Anda di halaman 1dari 18

PESTA demokrasi di Indonesia kembali digelar di tahun 2018.

Sebanyak 171 daerah


bakal menggelar pemilihan kepada daerah secara langsung dan serentak di tahun
ini.

Pasangan calon gubernur-wakil gubenur, wali kota-wakil wali kota, dan bupati-wakil
bupati yang bakal mengikuti kontestasi pun telah ditetapkan oleh KPUD di setiap
daerah di pertengahan Februari 2018.

Bagi partai politik, perhelatan Pilkada 2018 ini bernilai sangat strategis. Ada tiga
faktor penyebabnya, yaitu jumlah, populasi, dan waktu.

Pertama, tercatat 17 provinsi dan 154 kota atau kabupaten bakal menggelar
pemilihan kepala daerah secara serentak pada 2018. Dari segi jumlah, ini menjadi
yang terbesar dibandingkan dengan pilkada pada 2015 dan 2017.

Kedua, dari segi populasi, total pemilih yang bakal mengikuti pemilihan kepala
daerah tahun 2018 merupakan yang terbanyak dibandingkan tahun 2015 dan 2017.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, pada Pemilu
2014, pemilih di 17 provinsi yang bakal menggelar Pilkada 2018 mencapai angka
146,5 juta orang atau 77 persen dari 190,3 juta pemilih.

Untuk pemilihan kepala daerah pada tahun 2018, KPU memprediksi jumlah pemilih
di 17 provinsi tersebut mendekati 160 juta suara.

Ketiga, waktu pelaksanaan Pilkada 2018 sangat dekat dengan masa pendaftaran
calon presiden dan calon wakil presiden maupun calon legislatif periode 2019-2024.

Pemungutan suara untuk Pilkada 2018 berlangsung pada 27 Juni 2018. Masa
pendaftaran calon legislatif digelar kurang dari dua minggu setelahnya.

Adapun masa pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden periode 2019-
2024 bakal dilakukan kurang dari dua bulan setelahnya, yaitu pada awal Agustus
2018.

Kedekatan periode waktu ini membuat hasil Pilkada 2018 sedikit banyak bakal
berpengaruh terhadap kontestasi di pemilihan presiden 2019.

Bahkan bisa dikatakan, pilkada serentak 2018 ini bukan sekadar memilih gubernur
dan wali kota/bupati. Pilkada 2018 bisa dianggap sebagai babak kualifikasi untuk
penentuan calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia periode
2019-2024.

Mesin partai

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, setiap


partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling
sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam
penentuan perolehan kursi anggota DPR RI.
Ambang batas ini lebih tinggi dibandingkan Pemilu 2014 (3,5 persen) dan Pemilu
2009 (2,5 persen). Faktor risiko bagi setiap parpol peserta pemilu pun menjadi
meningkat dengan naiknya ambang batas ini.

Belum lagi jika mengingat fakta munculnya empat parpol baru peserta Pemilu 2019.
Semakin banyak peserta pemilu, berarti semakin banyak pesaing dalam memikat
hati rakyat di tahun 2019.

Dibandingkan Pemilu 2014, peningkatan jumlah "kue" suara rakyat yang dibagi tidak
signifikan, namun bertambahnya jumlah partai pesaing mencapai 40 persen. Kondisi
ini membuat persaingan pun semakin ketat.

Dengan situasi seperti ini, momen Pilkada 2018 menjadi semakin penting. Parpol
bakal menggunakannya untuk "memanaskan" mesin parpolnya. Mengetes seberapa
jauh kekuatan dan ketahanan saat ini.

Jika mengusung calon kepala daerah dari kader partai sendiri, keberhasilan kader
partai terpilih sebagai kepala daerah di Pilkada 2018 ini menunjukkan mesin partai di
daerah tersebut bisa diandalkan. Apalagi jika kader partai yang terpilih bukan tokoh
terpopuler ataupun memiliki elektabilitas tertinggi.

Jika memang tokoh yang diusungnya tidak berhasil menjadi kepala daerah, momen
seperti ini berharga untuk mengevaluasi critical point yang perlu diperbaiki.

Jadi, ketika Pileg dan Pilpres 2019, kesalahan yang sama tidak lagi terjadi. Parpol
lama tentunya berharap bakal bisa memperlebar gap dengan parpol baru,
sedangkan parpol baru berharap bisa mendulang kesuksesan di 2019 dengan
belajar memanaskan mesin partai di Pilkada 2018 ini.

Success rate tinggi di Pilkada 2018 yang diikuti hampir 80 persen pemilih, bakal
memunculkan kepercayaan diri bagi setiap parpol yang terlibat di dalamnya.

Mereka pun bakal bisa menakar, sejauh mana kekuatan dan ketahanan mesin partai
mereka, dalam mengarungi pertarungan di Pileg dan Pilpres 2019. Dan, seberapa
tinggi daya tawar mereka dalam berkoalisi dengan partai lain dalam memajukan
calon presiden ataupun calon wakil presiden.

Juru kampanye

Penggunaan juru kampanye selama ini dianggap sebagai salah satu cara yang
efektif dalam membantu menarik perhatian pemilih ke partai politik pengusung
ataupun calon kepala daerah.

Disadari atau tidak, pesan yang disampaikan oleh sumber yang menarik, akan
mendapatkan perhatian besar, di samping sangat mudah untuk diingat (Royan,
2005). Di sinilah juru kampanye berperan.

Keberadaan juru kampanye bertaraf nasional bakal dengan cepat mengerek


popularitas calon kepala daerah. Bahkan, dalam taraf tertentu, juru kampanye
nasional yang tepat seakan-akan bisa "meminjamkan" citranya kepada sosok calon
kepala daerah.

Dengan kata lain, calon kepala daerah diasosiasikan sebagai sosok yang memiliki
citra yang serupa dengan juru kampanye nasional. Jika dikelola dengan tepat,
kondisi seperti ini bakal memuluskan jalan calon kepala daerah meraih elektabilitas
melebihi pesaingnya.

Daya tarik juru kampanye nasional itu sendiri di antaranya terletak pada dua hal
yang dikenal sebagai Q factor, yaitu familiarity atau keakraban dan likability atau
kesukaan.

Konsep yang dikenal dalam dunia pemasaran ini (Kotler & Keller, 2012), bakal
mempermudah kita dalam memilih juru kampanye nasional yang tepat.

Semakin tinggi tingkat familiarity dan likability seorang juru kampanye nasional bagi
pemilih setempat, maka kemungkinan besar semakin efektif juru kampanye tersebut
dalam mendukung kampanye calon kepala daerah.

Dalam konteks ini, sering dijumpai masyarakat pemilih menentukan pilihannya


karena sosok juru kampanye nasional, bukan karena sosok kepala daerah.

Di perhelatan Pilkada 2018, sejumlah tokoh nasional, seperti Megawati


Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Zulkifli Hasan, Muhaimin Iskandar, Agus H
Yudhoyono, ditengarai turun gelanggang ke berbagai pelosok daerah.

Mereka berperan sebagai juru kampanye bagi calon-calon kepala daerah yang
diusung partai politik tempat mereka bernaung. Keberadaan mereka tentunya
diharapkan bisa berperan sebagai endorser yang efektif untuk calon kepala daerah
yang diusung partainya.

Dalam konteks inilah, Pilkada 2018 bisa dianggap sebagai babak kualifikasi untuk
penentuan calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia periode
2019-2024.

Selama ini, penggunaan tokoh nasional selaku juru kampanye dilakukan dengan
tujuan untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas calon kepala daerah.

Namun, di sisi lain, tokoh nasional yang menjadi juru kampanye memiliki
kesempatan me-recall kembali ingatan publik akan sosok dirinya, maupun
mengenalkan dirinya ke segmen dan jangkauan wilayah pemilih yang lebih luas.

Dengan meningkatnya keterkenalan sosok tokoh nasional, tentu lebih memudahkan


untuk melambungkan elektabilitasnya.

Tak hanya itu, hasil yang didapat oleh calon kepala daerah yang didukungnya,
merupakan salah satu indikator, seberapa efektif sosok dia selaku juru kampanye,
serta seberapa besar kemungkinan keterpilihannya jika menjadi calon presiden atau
calon wakil presiden.
Peran tiga poros

Pertanyaan selanjutnya adalah, siapa sajakah yang bakal menjadi penentu dalam
kontestasi menuju kursi capres atau cawapres melalui Pilkada 2018?

Dalam kolom di Kompas.com, 4 Mei 2017, penulis memprediksi bakal ada tiga poros
penentu konstelasi Pilpres 2019.

Pertama, poros partai pendukung pemerintah yang dimotori PDI-P dengan tokoh
sentralnya Megawati Soekarnoputri, atau kita sebut Poros Teuku Umar.

Kedua, ada Poros Kertanegara, dengan Prabowo Subianto selaku tokoh utamanya.
Terakhir, Poros Cikeas, yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudoyono.

Pada Pilkada 2018, pergerakan ketiga poros ini bakal memengaruhi konstelasi
politik secara keseluruhan, apakah dua ataukah tiga pasang capres-cawapres yang
bakal berlaga.

Sesuai dengan prediksi, Poros Teuku Umar kembali mengusung Joko Widodo
sebagai calon presiden. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada
akhir Februari 2018 mengumumkan penetapan Joko Widodo atau Jokowi sebagai
calon presiden 2019-2024 di Rakernas III PDI-P.

Selain posisi petahana sebagai kelebihannya, Jokowi juga memiliki elektabilitas


relatif tinggi dan stabil menurut berbagai survei. Di sisi lain, PDI-P tidak memiliki opsi
kader yang memiliki kadar ketokohan di atas Jokowi selain Megawati, ketua
umumnya.

Pengumuman PDI-P ini melengkapi dukungan dari parpol-parpol yang telah lebih
dahulu melakukan deklarasi mengusung Jokowi sebagai capres 2019-2024, yaitu
Golkar, PPP, Hanura, dan Nasdem. Total koalisi Teuku Umar yang dimotori PDI-P
telah mengantongi 51 persen kursi DPR.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, partai politik


atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah
nasional pada Pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan calon presiden
dan calon wakil presiden.

Dengan demikian, opsi yang tersisa hanyalah untuk maksimal dua pasang calon lagi
untuk Pilpres 2019.

Rematch Jokowi-Prabowo?

Poros Kertanegara yang dipimpin Prabowo, dengan "anggota tetap" Partai Gerindra
dan PKS, sudah memiliki jumlah kursi DPR minimal yang diperlukan untuk dapat
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden sendiri. Gabungan kursi
anggota DPR kedua partai ini mencapai 20 persen.

Hanya, publik masih menerka-nerka, apakah Pemilihan Presiden 2019 bakal


berujung rematch atau pertandingan ulang antara Jokowi dan Prabowo laiknya
Pilpres 2014? Ataukah bakal muncul calon baru? Jika muncul calon baru, apakah
berasal dari kubu Prabowo atau dari poros baru?

Untuk memprediksi jawaban dari dua pertanyaan di atas, kita perlu mencermati peta
pertarungan di Pilkada 2018.

Dari 171 daerah penyelenggara Pilkada 2018, ada beberapa provinsi yang bisa
menjadi salah satu indikator utama keberhasilan sosok capres atau cawapres dalam
mengangkat elektabilitas calon kepala daerah yang diusung partainya, baik karena
faktor besarnya jumlah pemilih maupun peta koalisi di daerah tersebut.

Hal itu mengingat pertarungan di tingkat provinsi masih bisa kita gunakan untuk
membaca peta nasional, sedangkan pertarungan di tingkat kota/kabupaten, sifatnya
sangatlah lokal, baik untuk ketokohan maupun pilihan partainya.

Dalam konteks kemungkinan rematch atau tarung ulang antara Jokowi dan Prabowo
pada 2019, ada lima provinsi yang bakal menjadi pusat pertarungan, yaitu Jawa
Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan.

Di lima provinsi inilah Poros Kertanegara dapat melakukan market test, apakah di
mata pemilih sosok Prabowo masih merupakan lawan tertangguh bagi Jokowi.
Bahkan, khusus di empat provinsi selain Sulawesi Selatan, Gerindra-PKS bakal
menguji soliditas kebersamaan mesin partai mereka.

Tes terbesar pertama bagi Prabowo adalah di Jawa Barat. Prabowo menang mutlak
atas Jokowi di Pilpres 2014 di sini. Adapun PKS dalam dua gelaran pilkada terakhir
di provinsi ini selalu berhasil menempatkan paslon yang diusungnya sebagai
pemenang.

Di sisi lain, sosok pasangan calon (paslon) yang diusung PKS, Sudrajad-Syaikhu,
bukan merupakan figur terpopuler dan tertinggi elektabilitasnya ketika dicalonkan.
Sehingga, sosok Prabowo dan soliditas mesin partai Poros Kertanegara bakal
memiliki peran besar di sini.

Adapun tes kedua bagi Prabowo adalah Jawa Tengah, provinsi yang terkenal
sebagai kandang banteng dan Jokowi. Dua gubernur terakhir merupakan usungan
PDI-P dan Jokowi menang mutlak di Pilpres 2014. Sosok Ganjar sebagai petahana
dan Taj Yasin Maimoen bakal mewakili kubu Jokowi, menghadapi Sudirman Said-
Ida Fauziyah yang diusung kubu Prabowo.

Dengan keterwakilan nadhliyin di kedua kubu (Taj Yasin anak Kiai Maimoen yang
sangat dihormati di Jawa Tengah dan Ida dari PKB yang sangat kuat di Jawa
Tengah), salah satu pembeda keberhasilan mereka adalah sosok mana yang lebih
kuat magnetnya di Jawa Tengah saat ini, Jokowi atau Prabowo.

Pertarungan di Sumatera Utara pun terbilang keras. Kedua kubu menurunkan tokoh
yang sudah dikenal secara nasional. Gerindra bersama PKS memimpin koalisi yang
mengusung Edy Rachmayadi, mantan Pangkostrad. Adapun PDI-P mengusung
Djarot Saiful Hidayat, mantan wagub DKI Jakarta.
Dengan level ketokohan kedua calon gubernur tersebut yang tidak terlalu jauh
berbeda, sosok Prabowo dan Jokowi bakal menjadi penentu, manakah yang lebih
mampu memikat warga Sumatera Utara. Dan, keberhasilan di provinsi ini bakal
menaikkan kepercayaan diri poros pemenang.

Kalimantan Timur menjadi penting sebagai salah satu indikator, mengingat empat
pasangan calon diprediksi memiliki elektabilitas yang tidak terlalu jauh berbeda.
Sehingga, faktor mesin partai dan juru kampanye bakal menjadi faktor signifikan
dalam memikat pemilih.

Kondisi relatif tidak terlalu jauh berbeda bisa ditemukan di Sulawesi Selatan. Kubu
PDI-P mengusung Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng yang cukup dikenal secara
nasional. Adapun Gerindra mengusung wakil gubernur petahana, Agus Arifin
Nu'man.

Hanya saja, provinsi ini secara tradisional dikuasai oleh Golkar dan partai tersebut
mengusung calon sendiri. Jokowi pun unggul mutlak di 2014 karena faktor Jusuf
Kalla dan Golkar.

Keberhasilan paslon yang diusung PDI-P sedikit banyak bakal membantu mengikis
pengaruh Jusuf Kalla dan Golkar dalam penentuan cawapres Jokowi. Dan,
keberhasilan paslon dari Gerindra, pertanda positif untuk Prabowo.

Peluang poros baru

Mengingat situasi Pilpres 2014 dengan hanya dua pasangan calon dan kerasnya
persaingan sehingga seakan-akan membelah bangsa ini menjadi dua kubu, ada
wacana memunculkan pasangan calon ketiga agar konflik tidak terlalu mengerucut.

Keberadaan pasangan calon ketiga pun bakal membuat iklim demokrasi lebih positif,
mengingat masyarakat memiliki pilihan lebih banyak. Dan, ada wajah baru yang
muncul, bukan hanya kedua capres dari 2014.

Poros Cikeas yang dipimpin SBY diprediksi menjadi penentu apakah Pilpres 2019
bakal menjadi ajang rematch atau masyarakat Indonesia mendapatkan alternatif
pemimpin baru.

Sampai dengan saat ini, tinggal Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang belum memutuskan untuk bergabung
dengan poros pengusung Jokowi ataupun Poros Prabowo. Jika bergabung, ketiga
partai ini sudah memenuhi syarat untuk mengajukan sendiri pasangan capres-
cawapres tahun depan.

Demokrat diprediksi bakal mengajukan Agus H Yudhoyono. Sejak kalah di Pilkada


Jakarta, pesona Agus yang akrab dipanggil dengan AHY ini bukannya menyurut,
malah meningkat. Hal ini tampak dari safarinya ke berbagai pelosok negeri dengan
bendera The Yudhoyono Institute, mengundang antusiasme luar biasa dari publik,
terutama kaum muda.
Pengangkatan AHY selaku Ketua Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma)
untuk Pemenangan Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 pada pertengahan Februari
2018, yang mendapatkan beberapa kewenangan yang selama ini dimiliki Ketua
Umum Partai Demokrat, merupakan sinyal kuat untuk "menguji" kemampuan AHY
dalam berpolitik dan akseptabilitasnya bagi para pemilih.

Pilkada 2018 merupakan sarana tepat untuk menguji sejauh mana keampuhan "AHY
Effect" bagi para calon kepala daerah yang didukung Partai Demokrat.

Pengangkatan selaku Komandan Komando Tugas Bersama (Kogasma) untuk


Pemenangan Pilkada 2018 dan Pileg-Pilpres 2019 baru-baru ini mengukuhkan AHY
sebagai figur yang memiliki peranan sentral di Partai Demokrat.

Pilkada 2018 merupakan kerja politik pertama AHY selaku kader partai dan
merupakan bagian penting dalam pembuktian kapasitasnya sebagai pemimpin masa
depan Demokrat.

Dengan jumlah pemilih berusia 17-35 tahun atau biasa disebut kaum milenial
berkisar 100 juta di 2019, AHY sebagai sosok pemimpin muda diprediksi lebih
mudah menggarap pemilih segmen ini.

Namun tetap saja, keberhasilan paslon usungan Demokrat memenangi Pilkada 2018
di beberapa provinsi kunci mereka, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur, merupakan salah satu indikator
utama, seberapa besar AHY effect dalam kontestasi politik di tingkat nasional.

Adapun PKB sepertinya bakal mendorong Muhaimin Iskandar, ketua umumnya


sendiri. Muhaimin yang biasa dipanggil Cak Imin saat ini sedang getol berkeliling ke
berbagai wilayah Indonesia.

Ada relawan di berbagai provinsi yang sudah terbentuk untuk mengusung Cak Imin
sebagai calon wakil presiden 2019. Baliho Cak Imin pun mudah ditemui di berbagai
kota sejak beberapa bulan terakhir.

Mengusung Cak Imin, baik sebagai capres ataupun cawapres, merupakan strategi
jitu jika ingin menggaet kaum nadhliyin alias massa NU, salah satu organisasi massa
Islam terbesar di Indonesia.

Massa NU yang cenderung loyal saat ini tidak memiliki tokoh politik kaliber nasional
selain Cak Imin. Ada alternatif pada sosok Yenny Wahid, anak almarhum Gus Dur.
Namun, Yenny tidak memiliki kendaraan politik. Belum lagi jika kita
memperhitungkan mesin politik PKB yang relatif kuat dan dominan di Pulau Jawa,
terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Hanya saja, sejauh mana kekuatan mesin partai PKB terkini, setelah sempat
mengejutkan di 2014, perlu mendapat pembuktian di Pilgub Jatim, Jateng, dan
Jabar.

Di Jatim, bisakah koalisi PKB dan PDI-P menumbangkan dominasi Demokrat di


kursi gubernur selama dua periode terakhir? Untuk Jateng, mampukah paslon
usungan PKB dan Gerindra-PKS-PAN mengalahkan gubernur petahana usungan
PDI-P?

Kemudian, apakah faktor PKB bisa menjadi salah kunci kesuksesan Ridwan Kamil di
tengah kepungan tiga paslon lain dari partai-partai besar di Jawa Barat?

Keberhasilan di tiga provinsi kunci ini membuat PKB semakin diperhitungkan dalam
Pemilu 2019 dan menguatnya sosok Cak Imin sebagai salah satu sosok alternatif
untuk Pilpres 2019.

PAN sendiri di Rakernas 2017 lalu memutuskan mengusung ketua umumnya, Zulkifli
Hasan, sebagai calon presiden. Zulkifli memang sering melakukan konsolidasi ke
berbagai wilayah di Indonesia. Hanya, dalam konteks posisinya sebagai Ketua
Umum MPR ataupun Ketua Umum PAN.

Masih belum terlihat usaha terbuka menyosialisasikan sosok Zulkifli selaku capres
ataupun cawapres. Yang terlihat barulah keberanian Zulkifli untuk menyampaikan
sikap tegas dalam beberapa kesempatan mengenai isu-isu yang hangat di
masyarakat, seperti penyelundupan narkoba.

Bagaimanapun, masa depan poros baru tergantung pada ketiga partai ini. Ketiga
partai ini kemungkinan baru menentukan sikap final setelah Pilkada 2018 keluar
hasilnya.

Momentum positif

Ketergantungan pada hasil Pilkada 2018 bagi ketiga poros dalam menentukan calon
presiden dan atau calon wakil presidennya memberikan sinyal positif bagi demokrasi
Indonesia.

Bagaimanapun, konstelasi politik nasional tidak lagi hanya tergantung kepada


keputusan elite politik tingkat nasional semata. Akan tetapi, harus pula
memperhatikan dinamika dan aspirasi yang berkembang di tingkat daerah.

Pilkada 2018 merupakan sarana penting, bukan sekadar memanaskan dan


mengetes mesin partai, melainkan mengecek efektivitas sosok tokoh nasional dalam
mengangkat elektabilitas tokoh-tokoh calon kepala daerah dan partai di daerahnya.

Jika memang terbukti ampuh, barulah sosok tokoh nasional ini pantas untuk
dipertimbangkan untuk melaju di kontestasi politik nasional. Jika sebaliknya, kita
harapkan memberikan pentas kepada tokoh yang lebih pantas.

Kondisi ini merupakan momentum positif bagi demokrasi Indonesia. Semakin


meluasnya spektrum sumber yang mempengaruhi pentas politik negara ke daerah,
tidak lagi berpusat pada level nasional, menjadikan calon pemimpin nasional bakal
lebih tanggap terhadap permasalahan di daerah-daerah. Bukan sekadar
memandang dari kejauhan, melainkan mencoba memahaminya dari dekat, sebagai
bekal sebelum melaju di pentas nasional.
Dan, yang paling penting, besar harapan kita tokoh-tokoh politik nasional tidak
sekadar mengedepankan pragmatisme untuk kepentingan kelompok apalagi pribadi
mereka. Mereka semestinya juga mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa,
dan dunia dalam menentukan calon pemimpin nasional yang mereka usung dan
koalisi yang mereka bentuk.

Mereka perlu memberikan contoh dalam berpolitik dengan menggunakan cara-cara


beretika dan pantas, menjauhi kampanye hitam, apalagi politik uang. Karena,
tanggung jawab merekalah untuk menjaga momentum positif yang kita miliki saat ini,
sebagai fondasi bagi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik.

tirto.id - Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp24,8 triliun untuk penyelenggaraan


Pemilu dan Pilpres 2019.

Alokasi anggaran ini naik 3 persen atau bertambah Rp700 miliar dibanding biaya Pemilu dan
Pilpres 2014 lalu yang mencapai Rp24,1 triliun. Pada 2018, pemerintah juga telah
mengalokasikan anggaran pemilu sebesar Rp16 triliun.

“Anggaran ini akan digunakan untuk membiayai agenda demokrasi yakni pemilihan presiden
(pilpres) dan pemilihan anggota legislatif 2019,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada
Tirto, di Jakarta, pada Kamis (16/8/2018).

Kenaikan alokasi anggaran pemilu tersebut salah satunya didorong oleh keperluan untuk
meningkatkan kualitas pertahanan dan keamanan saat pesta demokrasi berlangsung di tahun
2019.

Menko Polhukam Wiranto menjelaskan bahwa tantangan menjaga keamanan dan kestabilan
negara saat ini semakin besar. Apalagi, perkembangan pesat teknologi siber turut memicu
banyak potensi gangguan keamanan.

“Dengan Siber ini, muncul hoax, hate speech, ujaran kebencian yang membuat
kegaduhan masyarakat, bikin enggak stabil dunia politik. Belum lagi hijack yang luar biasa, kita
harus amankan pemilu ini dari hijack,” kata Wiranto.

Oleh karena itu, peningkatan kualitas sektor keamanan negara menjadi penting untuk
mencegah kegaduhan saat pemilu.

Wiranto menambahkan Pemilu dan Pilpres 2019 juga harus dipersiapkan dengan matang
karena digelar secara serentak untuk pertama kalinya.

“Karena belum pernah, maka persiapannya itu sangat detail. Setiap langkah, risikonya kita
perhitungkan. Kira-kira kerawanan apa yang akan terjadi, dan nanti kita bisa netralisir,” jelas
Wiranto.

Meskipun demikian, Wiranto optimistis penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pilpres secara
serentak bisa terlaksana tanpa gangguan berarti. Selama ini koodinasi lintas-instansi sudah
dilakukan. Untuk itu, ia juga berharap adanya dukungan dan kesadaran dari seluruh pihak yang
mengikuti kontestasi di Pemilu dan Pilpres 2019.

tirto.id - Indonesia setidaknya telah mengalami tiga kali transisi rezim politik: Orde Lama ke
Orde Baru ke Reformasi. Namun, itu tak mampu mengubah sepenuhnya peta kekuatan politik
utama di negeri ini.

Pemain utamanya selalu punya ikatan dengan kekuatan politik di rezim sebelumnya. Hal itu
bisa terlihat dari latar belakang historis enam partai yang selalu lolos ke parlemen dalam empat
kali pemilihan umum sejak 1999 sampai 2014: Golkar, PPP, PDIP, PKB, PKS (pada 1999
bernama PK), dan PAN.

Golkar dan PPP adalah dua partai lama yang mengikuti pemilu sejak era Orde Baru. Golkar
menjadi mesin politik Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan. Sementara PPP adalah partai
yang terbentuk dari fusi partai-partai Islam pada 1970-an.

Sedangkan PDIP, PKB, PKS, dan PAN secara resmi baru berdiri setelah Reformasi 1998 tapi
memiliki akar sejarah dan ideologi dengan kekuatan politik era Orde Baru dan Orde lama.

PDIP berakar pada PDI yang berdiri atas fusi partai-partai nasionalis, sekuler, dan Kristen pada
masa Orde Baru. Ketua Umum sekaligus pendirinya, Megawati, adalah putri Sukarno, pemimpin
Orde Lama.

PKB dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi Islam terbesar dan
sempat menjadi partai politik kalangan Islam tradisionalis pada masa Orde Lama. PAN lahir
sebagai buah gagasan politik aktivis Muhammadiyah, organisasi Islam yang berdiri sejak 1912
dan punya basis massa melalui lembaga pendidikan dan pengobatan. Sementara PKS memiliki
pertalian historis dengan gerakan Tarbiyah di kampus-kampus Islam pada masa Orde Baru.

Baca juga:

 Ideologi Parpol, Bukan Jokowi atau Oposisi, tapi Pancasila vs Islam

Ulla Fionna dan Dirk Tomsa dalam Parties and Factions in Indonesia: The Effects of Historical
Legacies and Institutional Engineering (2017) menilai hubungan dengan kekuatan politik masa
lalu membuat partai-partai itu mampu beradaptasi dengan sistem pemilu Indonesia, yang
semakin ketat dari waktu ke waktu. (Seperti angka ambang batas parlemen bertambah dari 2
persen pada Pemilu 1999 menjadi 3,5 persen pada pemilu 2014.)

Kecenderungan yang sama, menurut Fionna dan Tomsa, juga terlihat pada Partai Demokrat
yang selalu lolos ke parlemen sejak 2004. Begitu pula Gerindra dan Hanura sejak Pemilu 2009.
Ketiganya dipimpin oleh sosok yang terkait dengan rezim militer Orde Baru.
Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, kini Ketua Umum dan Ketua Dewan
Pembina Demokrat, pernah menjadi Kasdam Jaya pada 1996 dan Ketua Fraksi ABRI di MPR
pada 1998. Prabowo Subianto, kini Ketua Umum dan Ketua Dewan Pembina Gerindra, pernah
menjadi Danjen ke-13 Kopassus. Sementara Wiranto, kini Ketua Dewan Pembina Hanura,
pernah menjadi Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan (1996-1998) dan sekarang
Menkopolhukam.

Baca juga:

 Parpol Relatif Besar dan Tua, tapi Pemimpinnya Itu-Itu Saja

Dominasi sembilan partai itu menjadikan daya tawar mereka di pemerintahan dan saat pemilu
tergolong tinggi. Hasilnya, partai-partai itu bisa menekan pemimpin negara terpilih untuk
mengikutsertakan mereka ke dalam kabinet, meski tak memberikan dukungan saat pilpres.
Mereka lebih leluasa mengarahkan dukungan kepada kandidat tertentu di pilpres yang
dianggap selaras dengan kepentingan politik, terutama terkait pos jabatan di pemerintahan.

Dua hal itu, menurut Dan Slater dalam Party Cartelization, Indonesian-Style: Presidential Power-
Sharing and The Contingency of Democratic Opposition (2018), menjadi ciri “kartelisasi partai”
ala Indonesia.

Slater mencontohkan kartelisasi politik karena tekanan partai parlemen dalam perombakan
(reshuffle) kabinet Jokowi-JK. Menurutnya, Jokowi-JK yang hanya didukung empat partai di
parlemen dengan total 37 persen suara, akhirnya menarik PAN dan Golkar ke dalam kabinet
dengan konsesi jabatan menteri.

Kartelisasi politik di Indonesia, menurut Slater, dimungkinkan karena sistem pemilu dan
kekuatan oligarki yang membelenggu kekuasaan.

Baca juga:

 Bagaimana Sukarno Menciptakan (Partai) Golkar?


 NU, PPP, dan Represi Orde Soeharto kepada Islam

Secara sistem, Indonesia belum membuka ruang bagi calon independen untuk pilpres,
sebagaimana Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang mensyaratkan capres-cawapres mesti diusung
oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Begitu pula aturan ambang batas presiden yang dipakai sejak Pemilu 2009 (20-25% suara
parpol) dan pilpres yang dilangsungkan setelah pemilu legislatif. Dua peraturan ini
memungkinkan parpol melakukan tawar-menawar sebelum mendukung capres-cawapres
tertentu, menurut Slater.

Sementara jika mengacu latar belakang sembilan partai parlemen di atas, jelas mereka adalah
bagian dari oligarki kekuasaan.

Pertanyaannya, bagaimana masa depan kartelisasi politik Indonesia setelah Pilpres 2019?
DETIK

Fraksi-fraksi di DPR tengah mendebatkan sejumlah pasal krusial di revisi


UU Pemilu. Salah satunya tentang sistem pemilu di Indonesia. Nah,
melihat kondisi Indonesia saat ini Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem) menilai sistem pemilu proporsional tertutup lebih
cocok.

\\\"Sistem proporsional tertutup saya kira lebih banyak keuntungannya jika


melihat fenomena politik Indonesia saat ini,\\\" ujar Direktur Eksekutif
Perludem, Titi Anggraini.

Berikut ini wawancara detikcom dengan Titi, Kamis (5\/4\/2012):

Fraksi-fraksi di DPR berdebat soal substansi revisi RUU Pemilu, salah


satunya soal sistem pemilu. Menurut Anda, mana yang lebih baik sistem
pemilu proporsional terbuka atau tertutup?

Masalah sistem pemilu tidak ada yang terbaik untuk suatu negara. Yang
penting itu adalah mencari sistem pemilu yang cocok dan pas untuk suatu
negara. Sebelum putuskan itu, juga harus pas dengan instrumen yang lain.
Misalnya sistem proporsional tertutup banyak keuntungan dengan
fenomena politik Indonesia.

Dengan sistem proporsional tertutup nanti biaya bisa ditekan karena partai
politik menjadi satu-satunya pengendali dana kampanye. Selain itu juga
bisa menutup terbukanya peluang persaingan yang tidak sehat para caleg.

Namun memang dikhawatirkan ada oligarki di elite partai. Kalau


mekanisme ini memang mau diterapkan maka harus diterapkan dengan
misalnya ada mekanisme demokrasi internal partai, seperti pemilu
pendahuluan. Selain itu perlu ada transparansi keuangan partai.

Bagaimana dengan sistem proporsional terbuka?<\/strong>

Kalau terbuka, ternyata kompetisi internal tidak terkendali, akhirnya


ada riset yang mengatakan tingkat korupsi naik karena harus
mengembalikan modal kampanye. Tujuan pilih sistem mau apa, kalau
memperkuat partai dan memperkuat penyelenggaran pemerintahan
yang sederhana sistem tertutup itu realistis. Sekarang kita terbuka,
tapi kenal nomor urut.
Kalau kembali ke sistem proporsional tertutup dikhawatirkan akan
kembali ke Orde Baru?<\/strong>

Bukan berarti sistem proporsional tertutup itu tanpa prasyarat. Kalau


tidak nantinya ada oligarkhi. Meski dibilang tertutup bukan berarti
publik tidak tahu. Tetap ada daftar caleg yang disampaikan ke KPU
untuk diumumkan.

Ketika hari-H memang hanya memilih tanda gambar. Seperti pada


tahun 1999 ada daftar calon di TPS. Merupakan sistem pemilu
proporsional daftar tetap. Parpol mengeluarkan sejumlah nama,
namun ketika hari-H hanya memilih tanda gambar partai. Dengan
seperti ini nantinya partai nggak akan sembarangan menggeser
orang. Ada daftar nomor urut dari partai.

Persoalan parliamentary threshold (PT) juga jadi perdebatan. Yang


paling masuk akal sebenarnya berapa besarannya?<\/strong>

Semakin besar PT memang akan mengurangi drastis jumlah partai di


parlemen. Namun dalam multipartai sederhana tidak berkaitan dengan
besaran PT. Tujuan ada PT itu adalah ingin menyederhanakan partai
dan jaga proporsionalitas.

Yang diperketat untuk pemerintahan efektif adalah ambang batas


fraksi di parlemen ketimbang angka PT tinggi. Makin tinggi PT maka
indeks ketidakproporsionalan makin tinggi. Besaran PT 2,5 persen itu
sudah optimum untuk menjaga proporsionalitas.

Maksud fraksi diperketat?<\/strong>

Misalnya ada 5 partai yang sama-sama 20 persen, artinya tidak ada


yang mayoritas. Nah sekarang semua partai boleh bikin fraksi.
Sebaiknya ada aturannya misalnya harus memenuhi angka 30 persen,
sehingga kalau kurang harus gabung. Ada penggabungan partai di
fraksi, sehingga ada koalisi-koalisi di parlemen secara tidak langsung.
Ini tentu akan berimplikasi ke stabilitas pemerintah.

Anda lihat nanti kemungkinannya akan ada voting di paripurna karena


begitu alotnya perdebatan?<\/strong>
Secara per-UU voting itu nggak masalah. Namun hasil voting itu
rentan gugatan dari pihak yang kalah karena ketidakadaan
konsensus. Terbuka ruang gugatan, sehingga hal ini harus
dipersipkan.

Karena di-dead line waktu dan semakin berlarutnya persoalan, maka


sepertinya voting tak terhindarkan. Harapannya ada konsensus
sesuai jadwal waktu, sehingga bisa berujung pada yang disepakati
bersama.

Namun saya kira konsensus sulit sekali kalau lihat apa yang terjadi
hari ini. Yang tidak legowo bisa ajukan gugatan, jadi setelah voting
bisa jadi dihadapkan pada proses hukum.

Di Pilpres 2019, petahana Presiden Jokowi dan lawannya mantan jenderal Prabowo
Subianto akan berjibaku. Seiring makin besarnya peran konservatisme agama Islam
dalam politik pemilu, petahana semakin rentan dengan posisinya, di mana dia bukan
seorang konservatif religius. Para pengamat politik menilai, dengan kondisi yang
demikian, pemerintah Indonesia terlihat menggunakan langkah-langkah otoriter
untuk menghalangi lawan-lawannya; aksi yang berpotensi merusak demokrasi
Indonesia.
Baca juga: Pilpres 2019: Politik Identitas dan Perdamaian
ADVERTISEMENT

Oleh: Dewan Editorial EAF (East Asia Forum)

Dilihat dari sebagian besar negara di Asia Tenggara, pemilihan presiden dan
parlemen Indonesia yang akan datang tampaknya menjadi tonggak penting dalam
kisah sukses yang demokratis.

Sementara berita baik untuk demokrasi sangat sedikit dan jauh di antara seluruh
wilayah, bulan April ini, Indonesia ini akan untuk kelima kalinya dalam 20 tahun
memilih parlemen dan presiden mereka dalam pemilihan umum yang bebas dan
adil.
ADVERTISEMENT

Ini adalah pencapaian politik nasional Indonesia yang sangat penting bagi suatu
wilayah yang menghadapi dunia yang jauh lebih tidak pasti dibandingkan dengan
yang harus dihadapi selama beberapa dekade.

Untuk menghadapi tantangan, Indonesia dan mitra ASEAN mereka perlu


mengadopsi diplomasi regional dan global yang kuat, proaktif dengan strategi yang
jelas untuk memproyeksikan kepentingan inti, serta mengembangkan struktur dan
pengaturan regional di mana strategi ini dapat dimajukan.

Demokrasi Indonesia yang kuat adalah aset regional dan internasional yang cukup
besar dalam melakukan upaya-upaya ini.

Tetapi seperti yang dijelaskan Edward Aspinall dalam esai utama minggu ini,
Indonesia yang terlihat demokratis sebenarnya tak terlalu demokratis jika dilihat
dengan saksama, dengan intrik politik yang terjadi menjelang upaya Presiden Joko
Widodo (Jokowi) untuk terpilih kembali.

Seperti yang dikatakan Aspinall, “penyimpangan yang bergerak lambat namun jelas
ke arah langkah-langkah yang semakin otoriter—sebuah tren yang mungkin
membahayakan pencapaian demokrasi Indonesia.”

Tidak sepenuhnya yakin akan terpilih kembali walaupun mencetak angka tinggi pada
jajak pendapat, ‘pemerintah Indonesia semakin beralih kepada langkah-langkah
otoriter untuk menopang dukungannya dan menghalangi lawan-lawannya,’ dengan
polisi yang ‘menghambat kegiatan beberapa kelompok oposisi’ dan militer
menunjukkan tanda-tanda menjadi dipolitisasi ulang.

Aspinall memperingatkan terhadap alarmisme, menekankan bahwa ‘(di sini) belum


terjadi apa yang disebut pukulan fatal bagi demokrasi Indonesia.’ Tetapi ada
konsensus yang muncul di antara para ahli bahwa politik Indonesia menuju ke arah
yang salah, sesuai dengan tren global di mana para pemimpin terpilih melampaui
batas-batas norma demokrasi yang penting untuk menopang posisi politik mereka.

Tren sosial dan politik yang lebih dalam juga memainkan peran mereka dalam
membentuk syarat-syarat di mana pemilu Indonesia sedang diperjuangkan. Ketika
Muslim Indonesia tumbuh lebih saleh, dan dalam beberapa hal lebih konservatif,
agama telah memperoleh peran yang lebih besar dalam politik pemilu.
Jokowi, menurut analisis pengamat politik Greg Fealy, “selalu merasa rentan
terhadap masalah agama,” (dia) telah lama digambarkan oleh para Islamis sebagai
tidak cukup Islami, dan terlalu ramah terhadap kepentingan minoritas.

Menyusul kekalahan sekutu China-Kristennya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok),


dalam pemilihan gubernur Jakarta 2017, ‘Jokowi mengintensifkan upayanya untuk
memupuk dukungan Islam,’ yang terbaru dengan menunjuk seorang ulama
konservatif, Ma’ruf Amin, sebagai pasangan pencalonannya untuk Pilpres 2019.
Tren bertahap menuju suasana politik yang lebih Islami ini mungkin membuat
sebagian orang khawatir tentang arti Indonesia yang lebih konservatif secara religius
bagi negara-negara tetangganya dan kawasan itu. Indonesia yang lebih Islami
akan—seperti kata narasi yang pesimistis—membiarkan kebijakan luar negerinya
tergelincir oleh isu-isu keagamaan yang emosional.

Kekhawatiran seperti itu mungkin berlebihan. Politik domestik akan tumbuh lebih
konservatif tidak peduli siapa yang memenangkan pemilihan tahun ini; Islamisasi
masyarakat Indonesia telah menjadi proses berdekade-dekade, yang telah
diadaptasi oleh para politisi, bukannya disebabkan.

Ketika berbicara tentang bekerja dengan dunia, para elit Indonesia pada akhirnya
adalah kelompok pragmatis, yang merupakan hal penting. Sementara semakin
banyak pemilih Indonesia menginginkan merek politik yang lebih ‘Islami’ di beberapa
bidang, survei masih menunjukkan bahwa yang paling mereka inginkan dari politisi
mereka adalah harga murah, pekerjaan, dan layanan pemerintah yang stabil.

Memang, pemilihan yang didasarkan pada politik identitas bukanlah pemilu yang
ingin diperjuangkan Presiden Jokowi. Dia sendiri bukan seorang konservatif religius,
dan sejauh dia telah mengajukan banding kepada sentimen Islam, dia telah
melakukannya dengan agak canggung dan dengan kebijakan politik yang muncul
dalam pikirannya.

Presiden lebih suka memilih untuk tetap fokus pada menggembar-gemborkan


catatan pembangunan infrastruktur, stabilitas makro-ekonomi dan perluasan jaring
pengaman sosial yang baru lahir di Indonesia.

Sentralitas masalah ekonomi dalam politik pemilu tidak memiliki efek seragam yang
baik terhadap kebijakan. Nasionalisme ekonomi juga telah muncul jauh di depan
jajak pendapat. Seperti yang dicatat pengamat Rainer Heufers baru-baru ini, Jokowi
telah dengan cermat menghindari melakukan apa pun yang membuatnya terbuka
terhadap kritik terhadap investor asing dan mitra dagang yang terlalu disukai.

Banyak pengaturan kebijakan Indonesia membuat negara ini lebih terekspos


daripada yang seharusnya terhadap turbulensi ekonomi global.

Walaupun Indonesia masih tak terlalu terekspos jika dibandingkan banyak negara
tetangganya terhadap fluktuasi perdagangan global, dampak pada rupiah yang
disebabkan oleh kegelisahan pasar keuangan dapat memiliki efek signifikan pada
inflasi domestik, dan dengan demikian pada peringkat persetujuan pemerintah.

Namun, bagi sebagian orang Indonesia, ketakutan akan lawan Jokowi yang akan
mendorong mereka untuk bersatu di belakang petahana, apa pun yang terjadi.
Jokowi sekali lagi ditantang oleh Prabowo Subianto, seorang mantan jenderal yang
pernah menjadi menantu (mantan presiden) Suharto.

Prabowo dituduh melanggar hak asasi manusia selama masa militernya, dan secara
terbuka mengekspresikan ketidaksukaannya dengan status quo Indonesia yang
demokratis.
Prabowo, sejauh ini, menampilkan sedikit semangat populis yang menandai
kampanye 2014-nya. Fealy berspekulasi bahwa pencalonannya lebih ditujukan
untuk memenangkan kursi untuk partainya, Gerindra, dan dengan demikian
berpengaruh dalam pemerintahan Jokowi yang dipilih kembali alih-alih ambisi untuk
mendapatkan jabatan presiden yang serius.

Baca juga: Jelang Pilpres 2019, Presiden Jokowi Tempatkan Islam di Bawah
Sorotan
Survei menunjukkan Jokowi dengan nyaman memimpin pada awal kampanye
pemilihan. Namun hasil pemilu Indonesia sering kali berkebalikan prediksi lembaga
survei. Ketika hari pemilihan semakin dekat, Prabowo bisa mendapatkan posisi yang
tepat dengan cepat, terutama jika keadaan ekonomi tidak menguntungkan bagi
petahana.

Yang pasti adalah bahwa dengan Jokowi tidak lagi dianggap sebagai agen
perubahan yang sangat diharapkannya pada tahun 2014; taruhannya pada tahun
2019 tampaknya lebih rendah daripada waktu sebelumnya bagi mereka yang
berinvestasi dalam reformasi kebijakan dan konsolidasi demokrasi.
Namun untuk wilayah lain, dengan banyak wilayah yang sekarang tergantung pada
berat badan Indonesia dan berdiri sebagai kekuatan penyeimbang sentral dalam
urusan geopolitik, hal-hal ini tampak lebih besar dari sebelumnya.

Pemerintahan demokratis Indonesia yang percaya diri dan beralasan kuat di jantung
ASEAN adalah kunci untuk menavigasi lanskap regional yang rumit, dan untuk
mewujudkan Asia Tenggara yang mengambil kendali lebih besar untuk membentuk
perjalanannya di masa depan.

Dewan Editorial EAF berada di Crawford School of Public Policy, College of Asia
and the Pacific, The Australian National University.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak
mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.
Keterangan foto utama: Presiden Indonesia Joko Widodo (kanan) dan lawannya
dalam pemilihan presiden tahun depan Prabowo Subianto—seorang mantan
komandan pasukan khusus—memegang nomor suara mereka selama upacara di
markas KPU di Jakarta, Indonesia, pada tanggal 21 September 2018. (Foto:
Reuters/Darren Whiteside)

Anda mungkin juga menyukai