

###

Doaku untukmu sayang- Wali

Kau mau apa, pasti kan ku beri

Kau minta apa, akan aku turuti

Walau harus aku terlelah dan letih

Ini demi kamu sayang

Aku tak akan berhenti

Menemani dan menyayangimu

Hingga matahari tak terbit lagi

Bahkan bila aku mati

Ku kan berdoa pada ilahi

Tuk satukan kami disurga nanti

Taukah kamu apa yang ku pinta

Di setiap doa sepanjang hariku

Tuhan tolong aku tolong jaga dia

Tuhan aku sayang dia


Aku tak akan berhenti

Menemani dan menyayangimu

Hingga matahari tak terbit lagi

Bahkan bila aku mati

Ku kan berdoa pada ilahi

Tuk satukan kami disurga nanti

(Tuhan tolong aku juga jaga dia, Tuhan akupun sayang dia)

Pergilah kau - Sherina

Tak mau lagi aku percaya

Pada semua kasih sayangmu

Tak mau lagi aku tersentuh

Pada semua pengakuanmu

Kamu takkan mengerti rasa sakit ini

Kebohongan dari mulut manismu

Reff:

Pergilah kau

Pergi dari hidupku

Bawalah semua rasa bersalahmu

Pergilah kau
Pergi dari hidupku

Bawalah rahasiamu yang tak ingin kutahui

You are the one

You are the one

Aku ingin mencintaimu

Setiap kali aku melihatmu

You are my destiny

Sekarang datanglah padaku sedikit lagi

Cinta adalah dirimu

Aku suka penampilanmu, aku ingin memberitahu segalanya

Katakan padaku kamu mencintaiku, kalau akulah satu-satunya

Cinta yang tiba-tiba muncul dan melayang bersama angin

Kamu satu-satunya yang menunjukkan apa itu kebahagiaan

Kamulah satu-satunya bagiku

Tunjukkan padaku cinta

Sehingga aku akan memberitahumu saat ini juga

Berbisiklah di telingaku bahwa kamu mencintaiku

###

Arga bersama grup dance sekolahnya pun memulai gerakan yg sudah berbulan² mereka pelajari. Dengan
lincah, Arga memimpin di barisan depan.

Lagu berjudul "YES YES YES by HITZ " yg digunakan pun bukan lypsinc, namun benar² dari suara Arga.
Sungguh gerakan sempurna ditambah lagi dengan tatapan Arga kian membuat penonton terutama
cewek menjadi panas dan menggila. Hanya satu kata yg mampu mengungkapkannya, menggoda...

Sama seperti yg lain, Vita pun terpesona dengan kelima cowok itu. Tapi ia hanya terperangkap pada satu
pesona, pesona milik Arga.

"Kyaa! Kak Arga ganteng, gila."

"Kak Arga ganteng kak!"

"Itu yg mimpin coba ngardus dong!"

"Kak Arga love you."

Vita secepat kilat menoleh ke sekumpulan cewek² yg berteriak histeris itu. Tampak dari raut wajahnya
bahwa ia tak suka cewek² itu meneriaki nama Arga. Tapi ia juga sadar, Arga itu populer, wajar saja banyak
yg suka.

"Lo kok ga neriakin apa-apa sih, Vi?" Ucap Rilya yg duduk disebelah Vita.

Vita mengernyitkan dahi. "Situ kan juga ga teriak." Balasnya.

"Tapi kan lo kan pacarnya Kak Arga." Timpal Febri.

Tiba² Vita blush, Rilya dan Febri tertawa melihat itu.


Haruskah ia teriak? Bagaimana jika nanti orang² malah menatapnya sinis? Atau bagaimana jika Arga
malah tak suka jika ia melakukan itu?

"Kak Arga pacarin aku, plis!"

"Kak Arga you're perfect!"

Ah tak peduli dengan apa yg akan terjadi, yg terpenting coba saja dulu.

" KAK ARGA, AKU PADAMU!" Pekik Vita.

Teriakan Vita sebenarnya biasa saja, namun teriakan itu mampu membuat perhatian terarah padanya.

"Itu cewek yg Kak Arga lagi gebet."

"Iya, dia deket banget sama Kak Arga."

"CIYEE!"

Sumpah, Vita jadi malu. Ada yg bengong, bersiul, tertawa bahkan bertepuk tangan.

Sedangkan Raefall dan grup nya yg sudah menyelesaikan penampilan mereka melambaikan tangan pada
seluruh penonton. Dan Raefall, memberikan lambaian khusus pada Vita, yg sukses membuat Vita blush
again.

"Pemberitahuan, untuk AVITA DWI FABDILLA agar segera naik ke atas panggung."
Vita kebingungan saat namanya disebutkan oleh mc acara itu. Namun Rilya dan Febri segera menariknya
dengan cepat. Mereka berjalan menuju belakang panggung.

"Kita mau kemana?" Tanya Vita menghentikan langkahnya.

"Kan tadi nama lo dipanggil." Ucap Rilya kembali menarik Vita. Terpaksa ia hanya mengikuti sampai
kebelakang panggung.

Setelah sampai disana, Rilya dan Febri celingak celinguk mencari seseorang. Sedangkan Vita hanya diam
dak berkutik.

"Kalian nyari sia...-" Ucapan Vita terpotong ketika matanya ditutup oleh kain.

"Eh ini siapa?!" Tanya Vita panik sambil berusaha membuka ikatan kain dimatanya.

"Vita tenang aja. Gue sama Rilya ada disini." Ucap Febri yg membuat Vita berhenti berusaha
memberontak.

Tiba² ia merasa ada yg merangkul pundaknya dan menuntunnya ke atas panggung. Vita sempat kaget,
namun ia tetap mengikuti orang itu dengan patuh.

Vita menaiki tangga, kemudian berjalan sedikit dan disuruh duduk oleh orang yg membawanya. Lalu
musik mengalun, dan Vita mulai kembali kebingungan. Dimana ia sekarang?

(CANTIK CANTIK CANTIK - FRANS )

Semua mata tertuju padamu

Betapa indah pancaran wajahmu


Setiap aku lagi

Memimpikan dirimu

Tak pernah sombong

Selalu menyapa

Indah beauty mu

Menebarkan cinta

Engkau wanita yg sangat istimewa

Oooh...

Wajahmu cantik

Senyummu cantik

Hatimu cantik

Siapa yg tak suka

Semakin hari semakin cantik

Beruntungnya aku bisa memilikimu

Ikatan kain dimata Vita dibuka, dan sosok yg menyanyikan lagu itu tersenyum padanya. Raefall
mengedipkan satu matanya, terlihat cute dan menggemaskan.

Kau membuatku bangga

Dan ku semakin cinta

Beruntungnya aku karena hari ini bisa memilikimu

Raefall menyanyikan setiap bait dengan senyum dan tatapan yg hanya dipersembahkan untuk Vita.
Bahkan teriakan penonton terutama cewek semakin menjadi melihat keromantisan antara Raefall dan
Vita.
Cowok dengan tingkat ketampanan yg kelewat tinggi itu tampak tak memperdulikan teriakan penonton.
Dengan mata tajamnya, ia terus saja menatap lekat Vita yg kini tengah tersipu malu.

"It's just for you." Bisik Raefall pelan, yg sukses membuat jantung Vita memompa lebih cepat. Ini ...
terlalu manis, Vita membatin.

Setelah menyelesaikan penampilannya, teriakan dan sorai tepuk tangan dari penonton terdengar
bergemuruh memenuhi aula sekolah itu. Acara yg bertema remaja ini dianggap sukses, dengan
penampilan ari sang Ketua Osis, atau yg Vita panggil " Kakak Senior ".

Arga turun dari panggung dengan senyum mengembang, sementara Vita hanya diam tak bereaksi. Arga
menoleh dan merunduk sedikit untuk melihat wajah Vita yang sedang menunduk.

"Ta?" Panggil Arga. Vita masih diam.

"Dek, kamu...-"

"Ih tadi gerakannya lincah banget padahal kan baru sembuh." Rutuk Vita sambil mencubit perus sixpack
Arga.

Arga berusaha menahan tangan Vita agar menghentikan cubitannya yang menurut Arga terasa geli.

"Eh iyaiya maaf. Tapi kakak kan gpp. Buktinya ini masih kuat walau kamu cubitin." Ucap Arga tersenyum
kecil.

Vita menghentikan aksinya. Namun wajahnya masih saja cemberut. Arga yang melihat itu merasa gemas,
dan mencubit kedua pipi Vita sebagai balasan akan ulah Vita tadi.
"Udah dong jangan cemberut, kakak kan ngelakuin ini juga buat mensukseskan acara sekolah." Ucap
Arga.

Vita yang merasa sakit pada pipinya pun menjauhkan wajah dari jangkauan Arga.

Vita menghela nafas, kemudian tersenyum. "Iya deh. Tapi kakak ga sakit apa², kan? Capek ga? Atau haus?
Aku ambilin minum? Atau kakak mau obat?" cerca Vita antusias.

Membuat Arga terkekeh geli melihatnya. "Kakak butuh kamu doang, Ta. Kamu segalanya." ucap Arga
sembari memeluk Vita.

Vita berdecak beberapa kali. "Gombal oy gombal! Basi banget, dah!"

###

"Gue benci lo, sumpah!" Hardik Vita kesal sambil menangis.

Nevan memalingkan wajahnya, teringin mengacuhkan gadis berseragam sekolah yang menangis
sesegukan dihadapannya. Namun dari hatinya yg paling dalam ia tak bisa, ia tak suka melihat Vita
menangis.

"Kak Arga salah apaan sampe lo sebegini benci sama dia?!" Tanya Vita masih kesal. Bahkan bertambah
kesal tatkala Nevan masih saja membisu.

"Gue nanya! Lo jangan diem aja!" Ucap Vita sekuat tenaga.

Berteriak sambil menangis sesegukan sungguh menyesakkan. Namun Vita mengabaikan penderitaan yg
ia alami. Ia hanya butuh jawaban dari Nevan, namun pemuda blasteran itu hanya diam tak merespon.
Amarah Vita menggebu- gebu. Kekhawatirannya semakin memuncak tatkala terlintas segala
kemungkinan yang bisa saja terjadi pada Arga karena kepalanya terbentur.
"Gue nanya, Van. Plis jawab." Ucap Vita.

Vita hendak melangkah ketika tiba- tiba kakinya tak mampu menopang tubuhnya. Akhirnya tubuh Vita
jatuh ke lantai. Ia menangis sekeras- kerasnya, layaknya anak kecil.

"Maaf, Dwi.. " sesal Nevan tak mampu menahan keperduliannya. Ia pun ikut berjongkok dengan wajah
bersalah.

Sedangkan Vita tak menghiraukan apapun dan siapapun, ia tetap menangis. Sebenarnya bukan karena
Nevan, tapi jelas karena Arga.

Vita sangat menyayangkan apa yang terjadi pada Arga. Ia menyesal kenapa tadi tidak berteriak. Padahal
jika ia melakukan itu, keadaan bisa saja lebih baik.

"Dwi.." Panggil Nevan pelan. Ia tatap lekat² sepasang mata yg tak henti²nya mengeluarkan air mata itu.

"Ga usah sentuh gue!" Vita menyingkirkan tangan Nevan segera setelah ia merasakan sentuhan di
pundaknya.

"Tenang, Dwi. Plis tenang dulu." Ucap Nevan. Vita menatapnya tajam.

"Gue ga butuh lo! " Hardiknya lagi.

"Maaf. Dwi, gue bener² minta maaf." Ucap Nevan benar² merasa bersalah.

Ia sungguh menyesal telah menghajar Arga. Ia tak tahu jika Vita akan se menderita ini ketika melihat Arga
tak sadarkan diri. Sungguh Nevan menyesal.
Jika bisa diulang, ia akan memilih utk bersaing secara sehat dengan Arga, tidak menggunakan kekerasan
seperti ini.

"Maaf dari lo juga ga bakal bangunin Kak Arga! Jadi mending lo pergi!" Usir Vita.

Nevan mengacak rambutnya frustasi. Namun ia tetap tak menyerah. Nevan masih setia menunggui Vita
hingga gadis itu selesai menangis.

Vita tentu saja risih karena Nevan terus menerus menatapnya. Akhirnya Vita pun menyeka air matanya,
lalu berdiri.

"Gue baik² aja. Dan gue bakal lebih baik² aja kalo lo pergi dari sini." Ucap Vita.

Nevan yang awalnya melihat Vita sambil mendongak kini ikut berdiri

"Tapi Dwi...-"

"Apanya yg tapi?! Lo ga bisa jawab pertanyaan gue, kan? Jadi sekarang lo disini mau ngapain, hah?!"
Ucap Vita kembali meninggikan bicaranya.

Nevan menekuk wajahnya kesal. "Gue suka lo, dan alasan gue ngehajar Arga ya cuma karena gue suka
sama lo, Dwi!" Balas Nevan akhirnya menjawab pertanyaan Vita.

PLAK!!!

Sebuah tamparan keras tepat mengenai pipi kanan Nevan. Vita yg sudah terlewat marah merasa ingin
menghajar Nevan lebih parah lagi. Namun tamparan ini bukan utk menyakiti tubuh Nevan saja, namun
juga hatinya. Setelah ini, Vita berharap Nevan akan membencinya. Jika rasa yg Nevan miliki utk Vita
malah akan membahayakan Arga, Vita akan memilih utk membuat Nevan benci padanya. Agar ia bisa
pastikan, Arga baik² saja.

Namun setelah tamparan itu, Nevan tak bereaksi. Bahkan ia tak memegangi pipinya yg memerah dengan
cap lima jari milik Vita tertinggal disana. Nevan tak menatap Vita, atau bahkan bergerak. Namun dadanya
naik turun, sepertinya Nevan juga sama marahnya seperti Vita.

"Itu untuk Kak Arga. Apa yg udah lo lakuin ke dia jauh lebih sakit dibanding tamparan ini." Ucap Vita
sembari meninggalkan Nevan.

"Dwi." Panggil Nevan sambil mengehntikan langkah Vita.

Vita menarik nafasnya dalam², mau apalagi dia? Batinnya.

"Gue ga akan pernah benci sama lo." Ucap Nevan dengan tatapan sendu.

Vita menoleh menatap wajah blasteran itu. Sekali lagi, Nevan bersikap terlampau tenang. Tamparan yg
masih membekas itu tidakkah sakit? Kenapa Nevan bisa setenang ini?

Vita tak menjawab, ia hanya berdecih kemudian meninggalkan Nevan.

•••

Vita kembali duduk di kursi tunggu sambil terus meneteskan air mata. Di saat gemetar dan khawatir spt
ini biasanya Arga akan membiarkan Vita menghambur dipelukannya. Pelukan hangat Arga mampu
membuat Vita merasa lebih baik. Namun sekarang tak ada lagi Arga yg spt itu, kini Arga tengah terbaring
lemah dengan banyak luka ditubuhnya. Di saat spt ini, Vita harus kuat. Setidaknya, dengan menjadi kuat
maka Arga tidak akan lemah.
Vita telah menghabiskan waktu satu jam terakhir dengan kecemasan dan kegelisahan yang memadat.
Vita melayangkan pandangannya ke sosok yang sedang berjalan ke arahnya.

###

Vita melangkah masuk ke ruangan VIP itu dengan pelan, kakinya sendiri terasa berat untuk meneruskan
langkah.

Cowok yang sedang terbaring diatas ranjang pasien itu tampak tenang dan damai. Namun melihat itu
membuat mata Vita menanas, dan sebuah isakan kembali keluar dari mulutnya. Lagi- lagi Vita menangis,
tak sanggup menahan apalagi menghentikannya. Ia begitu khawatir akan kondisi Arga. Sudah 24 jam,
dan pemuda tampan itu masih belum bangun juga.

Tiba- tiba handphone Vita berdering, Vita pun segera menyeka air matanya dan keluar untuk
mengangkat telepon itu.

"Vi, Nevan sama gengnya udah di skors sama sekolah masing- masing." Ucap Rilya.

"Skors?." Balas Vita singkat.

"Iya."

"Cuma di skors? Kenapa ga dikeluarin aja sekalian? " Ucap Vita, samar- samar terdengar nada kesal.

"Nevan anak pindahan juga kan, Vi. Lagipula bentar lagi mau ujian, jadi dia ga bisa dikeluarin. " Jawab
Rilya pelan.

"Oh ya udah. Aku lagi di rumah sakit, kayaknya ga bakal ke sekolah lagi." Ucap Vita.
"Iya, nanti aku bilang sama Bu Wardah. Entar selesai sekolah aku kesana, ya."

"Oke." Jawab Vita singkat, kemudian ia masukkan handphone dengan case berwarna hitam polos itu ke
dalam sakunya, lalu kembalu masuk ke dala.

•••

" Saya sudah telepon Vita, bu." Ucap Rilya pada Bu Wardah yang tengah duduk dihadapannya.

"Gimana keadaan Arga?" Tanya Bu Wardah.

"Kayaknya masih belum siuman, deh, bu. Karena Vita bilang ga bakal ke sekolah lagi, mau jagain Kak Arga
katanya." Jawab Rilya. Bu Wardah mengangguk.

"Ya udah, kamu masuk ke kelas mu." Ucap Bu Wardah.

Rilya pun segera menyalami tangan Bu Wardah lalu keluar dari ruang guru.

•••

Arga membuka matanya perlahan, matanya menjadi sensitif akan sorot cahaya lampu yang menusuk
baginya. Arga merasa pusing dan membuatnya meringis kecil.

Merasa mendengar seseorang meringis, Vita pun memicingkan matanya melihat Arga yang berselimut
putih. Lalu dengan berlari kecil, Vita segera menghampiri Arga.
"Kak Arga." Panggil Vita. Ia rasa tak percaya, pemuda yang ia rindukan kini telah membuka matanya
sedikit demi sedikit.

"Kak." Panggil Vita lagi sambil menggenggam tangan Arga.

"Ta, kamu gpp?" Tanya Arga bersusah payah mengeluarkan suaranya.

"Kakak tenang aja, aku baik kok. " Balas Vita tersenyum.

Pemuda itu kembali meringis, bahkan kali ini ia memejamkan mata karena sakit yang dirasakan. Vita
mulai gugup dan bingung, ia harus bagaimana sekarang?

"Aku panggil dokter dulu, ya kak." Ucap Vita.

"Enggak." Cegat Arga, ia genggam tangan Vita, untuk menghentikan gadis itu pergi darinya.

"Kamu di sini aja, kakak butuhnya kamu." Ucap Arga.

Vita terenyuh mendengar ucapan itu, bahkan dalam keadaan seperti ini Arga masih begitu
memperhatikannya.

Namun Vita tetap tak tega ketika melihat Arga beberapa kali meringis sakit. Apalagi genggaman tangan
Arga semakin kuat ketika ia merasa sakit.

Arga sendiri tidak tahu kenapa telinganya tiba- tiba berdengung. Pandangannya gelap, dan dadanya
sesak. Tak ada cahaya yang bisa Arga lihat. Tak ada suara yang bisa Arga dengar. Semuanya begitu
gelap.Arga mencoba menetralisir rasa sakit itu, namun ia terlalu lemah.
Arga kembali kehilangan kesadarannya.

Vita mendekati wajah Arga ketika ia merasakan genggaman Arga melemah. Vita panik saat melihat mata
Arga kembali menutup. Ia pun segera menekan bel di belakang ranjang pasien agar dokter segera
datang.

Vita kembali menangis saat kecemasan melandanya. Wajah Arga tampak lebih pucat dan Vita semakin
takut dibuatnya.

"Permisi, silahkan keluar. Pasien akan kami tangani." Ucap perawat wanita berseragam putih pada Vita.

Vita mengangguk, namun langkahnya terasa berat untuk meninggalkan Arga. Tidak bisakah penanganan
dilakukan walau Vita masih di sini? Vita ingin menemani Arga.

"Dok, bisa ga kalau dokter meriksa pasien tapi saya nya ga keluar? Saya janji ga akan berisik." Ucap Vita. .

Dokter mengangguk. Kemudian ia mulai memeriksa Arga. Vita cemas ketika dokter mulai memeriksa
Arga. Vita berharap Arga baik- baik saja, dan ia hanya pingsan sebentar.

" Pasien mengalami serangan biasa. Itu sering terjadi ketika pasien yang mengalami serangan di kepala,
bangun dari masa kritisnya. " Ucap dokter menjelaskan.

"Lalu saya harus bagaimana, dok?" Tanya Vita.

"Biarkan pasien beristirahat." Jawabnya.

Vita mengangguk.
"Saya permisi, dulu. Nanti obat siang akan diantar."

"Iya, terimakasih."

Vita menatap sendu kedua mata Arga yang kini tengah menutup. Vita dapat merasakan penderitaan
yang Arga rasakan. Jika bisa, Vita ingin ini semua terjadi padanya saja, tidak pada Arga.

•••

Nevan menatap foto Vita dengan rasa sedih. Nevan menghajar Arga, namun yang menderita adalah Vita.
Nevan tak ingin Vita mrnangis hingga matanya sembab, Nevan juga tak ingin Vita jatuh sakit karena
terlalu banyak bergadang. Nevan sangat tak menginginkan itu.

Nevan melihat jam dinding yang menunjuk angka empat itu. Di jam yang sama, kemarin Nevan dan geng
nya menghajar Arga. Nevan mendengus, kesal akan kebodohannya.

Nevan mengacak rambutnya frustasi. Semua benda dihadapannya sudah dihancurkan. Namun emosi di
dadanya belum terlampiaskan dengan benar. Harus bagaimana lagi supaya amarah ini redam?

"AKHHH!" Teriak Nevan frustasi.

•••

"Love you..." Vita terisak lagi.

Arga koma. Alat- alat pernafasan serta jantung terpasang di tubuhnya sebagai sarana pengobatan
intensif. Wajah Arga kembali damai nan pucat.
Manik matanya yang menenangkan kini tertutup. Senyum memesonanya kini hanya ulasan garis lurus.
Tak ada kata- kata manis ataupun celotehan tak penting yang keluar dari mulutnya. Tangan yang selalu
mengusap puncak kepala Vita atau menyentil pipi Vita kini diam.

###

"Ngh." Gumam Vita pelan. Matanya terbuka perlahan, namun cahaya dari luar ruangan yg masuk
melewati jendela disebelah ranjang tidurnya itu seakan menusuk indra penglihatan Vita. Alhasil Vita
hanya mampu membuka sedikit matanya.

Ia melirik kesamping, kearah Nevan, yang tersenyum bahagia melihat Vita sudah sadar.

"Dwi, kamu ... udah sadar?" Tanya Nevan.

"Sakit." Gumam Vita.

"Aku panggilin dokter dulu. Kamu yg tenang." Ucap Nevan.

Ia langsung menekan bel yang akan berbunyi diruang dokter dan perawat, hingga seorang dokter dan
satu perawat perempuan datang kekamar Vita.

"Dok, pasiennya udah sadar. " Ucap Nevan begitu dokter masuk keruangan. Dokter mengangguk
kemudian langsung menuju samping ranjang Vita untuk memeriksa keadaan Vita.

"Syukurlah. Vita sudah melewati masa kritisnya. " Ucap dokter bertubuh berisi itu sambil tersenyum.

Nevan begitu bahagia, bahkan ia merasa terharu. Wajahnya memerah dan matanya berkaca². Jujur,
Nevan tak pernah merasa sebahagia ini. Sosok Vita telah mengembalikan Nevan yang penuh kasih
sayang.
"Makasih, dok. Makasih." Ucap Nevan berkali². Dokter dan perawat pun tersenyum sambil berlalu dari
ruangan VIP itu.

Setelah dua orang berseragam putih itu keluar, Nevan segera memegang tangan Vita. Dan lagi², ia
tersenyum lebar.

"Aku seneng kamu siuman, Dwi. Kamu semangatku, kamu kekuatanku. Aku sayang kamu." Ucap Nevan
mengeluarkan semua perasaannya, tanpa ragu ataupun malu. Rasa senang telah menguasai Nevan,
hingga Nevan tak dapat menahan diri lagi.

Vita mengernyitkan dahinya, dan berusaha memperbesar mata utk melihat lebih jelas sosok pemuda
didepannya ini.

"Kamu ... siapa?" Tanya Vita pelan.

Tiba² senyum dari bibir Nevan memghilang, berganti menjadi raut tak paham.

"Kamu lupa siapa aku?" Tanya Nevan. Vita hanya diam sambil terus menatap Nevan.

"Aku ... pacarmu." Jawab Nevan ragu.

"Pacar?" Ucap Vita masih bingung.

"I-iya. Kita adalah sepasang kekasih, Dwi. Dan kita udah jalanin hubungan ini setengah tahun lamanya."
Ucap Nevan berbohong.

Tentu saja semua yg ia katakan tak benar, hanyalah dusta belaka. Namun karena melihat Vita spt orang
linglung, Nevan menggunakan kesempatan itu utk mendapatkan gadis idaman didepannya ini.
Jahat memang, tapi Nevan tak mau menyia²kan keadaan ini. Lagipula ia begitu menyukai Vita dan ingin
memilikinya.

"Dwi itu siapa?" Tanya Vita lagi.

"Dwi itu panggilan kamu. Karena nama kamu Avita Dwi Fabdilla, jadi orang manggil kamu Vi, sedangkan
aku manggil kamu Dwi. Dan aku suka panggilan itu." Jelas Nevan, kini ia tersenyum karena merasa
mampu menguasai ingatan Vita.

"Aw." Ringis Vita. Segera ia menarik tangannya dari genggaman Nevan lalu menyentuh kepalanya yg
berbalut perban. Kepalanya berdenyut², matanya berkunang² dan nafasnya jadi sesak.

"Tolong, sakit." Ucapnya. Nevan yang panik segera membunyikan bel untuk memanggil dokter keruangan
itu.

Namun sebelum dokter masuk, Vita lebih dulu kehilangan kesadarannya.

"Dwi? Bangun, Dwi. Plis aku ga mau kamu pergi. Dwi?" Panggil Nevan berkali² sambil menggoyang²kan
tubuh Vita. Namun tak ada reaksi apapun.

"Tolong keluar, pak. Biar kami yang periksa." Ucap seorang perawat wanita pada Nevan. Nevan pun
mengangguk, lalu menatap Vita dengan wajah sendu kemudian pergi keluar.

Ketika Nevan menutup pintu dan berbalik, ia mendapati Denis berdiri dihadapannya. Denis bingung
mengapa Nevan keluar dari ruangan Vita. Kebingungan itu tampak dari wajahnya.

"Vita..." Ucap Nevan menggantung. Ia merasa ragu utk mengatakan kejadian yg baru dialami Vita.

"Adek gue kenapa?" Tanya Denis mulai khawatir.


"Vita tadi sadar, bg. Cuma, dia pingsan lagi." Ucap Nevan tertunduk. Denis tiba² memukul dinding karena
frustasi, berkali² hingga tangannya berdarah karena pukulan yg cukup kuat.

"Bg, dokter udah didalam, dan Vita pasti baik² aja." Ucap Nevan memegang pundak Denis, berusaha
menenangkan amarah kakak laki² Vita itu. Namun Denis menjauhkan tangan Nevan dari pundaknya. Kini
wajah tampan Denis berubah kusut, bahkan matanya memerah.

"Sumpah, gue ga bakal biarin pelaku penyaniayaan Vita hidup dgn tenang." Ucap Denis dgn nada bicara
terdengar penuh dendam. Nevan meneguk ludah kasar.

"Gu- gue juga bg.

###

Kau adalah hatiku

Kau belahan jiwaku

Semakin tuk ku mencintaimu sampai mati

Vita terus berusaha untuk menghayati setiap bait lagu yang sedang ia nyanyikan. Namun tak seperti
biasa, kali ini Vita tak merasakan cinta Nevan dalam lagunya. Semakin Vita berusaha membuat Nevan
hadir dalam setiap bait lagu, maka yang akan bersemayam disana adalah Arga.

Ya! Vita sendiri tidak tahu kenapa malah Arga yang hadir dalam pikirannya. Setiap bait lagu ini rasanya
pas untuk menggambarkan rasanya pada Arga. Tapi Vita tak mengerti, rasa apa ini? Kenapa ketika lagu ini
ia nyanyikan malah terasa Arga yang ia cintai, bukannya Nevan?

Sorai tepuk tangan bergemuruh, menggema seisi ruangan. Vita dan Nevan berpandangan, lalu
menunduk tanda penampilan mereka telah usai. Namun kali ini Vita tak tersenyum. Ia masih larut dalam
kebingungan dan perasaan yang aneh ini. Berbeda dengan Nevan yang tersenyum sumringah sambil
merangkul mesra pundak Vita. Mereka pun turun dari panggung.

"Seperti biasa, kalian memberikan penampila yang spektakuler malam ini. Dan ini gaji kalian." Ucap
pemilik cafe itu sambil memberikan amplop putih.
Nevan mengambil amplop itu dengan sopan.

"Terimakasih, pak." Balasnya. Pria tinggi itu hanya tersenyum sekilas, lalu pergi meninggalkan Vita dan
Nevan.

"Ini pegang aja dulu." Ucap Nevan memberikan amplop itu pada Vita. Namun Vita masih diam.

"Sebentar!" Tukasnya sambil berlari menjauhi Nevan. Nevan yang melihat itu kebingungan, namun ia
langsing mengejar Vita.

Vita berhenti tepat disamping panggung. Matanya membulat kaget, namun tak lama ia menikmati
pemandangan itu. Seorang pria tampan dengan kemeja abu- abu polos tengah duduk dikursi sambil
memetik gitar. Vita terpesona sesaat akan keindahan itu.

"It's a song for mine. She is a beauty girl, smart, and sweet. I love her..." Pemuda itu menunduk,
menghela nafas lalu kemudian kembali mendongak, memperlihatkan wajah tampannya yang mampu
menghipnotis semua pengunjung.

"Its for you, ma girl." Ucap pria itu tersenyum.

Vita mengernyitkan dahi. Sesaat ia merasa dosennya itu cukup melankolis. Dibalik sikapnya yang tegas
dan dingin, rupanya ia juga memendam cinta kepada seseorang yang mungkin sedang jauh darinya. Vita
jadi penasaran, siapa wanita beruntung yang begitu dicintai Arga.

Wajahmu cantik

Senyummu cantik

Hatimu cantik

Siapa yang tak suka?

Semakin hari
Semakin cantik

Beruntungnya aku bisa memilikimu

Arga menunduk sebentar sambil jempolnya menyeka air mata yang hampir menetes. Menyanyikan lagu
ini sama saja dengan membangkitkan ingatan Arga tentang wanita yang ia cintai. Wanita yang dekat,
namun begitu jauh darinya. Wanita yang hampir ia genggam, tapi kemudian lepas begitu saja. Arga
merindukan sosok itu.

Kau membuatku bangga

Dan ku semakin cinta

Arga melihat ke samping panggung. Vita agak terperanjat ketika Arga langsung menatapnya dingin. Vita
meneguk ludah kasar. Apalagi ia melihat Arga mulai berjalan mendekati.

"Mister?" Vita menautkan alis.

Arga mengulurkan tangannya, berharap Vita akan menerima uluran tangannya. Karena khawatir nilainya
akan jadi pertaruhan, akhirnya Vita menerima uluran tangan Arga dan mulai naik ke atas panggung.

Nevan mengernyitkan dahi, tak mengerti mengapa Vita mau disentuh Arga? Selama ini Nevan paham,
Vita selalu risih ketika ia mencoba melakukan kontak fisik. Namun sekarang? Arga menggenggam
tangannya dan Vita menerimanya? Kenapa? Kenapa begitu tak adil?!

Nevan berusaha sekuat tenaga menahan amarahnya. Apalagi kekhawatirannya memuncak tatkala
melihat Arga dan Vita berdua di panggung. Terlihat mesra, seperti saat SMA dulu.

Arga menuntun Vita duduk di kursi. Lalu ia mulai memetik gitar dan melanjutkan liriknya, sambil mata
hitam legam itu menatap lekat mawa below Vita.
Kau adalah hatiku

Kau belahan jiwaku

Seperti tuk ku mencintaimu sampai mati

Vita semakin merasakan aneh pada hatinya. Entah kenapa ia merasa lagu itu Arga tujuan padanya. Hanya
untuknya. Bahkan rasanya detik itu juga, hari Arga dan Vita menyatu, saling mengungkapkan sesuatu
yang sulit diungkapkan.

Tepuk tangan meriah kembali terdengar dari seluruh pengunjung cafe yang terpukau akan prnampilan
Arga. Sebenarnya tidak juga, sebagian dari rasa kepuasan mereka adalah dapat melihat wajah tampan
Arga.

Arga kini menarik tangan Vita untuk turun dari panggung. Vita lagi- lagi hanya diam, menurut tanpa
membantah.

"Terimakasih karena sudah menemani saya." Ucap Arga dingin. Tangannya melepas tangan Vita.

"Tapi,untuk siapa lagu yang Mister nyanyikan itu?" Tanya Vita. Setelah lama menyimpan pertanyaan itu
dikepalanya, akhirnya ia punya keberanian untuk menanyakannya.

Arga mengangkat bahu. "Luka ditangan, sudut kepala kiri, sering terjatuh. Dia punya itu semua." Ucap
Arga.

"Namanya?"Tanya Vita lagi. Tak pernah ia merasa penaran semacam ini. Apalagi pada dosen yang super
dingin dan tegas.

"Siapa kamu sampai berani bertanya tentang dia?" Tanya Arga dingin sambil memiringkan kepalanya
angkuh.
Vita berdehem untuk menghilangkan kegrogian. Salah besar saat Vita berani bertanya brgitu.

"Maaf, Mister. Kalau begitu saya permisi." Vita segera berjalan cepat meninggallan Arga. Sambil berjalan
ia merutuki dirinya sendiri yang lancang membalas semua perkataan Arga.

Vita sampai di basement, namun ia tak menemukan Nevan didalam mobil. Akhirnya Vita memutuskan
untuk mrnunggu. Mungkin Nevan masih ada urusan, batinnya.

"Luka ditangan..."Vita bergumam sambil mengingat perkataan Arga.

"Luka ditangan, sudut kepala kiri, sering terjatuh. Dia punya itu semua."-Arga.

Tiba- tiba flashback terjadi dengan cepat. Bahkan sebelum Vita berhasil menangkap satu flashback, satu
flashback muncul secara beruntun. Vita sekuat tenaga menahan sakit pada kepalanya. Demi apapun
yang ada didalam flashback, itu pasti penting untuknya.

"Luka ditangan..."Gumamnya lagi. Vita menengadahlan telapak tangannya dan melihat bekas goresan
luka ditangannya.

Vita membulatkan mata, rasa tak percaya bahwa ia pernah punya luka di telapak tangan kirinya. Tapi kan
ia dan Arga baru bertemu sebagai mahasiswa dan dosen? Vita pasti bukan dia-nya Arga.

Lalu Vita meraba pelipis kanannya, dan ia teringat bahwa ia selalu memakai foundation lebih tebal
dibagian sama agar bekas luka itu tidak terlihat. Brkas luka yang terjadi akibat kecelakan itu.

Vita lagi- lagi membulatkan mata. Khawatir, dan juga bingung. Benarkah bahwa....? Ah, bukan. Vita harus
meyakinkan diri bahwa dia bukanlah wanita yang dimaksud Arga.

"Vi!" Panggil Nevan.


Vita segera memnuyarkan lamunannya. Lalu tersenyum kikuk pada Nevan, sambil berlari kecil kearahnya.

Namun kaki Vita terkilir hingga ia hampir terjatuh. Ya, hampir! Hingga sebuah tangan melingkar indah di
pinggang Vita, menyangga tubuhnya dengan kuat.

"Hati-hati, Ta. Kamu sering banget jatuh." Ucap seseorang itu, samar- samar terdengar nada khawatir.

Vita membuka matanya, lalu membula dengan lebih lebar. Ia tak percaya, Arga tengah menyangga
tubuhnya. Bahkan ucapan tadi, bukankah terdengar seperti kekhawatiran?

"Mister...Arga?" Vita mematung.

Tatapan itu ...

Arga tak mengatakan apapun. Ia masih diam, menatap lekat dan lebih lekat sepasang mata Vita.
Berusaha mrmasukkan Vita lebih dalam ke ingatan masa lalunya. Berusaha membuat Vita mengingat,
bahwa ia pernah melihat dan merasakan tatapan ini sebelumnya.

"Vi, kamu gpp? Sini, sama Nevan!" Ucap Nevan dengan nada possesif. Nevan segera menarik Vita hingga
gadis itu berdiri dengan sempoyongan. Arga memalingkan wajahnya, kembali pada Arga yang dingin. Ia
pergi tanpa melihat wajah Vita.

Vita memejamkan matanya, berusaha memperjelas flashback yang terjadi begitu cepat di otaknya. Cepat
dan terasa nyata. Namun fisiknya kalah, Vita merasa kepalanya tiba2 berdenyut.

"Vi, ayo pulang. Kamu butuh istirahay

###
Arga menghela nafas entas untuk ke sekian kalinya. Ia belum diizinkan memasuki ruang rawat Vita untuk
beberapa waktu. Bukan hanya Arga, seluruh orang kecuali dokter dan suster juga tidak boleh. Dan itu
membuat kecemasan setiap orang tidak bisa hilang.

Arga masih terduduk lemas dengan kaki tertrkuk dan punggung bersandar di dinding rumah sakit yang
dingin. Arga sudah melakukan itu semenjak Vita dipindahkan dari ruang operasi ke ruang rawat.

"Amnesia," gumam Arga risau. Arga sudah membaca di internet tentang kemungkinan buruk yang terjadi
pada penderita amnesia. Mk . Rasanya dunia Arga berhenti berputar. Tidak ada tiang kokoh yang
menyangga seorang Arga. Dia benar- benar kalang kabut.

"Bersyukurlah setidaknya Vita udah gak darurat." ucap Denis yang berdiri disamping Arga sambil melipat
tangan ke dada.

Arga mendongak sebentar, lalu kembali menunduk dan mengangguk.

"Vita gini gara- gara fanatik lo, Ga?" tanya Denis.

Arga kembali mendongak. Kali ini ia langsung berdiri dari posisinya agar menghormati Denis yang sedang
mengajaknya bicara.

"Bukan, Bang." lirihnya.

"Terus? Setau gue, Vita selalu dibully sama fanatik lo. Entah itu di sosmed atau di kehidupan nyata." ujar
Denis.

Arga mendesah. "Maafin gue yang gak bisa jaga Vita, Bang." lirih Arga merasa bersalah.
"Lo emang gak bisa, dan gue marah banget sama lo. Vita sampe amnesia gegara dianiaya dan lo gak tau?
Oke, abaikan posisi lo sebagai pacar Vita, tapi lo kan ketua OSIS, Ga. Masa kekerasan kayak gini bisa
terjadi di sekolah lo yang elite itu?" kesal Denis tertahan.

Arga menunduk dalam- dalam, tidak berani menatap manik Denis ataupun bersuara untuk menyahut
ucapan Denis.

"Kak Arga udah berusaha, Bang. Tapi yang namanya rencana Tuhan siapa yang tau, sih?" sela Febri.

"

Vita membulatkan mata serta mengangkat kedua alisnya. Selama beberapa detik, Vita terus menatap
Arga dengan pandangan kagetnya.

"Seharusnya saya yang kaget, bukan kamu, Avita." ujar Arga menyadarkan Vita.

Vita gugup. "Maaf, Pak." katanya sambil menunduk. Tidak berani melakukan kontak mata lagi dengan
sang dosen.

"Kamu kenapa di sini?" tanya Arga bingung. Pasalnya, ini adalah ruang pertemuan dosen, dan mahasiswa
tidak sepatutnya ada di sini.

"Saya- mau nyerahin makalah susulan saya, Pak." ungkap Vita agak tersendat karena gugup.

Arga mengangkat satu alisnya. "Di sini?" tanyanya tidak percaya.

Vita tambah gugup sekaligus panik. "Ya, kan Bapaknya gak ada di ruangan, jadi saya susul ke sini." sahut
Vita.
"Kamu tahu darimana saya ada di sini?" Arga sudah seperti wartawan. Terus memberikan Vita
pertanyaan hingga semakin menyulitkan gadis itu.

Vita menghela nafas, berusaha sabar. "Dari salah satu temen saya, Pak. Saya sempet balik ke kelas ketika
ngeliat Bapak gak ada di ruangan. Dan kata temen saya, Bapak ada rapat dengan dosen lain." terang Vita
sesopan mungkin.

Arga hanya mengangguk tanpa arti. Sedetik kemudian, ia menatap intens paras Vita.

"Saya belum selesai. Dan saya tidak mau terima makalah kamu di sini." ucap Arga.

Vita melongo. "Hah?"

Sebelum Vita melayangkan protes, Arga cepat- cepat menyambung perkataannya."Saya akan
menerimanya nanti setelah di ruangan saya.Jadi, kamu silahkan tunggu hingga rapat saya selesai." kata
Arga yang sangat Vita yakini adalah sebuah perintah.

Laki- laki dengan gaya formal itu kembali masuk ke dalam ruangan. Meninggalkan Vita yang mau tidak
mau harus duduk di kursi depan ruangan itu untuk menunggu sang dosen selesai dengan urusannya.

Vita menghembuskan nafas kasar. Dosennya memang menyebalkan. Semaunya saja memutuskan
sesuatu. Memerintah tanpa memikirkan pendapat orang lain. Menunggu tanpa suatu kepastian kapan
rapat itu akan selesai? Sungguh, Vita kesal karenanya.

Kk

"Kamu masih di sini?"


Vita mendongak. Tak sadar, sebuah ulasan senyum tipis hadir di parasnya. Ia segera berdiri untuk
menghormati sang dosen yang ada di hadapannya.

"Saya tidak ke ruangan karena ini sudah sore. Makalah itu besok saja kamu serahkan. Saya sudah mau
pulang." tutur Arga dengan ekspresi serta intonasi bicaranya yang datar. Kemudian, tanpa memikirkan
atau mendengarkan jawaban Vita, Arga telah mengayunkan langkahnya meninggalkan koridor. Lebih
tepatnya semakin menjauhi Vita yang kini berdiri mematung. Jadi, penantian Vita sia- sia?

Vita menengok ke arah Arga yang rupanya sudah tidak ada lagi di sana. Vita mendesah kecewa, tentu
saja. Rasanya sangat mengesalkan ketika apa yang sudah kita kerjakan tidak dihargai samasekali oleh
seseorang.

"Untung Vita teh sabar," lirih Vita yang berjongkok dan menundukkan wajahnya lesu.

Mungkin setelah ini, Vita akan berlaku tidak sopan pada Arga sebab Arga telah memperlakukannya
seenak jidat.

***

Vita menghentakkan langkahnya di halaman kampus. Sama dengan cuaca sore ini, pikiran Vita juga
sedang mendung. Seakan ada awan hitam di atas kepalanya hingga membuat gadis itu terus menekuk
wajah kesal.

Vita menggerutu dalam hati. Betapa teganya dosen pengganti itu menolak makalah yang sudah ia
kerjakan dengan penuh perjuangan. Meninggalkannya sendirian padahal sekarang sudah hampir magrib,
bahkan sebentar lagi akan hujan. Benar- benar laki- laku tipikal menyebalkan.

Disela kegiatan mendumel dalam hati, sesosok bayangan jatuh di retina Vita. Vita seketika berhenti,
seketika juga ia menoleh ke belakang. Melihat kembali laki- laki yang baru saja berpapasan dengannya.

Dahi Vita mengkerut. "Itu kayak Sigit mantannya Febri bukan, sih? Eh, bener, ya?" Vita bermonolog.
"Panggil gak? Kalo salah gimana?" Vita kebingungan sendiri. Alhasil, ia hanya melihat sosok itu terus
berjalan dan hilang ditikungan.

Vita mengangkat bahu. "Ya udahlah. Toh nanti kalo emang Sigit, pasti ketemu lagi." putusnya yang
kemudian kembali menoleh ke depan dan mengayun langkah. Tapi--

Brak!

Tubuh Vita menabrak sesuatu bahkan sebelum ia benar- benar melangkah. Dirasakannya semua lembar
kertas yang ia pegang terlepas.

Vita tidak jatuh, hanya saja tubuhnya yang tidak siap mendadak mundur beberapa langkah. Vita
mengangkat wajah untuk melihat apa yang ditabraknya. Namun setelah itu, Vita jadi menyesal kenapa
tadi tidak langsung lari saja.

"Kamu kenapa?" Sang dosen bertanya dengan gaya khasnya. Kedua tangan masuk ke saku celana.

Vita berdehem singkat. Ia tidak tahu mau menjawab apa, alhasil, ia hanya menggeleng dan segera
menunduk untuk memunguti kertas serta makalahnya.

Baru saja Vita hendak mengambil sebuah makalah yang terbuka, mendadak kilatan petir menyambar.
Lalu suara petir terdengar, dan akhirnya hujan turun tetes demi tetes.

"Ayo." Tangan Vita ditarik dengan cekatan hingga gadis itu langsung berdiri sempoyongan. Vita menyorot
kaget sebuah tangan yang menggenggam pergelangan tangan kanannya. Membawanya menuju sebuah
tempat beratap hingga mereka bisa berteduh.

Setelah sampai dengan wajah dan pakaian yang agak basah, Arga melepas tangan itu.
"Kenapa Bapak tarik?" cetus Vita spontan.

Arga menatap Vita. Tak lama, alisnya beradu. "Maksudnya?"

"Kenapa Bapak tarik saya? Saya, kan, harus mungut semua tugas saya, Pak. Itu sayang kalo dibuang.
Untuk revisi, saya masih bisa pakai bagian kertas yang kosong. Dan makalahnya..-" Vita menjeda
ocehannya dan menatap nanar ke arah puluhan kertas yang tergeletak tak bernyawa di tengah halaman
di bawah hujan."Itu dibuat penuh perjuangan, Pak. Saya begadang," Vita mengembalikan pandangannya
pada Arga, "Sekarang saya harus mengulang lagi, kan, untuk detensi?" cerocos Vita yang tampaknya
sudah kehilangan kebasaran. Masih untung Vita tidak mengatai- ngatai Arga sebab telah membiarkan
tugas- tugasnya basah begitu saja.

"Terus kalau kamu sakit, apa tugas itu akan merawat kamu?"

Deg!

Tidak ada yang salah dengan ucapan Arga. Namun, entah mengapa, tiba- tiba Vita membeku. Seakan
ucapan Arga barusan adalah sebuah mantra yang membuat dirinya tiba- tiba terdiam.

Mungkin lebih tepatnya, diam Vita itu karena dirinya tidak mengerti.

"Maksudnya?" Akhirnya, Vita benar- benar menampakkan ketidakpahamannya.

"Tugas yang basah itu masih bisa kamu kerjakan jika kamunya sehat. Tapi, tugas itu tidak akan bisa kamu
antar ke saya karena kamu sakit. Orang sakit tidak ke kampus, mereka akan diam di rumah!" tegas Arga
memberitahu alasannya menarik Vita dan memilih membiarkan kertas- tugas Vita berserakan lalu basah.

Vita mematung, lagi. Ia menunduk. Merasa bersalah sebab telah begitu lancang kepada dosen.
"Ma--"

"Saya paham kamu bicara seperti tadi karena terpancing. Kamu selalu begitu. Jadi, tidak usah minta
maaf." potong Arga.

Vita mengangguk patuh.

"Detensinya," Vita mendongak. "Saya tetap mau kamu mengerjakannya, hanya saja, saya beri waktu
tambahan dua hari. Ingat! Setelah itu, antar tugas kamu dan ikut ujian bersama yang lain." kata Arga lagi.

"Pak," panggil Vita yang lalu menghela nafas. "Saya cuma mau ngasih tau. Kalo misalnya gak ada yang
penting, Bapak jangan hubungi saya. Takutnya, Nevan liat, Pak. Saya gak mau Bapak diapa- apain." ucap
Vita pelan.

"Kalo saya menghubungi, berarti penting."

"Tapi, kemarin Bapak nelepon saya buat diteme--"

"Itu penting menurut saya. Makanya saya hubungi kamu. Pacar kamu ada masalah?"

"Dia selalu bermasalah sama cowok yang ada di sekitar saya, Pak."

"Sebegitu protektif?"

"Nevan gak begitu, Pak. Tapi, memang dia agak posesif. Tapi, saya yakin dia begitu karena ingin menjaga
saya. Maka dari itu, Pak, saya sangat berharap Bapak menjaga diri Bapak sendiri supaya Nevan gak
melakukan sesuatu ke Bapak."
"Selama saya tidak salah, saya tidak takut menghadapi siapapun."

"Iya, saya tahu Bapak bisa. Tapi, sayanya yang gak bisa liat Bapak kenapa- napa karena Nevan."

"Kamu tidak sedang khawatir, kan?"

"Eh? Enggak, Pak. Duh, bukan itu maksud saya. Saya hanya gak mau Nevan bermasalah sama dosen saya.
Takutnya, nanti malah nilai saya yang terancam. Saya kan masih harus detensi dan ujian."

"Jadi, nilai jauh lebih berharga dari saya, ya, Avita?"

"Enggak juga, Pak. Bapak, kan, tahu kalo kehadiran saya tanpa Bapak itu gak akan lengkap."

"Kenapa begitu?"

"Iya. Soalnya, mahasiswi yang gak ada dosen percuma saja. Mau dapat nilai dari siapa mereka?"

"Tetap saja, kamu berpikiran nilai jauh lebih berharga dari saya."

Vita nrngok org kek die kenal, pas die noleh, nabrak arga dan kaget ha makenye kertas di tngan die
behamburan. Pas die jongkok mngut eh hujan jadi tangannye ditarik arga biak beteduh. Mrlongo lh vita
nengok tugasny basah tak bernyawa.

LIMA TAHUN YANG LALU

"Aaa!"
"Aaa!"

Vita berteriak kencang sambil menutup wajahnya dengan buku yang tadi ia ambil.
Kemudian disusul teriakan lain yang dari suaranya dapat dipastikan laki- laki.

"LO GILA, YA?!" teriak mereka serentak.

Cowok itu memakai baju kemejanya, tanpa dikancing. Hingga ketika ia berjalan
mendekati Vita, seragam itu akan terkibar menampakkan otot perut yang tercetak jelas, membuat
Vita kaget bukan kepalang.

"Ngapain lo teriak- teriak?" tanya cowok itu yang kini sudah ada dihadapan Vita.

"Elo sendiri ngapain buka baju sembarangan?!" Vita berbalik nanya dengan kesal.

"Sembarangan? Elo gak tau ini loker khusus cowok? Atau lo pura- pura gak tau? Biar
bisa liatin abs cowok di sini?" sarkasnya sambil berkacak pinggang, angkuh.

"Jijay!" hardik Vita segera.

Cowok itu mengangkat sebelah alisnya, lalu memiringkan kepala, berusaha mencari celah
untuk melihat wajah Vita.

"Ya udah kali, gak usah ta—"Cowok itu terdiam mendadak.

Vita membuka wajahnya walau hanya sebatas hidung. Memperlihatkan matanya yang
indah.

Deg!

Ada getaran aneh yang menjalar di dadanya. Bahkan dalam hati, cowok itu mengakui
bahwa ia terpesona akan keindahan ini. Apalagi, tatapan tajam Vita seakan menambah daya pikat
tersendiri baginya.

"Apa liat- liat?!" sentak Vita. Kemudian, Vita berlari menjauhi cowok itu.

"Nama gue Nevan!" pekiknya. Namun Vita sama sekali tak menghiraukannya.
Anak laki- laki itu menghembuskan nafas, tak melepaskan pandangan dari perginya Vita.
Nevan mengulum senyum ketika sebuah ide terlintas dikepalanya.

Ia sudah menentukan targetnya.

{|}

Vita dengan seragam resmi Indonesia High School terus mendumel sambil mempercepat
langkah pendeknya. Merutuki kejadian di loker tadi kemudian merasakan ingin mencakar
matanya yang sudah tidak suci.

“Ta!”

Vita otomatis berhenti. Memutar tubuhnya dan melihat Arga berlari ke arahnya.

“Kamu mau ke mana?” tanya Arga begitu sudah ada didekat Vita.

“Ke kelas.” Vita menjawab.

“Buku kakak mana? Tadikan kakak minta tolong ambilin buku.”

Vita menepuk dahinya sendiri. Dia lupa kalau tujuannya ke loker khusus kelas XII adalah
untuk mengambilkan buku kumpulan soal milik Arga.

“Nih.” Ucap Vita seraya menyerahkan buku itu pada Arga.

Arga menyambut buku itu lalu mendekapnya ke dada. “Kamu kenapa?” heran Arga
setelah melihat wajah Vita yang mendung.

“Huhu, mataku ternoda.” Adu Vita sambil memajukan bibirnya ke depan.

Arga membelalak kaget.”Hah?! Maksudnya? Kamu diapain, Ta? Sama siapa?” cerca
Arga panik. Cowok dengan seragam sama seperti Vita itu bahkan mencengkeram kedua bahu
Vita. Menuntut jawaban.

Vita membulatkan mata. Reaksi Arga terlalu berlebihan. “Tenang, kak. Oke aku cerita.
Tadi tuh pas di loker, ada cowok buka baju dan aku gak sengaja liat.” Terang Vita yang diakhiri
dengusan sebal.

“Tapi, kamu gak di apa- apain, kan?” Arga mulai melihat semua pakaian Vita.
Memastikan tidak ada yang disentuh.
“Syukurnya gak ada, kak.” Balas Vita.

Arga menghela napas lega. Dengan ringan, tangannya terulur untuk menyentuh puncak
kepala Vita. “Syukurlah. Makanya lain kali nurut kalo kakak bilang kakak aja yang ambil
bukunya.” Semprot Arga memperingati.

Vita terkekeh. “Iya, deh.”

Arga dan Vita saling melempar senyum, lalu berjalan bersisian sembari membicarakan
beberapa hal.

“Kalo kamu ngambek, biasanya ngapain, Ta?” tanya Arga.

“Hah? Apa?”

"Kalo ngambek, kamu ngapain?" ulang Arga.

Vita mengetuk- ngetuk telunjuknya ke dagu, nampak berpikir. "Biasanya sih, aku bakal
ngelempar koper yang isinya poundsterling, kak." jawab Vita ngawur.

Tawa Arga menggelegar." Ngomong sama holkay emang beda, ya?"

Vita terkekeh. "Maklum, kak. Tidurnya aja pake emas berlapis dolar." balas Vita tambah
ngawur.

Arga menggeleng seraya berusaha menghentikan tawanya. "Tapi itu cuma bercanda,
kan?"

"Enggak."

"Hah, enggak?!"

"Enggak salah lagi maksudnya." ucap Vita cengengesan.

Arga lagi- lagi tak bisa menahan tawanya.

"Kalau di saat kayak gini, kamu tuh lebih cocok jadi pelawak tau, gak." seloroh Arga
yang sudah menghentikan tawanya.
Vita mengernyit. "Pelawak, ya?"

"Kalau jadi calon istri kakak aja , gimana? Cocok, gak?" ceplos Vita sambil tersenyum
sumringah.

"Apa?" Arga hanya bisa terpelongo, mulutnya terbuka sempurna. Tidak menyangka
dengan sepaket kalimat yang meluncur indah dari mulut Vita.

Astaga, Vita gercep! Rutuk Vita dalam batin.

Tiba- tiba Vita tertawa, kuat sambil memegangi perutnya. "Haduh, bercanda doang, kak.
Bercanda." ucap Vita masih tertawa.

Arga memperbaiki ekspresi wajahnya, meneguk ludah, lalu bicara dengan gugup.

"Gak jadi, kamu gak bakat jadi pelawak." kata Arga.

Vita yang sudah mampu menguasai tawanya pun langsung mengangguk. "Iya. Aku juga
memang gak minat jadi pelawak. Cewek cantik kayak aku tuh cocoknya jadi ibu- ibu sosialita.
Kan akunya holkay atau HOLANG KAYAHHH." gurau Vita.

Arga menutup hidungnya. "Hawa mulutmu gak enak, Ta."

Senyum di bibir Vita memudar seketika. "Ye elah nyebelin amat." jengah Vita sambil
memutar matanya malas.

Arga tertawa."Bercanda, Ta. Lagian kamu kan sikat giginya pake parfum Casablanca
kelas elit, jadi pasti wangi."

Vita ingin sekali tertawa keras- keras sekarang. Lawakan garingnya dibalas lawakan juga.
Biasanya, tidak akan ada yang mau meladeni Vita. Tapi, Arga berbeda. Dan Vita jatuh hati
padanya karena itu.

“AK!” panggil seseorang sambil menepuk bahu Arga.

Arga menoleh. “Ya, Ben?” sahutnya.

“Ikut ke ruang Osis.” Titah cowok itu—Ben.


“Oh, oke.” Arga mengangguk. Mengode Ben agar pergi terlebih dahulu. Seakan
mengerti, Ben pun mengacungkan jempol dan sempat mengerling untuk menggoda Vita.

“Kakak ke ruang Osis dulu, ya.”pamit Arga.

“Oh, oke.” Sahut Vita.

“Cie, jawabannya sama kayak kakak.” Arga menoel lengan Vita.

“Haha, apasih? Udah sanaa,” Vita mendorong tubuh Arga. Menyuruh cowok itu
menyusul wakilnya menuju ruang Osis. Untunglah, ketua Osis itu menurut.

Vita menggeleng geli dengan tingkah Arga. Tiba- tiba, kedua pipinya terasa panas.
Mungkin, memikirkan bagaimana indahnya pertemuan pertamanya dengan Arga mampu
menyuntikkan adrenalin di dirinya. Sebab, Vita sering deg degan hanya karena memikirkannya.

“Kakak seneng kok bisa merhatiin kamu. Kamu Avita Dwi Fabdilla, kan? Kakak panggil
‘Ta’, ya? Lucu soalnya.”

Oh, tolong. Vita kepanasan.

Vita berbelok ketika melewati sebuah pertigaan. Ia hendak ke toilet. Sesampainya di


sana, Vita masuk ke salah satu bilik. Semenit kemudian, tepat ketika Vita membuka pintu bilik,
seorang lelaki jangkung tengah duduk di atas meja di mana dua wastafel terletak.

Vita memelotot. “Lo?!”

“Hai.” Nevan menyeringai.

Vita tersulut, kenapa harus bertemu cowok mesum ini di—toilet wanita?

“Lo ngintip ya, anjir?!” tuduh Vita sambil menunjuk Nevan.

Nevan terkekeh. Memainkan punting rokok yang sudah habis separuh tanpa menjawab
tuduhan Vita. Membuat Vita semakin kesal tak karuan. Kemudian dengan tenaga yang kuat, Vita
pukul kepala Nevan dengan tangannya sendiri.

"GUE NANYA DIJAWAB KEK!" teriak Vita frustasi.


Nevan meringis singkat. "Buset. Parah sih lo main geplak aja." Nevan mengusap- usap
kepalanya yang menjadi korban kekerasan Vita.

"Lo tuh yang parah! Mesum banget sampe ke toilet cewek!" gerutu Vita.

"Jodohnya Nevan kok marah mulu?" rayu Nevan sambil mencubit pipi Vita.

Vita menepis kasar tangan Nevan yang ada di pipinya. Lalu, ia layangkan tangannya
untuk memukul kepala Nevan lagi. Namun, dengan mudah Nevan memegang tangan Vita
sebelum tangan itu kembali menghakiminya.

Vita terbelalak dengan apa yang Nevan lakukan. Sangat amat iseng, Nevan menghisap
rokok dan menghembuskan asapnya ke wajah Vita.

"Beg— uhuk! Uhuk!" Vita terbatuk begitu hidungnya menghirup asap rokok. Nafasnya
seperti tercekat dan mata Vita jadi memerah.

"Vita?!" seru Nevan panik. Ia jatuhkan sisa rokoknya dan ia jejak agar apinya padam.

"Lo gapapa?" tanya Nevan sambil menangkup wajah Vita.

PLAK!

Vita mendorong tubuh Nevan setelah menampar pipi mulus Nevan. Membuat kulit
Nevan yang mulus berubah agak kemerahan.

Nevan mematung, namun matanya menatap wajah Vita yang tertekuk kesal. Mulai
menghela napas ketika Vita berbalik dan melangkah menjauh. Dipandangnya punggung cewek
itu hingga hilang dibalik pintu.

Nevan tersenyum miring, Vita memang yang ia inginkan.

{|}

Dengan langkah yang dihentak- hentakkan, Vita keluar dari toilet. Berencana masuk
karena malas bertemu lagi dengan cowok menyebalkan itu.
Vita tak habis pikir, kenapa ia harus ditakdirkan terus bertemu Nevan? Vita merinding
setiap kali mendengar pertemuan tak menyenangkannya bersama cowok itu. Vita ingin muntah,
apalagi cowok itu berani menggodanya bahkan saat mereka tidak saling mengenal.

Tapi, Vita tidak bisa mengelak, bahwa… Nevan itu tampan. Tinggi, hidung mancung,
mata tajam, dan kulit putih. Sekilas seperti tampan tanpa cela. Tapi, Nevan ada cela. Dia mesum.

"Dwi!" panggil seseorang dari belakang.

Vita menghentikan langkahnya. Sejurus kemudian dahinya mengkerut bingung. Siapa


yang memanggilnya seperti itu?

Dengan penasaran, Vita menoleh. Dan kerutan di dahinya semakin dalam tatkala melihat
Nevan berjalan ke arahnya.

"Ngapain lo manggil gue gitu?" tanya Vita begitu Nevan sudah berapa didekatnya.

"Kenapa? Nama lo Avita Dwi Fabdilla, kan?" ucap Nevan seraya menunjuk dada bagian
kanan Vita.

Vita memelotot, lalu dengan cepat ia tampar tangan Nevan yang menunjuk ke arah
dadanya. "Jangan tunjuk- tunjuk dada gue, anjir!" hardik Vita kesal.

"Gue gak nunjuk dada lo, ya. Gue cuma liat name tag di seragam lo." sahut Nevan
enteng.

Vita berdesis singkat, sambil matanya menatap Nevan tajam. Kalau saja tatapan dapat
melukai seseorang, mungkin Nevan sudah terbelah dua sekarang.

"Oh iya Dwi, lo mau kemana?" tanya Nevan sumringah.

Alih- alih menjawab, Vita malah berekspresi geli. "Panggil gue pake nama yang biasa aja.
Geli gue denger panggilan itu dari mulut lo." cetus Vita.

Nevan menggeleng, menegaskan penolakannya. "Gue pengen manggil lo dengan


panggilan beda. Khusus punya gue." tutur Nevan.
"Aneh! Biar dibilang apa coba lo kek gitu?" ada nada meremehkan ketika kalimat itu
meluncur dari mulut Vita.

Nevan senyum ganteng. "Biar dibilang romantis." ungkapnya.

"PRET!" sentak Vita spontan.

"Lo manis deh, Dwi." puji Nevan.

"Makasih." balas Vita seadanya.

"Dan gue suka." tambah Nevan lagi.

Vita bagai tersedak air ludah sendiri. Ia terbatuk dengan mata membulat kaget. Nevan
tidak waras, seenaknya saja bilang begitu. Apa dia tidak malu?

"Tapi gue enggak. Wlek!" Vita menjulurkan lidahnya untuk mengejek Nevan.

"Bukan enggak, tapi belom." ujar Nevan menambahkan.

“Vita?”

Vita terlonjak. Suara itu, suara berat tapi selalu sempurna di telinga Vita. Vita mengambil
ancang- ancang untuk berbalik badan. Namun, belum sempat Vita melakukan niatnya, satu
gerakan dari Nevan berhasil membuat Vita terpaku.

Vita membelalak, ia bisa mencium parfum mint khas cowok yang maskulin. Dan detik
berikutnya wajah Vita memerah, hingga ke telinga.

Arga kaget, tentu. Gadis yang selama ini Arga suka dan Arga impikan tengah dalam
dekapan seseorang. Bodohnya lagi Arga tak mampu melakukan apapun.

Lalu sebuah smirk meremehkan tercetak di wajah tampan Nevan. Mata bak elangnya
terfokus pada wajah kaget sekaligus kesal milik Arga.

Nevan memeluk Vita. Memeluk gadis itu dengan satu tangannya, sedangkan tangan yang
lain dimasukkan ke dalam saku celana.

"Nevan, apa- apaan, sih?!" gertak Vita berusaha melepaskan diri dari pelukan Nevan.
Sungguh, Nevan hanya menggunakan satu tangannya untuk memeluk Vita. Tapi
tenaganya cukup kuat untuk membuat Vita kewalahan dalam usahanya memberontak. Vita
memukul dada Nevan keras- keras, bagaimana pun asal mampu keluar dari jeratan Nevan.
Namun Nevan sama sekali tak terpengaruh dan tak memerdulikannya.

"Silence, or i'll kill him." titah Nevan dingin.

"H-hah?" bingung Vita. Bukan karena tidak mendengar, tapi karena tidak mampu
menangkap maksud ucapan Nevan barusan.

"I want you to silence. If not, Arga will die!" ucap Nevan lagi.

Vita terdiam. Kini kakinya gemetar. Vita memejamkan mata dan menggeleng pelan.
Untuk dalam keadaan sempit seperti yang Vita alami sekarang, gertakan Nevan begitu serius di
telinga Vita.

Vita menggeleng kuat, dalam artian berjanji akan diam dan berharap Nevan tidak akan
melakukan apapun pada Arga. Arga menggeram kesal. Tak sabar. Arga pun menarik pergelangan
tangan Vita hingga pelukan Nevan terlepas begitu saja.

Lalu, Arga membawa Vita berjalan menjauhi Nevan. Arga butuh ruang berdua untuk Vita.

{|}

Satu hari sebelumnya.

Anak laki- laki tampan itu bersandar di kursi kantin. Bangku paling tengah yang tentu
akan jadi pusat perhatian jika ia mendudukinya. Nevan tak perduli, ia tetap memasang wajah
datar. Masa bodoh, ia hanya ingin bersantai sejenak.

"Bro?" panggil seseorang ramah.

Dahi Nevan mengkerut. Ia membuka mata, namun kembali menutupnya tanpa merespon
panggilan itu.

"Gue boleh duduk di sini?" tanya cowok itu sembari mengambil ancang- ancang untuk
duduk.
Namun yang dilakukan Nevan benar- benar diluar dugaan.

Anak laki- laki itu mengangkat kedua kakinya ke atas meja dan melipat tangan ke dada.
Semakin mengabaikan banyak pandangan tak suka atau bahkan cibiran buruk untuknya. Sebagai
murid pindahan, sikap Nevan terlampau berani dan kurang ajar.

"Lo mending pergi sebelum gue hajar." ancam Nevan dingin.

Cowok itu meneguk ludah kasar. Kemudian dengan langkah cepat ia meninggalkan
Nevan dengan 'bangku' kekuasaannya.

Nevan membuka mata, menghadiahkan pandangan dingin untuk semua orang yang
menatapnya. Wajah datar yang siap sedia untuk kaum hawa yang menyukai ketampanannya atau
kaum adam yang mencoba berteman dengannya.

Nevan benci orang- orang asing yang berusaha masuk ke kehidupannya. Mengganggu.
Nevan tak suka diusik.

Tangan Nevan merogoh saku celananya. Mengeluarkan benda pipih yang Nevan beli
dengan harga mahal lalu digunakannya benda itu untuk bermain game.

Nevan tenggelam dalam dunianya. Dunia yang selama ini menemani keseharian Nevan.
Kecuali, jika Nevan lebih memilih menyalurkan kebosanannya lewat kekerasan. Seperti
menghajar orang- orang yang menentangnya? Hal sekasar itu sudah biasa bagi Nevan.

Nevan mendelik ketika seorang cowok berseragam menggeser posisi kakinya. Apalagi
deheman cowok itu begitu mengganggu di telinga Nevan.

"Pergi." titah Nevan dingin.

"Lo Nevaniel Geraldie?" tanyanya sembari duduk didepan Nevan. Karena telapak kaki
Nevan tepat dihadapan wajahnya, cowok itu pun kembali menggesernya.

"Gue Arga, ketua OSIS Indonesia High School." tutur cowok berseragam itu- Arga
sambil tersenyum ramah.

"Gak perduli." sangkahnya acuh.


Arga mengangkat satu kakinya ke atas paha, lalu ia bersender dan melipat tangan ke
dada. "Gue tau apa yang udah lo lakuin di sekolah sebelumnya sampe harus pindah ke sini." ujar
Arga sarkas.

Nevan mengangkat sebelah alisnya. "Bukan urusan lo." tukasnya.

Arga tersenyum miring. Lalu ia berdiri dan kembali menggeser kaki Nevan. Kali ini
dengan kuat hingga kaki Nevan jatuh ke bawa.

Merasa diremehkan, Nevan pun bangkit dan menggebrak meja. "Maksud lo apa, hah?!"
teriaknya marah.

Sontak, semua yang ada di kantin terdiam. Mata mereka membulat kaget.

Arga pasang wajah datar, tak kalah dingin dari Nevan. "Berbuat onar di sini, lo gue
tunggu di BK." ucap Arga sarkartik lalu meninggalkan kantin.

Nevan diam. Namun mata tajamnya yang sarat akan amarah terus menatap Arga, tidak
peduli meski cowok itu bahkan sudah hilang di keramaian kantin.

Nevan ditantang? Bagus, Nevan suka tantangan. Baginya hidup adalah tentang
bagaimana kita menyelesaikan suatu hambatan, bukan hanya sekedar menjalani keseharian
membosankan.

Nevan tersenyum miring. Peringatan Arga tadi lebih mirip ajakan dipikiran Nevan.
Mungkin, Nevan akan membuat masalah nanti?

Nevan siap melakukannya.

{|}

Nevan berhasil keluar kelas dengan alasan sakit maagh, padahal penyakit seperti itu tidak
pernah Nevan alami. Lagipula, cowok itu sudah makan di istirahat pertama tadi.

Nevan memasukkan tangan ke saku celana, sedangkan tangan satunya ia gunakan untuk
bermain ponsel. Tak lupa, sepasang headshet menyumpal telinganya.
Nevan berencana untuk pergi ke rooftop, karena ia yakin tidur di perpustakaan tidaklah
aman. Bisa- bisa jatah tidur siang Nevan terpotong karena ocehan orang yang memergokinya.

Nevan hendak belok ditikungan ketika matanya menangkap sosok yang tak asing.

Gadis dengan seragam yang terpasang rapi itu tampak berjalan beriringan dengan cowok
yang wajahnya cukup familiar bagi Nevan, namun sulit untuk ia ingat.

Abaikan dulu cowok itu, Nevan penasaran dengan gadis itu. Gadis yang membuat Nevan
jatuh hati pada pandangan pertama. Hanya dengan sebuah pelototan gratis yang gadis itu berikan
untuknya.

Nevan menarik kerah kemeja seorang cowok berkacamata bulat yang lewat
disampingnya. Lalu dengan wajah dingin ia bertanya, "Kenal cewek itu?" tanya Nevan sambil
menunjuk gadis yang ia maksud.

Si kacamata bulat itu memicing, lalu ia mengangguk dengan gemetar. "Itu namanya
Avita. Pa- pacarnya Arga." jawabnya.

Nevan menyipit tak suka, kemudian didorongnya si kacamata bulat itu hingga terjatuh ke
belakang.

"Pergi." titah Nevan yang sukses membuat si kacamata ketakutan. Ia pun segera berlari
menjauhi Nevan.

Nevan mendengus. Titik fokusnya hanya satu. Vita dan Arga.

Nevan berdecih, rupanya wanita—yang tidak sengaja Nevan jambak rambutnya sewaktu
di kantin dan membuat Nevan jatuh cinta hanya dari pelototannya—tengah dekat dengan Arga?
Ketua OSIS yang dengan lagaknya menantang seorang Nevaniel Geraldie? Nevan sungguh
merasa tertantang.

Seperti yang Nevan katakan, ia suka tantangan. Dan Vita adalah tantangan tersulit yang
pernah Nevan hadapi. Tapi sesulit apapun, Nevan tak akan menyerah. Nevan tak mau kalah.
Bagaimana pun, ia akan menaklukkan apa yang menjadi tantangannya.
Sebuah senyuman miring terukir di bibirnya. Nevan sudah memutuskan, ia akan
membalas Arga dengan cara yang lebih menyakitkan.

Merebut Vita, mungkin? Nevan rasa itu ide yang bagus. Lagipula sejak pertama kali
melihat Vita, Nevan sudah jatuh hati padanya. Jadi, alasan itu sudah cukup bagi Nevan untuk
melancarkan aksinya.

Vita berbeda, dan itulah yang Nevan sukai.

Lamunan Nevan buyar ketika Vita dan Arga berjalan ke arah yang berbeda.

Nevan pun bersembunyi agar kehadirannya tidak dilihat Arga. Setelah Arga melewatinya,
barulah Nevan berjalan cepat menyusul Vita.

***

Tiga hari kemudian.

Ada persaingan tak kasat mata antara Arga dan Nevan. Hanya siasat- siasat nyata yang
mereka lakukan guna memenangkan taruhan yang mereka buat beberapa hari lalu. Arga sesering
mungkin menghampiri Vita, mengajak gadis itu ke kantin, membicarakan banyak hal, tertawa,
memberikan beberapa hadiah pada si gadis, dan banyak perhatian lainnya. Sedangkan Nevan
semakin gencar mendekati Vita. Pernah suatu hari Nevan mengikuti Vita UKS agar bisa
menemani gadis itu yang mungkin sedang sakit. Tapi, bukan Vita, melainkan temannya yang
terluka. Tapi meski begitu, Nevan tetap mengikuti. Berusaha sok paham dengan mencoba
membantu mengobati luka temannya Vita, tapi berujung dengan obat merah ditangannya
mengotori lantai dan termasuk tangan Vita. Vita mengomel, menarik Nevan keluar UKS. Tapi,
setelahnya, meski dengan kesal dan tidak berperasaan, Vita mengelap tangan Nevan.
Menyentuhnya, lalu mengusapkan tisu itu secara kasar. Tak apa, itu perkembangan bagus.

Ini puncaknya, Arga tak suka gadisnya diganggu. Vita miliknya, dan Arga harus segera
menetapkan hal itu.

Ini istirahat, dan Arga sudah berapa di depan kelas Vita. Dengan kakinya yang bergerak
gelisah serta dirinya yang gugup setengah mati. Misinya kali ini sangat mendebarkan, Arga takut
tidak sesuai dengan ekspetasinya.
“Kak!” seru Vita yang baru saja keluar kelas.

Arga mendongak. Tersenyum. “Hai. Yuk.”

Arga menarik lembut pergelangan tangan Vita menjauhi kelas dan korior. Dengan
langkahnya yang tergesa- gesa Arga membawa Vita ke taman. Tempat yang ingin Arga jadikan
saksi bisu bagaimana segala perasaannya terungkap.

"Ta.."panggil Arga sambil membalikkan badannya agar menghadap Vita.

Arga tersenyum. Dan seperti seorang anak kecil yang penurut, Vita kini ikut menatap
Arga dengan seulas senyum manis menghiasi bibirnya.

“Ta, pertemuan pertama sama kamu adalah takdir. Setiap waktu di mana kita bertemu,
tanpa disengaja, juga adalah takdir. Begitu juga dengan rasa ini. Takdir terindah dari Tuhan, Ta.”

Vita termangu. Ia mengerjapkan matanya, tidak mengerti.

Arga menarik napas. Mengulas senyum terbaik. “Avita Dwi Fabdilla, maukah kamu
menjadi satu- satunya gadis yang kakak impikan, kakak butuhkan, kakak ingin bahagiakan, dan
kakak miliki seutuhnya?" tanya Arga sembari berlutut didepan Vita dengan satu tangannya
menengadah.

Vita membulatkan mata, dan rahangnya hampir saja jatuh karena terlalu terbuka. Vita
mengerjap lagi, bersamaan dengan dahinya mengkerut tak percaya. Vita menengok ke sekeliling,
memastikan bahwa ia tengah menapak di tanah, tidak terbang karena terlampau senang.

Lalu, Vita mencubit pipinya yang berakhir dengan cewek itu mengaduh kesakitan.
Sejurus kemudian Vita kembali menaruh pandangan pada Arga. Dan detik berikutnya sebuah
senyum memesona tercetak di bibir pinknya.

Melihat senyum Vita, seakan ada sebuncah harapan yang hadir dalam benak Arga. Rasa
yang selama ini hanya mampu ia rasaakn dan tak pernah ia utarakan sebentar lagi akan terbalas

Vita pasti menerimanya, kan?


"Kak.." Vita menunduk, menatap rerumputan yang sedang ia injak. Perlahan namun pasti
senyumnya memudar, berganti dengan raut wajah yang Arga sendiri tidak bisa mengartikannya.

Tidak, jangan sampai Vita menolaknya.

"Aku gak bisa, kak." kata Vita pelan, ada nada terluka di sana.

Arga hampir saja jatuh terduduk jika ia tidak cepat- cepat menggunakan tangannya untuk
menopang tubuh. Sungguh, Arga tidak salah dengar, kan? Vita menolaknya?

Hanya Vita satu- satunya wanita yang mampu membuat Arga jatuh hati. Vita adalah
wanita yang mengajarkan Arga tentang apa itu cinta dan apa penubjang suatu hubungan. Vita
tidak sempurna, tapi Arga berkeinginan untuk menyempurnakannya.

Dan Arga tak habis pikir, mengapa Vita menolaknya? Apa Vita tidak menyukainya?

Arga bangkit, menatap lurus- lurus dua manik hitam Vita. "Kenapa, Ta?" tanya Arga.

Vita terlihat menghela napas. Butuh beberapa detik hingga akhirnya ia mendongak dan
membalas tatapan Arga.

"Gak bisa nolak maksudnya." lanjut Vita yang kemudian terkekeh.

Ya ampun!

Jantung Arga rasanya ingin copot ketika mendengar penolakan Vita, dan kini gadis itu
malah nyengir manis. Arga tersenyum lega, bahkan sempat tertawa begitu menyadari bahwa Vita
mengerjainya.

Arga mengangguk. "You are my little girl." tutur Arga sambil menatap Vita.

Vita mengulas senyum paling manis miliknya. "Yes, I'm yours." sahut Vita.

Kemudian, Arga dan Vita saling mengangkat tanga. Menyatukan telapak tangan mereka
lalu mulai menempelkan satu demi satu jarinya.

Bagi Arga, tak ada yang sempurna, bahkan sosok Vita juga. Namun, Arga tetap
mencintainya, sebab baginya wanita adalah tulang rusuk yang bengkok. Akan patah jika
diluruskan secara paksa. Arga harus menuntunnya dengan sabar, memperbaiki kesalahannya
dengan perlahan. Sehingga tidak akan menyakiti wanitanya. Dan Arga kini sudah selangkah
dalam memulai, Vita sudah jadi miliknya.

Dan bagi Vita, memiliki Arga adalah kesempurnaan hidupnya. Karena Arga adalah
terbaik dari yang terbaik. Arga adalah orang yang tepat bersama Vita, karena pria itu selalu bisa
memperbaiki serta mengajari Vita dengan lembut. Itu yang Vita butuhkan.

***

Vita bahagia. Hanya ada dia dan Arga dalam hubungan ini. Tidak ada yang mengganggu.
Selintas, Vita lega, namun agak bingung. Bertanya- tanya, di mana cowok mesum yang suka
mengganggunya itu? Masih hidup atau tidak?

Vita pun berjalan menuju taman, ia berencana menemui Arga, mungkin Arga sudah
menunggunya di sana. Sambil bersenandung pelan, Vita menengok kanan kiri. Dan sambil
memegangi perutnya yang terasa nyeri karena sedang kedatangan tamu bulanan.

Vita berjalan terus tanpa menyadari bahwa tali sepatunya tidak terikat. Hingga kita satu
ayunan langkah Vita menginjak tali sepatu itu dan sukses membuatnya hampir tersungkur.

Vita menunduk, kemudian mendengus sambil menepuk jidatnya sendiri. Ia akui ia


ceroboh dan hampir membuatnya mempermalukan diri.

Vita pun berjongkok dan mengikat tali sepatunya dengan kuat. Pokoknya jangan sampai
lepas lagi. Untuk sesaat Vita mengeluh, kenapa tidak dibuatkan saja sepatu tanpa tali atau
perekat? Asal masuk saja, kan tidak repot.

Vita mengusap- usap kedua ujung sepatunya. Hendak berdiri dan melanjutkan perjalanan,
hingga sebuah suara yang tak asing tertangkap oleh indera pendengarannya.

"Gue menang saingan, Van. So, jauhin Vita."

Vita mengerutkan dahi. Merasa namanya disebut- sebut dalam pembicaraan yang
sepertinya penting, Vita pun menengok ke sebelah kirinya yang merupakan persimpangan
koridor.
Dan apa yang Vita lihat langsung membuatnya membulatkan mata. Itu Arga dan Nevan.
Apa yang Arga katakan barusan? Saingan apa? Apa urusan yang terjadi di antara mereka?
Bukankah Arga dan Nevan tidak pernah akur? Ia pun berdiri dan bersembunyi dibalik tembok
untuk menguping percakapan antara Arga dan Nevan.

Di koridor itu, Arga dan Nevan nampak saling menatap tantang. Tersirat kekesalan yang
dalam dari sorot mata Nevan. Bagaimana Arga bisa memiliki Vita?

"Lo curang." cetus Nevan dingin.

Arga tertawa kecil. "Lo kalah. Dan sesuai perjanjian kita, kalo gue menang saingan ini, lo
harus jauhin Vita." ucap Arga.

Nevan memandang sinis pada Arga. "Dwi is mine."

"Kalo lo lupa, gue adalah pemenangnya di sini. Vita pacar gue." sahut Arga.

Nevan memalingkan wajah. Kesal. Tentu Nevan sangat murka. Ingin sekali ia menghajar
Arga habis- habisan sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Namun Nevan akan dicap pengecut jika
melakukan itu. Tidak masalah, Nevan akan menghabisi orang lain saja nanti.

"You lost." tekan Arga seraya tersenyum miring pada Nevan.

"Iya. Hebat ya kakak bisa menang."

Arga dan Nevan secara kompak menoleh ke sumber suara. Detik berikutnya mereka
sama- sama kaget. Orang yang tengah mereka perebutkan kini berdiri dengan wajah yang cukup
pucat, namun tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya.

Arga dan Nevan meneguk ludah secara bersamaan. Sial, jangan sampai Vita mendengar
percakapan mereka.

"Ta, kakak cu—" Ucapan Arga langsung disela Vita. "Bener ya, kakak tuh hebat dalam
segala hal. Jadi, untuk masalah persaingan ini aja kakak hebat. Selamat, kak. Udah dapetin
hadiahnya, kan?" kata Vita sambil mencetak senyum paksanya.

Arga menggeleng. "Ta, dengerin kakak du—"


"Perut aku sakit, kak. Aku ke kelas dulu, ya." pamit Vita dan segera berbalik. Namun
sebuah tangan mencekal tangan Vita. Ketika Vita menoleh, Nevan berdiri dengan wajah yang
sama piasnya dengan Arga.

"Dwi, gue mau ngomong." ujar Nevan.

Vita menggeleng lemah. "Gak bisa. Bentar lagi masuk." tolaknya.

"Bentar doang, Dwi." bujuk Nevan.

Namun Vita masih menggeleng. Ia menarik tangannya dari cekalan Nevan dan terus
berjalan. Butuh kekuatan besar agar Vita tidak menangis di sana. Butuh ketahanan kuat supaya
Vita tidak berteriak lantang, mengeluarkan kekecewaannya pada dua orang yang dengan tega
mempermainkan perasaannya. Menjadikannya objek taruhan. Memangnya perasaan sebercanda
itu?

***

Tak akan ada yang baik- baik saja ketika perasaan dipermainkan. Itu yang dirasakan Vita.
Ia tertawa riang bersama para sahabatnya, lalu izin ke toilet dan menangis di sana. Bagaimana
bisa senior yang ia sukai sejak awal pertemuan mampu menjadikannya sekedar objek taruhan?
Apalagi, itu dilakukan Arga bersama Nevan, makhluk paling Vita hindari.

Nyatanya, Vita memang tidak boleh semudah itu terbawa perasaan. Pun jika itu adalah
Arga, atau laki- laki mana pun yang ia anggap baik, Vita tetap tidak boleh sembarangan menaruh
kepercayaan. Beberapa orang terkadang memakai topeng manis untuk menutup berbagai mimik
asli mereka.

Kak Arga

Taaa

Kakak mau jelasin

Ketemuan ayuuuk

Kakak janji jelasin selengkap lengkapnya


Taaaa:(

Vita mendengus. Arga bawel sekali. Lagipula Vita tidak tahu, haruskah menemui Arga
dan membiarkan lelaki itu memberikan penjelasannya?

Tidak. Jawabannya tidak. Vita pun menyimpan ponselnya di bawah kasur. Lalu berkenala
ke alam mimpi meski sebenarnya ia sedang tidak mengantuk.

{|}

Mobil sedan hitam langsung memotong jalan dan berhenti tepat didepan Arga. Arga
langsung mengerem motornya. Arga mulai merasa curiga ketika mobil itu menutup jalan, atau
lebih tepatnya, mengepung secara sengaja.

Arga langsung membuka helm dan turun dari motor dengan tatapan tajamnya yang tak
berpindah dari mobil itu. Mengesampingkan tujuannya untuk sampai ke rumah Vita.

Satu orang berpakaian all black keluar dari sedan. Wajah lelaki itu mengenakan masker,
dan kepalanya tertutup topi. Semakin tampak misterius di mata Arga.

Arga semakin mempererat pegangannya pada tangan Vita. Semakin merasa terancam kala
dua orang itu mendekat ke arah mereka.

"I must do something for you." Ucapnya.

Arga menatap tajam. Siap melawan kapan pun jika mulai diserang.

"Who are you?" tanya Arga.

"Kita gak saling kenal, tapi kita akan bersenang- senang." jawab cowok itu.

Arga mengkerutkan dahi tak paham. Sedetik kemudian, sebuah tendangan menghujam
punggung Arga. Membuat Arga tersungkur dengan wajah yang hampir terseret ke aspal.

Arga bangkit. Menyerang balik cowok itu. Lengah, satu tinjuan telak didapati sang
cowok hingga topinya terlepas. Arga berang, namun tak lama ia tertegun.

“Ne—van?”
Mata cowok itu membulat. Secepat kilat ia menghujani Arga dengan serangannya. Arga
sempat melawan beberapa kali, tapi kelengahan sedetik saja membuat Arga terjerembab. Rahang
dan sudut matanya lebam, serta darah keluar dari mulutnya. Pakaian Arga yang tadinya bersih
kini bercampur tanah dan darah dengan beberapa bagian sobek.

Rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuh dan menggerogoti dada membuat Arga
kesulitan bernafas. Ia sempat mendengar suara mobil menjauh sebelum trlinga berdengung. Mata
dan kepalanya terasa berat. Akhirnya Arga terpejam.

Arga kehilangan kesadarannya.

{|}

Vita merosot saat itu juga. Di lantai rumah sakit yang dingin, bersama Febri dan Rilya.
Tangisnya pecah. Vita tidak bersungguh- sungguh tentang dirinya yang marah pada Arga. Vita
hanya emosional, seharusnya ia tidak mengabaikan cowok itu. Karena sekarang, kata dokter,
kemungkinan Arga untuk selamat sangat tipis.

“Dwi..”

Vita mendongak cepat. Menyorot penuh benci pada Nevan yang berdiri di antara dua
polisi.

Ia berdiri. "Gue benci lo, sumpah!" hardik Vita kesal sambil menangis.

Nevan memalingkan wajahnya, teringin mengacuhkan gadis yang menangis sesegukan


dihadapannya. Namun dari hatinya yang paling dalam ia tak bisa, ia tak suka melihat Vita
menangis.

"Kak Arga salah apaan sampe lo sebegini benci sama dia?!" tanya Vita kesal. Bahkan
bertambah kesal tatkala Nevan masih saja membisu.

"Gue nanya! Lo jangan diem aja!" teriak Vita sekuat tenaga.

Berteriak sambil menangis sesegukan sungguh menyesakkan. Namun Vita mengabaikan


penderitaannya sendiri. Ia hanya butuh jawaban dari Nevan, namun pemuda itu hanya diam tak
merespon. Amarah Vita menggebu- gebu. Kekhawatirannya semakin memuncak tatkala terlintas
segala kemungkinan yang bisa saja terjadi pada Arga karena cedera yang dialami.

"Gue nanya, Van. Plis jawab." Ucap Vita.

Vita hendak melangkah ketika tiba- tiba kakinya tak mampu menopang tubuhnya.
Akhirnya tubuh Vita jatuh ke lantai. Ia menangis sekeras- kerasnya, layaknya anak kecil.

"Maaf, Dwi.. " sesal Nevan tak mampu menahan keperduliannya. Ia pun ikut berjongkok
dengan wajah bersalah.

Sedangkan Vita tak menghiraukan apapun dan siapapun, ia tetap menangis. Sebenarnya
bukan karena Nevan, tapi jelas karena Arga.

"Dwi.." Panggil Nevan pelan. Ia tatap lekat- lekat sepasang mata yang tak henti- hentinya
mengeluarkan air mata itu.

"Gak usah sentuh gue!" Vita menyingkirkan tangan Nevan segera setelah ia merasakan
sentuhan di pundaknya.

"Tenang, Dwi. Plis tenang dulu." Ucap Nevan.

Vita menatapnya tajam. "Gue gak butuh lo! " hardiknya lagi.

"Maaf. Dwi, gue bener- bener minta maaf." Pinta Nevan melirih.

Ia sungguh menyesal telah menghajar Arga. Ia tak tahu jika Vita akan se menderita ini
ketika melihat Arga tak sadarkan diri. Sungguh, Nevan menyesal. Jika bisa diulang, ia akan
memilih untuk menerima semuanya dengan lapang dada, tidak menggunakan kekerasan seperti
ini.

"Maaf dari lo juga ga bakal bangunin Kak Arga! Jadi mending lo pergi!" usir Vita.

Nevan mengacak rambutnya frustasi. Namun ia tetap tak menyerah. Nevan masih setia
menunggui Vita hingga gadis itu selesai menangis. Vita tentu saja risih karena Nevan terus
menerus menatapnya. Akhirnya Vita pun menyeka air matanya, lalu berdiri.

"Gue baik- baik aja. Dan gue bakal lebih baik-baik aja kalo lo pergi dari sini." Ucap Vita.
Nevan yang awalnya melihat Vita sambil mendongak kini ikut berdiri "Tapi Dwi—“

"Apanya yg tapi?! Lo ga bisa jawab pertanyaan gue, kan? Jadi sekarang lo disini mau
ngapain, hah?!" Ucap Vita kembali meninggikan bicaranya.

Nevan menekuk wajahnya kesal. "Gue suka lo, dan alasan gue ngehajar Arga ya cuma
karena gue suka sama lo, Dwi!" Balas Nevan akhirnya menjawab pertanyaan Vita.

PLAK!!!

Sebuah tamparan keras tepat mengenai pipi kanan Nevan. Vita yg sudah terlewat marah
merasa ingin menghajar Nevan lebih parah lagi. Namun tamparan ini bukan untukk menyakiti
tubuh Nevan saja, namun juga hatinya. Setelah ini, Vita berharap Nevan akan membencinya. Jika
rasa yang Nevan miliki untuk Vita malah akan membahayakan Arga, Vita akan memilih untuk
membuat Nevan benci padanya. Agar ia bisa pastikan, Arga baik- baik saja.

Namun setelah tamparan itu, Nevan tak bereaksi. Bahkan ia tak memegangi pipinya yang
memerah dengan cap lima jari milik Vita tertinggal disana. Nevan tak menatap Vita, atau bahkan
bergerak. Namun dadanya naik turun, sepertinya Nevan juga sama marahnya seperti Vita.

"Itu untuk Kak Arga. Apa yang udah lo lakuin ke dia jauh lebih sakit dibanding tamparan
ini." ucap Vita sembari meninggalkan Nevan.

"Dwi." Panggil Nevan sambil menghentikan langkah Vita.

Vita menarik nafasnya dalam- dalam. Mau apalagi dia? Batinnya.

"Gue gak akan pernah benci sama lo." Ucap Nevan dengan tatapan sendu.

Vita menoleh menatap wajah itu. Sekali lagi, Nevan bersikap terlampau tenang.
Tamparan yang masih membekas itu tidakkah sakit? Kenapa Nevan bisa setenang ini?

Vita tak menjawab, ia hanya berdecih kemudian meninggalkan Nevan.

Setelah itu, hari- hari Vita hanya untuk Arga. Sepulang sekolah, Vita akan mengerjakan
tugas, lalu pamit ke rumah sakit untuk menemani Arga. Arga selamat, dan Vita patut bersyukur
atas kebaikan Tuhan itu. Sementara Nevan, ia dibebaskan bersyarat. Meski begitu, tak ada usilan
atau gangguan darinya. Nevan benar- benar meninggalkan Vita untuk tenang bersama Arga.

{|}

Vita duduk di sisi ranjang, di samping Arga yang sedang menunduk dalam. Vita sudah
bersedia mendengarkan penjelasan Arga. Namun dua menit ini, cowok itu sama sekali tak
membuka suara.

"Aku ngambek ya, kak, kalo gak ngomong juga." ancam Vita yang langsung ditanggapi
gelengan dari Arga. "Iya, kakak ngomong."

Vita menghela napas, lalu mengangguk. Sedangkan Arga menarik napas dalam- dalam,
bersiap menceritakan segalanya secara detail.

"Jadi, kemarin pas waktu Nevan meluk kamu, kakak ngomelin dia. Kakak bilang itu
terlalu berani, dan gak seharusnya dia berani ngelakuin itu. Tapi dasarnya Nevan yang bengal itu,
dia malah nantangin kakak. Dia bilang kalo kakak kalah dari dia untuk dapetin kamu, maka
kakak harus ngasih kamu ke dia. Kakak jelas gak mau! Orang kakak suka kamu dari awal, masa
mau ngasih gitu aja ke dia." kata Arga menjelaskan dengan 'penuh perasaan'. Diam- diam bibir
Vita bergetar menahan tawanya yang hendak tersembur keluar karena ekspresi menggemaskan
Arga.

"Yah jadi kakak terima deh tantangannya. Tapi, kakak gak pernah niat untuk
mempermainkan perasaan kamu. Kakak tuh justru termotivasi dari tantangan Nevan." ungkap
Arga yang langsung membuat Vita menoleh dengan satu alisnya terangkat. "Motivasi apa?"

Arga mengangguk. "Buat secepatnya ngungkapin perasaan kakak, biar kamu gak diambil
orang.”

"Maaf, ya.." melas Arga sambil menampilkan puppy eyesnya yang tampak lucu bagi Vita.

Merasa terhibur, Vita pun berniat mengerjai Arga. Hingga akhirnya dengan sangat tega
Vita menggeleng. "Males."
Arga mencebik kecewa. Arga tidak mau Vita marah padanya. Harus bagaimana lagi?
Arga pun menoel lengan atas Vita dengan manja. Layaknya seorang anak kecil yang merengek
minta es krim pada ibunya.

"Ta, maaf.." lirihnya. Namun Vita tetap menggeleng. Wajah Arga sangat membuat Vita
gemas.

Arga tidak kehabisan akal. Ia pun berdiri didepan Vita. Mengangkat dagu cewek itu agar
mata mereka bertemu. Lalu, dua kata yang mrluncur dari mulut Arga sukses membuat Vita
tertawa.

"Sayaaang, maaf."

Tidak penting apa yang orang katakan. Karena ulah manja Arga, Vita akhirnya mengacak
gemas rambut Arga. Untuk pertama kalinya Arga memanggil Vita 'sayang'. Rasanya sangat
manis dan sedikit menggelikan.

"Iya. Cie panggil sayang." goda Vita sambil menoel pipi Arga.

"Ih, kamu ngerjain kakak, ya?" ucap Arga menatao selidik pada Vita.

Vita tertawa lagi. "Enggak, dih!"

"Gak salah lagi." lanjut Arga datar. Membuat tawa Vita semakin kencang.

Setelahnya, tawa itu bertahan hingga beberapa bulan. Tepat di bulan ke-3, ada yang
terjadi, tak diduga, dan tak mampu dihindari.

***

"Vita!" Pekik Arga yang melihat Vita terduduk lemas dan bersender di dinding beton.

"Vita?" Panggil Arga sambil mendekati Vita.


Vita menutup wajahnya dengan kedua tangan, ia tengah terisak hebat. Apalagi luka serta lebam di kepala
Vita mengeluarkan darah yang tak sedikit.

"Dek." Arga mencoba memegang pundak Vita.

Gemetar, tubuhnya bergetar hebat.

Arga semakin mengeratkan pegangannya pada pundak Vita, mencoba membuat gadis itu berhenti
gemetar.

Kemudian tanpa memperdulikan apapun, Arga segera menarik tubuh Vita kedalam
pelukannya.Membenamkan kepala Vita ke dada bidangnya, dan ia peluk erat gadis malang itu.

Arga dapat merasakan getaran tubuh Vita tak hilang sedikitpun, bahkan ia merasakan basah di dadanya.
Arga tahu Vita menangis, namun anehnya tak ada suara yang terdengar.

"Ta, kalo Vita mau nangis, menangislah. Kalo mau teriak, teriaklah. Disini Vita bisa keluarkan suara tanpa
ada yg bisa melarang." Pujuk Arga.

Tak lama, Vita pun mengeluarkan suaranya. Ia meraung² menangis dalam pelukan Arga, bahkan
tubuhnya semakin bergetar hebat. Segera Arga peluk lebih erat gadis dengan pakaian sekolah yang
sudah lusuh itu. Arga membiarkannya selama beberapa waktu. Mengingat bahwa Vita telah dianiaya
sedemikian tragisnya oleh anak dari sekolah lain itu.

Arga berusaha menenangkan Vita dengan membelai rambut Vita, hingga mengecup tangan Vita. Namun
didalam hatinya, Arga merasa begitu marah. Ia bertekad akan membuat cewek gila itu masuk penjara!

"Sakit, ya? Yang mana yang sakit?" Tanya Arga lembut.


"Se-semuanya." Jawab Vita disela tangisannya.

Sambil terisak², perlahan tubuhnya tak gemetar lagi. Tangisannya pun sudah mereda. Arga melepaskan
pelukannya. Kemudian ia tatap lekat² mata sembab Vita.

"Vita bisa berdiri?" Tanya Arga.

Vita kembali menangis, saat dirasakannya kakinya tak mampu digerakkan lagi.

"Ga papa kok, sini kakak gendong." Ucap Arga tersenyum, ia tak mau Vita panik karena kakinya tak
mampu berjalan.

Arga pun mengangkat tubuh Vita dengan gaya bridal style. Vita melingkarkan tangannya ke leher Arga,
bahkan ia memeluk erat karena benar² merasa takut.

"Permisi." Ucap Arga saat melewati keramaian.

Keramaian yang terjadi karena seluruh murid sudah tahu tentang kabar penganiayaan Vita. Yang Arga tak
suka adalah bukannya membantu, semua orang itu hanya berjejalan tak jelas untuk menonton sang
korban. Benar² bodoh ...

"Arga, bawa kemari, nak. " Ucap Bu Wardah yang meminta Arga membaringkan Vita diatas kasur
bersprei putih polos itu.

"Tolong, bu. Kepala Vita berdarah banyak banget." Ucap Arga sambil membaringkan Vita dengan hati².
Vita meringkuk kesakitan saat ia dibaringkan terlentang.

"Aw." Ringis Vita. Lagi² ia mengeluarkan air mata karena tiba² merasa sakit dibagian perutnya.
"Vita, ayo tenang dulu, nak." Ucap Bu Wardah sambil membersihkan luka di kepala Vita dengan kain
basah.

"Sakit." Gumam Vita pelan.

Arga mendekatkan wajahnya ke wajah Vita.

"Apa yang sakit, Ta?" Tanya Arga pelan nan lembut. Tampak wajah begitu khawatir.

"Perut, kepala. Sakit semua." Jawab Vita pelan.

Arga mengacak rambutnya frustasi. "Bu, ini sudah ga mampu diobati disekolah. Kita bawa Vita kerumah
sakit, bu. " Saran Arga.

"Sebentar, ibu telepon Pak Emdi. " Ucap Bu Wardah meraih telepon di saku bajunya. Pak Emdi adalah
supir sekolah yg bertugas menyupir mobil yg sekolah sediakan di situasi darurat spt ini.

"Pak Emdi, segera bawa mobil ke depan UKS. Ada keadaan darurat." Ucap Bu Wardah singkat. Yang
diseberang telepon hanya mengiyakan dengan sigap.

"Pak Emdi akan dtg sebentar lagi." Ucap Bu Wardah, yang kini mengusap² telapak tangan Vita, berusaha
membuatnya selalu hangat.

"Kapan, bu?" Ucap Arga yg panik setengah mati.

Kemudian Arga mengangkat tubuh Vita yg sudah tak sadarkan diri dengan gaya yg sama, lalu ia berlari
menerobos keramaian. Waktu itu berharga, jika satu detik saja terlewatkan, Vita bisa hilang, dan Arga tak
mau itu terjadi.
Tepat setelah Arga membawa Vita keluar UKS, mobil sekolah telah parkir didepan UKS. Arga pun segera
masuk kemobil, dan membaringkan Vita disebelahnya dengan kepala berada dipangkuan Arga. Disusul
Bu Wardah untuk terus memberikan pengobatan pertama agar kondisi Vita tak memburuk. Pak Emdi
pun langsung memacu mobil.

Sepanjang perjalanan, Arga terus menggenggam tangan Vita. Dengan sekelibat doa ia lafalkan agar Vita
akan baik² saja. Tiba² Arga melihat setetes air mata keluar dari mata below Vita. Arga pun menyeka air
mata itu, dan teringat dengan video yg menampilkan adegan kekerasan siswi sekolah lain sedang
menghajar Vita. Ia jadi geram, dan ingin sekali rasanya menghajar balik sipelaku.

"Bu, saya mohon tindaklanjuti kasus ini. Saya bisa pastikan bukan nama sekolah kita yg akan tercoreng.
Kejahatan apapun bisa terjadi bagaimanapun caranya, walau kita sudah memberikan keamanan ekstra.
Jadi saya mohon, biarkan Vita mendapat keadilan, bu. Tuntut cewek gila itu, saya mohon. " Pinta Arga
memelas, dengan sedikit menyindir keegoisan sesaat Bu Wardah tadi.

"Kamu punya bukti?" Tanya Bu Wardah agak canggung.

"Punya, bu. Videonya, video kejadian itu." Balas Arga.

"Video? Darimana?"

"Nevan. Dia ngasih saya video itu. " Balas Arga dengan suara yg lemah.

"Kok bisa dia yg kasih?"

"Dalam keadaan panik, Nevan datengin saya dan bilang saya harus ke belakang sekolah. Saya fikir Nevan
bakal ngajak saya berantem disana. Makanya saya nolak. Terus dia ngelempar handphone nya dan
nyuruh saya liat video yg ada di file hp nya. Habis itu dia pergi. Terus ..." Ucap Arga menggantung.

"... Saya langsung datengin wc ketika selesai nonton video itu. Dan ketika dtg, Vita udah babak belur,
bu." Ucap Arga hampir menangis. Jika saja ia tak cepat menyeka air matanya, mungkin Bu Wardah akan
mengetahui bahwa murid kesayangannya inu begitu lembut nan lemah jika sudah mengkhawatirkan
wanita kesukaannya.

"Lalu, dimana Nevan skrg?" Tanya Bu Wardah.

"Nevan?" Arga mulai mengingat itu. Setelah melempar hp nya, Nevan tak lagi tampak. Bahkan ditempat
kejadian itu, cewek gila yg jadi pelaku pun tak terlihat. Mau menelepon, tapi Argansadar ponsel Nevan
ada dengannya. Raefall pun mengacak rambutnya frustasi. Namun ia kembali menggenggam tangan Vita,
ia tak mau kehilangan Vita-nya itu.

{|}

Arga dipanggil ke ruang osis, nevan manggil vita dwi, vita keluar dari wc dan Nampak
nevan (rooftop)arga nengok nevan dengan vita, ngajak taruhan,

Anda mungkin juga menyukai