Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan
nafas kronik. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan seperti
wheezing, dispneu, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu
dan intensitas, berasa dengan hambatan jalan nafas ekspirasi yang bervariasi.
Variasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor misalnya olahraga, papatan
alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi viral pernapasan(Gina ,2017).
Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai
negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu
aktiviti, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktiviti
bahkan kegiatan harian. Produktivitas menurun akibat mangkir kerja atau sekolah,
dan dapat menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah penurunan
produktivitas serta menurunkan kualitas hidup (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2003).
Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti
dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara
yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke unit gawat darurat, rawat inap,
kesakitan dan bahkan kematian karena asma. Berbagai argumentasi diajukan
seperti perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan
sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak permasalahan akibat
keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun dokter (medis).
Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan oleh
National Institute of Heallth National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI)
bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) bertujuan memberikan
petunjuk bagi para dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan
asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan kematian asma.
Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat dianjurkan dipakai di seluruh dunia
disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan negara masing-masing. Merujuk
kepada pedoman tersebut, disusun pedoman penanggulangan asma di Indonesia.
Diharapkan dengan mengikuti petunjuk ini dokter dapat menatalaksana asma
dengan tepat dan benar, baik yang bekerja di layanan kesehatan dengan fasilitas

1
minimal di daerah terpencil, maupun di rumah sakit dengan fasilitas lengkap di
pusat-pusat kota (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter
sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong
penderita asma, harus selalu meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering
diabaikan adalah memberikan edukasi atau pendidikan kesehatan. Pendidikan
kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan sangat berarti bagi penderita,
terutama bagaimana sikap dan tindakan yang bisa dikerjakan pada waktu
menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah terjadinya serangan
asma (Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, et al., 2003).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Asma


Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan
nafas kronik. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan seperti
wheezing, dispneu, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu
dan intensitas, berasa dengan hambatan jalan nafas ekspirasi yang bervariasi.
Variasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor misalnya olahraga, papatan
alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi viral pernapasan(Gina ,2017).
Gejala terbatasnya jalan nafas dapat sembuh secara spontan dengan
pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau bulan. Di sisi
lain, pasien juga dapat mengalami beberapa periode serangan (eksaserbasi) asma
yang dapat mengancam nyawa dan dapat memberikan beban yang signifikan bagi
pasien dan komunitas. Asma biasanya dikaitkan dengan hiperesponsivitas jalan
napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan dengan inflamasi jalan
nafas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu ada, walapun tidak ada gejala
dan fungsi paru normal, dan akan membaik dengan terapi (Gina ,2017).
2.2. Epidemiologi
Menurut data studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai
provinsi di Indonesia pada tahun 1986 penyakit asma menduduki urutan kelima
dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis
kronik dan emfisema. Asma merupakan penyakit kronik yang banyak diderita
oleh anak dan dewasa baik di negara maju maupun di negara berkembang. Sekitar

2
300 juta manusia di dunia menderita asma dan diperkirakan akan terus meningkat
hingga mencapai 400 juta pada tahun 2025 .
Gambar 2.1 Prevalensi Asma Berdasarkan Karakteristik Umur pada Tahun 2013

Berdasarkan data dari Riskesdas tahun 2013 menyebutkan bahwa Selain itu,
terdapat peningkatan prevalensi Asma seiring bertambahnya usia, dimana usia 25-
34 tahun mempunyai prevalensi asma tertinggi yaitu sebesar 5,7% dan usia <1
tahun memiliki prevalensi terendah sebesar 1,5% (Pusat Data Informasi Kementrian
Kesehatan RI, 2013). Selain itu, terdapat 18 provinsi yang mempunyai prevalensi

penyaklit asma melebihi angka nasional, dari 18 provinsi tersebut 5 provinsi


teratas adalah Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Sulawesi
Selatan, dan Kalimantan Tengah.

2.3. Faktor Resiko


Tabel 2.1 faktor resiko yang dapat menyebabkan asma bronchial (Ikatan
Dokter Indonesia,2014)

Gambar 2.2 Prevalensi Asma Menurut Provinsi Tahun 2013

3
Berikut ini adalah faktor resiko asma (Gina ,2017):
1. Pasien dengan minimal 1 faktor risiko eksaserbasi
2. Minimal 1 periode eksaserbasi berat di tahun terakhir
3. Paparan tembakau dan rokok
4. Penurunan FEV1, terutama kurang dari <60% prediksi
5. Permasalahan psikologis besar
6. Permasalahan sosioekonomik besar
7. Alergi makanan terkonfirmasi
8. Paparan allergen jika tersensitisasi
9. Eosinofilia pada sputum
2.4. Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.
Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma
nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003).
a. Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang
terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma
tipe lambat.
b. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.

c. Reaksi Asma Fase Lambat


Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

4
Gambar 2.3 Proses Imunologis
d. Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah
limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos
bronkus.
e. Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2.
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama
IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF
berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.
f. Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi,
endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma
sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan
tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein,
oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease
sel epitel.

g. Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak
spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah
dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis
sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta
mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF
meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup

5
eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic
protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan
eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran
napas.
h. Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking
reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi
degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin
dan protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan
leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4,
IL-5 dan GM-CSF.
i. Airway Remodeling
Reaksi inflamasi pada saluran nafas menimbulkan penyempitan yang
ireversibel pada saluran nafas (airway remodeling) akibat fibrosis subepitelial,
hipertrofi otot polos saluran nafas, penebalan pembuluh darah dan hipersekresi
mukus. Hal ini merupakan langkah terakhir terjadinya gejala dan perubahan
fisiologik saluran nafas pada asma, yaitu berupa kontraksi otot polos, edem,
penebalan dinding dan hipersekresi mukus. Hiperesponsif ini bersifat responsif
secara parsil terhadap obat (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Gambar 2.4
Inflamasi dan
remodelling pada asma

2.5. Patofisiologi serangan asma

6
Gambar 2.5 Penyempitan Saluran
Napas Pada Asma

Serangan asma timbul apabila seorang yang atopi terpapar ataupun berkontak
dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari. Ini akan memicu
pembentukkan imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi ini dipercayai diturunkan
secara genetik. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas atau
kulitakan ditangkap oleh sel makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting
cell (APC). Setelah alergen diproses dalam badan sel APC alergen tersebut
dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan
dilepaskanya interleukin 2 (IL-2) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan
membentuk imunoglobulin E (IgE). IgE yang terbentuk akan diikat oleh sel
mastosit yang ada dalam jaringan dan sel basofil pada sirkulasi. Apabila proses ini
terjadi, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Apabila orang
yang sudah rentan terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama maka
alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan sel
mastosit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan
perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Akibat menurunnya kadar
cAMP degranulasi sel akan terjadi. Seterusnya, proses ini akan menyebabkan
terlepasnya zat – zat kimia seperti histamin, slow releasing substance of
anaphylaxis (SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylaxis (ECF-A) dan
lain-lain. Kesemua mediator ini akan menimbulkan kontraksi otot-otot polos baik
pada saluran napas yang besar ataupun yang kecil. Akibat kontraksi otot polos di
sekitar saluran pernapasan terjadilah suatu keadaan yang disebut sebagai
bronkospame dimana penderita sering mengeluhkan rasa sesak di dada. Selain itu,
akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler, saluran pernapasan akan menyempit
dengan lebih parah lagi. Oleh sebab itu, gangguan ventilasi akan berlaku
disamping distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru yang

7
jelek. Akibatnya terjadilah hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap
seterusnya.
Serangan asma yang mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga
stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk berkala dan kering. Batuk ini
terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpal. Pada stadium ini terjadi
turut dijumpai edema dan pembengkakan bronkus. Stadium kedua ditandai
dengan adanya batuk yang diserta dengan mukus yang jernih dan berbusa. Selain
itu, pasien kelihatan sesak ketika bernapas dan akan berusaha untuk bernafas
dalam. Turut terjadi adalah proses ekspirasi yang memanjang dan diikuti dengan
bunyi mengi (wheezing). Oleh demikian, pasien cendurung untuk duduk dengan
posisi tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur. Pada stadium kedua penderita
kelihatan pucat dan gelisah serta terdapat perubahan warna kulit menjadi biru.
Stadium ketiga ditandai dengan hampir tidak terdengar suara nafas karena aliran
udara yang kecil, pernafasan yang dangkal dan tidak teratur serta irama
pernapasan yang tinggi karena asfiksia.

2.6. Klasifikasi Asma


Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting
bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat
asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan
berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai (Tabel 2.1). Pada
umumnya penderita sudah dalam pengobatan dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah
gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada
penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu
sendiri. Tabel 2.2 menunjukkan bagaimana melakukan penilaian berat asma pada
penderita yang sudah dalam pengobatan. Bila pengobatan yang sedang dijalani
sesuai dengan gambaran klinis yang ada, maka derajat berat asma naik satu
tingkat (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
Tabel 2.2 Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum
pengobatan) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

8
Tabel 2.3 Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Tabel 2.4. Pembagian Asma (Gina ,2017).


A. Kontrol Gejala Tingkat Kontrol Gejala Asma
Dalam 4 minggu terkakhir Terkontrol Tidak
Terkontrol Sebagian
apakah pasien memiliki : Penuh Terkontrol
1. Gejala asma Ya (1 poin) Tidak terdapat Terdapat 1-2 kriteria Terdapat 3-4
harian lebih dari Tidak ( 0 satupun kriteria
dua kali dalam 1 poin) criteria
minggu

9
2. Terbangun di Ya (1 poin)
malam hari Tidak ( 0
karena asma poin)
3. Penggunaaan
obat pelega
untuk mengatasi Ya (1 poin)
gejala* lebih Tidak ( 0
dari dari dua poin)
kali dalam 1
minggu
4. Keterbatasan Ya (1 poin)
aktifitas fisik Tidak ( 0
karena asma poin)
* Penggunaan obat pelega sebelum ‘exercise’ tidak termasuk, oleh karena banyak pasien
menggunakannya secara rutin

2.7. Diagnosis Asma


Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan (Gina ,2017) :

1. Anamnesis
Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan
seperti wheezing, dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan
udara ekspirasi yang bervariasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang
diagnosis asma:
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada
terasa berat), terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen,
perubahan musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat.

Berikut ini adalah gejala-gejala yang menurunkan kemungkinan


bahwa seseorang menderita penyakit asma:

a. Batuk tanpa gejala respirasi lain


b. Produksi sputum kronik
c. Dispneu terkait dengan kepala pusing, kepala terasa ringan, dan
parestesia perifer
d. Nyeri dada
e. Dispneu dengan inspirasi nyaring terkait olahraga

10
Tabel 2.5. Kriteria Diagnosis Asma (Gina ,2017)

Fitur diagnose Kriteria untuk membuat diagnose


Riwayat gejala asma yang bervariasi
Mengi, sesak napas, dada • Umumnya lebih dari 1 gejala
terasa berat, dan batuk • Gejala bervariasi dari waktu ke
waktu dan juga intensitasnya
• Gejala seringkali memburuk pada
malam hari atau saat bangun
• Gejala sering dipicu oleh latihan
fisik, tertawa, alergen, udara dingin
• Gejala sering muncul atau memburuk
pada infeksi virus
Keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi
Variabilitas fungsi paru yang Makin besar variasi/ makin sering, makin
besar (1 atau lebih uji) besar kemungkinan.
DAN keterbatasan aliran udara Penurunan FEV1/FVC >1 kali, saat FEV1
rendah (normal >0.75 – 0.80 pada dewasa
sehat dan >0.90 pada anak)

Uji reversibilitas bronkus Dewasa : peningkatan FEV1 >12% dan


positif >200mL dari nilai awal, 10-15 menit setelah
pemberian 200-400 mcg albuterol atau setara;
anak: peningkatan >12% prediksi)
Variabilitas pengukuran PEF Dewasa: rata-rata variabilitas harian PEF
2x/hari selama 2 minggu diurnal > 10%
Anak: > 13%
Kenaikan fungsi paru setelah Dewasa: peningkatan FEV1 > 12% dan 200
terapi anti-inflamasi selama 4 mgl (atau PEF > 200 ml)
minggu
Uji ‘excersice challenge” Dewasa: tidak mencapai FEV1>10% dan 200
ml
Anak : tidak mencapai FEV1>12% predicted/
PEF >15%
Uji ‘bronchial challenge’ Tidak mencapai FEV1 >20% (methacholine,
(umumnya hanya dilakukan histamine); 15% (mannitol atau lainnya)
pada dewasa)
Variasi fungsi paru di antara Dewasa: variasi FEV1 >12% dan > 200 ml
kunjungan-kunjungan ke Anak: variasi FEV1 >12%
dokter (kurang reliable)

2. Pemeriksaan Fisik

11
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas
yang paling sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi,
tapi kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang
dipaksa. Wheezing juga bisa tidak ditemukan pada asma eksaserbasi berat,
karena penurunan aluran udara yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi
biasanya tanda-tanda patologis lain muncul. Wheezing juga bisa ditemukan
pada disfungsi jalan nafas atas, misalnya pada PPOK, infeksi saluran
nafas, trakeomalasia, atau corpus alienum. Crackles atau wheezing
inspiratorik bukan karakteristik asma. Perlu juga dilakukan pemeriksaan
hidung untuk menemukan adanya rinitis alergi atau polip nasal .
3. Pemeriksaan Penunjang (Gina ,2017).
a. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory
volume in on 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak
expiratory flow (PEF). Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama harus
digunakan tiap saat pemeriksaan, karena perbedaan sebesar 20% bisa
terjadi jika dilakukan perubahan ukuran atau alat.
Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain,
atau pengguaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan
rasio FEV1/FVC menandakan adanya hambatan aliran jalan nafas.
Rasio FEV1/FVC normal adalah 0.75-0.80 dan kadang 0.90 pada
anak-anak, dan nilai di bawah batas normal tersebut menandakan
hambatan aliran udara .
Variabilitas adalah perbaikan atau perbukurukan gejala dan fugnsi
paru. Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu
dalam satu hari (variasi diurnal), dari hari ke hari, musiman, atau dari
sebuah tes reversibilitas. Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau
PEF secara cepat setelah penggunaan bronkodilator kerja cepat seperti
200-400 mikrogram salbutamol, atau peningkatan yang konsisten hari
ke hari sampai minggu ke minggu setelah diberikan terapi kendali
asma misanya dengan intranasal corticosteroid (ICS). Peningkatan
atau penurunan FEV1 >12% dan >200 mL dari batas dasar, atau jika
spirometri tidak ada, perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat
diterima sebagai asma. Akan tetapi, jika FEV1 tetap dalam batas

12
normal saat pasien sedang mengalami gejala asma, maka
kemungkinannya kecil bahwa kemungkinan penyakitnya adalah asma.
Pengukuran FEV dan PEF dilakukan sebelum terapi dengan
bronkodilator.
b. Tes provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa hiperesponsivitas
jalan nafas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi
metakolin dan histamin, hiperventilasi eukapnik volunter atau manitol
inhalasi. Tes ini cukup sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang
spesifik, karena bisa terjadi karena penyakit lain, misalnya rinitis
alergika, fibrosis kistik, displasia bronkopulmoner, dan PPOK. Jadi,
hasil negatif pada pasien yang tidak mengonsumsi ICS dapat
mengeksklusi asma, akan tetapi hasil positif tidak selalu menandakan
bahwa penyakit tersebut adalah asma, sehingga anamnesis perlu
diperhatikan.
c. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala
pernapasan menderita asma alergika tapi hal ini tidak spesifik.
Riwayat atopik dapat diperiksa dengan skin prick test dan pengukuran
serum IgE. Skin prick test dengan bahan yang mudah ditemui di
lingkungan sekitar adalah tes yang cepat, murah, dan sensitif jika
dikerjakan secara standar. Pengukuran sIgE tidak lebih sensitif dari
skin prick test tapi lebih mahal dan digunakan untuk pasien dengan
pasien tidak kooperatif. Akan tetapi, jika skin prick test dan
pengukuran sIgE positif, hal ini tidak selalu menghasilkan gejala,
karena itu perlu anamnesis yang cermat.
d. Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of Exhaled Nitric Oxide (FENO) dapat
diperiksa di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma
eosinofilik dan pada keadaan non asma misalnya rinits alergi, dan
belum dipastikan bermanfaat untuk diagnosis asma. FENO menurun
pada perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi, dan meningkata jika
terjadi infeksi pernafasan viral. Kadar FENO > 50 ppb terkait dengan

13
respons jangka waktu singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan
FENO belum bisa direkomendasikan .

2.8. Diagnosis Banding (Wibisono M, Jusuf dkk, 2010).


Bila menemukan keluhan batuk sesak, mengi salah satu kelainan yang perlu
dipikirkan adalah obstruksi saluran nafas atas.
Diagnosis banding asma :
Tabel 2.6 Diagnosis banding asma

Kategori Kriteria

Penyakit penyebab sesak berulang PPOK, penyakit jantung coroner, GERD,


gagal jantung kongestif, emboli paru

Penyakit yang menimbulkan batuk Rhinitis, sinusitis, otitis, bronkiektasis

Penyakit yang sering menimbulkan PPOK, cystic fibrosis


obstruksi saluran nafas

2.9. Penatalaksanaan (Gina ,2017).

2.9.1 Nonfarmakologis
1. Penghentian kebiasaan merokok dan paparan alergen
2. Aktivitas fisik
3. Penghindaran paparan alergen kerja
4. Penghindaran obat-obatan yang dapat memicu asma
5. Penghindaran alergen dalam ruangan
6. Latihan bernafas
7. Diet sehat dan Penurunan Berat badan
8. Vaksinasi
9. Bronkial termoplasti
10. Kontrol stress emosional
11. Imunoterapi alergen
12. Penghindaran alergen dan polutan di luar ruangan
13. Penghindaran makanan alergen dan makanan berkimiawi
2.9.2Tatalaksana Farmakologis (Gina ,2017)
Obat-obatan untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa
kategori, yaitu:
a. Controller medication, yaitu obat yang digunakan untuk pemeliharaan
asma secara reguler. Obat ini menurunkan inflamasi jalan nafas,
mengendalikan gejala dan menurunkan risiko eksaserbasi dan
penurunan fungsi paru.

14
b. Reliever (rescue) medication, yaitu obat yang digunakan untuk
meredakan gejala asma, misalnya saat perburukan atau eksaserbasi,
atau saat terjadi brokonstriksi terkait olahraga.

Tabel 2.7 Penggolongan obat asma

Controller Reliever

Short acting b2 agonist (SABA) :


Kortikosteroid (inhalasi, sistemik)
inhalasi, oral

Leukotriene modifeier Kortikosteroid sistemik

Long acting b2 agonist (LABA) : Antikolinergik : Ipratropium br,


inhalasi, oral oxitropium

Chromolin: Sodium cromoglycate dan


Teofilin
Nedocromil

Teofilin lepas lambat

Anti IgE

Antikolinergik: Tiotropium

15
Gambar 2.6. Obat asma

16
Gambar 2.7. Obat kortikosteroid

c. Add-on therapy untuk pasien dengan asma berat, mulai


dipertimbangkan jika pasien mengalami gejala persisten dan

17
eksaserbasi yang terus menerus walaupun sudah diberikan terapi
secara optimal.
4. Terapi pemeliharaan asma awal (Gina ,2017)
Untuk hasil yang lebih baik, terapi pemeliharaan asma harian harus
dimulai secepat mungkin setelah diagnosis asma dibuat, berdasarkan bukti
klinis adalah sebagai berikut:
a. Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan
meningkatkan fungsi paru lebih baik dibandingkan jika pemberiannya
dilakukan sudah muncul gejala selama 2-4 tahun. Jika telah
berlangsung dalam waktu tersebut, dosis ICS lebih tinggi dibutuhkan,
sedangkan fungsi paru sudah sangat lebih menurun.
b. Pasien yang tidak mengonsumsi ICS dan mengalami eksaserbasi akan
mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebat daripada pasien
yang telah mulai menggunakan ICS
c. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari agen
iritan dan terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.

Gambar 2.8. Tatalaksana Farmakologis Asma Bronkial


5. Tatalaksana Lainnya (Gina ,2017)
a. Imunoterapi Alergen

18
Terapi alergen spesifik dapat menjadi pilihan jika alergi
memerankan peran utama dalam asma, misalnya pada asma dengan
rinokonjungtivitis alergika. Terdapat dua pendekatan utama, yaitu: 1)
subcutaneous immunotherapy (SCIT) dan 2) sublingual immunotherapy
(SLIT). Studi saat ini kebanyakan dilakukan pada asma ringan, dan
sebagian lainnya.
SCIT: pada pasien dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan
penurunan gejala dan kebutuhan pengobatan, dan penurunan
responsivitas terhadap alergen. Efek samping dari terapi ini adalah
reaksi anafilaksis yang dapat mengancam jiwa.
SLIT: Metode ini sangat bermanfaat pada dewasa dan anak-anak.
Sebuah setudi SLIT pada rumah dengan tungau debu pada pasien
dengan asma dan rinitis alergi menunjukan penurunan bermakna
penggunaan ICS pada SLIT dosis tinggi. Efek samping yang terjadi
akibat metode ini antara lain adalah gejala oral dan gastrointestinal
ringan.
b. Vaksinasi
Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut asma,
dan pasien dengan asma sedang-berat disarankan untuk mendapatkan
vaksinasi influenza setiap tahun. Akan tetapi, vaksinasi ini tidak dapat
menurunkan frekuensi atau keparahan serangan asma.
c. Termoplasti Bronkial
Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan
asma yang tetap tidak terkontrol walaupun dengan regimen terapi yang
optimal. Terapi ini dilakukan melalui tiga bronkoskopi terpisah dengan
gelombang radiofrekuensi lokal. Pada follow up jangka waktu sedang
memang pasien yang diterapi dengan metode ini akan mengalami
penurunan jumlah eksaserbasi. Akan tetapi, butuh studi yang lebih lama
lagi untuk menjadi dasar bukti rekomendasi metode ini.
d. Vitamin D
Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar
serum vitamin D rendah terkait dengan penurunan fungsi paru,
peningkatan frekuensi eksaserbasi dan penurunan respons
kortikosteroid. Akan tetapi, sampai saat ini suplementasi vitamin D
belum bisa dikaitkan secara kuat dengan peningkatan kontrol asma atau

19
penurunan eksaserbasi. Indikasi merujuk ke fasilitas kesehatan lebih
lanjut:
1) Kesulitan mengonfirmasi diagnosis asma
2) Curiga asma okupasional
3) Asma persisten tidak terkontrol dan eksaserbasi frekuent
4) Adanya faktor risiko asma yang mengancam nyawa
5) Bukti yang besar adanya risiko atau efek samping terapi
6) Adanya gejala yang menunjukkan komplikasi dari subtipe asma
7) Ragu tentang diagnosis asma
8) Gejala eksaserbasi tidak terkontrol walaupun dengan ICS dosis
sedang dengan teknik yang benar dan kepatuhan yang cukup
9) Curiga efek samping terapi
10) Asma dan alergi makanan terkonfirmasi
Asma Eksaserbasi Akut
Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi poin-poin penting tentang
asma eksaserbasi akut:
1. Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan
fungsi paru dari keadaan pasien biasanya, dan dalam beberapa kasus,
gejala klinis pertama dari asma. Istilah “episode”, “serangan”, atau “asma
berat akut” sering digunakan, tapi pengertiannya berbeda.
2. Pasien dengan peningkatan risiko kematian terkait asma seharusnya
dikenali, dan diperhatikan lebih dalam. Berikut ini adalah ciri-ciri pasien
dengan risiko kematian akibat asma:
a. Pernah mengalami asma berat yang hampir fatal dan membutuhkan
intubasi dan ventilasi
b. Pernah dirawat inap atau perawatan IGD akibat asma dalam waktu 12
bulan terakhir
c. Sedang tidak menggunakan ICS, kepatuhan rendah dengan ICS
d. Saat ini menggunakan atau baru saja menghentikan oral kortikosteroid
e. Penggunaan SABA yang berlebihan, terutama jika menggunakan lebih
dari 1 canister/bulan
f. Kurangnya rencana penanganan asma yang dibuat
g. Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
h. Pasien asma dengan alergi makanan
3. Tatalaksana perburukan dan eksaserbasi asma adalah bagian dari tatalaksana
mandiri dan berkelanjutan dari pasien dengan sebuah rencana tertulis,
melalui tatalaksana dari gejala yang lebih berat dalam fasilitas kesehatan
tingkat awal, instalasi gawat darurat dan dalam rumah sakit .
4. Semua pasien seharusnya diberikan tatalaksana tertulis sesuai dengan
derajat asma sehingga dapat memudahkan mengenali dan menangani asma.

20
1. Rencana tatalaksana seharusnya termasuk kapan dan bagaimana
mengganti obat controller dan reliever, penggunaan kortikosteroid oral,
dan akses ke perawatan medis jika gejala tidak berespons dengan terapi.
2. Pasien yang mengalami perburukan cepat seharusnya diarahkan untuk
pergi ke instalasi medis akur atau untuk berobat ke dokter segera,
3. Rencana tatalaksana dapat berdasar pada perubahan gejala atau PEF
(pada dewasa).
5. Pada pasien dengan gejala eksaserbasi akut pada fasilitas kesehatan tingkat
pertama, berikut adalah tatalaksananya :
1. Penilaian keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada derajat
sesak nafas, laju pernafasan, denyut nadi, saturasi oksigen dan fungsi
paru, sambal memulai terapi short-acting beta2 agonist (SABA) dan
terapi oksigen
2. Pemindahan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan akut jika ditemuai
adanya tanda tanda eksaserbasi, atau ke ICU jika terdapat penurunan
kesadaran atau silent chest. Saat pemindahan pasien, inhalasi SABA,
ipratropium bromide, terapi oksigen terkendali dan kortikosteroid
sistemik jika diperlukan
3. Terapi seharusnya dimulai dengan pemberian SABA berulang (dengan
MDI atau spacer), atau pemberian dini kortikosteroid oral, dan
pemberian oksigen terkendali jika tersedia. Penilaian ulang respons
gejala terhadap terapi, saturasi oksigen dan fungsi paru harus dilakukan
tiap 1 jam
4. Ipratropium bromide direkomendasikan hanya jika terdapat eksaserbasi
berat
5. Pemberian MgSO4 intravena seharusnya dipertimbangkan pada pasien
dengan eksaserbasi berat yang tidak berespons terhadap terapi awal
6. Foto thorax tidak direkomendasikan secara rutin
7. Keputusan mengenai hospitalisasi seharusnya berdasarkan atas status
klinis, fungsi paru, respons terhadap terapi, riwayat eksaserbasi dan
kemampuan untuk mengendalikan asma di rumah
8. Sebelum pasien dipulangkan, harus direncanakan tatalaksana
selanjutnya, termasuk pemulaian terapi controller atau penaikan dosis
dari terapi controller untuk 2-4 minggu, dan penurunan reliever sesuai
penggunaan sebutuhnya.

21
9. Antibiotik seharusnya tidak secara rutin diberikan pada eksaserbasi
asma
6. Rancanakan pemantauan segera setelah setiap eksaserbasi meliputi (Gina ,
2017):
1. Penilaian ulang pengendalian gejala, faktor risiko untuk eksaserbasi
selanjutnya
2. Untuk banyak pasien, berikan terapi controller regular untuk
menurunkan risiko untuk eksaserbasi lebih lanjut. Lanjutkan
peningkatan dosis controller untuk 2-4 minggu
3. Pantau terus teknik inhalasi dan kepatuhan

22
Gambar 2.9. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Kesehatan
Pertama (GINA, 2017)

23
Gambar 2.10. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Medis Akut

 Tahapan pengobatan asma(Gina ,2017) :


Tahap 1. Gejala asma sangat jarang, faal paru normal, tidak ada riwayat
pengobatan dengan pengontrol kortikosteroid inhalasi, maka pasien diberikan obat
penghilang gejala. Adapun yang direkomendasikan adalah agonis beta-2 kerja
singkat (SABA) inhalasi. Alternatif lainnya adalah SABA oral, kombinasi oral
SABA dan teofilin/aminofilin atau antikolinergik kerja singkat inhalasi Tahap 2
sampai dengan 5, pengobatan pengontrol teratur jika perlu (Rengganis I, 2008).
Tahap 2. Ditemukan gejala asma dan eksaserbasi atau perburukan yang
periodik, dengan atau tanpa riwayat pengobatan kortikosteroid inhalasi
sebelumnya, maka diberikan pengontrol kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan
penghilang gejala jika perlu. Alternatif pengontrol lainnya adalah anti-leukotrien

24
bagi pasien yang tidak tepat menggunakan kortikosteroid inhalasi dan pasien
dengan rhinitis alergika. Selain itu, dapat pula diberikan teofilin lepas lambat
kepada pasien dengan gangguan asma malam hari (Rengganis I, 2008).
Tahap 3. Tahap ini untuk pasien yang tidak kunjung membaik di tahap 2
selama kurang-lebih 12 minggu dan diyakini tidak ada masalah lain seperti
kepatuhan, pencetus, dan lain-lain. Pasien diberikan pengontrol kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan agonis beta-2 kerja lama (LABA) yang
disebut LABACS. Alternatif lainnya sama dengan tahap 2 (Rengganis I, 2008).
Tahap 4. Tahapan setelah tahap 3 dimana harus dinilai apakah gejala pasien
sudah terkontrol sebagian atau belum terkontrol, kepatuhan pasien, komorbiditas,
dan pencetus. Pengobatan yang diberikan adalah LABACS dimana kortikosteroid
inhalasi diberikan dalam dosis sedang-tinggi (Rengganis I, 2008).
Tahap 5. Obat yang diberikan adalah LABACS dengan dosis kortikosteroid
inhalasi dosis tinggi dan jika perlu dapat ditambahkan kortikosteroid oral dosis
terendah. Kortikosteroid oral bekerja sistemik sehingga diharapkan dapat
mempercepat penyembuhan, mencegah kekambuhan, memperpendek hari rawat,
dan mencegah kematian (Rengganis I, 2008).

Gambar 2.11 Tahapan pengobatan asma

25
Gambar 2.12 Algoritma Tatalaksana Asma di Rumah

26
Gambar 2.13 Algoritma Tatalaksana Asma di Fasilitas Tingkat Pertama

2.10 Pencegahan asma


Upaya pencegahan asma dapat ditujukan pada pencegahan sensitisasi alergi
(terbentuknya atopi, nampaknya paling relevan waktu prenatal dan perinatal) atau
mencegah terbentuknya asma pada individu yang tersensitisasi. Selain mencegah
paparan tembakau / rokok waktu dalam kandungan atau setelah kelahiran, tidak
ada intervensi yang terbukti dan diterima luas dapat mencegah terbentuknya asma.
Hygiene hypothesis asma. Walaupun kontroversi nama telah membawa
penegasan bahwa mencegah sensitisasi alergi harus focus mengarahkan kembali
repons imun dari bayi ke Th1 atau modulasi T regulator cell. Tetapi strategi
tersebut saat ini masuh merupakan alam hipotesis dan perlu penelitian lebih
banyak (Wibisono M, Jusuf dkk, 2010).

2.11 Prognosis
Asma biasanya kronis, meskipun kadang-kadang masuk ke periode panjang
remisi. Prospek jangka panjang umumnya tergantung pada tingkat keparahan.

27
Dalam kasus-kasus ringan sampai sedang, asma dapat meningkatkan dari waktu
ke waktu, dan banyak orang dewasa bahkan bebas dari gejala. Bahkan dalam
beberapa kasus yang parah, orang dewasa mungkin mengalami perbaikan
tergantung pada derajat obstruksi di paru-paru dan ketepatan waktu dan efektivitas
pengobatan (Dewan Asma Indonesia, 2011).
Pada sekitar 10 % kasus persisten berat, perubahan dalam struktur dinding
saluran udara menyebabkan masalah progresif dan ireversibel dalam fungsi paru-
paru, bahkan pada pasien yang diobati secara agresif. Fungsi paru-paru menurun
lebih cepat daripada rata-rata pada orang dengan asma, terutama pada mereka
yang merokok dan pada mereka dengan produksi lendir yang berlebihan
(indikator kontrol perlakuan buruk) (Dewan Asma Indonesia, 2011).
Kematian dari asma adalah peristiwa yang relatif jarang, dan kematian asma
yang paling dapat dicegah. Hal ini sangat jarang orang yang menerima perawatan
yang tepat untuk mati asma. Namun, bahkan jika tidak mengancam nyawa, asma
dapat melemahkan dan menakutkan. Asma yang tidak terkontrol dengan baik
dapat mengganggu sekolah dan bekerja , serta kegiatan sehari-hari (Dewan Asma
Indonesia, 2011).

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Asma adalah inflamasi jalan nafas kronik,yang ditandai dengan wheezing,
dispneu, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan intensitas
dan bersifat reversible. Klasifikasi asma berdasarkan etiologi, derajat berat asma,
kontrol asma dan gejala. Diagnosis asma berdasarkan pada anamnesis,

28
pemeriksaan fisik dan penunjang. Diagnosis banding: bronkitis kronik, emfisema
paru, gagal jantung kiri akut, emboli paru, dan penyakit lainnya. Pengobatan asma
menggunakan protokol pengobatan menurut GINA.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff, H., Mukty, A. 2009. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam Dasar-Dasar
Ilmu Penyakit Paru, Edisi 6. Airlangga University Press: Surabaya.

2. Dahlan Zulkarnain, dkk. 2012. Kompendium Tatalaksana Penyakit Respirasi dan


Kritis Paru. Jakarta : Perhimpunan Respirologi Indonesia.

3. Dewan Asma Indonesia. 2011.  Pedoman Tatalaksana Asma. Jakarta: CV Mahkota


Dirfan; hal. 36-48.

29
4. Gina (Global Initiative for Asthma). 2017.Pocket Guide for Asthma management
and Prevention. (http://ginasthma.org/wp-
content/uploads/2017/01/GINA_Pocket_2017.pdf, diakses tanggal 22 agustus 2017)

5. Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Pedoman Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. hal. 360-365.odatin-asma.pdf, diakses pada
tanggal 22 agustus 2017).

6. Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, et al., 2003. Transient Relief Of Asthma Symptoms


During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of Bilirubin. Department of Geriatric
and Respiratory Medicine, Tohoku University School of Medicine.

7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. <http://www.klikpdpi.com/konsensus/asm
a/asma.pdf, diakses tanggal 22 Agustus 2017)

8. Pusat Data Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2013. You Can Control Your
Ashtma. (http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/inf,
diakses 20 agustus 2017)

9. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu


Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58; No.11;
Nopember 2008.

10. Wibisono M. Jusuf dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya:
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair.

30

Anda mungkin juga menyukai