Anda di halaman 1dari 11

SPONDILITIS TUBERKULOSIS

Aryadi Kurniawan, Singkat Dohar Tobing, Subroto Sapardan

Spondilitis tuberkulosis

Abstract

Indonesia ranks as the 3rd contributor of tuberculosis in the world, with estimation that are 583.000 new cases every

year. Spinal involvement incrases morbidity due to the risk of permanent deformity and neurological deficit. Ironically,s

pine is the most common site osteoarticular tuberculosis. Culture of Mycobacterium tuberculosis is the gold standard

of diagnosis, though it is not always easy to obtain. Modern imaging technique should be used to identify the site and

extent of infection in order to perform individual treatment of the patient. Management of tuberculosis spondylitis is

aimed to provide eradication of infection, stability of vertebral column and correction or termination of kyphotic process.

Orthopaedic department FKUI-RSCM has development total therapy approach, which consists of conservative and

surgical management to overcome patien’s individual problems.

Key words : neurological deficit, total therapy, tubercolous spondylitis.

Abstraks
Indonesia adalah kontributor tuberkulosis nomor 3 di ia dengan sekitar 583.000 kasus baru per tahun. Keterlibatan
tulang belakang akan memperberat morbiditas karena adanya potensi deformitas dan defisit neurologis yang
permanen. Ironisnya, tulang belakang adalah lokasi infeksi tuberkulosis tulang dan sendi tersering. Kultur kuman
tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis, walaupun terdapat kesulitan untuk mendapatkan biakan yang
positif. Sebaiknya digunakan teknik pencitraan modern untuk mengidentifikasi lokasi dan luasnya keterlibatan penyakit
sehingga penatalaksanan dapat disesuaikan secara individual. Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan
untuk eradikasi infeksi, memberikan stabilitas pada tulang belakang dan menghentikan atau memperbaiki kifosis. Sub
bagian Bedah Orthopaedi FKUI-RSCM mengembangkan metode total therapy yang merupakan gabungan tindakan
konservatif dan operatif berdasarkan masalah yang ada pada masing-masing pasien.

Kata kunci : defisit neurologis, spondilitis tuberkulosis, terapi total.

PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosis merupakan salah satu kasus penyakit tertua dalam sejarah
dengan penemuan dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dna Peru1,2. Sir Percival
Pott (1799) mendiskripsikan penyakit ini dalam monografisnya yang klasik dan sejak saat
itu spondilitis tuberkulosis dikenal juga sebagai penyakit Pott (Pott’s disease).
Pada paruh terakhir abad XX, dengan penemuan oabt anti tuberkulosis dan
peningkatan derajat kesehatan masyarakat, insidens spondilitis tuberkulosis menurun
tajam di negara maju sedangkan bagi negara-negara berkembang tetap merupakan
masalah. Saat ini terdapat kecenderungan peningkatan insidens tuberkulosis di negara
maju maupun berkembang dengan fokus utama pada paru-paru yang diikuti keterlibatan
osteoartikuolar. Dengan demikian seorang dokter, baik yang bertugas di kota besar
maupun perifer, akan semakin sering menemukan kasus spondilitis. Untuk itu diperlukan
kemampuan seorang dokter untuk mendeteksi adanya spondilitis tuberkulosis dan
khususnya seorang penatalaksanaannya spesialis bedah tulang. Tinjauan pustaka ini
membahas spondilitis tuberkulosis dengan tujuan untuk perkembangan terakhir diagnosis
dan penatalaksanaannya.
EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis merupakan masalah besar bagi negara-negara berkembang karena


insidensnya cukup tinggi dengan morbiditas yang serius. Indonesia adalah kontributor
penderita tuberkulosis nomor 3 di dunia setelah India dan Cina. 3 Diperkirakan terdapat
583.000 kasus baru tuberkulosis per tahun. Sebagian besar penderita berada dalam usia
produktif (15-54 tahun), dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah. 3
Keterlibatan tulang belakang akan mempererat morbiditas karena adanya potensi
memperberat morbiditas karena adanya potensi defisit neurologis dan deformitas yang
permanen. Ironisnya tulang belakang adalah lokasi infeksi tuberkulosis tulang dan send
tersering, mencakup 50% seluruh penderita tuberkulosis osteoartikular. 2,4, 6 Pertuiset dkk
mencatat pada sebuah penelitian, di Perancis tahun 1980-1994, spondilitis tuberkulosis
merupakan 15% semua kasus tuberkulosis ekstrapulmoner dan merupakan 3-5% semua
kasus tuberkulosis. 4 Hidalgo melaporkan di Amerika Serikat tahun 1986-1995
tuberkulosis osteoartikular merupakan 10% dari kasus tuberkulosis ekstrapulmoner dan
1,8% dari semua kasus tuberkulosis. 2 Hidalgo dan Pertuiset dkk 4 melaporkan adanya
predominasi pria terhadap wanita. Didapatkan insidens lebih besar pada anak-anak
terutama pada negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi. 5,7 Anak-anak di bawah
usia 10 tahun cenderung mengalami destruksi vertebra lebih ekstensif dan memiliki risiko
terjadinya deformitas tulang belakang yang lebih besar. 8 vertebra segmen torakal adalah
yeng tersering terlibat diikuti segmen lumbal dan servikal. 2,5,7

PATOGENESIS

Spondilitis tuberkulosis merupakan fokus sekunder infeksi tuberkulosis dengan


penyebaran sebagian besar secara hematogen 4,6,9,10 melalui pembuluh darah arteri
epifiseal atau melalui plexus vena Batson. Telah ditemukan spondilitis tuberkulosis
setelah instilasi BCG intravesical pada karsinoma buli-buli. 11 Fokus primer infeksi
cenderung berbeda pada kelompok umur yang berbeda. Banerjee melaporkan pada 499
penderita dengan spondilitis tuberkulosis, foto radiologisnya memperlihatkan 31% fokus
primer adalah paru-paru dan dari kelompok tersebut 78% adalah anak-anak; sedangkan
69% sisanya memperlihatkan rontgen paru-paru yang normal dan sebagian besar adalah
dewasa. 7
Lesi spondilitis tuberkulosis berawal suatu tuberkel kecil yang berkembang
lambat, bersifat osteolisis lokal, pada tulang subkondral di bagian superior atau inferior
anterior dari korpus vertebra. 13-15 Proses infeksi Mycobacterium tuberkulosis akan
mengaktifkan chaperonin 10 yang merupakan stimulator poten proses resorpsi tulang
sehingga akan terjadi destruksi korpus vertebra di anterio. 4 Proses perkejuan yang terjadi
akan menghalangi proses pembentukan tulang reaktif dan mengakibatkan segmen tulang
yang terinfeksi relatif avaskuler sehingga terbentuklah sequester tuberkulosis. Destruksi
progresif di anterior akan mengakibatkan kolapsnya korpus vertebra yang terinfeksi dan
terbentuklah kifosis (angulasi posterior) tulang belakang. Kecenderungan terjadinya
kifosis bergantung pada segmen dan jumlah vertebra yang terlibat serta umur penderita.
Pada segmen normal terdapat kifosis misalnya segmen torakal, kecenderungan kifosis
menjadi progresif lebih tinggi dibandingkan dengan segmen lumbal yang secara normal
terdapat lordosis. Proses terjadinya kifosis dapat terus berlangsung walaupun telah terjadi
resolusi proses infeks. 16 Kifosis yang progresif dapat mengakibatkan problem respirasi
dan late-onset paraplegia. 5,8,14,17 Selain itu merupakan persoalan kosmetik dan psikologis
besar bagi penderita.
Infeksi akhirnya menembus korteks vertebra, menginfeksi jaringan lunak
sekitarnya dan membentuk abses paravertebral. Diseminasi lokal terjadi melalui
penyebaran hematogen dan penyebaran langsung di bawah ligamentum longitudinal
anterior. Apabila telah terbentuk abses paravertebral, lesi dapat turun mengikuti alur fasia
muskulus psoas membentuk abses psoas yang dapat mencapai trigonum femoralis.
Pada usia dewasa, diskus intervertebralis avaskuler sehingga lebih resisten
terhadap infeksi dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari korpus vertebra. Pada anak­
anak karena diskus intervertebralis masih bersifat vaskular, infeksi diskus dapat terjadi
primer. Penyempitan diskus intervertebralis terjadi akibat destruksi tulang pada kedua sisi
diskus sehingga diskus mengalami herniasi ke dalam korpus vertebra yang telah rusak. 5
Kompresi struktur neurologis terjadi akibat penekanan oleh proses ekstrinsik
maupun instrinsik. 17 Proses ekstrinsik pada fase aktif diakibatkan oleh akumulasi cairan
akibat edema, abses kaseosa, jaringan granulasi, sequester tulang atau diskus. Sedangkan
pada fase penyembuhan disebabkan oleh terbentuknya tonjolan-tonjolan tulang reaktif
atau akibat proses fibrosis duramater. Proses intrinsik terjadi akibat penyebaran kuman
tuberkulosis menembus dura dan melibatkan mening serta medulla spinalis.

GAMBARAN KLINIS

Perjalanan klinis spondilitis tuberkulosis biasanya perlahan-lahan walaupun telah


dilaporkan kasus dengan onset yang akut. 4 Gejala utama adalah nyeri tulang belakang.
Nyeri biasanya bersifat kronis, dapat lokal maupun radikular. Penderita dengan
keterlibatan vertebra segmen servikal dan torakal cenderung menderita defisit neurologis
yang lebih akut sedangkan keterlibatan lumbal biasanya bermanifestasi sebagai nyeri
radikular. 4 Selain nyeri, terdapat gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat
malam, peningkatan suhu tubuh pada sore hari dan penurunan berat badan. Tulang
belakang terasa kaku dan nyeri pada pergerakan. 5,18
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan dan dinilai :
• Inspeksi kulit pada tulang belakang, dengan perhatian ada tidaknya sinus
• Alignment tulang belakang, adanya spasme otot-otot paravertebral
• Diperhatikan ada tidaknya massa subkutan pada regio flank, inguinal, perineal
atau gluteal
• Defisit neurologis dapat muncul awal atau pada fase penyembuhan. Gejala yang
timbul tergantung pada level medula spinalis atau syaraf spinal yang terlibat.

Infeksi pada craniocervical juntion menghasilkan gejala progresif. Gejala utama


adalah nyeri pada belakang kepala dan leher. Sebagian besar disertai gejala umum infeksi
tuberkulosis. Ruang lingkup pada pemeriksaan fisik ditemukan keterbatasan gerak sendi
leher, nyeri tekan dan spasme otot-otot posterior leher. Hampir pada semua kasus
terbentuk abses retrofaring, selain itu dapat muncul disfagia, stridor, tortikolis dan suara
serak; dapat terjadi dislokasi atlantoaksial yang menekan struktur saraf dan dapat
menyebabkan defisit neurologis atau bahkan kematian. 19
Pada penderita harus selalu dicoba dicari fokus primer tuberkulosis yaitu dapat
berupa infeksi di paru-paru, saluran kemih maupun saluran cerna.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium
Penderita spondilitis tuberkulosis dapat mengalami peningkatan laju endap darah
tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk uji tapis. Al-Marri 20 melaporkan 144 anak
dengan tuberkulosis didapatkan 33% anak dengan laju endap darah yang normal.
Hasi SA21 melaporkan peningkatan CRP (C-reactive protein) pada 66% dari 35
penderita spondilitis tuberkulosis, yang berhubungan dengan pembentukan abses.
Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
Pemeriksaan dengan ELISA (enzyme-linked immunoadsorbent assay) dilaporkan
memiliki sensitifitas 60-80% 5, tetapi dapat menghasilkan negatif palsu pada penderita
dengan anergi. 5,25 Pada populasi dengan tuberkulosis endemis, titer antibodi cenderung
tinggi sehingga sulit dideteksi kasus tuberkulosis aktif. 25
Identifikasi dengan polymerase chain reaction (PCR) masih terus dikembangkan.
Prosedur tersebut meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis, “melekatkan” nukleotida
tertentu pada fragmen DNA, amplifikasi menggunakan DNA polimerase sampai
terbentuk rantai DNA utuh yang dapat diidentifikasi dengan gel electrophroresis. Bila
DNA target tidak ada, nukleotida tidak akan melekat dan tidak akan terjadi amplifikasi.
Keuntungan prosedur ini adalah waktu yang dibutuhkan relatif singkat. Masalahnya
adalah teknis pemeriksaan yang sulit, mahal dan kemungkinan dalam prosedur ini terjadi
amplifikasi DNA dari “bingkai” kuman tuberkulosis. 26
Penyuntikan tuberkulin pada kulit akan menghasilkan reaksi imunologis yang
dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi tuberkulosis. Interpretasi pemeriksaan ini
tergantung dari paparan terhadap tuberkulosis, status imunologis dan riwayat vaksinasi
BCG sebelumnya. Penderita anergi akibat misalnya penyebaran tuberkulosis luas,
pengobatan imunosupresif, amlnutrisi akan menghasilkan hasil negatif palsu. 5,22

Pencitraan
Suatu pencitraan yang ideal harus dapat memberikan keterangan mengenai 17
• Jumlah vertebra yang terlibat, sudut kifosis yang terjadi
• Seberapa jauh destruksi tulang telah terjadi, apakah hanya terbatas pada kolumna
anterior atau sudah mencapai kolumna posterior
• Ada tidaknya keterlibatan jaringan lunak, termasuk pembentukan abses dan
sekuesterisasi diskus interverbralis
• Ada tidaknya kompresi medula spinalis dan tingkat keseriusannya.

Skintigrafi
Tidak terdapat gambaran skintigrafi yang patognomonik untuk spondilitis
tuberkulosis. Watts melaporkan pada 56 kasus tuberkulosis osteoartikular terjadi
perubahan ambilan (uptake) Tc99 secara difusa sebanyak 63% kasus. Hasil yang negatif
pada sisanya yang kemungkinan disebabkan adanya segmen tulang avaskular akibat
pembentukan abses. 5 anwar IB23 melaporkan sensitifitas sebesar 84% pada penggunaan
tc99 injection pada penderita spondilitis tuberkulosis.
Foto polos masih merupakan alat diagnostik yang penting. Pada foto olos
didapatkan informasi mengenai jumlah vertebra yang terlibat, derajat destruksi tulang,
sudut kifosis, sedangkan keterlibatan elemen posterior tidak bisa dinilai dan penilaian
abses paraspinal hanya dapat dilakukan secara kasar. 17,24
Gambaran klasik berupa destruksi vertebra yang dimulai dari sudut superior atau
inferior anterior korpus. Vertebra berdekatan dengan diskovertebral juntion. Apabila
terlihat destruksi korpus vertebra pada foto polos, proses inflamasi telah berlangsung
paling sedikit 6 bulan 13 atau tulang telah kehilangan 30-40% mineral yang dikandungnya.
14

Adanya bayangan fusiform harus dicurigai pembentukan abses paravertebra. Abses


terjadi pada lebih 50% kasus 14, yang dapat menyebar melalui alur fasia sehingga
terbentuk abses sepanjang muskulus psoas. Kalsifikasi pada abses memperkuat
kecurigaan infeksi tuberkulosis. Pada fase lanjut didapatkan penyempitan diskus
intervertebralis akibat herniasi ke dalam korpus vertebra yang telah rusak atau destruksi
diskus intervertebralis akibat gangguan nutrisi. 2,13,14

CT scan
CT scan menggambarkan luasnya infeksi secara lebih akurat dan mendeteksi lesi
lebih dini dibandingkan foto polos. Hofmann dkk24 melaporkan 25% penderita mereka
memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT scan dan MRI yang lebih polos. CT
scan efektif kalsifikasi pada abses jaringan lunak. Selain itu CT scan dapat digunakan
untuk memandu prosedur biopsi.
Lesi terlihat osteolitik iregular, bermula pada korpus dan kemudian menyebar
sehingga vertebra kolaps dan terjadi herniasi diskus ke dalam vertebra yang hancur.
CT scan dapat menggambarkan keterlibatan elemen posterior bilateral akan
berakibat instabilitas tulang belakang sehingga tindakan operatif merupakan indikasi dan
prosedur anterior strut grafting mungkin tidak adekuat sehingga dibutuhkan
instrumentasi posterior.4,17,24

MRI (Magnetic resonance imaging)


Kelebihan MRI adalah kemampuannya dalam proyeksi multiplanar dan dalam
spesifitas terutama jaringan lunak yang dapat ditampilkan lebih baik sehingga dapat
mendeteksi lesi lebih awal dan lebih menyeluruh.
Pada MRI akan ditemui penurunan intensitas sinyal fokus infeksi pada gambaran
T1-weighted dan peningkatan sinyal yang heterogen pada gambaran T2-weighted.13,14
Pada pemberian kontras infeksi tuberkulosis memperlihatkan penyangatan inhomogen
pada infiltrasi sumsum tulang dengan tepi lesi menyangat. Abses tuberkulosis pada
pemberian kontras akan memperlihatkan penyangatan perifer dengan nekrosis sentral.
Keterlibatan diskus invertebralis sebagian besar akan menampilkan gambran klasik
diskitis berupa peningkatan singal pada gambaran T2-weighted, penurunan sinyal pada
gambaran T1-weighted dan menyangat setelah pemberian kontras. 13
MRI menggambarkan perluasan infeksi paling baik dan dapat memperlihatkan
penyebaran granuloma tuberkulosis di bawah ligamentum longitudinal anterior dan
posterior. MRI dapat membedakan jaringan patologis yang mengakibatkan penekanan
pada struktur neurologis. Hal ini penting karena intervensi bedah dibutuhkan pada defisit
neurologis yang disebabkan penekanan oleh deformitas tulang berupa kifosis atau oleh
konstriksi akibat fibrosis di sekeliling kanalis neuralis. 5,24
Mehta26 mengajukan klasifikasi tuberkulosis vertebra torakal berdasarkan ekstensi
lesi yang terlihat pada MRI untuk perencanaan strategi pembedahan.

Bakteriologis
Kultur kuman tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis. Tantangan
yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengonfirmasi diagnosis klinis dan radiologis
secara mikrobakteriologis. Masalah terletak pada bagaimana mendapatkan spesimen
dengan jumlah basil yang adekuat. Pemeriksaan mikroskopis dengan pulasan Ziehl-
Nielsen membutuhkan 104 basil per mililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan
103 basil per mililiter spesimen.5
Kesulitan lain dalam menerapakan pemeriksaan bakteriologis adalah lamanya
waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi
baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya. Saat ini mulai dipergunakan sistem BACTEC
(Becton Dickinson Diagnostic Intrument System). Dengan sistem ini identifikasi dapat
dilakukan dak\lam 7-10 hari. Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman
lain, masih tingginya harga alat dan juga karena sistem ini memakai zat radioaktif maka
harus dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya.
Pada negara di mana terdapat prevalensi tuberkulosis yang tinggi atau tidak
terdapat sarana medis yang mencukupi, penderita dengan gambaran klinis dan radiologis
yang sugestif spondilitis tuberkulosis tidak perlu dilakukan biopsi untuk memastikan
diagnosis dan memulai pengobatan.5

Histopatologis
Infeksi tuberkulosis pada jaringan akan menginduksi reaksi radang
granulomatosis dan nekrosis yang cukup karakteristik sehingga dapat membantu
penegakan diagnosis. Ditemukannya tuberkel yang dibentuk oleh sel epiteloid, giant cell
dan limfosit disertai nekrosis perkejuan di sentral memberikan nilai diagnostik paling
tinggi dibandingkan temuan histopatologis lainnnya.34,35 Gambaran histopatologis berupa
tuberkel saja harus dihubungkan dengan penemuan klinis dan radiologis.35

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding spondilitis tuberkulosis meliputi infeksi piogenik, jamur,
neoplasma atau penyakit degeneratif. Untuk menyingkirkan diagnosis banding tersebut
diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pencitraan yang teliti dan
sesuai dengan kebutuhan.
Penemuan klinis biasanya dapat membedakan spondilitis tuberkulosis dengan
penyakit degeneratif. Pada penyakit degeneratif diskus intervertebralis tidak terlalu
menyempit dan pada MRI kerusakan diskus tampak berupa intensitas sinyal yang rendah
pada gambaran T2-weighted.13
Perbedaan spondilitis tuberkulosis dengan spondilitis piogenik dapat dilihat dari
progresivitas penyakitnya yakni spondilitis tuberkulosis cenderung lambat dan kronis.
Pada infeksi piogenik terjadi sklerosis reaktif, selain itu osteoporosis yang terjadi tidak
senyata pada spondilitis tuberkulosis. Pada MRI, spondilitis pyogenik akan menampilkan
penurunan sinyal pada T1-weighted, peningkatan sinyal pada T2-weighted dengan
penyangatan yang homogen pada korpus dan diskus yang terinfeksi. Akumulasi porduk
inflamasi pada infeksi piogenik biasanya tidak sebanyak yang terjadi pada spondilitis
tuberkulosis. Adanya kalsifikasi lebih mengarah pada proses tuberkulosis.13,14
Infeksi brucellosis terutama terjadi pada pria, akibat kontak dengan binatang
ternak terinfeksi atau mengonsumsi susu atau produk susu yang belum di pasteurisasi.
Brucekkosis mempunyai perjalanan penyakit menyerupai tuberkulosis yang indolen.
Spondilitis brucellosa sering terjadi pada vertebra lumbal bawah.14,27 Penampakan
radiologis awal berupa rarefakti pada end-plates vertebra yang terlibat, penyempitan
diskus invertebralis, abses jaringan lunak yang relatif kecil, dapat muncul erosi di korpus
anterior vertebra.27 Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan antibodi serum terhadap
brucella dan kultur. Lifeso dkk27 melaporkan bahwa brucellosis ditandai dengan demam,
malaise, keringat malam, penurunan berat badan, sakit kepala, nyeri sendi disertai
hepatosplenomegali, limfadenopati dan artropi. Calvo 29 melaporkan kecenderungan
terjadi imunosupresi, abses paravertebral, kompresi medula spinalis, anemia dan
peningkatan laju endap darah lebih tinggi pada spondilitis tuberkulosis dibandingkan
spondilitis brucellosis. Walaupun kecenderungan ini tidak bermakna secara statistik,
tetapi membantu mengarahkan diagnosis sebelum diagnosis pasti ditegakkan.
Infeksi jamur pada tulang belakang lebih jarang ditemukan, biasanya terjadi pada
penderita dengan penurunan daya tahan tubuh (immunocompromised). Menegakkan
diagnosis infeksi spinal oleh jamur berdasarkan pencitraan saja seringkali sulit dilakukan.
Infeksi dapat terjadi melalui mokulasi langsung akibat trauma, hematogenik, ekstensi
langsung atau iatrogenik pada operasi tulang belakang.28 Pada blastomikosis, proses
infeksi mengenai korpus, diskus dan dapat mencapai kaput costae yang terdekat, dapat
dijumpai skip lesions 13. Aktinomikosis biasanya juga dijumpai pada sudut mandibula dan
menyebar dengan ekstensi langsung, lesi biasanya tidak nyeri, terdapat area osteolisis
pada vertebra berupa soap bubble apprearance, abses paravertebral yang terjadi biasanya
lebih kecil, proses infeksi dapat meluas mengikuti ligamentum longitudinalis dan dapat
melibatkan elemen posterior serta kaput costae, jarang terjadi gibbus dan biasanya tidak
melibatkan diskus intervetebralis.13
Membedakan proses metastasis dengan spondilitis tuberkulosis dapat dilakukan
dengan anamnesis, evaluasi pencitraan dan biopsi. Proses keganasan menunjukkan
penurunan sinyal pada gambaran T1-weighted dan peningkatan sinyal pada gambaran T2­
weighted. Gambarannya berupa destruksi dan infiltrasi korpus tanpa kolaps dan tanpa
erosi end plates. Terjadi preservasi diskus, kecuali pada myeloma multipel. 13 Tidak
terdapat perluasan subligam pada proses metastasis.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk eradikasi infeksi,


memberikan stabilitas pada tulang belakang dan menghentikan atau memperbaiki
kifosis 16 sehingga didapatkan penatalaksanaan yang menyeluruh. Terdapat beberapa
laporan yang menyatakan kriteria kesembuhan, sebagian besar menekankan pada
tercapainya favoruble status yang didefinisikan sebagai penderita dapat beraktivitas
penuh tanpa membutuhkan kemoterapi atau tindakan bedah lanjutan, tidak adanya
keterlibatan sistem syaraf pusat, fokus infeksi yang tenang secara klinis maupun
radiologis. 17,29
Kunci keberhasilan terapi medikamentosa adalah kemoterapi kombinasi
berkelanjutan jangka panjang yang efektif terhadap organisme penyebab. Kemoterapi
multipel dibutuhkan untuk mencegah munculnya bakteri yang resisten dan mengurangi
efek samping sedangkan pemberian jangka panjang dan berkelanjutan diperlukan untuk
sterilisasi bakteri yang secara metabolik tidak aktif.
Penelitian medical research council (MRC) pada 265 penderita di Korea
menunjukkan isoniazed dan rifampisin yang diberikan 6 atau 9 bulan sama efektifnya
dengan isoniazid dan PAS atau etambutol diberikan selama 18 bulan, dengan keuntungan
disiplin penderita lebih terjaga. 17,29,30 Beberapa penulis merekomendasikan kemoterapi
setidaknya 12 bulan karena kemungkinan kegagalan regimen jangka pendek tersebut (6-9
bulan) cukup besar. Pada laoran evaluasi MRC 3 tahun didapatkan 77% mencapai
favoruble status klinis dan radiologis, 15% mencapai favoruble status hanya secara klinis
sedangkan 8% tidak mencapai favoruble status.17,30 Disamping itu penelitian MRC tidak
menyertakan penderita dengan defisit neurologis signifikan atau penderita dengan
riwayat oabt antituberkulosis sebelumnya. 2,5,22,23
Tergantung pada derajat keseriusan infeksi, dapat diberikan 4 sampai 5 kombinasi
kemoterapi antituberkulosis (rifampisin, INH, pirazinamid), etambutol, streptomisin)22,23 .
Sub bagian Bedah orthopedi FKUI-RSCM memakai regimen kombinasi 4 kemoterapi
(RHZE) dengan etambutol dan pirazinamid diberikan dalam 2 bulan pertama, rifampisin
dan INH diberikan selama 12 bulan.
Berikut ini ulasan ringkas mengenai kemoterapi anti tuberkulosis terpilih 5,22
1. Isoniasid
Bakterisida poten, efektif terhadap organisme yang aktif. Pada anak dosisnya adalah
5-15 mg/kg BB/hari, dosis maksimum 300 mg/hari. Efek samping utama adalah
hepatotoksik. Neuropati perifer dapat terjadi karena gangguan metabolisme piridoksin
sehingga pemberian isoniasid disertai dengan pemberian 10 mg piridoksin per hari.
2. Rifampisin dan Pirazinamid
Efektif untuk sterilisasi, terutama pada basil dormont dan mengalami peningkatan
aktivitas secara periodik. Rifampisin bersifat bakterisidal pada dosis 10-15 mg/kg
BB/ hari, dosis maksimum pada anak 600 mg/hari. Pirazinamid bersifat bakterisidal
pada dosis 25-35 mg/kgBb/hari. Dosis maksimum pada anak 2 gram/hari.
3. Etambutol
Bersifat bakteriostatik. Efek samping tersering adalah neuritis retrobulbar yang
bersifat dose related. Pada anak dosis adalah 15-20 mg/kg BB/hari. Dosis maximum
2,5 gram per hari.
4. Streptomisin
Bersifat bakterisidal, diberikan parenteral sehingga, sebaiknya hanya diberikan pada
penderita yang dirawat. Dosis 15-30 mg/kg BB/hari, dosis maksimum anak 750 mg –
1 gram/hari. Dosis kumulatif total sebaiknya tidak melebihi 120 gram. Efek samping
utama adalah ototoksisitas.
Pada usia dewasa, dosis oabt harian juga disesuaikan menurut berat badan.33
Tabel 1. Dosis harian usia dewasa menurut berat badan

Nama obat Berat badan < 50 Kg Berat Badan > 50 Kg


Isoniasid 300 mg 400 mg
Rifampisin 450 mg 600 mg
Pirazinamid 1500 mg 2000 mg
Steptomisin 750 mg 750 mg
Etambutol 750 mg 1000 mg

Penatalaksanan bedah pada penderita dengan spondilitis tuberkulosis tergantung


pada ketersediaan fasilitas dan kemampuan ahli bedah orthopedi. Indikasi untuk
intervensi operatif adalah 5,8
1. Defisit neurologis yang signifikan terutama bila berhubungan dengan kifosis yang
progresif atau herniasi tulang atau diskus pada kanalis neuralis.
2. Abses besar segmen servikal pada penderita dengan obstruksi saluran respirasi.
3. Lesi posterior yang disertai dengan pembentukan abses atau sinus
4. Instabilitas tulang belakang atau kifosis yang progresif walaupun telah mendapat
kemoterapi adekuat.
5. Kegagalan terapi konservatif setelah pengobatan kemoterapi 3-6 bulan
6. Rekurensi infeksi atau defisit neurologis.
Terdapat perdebatan perlu tidaknya intervensi operatif untuk mencegah kifosis
pada fase penyembuhan. Rajasekkaran menyatakan ditemukannya disrupsi elemen
posterior berupa dislokasi joint facet, retropulsi segmen vertebra ke posterior, translasi
lateral kolumna vertebralis dan adanya tilting/toppling merupakan tanda awal instabilitas
yang akan berakibat kifosis progresif dan menganjurkan tindakan bedah dilakukan dini. 8
Penelitian MRC di Hong Kong, membandingkan secara prospektif selama 15 tahun
antara penderita yang menjalani operasi debridement dan strut grafting dengan penderita
yang menjalani operasi debridement saja. Pada kedua prosedur ternyata didapatkan hasil
serupa mengenai resolusi defisit neurologis dan hilangnya nyeri. 5,29 Akan tetapi pada
penderita yang dilakukan strut grafting ternyata didapatkan koreksi kifosis sedangkan
yang dilakukan debridement saja mengalami peningkatan kifosis. 5,17,31
Upadhyay dkk menyatakan pentingnya intervensi bedah untuk mengatasi
deformitas yang terjadi dan ternyata setelah dilakuukan fusi anterior tidak terjadi
pertumbuhan elemen posterior yang disporporsioanl. 31
Yilmaz dkk menganjurkan instrumentasi anterior untuk menunjang anterior strut
graft pada penderita dengan kifosis yang melibatkan lebih dari 2 segmen vertebra karena
risiko kegagalan strut graft yang besar. 32
Beberapa penulis menganjurkan diguanakannya metode anterior bone graft
disertai dengan osteotomi posterior dan artrodesis dengan menggunakan fiksasi interna
sehingga akan didapatkan pemanjangan kolumna anterior dan pemendekan kolumna
posterior. Metode ini membutuhkan kemampuan ahli bedah yang lebih trampil, tetapi
memberikan tulang belakang yang lebih stabil dan dapat diterima secara kosmetik.
Karena spondilitis tuberkulosis terutama melibatkan elemen anterior tulang
belakang direkomedasikan melakukan approach anterior sehingga abses dapat
dievakuasi, subtansi yang nekrosis dapat dibuang, dapat dilakukan dekompresi anterior
medulla spinalis. Jaringan untuk pemeriksaan histopatologi dan kultur didapat dengan
mudah dan kifosis dapat dikoreksi atau distabilisasi dengah autogenous bone graft.
Approach posterior diindikasikan pada keterlibatan elemen posterior dan posterior dan
stabilisasi posterior dibutuhkan sebelum tindakan dekompresi anterior dan arthrodesis,
juga pada penderita dengan tulang belakang yang sebenarnya stabil atau memiliki
deformitas minimal tetapi memiliki tuberkuloma intrameduler atau abses epidural5.
Approach costotransversectomi dilakukan untuk drainase abses besar di segmen torak
pada penderita yang tidak layak secara medis untuk menajalani torakotomi. Selain
drainase abses pada approach ini juga dapat dilakukan evakuasi fragmen tulang atau
bone grafting.5
Dekompresi anterior adekuat dalam interval 9 bulan setelah onset parapelgia
kemungkinan besar menghasilkan resolusi komplit paraplegia tersebut. Bila dilakukan
antara 9 -11 bulan akan didapatkan peningkatan fungsi neurologis substansial walaupun
resolusi tidak komplit dan spastisitas akan menetap. Intervensi bedah dilakukan lebih dari
1 tahun setelah onset paraplegia jarang mengembalikan fungsi neurologis signifikan.5
Penulis senior Subroto Sapardan, telah mengembangkan metode total therapy
yang merupakan gabungan tindakan konservatif dan operatif berdasarkan masalah yang
ada pada masing-masing penderita. Metode tersebut meliputi antara lain :
1. Konservatif dengan obat-obatan
Dilakukan pada stadium dini, keadaan umum baik, dan keluhan minmal.
2. Operasi untuk evakuasi abses
Dilakukan pada dengan abses yang besar tetapi dengan lesi tulang yang terbatas
3. Hongkong method
Dilakukan debridement anterior dan fusi anterior
4. Instrumentasi posterior untuk koreksi spontan disertai Hongkong method pada
spondilitis tuberkulosis dengan deformitas kifosis yang tidak rigid
5. Instrumentasi posterior untuk koreksi spontan disertai Hongkong method dan
shortening pada spondilitis tuberkulosis dengan deformitas kifosis rigid.
6. Hong Kong method didertai dengan intrumentasi anterior
7. Instrumentasi posterior dan debridement melalui costotransversectomi dapat disertai
shortening pada lamina dan pedikel.
8. Instrumentasi posterior saja pada penderita yang dilakukan total posterior shortening
atau pada penderita yang dilakukan posterolumbar intervertebral fusion. Hal ini
dilakukan pada penderita dengan deformitas kifosis di lumbal.
9. Hanya dilakukan tindakan posterior debridement, laminektomi, biopsi transpedikuler
dan instrumentasi. Hal ini dilakukan bila tidak ada abses, operasi anterior
dipertimbangkan resikonya lebih besar.
10. Spondilitis yang sudah sembuh dengan kifosis berat (>600) terutama dengan defisit
neurologis dilakukan tindakan posterior dan shortening lamina, pedikel dan korpus.
11. Spondilitis tuberkulosis dengan deformitas lebih dari 900, disertai kelumpuhan atau
paralisis spastik dilakukan tindakan dekompresi medula spinalis dan fusi minimal
atau tanpa koreksi.
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis tetap menjadi masalah besar bagi negara berkembang dan mulai
menjadi masalah bagi negara maju.
2. Tulang belakang merupakan lokasi infeksi yang tersering tuberkulosis
osteroartikular dengan risiko defisit neurologis dan defromitas permanen.
3. teknik pencitraan modern sebaiknya digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan
luasnya keterlibatan penyakit sehingga penatalaksanaan dapat disesuaikan secara
individual.
4. Penatalaksanan konservatif pada yang sesuai indikasi dapat mengatasi kasus
spondilitis tuberkulosis secara efektif.
5. Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk eradikasi infeksi,
memberikan stabilitas pada tulang belakang dan menghentikan atau memperbaiki
kifosis.

Anda mungkin juga menyukai