Anda di halaman 1dari 36

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka


Penambahan limbah plastik styrofom sebagai pengganti parsial dalam
campuran Asphalt Concrete – Wearing Course (AC-WC) mengingat perubahan
sifat aspal dan juga campurannya. Sifat aspal itu Perubahan yang lebih baik adalah
penetrasi yang menunjukkan ketebalan aspal. Aspal jika ditambahkan oleh plastik
EPS limbah akan meningkatkan kekakuan seiring bertambahnya jumlah sampah
plastik EPS ditambahkan. (Ayu Listiani dan Harmein Rahman, 2012)

Campuran di peroleh dengan sedikit perubahan mekanis dari campuran


aspal, yang tidak berbeda dengan campuran aspal kovensional lainnya dalam hal
sifat fisik, namun juga kualitas di perbaiki dari segi kimia. Penambahan limbah
plastik Styrofoam sebagai subtitusi parsial dalam campuran perkerasan aspal telah
memberikan perubahan sifat aspal dan juga campuran, aspal yang di tambahkan
limbah Styrofoam akan menurunnya tingkat penetrasi. Alasannya adalah
kombinasi yang baik antara limbah Styrofoam dengan aspal yang meningkatkan
adhesi campuran tertentu. ( Akbari, A.M., dan Kiasat, A, 2012)

Penggunaan sampah plastic Styrofoam sebagai subtitusi parsial dalam


campuran Asphalt Concrete – Wearing Course (AC-WC) juga memberikan
manfaat dalam hal seperti lingkungan dan ekonomi. Dari perspektif lingkungan
penggunaan limbah Styrofoam bisa mengurangi volume sampah yang masuk ke
tempat pengelolahan sampah, di samping itu pemanfaatan ini di perkirakan tidak
akan berdampak negatif berupa polusi udara, karena suhu pemanasan yang di
berikan tidak tinggi berkisar 140-150 °C. Secara ekonomi, penggunaan limbah
plastik Styrofoam pengganti aspal terbukti dapat mengurangi penggunaan aspal.
(Bani, M.B., dan Abusalem, Z., 2012)

Berdasarkan hasil pengujian ekstraksi material Reclaimed Asphalt


Pavement (RAP), diperoleh kadar aspal yang tersisa pada campuran yaitu sebesar
5,20%, sehingga dibutuhkan 0,60% aspal tambahan untuk mengembalikan kadar
7

aspal pada keadaan optimum. Sedangkan gradasi material RAP masih berada pada
range spesifikasi yang disyaratkan. Nilai stabilitas terbaik diperoleh pada
campuran aspal menggunakan material RAP dengan tambahan aspal pen 60/70
yang disubstitusika styrofoam sebesar 12% pada Kadar Aspal Optimum (KAO)
berdasarkan Job Mix Design (JMD) Bina Marga Aceh, yaitu sebesar 3.308,72 Kg.
Nilai stabilitas terendah diperoleh pada campuran aspal menggunakan agregat
baru berdasarkan hasil penelitian Dinas Bina Marga Aceh pada KAO yaitu
sebesar 983,94 Kg. (Arianto, H., Saleh, S. M., & Anggraini, R. (2019).

Nilai sifat fisik aspal sebagai berikut : Nilai pengujian Penetrasi pada
campuran kadar 0% sampai 2% adalah sebesar 60x mm sampai 73
x mm. Nilai pengujian titik lembek pada kadar campuran 0% sampai 2%
adalah sebesar 48 °C sampai 53 °C. lalu mengalami kenaikan pada kadar 2%.
Nilai pengujian titik nyala pada kadar campuran 0% sampai 2% adalah sebesar
200 °C sampai 268 °C. Nilai pengujian titik bakar sebesar 250 °C sampai 300 °C.
Seiring bertambahnya suhu maka semakin cepat naik titik nyala dan bakarnya.
Nilai pengujian daktilitas pada kadar campuran 0% sampai 2% adalah sebesar
100cm sampai 130cm. Nilai pengujian masa jenis pada kadar campuran 0%
sampai 2% adalah sebesar 1 gr/ml sampai 0,9810gr/ml mengalami nilai penurunan
terhadap penambahan kadar styrofoam. (Barus, D. A. 2020).

Untuk campuran yang terbaik diantara ke empat variasi adalah campuran


aspal + 1,5% styrofoam, yang kadar aspal optimumnya yaitu 6,85% karena nilai
stabilitas dari campuran ini yang paling besar. Penggunaan aspal dengan 1,5%
Styrofoam pada kadar aspal optimum, menghasilkan nilai stabilitas 1390 kg, nilai
kelelehan 6,8 mm, nilai rongga dalam campuran 4%, nilai rongga antar agregat
19,2%, nilai rongga terisi aspal 80%, nilai MQ 210 kg/mm. (Putri, E. E., 2018).

Hasil menunjukkan bahwa penggunaan EPWP dalam pengikat Bitumen


meningkatkan nilai penetrasi aspal konvensional yang di kisaran 6-7 mm untuk
kelas 60/70 sampai 9,63 mm untuk penggantian 10% dan penggantian 15%
EPWM menurunkan nilainya menjadi 8,13 mm yang mengindikasikan bahwa
Penambahan EPWP di atas 10% dapat menyebabkan kenaikan kekakuan dan
karenanya menurunkan nilai penetrasi. Lebih tinggi Nilai gravitasi spesifik 5%
8

dan penggantian 10% Bitumen yang dimodifikasi lebih padat tapi saat EPWP
berada ditambah 10%, mengurangi kerapatan dan karenanya penurunan nilai yang
cukup besar pada penggantian 15%. Elastisitas aspal seperti yang ditentukan dari
uji daktilitas menunjukkan bahwa nilai daktilitas sesuai dengan standar nilai
minimal 75 sentimeter hingga 5% pengganti. Peningkatan lebih lanjut dalam
kandungan EPWP sampai 10% dan 15% Penggantian, hasilnya menunjukkan
penurunan yang signifikan nilai daktilitas Dari nilai alir 5%, 10% dan 15% Aspal
modifikasi EPWP; Jelas bahwa viskositasnya Bitumen modifikasi EPWP
ditemukan meningkat dengan peningkatan dalam% penggantian EPWP. Kenaikan
Melembutkan suhu dari 5%, 10% dan 15% pengganti aspal modifikasi EPWP
menandakan bahwa pengikat yang dimodifikasi Bisa paling baik digunakan di
daerah kering yang kering untuk perkerasan lentur konstruksi. (S. Abinaya dan M.
Clement, 2016)
9

2.2. Dasar Teori


2.2.1. Struktur Perkerasan Jalan

Perkerasan jalan adalah campuran agregat dan bahan ikat (binder) yang
diletakkan di atas tanah dasar dengan pemadatan untuk melayani beban lalu lintas.
Tujuan utama pembuatan struktur perkerasan jalan adalah untuk mengurangi
tegangan atau tekanan akibat beban roda sehingga mencapai tingkat nilai yang
dapat diterima oleh tanah yang menyokong beban tersebut.

Berdasarkan bahan pengikatnya, kontruksi perkerasan jalan dibedakan


menjadi tiga jenis kontruksi perkerasan, yaitu :

1. Kontruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang


menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Disebut “lentur” karena
kontruksi ini mengijinkan terjadinya deformasi vertikal akibat beban lalu
lintas. Fungsi dari lapisan ini adalah memikul dan mendistribusikan beban
lalu lintas dari permukaan sampai ke tanah dasar. Salah satu jenis
perkerasan lentur adalah Hot Rolled Asphalt, Porus Asphalt serta Asphalt
Concrete (AC).
2. Kontruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat. Disebut
“kaku” karena pelat beton tidak terdefleksi akibat beban lalu lintas dan
didesain untuk umur 40 tahun sebelum dilaksanakan rekonstruksi besar-
besaran. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton dengan
atau tanpa tulangan yang diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa
lapis pondasi bawah.
3. Kontruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan
yang mengkombinasikan antara aspal dan semen (PC) sebagai bahan
pengikatnya. Penyusunan lapisan komposit terdiri dari dua jenis. Salah
satu jenis perkerasan komposit adalah penggabungan secara berlapis antar
perkerasan lentur (menggunakan aspal sebagai bahan pengikat) dan
perkerasan kaku (menggunakan semen PC sebagai bahan pengikat).
10

Pada umumnya jenis perkerasan yang dipakai adalah perkerasan lentur.


Susunan struktur jalan (perkerasan lentur) di Indonesia pada umumnya mengacu
pada standar USA.

2.2.1.1. Lapis Permukaan (Surface Course)

Lapis permukaan adalah lapisan perkerasan yang terletak paling atas, yang
terdiri dari lapis aus (wearing course) dan lapis antara (binder course)

a. Lapis Aus (wearing Course)


1. Sebagai lapisan aus, yaitu lapisan yang semakin lama semakin tipis
karena langsung bersentuhan dengan roda-roda kendaraan lalu lintas,
dan dapat diganti lagi dengan yang baru.
2. Menyediakan permukaan jalan yang aman dan kesat (anti selip)

b. Lapis Antara (Binder Course)


1. Menyediakan drainase yang baik dari permukaan kedap air, sehingga
air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke lapisan di bawahnya
dan melemahkan lapisan-lapisan tersebut.
2. Menerima beban langsung dari lalu lintas dan menyebarkannya untuk
mengurangi tegangan pada lapisan bawah struktur jalan
3. Menyediakan permukaan jalan yang baik dan rata sehingga nyaman
dilalui

2.2.1.2. Lapis pondasi Atas (Base Course)

Lapis pondasi atas adalah bagian dari lapisan perkerasan yang


terletak antara permukaan dan lapisa pondasi bawah atau dengan tanah
dasar apabila tidak menggunakan lapis pondasi bawah. Karena terletak
tepat di bawah permukaan perkerasan, maka lapisan ini menerima
pembebanan yang berat da paling menderita. Secara umum lapis pondasi
atas (base course) mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Bantalan atau lapis pendukung terhadap lapis permukaan


2. Pemikul beban vertikal dan horizontal
11

3. Meneruskan beban ke lapisan di bawahnya


4. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah

2.2.1.3. Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course)

Lapis pondasi bawah adalah bagian lapis perkerasan yang terletak


antara lapis pondasi atas dan tanah dasar. Lapisan ini berfungsi sebagai
berikut :

1. Menyebarkan beban roda ke tanah dasar, sehingga lapisan ini harus


cukup kuat (CBR 20% dan Plastisitas Indeks (PI) > 10%).
2. Efisiensi penggunaan material pondasi bawah relatif lebih murah
dibandingkan dengan material lapisan perkerasan di atasnya.
3. Mengurangi tebal lapisan di atasnya yang lebih mahal
4. Lapisan peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi
5. Lapisan pertama, agar pekerjaan dapat berjalan lancar. Hal ini
sehubungan dengan kondisi lapangan yang memaksa harus segera
menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca atau lemahnya daya dukung
tanah dasar menahan roda-roda alat berat.
6. Lapisan untuk mencegah partikel – partikel halus dari tanah dasar naik
ke lapis pondasi atas

2.2.1.4. Tanah Dasar (Subgrade)

Tanah dasar (Sub Grade) adalah lapisan tanah setebal 50 – 100


cm yang di atasnya akan diletakkan lapisan pondasi bawah. Sebelum
lapisan lain diletakkan, tanah dasar dipadatkan terlebih dahulu sehingga
tercapai kestabilan yang tinggi terhadap perubahan volume, sehingga dapat
dikatakan bahwa kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan
sangat ditentukan oleh sifat-sifat daya dukung tanah dasar. Pemadatan
yang baik akan diperoleh jika dilakukan pada kondisi kadar air optimum
dan diusahakan kadar air tersebut konstan selama umur rencana.
12

Tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan (jika tanah
aslinya baik), tanah yang didatangkan dari tempat lain dan dipadatkan,
atau tanah yang distabilisasi dengan kapur atau bahan lainnya. Adapun
fungsi tanah dasar adalah sebagai tempat peletak pondasi dan pemberi
daya dukung terhadap lapisan atasnya. Ditinjau dari muka tanah asli, maka
lapisan tana dasar (subgrade) dapat dibedakan atas lapisan tanah dasar
(tanah galian), lapisan tanah dasar (tanah timbunan) dan lapisan tanah
dasar (tanah asli).

2.2.2. Material penyusun Lapis Aspal Beton (Asphalt Concrete)


2.2.2.1. Aspal

Aspal dapat didefinisikan sebagai material perekat (cementitious),


berwarna hitam atau coklat tua dengan unsur utama bitumen. Aspal dapat
diperoleh langsung dari alam ataupun juga merupakan hasil residu dari
penyulingan minyak bumi. Aspal merupakan material yang sering digunakan
untuk bahan pengikat agregat, oleh karena itu seringkali bitumen disebut pula
sebagai aspal.

Aspal mempunyai kepekaan terhadap perubahan suhu/temperatur, karena


aspal adalah material termoplastis. Aspal akan mencair jika dipanaskan sampai
dengan temperatur tertentu, dan akan kembali membeku jika temperatur turun.
Setiap jenis aspal mempunyai kepekaan terhadap temperatur yang berbeda-beda,
karena kepekaan tersebut dipengaruhi oleh komposisi kimiawi aspalnya,
walaupun mungkin mempunyai nilai penetrasi atau viskositas yang sama pada
temperatur tertentu. Pemeriksaan sifat kepekaan aspal terhadap perubahan
temperatur perlu dilakukan sehingga diperoleh informasi tentang rentang
temperatur yang baik untuk pelaksanaan pekerjaan.

Temperatur campuran beraspal panas merupakan satu-satunya faktor yang


paling penting dalam pemadatan, karena mempengaruhi viskositas aspal yang
digunakan. Menaikkan temperatur pemadatan mengakibatkan partikel agregat
dalam campuran beraspal panas dapat dipadatkan lebih baik lagi. Kerapatan
(density) pada saat pemadatan terjadi pada suhu lebih tinggi dari 275°F (135°C).
13

Kerapatan menurun dengan cepat ketika pemadatan diakukan pada suhu lebih
rendah (Suparyanto, 2008).

1. Jenis Aspal

Secara umum, jenis aspal dapat diklasifikasikan berdasarkan asal dan


proses pembentukannya adalah sebagai berikut :

a) Aspal Alamiah

Aspal alamiah merupakan material aspal tambang yang diperoleh langsung


dari alam. Jenis aspal alam ini terbagi menjadi dua, yaitu: Aspal Gunung (Rock
Asphalt) dan Aspal Danau (Lake Asphalt). Di Indonesia aspal gunung dikenal
dengan Asbuton (Aspal Batu Buton) yang berasal dari pulau Buton di Sulawesi
Tenggara, dimana di dalam batu mengandung aspal berkisar sekitar 14%-30% dan
mineral sekitar 85%-70%. . Sedangkan aspal danau yang paling terkenal adalah
danau Trinidad dan aspal Bermuda. Aspal dari Trinidad mengandung kira-kira
40% organik dan zat-zat anorganik yang tidak dapat larut, sedangkan yang berasal
dari Bermuda mengandung kira-kira 6% zat-zat yang tidak dapat larut. Dengan
pengembangan aspal minyak bumi, aspal alamiah relatif menjadi tidak digunakan
dalam pekerjaan perkerasan.

b) Aspal Batuan

Aspal batuan adalah batuan yang terjadi karena endapan alamiah batu
kapur atau batu pasir yang diperpadat dengan bahan-bahan berbitumen. Di
Indonesia disebut dengan nama Asbuton karena berasal dari pulau Buton. Pulau
Buton terletak di ujung tenggara pulau Sulawesi dan merupakan salah satu
kabupaten di Propinsi Sulawesi Tenggara, yaitu Kabupaten Buton dengan Ibu
Kotanya Bau-bau. Endapan aspal alam di Pulau Buton bagian selatan terletak
pada satu jalur yang membujur dari teluk Sampolawa di sebelah selatan sampai
teluk Lawele di sebelah utara. Di daerah tersebut ditemukan 19 daerah singkapan
aspal (out crop).
14

Asbuton adalah aspal alam yang berasal dari pulau buton, Sulawesi
Tenggara yang berbentuk butiran dengan kadar bitumen tertentu. Butiran asbuton
ini terdiri dari bitumen dan mineral, dimana sebagian besar mineral merupakan
mineral kapur dari ukuran debu sampai ukuran pasir. menunjukkan kadar bitumen
asbuton. Asbuton sebagai aspal alam terdiri dari aspal dan mineral yang sudah
menyatu secara alami, dengan kandungan aspal rata-rata nya berkisar antara 20%
sampai 23% dan mineral rata-rata nya antara 80% sampai 77% (Kramer, 1989).

Secara umum asbuton dapat dibedakan atas 2 wilayah besar, yaitu


Kabungka dan Lawele. Asbuton daerah Kabungka memiliki sifat yang cukup
keras dengan nilai penetrasi < 10 dmm sedangkan asbuton dari Lawele memiliki
sifat yang lebih lunak nilai penetrasi > 10 dmm (bisa mencapai 30 dmm). Aspal
ini umumnya membuat permukaan jalan yang sangat tahan lam dan stabil, tetapi
akibat kebutuhan transportasi yang tinggi membuat aspal terbatas pada daerah-
daerah tertentu saja.

c) Aspal Minyak Bumi

Aspal minyak bumi pertama kali digunakan di Amerika Serikat untuk


perlakuan jalan pada tahun 1894. Bahan-bahan pengeras jalan aspal sekarang
berasal dari minyak mentah domestik bermula dari lading-ladang di Kentucky,
Ohio, Michigan, Illinois, Mid-Continent, Gulf-Coastal, Rocky Mountain,
California dan Alaska. Sumber-sumber asing termasuk Meksiko, Venezuela,
Colombia dan Timur Tengah. Sebesar 32 Juta telah digunakan pada tahun 1980
(Oglesby, 1996).

2. Sifat Kimiawi Aspal

Pada aspal terdapat sebuah sistem yang disebut kolodial. Sistem ini terdiri
dari komponen molekul berat yang disebut asphaltene, disperse/hamburan
didalam minyak perantara disebut juga maltene. Bagian dari maltene terdiri dari
molekul perantara disebut resin yang menjadi instrumen penting di dalam
menjaga disperse asphaltene (Koninklijke, 1987).
15

Aspal merupakan senyawa hidrogen H dan karbon C yang terdiri dari


paraffin, naften dan aromatis. Fungsi dari kandungan aspal dalam campuran juga
berperan sebagai selimut agregat dalam bentuk film aspal yang berperan menahan
gaya gesek permukaan dan mengurangi kandungan pori udara yang juga berarti
mengurangi penetrasi air kedalam campuran (Rianung, 2007).

Aspal merupakan senyawa yang kompleks, bahan utamanya terdiri dari


hidrokarbon dan atom-atom N, S, dan O dalam jumlah yang kecil. Dimana unsur-
unsur yang terkandung dalam bitumen adalah Karbon (82-88%), Hidrogen ( 8-
11%), Sulfur (0-6%), Oksigen (0-1,5%) dan Nitrogen (0-1%). Berikut sifat-sifat
dari senyawa penyusun dari aspal:

a. Asphaltene

Asphaltene adalah salah satu senyawa komplek aromatis yang berwarna


hitam atau coklat amorf, bersifat termoplastis dan sangat polar dan tidak larut
dalam n-heptan. Asphaltene juga sangat berpengaruh dalam menentukan sifat
reologi bitumen, dimana semakin tinggi asphaltene, maka bitumen akan semakin
keras dan makin kental, sehingga titik lembeknya akan semakin tinggi dan
menyebabkan harga penetrasinya semakin rendah.

b. Maltene

Maltene merupakan suatu senyawa yang terdiri dari tiga komponen


penyusun yaitu saturate, aromatis dam resin. Dimana masing-masing komponen
memiliki struktur dan komposisi kimia yang berbeda dan sangat menentukan
dalam sifat rheologi bitumen.

c. Saturate.

Senyawa ini berbentuk cairan kental non polar, berat molekul hampir sama
dengan aromatis. Senyawa ini tersusun dari campuran hidrokarbon lurus,
bercabang, alkil napthene dan aromatis, komposisi 5-20% dari total bitumen.
16

d. Aromatis.

Senyawa ini berwarna coklat tua, berbentuk cairan kental, bersifat non
polar dan di dominasi oleh cincin tidak jenuh, berat molekul 300-2000, terdiri dari
senyawa naften aromatis, komposisi 40 – 65% dari total bitumen.

e. Resin.

Senyawa ini berwarna coklat tua, berbentuk solid atau semi solid dan
sangat polar, dimana tersusun oleh atom C dan H, dan sedikit atom O, S, dan N,
untuk perbandingan H/C yaitu 1,3 – 1,4, memiliki berat molekul antara 500 –
50000 dan larut dalam n-heptan.

Aspal yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspal padat atau keras
dengan penetrasi 60/70 dan mempunyai nilai karakteristik yang telah memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh Bina Marga. Untuk data jenis pengujian dan
persyaratan aspal tersebut tercantum seperti pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Data Jenis Pengujian dan Persyaratan Aspal Grade 60/70

No Jenis Pengujian Satuan Metoda Pengujian Persyaratan

a b c d e

1 Penetrasi, 25 °C Mm SNI 2456 : 2011 60-70

2 Titik nyala / Titik Bakar (℃) SNI 2433:2011 ≥ 200

3 Daktalitas pada 25 ℃ ( cm ) SNI 2432:2011 ≥ 100

4 Berat Jenis gr/cc SNI 2441:2011 ≥ 1,0

5 Titik Lembek (℃) SNI 2434 : 2011 ≥ 48

Penurunan Berat
6 % Berat SNI 06-2441:1991 ≤0,8
Minyak dan Aspal

Sumber: Spesifikasi Umum Bina Marga tahun 2018


17

Aspal yang akan digunakan sebagai campuran perkerasan jalan harus


memiliki syarat-syarat sebagai berikut :

a. Daya tahan (Durability)

Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat asalnya


akibat pengaruh cuaca selama umur pelayanan.

b. Kepekaan terhadap material


Aspal adalah material yang bersifat termoplastis, sehingga akan menjadi
keras atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan melunak atau
mencair jika temperatur bertambah. Sifat ini diperlukan agar aspal memiliki
ketahanan terhadap perubahan temperatur, misalnya aspal tidak banyak
berubah akibat perubahan cuaca, sehingga kondisi permukaan jalan dapat
memenuhi kebutuhan lalu lintas serta tahan lama. Dengan diketahui kepekaan
aspal terhadap temperatur maka dapat ditentukan pada temperatur berapa
sebaiknya aspal dipadatkan sehingga menghasilkan hasil yang baik.
c. Kekerasan Aspal
Sifat kekakuan atau kekerasan aspal sangat penting, karena aspal yang
mengikat agregat akan menerima beban yang cukup besar dan berulang-
ulang. Pada proses pencampuran aspal dengan agregat dan penyemprotan
aspal ke permukaan agregat terjadi oksidasi yang menyebabkan aspal menjadi
getas atau viskositas bertambah tinggi. Peristiwa perapuhan terus terjadi
setelah masa pelaksanaan selesai. Selama masa pelayanan, aspal mengalami
oksidasi dan polimerasi yang besarnya dipengaruhi oleh aspal yang
menyelimuti agregat. Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat
kerapuhan aspal yang terjadi dan demikian juga sebaliknya.
d. Daya ikatan (adhesi dan kohesi
Adhesi adalah kemampuan aspaluntuk mengikat agregat sehingga dihasilkan
ikatan yang baik antara agregat dan aspal. Kohesi adalah ikatan di dalam
molekul aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap di tempatnya setelah
terjadi pengikat.
18

3. Pemeriksaan Propertis Aspal


a. Penetrasi

Menurut Sukirman (1999), tingkat kekentalan aspal pada suhu 25°C


menunjukkan nilai penetrasinya, daerah dataran rendah dengan volume lalu lintas
yang tinggi dan bercuaca panas biasanya menggunakan aspal berpenetrasi rendah,
sebaliknya untuk daerah dataran tinggi, volume lalu lintas rendah dan dingin
menggunakan aspal berpenetrasi tinggi.

Penetrasi merupakan kekerasan yang dinyatakan sebagai kedalaman


masuknya jarum penetrasi standar secara vertical yang dinyatakan dalam satuan
0,1 mm pada kondisi beban, waktu dan temperatur yang diketahui. Pengujian
penetrasi ini sangat dipengaruhi oleh berat beban total, ukuran sudut dan
kehalusan permukaan jarum, temperatur dan waktu. (SNI 2456:2011).

b. Titik Nyala (°C)

Titik nyala dapat digunakan untuk mengukur kecenderungan aspal dapat


terbakar akibat panas (SNI 2433:2011). Titik nyala/bakar dapat dihitung dengan
persamaan 1 berikut:

Titik nyala / bakar terkoreksi = C + 0,25 (101,3 – K)……………….…….. (1)

Keterangan :
C = Titik nyala / titik bakar °C
K = Tekanan birometer udara, kPa

c. Daktalitas

Daktalitas adalah panjang tarikan tanpa putus dari mesin daktilitas yang
terdiri dari sepasang mangkuk aspal yang dapat ditarik terpisah pada kecepatan
tertentu hingga mencapai jarak minimal 100 cm. Menurut Sukirman (1999)
menyatakan nilai daktalitas suatu aspal menunjukan nilai kohesi yang dimiliki
oleh aspal itu sendiri dengan mengukur jarak terpanjang yang dapat ditarik antara
2 cetakan yang berisi bitumen keras sebelum putus pada suhu dan kecepatan tarik
tertentu. Aspal dengan daktalitas yang lebih besar mengikat butiran agregat lebih
baik tetapi lebih peka terhadap perubahan temperatur.
19

d. Berat Jenis aspal

Berat jenis aspal adalah perbandingan antara berat aspal dengan berat air
suling dengan volume yang sama pada suhu 25°C (Sukirman, 1999). Persamaan
2, digunakan untuk perhitungan berat jenis aspal (SNI 2441, 2011).

Berat jenis = [ ]
…………………………………………….. (2)

Keterangan :
A = Berat piknometer dengan tutup (gr)
B = Berat piknometer berisi air (gr)
C = Berat Piknometer berisi aspal (gr)
D = Berat aspal + air (gr)

e. Titik lembek (°C)

Aspal mempunyai nilai batas kekakuan yang disebut titik lembek atau titik
lunak aspal yang merupakan temperatur dimana aspal menjadi lunak dan dapat
menyelimuti agregat pada proses pencampuran (Sukirman, 1999). Titik lembek
merupakan temperatur pada saat bola baja dengan berat tertentu, mendesak turun
lapisan aspal yang tertahan dalam cincin berukuran tertentu, sehingga aspal
menyentuh pelat dasar yang terletak dibawah cincin pada jarak 25,4 mm, sebagai
akibat kecepatan pemanasan tertentu (SNI 2434, 2011).

f. Penurunan Berat Minyak dan Aspal (%)

Pengujian penurunan berat aspal bertujuan untuk mengetahui kehilangan


minyak pada aspal akibat pemanasan berulang dan untuk mengukur perubahan
kinerja aspal akibat kehilangan berat. Untuk mengevaluasi hanya pada beberapa
karakteristik aspal, seperti kehilangan berat dan penetrasi, daktalitas dan titik
lembek sesudah kehilangan berat, dimana cara tersebut dinamakan Thin Film
Over Test (TFOT). Besarnya nilai penurunan berat, selisih nilai penetrasi sebelum
dan sesudah pemanasan menunjukkan bahwa aspal tersebut peka terhadap
perubahan cuaca dan suhu.
20

Pengujian kehilangan berat ini umumnya tidak terpisah dengan evaluasi


karakteristik aspal setelah kehilangan berat. Dalam evaluasi ini dilakukan
perbandingan karakteristik seebelum dan sesudah kehilangan berat. Karakteristik
yang dilihat adalah nilai penetrasi, titik lembek dan daktalitas. Persamaan 3,
digunakan untuk perhitungan berat jenis aspal.

Penurunan Berat = x 100 %...................................................................... (3)

Keterangan :
A = Berat cawan + contoh sebelum diuji (gr)
B = Berat cawan + contoh sesudah diuji (gr)

Untuk Thin Film Oven Test (TFOT) digunakan untuk membandingkan


nilai penetrasi, titik lembek dan daktalitas sebelum dan setelah dimasukkan dalam
oven.

2.2.2.2. Aspal Modifikasi

Aspal modifikasi adalah aspal minyak yang ditambah dengan beberapa


aditif, dengan maksud untuk meningkatkan kinerjanya. Aspal minyak yang ada di
pasaran sekarang cenderung kehilangan beberapa sifat yang sangat dibutuhkan
dalam fungsinya sebagai bahan pengikat agregrat batuan pada lapis perkerasan.
Awal kesadaran tentang hal itu adalah pelunakan aspal beton akibat panas
permukaan jalan yang jauh lebih tinggi dari apa yang dikenal di negara subtropik,
yang beranggapan panas permukaan jalan tidak akan lebih dari 60°C (Asphalt
Institute, 1997). Berbagai cara dan jenis aditif dicoba untuk ditemukan agar titik
lembek aspal yang ada di pasaran dapat dinaikkan dari 48°C menjadi paling tinggi
55°C, bahkan lebih tinggi untuk mengantisipasi permukaan beton aspal yang
menderita panas permukaan tinggi, beban as berat, kendaraan berjalan lambat dan
alur ban bergerak seperti berjalan di atas kereta api (kanalisasi).

Pemakaian aditif untuk menaikkan titik lembek ternyata berakibat


menurunnya angka penetrasi aspal, sehingga aspal menjadi kering dan keras, serta
menyulitkan dalam pengerjaannya. Aditif lain harus ditemukan untuk
21

mengembalikan kelas aspal menjadi 60/70 kembali agar tidak mudah mengalami
ageing (penuan), batas terendah untuk angka penetrasi sementara ini disepakati
tidak kurang dari 40. Kesulitan lain mulai tampak dengan terlihatnya secara nyata
aspal modifikasi yang terbentuk dengan titik lembek tinggi dan penetrasi 40
sehingga kehilangan kelengketan. Kesulitan produksi akhirnya berujung dengan
tidak selalu semua aditif yang ditambahkan itu dapat bekerja sama secara sinergi
membentuk kesatuan dalam peningkatan kinerja aspal. Salah satu contoh aspal
modifikasi adalah aspal modifikasi polimer (Listiani, A., 2012).

Ketentuan sifat-sifat campuran aspal beton modifikasi dapat dilihat pada


Tabel 2.2 dibawah ini:

Tabel 2.2 Ketentuan sifat-sifat campuran Aspal Modifikasi


No Jenis Pengujian Satuan Metoda Pengujian Persyaratan
a b c d e

1 Penetrasi, 25 °C mm SNI 2456:2011 Dilaporkan

2 Titik nyala / Titik bakar (℃) SNI 2433:2011 ≥ 230

3 Daktalitas pada 25 ℃ ( cm ) SNI 2432:2011 -

4 Berat Jenis gr/cc SNI 2441:2011 ≥ 1,0

5 Titik Lembek (℃) SNI 2434:2011 Dilaporkan

6 Berat yang hilang % SNI 06 2441:1991 ≤ 0,8

Sumber: Spesifikasi Umum Bina Marga 2018

2.2.2.3. As Pen 60/70 dengan Penambahan 1,5 % Styrofoam (Aspal


Modifikasi)

Aspal modifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah campuran


aspal pertamina pen 60/70 dengan penambahan 1,5% styrofoam dari berat aspal.
Digunakan 1,5% styrofoam karena menurut (Dwinanda A,2018), bahwa dari
variasi 0,5%, 1%, 1,5%, 2% styrofoam, penggunaan 1,5% styrofoam merupakan
campuran terbaik karena memiliki nilai stabilitas yang paling tinggi.
22

Proses pencampuran aspal modifikasi ini dilakukan dengan campuran


panas (hot mix) dengan suhu berkisar ≤ 170℃. Pada proses pemanasan, styrofoam
dicampur dengan menggunakan Mixer sampai campuran aspalnya homogen.

Sifat dari campuran modifikasi aspal diharapkan dapat :

 Meningkatkan kemudahan dalam pelaksanaan (workability)


 Menurunkan permanent deformasi
 Meningkatkan kemampuan penyaluran beban

2.2.2.4. Agregat

Agregat adalah campuran dari kerikil, batu pecah dan material lainnya
yang berasal dari bahan mineral alami atau batuan. Dalam struktur perkerasan
jalan komponen agregat merupakan komponen utama dengan nilai persentase 90-
95% berdasarkan persentase berat, atau 75-85% agregat berdasarkan persentase
volume (Sukirman, 2003). Menurut asalnya agregat dapat dibagi menjadi:

1. Agregat alam (natural aggregate), langsung diambil dari alam tanpa


melalui proses pengolahan khusus.
2. Agregat dengan pengolahan (manufacture aggregate), berasal dari mesin
pemecah dan penyaring batu untuk memperbaiki gradasi agregat agar
sesuai dengan ukuran yang diinginkan

Berdasarkan butirannya agregat dapat dibedakan menjadi agregat kasar,


agregat halus dan bahan pengisi (filler). Departemen Pemukiman dan Prasarana
Wilayah (2000) membedakan spesifikasi aspal hotmix menjadi 3 jenis, yaitu:

1. Agregat kasar, yaitu agregat dengan ukuran butir lebih besar dari saringan
No. 8 (= 2,36 mm).
2. Agregat halus, yaitu agregat dengan ukuran butir lebih kecil dari saringan
No. 8 (= 2,36 mm).
3. Bahan pengisi (filler), yaitu bagian dari agregat halus yang lolos saringan
No. 30 (= 0,60 mm).
23

Berdasarkan Bina Marga Departemen PU (1999), agregat dibedakan


menjadi 3 jenis, yaitu:

1. Agregat kasar, yaitu agregat dengan ukuran butir lebih besar dari saringan
No. 4 (= 4,75 mm)
2. Agregat halus, yaitu agregat dengan ukuran butir lebih kecil dari saringan
No. 4 (= 4,75 mm)
3. Bahan pengisi (filler), yaitu bagian dari agregat halus yang minimum 75%
lolos saringan No. 200 (= 0,075 mm)

Pengujian agregat sangat diperlukan untuk mengetahui apakah memenuhi


ketentuan yang telah ditetapkan atau tidak, serta untuk mengetahui kualitas
agregat yang digunakan, karena pemilihan agregat yang tepat sangat
mempengaruhi kualitas campuran. Pengujian agregat yang umum dilaksanakan
antara lain: Ukuran butir, Gradasi, Kebersihan, Kekerasan, Bentuk partikel,
Tekstur permukaan, Penyerapan, Kelekatan terhadap aspal. Tetapi pada penelitian
ini hanya memeriksa analisa saringan, berat jenis agregatnya dan abrasi.

1. Analisa Saringan

Analisa saringan bertujuan untuk mengetahui ukuran butir dan susunan


butiran tanah (gradasi) tertahan saringan nomor 200. Analisa saringan juga
digunakan untuk perencannan kombinasi agregat. Ukuran butiran tanah ditentukan
dengan menyaring sejumlah tanah melalui seperangkat saringan yang disusun
dengan lubang yang paling besar berada paling atas (Sukirman, S., 2012).

2. Berat jenis

Di dalam rancangan campuran dibutuhkan parameter petunjuk berat, yaitu


berat jenis agregat. Berat jenis agregat adalah perbandingan antara volume agregat
dengan berat volume air. Agregat dengan berat jenis kecil mempunyai volume
yang besar atau berat yang ringan (Sukirman, S., 2012).
24

3. Abrasi

Abrasi adalah tes dasar untuk kekuatan batuan pendukung matrix, yang
tidak mudah pecah (overcompaction) dan tidak mudah tergerus menjadi debu
batu. Nilai ini diukur dengan mesin Los Angles Abration Machine yang berisi bola
bola besi, dimana contoh batuan diputar 400 kali di dalamnya. Perbedaan
timbangan sebelum dan sesudah putaran disyaratkan maksimum hilang 30%
untuk lapis permukaan dan 40% untuk lapis pondasi atas (Soehartono, 2014).

2.2.2.4.1. Syarat-syarat Mutu Agregat

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh agregat adalah gradasi, kebersihan,


kekerasan/keausan, bentuk butir, daya absorpsi, daya pelekatan aspal, dan berat
jenis.

a. Gradasi agregat

Gradasi atau distribusi partikel-partikel berdasarkan ukuran agregat


merupakan hal yang penting dalam menentukan stabilitas perkerasan. Gradasi
agregat mempengaruhi besarnya rongga antar butir yang akan menentukan
stabilitas dan kemudahan dalam proses perencanaan. Gradasi agregat diperoleh
dari hasil analisa saringan (Sukirman, 1999). Menurut Bukhari (2007) distribusi
partikel-partikel berdasarkan ukuran agregat ini akan saling mengisi sehingga
terjadinya suatu ikatan yang saling mengunci (interlocking). Gradasi agregat
secara umum dapat dikelompokkan, sebagai berikut :

1) Gradasi seragam (uniform graded)

Gradasi seragam adalah agregat yang hanya terdiri dari butirbutir agregat
yang berukuran sama atau hampir sama dan mengandung sedikit agregat halus
sehingga tidak dapat mengisi rongga antar agregat. Gradasi seragam juga disebut
sebagai gradasi terbuka, yang membuat lapisan perkerasan bersifat permeabilitis
yang tinggi, stabilitas kurang dan berat volume yang kecil. Gradasi ini yang akan
digunakan pada penelitian ini.
25

Gambar 2.1. Gradasi Seragam

2) Gradasi menerus (dense graded)

Gradasi ini juga disebut gradasi baik karena berimbangnya campuran


agregat kasar dan agregat halus sehingga akan menghasilkan lapisan perkerasan
dengan stabilitas yang tinggi, sifat kedap air bertambah dan berat isi yang lebih
besar.

Gambar 2.2. Gradasi Menerus

3) Gradasi senjang (gap graded)

Gradasi senjang adalah agregat yang distribusi ukuran butirnya tidak


menerus, atau ada bagian ukuran yang tidak ada, jika ada hanya sedikit sekali.

Gambar 2.3. Gradasi Senjang


26

b. Kebersihan

Agregat yang kita gunakan terkadang mengandung zat-zat asing yang


tidak diinginkan antara lain tumbuhan, butiran lunak gumpalan tanah liat dan
lapisan tanah pada butiran agregat kasar, yang dapat merugikan campuran
perkerasan jalan. Hal seperti ini harus dihindari, kecuali zat-zat asing tersebut
dapat dikurangi atau dalam jumlah yang sangat terbatas.

Kotoran akan mempengaruhi mutu campuran agregat dengan aspal karena:

a) Kotoran membungkus partikel-partikel agregat sehingga ikatan antara


agregat dan aspal berkurang;
b) Adanya kotoran mengakibatkan luas daerah yang harus diselimuti aspal
bertambah. Dengan kadar aspal yang sama akan menghasilkan stripping
(lepasnya ikatan antara aspal dan agregat);
c) Tipisnya lapisan aspal mengakibatkan lapisan mudah teroksidasi sehingga
lapisan cepat rapuh;
d) Kotoran cenderung menyerap air yang berakibat hancurnya lapisan aspal.

c. Daya Absorbsi

Agregat yang digunakan untuk campuran perkerasan haruslah mempunyai


pori sedikit. Banyaknya pori akan mempengaruhi daya absorbsi agregat terhadap
aspal. Hal ini sangat berguna untuk lapisan aus. Agregat yang berpori banyak
akan menyerap aspal lebih banyak, sehingga aspal akan masuk kedalam pori-pori
yang mengakibatkan campuran akan kekurangan aspal, selain itu agregat yang
berpori banyak kurang daya tahannya dibanding dengan agregat yang sama tetapi
kurang berpori. Agregat yang berpori banyak tidak bisa digunakan untuk
campuran perkerasan jalan.

d. Keausan

Keausan menentukan apakah agregat yang akan digunakan dilapangan


mampu menahan beban atau tidak yang ditentukan dengan nilai keausannya.
Menurut SNI 2417:2008, nilai keausan maks. 40% untuk semua jenis campuran
27

aspal. Jika nilai keausannya >40% maka agregat tersebut dianggap rapuh dan
tidak mampu menerima dan menahan beban maka lapisan perkerasan akan
mengalami deformasi yang besar.

e. Impack

Impack menentukan apakah agregat yang akan digunakan dilapangan


mampu menahan beban atau tidak yang diakibatkan oleh tumbukan.

f. Daya Lekat terhadap Aspal

Daya lekat terhadap aspal tergantung dari keadaan pori dan banyaknya
pori-pori dalam agregat. Pori yang kecil memberikan daya lekat yang baik dari
pada pori-pori yang besar. Selain itu permukaan yang kasar juga mempengaruhi
daya lekat agregat terhadap aspal. Menurut SNI 2439:2011 kelekatan agregat
terhadap aspal minimal 95%.

g. Berat Jenis

Berat jenis dibutuhkan untuk mengetahui keseragaman sumber agregat dan


juga untuk menentukan kadar aspal khusus untuk penentuan kadar aspal dengan
cara luas permukaan. Penentuan berat jenis agregat berbeda untuk agregat kasar,
halus, dan pengisi. Hal ini disebabkan oleh butir-butir yang berlainan mempunyai
daya absorpsi terhadap air yang berbeda pula. Adapun syarat berat jenis menurut
peraturan Bina Marga sebesar >1 gr/cc.

2.2.2.5. Polimer

Aspal polimer adalah suatu material yang dihasilkan dari modifikasi antara
polimer alam atau polimer sintetis dengan aspal. Modifikasi aspal polimer (atau
biasa disingkat dengan PMA) telah dikembangkan selama beberapa dekade
terakhir. Umumnya dengan sedikit penambahan bahan polimer (biasanya sekitar
2-6%) sudah dapat meningkatkan hasil ketahanan yang lebih baik terhadap
deformasi, mengatasi keretakan-keretakan dan meningkatkan ketahanan usang
dari kerusakan akibat umur sehingga dihasilkan pembangunan jalan lebih tahan
lama serta juga dapat mengurangi biaya perawatan atau perbaikan jalan.
28

Penggunaan campuran polimer aspal merupakan trend yang semakin


meningkat tidak hanya karena faktor ekonomi, tetapi juga demi mendapatkan
kualitas aspal yang lebih baik dan tahan lama. Modifikasi polimer aspal yang
diperoleh dari interaksi antara komponen aspal dengan bahan aditif polimer dapat
meningkatkan sifat-sifat dari aspal tersebut. Dalam hal ini terlihat bahwa
keterpaduan aditif polimer yang sesuai dengan campuran aspal. Penggunaan
polimer sebagai bahan untuk memodifikasi aspal terus berkembang di dalam
dekade terakhir .

Salah satu jenis polimer yang digunakan adalah styrofoam. Styrofoam atau
nama umumnya thermoplastic merupakan jenis plastik yang lazim digunakan
untuk kemasan makanan dan minuman. Styrofoam terbagi menjadi 2 bagian yaitu
foamed Styrofoam (FS), dan Expanded Styrofam (EPS), atau disebut juga sebagai
styrofoam busa, yang sehari-hari dikenal sebagai styrofoam.

Tabel 2.3 Tipe-Tipe polimer

No Keperluan Untuk
Tipe Polimer Nama Umumnya
Perkerasan

a b c D
SBS (Styrene Butadiene
1 Thermoplastic Hotmix, Pengisian
Styrene)
Rubber Retak

2 EVA (Ethylene Vinyl Daya tahan terhadap


Thermoplastic
Acetate) alur, seal, retak
PolyEthylene;
3 Daya tahan terhadap
(Polypropylene Thermoplastic
alur
Polystrene)
4 SBR (Styrene Butadiene
Karet Sintetis Retak, Alur
Rubber)
5 Karet Alam Karet Retak, Alur
Sumber : (Pusat Penelitian Bangunan Jalan dan Jembatan, 2002).

Jenis polystrene dapat dilihat pada Gambar 2.5. Butiran resin polystyrene
atau yang dikenal sebagai Expanded Styrofoam (EPS) (Gambar 2.5.a) diresapi
oleh bahan pengembang (blowing agent). Produksi Expanded Styrofoam dimulai
dari proses pengembangan, dimana butiran EPS akan mengembang setelah
29

dipanaskan oleh uap dan proses molding (percetakan), kemudian butiran yang
sudah melalui proses pengembangan tersebut akan dipanaskan lagi oleh steam
supaya lebih mengembang lagi dan menyatukan masing-masing butirannya, dan
membentuk produk busa yang diinginkan seperti foamed Styrofoam.

Sumber: Data penelitian Kevin Maulana Universitas Sumatera Utara

(a) Expanded Styrofoam (b) Foamed Styrofoam \

Gambar 2.4 Jenis Styrofoam (EPS-Stryofoam)

Styrofoam mempunyai massa jenis antara 16-640 Kg/m3, dan memiliki


titik leleh 100°C. Styrofoam memiliki daya proteksi yang baik terhadap uap air
dan suhu, namun kurang baik terhadap gas lainnya seperti oksigen. Styrofoam
memiliki sifat yang mudah diproses, kuat, fleksibel, kedap air, permukaan berlilin,
melunak pada suhu 90⁰C. Karena sifatnya tersebut Styrofoam dapat dijadikan
bungkus makanan, pembungkus alat elektronik, serta bahan untuk mendekorasi
suatu ruangan (Abinaya, S., 2016).

Menurut Motlagh, A. (2012) pencampuran Styrofoam untuk menaikkan


kinerja campuran beraspal ada dua cara yaitu cara basah dan cara kering:

1. Cara basah (wet process) yaitu suatu cara pencampuran dimana Styrofoam
dimasukkan kedalam aspal panas dan diaduk dengan kecepatan tinggi sampai
homogen. Cara ini membutuhkan tambahan dana cukup besar antara lain bahan
bakar, mixer kecepatan tinggi sehingga aspal modifikasi yang dihasilkan
harganya cukup besar bedanya dibandingkan dengan aspal konvensional.
2. Cara kering (dry process) yaitu suatu cara pencampuran dimana Styrofoam
dimasukkan kedalam agregat yang dipanaskan pada temperatur campuran,
30

kemudian aspal panas ditambahkan. Tidak perlu ada aspal yang harus
dikeluarkan dari tangki aspal di Asphlat Mixing Plant apabila tangki aspal akan
digunakan untuk keperluan pencampuran aspal dengan aspal konvensional.
Cara kering ini juga lebih mudah karena hanya dengan memasukkan styrofoam
dalam agregat panas, tanpa membutuhkan peralatan lain untuk mencampur.
Kekurangannya adalah harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan
kehomogenan dan keseragaman kadar styrofoam yang dicampurkan. Limbah
styrofoam yang digunakan harus hasil olahan yang telah dipilih, dicacah dan
dicuci. Cacahan limbah styrofoam yang digunakan harus kering, bersih dan
terbebas dari bahan organik atau bahan yang tidak dikehendaki.

Adapun cara yang dipakai dalam penelitian kali ini yaitu dengan cara
basah dimana styrofoam terlebih dahulu dilelehkan oleh senyawa xilene kemudian
dimasukkan ke dalam aspal panas dan diaduk dengan cepat sampai homogen.
Xilene tidak berpengaruh terhadap aspal karena xilene akan menguap apabila
berada diruang terbuka. Pemanfaatan Styrofoam bekas untuk bahan aditif dalam
pembuatan aspal polimer merupakan salah satu cara meminimalisir limbah
tersebut (Abinaya, S., 2016).

2.2.2.6. XYLENE

Xylene merupakan bahan kimia yang memiliki rumus C6H4(CH3)2.


Xylene cairan tak berwarna berbau seperti benzene. Larutan dalam alkohol dan
eter tidak larut dalam air. Xylene merupakan cairan tidak berwarna yang
diproduksi dari minyak bumi atau aspal cair dan sering digunakan sebagai pelarut
dalam industri. Xylene merupakan hidrokarbon aromatik yang secara luas
digunakan dalam industri dan teknologi medis sebagai pelarut. Xylene digunakan
untuk melarutkan styrofoam bekas yang memiliki volume yang lebih besar. Hal
ini bertujuan untuk memudahkan dalam proses pencampuran dengan agregat dan
aspal. Xylene juga merupakan senyawa kimia yang sangat cepat menguap. Oleh
sebab itu, apabila dibiarkan terbuka pada saat dicampur dengan styrofoam, maka
styrofoam akan kembali mengeras pada saat kadar xylene telah habis. Agar kadar
xylene tetap tertahan baiknya dibuat dalam wadah yang tertutup rapat. 10 ml
Xylene digunakan untuk melarutkan 100 gr styrofoam.
31

2.2.3. Campuran Aspal Beton

Aspal beton adalah lapis permukaan yang terdiri dari campuran aspal keras
dan agregat yang bergradasi menerus, dicampur, dihamparkan dan dipadatkan
dalam kondisi panas dengan suhu tertentu. Aspal beton mempunyai ciri kedap air,
mempunyai nilai struktural, awet, kadar aspal berkisar 4 – 7 % terhadap berat
campuran dan dapat digunakan untuk lalu lintas ringan, sedang, hingga berat.
Campuran ini memiliki tingkat kekakuan yang tinggi.
Campuran beraspal panas terdiri dari kombinasi agregat yang dicampur
dengan aspal. Pencampuran dilakukan sedemikian rupa sehingga permukaan
agregat terselimuti aspal dengan seragam. Untuk mengeringkan agregat dan
memperoreh kekentalan aspal yang mencukupi dalam mencampur dan
megerjakannya, maka kedua-duanya dipanaskan masing-masing pada temperatur
tertentu, (Pedoman Pelaksanaan Lapis Campuran Beraspal Panas:2007).

Jenis campuran beraspal dibedakan menjadi:

a. Latasir (lapis tipis aspal pasir/sand sheet), yaitu lapis penutup permukaan
jalan yang terdiri atas agregat halus atau pasir atau campuran keduanya
dan aspal keras yang dicampur, dihampar dan dipadatkan dalam keadaan
panas pada temperatur tertentu.
b. Lataston (lapis tipis aspal beton / HRS), yaitu lapis permukaan yang terdiri
atas lapis aus (lataston lapis aus / HRS-WC) dan lapis permukaan antara
(lataston lapis permukaan antara / HRS-Binder) yang terbuat dari agregat
bergradasi sejang dengan dominasi pasir dan aspal keras yang dicampur,
dihampar dan dipadatkan dalam keadaan panas pada temperatur tertentu.
c. Laston (lapisan aspal beton / AC), yaitu lapis permukaan atau lapis fondasi
yang terdiri atas lapis aus (AC-WC), laton lapis permukaan antara (AC-
BC) dan laston lapis fondasi (AC-Base). Setiap jenis campuran AC yang
menggunakan bahan aspal polimer atau aspal dimodifkasi dengan Asbuton
atau aspal multigrade atau aspal keras Pen 60 dengan Asbuton butir
disebut masingmasing sebagai AC-WC modified, AC-BC modified, dan
AC-Base Modified.
32

Menurut Sukirman (2007), Aspal beton adalah jenis perkerasan jalan yang
terdiri dari campuran agregat dan aspal, dengan atau tanpa bahan tambahan.
Material-material pembentuk aspal beton dicampur di instalasi pencampur pada
suhu tertentu, kemudian diangkut kelokasi, dihamparkan, dan dipadatkan. Suhu
pencampuran ditentukan berdasarkan jenis aspal yang akan digunakan. Jika
digunakan semen aspal, maka suhu pencampuran umumnya antara 145°-155°C,
sehingga disebut aspal beton campuran panas. Campuran ini dikenal dengan nama
“hot mix”. Aspal beton yang menggunakan aspal cair dapat dicampur pada suhu
ruang, sehingga dinamakan “cold mix”.

Tujuh karakteristik campuran yang harus dimiliki oleh aspal beton adalah
sebagai berikut:

a) Stabilitas, adalah kemampuan perkerasan jalan menerima beban lalulintas


tanpa terjadi perubahan bentuk tetap seperti gelombang lalulintas tanpa
terjadi perubahan bentuk tetap seperti gelombang, alur, dan bleeding.
b) Keawetan atau durabilitas, adalah kemampuan aspal beton menerima
repetisi beban lalulintas seperti berat kendaraan dan permukaan jalan, serta
menahan keausan akibat pengaruh cuaca dan iklim, seperti udara, air atau
perubahan temperatur.
c) Kelenturan atau flexibilitas, adalah kemampuan aspal beton untuk
menyesuaikan diri akibat penurunan (konsolidasi/ settlement) dan
pergerakan dari pondasi atau tanah dasar, tanpa terjadi retak.
d) Ketahanan terhadap kelelehan (fatique resistance), adalah kemampuan
aspal beton menerima lendutan berlubang akibat repetisi beban, tanpa
terjadinya kelelehan berupa alur dan retak.
e) Kekesatan/tahan geser (skid resistance), adalah kemampuan permukaan
aspal beton terutama pada kondisi basah, memberikan gaya gesek pada
roda kendaraan sehingga kendaraan tidak tergelincir ataupun slip.
f) Kedap air (impremeabilitas), adalah kemampuan aspal beton untuk tidak
dapat dimasuki air ataupun udara kedalam lapisan aspal beton.
g) Mudah dilaksanakan (workability), adalah kemampuan campuran aspal
beton untuk mudah dihamparkan dan dipadatkan.
33

2.2.3.1. Asphalt Concrete-Wearing Course (AC-WC)

Laston terbagi menjadi tiga jenis yaitu Laston sebagai lapisan Aus dikenal
dengan nama AC-WC (Asphalt concrete - Wearing Course), Laston sebagai
lapisan pengikat dengan sebutan AC-BC (Asphalt Concrete - Binder Course), dan
Laston sebagai lapisan pondasi dengan nama AC-Base (Asphalt Concrete - Base).

AC-WC adalah Jenis lapis permukaan dalam perkerasaan yang


berhubungan langsung dengan ban kendaraan sehingga lapisan ini dirancang
untuk tahan terhadap perubahan cuaca, gaya geser, tekanan roda ban kendaraan,
serta memberikan lapis kedap air untuk lapisan dibawahnya.

AC-WC merupakan jenis campuran yang memiliki gradasi menerus.


Berdasarkan kegunaannya AC-WC di bagi menjadi dua yaitu AC-WC bergadasi
kasar yang artinya campuran ini didominasi agregat yang kasar yakni tertahan
saringan No.8 (2,36 mm) dan biasanya digunakan untuk daerah yang mengalami
deformasi yang lebih tinggi dari biasanya seperti pada daerah pegunungan,
gerbang tol, dan dekat lampu lalu lintas, sedangkan AC-WC bergradasi halus yang
artinya campuran ini didominasi agregat halus yakni lolos saringan No.8 (2,36
mm) dan untuk AC-WC bergradasi halus selalu digunakan untuk jalan raya yang
memiliki deformasi tidak terlalu besar.

Pembuatan AC-WC (Asphalt Concrete – Wearing Coarse) harus melalui


proses perancangan aggregate blending. Perancangan blending diperlukan agar
gradasi campuran dari setiap fraksi agregat (agregat kasar, sedang, halus,
dan filler) sesuai kriteria spesifikasi. Spesifikasi yang digunakan adalah
Spesifikasi Umum Bina Marga tahun 2018. Ketentuan agregat kasar dan agregat
halus menurut Spesifikasi Umum Bina Marga tahun 2018 untuk campuran
Asphalt Concrete-Wearing Course (AC-WC) dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan 2.4.
34

Tabel 2.4. Ketentuan Agregat Kasar


No Jenis Pemeriksaan Standart Syarat

a b c d
1 Kekekalan bentuk Natrium Sulfat Maks. 12%
SNI 3407 : 2008
agregat terhadap Magnesium Sulfat Maks. 18%
2 Abrasi dengan 100 Putaran Maks. 8%
SNI 2417 : 2008
Mesin Los Angeles 500 Putaran Maks.40%
3 Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 2439 : 2011 Min. 95%
4 Butir pecah pada agregat kasar SNI 7619 : 2012 95/90 (*)
5 ASTM D4791-10
Partikel Pipih dan Lonjong Maks.10 %
Perbandingan 1:5
6 SNI ASTM C117
Material Lolos Saringan N0.200 Maks 1%
: 2012
Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga tahun 2018

Catatan: (*) 95/90 menunjukkan bahwa 95 % agregat kasar mempunyai muka


bidang pecah satu atau lebih dan 90 % agregat kasar mempunyai muka bidang
pecah dua atau lebih.

Tabel 2.5 Ketentuan Agregat Halus untuk Campuran Beton Aspal

No Jenis Pemeriksaan Standar Syarat

a b c d
1 Nilai setara pasir SNI 03-4428-1997 Min. 60 %
SNI ASTM
2 Material lolos saringan No. 200 Maks. 10 %
C117:2012
3 Angularitas SNI 03-6877-2002 Min. 45 %
4 Kadar Lempung SNI 03-4141-1996 Maks. 1%
Sumber: Rancangan Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan, Divisi VI
Perkerasan Beraspal, Dep. PU, 2010.

Menurut Pusjatan (2019), seluruh spesifikasi perkerasan mensyaratkan


bahwa partikel agregat harus berada dalam rentang ukuran tertentu dan untuk
masing-masing ukuran partikel harus dalam proporsi tertentu. Distribusi dari
variasi ukuran butir agregat ini disebut gradasi agregat.
35

Tabel 2.6. Amplop gradasi agregat campuran untuk AC-WC

Berikut ini ada 3 metode untuk menentukan persentase dari proporsi setiap
fraksi untuk membuat campuran agregat.

1. Metode trial and error, metode ini dengan cara mencoba-coba persentase
setiap fraksi agregat agar gradasi campuran sesuai dengan range dari
gradasi yang disyaratkan. Menurut Ramu et al (2016) kekurangan dari
proses dari trial and error adalah perlu dilakukan berkali-kali pada
proporsi agregat dari setiap tipe fraksi agar memenuhi batasan dari gradasi
mengingat banyaknya kemungkinan jawaban.
2. Metode grafis, menurut Pusjatan (2019), ada 2 metode grafis yakni metode
grafis bujur sangkar dan metode grafis diagonal. Metode grafis yang
digunakan pada penelitian ini adalah metode grafis diagonal dengan 3
fraksi agregat.

2.2.4. Pengujian Campuran Asphalt Concrete


2.2.4.1. Pengujian Volumetrik

Pengujian volumetrik adalah pengujian untuk mengetahui besarnya nilai


densitas, specific gravity campuran dan porositas dari masing-masing benda uji.
Pengujian meliputi pengukuran tinggi, diameter, berat SSD, berat di udara, berat
dalam air dari sampel dan berat jenis agregat, filler dan aspal. Sebelum dilakukan
pengujian Marshall, benda uji akan dilakukan pengujian volumetrik untuk
masing-masing benda uji.
36

Specific gravity campuran menunjukkan berat jenis campuran diperoleh


dengan rumus:

……………………………….….. (2.1)

Keterangan:
Gsb : Berat jenis Bulk campuran (gr/ )
WA, WB, WC…Wn : Berat agregat masing-masing saringan (%)
GbA, GbB, GbC,.Gbn : Berat jenis bulk tiap agregat tertahan saringan
(gr/ )

……………………….………….. (2.2)

Keterangan:
Gsa : Berat jenis Apparent campuran (gr/ )
WA, WB, WC…Wn : Berat agregat masing-masing saringan (%)
GaA, GaB, GaC,…Gan : Berat jenis apparent tiap agregat tertahan saringan
(gr/ )

……………………………….………………………. (2.3)

Keterangan :
Gse = Berat jenis efektif (gr/ )
Gsa = Berat jenis apparent campuran (gr/ )
Gsb = Berat jenis bulk campuran (gr/ )

Penyerapan aspal dengan campuran dihitung dengan rumus :

……………………………….….. (2.4)

Keterangan :
Pba = Penyerapan Aspal (%)
Gsa = Berat jenis apperent campuran (gr/ )
Gsb = Berat jenis bulk campuran (gr/ )
Gac = Berat jenis Aspal (gr/ )
37

Volume Bulk dihitung menggunakan rumus :

……………………………….……………………. (2.5)

Keterangan :
Vb = Volume Bulk (cc)
Ws = Berat benda Uji SSD (gram)
Ww = Berat benda uji di air (gram)

Densitas dihitung menggunakan rumus :

……………………………….……………………………. (2.6)

Keterangan :
D = Densitas (gr/cc)
Wdry = Berat benda uji kering (gram)
Vb = Volume Bulk (cc)

Nilai density maks. Teoritis dihitung dengan menggunakan rumus :

………………………………. (2.7)

Keterangan :
D maks teoritis = Density maks teoritis (gr/cc)
A = Kadar Aspal (%)
Gac = Berat Jenis Apal (gr/cc)
Gse = BJ efektif rata-rata agregat (gr/cc)

Dari nilai densitas dan specific gravity campuran dapat dihitung besarnya
porositas dengan Rumus

[ ]……………………………….….. (2.8)

Keterangan :
VIM = Porositas benda uji (%)
D = Densitas benda uji (gr/cc)
Dmaks teoritis = nilai densitas maks teoritis (gr/cc)
38

2.2.4.2. Pengujian Marshall

Pemeriksaan campuran aspal dengan alat marshall dimaksudkan untuk


menetukan kadar aspal modifikasi optimum dengan menghitung angka stabilitas
serta angka flow, dan menentukan ketahanan (stabilitas) terhadap kelelahan plastis
pada campuran bitumen. Nilai stabilitas adalah jumlah muatan yang dibutuhkan
untuk menghancurkan campuran bitumen (kemampuan ketahanan untuk
menerima beban sampai kelelahan plastis) yang dinyatakan dalam kg atau pound.
Nilai flow (kelelahan plastis) adalah keadaan perubahan bentuk dari bahan contoh
sampai batas leleh yang dinyatakan dalam mm.

2.2.4.3. Karakteristik Marshall

Lapis perkerasan harus memenuhi karakteristik tertentu sehingga didapat


suatu lapisan yang kuat menahan beban, aman dan dapat dilalui kendaraan dengan
nyaman. Karakteristik perkerasan antara lain :

1. Stabilitas
Stabilitas adalah kemampuan lapis perkerasan menerima beban lalu lintas
tanpa terjadi perubahan bentuk tetap seperti gelombang (deformasi
permanen), alur ataupun bleeding (keluarnya aspal kepermukaan).
Stabilitas terjadi dari hasil geseran antar agregat, penguncian butir partikel
(interlock) dan daya ikat yang baik dari lapisan aspal. Sehingga stabilitas
yang tinggi dapat diperoleh dengan mengusahakan penggunaan :
 Agregat dengan gradasi yang rapat
 Agregat dengan permukaan yang kasar
 Agregat berbentuk kubikal
 Aspal dengan penetrasi rendah
 Aspal dalam jumlah yang mencukupi untuk ikatan antar butir

Angka-angka stabilitas benda uji didapat dari pembacaan alat uji Marshall.
Angka stabilitas ini masih harus diperiksa lagi dengan kalibrasi alat dan
ketebalan benda uji. Nilai stabilitas yang dipakai dihitung dengan rumus :
39

S = q x k H…………………………………………………. (2.9)

Dimana :
S = Stabilitas (Kg)
q = Pembacaan stabilitas alat
k = Faktor kalibrasi alat
H = Koreksi tebal benda uji

2. Flow
Flow adalah besarnya deformasi vertikal sampel yang terjadi mulai saat
awal pembebanan sampai kondisi kestabilan maksimum sehingga sampel
hancur, dinyaakan dalam satuan milimeter (mm). pengukuran flow
bersamaan dengan pengukuran nilai stabilitas Marshall. Nilai flow
mengindikasikan campuran bersifat elastis dan lebih mampu mengikuti
deformasi akibat beban. Nilai flow dipengaruhi oleh kadar aspal dan
viskositas aspal, gradasi, suhu, dan jumlah pemadatan. Semakin tinggi
nilai flow, maka campuran akan semakin elastis. Sedangkan apabila nilai
flow rendah, maka campuran sangat potensial terhadap retak. Angka flow
diperoleh dari hasil pembacaan arloji flow yang menyatakan deformasi
benda uji.

3. Marshall Quontient

Hasil bagi dari stabilitas dan flow, yang besarnya merupakan indikator dari
kelenturan yang potensial terhadap keretakan disebut Marshall Quotient.
Nilai Marshall Quotient dihitung dengan rumus:

MQ = ……………………………………………………………. (2.10)

Dimana :
MQ = Marshall Quotient (kg/mm)
S = Stabilitas (kg)
F = Nilai flow (mm)
40

Tabel 2.7. Ketentuan Sifat-sifat campuran Laston

No Sifat-sifat Campuran Laston

1 Jumlah Tumbukan per bidang 75 112


2 Rasio partikel lolos ayakan 0,075 mm dengan Min 1
kadar aspal efektif Maks 1,4
3 Min 3
Rongga dalam Campuran %
Maks 5
4 Rongga dalam Agregat (VMA) (%) Min 15 14 13
5 Rongga terisi aspal (%) Maks 65 65 65
6 Stabilitas Marshall (Kg) Min 800 -
7 Min 2 3
Pelelehan(mm)
Maks 4 6
8
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah
Min 90
perendaman selama 24 jam 60°C
9
Rongga dalam campuran (%) pada kepadatan
Min 2
membal (refusal)
10 Stabilitas Dinamis, lintasan/mm Min 2500
Sumber: Rancangan Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan, Divisi VI Perkerasan
Beraspal, Dep. PU, 2018.
41

2.3. Kerangka Berfikir


Secara garis besar kerangka pikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2.5. Kerangka Berfikir

Anda mungkin juga menyukai