Anda di halaman 1dari 23

NURANI

Di ruangan itu hanya ada sebuah korsi antik yang sedang dibersihkan oleh seorang
wanita, Nurani. Dia bekerja sambil bernyanyi-nyanyi. Nyanyian seorang perempuan yang
menerima takdirnya dengan pasrah dan rela. Kemudian, datang tiga orang wanita. Yang
kepalanya ditutup dengan kain bewarna putih, dipanggil Bu Haji. Seorang lagi, yang
berkacamata dipanggil Bu Dosen dan seorang lagi yang memakai selendang panjang,
berkebaya mahal, dipanggil Bu Kepala.
Ketiga wanita itu tercengang melihat adanya sebuah korsi dan seorang wanita yang
sedang melap-lapnya, karena sepengetahuan mereka, dulunya tidak pernah ada korsi dalam
ruangan ini apalagi seorang wanita.
Beberapa saat mereka saling berpandangan.

BU KEPALA :
Seingat saya, ruangan ini kosong.

BU HAJI :
Saya juga jadi heran. Kok sekarang ada korsi?

BU DOSEN :
Yaya. Dulu tidak ada apa-apa di ruangan ini.

BU KEPALA :
Lalu, siapa yang meletakkannya di sini? Dan wanita itu, siapa dia?

BU HAJI :
Sebaiknya ditanyakan.

BU KEPALA :
Mestinya pelayan baru itu harus melaporkan dirinya pada kita.

BU HAJI :
Kok begitu?
147
BU KEPALA :
Iya dong! Apa saya harus bertanya pada seorang wanita yang mungkin isteri bawahan suami
saya? E, ngomong-ngomong, sejak kita tamat sekolah, saya telah ditakdirkan menjadi isteri
seorang kepala.

BU DOSEN
Isteri seorang kepala?

BU HAJI :
Kepala apa? Kepala Kantor? Kepala Daerah? Kepala Departemen? Kepala Gudang? Kepala
Taman? Sekarang ini kepala-kepala kan banyak sekali. Kepala apa suamimu.

BU KEPALA :
Pokoknya suami saya seorang kepala. Dan orang-orang selalu memanggilku, Bu Kepala.
Saya senang dipanggil Bu Kepala.

BU HAJI :
Suami saya seorang Haji. Walaupun saya sendiri belum pernah ke Mekkah, saya selalu
dipanggil Bu Haji.

BU KEPALA :
Dan teman kita ini? Apa masih dipanggil Yulia?

BU DOSEN :
Yulia? Ah, itu kan nama semasa pacaran. Sekarang aku dipanggil Bu Dosen.

BU KEPALA :
Sarjana? Hebat dong!

BU DOSEN :
Suamiku dosen. Aku langsung dipanggil Bu Dosen.

BU KEPALA :
O, begitu.

148
BU HAJI :
Sebaiknya Bu Dosen menanyakan siapa wanita yang melap-lap korsi antik itu.

BU KEPALA :
Ya. Dan korsi itu korsi apa.

BU DOSEN :
Sebaiknya yang bertanya Bu Kepala saja. Ya kan?

BU KEPALA :
Saya? Ah, jangan begitu. Seorang isteri Kepala seperti saya ini, tidak pantas bertanya pada
isteri bawahan. Bu Haji saja.

BU DOSEN :
Yaya. Bu Haji saja.

Ketiganya mendekati Nurani.

BU HAJI :
Eh, saya panggil siapa ya? Nona atau Nyonya? Nyonya saja ya? Nyonya, rasanya kita pernah
berjumpa. Tapi di mana ya? Saya lupa. Siapa nama nyonya?

NURANI :
Nama saya Nurani.

BU KEPALA :
Nurani?

BU DOSEN :
Nurani?

BU HAJI :
O, Nurani?

BU DOSEN :
Saya rasanya juga pernah mengenalnya. Nurani. Tapi, di mana ya?

149
BU KEPALA :
Yayaya. Nurani. Apa ini nama isteri bawahan suami saya. Nurani. Saya seperti pernah
mengenalnya.

Ketiganya berpikir-pikir.

NURANI :
Ibu-ibu yang terhormat. Saya selalu dilupakan, walaupun saya kenal sekali dengan ibu-ibu.
Tapi karena saya orang kecil, berada di tempat terpencil, ibu-ibu jarang memperhatikan saya.

BU HAJI :
Jadi kau kenal aku?

NURANI :
Semua. Semua orang. Bu Kepala, Bu Dosen, Bu Haji dan ibu-ibu yang lain.

BU KEPALA :
Pokoknya, jangan sombonglah. Di mana kau kenal aku? Di kantor? Pada arisan isteri-isteri
pegawai?

NURANI :
Mestinya ibu-ibu tidak dapat melupakan aku. Tapi sejak ibu-ibu dipanggil orang dengan
nama yang lain, tidak dengan nama yang asli, aku dilupakan.

BU KEPALA :
Yang namanya bawahan tetap saja mengeritik atasan. Juga isteri-isterinya. Sudahlah. Aku
benci mendengar suaramu!

BU DOSEN :
E, Nurani! Mengapa kau di sini? Kenapa korsi ini di lap saja.

BU HAJI :
Ini korsi apa, Nurani?

BU KEPALA :

150
Wanita ini benar-benar tidak tahu aturan. Mestinya dia harus mempersilahkan aku duduk.
Kan capek datang ke sini. Tapi kucing dapur itu malahan menyanyi-nyanyi sewaktu kita
datang.

NURANI :
Ibu-ibu. Tidak semua korsi dapat diduduki wanita. Korsi ini khusus untuk laki-laki.

BU KEPALA :
Korsi ini khusus untuk laki-laki? Begitu? Sejak kapan ada peraturan seperti itu? Hentikan
pekerjaanmu itu! Aku mau duduk.

NURANI :
Jangan buk, jangan. Aku ditugaskan memelihara dan merawat korsi ini!

BU KEPALA :
Bodoh! Korsi apapun, di manapun, jabatan apapun, pekerjaan apapun yang dilakukan laki-
laki, juga harus dilakukan wanita.

BU DOSEN :
Benar Bu Kepala. Saya misalnya. Meskipun saya tidak sempat masuk SMA, tapi saya juga
dapat memberikan kuliah pada mahasiswa-mahasiswa suami saya.

BU HAJI :
Yaya, memang begitu. Walaupun saya tidak haji, tapi karena suami saya haji, saya juga
diminta memberikan pengajian di mesjid-mesjid!

BU KEPALA :
Kau dengar itu, wanita bodoh! Tidak ada lagi perbedaan antara lelaki dan wanita sekarang!
Semua sama!

NURANI :
Saya berkewajiban melarang semua wanita yang ingin duduk di korsi ini.

BU KEPALA :

151
(Marah sekali) Siapa yang melarang! Katakan! Kau tahu siapa aku, bukan! Aku isteri seorang
kepala! Yang melarang itu bisa kupecat!

NURANI :
Percayalah buk. Ini bukan hak wanita.

BU KEPALA :
Kau benar-benar bodoh. Terbelakang! Kampungan! Tidak berpendidikan!

NURANI :
Tidak semua tempat sanggup diduduki wanita. Ini namanya fitrah! Fitrahnya kaum wanita.
Tuhan sudah menentukan begitu.

BU HAJI :
Jahanam! Jangan kau bawa-bawa Tuhan dalam persoalan seperti ini! Aku lebih mengerti
tentang Tuhan, agama! Aku isteri seorang haji, tahu!

BU DOSEN :
Wanita jenis begini harus secepatnya ditertibkan.

BU KEPALA :
Ya. Bila dibiarkan semua maksud kita akan terhalang.

BU HAJI :
Apa yang harus kita lakukan?

BU KEPALA :
Diamkan!

BU DOSEN :
Caranya?

BU KEPALA :
Begini. Mari.

152
Ketiga wanita berbisik-bisik sebentar, kemudian mereka membuka stagen (tali pinggang
wanita dari kain yang panjang sekali). Dengan stagen itu mereka mengikat Nurani.

NURANI :
Aku tidak bersalah! Aku tidak bersalah!

BU KEPALA :
Diam! Kau rewel! Tidak tahu sopan santun!

NURANI :
Aku hanya menjelaskan posisi dan kodratnya kaum wanita. Lepaskan aku. Aku tidak
bersalah.

BU HAJI :
Diam! Tadi kau bilang Tuhan! Kenapa sekarang tidak mengadu pada Tuhan!

NURANI :
Tuhan yang menentukan kodrat kaum wanita! Emansipasi tidak dapat berlaku dalam segala
persoalan!

BU KEPALA :
Diam! Diam!

NURANI :
Bila aku diikat, semuanya akan jadi liar! Emansipasi kaum wanita akan menjurus kepada
kebiadaban. Dengarkan aku. Dengarkan.

BU DOSEN :
Diam kataku! Diam!

NURANI :
Semua akan jadi liar! Lepaskan aku! Aku mengenal ibu-ibu semuanya! Bu, aku Nurani!
Nuranimu!

BU KEPALA :
Cukup!

153
Nurani selesai diikat. Ketiga wanita itu lega dan meneliti korsi antik

BU KEPALA :
Korsi inilah yang kucari selama ini.

BU DOSEN :
Yaya. Dengan korsi ini, kedudukanku akan sama dengan suamiku.

BU HAJI :
Korsi ini akan membuat persamaan hak antara aku dan suamiku. Cantiknya korsi ini.

BU KEPALA :
Korsi yang anggun, mahal dan diidam-idamkan. Kini telah ditemukan!

BU DOSEN :
O, korsi yang manis.

BU KEPALA :
Emansipasi! (menjilat-jilat koris)

BU HAJI :
Persamaan hak! (menjilat-jilat korsi)

BU DOSEN :
Kemerdekaan wanita! (menjilat-jilar korsi)

Sementara ketiga wanita menjilat-jilat korsi dengan penuh nafsu. Nurani menangis sedih.
Dia meratap dalam dendang dan pantun-pantun..

BU HAJI :
Aku ingin duduk di sini (mencoba duduk)

BU DOSEN :
Aku juga. (menyeret Bu Haji, lalu duduk)

BU KEPALA :
Aku lebih berhak (menyeret Bu Dosen, lalu duduk)
154
BU DOSEN :
Hak kita sama! (menyeret Bu Kepala)

BU KEPALA :
Tidak! Aku punya hak istimewa! (bertahan)

Mereka terus berusaha duduk tapi selalu diseret yang lain

NURANI :
Inilah akibatnya! Inilah akibatnya!
Sebentar lagi ibu-ibu akan berbunuhan!
Jangan duduk di situ, kataku! Jangan!

BU KEPALA :
Kucing dapur! Diam!

NURANI :
Korsi itu untuk laki-laki! Jangan melawan kodrat! Jangan melawan hukum alam!

BU HAJI :
Diam kau, setan!

BU KEPALA :
Diam! (menyumbat mulut Nurani dengan saputangan)
Berteriaklah lebih keras!

BU DOSEN :
(Mengejek) Setelah dibungkam, apakah kau masih bersuara Nurani?

BU HAJI :
(Mengejek) Mulai saat ini, kau tak dapat lagi bersuara, Nuraniku sayang.

BU KEPALA :
(Mengejek) O, Nuraniku! Membisulah kau di situ!

Ketiga wanita itu puas sekali.

155
BU DOSEN :
Daripada rebutan korsi seperti yang dilakukan laki-laki, kita wanita-wanita jangan sampai
begitu. Memalukan. Lebih baik kita mufakat saja. Siapa yang lebih dulu duduk di korsi ini.

BU KEPALA :
Saya harus duduk lebih dulu.

BU HAJI :
Kok Bu Kepala saja yang harus duluan. Saya kan juga punya hak.

BU KEPALA :
Terus terang saja, saya sebenarnya tidak ingin duduk. Tapi karena suami saya seorang kepala,
saya harus mendapatkan prioritas. Ya kan?

BU DOSEN :
Saya kan juga harus mendapat prioritas.

BU KEPALA :
O, tentu. Tentu, Bu Dosen. Tapi apakah suami Bu Dosen seorang Kepala? Dan Suami Bu
Haji juga seorang kepala? Tidak kan?
Perbedaan kedudukan dan prioritas antara kita disebabkan karena perbedaan kedudukan dari
suami kita masing-masing. Itu wajar kan? Hukum alam. Paham? Inilah hasil mufakat kita.
(duduk dengan cepat)

BU HAJI :
Kalau begini caranya, saya harus tuntut suami saya. Kenapa dia belum juga jadi kepala.

BU DOSEN :
Ah! Suami bodoh! Mestinya dari dulu dia sudah jadi kepala! Aku akan hajar dia! (ke luar)

BU HAJI :
Korsi ini akan membuat persamaan hak antara aku dan suamiku. Cantiknya korsi ini. (ke
luar)

156
BU HAJI + BU KEPALA :
(Suara di luar) Kau harus naik pangkat! Harus jadi kepala!
Dengan cara apapun!

Bu Kepala dengan santai duduk di korsi. Dia merokok. Lalu, bicara keras memanggil
suaminya

BU KEPALA :
Papa, ke sini! Cepat! (seakan mendengar jawaban suaminya) Apa? (emnunggu beberapa
saat) Ada rapat di kantormu? (marah sekali) Papa boleh pilih sekarang! Saya atau
bawahanmu! (mendengarkan suara suaminya) Apa? Rapat penting? Papa kira mama tidak
penting! Urusan mama juga penting! Arisan! Arisan! Arisan! Mobil! Mobil! (seakan
mendengar jawaban suaminya) Apa? Mobil dinas? Tidak! Harus pakai mobil pribadi? Ini
penting sekali! Papa tahu berapa arisanku yang baru? Tidak? Setengah juta! (seakan
mendengar suara suaminya) Apa? Kau tidak sanggup memenuhinya tiap bulan? Baik.
Kantormu akan kuobrak-abrik! Kau akan kuberi malu di depan bawahanmu! Sialan. Masa
lebih penting orang lain daripada isterinya sendiri. (seakan mendengar suara suaminya)
Cukup! Cukup! Jangan khotbahi aku! Aku juga bisa mengajarmu! Papa tahu di mana aku
duduk sekarang? Tidak? di Korsi emansipasi! Tahu!

Bu Dosen dan Bu Haji datang.

BU KEPALA :
Siapa kalian? Suamiku tidak ada di rumah! Urusan kantor bukan di sini!

BU HAJI :
Kok bisa lupa? Saya kan Bu Haji.

BU DOSEN :
Saya Bu Dosen.

BU KEPALA :
Siapa ya?

157
BU DOSEN :
Masa lupa. Kan hanya baru beberapa saat kami ke luar dari sini. Kita kan, yang dulu sama-
sama sekolah, sama-sama rebutan korsi ini?

BU KEPALA :
O, iya! Saya kira wanita-wanita yang mengincar suami saya.

BU HAJI :
Cinta memang buta Bu Kepala. Tapi lebih buta lagi kecemburuan.

BU DOSEN :
Bahkan, kecemburuan itu bisa membuat kita kalap. Ya kan?

BU KEPALA :
Baiklah. Kawan-kawan lamaku. Apa khabar. Apa yang harus saya bantu.

BU HAJI :
Bu Kepala. Sekarang saatnya kita memikirkan wanita-wanita yang masih terikat. Seperti
wanita itu misalnya. (menunjuk pada Nurani)

BU DOSEN :
Yaya. Rupanya dia terikat begitu erat oleh adat dan agama. Susah sekali dia untuk bergerak
bebas seperti kita.

BU KEPALA :
Memang wanita seperti itu harus dibantu. Kita harus mendidiknya dan meningkatkan taraf
hidupnya. Banyak yang harus kita kerjakan agar wanita seperti itu terlepas dari ikatannya.

BU HAJI :
Ya. Ini semacam proyek kemanusiaan, Bu Kepala.

BU KEPALA :
Yaya, proyek kemanusiaan! Bahasa yang bagus. Tapi proyek begitu harus didukung oleh
dana yang besar, bukan?

158
BU DOSEN :
Dana? Benar sekali. Bagaimana kita bisa mendapatkan dana itu?

BU DOSEN :
Pokoknya kita harus mendapatkan dana. Dengan cara apapun.

BU KEPALA :
Benar. Demi kemanusiaan dan demi membebaskan wanita dari keterikatannya yang kuno.
Bila perlu kita jual segala apa yang ada pada kita.

BU HAJI :
Dan apa tidak dibantu oleh suami-suami kita?

BU KEPALA :
Wanita-wanita seperti kitalah yang harus menyadarkan suami!

BU HAJI :
Tapi, bagaimanapun, kita harus berusaha mendapatkan dana sendiri tanpa bantuan mereka.
Setidak-tidaknya membuktikan bahwa emansipasi itu benar-benar dapat dijalankan.

BU DOSEN :
Bagaimana mendapatkan dananya?

BU KEPALA :
Tadi sudah kukatakan. Jual segala apa yang ada. Kita harus berkorban demi wanita-wanita
yang masih terikat dalam kemiskinan dan keterbelakangan itu.

BU HAJI :
Apa ya? Apa yang harus kita jual, ya?

BU KEPALA :
Begini.

Bu Kepala turun dari kursi. Ketiganya berbisik sebentar kemudian mengangguk-angguk.

159
BU KEPALA :
Kita tawarkan kepada semua orang, lalu nanti ditenderkan! Mulai!

Ketiganya berdiri terpisah. Mereka berganti-ganti berteriak seperti orang menjajakan


barang dagangan.

BU DOSEN :
(Mengacungkan kacamata)
Ilmu! Ilmu! Ilmu!
Ijazah! Ijazah! Ijazah!
Sebentar lagi ditenderkan!

BU HAJI :
(Mengacungkan serban)
Agama! Agama! Agama!
Penawar terendah tidak diterima!

BU KEPALA :
(Mengacungkan selendang)
Adat! Adat! Adat!
Tender dibuka setiap saat!

Sampai akhirnya mereka letih.

BU DOSEN :
Tidak laku! Sialan!

BU HAJI :
Kok tidak ada yang mau membeli?

BU KEPALA :
Seorangpun tidak ada yang menanggapi! Kalau begini proyek kemanusiaan kita bisa gagal.

BU DOSEN :
Apa lagi yang harus kita jual, ya?

160
BU KEPALA :
Pakaian?

BU DOSEN :
Terlalu murah. Di pasar banyak sekali.

BU HAJI :
Tanah?

BU DOSEN :
Semua sudah disertifikatkan, susah!

BU HAJI :
Sulit juga mencari dana, ya? Apalagi tanpa didukung oleh jabatan suami.

BU KEPALA :
Begini! Ini pasti laku!

Ketiganya berbisik sebentar, kemudian tersenyum gairah.

BU HAJI :
Kalau kita jajakan untuk dijual, nanti semua orang memprotes kita.

BU DOSEN :
Mereka yang memprotes pastilah wanita yang munafik. Berlagak sopan, alim! Toh mereka
sama saja dengan kita.

BU KEPALA :
Jangan hiraukan mereka. Yang penting kita dapat dana. Untuk proyek…

KETIGANYA :
Kemanusiaan! Kemanusiaan!

BU KEPALA :
Ya, kita mulai menjajakan!
Suara jangan terlalu keras, tapi cukup menggiurkan! Mulai!

161
Bu Haji memegang pinggul dan berjalan dengan genit. Bu Dosen memegang dada berjalan
genit penuh gairah. Bu Kepala memegang bibir melenggok-lenggok penuh nafsu. Sementara
itu Nurani melepaskan sumbat mulutnya sendiri.

BU DOSEN :
Seks! Seks!

NURANI :
Jangan dijual!

BU HAJI :
Seks! Seks!

NURANI :
Jangan dijual!

BU KEPALA :
Seks! Seks!

NURANI :
Jangan dijual!

Ketiga wanita tambah bergairah dan menggeliat-geliat sambil berteriak-teriak seks.


Lembaran-lembaran uang mulai berjatuhan dari langit. Nurani berusaha melepaskan
ikatannya tapi tak berdaya/ Dia rebah di tanah. Sementara ketiga wanita itu saling berebutan
mengumpulkan uang berjatuhan.

BU KEPALA :
Bawa semua uang itu ke sini. (merampas semua uang yang berada dalam tangan Bu Haji)

BU HAJI :
Kok diambil? Yang mengumpulkan kan saya.

BU KEPALA :
Ingat Bu Haji. Suami saya seorang Kepala.

162
BU HAJI :
Jadi, dana yang kita kumpulkan ini untuk Bu Kepala? Kalau begitu baiklah. Ini.
(Menyerahkan uang seluruhnya pada Bu Kepala)

BU KEPALA :
Untuk proyek, kan? Karena suami saya seorang Kepala, saya langsung memimpin proyek
ini.

BU HAJI :
(Ke samping berbisik dengan Bu Dosen)
Rakus juga!

BU DOSEN :
Keturunannya!

BU KEPALA :
Sekarang dana melimpah. Program kita dapat dilaksanakan. (meletakkan sebagian uang di
lantai) Ini untuk pembangunan sekolah wanita.

BU DOSEN :
Pemborongnya saya, ya Bu Kepala.

BU KEPALA :
Jangan. Biar saya agar tidak ada yang memprotes. (meletakkan sebagian uang lagi di lantai)
Ini untuk perbaikan rumah-rumah wanita yang miskin.

BU HAJI :
Apa tidak sebaiknya ditender pada pemborong lain?

BU KEPALA :
Buat apa? Tidak praktis! Biar saya saja. Yang sebagian ini akan diserahkan langsung pada
yang berhak.

BU DOSEN :
Bu Kepala yang langsung menyerahkan, bukan?

163
BU KEPALA :
Tentu. Memang harus begitu. Nah sekarang kita berangkat!

BU HAJI :
Proyek kemanusia! Untuk wanita di desa!

BU DOSEN :
Dengan uang, kita lepaskan ikatan adat dan agama yang menjerat kehidupan teman-teman
kita!

BU KEPALA :
Tunggu!

BU HAJI :
Tunggu apa lagi?

BU DOSEN :
Ayolah. Ada apa sih?

BU KEPALA :
Kita harus ke salon, dulu kan?

Ketiganya ke luar lalu masuk lagi.

BU KEPALA :
Ini desanya?

BU HAJI :
Ya. Kita sudah sampai.

BU KEPALA :
Benar apa yang dikatakannya. Dia orang kecil, berada di tempat terpencil. Nurani memang
bernasib malang.

BU DOSEN :
Kok tidak ada yang menyambut kita.

164
BU HAJI :
Yang tinggal di sini mungkin Nurani seorang saja. Lebih baik kita panggil. Ayo.

KETIGANYA :
(memanggil-manggil) Nurani! Di mana kau! Nurani! Di mana kau!

BU HAJI :
Tunggu. Ada yang lupa.

BU KEPALA :
Apa?

BU HAJI :
Kata penunjuk jalan, namanya bukan hanya Nurani.

BU KEPALA :
Siapa namanya?

BU HAJI :
Ati Nurani.

BU DOSEN :
Ati Nurani! Baik. Mari kita panggil lagi.

KETIGANYA :
(Memanggil lebih keras) Ati Nurani! Di mana kau! Ati Nurani! Kami di sini!

BU HAJI :
(Mendapatkan Nurani yang tak sadarkan diri)
Ini dia!

BU KEPALA :
O, iya. Kita malah memanggil ke mana-mana.

BU DOSEN :
Padahal dia di sini.

165
BU KEPALA :
Bangunkan dia.

BU DOSEN :
Nurani! Nurani! Jangan tidur. Bantuan untukmu telah datang.

BU HAJI :
Nurani. Bangun. Kami telah kumpulkan dana untuk melepaskan ikatanmu.

BU KEPALA :
Nurani. Dengarkan kami. Kami telah memperjuangkan nasibmu. Bangunlah. Jangan lupa
berterima kasih padaku.

Nurani tidak bergerak.

BU KEPALA :
Apa dia sedang mimpi?

BU HAJI :
Tidak mungkin wanita mimpi di siang bolong.

BU KEPALA :
Mungkin saja. Wanita yang terikat selalu mimpi kebebasan.

KETIGANYA :
Nurani!
Nurani!
Nurani!

Ketiganya meraba tubuh Nurani.

BU DOSEN :
Dingin.

BU HAJI :
Dia telah mati.

166
BU KEPALA :
Mati? Kok bisa mati, ya?

BU DOSEN :
Kita harus panggil polisi.

BU HAJI :
Jangan. Nanti kita dituduh sebagai pembunuh.

BU KEPALA :
Tenang saja. Tenang. Jangan gelisah.

BU HAJI :
Tenang bagaimana? Aku takut sekali.

BU KEPALA :
Tenang saja. Tidak seorangpun yang berani menuduh kita membunuh Nurani.

BU HAJI :
Kok begitu?

BU DOSEN :
Iya dong. Suaminya kan seorang Kepala.

BU KEPALA :
Benar. Tidak wajar bila seorang isteri Kepala dituduh yang bukan-bukan.

BU HAJI :
Bu Kepala tentu saja tidak akan dituduh karena jabatan suami sebagai Kepala. Tapi saya?

BU KEPALA :
Bila suami saya melindungi saya berarti juga melindungi teman-teman saya, asal…

BU HAJI :
Asal apa, Bu Kepala.

167
BU KEPALA :
Jangan terlalu banyak tanya tentang uang proyek ini. Sesama temankan harus saling tenggang
rasa. Ya kan?

BU HAJI :
Tapi dana itu kita kumpulkan untuk kemanusiaan. Untuk Nurani. Untuk wanita-wanita
miskin.

BU KEPALA :
(Marah sekali) Bu Haji mau selamat atau tidak?

BU HAJI :
Selamat Bu Kepala. Hindarkan saya dari tuduhan pembunuhan ini.

BU KEPALA :
Kalau mau selamat, jangan banyak cincong!
(Menyulut rokok dan berkemas hendak pergi)

BU DOSEN :
Bu Kepala mau ke mana?

BU KEPALA :
Ke Paris!

BU HAJI :
Ke Paris? Mau apa?

BU KEPALA :
Shopping! (ke luar)

BU HAJI :
Oh…

BU DOSEN :
Terlalu rakus!

168
BU HAJI :
Jangan keras-keras! Nanti suami kita dipecat!

BU DOSEN :
Semua ini gara-gara Nurani telah mati!

BU HAJI :
Tanpa Nurani apakah kita masih bisa hidup?

BU DOSEN :
Entahlah. Tapi kata suamiku, Nurani harus dibangunkan kembali dalam kehidupan kita.

BU HAJI :
Apakah dia masih bisa hidup lagi?

BU DOSEN :
Entahlah. Mari kita lihat lagi.

Keduanya mengelilingi tubuh Nurani.

BU HAJI + BU DOSEN :
Nurani! Nurani!
Nurani!
Nuraniku!
Aku kini bersamamu!

-tamat-

Padang, 1981

169

Anda mungkin juga menyukai