Anda di halaman 1dari 111

RINGKASAN

BAB I

Metode numerik adalah suatu teknik dimana masalah matematika


diformulasikan sedemikian rupa sehingga dapat diselesaikan secara hampiran
(dikenal dengan aproksimasi). Metode numerik mencakup jumlah kalkulasi
aritmatika yang menjerumuskan dengan perkembangan komputer digital yang
cepat dan efisien, peranan metode numerik dalam penyelesaian masalah teknik
dan sains. Di dalam metode numerik, istilah rounded error (kesalahan
pembulatan) dan trunction errror (kesalahan pemenggalan) sering dijumpai.
Kesalahan pemenggalan (truncation error) adalah sesuatu hasil dari tempat
pendekatan dari suatu prosedur matematika yang tepat.

1.1 DERET TAYLOR

Dalam esensinya, deret taylor membuktikan arti memprediksi suatu nilai


fungsi pada satu titik yang di bentuk dari nilai fungsi tersebut dan turunannya
pada titik lain. Faktanya, teorema Taylor menyatakan beberapa fungsi yang licin
(smooth) dapat diaproksimasikan dalam bentuk polynomial.

Teorema 1.1. jika fungsi f dan turunan ke n+1 kontinu pada interval yang
mengandung a dan x, maka nilai fungsi pada x diberikan dengan

Sisa didefenisikan sebagai

Cara memperoleh deret Taylor adalah membangun suku demi suku (term dan
term). Sebagai contoh, suku (term) pertama dalam deret adalah
Aproksimasikan orde pertama dari deret Taylor dibangun oleh penambahan term
lainnya untuk menghasilkan

Begitu juga dengan aproksimasi order kedua diperoleh dengan menambah suku

ke dalam persamaan (1.4) untuk mengontrol beberapa

kurvatur yang mana fungsinya bisa ditunjukkan sebagai berikut:

Dengan cara yang sama, term tambahan dapat dimasukkan untuk membangun
penjabaran deret Taylor yang lengkap

Term sisa dimasukkan untuk menghitung semua term dari ke tak terhingga

Bentuk deret Taylor dalam persamaan (1.6) dapat disederhanakan dengan

mendefenisikan ukuran langkah sebagai

Dimana bentuk sisa sekarang adalah


Secara umum penjabaran deret Taylor oreder ke- n akan eksak untuk suatu
polinomial order ke-n. Untuk fungsi kontinu dan dapat diturunkan, seperti
eksponensial dan trigonmetri, sejumlah erm terhingga tidak menghasilkan suatu
perkiraan nilai yang eksak. Setiap term tambahan menyumbangkan beberapa
perbaikan, walaupun sedikit aproksimasinya. Hanya jika sejumlah term ditambah
akan menghasilkan suatu nilai eksak. Ada beberapa kesalahan besar dalam

hubungan suku sisa dari aproksimasi. Pertama, tidak diketahui secara tepat

tetapi hanya meletakkannya disuatu tempat diantara dan . Keduan, untuk

mengevaluasi persamaan (1.9), diperlukan memetukan turunan ke dari

. Persamaan (1.9) biasanya diekspresikan sebagai

dimana berarti bahwa galat pemotongan adalah order dari .

Pemotongan adalah proposional ke ukuran langkah berpangkat . Walaupun

aproksimasi yang menyiratkan apa-apa mengenai besarnya turunan yang dikalikan

dengan , itu sangat berguna dalam menilai galat koperatif dari metode

numerik berdasarkan kepada penjabaran deret Taylor.

Secara umum, kita biasanya dapat mengasumsikan bahwa galat


pemotongan dikurangi oleh term tambahan ke deret Taylor. Pada banyak kasus,

jika cukup kecil, suku order lebih kecil yang lain dan pertama biasanya dihitung

untuk galat dengan persentasinya tinggi secara proporsional. Jadi hanya sedikit
suku diperlukan untuk memperoleh estimasi yang memadai.

1.2 SISA UNTUK PENJABARAN DERET TAYLOR


Sebelum mendemontrasikan bagaimana deret Taylor sebenarnya digunakan untuk
memperkirakan galat numerik, kita harus menerangkan bagaimana masukkan

argument dalam persamaan (1.9).

Andaikan bahwa pemotongan penjabaran deret Taylor setelah suku order nol
untuk menghasilkan

Penggambaran visual dari prediksi order nol ditunjukkan gambar 2.2. Sisa atau
galat prediksi ini yang juga ditunjukkan dalam ilustrasi, terdiri dari suku deret tak
terhingga yang dipotong

Ini jelas tidak sesuai untuk menangani sisa dalam format deret terbatas.

Salah satu simplifikasi mungkin bisa memotong sisa itu sendiri

Walaupun, turunan order lebih kecil biasanya dihitung untuk bagian yang lebih
besar dari sisa dari suku order lebih tinggi .

Ketaktepatan disederhanakan dengan mengaproksimasikan simbol kesamaan


digunakan dalam persamaan (1.10). Alternatif aproksimasi yang
mentransformasikan aproksimasi kepada kesamaan berdasarkan wawasan secara

grafis. Teorema nilai turunan rata-rata menyaakan, jika fungsi dan turunan

pertamanya kontinu atas interval dan , maka terdapat paling sedikkit satu

titik yang mempunyai slope ditandai dengan yang paralel dengan garis

menghubungkan dan . Parameter e menandakan nilai x dimana garis

landai terjadi. Ilustrasi dalam fisika untuk teorema ini, andaikan anda berjalan
antara dua titik dengan rata-rata kecepatanakan ada paling sedikit satu saat selama
perjlanan ketika kamu akan bergerak pada kecepatan rata-rata. Dengan
menggunakan teorema ini slope sama dengan nilai dibagi dengan h

atau dapat ditulis dengan

Jadi, kita peroleh versi persamaan berorder nol. Sedangkan order pertama ditulis

dengan

Sama uga untuk order yang lebih tinggi dapat diperoleh.

1.3 GALAT

Menganalisis galat sangat pentin didalam perhitungan yang menggunakan metode


numerik. Galat berasosiasi degan seberapa dekat solusi hampiran terhadap solusi
sejatinya. Semaki kecil galatnya, samkin teliti solusi numerik yang didapatkan.

Nilai sejati ( true value ) = hampiran (aproksimasi ) + Galat

Misalkan adalah nilai hampiran terhadap nilai sejatinya , maka selisih

disebut Galat . Jika tanda Galat ( positif atau negatif ) tidak dipertimbangkan,

maka Galat mutlak

Galat Relatif ( didefenisikan sabagai

Atau dalam presentase


Karena Galat dinormalkan terhadap nilai sejati, maka galat relatif tersebut

dinamakan galat relatif sejati ( . Dengan demikian, pengukuran panjang

kawat mempunyai galat relatif sejati = 1/100 = 0.01, sedangkan pengukuran


panjang pensil mempunyai galat relatif sejati = 1/10 = 0.1

Proses ini dilakukan secara berulang, atau secara iterasi dengan maksud secara

beruntun menghitung aproksimasi yang lebih baik. Jadi, persen galat relatif ( ) :

Dimana adalah hampiran sekarang, dan hampiran dahulu. Komputasi

diulang sampai . Pada perhitungan numerik yang menggunakan

pendekatan iterasi (iteration), dihitung dengan cara

Dalam hal ini adalah nilai hampiran iterasi sekarang dan adaah niali

hampiran iterasi sebelumnya. Proses itersi dihentikan bila

Yang hal ini adalah toleransi galat yang dispesifikasika. Nilai mementukan

ketelitian solusi numerik. Semakin kecil nilai semakin teliti solusinya, namun

semaikn banyak proses iterasinya.

Secara umum terdapat dua sumber utama penyebab galat dalam perhitungan
numerik :

a. Galat pemotongan
Galat pemotongan mengacu pada galat yang ditimbulkan akibat penggunaan
hampiran sebagai pengganti formula eksak. Maksudnya, ekspresi matematik yang
lebih kompleks “diganti” dengan formula yang lebih sederhana. Istilah
pemoongan muncul karena banyak metode numerik yang diperoleh denan
penghampiran fugsu menggunakan deret Taylor. Karena deret Taylor merupakan
deret yang tak berhingga, maka untuk penghampiran tersebut deret Taylor
dihentikan sampai suku orde tertentu saja. Galat pmotongan pada deret Taylor
dapat dikurangi dengan meningkatkan orde suku-sukunya, namun jumlah
komputasinya menjadi lebih banyak. Pada metode yang menerapkan skema
iterasi, galat pemotongan dapat dikurangi dengan memperbanayk iterasi.

b. Galat Pembulatan

Perhitungan dengan metode numerik hampir selalu menggunakan bilangan riil.


Masalah timbu bila komputasi numerik dikerjakan ole mesin ( dalam hal ini
komputer) karena semua bilangan rii tidak dapat disajikan secara tepat dalam
komputer. Keterbatasan komputer dalam menyajikan bilangan riil menghasilkan
galat yang disebut galat pembulatan.

1.5 ALGORITMA DAN STABILITAS

Prosedur hampiran yang melibatkan barisan kalkulasi yang dibentuk dalam urutan
disebut algoritma. Kita digunakan pseudokod untuk menggambar suatu algoritma.
Tidak semua prosedur numerik memberikan output yang terpenuhi untuk
sembarag input. Sebagai konsekuensi, teknik berhhenti secara bebas dari teknik
numerik tidak terhubung kepada tiap algoritma untuk menghidari looping tak
terhingga.

Satu kriteria kita akan memaksa pada algorita yang perubahannya kecil pada niali
awal yang menyebabkan perubahan yang kecil pula pada penyelesaian. Algoritma
yang memenuhi sifat ini disebut satbil, sedangkan perubahan kecil pada nilai awal
mengakibatkan terjadi pada perubahan yang besar hasil tersebut tidak stabil.
Beberapa algoritma yang stabil hanya untuk pemilihan nilai awal tertentu, dan
dikenal dengan kondisi stabil.

Definisi 1.2.
Andaikan menotasikan suatu galat yang diperkenakan pada beberapa

langkah dalam kalkulasi dan menunjukan ukuran galat setelah n sub barisan

operasi.

 Jika dimana C adalah konstanta bebas dari n, maka

pertumbuhan galat dikatakan linier


 Jika untuk beberapa C > 1, maka pertumbuhan galat

dikatakan eksponensial

Pertambahan galat linier biasanya tidak dapat diabaikan ketika C dan kecil,

hasilnya secara umum dapat diterima. Sedangkan pertambahan galat eksponensial

biasanya diabaikan, karena bentuk menjadi besar untuk nilai n yang relative

kecil. Ssebagai konsekuensi, suatu algoritma yang menunjukkan galat


pertumbuhan linier adalah stabil. Sedangkan galat pertumbuhan eksponensial
adalah tidak stabil.

1.1 Pengertian Metode Numerik

Metode numerik adalah satu-satunya metode alternatif yang ada dalam


upaya menyelesaikan persoalan-persoalan matematis. Berikut alasannya :
1. Metode ini memberikan keefisienan dan keefektifan di dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan matematis dikarenakan berkembangnya
perangkat keras dan lunak komputer akhir-akhir ini.
2. Memungkinkan untuk mengkaji parametrik dari persoalan dengan medan
yang bersifat sembarang.
3. Ketidakmampuan metode analitik (metode lain selain metode numerik)
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan matematis aplikasi yang
kompleks.
Berdasarkan beberapa literatur, dalam metode numerik keputusan menerima
atau menolak suatu jawaban aproksimasi berdasarkan kepada toleransi kedekatan
yang disepakati yaitu kesalahan/galat yang ditimbulkan oleh rumus/formula yang
digunakan. Semakin kecil kesalahan/galat yang ditimbulkan maka semakin baik
hasil aproksimasi yang dihasilkan.
Kemajuan teknologi komputer saat ini memberi peluang besar untuk
mendapatkan nilai aproksimasi yang cepat dan akurat. Hal ini didasari pada
kenyataan bahwa metode-metode yang sudah ada maupun yang sedang
dikembangkan memerlukan proses interasi yang cukup panjang. Oleh karena itu,
tidak cukup memadai bila dikerjakan dengan cara manual maupun menggunakan
kalkulator biasa yang telah dikenal. Berikut beberapa contoh aplikasi matematika
yang menggunakan metode numerik.

Contoh 1.1. (Disari dari Turner (1988))


Diberikan sebuah sistem persamaan diferensial orde satu dalam bentuk

Sistem ini dikenal dengan sebutan Flow ABC (Arnold–Beltrami-Childress). Pada

koordinat bujur sangkar, sistem tersebut periodik dengan periode pada x, y,

and z. Ketika A dan B sama dengan satu dan C sama dengan nol, sistem di atas
terintegralkan. Selain itu, ia tidak terintegralkan.

Contoh 1.2. (Disari dari Sediawan dan Prasetya (1997)


Karakteristik pompa sentrifugal yang digunakan untuk membantu proses
pengaliran cairan dari sebuah tangki (L1) ke tangki lain (L2) melalui sebuah pipa
berdiameter D adalah terletak pada hubungan antara Head pompa (Hm) dalam
satuan centimeter dengan Debit (Q) dalam satuan centimeter kubik per detik.
Model matematika untuk karakteristik pompa demikian diberikan dalam bentuk :

Contoh ini memberikan gambaran bahwa suatu model matematika yang dibentuk
dari fenomena alam memerlukan jawaban numerik yang akan memberikan arti.
Hal yang hampir tidak mungkin dilakukan jika menggunakan metode
numerik adalah tidak melibatkan alat komputasi (Kalkulator atau Komputer).
Salah satu alasan yang paling krusial adalah metode numerik selalu melibatkan
cara iterasi (proses yang berulang). Berikut ini sejumlah perangkat lunak yang
dapat digunakan untuk menerapkan suatu metode numerik:
SPREADSHEET
TURBO PASCAL
FORTRAN
MATHEMATICA
MAPLE
BASIC
C++
TURBO C

1.2 Bilangan dan Angka Signifikan


Ada dua klasifikasi bilangan real yang dikenal dalam matematika yaitu
bilangan eksak dan non eksak. Bilangan eksak terdiri dari bilangan asli, bulat,

rasional dan irasional (yang ditulis dalam bentuk 2, maupun e). Bilangan non

eksak dikenal juga dengan sebutan bilangan aproksimasi yakni bilangan hasil
pembulatan/pendekatan/hampiran dari suatu bilangan eksak. Bilangan
aproksimasi dinyatakan dengan bilangan yang mempunyai derajat ketelitian.

Misalnya, bilangan diaproksimasi menjadi 3,1416 (teliti hingga empat tempat

desimal), atau 3,14159265 (teliti hingga delapan tempat desimal). Sementara itu

nilai eksak dari adalah bilangan desimal tak terbatas sehingga tidak mungkin

dapat ditulis.
Angka-angka yang menyatakan suatu bilangan disebut angka signifikan.
Jadi, bilangan 3,1416; 0,66667 dan 4,0687 masing-masing memuat lima angka
signifikan. Bilangan 0,0023 hanya mempunyai dua angka signifikan yaitu 2 dan
3 karena nol hanya menentukan tempat dari titik desimal.
Sering kali diinginkan untuk memotong/menyingkat penulisan bilangan
yang tersusun panjang di belakang tanda koma, misalnya 12,345678912344
memiliki 12 angka di belakang tanda koma. Proses pemotongan bilangan seperti
itu disebut pembulatan. Secara umum, bilangan-bilangan yang dibulatkan
mengikuti aturan berikut.
Untuk membulatkan suatu bilangan sampai ke n angka signifikan,
hilangkan semua bilangan yang ada setelah angka ke n+1. Apabila bilangan tepat
ke n+1 yang dihilangkan tersebut berkondisi :
a) Kurang dari 5 (setengah satuan), maka angka ke n tidak berubah (tetap).
b) Lebih besar dari 5 (setengah satuan), maka angka ke n bertambah satu (satu
satuan).
c) Tepat 5 (setengah satuan), maka angka ke n bertambah satu (satu satuan)
bila angka ke n ganjil, selain itu tetap.
Bilangan yang dibulatkan disebut teliti sampai n angka signifikan.
Contoh 1.3.
Bilangan-bilangan berikut dibulatkan sampai empat angka signifikan :
1,6583  1,658
30,0567  30,06
0,859378  0,8594
3,14159  3,142

1.3 KONSEP DASAR KALKULUS : NILAI ANTARA DAN DERET TAYLOR

Teorema 1.1

Bila kontinu dalam dan dengan berlawanan tanda,

maka untuk suatu bilangan sedemikian sehingga .

Teorema 1.2

Bila : (i) kontinu dalam

(ii) ada dalam , dan


(iii)

Maka ada paling sedikit satu nilai , sebutlah , sedemikian sehingga

dengan .

Teorema 1.3

Bila : (i) kontinu dalam

(ii) ada dalam , dan

Maka, ada paling sedikit satu nilai , sedemikian sehingga :

, dengan

Bila teorema tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk :

dengan

Teorema 1.4

Bila kontinu dan memiliki turunan ke yang kontinu dalam suatu interval

yang memuat , maka di dalam interval tersebut berlaku :

Dengan adalah suku sisa yang dapat dinyatakan dalam bentuk :

Bila maka deret Taylor di atas dikenal dengan sebutan deret Maclaurin.
Teorema 1.5 (Deret Taylor untuk fungsi dengan dua variabel)

1.4. GALAT DAN TOLERANSI DALAM METODE NUMERIK

1.4.1 Galat

Metode/cara yang ditempuh dengan melibatkan bilangan/angka tertentu dikenal


dengan metode numerik. Untuk menyelesaikan suatu masalah biasanya dimulai
dengan sebarang data awal kemudian dihitung, selanjutnya dengan langkah-
langkah tertentu, akhirnya diperoleh suatu penyelesaian.

a. Tipe Galat

Galat Inheren (Inherent Error)

Merupakan galat bawaan akibat penggunaan suatu metode numerik. Akibat


perhitungan yang sebagian besar adalah tidak eksak, dapat menyebabkan data
yang diperoleh adalah data aproksimasi. Di dalam perhitungan, galat inheren
dapat diperkecil melalui penggunaan data yang besar, pemeriksaan galat yang
jelas dalam data, dan penggunaan alat komputasi dengan ketelitian yang
tinggi.

Galat Pemotongan (Truncation Error)

Disebabkan oleh adanya penghilangan sebarisan suku dari suatu


deret/ekspansi untuk tujuan peringkasan pekerjaan perhitungan.

b. Jenis Galat

Galat Mutlak (Absolut Error)


Adalah selisih numerik antara besar nilai sebenarnya dengan nilai
aproksimasinya.

Galat Relatif

Didefiniskan dengan :

Persentase galat dihitung dari galat relatif yang diberikan dalam bentuk :

Galat Global

Misal adalah fungsi dengan variabel banyak

dan misalkan galat dari tiap adalah . Galat dari

diberikan dalam bentuk :

Galat Dalam Aproksimasi Deret

Galat yang ada dalam aproksimasi suatu deret dapat dievaluasi oleh sisa
sesudah suku-suku ke-n. Untuk suatu barisan yang konvergen, suku-suku sisa

akan mendekati nol untuk . Jadi bila kita mengaproksimasi oleh n

suku pertama dari deret tersebut maka galat maksimum yang dibuat dalam
aproksimasi tersebut diberikan oleh suku sisa.

1.4.2 Toleransi

Batasan nilai galat yang diterima disebut nilai toleransi. Toleransi biasa
disingkat Tol, didefinisikan sebagai batas penerimaan suatu galat. Toleransi
Galat Mutlak adalah nilai mutlsk dari selisih nilai eksak (nilai sebenarnya)
dengan nilai aproksimasi , dinotasikan dengan :

Ukuran ketelitian relatif dinotasikan dengan :

BAB II

PENYELESAIAN DARI PERSAMAAN SATU VARIABEL

2.1. METODE BISEKSI

Definisi 2.1.1 Misalkan adalah fungsi kontinu. Suatu bilangan r sedemikian

hingga = 0 adalah akar persamaan = 0. Bisa dikatakan bahwa r adalah

nolnya fungsi

Metode biseksi secara sistematik bergerak dari ujung interval tertutup secara
bersama-sama sampai diperoleh sembarang titik pada interval kecil yang tertutup
sehingga titik tersebut dikatakan akar persamaan satu variabel.
Berikut ini prosedur metode biseksi.

ya dengan interval [a, b] dan < 0 dan > 0 tidak

< Tol >Tol

a =
ya
tidak
<0 >0

Pencarian < Tol


diteruskan

Pencarian
dihentikan
adalah akar
Teorema 2.1

Misalkan dan ada bilangan sedemikian hingga

. Jika dan berlainan tanda dan mewakilkan barisan

dari titik tengah yang dibangun dari proses biseksi, maka :

untuk n = 0, 1, ...

Dan oleh karena itu konvergen ke akar x = r yakni

2.2. METODE REGULAR FALSI

Diketahui kurva terdefinisi pada interval , titik-titik

dan dengan garis lurus L yang memotong sumbu x pada titik .

Untuk menentukan nilai c ditulis dua versi garis miring m dan garis lurus L.

Pertama dengan menggunakan titik dan adalah :

Kedua, dengan menggunakan titik dan :

Dari kedua persamaan di atas, didapat :

Jadi, dihasilkan :

Berikut ini prosedur metode regular falsi.


dengan interval [a, b] dan < 0 dan > 0
ya tidak

< Tol > Tol

<0 >0

Pencarian < Tol


diteruskan

Pencarian
dihentikan
adalah akar

2.3. ITERASI TITIK TETAP


Metode titik tetap (fixed point) adalah metode iterasi sederhana. Titik tetap untuk

persamaan , dibangun dalam bentuk .

Defenisi 2.3.1 Titik tetap dari fungsi adalah bilangan riil x sedemikian

hingga .

Defenisi 2.3.2 Iterasi , untuk adalah iterasi titik tetap

dengan titik awal .

Satu karakteristik dari metode iterasi adalah satu nilai awal untuk iterasi awal. Jadi

fungsi untuk perhitungan bentuk subsequent adalah perlu bersama-sama

dengan suatu nilai awal .Maka kita dapat bangun suatu barisan { }

menggunakan aturan iterasi


Jadi, dapat ditulis dengan pemisalan nilai awal , maka

.
.
.

.
.
.
Catatan bahwa jika barisan diatas adalah konvergen ke bilangan tertentu, maka,
berhasil menentukan penyelesaian, sebaliknya, maka gagal memperoleh
penyelesaian.

Teorema 2.3.4 (Teorema Titik Tetap)

(i) Misalkan bahwa dan adalah kontinu untuk semua

, maka g mempunyai paling sedikit satu titik tetap dalam

.
(ii) Jika ada dalam dan adalah konstanta positif ada

dengan untuk semua , maka tepat satu titik

tetap dalam .

2.4. METODE NEWTON-RAPHSON


Metode Newton-Raphson adalah suatu algoritma yang berdasarkan pada

kekontinuan dan . Jika , dan kontinu mendekati akar


x, maka dapat digunakan untuk mengembangkan algoritma yang akan
membangun barisan {xk} yang konvergen ke x.

f(x)

800

700

600

500

400
slope f(xi)
300
f(xi) 200

100 f(xi)-0

0 x
2 4 xi-1 6 xi 8 10
-100

Dari gambar tersebut, jika perkiraan awal dari akar adalah , gradien dapat

diperluas dari titik , titik dimana gradien memotong sumbu biasanya

menunjukkan hampiran akar.

Metode ini diperoleh berdasarkan turunan pertama pada yang relevan dengan

kemiringan .

Untuk iterasi pertama dapat ditulis menjadi :


Teorema 2.4.1Misalkan bahwa f C2 [a,b] dan ada bilangan x [a,b] dengan f(x)

= 0. Jika f’(x0) = 0 maka ada bilangan > 0 sedemikian sehingga barisan

didefinisikan , untuk k = 0, 1, 2,... konvergen ke x

untuk sembarang aproksimasi x0 [x – , x + ]

Remark 2.2.4 Fungsi g(x) didefinisikan oleh

2.5. METODE SECANT


Catatan bahwa algoritma Newton-Raphson memerlukan perhitungan dari

dua fungsi, dan dalam iterasinya. Ini sangat berguna jika fungsi

yang terlibat adalah mempunyai bentuk kompleks dan turunan fungsinya susah
diperoleh. Untuk memulai membangun rumus metode yang nantinya dikenal
dengan metode secant simak paparan berikut.

Andaikan dan yang mendekati titik lihat

grafik dibawah

800
700
f(xi)
600
500
400
300

200
f(Xi-1) 100

2 4 6 8 10
-100

Xi-1 xi
Definisi x sebagai titik perpotongan antara sumbu-x dan garis lurus yang melalui
dua titik. Maka, x2 mendekati p daripada titik x1 atau x0. Persamaan yang
menghubungkan x2, x1 dan x dapat diperoleh dengan mempertimbangkan gradient

(2.21)

Nilai dari m dalam persamaan (2.21) adalah gradien dari garis secant yang melalui

dua aproksimasi pertama dan gradien dari garis yang melalui masing-masing titik

dan . Sekarang penyelesaian untuk , kita

hasilkan

(2.23)

Kita generalisasikan persamaan (2.23) untuk menghasilkan

untuk k 1,2,... (2.24)

Persamaan (2.24) memberikan rumus iterasi dua titik untuk metode secant.

BAB II
METODE NUMERIK UNTUK MENYELESAIKAN PERSAMAAN
ALJABAR DAN/ATAU TRANSENDEN

Di dalam kerja ilmiah dan teknik sering dijumpai suatu masalah berkenaan dengan
upaya menyelesaikan persamaan yang berbentuk:

Menyelesaikan persamaan (2.1) maksudnya adalah mencari suatu nilai berkenaan


dengan peubah x sedemikian hingga persamaan tersebut bernilai benar. Nilai-nilai
yang dimaksud biasanya disebut dengan nilai-nilai akar.
Bila berbentuk fungsi polinom sederhana (kuadrat, pangkat tiga, atau

pangkat empat) maka ada rumus-rumus aljabar (metode faktorisasi dan metode
“pembagian suku banyak, misalnya) dapat digunakan untuk menentukan nilai-

nilai akarnya. Sebaliknya, bila suatu polinom berderajat lebih tinggi atau

berbentuk transenden seperti,

tidak tersedia metode aljabar untuk solusinya. Oleh karena itu harus ditempuh
dengan cara aproksimasi. Dalam bagian ini, akan dibicarakan beberapa metode

numerik untuk menyelesaikan permasalahan (2.1) dengan adalah fungsi

aljabar dan/atau transenden.

2.1. METODE BISEKSI (BISECTION METHOD)


Dinamakan metode biseksi (Bi Section) didasarkan atas teknis metode ini
adalah “belah dua”. Metode Biseksi diformulasikan berdasarkan Teorema 1.1

yang menyatakan bahwa bila fungsi kontinu dalam selang/interval (a,b), dan

f(a) dan f(b) berlawanan tanda, maka untuk suatu bilangan α sedemikian hingga

Dengan metode Biseksi, nilai α pertama kali diaproksimasi dengan memilih

yang didefinisikan dengan . Bila atau “dekat” kepada

nilai 0 untuk suatu nilai toleransi yang diberikan maka adalah nilai akar dari .

Sebaliknya bila atau “dekat” kepada nilai 0 tetapi tidak memenuhi

suatu nilai toleransi yang diberikan, maka berdasarkan Teorema 1.1 ada dua

kemungkinan yakni nilai akar berada di antara a dan atau nilai akar berada di

antara dan b. Dari salah satu kemungkinan ini, metode Biseksi kembali akan

digunakan. Secara geometris, metode Biseksi yang dikemukan di atas


diilustrasikan melalui gambar grafik berikut ini.
2.3. METODE NEWTON
Metode NEWTON didasarkan pada aproksimasi linear fungsi dan
menggunakan prinsip kemiringan (Tangen) kurvanya. (Lihat Gambar 2.9).

Kalkulasi dengan metode Newton diawali dengan yang tidak terlalu

jauh dari sebuah akar, bergerak sepanjang garis linear (kemiringan atau tangen
garis) ke perpotongannya di sumbu-x, dan mengambilnya sebagai titik
aproksimasi untuk yang berikutnya. Skema kalkulasinya mengikuti segitiga yang

dibangun dengan sudut inklinasi dari kemiringan garis pada kurva di yaitu
Secara umum metode Newton dirumuskan oleh :

2.4. METODE POSISI SALAH (REGULAR FALSI)

Untuk menghitung nilai akar dari dapat digunakan metode Posisi

Salah / Regular Falsi (RF). Untuk menggunakan aturan RF, diperlukan dua titik,

dan misalnya, sedemikian sehingga garis lurus AB0

memotong sumbu x di titik P1(x1, 0 ).

Proses selanjutnya adalah menghitung nilai x1 melalui persamaan garis

yang memotong sumbu di titik . Setelah itu dengan menggunakan

koordinat titik yakni dapat ditentukan titik dengan koordinat

. Dengan demikian garis akan memotong sumbu di

titik dengan koordinat . Proses ini terus dilakukan hingga diperoleh


sangat dekat dengan yakni

Persamaan garis adalah

f ( x0 ) - f (a )
y - f (a ) = (x - a ) (2.19)
x0 - a

Persamaan (2.19) melalui titik maka diperoleh

f ( x0 ) - f (a )
- f (a ) = ( x1 - a )
x0 - a
(2.20)
a f ( x0 ) - x0 �f (a )
� x1 =
f ( x0 ) - f (a )

Demikian juga dengan persamaan garis

f ( x1 ) - f (a )
y - f (a ) = (x - a ) (2.21)
x1 - a

Persamaan (2.20) melalui titik maka diperoleh

a f ( x1 ) - x1 �f (a )
x2 = (2.22)
f ( x1 ) - f (a )
Secara umum, formula (2.20) dan (2.22) adalah
a �f ( xn ) - xn �f (a )
xn +1 = (2.23)
f ( xn ) - f (a )

BAB 3

INTERPOLASI

3.1 PENDAHULUAN INTERPOLASI

3.1.1 INTERPOLASI LINIER


Interpolasi linier adalah interpolasi dua buah titik yang menghubungkan sebuah

garis lurus. Misalkan diberikan dua buah titik, dan . Polinom yang

menginterpolasi kedua titik itu adalah persamaan garis lurus yang berbentuk:

(3.1)

Koefisien dan dapat dicari dengan proses substitusi dan eliminasi, sehingga

didapat:

dan

(3.2)

Dengan mensubstitusikan nilai dan ke persamaan (3.1), maka

menghasilkan:

(3.3)

Kurva polinom dari ini berupa garis lurus.


3.1.2 INTERPOLASI KUADRATIK

Misalkan diberikan dua buah titik, , dan . Polinom yang

menginterpolasi ketiga titik itu adalah polinom kuarat yang berbentuk:

(3.4)

Jika digambar, kurva polinom kuadrat berbentuk polinom.

Polinom ditentukan dengan cara substitusi ke dalam persamaan

(3.4), i = 1, 2. Dari sini diperoleh tiga buah persamaan dengan tiga buah parameter

yang tidak diketahui, yaitu , dan :

(3.5)
(3.6)

(3.7)

Kemudian hitung , dan dari sistem persamaan dengan metode eliminasi

Gauss-Jordan.

3.1.3 INTERPOLASI KUBIK

Misalkan diberikan dua buah titik, , , .

Polinom yang menginterpolasi keempat titik itu adalah polinom kubik yang
berbentuk:

(3.8)

Polinom ditentukan dengan cara substitusi ke dalam persamaan

(3.4), i = 1, 2, 3. Dari sini diperoleh tiga buah persamaan dengan tiga buah

parameter yang tidak diketahui, yaitu , dan :

(3.9)

(3.10)
(3.11)

(3.12)

Kemudian hitung , , dan dari sistem persamaan dengan metode

eliminasi Gauss-Jordan. Bila digambar, kurva kubik adalah sebagai berikut.

3.1.4 INTERPOLASI KUBIK

(3.13)

Tersedia titik data. Dengan mensubstitusi ke dalam persamaan

(3.13) dengan i = 1, 2, ..., n akan diperoleh n buah sistem persamaan

linier dalam , , , ..., .


(3.14)

(3.15)

(3.16)

(3.17)

Solusi sistem persamaan ini diperoleh dengan menggunakan metode


eliminasi Gauss Jordan. Secara umum, penentuan polinom interpolasi dengan cara
yang diuraikan kurang disukai karena sistem persamaan linier yang diperoleh ada
kemungkinan berkondisi buruk, terutama untuk berderajat polinom yang semakin
tinggi.

Beberapa metode perhitungan polinom interpolasi telah ditemukan oleh


para numerikawan tanpa menggunakan cara pendekatan di atas. Beberapa
diantaranya adalah polinom Lagrange dan polinom Newton.

3. 2 POLINOM LANGRANGE

Misalkan bahwa fungsi diberikan pada titik

. Dimana nilai dari tersebar pada interval

dan memenuhi
Kita akan bangun polinomial pangkat yang melalui titik ini. Dalam

pembangunan ini, hanya nilai numerik dan dibutuhkan. Aproksimasi

polinomial dapat digunakan untuk mempresentasikan ke atas

keseluruhan interval . Ditinjau kembali polinom linier pada persamaan (3.2),

persamaan ini menjadi:

Persamaan tersebut dinamakan polinom Langrange derajat 1.

Atau

Dalam hal ini, dan

Bentuk umum polinom Langrange derajat untuk titik berbeda adalah

Dengan

Dan

3.3. POLINOMIAL NEWTON


Polinomial Lagrange kurang disukai dalam praktek karena alasan berikut:
1. Jumlah komputasi yang dibutuhkan untuk satu kali interpolasi adalah
besar interpolasi untuk nilai x yang lain memerlukan jumlah komputasi
yang sama karena tidak ada bagian komputasi sebelumnya yang dapat
digunakan
2. Bila jumlah titik data meningkat atau menurun, hasil komputasi
sebelumnya tidak dapat digunakan. Hal ini disebabkan oleh karena tidak
adanya hubungan antara dan pada polinom Lagrange.

Polinom Newton dibuat untuk mengatasi kelemahan ini. Dengan polinom


newton, polinom yang dibentuk sebelumnya dapat dipakai untuk membuat
polinom derajat yang makin tinggi.
Tinjau kembali polinom linier pada persamaan (3.11)

3.31

Bentuk persamaan ini dapat ditulis sebagai

3.32

yang dalam hal ini

3.33
dan

3.34

Persamaan (3.34) ini merupakan bentuk selisih-terbagi (devided-difference) dan


dapat disingkat penulisannya menjadi
3.35

Setelah polinom linier, polinom kuadratik dapat dinyatakan dalam bentuk


3.36

atau
3.37

Persamaan (3.37) memperlihatkan bahwa dapat dibentuk dari polinom

sebelumnya, . Ini mengarahkan kita pada pembentukan polinom Newton


untuk derajat yang lebih tinggi. Nilai dapat ditemukan dengan mensubsitusi

untuk memperoleh

3.38

Nilai dan pada persamaan (3.33) dan (3.34) dimasukkan kedalam


persamaan (3.38) untuk memberikan

3.39

dengan melakukan operasi aljabar, persamaan (4.39) dapat ditulis menjadi

3.40

dan seterusnya. Kita dapat membentuk polinom Newton secara bertahap:


polinom derajat n dibentuk dari polinom derajat n-1. Polinom Newton dinyatakn
dalam hubungan rekursif sebagai berikut:
3.41
i. Rekurens:
ii. Basis:

Jadi, tahapan pembentukan polinom Newton adalah sebagai berikut:

3.42

Nilai kontanta merupakan nilai selisih terbagi, dengan nilai


masing – masing
dimana
3.43

3.44

3.45

Dengan demikian polinom Newton pada (3.41) dapat ditulis dalam hubungan
rekursi sebagai
i. Rekurens:

ii. Basis:

BAB 3

INTERPOLASI

3.1. PENGERTIAN INTERPOLASI DAN GALATNYA

Ide interpolasi dalam numerik muncul ketika pernyataan konversi berikut


ini memerlukan tanggapan. “Diketahui set dari daftar nilai-nilai (x0, y0) (x1 ,y1) (x2,
y2),...,(xn, yn ) yang memenuhi relasi y = f (x) dengan bentuk eksplisit f (x) tak
diketahui. Kondisi seperti ini perlu dicari fungsi, sebutlah ∅(x), sedemikian
hingga f (x) dan ∅(x) bersesuaian pada set dari daftar titik-titik tersebut”. Proses
untuk menetukan bentuk ∅(x) atau nilai fungsinya disebut interpolasi. Bila ∅(x)
suatu polinom maka proses demikian disebut interpolasi polinom dan ∅(x)
disebut penginterpolasi polinom. Selain polinom, bentuk interpolasi ∅(x) dapat
juga berupa deret trigonometri terhingga, deret dari fungsi Bessel, dan lain
sebagainya. Di bagian ini diskusi dibatasi pada interpolasi polinom.

Sebagai dasar untuk mengaproksimasi suatu fungsi yang tidak diketahui


oleh suatu polinom dapat mengacu kepada teorema Weierstrass (1885) berikut ini:

“Bila f (x) kontinu dalam x0 ≤ x ≤ xn , maka untuk ε> 0 , ada polinom P (x)

sedemikian hingga f (x) − P(x) <ε , untuk tiap x dalam (x0, xn )” .

Misalkan fungsi y (x) kontinu dan dapat diderensialkan disetiap titik dalam
suatu interval yaitu x∈[a,b] . Misalkan dipunyai n +1 pasang titik yang
didefinisikan oleh titik-titik (xi yi )i = 0,1,2,...n. Asumsikan polinom ∅(x) dengan
derajat kurang dari atau sama dengan n digunakan sebagai fungsi aproksimasi
untuk y (x) yaitu:

y (x) ≈ ∅(x) (3.1)

Oleh karena itu berlaku :

∅(xi) = yi i = 1, 2, ... , n (3.2)

Dari persamaan (3.2.1) diperoleh

E (x) = y (x)−∅(x) (3.3)


dengan E x( ) adalah galat yang di

peroleh atau

E (x) = y (x)−∅(x) (x = x − x1 )(x − x2 )(x − x3 )"(x − xn−1 )(x − xn ) L (3.4)


y (x)−∅(x) = L Π(x) (3.5)
dengan L adalah bilangan tertentu yang belum diketahui, dan Π( ) (x = x − x0 )(x
− x1 )(x − x2 ) (... x − xn ).

Dari persamaan (3.3) jika x = x0, x x1, 2,..., xn maka ia akan bernilai nol
yang berarti bahwa fungsi ∅(x) bernilai eksak (∅(x) = y(x) ). Diferensialkan
terhadap x sebanyak n+1 kali diperoleh

y(n+1) ( )x −0 = L n( +1 !) atau L= ()

(3.6)

Subsitusikan persamaan (3.3) ke persamaan (3.2) diperoleh

E (x) = Π(x) ()
atau

E (x) = Π(x) () (3.7)


dengan x =ξ, x0 <ξ< xn .

3.2. SELISIH (DIFFERENCE)

Selisih dari tiap nilai fungsi dalam konteks numerik, biasanya digunakan notasi-
notasi δ, ∇, dan ∆ yang dibaca “delta”.

A. Selisih Maju (Forward Difference)


Bila y0, y1, y2,...yn adalah nilai-nilai dari y, maka

( y1 − y0 ) (, y2 − y1 ) (, y3 − y2 ),...,( yn − yn−1 )
disebut selisih-selisih dari y. Bila selisih y tersebut berturut-turut ditulis sebagai
∆y0,∆y1,...∆yn−1, dengan kata lain:

∆y0 = y1 − y0, ∆y1 = y2 − y1 ,...∆yn−1 == yn − yn−1


Simbol ∆ disebut operator selisih maju, sedangkan ∆y0,∆y1,... disebut selisih

maju pertama. Selisih dari selisih maju pertama disebut selisih maju kedua dan

ditulis ∆2 y0,∆2 y1,∆2 y2,... dengan cara yang sama, dapat didefinisikan selisih maju

ketiga, selisih maju keempat yakni

∆2 y0 = ∆y1 −∆y0 = y2 − y1 −( y1 − y0 ) = y2 − 2y1 +


y0
∆3 y0 = ∆2 y1 −∆2 y0 = y3 − 2y2 + y1 −( y2 − 2y1 + y0
)
= y3 −3y2 +3y1 − y0
dan
∆4 y0 = ∆3 y1 −∆3 y0

= y4 −3y3 +3y2 − y1 −( y3 −3y2 +3y1 − y0 )

= y4 −4y3 +6y2 −4y1 + y0

Untuk selisih yang lebih tinggi dengan mudah dapat ditentukan karena
koefisien pada ruas kanan adalah koefisien binomial.

B. Selisih Mundur (Backward Difference)

Selisih-selisih ( y1 − y0 ),( y2 − y1 ),...( yn − yn−1 ) disebut selisih mundur pertama,


bila selisih-selisih tersebut berturut-turut ditulis ∇y1,∇y2,∇y3,... sedemikian hingga
:

∇y1 = y1 − y0,
∇y2 = y2 − y1,...,
∇yn = yn − yn−1
dan ∇ disebut operator selisih mundur.
Dengan cara yang sama, dapat didefinisikan selisih mundur berderajat tinggi. Jadi
diperoleh:

∇2 y2 = ∇y2 −∇y2 = y2 − y1 −( y1 − y0 ) = y2 − 2y1 + y0


∇3 y3 = ∇2 y3 −∇2 y2 = y3 −3y2 +3y1 − y0 , dan seterusnya.

C. Selisih Tengah (Central Difference)

Operator selisih tengah δ didefinisikan oleh relasi:

y1 − y0 =δy1/2 ; y2 − y1 =δy3/2 ,..., yn − yn−1 =δy 2 –

Pemahaman konsep selisih dapat dijelaskan dalam contoh jarak tempuh


sebuah mobil terhadap waktu. Misalkan gerakan sebuah mobil ke suatu tempat
memiliki jarak tempuh s berrgantung waktu t. Hal tersebut disebabkan oleh
karena untuk sebarang waktu tertentu, mobil tersebut haruslah menempuh jarak
perjalanan yang unik, dengan jarak adalah suatu fungsi dari waktu, yaitu s = f (t) .

Contoh 3.1.

Evaluasi polinom y = x3 −8x2 −4x +1 untuk x = 0.(0,1).0,5 dan buatlah tabel


selisihnya. Carilah : ∆y0, ∆y1, ∇y1, ∇2 y2,δy3/2, dan δ2 y2

Penyelesaian:

Tabel 3.6. Tabel Selisih Maju untuk Data dalam Tabel 3.5.
x y Selisih ke-1 Selisih ke-2 Selisih ke-3 Selisih ke-4
0 1
-0,479
0,1 0,521 -0,154
-0,633 0,006
0,2 -0,112 -0,148 0
-0,781 0,006
0,3 -0,893 -0,142 0
-0,923 0,006
0,4 -1,816 -0,136
-0,059
0,5 -2,875

Dari Tabel 3.6. di atas diperoleh


∆y0 = −0,479; ∇2 y2 = −0,154

∆y1 = −0,633 δy3/1 = −0,633


∇y1 = −0,479 δ2 y2 = −0,148

D. Selisih Polinom

Misalkan y(x) adalah polinom berderajat n, yaitu

y (x) = + + ...+ an

Maka kita peroleh :

y (x + h)− y (x) = +

∇y(x) = + +...+
Yang menunjukkan bahwa selisih pertama dari polinom berderajat n
adalah polinom berderajat (n–1). Demikian pula, selisih kedua adalah polinom
berderajat (n–2) dan koefisien dari xn−2 adalah a n h0 ! n
yang merupakan
konstanta. Atas dasar hal tersebut, selisih ke (n+1) dari polinom berderajat n
adalah nol.

Sebaliknya, bila selisih ke n dari suatu daftar fungsi adalah konstanta dan
selisih-selisih ke (n+1), ke (n+2), ... dan seterusnya semuanya nol, maka daftar
fungsi tersebut menyatakan polinom berderajat n. Hal tersebut pelru dicatat bahwa
hasil yang kita peroleh itu akan baik hanya bila nilai-nilai dari x berjarak sama
antara yang satu dengan yang lainnya (nilai-nilai x yang berdekatan).

3.3. FORMULA NEWTON UNTUK INTERPOLASI DAN RELASI


SIMBOLIK

Formula Newton untuk Interpolasi

Diberikan set yang terdiri dari (n+1) buah nilai-nilai dari x dan y, yaitu

(x0 , y0 ), (x1, y1 ), ( x2 , y2 ),...(xn , yn ) dari nilai-nilai tersebut akan dicari yn (x),


yaitu suatu polinom berderajat n sedemikian sehingga y dan yn (x) memenuhi
daftar titiktitik tersebut.

Misalkan nilai-nilai tersebut berjarak sama dari x, yaitu : xi = x0 +


ih, dengan i = 0,1,2,...,n

Karena yn (x) suatu polinom berderajat n maka yn (x) dapat ditulis


sebagai:
yn (x) = a0 + a1 (x − x0 )+ a2 (x − x0 )(x − x1 )
+a3 (x − x0 )(x − x1 )(x − x2 )+...
+an (x − x0 )(x − x1 )(x − x2 ) (... x − xn−1 ) (3.8)

Bila kita pakai syarat (kondisi) bahwa y dan yn (x) harus memenuhi set dari titik-
titik tersebut, kita peroleh

; ; ; ;

Bila x = x0 + ph dan subtitusikan a0,a a1, 2,...,an pada persamaan (3.8) kita
peroleh

` dan (3.9) disebut formula interpolasi selisih maju Newton dan dipakai
untuk interpolasi yang dekat ke awal dari nilai x.

Persamaan (3.10) hanya dipakai dalam praktek saja karena bentuk y(n+1) (x) tidak
meberikan informasi apapun.

Ekspansi y (x + h) dengan deret Taylor memberikan

Dengan mengabaikan suku-suku yang memuat h2 dan selebihnya (perpangkatan


tinggi dari h), diperoleh
≡d
Dengan menuliskan y′(x) sebagai Dy(x), dengan D adalah operator diferensial,
dx

bagian kanan persamaan di atas operatornya D . Demikian juga dengan

Dn+1 ≡ h1n+1 ∆n+1

yang berarti

Persamaan (3.10) yang ditulis sebagai

merupakan bentuk yang sesuai untuk perhitungan.

Dari yn (x) pada persamaan (3.1), dapat dipilih


bentuk yn (x)

dan menentukan kondisi bahwa y dan yn (x) sesuai pada daftar titik-titik xn ,
xn−1,..., x2, x1, x0 , kita peroleh (setelah disederhanakan):
Formula (3.13) disebut formula interpolasi selisih mundur Newton dan
digunakan untuk interpolasi yang dekat ke akhir dari nilai-nilai pada daftar (nilai
x).

Contoh 3.4.

Carilah polinom berderajat tiga bila diketahui y(0) = 1, y(1) = 0, y(2) = 1, y(3) =
10 kemudian carilah y(4).

Penyelesaian:

Tabel selisih untuk data pada contoh ini adalah sebagai berikut :

Tabel 3.9.
x y ∆ ∆2 ∆3

0 1

-1

1 0 2

1 6

2 1 8

3 10
Dalam soal ini h = 1. jadi, dengan formula x = x0 + ph dipilih x0 = 0, kita
peroleh p = x. Subtitusikan nilai p ke dalam (3.9), diperoleh

Untuk menghitung y(4) kita perhatikan bahwa p =


4. Dari formula (3.9) kita peroleh

y(4) =1+ 4(−1) +12 + 24 = 33

yang mana nilai tersebut sama dengan suatu nilai


untuk x = 4 yang disubtitusikan ke polinom y(x) =
x3 − 2x2 +1.

Catatan :

Proses pencarian nilai y untuk sebarang x di luar daerah yang diketahui disebut
ekstapolasi, dan contoh tadi menunjukkan bahwa bila suatu daftar fungsi adalah
suatu polinom, maka interpolasi dan ekstrapolasi memberikan nilai yang eksak.

Relasi Simbolik

Formula selisih dapat dinyatakan oleh metode-metode simbolik,


menggunakan operator perubahan E dan operator rata-rata µ dalam penjumlahan
operator-operator δ , ∇ , dan ∆ yang sudah didefinisikan di atas. Operator rata-
rata µ didefinisikan oleh persamaan

µyr =1/2( yr+1/ 2 + yr−1/ 2 ) (3.15)

Operator perubahan E didefinisikan oleh persamaan

Eyr = yr+1 (3.16)


Yang menunjukkan pengaruh dari E pada nilai fungsi yr ke nilai berikutnya
yr+1

Operasi kedua dengan E diberikan oleh

E y2r = E Ey(r ) = Eyr+1 = yr+2

dan umumnya E yn r = yr+n dengan mudah diperoleh hubungan antar ∆ dan E, dan
kita peroleh :

Dari definisi-definisi di atas, relasi-relasi berikut dengan mudah diperoleh

Sebagai contoh, akan ditunjukkan relasi µ2 = 1+1/ 4δ2 . Dari definisi diketahui
bahwa:

Jadi
Dengan demikian µ= 1+1 / 4δ2 . Akhirnya operator D dapat didefinisikan sebagai

Untuk relasi D terhadap E, kita mulai dengan deret Taylor

Bentuk tearsebut dapat ditulis dalam bentuk simbolik seperti berikut:

Karena deret di dalam kurung adalah ekspansi ehD , kita peroleh hasil

E ≡ ehD (3.19)

3.4. FORMULA INTERPOLASI SELISIH TENGAH

Pada bagian terdahulu, telah dibicarakan formula interpolasi maju dan


mundur dari Newton yang berturut-turut digunakan untuk interpolasi dekat ke
awal dan interpolasi dekat ke akhir dari daftar nilai-nilai suatu fungsi. Sekarang
akan dibicarakan formula interpolasi tengah yang lebih sesuai untuk
menginterpolasi data/nilai fungsi yang ada di sekitar pertengahan dari daftar data
tersebut. Operator selisih tengah telah dibicarakan pada bagian terdahulu.
Formula Interpolasi Stirling

Formula Interpolasi Stirling diberikan dalam bentuk berikut


ini:

dengan x = x0 + ph .

3.5. INTERPOLASI DENGAN TITIK-TITIK YANG BERJARAK


TIDAK SAMA

Pada pasal terdahulu telah dibicarakan berbagai macam formula


interpoalsi, tetapi daftar nilai yang diinterpolasi variabel bebasnya (x) berada pada
jarak yang sama.
Pada bagian ini akan dibicarakan beberapa formula interpolasi dengan jarak
antara nilainilai variabel bebasnya yang tidak sama. Dalam pembicaraan kita di
sini akan dibahas formula untuk hal tersebut yaitu formula interpolasi Lagrange
dan formula interpolasi Newton umum.

Formula Interpolasi Lagrange

Misal y(x) kontinu diferensiabel samapi keturunan (n+1) dalam interval


buka (a,b). Diberikan (n+1) buah titik-titik (x0, y0 ), (x1, y1), (x2, y2 ),...,(xn, yn )
dengan nilai-nilai x tak perlu berjarak sama dengan yang lainnya, dan akan kita
cari suatu polinom berderajat n, sebutlah ∅n (x) , sedemikian hingga

Misalkan

adalah polinom yang akan dicari.

Pensubtitusian persamaan 3.8.1 ke dalam 3.8.2, kita peroleh sistem


persamaanpersamaan.

Sistem persamaan (3.23) akan memberikan solusi, bila determinan


Determinan tersebut dikenal sebagai determinan Vandermonde yang bernilai

(x0 − x1 ) (, x0 − x2 ) (... x0 − xn )(x1 − x2 )(x1 − x3 ) (... x1 − xn ) (... xn−1 − xn )


Elimenasi a0,a1,a2,...,an dari persamaan (3.22) dan (3.23) kita peroleh :

yang menunjukkan bahwa ∅n ( )x adalah kombinasi linear dari y0, y1,..., yn .


Berdasarkan itu dapat ditulis

di mana ti (x) adalah polinom dalam x berderajat n. Karena ∅n (xj ) = yj , untuk j


= 0,1,2,3,...n., persamaan (3.25) memberikan

Jadi ti (x) dapat ditulis sebagai :

yang memenuhi kondisi (3.25). Dalam persamaan (3.27), tulis pembilang fungsi
tersebut sebagai
π(x) (x = x − x0 )(x − x1 ) (... x − xi−1 )(x− xi )(x − xi+1 )...(x − xn )
(3.28)
maka diperoleh bentuk

Jadi persamaan (3.27) dapat ditulis

ti (x) = (3.29)
Dengan demikian berlakulah keadaan

yang disebut formula interpolasi Lagrange.

BAB IV
SISTEM PERSAMAAN LINIER

Sistem persamaan linier terjadi dalam bermacam situasi secara luas


termasuk analisis dari sirkuit listrik, jalur lalu lintas, dan perhitungan
ksetimbangan perindustribusian panas dalam lempengan. Tujuan mempelajari bab
ini adalah dapat menyelesaikan system persamaan linier dengan teknik eliminasi
Gauss dan eliminasi Gauss dengan pivot parsial, dapat menentukan istem
persamaan linier dengan metode iterasi, dapat menginmplementasikan metode-
metode ke dalam program MAPLE untuk mempermudah perhitungan.
Tehnik iterasi lebih sesuai untuk sistem lebih besar dari yang sering
muncul dalam penyelesaian persamaan diferensial secara numerik. Tehnik

iterative klasik untuk penyelesaian sistem linier .

AX = b
(4.1)

Berdasarkan penukaran system ke system equivalen

X = CX + d
(4.2)

Diawali dengan aproksimasi awal x (0) ke penyelesaian x , barisan vector


aproksimasi

x (1) , x (2) , x (3) ,...


(4.3)

Dibangun dimana

x ( k ) = Cx ( k -1) + d
(4.4)

Akan dipertimbangkan tiga tehnik iterasi iterasi klasik umumnya untuk system
linier. Metode Jacobi, Gauss-Seidel dan SOR.

4.1 METODE JACOBI

Metode Jacobi dapat diperoleh dengan enukar sistem original (5.22)


mengasumsikan bahwa diagonal dari A tidak mengandung elemen yang nol
menjadi bentuk dekomposisi.

AX = b
(4.5)

Disini A diubah menjadi L + D + U , dimana D, L, dan U masing-masing adalah


diagonal matriks, matriks segitiga atas dan matriks segitiga bawah.
�a11 0 ... 0 � �a11 0 ... 0 �
� � � �
0 a22 ... 0 � a a22 ... 0 �
D=� , L = �21 ,
�M M O M� �M M O M�
� � � �
�0 0 ... ann � �an1 an 2 ... ann �

�a11 a12 ... a1n �


� �
0 a22 ... a2 n �
U =�
�M M O M�
� �
�0 0 ... ann �

Kita tulis dalam (4.2) dalam bentuk (4.5) alam cara

DX = (- L - U ) X + b
(4.6)

X = D -1 ( - L - U ) X + D -1b
(4.7)
X = CX + d (4.8)

Hasil ini dalam bentuk teknik iterative Jacobi

x ( k ) = Cx( k -1) + d (4.9)

Dimana C = D -1 (- U - L) dan d = D -1b . Persamaan (4.9) tidak sesuai untuk


perhitungan yang dianjurkan karena ia melibatkan komputasi invers dari matriks.

Penyelesaian persamaan ke-I untuk x, memberikan aij �0 , Metode Jacobi:

� (-a x x j ( k -1) ) + b
i. j i . j

x j (k ) = j =1, j �i , untuk i = 1, 2,..., n dan k = 1, 2,..., n (4.11)


ai . j

4.2 METODE GAUSS-SEIDEL

Hasil ini dalam bentuk teknik iterative Jacobi pada persamaan (4.9)

x ( k ) = Cx( k -1) + d
Dimana C = D -1 (- U - L) dan d = D -1b . Metode ini dapat dimodifikasi sehingga
(k )
hasilnya diharapkan dapat convergen ke satu titik tertentu. Sejak x1 diharapkan
( k -1)
menjadi aproksimasi lebih baik untuk x1 dari x1 , nampaknya teralasan bahwa

x1( k ) dapat digunakan dalam penempatan x1( k -1) dalam perhitungan x3( k ) . Sama
(k ) (k ) (k )
juga x1 dan x2 bisa digunakan dalam perhitungan x3 . Dengan kata lain, kita
(k ) (k ) (k ) (k ) (k )
hitung xi menggunakan nilai perhitungan x1 , x2 , x3 ,..., xi -1 . Cara ini
disebut metode Gauss-Seidel.

1 � n n �
x j (k ) = b j - �ai. j x j ( k ) - �ai. j x j ( k -1) �untuk i = 1, 2,..., n dan
� k = 1, 2,..., n
ai .i � j =1 j =1+ i �
(4.12)

Theorem 4.1 (konvergen) Misalkan bahwa Matriks A berukuran n x n adalah


dominan secara diagonal langsung, yaitu

n
ai , j > �a
j =1, j �1
i, j untuk i = 1, 2,..., n (4.15)

Maka Ax=b mempunyai penyelesaian unik, dan metode Jacobi dan Gauss-Seidel
konvergen untuk sembarang pemilihan nilai awal x (0) .

4.3 RELAKSASI KEATAS SUKSESIF

Metode SOR disebut juga dengan metode Relaksasi Keatas Suksesif. Metode
SOR adalah percepatan dari metode Gauss-Seidel dengan memperkenalkan faktor
relaksasi w . Prinsipnya, Metode SOR merupakan perbaikan secara langsung dari
metode Gauss-Seidel dengan merupakan factor relaksasi (pembobot) pada setiap
tahap/ proses iterasi.

Definisi: Andaikan C ��n adalah aproksimasi penyelesaian dari system linier


yang didefenisikan oleh AX=b. vector Residu untuk X terhadap sistem ini adalah
r=b-AX.
Misalkan ri = ( r1i , r2i ,L , rni ) adalah vector residu untuk metode Gauss-
(k ) (k ) (k ) (k )

Seidel dengan penyelesaian apoksimasi vector

( )
T
X i ( k ) = x1( k ) , x 2 ( k ) , x i -1( k ) , x i ( k -1) L , x n ( k -1)

(k )
Komponen ke m dari ri adalah

i -1 n
rmi ( k ) = bm - �amj x j ( k ) - �amj x j ( k -1)
j =1 j =1

Atau sama dengan

i -1 n
rmi ( k ) = bm - �amj x j ( k ) - �amj x j ( k -1) - ami x j ( k -1)
j =1 j =1

Untuk tiap m = 1, 2,L , n.

(k )
Pada faktanya, komponen ri ke-I adalah

i -1 n
rii ( k ) = bi - �aij x j ( k ) - �a x ij j
( k -1)
- aii x j ( k -1)
j =1 j =i +1

Jadi

i -1 n
aii x j ( k -1) + rii ( k ) = bi - �aij x j ( k ) - �a x ij j
( k -1)

j =1 j = i +1

(k )
Sebut kembali bagaimanapun, Metode Gauss-Seidel, xi telah dipilih sebagai

1 � i -1 n �
xi ( k ) = bi - �aij x j ( k ) - �aij x j ( k -1) �

aii � j =1 j = i +1 �

Maka persamaan diatas dapat ditulis kembali sebagai

aii xi ( k -1) + rii ( k ) = aii xi ( k )

(k )
Konsekuensinya, metode Gauss-Seidel dikarakteristikan sebagai pilihan xi
untuk memenuhi
rii ( k )
xi ( k ) + rii ( k ) = aii xi ( k -1) +
aii

Kita peroleh hubungan lain antara vector residu dan Metode Gasuss-Seidel.

Dipertimbangkan satu vector residu, ri +1( k ) , diasosiasikan dengan vector

( )
T (k )
X i ( k ) = x1( k ) , x 2( k ) , x i -1( k ) , x i ( k -1) L , x n ( k -1) . Komponen ke-1 dari ri +1 adalah

i -1 n
ri , j +1( k ) = bi - �aij x j ( k ) - �a x ij j
( k -1)
- aii x j ( k )
j =1 j = i +1

(k )
Pemilihan xi +1 sedemikian hingga satu koordinat dari vector residu adalah nol.
Jika kita modifikasi prosedur Gauss-Seidel menjadi

rii ( k )
xi ( k ) = xi ( k -1) + w
aii

Maka untuk pemilihan w bilangan positif tertentu dapat mengurangi norma dari
vector residu dan menghasilkan konvergensi yang lebih cepat secara signifikan.

rii ( k )
xi ( k ) = xi ( k -1) + w disebut metode relaksasi. Kita daapat formulakan menjadi
aii

w � i -1 n �
x j ( k ) = (1 - w ) xi ( k -1) + bi - �aij x j ( k ) -
� �a x ij j
( k -)
� (4.16)
ai , j � j =1 j =i +1 �

Untuk menentukan bentuk matriks dari SOR kita tulis kembali sebagai

i -1 n
aii xi ( k ) + w �aij x j ( k ) = (1 - w ) xi ( k -1) + w �aij x j ( k -1) + wbi
j =1 j =i +1

Sehingga bentuk vector, kita punya

( D - w L) X ( k ) = [(1 - w ) D + wU ] X ( k -1) + wb

Yaitu X ( k ) = ( D - w L )-1[(1 - w ) D + wU ] X ( k -1) + w ( D - w L) -1 b

Misalkan Tw = ( D - w L) [(1 - w ) D + wU ] dan Cw = w ( D - w L) b , teknik SOR


-1 -1

menjadi
X ( k ) = Tw X ( k -1) + Cw b

Theorm 4.2 (konvergensi) Jika A adalah matriks definit positif, yaitu A adalah
simetris dan X T AX > 0 untuk setiap dimensi n vector kolom X �0 , dan
0 < w < 0 , maka metode SOR konvergen ke sembarang nilai awal pilihan x (0) .

BAB IV
DIFERENSIASI DAN INTEGRASI NUMERIK

4.1. DIFERENSIASI NUMERIK


Dalam bagian ini, akan dibicarakan masalah diferensiasi numerik dan integrasi
numerik. Permasalahan yang dimaksud adalah bahwa bila diberikan sekumpulan
nilai-nilai yang berkorespondensi dengan untuk , kemudian diupayakan untuk
mencari formula guna menyelesaikan/menghitung:

dy
(i ) untuk suatu nilai x di dalam interval [ x0 , xn ]
dx
xn

(ii ) �
y dx
x0

Lingkup bahasan dalam bagian ini adalah pada nilai-nilai data berjarak sama.

4.1.1. Formula Newton untuk Diferensiasi Numerik

Metode yang umum untuk mencari formula diferensiasi numerik adalah


mendiferensiasi interpolasi polinom. Oleh karenanya, hubungan tiap-tiap formula
yang dibicarakan pada interpolasi, dipakai untuk untuk menyelesaikan
permasalahan derivatif secara numerik.
Perhatikan formula selisih maju Newton berikut:

u (u - 1) 2 u (u - 1)(u - 2) 3
y = y0 + u Dy0 + D y0 + D y0 + L (4.1)
2! 3!

Dengan

x - x0
x = x0 + uh atau u = (4.2)
h
Dari kalkulus diketahui bahwa aturan rantai untuk derivatif fungsi y = f (u) dan

dy dy du
u = g ( x) diberikan dalam bentuk: = =
dx du dx
dy
Dengan aturan ini, formula derifatif yang diturunkan dari persamaan (4.1)
dx
adalah
dy dy du 1 2u - 1 2 3u 2 - 6u + 2 3
= . = [Dy0 + D y0 + D y0 + ...] (4.3)
dx du dx h 2 6
dy
Formula (4.3) dapat digunakan untuk menghitung nilai untuk nilai-nilai yang
dx
tidak didaftar. Untuk nilai-nilai x yang didaftar, dapat diturunkan formula dengan
cara sebagai berikut:
Pilih x = x0 sehingga u = 0 diperoleh dari (4.2). Subsitusikan nilai tersebut ke
(4.3) diperoleh :
dy �
� 1� 1 1 1 �
� � = �
Dy0 - D 2 y0 + D 3 y0 - D 4 y0 + ...� (4.4)
�dx �
x = x0 h� 2 3 4 �

Dengan menurunkan (4.3) sebanyak 2 (dua) kali lagi terhadap x diperoleh:

dy � 1 � 2
� 6u - 6 3 12u 2 - 36u + 22 4 �
� �= D
2 �
y0 + D y 0 + D y0 + ...� (4.5)
�dx � h � 6 24 �
Subsitusikan u = 0 nilai ke (4.5) diperoleh:
�d2y� 1 �2 11 �
� 2� = 2 D y0 - D 3 y0 + D 4 y0 - ...�
� (4.6)
�dx �
x= x
h
0
� 12 �

Berikut ini beberapa formula derivatif yang dapat diturunkan dengan cara
sebagaimana dikekemukan di atas.
(a) Formula selisih belakang Newton:

dy �
� 1� 1 1 �
� � = �
�yn + �2 yn + �3 yn + ...� (4.7)
�dx �
x = x0 h� 2 3 �

�d2y� 1 �2 11 5 �
� 2� = 2� � yn + �3 yn + �4 yn + �5 yn + ...� (4.8)
�dx �
x = x0
h � 12 6 �
(b) Formula selisih tengah/pusat Stirling :

dy �
� Dy-1 + Dy0 1 D3 y-2 + D3 y-1 1 D 5 y-3 + D5 y-2
1� �
� � = � - + + ...� (4.9)
�dx �
x = x0 h� 2 6 2 30 2 �

�d2y� 1 �2 1 1 �
� 2� = 2� D y-1 - D 4 y-2 + D 6 y-3 + ...� (4.10)
�dx �
x = x0
h � 12 90 �

Berikut ini formula yang sejenis dengan dua formula sebelumnya ((4.4) dan (4.6))
1� 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 �
y0 ' = D - D + D - D + D - D + D - D + ... �

h� 2 3 4 5 6 7 8 �
(4.11)
1� 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 �
= �
D + D - D + D - D + D - D + D + .. �y-1
h� 2 6 12 20 30 42 56 �
1 �2 11 5 137 6 7 7 1 6 1 7 363 8 �
y0 " = D - D3 + D 4 - D5 +
2 �
D - D + D - D + D + ... �y0
h � 12 6 180 10 6 7 560 �
1 � 2 1 4 1 5 13 6 11 7 29 8 �
= 2 �
D - D + D - D - D - D + .. �y-1 (4.12)
h � 12 12 180 180 560 �

Untuk nilai derivatif yang diinginkan dekat ke akhir dari suatu daftar, salah satu
formula berikut ini dapat digunakan:
1� 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 �
yn ' = �+ � + � + � + � + � + � + � + ... �yn

h� 2 3 4 5 6 7 8 �

1� 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 �
= �- � - � - � - � - � - � - � + ... �yn +1 (4.13)

h� 2 6 12 20 30 42 56 �

1 �2 11 5 137 6 7 7 363 8 �
yn " = � + �3 + �4 + �5 +
2 �
�+ �+ � + ... �yn
h � 12 6 180 10 560 �
1� 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 �
= �- � - � - � - � - � - � - � + ... �yn +1 (4.14)

h� 2 6 12 20 30 42 56 �

4.1.2. Nilai Maksimum dan Nilai Minimum dari Suatu Daftar Nilai Fungsi

Dari kalkulus, diketahui bahwa nilai maksimum dan minimum dari suatu fungsi
dapat dicari dengan menetapkan derivatif (turunan) pertama sama dengan nol,
sehinggga diperoleh nilai variabel yang menyebabkan suatu fungsi itu maksimum
atau minimum. Dengan cara yang sama seperti disebutkan di atas, dapat
digunakan pula untuk nilai maksimum dan minimum dari suatu daftar fungsi.

Lihat formula selisih maju Newton berikut:


p ( p - 1) 2 p ( p - 1)( p - 2) 3
y = y0 + pDy0 + D y0 + D y0 + ... (4.15)
2 6

Bila formula (4.15) diturunkan terhadap p diperoleh:


dy 2 p -1 2 3 p 2 - 3 p + 2) 3
= Dy0 + D y0 + D y0 + ... (4.16)
dp 2 6

dy
Konsep maksimum atau minimum fungsi mengharuskan =0
dp
Karena itu, ruas kanan (4.16) dengan menganggap sesudah suku ketiga suku-suku
tersebut bernilai sama dengan nol, diperoleh bentuk kuadrat dalam p yakni:
c0 + c1 p + c2 p 2 = 0 (4.17)
dengan
1 1
c0 = Dy0 - D 2 y0 + D 3 y0
2 3
c1 = D y0 - D y0
2 3
(4.18)
1 3
c2 = D y0
2

4.2. INTEGRASI NUMERIK

Integrasi numerik umumnya dilakukan apabila :


a. Fungsi yang akan diintegrasi sedemikian hingga tidak ada metode analitik
untuk menyelesaikannya, misalnya
b

�sin xdx
a

b. metode analitik ada (bisa dipakai), tetapi agak kompleks untuk digunakan
misalnya ketika akan menyelesaikan integral berikut ini:
b
1

1+ x
a
4
dx

c. Fungsi yang akan diintegrasi, bentuk eksplisitnya tak diketahui, tetapi diberikan
nilai-nilai variabel bebasnya dan nilai-nilai fungsi yang berkorespondensinya
di dalam suatu interval [a,b]

Masalah umum dari integrasi numerik dapat dinyatakan sebagai berikut:


diberikan sekumpulan titik ( x0 , y0 ), ( x1 , y1 ),..., ( xn , yn ) , dari fungsi y = f ( x) ,

dimana bentuk eksplisit dari f ( x) tidak diketahui, dan dari data (keterangan)
tersebut akan dihitung nilai integral tentu berikut:
b
I =�
y dx (4.19)
a

seperti didalam diferensiasi numeric f ( x ) , akan diaproksimasi oleh interpolasi


polinom  ( x) , dan hasilnya pada integrasi tersebut adalah nilai aproksimasi
integral tentu. Jadi,perbedaan formula integrasi bergantung pada bentuk dari
formula integrasi yang dipakai. Dalam bagian ini formula umum untuk integrasi
numerik akan dipakai formula selisih maju dari Newton.
Misalkan interval [ a, b ] dibagi dengan n interval bagian, sedemikian hingga

a = x0 < x1 < x2 < ... < xn = b . Oleh karena itu, xn = x0 + nh . Dengan demikian

diperoleh:
xn

I= �
y dx
x0
(4.20)

x
n
� p ( p - 1) 2 p ( p - 1)(p - 2) 3 �
I=� �y0 + pDy0 + D y0 + D y0 + ...�
dx
x0 � 2 6 �
(4.21)

Karena x = x0 ph maka dx = h dp , dan karena integral di atas menghasilkan


n
� p ( p - 1) 2 p ( p - 1)(p - 2) 3 �
I =� �y0 + pDy0 + D y0 + D y0 + ...�
dp (4.22)
0 � 2 6 �
Dan setelah disederhanakan diperoleh:
xn
� n n(2n - 3) 2 n(n - 2) 2 3 �

x0
y dx = nh �
y0 + Dy0 +
� 2 12
D y0 +
24
D y0 + ...�

(4.23)

Dari formula umum (4.23), kita peroleh macam-macam formula integrasi dengan
mengambil nilai n bulat positif tertentu. Diskusi pada bagian ini dibatasi pada
nilai n=1 dan n=2 . Hal ini dikarenakan selain hanya sebagai demonstrasi teknis
penurunan formula juga formula yang dihasilkan untuk nilai-nilai ini cukup sering
digunakan dalam pemakaian praktis. Formula yang diperoleh dengan memilih
nilai n = 1 dekenal dengan nama formula aturan Trapezoida sedangkan untuk n =
2 dikenal dengan nama aturan Simpson 1/3. Untuk formula aturan Simson 3/8 dan
aturan Weddle berturut-turut diperoleh dengan memilih n = 3 dan n = 6 dari
formula umum 4.23.

4.2.1. Aturan Trapezoida

Untuk n = 1 dalam formula umum (4.23) dan semua turunan yang lebih dari
turunan pertama sama dengan nol, formula tersebut menjadi:

x2

y dx = h �
� y + 1 Dy0 �
� 0 2 �
x1

= h �y0 + 1 ( y1 - y0 ) �
� 2 �
h
= [ y0 + y1 ] (4.24)
2
Dengan cara yang sama untuk interval berikutnya [ x1 , x2 ] , diperoleh juga:
x2
h
y dx = [ y
� 1 + y2 ] (4.25)
x1
2

Dengan menggunakan prinsip induksi matematika, untuk interval terakhir

[ xn-1 , xn ] , diperoleh:
xn
h
�y dx = 2 [ y
xn-1
n -1 + yn ] (4.26)

Dengan menjumlahkan hasil-hasil pada (4.24), (4.25), dan (4.26), diperoleh


skema berikut ini:
xn
h
y dx = [ y
� 0 + 2( y1 + y2 + ... + yn -1 ) ] (4.27)
x0
2

yang dikenal sebagai “Aturan Trapezoida” untuk integrasi numerik (4.20)

Secara geometri Metode Trapezoida dapat dijelaskan sebagai berikut:


b

Untuk memperoleh hasil aproksimasi �


f ( x) dx ,
a
dengan nilai fungsi diketahui

dari sekumpulan nilai x yang berjarak sama pada interval [ a, b] kita tulis nilai-

nilai x oleh xr (r = 0,1, 2,..., n) dimana x0 = a, xr = x0 + rh, xn = x0 + nh = b , dan h

konstanta, dan kita tulis nilai-nilai yang berkorespondensi dengan x oleh f ,


yaitu:
f r �f ( xr ) �f ( x0 + rh)

Kekeliruan aturan Trapezoida dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:


Asumsikan y = f ( x) kontinu dan mempunyai derivatif dalam [ x0 , xn ] . Ekspansi

dalam deret Taylor di sekitar x = x0 memberikan:


x1 x
1
� ( x - x0 ) 2 �

xo
y dx = � y
�0
x0 �
+ ( x - x0 ) y 0 ' +
2
y0 ''+ K �dx

h2 h3
= hy0 + y0 '+ y0 "+K (4.28)
2 6

Sehingga diperoleh

h h� h2 h3 �
[ y0 + y1 ] = �y0 + y0 + hy0 '+ y0 "+ y0 "'+ K �
2 2� 2 6 �
h2 h3
= hy0 '+ y0 + y0 "+K (4.29)
2 6
Dari (4.28) dan (4.29) diperoleh
x1
h 1 3

y dx - [y +y ] =
x0
2
0 1 -
12
h y0 "+ L (4.30)

yang merupakan ukuran galat dalam interval [ x0 , x1 ] .

Dengan cara yang sama, diperoleh kekeliruan-kekeliruan untuk setiap interval


bagian
[ x1 , x2 ] , [ x2 , x3 ] ,K , [ xn-1 , xn ]
yaitu semua kekeliruan [E] yang dapat dihitung dengan menggunakan formula
berikut:
1 3
E=- h ( y "0 + y "1 + L + y "n -1 (4.31)
12
Dengan E disebut kekeliruan total. Apabila ruas kanan (4.31) disubsitusikan ke

dalam y ( x) = ( y "0 + y "1 + K + y "n -1 maka akan diperoleh:


"

(b - a ) 2
E=- h y "( x ) (4.32)
12
Karena nh = (b - a )

4.2.2 Metode Simpson


Metode Simpson dapat diperoleh dari persamaan (4.23) untuk n=2, yaitu
dengan aproksimasi parabolis. Formula untuk aturan ini diperoleh dengan cara
sebagai berikut:
x2
h
y dx = [ y
� 0 + 4 y1 + y2 ]
x0
2
x4
h
Dengan cara yang sama diperoleh pula y dx = [ y
� 2 + 4 y3 + y4 ] secara umum
x2
3

xn
h
diperoleh �y dx = 3 [ y
xn-2
n -2 + 4 yn -1 + yn ] Jumlah keseluruhan integral yang

dimiliki adalah
xn
h
y dx = [ y
� 0 + 4( y1 + y3 + y5 + K + yn -1 ) + 2( y2 + y4 + y6 + K + yn -2 ) + yn ] (4.33)
x0
3

Integrasi numerik dengan menggunakan formula (4.33) dikenal dengan sebutan


metode Simpson 1/3. Di dalam metode ini, interval integrasi dibagi menjadi
interval bagian yang banyaknya genap dengan jarak h. Seperti halnya pada
metode trapezoida, galat pada metode Simpson dapat ditunjukkan sebagai berikut:
b
h
f ( x) dx - [ y
� 0 + 4( y1 + y3 + y5 + K + yn -1 ) + 2( y2 + y4 + y6 + K + yn -2 ) + yn ]
a
3

(b - a ) 4 (4)
=- h y ( x) (4.34)
180
dengan y (4) ( x) adalah nilai terbesar dari derivatif ke-4.

4.2.3 Integrasi Romberg

Metode ini sering digunakan untuk memperbaiki hasil aproksimasi oleh metode
selisih terhingga. Metode ini dipakai untuk evaluasi numerik dari integral tentu,
misalnya dalam penggunaan aturan trapezoida. Misal diberikan integral tentu
dalam bentuk:
b


y dx
a

Dengan aturan trapezoida (4.27) untuk dua interval bagian yang berbeda yang

panjangnya h1 dan h2 akan diperoleh aproksimasi nilai-nilai I1 dan I 2 .

Kemudian, berdasarkan persamaan (4.32) diperoleh kekeliruan E1 dan E2 yaitu:


E1 = -
1
12
( )
(b - a )h12 y " x (4.35)

Dan

E1 = -
1
12
()
(b - a )h2 2 y " x (4.36)

()
Karena suku y " x dalam (4.36) adalah nilai terbesar dari y " ( x ) , maka cukup

beralasan untuk menganggap bahwa y " x dan y " x ( ) () adalah sama. Sehingga

diperoleh
E1 h12
=
E2 h2 2
dan berdasarkan perbandingan itu diperoleh pula
E2 h2
= 22 2
E2 - E1 h2 - h1

Karena , E2 - E1 = I 2 - I1 maka diperoleh:

h22
E2 = ( I 2 - I1 ) (4.37)
h22 - h12

Oleh karena itu aproksimasi baru diperoleh dengan bentuk:


I 3 = I 2 - E2

h2
I3 = I2 - 2 ( I 2 - I1 )
h2 - h12

I1h22 - I 2 h12
I3 = (4.38)
h22 - h12

Karena menggunakan prinsip korektor, formula (4.38) akan memperpiki nilai


aproksimasi sebelumnya yang dan akan mendekati nilai yang sebenarnya.

Dengan mensubstitusikan h2 = 1 2 h1 = 1 2 h kedalam persamaan (4.38), maka

diperoleh:
I ( h, 1 h = 1 �
4 I ( 1 h) - I (h) � (4.39)
2 3� 2 �

Dengan I (h) = I1 , I ( 1 2 h) = I 2 dan I (h, 1 2 h) = I 3

BAB 5
PENDIFERENSIALAN DAN PENGINTEGRALAN NUMERIK

5.1 PENDEFERENSIALAN NUMERIK


Dalam bagian ini diperkenalkan range dari aproksimasi numerik untuk turunan
order pertama dan order lebih tinggi. Pendeferensialan numerik diperlukan untuk
mengestimasi turunan atau garis miring dari fungsi menggunakan nilai fungsi
hanya pada set titik-titik diskrit. Dengan menunjukkan turunan dari fungsi
mungkin diaproksimasi untuk nilai tertentu dari variable bebas.
5.1.1turunan Pertama
Dalam kalkulus, diawali dengan konsep turunan dari fungsi yang mempunyai

variable simple . Aproksimasi tersederhana untuk turunan pertama dari fungsi

yang diberikan muncul dari defenisi formal dari turunan,

(5.1)

(5.2)

(5.3)

(5.4)

(5.5)
(5.6)

(5.7)

(5.8)
5.2 PENGINTEGRALAN NUMERIK
5.2.1 ATURAN TRAPEZODIAL
Di dalam kalkulus, integral adalah satu dari dua pokok bahasan yang mendasar
disamping turunan (derivative). Dalam kuliah kalkulus integral, anda telah
diajarkan cara memperoleh solusi analitik (dan eksak) dari integral Tak-tentu
maupun integral Tentu. Integral Tak-tentu dinyatakan sebagai
∫ f (x)dx = F(x) + C (P.5.1)

Solusinya, F(x), adalah fungsi menerus sedemikian sehingga F'(x) = f(x), dan C
adalah sebuah konstanta. Integral Tentu menangani perhitungan integral di antara
batas-batas yang telah ditentukan, yang dinyatakan sebagai
b
I = ∫ f (x)dx (P.5.2)
a

Menurut teorema dasar kalkulus integral, persamaan (P.6.2) dihitung sebagai

Secara geometri, integrasi Tentu sama dengan luas daerah yang dibatasi oleh
kurva y = f(x), garis x = a dan garis x = b (Gambar 6.1). Daerah yang dimaksud
ditunjukkan oleh bagian yang diarsir.
y

y = f(x)

a b x

Gambar 5.1 Tafsiran geometri integral Tentu

Persoalan Integrasi Numerik

Persoalan integrasi numerik ialah menghitung secara numerik integral Tentu


b
I = ∫ f (x)dx
a

yang dalam hal ini a dan b batas-batas integrasi, f adalah fungsi yang dapat
diberikan secara eksplisit dalam bentuk persamaan ataupun secara empirik dalam
bentuk tabel nilai.

Terdapat tiga pendekatan dalam menurunkan rumus integrasi numerik.


Pendekatan pertama adalah berdasarkan tafsiran geometri integral Tentu. Daerah
integrasi dibagi atas sejumlah pias (strip) yang berbentuk segiempat. Luas daerah
integrasi dihampiri dengan luas seluruh pias. Rumus, dalam bab ini disebut
kaidah, integrasi numerik yang diturunkan dengan pendekatan ini digolongkan
ke dalam metode pias.

Pendekatan kedua adalah berdasarkan polinom interpolasi. Di sini fungsi


integrandf(x) dihampiri dengan polinom interpolasi pn(x). Selanjutnya, integrasi
dilakukan terhadap pn(x) karena polinom lebih mudah diintegralkan ketimbang
mengintegralkan f(x). Rumus integrasi numerik yang diturunkan dengan
pendekatan ini digolongkan ke dalam metode Newton-Cotes, yaitu metode yang
umum untuk menurunkan rumus integarsi numerik..

Pendekatan ketiga sama sekali tidak menggunakan titik-titik diskrit sebagaimana


pada kedua pendekatan di atas. Nilai integral diperoleh dengan mengevaluasi
nilai fungsi pada sejumlah titik tertentu di dalam selang [-1, 1], mengalikannya
dengan suatu konstanta, kemudian menjumlahkan keseluruhan perhitungan.
Pendekatan ketiga ini dinamakan Kuadratur Gauss, yang akan dibahas pada
bagian akhir bab ini.

Metode Pias

Pada umumnya, metode perhitungan integral secara numerik bekerja dengan


sejumlah titik diskrit. Karena data yang ditabulasikan sudah berbentuk demikian,
maka secara alami ia sesuai dengan kebanyakan metode integrasi numerik.
Untuk fungsi menerus, titik-titik diskrit itu diperoleh dengan menggunakan
persamaan fungsi yang diberikan untuk menghasilkan tabel nilai.

Dihubungkan dengan tafsiran geometri inttegral Tentu, titik-titik pada tabel sama
dengan membagi selang integrasi [a, b] menjadi n buah pias (strip) atau segmen
(Gambar 5.2). Lebar tiap pias adalah

h = (P.5.3)

Titik absis pias dinyatakan sebagai


xr = a + rh, r = 0, 1, 2, ..., n (P.5.4)

dan nilai fungsi pada titik absis pias adalah


fr = f(xr) (P.5.5)

Luas daerah integrasi [a, b] dihampiri sebagai luas n buah pias. Metode integrasi
numerik yang berbasis pias ini disebut metode pias. Ada juga buku yang
menyebutnya metode kuadratur, karena pias berbentuk segiempat.

Gambar 5.2 Metode pias

Kaidah integrasi numerik yang dapat diturunkan dengan metode pias adalah:
1. Kaidah segiempat (rectangle rule)
2. Kaidah trapesium (trapezoidal rule)
3. Kaidah titik tengah (midpoint rule)

Dua kaidah pertama pada hakekatnya sama, hanya cara penurunan rumusnya
yang berbeda, sedangkan kaidah yang ketiga, kaidah titik tengah, merupakan
bentuk kompromi untuk memperoleh nilai hampiran yang lebih baik.

5.2.1 Kaidah Segiempat

Pandang sebuah pias berbentuk empat persegi panjang dari x = x0 sampai x = x1


berikut (Gambar 5.3).

y = f( x )

x x x
0 1

Gambar 5.3 Kaidah segiempat

Luas satu pias adalah (tinggi pias = f(x0) )


x1
∫ f (x)dx≈hf(x0) (P.5.6)
x0
atau (tinggi pias = f(x1) )
x1
∫ f (x)dx≈hf(x1) (P.5.7)
x0
Jadi,
x1
∫ f (x)dx≈hf (x0)
x0 x1

∫ f (x)dx≈hf(x1) +
x0
x1
2 ∫ f (x)dx≈h [ f(x0) + f(x1)]
x0

Bagi setiap ruas persamaan hasil penjumlahan di atas dengan 2, untuk


menghasilkan
x
1 h
∫ f (x)dx≈ [f(x0) + f(x1)] (P.5.8)
2
x0

Persamaan (P.5.8) ini dinamakan kaidah segiempat. Kaidah segiempat untuk


satu pias dapat kita perluas untuk menghitung
b
I = ∫ f (x)dx
a

yang dalam hal ini, I sama dengan luas daerah integrasi dalam selang [a, b]. Luas
daerah tersebut diperoleh dengan membagi selang [a, b] menjadi n buah pias
segiempat dengan lebar h, yaitu pias dengan absis [x0 , x1], [x1 , x2], [x2 , x3], ... ,
dan pias [xn-1 , xn]. Jumlah luas seluruh pias segiempat itu adalah hampiran luas I
(Gambar 5.4). Kaidah integrasi yang diperoleh adalah kaidah segiempat
gabungan (composite rectangle's rule):

b
∫ f (x)dx ≈hf (x0) + hf (x1) + hf (x2) + ... + hf (xn-1)
ab
∫ f (x)dx ≈hf (x1) + hf (x2) + hf (x3) + ... + hf (xn) +
a

hf(x0) +2hf (x1)+2hf(x2) + ...+ 2hf(xn-1) f(xn)

Bagi setiap ruas persamaan hasil penjumlahan di atas dengan 2, untuk


menghasilkan
b

∫ f (x)dx≈ f (x0) + hf(x1) + hf(x2) + ... + hf(xn-1) + f (xn)

Jadi, kaidah segiempat gabungan adalah


b

∫ f (x)dx≈ ( f0 + 2f1 + 2f2+ ... + 2fn-1 + fn) = (fo+2

a
dengan fr = f(xr) , r = 0, 1, 2, ..., n .

y = f(x)

...

a = x 0 x1 x2 x3 ... xn-2 xn-1 xn = b x

Gambar 5.4 Kaidah segiempat gabungan

5.2.2 Kaidah Trapesium

Pandang sebuah pias berbentuk trapesium dari sampai berikut


(Gambar 6.5):
Luas satu trapesium adalah

(P.5.10)

Persamaan (P.6.10) ini dikenal dengan nama kaidah trapesium. Catatlah bahwa
kaidah trapesium sama dengan kaidah segiempat.
y

x0 x1 x

Gambar 5.5 Kaidah trapesium

Bila selang [a, b] dibagi atas n buah pias trapesium, kaidah integrasi yang
diperoleh adalah kaidah trapesium gabungan (composite trapezoidal's rule):

b x1 x2 xn
∫ f (x)dx≈∫ f (x)dx + ∫ f (x)dx + ... + ∫ f (x)dx
a x0 x1 xn−1

h h h
≈ [ f(x0) + f(x1)] + [ f(x1)+ f(x2)] + ... + [ f(xn-1) + f(xn)]
2 2 2

h
[ f(x0) + 2f(x1) + 2f(x2) + ... + 2f(xn-1) + f(xn)]

n−1
h
≈ ( f0 + 2 ∑ f1 + fn) (P.5.11)
2 i=1

dengan fr = f(xr) , r = 0, 1, 2, ..., n.

5.2.2 ATURAN SIMPSON


Hampiran nilai integrasi yang lebih baik dapat ditingkatkan dengan mengunakan
polinom interpolasi berderajat yang lebih tinggi. Misalkan fungsi f(x) dihampiri
dengan polinom interpolasi derajat 2 yang grafiknya berbentuk parabola. Luas
daerah yang dihitung sebagai hampiran nilai integrasi adalah daerah di bawah
parabola (Gambar 6.10). Untuk itu, dibutuhkan 3 buah titik data, misalkan (0,
f(0)), (h, f(h)), dan (2h, f(2h)).
y y = p2 (x)

y = f(x)

x0 = 0 x1 = h x2 = 2h x

Gambar 5.10 Kaidah Simpson 1/3

Polinom interpolasi Newton-Gregory derajat 2 yang melalui ketiga buah titik


tersebut adalah p2(x) = f(x0) + hx∆f(x0) + x(2x!h−2h)∆2f(x0) = f0 + x∆f0 + x(2x!
− h
h 2 )∆2f0

Integrasikan p2(x) di dalam selang [0, 2h]:


2h 2h
I≈∫ f (x)dx≈∫ f2 (x)dx
0 0

≈ ( f0 + 4f1 + f2) (P.5.27)

Persaman (P.5.27) ini dinamakan kaidah Simpson 1/3. Sebutan "1/3" muncul
karena di dalam persamaan (P.5.26) terdapat faktor "1/3"
(sekaligus untuk membedakannya dengan kaidah Smpson yang lain, yaitu
Simpson 3/8).

Misalkan kurva fungsi sepanjang selang integrasi [a, b] kita bagi menjadi n+1
buah titik diskrit x0, x1, x2, …, xn, dengan n genap, dan setiap tiga buah titik (atau
2 pasang upaselang) di kurva dihampiri dengan parabola (polinom interpolasi
derajat 2), maka kita akan mempunyai n/2 buah potongan parabola. Bila
masingmasing polinom derajat 2 tersebut kita integralkan di dalam upaselang
(subinterval) integrasinya, maka jumlah seluruh integral tersebut membentuk
kaidah Simpson 1/3 gabungan:
b x2 x4 xn
Itot = ∫ f (x)dx »∫ f (x)dx + ∫ f (x)dx + ... + ∫ f (x)dx
a x0 x2 xn−2

≈ h ( f0 + 4f1 + f2) + h
( f2 + 4f3 + f4) + ... + h
( fn-2 + 4fn-1 + fn)
3 3 3
h
≈ ( f0 + 4f1 + 2f2 + 4f3 + 2f4 + ... + 2fn-2 + 4fn-1 + fn)
3

≈ ( f0 + 4i=∑n1−,31,5fi + 2i=∑n2−,42,6fi + fn) (P.5.28)

Persamaan (P.5.28) ini mudah dihafalkan dengan mengingat pola koefisien


sukusukunya:
1, 4, 2, 4, 2, ... ,2, 4, 1

Namun penggunaan kaidah 1/3 Simpson mensyaratkan jumlah upaselang (n)


harus genap, ini berbeda dengan kaidah trapesium yang tidak mempunyai
persyaratan mengenai jumlah selang.
5.2.3 ATURAN TITIK TENGAH
Kedua- aturan trapezodial dan Simpson menggunakan fungsi pengevaluasian pada
titik ujung dari interval dari pengintegralan. Rumus termudah menggunakan

hanya satu fungsi pengevaluasian pada titik tengah dari interval,

disebut aturan titik tengah. Satu cara untuk memperoleh aturan titik tengah untuk
menggunakan polynomial interpolasi konstan untuk menghasilkan

(6.23)

Aturan titik tengah adalah O(


Contoh 6.2.3.1
Gunakan aturan titik tengah untuk mengaproksimasi I =
Penyelesaian :
Dari (6.23),

5.2.4 ATURAN TRAPEZODIAL KOMPOSIT


Satu cara untuk memperoleh keakurasian yang lebih baik dalam pengintegralan
numeric mungkin bisa digunakan metode yang berdasarkan pada polynomial
interpolasi order yang lebih tinggi. Sayangnya, interpolasi dengan polynomial
tingkat tinggi secara umum tidak begitu baik. Cara terbaik untuk membuktikan
keakuratan pengintegralan numeric dikenal dengan integral komposit. Metode ini
berdasarkan pada subpembagian interval dari integral menjadi subinterval-interval
dan digunakan aturan dasae integral dalam tiap subinterval. Pertama,
dipertimbangkan aturan trafezodial komposit. Untuk cara
termudah,pertimbangkan dua interval-interval [a,x1] dan [x1,b] dengan h = ,

di mana x1 = . Maka,

(6.24)

Contoh 5.2.4.1
Gunakan (5.24) untuk mengaproksimasi
Penyelesain :

Secara umum, kita subbagian interval dari pengintegralan [a,b] menjadi n interval

yang sama dengan lebar h = dan gunakan aturan trapezoidal dasar pada tiap-

tiap subinterval. Ini memberikan aturan trapezoidal komposit umum

Di mana fi = f(xi) untuk I = 1,2,…,n. Aturan Trapezodial komposit untuk n


subinterval adalah O(h2).

5.2.5 ATURAN SIMPSON KOMPOSIT


Aturan simpson dibuktikan dengan membagi interval [a,b] menjadi suatu
subinterval sebanyak m bilangan genap dari h = (b-a)/n , dimana n = 2m dan x i =
x0 + i h untuk i = 0,1,….,n. Maka :
dimana untuk i = 0,1,2,3,4.

Aturan simpson 1/3 komposit secara umum mempunyai bentuk

dimana n adalah genap, h = (b-a)/n dan fi = f(xi) untuk i = 0,1,…,n. Aturan


Simpson Komposit adalah O(h4)

5.2.6 ATURAN TITIK TENGAH KOMPOSIT


Untuk mencari Total Luas Pada daerah pengintegarlan dapat di aproksimasikan
dengan menggunakan aturan titik tengah komposit :

Dimana mk adalah titik tengah dari sub interval ke-k. Aturan titik tengah komposit
adalah O(h2).

BAB 6
PENYELESAIAN NUMERIK DARI PERSAMAAN DIFFERENSIAL
BIASA

PDB (Persamaan Differensial Biasa) adalah persamaan differensial yang


mana terdapat satuvariabel bebas. Alternatf untuk mendapatkan penyelesaian PDB
dan SPDB non linier dengan menggunaan metode numerik yaitu dengan
menggunakan penyelesaian hampiran.adapun metode-metode nmerik seperti
metode Euler < metode Heun, Metode Runge Kutta.

6.1. Metode Euler (Metode Deret Taylor Order Pertama)


Cara mudah untuk menghitung penyelesaian dari PDB dimana PDB dengan awal

ditulis dengan.
dan nilai awal

Dan SPDB dapat ditulis

.....................................................................

Dapa ditulis:

Metode sederhana untuk menyelesaikan PDB dan SPDB non linier adaah metode
Euler yaitu dengan menggunakan deret taylor pertama yaitu

Diketahui maka

Dimana dan serta . Jadi rumus rekursif

untuk PDB non linier yaitu:

dan

Sedangkan metode euler untuk SPDB yaitu:

dan

Contoh 6.1.1
Gunakan metode Euler untuk menyelesaikan NMA secara Aproksimasi

pada [0,1] dengan y(0) = 2

Gunakan langkah dan cari

Penyelesaian:
Dari masalah dan serta . Untuk langkah .

perhitungan adalah ketika , dan dari (6.5) maka

Sekarang dengan dengan (6.5) maka

Dan seterusnya..

Penyelesaian dari menggunakan metode Euler dilihat pada table

berikut:

Tabel Penyelesaian hampiran sejati dari fungsi

Iterasi Galat = Galat =


i)

0 0 2.0 2.0 2.0 0 0


1 0.1 2.2 2.213866 2.215513 0.015513 0.001646
2 0.2 2.43 2.460570 2.464208 0.034208 0.003638
3 0.3 2.693 2.743547 2.749576 0.056576 0.006030
4 0.4 0.9923 3.066591 3.075474 0.083147 0.008883
5 0.5 0.33153 3.433895 3.446164 0.114634 0.012268
6 0.6 0.714683 3.850090 3.866356 0.151673 0.016266
7 0.7 0.146151 4.320290 4.341258 0.195107 0.020968
8 0.8 0.630766 4.850145 4.876622 0.245856 0.026477
9 0.9 0.173843 5.445898 5.478809 0.304966 0.032911
10 1.0 0.781227 6.114441 6.154846 0.373618 0.040403
Tabel diatas menunjukkan bahwa metode euler menghasilkan penyelesaian yang

konvergen jika dihitung dengan barisan nillai h mengarah ke 0. Metode

euler disebut meode erde pertama semenjak dikembangkan dua suku dalam

penjabaran taylor dari fungsi yang tidak dikeyahui

Kesalahan pemotongan perlangkah adalah dan pembulatan yang dapat

mempengaruhi keakuratan nilai pehituungan

Selain dengan bantuan deret taylor metode euler jga dapat menggunakan aturan

segiempat untuk mengintegrasikan pada persamaaan differensial

Integrasikan keduaa ruas dalam selang

Mengintegralakan ruas kanan

Atau

Metode Euler mengandung dua macam Galat yaitu pemotongan (truncation


error) dan galat komulatif (commulative error).galt pemotong dapat langsung
ditentukan dari

Galat pemotong disbut juga galat per langkah, semakin kecil nilai h semakin kecil
pula galat perhitungannnya, galat yang terkumpul pada kir langkah dimulai dari

dan berakhir di maka total galat yang terkumpul pada penyelesaian

akhir
Galat komulatif total sebbenarnya adalah

Penyelesaian dari system chaotic genesion dengan h=0,1.Menggunakan metode


Euler dapat dilihat pada table berikut :
Tabel 6.2. Penyelesaian hampiran dan sejati dari system chaotic genesio

Iterasi ti xi (ti) yi(ti) zi(ti)


(i)
0 0 0.2 -0.3 0.1
1 0.1 0.17 -0.29 0.0596
2 0.2 0.141 -0.28404 0.038018
3 0.3 0.112596 -0.280238 0.033784
4 0.4 0.084572 -0.276860 0.045269
5 0.5 0.056881 -0.272333 0.070652
6 0.6 0.029652 -0.265268 0.107887
7 0.7 0.003126 -0.254479 0.154695
8 0.8 -0.022322 -0.239010 0.208564
9 0.9 -0.046222 -0.218153 0.266770
10 1.0 -0.068038 -0.191476 0.326406

6.2 METODE HEUN


Metode Heun merupakan metode yang dapat mengurangi nilai buruk hasil
dari perhitungan galat dengan menggunakan Metode Euler dimana pada Metode
Heun penyelesaian Metode Euler dijadikan sebagai aproksimasi awal.
Pada metode Euler ,Slop diawali oleh interval :
yi’ = f( xi , yi )
Dimana,persamaan ini digunakan untuk meramalkan kemungkinan secara linier
ke yi + 1 yaitu :
y0i + 1 = y1 + f( xi , yi )h
Metode Heun dihitung dengan rumus diatas yang disebut persamaan prediksi yang
menunjukkan suatu estimasi dari y0i + 1 yang memperbolehkan perhitungan dari
slop yang terestimasi pada titik ujung :

y0i + 1 = f( xi + 1 , I+1 )
Jadi,kedua slope pada persamaan diatas dapat dikombinasikan untuk
menghasilkan rata-rata slope untuk interval :

-
y= =

Rata-rata slop digunakan untuk meramalkan kemungkinan secara linier dari

dan menggunakan metode Euler yaitu :

= yi +

Dimana persamaan diatas disebut persamaan koreksi.


Metode Heun adalah pendekatan prediksi-koreksi.Metode Heun adalah metode
prediksi-koreksi satu langkah yang diekspresikan sebagai berikut :
Prediksi :

i+1 = yi +

Koreksi :

= yi +

Catatan bahwa karena persamaan mempunyai pada kedua-dua sisinya yang


bertanda sama, persamaan tersebut bias diaplikasikan dalam bentuk iterasi.
Estimasi yang lama dapat digunakan berulang untuk memperbaiki suatu estimasi
dari yang lebih baik. Kriteria penghentian untuk convergensi dari koreksi
dibuktikan oleh :

Dimana dan masing-masing adalah hasil dari iterasi sekarang dan


terdahulu dari kofaktor.

6.3 METODE TITIK TENGAH ( MID POINT )


Metode hasil modifikasi dari metode Euler lainnya adalah metode titik tengah,
teknik ini menggunakan metode Euler untuk memprediksi nilai y pada interval
titik tengah.
= yi + f(xi , yi)

Maka, nilai prediksi digunakan untuk menghitung slop pada titik tengah:

= f( , )

Yang diasumsikan untuk memperlihatkan nilai aproksimasi dari rata-rata slope


untuk keseluruhan interval. Kemudian slop ini digunakan untuk meramalkan
secara linier titik xi ke xi+1.

yi+1 = yi + f( , )h

Dari observasi bahwa karena yi+1 tidak dikedua buah sisinya, koreksi tidak dapat
digunakan secara iterative untuk memperbaiki penyelesaian. Dari rumus titik
tengah dari integral seperti berikut:

f(xi )

Dimana xi adalah titik tengah dari interval ( a,b ), dapat diekspresikan sebagai :

Subtitusi yi+1 = yi + menghasilkan persamaan. Jadi metode Heun

bisa disebut juga dengan aturan trapezoidal.


6.4. METODE RUNGE KUTTA

Metode Runge-Kutta ( RK ) memperoleh keakuratan dari deret Taylor


tanpa memerlukan perhitungan turunan tinggi. Hal ini merupakan salah satu
kelebihan dari Metode Runge-Kutta tersebut, sedangkan pada metode-metode
sebelumnya memerlukan perhitungan turunan lebih tinggi.

Secara umum bentuk iterasi dari fungsi increment dapat dituliskan seperti berikut:

( 6.24 )

Dapat diiterpretasikan slop pada interval secara representatife. Fungsi increment


dapat ditulis secara umum seperti berikut:
( 6.25 )

dimana adalah konstanta dan adalah

( 6.26 )

( 6.27 )

( 6.28 )

( 6.29 )

dimana p dan q adalah konstanta. Catatan bahwa k adalah hubungan kejadian. k1


muncul dalam persamaan untuk memperoleh nilai k2 , k2 muncul dalam persamaan
untuk nilai k3 dan seterusnya. Sejak k adalah fungsi evaluasi, kejadian ini membuat
metode Runge-Kutta efesien kalkulasi.

6.4.1. Metode Runge Kutta Order Kedua

Diawali dengan kasus sederhana dari metode Runge Kutta order kedua
( RK2 ) yang mensimulasi keakuran metode deret Taylor order 2. Metode itu
berguna untuk memahami bentuk lain dari metode Runge-Kutta.

Pertama menulis deret Taylor untuk penyelesaian y(t) dalam bentuk:

( 6.30 )

Dimana kita menggunakan persamaan diferensial untuk

mengevaluasi . Tetapi hal ini menyisakan untuk mengevaluasi . Maka kita

menggunakan pendeferensialan aturan chain , maka:


( 6.31 )

dimana subskrip diidentifikasikan sebagai turunan parsial terhadap , y

dianggap konstanta dan begitu juga untuk subskrip y, sehingga dapat ditulis:

( 6.32 )

Jadi, deret Taylor ( 6.30 ) dapat ditulis:

( 6.33 )

Dalam metode dari order 2, hasil penulisan iterasi dapat ditulis dalam bentuk:

( 6.34 )

dimana:

Untuk nilai dan didapat dari hasil evaluasi menyamakan persamaan (

6.34 ) dengan penjabaran deret Taylor order kedua, sehingga diperoleh tiga
persamaan yaitu:

dan . Karena ada 4 variabel yang tidak

diketahui, maka dapat kita asumsikan satu nilai untuk memperoleh tiga nilai
lainnya yaitu dengan tiga metode dibawah ini:

a. Metode Heun dengan koreksi tunggal .


Jika diasumsikan bahwa , diperoleh nilai dan

, persamaan ( 6.30 ) menjadi:

( 6.35 )
dimana:

Catatan :

slope pada interval awal

slope pada interval akhir

Konsekwensinya, metode Runge-Kutta order kedua adalah metode


Heun tanpa iterasi.

b. Metode Titik Tengah ( .

Jika diasumsikan menjadi 1, maka, dan maka

persamaan ( 6.35 ) menjadi:


( 6.36 )

dimana:

Ini adalah metode titik tengah.

c. Metode Ralston .
Ralston ( 1962 ) dan Rabinowits ( 1978 ) memilih

membuktikan batas minimum pada galat pemotongan untuk algoritma

Rune-Kutta order kedua. Untuk versi maka

diperoleh:

( 6.37 )

dimana:

Contoh 6.4.1.1.

Gunakan metode titik tengah dan metode Ralston secara numerik untuk

mengintegralkan . Dari x = 0 ke x = 4

menggunakan langkah 0,5. Syarat awal pada x = 0 adalah = 0 adalah y = 1.


Dibandingkan hasil dengan nilai dihasilkan menggunakan algoritma RK order
kedua yang lain, metode Heun tanpa iterasi koreksi.

Penyelesaian :

 Langkah pertama dalam metode titik tengah dengan menggunakan

,maka:

 Kemudian dihitung nilai dengan , maka:

 Catatan bahwa diperkirakan slope ini lebih dekat ke nilai rata-rata untuk
interval ( 4,4375 ) daripada slope pada titik awal interval ( 8,5 ) yang
dulunya digunakan pada pendekatan Eulere,
 Slope pada titik tengah kemudian dapat disubtitusikan ke persamaan ( 6.36
) untuk memprediksi:
.
 Perhitungan diulang, dan disimpulkan dalam tabel berikut:

Tabel 6.4 Hasil aproksimasi Contoh 6.4.1.1.

Heun Titik Tengah

x yeksak

y y

0,0 1,00000 1,00000 0 1,00000 0

0,5 3,21875 3,43750 6,8 3,109375 3,4

1,0 3,00000 3,37500 12,5 2,812500 6,3

1,5 2,21875 2,68750 21.1 1,984375 10,6

2,0 2,00000 2,50000 25,0 1,750000 12,5

2,5 2,71875 3,18750 17,2 2,484375 8,6

3,0 4,00000 4,37500 9,4 3,812500 4,7

3,5 4,71875 4,93750 4,6 4,609375 2,3

4,0 3,00000 3,00000 0 3 0

RK Relston order kedua

y
1,00000 0

3,277344 1,8

3,101563 3,4

2,347656 5,8

2,140625 7,0

2,855469 5,0

4,117188 2,9

4,800781 1,7

3,031250 1,0
Untuk metode Ralston, k1 untuk interval pertama juga sama dengan 8,5 dan untuk
k2.

Rata-rata slope dihitung dengan:

Yang bisa digunakan untuk memprediksi

Komputasi berulang hasilnya disimpulkan dalam tabel. Semua metode RK order


dua lebih unggul dari metode Euler.

6.4.2. Metode Ruang-Kutta Order Ketiga

Untuk = 3, penurunan mirip dengan yang untuk order kedua

(6.38)

Dimana
(6.39)

Catatan jika turunan dari fungsi hanya x metode runge-kutta order ketiga berubah
menjadi aturan Simpson 1/3.

6.4.3. Metode Ruang-Kutta Order Keempat


Metode RK popular paling baik adalah order keempat. Berikut metode Runge-
kutta order empat klasik.

(6.40)

Dimana

(6.4 )

Catatan bahwa persamaan differensial biasa adalah PDB terhadap variable x,


metode RK order keempat klasik sama dengan aturan Simpson 1/3.

Contoh 6.4.3.1
Gunakan metode Runge Kutta order 4 untuk menyelesaikan NMA secara
hampiran

Gunakan langkah h = 0.1 dan cari hampiran untuk kemudian tentukan

galat dari penyelesaian hampiran dan penyelesaian sejati pada

interval

Penyelesaian :
Diketahui bahwa nilai awal, . Untuk [

dan langkah . Untuk menyelesaikan persamaan diatas

menggunakan Metode Runge Kutta order 4, gunakan persamaan (6.41) untuk

mendapatan nilai maka

dan

*Iterasi Pertama

Kemudian substitusi nilai kepada persamaan diatas

diperoleh

Maka substitusi nilai dan kepada

Diperoleh
*Iterasi Kedua
k1 = f (t1 , y1 ) = t1 + y1
1 1 1 1
k2 = f (t1 + h, y1 + k1h) = t1 + h + y1 + k1h
2 2 2 2
1 1 1 1
k3 = f (t1 + h, y1 + k2 h) = t1 + h + y1 + k2 h
2 2 2 2
k4 = f (t1 + h, y1 + k3 h) = t1 + h + y1 + k3h
Kemudian substitusi nilai t1 = 0.1, h = 0.1, y1 = 2.215512 kepada persamaan diatas
diperoleh
k1 = 0.1 + 2.215512 = 2.315512
1 1
k2 = 0.1 + (0.1) + 2.215512 + (2.315512)(0.1) = 2.481288
2 2
1 1
k3 = 0.1 + (0.1) + 2 + (2.481288)(0.1) = 2.489577
2 2
k4 = 0 + 0.1 + 2 + (2.489577)(0.1) = 2.664470
Maka substitusi nilai k1 = 2.315512, k2 = 2.481288, k3 = 2.489577 dank4 = 2.664470
kepada
1
y2 = y0 + (k1 + 2k2 + 2k3 + k4 )h
6
Diperoleh
1
y2 = 2 + (2 + 2(2.315512) + 2(2.481288) + (2.664470)(0.1) = 2.464208
6

Diketahui bahwa penyelesaian sejati dari PDB y ' = t + y adalah y = 3et - t - 1


untuk h = 0.1
Hasil dari perhitungan diatas dirangkum dalam table berikut :
Tabel Penyelesaian Hampiran dan penyelesaian sejati dari PDB y'= t + y
adalah y = 3e - t - 1untuk
t
h = 0.1
ti Penyelesaian Penyelesaian Sejati Galat (

Hampiran ( (
0 2.0 2.0 0
0.1 2.215512 2.215512
0.2 2.464208 2.464208
0.3 2.749576 2.749576
0.4 3.075473 3.075474
0.5 3.446162 3.446164
0.6 3.866354 3.866356
0.7 4.341255 4.341258
0.8 4.876619 4.876623
0.9 5.478809 5.478809
1.0 6.154845 6.154845

Dari table diatas, pertambahan galat pembulatan dari PDB y ' = t + y untuk
h = 0.1 membentuk garis lurus, sehingga hasil dari penyelesaian hampiran stabil
pada interval [0,1].

6.4.4 Metode Range-Kutta Fehlberg


Metode Range-Kutta Fehlberg adalah metode Range-Kutta berikutnya untuk
menyelesaikan PDB dan SPDB linier atau non linier. Rumus dari metode Range
Kutta Fehlberg dapat ditulis sebagai berikut:
�37 250 125 512 �
yi +1 = yi + � k1 + k2 + k3 + k6 �h
�378 621 594 1771 �
Dengan rumus order kelima
�2825 18.575 13.525 277 1 �
yi +1 = yi + � k1 + k3 + k4 + k5 + k6 �
h
�27.648 48.384 55.296 14.336 4 �
Dimana
k1 = f ( xi , yi )

1 1
k2 = f ( xi + h, yi + k1h )
5 5
� 3 3 9 �
k3 = f �xi + h, yi + k1h + k2 h �
� 10 40 40 �
� 3 3 9 6 �
k4 = f �xi + h, yi + k1h - k2 h + k3h �
� 5 40 10 5 �
� 11 5 70 35 �
k5 = f �xi + h, yi - k1h + k2 h + k3h + k 4 h �
� 54 2 27 27 �
� 7 1631 175 575 44.275 253 �
k6 = f �xi + h, yi + k1h + k2 h + k3 h + k4 h + k5 h �
� 8 55.296 512 13.824 110.592 4096 �

BAB VI
SOLUSI NUMERIK MASALAH NILAI AWAL

81
6.1 PENGERTIAN MASALAH NILAI AWAL DAN METODE LANGKAH
TUNGGAL
Sejumlah fenomena alam (masalah-masalah di dalam sains dan teknik) dapat
dibuat model matematikanya dalam bentuk persamaan atau sistem persamaan
diferensial. Oleh karena itu, jika ingin menganalisis suatu fenomena alam
dapat dilakukan dengan menganalisis solusi persamaan atau sistem persamaan
diferensial terkait dengannya.
Ada banyak metode analitik dan numerik yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan persamaan atau sistem persamaan diferensial. Dalam bagian ini,
akan lebih difokuskan pada sebuah persamaan diferensial biasa (ordinary
differential equations) dengan menggunakan metode numerik.

Definisi 6.1
Masalah Nilai Awal(MNA) adalah sebuah masalah yang melibatkan satu atau
lebih fungsi yang tidak diketahui beserta turunan-turnannya dalam sebuah
persamaan yang memenuhi syarat awal yang diberikan.
Dengan definisi di atas, MNA untuk sistem persamaan diferensial orde
pertama diberikan dalam bentuk berikut ini

Dengan simbol “prime” menyataan turuna pertama terhadap x,y adaah sebuah vetor

dengan D-dimensi dan

Teorema 6.1
Jika persamaan (6.1) adalah sebuah persamaan diferensial sedemikian hingga
f(x,y) kontinu dalam interval dan f memenuhi syarat Lipschitz yaitu

ada sebuah konstanta L sedemikian hingga

untuk semua dan semua kemudian ada fungsi yang

terdeferensialdan kontinu sedemikian hingga


y′= f ( x, y )

dan memenuhi syarat awal

jika peubah bebas x tidak muncul serta eksplisit dalam persamaan

y′= f ( x)

dengan syarat awal

Maka persamaan disebut sistem mandiri atau sistem autonomis

Fungsi f diasumsikan analitik dalam lingkungan nilai awal

/Penyelesaian secara numerik berkenaan dengan nilai diskrit nilai-nilai x

Nilai x berada atu sangant dekat terhadap kurva solusi eksak yakni langkah (step-
size). Ukuran langkah biasanya diambil konstan.
Dalam metode numerik ada dua tipe metode untuk menyelesaikan permasalahan
(6.1). Tipe yang pertama adalah tipe metode langkah tunggal (one-step method).
/
Metode yang termasuk dalam tipe ini misalnya, metode Taylor, Euler, Mid
Point Rule, dan Runge-Kutta. Sedangkan tipe yang kedua adalah tipe metode
langkah tunggal (one-step method). Metode yang termasuk dalam tipe ini adalah
metode-metode Adam, Nyström, Adams-Bashforth, dan Milne-Simpson. Di sini
akan difokuskan hanya pada metode langkah tunggal.

Defenisi 6.2
Sebuah metode langkah tunggal bentuk eksplisit berkenaan dengan penyelesaian
persamaan (1.6) adalah sebuah metode yag mana dapat ditulis kedalam bentuk berikut
ini.
Dengan disebut fungsi increment dan bergantung hanya pada

dan n=0,1,....N

Defenisi 6.3
Metode (6.4) dikatakan konvergen untuk menyelesaikan maslah nilai awal (6.1) jika

untuk semua seiring dengan dan dengan

untuk setiap persamaan differensial (6.1) yang manan memenuhi syarat

Lipschitz.

Defenisi 6.4
Metode (6.4) adalah stabil jika untuk sebuah persamaan differensial yang memenuhi

sebuah syarat Lipschitz ada konstanta positif dn Csedemikian sehingga selisih

antara dua penyelesaian numerik masing-masing memenuhi persamaan

(6.4) sedemikisn sehingga

|| untuk semua

Teorema 6.2

Jika memenuhi sebuah syarat Lipschitz dengan konstanta L, maka metode

(6.4) adalah stabil.

Teorema 6.3

Jika adalah kontinu dalam x,y, dan h untuk dan

semua y jika memenuhi sebuah syarat Lipschitz pada y dalam interva itu

syarat perlu dan cukup untuk konvergen adalah


Syarat (6.5) juga disebut syarat kontinu.

6.2 APROKSIMASI DERET TAYLOR SEBAGAI FUNGSI SOLUSI MNA


Pandang MNA beserta syarat awalnya.Bila y(x) yang terdiferensial dan kontinu
diasumsikan sebagai solusi eksak dari (6.1), maka ekspansi deret taylor untuk y(x)
disekitar x = x0 dapat dinyatakan

ekali nilai dst maka persamaan diatas memberikan deret pangkat

untuk y. Bentuk adalah derivative total yang didefenisikan dalam

bentuk
6.3. APROKSIMASI FUNGSI SOLUSI MNA DENGAN METODE PICARD
Dari teorema dasar kalkulus, integrasi persamaan differensial memberikan
bentuk :

y= y0 -

Pada persamaan (6.9), fungsi y yang tidak diketahui muncul sebagai integran.
Persamaan (6.9) disebut persamaan integral. Dengan demikian persamaan
tersebut dapat diselesaikan dengan metode aproksimasi pertama untuk y diperoleh
dengan meletakkan yo untuk y diruas kanan dari persamaan no (6.9) dan ditulis :

y(1)= y0 +

Integral pada ruas kanan sekarang dapat diselesaikan dan hasil dari y (1)
substitusikan ke y dalam integral dari (6.9) untuk memperoleh aproksimasi kedua
y(2) .

y(2)= y0 +

Analog, akan diperoleh rumusan sebagaimana berikut ini :

y(n) = y0 +

Dengan y(0) = y0

Jadi berdasarkan uraian di atas metode Picard menghasilkan suatu barisan dari
aproksimasi y(1), y(2), ... , y(n).

6.4. METODE EULER

Mulai dari bagian ini hingga akhir bagian, metode numerik yang digunakan untuk
menyelesaikan MNA ( hanya melalui nilai-nilai fungsi yang diketahui
sebaelumnya. Misalkan ingin x = xr = xo + r h diketahui nilai-nilai dengan r = 1,
2, 3, . . ., n.
Untuk n = 1. Persamaan nya akan menjadi :

y( = y1 = y 0 -

Dalam persamaan diatas, bila diasumsikan f(x,y) f(x0,y0) untuk

, maka persamaannya menjadi :

= y0 +

= y0 + = y0 +

= y0 + hf

Analog, untuk diperoleh :

= yn + hf

Dengan - = h dan n = 0, 1, 2, …..,N

Persamaan diatas adalah sebuah integrator yang dikenal dengan sebuatan


integrator metode Euler. Integrator merupakan integrator yang paling sederhana
untuk menyelesaikan MNA . Dengan integrator ini pula, metode-metode implisit
dapat memulai proses penyelesaian MNA. Metode ini, kurang akurat karena

adanya asumsi f(x,y) f(x0,y0) untuk yang pada prinsipnya sangat

beresiko tinggi. Asumsi ini akan sangat mendekati yang diharapkan jika nilai h
<< 1. Jika ini dilakukan konsekuensinya adalah semakin banyaknya iterasi yang
harus dilakukan.

6.5. METODE RUNGE-KUTTA

Seperti telah disampaikan di bagian sebelumnya, bahwa metode Euler


kurang efisien dalam masalah-masalah praktis, karena dalam metode Euler
diperlukan untuk memperoleh hasil yang cukup teliti (akurat). Metode

Runge-Kutta dibuat untuk mendapatkan ketelitian yang lebih tinggi dan kelebihan
dari metode ini adalah bahwa untuk memperoleh hasil-hasil tersebut hanya
diperlukan nilai-nilai fungsi dari titik-titik sebarang yang dipilih pada suatu
interval bagian.

6.5.1 Metode Runge-Kutta Orde 2


Metode Runge-Kutta Orde 2 diberikan dalam skema berikut:

dengan:

6.5.2 Metode Runge-Kutta Orde 4


Metode Runge-Kutta orde empat diberikan dalam rumus berikut ini :

) (6.15)

Dengan

6.6. METODE-METODE BENTUK IMPLISIT


Metode-metode yang telah dibahas sebelumnya adalah metode-metode bentuk
eksplisit (terbuka) yakni metode yang memberikan secara langsung nilai-nilai

ketika nilai ( diberikan/ diketahui. Metode eksplisit juga dikenal

sebagai metode prediksi (predictor). Sebaliknya, metode implisit tidak langsung


memberikan nilai-nilai ketika pasangan nilai ( diberikan. Metode ini

memerlukan beberapa kali proses yang sama/berulang atau memerlukan nilai (

untuk mendapatkan nilai-nilai Dengan keadaan ini, metode

implisit memerlukan waktu lebih lama dibandingkan metode eksplisit. Hal ini
dikarenakan perlunya proses ekstra untuk mendapatkan nilai yang sama atau

sangat dekat dengan . Metode implisit juga dikenal dengan sebutan metode

corrector karena cara kerja metode ini adalah mengoreksi setiap nilai aproksimasi

yang sesuai yakni ketika berlaku kondisi

(6.16)

Toleransi dalam persamaan (6.16) diambil sesuai kebutuhan (umumnya toleransi

<<0.1). untuk k = 0, nilai paling mudah diambil dari metode Euler (pers

6.12). Dua metode implicit yang cukup dikenal adalah metode Aturan Nilai
Tengah (Mid Point Rule) dan metode Gauss-Legendre.

6.6.1 Metode Aturan Nilai Tengah (Mid Point Rule)


Metode aturan nilai tengah diberikan dalam bentuk sebagai berikut :

�y + yn �
yn +1 = yn + hf � n +1 �
� 2 �

6.6.2 Metode Gauss Legendre Orde Empat


Metode gauss legendre orde empat diberikan dalam bentuk berikut :
�k k �
yn +1 = yn + h �1 + 2 �
�2 2 �
Dengan
� �(
k
k1 = f �xn , yn + t �1 +
) �
3 - 2 3 k2 �


� ( )
�3 + 2 3
; k 2 = f �xn , yn + t �


k �
+ 2�

� �4 12 �

� �
� � 12 �
4�

� � �
� � � �

BAB VII

APLIKASI-APLIKASI METODE NUMERIK

7.1 TEKNIK INTERPOLASI LINEAR UNTUK BELAHAN POINCARÉ

7.1.1 Pengertian Belahan Poincaré

Belahan Poincaré yaitu sebuah bidang potong berdimensi dua tempat dimana
trayektori- trayektori dari sebuah penyelesaian sistem dinamik melewatinya. Dari
belahan Poincaré akan diperoleh sebuah photo fase (phase portrait) yang di dalam
ilmu Fisika disebut juga dengan photo stroboscopic. Belahan Poincaré secara
umum diperlukan untuk menyederhanakan proses penganalisaan suatu sistem
dinamik guna mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai sifat-sifat
sistem tersebut (sifat stabil atau tidak stabilnya orbit-orbit periodik, misalnya).

Pengertian bidang Poincaré yang terjadi pada trayektori-trayektori yang


membentuk sebuah torus dapat dijelaskan melalui proses geometri berikut
(Gambar 7.1).

Gambar 7.1: Sebuah torus


(trayektori- trayektori yang
membentuk sebuah “donut”)
dengan sebuah bidang. Belahan
yang terjadi dikenal dengan sebutan
belahan Poincaré.

Dengan adanya belahan Poincaré akan memberikan sejumlah informasi penting


tentang trayektori misalnya sifat kestabilan orbit-orbit periodik (stabil atau tidak
stabil), tipe periodik (periodik atau quasi periodik), dan tipe perpindahan atau
pegerakan trayektori (chaos atau regular) (Hilborn, 1994). Satu contoh sistem
dinamik melibatkan belahan Poincaré sebagai alat untuk menganalisis trayektori-
trayektori dari sistem tersebut (Hénon, 1964), adalah masalah Hénon-Heiles.
Masalah Hénon-Heiles adalah model Hamiltonian yang diberikan dalam bentuk
(Hilborn, 1994).
( 7.1)

Sistem Hamiltonian di atas adalah non-integrable dan memiliki dua derajat


kebebasan atau berdimensi empat. Adapun sistem persamaan diferensial orde
pertama dari persamaan Hamiltonian (7.1) adalah:

Sistem Hamiltonian Hénon-Heiles sangat bergantung pada nilai energi E = H.


Bervariasinya nilai energi E akan bervariasi pula bentuk trayektorinya. Dua buah
belahan Poincaré berikut ini mewakili dua jenis energi E yang berbeda
(Hénon,1981):

Gambar 7.2:
Suatu bentuk belahan Poincare dari
masalah Henon-Heiles.
(i). Henon-Heiles dengan E= 0.125
(ii). Henon-Heiles dengan E=
0.16667

Dari semua bentuk belahan Poincaré di atas setiap invarian kurva, gugusan
"pulau" invarian ellip, dan "lautan" chaotik mengandung makna yang sangat
berarti dimana mereka menggambarkan sifat-sifat trayektori.

7.1.2 Konsep Interpolasi Linear Pada Bidang

Guna mendapatkan data trayektori dari sebuah sistem dinamik yang berada pada
atau cukup dekat pada bidang Poincaré yang diinginkan dapat digunakan metode
Interpolasi Linear. Metode ini dapat diilustrasikan melalui proses geometri berikut
ini. Asumsikan sebuah trayektori x(t) dalam ruang melintasi sebuah bidang

datar sebagaimana dilukiskan pada Gambar 7.3.

Kemudian asumsikan dua buah titik dan

adalah berada pada sisi yang berbeda

dari bidang potong (perhatikan Gambar 7.4.a atau 7.4.b)


Dari kondisi yang di tampilkan oleh Gambar 7.4.a dan 7.4.b persamaan garis lurus

yang terbentuk akan memotong bidang di titik sehingga

hubungan berikut ini diperoleh :

(7.3)

Dengan , , dan adalah komponen dari .

Oleh karena maka persamaan (3) dapat ditulis menjadi :


(7.4a)

(7.4b)

(7.4c)

Persamaan-persamaan (7.4a), (7.4b), dan (7.4c) adalah persamaan linear (garis

lurus) terhadap peubah yang dibentuk untuk menginterpolasi sebuah titik

pada bidang potong. Oleh karena itu cara yang diilustrasikan di atas dinamakan
interpolasi linear.

7.2 SOLUSI NUMERIK SISTEM SUSPENSI MOBIL


7.2.1. Sistem Persamaan Diferensial dan Sistem Suspensi Mobil
Bentuk persamaan diferensial biasa orde dua yang didefinisikan :

(7.5)

dengan syarat awal x(0) = x0 dan x′(0) = v0 memiliki sejumlah aplikasi pada
berbagai bidang. Aplikasi yang dimaksud tiga diantaranya adalah model
matematika untuk sistem suspensi pada mobil, pendulum teredam atau tidak
teredam, dan rangkaian listrik. Bervariasinya nilai-nilai koefisien a2 , a1, dan a0
serta fungsi f(t) pada persamaan (7.5) memberikan interprestasi yang berbeda.
Salah satu bentuk khusus dari persamaan diferensial ini dan merupakan model
matematika pada sistem suspensi mobil diberikan dalam bentuk :

(7.6)

dengan :
m = porsi massa mobil yang didukung oleh sistem suspensi
δ = koefisien peredam shock absorber (proporsional)
k = konstanta kekakuan pegas/per (proporsional)
f (t ) = fungsi gaya
x = fungsi waktu untuk perubahan vertikal dari posisi diam
x ′ = kecepatan perubahan x
x ′′ = percepatan perubahan x
v0 = kecepatan awal dari pusat massa
Dalam menyelesaikan persamaan (7.6) tidaklah sulit, bila fungsi gaya f(t)
= 0 (persamaan diferensial orde dua homogen). Sebaliknya, penyelesaian dapat
menjadi rumit jika fungsi gaya f(t) ≠ 0 (persamaan diferensial orde dua non
homogen). Oleh karena itu, penyelesaian persamaan diferensial (7.6) dapat
dilakukan dengan cara numerik.
Kerja suspensi mobil merupakan sistem kerja spring (pegas), shock
absorber, dan massa. Sistem kerja suspensi mobil dapat dijelaskan oleh diagram
berikut (Giordano and Weir, 1994).

Gambar 7.5 : Sistem Suspensi ( Spring-ShockAbsorber) Mobil

Persamaan diferensial dari sistem suspensi mobil yang ideal dengan


dukungan sistem suspensi dapat disajikan ke dalam bentuk :

(7.7)

Dengan syarat awal . Dalam sistem (7.7)

Untuk keadaan jalan yang memiliki efek “papan

cucian” (washboard), fungsi gaya f(t) diberikan dalam bentuk :


(7.8)

dengan F0 adalah amplitudo dari fungsi gaya dengan periode dan berfrekwensi

. Selain itu untuk kondisi jalan dengan efek “berlobang dan tidak rata” (bumpy

road) insinyur otomotif memberikan fungsi gaya f(t) dalam bentuk :

(7.9)

dengan F0 , a , dan ω adalah konstanta-konstanta bernilai positif dan t adalah


waktu.
Dengan melibatkan fungsi gaya (7.9) , sistem (7.7) menjadi :

(7.10)

Secara umum, kondisi jalan yang dikaitkan dengan fungsi gaya f(t) memiliki
beberapa
tipe (Gambar 7.6.)

Gambar.7.6 : Empat tipe jalan yang diwakilkan oleh bentuk fungsi


f(t). Tipe wash board (a) wake-up strips (b dan c) dan New York
Pothole (d)
Bentuk grafik fungsi dari fungsi gaya f(t) yang diberikan pada (7.8) diwakili oleh
Gambar.7.6 bagian a.
7.2.2 Algoritma untuk Penyelesaian Masalah Sistem Suspensi Mobil
dengan Menggunakan Metode Runge-Kutta Orde Empat
Bentuk Eksplisit.
Dalam menyelesaikan sistem persamaan diferensial (7.10) dengan fungsi
gaya yang mempresentasikan efek washboard atau bumpy road secara numerik
untuk sistem (7.10) dapat dilakukan dengan menggunakan skema metode Runge-
Kutta orde empat bentuk eksplisit berikut :

(7.11)

dengan :

τ = step size
Algoritma yang digunakan untuk mendapatkan sejumlah data output yang
meliputi data hasil perhitungan integrasi secara numerik dan kesesuain parameter
δ dan k yang memberikan informasi tentang waktu pulih sistem Coil Spring-
Shock Absorber yang “terbaik” sebagai berikut :
1. Set Fungsi Turunan berkenaan dengan sistem (7.7) dengan pilihan kondisi
jalan bumpy road dan/atau wash board yang diberikan dalam bentuk sebuah
fungsi sinus atau kosinus, atau kombinasi salah satu fungsi tersebut dengan
fungsi eksponen;
2. Buat pilihan simulasi : misalnya cara simulasi terhadap parameter δ atau cara
simulasi terhadap parameter k ;
3. Set Data Input;
 Ketika pilihan pertama dalam butir kedua yang dipilih, setting data input
adalah step size, jumlah iterasi, syarat awal x(0) = x0, y(0) = v0 , F0 , a , ω
, jumlah parameter δ yang akan disimulasi (dalam hal ini diberlakukan

rumus n = (δn−δ0) ∆δ, dengan n = jumlah parameter, δ , δn = nilai akhir


parameter δ, δ0 = nilai awal parameter δ, dan ∆δ = pertambahan nilai
parameter δ ), dan nilai parameter k .
 Sebaliknya, ketika pilihan kedua pada butir kedua yang dipilah, maka
setting data input adalah : step size, jumlah iterasi, syarat awal x(0) = x0 ,
y(0) = v0 , F0 , a , ω, banyaknya parameter k yang akan disimulasi (dalam
hal ini diberlakukan rumus n = (kn−k0)/∆k dengan n = banyaknya
parameter k , kn = nilai akhir parameter k , k0 = nilai awal parameter dan ∆k
= pertambahan nilai parameter k ), dan nilai parameter δ ;
4. Gunakan integrator (7.11) untuk menyelesaikan sistem (7.7) dengan
perlakuan sebagaimana langkah kedua dan input yang sudah ditetapkan pada
langkah yang ketiga ;
5. Simpan data hasil integrasi numerik ke dalam file data, misalnya : c:/
Rk4x.dat ;
6. Simpan data waktu kembali ke posisi equlibrium dengan ketentuan

ke dalam file data c:/waktunol.dat ;

7. Ulangi proses langkah ke 5 hingga ke 7 untuk parameter yang lain ;


8. Selesai.
7.2.3 Eksperimen Numerik
Eksperimen numerik dilakukan pada penyelesaian persoalan sistem
spring-shockabsorber untuk sebuah mobil import yang sistem suspensinya
didisain menggunakan coil spring-shock absorber. Misalkan suspensi mobil
import menggunakan sistem coil spring- shock absorber untuk mendukung berat
350 kg. Kemudian konstanta kekakuan pegasnya adalah 140000 kg/cm.
Sedangkan shock absorber yang digunakan adalah dumping force yang sama
dengan 3500 kali kecepatan sesaat sistem secara vertikal (satuan dalam
cm/detik). Misalkan sistem digetarkan oleh gaya f(t)=1750 e−2tSin(3t) (satuan
dalam kg−cm / detik2 ). Berkenaan dengan persamaan (7.10), sistem mobil import
yang dimaksud dalam contoh memiliki spesifikasi sebagai berikut :

(7.12)

Eksperimen numerik dapat dilakukan dengan menggunakan paket


program (bahasa Turbo Pascal 6.0 misalnya) yang didasari kepada algoritma
yang telah dikemukanan sebelumnya. Hasil running program diperoleh berupa
data yang dapat dilihat dalam bentuk file.
Data bernama Rk4x.dat yang ada di drive C untuk data hasil integrasi
numerik dan file data bernama waktunol.dat di drive yang sama untuk melihat
lamanya waktu kembali ke posisi equilibrium dan jarak maksimum dan waktu
yang bersesuain yang dicapai dari posisi equilibrium. Ketika langkah-langkah
atau proses di atas dilakukan secara benar akan diperoleh grafik fungsi
sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 7.7 berikut:

Gambar 7.7. Grafik gerakan sistem suspensi sebuah mobil import dengan
spesifikasi sistem suspensi sebagaimana ditunjukkan persamaan (7.12).

Anda mungkin juga menyukai