Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Jalan raya sebagai salah satu sarana transportasi darat kegunaannya dirasakan

semakin penting untuk menunjang peningkatan perekonomian, informasi, sosial, budaya

dan ketahanan nasional. Pembangunan jalan yang dilaksanakan pada masa sekarang

dihadapkan pada penyempurnaan kualitas dan penghematan biaya pembangunan.

Perkembangan penelitian tentang bahan konstruksi perkerasan jalan khususnya

perkerasan lentur (flexible pavement) diarahkan pada usaha pemanfaatan material

setempat dan disesuaikan dengan kondisi daerah dimana konstruksi pengerasan akan

dilaksanakan.

Aspal beton sebagai bahan untuk konstruksi Jalan sudah lama dikenal dan

digunakan secara luas dalam pembuatan jalan . penggunaannya pun di Indonesia dari

tahun ke tahun makin meningkat. Hal ini disebabkan aspal beton mempunyai beberapa

kelebihan dibanding dengan bahan-bahan lain, diantaranya harganya yang relative lebih

murah disbanding beton, kemampuannya dalam mendukung beban berat kendaraan yang

tinggi dan dapat dibuat dari bahan-bahan local yang tersedia dan mempunyai ketahanan

yang baik terhadap cuaca. Aspal beton atau asphalt concrete adalah campuran dari

agregat bergradasi menerus dengan bahan bitumen. Kekuatan utama aspal beton ada pada

keadaan butir agregat yang saling mengunci dan sedikit filler sebagai mortar.

Pada bulan April 2006 gunung Merapi mengalami erupsi dan pada 26 Oktober

2010 meletus. Letusan tersebut menghasilkan material vulkanik yang berukuran abu ke

seluruh penjuru lereng Merapi mulai dari wilayah Kabupaten Magelang, Sleman, Klaten,

dan Boyolali. Abu vulkanik terbentuk dari pembekuan magma yang dierupsikan secara
eksplosif. Sebagian butiran dari abu ini mempunyai bentuk runcing, dan karena

kandungan silikanya yang besar, abu ini mempunyai sifat absorbsi yang tinggi.

Abu vulkanik hasil piroklastik jatuhan dan juga awan panas ini menyebabkan

banyak kerusakan, baik kerusakan tanaman, maupun infrastruktur, serta menyebabkan

gangguan kesehatan mulai pernafasan dan pengelihatan. Sehingga perlu dipikirkan cara

untuk memanfaatkan abu vulkanik ini sebagai bahan yang bermanfaat dan berguna. Oleh

karena itu penulis terdorong untuk memanfaatkan abu vulkanik sebagai filler dalam

perkerasan Asphalt Concrete. Pemanfaatan abu vulkanik sebagai filler tersebut

diharapkan dapat menghasilkan perpaduan yang baik antara agregat kasar, agregat halus,

aspal dan filler yang nantinya akan diperoleh lapisan permukaan yang lentur dan dapat

mendukung beban lalu lintas dengan baik dan nyaman tanpa mengalami deformasi atau

kerusakan yang berarti dalam jangka waktu tertentu. Karena abu vulkanik mengandung

banyak sekali kadar mineral diantaranya Silica, Magnesium dan ferum sehingga

diharapkan dapat meningkatkan kekakuan pada bahan ikat perkerasan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh nilai uji marshall terhadap campuran gap agregat

dengan atau tanpa menggunakan filler abu vulkanik Gunung Merapi?

2. Apakah campuran perkerasan gap agregat dengan menggunakan filler abu

vulkanik Gunung Merapi mememenuhi persyaratan karakteristik marshall

revisi SNI03-1737-1989?
1.3 BATASAN MASALAH

Supaya tidak terjadi perluasan dalam pembahasan, maka diberikan

batasan-batasan secara teknis sebagai berikut :

1. Abu vulkanik memenuhi syarat sebagai filler berdasarkan ASTM C 618-

78.

2. Gradasi agregat berdasarkan standart revisi SNI 03-1737-1989.

3. Tinjauan terhadap karakteristik campuran terbatas pada pengamatan

terhadap hasil pengujian Marshall.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang ingin didapat dari penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui pengaruh pemanfaatan abu vulkanik Gunung Merapi terhadap

nilai uji marshall campuran gap agregat.

2. Membandingkan hasil karakteristik marshall campuran gap agregat dengan

menggunakan filler abu vulkanik gunung Merapi terhadap syarat revisi

SNI 03-1737-1989.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

1.5.1 Teoritis

a. Memberikan pemahaman dan menambah wawasan mengenai pengaruh

penggunaan abu vulkanik sebagai bahan alternatif filler dalam perkerasan

Asphalt Concrete.

b. Mengembangkan pengetahuan mengenai dunia konstruksi khususnya

lapisan perkerasan jalan yaitu mengenai karakteristik Marshall.


1.5.2 Praktis

a. Memberikan solusi dalam pemanfaatan abu vulkanik Gunung Merapi.

b. Menambah alternatif pilihan penggunaan bahan perkerasan yang lebih

ekonomis dan ramah lingkungan.

c. Mengetahui nilai uji Marshall dengan penggunaan filler abu vulkanik

dalam campuran gap agregat pada Asphalt Concrete.

1.6 HIPOTESIS

Hipotesis dari penilitian ini adalah penggunaan filler abu vulkanik Gunung

Merapi terhadap campuran gap agregat dapat meningkatkan kepadatan dan

stabilitas marshall.

1.7 KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian mengenai penggunaan filler abu vulkanik dalam campuran gap

agregat pada Asphalt Concrete belum banyak dikembangkan , adapun penelitian

sebelumnya dengan menggunakan filler abu vulkanik dan abu batu, antara lain :

1. Karakteristik campuran Asphalt Concrete-Wearing Course (AC-WC)

dengan penggunaan abu vulkanik dan abu batu sebagai filler ( Hadi Ali,

2011). Kadar aspal rencana yang digunakan baik pada campuran dengan

filler abu vulkanik maupun abu batu adalah Pb = 5.5% dengan rentang

kadar aspal rencan 4,5% ; 5% ; 5,5% ; 6% dan 6,5% . Setelah dilakukan

uji Marshall dengan kadar aspal rencana, seluruh sifat Marshall pada uji

standar 2 x 75 tumbukan telah memenuhi spesifikasi yang disyaratkan .

Hasil yang diperoleh yaitu :


a. Kepadatan dan Stabilitas Marshall dengan abu vulkanik memiliki nilai

lebih tinggi dari pada campuran dengan abu batu.

b. Pada seluruh rentang kadar aspal, nilai flow campuran dengan filler

abu batu lebih tinggi dari pada campuran dengan filler abu vulkanik.

c. Nilai tertinggi pada abu batu sebesar 4,667 mm, sedangkan abu

vulkanik sebesar 4,2667 mm.

2. Karakteristik Marshall campuran Asphalt Concrete (AC) dengan bahan

pengisi (filler) abu vulkanik Gunung Merapi (Vebby Permatasari S, 2011)

dengan variasi kadar aspal 4,5%, 5%, 5,5%, 6% dan 6,5% serta kadar abu

vulkanik 0%, 25%, 50%, 75% dan 100% pada setiap variasi kadar aspal,

maka hasil yang diperoleh yaitu :

a. Hasil dari keseluruhan perhitungan anova bahwa penggantian abu

vulkanik pada kadar aspal optimum 5.5% tidak menyebabkan

perubahan nilai stabilitas, densitas, VIM dan Marshall Quotient secara

nyata.

b. Hasil dari karakteristik Marshall pada kondisi KAO, penggantian filler

abu vulkanik sebesar 100% dan 75% dengan kadar aspal optimum

5,45% dan 5,50% merupakan campuran AC yang nilai stabilitas dan

densitasnya memenuhi spesifikasi Revisi SNI No. 1737-1989-F,

namun pada nilai VIM, flow serta MQ-nya tidak memenuhi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN PUSTAKA

Perkerasan jalan merupakan lapisan konstruksi yang diletakkan diatas

tanah dasar (subgrade) yang telah mengalami pemadatan dan mempunyai fungsi

untuk mendukung beban lalu lintas yang kemudian menyebarkannya ke badan

jalan supaya tanah dasar tidak menerima beban yang lebih besar dari daya dukung

tanah yang diijinkan. Tujuan dari pembuatan lapis perkerasan jalan adalah agar

dicapai suatu kekuatan tertentu sehingga mampu mendukung beban lalu lintas dan

dapat menyalurkan serta menyebarkan beban roda-roda kendaraan yang diterima

ke tanah dasar (Silvia Sukirman, 1992).

Asphalt concrete salah satu jenis perkerasan lentur yang umum digunakan

di Indonesia, merupakan suatu lapisan pada jalan raya yang terdiri dari campuran

aspal keras dan agregat yang bergradasi menerus dicampur, dihamparkan dan

dipadatkan dalam keadaan panas pada suhu tertentu. Pembuatan Lapis Aspal

Beton (LASTON) dimaksudkan untuk mendapatkan suatu lapisan permukaan atau

lapis antara (binder) pada perkerasan jalan yang mampu memberikan sumbangan

daya dukung yang terukur serta berfungsi sebagai lapisan kedap air yang dapat

melindugi konstruksi dibawahnya (Bina Marga, 1987).

Lapis aspal beton adalah campuran beraspal yang bergradasi menerus

dimana kekuatan campuranyya ditentukan oleh interlocking antar agregat, filler

dan bahan pengikat. Daya ikat (interlocking) antar agregat merupakan penyokong

utama bagi kekuatan dan performa material pada struktur perkerasan. Oleh karena
itu, permukaan jalan dapat menahan beban dengan baik ketika kendaraan

melewatinya.

2.2 LANDASAN TEORI

2.2.1 Lapis Perkerasan Asphalt Concrete

Lapisan perkerasan adalah suatu lapisan yang terletak diatas tanah dasar

yang telah dipersiapkan dengan pemadatan dan berfungsi sebagai pemikul beban

di atasnya dan kemudian disebarkan ke badan jalan (tanah dasar).

Lapis Asphalt Concrete adalah suatu lapisan pada konstruksi jalan raya,

yang terdiri dari campuran aspal keras dan agregat yang bergradasi menerus (well

graded) dicampur, dihampar, dan dipadatkan dalam keadaan panas pada suhu

tertentu. Jenis agregat yang digunakan terdiri dari agregat kasar, agregat halus dan

filler, sedangkan aspal yang digunakan sebagai bahan pengikat untuk lapis aspal

beton harus terdiri dari salah satu aspal keras penetrasi 60/70 atau 80/100 yang

seragam,tidak mengandung air, bila dipanaskan sampai suhu 175C tidak berbusa

dan memenuhi persyaratan sesuai dengan yang ditetapkan (Bina Marga, 1987).

2.2.2 Bahan Penyusun Perkerasan Jalan

2.2.2.1 Aspal

Aspal didefinisikan sebagai suatu cairan yang lekat atau berbentuk padat

terdiri dari hydrocarbon atau turunannya, terlarut dalam trichloro-ethylene dan

bersifat tidak mudah menguap serta lunak secara bertahap jika dipanaskan. Aspal

berwarna coklat tua sampai hitam dan bersifat melekatkan, padat atau semi padat,

dimana sifat aspal yang menonjol tersebut didapat didalam atau dengan

penyulingan minyak (Kreb,RD & Walker, RD, 1971).


Aspal dibuat dari minyak mentah (crude oil) dan ssecara umum berasal

dari sisa organism laut dan sisa tumbuhan laut dari masa lampau yang tertimbun

oleh pecahan batu batuan. Setelah berjuta-juta tahun material organis dan lumpur

terakumulasi menjadi lapisan lapisan sedalam ratusan meter, beban dari beban

teratas menekan lapisan yang terbawah menjadi batuan sedimen. Sedimen tersebut

yang lama kelamaan menjadi atau terproses menjadi minyak mentah senyawa

dasar hydrocarbon. Aspal biasanya berasal dari destilasi minyak mentah tersebut,

namun aspal ditemukan sebagai bahan alam (misal : asbuton), dimana sering juga

disebut mineral (Shell Bitumen, 1990).

Selain sebagai bahan pengikat, aspal juga menjadi bahan pengisi pada

rongga-rongga dalam campuran. Dalam campuran Lapis Apal Beton (LASTON)

yang banyak memakai agrgat kasar, penggunaan kadar aspal menjadi sangat tinggi

karena aspal disini berfungsi untuk mengisi rongga-rongga antar agregat dalam

campuran. Kadar aspal yang tinggi menyebabkan campuran Aspal Beton

(LASTON) memrlukan kadar aspal yang tinggi pula. Untuk mengantisipasi kadar

aspal yang tinggi digunakan aspal dengan mutu baik, dengan tujuan memperbaiki

kondisi campuran.

Kadar aspal dalam campuran akan berpengaruh banyak terhadap

karakteristik perkerasan yang rapuh, yang akan menyebabkan raveling akibat

beban lalu lintas, sebaliknya kadar aspal yang terlalu tinggi akan menghasilkan

suatu perkerasan yang tidak stabil.

Aspal yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspal padat atau keras

dengan penetrasi 60/70 dan mempunyai nilai karakteristik yang telah memenuhi
persyartan yang ditetapkan Bina Marga berdasarkan Petunjuk Lapis Tipis Aspal

Beton (Flexible) Laston.

Aspal yang akan digunakan sebagai campuran perkerasan jalan harus

memiliki syarat-syarat sebagai berikut :

a. Daya tahan (Durability)

Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal untuk mempertahankan sifat

asalnya akibat pengaruh cuaca selam masa pelayanan.

b. Kepekaan terhadap temperature

Aspal adalah material yang bersifat termoplastis, sehingga akan menjadi keras

atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan melunak atau mencair

jika temperature bertambah. Sifat ini diperlukan agar aspal memiliki

ketahanan terhadap perubahan temperatur, misalnya aspal tidak banyak

berubah akibat perubahan cuaca, sehingga kondisi permukaan jalan dapat

memenuhi kebuthan lalu lintas serta tahan lama. Dengan diketahui kepekaan

aspal terhadap temperatur maka dapat ditentukan pada temperature berapa

sebaiknya aspal dipadatkan sehingga menghasilkan hasil yang baik.

c. Kekerasan aspal

Sifat kekakuan atau kekerasan aspal sangat penting, karena aspal yang

mengikat agregat akan menerima beban yang cukup besar dan berulang-ulang.

Pada proses pencampuran aspal denganagregat dan penyemprotan aspal ke

permukaan agregat terjadi oksidasi yang menyebabkan aspal menjadi getas

atau viskositas bertambah tinggi. Peristiwa perapuhan terus terjadi setelah

masa pelaksanaan selesai. Selam masa pelayanan, aspal mengalami oksidasi


dan polimerasi yang besarnya dipengaruhi oleh aspal yang menyelimuti

agregat. Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat kerapuhan aspal

yang terjadi dan demikian juga sebaliknya.

d. Daya ikatan (Adhesi dan Kohesi)

Adhesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat agregat sehingga dihasilkan

ikatan yang bak antara agregat dan aspal. Kohesi adalah ikata di dalam

molekul aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap di tempatnya setelah

terjadi pengikatan.

2.2.2.2 Agregat

Agregat adalah suatu bahan yang keras dan kaku yang digunakan sebagai

bahan campuran yang berupa berbagai jenis butiran atau pecahan yang termasuk

di dalamnya antara lain pasir, kerikil, agregat pecah, terak dapur tinggi dan debu

agregat. Banyaknya agregat dalam campuran aspal pada umumnya berkisar antara

90% sampai dengan 95% terhadap total berat campuran atau 70% sampai dengan

85% terhadap volume campuran aspal (Henny & Wahyudi, 2010).

Sifat dan kualitas agregat menentukan kemampuannya dalam memikul

beban lalu lintas karena dibutuhkan untuk lapisan permukaan yang langsung

memikul beban di atasnya dan menyebarkannya ke lapisan di bawahnya. Kualitas

suatu agregat sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat yang dikandungnya. Diantara

sifat-sifat yang ada yaitu strength atau kekuatan, durability atau kemudahan dalam

pelaksanaan. Sifat kekuatan dan keawetan (strength and durability) dipengaruhi

oleh gradasi, kadar lumpur, kekerasan (hardness) dan bentuk butir (shape-grain).

Gradasi merupakan ukuran luar dari agregat dan dibedakan menjadi agregat kasar,
halus dan agregat pengisi (filler). Gradasi yang baik, seragam dan seimbang dapat

meningkatkan kekuatan dan keawetan karena rongga yang dibentuk mudah

dimasuki oleh filler sehingga kerapatannya meningkatakibat tidak ada rongga

yang kosong begitu saja (Putrowijoyo, 2006).

Berdasarkan proses pengolahannya agregat yang digunakan pada

perkerasan lentur dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu :

a. Agregat Alam (Natural Aggregate)

Agregat yang dapat diambil langsung oleh alam tanpa proses pengolahan dan

dapat langsung dipakai sebagai bahan perkerasan jalan. Agregat alam yang

banyak digunakam sebagai bahan penyusu perkerasan adlah kerikil dan pasir.

b. Agregat dengan Pengolahan

Agregat yang berasal dari mesin pemecah batu. Pengolahan ini bertujuan

unuk memperbaiki gradasi agar sesuai dengan ukuran yang diperlukan,

membentuk bentuk yang bersudut dan bertekstur kasar.

c. Agregat Buatan

Agregat ini dibuat dengan alas an khusus, yaitu agar mempunyai daya tahan

tinggi dan ringan untuk digunakan pada konstruksi jalan.

Shell (1990) mengelompokkan agregat menjadi 3 (tiga), yaitu :

a. Agregat kasar

Agregat kasar yaitu batuan yang tertahan di saringan 2,36 mm, atau sama

dengan saringan standar ASTM No. 8. Dalam campuran agregat aspal,

agregat kasar sangat penting dalam membentuk kinerja karena stabilitas dari

campuran diperoleh dari interlocking antar agregat.


b. Agregat halus

Agregat halus yaitu batuan yang lolos saringan No.8 (2,36 mm) dan tertahan

pada saringan No.200 (0,075 mm). fungsi utama agregat halus adalah

memberikan stabilitas dan mengurang deformasi permanen dari campuran

melalui interlocking dan gesekan antar partikel.

c. Mineral pengisi (filler)

Mineral pengisi (filler) yaitu material yang lolos saringan no. 200 (0,075

mm).

Agregat yang digunakan dalam campuran aspal harus memenuhi

persyaratan sebagaimana disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Spesifikasi Pemeriksaan Agregat

No. Jenis pemeriksaan Syarat

1. Keausan (%) Max. 40


2. Penyerapan Max. 3
3. Berat jenis Bulk (gr/cc) Min. 2,5
4. Berat jenis SSD (gr/cc) Min. 2,5
Sumber : Petunjuk Pelaksanaan Lapis Aspal Beton untuk Jalan Raya ( AASHTO

T96-7 )

2.2.2.3 Filler Abu Vulkanik

Filler adalah suatu mineral agregat dari fraksi halus yang sebagian besar

(+ 85 %) lolos saringan nomor 200 (0,075 mm) (Siswosoebrotho, 1996).

Pada prakteknya filler berfungsi untuk meningkatkan viskositas dari aspal

dan mengurangi kepekaan terhadap temperatur. Meningkatnya komposisi filler

dalam campuran dapat meningkatkan stabilitas campuran tetapi menurunkan

kadar air void (rongga udara) dalam campuran. Meskipun demikian komposisi
filler dalam campuran tetap dibatasi. Terlalu tinggi kadar filler dalam campuran

akan mengakibatkan campuran menjadi getas dan retak ketika menerima bebam

lalu lintas. Akan tetapi terlalu rendah kadar filler akan menyebabkan campuran

terlalu lunak pada saat cuaca panas.

Filler atau yang sering disebut bahan pengisi harus kering dan bebas dari

bahan lain yang mengganggu dan apabila dilakukan pemeriksaan analisa saringan

secara basah, harus memenuhi gradasi yang tertera pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Gradasi Mineral Filler

Ukuran Saringan Filler


No. (mm) % Lolos
No. 30 (0,059 mm) 100
No. 50 (0,279 mm) 95-100
No. 100 (0,149 mm) 90-100
No. 200 (0,074 mm) 70-100

Syarat umum filler adalah

1. Agregat yang lolos saringan no. 200

2. Spesific Grafity lebih dari sama dengan 2,75 gr/cm3

3. Bersifat non plastis

Pada konstruksi perkerasan filler berfungsi sebagai pengisi ruang kosong

(voids) diantara agregat kasar sehingga rongga udara menjadi lebih kecil dan

kerapatan massanya lebih kasar. Dengan bubuk isian yang berbutir halus maka

luas permukaan akan bertambah, sehingga luas bidang kontak yang dihasilkan

juga akan bertambah luasnya, yamg mengakibatkan tekanan terhadap gaya geser

menjadi lebih besar sehingga stabilitas geseran akan bertambah. Menurut Bina
Marga tahun 1987 macam dari filler adalah abu batu, abu batu kapur (limestone

dust), abu terbang (fly ash), semen Portland, kapur padam dan bahan non plastis

lainnya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan abu vulkanik sebagai filler.

Abu vulkanik adalah salah satu jenis tephra (ekstrusi vulkanik udara),

yang biasanya merusak (destruktif) pada awalnya tetapi dalam waktu tertentu

dapat berguna. Material vulkanik terdiri dari batuan yang berukuran besar hingga

berukuran halus, yang berukuran besar biasanya jatuh di sektar kawah dalam

radius 5-7 km, sedangkan yang berukuran halus sampai ratusan bahkan ribuan km

dari kawah disebabkan oleh adanya hembusan angin (Sudaryo, 2009). Ukuran

partikel pasir dan lumpur berkisar 0,001 mm hingga 2 mm, abu vulkanik tidak

larut dalam air, sangat kasar dan korosif (Johnston, 1997).

Kandungan Oksidasi dalam abu vulkanik menurut ASTM C 618-78

harganya dibatasi seperti tercantum pada tabel 2.3 di bawah ini :

Tabel 2.3 Kandungan Oksida Abu Vulkanik Menurut ASTM C 618-78

No. Komposisi bahan Jumlah


1. SiO2 + AL2O3 + Fe2O3 Minimal 70
2. MgO Maksimal 5
3. SO3 Maksimal 4
4. H2O Maksimal 3

Abu vulkanik yang dapat dijumpai di sekitar gunung berapi umumnya

dicirikan oleh kandungan mineral liat allophan yang tinggi. Allophan adlah

Aluminosilikat amorf yang dengan bahan organik dapat membentuk ikatan

kompleks.

Sifat-sifat yang terkandung dalam tanah allophan adalah sebagai berikut :


a. Profil tanahnya dalam.

b. Lapisan atas maupun permukaannya gembur serta berwarna hitam.

c. Lapisan subsoil berwarna kecoklatan dan terasa licin bila digosok di antara

jari-jari.

d. Bulk densitynya sangat rendah (< 0,85).

e. Daya tahan tahan terhadap air tinggi.

f. Perkembangan struktur tanah baik.

g. Daya lekatnya maupun plastisitasnya tidak ada bila lembab.

h. Sukar dibasahi kembali bila sudah kering serta dapat menampung di atas

permukaan air.

Mineralogi tanah yang berasal dari gunung Merapi dapat dibedakan

menjadi 2 (dua) kelompok yaitu :

a. Mineral skeletal yang berasal dari mineral primer (mineral pasir dan debu)

serata agregat mikro kristalin.

b. Fragment yang semuanya berasal dari bahan induk, mineral liat dan liat amorf.

(Sumber:http://m-amin.com/2010/11/19/abu-vulkanik-gunung-merapi-berpotensi-

sebagai-material-keramik/)

Secara geologis, abu vulkanik adalah material batuan vulkanik yang

berasal dari magma panas dan cair yang membeku secara cepat. Batuan beku

sejatinya kumpulan mineral yang membeku dan mengkristal dari magma cair.

Abu vulkanik terdiri dari batuan, mineral, dan gelas vulkanik fragmen

yang lebih kecil dari 2mm (0,1 inch) dengan diameter yang sediit lebih besar dari

ukuran sebuah kepala peniti. Abu vulkanik tidak seperti bulu lembut, abu yang
dihasilkan dari pembakaran kayu, daun atau kertas. Sulit larut dalam air, dan abu

vulkanik dapat menjadi partikel yang sangat kecil kurang dari 0,025 mm (1/1000

inch) dengan diameter yang umum.

2.2.3 Gradasi Agregat

Gradasi agregat adalah distribusi dari ukuran pertikelnya dan dinyatakan

dalam persentase terhadap total beratnya. Gradasi ditentukan dengan melewatkan

sejumlah material melalui serangkaian dari ukuran besar ke ukuran kecil dan

menimbang berat material yang tertahan pada masing-masing saringan.

Kombinasi gradasi agregat campuran dinyatakan dalam persen berat agregat.

Untuk menunjukkan klasifikasi agregat yang disebut gradasi (grading)

umumya digunakan suatu grafik. Absis menunjukkan ukuran butiran (dalam skala

logaritma) dan ordinat menunjukkan prosentase dari berat yang melalui nomor

saringan tertentu.

2.2.3.1 Gradation Master Bands

Susunan butiran agregat atau yang disebut dengan gradasi agregat

dibedakan dalam 3 macam, dengan ilustrasi susunan seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 2.1


a). Menerus b). Rapat c). Senjang
Gambar 2.1 Gambar Ilustrasi Macam Gradasi Agregat

a. Gradasi menerus (uniform graded)

Gradasi menerus atau seragam adalah agregat dengan ukuran yang

hampir sama / sejenis atau mengandung agregat halus yang sedikit jumlahnya

sehingga tidak dapat mengisi rongga antar agregat. Gradasi seragam disebut
juga gradasi terbuka. Agregat dengan gradasi menerus akan menghasilkan

lapisan perkerasan dengan sifat permeabilitas tinggi, stabilitas kurang, dn

berat volume kecil.

b. Gradasi rapat (well graded)

Gradasi rapat merupakan campuran agregat kasar dan halus dalam

porsi yang berimbang, sehingga dinamakan juga agregat bergradasi baik (well

graded). Agregat dinamakan bergradasi baik bila persen yang lolos setiap

lapis dari sebuah gradasi memenuhi Rumus Fuller dibawah ini :

P = 100 (d/D)0.45

Dimana :

P : persen lolos saringan dengan bukaan d mm

d : ukuran agregat yang sedang diperhitungkan

D : ukuran maksimum partikel dalam gradasi tersebut

Tabel 2.4 menunjukkan spesifikasi gradasi campuran agregat bergradasi

baik yang memenuhi rumus fuller.

Tabel 2.4 Spesifikasi Gradasi Agregat Laston

Ukuran Saringan Lolos Saringan Nilai Tengah (%)


(%)
3/4" 19,1 100 100
1/2" 12,7 80-100 90
3/8" 9,5 60-80 70
#4 4,76 48-65 56,5
#8 2,38 35-50 42,5
#30 0,59 18-29 23,5
#50 0,279 13-23 18
#100 0,149 8-16 12
#200 0,074 1-10 5,5
Sumber : Silvia Sukirman ; Beton Aspal Campuran Panas
Gradasi sebaiknya diarahkan mendekati bagian bawah batas

spesifikasi atau dibawah kurva gradasi kasar dapat juga di bagian kanan

berada di atas kurva, kemudian memotong kurva dan di bagian kiri berada di

bagian bawah kurva, kemudian memotong kurva dan di bagian kiri berada di

bagian bawah kurva seperti terlihat pada Gambar 2.4 Spesifikasi Gradasi

Agregat Laston sesuai dengan Tabel 2.4

Gambar 2.2 Spesifikasi Gradasi Agregat Laston

c. Gradasi senjang (gap graded)

Gradasi senjang merupakan campuran agregat yang tidak memenuhi

gradasi menerus dan gradasi rapat. Agregat bergradasi menerus umumnya

digunakan untuk lapisan perkerasan lentur yaitu gradasi timpang, campuran

merupakan agregat dengan satu fraksi hilang atau satu fraksi sedikit sekali.

Agregat dengan gradasi timpang akan menghasilkan lapis perkerasan yang

mutunya terletak antara kedua pengaruh jenis gradasi rapat dengan gradasi

menerus.
2.2.3.2 Pengaruh Gradasi Terhadap Karakteristik Campuran

Gradasi agregat pada dasarnya sangat mempengaruhi besarnya rongga

antar butir yang akan menentukan stabilitas dan memberikan kemudahan selama

proses pelaksanaan.

Gradasi agregat merupakan kondisi agregat yang dapat dibentuk untuk

mencapai persyaratan yang diinginkan. Untuk gradasi menerus masuk kedalam

kategori agregat bergradasi baik, sedangkan gradasi seragam dan senjang masuk

dalam kategori agregat bergradasi buruk. Efek pengaruh gradasi terhadap

karakteristik campuran dapat dilihat pada Tabel 2.5 di bawah ini.

Table 2.5 Pengaruh Gradasi Terhadap Karakteristik Campuran


Karakteristik Agregat bergradasi Agregat bergradasi baik
buruk
Stabilitas Buruk Baik
Permeabilitas Baik Buruk
Density Buruk Baik
VITM Besar Kecil
Sumber : Silvia Sukirman ; Beton Aspal Campuran Panas

Oleh karena itu diperlukan ketelitian saat melakukan analisa saringan

untuk memperoleh gradasi sesuai dengan yang diinginkan. Dalam penelitian ini

menggunakan tipe gradasi senjang atau gap graded.

2.2.3.3 Gradasi Senjang 1 dan 2

Gradasi senjang merupakan campuran agregat dengan proporsi satu fraksi

tertentu hanya relative sedikit atau bahkan hilang sama sekali.

Campuran Laston dengan agregat gradasi senjang terdiri dari campuran

pasir halus, bahan pengisi ( filler ), aspal dan ditambah dengan proporsi agregat
kasar yang bervariasi. Dalam penelitian ini digunakan 2 variasi gradasi senjang,

yaitu :

1. Gradasi Senjang 1

Dalam variasi gradasi senjang 1 ini, fraksi yang hilang yaitu fraksi dengan

ukuran 3/4".

2. Gradasi Senjang 2

Dalam variasi gradasi senjang 2, fraksi yang hilang yaitu fraksi dengan ukuran

3/4" dan 3/8".

2.2.4 Karakteristik Campuran

Suatu lapis perkerasan yang baik harus memenuhi karakteristik tertentu

sehingga kuat menahan beban serta aman dan nyaman ketika dilalui kendaraan. Di

bawah ini adalah karakteristik yang akan diinginkan dalam penelitian, yaitu :

1. Stabilitas (Stability)

Stabilitas adalah kemampuan campuran aspal untuk menahan deformasi akibat

beban yan bekerja, tanpa mengalami deformasi permanen seperti gelombang,

alur ataupun bleeding dinyatakan dalam satuan kg atau lb. Nilai stabilitas

diperoleh dari hasil pembacaan langsung pada alat Marshaal Test sewaktu

melakukan pengujian Marshall. Stabilitas terjadi dari hasil geseran antar butir,

penguncian antar partikel dan daya ikat yang baik dari lapisan aspal. Dengan

demikian stabilitas yang tinggi dapat diperoleh dengan penggunaan agregat

dengan gradasi yang rapat, agregat dengan permukaan kasar dan aspal dalam

jumlah yang cukup.

2. Kelelahan (Flow)
Flow adalah besarnya deformasi vertikal benda uji yang terjadi mulai saat

awal pembebanan sampai kondisi kestabilan maksimum sehingga sampel

sampai batas runtuh dinyatakan dalam satuan mm. Nilai flow yang tinggi

mengindikasikan campuran bersifat plastis dan lebih mampu mengikuti

deformasi akibat beban, sedangkan nilai flow yang rendah mengindikasikan

campuran tersebut memiliki banyak rongga kosong yang tidak terisi aspal

sehinga campuran berpotensi untuk mudah retak. Pengukuran flow bersamaan

dengan penguuran nilai stabilitas Marshall. Nilai flow juga diperoleh dari

hasil pembacaan langsung pada alat Marshall Test sewaktu melakukan

pengujian Marshall.

3. Durabilitas (Durability)

Durabilitas yaitu kemampuan suatu lapis perkerasan jalan untuk

mempertahankan diri dari kerusakan atau mencegah keausan karena pengaruh

lalu lintas, pengaruh cuaca dan perubahan suhu yang terjadi selam umur

rencan. Faktor yang mempengaruhi durabilitas aspal beton adalah :

1. Selimut aspal yag tebal sehingga dapat menghasilkan perkerasan yang

berdurabilitas tinggi, tetapi kemungkinan terjadi bleeding tinggi.

2. Void In Mix (VIM) kecil, sehingga lapis kedap air dan udara tidak masuk

ke dalam campuran yang menyebabkan terjadinya oksidasi dan aspal

menjadi rapuh.

3. Void In Material (VMA) besar, sehingga selimut aspal dibuat tebal. Jika

VMA dan VIM kecil serta kadar aspal tinggi kemungkinan terjadi
bleeding besar. Untuk mencapai VMA yang besar ini dipergunakan

agregat bergradasi senjang.

4. Tahanan Geser (Skid Resistance)

Skid Resistance menunjukkan kekesatan permukaan perkerasan untuk

mengurangi selip pada kendaraan saat perkerasan dalam keadaan basah atau

kering. Hal ini terjadi karena pada saat terjadi hujan kekesatan pada lapis

permukaan akan berkurang walaupun tidak sampai terjadi aquaplanting.

Kekesatan dinyatakan degan koefisien gesek antara permukaan jalan dan ban

kendaraan. Factor yang mempengaruhi tahanan geser adalah :

- Penggunaan kadar aspal yang tepat sehingga tidak terjadi bleeding

- Penggunaan agregat dengan permukaan kasar

- Penggunaan agregat yang cukup

- Penggunaan agregat berbentuk kubus

5. Fleksibilitas

Fleksibilitas pada lapisan perkerasan adalah kemampuan lapisan untuk

mengiuti deformasi yang terjadi akibat beban lalu lintas berulang tanpa

timbulnya retak dn perubahan volume. Fleksibilitas yang tinggi dapat

diperoleh dengan :

- Penggunaan agregat bergradasi senjang sehingga diperoleh VMA yag

besar

- Penggunaan aspal lunak (aspal dengan penetrasi tinggi)

- Penggunaan aspal yang ckup bayak sehingga diperoleh VIM yang kecil
Marshall Quotient (MQ) merupakan parameter untuk mengukur tingkat

fleksibilitas campuran. Semakin tinggi MQ, maka campuran lebih kaku

berarti fleksibilitasnya rendah. Namun, jika MQ semakin kecl, campuran

memiliki nilai fleksibilitas tinggi.

6. Porositas

Porositas adalah kandungan udara yang terdapat pada campuran perkerasan.

Porositas berfungsi untuk mengalirkan air permukaan secara sempurna

bersamaan dengan kemiringan perkerasan sehingga dapat mengurangi beban

drainase yang terjadi di permukaan .

7. Kuat Tarik

Kuat tarik adalah kemampuan lapisan perkerasan untuk menahan beban yang

berupa tarikan yang terjadi pada arah horizontal. Kuat tarik terkadang

digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan terjadi retakan pada lapis

perkerasan. Nilai kuat tarik dipengaruhi oleh sifat bahan-bahan penyusn

perkerasan termasuk aspal yang digunakan. Sifat aspal yang visco-elastis

sangat dipengaruhi oleh perbahan suhu, yaitu pada suhu rendah aspal

menjadi keras namun mudah patah (getas) sedangkan pada suhu tinggi aspal

menjadi lunak atau lebih cair dan sangat rawan terhadap penurunan

(deformasi). Waktu pembebanan (loading time) juga menjadi salah satu

factor penyebab kerusakan lapis perkerasan terutama pada waktu perkerasan

berada pada kondisi suhu tinggi dimana pada kondisi tersebut nilai kuat tarik

relatif kecil. Untuk menghindari waktu pembebanan yang lama perlu adanya
pembatasan kecepatan minimum kendaraan pada waktu melintasi lapis

perkerasan.

8. Workability

Workability adalah kemudahan suatu campuran ntuk dihampar dan

dipadatkan sehingga memenuhi hasil yang diharapkan. Faktor yang

mempengaruhi kemudahan dalam pelaksanaan adalah gradasi agregat,

temperatur campuran dan kandungan bahan pengisi.

Persentase aspal (dalam berat) yang akan ditambahkan pada agregat kering,

ditentukan berdasarkan pemeriksaan laboratorium. Melalui metode "Marshall

Test" akan diperoleh kadar aspal optimum, dimana pada kadar aspal tersebut

persyaratan-persyaratan berikut harus dipenuhi, seperti ditunjukkan pada Tabel

2.6.

Tabel 2.6 Persyaratan Kadar Aspal

Kepadatan Lalu Lintas Berat Sedang Ringan

Jenis Pemeriksaan

Stabilitas (kg) 750 650 460


Kelelahan (mm) 2-4 2-4,5 2-5
% Rongga dalam campuran 3-5 3-5 3-5
% Rongga terisi aspal 75-82 75-85 75-85
Jumlah Tumbukan 2 x 75 2 x 50 2 x 35

Sumber : Design Methods Asphalt Concrete, The Asphalt Institute

2.3 Pengujian Campuran Asphalt Concrete

2.3.4 Pengujian Volumetrik

Pengujian volumetric adalah pengujian untuk mengetahui besarnya nilai

densitas, specific gravity campuran dan porositas dari masing-masing benda uji.
Pengujian meliputi pengukuran tinggi, diameter, berat SSD, berat di udara, berat

dalam air dari sampel dan berat jenis agregat, filler dan aspal. Sebelum dilakukan

pengujian Marshall, benda uji dilakukan pengujian Volumetrik untuk masing-

masing benda uji.

Densitas menunjukkan besarnya kepadatan pada campuran Asphalt

Concrete. Besarnya densitas diperoleh dari rumus berikut :


= ...(Rumus 2.1)

Keterangan :

D = Densitas/berat isi (gr/cc)

Wdry = Berat kering/berat di udara (gr)

Vb = Volume bulk (cc)

Nilai density maks. Teoritis dihitung dengan menggunakan rumus :

100
= (100) ...(Rumus 2.2)

+

Keterangan :

D maks teoritis = Density maks teoritis (gr/cc)

a = Kadar aspal (%)

Gac = Berat Jenis Aspal (gr/cc)

Gse = BJ efektif rata-rata agregat (gr/cc)


Specific gravity campuran menunjukkan berat jenis campuran diperoleh dengan

rumus :

100
= % % % % (Rumus 2.3)
+ +

+

Keterangan :

Gsb = Berat jenis bulk campuran (gr/cm3)

WA,WB,WCWn = Berat agregat masing-masing saringan (%)

GbA,GbB,GbC,Gbn = Berat jenis bulk tiap agregat tertahan saringan

(gr/cm3)

100
= % % % %Wn ...(Rumus 2.4)
+ + +
GaN

Keterangan :

Gsa = Berat jenis apparent campuran (gr/cm3)

WA,WB,WCWn = Berat agregat masing-masing saringan (%)

GaA,GaB,GaCGaN = Berat jenis apparent tiap agregat tertahan saringan

(gr/cm3)

+
= .(Rumus 2.5)
2

Keterangan :

Gse = Berat jenis rata-rata agregat (gr/cm3)

Gsa = Berat jenis apparent campuran (gr/cm3)

Gsb = Berat jenis bulk campuran (gr/cm3)

Penyerapan aspal dengan campuran dihitung dengan rumus :



= 100 ........................(Rumus 2.6)

Keterangan :

Pba = Penyerapan Aspal (%)

Gsa = Berat jenis apparent campuran (gr/cm3)

Gsb = Berat jenis bulk campuran (gr/cm3)

Gac = Berat jenis aspal (gr/cm3)

Volume Bulk dihitung menggunakan rumus :

= .(Rumus 2.7)

Keterangan :

Vb = Volume Bulk (cc)

Ws = Berat benda uji SSD (gram)

Ww = Berat benda uji di air (gram)

Dari nilai densitas dan specific gravity campuran dapat dihitung besarnya

porositas dengan Rumus 2.6.

100
= [100 ] .. (Rumus 2.8)

Keterangan :

VIM = Porositas benda uji (%)

D = Densitas benda uji (gr/cc)

Dmaks teoritis = Nilai densitas maks teoritis (gr/cc)

2.3.5 Pengujian Marshall


Pengujian Marshall adalah pengujian terhadap benda uji untuk

menentukan nilai kadar aspal optimum dan karakteristik campuran dengan cara

mengetahui nilai flow, stabilitas, dan Marshall Quotient.

2.3.5.1 Stabilitas (Stability)

Nilai stabilitas terkoreksi dihitung dengan rumus :

= 0,454 ..(Rumus 2.9)

dengan :

= Nilai stabilitas terkoreksi (kg)

= Pembacaan stabilitas pada dial alat Marshall (lb)

= factor kalibrasi alat

= angka koreksi ketebalan

0,454 = konversi beban dari lb ke kg

2.3.5.2 Flow

Flow dari pengujian Marshall adalah besarnya deformasi vertikal sampel

yang terjadi mulai saat awal pembebanan sampai kondisi kestabilan maksimum

sehingga sampel sampai batas runtuh dinyatakan dalam satuan mm atau 0,01.

2.3.5.3 Marshall Quotient

Merupakan perbandingan antara stabilitas dengan kelelahan plastis (flow)

dan dinyatakan dalam kg/mm. Marshall Quotient besarnya merupakan indicator

dari kelenturan yang potensial terhadap keretakan. Nilai Marshall Quotient

dihitung dengan rumus berikut :



= ......................................................................... (Rumus 2.10)

dengan :

= Marshall Quotient (kg/mm)

= Nilai stabilitas terkoreksi (kg)

= Nilai flow (mm)

2.3.6 Metode Pengujian Marshall

Rancangan campuran berdasarkan metode Marshall ditemukan oleh Bruce

Marshall. Prinsip dasar metode Marshall adalah pemeriksaan stabilitas dan

kelelahan (flow), serta analisis kepadatan dan pori dari campuran padat yang

terbentuk.

Alat marshall merupakan alat tekan yang dilengkapi dengan proving ring

(cincin penguji) berkapasitas 22,2 KN (5000 lbs) dan flowmeter. Proving ring

digunakan untuk mengukur nilai stabilitas, dan flowmeter untuk mengukur

kelelahan plastis atau flow. Benda uji Marshall berbentuk silinder berdiameter 4

inchi (10,2 cm) dan tinggi 2,5 inchi (6,35 cm).

Secara garis besarpengujian marshall meliputi : persiapan benda uji,

penentuan berat jenis bulk dari benda uji, pemeriksaan nilai stabilitas dan flow,

dan perhitungan sifat volumetric benda uji.

Pada persiapan benda uji, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara

lain :

1. Jumlah benda uji yang dipersiapkan.

2. Persiapan agregat yang akan digunakan.


3. Penentuan temperatur pencampuran dan pemadatan.

4. Persiapan campuran aspal beton.

5. Pemadatan benda uji.

6. Persiapan untuk pengujian Marshall.

Jumlah benda uji yang disiapkan ditentukan dari tujuan dilakukannya uji

Marshall tersebut. AASHTO menetapkan minimal 3 buah benda uji setiap kadar

aspal yang digunakan. Agregat yang akan digunakan dalam campuran

dikeringkan di dalam oven pada temperatur 105-110C. setelah dikeringkan

agregat dipisah-pisahkan sesuai fraksi ukurannya dengan mempergunakan

saringan. Temperature pencampuran bahan aspal dengan agregat adalah pada saat

aspal mempunyai viskositas kinematis sebesar 170 20 centistokes dan

temperatur pemadatan adalah temperatur pada saat aspal mempunyai nilai

viskositas kinematis sebesar 280 30 centitokes. Karena tidak diadakan

pengujian viskositas kinematik aspal maka secara umum ditentukan suhu

pencampuran berkisar antara 145C - 155C, sedangkan suhu pemadatan antara

110C 135C.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Bagan Alir Pelaksanaan Penelitian

Untuk pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1

Mulai

Persiapan Alat dan Bahan

Pengujian Bahan

Pengujian Pengujian Pengujian


Aspal Agregat Filler

Pengujian

Agregat
Syarat Bahan Uji

Pembuatan Benda Uji Pembuatan Benda Uji Pembuatan Benda Uji


Variasi 1 : Variasi 2 : Variasi 3 :
1. Gradasi Menerus 1. Gradasi Senjang 1 1. Gradasi Senjang 2
2. Kadar Aspal : 5% 2. Kadar Aspal : 5% 2. Kadar Aspal : 5%
3. Kadar Filler : 5%; 6;%; 7% 3. Kadar Filler : 5%; 6;%; 7% 3. Kadar Filler : 5%; 6;%; 7%

Pengujian Marshall

Data Kinerja Benda Uji

Analisis Hasil penelitian

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Gambar 3.1 Bagan alir Pelaksanaan Penelitian


3.2 Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen,

yaitu metode yang dilakukan dengan mengadakan kegiatan percobaan untuk

mendapatkan data. Data tersebut diolah untuk mendapatkan suatu hasil

perbandingan dengan syarat-syarat yang ada. Penyelidikan eksperimental dapat

dilaksanakan di dalam ataupun di luar laboratorium. Penelitian ini dilakukan di

laboratorium dengan menggunakan tipe gradasi senjang dan penggunaan abu

vulkanik Gunung Merapi sebagai bahan pengisi atau filler. Kadar abu vulkanik

yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu: 5%, 6% dan 7% terhadap berat total

agregat. Hasil pengujian ini adalah nilai Marshall.

3.3 Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di baberapa tempat yaitu di Laboratorium LPPT

Universitas Gadjah Mada untuk Pemeriksaan kandungan yang ada dalam abu

Merapi. Selanjutnya penelitian dan pembuatan benda uji dilaksanakan di

Laboratorium Universitas Tidar Magelang.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilaksanakan dengan metode eksperimen

terhadap beberapa benda uji dari berbagai kondisi perlakuan yang diuji di

laboratorium. Untuk beberapa hal pada pengujian bahan, digunakan data sekunder

karena adanya penggunaan bahan dan sumber yang sama. Jenis data pada

penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder.
3.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan secara langsung melalui

serangkaian kegiatan percobaan yang dilakukan sendiri dengan mengacu pada

petunjuk manual yang ada, misalnya dengan mengadakan penelitian atau

pengujian secara langsung. Data primer dalam penelitian ini adalah data unsur

kimia dan berat jenis yang terkandung dalam abu vulkanik yang diperoleh dari

LPPT Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pengujian gradasi abu vulkanik dan

hasil uji Marshall.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diambil dari hasil penelitian sebelumnya atau

yang dilaksanakan yang masih berhubungan dengan penelitian tersebut. Data

sekunder dalam penelitian ini adalah data pemeriksaan agregat dan data hasil

pemeriksaan karakteristik aspal dari Laboratorium Teknik Sipil Universitas Tidar

Magelang.

3.5 Bahan dan Peralatan Penelitian

3.5.1 Bahan

Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Aspal

Aspal yang digunakan adalah aspal penetrasi 60 / 70 produksi PERTAMINA

yang diperoleh dari Lab. Jalan Raya Fak. Teknik Sipil UTM.
2. Agregat

Agregat yang digunakan berasal dari Lab. Jalan Raya Fak. Teknik Sipil

UTM.

3. Filler

Filler adalah suatu mineral agregat dari fraksi halus yang sebagian besar (+

85 %) lolos saringan nomor 200 (0,075 mm). Filler yang digunakan dalam

penelitian ini adalah abu vulkanik Gunung Merapi yang berasal dari Desa

Borobudur, Kabupaten Magelang.

3.5.2 Peralatan

Peralatan yang digunakan untuk mendukung berjalannya penelitian tugas

akhir ini antara lain :

1. Alat uji pemeriksaan aspal

Alat yang digunakan untuk pemeriksaan aspal antara lain : satu set

alat uji penetrasi, satu set alat uji titik lembek, satu set alat uji titik nyala dan

titik bakar, satu set alat uji berat jenis (piknometer dan timbangan).

a. Alat uji penetrasi

Pengujian penetrasi aspal suatu pengujian yang digunakan untuk

menentukan konsistensi aspal sehingga dapat diketahui mutunya.

Konsistensi dinyatakan dengan angka penetrasi, yaitu masuknya jarum

penetrasi dengan beban tertentu ke dalam benda uji aspal pada suhu 25 C

selama 5 detik. Penetrasi dinyatakan dengan angka dalam satuan 1 mm.

Pengujian penetrasi aspal ini menggunakan alat yang bernama penetration

test, dapat dilihat pada gambar 3.1.


Gambar 3.1 Alat Uji Penetrasi

b. Alat uji titik lembek

Gambar 3.2 Alat Uji Titik Lembek


c. Alat uji titik nyala dan titik bakar

Uji titik nyala dan titik bakar dilakukan untuk mengetahui suhu dimana

aspal mulai dapat mengeluarkan nyala dan terbakar akibat pemanasan. Alat

uji titik nyala dan titik bakar ditunjukkan pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Alat Uji Titik Nyala dan Titik Bakar

d. Alat uji berat jenis

Gambar 3.4 Alat Uji Berat Jenis


2. Alat uji pemeriksaan agregat

Alat uji yang digunakan untuk pemeriksaan agregat antara lain :

mesin Los Angeles (tes abrasi), satu set saringan standar ( yang terdiri dar

ukuran 3/4", 1/2", 3/8", #4, #8, #16, #30, #50 dan #200) dapat dilihat pada

Gambar 3.5, alat pengering (oven), timbangan berat, alat uji berat jenis

(piknometer, timbangan, pemanas), bak perendam, tempat agregat.

Gambar 3.5 Satu Set Saringan Pasir

3. Alat uji karakteristik campuran agregat

Alat uji yang digunakan adalah seperangkat alat untuk metode

Marshall, meliputi :

a. Alat cetak benda uji berbentuk silinder diameter 10,2 cm (4 inch) dengan

tinggi 7,5 cm (3 inch) untuk Marhall standar. Seperti ditunjukkan pada

Gambar 3.6.
Gambar 3.6 Alat Cetak Benda Uji

b. Mesin penumbuk manual atau otomatis lengkap dengan :

1) Penumbuk yang mempunyai permukaan tumbuk rata yang berbentuk

silinder, dengan berat 4,536 kg dan tinggi jatuh bebas 45,7 cm. Dapat

dilihat pada gambar 3.7.

2) Landasan pemadat terdiri dari balok kayu (jati atau yang sejenis)

berukuran 20,32 x 20,32 x 45,72 cm dilapisi dengan pelat baja

berukuran 30,38 x 30,48 x 2,54 cm dan di jangkarkan pada lantai beton

di keempat bagian sudutnya

3) Pemegang cetakan benda uji

Gambar 3.7 Alat Penumbuk Benda Uji


c. Alat pengeluar benda uji, seperti pada Gambar 3.8 untuk mengeluarkan

benda uji yang sudah dipadatkan dari dalam cetakan (Ejector), seperti pada

Gambar 3.8.

Gambar 3.8 Alat Pengeluar Benda Uji

d. Alat Marshall

dilengkapi dengan :

1) Kepala penekan (Breaking Head) berbentuk lengkung.

2) Cincin penguji (proving ring) berkapasitas 2.500 kg dan atau 5000 kg,

dilengkapi arloji (dial) tekan dengan ketelitian 0,0025 mm.

3) Arloji pengukur pelelehan (flow) dengan ketelitian 0,25 mm beserta

perlengkapannya.
Gambar 3.9 Alat Uji Marshall

e. Oven, yang dilengkapi dengan pengatur yang mampu memanasi sampai

200C ( 3C), seperti pada Gambar 3.10.

Gambar 3.10 Oven

Gambar 3.10 Oven

f. Bak perendam (water bath) dilengkapi denan pengatur suhu mulai

20 660C ( 1C).

g. Timbangan yang dilengkapi dengan penggantng benda uji berkapasitas 2

kg dengan ketelitian 0,1 gram dan timbangan 5 kg dengan ketelitian 1

gram.

h. Pengukur suhu (thermometer) berkapasitas 360C dengan ketelitian 1 %

dari kapasitas.
i. Perlengkapan lain :

1) Panic-panci untuk memanaskan agregat, aspal dan campuran aspal.

2) Sendok pengaduk dan perlengkapan lain.

3) Kompor dan alat pemanas (hot plate).

4) Sarung tangan dari asbes dan sarung tangan dari karet dan pelindung

pernafasan atau masker.

5) Kantong plastic kapasitas 2 kg.

6) Kompor listril.

7) Kaliper.

8) Tipe ex/ cat minyak.

9) Saringan

Saringan harus mampu mengayak semua agregat menurut fraksi dan

proporsi yang ditetapkan dan harus mempunyai kapasitas sedikit diatas

kapasitas penuh unit pengaduk.

10) Kotak penimbang atau Hoper

Kotak penimbang atau hoper harus mempunyai kapasitas yang cukup

untuk menampung satu takaran penuh (full batch) tanpa harus

diratakan dengan tangan.

3.6 Benda Uji

Penelitian ini menggunakan benda uji sebanyak 27 buah benda uji.

Adapun kebutuhan benda uji tersebut seperti disajikan pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Variasi Campuran dan Jumlah Benda Uji

No. Variasi Stabilitas Kadar Kadar Jumlah Benda


Gradasi Aspal Filler Uji
1. Normal 460 - 5% 5% 3
Menerus Kg 6% 3
7% 3
2. Senjang 1 460 - 5% 5% 3
Ukuran 3/4 Kg 6% 3
7% 3
3. Senjang 2 460 - 5% 5% 3
Ukuran Kg 6% 3
3/4 dan 3/8 7% 3
Jumlah Benda Uji 27

3.7 Prosedur Pelaksanaan

3.7.1 Pengujian Bahan

3.7.1.1 Pengujian Aspal

Pengujian laboratorium terhadap aspal meliputi :

uji penetrasi pada suhu 25C

Specific Gravity

Daktilitas

Uji Titik Lembek

Titik Nyala

Kelarutan CCl4

3.7.1.2 Pengujian Agregat

Agregat yang digunakan adlah dari batu alam yang didapat dari mesin pemecah

batu. Pengujian laboratorium untuk agregat yang digunakan dlam campuran

adalah :

Gradasi

Specific Gravity

Absorpsi Air
3.7.1.3 Pengujian Bahan Pengisi (Filler)

Bahan pengisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah abu vulkanik. Bahan

pengisi harus lolos saringan No. 200 (0,075 mm). Pengujian terhadap bahan

pengisi adalah :

Specific Gravity

3.7.2 Pembuatan Benda Uji

Sebelum pembuatan benda uji diadakan pembuatan rancangan campuran

atau mix design. Perencanaan rancangan campuran meliputi perencanaan gradasi

agregat, penetuan aspal dan pengukuran komposisi masing-masing fraksi baik

aspal, agregat dan filler. Gradasi yang digunakan sesuai Standar Nasional

Indonesia (SNI).

Prosedur pembuatan benda uji dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu :

1. Tahap I

Merupakan tahap persiapan untuk mempersiapkan bahan dan alat yang akan

digunakan. Menentukan prosentase masing-masing butiran untuk

mempermudah pencampuran dan melakukan penimbangan secara komulatif

untuk mendapatkan proporsi campuran yang lebih tepat.

2. Tahap II
Menetukan aspal penetrasi 60/70, berat filler dan berat agregat yang akan

dicampur berdasarkan variasi kadar aspal. Prosentase ditentukan berdasarkan

berat total campuran.

3. Tahap III

Aspal penetrasi 60/70 dituang ke dalam wajan yang berisi agregat yang

diletakkan di atas timbangan sesuai dengan prosentase bitumen content

berdasarkan berat total agregat.

4. Tahap IV

Setelah aspal dituangkan ke dalam agregat, campuran ini diaduk sampai rata

dan kemudian didiamkan hingga mencapai suhu pemadatan. Selanjutnya

campuran dimasukkan ke dalam cetakan yang telah disiapkan dengan melapisi

bagian bawah dan atas cetakan dengan kertas pada alat penumbuk.

5. Tahap V

Campuran dipadatkan dengan alat pemadat sebanyak 75 kali tumbukan untuk

masing-masing sisinya. Selanjutnya benda uji didinginkan pada suhu ruang

selam 2 jam, barulah dikeluarkan dari cetakan dengan bantuan dongkrak

hidraulis.

6. Tahap VI

Setelah benda uji dikeluarkan dari cetakan, kemudian dilakukan pengujian

volumetrik test dan pengujian dengan alat uji Marshall.

3.7.3 Volumetrik Test

Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui VIM dari masing-masing benda uji.

Adapun tahap pengujiannya adalah sebagai berikut :


1. Tahap 1

Benda uji yang telah diberi kode di ukur ketinggiannya pada empat sisi yang

berbeda-beda dengan menggunakan bantuan jangka sorong.

Setelah diukur ketinggiannya, benda uji tersebut ditimbang untuk

mendapatkan berat benda uji.

2. Tahap 2

Dari hasil pengukuran tinggi, berat, serta diameter benda uji. Dapat dilihat

volume bulk dan densitas dengan rumus 2.1 dan 2.7

3. Tahap III

Pada tahap ketiga ini dihitung berat jenis ( Specific Gravity ) masing-masing

benda uji dengan menggunakan rumus 2.4, 2.4, dan 2.5

4. Tahap IV

Tahap keempat perhitungan penyerapan aspal dengan campuran dengan

menggunakan rumus 2.6

5. Tahap V

Dari perhitungan berat jenis didapatkan nilai density maks teoritis dan VIM

dengan menggunakan rumus 2.2 dan 2.8

3.7.4 Marshall Test

Langkah dalam pengujian ini adalah sebagai berikut :

1. Benda uji direndam selam kurang lebih 24 jam.

2. Benda uji direndam dalam water bath ( bak perendam ) selam 30 menit

dengan suhu 60C.


3. Benda uji dikeluarkan kemudian diletakkan pada alat uji Marshall untuk

dilakukan pengujian.

4. Dari hasil pengujian ini didapat nilai stabilitas dan kelelahan (flow).

5. Perhitungan nilai stabilitas dan Marshall Quotient di dapatkan dengan rumus

2.9 dan 2.10


DAFTAR PUSTAKA

AASHTO, 1990, Standard Spesification for Transportasion Materials and


Methods of Sampling and Testing, Part 1 Spesification, 15th Edition,
AASHTO Publication USA.

AASHTO, 1990, Standard Spesification for Transportasion Materials and


Methods of Sampling and Testing, Part II Spesification, 15th Edition,
AASHTO Publication USA.

Departemen Pekerjaan Umum, 1987, Petunjuk Pelaksanaan Lapis Aspal Beton


(Laston) Untuk Jalan Raya, Direktorat Jendral Bina Marga, Jakarta.

Hadi Ali, 2011. KarakteristikCampuran Asphalt Concrete-Wearing Course (AC-


WC) dengan Penggunaan Abu Vulkanik Dan Abu Batu Sebagai Filler.
Jurnal Rekayasa Vol. 15.

Henny, Wahyudi. 2010. Perencanaan Campuran Aspal Beton dengan


Menggunakan Filler Kapur Padam. Skripsi, Jurusan Teknik Sipil,
Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang.

Johnston, D., Stewart, C., Hoverd, J., Leonard, G., Thordarsson, T. & Cronin S.,
2004, Impacts of Volcanic Ash on Water Supllies in Auckland: Institute
of Geological & Nuclear Sciences Report. Http :
//volcanoes.usgs.gov/ash/properties.html (19 Des. 2010)

Krebs, R.D dan Walker, R.D, 1971, Highway Materials, McGraw-Hill Book
Company, New York, USA.

Putrowijoyo,R. 2006. Kajian Laboratorium Sifat Marshall dan Durabilitas


Asphalt Concrete-Wearing Course (AC-WC) Dengan Membandingkan
Penggunaan Antara Semen Portland dan Abu Batu Sebagai Filler.
Semarang: Program Pasca Sarjana Jurusan Teknik Sipil, Fakultas
Teknik, Universitas Diponegoro.

Shell Bitumen. (1990), Shell Bitumen Handbook, Shell Bitumen, England.

Sudaryo dan Sucipto. (2009), Identifikasi dan Penentuan Logam Pada Tanah

Vulkanik di Daerah Cangkringan Kabupaten Sleman Dengan Metode

Analisis Aktivasi Neutron Cepat, Seminar Nasional V SDM Teknologi

Nuklir, Yogyakarta, 5 November 2009.

(Sumber:http://m-amin.com/2010/11/19/abu-vulkanik-gunung-merapi-berpotensi-
sebagai-material-keramik/)

Sukirman S, (2003). Beton Aspal Campuran Panas, Granit, Jakarta.

Sukirman S, (1992). Perkerasan Lentur Jalan Raya, Nova, Bandung.

Wahyudi, H. 2003. Evaluasi Sifat Marshall dan Nilai Struktural Campuran Beton
Aspal Yang Menggunakan Bahan Ikat Aspal Pertamina Pen 60/70 dan
Aspal Esso Pen 60/70: Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik,
Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai