Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS

Kasus ICU : Stenosis Mitral

Dibuat Oleh:

Fildzah Fitriyani

1102014100

Pembimbing:

dr. Basuki Rachmad, Sp.An, KIC, M.kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESI

RSPAD GATOT SOEBROTO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Stenosis mitral merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan


aliran darah pada tingkat katup mitral oleh karena adanya perubahan pada
struktur mitral leaflets, yang menyebabkan gangguan pembukaan sehingga
timbul gangguan pengisian ventrikel kiri saat diastol.1,2,3

Stenosis mitral merupakan penyebab utama terjadinya gagal jantung


kongestif di negara-negara berkembang.3,4 Di Amerika Serikat, prevalensi dari
stenosis mitral telah menurun seiring dengan penurunan insidensi demam
rematik. Pemberian antibiotik seperti penisilin pada streptococcal pharyngitis
turut berperan pada penurunan insidensi ini.3 Berdasarkan penelitian yang
dilakukan diberbagai tempat di Indonesia, penyakit jantung valvular menduduki
urutan ke-2 setelah penyakit jantung koroner dari seluruh jenis penyebab
penyakit jantung.2 Dari pola etiologi penyakit jantung di poliklinik Rumah Sakit
Mohammad Hoesin Palembang selama 5 tahun (1990-1994) didapatkan angka
13,94% dengan penyakit katup jantung.1

Pada penelitian yang dilakukan oleh Rowe dkk (1925) terhadap 250
penderita mitral stenosis, setelah sepuluh tahun 39% penderita meninggal
dunia, 22% menjadi semakin sesak dan 16% memiliki setidaknya satu
manifestasi komplikasi tromboemboli. Setelah 20 tahun kemudian, 7%
meninggal dunia, 8% penderita menjadi semakin sesak dan 26% memilki
setidaknya satu manifestasi tromboemboli.4

2
BAB II

LAPORAN KASUS

II.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. SH
No. RM : 910XXX
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 34 tahun
Tanggal Lahir : 20 Mei 1984
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah

II.2 Anamnesis
Autoanamnesa pada tanggal 4 Februari 2019 pukul 12.30 WIB

Keluhan Utama :
Sesak napas yang dirasakan memberat sejak ± 1 bulan sebelum masuk rumah sakit

Riwayat penyakit Sekarang :


Pasien mengeluhkan sesak napas, terengah-engah, terutama muncul setelah batuk-
batuk. Sesak dirasakan semakin bertambah saat pasien berbaring terlentang dan
berkurang bila dalam posisi duduk. Sesak juga muncul saat pasien kelelahan
setelah beraktifitas ringan (saat berjalan ke kamar mandi). Pasien kadang-kadang
terbangun dari tidur dikarenakan sesak yang muncul tiba-tiba. Keluhan ini
pertama kali dirasakan pasien sejak ± 6 tahun yang lalu, dan saat ini keluhan
dirasakan semakin bertambah berat. Pasien juga mengeluhkan batuk-batuk yang
muncul menyertai sesak dan tidak pernah sembuh. Pasien mengaku telah beberapa

3
kali keluar masuk rumah sakit dikarenakan keluhan yang sama dan terakhir kali
berobat, dokter menganjurkan agar pasien dilakukan operasi pada jantungnya.
Pasien dilakukan tindakan berupa MVR pada tanggal 31 Januari 2019 dengan
anastesi umum.

Riwayat operasi :
Pasien baru pertama kali menjalani operasi.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Hipertensi (-)
Diabetes Melitus (-)
Asma (-)
Alergi (-)
Penyakit Paru (-)
Penyakit Jantung (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada riwayat penyakit keluarga

Riwayat Pribadi Sosial :


Merokok (-)
Minum Alkohol (-)

II.3 Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
BB : 40 Kg
TB : 158 cm

4
2. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 92 x/menit, iregular, isi cukup
Frekuensi napas : 18 x/menit
Suhu : 36,5oC per axilla

3. Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-), Respon
cahaya (+/+), Pupil isokor
Telinga : Membran timpani intak (+/+), Hiperemis
(-/-), Nyeri tekan mastoid (-/-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-)
Mulut : T1-T1, Deviasi uvula (-), Mallampati 2, Gigi goyang
(-), Gigi ompong (+) geraham kanan bawah, Gigi palsu (-),
Buka mulut maksimal 3 jari
Leher : Tampak simetris, Pembesaran KGB (-), Pembesaran
kelenjar tiroid (-), Deviasi trakea (-), Retraksi otot bantu
napas (-), Ekstensi leher sempurna tanpa tahanan
Thoraks :
 Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Vocal fremitus simetris, Tactil fremitus simetris
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing
(-/-)
 Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I – II normal, regular, murmur (-), Gallop (-)

5
Abdomen :
Inspeksi : Cembung, Caput medusa (-), Spider navy (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), Hepatosplenomegali (-), Ascites (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, oedem (-/-)

4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Jenis Pemeriksaan HASIL Nilai Rujukan
20-10-2017
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin

Hemoglobin 9,3* 12-16 g/dL


Hematokrit 27* 37-47%
Eritrosit 3,3* 4.3-6.0 juta/L
Leukosit 13840 4.800-10.800/L
Trombosit 113000 150.000-
400.000/L
MCV 82 80-96 fL
MCH 28 27-32 pg
MCHC 34 32-36 g/dL
KIMIA KLINIK
Kalsium 7,2* 8,6-10,3 mg/dL
Magnesium 1,89 1,8-3,0 mg/dL
Natrium (Na) 127* 135-147 mmol/L
Kalium (K) 4,0 3,5-5,0 mmol/L
Klorida (Cl) 99 95-105 mmol/L
KOAGULASI
Waktu Protrombin (PT)

6
 Kontrol 11.1 Detik
 Pasien 11,4 9.3-11.8 detik
APTT
 Kontrol 24 Detik
 Pasien 29,6 31-47 detik
ANALISA GAS DARAH
pH 7,470* 7,37-7,45
pCO2 30,7* 33-44 mmHg
pO2 97,5 71-104 mmHg
Bikarbonat 22,6 22-29 mmol/L
Tabel 1. Laboratorium Darah

Foto Thorax
 Jantung kesan membesar
 Aorta tidak melebar
 Trachea ditengah, kedua hilus tidak menebal
 Corakan bronchovascular baik. Tidak tampak infiltrat maupun nodul
pada kedua paru
 Kedua hemidiafragma licin. Kedua sinus kostofrenikus lancip
 Tulang-tulang tervisualisasi optimal kesan intak
 Terpasang multiple wire di proyeksi sternum disertai dengan kateter
drainase dengan tip distal setinggi ICS 5 posterior kiri (pasca operasi)
 Terpasang prosthesa katup di hemitoraks kiri setinggi ICS 9 posterior
kiri, proyeksi jantung.

KESAN :
- Kardiomegali dengan aorta elongasi
- Terpasang prothese katup jantung

7
- Terpasang multiple wire

II.4 Diagnosa
Post MVR
Stenosis mitral

II.5 Tatalaksana
IVFD asering 20 ml/jam
Inj. Cefoperazone sulbaktam 2x2 gr
Inj. Levofloxacin 1x750 mg
Inj. Omeprazole 1x40 mg
Paracetamol 3x1 gr
Vit C 1x400 mg
NB 5000 1x1

8
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ICU

3.1.1. Definisi

ICU menurut Kemenkes RI (2011) adalah suatu bagian dari rumah sakit
yang mandiri, dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang
ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi pasien-pasien yang menderita
penyakit akut, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau
potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia yang diharapkan masih
reversibel.

Kebutuhan pelayanan pasien ICU adalah tindakan resusitasi jangka panjang


yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti airway (fungsi
jalan napas), breathing (fungsi pernapasan), circulation (fungsi sirkulasi), brain
(fungsi otak) dan fungsi organ lain, disertai dengan diagnosis dan terapi definitif.

3.1.2. Indikasi

Apabila sarana dan prasarana ICU di rumah sakit terbatas sedangkan


kebutuhan pelayanan ICU yang lebih tinggi banyak, maka diperlukan
mekanisme untuk membuat prioritas. Kepala ICU bertanggung jawab atas
kesesuaian indikasi perawatan pasien di ICU.

a. Kriteria masuk
Menurut Kemenkes RI (2011) dalam keadaan yang terbatas, pasien yang
memerlukan terapi intensif (prioritas 1) lebih didahulukan dibandingkan
dengan pasien yang hanya memerlukan pemantauan intensif (prioritas
3). Penilaian objektif atas berat dan prognosis penyakit hendaknya
digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan prioritas
masuk ke ICU.

9
1. Golongan pasien prioritas satu
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang
memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan atau
bantuan ventilasi, alat penunjang fungsi organ/sistem yang lain, infus
obat-obat vasoaktif atau inotropik, obat anti aritmia, serta pengobatan
lainnya secara kontinyu dan tertitrasi. Sebagai contoh antara lain:
pasien pasca bedah kardiotorasik, sepsis berat, gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam nyawa.
Institusi setempat dapat juga membuat kriteria spesifik yang lain
seperti derajat hipoksemia, hipotensi dibawah tekanan darah tertentu.
Terapi pada golongan pasien prioritas 1 demikian, tidak mempunyai
batas.
2. Golongan pasien prioritas dua
Golongan pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di
ICU, sebab sangat berisiko bila tidak mendapatkan terapi intensif
segera, misalnya pemantauan intensif menggunakan pulmonary
arterial catheter. Sebagai contoh antara lain pasien yang menderita
penyakit dasar jantung-paru, gagal ginjal akut dan berat atau pasien
yang telah mengalami pembedahan mayor. Terapi pada golongan
prioritas 2 tidak mempunyai batas, karena kondisi mediknya
senantiasa berubah.
3. Golongan pasien prioritas tiga
Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status
kesehatan sebelumnya, yang disebabkan oleh penyakit yang
mendasarinya atau penyakit akutnya secara sendirian atau
kombinasi. Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di ICU
pada golongan ini sangat kecil. Sebagai contoh antara lain pasien
dengan keganasan metastase disertai penyakit infeksi pericardial
tamponade, sumbatan jalan napas, atau pasien penyakit jantung,
penyakit paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat.

10
Pengelolaan pada pasien golongan ini hanya sampai melakukan
intubasi atau resusitasi jantung-paru.
4. Pengecualian
Dengan pertimbangan luar biasa dan atas persetujuan Kepala ICU,
indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan,
dengan catatan bahwa pasien-pasien golongan demikian sewaktu-
waktu harus bisa dikeluarkan dari ICU agar fasilitas ICU yag terbatas
tersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1, 2, dan 3.
Pasien yang tergolong demikian antara lain:
a) Pasien yang memenuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi
tunjangan hidup yang agresif dan hanya demi “perawatan yang
aman” saja. Ini tidak menyingkirkan pasien dengan perintah
“DNR (Do Not Resuscitate)”, sebenarnya pasien-pasien ini
mungkin akan mendapatkan manfaat dari tunjangan canggih
yang tersedia di ICU untuk meningkatkan kemungkinan
survivalnya.
b) Pasien dalam keadaan vegetatif permenen
c) Pasien yang telah dipastikan mengalami mati batang otak
namun hanya karena kepentingan donor organ, maka pasien
dapat dirawat di ICU. Tujuan perawatan di ICU hanya untuk
menunjang fungsi organ sebelum dilakukan pengambilan organ
untuk donasi.
Selain indikasi dari skala prioritas, terdapat juga indikasi dari kriteria
lainnya. Hal tersebut sebagai berikut:
1. Kriteria berdasarkan sistem organ
a) Penilaian berdasarkan sistem organ
 Acute myocard infark dengan komplikasi
 Syok kardiogenik
 Complex arrhythmia yang memerlukan pengawasan
ketat dan intervensi

11
 Gagal jantung akut dengan gagal napas dan atau
memerlukan bantuan hemodinamik
 Hipertensi emergensi
 Unstable angina, yang disertai aritmia, hemodinamik
yang tidak stabil, atau nyeri dada yang persisten
 Pasca pemulihan setelah henti jantung
 Tamponade jantung dengan hemodinamik yang tidak
stabil
 Diseksi aneurisma aorta
 Blok jantung total
 Laju jantung < 50 kali/menit atau > 150 kali/menit
dengan instabilitas
 Gagal jantung kronis dekompensata yang
membutuhkan pemantauan intensif
b) Penilaian sistem respirasi
 Gagal nafas akut yang memerlukan ventilator
 Emboli paru dengan kondisi hemodinamik yang tidak
stabil
 Pasien ruang perawatan High Care Unit yang
menunjukkan perburukan pada sistem pernapasan
 Hemoptisis masif
 Gagal nafas dengan memerlukan intubasi
c) Penilaian sistem gastrointestinal
 Perdarahan saluran cerna yang disertai hipotensi
terus-menerus
 Gagal hati fulminan
 Pankreatitis berat
 Perforasi esofagus dengan atau tanpa mediastinitis
 Abdomen yang tegang dengan pertimbangan adanya
hipertensi

12
d) Penilaian sistem endokrin
 Ketoasidosis diabetikum dengan instabilitas
hemodinamik, perubahan status mental, insufisiensi
pernapasan
 Krisis tiroid dengan instabilitas hemodinamik
 Hiperosmolar status dengan koma dan atau
instabilitas hemodinamik
 Gangguan endokrin lainnya seperti krisis adrenal
dengan instabilitas hemodinamik
 Hipo atau hipernatermia dengan kejang, perubahan
status mental
 Hipo atau hipermagnesemia dengan kegagalan
hemodinamik
 Hipo atau hiperkalemia dengan aritmia atau
kelemahan otot
 Hipofosfatemia dengan kelemahan otot
e) Penilaian sistem renal
 Gagal ginjal yang baru didiagnosis dengan azotemia
berat (ureum >200 mg/dL)
 Produksi urin < 0,5 ml/kgBB/jam selama > 3 jam dan
ada pertimbangan hemodinamik yang tidak membaik
 Penurunan akut bersihan kreatinin < 30 mL
 Membutuhkan terapi pengganti ginjal
f) Penilaian sistem saraf pusat
 Stroke akut dengan perubahan status mental
 Koma (metabolik, toksik, atau anoksik)
 Perdarahan intrakranial yang berpotensi terjadi
herniasi
 Perdarahan subarachnoid akut

13
 Meningitis dengan perubahan status mental atau
gangguan pernapasan
 Sistem saraf pusat dan neuromuskular disorder
dengan disorientasi saraf dan fungsi paru
 Status epileptikus
 Pasien mati batang otak atau berpotensi mati batang
otak dengan status pendonor organ
 Pasien dengan cedera kepala berat
g) Penilaian sistem hematologi
 Trombositopenia (< 70.000) dengan bukti perdarahan
 Koagulopati (INR > 2,5 atau APTT > 40-50 detik)
dengan bukti perdarahan aktif
 Bukti hemolisis aktif dengan penurunan hematokrit
 Leukosit > 100.000/mcl, dan terutama dengan fungsi
organ target
h) Pembedahan
 Pasien post operasi yang memerlukan pengawasan
hemodinamik atau dukungan ventilator atau
perawatan intensif
i) Gangguan lainnya
 Syok septik dengan instabilitas hemodinamik
 Pengawasan hemodinamik
 Trauma lingkungan (listrik, hipotermi, hipertermi)
2. Modal parameter objektif
a) Tanda vital
 Nadi < 40 atau > 150 kali/menit
 Tekanan darah sistolik < 80 mmHg atau 20 mmHg
dibawah tekanan darah biasa pasien
 Mean arterial pressure < 60 mmHg
 Tekanan diastolik > 120 mmHg

14
 Respiratory rate > 35 kali/menit
b) Laboratorium
 Serum natrium < 110 mEq/L atau > 170 mEq/L
 Serum kalium < 2,0 mEq/L atau > 7,0 mEq/L
 PaO2 < 50 mmHg
 pH <7,1 atau > 7,7
 serum glukosa > 800 mg/dL
 serum kalsium > 15 mg/dL
b. Kriteria keluar
Prioritas pasien dipindahkan dari ICU berdasarkan pertimbangan medis
oleh kepala ICU dan atau tim yang merawat pasien, antara lain:
1. Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil,
sehingga tidak memerlukan terapi atau pemantauan yang intensif
lebih lanjut
2. Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau pemantauan intensif
tidak bermanfaat atau tidak memberi hasil yang berarti bagi pasien.
Apalagi pada waktu itu pasien tidak menggunakan alat bantu
mekanis khusus (seperti ventilasi mekanis). Contoh golongan
pasien demikian, antara lain pasien yang menderita penyakit
stadium akhir (misalnya ARDS stadium akhir). Sebelum
dikeluarkan dari ICU sebaiknya keluarga pasien diberikan
penjelasan alasan pasien dikeluarkan dari ICU
3. Pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU
(keluar paksa)
4. Pasien hanya memerlukan observasi secara intensif saja,
sedangkan ada pasien lain yang lebih gawat yang memerlukan
terapi dan observasi yang lebih intensif. Pasien seperti ini
hendaknya diusahakan pindah ke ruang yang khusus untuk
pemantauan secara intensif yaitu HCU

15
3.1.3. Sarana dan Prasarana

Ruang ICU sebuah rumah sakit harus memenuhi beberapa syarat sebagai
berikut:

1. Letaknya di sentral rumah sakit dan dekat dengan kamar bedah serta
kamar pulih sadar
2. Suhu ruangan diusahakan 22-25C dan nyaman
3. Ruangan tertutup dan tidak terkontaminasi dari luar
4. Merupakan ruangan aseptik dan antiseptik dengan dibatasi kaca-
kaca
5. Kapasitas tempat tidur dilengkapi alat-alat khusus
6. Tempat tidur harus beroda dan dapat diubah dengan segala posisi
7. Petugas dan pengunjung memakai pakaian khusus bila memasuki
ruangan isolasi
8. Tempat dokter dan perawat harus sedemikian rupa sehingga mudah
untuk mengobservasi pasien

3.1.4. Jenis-jenis ICU

1. Intensive Coronary Care Unit


Merupakan unit perawatan intensif untuk penyakit jantung, terutama
penyakit jantung koroner, serangan jantung, gangguan irama jantung
yang berat dan gagal jantung
2. Neonatal Intensive Care Unit
NICU adalah unit perawatan intensif yang khusus merawat bayi baru
lahir yang sakit atau prematur
3. Pediatric Intensive Care Unit
PICU adalah unit perawatan intensif yang khusus merawat bayi yang
sakit, kritis, anak-anak dan remaja
4. Post Anesthesia Care Unit
PACU adalah unit perawatan intensif asca operasi dan stabilisasi
pasien setelah operasi bedah dan anestesi. Pasien biasanya berada

16
dalam PACU untuk waktu terbatas dan haru memenuhi kriteria
sebelum ditransfer kembali ke bangsal.

3.2 Stenosis Mitral

3.2.1. Definisi

Stenosis mitral adalah kondisi katup mitral yang tidak sepenuhnya terbuka.
Hal ini terjadi karena katup mitral secara patologis mengalami penyempitan
sehingga aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri pada fase diastolik
terhambat.

Gambar 1. Stenosis mitral

3.2.2. Etiologi

Etiologi tersering adalah endocarditis reumatika, akibat reaksi progresif dari


demam reumatik oleh infeksis streptokokus. Penyebab lain walaupun jarang
dapat juga karena stenosis katup mitral kongenital, deformitas parasut mitral,
vegetasi SLE (systemic lupus erythematosus), karsinosis sistemik, deposit
amiloid, akibat obat fenfluramin/phentermin, RA (rheumatoid arthritis), serta
kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses
degeneratif. Beberapa keadaan juga dapat menimbulkan obstruksi aliran darah

17
ke ventrikel kiri seperti cor triatrium, miksoma atrium serta trombus sehingga
menyerupai stenosis mitral.1,5

Dari pasien dengan penyakit jantung katup ini 60% dengan riwayat demam
reumatik, sisanya menyangkal. Selain daripada itu 50% pasien dengan karditis
reumatik akut tidak berlanjut sebagai penyakit katup jantung secara klinik.1

3.2.3. Patofisiologi

Orang dewasa normal orifisium katup mitral adalah 4 sampai 6 cm2 .


Adanya obstruksi yang signifikan, misalnya, jika orifisium kurang lebih kurang
dari 2 cm2 , darah dapat mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri hanya jika
didorong oleh gradien tekanan atrioventrikel kiri yang meningkat secara
abnormal, tanda hemodinamik stenosis mitral. Apabila orifisium katup mitral
berkurang sampai 1 cm2, tekanan atrium kiri kurang lebih 25 mmHg diperlukan
untuk mempertahankan curah jantung (cardiac output) yang normal. Tekanan
atrium kiri yang meningkat, selanjutnya, meningkatkan tekanan vena dan kapiler
pulmonalis, yang mengurangi daya kembang (compliance) paru dan
menyebabkan dispnea pada waktu pengerahan tenaga (exertional dyspnea,
dyspnea d’ effort). Serangan pertama dispnea biasanya dicetuskan oleh kejadian
klinis yang meningkatkan kecepatan aliran darah melalui orifisium mitral, yang
selanjutnya mengakibatkan elevasi tekanan atrium kiri. Untuk menilai beratnya
obstruksi, penting untuk mengukur gradien tekanan transvalvuler maupun
kecepatan aliran. Gradien tekanan bergantung tidak hanya pada curah jantung
tapi juga denyut jantung. Kenaikan denyut jantung memperpendek diastolik
secara proporsional lebih daripada sistolik dan mengurangi waktu yang tersedia
untuk aliran yang melalui katup mitral. Oleh karena itu, pada setiap tingkat curah
jantung tertentu, takikardia menambah tekanan gradien transvalvuler dan
selanjutnya meningkatkan tekanan atrium kiri. Tekanan diastolik ventrikel kiri
normal pada stenosis mitral saja; penyakit katup aorta, hipertensi sistemik,
regurgitasi mitral, penyakit jantung iskemik yang terjadi secara bersamaan dan
mungkin kerusakan sisa yang ditimbulkan oleh miokarditis reumatik kadang-

18
kadang bertanggung jawab terhadap kenaikan yang menunjukan fungsi ventrikel
kiri yang terganggu dan/atau menurunkan daya kembang ventrikel kiri.
Disfungsi ventrikel kiri, seperti yang ditunjukan dalam berkurangnya fraksi
ejeksi dan kecepatan memendek serabut yang mengelilingi, terjadi pada sekitar
seperempat pasien dengan stenosis mitral berat, sebagai akibat berkurangnya
preload kronik dan luasnya jaringan parut dari katup ke dalam miokardium yang
berdekatan. Stenosis mitral murni dengan irama sinus, tekanan atrium kiri rata-
rata dan pulmonal artery wedge pressure biasanya meningkat,denyut tekanan
menunjukan kontraksi atrium yang menonjol (gelombang a) dan tekanan
bertahap menurun setelah pembukaan katup mitral (y descent). . Pada pasien
dengan stenosis mitral ringan sampai sedang tanpa peningkatan resistensi
vaskuler paru, tekanan arteri pulmonalis mungkin mendekati batas atas normal
pada waktu istirahat dan meningkat seiring dengan exercise. Pada stenosis mitral
berat dan kapan saja ketika resistensi vaskuler paru naik, tekanan arteri
pulmonalis meningkat bahkan ketika pasien sedang istirahat, dan pada kasus
ekstrim dapat melebihi tekanan arterial sistemik. Kenaikan tekanan atrium kiri,
kapiler paru, dan tekanan arteri pulmonalis selanjutnya terjadi selama latihan.
Jika tekanan sistolik arteri pulmonalis melebihi kira-kira 50 mmHg pada pasien
dengan stenosis mitral, atau pada keadaan dengan lesi yang mengenai sisi kiri
jantung, peningkatan afterload ventrikel kanan menghalangi pengosongan
ruangan ini, sehingga tekanan diastolik akhir dan volume ventrikel kanan
biasanya meningkat sebagai mekanisme kompensasi.

19
Gambar 2. Patofisiologi stenosis mitral

3.2.4. Manifestasi Klinis

Keluhan dapat berupa takikardi, dispneu, takipnea dan ortopnea, dan


denyut jantung tidak teratur. Tak jarang terjadi gagal jantung, tromboemboli
serebral atau perifer dan batuk darah (hemoptisis) akibat pecahnya vena
bronkialis. Jika kontraktilitas ventrikel kanan masih baik, sehingga tekanan
arteri pulmonalis belum tinggi sekali, keluhan lebih mengarah pada akibat
bendungan atrium kiri, vena pulmonal dan interstitial paru. Jika ventrikel kanan
sudah tak mampu mengatasi tekanan tinggi pada arteri pulmonalis, keluhan
beralih ke arah bendungan vena sistemik, terutama jika sudah terjadi
insufisiensi trikuspid dengan atau tanpa fibrilasi atrium. Keluhan berkaitan
dengan tingkat aktifitas fisik, Gejala dini dapat berupa sesak nafas waktu
bekerja.1,9

20
Jika stenosisnya berat, tekanan darah di dalam atrium kiri dan tekanan
darah di dalam vena paru-paru meningkat, sehingga terjadi gagal jantung,
dimana cairan tertimbun di dalam paru-paru (edema pulmoner). Jika seorang
wanita dengan stenosis katup mitral yang berat hamil, gagal jantung akan
berkembang dengan cepat. Penderita yang mengalami gagal jantung akan
mudah merasakan lelah dan sesak nafas. Pada awalnya, sesak nafas terjadi
hanya sewaktu melakukan aktivitas (exertional dyspnea), tetapi lama-lama
sesak juga akan timbul dalam keadaan istirahat. Sebagian penderita akan
merasa lebih nyaman jika berbaring dengan disangga oleh beberapa buah bantal
atau duduk tegak. Warna semu kemerahan di pipi menunjukkan bahwa
seseorang menderita stenosis katup mitral. Tekanan tinggi pada vena paru-paru
dapat menyebabkan vena atau kapiler pecah dan terjadi perdarahan ringan atau
berat ke dalam paru-paru. Pembesaran atrium kiri bisa mengakibatkan fibrilasi
atrium, dimana denyut jantung menjadi cepat dan tidak teratur.1,9

3.2.5. Diagnosis

Pada pemeriksaan fisik untuk diagnosis stenosis katup mitral, temuan


klasiknya adalah ‘opening snap’ dan bising diastole kasar (‘diastolic rumble’)
pada daerah mitral. Tetapi sering pada pemeriksaan rutin sulit bahkan tidak
ditemukan rumble diastole dengan nada rendah, apalagi bila tidak dilakukan
dengan hati-hati. Di luar negeri kasus stenosis mitral ini jarang yang berat,
sehingga gambaran klasik tidak ditemukan, sedangkan di Indonesia kasus berat
masih banyak. Walaupun demikian pada kasus-kasus ringan harus dicurigai
stenosis mitral ini bila teraba dan terdengar S1 yang keras. S1 mengeras oleh
karena pengisian yang lama membuat tekanan ventrikel kiri meningkat dan
menutup katup sebelum katup itu kembali ke posisinya. Di apeks rumble
diastolik ini dapat diraba sebagai thrill. Dengan lain perkataan katup mitral
ditutup dengan tekanan yang keras secara mendadak, pada keadaan di mana
katup mengalami kalsifikasi dan kaku maka penutupan katup mitral tidak
menimbulkan bunyi S1 yang keras. Demikian pula bila terdengar bunyi P2 yang

21
mengeras sebagai petunjuk hipertensi pulmonal, harus dicurigai adanya bising
diastol pada mitral.1

Beberapa usaha harus dilakukan untuk mendengar bising diastol antara


lain posisi lateral dekubitus, gerakan atau latihan ringan, menahan napas dan
menggunakan bell dengan meletakkan pada dinding dada tanpa tekanan keras.
Derajat dari bising diastol tidak menggambarkan beratnya stenosis tetapi waktu
atau lamanya bising dapat menggambarkan derajat stenosis. Pada stenosis
ringan bising halus dan pendek, sedangkan pada yang berat holodiastol dan
aksentuasi presistolik. Waktu dari A2-OS juga dapat menggambarkan berat
ringannya stenosis, bila pendek stenosis lebih berat.1

Bising diastol pada stenosis mitral dapat menjadi halus oleh karena
obesitas, PPOM, edema paru, atau status curah jantung yang rendah. Beberapa
keadaan yang dapat menimbulkan bising diastole antara lain aliran besar
melalui tricuspid seperti pada ASD, atau aliran besar melalui mitral seperti pada
VSD, atau regurgitasi mitral. Pada AR juga dapat terjadi bising diastole pada
daerah mitral akibat tertutupnya katup mitral anterior oleh aliran balik dari aorta
(murmur Austin-Flint). Bising diastole pada MR atau AR akan menurun
intensitasnya bila diberikan amil nitrit karena menurunnya afterload dan
berkurangnya derajat regurgitasi.1,9

PEMERIKSAAN PENUNJANG STENOSIS KATUP MITRAL

Dibawah ini ada beberapa pemeriksaan yang dapat digunakan untuk


menunjang diagnosis stenosis katup mitral, yaitu antara lain :

1. EKG
Memperlihatkan gambaran P mitral berupa takik (notching) gelombang P
dengan gambaran QRS yang masih normal dan Right Axis Deviation. Pada
stenosis mitral reumatik, sering dijumpai adanya fibrilasi atau flutter
atrium.8

22
2. Pemeriksaan Foto Thorax
Gambaran klasik yang dijumpai pada foto adalah pembesaran atrium kiri
serta pembesaran arteri pulmonalis (terdapat hubungan bermakna antara
besarnya ukuran pembuluh darah dan resistensi vaskuler pulmonal), aorta
yang relatif kecil, pembesaran ventrikel kanan, perkapuran di daerah katup
mitral atau perkardium, pada paru-paru terlihat tanda-tanda bendungan
vena.
Edema interstisial berupa garis Kerley terdapat pada 30% pasien dengan
tekanan atrium kiri < 20 mmHg, pada 70% bila tekanan atrium kiri > 20
mmHg.1,9
3. Ekokardiografi Doppler
Merupakan modalitas pilihan yang paling sensitif dan spesifik untuk
diagnosis stenosis mitral. Sebelum era ekokardiografi, kateterisasi jantung
merupakan suatu keharusan dalam diagnosis. Dengan ekokardiografi dapat
dilakukan evaluasi struktur dari katup, pliabilitas dari daun katup, ukuran
dari area katup dengan planimetri (‘mitral valve area’), struktur dari
aparatus subvalvular, juga dapat ditentukan fungsi ventrikel.
Sedangkan dengan Doppler dapat ditentukan gradien dari mitral, serta
ukuran dari area mitral dengan cara mengukur ’pressure half time’ terutama
bila struktur katup sedemikian jelek karena kalsifikasi, sehingga
pengukuran dengan planimetri tidak memungkinkan. Selain dari pada itu
dapat diketahui juga adanya regurgitasi mitral yang sering menyertai
stenosis mitral.
Derajat berat ringannya stenosis mitral berdasarkan eko Doppler ditentukan
antara lain oleh gradient transmitral, area katup mitral, serta besarnya
tekanan pulmonal. Selain itu dapat juga ditentukan perubahan hemodinamik
pada latihan atau pemberian beban dengan dobutamin, sehingga dapat
ditentukan derajat stenosis pada kelompok pasien yang tidak menunjukkan
beratnya stenosis pada saat istirahat.1,9
4. Ekokardiografi Transesofageal

23
Merupakan pemeriksaan ekokardiografi dengan menggunakan transduser
endoskop, sehingga jendela ekokardiografi akan lebih luas, terutama untuk
struktur katup, atrium kiri atau apendiks atrium. Ekokardiografi
transesofagus lebih sensitif mendeteksi trombus pada atrium kiri atau
terutama apendiks atrium kiri. Selama ini eko transesofageal bukan
merupakan prosedur rutin pada stenosis mitral, namun ada prosedur
valvulotomi balon atau pertimbangan antikoagulan sebaiknya dilakukan.1
5. Kateterisasi Jantung
Seperti disebutkan di atas dulu kateterisasi merupakan standar baku untuk
diagnosis dan menentukan berat ringannya stenosis mitral. Walaupun
demikian pada keadaan tertentu masih dikerjakan setelah suatu prosedur
eko yang lengkap. Saat ini kateterisasi jantung dipergunakan secara primer
untuk suatu prosedur pengobatan intervensi non bedah yaitu valvulotomi
dengan balon.1,9

3.2.6. Penatalaksanaan

Pendekatan Klinis Pasien dengan Stenosis Mitral

Pada setiap pasien stenosis mitral anamnesis dan pemeriksaan fisik


lengkap harus dilakukan. Prosedur penunjang EKG, foto toraks, ekokardiografi
seperti yang telah disebutkan sebelumnya harus dilakukan. Pada kelompok
pasien stenosis mitral yang asimtomatik, tindakan lanjutan sangat bergantung
dengan hasil pemeriksaan eko. Sebagai contoh pasien aktif asimtomatik dengan
area > 1,5 cm2, gradien < 5 mmHg, maka tidak perlu dilakukan evaluasi
lanjutan, selain pencegahan terhadap kemungkinan endokarditis. Lain halnya
bila pasien tersebut dengan area mitral < 1,5 cm2.1,8,9

Pendekatan Medis

Stenosis mitral merupakan kelainan mekanik, oleh karena itu obat


bersifat suportif atau simptomatik terhadap gangguan fungsional jantung, atau

24
pencegahan terhadap infeksi. Beberapa obat-obatan seperti antibiotik golongan
penisilin, eritromisin, sulfa, sefalosporin untuk demam rematik atau
pencegahan endokarditis sering dipakai. Obat-obat inotropik negatif seperti B-
blocker atau Ca-blocker, dapat memberi manfaat pada pasien dengan irama
sinus yang memberi keluhan pada saat frekuensi jantung meningkat seperti pada
latihan. Retriksi garam atau pemberian diuretic secara intermitten bermanfaat
jika terdapat bukti adanya kongesti vaskular paru. Pada stenosis mitral dengan
irama sinus, digitalis tidak bermanfaat kecuali terdapat disfungsi ventrikel baik
kiri maupun kanan. Latihan fisik tidak dianjurkan, kecuali ringan hanya untuk
menjaga kebugaran, karena latihan akan meningkatkan frekuensi jantung dan
memperpendek fase diastole dan seterusnya meningkatkan gradient
transmitral.1,8,9

Prevalensi 30-40% fibrilasi atrium akan muncul akibat hemodinamik


yang bermakna karena hilangnya kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel
serta frekuensi ventrikel yang cepat. Pada keadaan ini pemakaian digitalis
merupakan indikasi, dapat dikombinasikan dengan penyekat beta atau
antagonis kalsium. Penyekat beta atau anti aritmia juga dapat dipakai untuk
mengontrol frekuensi jantung atau pada keadaan tertentu untuk mencegah
terjadinya fibrilasi atrial paroksismal. Bila perlu pada keadaan tertentu dimana
terdapat gangguan hemodinamik dapat dilakukan kardioversi elektrik, dengan
pemberian heparin intravenous sebelum pada saat ataupun sesudahnya.
Pencegahan embolisasi sistemik dapat diberikan antikoagulan warfarin yang
sebaiknya digunakan pada stenosis mitral dengan fibrilasi atrium atau irama
sinus dengan kecenderungan pembentukan thrombus untuk mencegah
fenomena tromboemboli.

Valvotomi mitral perkutan dengan balon pertama kali dikenalkan oleh


Inoue pada tahun 1984 dan pada tahun 1994 diterima sebagai prosedur klinik.
Mulanya dilakukan dengan 2 balon, tetapi akhir-akhir ini dengan perkembangan
dalam teknik pembuatan balon, prosedur valvotomi cukup memuaskan dengan
prosedur 1 balon.1,8,9

25
Konsep komisurotomi mitral pertama kali diajukan oleh Brunton pada
tahun 1902, dan berhasil pertama kali pada tahun 1920. Sampai dengan tahun
1940 prosedur yang dilakukan adalah komisurotomi bedah tertutup. Tahun
1950 sampai dengan 1960 komisurotomi bedah tertutup dilakukan melalui
transatrial serta transventrikel. Akhir-akhir ini komisurotomi bedah dilakukan
secara terbuka karena adanya mesin jantung-paru. Dengan cara ini katup terlihat
dengan jelas, pemisahan komisura, atau korda, otot papilaris, serta pembersihan
kalsifikasi dapat dilakukan dengan lebih baik. Juga dapat ditentukan tindakan
yang akan diambil apakah itu reparasi atau penggantian katup mitral dengan
protesa. Perlu diingat bahwa sedapat mungkin diupayakan operasi bersifat
reparasi oleh karena dengan protesa akan timbul risiko antikoagulasi,
thrombosis pada katup, infeksi endokarditis, malfungsi protesa serta kejadian
trombo emboli.1,8,9

3.2.7. Komplikasi

Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada


stenosis mitral, dengan patofisiologi yang komplek. Pada awalnya kenaikan
tekanan atau hipertensi pulmonal terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan
atrium kiri. Dengan meningkatnya hipertensi pulmonal ini akan menyebabkan
kenaikan tekanan dan volume aakhir diastole, regurgitasi trikiuspid dan
pulmonal sekunder, dan seterusnya sebagai gagal jantung kanan dan kongesti
sistemik. Dapat pula terjadi perubahan pada vaskular paru berupa
vasokonstriksi akibat bahan neurohumoral seperti endotelin atau perubahan
anatomik yaitu remodel akibat hipertrofi tunika media dan penebalan tunika
intima.

Komplikasi lain dapat berupa tromboemboli, endokarditis infektif,


fibrilasi atrial atau simptom karena kompresi akibat besarnya atrium kiri seperti
disfagi dan suara serak.1

26
3.2.8. Prognosis

Stenosis mitral merupakan suatu proses progresif kontinyu dan penyakit


seumur hidup. Merupakan penyakit ’a disease of plateus’ yang pada mulanya
hanya ditemui tanda dari stenosis mitral yang kemudian dengan kurun waktu
(10-20 tahun) akan diikuti dengan keluhan, fibrilasi atrium dan akhirnya keluhan
disabilitas. Apabila timbul fibrilasi atrium prognosanya kurang baik dibanding
pada kelompok irama sinus, sebab resiko terjadinya emboli arterial secara
bermakna meningkat pada fibrilasi atrium.1

27
BAB IV

KESIMPULAN

Stenosis katup mitral merupakan penyempitan pada lubang katup mitral


yang akan menyebabkan meningkatnya tahanan aliran darah dari atrium kiri ke
ventrikel kiri. Kelainan struktur mitral ini menyebabkan angguan pembukaan
sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri saat diastol. Stenosis mitral
menghalangi aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri selama fase diastolik
ventrikel untuk mempertahankan curah jantung, atrium kiri harus menghasilkan
tekanan yang lebih besar untuk mendorong darah melewati katup yang sempit.
Stenosis katup mitral hampir selalu disebabkan oleh demam rematik, pada fase
penyembuhan demam reumatik terjadi fibrosis dan fusi komisura katup mitral,
sehingga terbentuk sekat jaringan ikat tanpa pengapuran yang mengakibatkan
lubang katup mitral pada waktu diastolik lebih kecil dari normal.

Derajat berat ringannya stenosis mitral, selain berdasarkan gradien


transmitral, dapat juga ditentukan oleh luasnya area katup mitral, serta
hubungan antara lamanya waktu antara penutupan katup aorta dan opening
snap. Diagnosis stenosis katup mitral dapat ditegakkan melalui pemeriksaan
fisik dan penunjang yang lengkap. Beberapa macam penatalaksanaan pada
pasien dengan stenosis mitral dapat dilakukan dengan medis ataupun tindakan
operasi.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Libby P, eds. Braunwald's Heart Disease:
ATextbook of Cardiovascular Medicine. 9th ed. Philadelphia, Pa: Saunders
Elsevier; 2011.
2. Indrajaya, T., dan Ghanie, A. Mitral Stenosis dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III. Editor : Aru W. Sudoyo, dkk. Edisi 5. Jakarta.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI : 2010.
3. Bonow RO, Carabello BA, Chatterjee K, de Leon AC, Jr, Faxon DP, et al.
2008 Focused update incorporated into the ACC/AHA 2006 guidelines for the
management of patients with valvular heart disease: a report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines (Writing Committee to Revise the 1998 Guidelines for the
Management of Patients With Valvular Heart Disease): endorsed by the
Society of Cardiovascular Anesthesiologists, Society for Cardiovascular
Angiography and Interventions, and Society of Thoracic Surgeons.
Circulation. 2008;118:e523–661
4. Guilherme L, Ramasawmy R, Kalil J. Rheumatic fever and rheumatic heart
disease: Genetics and pathogenesis. Scand J Immunol. 2007;66:199–207.
5. Akram MR, Chan T, McAuliffe S, Chenzbraun A. Non-rheumatic annular
mitral stenosis: Prevalence and characteristics. Eur J Echocardiogr.
2009;10:103–5.
6. Ozaydin M, Turker Y, Varol E, Alaca S, Erdogan D, Yilmaz N, et al. Factors
associated with the development of atrial fibrillation in patients with rheumatic
mitral stenosis. Int J Cardiovasc Imaging. 2010;26:547–52.
7. Kim JB, Ha JW, Kim JS, Shim WH, Kang SM, Ko YG, et al. Comparison of
long-term outcome after mitral valve replacement or repeated balloon mitral
valvotomy in patients with restenosis after previous balloon valvotomy. Am J
Cardiol. 2007;99:1571–4.

29
8. Aslanabadi N, Golmohammadi A, Sohrabi B, Kazemi B. Repeat percutaneous
balloon mitral valvotomy vs. mitral valve replacement in patients with
restenosis after previous balloon mitral valvotomy and unfavorable valve
characteristics.Clin Cardiol. 2011 Jun; 34(6):401-6.

30

Anda mungkin juga menyukai