Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jalan merupakan sarana transportasi yang sangat penting kedudukannya dalam
hal untuk memenuhi kegiatan dan kehidupan manusia secara langsung maupun
tidak langsung terutama dari segi ekonomi, sosial politik, dan pariwisata. Jalan raya
berfungsi sebagai penghubung antara satu daerah dengan daerah lainnya, juga
sebagai penunjang perkembangan suatu daerah. Apalagi dengan tingginya
perkembangan dan pertumbuhan masyarakat serta lingkungan yang diiringi dengan
peningkatan volume lalu lintas. Dengan meningkatnya volume lalu lintas,
meningkat pula kebutuhan akan jalan dengan struktur perkerasan dan konstruksi
jalan yang lebih kuat dan berkualitas.
Tersedianya bahan konstruksi jalan yang memenuhi syarat spesifikasi teknis
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam pembangunan jalan.
Sering ditemui kendala bahwa letak sumber material demikian jauhnya atau sering
terjadi material yang dibutuhkan tidak sesuai sehingga mengakibatkan
pembengkakan biaya transportasi akibat mendatangkan material dari luar daerah.
Bahan konstruksi dimaksudkan adalah agregat. Agregat yang digunakan
dapat berupa agregat alam dan agregat buatan. Agregat merupakan komponen
utama dari lapisan perkerasan jalan yaitu mengandung 90-95% agregat berdasarkan
persentase berat atau 75-85% agregat berdasarkan persentase volume. Dengan
demikian pengaruh sifat agregat terhadap kinerja (performance) dari campuran
sangat besar, oleh sebab itulah agregat harus memenuhi standar persyaratan yang
telah ditentukan. Agregat alam bisa didapatkan langsung dari lingkungan sekitar
misalnya dari sungai, yang terdiri dari pasir, dan kerikil alam. Sedangkan agregat
buatan dihasilkan dari olahan/produksi manusia. Hasil olahan ini dapat berupa
bahan sub-standard yang merupakan bahan buangan yang belum dimanfaatkan
secara maksimal.
Bahan Sub-Standard yang didefinisikan sebagai bahan alam, bahan
olahan atau bahan bahan buangan yang umumnya jarang dipakai, dapat
dimanfaatkan sebagai alternatif untuk digunakan sebagai bahan material
yang berdaya guna. Bahan Sub-standard dengan rekayasa teknologi dapat
dipertimbangkan sebagai bahan konstruksi perkerasan dalam campuran
aspal. (Kurniadji dan Yamin, Anwar; 2000). Keuntungan penggunaan
bahan sub-standard adalah :
a) Membantu mengatasi problem tentang kebutuhan bahan.
b) Menekan biaya konstruksi pada suatu daerah yang kekurangan bahan
standard.
c) Mengatasi problem lingkungan khususnya dalam pemanfaatan bahan
buangan.
Dalam pengujian ini, peneliti mencoba mencari alternatif lain bahan sub-
standard “Tin Slag” sebagai bahan campuran aspal beton. Tin slag adalah sisa dari
pengolahan timah dan merupakan bahan yang banyak tertimbun dan cenderung
menjadi limbah karena pemanfaatannya masih relatif kecil dan belum maksimal.
Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh tin slag terhadap campuran laston
(AC-BC), penulis tertarik melakukan penelitian di Laboratorium dan
menuliskannya kedalam bentuk tugas akhir dengan judul “Penggunaan Terak
Timah (Tin Slag) Sebagai Substitusi Agregat Halus Pada Campuran AC-BC”.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi rumusan masalah adalah :
1. Bagaimana nilai karakteristik Marshall campuran AC-BC menggunakan
terak timah (tin slag) sebagai substitusi agregat halus ?
2. Berapakah Kadar Aspal Optimum (KAO) campuran aspal beton lapis
permukaan antara (AC-BC) menggunakan terak timah (tin slag) sebagai
substitusi agregat halus ?
3. Apakah terak timah (tin slag) dapat dimanfaatkan sebagai substitusi agregat
halus pada campuran aspal beton lapis permukaan antara (AC-BC) ?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebaga berikut:
1. Mengetahui nilai karakteristik marshall dari terak timah (tin slag) sebagai
substitusi agregat halus pada campuran AC-BC.
2. Mengetahui nilai Kadar Aspal Optimum (KAO) dari terak timah (tin slag)
sebagai substitusi agregat halus pada campuran AC-BC.

1.4 Batasan Masalah


Dalam penelitian ini, lingkup batasan masalah yang ditetapkan adalah sebagai
berikut :

1. Terak timah (tin slag) yang digunakan diambil dari PT. Timah, Tbk Kota
Pangkalpinang.
2. Agregat kasar yang digunakan berasal dari Merak
3. Agregat halus yang digunakan berasal dari Desa Rebo Kab.Bangka
4. Filler yang digunakan adalah filler dari PT.ABI
5. Aspal yang digunakan adalah Aspal Penetrasi 60/70
6. Variasi penambahan limbah cangkang kelapa sawit pada campuran (AC-
WC) terdiri dari tiga macam, yaitu 0%, 25%, 50%, 75%, 100%
7. Spesifikasi standar yang digunakan adalah Spesifikasi Umum Bina Marga
2010
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


Andi B.Angka, Kushari (2017), Slag Nikel Sebagai Bahan Substitusi Pada
Karakteristik Campuran AC-BASE. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
karakteristik campuran AC-BASE menggunakan slag nikel sebagai substitusi dari
abu batu dengan variasi 0%, 25%, 50%, 75% dan 100%, dan kadar aspal optimum.
Metode yang digunakan adalah eksperimen dilaboratorium, melalui desain
campuran dan uji Marshall. Hasil penelitian campuran AC-BASE yang
menggunakan slag nikel sebagai bahan substitusi abu batu dengan variasi 25%,
50%, 75% dan 100% diperoleh nilai stabilitas maksimum pada substitusi slag nikel
25% dengan nilai 1.398,34 kg, nilai Flow maksimum pada substitusi slag nikel 25%
dengan nilai 3,16 mm, nilai VIM maksimum pada substitusi slag nikel 100%
dengan nilai 6,611%, nilai VMA maksimum pada substitusi slag nikel 100%
dengan nilai 18,691%, nilai VFB maksimum pada substitusi slag nikel 25% dengan
nilai 79,982%, nilai Marshall Quention (MQ) maksimum pada substitusi slag nikel
25% dengan nilai 442,51 kg/mm. Nilai Kadar Aspal Optimum (KAO) yang
memenuhi digunakan dalam campuran lapis perkerasan 5,6 %.
Nurani Hartatik, dkk, Karakteristik Campuran Beton Aspal (AC-WC) Dengan
Penambahan Abu Slag Baja Sebagai Bahan Pengganti Filler. Dalam penelitian ini
mencoba menggunakan limbah slag baja sebagai bahan pengganti filler yang
diharapkan dapat menambah kualitas campuran beton aspal sekaligus mengurangi
dampak lingkungan yang terjadi akibat penumpukan limbah slag. Tujuan penelitian
adalah mengetahui pengaruh abu slag terhadap karakteristik pada campuran beton
aspal serta untuk mengetahui kadar abu slag dan kadar aspal optimum pada
campuran beton aspal. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen dengan
suatu percobaan untuk mendapatkan hasil, dengan demikian akan terlihat
pemanfaatan abu slag baja pada konstruksi beton aspal dengan variasi kadar abu
slag 0%, 1%, 2%, 3% ,4% dan 5%. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan Abu
slag dalam campuran beton aspal mempengaruhi karakteristik campuran beton
aspal, semakin banyak abu slag akan membuat nilai stabilitas semakin meningkat,
sampai pada batas optimum yaitu sebesar 4% dengan nilai stabilitas 2379.52 kg,
namun nilai stabilitas cenderung menurun saat kadar abu slag mencapai 5% yaitu
sebesar 2081.87 kg. Nilai fleksibilitas juga meningkat seiring pertambahan kadar
abu slag, peningkatan terjadi sampai pada batas optimum 4% dengan kadar aspal
5.2%, hal ini menunjukkan bahwa campuran lebih bersifat kaku. Durabilitas
campuran dapat dilihat dari nilai VIM, dalam pengujian nilai durabilitas mengalami
penurunan seiring dengan penambahan kadar abu slag terhadap campuran beton
aspal. Nilai durabilitas yang ideal terdapat pada abu slag 3% dengan kadar aspal
4.7%. Dapat disimpulkan bahwa kadar slag ideal menggunakan Abu slag sebesar
3% dengan kadar aspal optimum sebesar 5.95%.
Bagus Priyanto, dkk (2017), Pengaruh Penggunaan Slag Sebagai Fine
Aggregate Pada Campuran Asphalt Concrete Binder Course (AC-BC) Terhadap
Karakteristik Marshall Dan Durabilitas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisa sifat-sifat karakteristik campuran Laston Lapis Pengikat (AC-BC)
dengan metode Marshall test bila campuran AC-BC terpengaruh adanya variasi
penggunaan fine aggregate “Slag” serta mendapatkan Kadar Aspal Optimum
(KAO) akibat pengaruh variasi penggunaan fine aggregate “Slag” pada campuran
Laston Lapis Pengikat (AC-BC). Pada proses rangkaian tahap penentuan kadar
aspal optimum (KAO) campuran AC-BC akibat pengaruh variasi persentase fine
aggregate slag dalam campuran sebeasr 0% fine aggregate slag atau 100% fine
aggregate abu batu didapatkan nilai VMA > 14% pada kadar aspal 4% - 6%, VFA
> 63% pada kadar aspal 5,2% - 6%, VIM = 4,9% sampai 5,9% (pada kadar aspal
5,1% - 5,5%), stabilitas > 800 kg pada kadar aspal 4% - 6%, flow > 2 mm pada
kadar aspal 4% - 6%, MQ > 200 kg/mm pada kadar aspal 4% - 6%, sehingga kadar
aspal optimum (KAO) campuran AC-BC sesuai dengan persyaratan Spesifikasi
Baru Beton Aspal Panas, Departemen Kimpraswil (Agustus 2001) untuk Lalu
Lintas (LL) > 1 juta ESA ini didapat sebesar 5,35%. Akibat pengaruh variasi
persentase fine aggregate slag dalam campuran tersebut sebesar 50% didapatkan
nilai VMA > 14% pada kadar aspal 4% - 6%, VFA > 63% pada kadar aspal 5,3% -
6%, VIM = 4,9% sampai 5,9% (pada kadar aspal 5,2% - 5,7%), stabilitas > 800 kg
pada kadar aspal 4% - 6%, flow > 2 mm pada kadar aspal 4% - 6%, MQ > 200
kg/mm pada kadar aspal 4% - 6%, sehingga kadar aspal optimum didapat sebesar
5,5%. Untuk pengaruh variasi persentase fine aggregate slag dalam campuran
tersebut sebesar 100% didapatkan nilai VMA > 14% pada kadar aspal 4% - 6%,
VFA > 63% pada kadar aspal 5,2% - 6%, VIM = 4,9% sampai 5,9% (pada kadar
aspal 5,6% - 6%), stabilitas > 800 kg pada kadar aspal 4% - 6%, flow > 2 mm pada
kadar aspal 4% - 6%, MQ > 200 kg/mm pada kadar aspal 4% - 6%, sehingga kadar
aspal optimum (KAO) sebesar 5,8%.
Samsul Bahri, dkk (2010), Pengaruh Limbah Serbuk Besi Sebagai Pengganti
Sejumlah Agregat Halus Terhadap Campuran Aspal. Tujuan dari penelitian ini
adalah menguji stabilitas dan nilai flow untuk menyelidiki serbuk besi sebagai
bahan pengganti sejumlah agregat halus dalam campuran aspal. Dari penelitian ini
dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Dari hasil pengujian dengan persen penggantian agregat halus menggunakan
serbuk besi pada kadar 0 % - 15 % kondisi KAO, semua nilai karakteristik
Marshall memenuhi ketentuan yang disyaratkan oleh spesifikasi Bina Marga
2005.
2. Nilai stabilitas maksimal sebesar 2093 kg pada kadar 15 %.
3. Nilai kelelehan maksimal sebesar 3,57 mm pada kadar 5 %.
Hasil validasi karakteristik Marshall pada jumlah agregat halus yang tersubtitusi
menggunakan serbuk besi memenuhi spesifikasi koefisien Bina Marga 2005. Jadi
berdasarkan itu, limbah serbuk besi secara teknis dapat diterima sebagai bahan
pengganti untuk campuran agregat halus.
Sihtasari Devi (2017), Pengaruh Penambahan Limbah Steel Slag Dalam
Campuran AC-WC Sebagai Pengganti Agregat Kasar No. ½” Dan No. 8 Terhadap
Parameter Marshall. Limbah baja “Steel Slag” merupakan limbah baja yang
berbentuk bongkahan kecil yang diperoleh dari pembuatan baja dengan tanur tinggi.
Limbah tersebut, merupakan hasil sampingan dari proses bijih logam dan masih
mengandung material penting silica dan alumina . Limbah baja ini juga merupakan
salah satu masalah lingkungan sehingga perlu adanya pemanfaatan atau
pengembangan teknologi daur ulang untuk perkerasan jalan, Salah satu bahan
limbah yang akan dicoba untuk mengganti agregat baru pada penelitian ini adalah
limbah baja (Steel Slag) yang dapat digunakan sebagai pengganti agregat kasar dari
limbah industri baja yang sangat disayangkan jika tidak dimanfaatkan.
Penggunaanya juga akan membantu mengurangi limbah tersebut di lingkungan.
Lapis Aspal Beton (Asphalt Concrete/AC), merupakan salah satu jenis perkerasan
lentur yang menggunakan gradasi agregat menerus dari butir yang kasar sampai
yang halus. Kekuatan pada campuran ini adalah pada agregat – agregatnya yang
saling mengisi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
penambahan Steel Slag dalam campuran Laston AC-WC terhadap sifat fisik aspal
dan parameter Marshall. Pada penelitian ini Steel Slag dipakai sebagai agregat
kasar pada campuran Laston yaitu agregat tertahan saringan No. ½” dan No. 8
sebanyak 0%, 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% dengan kadar aspal optimum (KAO)
6%. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan Steel Slag pada
campuran aspal dapat dijadikan sebagai bahan pengganti agregat. Nilai stabilitas
yang didapat dari penambahan Steel Slag pada campuran aspal untuk kadar 0%,
10%, 20%, 30%, 40% dan 50% sudah memenuhi spesifikasi Marshall dengan hasil
sebesar 2475,18 kg, 2279,345 kg, 2129,137 kg, 1707,024 kg, 1988,56 kg dan
1817,092 kg. Untuk nilai VIM, VFA, VMA, Flow, dan MQ menunjukkan besaran
yang memenuhi spesifikasi.
Ormuz Firdaus (2014), Penggunaan Limbah Peleburan Timah (Tin Slag)
Sebagai Agregat Kasar Pada Campuran Hot Rolled Sheet – Wearing Course Untuk
Perkerasan Jalan Raya. Kepulauan Bangka Belitung terkenal merupakan penghasil
timah terbesar di Indonesia. Disamping memproduksi Timah, perusahaan yang
mengelola pertimahan juga menghasilkan produk sampingan (limbah) berupa terak
timah (tin slag) yang jumlahnya bertambah terus setiap saat. Limbah ini belum
dimanfaatkan seoptimal mungkin. Untuk itu perlu diadakan penelitian tentang
pemanfaatan limbah timah (tin slag) sebagai alternatif bahan untuk perkerasan jalan
raya. Agregat kasar merupakan sekumpulan butir-butir batu pecah, kerikil, atau
mineral lainnya yang berupa hasil alam. Hot Rolled Sheet-Wearing Course (HRS-
WC) merupakan lapisan pondasi atas dengan menggunakan bahan pengikat aspal.
Letaknya berada dibawah lapisan permukaan (wearing course). Kinerja suatu
perkerasan dapat ditentukan dari pengujian Marshall yang menghasilkan parameter
stabilitas, kelelehan, kerapatan, rongga dalam campuran, rongga dalam agregat, dan
Marshall Quotient. Setelah melalui proses uji Marshall didapat nilai Kadar Aspal
Optimum untuk agregat biasa sebesar 5,75%, dan untuk tin slag sebesar 4,80%.
Dengan menggunakan metode pengujian yang didasarkan pada standar Bina Marga
telah memenuhi persyaratan, sehingga tin slag dapat digunakan sebagai bahan
pengganti agregat kasar untuk perkerasan jalan raya dan dapat membantu dalam
upaya pemeliharaan lingkungan.

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Perkerasan Jalan
Perkerasan jalan raya adalah bagian jalan raya yang diperkeras dengan lapis
konstruksi tertentu, yang memiliki ketebalan, kekuatan, dan kekakuan, serta
kestabilan tertentu agar mampu menyalurkan beban lalu lintas diatasnya ke tanah
dasar secara aman (Sukirman, 2003). Perkerasan jalan terdiri dari campuran antara
agregat dan bahan ikat yang digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Agregat
yang dipakai seperti, batu pecah, batu belah, batu kali, dan hasil samping peleburan
baja. Sedangkan bahan ikat yang dipakai seperti, aspal, semen, dan tanah liat. Tanah
saja biasanya tidak cukup kuat dan tahan, tanpa adanya deformasi yang berarti,
terhadap beban roda berulang. Untuk itu perlu lapis tambahan yang terletak antara
tanah dan roda, atau lapis paling atas dari badan jalan. Lapis tambahan ini dapat
dibuat dari bahan khusus yang terpilih (yang lebih baik), yang selanjutnya, disebut
lapis keras/perkerasan/pavement. Mengingat volume perkerasan jalan, pada
umumnya diinginkan perkerasan yang murah, baik yang berkaitan dengan bahan
maupun biaya pelaksanaan, namun masih dapat memenuhi tuntutan lalu lintasnya.
Pada mulanya konstruksi perkerasan dikelompokkan menjadi perkerasan lentur
(flexible) dan perkerasan kaku (rigit), perkembangan selanjutnya menunjukkan
bahwa adanya berbagai bentuk perkerasan lain seperti : perkerasan komposit,
perkerasan baton presstress, cakar ayam, conblok (Suprapto, 2007).

2.2.2 Lapisan Perkerasan


Berdasarkan bahan pengikatnya konstruksi beban perkerasan jalan dibedakan
atas (Suprapto, 2007) :
1. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Mengadopsi model makadam dengan bahan penutup (surfacing) dari
campuran aspal agregat. Bahan konstruksi perkerasan lentur terdiri atas : bahan ikat
(aspal, tanah liat) dan batu. Perkerasan ini umumnya terdiri atas tiga lapis yaitu
lapisan tanah dasar (subgrade), lapisan pondasi bawah (subbase), lapis pondasi
(base) dan lapisan penutup (surface). Masing-masing elemen lapisan di atas
termasuk tanah dasar secara bersama-sama memikul beban lalu-lintas. Dari atas
sampai bawah maka tebal lapisan menjadi semakin besar, hal ini disebabkan dengan
harga material pada tiap lapisan berbeda (Purwadi, 2008).
2. Perkerasan Kaku
Perkerasan kaku menggunakan lapisan agregat yang diletakkan diatas pelat
beton. Pelat beton tersebut dapat juga dilapisi dengan aspal agregat atau aspal pasir
yang tipis atau tidak. ada lapisan sama sekali. Bagian dari perkerasan kaku terdiri
dari: tanah dasar (subgrade), lapisan pondasi bawah (sub-base), lapisan beton B-0
(blinding concrete/beton lantai kerja), lapisan pelat beton (concrete slab), dan
lapisan aspal agregat/aspal pasir yang bisa ada dan tidak (Purwadi, 2008).
Perkerasan kaku menggunakan portland cement dan air sebagai pengikat dan
agregat sebagai tulangannya. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan
diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapisan bawah. Beban lalu lintas sebagaian
besar dipikul oleh pelat beton.
3. Perkerasan Komposit (composite pavement)
Perkerasan komposit adalah perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan
perkerasan lentur. Perkerasan dapat berupa perkerasan lentur di atas perkerasan
kaku atau perkerasan kaku di atas perkerasan lentur.

2.2.3 Susunan Lapis Perkerasan


Lapisan-lapisan perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu
lintas ke tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut seperti, lapisan
permukaan, lapisan pondasi atas, lapisan pondasi bawah, dan lapisan tanah dasar.
Adapun gambar lapisan-lapisan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Lapis Permukaan (Surface course)

Lapis Pondasi atas (Base course )

Lapis Pondasi bawah (Subbase course )

Tanah dasar (Subgrade)


Sumber: Sukirman, 1999
Gambar 2.1 Lapisan Perkerasan Lentur

1. Lapisan Permukaan (Surface Course)

Lapisan perkerasan yang terletak paling atas disebut lapisan permukaan, dan
berfungsi sebagai :

1) Lapis perkerasan penahan beban vertikal dari kendaraan, sehingga lapisan


harus mempunyai stabilitas tinggi selama masa pelayanan.
2) Lapis aus (wearing course), lapisan yang langsung menderita gesekan akibat
rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus.
3) Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke
lapisan di bawahnya. Yang mengakibatkan rusaknya konstruksi perkerasan
jalan.
4) Lapis yang menyebarkan beban ke lapis pondasi, sehingga dapat dipikul oleh
lapisan lain yang mempunyai daya dukung yang lebih rendah.
Pada umumnya lapisan permukaan dibuat dengan menggunakan aspal
sebagai bahan pengikat sehingga menghasilkan lapisan yang kedap air dengan
stabilitas tinggi dan daya tahan selama masa pelayanan. Lapis paling atas yang
kontak langsung dengan roda kendaraan, cepat menjadi aus dan rusak karena
berhubungan langsung dengan perubahan cuaca.
Lapis permukaan dapat dibedakan menjadi :
1) Lapis aus (wearing course), merupakan lapis permukaan yang kontak
langsung dengan roda kendaraan dan cuaca, dimana lapisan ini kedap air yang
bertujuan untuk menambah daya tahan perkerasan terhadap penurunan mutu
dan umumnya bersifat non struktural.
2) Lapis pengikat (binder course), merupakan lapis permukaan yang terletak
dibawah lapis aus, dimana lapisan ini lebih bersifat struktural yang berfungsi
sebagai lapis penahan dan menyebarkan beban roda selama masa
pelayanannya.

Adapun jenis lapisan perkerasan aspal yang umum dipergunakan di Indonesia


dibagi menjadi beberapa yaitu (Silvia S, 1999):
1) Lapisan bersifat non struktural. Lapisan ini berfungsi sebagai lapisan aus dan
kedap air antara lain :
1) Burtu (Laburan Aspal Satu Lapis). Burtu merupakan lapisan penutup yang
terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat yang
bergradasi seragam dengan ketebalan maksimal 2 cm;
2) Burda (Laburan Aspal Dua Lapis). Burda merupakan lapisan penutup yang
terdiri dari lapisan aspal dan ditaburi agregat yang dikerjakan dua kali
berurutan dengan ketebalan maksimum 3,5 cm;
3) Latasir (Lapisan Tipis Aspal Pasir). Latasir merupakan lapisan penutup
yang terdiri dari lapisan aspal dan pasir alam bergradasi menerus dicampur,
dihambar dan didapatkan pada suhu tertentu dengan tebal padat 1-2 cm;
4) Buras (Laburan Aspal). Buras merupakan lapisan penutup yang terdiri dari
lapisan aspal taburan pasir dengan ukuran butir maksimum 3/8 inc;
5) Latasbum (Lapisan Tipis Asbuton Murni). Latasbum merupakan lapisan
penutup yang terdiri dari campuran asbuton dan bahan pelunak dengan
perbandingan tertentu yang dicampur secara dingin dengan tebal padat
maksimum 1 cm;
6) Lataston (Lapisan Tipis Aspal Beton)/HRS. Lataston merupakan lapisan
penutup yang terdiri dari campuran agregat bergradasi senjang/semi
senjang, filler dan aspal dengan perbandingan tertentu, yang dicampur dan
dipadatkan dalam keadaan panas. Tebal padat yaitu 2,5-3 cm.
2) Lapisan bersifat struktural. Lapisan ini merupakan lapisan yang berfungsi
sebagai lapisan yang menahan dan menyebarkan beban roda. Lapisan
struktural terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
1) Penetrasi Macadam (lapen). Lapen merupakan lapisan perkerasan yang
terdiri dari agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi terbuka dan
seragam yang diikat oleh aspal dengan cara disemprotkan diatasnya dan
dipadatkan lapis demi lapis. Tebal lapisan satu lapis bervariasi dari 4-10
cm.
2) Lasbutag. Lasbutag merupakan lapisan yang terdiri dari campuran antara
agregat, asbuton dan bahan pelunak yang diaduk, dihampar dan dipadatkan
secara dingin, tebal padat tiap lapisannya antara 3-5 cm.
3) Laston (lapisan aspal beton). Laston merupakan lapisan yang terdiri dari
campuran aspal keras dan agregat yang mempunyai gradasi menerus,
dicampur, dihampar dan dipadatkan pada suhu tertentu.

2. Lapisan Pondasi Atas (Base Course)


Base Course merupakan lapisan perkerasan yang terletak diantara lapis
pondasi bawah dan lapis permukaan. Lapisan ini terutama berfungsi untuk menahan
gaya lintang akibat beban roda dan menerus beban kelapisan dibawahnya, sebagai
bantalan untuk lapisan permukaan dan lapisan peresapan untuk lapisan pondasi
bawah. Material yang digunakan untuk lapisan ini harus material dengan kualitas
yang tinggi sehingga kuat menahan beban yang direncanakan. Untuk lapis pondasi
atas tanpa bahan pengikat umumnya menggunakan material dengan CBR > 50%
dan Indeks Plastisitas (IP) < 4%. Bahan-bahan alam seperti batu pecah, kerikil
pecah, stabilitas tanah dengan semen dan kapur digunakan sebagai lapis pondasi
atas. Lapis pondasi kadang-kadang diletakkan secara langsung pada tanah dasar,
tapi sering material lapis pondasi bawah juga dipasang. Lapisan pondasi (base
course), yang merupakan elemen struktural utama perkerasan, berfungsi:

1) Menyebarkan tekanan akibat beban-beban lalu lintas agar tanah dasar


(subgrade) tidak mengalami tekanan secara berlebihan.
2) Sebagai dasar perletakan lapis permukaan.
3) Sebagai lapis peresapan untuk pondasi bawah.
Pertimbangan utama dalam perancangan lapis pondasi adalah :
1) Ketebalannya
2) Stabilitas akibat beban lalu lintas, dan
3) Ketahanan terhadap pelapukan

3. Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)


Lapisan pondasi bawah (Subbase Course) adalah bagian perkerasan yang
terletak antara lapisan pondasi atas dengan tanah dasar. Bahan yang dipakai
untuk lapisan pondasi bawah ini dapat berupa tanah asli atau tanah yang
berkualitas baik yang diambil dari galian daerah sekitarnya. Adapun fungsi
lapisan pondasi bawah ini adalah :
1) Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan
menyebarkan beban roda ke tanah dasar
2) Untuk mencegah tanah dasar masuk ke lapisan pondasi atas
3) Efisiensi penggunaan material. Material pondasi bawah relatif murah
dibandingkan dengan lapisan perkerasan diatasnya
4) Sebagai lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi
5) Sebagai lapisan pertama agar pelaksanaan dapat berjalan dengan lancar. Hal
ini berhubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah terhadap beban
lalu lintas
6) Lapisan pelindung, lapisan tanah dasar dari beban roda alat berat (akibat
lemahnya daya dukung tanah dasar) pada awal pelaksanaan pekerjaan
7) Lapisan pelindung, lapisan tanah dasar dari pengaruh cuaca
8) Lapisan untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar

4. Tanah Dasar (Subgrade)


Menurut Hamirhan, 2005, kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan
jalan sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Umumnya
persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut:
1) Perubahan bentuk tetap dari macam tanah tertentu akibat beban.
2) Sifat mengembang dan menyusut dari tanah akibat perubahan kadar air
3) Daya dukung tanah tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada
daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya,
atau akibat pelaksanaannya.
4) Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu lintas dari
macam tanah tertentu.
5) Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan yang
diakibatkannya.
Pemilihan jenis tanah dapat dijadikan tanah dasar melalui penyelidikan
tanah menjadi penting karena tanah dasar akan sangat menentukan tebal lapisan
perkerasan diatasnya, sifat fisik perkerasan dikemudian hari dapat kelakuan
perkerasan seperti deformasi permukaan dan lain sebagainya.

2.2.3 Kriteria Konstruksi Perkerasan Lentur


Agar dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada pemakai jalan, maka
konstruksi perkerasan jalan haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu :
1. Syarat berlalu lintas, Konstruksi perkerasan lentur dipandang dari segi
keamanan dan kenyamanan berlalu lintas haruslah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1) Permukaan yang rata, tidak bergelombang, dan tidak berlubang
2) Permukaan cukup kaku, sehingga tidak mudah berubah bentuk akibat
beban yang bekerja diatasnya.
3) Permukaan cukup kesat, memberikan gesekan yang baik antara ban
dengan permukaan jalan sehingga tidak mudah selip.
4) Permukaan tidak mengkilap, tidak silau jika terkena sinar matahari.

2. Syarat structural atau kekuatan, Konstruksi perkerasan jalan dipandang dari


segi kemampuan memikul dan menyebarkan beban, haruslah memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1) Ketebalan yang cukup sehingga mampu menyebarkan beban/muatan lalu
lintas ke tanah dasar.
2) Kedap air, sehingga tidak mudah meresap kelapisan bawahnya.
3) Permukaan mudah mengalirkan air, sehingga air hujan yang jatuh
diatasnya dapat dengan cepat dialirkan.
4) Kekakuan memikul beban yang bekerja tanpa menimbulkan deformasi
yang signifikan.

2.2.4 Lapisan Aspal Beton (Laston)


Lapisan aspal beton adalah suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri
dari campuran aspal keras dan agregat, dicampur dan dihampar dalam keadaan
panas serta dipadatkan pada suhu tertentu (Sukirman, S.,1992). Lapisan penutup
konstruksi jalan ini mempunyai nilai struktural yang pertama kali dikembangkan di
Amerika oleh Asphalt Institute dengan nama AC (Asphalt Concrete), Campuran
beraspal ini terdiri dari dari agregat menerus dengan aspal keras, dicampur,
dihamparkan dan dipadatkan dalam keadaan panas pada suhu tertentu. Suhu
pencampuran ditentukan berdasarkan jenis aspal yang akan digunakan. Ciri lainnya
adalah memiliki sedikit rongga dalam struktur agregatnya, saling mengunci satu
dengan yang lainnya, oleh karena itu aspal beton memiliki sifat stabilitas tinggi dan
relatif kaku. (Menurut Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum 2018). Sesuai
fungsinya Laston (AC) mempunyai 3 macam campuran yaitu:
1. Laston sebagai lapisan aus, dikenal dengan nama AC-WC (Asphalt Concrete-
Wearing Course), dengan tebal nominal minimum adalah 4 cm.
2. Laston sebagai lapisan antara, dikenal dengan nama AC-BC (Asphalt
Concrete-Binder Course), dengan tebal nominal minimum adalah 6 cm.
3. Laston sebagai lapisan pondasi, dikenal dengan nama AC-Base (Asphalt
Concrete-Base), dengan tebal nominal minimum adalah 7,5 cm.
Sebagai lapis permukaan perkerasan jalan, Laston (AC) mempunyai nilai
struktur, kedap air, dan mempunyai stabilitas tinggi. Dengan ukuran maksimum
masing - masing campuran agregat adalah 19 mm, 25,4 mm dan 37,5 mm. setiap
jenis campuran AC yang menggunakan bahan aspal polymer disebut masing –
masing sebagai AC-WC Modifikasi, AC-BC Modifikasi dan AC-Base Modifikasi.
(Menurut spesifikasi campuran beraspal Kementerian Pekerjaan Umum 2018).

2.2.5 Laston AC-BC (Ashalt Concrete – Binder Course)


Aspal beton adalah jenis perkerasan jalan yang terdiri dari campuran agregat
dan aspal, dengan atau tanpa bahan tambahan (Sukirman, 1999). Material-material
pembentuk aspal beton dicampur di instalasi pencampur pada suhu tertentu,
kemudian diangkut ke lokasi, dihamparkan dan dipadatkan. Suhu pencampuran
ditentukan berdasarkan jenis aspal yang akan digunakan. Jika campuran aspal,
maka pencampuran umumnya antara 150-160°C, sehingga disebut beton aspal
campuran panas, campuran ini dikenal dengan hotmix (Kementerian Pekerjaan
Umum, 2010).
AC-BC (Asphalt Concrete-Binder Course), lapisan ini merupakan bagian dari
lapis permukaan diantara lapis pondasi atas (Base course) dengan lapis aus
(Wearing course) yang bergradasi aggregate gabungan rapat/menerus, umumnya
digunakan untuk jalan-jalan dengan beban lalulintas yang cukup berat (Sukirman,
S. 2008). Menurut Pedoman Perencanaaan Campuran Beraspal Panas, AC-BC
adalah lapisan penutup konstruksi perkerasan jalan yang mempunyai nilai
struktural. Campuran ini terdiri atas agregat bergradasi menerus dengan aspal keras,
dicampur, dihamparkan dan dipadatkan dalam keadaan panas pada suhu tertentu
Sedangkan menurut Silvia Sukirman, adalah suatu lapisan pada konstruksi jalan
yang terdiri dari campuran aspal keras dan agregat yang mempunyai gradasi
menerus, dicampur, dihampar dan dipadatkan pada suhu tertentu. Lapis permukaan
antara (Binder Course) mempunyai fungsi antara lain :
1. Mengurangi tegangan/regangan akibat beban lalu lintas lalu meneruskan
kelapis di bawahnya, harus mempunyai ketebalan dan kekauan yang cukup.
2. Mempunyai stabilitas yang tinggi agar mampu menahan beban akibat beban
lalu lintas.
Ketentuan sifat - sifat campuran beraspal dikeluarkan oleh Dinas Permukiman
dan Prasarana Wilayah bersama-sama dengan Bina Marga (2018), ketentuan sifat-
sifat campuran beraspal jenis laston yang juga menjadi acuan dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.
Perkiraan awal kadar aspal optimum dapat direncanakan setelah dilakukan
pemilihan dan pengabungan pada tiga fraksi agregat. Sedangkan perhitungannya
adalah sebagai berikut (Asphalt Institute, MS-02, 1997):

Pb = 0,035(%CA) + 0,045(%FA) + 0,18(%FF) + K


Keterangan:
Pb = Perkiraan kadar aspal optimum.
CA = Nilai presentase agregat kasar.
FA = Nilai presentase agregat halus.
FF = Nilai presentase filler.
K = konstanta (kira-kira 0,5 - 1,0).
Hasil perhitungan Pb dibulatkan ke 0,5% ke atas terdekat.

Tabel 2.1. Ketentuan Sifat-Sifat Campuran Laston (AC)


Laston
Sifat-sifat Campuran
Lapis Aus Lapis Antara Fondasi
Jumlah tumbukan per bidang 75
Rasio partikel lolos ayakan 0,075mm Min. 0,6
dengan kadar aspal efektif Maks. 1,2
Min. 3,0
Rongga dalam campuran
Maks. 5,0
Rongga dalam Agregat (VMA) (%) Min. 15 14 13
Rongga Terisi Aspal (%) Min. 65 65 65
Stabilitas Marshall (kg) Min. 800
Min. 2 3
Pelelehan (mm)
Maks. 4
Stabilitas Marshall Sisa (%) setelah
Min. 90
perendaman selama 24 jam. 60⁰
Rongga dalam campuran (%) pada
Min. 2
Kepadatan membal
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Bina Marga,
2018

Gradasi agregat adalah susunan butir agregat sesuai ukurannya. Ukuran butir
dapat diperoleh melalui pemeriksaan analisa saringan. Gradasi agregat dinyatakan
dalam presentase lolos atau tertahan, yang dihitung berdasarkan berat agregat
(Sukirman S., 1999). Gradasi agregat gabungan untuk campuran AC-BC yang
mempunyai gradasi menerus tersebut ditunjukkan dalam persen berat agregat, harus
memenuhi batas-batas dan harus berada di luar daerah larangan (restriction zone)
yang diberikan dalam Tabel 2.2 di bawah ini.
Tabel 2.2. Gradasi agregat Gabungan untuk campuran lapis beton aspal
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Bina Marga,
2018

2.2.6 Aspal
Aspal merupakan senyawa hidrokarbon yang berwarna coklat gelap atau
hitam pekat yang dibentuk dari unsur-unsur asphatenes, resins dan oils. Aspal
bersifat viskoelastis shingga akan mencai jika dipanaskan dengan suhu yang cukup
dan sebaliknya. Sifat viskoelastis inilah yang membuat aspal aspal dapat
menyelimuti dan menahan agregat tetap pada tempatnya selama proses produksi
dan masa pelayanannya. Aspal pada lapis perkersan berfungsi sebagai bahan ikat
antara agregat untuk membentuk suatu camuran, sehingga akan memberikan
kekuatan masing – masing agregat (Kerbs and walker, 1971). Selain sebagai
perekat, aspal juga berfungsi untuk mengisi rongga antara butir agragat dan pori-
pori yang ada dari agregat itu sendiri. Konstituen utama aspal adalah bitumen yang
terdapat di alam atau diperoleh dari hasil pengolahan minyak bumi. Aspal meimiliki
sifat sebagai perekat, dan ketahanan yang tinggi terhadap air (Asphalt Institute,
2001). Daya tahannya (durability) berupa kemampuan aspal mempertahankan sifat
aspal akibat pengaruh cuaca dan tergantung pada sifat campuran aspal dan agregat.
Sedangkan sifat adhesi dan kohesi yaitu kemampuan aspal mempertahankan ikatan
yang baik. Berdasarkan jenis aspal dibagi menjadi 2 yaitu :
1) Aspal alam adalah aspal yang secara alamiah terjadi di alam tanpa proses
pemurnian atau penyulingan, umumnya merupakan tambang terbuka dan
merupakan hasil penyulingan secara alami yang bertahun-tahun. Dilihat dari
bentuk fisiknya, aspal alam dapat ditemukan dalam bentuk padat atau batuan
dan disebut aspal batu (rock asphalt) yang terdapat di pulau Buton, sedangkan
aspal cair (aspal danau) yang terdapat di Trinidad yang lebih dikenal dengan
lake asphalt (Sukirman, 1992).
2) Aspal batuan yang diperoleh dari hasil penyulingan minyak bumi, dimana
karakteristik aspal sangat tergantung pada lokasi dan keadaan geologi
setempat dimana minyak mentah tersebut ditambang. Dari residu penyulingan
diperoleh beberapa jenis aspal yaitu :
1) Aspal keras (Asphalt Cement)
Aspal keras pada suhu ruang (250 – 300 C) berbentuk padat. AC
dibedakan berdasarkan nilai penetrasi (tingkat kekerasannya). Untuk
Aspal dengan penetrasi rendah digunakan di daerah bercuaca panas,
volume lalu lintas tinggi sedangkan aspal dengan penetrasi tinggi
digunakan untuk daerah bercuaca dingin, lalu lintas rendah. Aspal keras
yang biasa digunakan yaitu:
1) AC Pen 40/50
2) AC Pen 60/70
3) AC Pen 80/100
4) AC Pen 120/150
5) AC pen 200/300
Persyaratan aspal keras yang digunakan dalam penelitian ini mengacu
pada Bina Marga 2018 dapat dilhat pada Tabel 2.3 di bawah ini.
2) Aspal Cair (Cut Black Aspal)
Aspal cair adalah campuran antara aspal keras dengan bahan pencair dari
hasil penyulingan minyak bumi. Maka cut back 9 asphalt berbentuk cair
dalam temperatur ruang. Aspal cair digunakan untuk keperluan lapis resap
pengikat (prime coat).

3) Aspal emuksi
Aspal emulsi adalah suatu campuran aspal dengan air dan bahan
pengemulsi. Pada proses ini partikel-partikel aspal padat dipisahkan dan
didispersikan dalam air.
Tabel 2.3. Persyaratan aspal keras pen. 60/70
Aspal Pen.
No Jenis Pengujian Metode
60/70
1 Penetrasi pada 25⁰C (0,1 mm) SNI 2456;2011 60-70
2 Viskositas Kinematis 135⁰C (cSt) ASTM D2170-10 ≥ 300
3 Titik Lembek; ⁰C SNI 2434:2011 ≥ 48
4 Daktilitas pada 25⁰C (cm) SNI 2432:2011 ≥ 100
5 Titik Nyala (⁰C) SNI 2433:2011 ≥ 232
6 Kelarutan dalam trichloethylene (%) AASHTO T44-14 ≥ 99
7 Berat Jenis SNI 2441:2011 ≥ 1,0
8 Berat yang hilang, % SNI 06 -2441-1991 ≤ 0,8
9 Kadar Parafin Lilin (%) SNI 03-3639-2002 ≤2
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Bina Marga 2018

Sifat utama aspal adalah mempunyai adhesi yang baik, kedap air, dan tahan
lama sehingga digunakan sebagai salah satu komponen utama dalam perkerasan
lentur. Sifat-sifat aspal yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut
(Silvia, S., 1992):
1) Durabilitas adalah pengukuran seberapa baik aspal untuk mempertahankan
sifat-sifat aslinya dan apabila dibiarkan terhadap pelapukan normal atau proses
penuaan. Durabilitas merupakan pertimbangan dari kinerja perkerasan yang
dipengaruhi oleh perencanaan campuran, sifat agregat, pekerja dan variabel
lainnya seperti durabilitas aspal itu sendiri.
2) Adhesi dan kohesi
Adalah kemampuan partikel aspal untuk melekat satu sama lainnya dalam
campuran perkerasan. Kohesi adalah kemampuan aspal untuk melekat pada
agregat sehingga menjadi satu kesatuan.

3) Kepekaan terhadap suhu


Seluruh suhu aspal bersifat termoplastis yaitu menjadi lebih keras bila
temperatur menurun dan melunak bila temperatur menaik. Aspal harus tahan
terhadap perubahan suhu dan elastis terhadap tekanan mendadak. Untuk itu
aspal tidak boleh terlalu lembek atau keras pada suhu penggunaan.
4) Pengerasan dan penuaan
Pada masa pembangunan perkerasan aspal cenderung mengeras karena terjadi
oksidasi. Proses ini lebih cepat pada suhu tinggi dan aspal film yang tipis.
Berat jenis aspal adalah perbandingan aspal padat dan berat air suling dengan
isi yang sama pada suhu tertentu. Berat jenis aspal diperoleh melalui pengujian
terhadap semua aspal padat, dimana hasilnya dapat dipergunakan dalam pekerjaan
perencanaan campuran serta pengendalian mutu pekerjaan jalan. Prosedur
pemeriksaan berat jenis aspal mengikuti PA 0307 – 76 atau AASHTO T-228-68,
dan SNI 06-2441-1991 dengan perhitungan menggunakan rumus:
𝐶−𝐴
` Berat jenis aspal = .................................................(2.1)
𝐵−𝐴 − 𝐷−𝐶

Dengan:

A = berat piknometer (dengan penutup) (gram)

B = berat piknometer berisi air (gram)

C = berat piknometer berisi aspal (gram)

D = berat piknometer berisi aspal dan air (gram)

2.2.7 Karakteristik Marshall


Karakteristik marshal sangat mempengaruhi campuran agregat aspal yang
terdiri dari parameter kepadatan (density), volume pori dalam agregat
campuran/rongga diantara mineral agregat (VMA), rongga dalm campuran beraspal
(VIM), rongga terisi aspal (VFB). Dari parameter –parameter tersebut hanya
stabilitas dan alir (flow) yang dapat diperoleh secara langsung dari hasil pengujian
marshall. Untuk parameter lainnya diperoleeh dari penimbangan dan pengukuran
benda uji, analisa berat jenis serta perhitungan volumetrik sifat-sifat benda uji (
Silvia S., 2003).
1. Kepadatan (density)
Kepadatan dipengaruhi oleh kualitas bahan, suhu pemadatan, kadar aspal,
jumlah tumbukan, komposisi bahan penyusunnya yang semakin tinggi
menghasilkan kemampuan menahan beban cukup tinggi serta kekedapan terhadap
air yang tinggi pula. Nilai kepadatan dari benda uji ini dapat dihitung dengan
persamaan:
𝑊𝑑
Gmb = ....................................................(2.2)
𝑊𝑠𝑠𝑑 −𝑊𝑠𝑢𝑏

Dengan:
Gmb = berat jenis bulk benda uji padat
Wd = berat kering benda uji padat
Wssd = benda uji padat jenuh dalam air
Wsub = berat benda uji padat dalam air

2. Rongga di antara mineral agregat (voids in mineral agregate, VMA)


Rongga di antara mineral agregat (VMA), ruang diantara partikel agregat pada
suhu campuran beraspal yang telah dipadatkan, dan dinyatakan dalam persen
terhadap volume total campuran. Dengan kata lain VMA adalah volume pori atau
rongga didalam campuran aspal panas yang telah dipadattkan, tidak termasuk dalam
VMA volume pori didalamm masing-masing butir agregat. Voids in mineral
aggregate (VMA) akan meningkat jika selimut aspal lebih tebal, atau agregat yang
digunakan bergradasi terbuka. Ada dua metode untuk mencari nilai VMA, yaitu
(MS-2).

1) Jika komposisi campuran ditentukan sebagai persentase dari berat campuran


agregat-aspal telah dipadatkan digunakan persamaan:
𝐺𝑚𝑏 × 𝑃𝑠
VMA = – ........................................(2.3)
𝐺𝑠𝑏
Dengan:
VMA = rongga diantara mineral agregat, persen terhadap volume
total campuran padat
Gsb = berat jenis curah agregat
Gmb = berat jenis curah campuran padat (AASHTO T-166)
Ps = persen agregat terhadap berat total campuran

2) Jika komposisi campuran ditentukan sebagai persentase dari berat agregat


digunakan persamaan:
𝐺 𝑚𝑏 100
VMA = 100 – × ........................................(2.4)
𝐺𝑠𝑏 100+𝑃𝑏
Dengan:

VMA = rongga diantara mineral agregat, persen terhadap volume


total campuran padat

Gsb = berat jenis curah agregat


Gmb = berat jenis curah campuran padat (AASHTO T-166)
Pb = kadar aspal total, persen terhadap berat total campuran

3. Rongga dalam campuran beraspal (voids in mix, VIM)


Rongga dalam campuran beraspal (voids in mix) atau dikenal dengan kata lain
VITM (voids in total mix), adalah ruang udara di antara partikel agregat yang
terselimuti aspal dalam suatu campuran aspal panas yang telah dipadatkan,
dinyatakan dalam persen terhadap volume total campuran. VIM atau VITM
dibutuhkan untuk tempat bergesernya butir-butir agregat akibat pemadatan
tambahan dari beban lalu lintas, atau tempat jika aspal menjadi lunak akibat naiknya
temperatur. VIM atau VITM dapat dihitung menggunakan persamaan (RSNI M-01-
2003).

𝐺𝑚𝑚 −𝐺𝑚𝑏
VIM = 100 × ....................................................(2.5)
𝐺𝑚𝑚

Dengan:

VIM = rongga di dalam campuran, persen terhadap volume total


campuran

Gmb = berat jenis curah campuran padat (AASHTO T-166)


Gmm = berat jenis maksimum campuran yang belum dipadatkan

4. Rongga terisi aspal (voids filled bitumen, VFB)


Rongga terisi aspal (voids filled bitumen, VFB) atau kata lain (voids filled
with asphalt, VFWA), persen ruang diantara partikel agregat (VMA) yang terisi
aspal, dinyatakan dalam persen terhadap persen terhadap VMA. VFB atau VFWA
merupakan bagian dari VMA yang terisi oleh aspal, dimana aspalnya berfungsi
menyelimuti butir-butir agregat dalam campuran agregat aspal padat. VFB atau
VFWA ini merupakan persentase volume campuran aspal panas yang telah
dipadatkan.

Untuk menghitung VFB atau VFWA dapat dipergunakan persamaan berikut:


(RSNI M 01-2003)

100 × 𝑉𝑀𝐴 –𝑉𝐼𝑀


VFB = ........................................(2.6)
𝑉𝑀𝐴

Dengan:

VFB = rongga terisi aspal, persen terhadap VMA

VMA = rongga diantara mineral agregat, persen terhadap volume


total campuran

VIM = rongga di dalam campuran, persen terhadap volume total


campuran

5. Ketahanan (stabilitas)
Stabilitas adalah beban maksimum yanngg dapat diterima suatu campuran
beraspal sampai saat terjadi keruntuhan yang dinyatakan dalam kilogram, atau
dengan kata lain kemampuan maksimum benda uji menerima beban sampai terjadi
pelelehan plastis tanpa mengalami perubahan bentuk yang tetap. Besarnya
stabilitas benda uji didapat dari pembacaan arloji stabilitas alat tekan Marshall yang
dikonversikan dalam kilogram (kg), (Silvia, S., 1999).

Stabilitas (kg) = pembacaan arloji tekan x angka korelasi beban (Tabel 2.4)

Formula untuk menghitung nilai stabiltas dapat dihitung juga mengunakan


persamaan berikut:

q = O x kalibrasi proving ring x koreksi tebal benda uji .....................(2.7)

Dengan:

q = stabilitas (kg)
O = nilai pembacaan arloji stabilitas

6. Kelelehan plastis atau alir (flow)


Alir (flow) adalah keadaan perubahan bentuk suatu campuran aspal yang
terjadi akibat suatu beban, atau dengan kata lain keadaan perubahan bentuk suatu
campuran beraspal pada saat runtuh yang dinyatakan dalam mm. Nilai flow
menunjukkan deformasi benda uji akibat pembebanan yang besarnya dapat
langsung dibaca arloji flow dengan satuan 0,0 – 0,1 mm. Apabila pembacaan pada
arloji menunjukan nilai flow rendah, maka campuran cenderung menjadi getas,
sebaliknya jika nilai flow tinggi campuran cenderung plastis (Sukirman, 2003).

7. Kekakuan (Marshall quotient)


Marshall quotient adalah hasil bagi antara ketahanan (stabilitas) dengan
kelelehan (flow). Nilai MQ Dipergunakan sebagai pendekatan terhadap nilai
kekakuan campuran atau fleksibilitas campuran. Nilai MQ yang tinggi menunjukan
tingkat kekakuan campuran yang tinggi sehingga mudah retak akibat beban yang
bekerja pada lapis perkerasan secara berulang-ulang (Silvia, S., 2003).

Nilai Marshall Quotient dapat dicari dengan mengunakan persamaan berikut:

𝑆𝑡𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠
Marshall Quotient (MQ) = (kg/mm)..........................(2.8)
𝑓𝑙𝑜𝑤

Tabel 2.4. Rasio Angka Korelasi Beban (Stabilitas)

Isi benda uji (cm³) Tebal benda uji (mm) Angka korelasi

200-213 25,4 5,56


214-225 27,0 5,00
226-237 28,6 4,55
238-250 30,2 4,17
251-264 31,8 3,85
265-276 33,3 3,57
277-289 34,9 3,33
290-301 35,5 3,03
302-316 38,1 2,78
317-328 39,7 2,50
329-340 41,3 2,27
341-353 42,9 2,08
354-367 44,4 1,92
368-379 46,0 1,79
380-392 47,6 1,67
392-405 49,2 1,56
406-420 50,8 1,47
421-431 52,4 1,39
432-443 54,0 1,32
444-456 55,6 1,25
457-470 57,2 1,19
471-482 58,7 1,14
483-495 60,3 1,09
496-508 61,9 1,04
509-522 63,5 1,00
523-535 65,1 0,96
536-546 66,7 0,93
547-559 68,3 0,89
560-573 69,9 0,86
574-585 71,4 0,83
586-598 73,0 0,81
599-610 774,6 0,78
611-625 76,22 0,76
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Bina Marga 2018

2.2.8 Terak Timah (Tin Slag)


Perusahaan timah yang ada di daerah Bangka Belitung merupakan
perusahaan yang bergerak dalam pengolahan timah dan pengiriman timah keluar
negeri. Komponen limbah dari perusahaan ini adalah material-material yang tersisa
dari proses pengolahan biasanya disebut terak timah (Tin Slag). Terak timah (Tin
Slag) mempunyai bentuk yang tajam kasar dan kubikal. Tin Slag merupakan bahan
yang banyak tertimbun dan cenderung menjadi limbah karena pemanfaatannya
masih relatif kecil dan belum maksimal (Mareta, Yustia, 2011).
Pihak perusahaan menyediakan lokasi khusus untuk menampung limbah dari
tersebut dan mendirikan tembok yang tinggi dengan ketebalan yang telah
ditentukan. Bila dibiarkan terus menerus limbah tersebut akan bertambah banyak
dan bisa membahayakan tenaga kerja yang beraktifitas di lingkungan tersebut. Hal
ini disebabkan karena Tin Slag mengandung zat radioaktif.
Sebelum dipergunakan untuk pembuatan barang jadi, suatu logam pada
umumnya perlu mengalami proses permunian terlebih dahulu. Proses pemurnian
logam selalu berdasarkan pada prinsip bahwa unsur -unsur akan terdistribusi
diantara fasa-fasa dalam jumlah yang berbeda, dan fasa - fasa tersebut dapat
dipisahkan secara fisik.
PT. Timah, Tbk melakukan proses pemurnian dengan cara reduksi. Terdapat
dua proses reduksi yang tejadi yaitu reduksi untuk menghasilkan fasa logam utama
(Timah) dan Reduksi untuk menghasilkan fasa logam pengotor (slag).
Bahan pereduksi untuk menghasilkan Timah (Sn) dipergunakan gas hidrogen
(H2) dan gas mono oksida (CO), dimana kedua gas ini diperoleh dari gas methan
(CH4). Proses reduksi terjadi setelah bahan dasar (pig iron dan scrap) pada dapur
tanur tinggi mencair. Reaksi kimia yang terjadi dapat dilihat pada gambar 2.2 :

Gambar 2.2 Analisa Kimia Terhadap Tin Slag


2.2.9 Agregat
Agregat merupakan butir-butir batu yang pecah, kerikil, pasir atau mineral
lain, baik yang berasal dari alam maupun buatan yang berbentuk mineral padat
berupa ukuran besar maupun kecil atau fragmen-fragmen. Komponen utama dari
struktur perkerasan jalan, yaitu 90-95% agregat berdasarkan persentase berat, atau
75-85% agregat berdasarkan persentase volume (Silvia, S., 2003).
Agregat adalah material penyusun campuran aspal yang berasal dari batuan
hasil desintegrasi alam maupun buatan. Dengan demikian agregat/batuan
merupakan komponen utama dari lapis perkerasan jalan yang dapat menentukan
daya dukung keawetan dan mutu perkerasan jalan. Menurut asalnya agregat dibagi
menjadi tiga jenis yaitu (Silvia, S., 1992):
1) Agregat alam (natural aggregate) berasal dari alam dan dapat langsung
diperoleh dari alam tanpa melalui proses pengolahan.
2) Agregat dengan pengolahan (manufaktured aggregate) dihasilkan dari mesin
pemecah dan penyaring batu (stone cruser).
3) Agregat buatan (syntetic aggregate) biasanya dibuat khusus dengan tujuan
yang khusus atau merupakan hasil samping dari bahan industri baja (slag).
Dalam pemilihan agregat yang akan dipakai pada perkerasan harus
memperhatikan sifat-sifat agregat yaitu: ukuran gradasi, kebersihan, kekuatan
dan kekerasan, bentuk, tekstur permukaan dan porositas serta kelekatan pada
aspal.

1. Agregat Karar
Menurut spesifikasi Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina
Marga tahun 2018 , agregat kasar untuk rancangan campuran adalah yang tertahan
ayakan no.8 (2,36 mm) yang dilakukan secara basah dan harus bersih, keras, awet
dan bebas dari lempung atau bahan yang tidak dikehendaki lainnya sesuai denagn
ketentuan yang diisyaratkan. Adapun ketentuan agregat kasar menurut spesifikasi
Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga tahun 2018 dapat
dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Ketentuan Agregat Kasar


Pengujian Standar Nilai
Natium sulfat Maks. 12 %
Kekelan bentuk agregat SNI
Magnesium
terhadap larutan 3407:2008 Maks.18%
sulfat
Campuran AC 100 putaran Maks.6%
Abrasi Modifikasi
500 putaran Maks.30%
dengan dan SMA SNI
mesin Los Semua jenis 100 putaran 2417:2008 Maks.8%
Angeles campuran
500 putaran Maks.40%
aspal
bergradasi
lainnya
SNI
Kelekatan agregat terhadap aspal Min.95%
2439:2011
SNI
Butir pecah pada agregat kasar 95/90
7619:2012
ASTM
D4791
Partikel pipih dan lonjong Maks.10%
perbandingan
1:5
SNI ASTM
Material lolos ayakan no. 200 Maks.1%
C117; 2012
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Bina Marga 2018

2. Agregat Halus
Berdasarkan spesifikasi Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral
Bina Marga tahun 2018, agregat halus dari sumber bahan manapun, harus terdiri
dari pasir atau hasil pengayakan batu pecah dan terdiri dari bahan yang lolos ayakan
No.8 (2,36 mm). Agregat halus merupakan bahan yang bersih ,keras, bebas dari
lempung, atau bahan yang tidak dikehendaki lainnya. Komposisi agregat halus
harus memenuhi sesuai ketentuan yang terlihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Ketentuan Agregat Halus
Pengujian Standar Nilai
Nilai setara pasir SNI 03-4428-1997 Min 60%
Uji kadar rongga tanpa pemadatan SNI 03-6877-2002 Min.45
Gumpalan lempung dan butir- SNI 03-4141-1996 Maks.1%
butir mudah pecah dalam agregat
Agregat lolos ayakan no.200 SNI ASTM C117:2012 Maks.10%
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Bina Marga 2018

3. Gradasi Agregat
Gradasi atau distribusi partikel-partikel berdasarkan ukuran agregat
merupakan hal penting dalam menentukan stabilitas perkerasan. Gradasi agregat
mempengaruhi besarnya rongga antar butir yang akan menentukan stabilitas dan
kemudahan dalam proses pelaksanaan.

Gradasi agregat diperoleh dari analisa saringan dengan menggunakan satu set
saringan dimana saringan yang paling besar diletakkan diatas dan yang paling halus
terletak dipaling bawah. Gradasi agregat gabungan untuk campuran aspal dapat
dilihat pada Tabel 2.2. Gradasi agregat dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :

1) Gradasi Rapat (Dense Graded)


Gradasi Rapat adalah campuran agregat dengan campuran agregat kasar dan
agregat halus dalam porsi yang berimbang, sehingga dinamakan juga agregat
bergradasi baik (Well Graded). Agregat bergradasi rapat akan menghasilkan lapisan
perkerasan dengan stabilitas tinggi, kedap air, dan berat volume besar.

2) Gradasi Seragam (Uniform Graded)


Gradasi Seragam adalah campuran agregat dengan ukuran yang hampir
sama/sejenis atau mengandung agregat halus yang sedikit jumlahnya sehingga tidak
dapat mengisi rongga antar agregat. Gradasi seragam disebut juga gradasi terbuka.
Agregat dengan gradasi seragam akan menghasilkan lapisan perkerasan dengan
sifat permeabilitas tinggi, stabilitas kurang, berat volume kecil.

3) Gradasi Senjang (Gap Graded)


Gradasi senjang adalah campuran agregat dengan satu fraksi hilang atau satu
fraksi sedikit sekali. Agregat bergradasi senjang akan menghasilkan lapisan
perkerasan yang mutunya terletak diantara gradasi rapat dan gradasi seragam.

4. Bentuk dan Tekstur Agregat


Bentuk dan tekstur mempengaruhi stabilitas dari lapisan perkerasan yang
dibentuk oleh agregat tersebut. Partikel agregat dapat berbentuk :

1) Bulat (Rounded)
Agregat yang dijumpai pada umumnya telah mengalami pengikisan oleh air
sehingga umumnya berbentuk bulat. Partikel agregat bulat saling bersentuhan
dengan luas bidang kontak kecil sehingga menghasilkan daya interlocking yang
lebih kecil dan mudah tergelincir.

2) Lonjong (Elongated)
Agregat ini dapat ditemui di sungai atau bekas endapan sungai. Agregat
dikatakan lonjong jika ukuran terpanjangnya >1,8 kali diameter rata-rata. Indeks
kelonjongan adalah perbandingan dalam persen dari berat agregat lonjong terhadap
berat total. Sifat interlockingnya hampir sama dengan yang berbentuk bulat.

3) Kubus (cubical)
Agregat berbentuk kubus merupakan bentuk agregat hasil dari mesin pemecah
batu (crusher stone) yang mempunyai bidang kontak yang lebih luas, berbentuk
bidang rata sehingga memberikan interlocking/saling mengunci yang lebih besar.
Dengan demikian kestabilan yang diperoleh lebih besar dan lebih tahan terhadap
deformasi yang timbul. Agregat berbentuk kubus ini paling baik digunakan sebagai
bahan konstruksi perkerasan jalan.

4) Pipih (Flaky)
Agregat berbentuk pipih dapat merupakan hasil dari mesin pemecah batu
ataupun memang merupakan sifat dari agregat tersebut yang jika dipecahkan
cenderung berbentuk pipih. Agregat pipih yaitu agregat yang lebih tipis dari 0.6 kali
diameter rata-rata. Indek kepipihan (flakiness index) adalah berat total agregat yang
lolos slot dibagi dengan berat total agregat yang tertahan pada ukuran nominal
tertentu. Agregat berbentuk pipih mudah pecah pada waktu pencampuran,
pemadatan, ataupun akibat beban lalu lintas, oleh karena itu banyaknya agregat
pipih ini dibatasi dengan menggunakan nilai indeks kepipihan yang diisyaratkan.

5) Tak Beraturan (irregular)


Agregat yang tidak beraturan, tidak mengikuti salah satu yang disebutkan
diatas.Gesekan yang timbul antar partikel menentukan juga stabilitas dan daya
dukung dari lapisan perkerasan. Besarnya gesekan dipengaruhi oleh jenis
permukaan agregat yang dapat dibedakan agregat yang permukaan yang kasar
(rough), agregat yang permukaannya halus (smooth), agregat yang permukaan licin
dan mengkilap (glassy), agregat yang permukaanya berpori (porous). Gesekan
timbul terutama pada partikel-partikel yang permukaannya kasar (seperti amplas).
Sudut geser dalan antar patikel bertambah besar dengan semakin bertambah
kasarnya permukaan agregat. Disamping itu agregat yang kasar lebih mampu
menahan deformasi yang timbul dengan menghasilkan ikatan antar partikel yang
lebih kuat.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung dan Laboratorium Jurusan Teknik Sipil Universitas
Bangka Belitung. Lama waktu penelitian terhitung sejak ujian proposal sampai
dengan ujian pendadaran/sidang akhir.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian


3.2.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Terak Timah (Tin Slag)
Tin slag yang dipakai pada penelitian ini adalah tin slag yang diambil di PT.
Timah, Tbk Kota Pangkalpinang.
2. Agregat Kasar
Agregat kasar diperoleh dari Asphalt Mixing Plant (AMP) PT. CAKRA yang
berada di Desa Air Anyir, Kabupaten Bangka.
3. Agregat Halus
Agregat halus diperoleh dari Asphalt Mixing Plant (AMP) PT. CAKRA yang
berada di Desa Air Anyir, Kabupaten Bangka.
4. Aspal
Jenis aspal yang dingunakan untuk pembuatan campuran AC-BC adalah aspal
penetrasi 60/70.
5. Filler
Filler yang digunakan pada penelitian ini adalah Semen Portland Tipe I merek
Tiga Roda.
6. Bahan Penunjang
Bahan penunjang lainnya seperti kantong plastik, gas elpiji atau minyak tanah
dan lain-lainnya.

3.2.2 Alat
Adapun peralatan-peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Cetakan benda uji aspal berbentuk silinder, dari baja.
2. Mesin pengguncang saringan (Sieve Shaker) untuk menyaring agregat melalui
satu set saringan.
3. Oven dan kompor.
4. Talam dan cawan.
5. Timbangan dilengkapi dengan penggantung benda uji berkapasitas 20kg
dengan ketelitian 0,1 gram dan timbangan berkapasitas 6 kg dengan ketelitian
0,1 gram.
6. Water bath untuk menciptakan suhu yang konstan pada benda uji aspal.
7. Alat penumbuk manual satu set.
8. Alat pengeluaran benda uji (dongkrak) untuk mengeluarkan benda uji aspal
yang sudah dipadatkan dari dalam cetakan.
9. Alat pengujian marshall (Marshall Compression Machine) satu set.
10. Satu set alat pengukur panjang.

3.3 Pengujian Agregat


Pengujian agregat diperlukan sebagai bahan pengisi pada campuran beraspal
dengan komposisi gradasi sesuai dengan gradasi terpakai yang memenuhi
spesifikasi yang ada.
1. Analisis Saringan Agregat Kasar dan Halus
Analisis ini dilakukan untuk menetukan pembagian gradasi/butiran agregat
kasar, agregat halus serta filler dalam satu set saringan standart ASTM dan
diguncang dengan menggunakan mesin pengguncang (shieve shaker electronik).
Adapun yang dihasilkan dari pengujian ini yaitu :
1) Berat tertahan (%)
Besarnya persentase berat dari agregat yang tertahan di satu saringan.
2) Persen lolos (%)
Besarnya persentasae berat agregat yang lolos disetiap saringan.
3) Berat tertahan komulatif (%)
Jumlah persentase dari berat agregat yang tertahan disetiap saringan.
4) Modulus halus butir (MHB)
Suatu indeks yang dipakai untuk ukuran kehalusan atau kekerasan butir-
butir agregat. Makin besar nilai MHB, menunjukkan makin besar ukuran
butir-butir agregatnya.
2. Pengujian berat jenis agregat halus dan kasar
Pengujian ini juga dimaksudkan untuk menentukan berat jenis bulk (bulk
specific gravity), berat jenis permukaan jenuh (saturated surface dry), berat jenis
semu (apparent spesific gravity), serta penyerapan agregat halus.
3. Pemeriksaan Keausan Agregat
Pengujian ini dilakukan ntuk menentukan ketahanan agregat kasar terhadap
keausan dengan menggunakan Mesin Los Angeles.

3.4 Pengujian Aspal


Pada penelitian tugas akhir ini gradasi agregat campuran aspal berdasarkan
Spesifikasi Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga tahun
2018. Standar pengujian aspal dapat dilihat pada tabel 3.1 dibawah ini.:
Tabel 3.1 Standar Pengujian Aspal
No Jenis Pengujian Standar Uji
1 Penetrasi pada 25⁰C (0,1mm) SNI 2456;2011
2 Titik Lembek (⁰C) SNI 2434:2011
3 Daktilitas pada 25⁰ (cm) SNI 2432:2011
4 Berat Jenis SNI 2441:2011
5 Titik Nyala (⁰C) SNI 2433:2011
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Bina Marga 2018

1. Penetrasi
Pengujain ini dilakukan untuk memeriksa tingkat kekerasan aspal. Pengujian
ini dilakukan dengan memasukkan jarum penetrasi ukuran tertentu dengan beban,
selang waktu, dan suhu tertentu. Pada penelitian ini pengujian penetrasi aspal keras
dilakukan pada temperatur 250 C dan pembebanan yang diberikan sebesar 100 gram
dalam waktu 5 detik. Penelitian ini dilakukan sebelum dan sesudah kehilangan
berat.
2. Titik lembek
Pengujian ini dilakukan untuk memenuhi temperatur aspal pada saat mulai
lembek. Titik lembek adalah suatu suhu pada saat bola baja, dengan berat tertentu
(3,45 – 3,55 gram) mendesak turun pada suatu lapisan aspal yang tertahan dalam
cincin berukuran tertentu, sehingga aspal tersebut menyentuh plat dasar yang
terletak dibawah cincin pada ketinggian tertentu, sehingga akibat dari kecepatan
pemanasan tertentu.
3. Daktilitas
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui elastisitas aspal keras, dimana benda
uji aspal keras ditarik pada kedua sisi dengan kecepatan 5 cm permenit pada suhu
250 C.
4. Berat jenis
Penentuan berat jenis aspal berfungsi untuk perhitungan akhir hasil pengujian
marshall dengan membandingkan antara berat aspal dengan air suling dengan
volume yang sama pada suhu 250 C.
5. Titik nyala dan titik bakar
Pengujian ini berguna untuk menetukan suhu dimana aspal terlihat menyala
singkat dipermukaan aspal (titik nyala), dan suhu pada saat terlihat nyala sekurang-
kurangnya 5 detik diatas permukaan aspal. Titik nyala dan titik bakar perlu
diketahui untuk memperkirakan suhu maksimum pemanasan aspal sehingga aspal
tidak terbakar.

3.5 Pembuatan Benda Uji


Setelah proses perhitungan untuk mencari berat total agregat dan aspal,
dilanjutkan dengan pembuatan benda uji sesuai kadar agregat dan kadar aspal
rencana yang telah ditentukan. Dimulai dari pemanasan agregat menggunakan
oven, penggorengan benda uji untuk mencampur semua bahan dengan suhu standar
pencampuran yaitu 150-160°C, dilanjutkan dengan pencetakan dimana benda uji
yang sudah dicampur dan dipanas dimasukan kedalam cetakan silinder, ratakan
benda uji setelah itu tunggu suhu standar pemadatan antara 140°C - 150°C dan
terakhir dilakukan pemadatan dan terakhir setelah didiamkan selama 12 jam
dilakukan pengeluaran benda uji menggunakan dongkrak untuk siap dilanjutkan
proses pengukuran dan pengujian.
Pada penelitian ini setiap variasi campuran dibuat sebanyak 3 buah benda
uji. Untuk ketentuan benda uji pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.2
dibawah ini.
Tabel 3.2 Kebutuhan Benda Uji
Jenis Campuran Variasi Kadar Aspal (%)
AC-BC
Jumlah
menggunakan -1 -0,5 Pb 0,5 1
Tin Slag
AC-BC 0% 3 3 3 3 3 15
AC-BC 25% 3 3 3 3 3 15
AC-BC 50% 3 3 3 3 3 15
AC-BC 75% 3 3 3 3 3 15
AC-BC 100% 3 3 3 3 3 15
Total 75

3.6 Tahap Pengujian Benda Uji


Pada tahap ini, pengujian campuran benda uji akan dilakukan dengan alat
marshall. Setelah benda uji dikeluarkan dari cetakan, setiap benda uji diukur pada
tiga sisi dan ditimbang untuk mendapatkan berat kering benda uji. Kemudian taruh
benda uji dalam keranjang timbangan lalu diisi kedalam air diamkan selama 3-5
menit, setelah itu timbang benda uji pada saat didalam air untuk mendapatkan berat
benda uji dalam air. Setelah itu angkat benda uji dan lap permukaan benda
sehinggan kering permukaan, lalu timbang benda uji pada kondisi kering jenuh
permukaan.
Pengujian dengan alat uji marshall dimaksudkan untuk menentukan ketahanan
(stabilitas) terhadap (flow) dari campuran aspal sesuai dengan prosedur SNI 06-
2489- 1991 atau AASHTO-T245-15. Berikut langkah-langkah pengujian dengan
alat Marshall :
1) Benda uji direndam dalam bak perendaman pada suhu 60ºC ± 1ºC selama 30
menit.
2) Bagian dalam permukaan kepala penekan dibersihkan dan dilumasi agar
benda uji mudah dilepaskan setelah pengujian.
3) Benda uji dikeluarkan dari bak perendam, letakkan benda uji tepat di tengah
pada bagian bawah kepala penekan kemudian letakkan bagian atas kepala
penekan dengan memasukkan lewat batang penuntun, kemudian letakkan
pemasangan yang sudah lengkap tersebut tepat di tengah alat pembebanan,
arloji kelelehan (flow meter) dipasang pada dudukan diatas salah satu batang
penuntun.
4) Kepala penekan dinaikkan hingga menyentuh alas cincin penguji, kemudian
diatur kedudukan jarum arloji penekan dan arloji kelelehan pada angka nol.
5) Pembebanan dilakukan dengan kecepatan tetap 51 mm (2 inch.) per menit,
dibaca pada saat arloji pembebanan berhenti dan mulai kembali berputar
menurun, pada saat itu pula dibaca arloji kelelehan. Titik pembacaan pada
saat arloji pembebanan berhenti dan mulai kembali menurun, itu merupakan
nilai stabilitas Marshall.
Setelah pengujian selesai, kepala penekan diambil, bagian atas dibuka dan
benda uji dikeluarkan.

3.7 Diagram Alir Penelitian


Bagan alir pengujian ini dibuat untuk menjelaskan rangkaian kerja dalam
penelitian. Bagan alir dapat dilihat pada Gambar 3.1
Mulai

Studi Literatur

Persiapan bahan dan alat

Pengujian bahan

Agregat Kasar Agregat Halus Tin Slag Aspal Filler

Memenuhi Tidak
Spesifikasi

Ya
Pembuatan Benda Uji AC-BC dengan menggunakan variasi
Tin Slag 0%, 25%, 50%, 75%,100%

Pengujian Campuran AC-BC Menggunakan Alat Marshall

Penyajian Data dan Analisa

Kesimpulan dan Saran

Selesai
Gambar 3.1 Bagan Alir Penelitian

Anda mungkin juga menyukai