LANDASAN TEORI
aspal pada keadaan optimum. Sedangkan gradasi material RAP masih berada pada
range spesifikasi yang disyaratkan. Nilai stabilitas terbaik diperoleh pada
campuran aspal menggunakan material RAP dengan tambahan aspal pen 60/70
yang disubstitusika styrofoam sebesar 12% pada Kadar Aspal Optimum (KAO)
berdasarkan Job Mix Design (JMD) Bina Marga Aceh, yaitu sebesar 3.308,72 Kg.
Nilai stabilitas terendah diperoleh pada campuran aspal menggunakan agregat
baru berdasarkan hasil penelitian Dinas Bina Marga Aceh pada KAO yaitu
sebesar 983,94 Kg. (Arianto, H., Saleh, S. M., & Anggraini, R. (2019).
Nilai sifat fisik aspal sebagai berikut : Nilai pengujian Penetrasi pada
campuran kadar 0% sampai 2% adalah sebesar 60x mm sampai 73
x mm. Nilai pengujian titik lembek pada kadar campuran 0% sampai 2%
adalah sebesar 48 °C sampai 53 °C. lalu mengalami kenaikan pada kadar 2%.
Nilai pengujian titik nyala pada kadar campuran 0% sampai 2% adalah sebesar
200 °C sampai 268 °C. Nilai pengujian titik bakar sebesar 250 °C sampai 300 °C.
Seiring bertambahnya suhu maka semakin cepat naik titik nyala dan bakarnya.
Nilai pengujian daktilitas pada kadar campuran 0% sampai 2% adalah sebesar
100cm sampai 130cm. Nilai pengujian masa jenis pada kadar campuran 0%
sampai 2% adalah sebesar 1 gr/ml sampai 0,9810gr/ml mengalami nilai penurunan
terhadap penambahan kadar styrofoam. (Barus, D. A. 2020).
dan penggantian 10% Bitumen yang dimodifikasi lebih padat tapi saat EPWP
berada ditambah 10%, mengurangi kerapatan dan karenanya penurunan nilai yang
cukup besar pada penggantian 15%. Elastisitas aspal seperti yang ditentukan dari
uji daktilitas menunjukkan bahwa nilai daktilitas sesuai dengan standar nilai
minimal 75 sentimeter hingga 5% pengganti. Peningkatan lebih lanjut dalam
kandungan EPWP sampai 10% dan 15% Penggantian, hasilnya menunjukkan
penurunan yang signifikan nilai daktilitas Dari nilai alir 5%, 10% dan 15% Aspal
modifikasi EPWP; Jelas bahwa viskositasnya Bitumen modifikasi EPWP
ditemukan meningkat dengan peningkatan dalam% penggantian EPWP. Kenaikan
Melembutkan suhu dari 5%, 10% dan 15% pengganti aspal modifikasi EPWP
menandakan bahwa pengikat yang dimodifikasi Bisa paling baik digunakan di
daerah kering yang kering untuk perkerasan lentur konstruksi. (S. Abinaya dan M.
Clement, 2016)
9
Perkerasan jalan adalah campuran agregat dan bahan ikat (binder) yang
diletakkan di atas tanah dasar dengan pemadatan untuk melayani beban lalu lintas.
Tujuan utama pembuatan struktur perkerasan jalan adalah untuk mengurangi
tegangan atau tekanan akibat beban roda sehingga mencapai tingkat nilai yang
dapat diterima oleh tanah yang menyokong beban tersebut.
Lapis permukaan adalah lapisan perkerasan yang terletak paling atas, yang
terdiri dari lapis aus (wearing course) dan lapis antara (binder course)
Tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan (jika tanah
aslinya baik), tanah yang didatangkan dari tempat lain dan dipadatkan,
atau tanah yang distabilisasi dengan kapur atau bahan lainnya. Adapun
fungsi tanah dasar adalah sebagai tempat peletak pondasi dan pemberi
daya dukung terhadap lapisan atasnya. Ditinjau dari muka tanah asli, maka
lapisan tana dasar (subgrade) dapat dibedakan atas lapisan tanah dasar
(tanah galian), lapisan tanah dasar (tanah timbunan) dan lapisan tanah
dasar (tanah asli).
Kerapatan menurun dengan cepat ketika pemadatan diakukan pada suhu lebih
rendah (Suparyanto, 2008).
1. Jenis Aspal
a) Aspal Alamiah
b) Aspal Batuan
Aspal batuan adalah batuan yang terjadi karena endapan alamiah batu
kapur atau batu pasir yang diperpadat dengan bahan-bahan berbitumen. Di
Indonesia disebut dengan nama Asbuton karena berasal dari pulau Buton. Pulau
Buton terletak di ujung tenggara pulau Sulawesi dan merupakan salah satu
kabupaten di Propinsi Sulawesi Tenggara, yaitu Kabupaten Buton dengan Ibu
Kotanya Bau-bau. Endapan aspal alam di Pulau Buton bagian selatan terletak
pada satu jalur yang membujur dari teluk Sampolawa di sebelah selatan sampai
teluk Lawele di sebelah utara. Di daerah tersebut ditemukan 19 daerah singkapan
aspal (out crop).
14
Asbuton adalah aspal alam yang berasal dari pulau buton, Sulawesi
Tenggara yang berbentuk butiran dengan kadar bitumen tertentu. Butiran asbuton
ini terdiri dari bitumen dan mineral, dimana sebagian besar mineral merupakan
mineral kapur dari ukuran debu sampai ukuran pasir. menunjukkan kadar bitumen
asbuton. Asbuton sebagai aspal alam terdiri dari aspal dan mineral yang sudah
menyatu secara alami, dengan kandungan aspal rata-rata nya berkisar antara 20%
sampai 23% dan mineral rata-rata nya antara 80% sampai 77% (Kramer, 1989).
Pada aspal terdapat sebuah sistem yang disebut kolodial. Sistem ini terdiri
dari komponen molekul berat yang disebut asphaltene, disperse/hamburan
didalam minyak perantara disebut juga maltene. Bagian dari maltene terdiri dari
molekul perantara disebut resin yang menjadi instrumen penting di dalam
menjaga disperse asphaltene (Koninklijke, 1987).
15
a. Asphaltene
b. Maltene
c. Saturate.
Senyawa ini berbentuk cairan kental non polar, berat molekul hampir sama
dengan aromatis. Senyawa ini tersusun dari campuran hidrokarbon lurus,
bercabang, alkil napthene dan aromatis, komposisi 5-20% dari total bitumen.
16
d. Aromatis.
Senyawa ini berwarna coklat tua, berbentuk cairan kental, bersifat non
polar dan di dominasi oleh cincin tidak jenuh, berat molekul 300-2000, terdiri dari
senyawa naften aromatis, komposisi 40 – 65% dari total bitumen.
e. Resin.
Senyawa ini berwarna coklat tua, berbentuk solid atau semi solid dan
sangat polar, dimana tersusun oleh atom C dan H, dan sedikit atom O, S, dan N,
untuk perbandingan H/C yaitu 1,3 – 1,4, memiliki berat molekul antara 500 –
50000 dan larut dalam n-heptan.
Aspal yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspal padat atau keras
dengan penetrasi 60/70 dan mempunyai nilai karakteristik yang telah memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh Bina Marga. Untuk data jenis pengujian dan
persyaratan aspal tersebut tercantum seperti pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Data Jenis Pengujian dan Persyaratan Aspal Grade 60/70
a b c d e
Penurunan Berat
6 % Berat SNI 06-2441:1991 ≤0,8
Minyak dan Aspal
Keterangan :
C = Titik nyala / titik bakar °C
K = Tekanan birometer udara, kPa
c. Daktalitas
Daktalitas adalah panjang tarikan tanpa putus dari mesin daktilitas yang
terdiri dari sepasang mangkuk aspal yang dapat ditarik terpisah pada kecepatan
tertentu hingga mencapai jarak minimal 100 cm. Menurut Sukirman (1999)
menyatakan nilai daktalitas suatu aspal menunjukan nilai kohesi yang dimiliki
oleh aspal itu sendiri dengan mengukur jarak terpanjang yang dapat ditarik antara
2 cetakan yang berisi bitumen keras sebelum putus pada suhu dan kecepatan tarik
tertentu. Aspal dengan daktalitas yang lebih besar mengikat butiran agregat lebih
baik tetapi lebih peka terhadap perubahan temperatur.
19
Berat jenis aspal adalah perbandingan antara berat aspal dengan berat air
suling dengan volume yang sama pada suhu 25°C (Sukirman, 1999). Persamaan
2, digunakan untuk perhitungan berat jenis aspal (SNI 2441, 2011).
Berat jenis = [ ]
…………………………………………….. (2)
Keterangan :
A = Berat piknometer dengan tutup (gr)
B = Berat piknometer berisi air (gr)
C = Berat Piknometer berisi aspal (gr)
D = Berat aspal + air (gr)
Aspal mempunyai nilai batas kekakuan yang disebut titik lembek atau titik
lunak aspal yang merupakan temperatur dimana aspal menjadi lunak dan dapat
menyelimuti agregat pada proses pencampuran (Sukirman, 1999). Titik lembek
merupakan temperatur pada saat bola baja dengan berat tertentu, mendesak turun
lapisan aspal yang tertahan dalam cincin berukuran tertentu, sehingga aspal
menyentuh pelat dasar yang terletak dibawah cincin pada jarak 25,4 mm, sebagai
akibat kecepatan pemanasan tertentu (SNI 2434, 2011).
Keterangan :
A = Berat cawan + contoh sebelum diuji (gr)
B = Berat cawan + contoh sesudah diuji (gr)
mengembalikan kelas aspal menjadi 60/70 kembali agar tidak mudah mengalami
ageing (penuan), batas terendah untuk angka penetrasi sementara ini disepakati
tidak kurang dari 40. Kesulitan lain mulai tampak dengan terlihatnya secara nyata
aspal modifikasi yang terbentuk dengan titik lembek tinggi dan penetrasi 40
sehingga kehilangan kelengketan. Kesulitan produksi akhirnya berujung dengan
tidak selalu semua aditif yang ditambahkan itu dapat bekerja sama secara sinergi
membentuk kesatuan dalam peningkatan kinerja aspal. Salah satu contoh aspal
modifikasi adalah aspal modifikasi polimer (Listiani, A., 2012).
2.2.2.4. Agregat
Agregat adalah campuran dari kerikil, batu pecah dan material lainnya
yang berasal dari bahan mineral alami atau batuan. Dalam struktur perkerasan
jalan komponen agregat merupakan komponen utama dengan nilai persentase 90-
95% berdasarkan persentase berat, atau 75-85% agregat berdasarkan persentase
volume (Sukirman, 2003). Menurut asalnya agregat dapat dibagi menjadi:
1. Agregat kasar, yaitu agregat dengan ukuran butir lebih besar dari saringan
No. 8 (= 2,36 mm).
2. Agregat halus, yaitu agregat dengan ukuran butir lebih kecil dari saringan
No. 8 (= 2,36 mm).
3. Bahan pengisi (filler), yaitu bagian dari agregat halus yang lolos saringan
No. 30 (= 0,60 mm).
23
1. Agregat kasar, yaitu agregat dengan ukuran butir lebih besar dari saringan
No. 4 (= 4,75 mm)
2. Agregat halus, yaitu agregat dengan ukuran butir lebih kecil dari saringan
No. 4 (= 4,75 mm)
3. Bahan pengisi (filler), yaitu bagian dari agregat halus yang minimum 75%
lolos saringan No. 200 (= 0,075 mm)
1. Analisa Saringan
2. Berat jenis
3. Abrasi
Abrasi adalah tes dasar untuk kekuatan batuan pendukung matrix, yang
tidak mudah pecah (overcompaction) dan tidak mudah tergerus menjadi debu
batu. Nilai ini diukur dengan mesin Los Angles Abration Machine yang berisi bola
bola besi, dimana contoh batuan diputar 400 kali di dalamnya. Perbedaan
timbangan sebelum dan sesudah putaran disyaratkan maksimum hilang 30%
untuk lapis permukaan dan 40% untuk lapis pondasi atas (Soehartono, 2014).
a. Gradasi agregat
Gradasi seragam adalah agregat yang hanya terdiri dari butirbutir agregat
yang berukuran sama atau hampir sama dan mengandung sedikit agregat halus
sehingga tidak dapat mengisi rongga antar agregat. Gradasi seragam juga disebut
sebagai gradasi terbuka, yang membuat lapisan perkerasan bersifat permeabilitis
yang tinggi, stabilitas kurang dan berat volume yang kecil. Gradasi ini yang akan
digunakan pada penelitian ini.
25
b. Kebersihan
c. Daya Absorbsi
d. Keausan
aspal. Jika nilai keausannya >40% maka agregat tersebut dianggap rapuh dan
tidak mampu menerima dan menahan beban maka lapisan perkerasan akan
mengalami deformasi yang besar.
e. Impack
Daya lekat terhadap aspal tergantung dari keadaan pori dan banyaknya
pori-pori dalam agregat. Pori yang kecil memberikan daya lekat yang baik dari
pada pori-pori yang besar. Selain itu permukaan yang kasar juga mempengaruhi
daya lekat agregat terhadap aspal. Menurut SNI 2439:2011 kelekatan agregat
terhadap aspal minimal 95%.
g. Berat Jenis
2.2.2.5. Polimer
Aspal polimer adalah suatu material yang dihasilkan dari modifikasi antara
polimer alam atau polimer sintetis dengan aspal. Modifikasi aspal polimer (atau
biasa disingkat dengan PMA) telah dikembangkan selama beberapa dekade
terakhir. Umumnya dengan sedikit penambahan bahan polimer (biasanya sekitar
2-6%) sudah dapat meningkatkan hasil ketahanan yang lebih baik terhadap
deformasi, mengatasi keretakan-keretakan dan meningkatkan ketahanan usang
dari kerusakan akibat umur sehingga dihasilkan pembangunan jalan lebih tahan
lama serta juga dapat mengurangi biaya perawatan atau perbaikan jalan.
28
Salah satu jenis polimer yang digunakan adalah styrofoam. Styrofoam atau
nama umumnya thermoplastic merupakan jenis plastik yang lazim digunakan
untuk kemasan makanan dan minuman. Styrofoam terbagi menjadi 2 bagian yaitu
foamed Styrofoam (FS), dan Expanded Styrofam (EPS), atau disebut juga sebagai
styrofoam busa, yang sehari-hari dikenal sebagai styrofoam.
No Keperluan Untuk
Tipe Polimer Nama Umumnya
Perkerasan
a b c D
SBS (Styrene Butadiene
1 Thermoplastic Hotmix, Pengisian
Styrene)
Rubber Retak
Jenis polystrene dapat dilihat pada Gambar 2.5. Butiran resin polystyrene
atau yang dikenal sebagai Expanded Styrofoam (EPS) (Gambar 2.5.a) diresapi
oleh bahan pengembang (blowing agent). Produksi Expanded Styrofoam dimulai
dari proses pengembangan, dimana butiran EPS akan mengembang setelah
29
dipanaskan oleh uap dan proses molding (percetakan), kemudian butiran yang
sudah melalui proses pengembangan tersebut akan dipanaskan lagi oleh steam
supaya lebih mengembang lagi dan menyatukan masing-masing butirannya, dan
membentuk produk busa yang diinginkan seperti foamed Styrofoam.
1. Cara basah (wet process) yaitu suatu cara pencampuran dimana Styrofoam
dimasukkan kedalam aspal panas dan diaduk dengan kecepatan tinggi sampai
homogen. Cara ini membutuhkan tambahan dana cukup besar antara lain bahan
bakar, mixer kecepatan tinggi sehingga aspal modifikasi yang dihasilkan
harganya cukup besar bedanya dibandingkan dengan aspal konvensional.
2. Cara kering (dry process) yaitu suatu cara pencampuran dimana Styrofoam
dimasukkan kedalam agregat yang dipanaskan pada temperatur campuran,
30
kemudian aspal panas ditambahkan. Tidak perlu ada aspal yang harus
dikeluarkan dari tangki aspal di Asphlat Mixing Plant apabila tangki aspal akan
digunakan untuk keperluan pencampuran aspal dengan aspal konvensional.
Cara kering ini juga lebih mudah karena hanya dengan memasukkan styrofoam
dalam agregat panas, tanpa membutuhkan peralatan lain untuk mencampur.
Kekurangannya adalah harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan
kehomogenan dan keseragaman kadar styrofoam yang dicampurkan. Limbah
styrofoam yang digunakan harus hasil olahan yang telah dipilih, dicacah dan
dicuci. Cacahan limbah styrofoam yang digunakan harus kering, bersih dan
terbebas dari bahan organik atau bahan yang tidak dikehendaki.
Adapun cara yang dipakai dalam penelitian kali ini yaitu dengan cara
basah dimana styrofoam terlebih dahulu dilelehkan oleh senyawa xilene kemudian
dimasukkan ke dalam aspal panas dan diaduk dengan cepat sampai homogen.
Xilene tidak berpengaruh terhadap aspal karena xilene akan menguap apabila
berada diruang terbuka. Pemanfaatan Styrofoam bekas untuk bahan aditif dalam
pembuatan aspal polimer merupakan salah satu cara meminimalisir limbah
tersebut (Abinaya, S., 2016).
2.2.2.6. XYLENE
Aspal beton adalah lapis permukaan yang terdiri dari campuran aspal keras
dan agregat yang bergradasi menerus, dicampur, dihamparkan dan dipadatkan
dalam kondisi panas dengan suhu tertentu. Aspal beton mempunyai ciri kedap air,
mempunyai nilai struktural, awet, kadar aspal berkisar 4 – 7 % terhadap berat
campuran dan dapat digunakan untuk lalu lintas ringan, sedang, hingga berat.
Campuran ini memiliki tingkat kekakuan yang tinggi.
Campuran beraspal panas terdiri dari kombinasi agregat yang dicampur
dengan aspal. Pencampuran dilakukan sedemikian rupa sehingga permukaan
agregat terselimuti aspal dengan seragam. Untuk mengeringkan agregat dan
memperoreh kekentalan aspal yang mencukupi dalam mencampur dan
megerjakannya, maka kedua-duanya dipanaskan masing-masing pada temperatur
tertentu, (Pedoman Pelaksanaan Lapis Campuran Beraspal Panas:2007).
a. Latasir (lapis tipis aspal pasir/sand sheet), yaitu lapis penutup permukaan
jalan yang terdiri atas agregat halus atau pasir atau campuran keduanya
dan aspal keras yang dicampur, dihampar dan dipadatkan dalam keadaan
panas pada temperatur tertentu.
b. Lataston (lapis tipis aspal beton / HRS), yaitu lapis permukaan yang terdiri
atas lapis aus (lataston lapis aus / HRS-WC) dan lapis permukaan antara
(lataston lapis permukaan antara / HRS-Binder) yang terbuat dari agregat
bergradasi sejang dengan dominasi pasir dan aspal keras yang dicampur,
dihampar dan dipadatkan dalam keadaan panas pada temperatur tertentu.
c. Laston (lapisan aspal beton / AC), yaitu lapis permukaan atau lapis fondasi
yang terdiri atas lapis aus (AC-WC), laton lapis permukaan antara (AC-
BC) dan laston lapis fondasi (AC-Base). Setiap jenis campuran AC yang
menggunakan bahan aspal polimer atau aspal dimodifkasi dengan Asbuton
atau aspal multigrade atau aspal keras Pen 60 dengan Asbuton butir
disebut masingmasing sebagai AC-WC modified, AC-BC modified, dan
AC-Base Modified.
32
Menurut Sukirman (2007), Aspal beton adalah jenis perkerasan jalan yang
terdiri dari campuran agregat dan aspal, dengan atau tanpa bahan tambahan.
Material-material pembentuk aspal beton dicampur di instalasi pencampur pada
suhu tertentu, kemudian diangkut kelokasi, dihamparkan, dan dipadatkan. Suhu
pencampuran ditentukan berdasarkan jenis aspal yang akan digunakan. Jika
digunakan semen aspal, maka suhu pencampuran umumnya antara 145°-155°C,
sehingga disebut aspal beton campuran panas. Campuran ini dikenal dengan nama
“hot mix”. Aspal beton yang menggunakan aspal cair dapat dicampur pada suhu
ruang, sehingga dinamakan “cold mix”.
Tujuh karakteristik campuran yang harus dimiliki oleh aspal beton adalah
sebagai berikut:
Laston terbagi menjadi tiga jenis yaitu Laston sebagai lapisan Aus dikenal
dengan nama AC-WC (Asphalt concrete - Wearing Course), Laston sebagai
lapisan pengikat dengan sebutan AC-BC (Asphalt Concrete - Binder Course), dan
Laston sebagai lapisan pondasi dengan nama AC-Base (Asphalt Concrete - Base).
a b c d
1 Kekekalan bentuk Natrium Sulfat Maks. 12%
SNI 3407 : 2008
agregat terhadap Magnesium Sulfat Maks. 18%
2 Abrasi dengan 100 Putaran Maks. 8%
SNI 2417 : 2008
Mesin Los Angeles 500 Putaran Maks.40%
3 Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 2439 : 2011 Min. 95%
4 Butir pecah pada agregat kasar SNI 7619 : 2012 95/90 (*)
5 ASTM D4791-10
Partikel Pipih dan Lonjong Maks.10 %
Perbandingan 1:5
6 SNI ASTM C117
Material Lolos Saringan N0.200 Maks 1%
: 2012
Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga tahun 2018
a b c d
1 Nilai setara pasir SNI 03-4428-1997 Min. 60 %
SNI ASTM
2 Material lolos saringan No. 200 Maks. 10 %
C117:2012
3 Angularitas SNI 03-6877-2002 Min. 45 %
4 Kadar Lempung SNI 03-4141-1996 Maks. 1%
Sumber: Rancangan Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan, Divisi VI
Perkerasan Beraspal, Dep. PU, 2010.
Berikut ini ada 3 metode untuk menentukan persentase dari proporsi setiap
fraksi untuk membuat campuran agregat.
1. Metode trial and error, metode ini dengan cara mencoba-coba persentase
setiap fraksi agregat agar gradasi campuran sesuai dengan range dari
gradasi yang disyaratkan. Menurut Ramu et al (2016) kekurangan dari
proses dari trial and error adalah perlu dilakukan berkali-kali pada
proporsi agregat dari setiap tipe fraksi agar memenuhi batasan dari gradasi
mengingat banyaknya kemungkinan jawaban.
2. Metode grafis, menurut Pusjatan (2019), ada 2 metode grafis yakni metode
grafis bujur sangkar dan metode grafis diagonal. Metode grafis yang
digunakan pada penelitian ini adalah metode grafis diagonal dengan 3
fraksi agregat.
……………………………….….. (2.1)
Keterangan:
Gsb : Berat jenis Bulk campuran (gr/ )
WA, WB, WC…Wn : Berat agregat masing-masing saringan (%)
GbA, GbB, GbC,.Gbn : Berat jenis bulk tiap agregat tertahan saringan
(gr/ )
……………………….………….. (2.2)
Keterangan:
Gsa : Berat jenis Apparent campuran (gr/ )
WA, WB, WC…Wn : Berat agregat masing-masing saringan (%)
GaA, GaB, GaC,…Gan : Berat jenis apparent tiap agregat tertahan saringan
(gr/ )
……………………………….………………………. (2.3)
Keterangan :
Gse = Berat jenis efektif (gr/ )
Gsa = Berat jenis apparent campuran (gr/ )
Gsb = Berat jenis bulk campuran (gr/ )
……………………………….….. (2.4)
Keterangan :
Pba = Penyerapan Aspal (%)
Gsa = Berat jenis apperent campuran (gr/ )
Gsb = Berat jenis bulk campuran (gr/ )
Gac = Berat jenis Aspal (gr/ )
37
……………………………….……………………. (2.5)
Keterangan :
Vb = Volume Bulk (cc)
Ws = Berat benda Uji SSD (gram)
Ww = Berat benda uji di air (gram)
……………………………….……………………………. (2.6)
Keterangan :
D = Densitas (gr/cc)
Wdry = Berat benda uji kering (gram)
Vb = Volume Bulk (cc)
………………………………. (2.7)
Keterangan :
D maks teoritis = Density maks teoritis (gr/cc)
A = Kadar Aspal (%)
Gac = Berat Jenis Apal (gr/cc)
Gse = BJ efektif rata-rata agregat (gr/cc)
Dari nilai densitas dan specific gravity campuran dapat dihitung besarnya
porositas dengan Rumus
[ ]……………………………….….. (2.8)
Keterangan :
VIM = Porositas benda uji (%)
D = Densitas benda uji (gr/cc)
Dmaks teoritis = nilai densitas maks teoritis (gr/cc)
38
1. Stabilitas
Stabilitas adalah kemampuan lapis perkerasan menerima beban lalu lintas
tanpa terjadi perubahan bentuk tetap seperti gelombang (deformasi
permanen), alur ataupun bleeding (keluarnya aspal kepermukaan).
Stabilitas terjadi dari hasil geseran antar agregat, penguncian butir partikel
(interlock) dan daya ikat yang baik dari lapisan aspal. Sehingga stabilitas
yang tinggi dapat diperoleh dengan mengusahakan penggunaan :
Agregat dengan gradasi yang rapat
Agregat dengan permukaan yang kasar
Agregat berbentuk kubikal
Aspal dengan penetrasi rendah
Aspal dalam jumlah yang mencukupi untuk ikatan antar butir
Angka-angka stabilitas benda uji didapat dari pembacaan alat uji Marshall.
Angka stabilitas ini masih harus diperiksa lagi dengan kalibrasi alat dan
ketebalan benda uji. Nilai stabilitas yang dipakai dihitung dengan rumus :
39
S = q x k H…………………………………………………. (2.9)
Dimana :
S = Stabilitas (Kg)
q = Pembacaan stabilitas alat
k = Faktor kalibrasi alat
H = Koreksi tebal benda uji
2. Flow
Flow adalah besarnya deformasi vertikal sampel yang terjadi mulai saat
awal pembebanan sampai kondisi kestabilan maksimum sehingga sampel
hancur, dinyaakan dalam satuan milimeter (mm). pengukuran flow
bersamaan dengan pengukuran nilai stabilitas Marshall. Nilai flow
mengindikasikan campuran bersifat elastis dan lebih mampu mengikuti
deformasi akibat beban. Nilai flow dipengaruhi oleh kadar aspal dan
viskositas aspal, gradasi, suhu, dan jumlah pemadatan. Semakin tinggi
nilai flow, maka campuran akan semakin elastis. Sedangkan apabila nilai
flow rendah, maka campuran sangat potensial terhadap retak. Angka flow
diperoleh dari hasil pembacaan arloji flow yang menyatakan deformasi
benda uji.
3. Marshall Quontient
Hasil bagi dari stabilitas dan flow, yang besarnya merupakan indikator dari
kelenturan yang potensial terhadap keretakan disebut Marshall Quotient.
Nilai Marshall Quotient dihitung dengan rumus:
MQ = ……………………………………………………………. (2.10)
Dimana :
MQ = Marshall Quotient (kg/mm)
S = Stabilitas (kg)
F = Nilai flow (mm)
40