Anda di halaman 1dari 35

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR

(FLEXIBLE PAVEMENT) PADA JALAN TEROPONG


PEKANBARU

A. Latar Belakang
Transportasi adalah sektor yang sangat penting dalam menunjang
pertumbuhan perekonomian. Adanya sarana dan prasarana transportasi yang
memadai menjadikan hubungan antar daerah semakin lancar. Oleh karena itu
kondisi jalan sangat berpengaruh bagi kenyamanan dan keselamatan setiap
pengguna jalan.
Jalan Teropong dengan tipe jalan dua lajur dua arah tidak terbagi (2/2 TB)
merupakan jalan lokal dengan panjang jalan ±2 km dengan lebar 6 m, yang
menghubungkan antara Jalan Cipta Karya dan Jalan Soekarno Hatta, pada saat ini
kondisi sebagian Jalan Teropong masih berupa jalan tanah sepanjang 1,3 km,
Sehingga saat musim penghujan tiba mengakibatkan tergenangnya air dan
menghambat fungsi pelayanan sebagai prasarana transportasi. Kondisi Jalan
Teropong dapat dilihat pada Gambar A.1.

Gambar A.1 Foto Dokumentasi Ruas Jalan Teropong


Sumber : Dokumentasi Lapangan

1
2

Berdasarkan kondisi saat ini Jalan Teropong perlu di rencanakan tebal


perkerasan lentur, karena lokasi ini sangat berpotensi sebagai jalan penghubung
yang dapat membantu perekonomian masyarakat. Oleh karena itu penulis tertarik
untuk merencanakan tebal perkerasan pada ruas jalan tersebut. Sket lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar A.2.

Gambar A.2 Sket lokasi penelitian

B. Rumusan dan Batasan Masalah


Kondisi jalan yang belum di rencanakan perkerasan secara keseluruhan
menyebabkan terhambatnya fungsi pelayanan Jalan Teropong sebagai prasarana
transportasi, untuk itu maka perlu dihitung berapa tebal perkerasan Jalan Teropong
agar nantinya dapat dibangun guna memaksimalkan fungsinya sebagai prasarana
transportasi. Untuk melakukan pembahasan yang lebih terarah sesuai dengan latar
belakang, serta permasalahan yang ada maka penulis membatasi hal-hal sebagai
berikut :
1. Pengambilan data lalu lintas harian rata-rata (LHR) yang dilaksanakan
selama 3 hari, yang dilakukan pada hari Minggu, Rabu, dan Jumat.
3

2. Mencari nilai CBR lapangan dengan menggunakan alat DCP (Dinamic


Cone Penetrometer).
3. Panjang jalan yang diteliti 1,3 km dengan jarak setiap titik pengujian CBR
diambil dengan jaraj 100 m.
4. Menghitung tebal perkerasan menggunakan cara perhitungan dengan
metode Analisa Komponen.
5. Umur rencana diambil 20 Tahun.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah merencanakan tebal perkerasan lentur (Flexible
Pavement) Jalan Teropong.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai referensi bagi mahasiswa khususnya dibidang perencanaan jalan
raya.
2. Dapat menerapkan ilmu yang didapat di bangku perkuliahan dengan
pelaksanaan yang dilakukan di lapangan.
4

E. Landasan Teori
E.1 Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan – lapisan yang diletakan
diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan – lapisan tersebut berfungsi untuk
menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan bawahnya (Silvia,
1995).

E.1.1 Jenis Perkerasan


Berdasarkan bahan pengikatnya konstruksi perkerasan jalan ada tiga, yaitu:
1. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) adalah perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya.
2. Perkerasan Kaku (Rigid Pavement) adalah perkerasan yang menggunakan
semen sebagai bahan pengikatnya.
3. Perkerasan Komposit (Composite Pavement) adalah Perkerasan kaku yang
dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur di
atas perkerasan kaku atau perkerasan kaku di atas perkerasan lentur.
Perkerasan juga dapat dibedakan antara perencanaan untuk jalan baru dan
untuk peningkatan (jalan lama yang sudah pernah diperkeras). Permukaan tanah
dasar pada umumnya tidak mampu menahan beban kendaraan di atasnya sehingga
diperlukan suatu konstruksi yang dapat menahan dan mendistribusikan beban lalu
lintas yang diterimanya. Jenis konstruksi ini dikenal sebagai perkerasan (pavement),
yang merupakan lapisan tambahan dari material yang dipilih dan dibangun diatas
tanah dasar yang berfungsi untuk menerima beban – beban yang bekerja di atasnya
kemudian didistribusikan ke tanah dasar (Silvia, 1995)

E.1.2 Fungsi Lapisan Perkerasan


Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapisan (Silvia, 1995),
yaitu :
1. Lapisan Permukaan (Surface Course)
5

Lapisan permukaan (Surface Course), yaitu lapisan yang terletak paling


atas, berfungsi sebagai :
a. Lapisan perkerasan penahan beban roda, lapisan mempunyai stabilitas
tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan.
b. Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap
ke lapisan di bawahnya dan melemahkan lapisan – lapisan berikutnya.
c. Lapisan aus (wearing course), lapisan yang langsung menderita gesekan
akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus.
d. Lapisan yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul
oleh lapisan lain yang mempunyai daya dukung yang lebih jelek.
Guna dapat memenuhi fungsi di atas tersebut, pada umumnya lapisan
permukaan dibuat dengan menggunakan bahan pengikat aspal sehingga
menghasilkan lapisan yang kedap air dengan stabilitas yang tinggi dan daya tahan
yang lama.
Jenis lapisan permukaan yang umum dipergunakan di Indonesia antara lain:
1. Lapisan bersifat non struktural, berfungsi sebagai lapisan aus dan kedap air
antara lain :
a) Burtu (Laburan aspal satu lapis), merupakan lapisan penutup yang
terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat
bergradasi seragam, dengan tebal maksimum 2 cm.
b) Burda (Laburan aspal dua lapis), merupakan lapisan penutup yang
terdiri dari lapisan aspal ditaburi agregat yang dikerjakan dua kali
secara berurutan dengan tebal pada maksimum 3,5 cm.
c) Latasir (Lapisan Tipis Aspal Pasir), merupakan lapisan penutup yang
terdiri dari lapisan aspal dan pasir alam bergradasi menerus dicampur,
dihampar dan dipadatkan pada suhu tertentu dengan tebal padat 1-2 cm.
d) Buras (Laburan Aspal), merupakan lapis penutup yang terdiri dari
lapisan aspal taburan pasir dengan ukuran butir maksimum 3/8 inch.
e) Latasbum (Lapis tipis asbuton murni), merupakan lapis penutup yang
terdiri dari campuran asbuton dan bahan pelunak dengan perbandingan
6

tertentu yang dicampur secara dingin dengan tebal padat maksimum 1


cm.
f) Lataston (Lapis tipis aspal beton), dikenal dengan nama hot roll sheet
(HRS), merupakan lapis penutup yang terdiri dari campuran antara
agregat bergradasi timpang, mineral pengisi (filler) dan aspal keras
dengan perbandingan tertentu, yang dicampur dan dipadatkan dalam
keadaan panas. Tebal padat antara 2,5 – 3 cm.

2. Lapisan bersifat struktural, berfungsi sebagai lapisan yang menahan dan


menyebarkan beban roda.
a) Penetrasi Macadam (Lapen), merupakan lapisan perkerasan yang
terdiri dari agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi terbuka dan
seragam yang diikat oleh aspal dengan cara disemprotkan diatasnya dan
dipadatkan lapis demi lapis. Di atas lapen ini biasanya diberi laburan
aspal dengan agregat penutup. Tebal lapisan satu lapis dapat bervariasi
dari 4 – 10 cm.
b) Lasbutag merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri
dari campuran antara agregat, asbuton dan bahan pelunak yang diaduk,
dihampar dan dipadatkan secara dingin. Tebal tiap lapisannya antara 3
– 5 cm.
c) Laston (Lapisan Aspal Beton), merupakan suatu lapisan pada konstruks
jalan yang terdiri dari campuran aspal keras dan agregat yang
mempunyai gradasi terus menerus, dicampur, dihampar dan dipadatkan
pada suhu tertentu.

2. Lapisan Pondasi Atas (Base Course)


Lapisan perkerasan yang terletak diantara lapis pondasi bawah dan lapis
permukaan dinamakan lapis pondasi atas. Fungsi lapis pondasi atas adalah (Silvia,
1995):
a) Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan
menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya.
b) Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
7

c) Bantalan terhadap lapisan permukaan.


Material yang digunakan untuk lapis pondasi atas adalah material yang
cukup kuat. Untuk lapis pondasi atas tanpa bahan pengikat umumnya menggunakan
material dengan CBR > 50% dan Plastisitas Indeks (PI) < 4%. Bahan - bahan alam
seperti batu pecah, stabilitas tanah dengan semen dan kapur dapat digunakan
sebagai lapis pondasi atas.
Jenis pondasi atas yang umum digunakan di Indonesia adalah:
1. Agregat bergradasi baik, di bagi atas :
a) batu pecah kelas A
b) batu pecah kelas B
c) batu pecah kelas C
2. Pondasi Macadam.
3. Pondasi Telford.
4. Penetrasi Macadam.
5. Aspal Beton pondasi.
6. Stabilitas yang terdiri dari :
a) Stabilitas agregat dengan semen
b) Stabilitas agregat dengan kapur
c) Stabilitas agregat dengan aspal

3. Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course)


Lapis perkerasan yang terletak antara lapis pondasi atas dan tanah dasar
dinamakan lapis pondasi bawah. Fungsi lapis pondasi bawah yaitu (Silvia, 1995):
a) Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkanbeban roda ke tanah
dasar. Lapisan ini harus cukup kuat, mempunyai CBR 20% dan Plastisitas
Indeks (PI) < 10%.
b) Effisiensi penggunaan material. Material pondasi bawah relatif murah
dibandingkan dari lapisan perkerasan diatasnya.
c) Mengurangi tebal lapisan di atas yang lebih mahal.
d) Lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.
8

e) Lapisan pertama, agar pekerjaan dapat berjalan lancar. Hal ini sehubungan
dengan kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar
dari pengaruh cuaca atau lemahnya daya dukung tanah dasar menahan roda-
roda alat berat.
f) Lapisan untuk mencegah partikel–partikel halus dari tanah dasar naik ke
lapis pondasi atas.

Jenis pondasi bawah yang umum digunakan di Indonesia adalah :


1. Agregat bergradasi baik dibedakan atas :
a) Sirtu/pitrun kelas A
b) Sirtu/pitrun kelas B
c) Sirtu/pitrun kelas C
2. Stabilitas
a) Stabilitas agregat dengan semen
b) Stabilitas agregat dengan kapur
c) Stabilitas tanah dengan semen
d) Stabilitas tanah dengan kapur

4. Lapisan Tanah Dasar (Sub Grade)


Lapisan tanah setebal 50–100 cm dimana akan diletakan lapisan pondasi
bawah dinamakan lapisan tanah dasar. Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli
yang dipadatkan jika tanah aslinya baik, tanah yang didatangkan dari tempat lain
dan dipadatkan atau tanah yang distabilisasi dengan kapur atau bahan lainya.
Pemadatan yang baik jika dilakukan pada kadar air optimum dan diusahakan kadar
air tersebut konstan selama umur rencana. Hal ini dapat dicapai dengan
perlengkapan drainase yang memenuhi syarat (Silvia, 1995).
Lapisan tanah dasar dibedakan atas :
a) Tanah dasar, tanah galian
Jika tanah pada trase jalan yang akan dikerjakan tersebut merupakan medan
yang berbukit maka diadakan penggalian agar medannya tidak terlalu terjal,
hasil penggalian ini disebut dengan hasil galian tanah dasar dari tanah
galian.
9

b) Tanah dasar, tanah timbunan


Trase pada jalan yang akan dikerjakan terdapat permukaan yang rendah
sehingga diadakan penimbunan, hasil penimbunan ini yang menjadi lapisan
tanah dasar.
c) Tanah dasar, tanah asli
Pada tanah yang tidak perlu diadakan penggalian maupun penimbunan dari
tanah lain, sehingga tanah asli dapat dijadikan tanah dasar.

E.2 Material Konstruksi Perkerasan Lentur


E.2.1 Tanah Dasar
Perkerasan jalan diletakan di atas tanah dasar, dengan demikian secara
keseluruhan mutu dan daya tahan konstruksi perkerasan tak lepas dari sifat tanah
dasar. Tanah dasar yang baik untuk konstruksi perkerasan jalan adalah tanah dasar
yang berasal dari lokasi itu sendiri atau di dekatnya, yang telah dipadatkan sampai
tingkat kepadatan tertentu sehingga mempunyai daya dukung yang baik serta
berkemampuan mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan
walaupun terdapat perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat. Sifat
masing – masing jenis tanah tergantung dari tekstur, kepadatan, kadar air, kondisi
lingkungan, dan lain sebagainya (Silvia, 1995).
Guna mempermudah mempelajari dan membicarakan sifat – sifat tanah
yang akan dipergunakan sebagai bahan dasar jalan, tanah itu dikelompokan
berdasarkan sifat plastisitas dan ukuran butirnya. Daya dukung tanah dasar dapat
diperkirakan dengan mempergunakan hasil pemeriksaan CBR.
Berdasarkan cara mendapatkan contoh tanahnya, CBR dapat dibagi atas :
1. CBR lapangan
CBR lapangan disebut juga dengan CBR inplace atau field CBR, gunanya
yaitu :
a) Mendapatkan nilai CBR asli di lapangan, sesuai dengan kondisi tanah dasar
saat itu. Umum digunakan untuk perencanaan tebal lapisan perkerasan yang
lapisan tanah dasarnya sudah tidak akan dipadatkan lagi. Pemeriksaan
10

dilakukan dalam kondisi kadar air tanah tinggi (musim penghujan) atau
dalam kondisi terburuk yang mungkin terjadi.
b) Untuk mengontrol apakah kepadatan yang diperoleh sudah sesuai dengan
yang diinginkan. Pemeriksaan untuk tujuan ini tidak umum digunakan, lebih
sering menggunakan pemeriksaan yang lain seperti sand cone test.

Nilai CBR lapangan dapat juga diperoleh dengan menggunakan hasil


pemeriksaan Dynamic Cone Penetrometer (DCP). Pemeriksaan dengan alat DCP
menghasilkan data kekuatan tanah sampai kedalaman 90 cm di bawah tanah dasar.
2. CBR lapangan rendaman/ Undisturb soaked CBR
Pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan besarnya nilai CBR di lapangan
pada keadaan jenuh air, dan tanah mengalami pengembangan (swell) yang
maksimum. Pemeriksaan dilaksanakan pada kondisi tanah dasar tidak dalam
keadaan jenuh air.
Hal ini sering digunakan untuk menentukan daya dukung tanah di daerah
yang lapisan tanah dasarnya sudah tidak akan dipadatkan lagi, terletak di daerah
yang badan jalannya sering terendam air pada musim hujan dan kering pada musim
kemarau.
Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil contoh tanah dalam mold yang
ditekan masuk ke dalam tanah mencapai kedalaman yang diinginkan. Mold berisi
contoh tanah yang dikeluarkan dan direndam dalam air selama ± 4 hari sambil
diukur pengembangannya (swell). Setelah pengembangan tak lagi terjadi baru
dilaksanakan pemeriksaan besarnya CBR.
3. CBR rencana titik
Disebut juga dengan CBR laboratorium atau design CBR. Tanah dasar pada
konstruksi jalan baru merupakan tanah asli, tanah timbunan, atau tanah galian yang
sudah dipadatkan sampai mencapai kepadatan 95% kepadatan maksimum.
Dengan demikian daya dukung tanah dasar tersebut merupakan nilai
kemampuan lapisan tanah memikul beban setelah tanah tersebut dipadatkan. Berarti
nilai CBRnya adalah nilai CBR yang diperoleh dari contoh tanah yang dibuatkan
mewakili keadaan tanah tersebut setelah dipadatkan. CBR ini disebut CBR rencana
titik karena disiapkan di laboratorium, disebut juga CBR laboratorium.
11

E.2.2 Agregat
Agregat didefenisikan secara umum sebagai formasi kulit bumi yang keras
dan kenyal (Solid). ASTM (1974) mendefinisikan batuan sebagai suatu bahan yang
terdiri dari mineral padat, berupa masa berukuran besar ataupun berupa fragmen–
fragmen (Silvia, 1995).
Agregat merupakan komponen utama lapisan perkerasan jalan yaitu
mengandung 90–95 % agregat berdasarkan persentase berat atau 75–85% agregat
berdasarkan persentase volume. Dengan demikian daya dukung, keawetan dan
mutu perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregat dan hasil campuran agregat
dengan material lain.
Agregat dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Ditinjau dari asal kejadiannya agregat dapat dibedakan atas (Silvia, 1995):
a) Batuan beku
b) Batuan sedimen
c) Batuan metamorf
2. Berdasarkan proses pengolahan agregat yang dipergunakan pada perkerasan
lentur dapat dibedakan atas :
a) Agregat alam
b) Agregat yang melalui proses pengolahan
c) Agregat buatan.

Berdasarkan besar partikel–partikel agregat, agregat dapat di bedakan atas


(Silvia, 1995):
1. Agregat kasar, agregat > 4,75 mm menurut ASTM, atau > 2 mm menurut
AASHTO.
2. Agregat halus,agregat < 4,75 mm menurut ASTM, dan > 0,075 mm menurut
AASHTO.
3. Abu batu/mineral filler, agregat halus yang umumnya lolos saringan no.200.
12

E.2.3 Aspal
Aspal didefinisikan sebagai material berwarna hitam atau coklat tua, pada temperatur
ruang berbentuk padat sampai agak padat. Jika dipanaskan sampai suatu temperatur tertentu
aspal dapat menajadi lunak/ cair sehingga dapat membungkus partikel agregat pada waktu
pembuatan aspal beton atau dapat masuk ke dalam pori – pori yang ada pada penyemprotan/
penyiraman pada perkerasan. Jika temperatur turun, aspal akan mengeras dan mengikat agregat
pada tempatnya (sifat termoplastis).
Sebagai salah satu material konstruksi perkerasan lentur, aspal merupakan salah satu
komponen kecil, umumnya hanya 4 – 10% berdasarkan berat atau 10 – 15% berdasarkan
volume, tetapi merupakan komponen yang relatif mahal.
Hydrocarbon adalah bahan dasar utama dari aspal yang umum disebut bitumen,
sehingga aspal sering juga disebut bitumen. Aspal yang umum digunakan ssat ini terutama
berasal dari salah satu hasil proses destilasi minyak bumi dan disamping itu mulai banyak pula
dipergunakan aspal alam yang berasal dari pulau Buton.
Kandungan utama aspal adalah senyawa karbon jenuh dan tak jenuh, alifatik dan
aromatik yang mempunyai atom karbon sampai 150 per molekul. Atom – atom selain hidrogen
dan karbon yang juga menyusun aspal adalah nitrogen, oksigen, belerang, dan beberapa atom
lain. Secara kuantitatif, biasanya 80% massa aspal adalah karbon, 10% hidrogen, 6% belerang,
dan sisanya oksigen dan nitrogen, serta sejumlah renik besi, nikel, dan vanadium. Senyawa –
senyawa ini sering dikelaskan atas aspalten (yang massa molekulnya kecil) dan malten (yang
massa molekulnya besar). Biasanya aspal mengandung 5 sampai 25% aspalten (Silvia, 1995).
1. Fungsi Aspal
Fungsi aspal antara lain adalah sebagai berikut :
a) Untuk mengikat batuan agar tidak lepas dari permukaan jalan akibat lalu lintas
(water proofing, melindungi terhadap erosi).
b) Sebagai bahan pelapis dan perekat agregat.
c) Lapis resap pengikat (prime coat) adalah lapisan tipis aspal cair yang diletakan di
atas lapis pondasi sebelum lapis berikutnya.
d) Lapis pengikat (tack coat) adalah lapis aspal cair yang diletakan di atas jalan yang
telah beraspal sebelum lapis berikutnya dihampar, berfungsi sebagai pengikat
diantara keduanya.
2. Jenis Aspal
Berdasarkan cara diperolehnya aspaldapat dibedakan atas (Silvia, 1995):
a) Aspal alam, dapat dibedakan atas :
13

1. Aspal gunung (rock asphalt), contoh aspal dari pulau Buton.


2. Aspal danau (lake asphalt), contoh aspal dari Bermudez, Trinidad.
b) Aspal Buatan, dapat dibedakan atas :
1. Aspal minyak, merupakan hasil penyulingan minyak bumi.
2. Tar, merupakan hasil penyulingan batu bara.

E.3. Parameter Perencanaan Tebal Lapisan Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan


Lapisan perkerasan berfungsi untuk menerima dan menyebarkan beban lalu lintas tanpa
menimbulkan kerusakan yang berarti pada konstruksi jalan (Silvia, 1995). Untuk itu dalam
perencanaan perlu dipertimbangkan seluruh faktor – faktor yang dapat mempengaruhi fungsi
pelayanan konstruksi perkerasan seperti fungsi jalan, kinerja, umur rencana, lalu lintas, sifat
tanah dasar, kondisi lingkungan, sifat material, dan bentuk geometrik lapisan perkerasan.

E.3.1 Klasifikasi Jalan


Jalan dapat di klasifikasikan menurut wewenang, dan berdasarkan muatan, yaitu:
1. Klasifikasi jalan menurut wewenang
a) Jalan nasional, merupakan jalan ateri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan
primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasionaal,
serta jalan tol.
b) Jalan provinsi, merupakan jalan kolektor dalam system jaringan jalan primer yang
menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten.
c) Jalan kabupaten, merupakan jalan local dalam system jaringan jalan yang
menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan dengan pusat
kegiatan local.
d) Jalan kota, merupakan jalan umum dalam system jaringan jalan skunder yang
menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota.
2. Klasifikasi jalan menurut muatan sumbu
a) Jalan kelas I yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 m ukuran panjang tidak melebihi
18 m, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar dari 10 ton.
b) Jalan kelas II yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar jalan tidak melebihi 2,5 m, ukuran panjang tidak
melebihi 18 m, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton.
14

c) Jalan kelas III A yaitu jalan arteria tau kolektor yang dapat dialui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 m, dukuran
panjang tidak melebihi 18 m, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton.
d) Jalan kelas III B yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 m, ukuran panjang tidak
melebihi 12 m, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton.
e) Jalan kelas III C yaitu jalan local dan jalan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 9 m, dan muatan
sumbu terberat yang diizinkan 8 ton.

E.3.2 Fungsi Jalan


Fungsi jalan dapat dibedakan atas (Shirley, 2000):
1. Jalan arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri – ciri perjalanan
jarak jauh, kecepatan rata – rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan arteri adalah:
a) Kecepatan rencana > 60 km/jam
b) Lebar badan jalan > 8 m
c) Tidak boleh terganggu oleh kegiatan lalu lintas local
d) Tidak terputus walaupun memasuki kota
2. Jalan kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpulan/ pembagian dengan
ciri – ciri perjalan jarak sedang, dengan kecepatan rata – rata sedang dan jumlah jalan
masuk dibatasi. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan kolektor adalah:
a) Kecepatan rencana > 40 km/jam
b) Lebar badan jalan > 7m.
3. Jalan lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri- ciri perjalan
jarak dekat, kecepatan rata – rata rendah, jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Persyaratan
yang harus dipenuhi jalan local adalah:
a) Lebar badan jalan > 6 m.
b) Kecepatan rencana > 20 km.

E.3.3 Karaketristik Jalan


Karakteristik pada perkerasan lentur yaitu (Shirley, 2000):
1. Bersifat elastis jika menerima beban, sehingga dapat memberi kenyamanan bagi
pengguna jalan.
2. Pada umumnya menggunakan bahan pengikat aspal.
15

3. Seluruh lapisan ikur menanggung beban.


4. Penyebaran tegangan ke lapisan tanah dasar sedemikian sehingga tidak merusak lapisan
tanah dasar (Subgrade).
5. Usia rencana maksimum 20 tahun. (MKJI = 23 tahun)
6. Selama usia rencana diperlukan pemeliharaan secara berkala

E.3.4 Kinerja Perkerasan Jalan


Kinerja perkerasan jalan (Pavement Performance) meliputi 3 hal (Silvia, 1995) yaitu :
1. Keamanan, yang ditentukan dengan besarnya gesekan akibat adanya kontak antara ban
dan permukaan jalan. Besarnya gaya gesek yang terjadi dipengaruhi oleh bentuk dan
kondisi ban, tekstur dan permukaan jalan, kondisi cuaca dan lain sebagainya.
2. Wujud perkerasan (structural pavement), berhubungan dengan kondisi fisik dari jalan
tersebut seperti adanya retak – retak, amblas, bergelombang dan sebagainya.
3. Fungsi pelayanan (functional performance), sehubungan dengan bagaimana perkerasan
tersebut memberikan pelayanan kepada pemakai jalan. Wujud perkerasan dan fungsi
pelayanan umumnya merupakan satu kesatuan yang dapat digambarkan dengan
“kenyamanan mengemudi (riding quality)”.

E.3.5 Umur Rencana


Umur rencana pekerjaan jalan adalah jumlah tahunan dari saat jalan tersebut dibuka
untuk lalu lintas kendaraan sampai diperlukan suatu perbaikan yang bersifat struktural. Selama
umur rencana tersebut pemeliharaan pekerjaan jalan tetap harus dilakukan, seperti lapisan
nonstruktural yang berfungsi sebagai lapis aus (Silvia, 1995).
Umur rencana dapat ditetapkan sesuai dengan program penanganan jalan yang
direncanakan :
1. Pembangunan jalan baru, untuk masa layanan 20 tahun.
2. Peningkatan jalan, untuk masa layanan 10 tahun.
3. Pemeliharaan jalan, untuk jangka waktu 5 tahun.

E.3.6 Lalu Lintas


Untuk mendapatkan perkiraan lalu lintas yang representatif dalam rangka menghitung
aliran lalu lintas selama jangka desain rencana diperlukan survei untuk menentukan :
1. Jumlah kendaraan yang akan memakai jalan.
2. Jenis kendaraan beserta jumlah setiap jenisnya.
3. Konfigurasi sumbu dari tiap kendaraan.
4. Beban masing – masing sumbu kendaraan.
16

Perhitungan lalu lintas dilakukan dengan cara mencacah/menghitung jumlah kendaraan


lewat pada pos – pos pencatatan lalu lintas yang telah ditentukan. Pencacah/perhitungan
dilakukan dengan formulir lalu lintas yang diisikan sesuai dengan klasifikasi kendaraan. Waktu
pelaksanaan survei lalu lintas tergantung ketelitian yang diinginkan dan target perencanaan.
Perencanaan survei selalu memasukan hari – hari padat, serta dilaksanakan pada jam –
jam sibuk seperti pagi antara jam 07.00-09.00, siang antara 12.00-14.00, sore antara 14.00-
16.00. survei lalu lintas biasanya dilakukan untuk mengetahui jumlah kendaraan yang lewat
dengan spesifikasisetiap jenis kendaraan dalam jangka waktu tertentu. Survei dapat dilakukan
dengan cara :
1. Perhitungan otomatis (automatic traffic count).
2. Perhitungan manual (manual traffic count).
3. Survei timbang.
Untuk perencanaan jalan baru, survei tidak dapat dilakukan karena belum ada jalan.
Akan tetapi untuk menentukan dimensi jalan yang akan direncanakan diperlukan data jumlah
kendaraan yang diperoleh dari :
1. Survei lalu lintas pada jalan yang sudah ada, yang diperkirakan punya bentuk, kondisi
dan keadaan komposisi lalu lintas yang serupa dengan jalan yang akan direncanakan.
2. Survei yang dilakukan dengan wawancara pada pengguna jalan, untuk mendapatkan
gambaran rencana jumlah dan komposisi kendaraan pada jalan yang akan direncanakan.
3. Pengambilan data berdasarkan atas ekonomi sosial daerah tersebut.

Untuk menghitung tebal perkerasan jalan dengan metode analisa komponen maka
diperlukan :
1. Koefisien Distribusi Kendaraan (C)
Pada umumnya lalu lintas pada jalan raya terdiri dari campuran kendaraan cepat,
kendaraan lambat, kendaraan berat, kendaraan ringan, dan kendaraan yang tidak bermotor.
Koefisien Distribusi Kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada jalur
rencana ditentukan menurut Tabel E.2.
Tabel E.2 Koefisien Distribusi Kendaraan (C)

Kendaraan Ringan* Kendaraan Berat**


Jumlah Lajur
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 lajur 1,00 1,00 1,00 1,00
2 lajur 0,60 0,50 0,70 0,50
3 lajur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 lajur - 0,30 - 0,45
17

Sambungan Tabel E.2 Koefisien Distribusi Kendaraan (C)


5 lajur - 0,25 - 0,425
6 lajur - 0,20 - 0,40
(Sumber: SKBI 2.3.26.1987)

*) berat total ≤ 5 ton, misalnya: mobil penumpang, pick up.


**) berat total > 5 ton, misalnya: bus, truk, traktor, trailer.

2. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan


Angka Ekivalen (E) masing – masing golongan beban sumbu (setiap kendaraan)
ditentukan menurut Tabel E.3.
Tabel E.3 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Beban Sumbu Angka Ekivalen
Kg Lb Kg Lb
1000 2205 0,0002 -
2000 4409 0,0036 0,0003
3000 6614 0,0183 0,0016
4000 8818 0,0577 0,0050
5000 11023 0,1410 0,0121
6000 13228 0,2923 0,0251
7000 15432 0,5415 0,0466
8000 17637 0,9238 0,0794
8160 17990 1,0000 0,0860
9000 19842 1,4798 0,1273
0,1940
10000 22046 2,2555
11000 24251 3,3022 0,2840
12000 26455 4,6770 0,1022
13000 28660 6,4419 0,5540
14000 30865 8,6647 0,7452
15000 33069 11,4184 0,9820
16000 35274 14,7815 1,2712
(Sumber: SKBI 2.3.26.1987)

Angka Ekivalen sumbu tunggal = (beban sumbu tunggal / 8160)^4


Angka Ekivalen sumbu ganda = 0,086 x (beban sumbu ganda / 8160)^4
18

Tabel E.4 Unit ekivalen 8,16 ton beban as tunggal (UE18KSAL)

Konfigurasi Berat (ton) UE18KSAL


Keterangan
Sumbu kosong muatan kosong muatan

1.1 1,5 2 0,0001 0,0004


Mobil
Penumpang

1.2 3 9 0,0037 0,3006


Bus

1.2L 2,3 8,3 0,0012 0,2174


Truk

1.2H 4,2 18,2 0,0143 5,0264


Truk

1.22 5 25 0,0044 2,7416


Truk

1.2+2.2 6,4 31,4 0,0085 4,9283


Trailer

1.2-2 6,2 26,2 0,0192 6,1179


Trailer

1.2-2.2 10 42 0,0327 10,183


Trailer

(Sumber : SKBI 2.3.26.1987)

Keterangan : Setiap kendaraan yang lewat dikonversikan menjadi


UE18KSAL
19

3. Lalu lintas Harian Rata – rata dan Lintas Ekivalen


a) Lintas harian Harian Rata – Rata (LHR) setiap jenis kendaraan ditentukan pada awal
umur rencana, yang dihitung untuk jalan dua arah pada jalan tanpa median atau
masing – masing arah pada jalan dengan median.
Jumlah kendaraan selama survei
LHR = ....................................... (1)
Jumlah hari survei

b) Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)


LEP = LHRj x Cj x Ej ..................................................................... (2)
j = Jenis kendaraan
Cj = Koefisien Distribusi
Ej = Angka ekivalen beban sumbu
c) Menghitung Lintas Ekivalen Akhir (LEA)
LEA = LHRj x (1+i)UR x Cj x Ej .................................................... (3)
i = Pertumbuhan lalu lintas
d) Menghitung Lintas Ekivalen Tengah (LET)
LEP + LEA
LET = ........................................................................... (4)
2
e) Menghitung Lintas Ekivalen Rencana (LER)
LER = LET x FP ............................................................................ (5)

Faktor Penyesuaian (FP) ditentukan dengan rumus :


FP = UR/10 .................................................................................... (6)
UR = Umur Rencana

E.3.7 Perhitungan CBR


Alat DCP terdiri atas tangkai baja yang di bagian ujung dipasang konus baja dengan
ukuran dan sudut tertentu, dan di bagian atas dilengkapi dengan batang pengarah jatuh palu
penumbuk. Metode DCP ini adalah cara pengujian kekuatan lapisan perkerasan jalan (tanah
dasar, pondasi bahan berbutir) yang relatif cepat, yaitu dengan menekan ujung konus yang
ditimbulkan oleh pukulan palu dengan beban dan tinggi jatuh tertentu menerus sampai
kedalaman tertentu.
20

Untuk memperkirakan nilai CBR tanah atau bahan granular dapat menggunakan
beberapa metode, namun yang cukup akurat dan paling murah sampai saat ini adalah dengan
alat Penetrasi Konus Dinamis atau dikenal dengan nama Dynamic Cone Penetrometer
(DCP). Di samping itu DCP adalah salah satu cara pengujian tanpa merusak atau Non
Destructive Testing (NDT), yang digunakan untuk lapis pondasi batu pecah, pondasi bawah
sirtu, stabilisasi tanah dengan semen atau kapur dan tanah dasar (Dachlan, 2000).

Menurut Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum (2010) tentang Pedoman Cara Uji
California Bearing Ratio (CBR) dengan Dynamic Cone Penetrometer (DCP), cara
pengujian alat DCP adalah sebagai berikut :

1. Letakkan alat DCP pada titik uji di atas lapisan yang akan diuji.
2. Pegang alat yang sudah terpasang pada posisi tegak lurus di atas dasar yang rata dan
stabil, kemudian catat pembacaan awal pada mistar pengukur kedalaman.
3. Mencatat jumlah tumbukan :
a) Angkat penumbuk pada tangkai bagian atas dengan hati-hati sehingga
menyentuh batas pegangan.
b) Lepaskan penumbuk sehingga jatuh bebas dan tertahan pada landasan.
c) Lakukan langkah – langkah di atas, catat jumlah tumbukan dan kedalaman pada
formulir.
4. Pengujian per titik, dilakukan minimum duplo (dua kali) dengan jarak 20 cm dari
titik uji satu ke titik uji lainnya.
5. Langkah-langkah setelah pengujian :
a) Siapkan peralatan agar dapat diangkat atau dicabut ke atas.
b) Angkat penumbuk dan pukulkan beberapa kali dengan arah ke atas sehingga
menyentuh pegangan dan tangkai bawah terangkat ke atas permukaan tanah.
c) Lepaskan bagian-bagian yang tersambung secara hati-hati, bersihkan alat dari
kotoran dan simpan pada tempatnya.
21

Jalan dalam arah memanjang cukup panjang dibandingkan dengan jalan dalam arah
melintang. Jalan tersebut dapat saja melintasi jenis tanah, dan keadaan medan yang berbeda
– beda. Kekuatan tanah dasar dapat bervariasi antara nilai yang baik dan yang jelek.
Dengan demikian perencanaan tebal lapis perkerasan jalan akan menghasilkan nilai yang
tidak ekonomis jika hanya berdasarkan pada nilai CBR yang paling besar. Sebaiknya
panjang jalan tersebut dibagi atas segmen – segmen jalan, dimana setiap segmen
mempunyai daya dukung yang hampir sama. Jadi segmen jalan adalah bagian dari panjang
jalan yang mempunyai daya dukung tanah, sifat tanah, dan keadaan lingkungan yang relatif
sama.
Setiap segmen mempunyai nilai CBR yang mewakili daya dukung tanah dasar dan
dipergunakan untuk perencanaan tebal lapisan perkerasan dari segmen tersebut. Nilai CBR
segmen dapat ditentukan dengan mempergunakan cara analitis atau dengan cara grafis
(Silvia, 1995), yaitu sebagai berikut.
1. Cara Analitis
CBR maks – CBR min
CBR segmen = CBR rata-rata – ................................ (7)
R
Dimana nilai R tergantung dari jumlah data yang terdapat dalam 1 segmen.
Besarnya nilai R dapat dilihat pada Tabel E.5.
Tabel E.5 Nilai R untuk perhitungan CBR segmen
Nilai
Jumlah titik pengamatan R
2 1,41
3 1,91
4 2,24
5 2,48
6 2,67
7 2,83
8 2,96
9 3,08
> 10 3,18
(Sumber : Silvia, 1995)
22

a) Mencari CBR lapangan dengan alat DCP (Dynamic Cone Penetrometer) dapat
digunakan persamaan :
CBR = 10(2,628 – 1,273 x log DCP)................................................................. (8)
b) CBR rata – rata pada suatu titik pengamatan dapat dihitung dengan persamaan
:
3
ℎ1 3√𝐶𝐵𝑅1 + …. …ℎ𝑛 3√𝐶𝐵𝑅𝑛
CBR titik pengamatan = { } ............................... (9)
100

Dimana :
hn = tebal tiap lapisan tanah ke n
CBRn = nilai CBR pada lapisan ke n
c) DDT (Daya Dukung Tanah)
Nilai DDT dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
DDT = 1,6649 + 4,3592 log (CBR rencana) ..................................... (10)
2. Cara Grafis
Menghitung besarnya nilai CBR yang didapat dari hasil pengamatan, prosedurnya
adalah sebagai berikut :
a) Tentukan nilai CBR yang terendah.
b) Tentukan berapa banyak nilai CBR yang sama atau lebih besar dari masing –
masing nilai CBR dan kemudian disusun secara berurut dari nilai CBR terkecil
sampai yang terbesar.
c) Angka terbanyak diberi nilai 100%, angka yang lain merupakan persentase dari
100%.
d) Dibuat grafik hubungan antara harga CBR dan persentase jumlah tadi.
e) Nilai CBR segmen adalah nilai pada keadaan 90%.
23

E.3.8 Perhitungan Daya Dukung Tanah Dasar


Nilai DDT dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:

DDT = 1,6649 + 4,3592 log (CBR rencana) ............................ (II.10)

Nilai DDT juga dapat ditentukan dengan menggunakan grafik korelasi


DDT dan CBR seperti yang terlihat pada Gambar E.1, yaitu dengan cara menarik
nilai CBR dengan garis mendatar kesebelah kiri untuk memperoleh nilai DDT.

Gambar E.1 Kolerasi DDT dan CBR


(Sumber: SKBI 2.3.26.1987)
24

E.3.9 Faktor Regional (FR)


Dalam penentuan tebal perkerasan ini faktor regional hanya dipengaruhi
oleh bentuk alinyemen (kelandaian dan tikungan). Persentase kendaraan berat dan
hanya berhenti serta iklim (curah hujan) dapat dilihat berdasarkan ketentuan pada
Tabel E.6.
Tabel E.6 Faktor Regional (FR)
Kelandaian I Kelandaian II Kelandaian III
(< 6%) (6-10%) (> 10%)
Iklim
% Kendaraan Berat % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat
≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30%
Iklim I
< 900 0,5 1,0 - 1,5 1,0 1,5 - 2,0 1,5 2,0 - 2,5
mm/th
Iklim II
≥ 900 1,5 2,0 - 2,5 2,0 2,5 - 3,0 2,5 3,0 - 3,5
mm/th
(Sumber: SKBI 2.3.26.1987)

E.3.9 Indeks Permukaan (IP)


Indeks Permukaan ini menyatakan nilai dari pada kerataan/ kehalusan serta
kekokohan permukaan yang berlainan dengan tingkat pelayanan bagi lalu – lintas
yang lewat.
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) perlu
diperhatikan jenis lapisan permukaan jalan (kerataan/ kehalusan serta kekokohan)
pada awal umur rencana, dapat dilihat pada Tabel E.7.

Tabel E.7 Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (IPo)


Jenis Lapisan Perkerasan Ipo Roughness (mm/km)
≥4 ≤ 1000
LASTON
3,9 - 3,5 > 1000
3,9 - 3,5 ≤ 2000
LASBUTAG / HRA
3,4 - 3,0 > 2000
BURDA 3,9 - 3,5 ≤ 2000
BURTU 3,4 - 3,0 > 2000
(Sumber : SKBI 2.3.26.1987)
25

Dalam menentukan Indeks Permukaan pada akhir umur rencana (IPt), perlu
dipertimbangkan faktor–faktor klasifikasi fungsional jumlah lintas ekivalen
rencana (LER), dapat dilihat pada Tabel E.8.

Tabel E.8 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IPt)


LER = Lintas Ekivalen Klasifikasi Jalan
Rencana *) Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 - 1,5 1,5 1,5 - 2,0 -
10 – 100 1,5 1,5 - 2,0 2,0 -
100 – 1000 1,5 - 2,0 2,0 2,0 - 2,5 -
> 1000 - 2,0 - 2,5 2,5 2,5
(Sumber : SKBI 2.3.26.1987)

Catatan : *) LER dalam satu angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal

Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah sebagai berikut :


IPt = 1,0 adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat
sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan.
IPt = 1,5 adalah tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak
terputus).
IPt = 2,0 adalah tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih mantap.
IPt = 2,5 adalah menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik
26

E.3.10 Indeks Tebal Perkerasan (ITP)


Untuk mendapatkan nilai ITP digunakan nomogram menurut perencanaan
tebal perkerasan lentur jalan raya, dengan metode analisa komponen Departemen
Pekerjaan Umum (SKBI 1987), dengan memasukan harga DDT, LER, FR, IPo, dan
IPt maka didapatlah nilai ITP. (Nomogram indeks tebal perkerasan dapat dilihat
pada lampiran)
Indeks Tebal Perkerasan (ITP) dinyatakan dalam persamaan :

ITPrata – rata = a1D1 + a2D2 + a3D3 ..................................................... (11)

a1, a2, a3 = Koefisien kekuatan relatif bahan – bahan perkerasan


D1, D2, D3 = Tebal masing – masing lapisan perkerasan (cm)

1. Koefisien Kekuatan Relatif (a)


Koefisien kekuatan relatif (a) masing – masing bahan dan kegunaannya
sebagai lapisan permukaan, pondasi atas, pondasi bawah, ditentukan secara korelasi
sesuai dengan nilai Marshall Test (untuk bahan yang distabilisasi dengan semen
atau kapur), atau CBR (untuk bahan lapis pondasi bawah) dapat dilihat pada Tabel
E.9.

Tabel E.9 Koefisien Kekuatan Relatif (a)

Koefisien Kekuatan
Kekuatan Bahan
Relatif
Jenis Bahan
MS Kt CBR
a1 a2 a3
(kg) (kg/cm) (%)

0,4 - - 744 - - Laston


0,35 - - 590 - -
0,32 - - 454 - -
0,3 - - 340 - -

0,35 - - 744 - - Lasbutag


0,31 - - 590 - -
0,28 - - 454 - -
0,26 - - 340 - -
27

0,3 - - 340 - - HRA


0,26 - - 340 - - Aspal Macadam
0,25 - - - - - Lapen (Mekanis)
0,2 - - - - - Lapen (Manual)
- 0,28 - 590 - - Laston atas
- 0,26 - 454 - -
- 0,24 - 340 - -
- 0,19 - - - - Lapen (Manual)

Stab. Tanah dengan


- 0,15 - - 22 -
semen

- 0,14 - - - 100 Batu Pecah (Kelas A)


- 0,13 - - - 80 Batu Pecah (Kelas B)
- 0,12 - - - 60 Batu Pecah (Kelas C)

- - 0,13 - - 70 Sirtu/ Pitrun (Kelas A)


- - 0,12 - - 50 Sirtu/ Pitrun (Kelas B)
- - 0,11 - - 30 Sirtu/ Pitrun (Kelas C)

Tanah/ Lempung
- - 0,1 - - 20
Kepasiran
(Sumber : SKBI 2.3.26.1987)

2. Batas – batas Minimum Tebal Lapisan Permukaan


Untuk batas – batas minimum tebal lapisan permukaan dapat dilihat pada
Tabel E.10.
Tabel E.10 Batas Minimum Lapisan Permukaan
ITP Tebal minimum (cm) Bahan
Lapisan pelindung (Buras/ Burtu/
< 3,00 5
Burda)
Lapen/ Aspal Macadam, HRA,
3,00 - 6,70 5
Lasbutag, Laston
Lapen/ Aspal Macadam, HRA,
6,71 - 7,49 7,5
Lasbutag, Laston
7,50 - 9,99 7,5 Lasbutag, Laston

≥ 10,00 10 Laston
(Sumber : SKBI 2.3.26.1987 )

3. Batas – batas Minimum Lapisan Pondasi Atas


28

Untuk batas – batas minimum tebal perkerasan dapat dilihat pada Tabel
E.11.

Tabel E.11 Batas Minimum Lapisan Pondasi Atas


ITP Tebal minimum (cm) Bahan
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan
< 3,00 15
semen, stabilisasi tanah dengan kapur
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan
3,00 - 7,49 20
semen, stabilisasi tanah dengan kapur
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan
7,50 - 9,99 20 semen, stabilisasi tanah dengan kapur,
pondasi macadam
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan
10 - 12,14 20 semen, stabilisasi tanah dengan kapur,
pondasi macadam, lapen , laston atas
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan
≥ 12,25 25 semen, stabilisasi tanah dengan kapur,
pondasi macadam, lapen , laston atas
(Sumber : SKBI 2.3.26.1987)

Keterangan : Batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila


untuk pondasi bawah digunakan material berbutir kasar. Sedangkan untuk
batas minimum lapisan pondasi bawah (D3) adalah 10 cm untuk setiap nilai
ITP.

F. Metodologi Penelitian
F.1 Studi Literatur
Penelitian dimulai dengan mempelajari dan memahami buku – buku atau
referensi – referensi yang berkaitan dengan penelitian tugas akhir ini, baik buku –
buku teknik sipil ataupun laporan tugas akhir yang berkaitan.

F.2 Persiapan
Merencanakan jadwal pelaksanaan tugas akhir, mempersiapkan peralatan
dan perlengkapan yang akan digunakan serta mempersiapkan personil yang
dibutuhkan untuk melakukan survey dan pengujian dilapangan. Adapun peralatan
yang perlu dipersiapkan antara lain :
29

a) Alat DCP (Dynamic Cone Penetrometer), digunakan untuk melakukan


pengujian kekuatan tanah dasar dilapangan.
b) Meteran, digunakan untuk mengukur panjang, lebar dan jarak antar titik
pengujian.
c) Alat tulis dan lembar formulir survey untuk pencatatan data lalu lintas
harian.
d) Spanduk, digunakan untuk memberikan informasi kepada masyarakat
setempat tentang kegiatan penelitian tugas akhir yang sedang
berlangsung.

F.3 Survey Lapangan


Penulis melakukan peninjauan langsung ke lapangan untuk mengetahui
kondisi lapangan, mengukur panjang jalan yang akan diteliti dan menentukan titik
– titik pengujian. Adapun sket lokasi penelitianbeserta titik – titik pengujian CBR
lapangan dapat dilihat pada Gambar F.1.

Gambar F.1 Sket lokasi penelitian beserta titik pengujian CBR Lapangan
30

F.4 Pengumpulan Data


Adapun data yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas akhir ini adalah :
F.4.1 Data Primer
Data primer penulis peroleh dengan melakukan survei langsung ke
lapangan, adapun data yang di peroleh adalah :
31

1. Data CBR
Data CBR (California Bearing Ratio) penulis peroleh dengan melakukan
pengujian langsung di lapangan dengan menggunakan alat DCP (Dynamic
Cone Penetrometer), dengan langkah – langkah sebagai berikut :
a. Menyiapkan alat DCP, alat tulis dan formulir pengujian serta personil
yang berjumlah 4 orang.
b. Menentukan titik pengujian pada jalan dengan jarak antar titik
pengujian adalah 100 m.
c. Meletakan alat DCP di atas tanah (titik) yang akan diuji dan membaca
rol meter.
d. Melakukan pemukulan hammer 1 kali dan membaca rol meter.
Kemudian catat ke dalam lembar formulir pengujian.
e. Melakukan bacaan dan catat setiap per 1 kali pukulan hammer
berikutnya hingga bacaan pada rol meter mendekati 100 cm.
2. Data LHR
Pengumpulan data mengenai volume lalu lintas harian rata – rata ini
dilakukan dengan cara manual yaitu survei lapangan dengan langkah –
langkah sebagai berikut :
a. Mempersiapkan personil yang berjumlah 4 orang dan menyediakan
lembar formulir untuk mencatat volume lalu lintas.
b. Menentukan lokasi tempat pengambilan data LHR.
c. Menghitung jumlah dan jenis kendaraan yang lewat untuk kedua arah
selama 3 hari.

F.4.2 Data Sekunder


Data sekunder adalah data pendukung yang penulis dapatkan dari instansi –
instansi terkait berupa :
a) Data pertumbuhan lalu lintas, penulis peroleh dari Dirlantas Polda Riau.
32

F.5 Pengolahan Data


Penulis mengolah data – data yang telah diperoleh kemudian melakukan
perhitungan tebal perkerasan jalan yang mengacu pada pedoman yang dikeluarkan
oleh dan juga Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.

F.6 Hasil dan Pembahasan


Pembahasan ini berdasarkan hasil perhitungan data dari survei lapangan
yang telah ditinjau oleh penulis.

F.7 Kesimpulan dan Saran


Berisi rangkuman hasil – hasil atau data yang telah diperoleh di lapangan.
Adapun diagram alir penelitian pada ruas Jalan Teropong Pekanbaru mulai dari
awal hingga laporan hasil penelitian tugas akhirini dapat disusun berdasarkan
diagram alir pada Gambar 3.2.
33

MULAI

IDENTIFIKASI MASALAH

STUDI LITERATUR

PENGAMBILAN DATA

DATA PRIMER DATA SEKUNDER

1. DATA NILAI DCP 1. DATA


2. DATA LHR PERTUMBUHAN
LALU LINTAS

PENGOLAHAN DATA

HASIL DAN
PEMBAHASAN

KESIMPULAN

SELESAI

Gambar F.2. Flowchart Metodologi Penelitian


34

G. Jadwal pelaksanaan Tugas Akhir

Jadwal rencana pelaksanaan tugas akhir ini dilakukan selama 3 (tiga) bulan
dengan tahapan sebagai berikut :
1. Persiapan
a. Studi Literatur
b. Persetujuan Proposal
c. Seminar Proposal
2. Pelaksanaan Penelitian
a. Pengumpulan Data Primer
b. Pengumpulan Data Sekunder
c. Analisa Hasil Laporan
3. Penyusunan Laporan
a. Draft Tugas Akhir Penelitian
b. Revisi Tugas Akhir
c. Presentasi Tugas Akhir
4. Ujian Akhir
a. Ujian Tugas Akhir
b. Pengadaan Laporan
Jadwal pelaksanaan penelitian dirangkum pada gambar F.3 berikut :

BULAN
No KEGIATAN
JUL AGUST SEP OKT NOV DES JAN FEB
1 Studi Literatur
2 Pembuatan Proposal
3 Pengumpulan Data Awal
4 Seminar Proposal dan Revisi
Survei Lapangan dan
5
Pembahasan
6 Kesimpulan dan Saran
7 Seminar Hasil
8 Seminar TA

Gambar F.3 jadwal pelaksanaan penelitian

32

Anda mungkin juga menyukai