Pendahuluan
A. Latar Belakang
Perencanaan Aspal Concrete Wearing Coarse (AC-WC) Menggantikan Agregat
Halus Pasir Dengan limbah Abu Batu Bara sebagai filler untuk lapisan permukaan
jalan ruas Jl. Laksdya Leo Wattimena, serta mencari kadar aspal optimum. Untuk
memperoleh suatu infrastruktur jalan yang baik harus didukung oleh banyak
faktor diantaranya perencanaan geometrik jalan, pelaksanaan pekerjaan dengan
baik, dan yang tidak kalah pentingnya adalah perencanaan campuran aspal,
agregat halus yang digunakan berasal dari limbah batu bara. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk mengurangi fly ash dan bottom ash adalah dengan
memanfaatkan dengan skala besar menjadi produk ramah lingkungan, yang
memenuhi syarat kesehatan seperti memanfaatkannya sebagai bahan pengisi
(filler) pada perkerasan lentur. Sehingga dapat mengatasi masalah keterbatasan
tempat penumpukan/penampungan dan pencemaran lingkungan
Filler adalah bahan pengisi ruang antara agregat kasar dan agregat halus, berbutir
halus yang lolos saringan no.200 sebanyak 75% atau lebih. Komposisi bahan
pengisi (filler) yang digunakan dalam campuran aspal relatif sedikit, tetapi filler
dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap campuran aspal beton. Hal
ini dikarenakan denagn adanya filler sehingga rongga udara dalam suatu
campuran beraspal menjadi lebih kecil, tahan gesek lebih tinggi serta penguncian
antar butiran yang tinggi, dan peningkatkan stabilitas campuran aspal beton. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi fly ash dan bottom ash adalah
dengan memanfaatkan dengan skala besar menjadi produk ramah lingkungan,
yang memenuhi syarat kesehatan seperti memanfaatkannya sebagai bahan pengisi
(filler) pada perkerasan lentur. Sehingga dapat mengatasi masalah keterbatasan
tempat penumpukan/penampungan dan pencemaran lingkungan. Penggunaan
filler pada campuran aspal beton adalah untuk mengisi rongga dalam campuran,
untuk mengikatkan daya ikat aspal beton, dan juga diharapkan dapat
meningkatkan stabilitas dari campuran aspal beton.
1
Pemanfaatan abu batu bara adalah salah satu cara untuk menangani abu hasil
pembakaran dari pekerjaan industri yang jumlahnya sangat besar, walaupun nilai
ekonomi rendah, tetapi pemanfaatan ini dapat mengurangi biaya penanganan
limbah. Abu batu bara terdiri dari partikel-partikel halus,gradasi dan kehalusan
abu batu bara dapat memenuhi persyaratan gradasi untuk mineral filler. Batu bara
dibutuhkan untuk menjalankan semua pembangkit listrik tenaga uap di Indonesia,
maka dibutuhkan 82 juta ton batu bara dan akan menghasilkan 4,1 juta ton limbah
padat (0,82 juta ton bottom ash dan 3,28 juta ton fly ash). Kebutuhan akan batu
bara tumbuh secara signifikan di tahun-tahun mendatang. Peningkatan ini
disebabkan oleh mulainya program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu
megawatt (MW) yang direncanakan oleh pemerintah, 60% diantaranya berupa
proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Berdasarkan hasil perhitungan
untuk menjalankan 60% pembangkit listrik yang termasuk dalam proyek tersebut,
penggunaan batu bara akan menjadi 182 juta ton dan dibutuhkan tambahan 100
juta ton batu bara, sehingga akan menghasilkan 9,1 juta ton limbah padat (1,82
juta ton bottom ash dan 7,28 juta ton fly ash). Oleh karena itu limbah hasil
pembakaran membutuhkan tempat penampungan yang sangat besar, yang jika
tidak segera ditangani dengan benar akan menyebabkan masalah lingkungan yang
sangat serius.
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil suatu rumusan masalah dalam
pembuatan Tugas Akhir ini adalah sebagai Berikut :
1. Berapa kadar aspal optimum yang diperoleh pada campuran AC-WC (Asphalt
Concrete – Wearing Course) jika menggunakan limbah fly ash sebagai
pengganti filler ?
2. Apakah limbah fly ash memenuhi standar Spesifikasi Bina Marga 2018
sebagai pengganti filler dalam campuran AC-WC (Asphalt Concrete –
Wearing Course)?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penilitian adalah :
Untuk menganalisis berapa kadar aspal optimum yang diperoleh pada campuran
AC-WC (Asphalt Concrete – Wearing Course) jika menggunakan limbah fly ash
sebagai pengganti filler
3
E. Sistematika Penulisan
Untuk mencapai tujuan penelitian ini dilakukan beberapa tahapan yang dianggap
perlu. Metode dan prosedur pelaksanaannya secara garis besar adalah sebagai
berikut: BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup, tujuan,
manfaat, dan sistematika penulisan. Dalam bab ini diuraikan secara jelas latar
belakang penulisan melakukan penelitian, serta maksud dan tujuan penelitian
tersebut untuk dijadikan landasan dalam penulisan tugas akhir ini.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini melitputi pengambilan teori-teori serta rumus-rumus dari beberapa sumber
bacaan yang mendukung analisa permasalahan yang berkaitan dengan tugas akhir
ini. Bab ini juga berisi teori-teori yang didapat dari sumber lainnya seperti internet
yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini akan membahas tentang langkah-langkah kerja yang akan dilakukan dan
cara memperoleh data yang relevan dengan penelitian ini. Dalam bab ini juga
diterangkan secara jelas pengambilan data, pengolahan data, dan analisa data.
Data yang dibutuhkan sebagai berikut:
1. Data primer, yaitu data-data yang berhubungan langsung dari penelitian yang
dilakukan.
2. Data sekunder, yaitu data-data yang bersumber dari instansi yang terkait, dan
teori-teori yang di peroleh dari buku-buku literature, internet dan sumber lainnya.
BAB 4 ANALISA DATA
Bab ini merupakan sajian data penerapan teknis analisa yang sesuai dengan objek
studi. Kemudian data-data tersebut dibahas dan dianalisa guna mencapai tujuan
dan sarana studi yang dimaksud.
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan logis berdasarkan analisa data dan bukti yang
disajikan sebelumnya, yang menjadi dasar untuk menyusun suatu saran sebagai
suatu usulan.
4
II. Tinjauan Pustaka
A. Penelitian Terdahulu
Aspal Beton (Asphalt Concrete atau AC) yang disebut juga dengan Lapis Aspal
Beton (Laston) merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan raya, yang terdiri
dari campuran aspal keras dan agregat yang bergradasi menerus dicampur,
dihampar dan dipadatkan dalam keadaan panas pada suhu tertentu (SNI 03-1737-
1989). Hasil pemadatan yang dilakukan pada campuran aspal yang menggunakan
bahan tambahan belerang menghasilkan nilai stabilitas sisa yang lebih tinggi yaitu
sebesar 85 % dibandingkan dengan nilai stabilitas sisa pada campuran yang tanpa
menggunakan bahan tambahan belerang yaitu sebesar 84,5%, nilai dari stabilitas
sisa tersebut didapat dari perendaman selama 30 menit dibagi dengan perendaman
24 jam dari hasil tersebut menurut DPU, Bina Marga tahun 1987 tentang
peraturan laston disyaratkan indeks perendaman tersebut minimal harus
mempunyai nilai IP sebesar 75%. Sehingga dari hasil pengamatan di lab dapat
disimpulkan bahwa penggunaan bahan tambahan filler tertentu (lolos saringan
200) pada aspal sebagai bahan pengikat pada campuran aspal beton harus
menggunakan kadar aspal yang lebih tinggi (Utama, 2006).
Kekakuan yang semakin berkurang pada benda uji seiring dengan lama masa
perendaman. Kelenturan masih berusaha dipertahankan oleh campuran dengan
kadar filler 100% abu batu yang diikuti 50% abu batu – 50% semen Portland dan
di ikuti pada 100% semen portland. Kondisi tersebut dialami pada campuran
dengan dua macam tumbukan yang telah dilakukan. (Rian, 2006).
Stabilitas campuran yang menggunakan filler abu terbang batu bara (fli ash)
cenderung mengalami kenaikan sampai pada batas optimum kemudian mengalami
penurunan. Stabilitas tertinggi tercapai pada kadar aspal 6% dengan kadar filler
optimum berkisar 6% - 7%. Nilai Fleksibilitas campuran dinyatakan daengan
Marshall Quotient (MQ), menunjukan bahwa nilainya cenderung meningkat
seiring dengan bertambahnya kadar filler abu terbang batu bara kedalam
campuran beton 7 aspal. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa campuran akan
semakin kaku dengan nilai MQ yang cenderung meningkat seiring dengan
5
bertambahnya variasi kadar filler abu terbang batu bara kedalam campuran (Tahir,
2009).
6
persyaratan tersebut dibagi menjadi dua (2) syarat yaitu syarat kemanan dan
kenyamanan dan syarat kekuatan/ struktural.
D. Filler
Menurut Hardiyatmo (2007), bahan pengisi filler yang merupakan material
berbutir halus yang lolos saringan no. 200 (0,075 mm), dapat terdiri dari debu
batu, kapur padam, semen portland, atau bahan non-plastis lainnya bahan pengisi
ini mempunyai fungsi:
a. Sebagai pengisi antara partikel agregat yang lebih kasar, sehingga rongga
udara menjadi lebih kecil dan menghasilkan tahanan gesek, serta penguncian
antar butiran yang tinggi.
b. Jika ditambahkan ke dalam aspal, bahan pengisi akan menjadi suspensi,
sehingga terbentuk mastik yang bersama-sama dengan aspal mengikat
partikel agregat. Dengan penambahan pengisi aspal menjadi lebih kental, dan
campuran aspal akan bentambah kekuatanya.
7
Bahan pengisi (filler) untuk campuran aspal adalah:
a. Bahan pengisi yang ditambahkan harus terdiri dari debu batu kapur, cement
portland, abu terbang, abu tanur semen, atau bahan nonplastis lainnya dari
sumber manapun. Bahan tersebut harus bebas dari bahan yang tidak
dikehendaki.
b. Bahan pengisi yang ditambahkan harus kering dan bebas dari gumpalan
gumpalan dan bila diuji dengan penyaringan sesuai SNI 03-4142- 1996 harus
mengandung bahan yang lolos saringan No.200 (75 micron) tidak kurang dari
75 % dari yang lolos saringan No. 30 (600 micron) serta harus memenuhi
gradasi sesuai Table 1.
Tabel 1 Spesifikasi Filler untuk campuran beton aspal
8
batu bara /bottom ash adalah material yang sangat halus yang berasal dari sisa
pembakaran batu bara.Abu batu bara dapat dijadikan filler karena ukuran
partikelnya yang sangat halus yang lolos saringan bila disaring dengan
menggunakan saringan No. 200 (75 micron)dan mengandung unsur pozzolan,
sehingga dapat berfungsi sebagai bahan pengisi rongga dan pengikat pada aspal
beton (Adibroto et al, 2008). Fly ash dan bottom ash merupakan limbah padat
yang di hasilkan dari pembakaran batu bara pada pembangkit tenaga listrik. Ada
tiga type pembakaran batu bara pada industri listrik yaitu dry bottom boilers, wet-
bottom biolers dan cyclon furnace. Apabila batu bara dibakar dengan type dry
bottom boiler, maka kurang lebih 80% dari abu meninggalkan pembakaran
sebagai fly ash dan masuk dalam corong gas. Apa bila batu bara dibakar dengan
wet-bottom boiler sebanyak 50% dari abu tertinggal di pembakaran dan 50%
laonnya masuk dalam corong gas. Pada cyclon furnace, dimana potongan batu
bara digunakan sebagai bahan bakar, 70-80% dari abu tertahan sebagai boiler slag
dan hanya 20- 30% meninggalkan pembakaran sebagai dry ash pada corong gas.
9
Gambar 2.1: Konstruksi lapisan pondasi atas (Base), Lapisan pengikat (Binder
Course) dan lapisan permukaan (Wearing Course)
G. Perencanaan Campuran
Perencanaan campuran bertujuan untuk mendapatkan campuran dari material
yang terdapat dilokasi pekerjaan sehingga menghasilkan campuran yang
memenuhi spesifikasi campuran yang ditetapkan. Saat ini, metode rancangan
campuran yang paling banyak dipergunakan di Indonesia adalah metode
rancangan campuran berdasarkan pengujian empiris, dengan mempergunakan alat
Marshall. Sebelum produksi campuran aspal dilaksanakan, haruslah dibuat
komposisi campuran kerja atau Desing mix formula yang didapatkan dari hasil
percobaan-percobaan di laboratorium. Langkah awal dari perencanaan campuran
kerja ini adalah dengan uji mutu material baik agragat maupun aspal. Langkah
selanjutnya adalah melakukan perhitungan dan percobaan komposisi campuran di
laboratorium dan terakhir adalah evaluasi karakteristik sifat-sifat campurannya
dengan serangkaian pengujian Marshall dari contoh-contoh yang sudah disiapkan.
Perencanaan komposisi campuran aspal yaitu stabilitas, durabilitas, Fleksibilitas,
dan tahanan geser. Campuran yang diharapkan adalah campuran yang memenuhi
spesifikasi dan mendapapatkan kadar aspal optimum, sehubungan dengan
sifat/syarat campuran aspal sesuai dengan jenis lapisan perkerasannya.
10
5000 pound. Proving ring tersebut dilengkapi dengan arloji pengukur stabilitas
campuran aspal dan arloji kelelehan (flow meter) untuk mengukur plastis (Flow).
Benda uji ( Briket ) untuk pemeriksaan ini berbentuk silinder dengan diameter 10
cm dan tinggi 7,5 cm yang dipersiapkan dalam cetakan benda uji dengan
menggunakan hammer (penumbuk) drngan berat 10 pound ( 4,536 kg) dan tinggi
18” ( 45,7 cm) dan dibebani dengan kecepatan 50 mm/menit dengan jumlah
pukulan tertentu. Saat ini pemeriksaan Marshall mengikuti cara ASSHTO T 245-
74 atau ASTM 15559-62T / PC 0201-76. Pemeriksaan dengan alat ini
dimaksudkan untuk menentukan ketahanan atau stabilitas terhadap kelelahan
plastis (Flow) dari campuran aspal dengan agregat. Kelelehan plastis adalah
keadaan perubahan dinyatakan dalam mm atau 0,01”.
Tabel 2.3 Persyaratan & Sifat-sifat Campuran
11
a. Menguji sifat agregat dan aspal yang akan dipergunakan sebagai bahan dasar
pencampuran.
b. Rancangan campuran di laboratorium yang menghasilkan rumus campuran
rancangan. Rumus campuran rancangan ini dikenal dengan nama DMF
(Design Mix Formula).
c. Kalibrasi hasil rancangan campuran ke instalasi campuran yang akan
digunakan.
d. Berdasarkan hasil kedua tahap diatas, dilakukan percobaan produksi di
instalasi pencampur, dilanjutkan dengan penghamparan dan pemadatan dari
hasil campuran .
(Sukirman 2018), menerangkan bahwa, serangkaian pengujian di laboratorium
diperlukan untuk mendapatkan suatu campuran dengan karakteristik yang
memenuhi syarat seperti yang telah ditentukan dalam spesifikasi. Metode
perencanaan campuran yang umum dipergunakan di Indonesia adalah :
12
a. Pemilihan agregat dan penentuan sifat-sifatnya.
b. Penentuan campuran nominal.
c. Penentuan proporsi campuran.
d. Membuat benda uji.
e. Uji Marshall.
f. Hitung parameter Marshall.
g. Gambar hubungan antara kadar aspal dan parameter Marshall.
4. Penentuan Campuran
Direktorat Jendral Bina Marga 1996, menerangkan bahwa, rencana campuran
diperlukan sebagai resep atau DMF (design mix formula) awal untuk campuran
percobaan di laboratorium yang memenuhi persyaratan gradasi dan kadar aspal
seperti yang diberikan pada spesifikasi komponen-komponen campuran agregat.
13
CA = Fraksi agregat kasar = persen berat material yang tertahan saringan
no.8 terhadap berat total campuran
persen berat material yang lolos saringan
no.8 dan tertahan saringan no.200 terhadap
berat total campuran
FA = Fraksi agregat halus =
persen berat material yang lolos saringan no.
200 terhadap berat total campuran.
Fraksi-fraksi rencana diatas tidak sama seperti yang diperlukan untuk proporsi
penakaran (batch proportion) yang diperlukan untuk agregat kasar, pasir, dan
bahan pengisi tambahan. Campuran direncanakan sedemikian rupa sehingga
merupakan nilai tengah dari batas-batas komposisi yang diberikan pada
spesifikasi. Batas komposisi rencana diberikan pada tabel 2.5.
14
yang diselidiki dalam percobaan dilaboratorium. Sebagai pedoman, proporsi
takaran yang sesuai dengan batas-batas gradasi yang dipersyaratkan pada tabel 2.5
Gradasi gabungan yang memenuhi spesifikasi dapat dilihat pada tabel 2.6
15
Tabel 2.6 Spesifikasi Analisa Saringan untuk campuran aspal
a. Stabilitas (Stability)
Stabilitas adalah kemampuan perkerasan jalan menerima beban lalu lintas
tanpa terjadi perubahan bentuk tetap seperti gelombang, alur dan bleeding.
Kebutuhan akan stabilitas sebanding dengan fungsi jalan, dan beban lalu
lintas yang akan dilayani. Jalan yang melayani volume lalu lintas tinggi
dan dominan terdiri dari kendaraan berat, membutuhkan perkerasan jalan
dengan stabilitas tinggi. Sebalinya perkerasan jalan yang diperuntukkan
untuk melayani lalu lintas kendaraan ringan tentu tidak perlu mempunyai
16
nilai stabilitas yang tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai
stabilitas beton aspal adalah :
Kohesi, adalah gaya ikat aspal yang berasal dari daya lekatnya,
sehingga mampu memelihara tekanan kontak antar butir agregat.
Daya kohesi terutama ditentukan oleh penetrasi aspal, perubahan
viskositas akibat temperatur, tingkat pembebanan, komposisi
kimiawi aspal, efek dari waktu dan umur aspal.
b. Keawetan (Durability)
Durability didefinisikan sebagai keawetan atau kekuatan bertahannya
campuran terhadap desintegrasi akibat beban lalu lintas dan akibat lain
seperti air, udara dan cuaca. Faktor yang mempengaruhi keawetan adalah :
kekerasan (sound and toughness); kelekatan dan gradasi agregat; kwalitas
dan kadar aspal; pemadatan.
c. Kelenturan (Flexibility)
Flexibility adalah kemampuan lapisan perkerasan untuk dapat mengikuti
deformasi yang terjadi akibat beban lalu lintas berulang tanpa timbulnya
retak-retak dan perubahan volume. Faktor yang mempengaruhi
fleksibilitas adalah jumlah aspal yangf dipakai. Ada persyaratan yang
membatasi perbandingan antara nilai flow suatu campuran. Perbandingan
ini lazim disebut sebagai Marshall Quotient (MQ). Makin tinggi nilai MQ
suatu campuran akn makin kaku atau kurang fleksibel campuran tersebut.
17
antar butir atau bentuk butir, gradasi agregat, kepadatan campuran, dan
tebal film aspal. Kedap Air (Permeability)
Ketahanan suatu campuran terhadap mudahnya untuk tidak dilalui air atau
udara kedalam campuran. Sifat ini sangat berkaitan dengan kadar pori
campuran dan kesempurnaan proses pemadatannya. Meskipun
impermeability adalah faktor yang penting terhadap keawetan campuran,
akan tetapi sesungguhnya setiap lapisan aspal adalah dapat ditembus air
dan udara. Ini dapat diterima sampai batas-batas tertentu. Faktor yang
mempengaruhi impermeability adalah pemakaian jumlah aspal dengan
volume yang rendah, kadar pori yang tinggi dan proses pemadatan yang
kurang sempurna.
H. Aspal
Aspal adalah salah satu jenis bahan mirip petroleum hitam atau coklat yang
memiliki konsistensi bervariasi dari cairan kental hingga padatan kaca. Aspal
diperoleh baik sebagai residu dari jenis destilasi minyak bumi atau dari endapan
alam.
Aspal terdiri dari senyawa ikatan hidrogen dan karbon dengan proporsi nitrogen,
sulfur, dan oksigen yang kecil. Aspal alam (disebut juga brea), yang diyakini
terbentuk pada tahap awal pemecahan endapan organik laut menjadi minyak
bumi, dengan ciri khas mengandung mineral, sedangkan aspal minyak sisa tidak.
18
a) Ciri Aspal
Aspal dapat diklasifikasikan berdasarkan komposisi kimia dan sifat fisiknya.
Industri aspal biasanya bergantung pada sifat fisik untuk karakterisasi kinerja
meskipun sifat fisik aspal adalah akibat langsung dari komposisi kimianya.
Biasanya, sifat fisik yang paling penting adalah:
II. Rheology
Reologi adalah studi tentang deformasi dan aliran materi. Deformasi dan aliran
pengikat aspal di HMA penting dalam kinerja perkerasan HMA. Deformasi
perkerasan HMA sangat erat kaitannya dengan reologi pengikat aspal. Sifat
reologi pengikat aspal bervariasi sesuai suhu, sehingga karakterisasi reologi
melibatkan dua pertimbangan utama.
Semen aspal seperti kebanyakan bahan lainnya, menguap (mengeluarkan uap) saat
dipanaskan. Pada suhu yang sangat tinggi (jauh di atas yang berpengalaman dalam
pembuatan dan konstruksi HMA) semen aspal dapat melepaskan cukup uap untuk
meningkatkan konsentrasi volatil tepat di atas semen aspal ke titik di mana ttu
akan menyala (berkedip) saat terkena percikan api atau terbuka. Ini disebut titik
nyala. Untuk alasan keamanan, titik nyala semen aspal diuji dan dikontrol.
19
IV. Purity (Kemurnian)
Semen aspal, seperti yang digunakan pada pengerasan jalan HMA, harus terdiri
dari bitumen yang hampir murni. Kotoran bukanlah unsur penyemen aktif dan
dapat merusak kinerja aspal. Ciri atau karakteristik aspal ditinjau dari
komponennya bisa dibagi menjadi empat empat kelas utama senyawa, yang
meliputi:
b) Jenis Aspal
Namun di sisi lain, itu harus memiliki kekuatan lentur yang memadai untuk
menahan retak yang disebabkan oleh berbagai tekanan yang diberikan padanya.
Selain itu, kemampuan kerja yang baik selama aplikasi sangat penting untuk
memastikan bahwa mereka dapat dipadatkan sepenuhnya untuk mencapai daya
tahan optimal.
Campuran aspal panas umumnya diproduksi pada suhu antara 150 dan 180 ° C.
Bergantung pada penggunaan, campuran aspal yang berbeda dapat digunakan.
20
Untuk detail lebih lanjut tentang campuran aspal yang berbeda, buka “Produk
aspal”.
WMA biasa diproduksi pada suhu sekitar 20 sampai dengan 40 ° C lebih rendah
dari HMA yang setara. Secara signifikan lebih sedikit energi yang terlibat dan,
akibatnya, lebih sedikit asap yang dihasilkan (sebagai aturan praktis, pengurangan
25ºC menghasilkan pengurangan emisi asap 75%).
Selain itu, selama operasi pengerasan jalan, suhu material lebih rendah,
menghasilkan kondisi kerja yang lebih baik bagi awak dan pembukaan jalan lebih
awal.
Aspal diproduksi di pabrik aspal. Ini bisa menjadi pabrik tetap atau bahkan di
pabrik pencampuran bergerak. Dimungkinkan untuk menghasilkan di pabrik aspal
hingga 800 ton per jam. Suhu produksi rata-rata aspal campuran panas adalah
antara 150 dan 180 ° C, tetapi saat ini telah tersedia teknik-teknik baru untuk
menghasilkan aspal pada suhu yang lebih rendah.
Mayoritas aspal yang digunakan secara komersial diperoleh dari minyak bumi.
Meskipun demikian, aspal dalam jumlah besar terjadi dalam bentuk terkonsentrasi
di alam. Endapan bitumen yang terjadi secara alami terbentuk dari sisa-sisa
ganggang mikroskopis purba (diatom) dan makhluk hidup lain yang pernah hidup.
21
Sisa-sisa ini disimpan di lumpur di dasar laut atau danau tempat organisme hidup.
Di bawah panas (di atas 50 ° C) dan tekanan penguburan jauh di dalam bumi, sisa-
sisanya diubah menjadi bahan seperti aspal, kerogen, atau minyak bumi.
Endapan alami bitumen termasuk danau seperti Danau Pitch di Trinidad dan
Tobago dan Danau Bermudez di Venezuela. Rembesan alami terjadi di La Brea
Tar Pits dan di Laut Mati. Bitumen juga terdapat di batupasir tak terkonsolidasi
yang dikenal sebagai “pasir minyak” di Alberta, Kanada, dan “pasir tar” serupa di
Utah, AS.
Provinsi Alberta di Kanada memiliki sebagian besar cadangan dunia, dalam tiga
deposit besar yang meliputi 142.000 kilometer persegi (55.000 mil persegi),
sebuah wilayah yang lebih luas dari Inggris atau negara bagian New York. Pasir
bitumen ini mengandung 166 miliar barel (26,4 × 109 m3) cadangan minyak
komersial, memberi Kanada cadangan minyak terbesar ketiga di dunia.
Deposit aspal alami yang paling besar di dunia, yang dikenal sebagai Athabasca
oil sands, terdapat di Formasi McMurray di Alberta Utara. Formasi ini berasal
dari Zaman Kapur awal, dan terdiri dari banyak lensa pasir bantalan minyak
dengan minyak hingga 20%.
Studi isotop menunjukkan deposit minyak berusia sekitar 110 juta tahun. Dua
formasi yang lebih kecil tetapi masih sangat besar terjadi di Peace River oil
sands dan the Cold Lake oil sands, yang masing-masing berada di sebelah barat
dan tenggara dari Athabasca oil sands.
d) Manfaat Aspal
22
dicapai baik dengan pemurnian atau pencampuran. Diperkirakan penggunaan
aspal dunia saat ini sekitar 102 juta ton per tahun.
Sekitar 85% dari seluruh aspal yang diproduksi digunakan sebagai bahan pengikat
pada beton aspal untuk jalan raya. Ini juga digunakan di area beraspal lainnya
seperti landasan pacu bandara, tempat parkir mobil dan jalan setapak.
Biasanya, produksi beton aspal melibatkan pencampuran agregat halus dan kasar
seperti pasir, kerikil dan batu pecah dengan aspal, yang bertindak sebagai bahan
pengikat. Bahan lain, seperti polimer daur ulang (misalnya, ban karet), dapat
ditambahkan ke aspal untuk memodifikasi sifatnya sesuai dengan aplikasi yang
pada akhirnya dimaksudkan untuk aspal.
Sebanyak 10% produksi aspal global digunakan dalam aplikasi atap, di mana
kualitas kedap airnya sangat berharga. Sisa 5% aspal digunakan terutama untuk
tujuan penyegelan dan isolasi pada berbagai bahan bangunan, seperti pelapis pipa,
alas ubin karpet, dan cat. Aspal diterapkan dalam konstruksi dan pemeliharaan
banyak struktur, sistem, dan komponen, seperti berikut ini:
1. Jalan Raya
2. Landasan pacu bandara
3. Jalur pejalan kaki
4. Arena Balap
5. Lapangan tenis
6. Bendungan
7. Waduk dan lapisan kolam
8. Pelapis pipa
9. Lapisan kabel
10. Cat
11. Produksi tinta koran
23
I. Agregat
Agregat didefinisikan secara umum sebagai formasi kulit bumi yang keras dan
padat. ASTM mendefinisikan agregat sebagai sesuatu bahan yang terdiri dari
mineral padat, berupa masa berukuran besar ataupun berupa fragmen-fragmen.
Agregat merupakan komponen utama dari struktur perkerasan jalan, yaitu 90-95%
agregat berdasarkan persentase berat, atau 75-85% agregat berdasarkan volume.
Dengan demikian kualitas perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregat dan
hasil campuran agregat dengan material lain.
1. Agregat Kasar
Direktorat Jendral Bina Marga 1996, menjelaskan bahwa yang disebut dengan
agregat kasar adalah agregat yang tertahan pada saringan No 4” dan agregat kasar
harus terdiri dari material yang bersih, keras, awet, dan bebas dari kotoran atau
bahan yang tidak dikehendaki. Umumnya dipersyaratkan sebagai berikut :
a. Keausan agregat yang diperiksa denga mesin Los Angeles pada 500 putaran
harus mempunyai nilai maksimum 40%.
b. Penyerapan agregat tergadap air, maksimum 3%.
2. Agregat Halus
Direktorat Jendral Bina Marga Tahun 1996, menjelaskan bahwa, agregat halus
adalah agregat yang lolos saringan No 4 “ dan harus terdiri dari satu atau lebih
pasir alam atau hasil pengayakan batu pecahan atau kombinasi yang cocok
darinya. Agregat halus harus terdiri dari partikel-partikel yang bersih, keras, dan
bebas dari gumpalan lempung atau mineral lain yang tidak dikehendaki. Pada
umumnya dipersyaratkan sebagai berikut :
24
III. METODELOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium, dengan melakuka pengujian campuran
aspal AC WC dengan Marshall Test menggunakan variasi bubuk batubara 1 %, 2
%, 3 % sebagai filler.
Lokasi Penelitian
B. Jenis Data
1. Data Primer adalah data yang di ambil dari hasil pengujian analisa saringan
dari masing-masing sample.
a. Analisa saring Agregat 10 – 20- mm
b. Analisa saring Agregat 5 – 10- mm
c. Analisa saringan abu batu
2. Data Sekunder adalah data yang di ambil dari dokumen;
Data yang digunakan dari benda uji material yang telah dilakukan perusahaan
dan diuji di balai pengujian yaitu JMF (Job Mix Formula).
25
benda uji, benda uji masing–masing dibuat dengan variasi kadar aspal perkiraan
dengan peningkatan dan penurunan sebesar 0,5% yaitu 4%, 4,5%, 5%, 5,5%, dan
6% kadar aspal, selanjutnya pengujian benda uji dengan menggunakan alat
marshall test untuk mendapatkan kadar aspal optimum.
2. Metode lapangan
Observasi, berupa data yang di ambel dari hasil pengujian analisa saringan ,berat
jenis dan penyerapan,data Mix Dasign pengujian marshall
D. Sumber Data
Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu :
1. Data awal dari PT. Billian raya yaitu : Job Mix Formula
Metode eksperimen yaitu : Data yang diperoleh dari Laboratorium.
2. Serangkaian data didapat langsung dari percobaan atau eksperimen
pengujian yang dilakukan sendiri dengan mengacu pada manual yang
ada, misalnya dengan melakukan pengujian atau pemeriksaan secara
langsung, seperti hasil uji Marshall yang meliputi kepadatan (density),
VIM (void in mix), VMA (void in mineral aggregate), VFA (void filled
with asphalt), stabilitas, flow (pelelehan dan MQ ( Marshall Quotient).
E. Variabel Penelitian
Adapun yang menjadi objek penelitian dalam pekerjaan ini:
1. Variabel terikat atau variabel independen adalah variabel yang
dipengaruhi oleh variabel bebas. Oleh sebab itu, variabel terikat juga
dikatakan sebagai variabel terpengaruh. Variabel terikat biasanya terletak
di akhir judul suatu penelitian. Variabel Terikat atau dependent yaitu
Analisis Metode Metode Bina Marga, data dari variable terikat ada pada
pembuatan briket dan pengujian marshall dengan variasi filler limbah abu
batu bara 1%, 2%, dan 3%.
2. Variabel bebas dapat dikatakan juga sebagai variabel independen.
Dinamakan variabel bebas karena variabel ini memang bebas, maksudnya
adalah dapat berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh variabel
26
lainnya. Variabel ini juga dikatakan sebagai variabel pengaruh karena akan
memberikan pengaruh terhadap variabel lainnya. Jadi, biasanya variabel
bebas ini terletak di depan di dalam suatu judul penelitian . Variabel Bebas
atau independent yaitu Perkerasan Jalan lentur Data dari variabel bebas
ada pada pemeriksaan aspal.
F. Metode Analisis
Metode analisis pada penelitian yaitu menggunakan metode Bina Marga. Di mana
metode Bina Marga digunakan untuk menentukan kesesuaian sifat Marshall
Penyedia Meterial :
Pemeriksaan material
Pembahasan
Hasil
Ya Kesimpulan
Selesai
27
DAFTAR PUSTAKA
28
Lampiran
Batu 5-10
Batu 10-20
29