1 Definisi Pestisida
Menurut Depkes RI (1990) Kata Pestisida berasal dari rangkaian kata pest yang
berarti hama dan cida atau sida yang berarti membunuh. Menurut Food and Agriculture
Organization (FAO) 1986 dan dalam PP No 7 tahun 1973 yang dimaksud dengan pestisida
adalah campuran bahan kimia yang digunakan untuk mencegah, membasmi dan
mengendalikan hewan atau tumbuhan pengganggu seperti binatang pengerat, termasuk
serangga penyebar penyakit, dengan tujuan kesejahteraan manusia. Pestisida juga di
definisikan sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur tubuh dan perangsang tumbuh,
bahan lain, serta mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk perlindungan tanaman (PP
RI No.6 tahun 1995). Pengertian menurut Sub Dit P2 Pestisida (1990) adalah semua bahan
kimia, binatang maupun tumbuhan yang digunakan untuk mengendalikan hama. Pengertian
lain tentang pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus
digunakan untuk :
2.1.1 Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian
tanaman atau hasil-hasil pertanian.
2.1.2 Memberantas rerumputan.
2.1.3 Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
2.1.4 Mengatur dan merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman (tidak
termasuk golongan pupuk).
2.1.5 Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan piaraan dan ternak.
2.1.5 Memberantas atau mencegah hama-hama air.
2.1.6 Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad renik dalam rumah tangga,
bangunan, dan dalam alat-alat pengangkutan.
2.1.7 Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang bisa menyebabkan penyakit pada
manusia.
2.2.1 Berdasarkan atas sifat pestisida dapat digolongkan menjadi : bentuk padat, bentuk cair,
bentuk asap (aerosol), bentuk gas (fumigan).
2.2.2 Berdasarkan organ targetnya/sasrannya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Insektisida berfungsi untuk membunuh atau mengendalikan serangga
b. Herbisida berfungsi untuk membunuh gulma
c. Fungisida berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan
d. Algasida berfungsi untuk membunuh alga
e. Rodentisida berfungsi untuk membunuh binatang pengerat
f. Akarisida berfungsi untuk membunuh tungau atau kutu
g. Bakterisida berfungsi untuk membunuh atau melawan bakteri
h. Moluskisida berfungsi untuk membunuh siput.
2.2.3 Berdasarkan Cara Kerja atau efek keracunannya dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Racun kontak adalah membunuh sasarannya bila pestisida mengenai kulit hewan
sasarannya.
b. Racun perut adalah membunuh sasarannya bila pestisida tersebut termakan oleh hewan
yang bersangkutan.
c. Fumigan adalah senyawa kimia yang membunuh sasarannya melalui saluran pernafasan.
d. Racun sistemik adalah pestisida dapat diisap oleh tanaman, tetapi tidak merugikan tanaman
itu sendiri di dalam batas waktu tertentu dapat membunuh serangga yang menghisap atau
memakan tanaman tersebut.
a. Golongan Organoklorin
Merupakan bagian dari kelas yang lebih luas dari halogenated hydrocarbon, termasuk
diantaranya dan terkenal sebagai penyebab masalah yaitu Polyclorinated biphenyls dan
dioxin. Sebagai kelompok, insektisida organoklorin merupakan racun terhadap susunan saraf
(neurotoxins) yang merangsang sistem saraf baik pada serangga maupun mamalia,
menyebabkan tremor dan kejang-kejang.
b. Golongan Organofosfat
c. Golongan Carbamat
Menurut Sartono (2002) pestisida golongan carbamat merupakan racun kontak, racun perut
dan racun pernapasan. Bekerja sama seperti golongan organofosfat, yaitu menghambat
aktivitas enzim kolinesterase. Jika terjadi keracunan
Universitas Sumatera Utara
yang di sebabkan oleh golongan karbamat, gejalanya sama seperti pada keracunan
organofosfat, tetapi lebih mendadak dan tidak lama karena efeknya terhadap enzim
kolinesterase tidak persisten.
d. Golongan Piretroid
Insektisida dari kelompok piretroid merupakan analog dari piretrum yang menunjukkan
efikasi yang lebih tinggi terhadap serangga dan pada umumnya toksisitasnya terhadap
mamalia lebih rendah dibandingkan dengan insektisida lainnya. Namun kebanyakan
diantaranya sangat toksik terhadap ikan, tawon madu dan serangga berguna lainnya.
Bekerjanya terutama secara kontak dan tidak sistemik.
Klasifikasi Insektisida
Insektisida dapat di bagi berdasarkan asal bahan yang digunakan, yaitu :
1. Insektisida botani yang berasal dari ekstrak tanaman/tumbuhan, antara lain terdiri dari
insektsida golongan pyrethrum dan nicotine.
2. Insektisida sintetik yang terdiri dari insektisida yang digolongkan dalam hidrokarbon
terkhlorinasi, organofosfor, dan karbamat.
3. Insektisida anorganik yang merupakan insktisida yang antara lain terbuat dari
tembaga, arsen.
Berdasarkan rumus kimia, insektisida dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Organoklorin, golongan ini terdiri atas ikatan karbon, klorin dan hidrogen.
2. Organofosfat, golongan ini terdiri atas ikatan karbon dan fosfat.
3. Karbamat, dan
4. Piretroid.
Jika diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya insektisida dapat dikelompokka
menjadi :
1. Organoklorin dan piretroid
2. Organofosfat dan karbamat.
Organofosfat dan karbamat sering disebut sebagai insektisida golongan inhibitor
kolinesterase. Semua senyawa organofosfat (organophospates) dan karbamat (carbamates)
mempunyai cara kerja yang sama, yaitu dengan mengikat enzim asetilkolinesterase, enzim
yang berperan dalam penerusan rangsangan saraf baik perifer maupun pusat.
Tabel Klasifikasi Insektisida Ditinjau dari Mekanisme Terjadinya Efek
PENJERAPAN PENYERAPAN
SISTEM ALIRAN
Struktur Kimia
Ciri fisik dan kimia dari senyawa organoklorin yang lipofilik, memiliki tekanan uap yang
rendah dan didegradasi lambat tidak hanya membuat organoklorin menjadi peptisida yang
efektif, tetapi dengan kualitas seperti itu menyebabkan keberadaan zat tersebut di lingkungan
dn bioakumulasinya pada makanan membuat zat tersebut dihentikan penggunaannya.
Farmakokinetik
Senyawa organoklorin bersifat lipofilik dan dapat diabsorpsi tidak hanya melalui
usus, tetapi juga dapat melalui paru-paru dan kulit. Beberapa senyawa seperti lindane dan
siklodin (aldrin, dieldrin, endrin, heptaklor dan chlordane) dan endosulfan lebih mudah
diabsorpsi melalui kulit dibandingkan senyawa lainnya. Penyerapan organoklorin melalui
saluran cerna dan kulit ditingkatkan oleh lemak dan pelarut lemak. Sebagain besar
organoklorin dalam bentuk pada tidak mudah menguap, namun patikel debu dan aerosol dari
peptisida dapat terperangkap pada mukosa traktus respiratorius dan mungkin tertelan
sehingga menyebabkan terjadinya absorpsi melalui saluran cerna.
DDT (Dikloro difenil trikloro-etana = klorofenotan) lambat diabsorbsi saluran cerna.
Insektisida dalam bentuk bubuk tidak diabsorpsi melalui kulit, tetapi bila dilarutkan dalam
solven organik mungkin dapat diabsorbsi melalui kulit.
Setelah diabsorbsi organoklorin (misalnya DDT) dalam jumlah besar ditimbun dalam
jaringan lemak tubuh. Senyawa organoklorin dapat ditemukan pada jaringan adiposa, serum
dan air susu. Senyawa DDT yang tersiman dalam jaringan adiposa tetap dalam bentuk
aslinya, sementara zat lain (seperti endrin) disimpan dalam bentuk metabolit, aldrin
dimetabolisme menjadi endrin atau heptaklor dimetabolisme menjadi heptachlor epoxide.
DDT mengalami degradasi dengan lambat menjadi DDA (Asam dikloro difenil asetat), dan
mungkin pula produk degradasi lain.
Ekskresi utama dari organoklorin melalui sistem bilier walaupun hampir sebagian
besar organoklorin dapat diukur dalam metabolit urin. Setelah pemberian, DDT sedikit sekali
atau tidak ada DDT dalm bentuk tidak berubah diju,pai dalam bentuk urin. Eksresi klorin
organik melalui saluran kemih meningkat, dan mencapai puncaknya dalam 24 jam, kemudian
perlahan-lahan turun sampai 10 hari. Sebagian besar klorin ini terdapat dalam bentuk DDA.
Hanya 20 % dari DDT yang ditelan dijumpai sebagai DDA dalam urin. Insektisida
organoklorin yang tidak dimetabolisme secara efisien direabsorpsi oleh usus (siklus
enterohepatik) dan dieliminasi primer melalui feses.
Farmakodinamik
DDT merupakan stimulator SSP yang kuar dengan efek eksitasi langsung pada
neuron, yang mengakibatkan kejang-kejang dengan mekanisme yang belum jelas. Derajat
kejang sebanding dengan kadar DDT dalam otak. Kejang bersifat epileptiform dengan
interval kejang yang makin lama makin meningkat. Kejang juga dapat menimbulkan
kematian akibat terganggunya pertukaran gas pada paru-paru dan dengan terjadinya asidosis
metabolik yang berat. Berbagai gangguan sensasi, koordinasi dan fungsi mental juga menjadi
karakteristik dari keracunan organoklorin akut. Konsentrasi organoklorin yang tinggi pada
jaringan meningkatkan iritabilitas dari miokardium dan menyebabkan aritmia. Saat
konsentrasi organoklorin turun dubawah nilai ambang, proses penyembuhan dari keracunan
dimulai. Takaran toksik DDT pada manusia 1 gram dan takaran fatalnya adalah 30 gram.
Kadar beberapa organoklorin yang tinggi pada jaringan (terutama DDT, DDE, cyclodienes,
mirex dab kepone) terbukti menginduksi enzim metabolisme obat pada mikrosom sel hepar.
Hal ini cenderung meningkatkan ekskresi dari pestisida sendiri, namun juga menstimulasi
biotransformasi dari substansi alamiah lainnya yang penting bagi tubuh, seperti hormon
steroid dan obat terapeutik lainnya, sehingga perlu dilakukan evaluasi ulang dari dosis yang
diperlukan pada orang yang terpajan organoklorin secara intensif.
Hexaklorobenzen (HCB) sebuah fungisida, dapat menyebabkan porfiria cutanea tarda pada
manusia. Zat ini tidak menyebabkan konvulsi. Lindane, chlordane, dan dieldrin dikaitkan
dengan gangguan hematologis yang jarang, termasuk anemia aplastik, walaupun insidens dari
efek tersebut sangat jarang.
Keracunan endosulfan menyebabkan kebutaan pada domba. Mirex pada dosis yang tinggi
menyebabkan katarak pada tikus dan mencit. Analog DDT yang dikenal dengan DDD secara
selektif terkonsentrasi pada jaringan adrenal, dimana kadar zat yang tinggi mempunyai efek
inhibisi terhadap sintesis kortikosteroid dan efek menghancurkan sel-sel adrenal.
Gejala klinis intoksikasi organoklorin berdasarkan kelasnya
Kelas insektisida Gejala Akut Gejala Kronis
Diklorofeniletan, DDT, Parestesia, ataksia, berjalan Kehilangan berat badan,
DDD, DMC, Dicofol, tidak normal, pusing, sakit nafsu makan berkurang,
Methoksiklor, Klorbenzilat kepala, mual, lemah, letargi, kurang darah, tremor, otot
tremor lemah, pola EEG berubah,
hiperekstabilitas, cemas
tekanan saraf.
Heksaklorosiklohexane, Pusing, sakit kepala, mual, Pusing. Sakit kepala,
Lindane (isomer gamma), muntah, motor hiperekstabilitas,
Benzene (hexakloride mixed hiperekstabilitas hiperrefleksia, kejang otot,
isomer) hiperefelxia, kejang otot, psikologis, termasuk
Siklodin, edrin, telodrin, rasa sakit menyeluruh, insomnia, cemas, iritabilitas,
isodrin, endosulfan, kejang-kejang pola EEC berubah,
heptaklor, aldrin dieldrin, kehilangan kesadaran,
klordan toxafene epilepsy
Klordecone (kepone), hirex Rasa sakit pada dada,
arthralgia, iritasi kulit,
ataxia, tidak ada kordinasi,
bicara kurang jelas,
kehilangan memori terkini,
depresi kelemahan pada
otot, tremor pada tangan ,
spermatogenesis sangat
terganggu.
Biomagnifikasi
Biomagnifikasi, juga dikenal sebagai pembesaran biologis, adalah peningkatan konsentrasi
suatu zat, seperti pepstisida DDT, yang terjadi pada suatu rantai makanan sebagai
konsekuensi dari :
Kegigihan (tidak dapat diuraikan oleh proses lingkungan) rantai makanan energik
Rendah (atau tidak ada) laju degradasi internal / eksresi zat (sering karena air-hal
tidak dapat memecahkan).
Pembesaran biologis sering merujuk pada proses dimana zat-zat tertentu seperti pestisida
atau logam berat naik rantai makanan., bekerja dengan cara mereka ke sungai atau danau, dan
dimakan oleh organisme perairan seperti ikan, yang pada gilirannya dimakan oleh burung
besar, hewan atau manusia. Zat menjadi terkontaminasi pada jaringan atau organ internal saat
mereka bergerak ke atas rantai. Bioaccumulants adalah zat yang meningkatkan konsentrasi
makanan karena zat sangat lambat dimetabolisme atau dikeluarkan.
Meskipun kadang-kadang digunakan secara bergantian dengan “bioakumulasi”, sebuah
perbedaan penting adalah ditarik antara pembangunan berkelanjutan atau eksploitasi
berlebihan.
Bioakumulasi terjadi dalam tingkat trofik, dan merupakan peningkatan konsentrasi
suatu zat tertentu dalam jaringan tubuh organisme karena penyerapan dari makanan
dan lingkungan.
Biokonsentrasi didefinisikan sebagi terjadi ketika serapan dari air lebih besar dari
ekskresi (Landrum dan Fisher, 1999).
Jadi biokonsentrasi dan bioakumulasi terjadi dalam organisme, dan biomagnifikasi terjadi di
tingkat trofik (rantai makanan).
B. Organofosfat
Selain digunakan sebagai insektisida juga digunakan dalam bidang industri. Sebagai
insektisida, organofosfat merupakan golongan penghambat kolinesterase yang toksik.
Insiden keracunan organofosfat cenderung meningkat karena senyawa organofosfat
banyak digunakan sebagai bahan pengganti untuk DDT setelah pelarangan
penggunaan DDT di berbagai negara. Toksisitas bahan ini bervariasi dan biasanya
digunakan dalam bentuk camuran dengan pelarut organic atau air.
Contoh organofosfat : Parathion, chlorpyrifos, acephate, fenirothion, acephate,
dichlorfos, trichlorfon.
Struktur Kimia
Farmakokinetik
Organofosfat diabsorbsi lewat kulit, mukosa, saluran pernapasan dan saluran pencernaan.
Proses pencernaaan dapat menyebabkan mual, muntah, kehilangan selera makan, kram
abdomen dan diare. Kontak mata secara langsung bisa menghasilkan air mata, pelipatan pada
kelopak mata, kehilangan fokus dan pengaburan penglihatan. Efek racun dapat terjadi sebagai
akibat penyerapan kulit dan bersifat iritatif terhadap kulit.
Distribusi dengan cepat ke jaringan-jaringan dan organ. Absorbsi dan intestinum sebesar 25
% selama 1 menit. Waktu paruh masuk jaringan dan organ anatara 5 sampai 15 menit.
Setelah diabsorbsi sebagaian besar di eksresikan dalam urin, hampir seluruhnya dalam bentuk
metabolit. Metabolit dan senyawa aslinya di dalam darah dan jaringan tubuh terikat pada
protein. Enzim-enzim hidrolitik dan oksidatif terlibat dalam metabolisme senyawa
organofosfat.
Farmakodinamik
Organofosfat meracuni serangga dan mamalia secara primer dengan fosforilasi dari enzim
asetilkolinesterase (AchE), sehingga AchE menjadi inaktif dan terjadi akumulasi asetilkolin
pada ujung-ujung saraf. Asetilkolin penting untuk kontrol normal dari transmisi impuls
sistem saraf dari serat saraf ke otot dan kelenjar, pada ganglion otonom dan otak. Mrnunjukan
ujung-ujung saraf tempat terakumulasinya asetilkolin. Pada dosis toksik akumulasi asetilkolin
menyebabkan gejala-gejala intoksikasi yang nyata pada neuro effector junction
(menyebabkan efek muskarinik), pada neuromuskular-junction dan ganglion otonom (efek
nikotinik) dan pada otak (sistem saraf pusat).
Gambar 1 Neurotansmiter (asetilkolin) pada sel sinaps dan asetilkolin yang terfosforilasi
Manifestasi pada muskarinik (kelanjar dan otot polos) aktivitas parasimpatik post
ganglionik meningkat, menimbulkan gejala sekresi dan kontraksi; seperti sekresi bronkus
meningkat, bronkokontriksi, keringat berlebihan, sekresi kelenjar ludah, dan lakrimasi
meningkat, miosis pupil, pandangan kabur, kejang / kram perut, muntah, diare, kontraksi
kandung kemih, nodus sinus jantung dan nodus atrio-ventikular dihambat.
Pada neuromuscular-junction (taut saraf – otot rangka) / reseptor nikotonik,
menimbulkan eksitasi yang ditandai dengan fasikulasi otot akibat depolarisasi, dan dapat juga
disusul dengan krlrmahan sampai paralisis, dimana pada kasus yang berat difragma dapat
terkena.
Pada sistem saraf pusat (otak) menimbulkan gejala sakit kepala, kepala terasa
berputar, binggung, kejang, koma dan depresi pusat pernapasan. Pada keracunan ringan,
gejala-gejala yang timbul mungkin hanya gejala-gejala nikotinik dan muskarinik. Pada
keracunan berat, terjadi gangguan sistem saraf pusat dan gambaran sistem saraf pusat yang
menonjol adalah kegagalan pernapasan. Kematian disebabkan kegagalan pernapasan dan blok
jantung.
Organofosfat tertentu dapat menyebabkan neurotoksisitas yang berbeda dengan
organofosfat lainnya, yang menyebabkan kerusakan dari akson saraf perifer dan pusat dengan
inhibisi dari “neurotoxic esterase” (NTE). Manisfestasi klinik biasanya terdapat kelemahan
atau paralisis dan parestesia dari ekstremitas, terutama tungkai bawah, yang dapat bertahan
berminggu-minggu sampai bertahun-tahun. Pada kasus neuropati yang tidak sembuh-sembuh
pada manusia perlu dipikirkan adanya keracunan organofosfat yang kronik.
Takaran fatal untuk golongan organofosfat, malation 1-5 gram, parathion 1 mg/kgBB,
Systtox 100 mg dan tetraetilpirifosfat 0,4 mg/kgBB. Masa penyembuhan bergantung pada
pembentukan dari enzim-enzim baru pada jaringan yang penting.
Tabel Efek Muskarinik, Nikotinik dan Saraf Pusat pada Toksisitas Organofosfat
Efek Gejala
1. Muskarinik Salivasi, lacrimasi, urinasi dan diare (SLUD)
Kejang perut
Neusea dan vomitus
Bradikardi
Miosis
Berkeringat
2. Nikotinik Pegal-pegal, lemah
Tremor
Paralysis
Dyspnea
Takikardi
3. Sistem Saraf Pusat Binggung, gelisah, insomnia, neurosis
Sakit kepala, emosi tidak stabil
Berbicara terbata-bata
Kelemahan umum convuls
Depresi respirasi
Gangguan jantung
Koma
C. Karbamat (N-Methyl Carbamate)
Organophosphat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia ke II. Bahan
tersebut digunakan untuk gas saraf sesuai dengan tujuannya sebagai insektisida. Pada
awal synthesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan
schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi juga cukup toksik terhadap
mamalia. Penelitian berkembang terus dan ditemukan komponen yang poten terhadap
insekta tetapi kurang toksik terhadap orang (mis : malathion), tetapi masih sangat toksik
terhadap insekta.
Insektisida dari golongan karbamat refalif muda terurai di lingkungan (tidak persisten)
dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan. Karbamat juga merupakan insektisida
yang banyak anggotanya. Beberapa jenis insektisida karbamat antara lain :
1. Aldikarb, merupakan insektisida, akarisida, serta nematisida sistemik yang cepat
diserap oleh akar dan di transportasikan secara akropetal. Aldikarb merupakan
insektisida yang paling toksik, dengan LD50 (tikus) sekitar 0,93 mg/kg; LD50 dermal
(kelinci) >20 mg/kg.
2. Benfurakarb, merupakan insektisida sistemuk yang bekerja sebagai racun kontak dan
racun perut serta diaplikasikan terutama sebagai insektisida tanah. LD50 (tikus) 205,4
(jantan) – 222,6 (betina) mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 2.000 mg/kg.
3. Karbaril, merupakan karbamat pertama yang sukses di pasaran. Karbaril bertindak
sebagai racun perut dan racun kontak dengan sedikit sifat sistemik. Salah satu sifat
unik karbamil yaitu efeknya sebagai zat pengatur tumbuh dan sifat ini digunakan
untuk menjarangkan buah pada apel. LD50 (tikus) sekitar 500 (b) – 85 (j) mg/kg; LD
50 dermal (tikus) > 4.000 mg/kg.
4. Fenobukarb (BPMC), merupakan insektisdia non-sistemik dengan kerja sebagai racun
kontak. Nama resmi insektisida ini adalah fenobukarb, tetapi di Indonesia lebih
dikenal dengan BMC yang merupakan singkatan dari nama kimianya, yaitu
buthylphenylmethyl carbamate. LD 50 (tikus) sekitar 623 (j) – 657 (b) mg/kg ; LD50
dermal (kelinci) 10.250 mg/kg.
5. Metiokarb, nama umum lainnya adalah merkaptodimetur. Insektisida ini digunakan
sebagai racun kontak dan racun perut. LD50 (tikus) sebesar 20 mg/kg; LD50 dermal
(tikus) > 5.000 mg/kg.
6. Propoksur, merupakan insektisida yang bersifat non-sistemik dan bekerja sebagai
racun kontak serta racun lambung yang memiliki efek knock down sangat baik dan
residu yang panjang. Propoksur terutama digunakan sebagai insektisida rumah tangga
(antara lain untuk mengendalikan nyamuk dan kecoa), kesehatan masyarakat, dan
kesehatan hewan. LD50 (tikus) sekitar 50 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 5.000 mg/kg.
Struktur Kimia
Insektisida karbamat telah berkambang setelah organofosfat. Insektisida ini biasanya saya
toksisitasnya rendah terhadap mamalia dibandingkan dengan organofosfat, tetapi sangat
efektif untuk membunuh insektisida.
Gambar 2.6 Struktur Kimia insektisida karbamat
Struktur karbamat seperti physostigmin, ditemukan secara alami dalam kacang calabar
(calabar bean). Bentuk carbaryl telah secara luas dipaki sebagai insektisida dengan komponen
aktifnya adalah Sevine R.
Karbamat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasna dan kholinesterase dalam sel
darah merah pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetylcholin
menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetilkolin
meningkat dan berkaitan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat
dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada
seluruh bagian tubuh.
Gambar Mekanisme toksisitas dari karbamat adalah sama dengan organofosfat, dimana
enzim AchE dihambat dan mengalami karbamalasi
Takaran fatal untuk golongan karbamat, Aldicarb 0,9-1 mg/kgBB dan propoksur 95
mg/kgBB.
Rute paparan
Paparan jangka pendek
Terhirup
Iritasi, rasa terbakar, mual, muntah, diare, sakit perut, sakit dada, sulit bernapas, denyut
jantung tidak teratur, sakit kepala, pening, gangguan penglihatan, dilatasi pupil, kongesti
paru-paru, konfulsi dan koma
Tertelan
Efeknya sama seperti efek inhalasi : Iritasi, rasa terbakar, mual, muntah, diare, sakit perut,
sakit dada, sulit bernapas, denyut jantung tidak teratur, sakit kepala, pening, gangguan
penglihatan, dilatasi pupil, kongesti paru-paru, konfulsi dan koma.
Tertelan
Paparan yang panjang atau berulang dapat menimbulkan efek seperti pada paparan jangka
pendek
7. Toksikologi
Toksisitas
Data pada manusia : tidak tersedia data toksisitas pada manusia.
Data pada hewan
Oral-rat LD50 : 410 mg/kg; Oral-mouse LD50 : 410 mg/kg; Unk-rat LD50 : 340 mg/kg;
Skin-mouse LD50 : 340-4.200 mg/kg.
Karsinogenik
Dari data studi menunjukkan pemberian Butil Fenil metil karbamat selama 2 th pada tikus-
tikus (rats) 4,1 mg/kg b.w. dengan dosis 100 mg/kg makanan tiap hr menunjukkan tidak ada
karsinogenik.
Mutagenik
Sama seperti yang data pada Karsinogenik.
Data Reproduksi
Tidak tersedia data.
Informasi Ekologi
Sangat toksik terhadap : LC50 (96 h) ikan air
kehidupan perairan. tawar (rainbor trout )
Toksisitas pada ikan 211, ikan emas ( golden
orfe )237 mg/l
Toksisitas pada burung LD50 (akut oral) bobwhite quail 152,
Japanese quail 31 mg/kg
Toksisitas alga : EC50 (Pertumbuhan
populasi) alga hijau
(Chlorella pyrenoidosa)
272640 μ/L 96 jam
8. Efek Klinis
Keracunan akut
Terhirup
Efek awal yng terjadi Efek inhibisi kloninesterasi : nasal hiperemia, gelisah, sesak nafas,
nafas yang berbunyi akibat cairan di bronchial yang berlebih dan bronkoskonstriksi.Efek lain
yang timbul setelah beberapa menit sampai beberapa jam terinhalasi : mual, muntah, diare,
kram perut, sakit kepala,
vertigo, mata perih, penglihatan menjadi kabur, keluar air mata, keluar air liur, berkeringat
dan bingung.
Tertelan
Mual, muntah, anorexia, kram abdominal dan diare.
Keracunan kronik
Terhirup
Sama seperti pada keracunan akut.
Kontak dengan kulit
Sama seperti pada keracunan akut.
Tertelan
Sama seperti pada keracunan akut.
Farmakokinetik
Golongan karbamat ini mudah diabsopsi melalui kulit, mukosa, saluran pernapasan,
dan saluran pencernaan. Pada proses pencernaan dapat menghasilakn mual, muntah,
kehilangan selera makan, kram abdominal dan diare. Kontak mata secara langsung bisa
menghasilkan air mata, pelipatan pada kelopak mata, kehilangan fokus dan pengaburan
penglihatan. Efek racun bisa terjadi akibat penyerapan kulit dan bersifat mengiritasi terhadap
kulit.
Didistribusikan dngan cepat ke jaringan-jaringan dan organ. Absorpsi intestinum
sebesar 25 % selama 1 menit. Waktu paruh unruk masuk jaringan dan organ antara 5-15
menit. Setalah di absorpsi sebagian besar diekskresikan dalam urin, hampir seluruhnya dalam
bentuk metabolit. Metabolit senyawa aslinya di dalam darah dan jaringan tubuh terikat
protein. Enzim-enzim hodrolitik dan oksidatif terlibat dlam metabolisme senyawa
organofosfat.
N-metil karbamat diabsorbsi per-inhalasi dan ingesti, beberapa penestrasi melalui
kulit. Absorpsi dermal dari senyawa tertentu (terutama karbofuran) sangat sedikit. N-metil
karbamat dihidrolisis oleh enzim hepar dan hasil degradasinya dieksresikan oleh ginjal dan
hepar.
Farmakodinamik
Efek toksik timbul karena pengikatan dan penghambatan enzim asetilkolinesterase
(AchE) yang terdapat pada sinaps dalam sistem saraf pusat maupun otonom serta pada ujung
saraf otot lurik. Secara normal, asetilkolin (Ach), yang merupakan suatu neurotransmiter,
dilepas dari prasinaps kemudian mengikat reseptor protein pada pascasinaps. Ikatan ini
menyebabkan pembukaan kanal ion dan depolarisasi membran pascasinaps. Bila Ach dilepas
oleh reseptor, maka ia terhidrolisis oleh AchE menjadi kolin dan asetat dan aktivitas
perangsangannya terhenti. Jika AchE ini terhambat, maka hidrolisis terbentuk tidak terjadi
dan Ach terakumulasi sehingga terjadi eksitasi saraf berlebihan. Asetilkolin bekerja pada
ganglion simpatik dan parasimpatik, reseptor parasimpatik, neuro-muscular junction,
neurotransmitter sel-sel saraf dan medual kelenjar suprarenal. Keadaan ini menimbulkan efek
yang luas.
Potensi aktivitas parasimpatis postganglionik, mengakibatkan kontraksi pupil,
stimulasi otot saluran cerna, stimulasi saliva dan kelenjar keringat, kontraksi otot bronkhial,
kontraksi kandung kemih, nodus sinus jantung dan nodus atrio-ventikuler dihambat.
Depolarisasi yang menetap pada otot rangka sehingga mula-mula terjadi fasikulasi yang
disusul dengan blok neuromuskular dan paralisis. Terjadi stimulasi yang disusul dengan
depresi pada sel susunan saraf pusat sehingga menghambat pusat pernapasan dan pusat
kejang. Stimulasi dan blok bervariasi pada ganglion sehingga tekanan darah dapat naik atau
turun serta dilatasi maupun miosis pupil.
Penghambatan asetilkolinesterase oleh ester menyebabkan peninggian konsentrasu
asetilkolin. Hal ini mengakibatkan perangsangan berlebihan pada reseptor-resptor asetilkolin,
terjadi akimulasi asetilkolin dalam jumlah besar sehingga rangsangan pada saraf kolinergik
pre dan post ganglionik, neuromuskular junction dan suprarenal diperpanjang yang akan
mengakibatkan efek intoksikasi aku yang dimanifestasikan oleh gejala-gejala dan tanda-tanda
peninggian rangsangan pada reseptor muskarinik dan nikotinik, serta sistem saraf pusat.
Manifestasi pada muskarinik menimbulkan gejala seperti sekresi bronkus meningkat,
bronkokontriksi, keringat berlebihan, sekresi kelenjar ludah dan lakrimasi meningkat, miosisi
pupil, pandangan kabur, kejang/kram perut, muntah dan diare.
Pada nikotinik menimbulkan fasikulasi otot, dimana pada kasus berat diafragma dapat
terkena dan takikardi.
Pada sistem saraf pusat menimbulkan gejala sakit kepala, kepala terasa berputar,
binggung, kejang, koma, dan depresi pusat pernapasan. Pada keracunan ringan, gejala-gejala
yang timbul mungkin hanya gejala-gejala nikotinik dan muskarinik. Pada keracunan berat,
terjadi gangguan sistem saraf pusat dan gambaran sistem saraf pusat yang menonjol adalah
kegagalan pernapsan. Kematian disebabkan kegagalan pernapsan dan blok jantung.
Pada ujung-ujung saraf kolinergik dengan otot polos dan kelenjar, konsentrasi
asetilkolin menyebabkan kontraski otot dan sekresi kelenjar. Pada otot rangka terjadi eksitasi
(menyebabkan kedutan/twitching), dapat juga menyebabkan kelemahan dan paralisis dari sel
melalui depolarisasi end-plate. Pada otak, peningkatan kadar asetilkolin menyebabkan
gangguan sensoris dan perilaku, inkoordinasi dan depresi fungsi motorik (kadang-kadang
kenjang), walaupun N-metil karbamat tidak menembus sawar darah otak dengan efisien.
Depresi pernafasan yang disertai edem paru merupakan penyebab kematian yang sering dari
keracuanan karbamat.
Propoksur atau juga biasanya disebut Aprocarb adalah salah satu insektisida golongan
karbamat yang memiliki struktur kimia : fenol, 2-(1-diemtil etoksi) metil karbamat.
Propoksur banyak digunakan dalam racun pembasmi nyamuk yang memiliki resiko merusak
kesehatan karena dapat masuk kedalam tubuh melalui tiga cara : termakan atau terminum
bersama makanan atau minuman yang tercemar, dihirup dalam bentuk gas dan uap, termasuk
yang langsung menuju paru-paru lalu masuk ke dalam aliran darah atau terserap melalui kulit
dengan atau tanpa terlebih dahulu menyebabkan luka pada kulit.
Gejala Klinik
Cara kerja golongan ini sama dengan cara kerja golongan organofosfat, yaitu dengan cara
meghambat enzim kolinesterase. Tetapi pengaruh peptisida golongan karbamat pada enzim
tersebut berlangsung singakat karena peptisida ini cepat mengurai didalam tubuh.
Tanda dan gejala keracunan yang ditimbulkan peptisida golongan karbamat juga sama
dengan yang ditimbulkan peptisida golongan organofosfat. Beberapa peptisida yang termasuk
golongan ini diantaranya adalah : BPMC, karbaril, karbofuran, metomil.
Manisfestasi dari keracunan adalah gangguan penglihatan, kesukaran bernafas dan
hiperaktif gasrointestinal. Pada keracunan akut, gejala-gejala timbul dalam 30-60 menit dan
mencapai puncaknya dalam 2-8 jam.
Pada keracunan ringan tampak anoreksia, sakit kepala, pusing, lemah, gelisah, tremor
lidah dan kelopak mata, miosis dan penglihatan kabur.
Gejala keracunan sedang adalah mual, muntah, hipersalivasi, hiperlakrimasi, kejang
perut, muntah, banyak keringat, nadi lambat, tekanan darah cepat dan fasikulasi otot.
Gejala keracunan berat adalah diare, pupil pinpoint, pernafasan sukar, edem paru,
sianosis kendali sfingter hilang (hilangnya kontrol urin dan feses), kejang, koma dan blok
jantung, depresi SSP.
Mekanisme kerja organofosfat ini baik di organ target maupun bukan adalah inihbisi
asetilkolinesterase yang bersifat irreversible. Untuk golongan karbamat, ikatan dengan AchE
bersifat sementara dan akan terlepas kembali dalam beberapa jam (reversible), sehingga tidak
akan timbul keracunan kronik. Pada umumnya, karbamat dieksresi cepat dan tidak
terakumulasi dalam jaringan. Jika pemaparan tidak berlanjut, penghambatan kolinesterase
hanya berlangsung sementara. Pada orang dewasa dengan dosis 90 mg tidak menimbulkan
gejala. Pada laki-laki usia 42 tahun, dosis 1,5 mh/kg sudah mengalami penghambatan enzim
kolinesterase juga dijumpai mual, muntah, pandangan kabur, takikardi, keringat berlebihan.
Gejala ini menghilang dan mengalami penyembuhan 3 jam setelah terpapar. Kematian
disebabkan kegagalan pernafasan dan blok jantung, dosis atau takaran fatal untuk golongan
karbamat (propoksur) adalah 95 mg/kgBB.
14. Daftar Pustaka
Industrial Toxicology Research Centre (council of scientific & industrial Research)
Toxicity Data Handbook volume III, Pesticides-A. Lucknow India p. 78
Badan POM RI, (2001), Pedoman Penatalaksanaan Keracunan Untuk Rumah Sakit,
Jakarta, hal. 21-22
www.chemadvisor.com (diakses tahun 2012)
OHS, MDL Information System, Inc., Donelson Pike, Nashville, 1997.
Olson K.R., Poisoning & Drug Overdose, Fourth Edition, McGraw Hill Companies, Inc.,
USA, 2004, p. 292-296
Sittig, M. Handbook of Toxic and Hazardous Chemicals and Carcinogens. Third Edition.
Noyes Publications. New Jersey. 1991