Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur
dari sebuah demokrasi. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan
dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan walaupun tidak
begitu akurat, partisipasi dan kebebasan masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan
umum (PEMILU) tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran
beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan
partai, lobbying, dan sebagainya.

Di banyak negara berkembang beberapa kebebasan seperti yang dikenal di dunia barat kurang
diindahkan. Seperti Indonesia, perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut.
Selama 67 tahun berdirinya Republik Indonesia ternyata masalah pokok yang kita hadapi adalah
bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya dapat mempertinggi tingkat
kehidupan ekonomi disamping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis.pada
pokok masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dimana kepemimpinaan cukup kuat
untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat seraya
menghindarkan timbulnya diktator.

Pemilihan umum juga menunjukkan seberapa besar partisipasi politik masyarakat, terutama
di negara berkembang. Kebanyakan negara ini ingin cepat mengadakan pembangunan untuk
mengejar keterbelakangannya, karena dianggap bahwa berhasil-tidaknya pembangunan banyak
bergantung pada partisipasi rakyat. Ikut sertanya masyarakat akan membantu penanganan masalah-
masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan etnis, budaya, status sosial, ekonomi, budaya,
dan sebagainya. Integritas nasional, pembentukan identitas nasional, serta loyalitas terhadap negara
diharapkan akan ditunjang pertumbuhannya melalui partisipasi politik.

Di beberapa negara berkembang partisipasi yang bersifat otonom, artinya lahir dari mereka
sendiri, masih terbatas. Di beberapa negara yang rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi masalah
bagaimana meningkatkan partisipasi itu, sebab jika partisipasi mengalami jalan buntu , dapat terjadi
dua hal yaitu “anomi” atau justru “ revolusi”. Maka melalui pemilihan umum yang sering didefenisikan
sebagai “ pesta kedaulatan rakyat”, masyarakat dapat secara aktif menyuarakan aspirasi mereka baik
itu ikut berpartisipasi dalam kegiatan partai, ataupun “menitipkan” dan “mempercayakan” aspirasi
mereka pada salah satu partai peserta PEMILU yang dianggap dapat memenuhi , serta menjalankan
aspirasi masyarakat tyang telah dipercayakan pada partai tersebut.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dan juga sebagai demokrasi yang sedang
berusaha mencapai stabilitas nasional dan memantapkan kehidupan politik juga mengalami gejolak-
gejolak sosial dan politikdalam proses pemilihan umum. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis
dalam menulis makalah (papers) ini, selain sebagai pemenuhan tugas sistem politik indonesia. Dalam
perkembangan kehidupan politiknya, indonesia selalu berusaha memperbaharui sistem pemlihan
umumbaik itu dengan mengadopsi sistem yang ada di dunia barat ( walaupun tidak semuanya bekerja
efektif di dalam negeri kita) untuk mencapai stabilitas nasional dan politik.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1) Apakah yang dimaksud dengan pemilihan umum?

2) Apa itu sistem pemilihan umum?

3) Bagaimanakah jalannya sistem pemilihan umum di Indonesia?

4) Apa sistem pemilihan umum yang cocok di terapkan di Indonesia?

3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1) Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan pemilihan umum.

2) Untuk mengetahi apa itu sistem pemilihan umum

3) Untuk mengetahui jalannya sistem pemilihan umum di Indonesia

4) Untuk mengetahui sistem pemilihan umum yang cocok di terapkan di Indonesia


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pemilu
Menurut teori demokrasi klasik pemilu merupakan suatu Transmission of Belt sehingga
kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma
dalam bentuk wewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat.

Berikut beberapa pernyataan beberapa para ahli mengenai pemilu Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim : pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil rakyat.
Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi, pemilihan umum
itu harus dilaksanakan dalam wakru-waktu tertentu. Bagir Manan : Pemilhan umum yang diadakan
dalam siklus lima (5) tahun sekali merupakan saat atau momentum memperlihatkan secara nyata dan
langsung pemerintahan oleh rakyat. Pada saat pemilihan umum itulah semua calon yang diingin duduk
sebagai penyelenggara negara dan pemerintahan bergantung sepenuhnya pada keinginan atau
kehendak rakyat.

2. Sistem Pemilu
Sistem Pemilihan Umum adalah metode yang mengatur dan memungkin warga negara
memilih para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan dengan prosedur dan aturan
merubah ( mentransformasi ) suara ke kursi dilembaga perwakilan. Mereka sendiri maksudnya yang
memilih maupun yang hendak dipilih merupakan bagian dari satu entitas yang sama.

Terdapat komponen-komponen atau bagian-bagian yang merupakan sistem tersendiri dalam


melaksanakan pemilihan umum, antara lain:

 Sistem pemilihan.

 Sistem pembagian daerah pemilihan.

 Sistem hak pilih.

 Sistem pencalonan.

Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum,dengan berbagai variasinya.
Akan tetapi, umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:

Sistem Pemilihan Mekanis

Dalam sistem ini, rakyat dipandang sebagai suatu massa individu-individu yang sama. Individu-individu
inilah sebagai pengendali hak pilih dalam masing-masing mengeluarkan satu suara dalam tiap
pemilihan umum untuk satu lembaga perwakilan.

Sistem pemilihan Organis

Dalam sistem organis, rakyat dipandang sebagai sejumlah individu yang hidup bersama- sama dalam
beraneka warna persekutuan hidup. Jadi persekuuan-persekutuan itulah yang diutamakan sebagai
pengendali hak pilih.

BAB III
PEMBAHASAN
1. Pemilihan Umum
Salah satu wujud demokrasi adalah dengan Pemilihan Umum. Dalam kata lain, Pemilu adalah
pengejawantahan penting dari “demokrasi prosedural”. Berkaitan dengan ini, Samuel P. Huntington
dalam Sahid gatara (2008: 207) menyebutkan bahwa prosedur utama demokrasi adalah pemilihan
para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat yang bakal mereka pimpin. Selain itu, Pemilu sangat
sejalan dengan semangat demokrasi secara subtansi atau “demokrasi subtansial”, yakni demokrasi
dalam pengertian pemerintah yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya,
rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi.

Pemilu adalah lembaga sekaligus prosedur praktik politik untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative
government). Secara sederhana, Pemilihan Umum didefinisikan sebagai suatu cara atau sarana untuk
menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan pemerintahan.

Dalam pemilihan umum, biasanya para kandidat akan melakukan kampanye sebelum
pemungutan suara dilakukan selama selang waktu yang telah dientukan. Dalam kampanye tersebut
para kandidat akan berusaha menarik perhatian masyarakat secara persuasif, menyatakan visi dan
misinya untuk memajukan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

2. Tujuan Pemilihan Umum


Tujuan diselenggarkannya Pemilihan Umum adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil
daerah untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan dari
rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.

3. Manfaat Pemilu
Pemilu dipandang sebagai bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada di tangan rakyat
serta wujud paling konkret partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu,sistem
dan penyelenggaraan pemilu selalu menjadi perhatian utama karena melalui penataan, sistem dan
kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan pemerintahan dari,
oleh, dan untuk rakyat.

4. Sistem Pemilihan Umum


Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem Pemilihan Umum dengan berbagai
variasinya, akan tetapi pada umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:

a. Sistem Distrk

Sistem ini merupakan sistem pemilihan umum yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan
geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi)
mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Untuk keperluan itu, negara dibagi dalam
sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah
distrik. Calon yang di dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak dikatakan pemenang, sedangkan
suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi,
bagaimanapun kecilnya selisih kekalahannya.
1) Keuntungan Sistem Distrik ·

Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang
diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk
menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama, sekurang- kurangnya
menjelang pemilihan umum, antara lain melalui stembus accord.

Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung; malahan
sistem ini bisa mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alami dan tanpa paksaan.

Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga
hubungan denga konstituen lebih erat. Dengan demikian si wakil akan lebih cenderung untuk
memperjuangkan kepentingan distriknya.

Bagi partai besar system ini menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih
suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh kedudukan mayoritas. Dengan demikian, sedikit
banyak partai pemenang dapat mengendalikan parlemen.

Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen,
sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain. hal ini mendukung stabilitas nasional.

Sistem ini sederhana dan mudah untuk diselenggarakan.

2) Kelemahan Sistem Distrik

System ini kurang memperhatikan kepentingan partai-partai kecil dan golongan minoritas,
apalagi jika golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.

Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu
distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang
tidak diperhitungkan sama sekali, atau terbuang sia-sia. Dan jika banyak partai mengadu kekuatan,
maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil
terhadap partai dan golongan yang dirugikan.

Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam
kelompok etnis, religius, dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa kebudayaan nasional
yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.

Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik serta
warga distriknya, daripada kepentingan nasional.

b. Sistem Perwakilan Berimbang atau Sistem proporsional


Sistem ini dianut oleh Indonesia. Pemilu tidaklah langsung memilih calon yang didukungnya,
karena para calon ditentukan berdasarkan nomor urut calon-calon dari masing- masing parpol atau
organisasi social politik (orsospol). Para pemilih adalah memilih tanda gambar atau lambing sustu
orsospol. Perhitungan suara untuk menentukan jumlah kursi raihan masing-m,asing orsospol,
ditentukan melalui pejumlahan suara secara nasional atau penjumlahan pada suatu daerah (provinsi).
Masing-masing daerah diberi jatah kursi berdasarkan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di
daerah yang bersagkutan.
Banyak atau sedikitnya kursi yang diraih adalah ditentukan oleh jumlah suara yang diraih
masing-masing parpol atau orsospol peserta pemilihan umum. Calon terpilih untuk menjadi wakil
rakyat duitenukan berdasarkan nomor urut calon yang disusun guna mewakili orsospol pada masing-
masing daerah. Inilah yang disebut perhitungan suara secara proporsional, bukan menurut distrik
pemilihan (yang pada setiap distrik hanya aka nada satu calon yang terpilih).

1) Keuntungan sistem proporsional

Dianggap lebih representative karena persentase perolehan suara setiap partai sesuai dengan
persentase perolehan kursinya di parlemen. Tidak ada distorsi antara perolehan suara dan perolehan
kursi.

Setiap suara dihitung dan tidak ada yang hilang. Partai kecil dan golongan minoritas diberi
kesempatan untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Karena itu masyarakat yang heterogen dan
pluralis lebih tertarik pada system ini.

2) Kelemahan

Kurang mendorong partai-partai yang berintegrasi satu sama lain, malah sebaliknya
cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan diantara mereka. Bertambahnya jumlah partai dapat
menghambat proses integrasi diantara berbagai golongan di masyarakat yang sifatnya pluralis. Hal ini
mempermudah fragmenrasi dan berdirinya partai baru yang pluralis.

Wakil rakyat kurang erat hubungannya dengan konstituennya, tetapi lebih erat dengan
partainya (termasuk dalam hal akuntabilitas). Peranan partai lebih menonjol daripada kepribadian
seorang wakil rakyat. Akibatnya, system ini member kedudukan kuat kepada pimpinan partai untuk
menentukan wakilnya di parlemen melaluin Stelsel daftar (List System).

Banyaknya partai yang bersaing mempersukar satu partai untuk mencapai mayoritas di
parlemen. Dalam system pemerintahan parlementer, hal ini mempersulit terbentuknya pemerintahan
yang stabil karena harus mendasarkan diri pada koalisi.

5. Periodesasi Sistem Pemiluu Indonesia


a. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1958)

Sebenarnya pemilu sudah direncanakan sejak bulan oktober 1945, tetapi baru dilaksanakan
oleh kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun 1955. Sistem pemilu yang digunakan adalah sistem
proporsional. Pada waktu sistem itu, sebagaimana yang dicontohkan oleh Belanda, merupakan satu-
satunya sistem pemilu yang dikenal dan dimengerti oleh para pemimpin negara. Pada pemilu ini
pemungutan suara dilakukan dua kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota DPR pada bulan
September dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang
digunakan pada masa ini adalah sistem proporsional.

Pemilihan umum dilakukan dalam suasana khidmat, karena merupakan pemilihan pertama
sejak awal kemerdekaan. Pemilihan umum berlangsung secara demokratis, tidak ada pembatasan
partai, dan tidak ada usaha interversi dari pemerintah terhadap partai-partai sekalipun kampanye
berlangsung seru, terutama antara Masyumi dan PNI. Serta administrasi teknis berjalan lancar dan
jujur.

Pemilihan umum menghasilkan 27 partai dan satu partai perseorangan, dengan jumlah total
257 kursi. Namun stabilitas politik yang diharapkan dari pemilihan umum tidak terwujud. Kabinet Ali
(I dan II) yang memerinth selama 2 tahun dan yang terdiri atas koalisi tga besar ,namun ternyata tidak
kompak dalam menghadapi persoalan, terutama yang terkait dengan konsepsi presiden yang
diumumkan pada tanggal 21 Februari 1957.

Namun stabilitas politik yang sangat diharapkan dari pemilu tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan
II) yang memerintah selama dua tahun dan yang terdiri atas koalisi tiga besar: Masyumi, PNI, dan NU
ternyata tidak kompak dalam menghadapi beberapa persoalan terutama yang terkait dengan konsepsi
Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir.

b. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Sesudah mencabut maklumat pemerintah November 1945 tentang kebebasan mendirikan


partai , presiden soekarno mengurangi jumlah partai menjadi 10. Kesepuluh ini antara lain : PNI,
Masyumi,NU,PKI, Partai Katolik, Partindo,Partai Murba, PSIIArudji, IPKI, dan Partai Islam, kemudian
ikut dalam pemilu 1971 di masa orde baru. Di zaman demokrasi terpimpintidak diadakan pemilihan
umum.

c. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)

Sesudah runtuhnya rezim demokrasi terpimpin yang semi otoriter ada harapan besar
dikalangan masyarakat untuk dapat mendirikansuatu sistem politik yang demokratis dan stabil. Salah
satu caranya ialah melalui sistem pemilihan umum. pada saat itu diperbincangkan tidak hanya sistem
proporsional yang sudah dikenal lama, tetapi juga sistem distrik yang di Indonesia masih sangat baru.

Pendapat yang dihasilkan dari seminar tersebut menyatakan bahwa sistem distrik dapat
mengurangi jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan harapan partai-partai kecil
akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam usaha meraih kursi dalam suatu distrik.
Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan membawa stabilitas politik dan pemerintah akan
lebih berdaya untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya, terutama di bidang ekonomi.

Jika meninjau sistem pemilihan umum di Indonesia dapat ditarik berbagai kesimpulan.
Pertama, keputusan untuk tetap menggunakan sistem proporsional pada tahun 1967 adalah
keputusan yang tepat karena tidak ada distorsi atau kesenjangan antara perolehan suara nasional
dengan jumlah kursi dalam DPR. Kedua, ketentuan di dalam UUD 12945 bahwa DPR dan presiden tidak
dapat saling menjatuhkan merupakan keuntungan, karena tidak ada lagi fragmentasi karena yang
dibenarkan eksistensinya hanya tiga partai saja. Usaha untuk mendirikan partai baru tidak bermanfaat
dan tidak diperbolehkan. Dengan demikian sejumlah kelemahan dari sistem proporsional telah
teratasi.

Namun beberapa kelemahan masih melekat pada sistem politik ini. Pertama, masih kurang
dekatnya hubungan antara wakil pemerintah dan konstituennya tetap ada. Kedua, dengan dibatasinya
jumlah partai menjadi tiga telah terjadi penyempitan dalam kesempatan untuk memilih menurut
selera dan pendapat masing-masing sehingga dapat dipertanyakan apakah sipemilih benar-benar
mencerminkan, kecenderungan, atau ada pertimbangan lain yang menjadi pedomannya. Ditambah
lagi masalah golput, bagaimanapun juga gerakan golput telah menunjukkan salah satu kelemahan dari
sistem otoriter orde dan hal itu patut dihargai.

Karena gagal menyederhanakan sistem partai lewat sistem pemilihan umum, Presiden
Soeharto mulai mengadakan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan kepartaian. Tindakan
pertama yang dilakukan adalah mengadakan fusi diantara partai-partai, mengelompokkan partai-
partai dalam tiga golongan yaitu Golongan Spiritual (PPP), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan
Karya (Golkar). Pemilihan umum tahun1977 diselenggarakan dengan menyertakan tiga partai, dalam
perolehan suara terbanyak Golkar selalu memenangkannya.

d. Zaman Reformasi (1998-sekarang)

Seperti dibidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa perubahan fundamental.


Pertama, dibukanya kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk
medirikan partai baru. Kedua, pada pemilu 2004 untuk pertama kalinya dalam sejarah
indonesiadiadakan pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih melaluiMPR. Ketiga, diadakannya
pemilihan umum untuk suatu badan baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang akan mewakili
kepentingan daerah secara khusus. Keempat, diadakannya “electoral thresold “ , yaitu ketentuan
bahwa untuk pememilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi anggota
badan legislatif pusat.

Ada satu lembaga baru di dalam lembaga legislatife, yaitu DPD ( dewan perwakilan daerah ).
Untuk itu pemilihan umum anggota DPD digunakan Sistem Distrik tetapi dengan wakil banyak ( 4 kursi
untuk setiap propinsi). Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan system proposional dengan
daftar terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada calon yang
dipilih. Dan pada tahun 2004, untuk pertama kalinya diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden
secara langsung, bukan melalui MPR lagi.

6. Pelaksanaan Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia


a. Pemilu 1995

Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan diadakan
pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yangpaling demokratis.

Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa
daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan
Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih.
Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun
berlangsung aman.

Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR
yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi
DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di
bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan
diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri
Burhanuddin Harahap.
b. Pemilu 1971

b. Pemilu 1971

Pemilihan Umum pertama sejak orde baru atau Pemilu kedua sejak Indonesia merdeka, yakni
Pemilu 1971 diikuti oleh 10 Organisasi Peserta Pemilu (OPP), yakni 9 partai politik dan satu Golongan
Karya. Undang-undang yang menjadi landasan hukumnya adalah UU No. 15 tahun 1969 tentang
Pemilihan Umum dan UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan PR, DPR dan DPRD.

c. Pemilu 1977

Pemilu 1977 diselenggarkan dengan berlandaskan pada Undang-Undang No. 4 tahun1975 tentang
Pemilihan Umum pengganti UU No. 15 tahun 1969, dan UU No. 5 tahun 1975 pengganti UU No. 16
tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan PR, DPR dan DPRD. Selain kedua UU tersebut, Pemilu
1977 juga menggunakan UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan karya. Berdasarkan
ketiga UU itulah diselenggarakan Pemilihan Umum pada tanggal 3 Mei 1977 dengan diikuti oleh 3
Organisasi Peserta Pemilu (OPP), yakni dua Partai Politik dan satu Golongan Karya.

d. Pemilu 1982

Dengan UU No. 2 tahun 1980 pengganti UU No. 4 tahun 1975 tentang Pemilihan Umum,
Indonesia kembali menyelenggarakan Pemilihan Umumnya yang keempat pada tanggal 4 Mei 1982.

e. Pemilu 1987

Dengan UU No. 1 tahun 1985 penggantinUU No. 2 tahun 1980, Indonesia menyelenggarakan
Pemilihan Umum yang kelima tahun 1987. Pemungutan suara Pemilu 1987 secara serentak
dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987.

f. Pemilu 1992

Mengingat UU No. 1 yahun 1985 ini dianggap masih sesuai dengan perkebangan politik Orde
Baru, tahun 1992 diselenggarakan Pemilu keenam di Indonesia berdasarkan paying hokum yang sama
dengan paying hokum Pemilu sebelumnya. Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak pada
tanggal 9 Juni 1992.

g. Pemilu 1997

Dengan payung hukum (undang-undang Pemilu) yang sama dengan Pemilun sebelumnya,
Indonesia kembalinmenyelenggarakan Pemilu yang ketujuh.

h. Pemilu 1999

Pemilihan Umum 1999 ditujukan untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Pemungutan
suaranya dilaksanakan pada taggal 7 Juni 1999. Pemilu ini diikuti oleh 48 Partai dengan berlandaskan
UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik dan Ubdang-Undang No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum. Pemilu 1999 ini disebut oleh banyak kalangan sebagai Pemilu paling Demokratis setelah
Pemilu 1955. Cara pembagian kursi hasil Pemilu kali ini tetap menggunakan system proporsional
dengan mengikuti Varian Roget. Dalam system ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan
suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest
remainder.

i. Pemilu 2004

Pemilu ini berbeda dengan pemilu sebelumnya, termasuk Pemilu 1999. Hal ini dikarenakan
selain demokratis dan bertujuan memilih anggota DPR dan DORD, Pemilu 2004 juga memilih Dewan
Perwakilan daerah (DPD) dan memilih Presiden dan Wakil Presiden tidak dilakukan secara terpisah.
Pada Pemilu ini, yang terpilih adalah pasangan calon (pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden).
Bukan calon Presiden dan calon Wakil Presiden secara terpisah.

j. Pemilu 2009

Sama halnya dengan Pemilihan Umum 2004, Pemilihan Umum 2009 juga dibagi menjadi tiga
tahapan.

a) Tahap pertama merupakan Pemilihan Umum yang ditujuan untuk memilih anggota DPR,
DPD dan DPRD, atau biasa disebut Pemilu Legislatif 2009. Pemilu ini diikuti oleh 38 partai
yang memenuhi criteria untuk ikut serta dalam Pemilihan Umum 2009. Pemilu ini
diselenggarakan secara serentak di hamper seluruh wilayah Indonesia pada Tanggal 9
April 2009, yang seharusnya dijadwalkan berlangsung tanggal 5 April 2009.

b) Tahap kedua atau Pemilu Presiden dan Wakil Presiden putaran pertama adalah untuk
memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Tahap kedua ini
dilaksanakan pada tanggal 8 Juli 2009.

c) Tahap ketiga atau Pemilu Presidan dan Wakil Presiden tahap puturan kedua adalah babak
terakir yang dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua, belum ada pasangan calon
yang mendapatkan suara lebih dari 50% (bila keadaannya demikian, dua pasangan calon
yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada Pemilu Presiden putaran
kedua. Akan tetapi apabila pada Pemilu Presiden putaran pertama sudah ada pasangan
calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan calon tersebut akan
langsung diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Tahap ketiga ini dilaksanakan
pada taggal 8 September 2009.

7. Asas-asas Pemilihan Umum


Meskipun Undang-Undang Politik tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dari Pemilu ke
Pemilu beberapa kali mengalami perubahan, perubahan itu ternyata tidak bersifat mendasar.Secara
umum, asas-asas dari Pemilu ke Pemilu di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut :

a) Langsung, yaitu rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya
secara langsung, sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

b) Umum, yaitu pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai
dengan undang-undang berhak mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum
menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa
diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan,
pekerjaan dan status sosial.

c) Bebas, yaitu setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya
tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap
warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati
nuarani dan kepentingannya.

d) Rahasia, yaitu dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan
diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya
pada surat suara tanpa dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya
diberikan.

e) Jujur, yaitu setiap penyelenggara Pemilu, aparat pemerintah, peserta Pemilu, pengawas
Pemilu, pemantau Pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan
bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

f) Adil, yaitu setiap pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas
dari kecurangan pihak mana pun.

8. Sistem Pemilihan Umum Yang Cocok Untuk Indonesia


Pemilihan umum merupakan proses politik yang secara konstitusional bersifat nyata bagi
negara demokrasi. Sebagai sistem, demokrasi nyata-nyatanya telah teruji dan diakui paling realistik
san rasional untuyk mewujudkan tatanan soaial, politik, ekonomi yang populalis, adil dan beradab,
kendati bukan tanpa kelemahan. Begitu tak terbantahkannya tesis-tesis demokrasi sehingga hampir
semua penguasa otoriter dan tiran menyebut sitem yang digunakannya sebagai sistem demokratis.

Disamping menjadi prasyarat demokrasi, pemilu juga menjadi pintu masuk atau tahap awal
dari proses perkembangan demokratis. Perjalanan panjang Indonesia dalam menyelenggarakan
pemilu sejak tahun 1955 memberi pelajaran berharga untuk menata kehidupan bangsa kedepan
menuju kehidupan yang lebih baik. Bangsa Indonesia mempunyai komitmen yang kuat untuk
menyelenggarakan pemilu 2004 dengan format berbeda dengan sebelumnya, sehingga azas langsung
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat dilaksanakan secara benar, konsekuen dan dapat
dipertanggungjawabkan baik secara hukum, moral, maupun politis.

Dilihat dari sisi keanekaragaman masyarakat Indonesia dan kondisinya saat ini sistem
proporsional tertutup lebih cocok. Mengutip pendapat dari Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk
pemilu dan demokrasi (PERLUDEM) bahwa sistem pemilu proprosional untuk fenomena politik
Indonesia saat ini lebih menguntungkan. Walaupun sistem pemilu tidak ada yang terbaik untuk suatu
negara, yang terpernting adalah mencari sistem pemilu yang cocok dan pas dengan suatu negara.
Sebelum memutuskan hal tersebut , juga harus pas dengan instrumen yang lain. Dengan sistem
proprosional tertutup nanti biaya bisa ditekan karena partai politik menjadi satu-satunya pengendali
dana kampanye. Selain itu juga bisa menutup terbukanya peluang persaingan yang tidak sehat antara
para caleg. Bukan berarti sistem proporsional tertutup itu tanpa prasyarat, kalau tidak nantinya akan
terjadi oligarkhi. Meski dibilang tertutup bukan berarti publik tidak tahu sama sekali. Tetap ada daftar
caleg yang disampaikan kepada KPU untuk diumumkan. Sistem parliamentary thresold (PT) akan
mengurangi drastis jumlah partai di parlemen. Namun dalam multipartai sederhana tidak berkaitan
dengan besaran parliamentary thresold . tujuan adanya PT adalah ingin menyederhanakan partai dan
juga proprosionalitas.

Yang diperketat untuk pemerintahan efektif adalah ambang batas fraksi di parlemen
ketimbang angka PT tinggi. Makin tinggi PT maka indeks ketidak proporsionalan makin tinggi. Selain
itu perlu adanya transparansi keuangan partai. Sebelumnya, memena setiap pemilu rasanya negeri ini
diancam taring-taring perbedaan landasan yang menjadi basis setiap organisasi pesreta pemilu. Yang
satu mengatasnamakan agama, yang satu mengatasnamakan pancasila dan yang satunya lagi
mengatasnamakan nasionalis. Meski ketiganya juga bersikeras sebagai kekuatan politiik pancasila.
Kompetensi politik dengan demikian lebih mempunyai potensi untuk terbentuknya konflik politik.
Tidak ada yang lebih mengerikan bagi setiap negara berkembang dari pada itu.

BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Di kebanyakan negara demokrasi, pemilu dianggap sebagai lambang dan tolak ukur demokrasi.
Pemilu yang terbuka, bebas berpendapat dan bebas berserikat mencerminkan demokrasi walaupun
tidak beguitu akurat. Pemilihan umum ialah suatu proses pemilihan orang-orang untuk mengisi
jabatan-jabatan politik tertentu. Dalam ilmu politik dikenal berbagai macam sistem pemilu dengan
berbagai variasi, tetapi umumnya berkisdar pada dua prinsip pokok, yaitu : sistem distrik dan sistem
proprosional.

Sejak awal kemerdekaan Indonesia telah mengalami pasang surut dalam sistem pemilu. Dari
pemilu terdahulu hingga sekarang dapat diketahui bahwa adanya upaya untuk mencari sistem
pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia . sejak awal pemerintahan yaitu demokrasi parlementer,
terpimpin, pancasila dan reformasi, dalam kurun waktu itulah Indonesia telah banyak mengalami
transformasi politik dan sistem pemilu.

Melihat fenomena politik Indonesia, sistem pemilihan umum proprosinal tertutup memang
lebih menguntungkan , tetapi harus diikuti dengan transparansi terhadap publik kalau tidak akan
menimbulkan oligarki pemerintahan. Pada akhirnya konsilidasi partai politik dan sistem pemilihan
umum sudsah berjalan denganm baik. Akan tetapi, itu belum berarti kehidupan kepartaian Indonesia
juga sudah benar-benar siap untuk memasuki zaman global. Sejumlah kelemahan yang bisa
diinventarisir dari kepartaian kita adalah rekrutmen politik, kemandirian secara pendanaan,
kohesivitas internal,dan kepemimpinan.

2. Saran
Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan kehidupan politik Indonesia semakin
kompleks. Diharapkan dengan semakin banyaknya pengalaman dan perkembangan politik Indonesia
dapat menciptakan stabilitas nasional. Tugas pembangunan kehidupan politik pada masa yang akan
datang bukan hanya tugas partai politik saja, tetapi semua elemen pemerintahan dan tidak
ketinggalan masyarakat juga harus ikut berpartisipasi mengembangkan perpolitikan di Indonesia.
Manejemen dan kepemimpinan juga haruis terus ditingkatkan, ongkos politik yang tidak terlalu mahal
dan transparansi terhadap publik harus dekembangkan dan ditumbuhkan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara agar stabilitas nasional dan politik kita semakin kokoh.

Bagi pemerintah, hendaknya merumuskan kebijakan mengenai Pemilu dengan sebaik-


baiknya, menyeleksi jumlah partai dengan ketat, dan melakukan sosialisasi politik secara maksimal
kepada masyarakat dan sebaiknya pemerintah membuat pembenahan misalnya pendidikan dan
pemberian informasi yang lengkap terhadap masyarakat sebagai pemilih.

Bagi partai politik, hendaknnya memaksimalkan fungsi-fungsi partai yang berkaitan dengan
komunikasi, partisipasi, dan sosialisasi untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakatdan
tidak melakukan praktek money politic.

Bagi masyarakat, supaya tidak mau menerima praktek money politic yang dilakukan oleh
partai politik, agar tidak menyesal untuk kedepannya dan tidak golput dalam pemilihan dan juga harus
peka terhadap partai politik.
Bagi praja, seharusnya praja lebih peduli terhadap informasi terkait dengan perkembangan
perpolitikan di Indonesia untuk meningkatkan pandangan dan pemikiran aktual mengenai kondisi
bangsa sehingga dapat menularkan ilmu yang didapat kepada orang-orang yang disekitarnya yang
belum mengerti tentang pemilu.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2008
Prihatmoko dkk, Menang Pemilu Ditengah Oligarki Partai, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008

Internet/Website
http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2012_08_30_11_53_41_Jurnal%20Pem ilu%20&
%20Demokrasi%2003%20Dana%20Kampanye%20Pengaturan %20Tanpa%20Makna.pdf
http://www.academia.edu/8312446/Makalah_Demokrasi_dan_Pemilu_di_Indones ia

http://blognyapakarilmu.blogspot.com/2014/10/contoh-makalah-pemilu.html

http://www.pemilu.com/berita/2014/11/lagi-dkpp-pecat-penyelenggara-pemilu/

http://www.distrodoc.com/3205-makalah-sistem-pemilihan-umum-di-indonesia

http://sensorku.blogspot.com/2013/10/makalah-tentang-pemilu.html

Anda mungkin juga menyukai