Anda di halaman 1dari 67

Kuliah Teknik Sipil

Blog ini memuat tentang aktivitas saya selama mengikuti perkuliahan di jurusa
teknik sipil unud.

 Klasik
 Kartu Lipat
 Majalah
 Mozaik
 Bilah Sisi
 Cuplikan
 Kronologis

1.

May

27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Beton merupakan salah satu bahan yang banyak digunakan sebagai perkerasan
jalan, karena bukan saja memiliki keandalan dalam hal kekuatan, keawetan serta
kemudahan pelaksanaannya, tetapi juga mempunyai nilai ekonomis yang relatif baik. Oleh
karena itu, dengan perkembangan teknologi beton sekarang ini, dilakukan usaha untuk
meningkatkan kinerja beton menjadi lebih efektif dan efisien sebagai bahan perkerasan
jalan yaitu dengan cara membuat struktur perkerasan beton berpori (pervious concrete
pavement) yang memungkinkan aliran permukaan untuk infiltrasi ke dalam tanah.
Perkerasan beton berpori merupakan salah satu bentuk perkembangan infrastruktur yang
bersifat unik dalam pengelolaan air hujan dan efektif dalam menanggulangi permasalahan
lingkungan serta mendukung pembangunan yang berdasarkan pendekatan ekosistem pada
pengembangan lahan dan penanganan aliran permukaan.
Banjir atau genangan merupakan permasalahan umum yang terjadi di hampir semua
kota besar di Indonesia. Hal ini disebabkan selain karena curah hujan yang tinggi juga
karena tertutupnya lahan yang mampu meresapkan air limpasan hujan ke dalam tanah oleh
adanya penutupan lahan. Kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, sudah banyak
dibangun perumahan sehingga banyak lahan yang tadinya berfungsi menyerap air kini
tertutup oleh gedung-gedung dan pengerasan jalan dengan aspal.

Selain itu banjir juga disebabkan oleh gangguan fungsi drainase yang ada akibat
tumpukan sampah. Jalan dari beton maupun aspal bersifat kedap air, sehingga air hujan
akan langsung tergenang di jalan-jalan tersebut. Jalan di area permukiman umumnya
merupakan paving block atau paving stone, namun paving stone di area tersebut memiliki
kemampuan yang masih rendah dalam meresapkan air limpasan ke tanah.

Gambar 1.1 Beton Berpori

(Chopra dkk, 2006)

Dengan digunakannya beton berpori sebagai perkerasan diharapkan dapat menjadi


salah satu alternatif perkerasan untuk mengurangi permasalahan lingkungan yang ada.
Dengan penggunaan perkerasan beton berpori maka air permukaan, terutama air hujan
akan dapat disalurkan ke dalam tanah kembali agar tidak terbuang begitu saja. Sehingga
dapat menambah cadangan air tanah serta mencegah terjadinya banjir. Selain itu
perkerasan beton berpori juga membuat penggunaan lahan untuk drainase menjadi
berkurang, membuat lahan-lahan yang ada dapat digunakan untuk kebutuhan yang lain.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Adapun rumusan masalah dari laporan ini adalah :
1. Apakah penyebab kerusakan konstruksi perkerasan jalan raya ?

2. Apakah keunggulan beton berpori sebagai konstruksi perkerasan jalan raya ?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT


Adapun tujuan dan manfaat dari laporan ini adalah :
1. Memahami penyebab kerusakan konstruksi perkerasan jalan raya.
2. Mengetahui keunggulan dari Beton Berpori sebagai konstruksi perkerasan jalan
raya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 UMUM
Perkerasan merupakan struktur lapisan yang terletak di atas tanah dasar, yang
bersifat konstruktif sehingga memiliki nilai struktural dan fungsional. Nilai struktural
berkaitan dengan daya dukung perkerasan untuk mendukung repetisi beban lalu lintas
kendaraan dan kemampuannya untuk tetap stabil, mantap dan aman terhadap pengaruh
infiltrasi air permukaan dan perubahan cuaca. Nilai fungsional berkaitan dengan
performansi permukaan jalan dalam melayani lalu lintas kendaraan dengan aman dan
nyaman yang meliputi aspek - aspek teknis, antara lain: kerataan, kekesatan dan
kemiringan permukaan.

Berdasarkan bahan pengikatnya, menurut S. Sukirman (1999), konstruksi


perkerasan jalan dapat dibedakan menjadi :

 Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan menggunakan aspal


sebagai bahan pengikatnya. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan
menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
 Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan
semen portland sebagai bahan pengikat. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan
diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa lapisan pondasi bawah. Beban lalu
lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton tersebut.
 Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan kaku yang
dikombinasikan dengan perkerasan lentur.

2.2 STRUKTUR PERKERASAN LENTUR


Perkerasan lentur merupakan perkerasan yang dibangun di atas tanah dasar
(subgrade). Susunan struktur lapisan perkerasan lentur jalan dari bagian atas ke bawah
seperti gambar 2.1 di bawah ini:

Gambar 2.1 Struktur Perkerasan Lentur


(Sumber: Nur ali, et al. 2010)
Fungsi masing-masing lapisan tersebut adalah:

1. Lapisan Pondasi Bawah (subbase coarse) berfungsi untuk menyebarkan beban ke


lapisan tanah dasar (sub grade), sebagai drainase bawah permukaan (jika
digunakan sebagai material drainase bebas).
2. Lapisan Pondasi Atas (base coarse) berfungsi untuk menyebarkan beban yang
berasal dari lapis permukaan dan disebarkan kelapisan subbase coarse dengan
bidang kontak yang semakin besar.
3. Lapisan Permukaan berfungsi untuk memikul beban dari lapisan aus dan
disebarkan kebawah pada lapisan base coarse.
4. Lapisan Aus adalah lapisan paling atas yang langsung bersentuhan dengan roda
kendaraan dan beban disebarkan keatas lapisan permukaan. Lapisan ini dikenal 2
macam yaitu:
a. Lapisan Struktural, dimana lapisan ini berfungsi untuk memberikan reaksi atas
beban yang bekerja pada lapis permukaan, seperti Lapisan Penetrasi (Lapen),
Lapisan Aspal Beton (Laston, Lataston, AC-BC, AC-WC, Aspal Treated Base
(ATB) dan sebagainya.
b. Lapisan non strukturlal, lapisan ini tidak memberikan reaksi atas beban roda
yang bekerja di atasnya, tetapi lebih kepada memberikan perlindungan
terhadap lapisan di bawahnya dan terkait dengan pengaruh cuaca dan
lingkungan (kedap air), seperti Lapis Tipis Aspal Pasir (Latasir), Hot Rolled
Sheet (HRS), Laburan Aspal (Buras), dan sebagainya.

2.3 BAHAN CAMPURAN ASPAL


Campuran beraspal merupakan campuran yang terdiri dari kombinasi agregat yang
dicampur dengan aspal. Pencampuran dilakukan sedemikian rupa sehingga permukaan
agregat terselimuti aspal dengan seragam. Campuran beraspal terdiri dari dua keadaan:
panas (hotmix) dan dingin (coldmix). Namun, campuran beraspal yang sering digunakan
yaitu dalam keadaan panas (hotmix) atau disebut sebagai campuran beraspal panas.

Campuran beraspal yang umum digunakan di Indonesia, antara lain:

 AC (Asphalt Concrete) atau laston (lapis beton aspal)


 HRS (Hot Rolled Sheet) atau lataston (lapis tipis beton aspal)
 HRSS (Hot Rolled Sand Sheet) atau latasir (lapis tipis aspal pasir)
Pada campuran beraspal diperoleh sifat-sifat mekanis yang disebut sifat friksi dan
kohesi dari bahan-bahan pembentuknya. Sifat friksi terdapat pada agregat yang diperoleh
dari ikatan antar butir agregat (interlocking), dan kekuatannya tergantung pada gradasi,
tekstur permukaan, bentuk butiran dan ukuran agregat maksimum yang digunakan.
Sedangkan sifat kohesinya diperoleh dari aspal yang digunakan.

2.3.1 Agregat
Agregat adalah material berbutir keras dan kompak, yang termasuk di dalamnya
antara lain kerikil alam, agregat hasil pemecahan oleh stone crusher, abu batu dan pasir.
Agregat mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkerasan jalan, dimana agregat
menempati proporsi terbesar dalam campuran, umumnya berkisar antara 90 - 95 % dari
berat total campuran, atau 75 - 85 % dari volume campuran. Mutu, keawetan dan daya
dukung perkerasan sangat dipengaruhi oleh karakteristik agregat. Oleh karena itu, sebelum
digunakan sebagai bahan campuran dalam perkerasan jalan, harus dilakukan terlebih
dahulu pemeriksaan di laboratorium untuk mengetahui karakteristiknya.

Agregat kasar mempunyai peran sebagai pengembang volume mortar, menjadikan


campuran lebih ekonomis, meningkatkan ketahanan mortar terhadap kelelehan (flow) dan
meningkatkan stabilitas. Campuran dengan kandungan agregat kasar yang rendah
mempunyai daya tahan yang lebih baik dari kandungan yang lebih tinggi, karena
membutuhkan kadar aspal yang lebih banyak.

2.3.2 Sifat-sifat Fisik Agregat


Pada suatu campuran beraspal, agregat memberikan kontribusi yang cukup besar
sampai 90-95 % terhadap berat campuran, sehingga sifat-sifat agregat merupakan salah
satu faktor penentu dari kinerja campuran tersebut. Untuk tujuan ini, sifat agregat yang
harus diperiksa antara lain:

1. Ukuran Butir
Ukuran agregat dalam campuran beraspal terdistribusi dari yang berukuran besar sampai
ke yang kecil. Semakin besar ukuran maksimum agregat yang dipakai semakin banyak
variasi ukurannya dalam campuran tersebut.

Istilah-istilah lainnya yang biasa digunakan sehubungan dengan ukuran agregat, yaitu:

 Agregat kasar : Agregat yang tertahan saringan No. 8 (2.36 mm)


 Agregat halus : Agregat yang lolos saringan No. 8 (2.36 mm) tertahan saringan
No. 200 (0.075mm)
 Abu batu/mineral filler : Fraksi dari agregat halus yang 100 % lolos saringan No.
200 (0,075 mm)
Mineral pengisi dan mineral abu dapat terjadi secara alamiah atau dapat juga dihasilkan
dari proses pemecahan batuan atau dari proses buatan. Mineral ini penting artinya untuk
mendapatkan campuran yang padat, berdaya tahan dan kedap air. Walaupun begitu,
kelebihan atau kekurangan sedikit saja dari mineral ini, dapat menyebabkan campuran
terlalu kering atau terlalu basah. Perubahan sifat campuran ini bisa terjadi hanya karena
sedikit perubahan dalam jumlah atau sifat dari bahan pengisi atau mineral debu yang
digunakan. Oleh karena itu, jenis dan jumlah mineral pengisi atau debu yang digunakan
dalam campuran haruslah dikontrol dengan seksama.

2. Gradasi Agregat
Seluruh spesifikasi perkerasan mensyaratkan bahwa partikel agregat harus berada dalam
rentang ukuran tertentu dan untuk masing-masing ukuran pertikel harus dalam proporsi
tertentu. Distribusi dari variasi ukuran butir agregat ini disebut gradasi agregat. Gradasi
agregat mempengaruhi besarnya rongga dalam campuran dan menentukan sifat mudah
dikerjakan dan stabilitas campuran.

Gradasi agregat ditentukan oleh analisa saringan, dimana contoh agregat harus melalui
satu set saringan. Ukuran saringan menyatakan ukuran bukaan jaringan kawatnya dan
nomor saringan menyatakan banyaknya bukaan jaringan kawat per inchi per segi dari
saringan tersebut. Gradasi agregat dinyatakan dalam persentase berat masing-masing
contoh yang lolos pada saringan tertentu. Persentase ini ditentukan dengan menimbang
agregat yang lolos atau tertahan pada masing-masing saringan.

Gradasi agregat dapat dibedakan atas:


a. Gradasi seragam (uniform graded) adalah agregat dengan ukuran yang hampir
sama/sejenis. Gradasi seragam disebut juga gradasi terbuka karena hanya
mengandung sedikit agregat halus sehingga terdapat banyak ruang/rongga kosong
antara agregat. Agregat dengan gradasi seragam akan menghasilkan lapisan
perkerasan dengan sifat permeabilitas tinggi, stabilitas kurang, berat volume kecil.
b. Gradasi rapat (dense graded) merupakan campuran agregat kasar dan halus dalam
porsi yang berimbangsehingga dinamakan juga agregat bergradasi baik (well
graded).
c. Gradasi buruk/jelek (poorly graded) merupakan campuran agregat yang tidak
memenuhi dua kategori di atas. Gradasi ini disebut juga gradasi senjang dan akan
menghasilkan lapisan perkerasan yang mutunya terletak antara kedua jenis tersebut
di atas. (Sukirman S, 1999:45

Gambar 2.2 Jenis gradasi agregat


(Sumber: Sukirman, 1995)

3. Kebersihan Agregat
Kebersihan agregat menentukan sifat campuran perkerasan aspal yang akan dibuat.
Agregat yang berasal dari alam biasanya banyak mengandung kotoran-kotoran yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan yang telah membusuk, maupun dari batuan-batuan muda
yang mempunyai kekerasan yang rendah. Kotoran pada agregat juga dapat berupa lempung
yang tidak stabil struktur tanahnya. Untuk menganalisa sifat ini dapat dilakukan secara
visual, tetapi untuk mendapat hasil yang lebih baik bias dilakukan dengan penyaringan
basah. Selain itu khusus untuk menganalisa lempung yang terdapat pada agregat, dapat
dilakukan pengujian sand equivalent.

4. Kekerasan (Toughness)
Semua agregat yang digunakan harus kuat, mampu menahan abrasi dan degradasi
selama proses produksi dan operasionalnya di lapangan. Agregat yang akan digunakan
sebagai lapis permukaan perkerasan harus lebih keras (lebih tahan) dari pada agregat yang
digunakan untuk lapis bawahnya. Hal ini disebabkan karena lapisan permukaan perkerasan
akan menerima dan menahan tekanan dan benturan akibat beban lalu lintas paling besar.
Untuk itu, kekuatan agregat terhadap beban merupakan suatu persyaratan yang mutlak
harus dipenuhi oleh agregat yang akan digunakan sebagai bahan jalan. Uji kekuatan agregat
di laboratorium biasanya dilakukan dengan uji abrasi dengan mesin Los Angeles (Los
Angeles Abration Test).

5. Bentuk Butir Agregat


Agregat memiliki bentuk butir dari bulat (rounded) sampai bersudut (angular), seperti
yang diilustrasikan pada gambar 2.3 di bawah ini.

Gambar 2.3 Tipikal bentuk butir kubikal, lonjong dan pipih


(Sumber: Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 14, No. 2, Juli 2010)

Bentuk partikel agregat yang bersudut memberikan ikatan antara agregat (aggregate
interlocking) yang baik yang dapat menahan perpindahan (displacement) agregat yang
mungkin terjadi. Agregat yang bersudut tajam, berbentuk kubikal dan agregat yang
memiliki lebih dari satu bidang pecah akan mengasilkan ikatan antar agregat yang paling
baik.

Bentuk agregat tersebut dapat mempengaruhi workabilitas campuran perkerasan selama


penghamparan, yaitu dalam hal energi pemadatan yang dibutuhkan untuk memadatkan
campuran, dan kekuatan struktur perkerasan selama umur pelayanannya. Dalam campuran
beraspal, penggunaan agregat yang bersudut saja atau bulat saja tidak akan menghasilkan
campuran beraspal yang baik. Kombinasi penggunaan kedua partikel agregat ini sangatlah
dibutuhkan untuk menjamin kekuatan pada struktur perkerasan dan workabilitas yang baik
dari campuran tersebut.

6. Tekstur Permukaan Agregat


Selain memberikan sifat ketahanan terhadap gelincir (skid resisntance) pada permukaan
perkerasan, tekstur permukaan agregat (baik makro maupun mikro) juga merupakan faktor
lainnya yang menentukan kekuatan, workabilitas dan durabilitas campuran beraspal.
Permukaan agregat yang kasar akan memberikan kekuatan pada campuran beraspal karena
kekasaran permukaan agregat dapat menahan agregat tersebut dari pergeseran atau
perpindahan. Kekasaran permukaan agregat juga akan memberikan tahanan gesek yang
kuat pada roda kendaraan sehingga akan meningkatkan keamanan kendaraan terhadap slip.

Dilain pihak, film aspal lebih mudah merekat pada permukaan yang kasar sehingga akan
menghasilkan ikatan yang baik antara aspal dan agregat dan pada akhirnya akan
menghasilkan campuran beraspal yang kuat. Agregat yang berasal dari sungai biasanya
memiliki permukaan yang halus dan berbentuk bulat, oleh sebab itu agar dapat
menghasilkan campuran beraspal dengan sifat-sifat yang baik agregat sungai ini harus
dipecahkan terlebih dahulu. Pemecahan ini dimaksudkan untuk menghasilkan tekstur
permukaan yang kasar pada bidang pecahnya dan mengubah bentuk butir agregat.

7. Daya Serap Agregat


Keporusan agregat menentukan banyaknya zat cair yang dapat diserap agregat.
Kemampuan agregat untuk menyerap air dan aspal adalah suatu informasi yang penting
yang harus diketahui dalam pembuatan campuran beraspal. Jika daya serap agregat sangat
tinggi, agregat akan terus menyerap aspal baik pada saat maupun setelah proses
pencampuran agregat dengan aspal di unit pencampur aspal (AMP). Hal ini akan
menyebabkan aspal yang berada pada permukaan agregat yang berguna untuk mengikat
partikel agregat menjadi lebih sedikit, sehingga akan menghasilkan film aspal yang tipis.
Oleh karena itu, campuran yang dihasilkan tetap baik, agregat yang porus memerlukan
aspal yang lebih banyak dibandingkan dengan yang kurang porus.
8. Kelekatan Terhadap Aspal
Kelekatan agregat terhadap aspal adalah kecenderungan agregat untuk menerima,
menyerap dan menahan film aspal. Agregat hidrophobik (tidak menyukai air) adalah
agregat yang memiliki sifat kelekatan terhadap aspal yang tinggi, contoh agregat ini adalah
batu gamping dan dolomit. Sebaliknya, agregat hidrophilik (suka air) adalah agregat yang
memiliki kelekatan terhadap aspal yang rendah. Sehingga agregat jenis ini cenderung
terpisah dari film aspal bila terkena air. Kuarsit dan beberapa jenis granit adalah contoh
agregat hidrophilik.

2.3.3 Aspal
Aspal merupakan material yang berwarna hitam kecoklatan yang bersifat
viskoelastis sehingga akan melunak dan mencair bila mendapat cukup pemanasan dan
sebaliknya. Sifat viskoelastis inilah yang membuat aspal dapat menyelimuti dan menahan
agregat tetap pada tempatnya selama proses produksi dan masa pelayanannya. Pada
dasarnya aspal terbuat dari suatu rantai hidrokarbon yang disebut bitumen. Oleh sebab itu,
aspal sering disebut material berbituminous. Silvia Sukirman (1993) menyatakan bahwa,
berdasarkan cara diperolehnya aspal dapat dibedakan menjadi:

1. Aspal alam, dapat dibedakan menjadi :


 Aspal gunung (rock asphalt);
 Aspal danau (lake asphalt)
2. Aspal buatan
 Aspal minyak, merupakan hasil penyulingan minyak bumi
 Tar, merupakan hasil penyulingan batu bara.
2.4 Aspal Minyak Penetrasi 60/70
Aspal minyak penenetrasi 60/70 terbuat dari suatu rantai hidrocarbon dan
turunannya, umumnya merupakan residu dari hasil penyulingan minyak mentah pada
keadaan hampa udara, yang pada temperatur normal bersifat padat sampai ke semi padat,
mempunyai sifat tidak menguap dan secara berangsur-angsur melunak bila dipanaskan
pada suhu tertentu dan kembali padat jika didinginkan. Sementara itu aspal minyak AC-
60/70 yang digunakan pada hampir seluruh bahan kontruksi perkerasan lentur selama ini
memiliki nilai titik lembek 48-58 °C. Kenyataan ini menyebabkan terjadinya kerusakan
jalan seperti deformasi, rutting, serta stripping. Dan aspal penetrasi 60/70 harus memenuhi
persyaratan yang diberikan pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1 Persyaratan Aspal Minyak Penetrasi 60/70

No. Jenis Pengujian Metode Syarat


1 Penetrasi, 25 ºC, 100 gr,5 detik; 0,1 mm SNI 06-2456-1991 60 – 79
2 Titik Lembek; ºC SNI 06-2434-1991 48 – 58
3 Titik Nyala; ºC SNI 06-2433-1991 Min. 200
4 Daktilitas, 25 ºC; cm SNI 06-2432-1991 Min. 100
5 Berat jenis SNI 06-2441-1991 Min. 1,0
6 Kelarutan dalam Trichloro Ethylen;% berat SNI 06-2438-1991 Min. 99
7 Penurunan Berat (dengan TFOT); % berat SNI 06-2440-1991 Max. 0,8
8 Penetrasi setelah penurunan berat; % asli SNI 06-2456-1991 Min. 54
9 Daktilitas setelah penurunan berat; % asli SNI 06-2432-1991 Min. 50
Uji bintik (spot Tes) - Standar Naptha
10 AASHTO T. 102 Negatif
- Naptha Xylene - Hephtane Xylene

Sumber : (Dep.Kimpraswil 2007) Spesifikasi Campuran Aspal

BAB III
KONSTRUKSI INOVASI

3.1 INITIAL STUDY / DATA COLLECTION


Dalam tahap ini kami mencari data - data mengenai permasalahan yang sering terjadi
di jalan raya, khususnya kerusakan konstruksi perkerasan jalan raya yang sering
menyebabkan kemacetan bahkan kecelakaan bagi pengguna lalu lintas.

3.1.1 Penyebab Kerusakan Jalan Raya


Faktor kerusakan jalan sangat beragam, seperti faktor kerusakan konstruksi lain pada
umunya. Secara teori jalan rusak karena beban yang yang melewatinya. Kerusakan jalan
berbeda dengan kerusakan bangunan seperti jembatan. Pada jembatan, jika dibebankan
dengan beban yang lebih besar dari batas maksimum, maka jembatan langsung ambruk.
Pada jalan, kerusakan disebabkan oleh repetisi atau pengulangan beban. Artinya beban
kendaraan berat sekali lewat mungkin tidak menyebabkan kerusakan jalan, tetapi jika terus
menerus jalan pasti mengalami kerusakan. Artinya kerusakan jalan disebabkan oleh
kelelahan akibat beban berulang.

Hampir semua jalan menggunakan campuran agregat batu pecah dan aspal. Musuh
utama aspal adalah air, karena air bisa melonggarkan ikatan antara agregat dengan aspal.
Kerusakan yang umum terjadi di jalan perkotaan adalah adanya air yang menggenangi
permukaan jalan. Pada saat ikatan aspal dan agregat longgar karena air, kendaraan yang
lewat memberi beban yang merusak ikatan tersebut dan permukaan jalan pada akhirnya.
Tipikal kerusakan karena pengaruh air adalah lubang. Sekali lubang terbentuk, maka air
tertampung di dalamnya sehingga dalam hitungan minggu lubang yang semula membesar
dengan cepat. Itulah sebabnya kerusakan jalan sering dikatakan bersifat eksponensial.
Ketika ikatannya longgar, sebenarnya tidak masalah kalau tidak ada beban. Namun, ketika
ikatannya longgar lalu ada kendaraan lewat, inilah yang mengawali kerusakan. Awalnya
muncul lubang kecil, kecil tadi semakin membesar. Hubungan kerusakan jalan terhadap
waktu terjadi secara eksponensial. Sebenarnya, ketika jalan didesain, jalan harus kuat
terhadap beban lalu lintas. Umur rencana 5 tahun umumnya diterapkan untuk jalan baru.
Jalan yang rusak karena beban biasanya bercirikan retak dan kadang disertai dengan
amblas.

Di Provinsi Bali khususnya di Kabupaten Badung, kerusakan jalan provinsi


melampaui rata-rata. Dari data Oktober 2011, dari total 103,58 km, sepanjang 48,95 km
mengalami kerusakan dan 21,45 km dalam kondisi sedang, hanya 33,18 km yang
kondisinya baik. Itu berarti sekitar 49 persen jalan provinsi di Kabupaten Badung
mengalami kerusakan. Data dari Dinas Bina Marga dan Pengairan Badung, di Badung
terdapat 13 ruas jalan provinsi. Sebanyak 11 ruas jalan masuk kategori rusak. Kerusakan
terparah di ruas jalan Denpasar-Petang, di mana kerusakannya sepanjang 10 km dari total
panjang jalan 27,72 km. Jalan Petang-Batunya juga mengalami kerusakan sepanjang 6,3
km. Jalan Jimbaran-Uluwatu rusak sepanjang 5 km. Sementara kondisi jalan nasional jauh
lebih baik dari jalan provinsi. Dari total 46,284 km, hanya 9,88 km mengalami kerusakan,
8,766 km kondisinya berkategori sedang dan 27,638 km dalam kondisi baik.

Kerusakan jalan memang menjadi keluhan klasik masyarakat. Bahkan tak jarang,
warga melakukan bentuk protes menanam pohon di jalan yang berlubang. Aksi ini
dilakukan sebagai bentuk protes kepada Pemerintah provinsi karena membiarkan jalan
tersebut rusak dan telah banyak menimbulkan kecelakaan lalu lintas.

3.1.2 Contoh Kasus Kerusakan Jalan Raya


a. Unik, Jalan berlubang tidak diperbaiki warga unggah ke Facebook

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Akun fecebook milik Bendo Manuaba,


mendadak mendapat perhatian dari sejumlah rekan-rekannya, setelah memposting dirinya
tengah menanam pohon pisang ditepi jalan raya yang berlubang pada Kamis (19/2/2015).
Dalam foto tersebut, Bendo menuliskan, warga menanam pohon di jalan tersebut karena
sering terjadi kecelakaan. "Jalan berlubang ditanamai pohon pisang oleh warga, karena
sering terjadi kecelakaan," tulis Bendo. Foto yang disertai caption tersebut memang
menggelitik. Walhasil sejumlah komentar pun bermunculan. Ada yang menanggapi
dengan serius, ada juga yang menjadikannya dagelan. Seperti pemilik akun bernama,
@Budha yang berkomentar "Yaahh rajin san wargae memule biyu kal paek galungan.
Kikikiki serbuuu...," (lucu, warga sekarang mendadak rajin menanam pisang lantaran hari
raya galungan sudah dekat) tulisnya. Setelah itu, ia kemudian menanggapinya dengan
cukup serius.

Budha berkomentar harusnya tokoh-tokoh masyarakat dikumpulkan jika terjadi hal


seperti ini. Selain itu, ia sedikit menyentil, tulis dia, sejak tahun 2013, Desa Kendran sudah
ditetapkan sebagai kawasan wisata. Selain pola pikir dan sikap warga, sarana jalan juga
harus representatif. Sementara itu, akun @Sumerta Wyn LD mengatakan, "jalan berlubang
seperti itu baik digunakan untuk ajang offroad. "Luwungan ngae ipen ofroad qan bengelah
lintasan kakakakakak gaspooollllk," tulisnya bercanda.
Menanggapi hal tersebut, Kadis PU Kabupaten Gianyar, Ida Bagus Sudewa
mengaku kaget saat mendengar warga menanam pohon pisang di jalan yang berlubang. Ia
sendiri, tambahnya belum mendapatkan laporan dari pihak manapun. Rencananya besok ia
akan turun ke lapangan untuk melakukan pengecekan.3.3.2 Warga Tanam Pohon Pisang
Di Jalan Berlubang.

b. Warga Tanam Pohon Pisang Di Jalan Berlubang

Boyolali, jurnalsumatra.com – Sejumlah warga menanam pohon pisang di sejumlah


titik jalan yang berlubang jalur Randusari-Kopen, tepatnya di Dusun Nepen RT 02 RW 04
Teras, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Jumat. Warga menyatakan mereka menanam
pohon pisang di jalan yang berlubang di Desa Kopen tersebut karena banyak sudah banyak
pengendara yang menjadi korban terjatuh atau mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal
akibat jalur rusak parah.

Rozi (63), salah satu warga Nepen, mengatakan, warga terpaksa menanam jalan
yang berlubang dengan pohon pisang hanya memberikan tanda agar pengendara yang
melintas tidak menjadi korban kecelakaan lalu lintas. “Jalan Desa Randusari- Kopen itu,
rusak para karena banyak dilalui kendaraan pasir dari arah Kabupaten Klaten, dan truk
kontainer dari perusahan garmen. Kondisi ini, sudah lama terjadi, tetapi jalan belum ada
perbaikan,” kata Rozi. Menurut dia, jalur tersebut setiap hari dilalui ratusan pengedara yang
mayoritas pegawai pabrik, sehingga dengan tanda pohon pisang di jalan yang berlubang
tersebut diharapkan tidak ada korban lagi yang mengalami kecelakaan lalu lintas akibat
terperosok ke lubang. Bahkan, kata dia, pada musim hujan saat ini, jalan yang berlubang
tertutup air, sehingga pengendara harus ekstra hati-hati saat melintas. Karena, mereka bisa
terperosok ke lubang jalan karena tidak mengenal jalan. “Pohon pisang itu, hanya sebagai
tanda agar tidak terjadi kecelakaan lalu lintas,” katanya

Selain itu, pihaknya juga berharap Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Boyolali segera
memperbaiki jalan yang rusak tersebut, karena sudah puluhan pengendara sepeda
motor yang terjatuh terperosok lubang jalan, tetapi kejadia itu, memang tidak sampai ada
korban jiwa. Warga lainnya, Atmo Pawiro (62) mengatakan, pohon pisang tersebut
ditanam warga karena beberapa kali karyawan pabrik yang melintas terjatuh akibat jalan
berlubang. Warga merasa khawatir mengantisipasi dengan tanam pohon pisang agar
jumlah korban kecelakaan lalu lintas tidak bertambah. Mereka akan lebih berhati-hati jika
ada tanda pohon pisang ini.

“Jalan ini biasa dilewati para karyawan pabrik. Mereka kebanyakan buru-buru,
sehingga banyak yang tidak bisa menghindari lubang dan terjatuh,” katanya. Namun, kata
dia, dengan kondisi jalan yang rusak parah tersebut kelihatan belum ada upaya perbaikan
dari pemerintah. “Warga berharap segera diperbaiki agar jalan lebih nyaman,” katanya
(anjas).

Gambar 3.1 Warga menanam pohon di jalan berlobang


(Sumber: jurnalsumatra.com)

3.2 BRAINSTORMING
Ditahap ini kami mencoba untuk berdiskusi dan menemukan solusi yang tepat untuk
mengatasi permasalahan mengenai kerusakan konstruksi jalan raya. Dari hasil diskusi
kelompok, maka kami mengusulkan untuk menggunakan Beton Berpori sebagai solusi
mengatasi kerusakan konstuksi jalan raya yang ramah lingkungan.
3.3 ALTERNATIVE
3.3.1 Beton Berpori (Pervious Concrete)

Beton Berpori adalah salah satu tipe spesial dari beton dengan karakteristik
porositas yang tinggi. Biasanya digunakan untuk aplikasi pada lantai, karena pada beton
ini dapat mengalirkan air dari hujan maupun sumber lainnya sehinggga air tidak mengalir
dipermukaan tapi langsung dapat meresap ke dalam tanah. Dengan demikian dengan
menggunakan beton tipe ini pada flatwork application dapat mereduksi runoff pada suatu
tempat dan dapat mengisi kembali level air tanah.

Porositas (void content) dari beton berpori ini berkisar 18% - 35% dengan kuat
tekan berkisar antara 2,7 MPa - 37,5 MPa. Tingkat infiltrasi yang dapat diperoleh dengan
Beton Berpori adalah antara 80 – 720 L/ m2 (Obla K, 2007). Biasanya Beton Berpori
menggunakan sedikit atau tidak sama sekali pasir, beton ini hanya menggunakan aggregat
dan semen untuk memperbesar void rasio. Dibandingkan beton normal, beton pervious
memiliki kuat tekan yang lebih kecil, permeabilitas lebih besar, dan berat volume lebih
rendah.

Gambar 3.2. Perbandingan antara beton normal dengan beton pervious.

(Chopra dkk, 2006)

3.3.2 Aplikasi Beton Berpori (Pervious Concrete)

Beton Berpori bukanlah sesuatu teknologi yang baru, tercatat bahwa


penggunaannya pertama kali telah dilakukan pada tahun 1852 (Ghafoori dkk, 1995).
Namun, walupun demikian, teknologi pada beton berpori selalu menarik unutk dipelajari
dan dikaji ulang, arena penggunaannya akhir-akhir ini sangat bermanfaaat dan penting
untuk diterpakan. Terlebih lagi sudah banyak Negara yang menerapkan peraturan tentang
penerapannya. Amerika misalnya, melalui The USA Environmental Protection Agency’s
(EPA), menerapkan peraturan bahwa seluruh kotamadya di daerah kependudukan untuk
mereduksi polutan dan surface runoff di daerah perkembangan baru, yaitu dengan
menyediakan daerah resapan hujan minimal 25% dari daerah tersebut.

Akibat dari regulasi tersebut, untuk mengembangkan Real Estate menjadi sangat
mahal karena harus memenuhi kebutuhan dari sistem drainase yang disyaratkan. Oleh
karena itu beton berpori menjadi salah satu solusi untuk mereduksi surface runoff dengan
harga lebih ekonomis daripada harus memperluas daerah resapan hujan dengan
menyediakan ruang terbuka hijau. Namun demikian, penggunaan beton berpori terkendala
karena ketahanannya terhadap beban berat. Beton berpori biasanya digunakan pada area
dengan kepadatan kendaraan rendah.

3.3.3 Komposisi Beton Berpori

Seperti halnya beton normal komposisi yang digunakan untuk beton berpori tidak
jauh berbeda, dimana material umum yang digunakan tetaplah semen, agregat, admixture
dan air. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses pembuatan beton berpori adalah:

A. Agregat

Agregat adalah butir-butir batu pecah, kerikil, pasir, atau mineral lain, berasal dari alam
maupun buatan yang berbentuk mineral padat berupa ukuran besar maupun kecil. Agregat
sendiri merupakan komponen utama dari berbagai macam konstruksi, mulai dari
konstruksi struktural yang menggunakan beton sampai dengan infrastruktur perkerasan
jalan. Sebagai perkerasan, agregat sendiri berkisar 90 – 95% berdasarkan persentase berat
keseluruhan dan 75 – 85% dari persentase volume perkerasan. Sehingga kualitas dari
pekerjaan struktur dan infrastruktur seperti beton dan perkerasan jalan ditentukan dari sifat
agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain. Pada campuran beton agregat
digunakan sebagai bahan pengisi, untuk mengurangi penyusutan pada waktu beton
mengeras (stabilitas volume), serta meningkatkan kekuatan dan keawetan dari beton.

Karakteristik bagian luar agregat, terutama bentuk partikel dan tekstur permukaan
agregat memegang peranan yang sangat penting, terutama pada campuran beton. Dimana
batuan yang berbentuk kaku memiliki permukaan yang rata dan kasar, sehingga tiap
permukaan batuan akan saling mengikat satu sama lain. Dengan permukaan yang kaku
agregat akan saling mengunci posisi, membuat agregat menolak pergerakan memutar serta
pergeseran antar agregat. Sedangkan untuk agregat yang berbentuk bulat akan mudah
untuk saling berputar dan bergeser, dimana permukaan agregat yang licin dapat
mengurangi ikatan antara pasta beton dengan agregat itu sendiri. Sehingga biasanya
agregat yang digunakan dihancurkan terlebih dahulu untuk mendapatkan agregat yang
tidak berbentuk bulat.

Gambar 3.3 Batuan Kaku Dengan Sudut (a) Batuan Bulat (b)

(Sumber: Fergunson 2005)

B. Semen

Semen yang biasa digunakan adalah semen Portland yaitu semen hidrolik yang
dihasilkan dengan menggiling klinker yang terdiri dari kalsium silikat hidrolik dan bahan
tambahan berbentuk kalsium sulfat. Fungsi semen adalah untuk mempersatukan agregat
kasar dan agregat halus menjadi satu kesatuan yang kuat setelah semen bereaksi dengan
air. Semen yang dibutuhkan dalam pembuatan beton berpori sebaiknya dalam kondisi yang
baik serta memenuhi standard SNI 15-2049-2004 mengenai semen Portland. Jenis semen
yang digunakan adalah Portland Composite Cement.

C. Air

Kualitas air yang digunakan dalam campuran beton berpori tidak berbeda dengan
beton normal, dimana air yang digunakan memiliki kualitas yang baik juga. Sesuai dengan
persyaratan SNI 03-6817-2002, air yang dapat digunakan dalam proses pencampuran beton
adalah sebagai berikut:

1. Air yang digunakan pada campuran beton harus bersih dan bebas dari bahan-bahan yang
merusak yang mengandung oli, asam, alkali, garam, bahan organik, atau bahan-bahan
lainnya yang merugikan terhadap beton atau tulangan.

2. Air pencampur yang digunakan pada beton prategang atau pada beton yang di dalamnya
tertanam logam aluminium, termasuk air bebas yang terkandung dalam agregat, tidak
boleh mengandung ion klorida dalam jumlah yang membahayakan.

3. Air yang tidak dapat diminum tidak boleh digunakan pada beton, kecuali ketentuan
berikut terpenuhi.

Faktor air semen berpengaruh sangat besar, dimana terlalu banyak air pada
campuran akan mengakibatkan rongga-rongga pada beton berpori akan tertutup oleh pasta
semen yang cair (bleeding). Sedangkan terlalu sedikit air akan membuat beton menjadi
rapuh karena daya lekat semen dan antar agregat tidak sempurna, sehingga membuat
ketahanan serta kuat tekan beton berpori menurun. Pengaruh kurangnya air pada campuran
beton berpori sangat dirasakan ketika proses pelepasan benda uji dari cetakan dilakukan,
dimana beton berpori yang rapuh sangat mudah hancur ketika dilepas dari cetakannya.
Sehingga air tidak dapat ditambahkan sembarangan saat pengadukan pasta beton, tetapi
harus disesuaikan dengan kebutuhan dalam kemudahan pengerjaan serta mutu beton yang
diinginkan.

Gambar 3.4 Campuran Beton Kelebihan Air

(Pervious Concrete Pavements, Portland Cement Association)

Gambar 3.5 Campuran Beton Kekurangan Air

(Pervious Concrete Pavements, Portland Cement Association)

Menurut ACI 522R-10 persentase faktor air semen yang paling baik dicapai oleh
beton berpori pada 0,26 sampai dengan 0,45, dimana memberikan kondisi pasta yang stabil
dan lapisan yang cukup merata pada agregat.
Gambar 3.6 Campuran Beton Deangan Jumlah Air yang Tepat

(Pervious Concrete Pavements, Portland Cement Association)

D. Kuat Tekan Beton Berpori

Persyaratan standard mengenai mutu beton berpori belum terdapat pada SNI, sehingga
nilai kuat tekan beton penelitian yang dilakukan berpacu pada nilai mutu yang tercantum
pada SNI 03-0691-2002 tentang Bata Beton (Paving Block). Dimana klasifikasi bata beton
dibagi menjadi 4 jenis menurut kelas penggunaannya, yaitu :

- Bata beton mutu A : digunakan untuk jalan.

- Bata beton mutu B : digunakan untuk pelataran parkir.

- Bata beton mutu C : digunakan untuk pejalan kaki (sidewalk)

- Bata beton mutu D : digunakan untuk taman dan penggunaan lain.

Mutu bata beton memiliki kuat tekan minimum sebagai berikut :

Tabel 3.1 Mutu Bata Beton (Paving Block)

E. Porositas Beton Berpori


Yang membuat beton berpori berbeda dengan beton normal adalah rongga - rongga
pada struktur beton, dimana rongga dihasilkan dari tidak digunakannya agregat halus atau
hanya sedikit agregat halus yang digunakan sebagai pengisi. Rongga-rongga ini memiliki
tujuan agar cairan dapat mengalir melalui struktur beton, sehingga membuat beton dapat
ditembus oleh air (permeabel). Nilai besarnya porositas beton berpori sendiri dipengaruhi
oleh seberapa besar rongga yang dihasilkan oleh beton berpori, dimana semakin besar
rongga yang dihasilkan akan memberikan nilai permeabilitas yang semakin besar juga,
dimana air akan lebih mudah untuk mengalir pada struktur beton. Semakin besarnya pori
yang dihasilkan juga dapat membuat beton berpori menjadi lebih mudah untuk dibersihkan
pada proses pemeliharaan karena akan mengurangi kemungkinan pori-pori beton
tersumbat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Ready Mixed Concrete


Association, nilai porositas dari beton berpori adalah beragam berdasarkan besarnya
rongga yang dihasilkan oleh beton berpori. Nilai porositas yang didapatkan biasanya
sebesar 480 in./jam (0.34 cm/detik atau sebesar 3,4 x10-3 m/detik) dimana nilai
permeabilitas yang lebih besar dapat dicapai.

F. Karakteristik Campuran Beton Berpori

Kinerja beton berpori diperoleh melalui hasil pengujian karakteristik campuran


beraspal. Spesifikasi untuk beton berpori dibatasi pada nilai-nilai sebagai berikut:

Tabel 3.2 Standar Kinerja beton berpori

Stability > 500 Kg


Flow 2 – 6 mm
Void in Mix 10% – 25 %
Marshall Question > 200 kg/mm
Permeabilitas > 10-1 cm/detik
Porositas 10% – 30 %
Cantabro Loss < 15 %
Binder Drain Down 0,3%

(Sumber: Nur Ali et al, 2010)

3.3.4 Metode pelaksanaan Konstruksi Beton berpori


Sebelum memulai konstruksi pastikan bahwa area yang digunakan tidak berlumpur
dan jenuh air. Kemudian tanah dasar diratakan untuk mendapatkan elevasi yang tepat
(biasanya pada tanah dasar tidak dilakukan pemadatan), kemudian penempatan geotekstil
diatas lapisan tanah dasar apabila digunakan. Setelah itu dilakukan pekerjaan subbase,
dimana lapisan ini dipadatkan sesuai dengan spesifikasi perencanaan yang dibutuhkan.
Pengecoran lapisan permukaan dilakukan dengan menggunakan bekisting sebagai batas
atau cetakan dalam penempatan beton berpori.
Pekerjaan perkerasan dengan beton berpori dilakukan dengan segera mungkin,
dikarenakan perencanaan spesifikasi awal adonan semen tidak memilki kandungan air
yang berlebih. Adonan beton berpori yang tidak terlindungi dalam waktu yang lama akan
mengurangi kandungan air pada adonan beton, hal ini akan mengakibatkan berkurangnya
air yang dibutuhkan dalam proses hidrasi. Proses pemadatan dilakukan dengan
menggunakan penggilas setelah adonan beton berpori rata. Untuk pekerjaan skala besar
bisanya digunakan penggilas 3,7 m dan berat 227 kg, sedangkan penggilas kecil memiliki
berat 32 kg.
Gambar 3.7 Alat Penggilas Besar
(Florida Concrete & Product Assosiation) Gambar 3.8 Alat Penggilas
Kecil
(American Concrete
Institue)

Sambungan pada beton berpori dilakukan sesegera mungkin setelah proses


pemadatan. Proses sambungan dilakukan dengan menggunakan alat yang menyerupai
penggilas, akan tetapi terdapat semacam pisau pada bagian tengahnya. Proses sambungan
dilakukan untuk mengontrol keretakan yang mungkin terjadi pada proses pemasangan
perkerasan beton berpori.

Gambar 3.9 Proses Pembentukan Ruas Beton Berpori

(Tri-North Builders)
Proses curing dilakukan 20 menit dari proses pengecoran. Semakin cepat proses
curing dilaksanaan semakin baik, hal ini dilakukan untuk menghindari proses dehidrasi
pada permukaan lapisan beton berpori. Dimana seluruh permukaan beton berpori dilapisi
oleh polyethylene sheet. Kemudian diletakan pemberat seperti kayu atau benda lain untuk
mencagah lembaran penutup diterbangkan oaleh angin atau hujan. Proses curing sendiri
berlangsung minimal selama 7 hari.

3.3.5 Perawatan Beton Berpori


Perawatan perkerasan dengan menggunakan beton berpori haruslah dilakukan
secara berkala. Mengingat air yang mengalir melewati beton memungkinkan untuk
membawa polusi yang larut dalam air maupun yang tidak larut, serta juga sampah yang
dapat menyumbat rongga-rongga pada beton. Kebanyakan dari serpihan-serpihan ini akan
tersimpan dekat dengan permukaan beton berpori sehingga dibutuhkan perawatan khusus
dalam mengatasinya.

Dilakukannya vacuming atau power blowing untuk membersihkan pori-pori pada


beton berpori apabila terjadi penyumbatan pada beton berpori. Power blowing atau
pressure washing cukup efektif dalam mendorong serpihan serpihan yang menyumbat
turun kebagian bawah beton, tetapi penggunaan tekan an yang terlalu besar dapat merusak
beton berpori. Kemudian proses vacuming dapat menyedot serpihan-serpihan yang ada
pada rongga-rongga beton berpori pada proses pembersihan.

Gambar 3.10 Sebelum Proses Power Vacuum

(PCA-Northeast Cement Shippers Association)


Gambar 3.11 Setelah Proses Power Vacuum

(PCA-Northeast Cement Shippers Association)

Disarankan proses pemeliharaan beton berpori dilakukan secara berkala. Proses


vacuuming atau power blowing dapat dilakukan seperlunya atau sekitar 2 sampai 3 kali
selama 1 tahun. Proses vacuming atau power blowing pada beton berpori dapat mencegah
penyumbatan berkelangsungan yang tidak terlihat oleh mata. Pemeliharaan yang teratur
dapat menjaga kondisi beton berpori tetap baik dan memastikan beton berpori masih
berfungsi dengan baik.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 KEUNTUNGAN BETON BERPORI SEBAGAI PERKERASAN


Keuntungan yang diapatkan dengan menggunakan beton berpori sebagai
perkerasan adalah:

a. Pengolahan air hujan lebih baik, beton berpori sebagai material konstruksi yang
multifungsi selain berfungsi sebagai komponen struktural juga berfungsi sebagai
saluran drainase air masuk ke dalam tanah sehingga mampu mengurangi
limpasan permukaan.

b. Membantu menambah cadangan penyimpanan air tanah, dengan air hujan yang
langsung mengalir ke dalam tanah maka akan membantu tanah dalam
menambah cadangan air yang biasanya tidak terjadi pada perkerasan yang tidak
tembus air.
c. Mengurangi potensi banjir, penanganan air hujan membantu peresapan air lebih
baik dimana lahan permukaan peresapan air ke dalam tanah menjadi lebih luas.

d. Mengurangi kelicinan pada jalan terutama pada saat hujan, permukaan yang
lebih kasar dari perkerasan normal sangat membantu pada saat terjadinya hujan.

Gambar 4.1 Pengaplikasian beton berpori untuk Perkerasan Jalan Terintegrasi


dengan Sistem Drainase

(Hardiyatmo, H.C. 2007)

e. Membantu peresapan air lebih baik ke tanah sehingga dapat mencapai akar
pepohonan walau perkerasan menutupi pohon.

f. Dapat didaur ulang, tidak seperti pada beton konvensional, setelah mencapai
umur rencana beton berpori dapat didaur ulang menjadi material beton berpori
yang baru sehingga tidak menimbulkan limbah buangan.

g. Instalasi yang lebih cepat, dimana proses pemasangan beton berpori akan lebih
cepat selesai jika dibandingkan dengan pemasangan perkerasan bata beton.

h. Rongga pada beton berpori dapat meredam kebisingan suara yang ditimbulkan
oleh roda kendaraan, hal ini disebabkan karena pori-pori pada beton terbentuk
secara tidak teratur dan memiliki permukaan yang tidak rata, sehingga
gelombang suara yang dipantulkan secara baur oleh pori-pori pada beton
menjadi saling bertumbukan dan saling meredam.

Gambar 4.2 Pantulan Gelombang Suara


(Hardiyatmo, H.C. 2007)

i. Mengurangi tingkat pencemaran terhadap air tanah, fungsi utama beton berpori
adalah mengalirkan air yang ada di permukaan sehingga dapat diserap oleh
tanah. Karena tidak menggunakan bahan kimia berbahaya di dalam campuran
beton, maka potensi tercemarnya air tanah menjadi semakin kecil.

j. Dibandingkan dengan beton aspal dan perkerasan bata beton, perkerasan dengan
menggunakan beton berpori memiliki keuntungan berjangka panjang. Walaupun
biaya awal pada beton berpori lebih mahal dibandingkan dengan beton aspal,
tetapi karena kekuatan dan daya tahan beton berpori yang lebih besar
dibandingkan dengan aspal ataupun bata beton, maka menyebabkan biaya
pemeliharaan yang diperlukan pada beton berpori selama umur rencana beton
menjadi lebih kecil.

k. Mengurangi penggunaan lahan untuk drainase, pemanfaatan lahan yang lebih


efisien dengan mengurangi kebutuhan penyediaan kolam penyimpanan air
hujan, selokan, dan sarana pengelolaan air hujan lainnya.

4.2 KEKURANGAN BETON BERPORI SEBAGAI PERKERASAN

Namun, dibalik keuntungan yang bisa diperoleh, beton berpori juga memiliki
keterbatasan dan butuh banyak pertimbangan dalam perencanaannya. Kekurangan
potensial lain yang dimiliki adalah:

a. Kurang baik digunakan untuk perkerasan yang membutuhkan kuat tekan besar atau
lalu lintas yang padat, hal ini dikarenakan oleh nilai kuat tekan beton berpori yang
relatif kecil membuat aplikasi beton berpori sebagai perkerasan jalan sangat terbatas.

b. Dibutuhkan waktu proses curing yang lebih lama, dimana proses curing beton
berpori harus dilakukan sesegera mungkin dari saat pengecoran dan baru selesai
kurang lebih sekitar 7 hari.

c. Sensitif terhadap faktor air semen sehingga dibutuhkan kontrol air yang cermat
karena untuk mengontrol kadar air beton berpori di lapangan sangatlah sulit, terlebih
pada keadaan cuaca yang panas atau terlalu dingin.

d. Kurangnya standarisasi mengenai beton berpori dalam bidang pengujian, metode


serta perencanaan di Indonesia.
4.3 SIMULASI HARGA
4.3.1 Perkerasan Lentur
Berikut adalah diagram alir perkerasan lentur pada periode perencanaan 20 tahun.

Gambar 4.3 Diagram alir Perkerasan lentur


(Hardiyatmo, H.C. 2007)

Diasumsi : Biaya Awal = Pa = Rp. 178.703

Biaya Pemeliharaan = Pp = Rp. 149.714

Biaya Peningkatan = Pn = Rp. 154.714

AW = Pa(A/P,i,n) + Pp(A/F,i,n) + Pn(A/F,i,n)

= 178.703 (A/P,14%,20) + 178.703 (P/F,14%,10)


(A/P,14%,20) + 149.714 + (154.714 - 149.714)
(P/F,14%,5) (A/P,14%,20) + (154.714 - 149.714) +
(P/F,14%,15) (A/P,14%,20)

= Rp. 184.417,-/m2

4.3.2 Beton Berpori


Berikut adalah diagram Alir kas Beton berpori pada periode Perencanaan 20 tahun.
Gambar 4.4 Diagram alir beton berpori
(Hardiyatmo, H.C. 2007)

Diasumsi : Biaya Awal = Pa = Rp. 697.531

Biaya Pemeliharaan Berkala = Pb = Rp. 529.570

AW = Pa (A/P,i,N) + Pb (A/F,i,N) + Pb (A/F,i,N) + Pb (A/F,i,N)

= 697.531 (A/P,14%,20) + 529.570


(P/F,14%,10)(A/P,14,%,20) + 529.570 (P/F,14%,15)
(A/P,14,%,20) + 529.570 (P/F,14%,20) (A/P,14,%,20)

= Rp. 142.232 / m2.

BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
a. Kerusakan konstruksi jalan raya dapat disebabkan oleh repetisi beban, sehingga
menyebabkan kelelahan akibat beban berulang, dan juga disebabkan oleh
sistem drainase yang tidak baik.
b. Pada Beton Berpori didapatkan biaya sebesar Rp. 142.232/m2, sedangkan
pada perkerasan lentur didapat biaya yang lebih kecil yaitu Rp.184.471,-/m2.
Jadi dengan menggunakan Beton Berpori maka biaya yang dikeluarkan lebih
ekonomis dibandingkan dengan Perkerasan Lentur. Beton berpori juga
berfungsi sebagai; Pengolahan air hujan lebih baik, membantu menambah
cadangan penyimpanan air tanah, mengurangi potensi banjir, mengurangi
penggunaan lahan untuk drainase, mengurangi kelicinan pada jalan terutama
pada saat hujan, membantu peresapan air lebih baik ke tanah, dapat didaur
ulang, dan rongga pada beton berpori dapat meredam kebisingan suara yang
ditimbulkan oleh roda kendaraan,

5.2 SARAN
a. Pemerintah hendaknya cepat tanggap dalam mengatasi permasalahan
kerusakan konstruksi jalan raya agar kerusakan yang kecil tidak semakin
membesar.
b. Perlu pengawasan yang maksimal saat Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi jalan
raya, agar kualitas yang dihasilkan dapat maksimal.

Diposting 27th May 2016 oleh Renhard Manurung

Tambahkan komentar

2.

May

27

UU RI Tentang Pengelolahan Sampah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 18 TAHUN 2008

TENTANG

PENGELOLAAN SAMPAH

BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu

Definisi

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

1. Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang
berbentuk padat.
2. Sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau volumenya
memerlukan pengelolaan khusus.
3. Sumber sampah adalah asal timbulan sampah.
4. Penghasil sampah adalah setiap orang dan/atau akibat proses alam yang
menghasilkan timbulan sampah.
5. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
6. Tempat penampungan sementara adalah tempat sebelum sampah diangkut ke
tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu.
7. Tempat pengolahan sampah terpadu adalah tempat dilaksanakannya kegiatan
pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan
pemrosesan akhir sampah.
8. Tempat pemrosesan akhir adalah tempat untuk memroses dan mengembalikan
sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
9. Kompensasi adalah pemberian imbalan kepada orang yang terkena dampak negatif
yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di tempat pemrosesan akhir
sampah.
10. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum.
11. Sistem tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka
pengendalian yang meliputi pencegahan dan penanggulangan kecelakaan akibat
pengelolaan sampah yang tidak benar.
12. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
13. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup
dan di bidang pemerintahan lain yang terkait.

Bagian Kedua
Ruang Lingkup

Pasal 2

(1) Sampah yang dikelola berdasarkan Undang-Undang ini terdiri atas :

a. Sampah rumah tangga;

b. Sampah sejenis sampah rumah tangga; dan

c. Sampah spesifik.

(2) Sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berasal dari
kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik.

(3) Sampah sejenis sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas
umum, dan/atau fasilitas lainnya.

(4) Sampah spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

a. Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun;

b. Sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun;

c. Sampah yang timbul akibat bencana;

d. Puing bongkaran bangunan;

e. Sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; dan/atau

f. Sampah yang timbul secara tidak periodik.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis sampah spesifik di luar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 3
Pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas
berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas
keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi.

Pasal 4

Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas


lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya.

BAB III

TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAHAN

Bagian Kesatu

Tugas

Pasal 5

Pemerintah dan pemerintahan daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan


sampah yang baik dan berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Pasal 6

Tugas Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 terdiri
atas:

a. Menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam


pengelolaan sampah;
b. Melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan, dan penanganan
sampah;
c. Memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan,
penanganan, dan pemanfaatan sampah;
d. Melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan
sarana pengelolaan sampah;
e. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah;
f. Memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang pada
masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah; dan
g. Melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar
terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah.

Bagian Kedua

Wewenang Pemerintah

Pasal 7

Dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah, Pemerintah mempunyai kewenangan:

a. Menetapkan kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah;


b. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sampah;
c. Memfasilitasi dan mengembangkan kerja sama antardaerah, kemitraan, dan jejaring
dalam pengelolaan sampah;
d. Menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja pemerintah
daerah dalam pengelolaan sampah; dan
e. Menetapkan kebijakan penyelesaian perselisihan antardaerah dalam pengelolaan
sampah.

Bagian Ketiga

Wewenang Pemerintah Provinsi

Pasal 8

Dalam menyelenggarakan pengelolaan sampah, pemerintahan provinsi mempunyai


kewenangan:

a. Menetapkan kebijakan dan strategi dalam pengelolaan sampah sesuai dengan


kebijakan Pemerintah;
b. Memfasilitasi kerja sama antardaerah dalam satu provinsi, kemitraan, dan jejaring
dalam pengelolaan sampah;
c. Menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja
kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah; dan
d. Memfasilitasi penyelesaian perselisihan pengelolaan sampah
antarkabupaten/antarkota dalam 1 (satu) provinsi.
Bagian Keempat

Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota

Pasal 9

(1) Dalam menyelenggarakan pengelolaan sampah, pemerintahan kabupaten/kota


mempunyai kewenangan:

a. Menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan


nasional dan provinsi;
b. Menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah;
c. Melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang
dilaksanakan oleh pihak lain;
d. Menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah
terpadu, dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah;
e. Melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama
20 (dua puluh) tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem
pembuangan terbuka yang telah ditutup; dan
f. Menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah
sesuai dengan kewenangannya.

(2) Penetapan lokasi tempat pengolahan sampah terpadu dan tempat pemrosesan akhir
sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan bagian dari rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyusunan sistem

tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f

diatur dengan peraturan menteri.

Bagian Kelima

Pembagian Kewenangan

Pasal 10

Pembagian kewenangan pemerintahan di bidang pengelolaan sampah dilaksanakan sesuai


dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB IV

HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu

Hak

Pasal 11

(1) Setiap orang berhak:

a. Mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan


lingkungan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pihak lain yang diberi
tanggung jawab untuk itu;
b. Berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan, dan
pengawasan di bidang pengelolaan sampah;
c. Memperoleh informasi yang benar, akurat, dan tepat waktu mengenai
penyelenggaraan pengelolaan sampah;
d. Mendapatkan pelindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari kegiatan
tempat pemrosesan akhir sampah; dan
e. Memperoleh pembinaan agar dapat melaksanakan pengelolaan sampah secara baik
dan berwawasan lingkungan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturanpemerintah dan peraturan daerah sesuai dengan
kewenangannya.

Bagian Kedua

Kewajiban

Pasal 12

(1) Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah
rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan
lingkungan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewajiban pengelolaan sampah
rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan peraturan daerah.
Pasal 13

Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus,


fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya wajib menyediakan fasilitas pemilahan
sampah.

Pasal 14

Setiap produsen harus mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan
pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau produknya.

Pasal 15

Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat
atau sulit terurai oleh proses alam.

Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan fasilitas pemilahan sampah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, tata cara pelabelan atau penandaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14, dan kewajiban produsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal

15 diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB V

PERIZINAN

Pasal 17

(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha pengelolaan sampah wajib memiliki izin
dari kepala daerah sesuai dengan kewenangannya.

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan Pemerintah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan daerah sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 18
(1) Keputusan mengenai pemberian izin pengelolaan sampah harus diumumkan kepada
masyarakat.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha pengelolaan sampah yang mendapatkan
izin dan tata cara pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan

daerah.

BAB VI

PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN SAMPAH

Bagian Kesatu

Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga

Pasal 19

Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga terdiri atas:

a. Pengurangan sampah; dan


b. Penanganan sampah.

Paragraf Kesatu

Pengurangan sampah

Pasal 20

(1) Pengurangan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi kegiatan:

a. Pembatasan timbulan sampah;


b. Pendauran ulang sampah; dan/atau
c. Pemanfaatan kembali sampah

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebagai berikut:.
a. Menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu
tertentu;

b. Memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan;

c. Memfasilitasi penerapan label produk yang ramah lingkungan;

d. Memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang; dan

e. Memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang.

(3) Pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna
ulang, dapat didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam.

(4) Masyarakat dalam melakukan kegiatan pengurangan sampah sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) menggunakan bahan yang dapat diguna ulang, didaur ulang, dan/atau mudah
diurai oleh proses alam.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengurangan sampah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 21

(1)Pemerintah memberikan:

a. Insentif kepada setiap orang yang melakukan pengurangan sampah; dan


b. Disinsentif kepada setiap orang yang tidak melakukan pengurangan sampah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, bentuk, dan tata cara pemberian insentif dan
disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf Kedua

Penanganan Sampah

Pasal 22
(1) Kegiatan penanganan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b meliputi:

a. Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan


jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah;
b. Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber
sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah
terpadu;
c. Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat
penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu
menuju ke tempat pemrosesan akhir;
d. Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah;
dan/atau
e. Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu
hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan sampah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah atau dengan peraturan
daerah sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Kedua

Pengelolaan Sampah Spesifik

Pasal 23

(1) Pengelolaan sampah spesifik adalah tanggung jawab Pemerintah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan sampah spesifik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB VII

PEMBIAYAAN DAN KOMPENSASI

Bagian Kesatu

Pembiayaan

Pasal 24

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan


sampah.
(2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah dan/atau peraturan daerah.

Bagian Kedua

Kompensasi

Pasal 25

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat
memberikan kompensasi kepada orang sebagai akibat dampak negatif yang ditimbulkan
oleh kegiatan penanganan sampah di tempat pemrosesan akhir sampah.

(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. Reloksasi
b. Pemulihan lingkungan;
c. Biaya kesehatan dan pengobatan; dan/atau
d. Kompensasi dalam bentuk lain.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dampak negatif dan kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi oleh pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah dan/atau
peraturan daerah.

BAB VIII

KERJA SAMA DAN KEMITRAAN


Bagian Kesatu

Kerja Sama antardaerah

Pasal 26

(1) Pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama antarpemerintah daerah dalam
melakukan pengelolaan sampah.

(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk kerja
sama dan/atau pembuatan usaha bersama pengelolaan sampah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kerja sama dan bentuk usaha bersama
antardaerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.

Bagian Kedua

Kemitraan

Pasal 27

(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat


bermitra dengan badan usaha pengelolaan sampah dalam penyelenggaraan pengelolaan
sampah.

(2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk perjanjian
antara pemerintah daerah kabupaten/kota dan badan usaha yang bersangkutan.

(3) Tata cara pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

BAB IX
PERAN MASYARAKAT

Pasal 28

(1) Masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

(2) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:

a. Pemberian usul, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah dan/atau pemerintah


daerah;
b. Perumusan kebijakan pengelolaan sampah; dan/atau
c. Pemberian saran dan pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara peran masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah dan/atau peraturan
daerah.

BAB X

LARANGAN

Pasal 29

(1) Setiap orang dilarang :

a. Memasukkan sampah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;


b. Mengimpor sampah;
c. Mencampur sampah dengan limbah berbahaya dan beracun;
d. Mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan;
e. Membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan;
f. Melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat
pemrosesan akhir; dan/atau
g. Membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan
sampah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, huruf c, dan huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e, huruf f, dan huruf g diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.

(4) Peraturan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
menetapkan sanksi pidana kurungan atau denda terhadap pelanggaran ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, huruf f, dan huruf g.

BAB XI

PENGAWASAN

Pasal 30

(1) Pengawasan terhadap kebijakan pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah dilakukan
oleh Pemerintah.

(2) Pengawasan pelaksanaan pengelolaan sampah pada tingkat kabupaten/kota dilakukan


oleh gubernur.

Pasal 31

(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pengelola
sampah dilakukan oleh pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun secara
bersamasama.

(2) Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan yang diatur oleh
Pemerintah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan pengelolaan sampah sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan daerah.
BAB XII

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 32

(1) Bupati/walikota dapat menerapkan sanksi administratif kepada pengelola sampah yang
melanggar ketentuan persyaratan yang ditetapkan dalam perizinan.

(2)Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. Paksaan pemerintahan;
b. Uang paksa; dan/atau
c. Pencabutan izin.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan sanksi administrative sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.

BAB XIII

PENYELESAIAN SENGKETA

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 33

(1) Sengketa yang dapat timbul dari pengelolaan sampah terdiri atas:

a. Sengketa antara pemerintah daerah dan pengelola sampah;dan


b. engketa antara pengelola sampah dan masyarakat.

(2) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui
penyelesaian di luar pengadilan ataupun melalui pengadilan.

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Bagian Kedua

Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Pasal 34

(1) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan dengan mediasi, negosiasi,


arbitrase, atau pilihan lain dari para pihak yang bersengketa.

(2) Apabila dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, para pihak yang bersengketa dapat mengajukannya ke
pengadilan.

Bagian Ketiga

Penyelesaian Sengketa di dalam Pengadilan

Pasal 35

(1) Penyelesaian sengketa persampahan di dalam pengadilan dilakukan melalui gugatan


perbuatan melawan hukum.

(2) Gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mensyaratkan penggugat membuktikan unsurunsur kesalahan, kerugian, dan hubungan
sebab akibat antara

perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan.

(3) Tuntutan dalam gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat berwujud ganti kerugian dan/atau tindakan tertentu.

Bagian Keempat

Gugatan Perwakilan Kelompok


Pasal 36

Masyarakat yang dirugikan akibat perbuatan melawan hukum dibidang pengelolaan


sampah berhak mengajukan gugatan melalui perwakilan kelompok.

Bagian Kelima

Hak Gugat Organisasi Persampahan

Pasal 37

(1) Organisasi persampahan berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pengelolaan


sampah yang aman bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan.

(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan
untuk melakukan tindakan tertentu, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

(3) Organisasi persampahan yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

a. Berbentuk badan hukum;


b. Mempunyai anggaran dasar di bidang pengelolaan sampah; dan
c. Telah melakukan kegiatan nyata paling sedikit 1 (satu) tahun sesuai dengan
anggaran dasarnya.

BAB XIV

PENYIDIKAN

Pasal 38

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang pengelolaan persampahan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang pengelolaan sampah;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang pengelolaan sampah;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang berkenaan dengan peristiwa tindak
pidana di bidang pengelolaan sampah;
d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang pengelolaan sampah;
e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti,
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap
bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang pengelolaan sampah; dan
f. Meminta bantuan ahli dalam pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
pengelolaan sampah.

(3) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.

(4) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.

BAB XV

KETENTUAN PIDANA

Pasal 39

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan dan/atau mengimpor sampah
rumah tangga dan/atau sampah sejenis sampah rumah tangga ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah);

(2) Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan dan/atau mengimpor sampah
spesifik ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia diancam dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah);
Pasal 40

(1) Pengelola sampah yang secara melawan hukum dan dengan sengaja melakukan
kegiatan pengelolaan sampah dengan tidak memperhatikan norma, standar, prosedur, atau
kriteria yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan,
pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan diancam dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau
luka berat, pengelola sampah diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

Pasal 41

(1) Pengelola sampah yang karena kealpaannya melakukan kegiatan pengelolaan sampah
dengan tidak memperhatikan norma, standar, prosedur, atau kriteria yang dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran
lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan diancam dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau
luka berat, pengelola sampah diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan

denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 42

(1) Tindak pidana dianggap sebagai tindak pidana korporasi apabila tindak pidana
dimaksud dilakukan dalam rangka mencapai tujuan korporasi dan dilakukan oleh pengurus
yang berwenang mengambil keputusan atas nama korporasi atau mewakili korporasi untuk
melakukan perbuatan hukum atau memiliki kewenangan guna mengendalikan dan/atau

mengawasi korporasi tersebut.


(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh atau atas nama
korporasi dan orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain yang bertindak dalam lingkungan korporasi, tuntutan pidana dan sanksi
pidana dijatuhkan kepada mereka yang bertindak sebagai pemimpin atau yang memberi
perintah, tanpa mengingat apakah orang dimaksud, baik berdasarkan hubungan kerja
maupun hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat panggilan ditujukan kepada pengurus pada alamat korporasi atau di
tempat pengurus

melakukan pekerjaan yang tetap.

(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap korporasi yang pada saat penuntutan diwakili oleh
bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan pengurus agar menghadap sendiri ke
pengadilan.

Pasal 43

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 42
adalah kejahatan.

BAB XVI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 44

(1) Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir
sampah yang menggunakan system pembuangan terbuka paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.

(2) Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang
menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak
berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 45

Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus,


fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya yang belum memiliki fasilitas
pemilahan sampah pada saat diundangkannya Undang-Undang ini wajib membangun atau
menyediakan fasilitas pemilahan sampah paling lama 1 (satu) tahun.

BAB XVII

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 46

Khusus untuk daerah provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat
(3) dan ayat (4), serta Pasal 32 merupakan kewenangan pemerintah daerah provinsi.

BAB XVIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 47

(1) Peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang diamanatkan Undang-Undang ini
diselesaikan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

(2) Peraturan daerah yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lama 3
(tiga) tahun terhitung sejak Undang- Undang ini diundangkan.

Pasal 48

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang


berkaitan dengan pengelolaan sampah yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 49
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

www.hukumonline.com

Diposting 27th May 2016 oleh Renhard Manurung

Tambahkan komentar

2.

Mar

11

Bentuk-bentuk Kontrak Konstruksi


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan
budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna
menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, penyelenggaraan
jasa konstruksi perlu diatur lebih lanjut untuk mewujudkan tertib pengikatan dan
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Peraturan mengenai jasa konstruksi diatur dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (“UU No. 18/1999”),
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
(“PP No. 29/2000”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan
atas PP No. 29/2000 (“PP No. 59/2010”).

Dalam suatu pekerjaan konstruksi, dikenal 2 (dua) pihak, yaitu pihak pengguna jasa
dan pihak penyedia jasa. Pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa ini terikat dalam
suatu hubungan kerja jasa konstruksi, dimana hubungan kerja tersebut diatur dan
dituangkan dalam suatu kontrak kerja konstruksi. Banyaknya jenis dan standar kontrak
yang berkembang dalam industri konstruksi memberikan beberapa alternatif pada pihak
pemilik untuk memilih jenis dan standar kontrak yang akan digunakan. Beberapa jenis dan
standar kontrak yang berkembang diantaranya adalah Federation Internationale des
Ingenieurs Counseils (FIDIC), Joint Contract Tribunal (JCT), Institution of Civil
Engineers (I.C.E), General Condition of Goverment Contract for Building and Civil
Engineering Works (GC/Works), dan lain-lain.

Secara substansial, kontrak konstruksi memiliki bentuk yang berbeda dari bentuk
kontrak komersial lainnya, hal ini dikarenakan komoditas yang dihasilkan bukan
merupakan produk standar, namun berupa struktur yang memiliki sifat yang unik dengan
batasan mutu, waktu, dan biaya. Dalam kenyataannya, kontrak konstruksi terdiri dari
beberapa dokumen yang berbeda dalam tiap proyek.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah :

1. Apa sajakah aspek-aspek yang di bahas dalam bentuk-bentuk Kontrak Konstruksi?

2. Bagaimanakah bentuk - bentuk Kontrak Konstruksi Berdasarkan PP No. 29/2000


?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Diharapkan mahasiswa/mahasiswi dapat memahami aspek-aspek yang di bahas


dalam bentuk-bentuk Kontrak Konstruksi.

2. Diharapkan mahasiswa/mahasiswi dapat memahami apa saja bentuk-bentuk Kontrak


Konstruksi Berdasarkan PP No. 29/2000.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat dari penulisan ini adalah :

1. Mahasiswa/mahasiswi dapat memahami aspek-aspek yang di bahas dalam bentuk-


bentuk Kontrak Konstruksi.

2. Mahasiswa/mahasiswi dapat memahami bentuk-bentuk Kontrak Konstruksi


Berdasarkan PP No. 29/2000.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengantar

Bentuk-bentuk kontrak konstruksi dibedakan dari berbagai segi/aspek termasuk


beberapa permasalahan atau salah pengertian. Akan diuraikan susunan dokumen kontrak
baik yang lazim terdapat di Indonesia maupun yang terdapat di negara-negara Barat (AS,
Eropa, Inggris) dan bentuk kontrak dari 4 Aspek/sudut pandang yaitu; Aspek Perhitungan
Biaya; Aspek Perhitungan Jasa; Aspek Cara Pembayaran; dan Aspek Pembagian Tugas.

2.2 Aspek Perhitungan Biaya


2.2.1 Harga Pasti (Fixed Lump Sum Price)
Beberapa pengertian Fixed Lump Sum Price adalah sebagai berikut:
1. Jumlah harga pasti dan tetap dimana volume pekerjaan tercantum dalam
kontrak tidak boleh diukur ulang.
2. PP No.29/2000 Pasal 21 ayat 1: suatu jumlah harga pasti dan tetap, semua resiko
ditanggung Penyedia Jasa sepanjang gambar dan spesifikasi tidak berubah.
3. "Gilbreath": harga tetap selama tidak ada perintah perubahan. Resiko bagi
Pengguna Jasa kecil, namun bagi Penyedia Jasa besar.
4. "Stokes": jumlah pasti yang harus dibayar Pengguna Jasa. Resiko pada
Penyedia Jasa.

Dari keempat batasan di atas terlihat bahwa di dalam kontrak demikian pihak
penyedia jasa memikul resiko yang cukup besar, misalnya volume pekerjaan yang
sesungguhnya (seandainya diukur ulang) lebih besar dari pada yang tercantum didalam
kontrak maka yang dibayarkan kepada penyedia jasa adalah volume yang tercantum di
dalam kontrak. Akan tetapi bila sebaliknya yang terjadi, maka pihak penyedia jasa
mendapatkan keuntungan mendadak (windfall profit).
Contoh :

Volume Kontrak 1.000 m3, bila diukur ulang 1100 m3 → yang dibayar tetap 1000 m3
bukan 1100 m3. Diperintahkan pengurangan 200 m3 → yang dibayar 1.000 - 200 = 800
m3 dan bukan 1100 - 200 = 900 m3.

Salah pengertian yang menyatakan bahwa dalam kontrak fixed lump sum, nilai
kontrak tidak boleh berubah (bila diperintahkan perubahan → nilai kontrak berubah).
Setelah pekerjaan selesai, diperintahkan untuk diukur ulang, ternyata volume pekerjaan
hasil pengukuran ulang lebih kecil dari volume kontrak, minta selisih nilai dikembalikan
→ ini juga pengertian keliru.

2.2.2 Harga Satuan (Unit Price)


Beberapa pengertian Unit Price adalah sebagai berikut:

1. Volume pekerjaan dalam kontrak baru merupakan perkiraan (bukan volume


pasti). Volume pekerjaan yang sesungguhnya dilaksanakan, akan diukur ulang
bersama.
2. PP. No.29/2000 Pasal 21 ayat 2: penyelesaian pekerjaan berdasarkan harga
satuan yang pasti dan tetap dengan volume pekerjaan berdasarkan hasil
pengukuran bersama atas pekerjaan yang benar-benar dilaksanakan.
3. "Gilbreath": harga satuan x volume yang sesungguhnya dilaksanakan. Tidak ada
resiko kelebihan membayar bagi Pengguna Jasa, tapi juga tidak ada windfall
profit bagi Penyedia Jasa. Perlu pengawasan seksama.
4. "Stokes": pekerjaan dibayar sesuai yang dikerjakan. Tidak ada resiko kelebihan
membayar.

Dari keempat batasan di atas terlihat bahwa bentuk kontrak harga satuan tidak
mengandung resiko bagi pihak pengguna jasa untuk membayar lebih karena volume
pekerjaan yang tercantum di dalam kontrak lebih besar daripada kenyataan sesungguhnya
sehingga pihak penyedia jasa mendapat keuntungan tak terduga. Sebaliknya, pihak
penyedia jasa juga tidak menanggung resiko kerugian apabila volume pekerjaan
sesungguhnya lebih besar daripada yang tercantum di dalam kontrak karena yang
dibayarkan kepada penyedia jasa adalah pekerjaan yang benar-benar dilaksanakan. Yang
menjadi masalah dalam bentuk kontrak ini adalah banyaknya pekerjaan pengukuran ulang
yang harus dilakukan secara bersama-sama yang berpeluang menimbulkan kolusi antara
petugas pengguna jasa dan petugas penyedia jasa.

2.3 Aspek Perhitungan Jasa

2.3.1 Biaya Tanpa Jasa (Cost Without Fee)

Suatu bentuk kontrak dimana penyedia jasa hanya dibayarkan biaya pekerjaan
yang dilaksanakan tanpa mendapat imbalan jasa. Pada jenis kontrak ini kontraktor dibayar
berdasarkan atas semua biaya pengeluarannya. Kontrak jenis ini biasanya untuk proyek-
proyek pembangunan tempat ibadah, yayasan sosial dan lain-lain.

2.3.2 Biaya Ditambah Jasa (Cost Plus Fee)

Pada kontrak jenis ini, kontraktor akan menerima pembayaran atas pengeluarannya,
ditambah dengan biaya untuk overhead dan keuntungan. Besarnya biaya overhead dan
keuntungan, umumnya didasarkan atas prosentase biaya yang dikeluarkan kontraktor.
Prosentase jasa biasanya 10% atas biaya (tidak ada batasan biaya). Tidak ada rangsangan
efisiensi → penggunaan bahan/peralatan cenderung boros karena tak ada batasan biaya.

Kontrak jenis ini umumnya digunakan jika biaya aktual dari proyek belum bisa
diestimasi secara akurat, karena perencanaan belum selesai, proyek tidak dapat
digambarkan secara akurat, proyek harus diselesaikan dalam waktu singkat, sementara
rencana dan spesifikasi belum dapat diselesaikan. Kekurangan dari kontrak jenis ini, yaitu
pemilik tidak dapat mengetahui biaya aktual proyek yang akan dilaksanakan.

2.3.3 Biaya ditambah jasa pasti (Cost Plus Fixed Fee)


Hampir sama dengan Cost Plus Fee, hanya jasannya sudah pasti dan tetap. Sedikit
lebih baik dari Cost Plus Fee, tapi tetap tak ada kepastian mengenai biaya. Penyedia Jasa
tidak memiliki rangsangan untuk menaikkan biaya, karena kenaikan biaya tidak menambah
jasa (fee). Penyedia Jasa tidak punya rangsangan untuk menaikkan biaya.

2.4 Aspek Cara Pembayaran


Bentuk kontrak dari segi/aspek cara pembayaran berdasarkan prestasi pekerjaan
penyedia jasa yang dikategorikan ke dalam 3 (tiga) macam yaitu: Pembayaran Bulanan
(Monthly Payment), Pembayaran atas Prestasi (Stage Payment) dan Pembayaran atas
seluruh hasil pekerjaan selesai 100% atau yang sering disebut Pra Pendanaan Penuh dari
penyedia jasa ( Contractor’s Full Prefinanced). Ketiga macam bentuk kontrak dengan
sistem pembayaran ini tentu saja mempunyai konsekuensi hukum dan resiko atau
permasalahan sendiri sebagaimana akan diuraikan.

2.4.1 Cara Pembayaran Bulanan (Monthly Payment)


Dalam sistem cara pembayaran ini, prestasi penyedia jasa dihitung setiap akhir
bulan. Setelah prestasi tersebut diakui Pengguna Jasa maka Penyedia Jasa dibayar sesuai
prestasi tersebut. Kelemahan cara ini adalah berapapun kecilnya prestasi penyedia jasa
pada suatu bulan tertentu dia tetap harus dibayar. Hal ini sangat mempengaruhi prestasi
pekerjaan yang seharusnya dicapai sesuai jadwal pelaksanaan sehingga dapat
membahayakan waktu penyelesaian.
Untuk menutupi kelemahan cara pembayaran ini sering dimodifikasi dengan
mempersyaratkan jumlah pembayaran minimum yang harus dicapai untuk setiap bulan
diselaraskan dengan prestasi yang harus dicapai sesuai jadwal.
Seringkali penyedia jasa mengkompensasi kurangnya prestasi kerja dengan prestasi
bahan dengan cara menimbun bahan di lapangan. Untuk mengatasinya bisa dipersyaratkan
bahwa bahan yang ada di lapangan tidak dihitung sebagai prestasi, kecuali pekerjaan yang
betul – betul selesai / terpasang atau bisa juga barang – barang setengah jadi.

Kesimpulan:
 Setiap prestasi diukur pada akhir bulan lalu dibayar. Kelemahan dari cara pembayaran
bulanan yaitu sekecil apapun prestasi harus dibayar.
 PP No.29 tahun 2000 Pasal 20 ayat (3) huruf c ayat 2 mencantumkan cara pembayaran ini.

2.4.2 Cara Pembayaran atas Prestasi (Stage Payment)

Dalam bentuk kontrak dengan sistem/ cara seperti ini, pembayaran kepada
penyedia jasa dilakukan atas dasar prestasi yang dicapai dalam satuan waktu (bulanan).
Biasanya besarnya prestasi dinyatakan dalam persentase. Sering pula cara pembayaran
seperti ini disebut pembayaran termin/ angsuran.
Seringkali prestasi yang diakui penyedia jasa bukan saja prestasi fisik (pekerjaan
selesai) tetapi termasuk pula prestasi bahan mentah dan setengah jadi walaupun barang –
barang tersebut sudah berada di lapangan (front end loading).

Kesimpulan:
 Pembayaran atas dasar prosentase kemajuan fisik yang telah dicapai. Biasanya
dengan memperhitungkan uang muka dan uang Jaminan atas Cacat.

Masih tetap belum sepenuhnya aman karena kemungkinan prestasi bahan yang banyak.
Penyedia Jasa meningkatkan prestasi dengan cara menimbun bahan yang lazim disebut
“front end loading”.
 “Stokes”: “Progress Payment”, Pengguna Jasa tidak dapat mengharapkan seluruh biaya
ditanggung oleh Penyedia Jasa tapi juga tidak bisa diharapkan Pengguna Jasa membiayai
seluruh pekerjaan. Penyedia Jasa harus membayar upah, bahan, jauh sebelum mendapatkan
pembayaran dari Pengguna Jasa. Bila gagal membayar, kontrak dapat putus.

2.4.3 Cara Pembayaran Pra Pendanaan Penuh dari Penyedia Jasa (Contractor’s Full
Prefinanced)
Dalam bentuk kontak dengan sistem/cara pembayaran seperti ini, Penyedia Jasa
harus mendanai dahulu seluruh pekerjaan sesuai kontrak. Setelah pekerjaan selesai 100%
dan diterima pengguna jasa, barulah penyedia jasa mendapatkan pembayaran sekaligus.
Dapat saja pada saat itu yang dibayar Pengguna Jasa adalah sebesar 95% dari nilai kontrak
karena yang 5% ditahan (retention money) selama tanggung jawab atas cacat atau
pembayaran penuh 100%, tapi Penyedia Jasa harus memberikan jaminan untuk masa
tanggung jawab atau cacat, satu dan lain hal sesuai kontrak.

Kesimpulan:
 Pekerjaan didanai penuh terlebih dulu oleh Penyedia Jasa sampai selesai. Setelah pekerjaan
selesai dan diterima baik oleh Pengguna Jasa baru mendapatkan pembayaran dari
Pengguna Jasa. Sering dirancukan dengan Design Build / Turnkey. Dari cara pembayaran
memang sama, tapi Penyedia Jasa tidak ditugasi pekerjaan perencanaan / design. Perlu
Jaminan Pembayaran dari Pengguna Jasa. Jaminan Pembayaran bukan instrumen
pembayaran kecuali diatur secara tegas. Jaminan Pembayaran baru boleh dicairkan bila
terbukti Pengguna Jasa ingkar janji untuk membayakan. Dalam sistem ini, Penyedia Jasa
menanggung biaya uang (cost of money) dalam bentuk Interest During Construction (IDC).
Nilai kontrak sedikit lebih tinggi dari sistem pembayaran karena ada IDC.

2.5 Aspek Pembagian Tugas


2.5.1 Bentuk Kontrak Konvensional
Pengguna Jasa menugaskan Penyedia Jasa untuk melaksanakan salah satu aspek
pembangunan saja. Penyedia Jasa dimana perencanaan, pengawasan, pelaksanaan
dilakukan Penyedia Jasa yang berbeda. Oleh karena itu pengawas pekerjaan secara khusus
diperlukan untuk mengawasi pekerjaan Penyedia Jasa.

2.5.2 Bentuk Kontrak Spesialis


Pengguna jasa menandatangani kontrak dengan beberapa perusahaan spesialis untuk masing-
masing keahlian. Keuntungan dari bentuk kontrak ini adalah; Mutu pekerjaan lebih
handal; Penghematan waktu; Keleluasaan dan kemudahan mengganti penyedia jasa.

2.5.3 Bentuk Kontrak Rancang Bangun (Design Build/ Turn Key)


Dalam bentuk kontrak ini, penyedia jasa bertugas membuat perencanaan yang
lengkap dan melaksanakannya dalam suatu kontrak konstruksi. Perbedaan antara design
constructiom/built, dan turn-key adalah dari sistem pembayarannya, dimana pada desaign
contruction/built pembayaran secara term sesuai pekerjaan. Sedangkan key-turn
pembayarannya sekaligus setelah pekerjaan selesai.

2.5.4 Bentuk Kontrak BOT/BLT

Sesungguhnya bentuk kontrak ini adalah sebuah pola kerja sama antara pemilik
tanah/lahan dan investor yang akan mengolah lahan tersebut menjadi satu fasilitas untuk
perdagangan, hotel, resort, atau jalan tol. Terlihat di sini kegiatan yang dilakukan oleh
investor dimulai dari membangun fasilitas sebagaimana yang dikehendaki pemilik
lahan/tanah. Inilah yang dimaksud dengan istilah B (Build).
Setelah pembangunan fasilitas selesai, investor diberi hak untuk mengelola dan
memungut hasil dari fasilitas tersebut selama kurun waktu tertentu. Inilah yang dimaksud
istilah O (Operate). Setelah masa pengoperasian/konsesi selesai, fasilitas tadi
dikembalikan kepada pemilik lahan (pengguna jasa). Inilah yang dimaksud dengan istilah
T (Transfer), sehingga secara keseluruhan disebu Kontrak Build, Operate and Transfer
(BOT).

Sesungguhnya bentuk kontrak ini mirip dengan rancang bangun. Bedanya dengan
bentuk rancang bangun adalah setelah fasilitas dibangun tidak ada masa konsesi yang
diberikan kepada penyedia jasa rancang bangun untuk mendapatkan pengembalian dana
yang telah diinvestasikan (return of investement) karena biaya fasilitas dibayar langsung
oleh pengguna jasa.

Setelah masa pengoperasian/konsesi fasilitas dikembalikan kepada pemilik lahan


(pengguna jasa) yang dikenal dengan istilah transfer, tentu saja fasilitas tersebut masih
dalam keadaan terawat baik. Biasanya ada kontrak tersendiri yang mengatur hal ini. Selain,
misalnya, fasilitas tersebut membutuhkan cara pengoperasian tersendiri dan perawatannya
sendiri, dibuatkan perjanjian terpisah yang disebut Operating and Maintenance Contact/
Agreement antara pemilik lahan dan investor.

Perjanijan perencanaan dan pembangunan rancang bangun/sendiri beserta


masa/lamanya masa konsesi disebut Concession contract/Agreement. Biasanya lebih
disukai, masa membangun (construction period) dengan maksud memberikan intensif bagi
investor untuk mempercepat konstruksi sehingga masa pengelolaan menjadi sedikit lebih
panjang yang akan menambah penghasilan investor.

Bentuk kontrak Build, Lease, Transfer (BLT) sedikit berbeda dengan bentuk BOT.
Di sini setelah fasilitas selesai dibangun, pemilik fasilitas seolah-olah menyewa fasilitas
yang baru dibangun untuk suatu kurun waktu tertentu (Lease) kepada investor sebagai
angsuran dari investasi yang sudah ditanamkan atau fasilitas tersebut dapat pula disewakan
kepada pihak lain. Tentu saja untuk itu diperlukan perjajian sewa (lease agreement).
Setelah masa sewa berakhir, fasilitas diserahkan kepada pemilik fasilitas (Transfer).

2.5.5 Bentuk Kontrak Rekayasa Pengadaan dan Pembangunan (Engineering, Procirement


and Contruction – EPC)

Bentuk kontrak ini sesungguhanya mirip dengan bentuk rancang bangun seperti
yang telah diuraikan di dalan paragraf 5.3 sebelumnya. Kontrak rancang bangun yang
dikenal dengan istilah design build / turn key dimaksudkan untuk pekerjaan konstruksi
sipil/bangunan gedung sedangkan kontrak EPC ditujukan pada pembangunan pekerjaan-
pekerjaan di bidang industri minyak, gas bumi dan petrokimia, pembangkit listrik.

Didalam kontrak EPC yang dinilai bukan saja penyelesain seluruh pekerjaan
melainkan juga kinerja dari pekerjaan tersebut. Sebagai contoh pembangunan sebuah
pabrik pupuk urea. Dalam hal ini penyedia jasa hanya menerima pokok-pokok acuan tugas
dari pengguna jasa untuk sebuah pabrik yang akan dibangun, sehingga mulai dari
perencanaan/design dilanjutkan dengan proses pengadaan dan peralatannya sampai dengan
pemasangan/pengerjaannya menjadi tanggung jawab penyedia jasa. Hasil pekerjaan akan
dinilai apakah kinerjanya sesuai dengan TOR yang telah ditentukan.

Bentuk kontrak ini hanya sedikit disinggung di dalam Undang-Undang No.18/1999


tentang jasa konstruksi Pasal 16 ayat (3) yang berbunyi: “Layanan jasa perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan dapat dilakukan secara terintegritas dengan
memperhatikan besaran pekerjaan itu biaya penggunaan teknologi canggih serta resiko
besar bagi para piihak atau pun kepentingan umum dalam satu pekerjaan konsttruksi”.

Penjelasan ayat 3 ini berbunyi ;

Penggabungan ketiga fungsi tersebut dikenal antara lain dalam penggabungan perencanaan
dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model
penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build) dengan tetap menjamin
terwujudnya efisiensi. Dengan demikian bentuk kontrak EPC ini belum diatur tata cara
pelaksanaannya didalam peraturan perundang-undangan, apakah dalam undang-undang
tersendiri atau merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No.18/1999 tentang Jasa
Konstruksi sebagai peraturan pemerintah.

Pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan pada umumnya bersifat kompleks,


memerlukan teknologi canggih serta beresiko besar misalnya pembangunan kalang
minyak, pembangkit tenaga listrik dan reaktor nuklir.

Pada saat ini sudah semakin banyak kontrak EPC yang dipakai di Indonesia
terutama di kalangan dunia perminyakan dan gas serta listrik seperti Pertamina dan PLN.
Di antara para penyedia jasa, EPC sudah mulai ada yang berpengalaman dari kalangan
BUMN dan juga swasta.

2.5.6 Bentuk Kontrak Berbasis Kinerja (Performance Based Contract – PBC)

Bentuk kontrak berbasir kinerja Performance Based Contract adalah bentuk


kontrak baru yang akhir-akhir ini mulai diperkenalkan di Indonesia oleh Kementrian
Pekerjaan Umum. PBC merupakan kontrak berbasis Kinerja yang berarti penilaian
dilakukan atas dasar kinerja yang dihasilkan, bukan sekedar pekerjaan itu telah
diselesaikan seperti dalam bentuk kontrak konvensional. Jadi selain dilakukan uji coba
(Comissioning) setelah pekerjaan selesai juga akan dinilai kinerjanya (Performance).

Bentuk kontrak terintegrasi yaitu perencanaan, pelaksanaan, uji coba dan


pemeliharaan. Jadi mirip dengan bentuk kontrak EPC bedanya disini bentuk design yang
ditawarkan dari peserta tender bisa saja berbeda-beda. Yang penting adalah kinerja yang
dicapai. Selain itu untuk mengenai bentuk kontrak ini adalah pemenang tender akan
merawat dan memelihara seterusnya proyek tersebut.

Terlihat disini bahwa yang menjadi kriteria penilaian adalah kinerja. Jadi mungkin
saja suatu design yang dipakai relatif mahal, tetapi memiliki kinerja yang sangat baik dan
biaya pemeliharaan sangat minimum. Sayang sekali di Indonesia bentuk kontrak seperti ini
belum memiliki payung hukum dalam arti belum ada perundang-undangan yang mengatur
tata cara pemakain bentuk kontrak ini. Sejauh yang diketahui baru PU yang telah
melakukan uji coba untuk suatu ruas jalan di atas tanah lunak di daerah Jawa Tengah. Di
negara-negara barat bentuk kontrak seperti ini sudah banyak dipakai seperti Eropa dan
Amerika karena terbukti lebih efisien.

2.5.7 Bentuk Swakelola (Force Account)

Sesungguhnya swakelola bukanlah bentuk kontrak karena pekerjaan dilaksanakan


sendiri tanpa memborongkan kepada penyedia jasa. Bentuk ini biasa juga disebut Eigen
Beheer, misalnya suatu instansi pemerintahan melaksanakan suatu pekerjaan dengan
mempekerjakan sekumpulan orang di dalam instansi itu sendiri. Yang memberi perintah,
yang mengawasi, yang mengerjakan adalah orang-orang dari satu instansi yang sama.
Sebuah kepustakaan barat menguraikan pengertian Swakelola (Force Account) sebagai
berikut :

“Swakelola”

Swakelola adalah langkah pokok pengguna jasa terhadap keterikatan proyek dan
tanggung jawab. Inilah pendekatan klasik “Kerjakan Sendiri”. Dalam kasus yang ekstrim,
pengguna jasa merencanakan dan atau membangun seluruh proyek, menggunakan pegawai
dan peralatan sendiri. Seperti dalam semua pendekatan yang sudah dijelaskan, pengguna
jasa mempunyai pegawai yang ditugaskan mengerjakan proyek. Akan tetapi dengan pihak-
pihak lain, pengguna jasa membentuk fungsi-fungsi pengelolahan, pengawasan atau
pemantauan.

Dengan Swakelola, pengguna jasa juga memilik angkatan kerja yang sesungguhnya
(tukang kayu, tukang besi, tukang beton) dalam daftar pembayarannya. Pekerja/tukang
masuk dalam pengeluaran mereka. Biasanya dengan sistem swakelola, pengguna jasa
mendelegasikan beberapa pekerjaan khusus kepada pihak luar. Variasi pendekatan
Swakelola terjadi jika pengguna jasa alih-alih menempatkan tenaga kerja dalam daftar gaji
mereka, pengguna jasa menyewa pialang/mandor pekerja untuk menyediakan para
pekerja.

Dengan metode pialang buruh, pialang mandor berbeda dengan penyedia jasa
karena dia tidak menaggung risiko untuk menyelesainkan pekerjaan dan tidak bertanggung
jawab terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini diserahkan kepada pihak pengguna jasa, oleh
karena itu mandor pekerja hanya menyediakan para pekerja atas dasar permintaan.
Untuk jasa ini, mandor pekerja dibayar jasanya, yang biasanya persentase dari total
upah yang dibayarkan kepada pekerja yang disediakan. Para pekerja dipekerjakan oleh
mandor tetapi digunakan atas dasar permintaan. Tak perlu dikatakan bahwa pendekatan
Swakelola menempatkan tuntutan-tuntutan pokok pada pengguna jasa. Itulah sebabnya
kebanyakan pengguna jasa kecuali untuk program-program konstruksi jangka panjang –
menghindari strategi ini. Meski demikian, para pembangun terus mengemukakan alasan-
alasan berikut ini untuk tidak melakukan konstruksi Swakelola :

a. Kemungkinan timbul reaksi dari luar pihak (organisasi penyedia jasa, pemangku
kepentingan dan lain-lain).
b. Keterbatasann sumber daya manusui.
c. Penghimpunan pegawai, pelatihan dan biaya retensi.
d. Ketentuan kepemilikan peralatan dan juga pasokan yang besar.
e. Kesulitan di dalam hubungan antara pekerja dan konstruksi.
f. Peningkatan pertanggung jawaban untuk tugas-tugas yang berhubungan dengan
pekerjaan konstruksi seperti pengangkutan, logistik, keselamatann dan keamanan
(Gilbreath, 1992).

2.6 Bentuk Kontrak Konstruksi berdasarkan PP No.29/2000

2.6.1 Pengantar

PP No.29/2000 tentang penyelenggaraan jasa konstruksi yang dibedakan dalam


kriteria yang berlainan dengan uraian sebelumnya.

2.6.2 Kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud di dalam pasal 20 ayat 3 dibedakan
berdasarkan:
 Bentuk imbalan yang terdiri dari:
a. Lump Sum
b. Harga satuan
c. Biaya tambahan imbalan jasa
d. Gabungan Lump Sum dan harga satuan
e. Aliansi
 Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang terdiri dari:
a. Tahun tunggal
b. Tahun jamak
 Cara pembayaran hasil pekerjaan:
a. Sesuai kemajuan pekerjaan; atau
b. Secara berkala.

2.6.3 Tampaknya penggolongan bentuk kontrak sebagaimana diuraikan di


dalam paragraf kurang tepat karena hal – hal berikut:
 Bentuk Lum Sum dan harga satuan sesungguhnya bukanlah bentuk kontrak
imbalan melainkan bentuk kontrak dari segi perhitungan biaya.
 Sedangkan bentuk kontrak biaya ditambah jasa adalah bentuk kontrak dari
segi cara perhitungan jasa dan bukan dari segi imbalan.
 Bentuk kontrak aliansi adalah bentuk kontak khusus dengan cara
menggunakan referensi dari nilai kontrak tertentu, sehingga bentuk kontrak
ini pun bukanlah bentuk kontrak imbalan.
 Bentuk kontrak tahun tunggal dan tahun jamak adalah benar, bentuk
kontrak ini di tinjau dari waktu pelaksanaan.
 Bentuk kontrak menurut cara pembayaran sesuai dengan kemajuan
pekerjaan dan secara berkala adalah benar tergolong dalam bentuk kontrak
dari aspek cara pembayaran

4.7 Bentuk Kontrak Konstruksi Berdasarkan Peraturan Presiden No. 54/2010


Tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerinta
4.7.1 Pengantar
Di dalam Peraturan Presiden No.54/2010 diuraikan berbagai bentuk kontrak
konstruksi yang penggolongannya dibedakan dengan bentuk kontrak yang diatur di dalam
PP No. 29/2000 sebagaimana diuraikan dalam paragraf berikut.
4.7.2 Peraturan Presiden No.54/2010 pasal 50 menetapkan jenis-jenis kontrak yang
meliputi kontrak pengadaan barang/jasa sebagai berikut:
 Kontrak berdasarkan cara pembayaran:
a. Kontrak Lump Sum
b. Kontrak Harga Satuan
c. Kontrak Gabungan Lump Sum;
d. Kontrak Presentase
e. Kontrak Terima Jadi (Turn Key)
 Kontrak berdasarkan pembebanan tahun anggaran:
a. Kontrak Tahun Tungga
b. Kontrak Tahun Jamak
 Kontrak berdasarkan sumber pendanaan:
a. Kontrak Pendanaan Tunggal
b. Kontrak Pendanaan Bersama
c. Kontak Payung (Framework Contract)
 Kontrak berdasarakan jenis pekerjaan:
a. Kontrak pengadaan pekerjaan tunggal
b. Kontrak pengadaan pekerjaan terintegrasi

4.8 Cara Penggolongan Bentuk – Bentuk Kontrak


Berdasarkan uraian di atas yang mengacu pada perundang-undangan yang berlaku
yaitu PP No. 29/2000 dan Perpres No.54/2010, terlihat bahwa penggolongan bentuk –
bentuk kontrak kurang tepat dan tidak konsisten serta dapat menyesatkan pengertian
sesungguhnya. Selain itu perlu diperhatikan bahwa ketentuan mengenai hal yang sama
yang terdapat di dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh
bertentangan satu dengan yang lainnya.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penulisan ini adalah :

1. 1. Aspek – aspek yang dibahas di dalam Bentuk – Bentuk Kontrak Konstruksi ada
empat aspek, yaitu:
a. Aspek Perhitungan Biaya,
b. Aspek Perhitungan Jasa,
c. Aspek Cara Pembayaran dan
d. Aspek Pembagian Tugas.

2. Bentuk – Bentuk dari Kontrak Konstruksi Berdasarkan PP No. 29/2000 yaitu:


a. Bentuk imbalan yang terdiri dari:
 Lump Sum
 Harga satuan
 Biaya tambahan imbalan jasa
 Gabungan Lump Sum dan harga satuan
 Aliansi
b. Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang terdiri dari:
 Tahun tunggal
 Tahun jamak
c. Cara pembayaran hasil pekerjaan:
 Sesuai kemajuan pekerjaan; atau

 Secara berkala.
Diposting 11th March 2016 oleh Renhard Manurung
1

Lihat komentar

3.

Tutur Sudarsono10 November 2016 00.58

Makasih

Balas

2.

Mar

11

Kumpulan Soal Terkait Perkerasan dan


Pemeliharaan Jalan Raya

KUMPULAN SOAL

Mata kuliah: Teknologi Perkerasan dan Pemeliharaan Jalan

Jurusan Teknik Sipil


Universitas Udayana

1. Jelaskan prinsip cara yang bisa digunakan untuk menguji kepadatan lapangan!

2. Mengapa pasir yang dipakai untuk tes kerucut pasir? Data apa yang diperlkukan
dari pasir yang dipakai?

3. Jelaskan tentang prosedur cara uji dynamic cone pnetrometer (DCP).


Sebaiknya dengan memakai suatu diagram untuk memperjelas, dan manfaat data
yg diperoleh!

4. Uraikan dengan bantuan diagram dan atau sketsa grafik, tentang pengertian
dan cara uji

CBR, dan apa guna data CBR?

5. Apa yang biasanya dilakukan dari sampel hasil core drill? Di bagian mana dari
perkerasan jalan yang dites core drill?

6. Jelaskan mekanisme terjadinya pelekatan aspal kepermukaan agregat pada


campuran aspal emulsi dingin!

7. Uraikan apa yang saudara ketahui tentang zeta potential pada teknologi emulsi!

8. Jelaskan cara melakukan coating test pada pada campuran aspal emulsi dingin!

9. Apabila pada penyelimutan terbaik ternyata campuran agak encer, apa yang perlu
dilakukan sebelum pemadatan?

10. Jelaskan aspek kecocokan antara jenis agregat dan jenis aspal.
11. Jelaskan mengapa aspal emulsi kationik, dikatakan bermuatan positip!

12. Apa yang dimaksud dengan electric double layer, pada sistem emulsi? Jelaskan!

13. Mengapa campuran aspal emulsi dingin cocok dinegara beriklim tropis?

14. Mengapa campuran aspal emulsi umumnya memerlukan enersi pemadatan tinggi?

15. Apa yang mempengaruhi penyelimutan aspal terhadap agregat?

16. Uraikan tentang faktor kecocokan (affinity) antara agregat dan aspal emulsi.

17. Uraikan kelebihan dan kekurangan campuran aspal emulsi dingin!

18. Upaya apa yg bisa dilakukan untuk mempercepat penguatan CAED pada cuaca
lembab?

19. Jelaskan apa yang dimaksud dengan capillary soaking pada curing CAED!

20. Apa saja kelebihan dan kekurangan CAED?

21. Apa yang dimaksud cheesy state pada CAED?

22. Mengapa pada DGEMs digunakan aspal emulsi jenis CSS? Bagaimana d
engan yang

OGEM?

23. Apa sebabnya campuran aspal emulsi dingin cenderung memerlukan enersi
pemadatan dan porositas yang lebih tinggi dari pada campuran aspal panas?
24. Untuk meningkatkan kekuatan awal CAED bisa ditambah semen, kenapa?
Berapa jumlah semen yg bisa ditambahkan? Jelaskan!

25. Apa yang dimaksud dengan kekuatan ultimate campuran aspal emulsi dingin?
Bagaimana cara memperolehnya?

26. Sebutkan dan beri penjelasan singkat jenis-jenis campuran aspal dingin!

27. Apa yang disebut cutback asphalt?

28. Apa kelebihan dan kekurangan campuran yg memakai cutback asphalt?

29. Sebutkan jenis-jenis flux oil, dan efeknya tehadap campuran aspal cutback!

30. Uraikan perbedaan dan persamaan cara pemakaian antara aspal emulsi dengan
aspal busa

(foamed asphalt)! Jelaskan hal ihwal lain dari kedua jenis aspal tsb!

31. Jelaskan keterbatasan yang ada pada campuran aspal busa!

32. Apa yang dimaksud dengan half life pada campuran aspal busa?

33. Apa yang dimaksud cutback asphalt, dan apa kelebihan dan kekurangannya?

34. Jelaskan cara pemakaian dan manfaat prime coat dan tack coat!
35. Tes apa saja yg biasanya dilakukan untuk perkerasan jalan yang sudah
dipadatkan?

Jelaskan!

36. Apa yang dimaksud sifat elasto viscoplastic aspal?

37. Jelaskan apa yang dimaksud sifat viscoelastis campuran aspal! Jelaskan dengan
diagram!

38. Apa saja jenis-jenis uji lanjutan campuran aspal?

39. Jelaskan secara singkat prinsip dan maksud tes ITSM, Creep, Fatigue, dan ITS!

40. Jelaskan perihal tes durabilitas akibat pengaruh temperatur dan air terhadap
campuran aspal!

41. Apa yg dimaksud dengan Short Term Oven Ageing (STOA) dan Long Term
Oven Ageing

(LTOA)?

42. Untuk apa dilakukan tes vacuum saturation?

43. Jelaskan urutan cara pemadatan dan pekerjaan sambungan pada perkerasan jalan!
44. Jelaskan cara penggilasan campuran aspal perkerasan jalan, bila dilaku
kan secara bersamaan dengan memakai 2 mesin pemadat.

45. Jelaskan cara penggilasan campuran aspal perkerasan jalan, bila dilakukan
pada daerah tikungan jalan!

46. Pemadatan akhir perkerasan lentur harus dilakukan pada suhu tertentu. Apa
yang menjadi patokan? Jelaskan!

47. Mangapa perkerasan kaku perlu disambung? Apa yang perlu diberikan pada
sambungan?

Apa manfaat joint sealent pada perkerasan kaku?

48. Sebutkan jenis-jenis kerusakan jalan secara umum!

49. Apa yang menyebabkan kerusakan jalan? Bagaimanan mencegahnya?

50. Jelaskan peran dan perlakuan terhadap temperatur aspal pada pekerjaan jalan!

51. Apa yang dimaksud dengan pothole, patching dan bleeding pada pemeliharaan
jalan?

52. Bagaimana mekanisme terjadinya terjadinya retak pada permukaan jalan


beraspal, dan apa yg umum dilakukan untuk pekerjaan pemeliharaan?

53. Bagaimana cara perbaikannya, bila terjadi penurunan setempat pada permukaan
jalan?

54. Apa akibatnya kalau terjadi kelebihan atau kekuragan aspal pada campuran
perkerasan 55. Jelaskan jeni-jenis gerakan pemecahan agregat, dan gerakan
pemecahan mana yang dipakai dalam mesin-mesin pemecah agregat?
56. Jelaskan apa yang dimaksud close circuit dan open circuit pada pemecahan
agregat! Apa lebih kurangnya?

57. Uraikan pengelompokan AMP secara umum, jelaskan perbedaan utamanya!

58. Uraikan prinsip kerja, kelebihan dan kekurangan Jenis AMP Continuous, Batch
Plant, dan yang tipe Drum mix.

59. Jelaskan jeni-jenis gerakan pemecahan agregat, dan gerakan pemecahan mana
yang dipakai dalam mesin-mesin pemecah agregat!

60. Apa nama komponen AMP yang dipergunakan untuk menimbang berat a
gregat, dan bagaimana prinsip cara kerjanya?

61. Uraikan minimal tiga hal yang mempengaruhi ketelitian daur ulang campuran
aspal!

63. Apa saja prinsip umum yang perlu diperhatikan untuk daur ulang campuran aspal
panas?

Anda mungkin juga menyukai