Anda di halaman 1dari 15

A.

Definisi
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
Diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang
pada kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-
gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang
dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.
Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk,
bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit
merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.
B. Etiologi
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil
gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk
batang pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media
yang mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan
mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium diphteriae
berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian atas yaitu
hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini
akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah
seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap
cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.
C. Epidemiology
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun
secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya
masih tetap terjadi pada individu- individu yang berusia kurang dari 15 tahun
(yang tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi
insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang
sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan
penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas
pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang
belum mendapatkan imunisasi.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun
dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini.
D. Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin
yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan
berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen
yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang
disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan
molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif.
Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel.
Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam
suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis.
Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya
endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin
memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik
pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan
bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan
inaktivasi enzim translokase melalui. Hal ini menyebabkan proses translokasi
tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.
Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan
nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi
toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat
fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin,
membran juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa
melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas
sendiri dalam periode penyembuhan.
Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya
Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat
jalan nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan
penyakit ke dalam laring atau cabang- cabang tracheobronchial. Toksin yang
diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ,
terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau
yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel.
Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi
sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi
dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu.
Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin
pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema,
kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila
penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf
tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis
hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal
dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.
E. Manifestasi klinis
Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah
terjadi membran putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan
menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan
berselaput yang segera menjadi teba, abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler
yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai
batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk
diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan
yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang
biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun
antitoksin tidak diberikan.
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu :
 Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu
tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah,
nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan
 Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak
putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk
semu. Membran ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring,
laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran
semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus,
kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga
leher menyerupai sapi( bull neck) atau disebut juga Burgermeester’s hals.
 Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan
pada ginjal menimbulkan albuminuria.
Beberapa tipe difteri berdasarkan lokasi anatomi adalah :
1. Difteria Hidung Gejalanya paling ringan dan jarang terjadi ( hanya 2% ).
Mula-mula hanya tampak pilek, tetapi kemudian sekret yang keluar
tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran
pseudomembran dapat pula mencapai laring dan faring. Penderita diobati
seperti penderita lainnya seperti anti toksin dan terapi antibiotic. Bila
tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama
penularan.
2. Difteria Faring dan Tonsil Paling sering dijumpai (kurang lebih 75%).
Gejala mungkin ringan. Hanya berupa radang pada selaput lender dan
tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas
dasar hasil biakan yang positif. Dapat sembuh sendiri dan memberikan
imunitas pada penderita. Pada penyakit yang lebih berat, mulainya seperti
radang akut tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, dapat
ditemukan pada pseudomembran yang mula-mula hanya berupa bercak
putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring. Napas
berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher
tampak seperti leher sapi (bull neck). Brennernan dan Mc Quarne (1956)
menyatakan bahwa setiap bercak keputihan diluar tonsil dapat dianggap
sebagai difteria, sedangkan Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa
setiap membrane yang menutupi dinding posterior faring atau menutupi
seluruh permukaan tonsil baik satu maupun kedua sisi dapat dinggap
sebagai difteria. Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stidor
insprasi walaupun belum terjadi sumbatan faring. Hal ini disebabakan
oleh paresis palatum mole. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi
penurunan kadar hemoglobin dan leukositisis, polimofonukleus,
penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangakan pada urin
mungkin dapat ditemukan albuminaria ringan.
3. Difteria Laring dan Trakea Dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak,
nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat
lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis
ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa
penderita akibat gagal nafas. Lebih sering sebagai penjalaran difteria
faring dan tonsil ( 3 kali lebih banyak ) daripada primer mengenai laring.
Gejala gangguan napas berupa suara serak dan stidor inspirasi jelas dan
berat dapat timbul sesak napas hebat, sinosis dan tampak retraksi
suprastemal serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan
menyebabkan bull neck ( leher sapi ). Pada pemeriksaan laring tampak
kemerahan, sembab, banyak secret dan permukaan ditutupi oleh
pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali maka harus
segera ditolong dengan tindakan trakeostomi sebagai pertolongan
pertama.
4. Difteria Cutaneous ( kulit ) Gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit
dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak
seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi
cenderung tidak terasa apa apa.5 Di Amerika Serikat, difteri kutaneus
sering dikaitkan dengan orang-orang tunawisma. Merupakan keadaan
yang jarang sekali terjadi. Tan Eng Tie (1965 ) mendapatkan 30% infeksi
kulit yang diperiksanya mengandung kuman difteria. Dapat pula timbul
di daerah konjungtiva, vagina dan umbilicus.
Sumbatan saluran napas atas dapat dibagi menjadi empat derajat
berdasarkan kriteria Jakson :
a. Jakson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi
suprasternal, tanpa diagnosis.
b. Jakson II adalah gejala sesuai Jakson I tetapi lebih berat yaitu disertai
retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak
mulai gelisah.
c. Jakson III adalah Jakson II yang bertambah berat disertai retraksi
intercostal, epigatrum, dan sianosis lebih jelas.
d. Jakson IV ditandai dengan gejala Jakson III disertai wajah yang tampak
tegang, dan terkadang gagal napas.
F. Klasifikasi
Biasaanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokasi jaringan yang
terkena infeksi. Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit juga diajukan
oleh Beach dkk. (1950) sebagai berikut :
a. Infeksi Ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri
menelan
b. Infeksi Sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas sampai kedinding posterior faring
dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan
konservatif.
c. Infeksi Berat
Disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi
dengan trakeastomi, juga gejala komplikasi miokarditis, paralisis ataupun
nefritis dapat menyertainya.
G. Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody
technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan
isolasi C, diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan
tes toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase
Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan
cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih
lanjut untuk penggunaan secara luas.
H. Penatalaksanaan
1. Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut
terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut
terlaksana :
a. Biakan hidung dan tenggorok.
b. Seyogyanya dilakukan tes schick (tes kerentanan terhadap diphtheria).
c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan
toksoid diphtheria.
a) Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
b) Bila kultur (+)/Schick test (-) :pengobatan carrier
c) Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin
d) Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).
2. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.
2.1.Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu. Khusus pada diphtheria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan
pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan
trakeostomi.
2.2.Khusus
a. Anti Diphteria Serum(ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria.
Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena
pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka
harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi
indurasi > 10 mm.
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10
dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila
dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi
(Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan
sekaligus secara tetesan intravena. Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara
empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita,
dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan
200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek
samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2
jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas
lambat (serum sickness).
b. Antimikrobal
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan
produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari,
bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari
c. Koritikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
3. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai
Reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau
eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/
adenoidektomi.
a. Tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di
nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.
b. Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan
prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu
tonsilektomi di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini
indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan
the American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery ( AAO-HNS)
tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
a) Indikasi absolut
 Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,
disfagia berat, gangguan tidur, atau terdapat komplikasi
kardiopulmonal.
 Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan
drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.
 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
 Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.
b) Indikasi relatif
 Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak
diberikan pengobatan medik yang adekuat
 Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap
pengobatan medik
 Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-
laktamase.
4. Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:
 Gangguan perdarahan
 Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
 Anemia
 Infeksi akut yang berat
 Asma
 tonus otot yang lemah
 sinusitis
 albuminuria
 hipertensi
 rinitis alergika
 demam yang tidak diketahui penyebabnya
5. Teknik operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai
sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan
dan kekurangan. Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam.
Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,
perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik
tonsilektomi dan peralatan baaru ditemukan disamping teknik tonsilektomi
standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah
teknik Guillotine dan diseksi
a. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untu mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil
beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak
seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
b. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi.
Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam
anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah
medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan
sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
c. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai
kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa
radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio
yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz.
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan
konduksi saraf atau jantung.
d. Radiofrekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan.
Densitas baru disekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk membuka kerusakan
bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah
jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
e. Skapel harmonik
Skalpel harmonic menggunakan teknologi ultrasonic untuk memotong dan
mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
f. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk karena
dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis
jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari
radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang
akan membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok
plasma tersebutakan mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan
plasma dengan partikel yang terionisasi yang akan memecah ikatan molekul
jaringan tonsil. Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga
menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga
dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
g. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tensilektomi parsial yang dilakukan
dengan menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider endoskopi bukan
merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain
yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan
jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
h. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl
Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Tehnik ini
mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang
menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
I. Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
lokal maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan
gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
• Laringosspasme
• Gelisah pasca operasi
• Mual muntah
• Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
• Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti
jantung
• Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
a. Pendarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah.
Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100
pasien kembali karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan
transfusi darah.
b. Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh
mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi
c. Komplikasi lain
Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara (1:10.
000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis
faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke
laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul
komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio
kordis.Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring
serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan
kelumpuhan otot- otot pernafasan. Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke
ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES


Buku Ajar Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC :
Jakarta. 1997
Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
ke lima Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
American academy of otolaryngology head and neck dissection. Lesspain
and quicker recovery with coblation assisted tonsillectomy. avaible from:
http://www. medicalnewstoday. com/medic alnews. php?newsid=13677.
Ballenger JJ. Anatomi bedah tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit
telinga,hidung,tenggorok,kepala dan leher Edisi 13. Jakarta,Binarupa aksara 1994:
p321.
Drake A. Tonsillectomy. Avaible from: http://www. emedicine.
com/ent/topic315. htm/emed tonsilektomi.
Kornblut A,Kornblut AD. Tonsillectomy and adenoidectomy. In:
Paparella,Gluckman S,Mayerhoff, eds. Otolaryngology head and neck surgery.
Philadelphia, WB Saunders 3rd edition,1991:2149-56
hhtp:/www. etnet. org/Kids ENT/tonsil procedures. Efm
Mathews J, Lancaster J, Sherman I, Sullivan GO. Historical article
guillotine tonsillectomy: a glimpse into its history and current status in the United
Kingdom. The Journal of Laryngology and Otology 2002;116:988-91
Darrow DH, Siemens C. Indications for tonsillectomy and adenoidectomy.
Laryngoscope 2002;112:6-10

Anda mungkin juga menyukai