Dibuat Oleh:
Fildzah Fitriyani
1102014100
Pembimbing:
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rowe dkk (1925) terhadap 250
penderita mitral stenosis, setelah sepuluh tahun 39% penderita meninggal
dunia, 22% menjadi semakin sesak dan 16% memiliki setidaknya satu
manifestasi komplikasi tromboemboli. Setelah 20 tahun kemudian, 7%
meninggal dunia, 8% penderita menjadi semakin sesak dan 26% memilki
setidaknya satu manifestasi tromboemboli.4
2
BAB II
LAPORAN KASUS
II.2 Anamnesis
Autoanamnesa pada tanggal 4 Februari 2019 pukul 12.30 WIB
Keluhan Utama :
Sesak napas yang dirasakan memberat sejak ± 1 bulan sebelum masuk rumah sakit
3
kali keluar masuk rumah sakit dikarenakan keluhan yang sama dan terakhir kali
berobat, dokter menganjurkan agar pasien dilakukan operasi pada jantungnya.
Pasien dilakukan tindakan berupa MVR pada tanggal 31 Januari 2019 dengan
anastesi umum.
Riwayat operasi :
Pasien baru pertama kali menjalani operasi.
4
2. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 92 x/menit, iregular, isi cukup
Frekuensi napas : 18 x/menit
Suhu : 36,5oC per axilla
3. Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-), Respon
cahaya (+/+), Pupil isokor
Telinga : Membran timpani intak (+/+), Hiperemis
(-/-), Nyeri tekan mastoid (-/-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-)
Mulut : T1-T1, Deviasi uvula (-), Mallampati 2, Gigi goyang
(-), Gigi ompong (+) geraham kanan bawah, Gigi palsu (-),
Buka mulut maksimal 3 jari
Leher : Tampak simetris, Pembesaran KGB (-), Pembesaran
kelenjar tiroid (-), Deviasi trakea (-), Retraksi otot bantu
napas (-), Ekstensi leher sempurna tanpa tahanan
Thoraks :
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Vocal fremitus simetris, Tactil fremitus simetris
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing
(-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I – II normal, regular, murmur (-), Gallop (-)
5
Abdomen :
Inspeksi : Cembung, Caput medusa (-), Spider navy (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), Hepatosplenomegali (-), Ascites (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, oedem (-/-)
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Jenis Pemeriksaan HASIL Nilai Rujukan
20-10-2017
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
6
Kontrol 11.1 Detik
Pasien 11,4 9.3-11.8 detik
APTT
Kontrol 24 Detik
Pasien 29,6 31-47 detik
ANALISA GAS DARAH
pH 7,470* 7,37-7,45
pCO2 30,7* 33-44 mmHg
pO2 97,5 71-104 mmHg
Bikarbonat 22,6 22-29 mmol/L
Tabel 1. Laboratorium Darah
Foto Thorax
Jantung kesan membesar
Aorta tidak melebar
Trachea ditengah, kedua hilus tidak menebal
Corakan bronchovascular baik. Tidak tampak infiltrat maupun nodul
pada kedua paru
Kedua hemidiafragma licin. Kedua sinus kostofrenikus lancip
Tulang-tulang tervisualisasi optimal kesan intak
Terpasang multiple wire di proyeksi sternum disertai dengan kateter
drainase dengan tip distal setinggi ICS 5 posterior kiri (pasca operasi)
Terpasang prosthesa katup di hemitoraks kiri setinggi ICS 9 posterior
kiri, proyeksi jantung.
KESAN :
- Kardiomegali dengan aorta elongasi
- Terpasang prothese katup jantung
7
- Terpasang multiple wire
II.4 Diagnosa
Post MVR
Stenosis mitral
II.5 Tatalaksana
IVFD asering 20 ml/jam
Inj. Cefoperazone sulbaktam 2x2 gr
Inj. Levofloxacin 1x750 mg
Inj. Omeprazole 1x40 mg
Paracetamol 3x1 gr
Vit C 1x400 mg
NB 5000 1x1
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 ICU
3.1.1. Definisi
ICU menurut Kemenkes RI (2011) adalah suatu bagian dari rumah sakit
yang mandiri, dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang
ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi pasien-pasien yang menderita
penyakit akut, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau
potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia yang diharapkan masih
reversibel.
3.1.2. Indikasi
a. Kriteria masuk
Menurut Kemenkes RI (2011) dalam keadaan yang terbatas, pasien yang
memerlukan terapi intensif (prioritas 1) lebih didahulukan dibandingkan
dengan pasien yang hanya memerlukan pemantauan intensif (prioritas
3). Penilaian objektif atas berat dan prognosis penyakit hendaknya
digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan prioritas
masuk ke ICU.
9
1. Golongan pasien prioritas satu
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang
memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan atau
bantuan ventilasi, alat penunjang fungsi organ/sistem yang lain, infus
obat-obat vasoaktif atau inotropik, obat anti aritmia, serta pengobatan
lainnya secara kontinyu dan tertitrasi. Sebagai contoh antara lain:
pasien pasca bedah kardiotorasik, sepsis berat, gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam nyawa.
Institusi setempat dapat juga membuat kriteria spesifik yang lain
seperti derajat hipoksemia, hipotensi dibawah tekanan darah tertentu.
Terapi pada golongan pasien prioritas 1 demikian, tidak mempunyai
batas.
2. Golongan pasien prioritas dua
Golongan pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di
ICU, sebab sangat berisiko bila tidak mendapatkan terapi intensif
segera, misalnya pemantauan intensif menggunakan pulmonary
arterial catheter. Sebagai contoh antara lain pasien yang menderita
penyakit dasar jantung-paru, gagal ginjal akut dan berat atau pasien
yang telah mengalami pembedahan mayor. Terapi pada golongan
prioritas 2 tidak mempunyai batas, karena kondisi mediknya
senantiasa berubah.
3. Golongan pasien prioritas tiga
Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status
kesehatan sebelumnya, yang disebabkan oleh penyakit yang
mendasarinya atau penyakit akutnya secara sendirian atau
kombinasi. Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di ICU
pada golongan ini sangat kecil. Sebagai contoh antara lain pasien
dengan keganasan metastase disertai penyakit infeksi pericardial
tamponade, sumbatan jalan napas, atau pasien penyakit jantung,
penyakit paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat.
10
Pengelolaan pada pasien golongan ini hanya sampai melakukan
intubasi atau resusitasi jantung-paru.
4. Pengecualian
Dengan pertimbangan luar biasa dan atas persetujuan Kepala ICU,
indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan,
dengan catatan bahwa pasien-pasien golongan demikian sewaktu-
waktu harus bisa dikeluarkan dari ICU agar fasilitas ICU yag terbatas
tersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1, 2, dan 3.
Pasien yang tergolong demikian antara lain:
a) Pasien yang memenuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi
tunjangan hidup yang agresif dan hanya demi “perawatan yang
aman” saja. Ini tidak menyingkirkan pasien dengan perintah
“DNR (Do Not Resuscitate)”, sebenarnya pasien-pasien ini
mungkin akan mendapatkan manfaat dari tunjangan canggih
yang tersedia di ICU untuk meningkatkan kemungkinan
survivalnya.
b) Pasien dalam keadaan vegetatif permenen
c) Pasien yang telah dipastikan mengalami mati batang otak
namun hanya karena kepentingan donor organ, maka pasien
dapat dirawat di ICU. Tujuan perawatan di ICU hanya untuk
menunjang fungsi organ sebelum dilakukan pengambilan organ
untuk donasi.
Selain indikasi dari skala prioritas, terdapat juga indikasi dari kriteria
lainnya. Hal tersebut sebagai berikut:
1. Kriteria berdasarkan sistem organ
a) Penilaian berdasarkan sistem organ
Acute myocard infark dengan komplikasi
Syok kardiogenik
Complex arrhythmia yang memerlukan pengawasan
ketat dan intervensi
11
Gagal jantung akut dengan gagal napas dan atau
memerlukan bantuan hemodinamik
Hipertensi emergensi
Unstable angina, yang disertai aritmia, hemodinamik
yang tidak stabil, atau nyeri dada yang persisten
Pasca pemulihan setelah henti jantung
Tamponade jantung dengan hemodinamik yang tidak
stabil
Diseksi aneurisma aorta
Blok jantung total
Laju jantung < 50 kali/menit atau > 150 kali/menit
dengan instabilitas
Gagal jantung kronis dekompensata yang
membutuhkan pemantauan intensif
b) Penilaian sistem respirasi
Gagal nafas akut yang memerlukan ventilator
Emboli paru dengan kondisi hemodinamik yang tidak
stabil
Pasien ruang perawatan High Care Unit yang
menunjukkan perburukan pada sistem pernapasan
Hemoptisis masif
Gagal nafas dengan memerlukan intubasi
c) Penilaian sistem gastrointestinal
Perdarahan saluran cerna yang disertai hipotensi
terus-menerus
Gagal hati fulminan
Pankreatitis berat
Perforasi esofagus dengan atau tanpa mediastinitis
Abdomen yang tegang dengan pertimbangan adanya
hipertensi
12
d) Penilaian sistem endokrin
Ketoasidosis diabetikum dengan instabilitas
hemodinamik, perubahan status mental, insufisiensi
pernapasan
Krisis tiroid dengan instabilitas hemodinamik
Hiperosmolar status dengan koma dan atau
instabilitas hemodinamik
Gangguan endokrin lainnya seperti krisis adrenal
dengan instabilitas hemodinamik
Hipo atau hipernatermia dengan kejang, perubahan
status mental
Hipo atau hipermagnesemia dengan kegagalan
hemodinamik
Hipo atau hiperkalemia dengan aritmia atau
kelemahan otot
Hipofosfatemia dengan kelemahan otot
e) Penilaian sistem renal
Gagal ginjal yang baru didiagnosis dengan azotemia
berat (ureum >200 mg/dL)
Produksi urin < 0,5 ml/kgBB/jam selama > 3 jam dan
ada pertimbangan hemodinamik yang tidak membaik
Penurunan akut bersihan kreatinin < 30 mL
Membutuhkan terapi pengganti ginjal
f) Penilaian sistem saraf pusat
Stroke akut dengan perubahan status mental
Koma (metabolik, toksik, atau anoksik)
Perdarahan intrakranial yang berpotensi terjadi
herniasi
Perdarahan subarachnoid akut
13
Meningitis dengan perubahan status mental atau
gangguan pernapasan
Sistem saraf pusat dan neuromuskular disorder
dengan disorientasi saraf dan fungsi paru
Status epileptikus
Pasien mati batang otak atau berpotensi mati batang
otak dengan status pendonor organ
Pasien dengan cedera kepala berat
g) Penilaian sistem hematologi
Trombositopenia (< 70.000) dengan bukti perdarahan
Koagulopati (INR > 2,5 atau APTT > 40-50 detik)
dengan bukti perdarahan aktif
Bukti hemolisis aktif dengan penurunan hematokrit
Leukosit > 100.000/mcl, dan terutama dengan fungsi
organ target
h) Pembedahan
Pasien post operasi yang memerlukan pengawasan
hemodinamik atau dukungan ventilator atau
perawatan intensif
i) Gangguan lainnya
Syok septik dengan instabilitas hemodinamik
Pengawasan hemodinamik
Trauma lingkungan (listrik, hipotermi, hipertermi)
2. Modal parameter objektif
a) Tanda vital
Nadi < 40 atau > 150 kali/menit
Tekanan darah sistolik < 80 mmHg atau 20 mmHg
dibawah tekanan darah biasa pasien
Mean arterial pressure < 60 mmHg
Tekanan diastolik > 120 mmHg
14
Respiratory rate > 35 kali/menit
b) Laboratorium
Serum natrium < 110 mEq/L atau > 170 mEq/L
Serum kalium < 2,0 mEq/L atau > 7,0 mEq/L
PaO2 < 50 mmHg
pH <7,1 atau > 7,7
serum glukosa > 800 mg/dL
serum kalsium > 15 mg/dL
b. Kriteria keluar
Prioritas pasien dipindahkan dari ICU berdasarkan pertimbangan medis
oleh kepala ICU dan atau tim yang merawat pasien, antara lain:
1. Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil,
sehingga tidak memerlukan terapi atau pemantauan yang intensif
lebih lanjut
2. Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau pemantauan intensif
tidak bermanfaat atau tidak memberi hasil yang berarti bagi pasien.
Apalagi pada waktu itu pasien tidak menggunakan alat bantu
mekanis khusus (seperti ventilasi mekanis). Contoh golongan
pasien demikian, antara lain pasien yang menderita penyakit
stadium akhir (misalnya ARDS stadium akhir). Sebelum
dikeluarkan dari ICU sebaiknya keluarga pasien diberikan
penjelasan alasan pasien dikeluarkan dari ICU
3. Pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU
(keluar paksa)
4. Pasien hanya memerlukan observasi secara intensif saja,
sedangkan ada pasien lain yang lebih gawat yang memerlukan
terapi dan observasi yang lebih intensif. Pasien seperti ini
hendaknya diusahakan pindah ke ruang yang khusus untuk
pemantauan secara intensif yaitu HCU
15
3.1.3. Sarana dan Prasarana
Ruang ICU sebuah rumah sakit harus memenuhi beberapa syarat sebagai
berikut:
1. Letaknya di sentral rumah sakit dan dekat dengan kamar bedah serta
kamar pulih sadar
2. Suhu ruangan diusahakan 22-25C dan nyaman
3. Ruangan tertutup dan tidak terkontaminasi dari luar
4. Merupakan ruangan aseptik dan antiseptik dengan dibatasi kaca-
kaca
5. Kapasitas tempat tidur dilengkapi alat-alat khusus
6. Tempat tidur harus beroda dan dapat diubah dengan segala posisi
7. Petugas dan pengunjung memakai pakaian khusus bila memasuki
ruangan isolasi
8. Tempat dokter dan perawat harus sedemikian rupa sehingga mudah
untuk mengobservasi pasien
16
dalam PACU untuk waktu terbatas dan haru memenuhi kriteria
sebelum ditransfer kembali ke bangsal.
3.2.1. Definisi
Stenosis mitral adalah kondisi katup mitral yang tidak sepenuhnya terbuka.
Hal ini terjadi karena katup mitral secara patologis mengalami penyempitan
sehingga aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri pada fase diastolik
terhambat.
3.2.2. Etiologi
17
ke ventrikel kiri seperti cor triatrium, miksoma atrium serta trombus sehingga
menyerupai stenosis mitral.1,5
Dari pasien dengan penyakit jantung katup ini 60% dengan riwayat demam
reumatik, sisanya menyangkal. Selain daripada itu 50% pasien dengan karditis
reumatik akut tidak berlanjut sebagai penyakit katup jantung secara klinik.1
3.2.3. Patofisiologi
18
kadang bertanggung jawab terhadap kenaikan yang menunjukan fungsi ventrikel
kiri yang terganggu dan/atau menurunkan daya kembang ventrikel kiri.
Disfungsi ventrikel kiri, seperti yang ditunjukan dalam berkurangnya fraksi
ejeksi dan kecepatan memendek serabut yang mengelilingi, terjadi pada sekitar
seperempat pasien dengan stenosis mitral berat, sebagai akibat berkurangnya
preload kronik dan luasnya jaringan parut dari katup ke dalam miokardium yang
berdekatan. Stenosis mitral murni dengan irama sinus, tekanan atrium kiri rata-
rata dan pulmonal artery wedge pressure biasanya meningkat,denyut tekanan
menunjukan kontraksi atrium yang menonjol (gelombang a) dan tekanan
bertahap menurun setelah pembukaan katup mitral (y descent). . Pada pasien
dengan stenosis mitral ringan sampai sedang tanpa peningkatan resistensi
vaskuler paru, tekanan arteri pulmonalis mungkin mendekati batas atas normal
pada waktu istirahat dan meningkat seiring dengan exercise. Pada stenosis mitral
berat dan kapan saja ketika resistensi vaskuler paru naik, tekanan arteri
pulmonalis meningkat bahkan ketika pasien sedang istirahat, dan pada kasus
ekstrim dapat melebihi tekanan arterial sistemik. Kenaikan tekanan atrium kiri,
kapiler paru, dan tekanan arteri pulmonalis selanjutnya terjadi selama latihan.
Jika tekanan sistolik arteri pulmonalis melebihi kira-kira 50 mmHg pada pasien
dengan stenosis mitral, atau pada keadaan dengan lesi yang mengenai sisi kiri
jantung, peningkatan afterload ventrikel kanan menghalangi pengosongan
ruangan ini, sehingga tekanan diastolik akhir dan volume ventrikel kanan
biasanya meningkat sebagai mekanisme kompensasi.
19
Gambar 2. Patofisiologi stenosis mitral
20
Jika stenosisnya berat, tekanan darah di dalam atrium kiri dan tekanan
darah di dalam vena paru-paru meningkat, sehingga terjadi gagal jantung,
dimana cairan tertimbun di dalam paru-paru (edema pulmoner). Jika seorang
wanita dengan stenosis katup mitral yang berat hamil, gagal jantung akan
berkembang dengan cepat. Penderita yang mengalami gagal jantung akan
mudah merasakan lelah dan sesak nafas. Pada awalnya, sesak nafas terjadi
hanya sewaktu melakukan aktivitas (exertional dyspnea), tetapi lama-lama
sesak juga akan timbul dalam keadaan istirahat. Sebagian penderita akan
merasa lebih nyaman jika berbaring dengan disangga oleh beberapa buah bantal
atau duduk tegak. Warna semu kemerahan di pipi menunjukkan bahwa
seseorang menderita stenosis katup mitral. Tekanan tinggi pada vena paru-paru
dapat menyebabkan vena atau kapiler pecah dan terjadi perdarahan ringan atau
berat ke dalam paru-paru. Pembesaran atrium kiri bisa mengakibatkan fibrilasi
atrium, dimana denyut jantung menjadi cepat dan tidak teratur.1,9
3.2.5. Diagnosis
21
mengeras sebagai petunjuk hipertensi pulmonal, harus dicurigai adanya bising
diastol pada mitral.1
Bising diastol pada stenosis mitral dapat menjadi halus oleh karena
obesitas, PPOM, edema paru, atau status curah jantung yang rendah. Beberapa
keadaan yang dapat menimbulkan bising diastole antara lain aliran besar
melalui tricuspid seperti pada ASD, atau aliran besar melalui mitral seperti pada
VSD, atau regurgitasi mitral. Pada AR juga dapat terjadi bising diastole pada
daerah mitral akibat tertutupnya katup mitral anterior oleh aliran balik dari aorta
(murmur Austin-Flint). Bising diastole pada MR atau AR akan menurun
intensitasnya bila diberikan amil nitrit karena menurunnya afterload dan
berkurangnya derajat regurgitasi.1,9
1. EKG
Memperlihatkan gambaran P mitral berupa takik (notching) gelombang P
dengan gambaran QRS yang masih normal dan Right Axis Deviation. Pada
stenosis mitral reumatik, sering dijumpai adanya fibrilasi atau flutter
atrium.8
22
2. Pemeriksaan Foto Thorax
Gambaran klasik yang dijumpai pada foto adalah pembesaran atrium kiri
serta pembesaran arteri pulmonalis (terdapat hubungan bermakna antara
besarnya ukuran pembuluh darah dan resistensi vaskuler pulmonal), aorta
yang relatif kecil, pembesaran ventrikel kanan, perkapuran di daerah katup
mitral atau perkardium, pada paru-paru terlihat tanda-tanda bendungan
vena.
Edema interstisial berupa garis Kerley terdapat pada 30% pasien dengan
tekanan atrium kiri < 20 mmHg, pada 70% bila tekanan atrium kiri > 20
mmHg.1,9
3. Ekokardiografi Doppler
Merupakan modalitas pilihan yang paling sensitif dan spesifik untuk
diagnosis stenosis mitral. Sebelum era ekokardiografi, kateterisasi jantung
merupakan suatu keharusan dalam diagnosis. Dengan ekokardiografi dapat
dilakukan evaluasi struktur dari katup, pliabilitas dari daun katup, ukuran
dari area katup dengan planimetri (‘mitral valve area’), struktur dari
aparatus subvalvular, juga dapat ditentukan fungsi ventrikel.
Sedangkan dengan Doppler dapat ditentukan gradien dari mitral, serta
ukuran dari area mitral dengan cara mengukur ’pressure half time’ terutama
bila struktur katup sedemikian jelek karena kalsifikasi, sehingga
pengukuran dengan planimetri tidak memungkinkan. Selain dari pada itu
dapat diketahui juga adanya regurgitasi mitral yang sering menyertai
stenosis mitral.
Derajat berat ringannya stenosis mitral berdasarkan eko Doppler ditentukan
antara lain oleh gradient transmitral, area katup mitral, serta besarnya
tekanan pulmonal. Selain itu dapat juga ditentukan perubahan hemodinamik
pada latihan atau pemberian beban dengan dobutamin, sehingga dapat
ditentukan derajat stenosis pada kelompok pasien yang tidak menunjukkan
beratnya stenosis pada saat istirahat.1,9
4. Ekokardiografi Transesofageal
23
Merupakan pemeriksaan ekokardiografi dengan menggunakan transduser
endoskop, sehingga jendela ekokardiografi akan lebih luas, terutama untuk
struktur katup, atrium kiri atau apendiks atrium. Ekokardiografi
transesofagus lebih sensitif mendeteksi trombus pada atrium kiri atau
terutama apendiks atrium kiri. Selama ini eko transesofageal bukan
merupakan prosedur rutin pada stenosis mitral, namun ada prosedur
valvulotomi balon atau pertimbangan antikoagulan sebaiknya dilakukan.1
5. Kateterisasi Jantung
Seperti disebutkan di atas dulu kateterisasi merupakan standar baku untuk
diagnosis dan menentukan berat ringannya stenosis mitral. Walaupun
demikian pada keadaan tertentu masih dikerjakan setelah suatu prosedur
eko yang lengkap. Saat ini kateterisasi jantung dipergunakan secara primer
untuk suatu prosedur pengobatan intervensi non bedah yaitu valvulotomi
dengan balon.1,9
3.2.6. Penatalaksanaan
Pendekatan Medis
24
pencegahan terhadap infeksi. Beberapa obat-obatan seperti antibiotik golongan
penisilin, eritromisin, sulfa, sefalosporin untuk demam rematik atau
pencegahan endokarditis sering dipakai. Obat-obat inotropik negatif seperti B-
blocker atau Ca-blocker, dapat memberi manfaat pada pasien dengan irama
sinus yang memberi keluhan pada saat frekuensi jantung meningkat seperti pada
latihan. Retriksi garam atau pemberian diuretic secara intermitten bermanfaat
jika terdapat bukti adanya kongesti vaskular paru. Pada stenosis mitral dengan
irama sinus, digitalis tidak bermanfaat kecuali terdapat disfungsi ventrikel baik
kiri maupun kanan. Latihan fisik tidak dianjurkan, kecuali ringan hanya untuk
menjaga kebugaran, karena latihan akan meningkatkan frekuensi jantung dan
memperpendek fase diastole dan seterusnya meningkatkan gradient
transmitral.1,8,9
25
Konsep komisurotomi mitral pertama kali diajukan oleh Brunton pada
tahun 1902, dan berhasil pertama kali pada tahun 1920. Sampai dengan tahun
1940 prosedur yang dilakukan adalah komisurotomi bedah tertutup. Tahun
1950 sampai dengan 1960 komisurotomi bedah tertutup dilakukan melalui
transatrial serta transventrikel. Akhir-akhir ini komisurotomi bedah dilakukan
secara terbuka karena adanya mesin jantung-paru. Dengan cara ini katup terlihat
dengan jelas, pemisahan komisura, atau korda, otot papilaris, serta pembersihan
kalsifikasi dapat dilakukan dengan lebih baik. Juga dapat ditentukan tindakan
yang akan diambil apakah itu reparasi atau penggantian katup mitral dengan
protesa. Perlu diingat bahwa sedapat mungkin diupayakan operasi bersifat
reparasi oleh karena dengan protesa akan timbul risiko antikoagulasi,
thrombosis pada katup, infeksi endokarditis, malfungsi protesa serta kejadian
trombo emboli.1,8,9
3.2.7. Komplikasi
26
3.2.8. Prognosis
27
BAB IV
KESIMPULAN
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Libby P, eds. Braunwald's Heart Disease:
ATextbook of Cardiovascular Medicine. 9th ed. Philadelphia, Pa: Saunders
Elsevier; 2011.
2. Indrajaya, T., dan Ghanie, A. Mitral Stenosis dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III. Editor : Aru W. Sudoyo, dkk. Edisi 5. Jakarta.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI : 2010.
3. Bonow RO, Carabello BA, Chatterjee K, de Leon AC, Jr, Faxon DP, et al.
2008 Focused update incorporated into the ACC/AHA 2006 guidelines for the
management of patients with valvular heart disease: a report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines (Writing Committee to Revise the 1998 Guidelines for the
Management of Patients With Valvular Heart Disease): endorsed by the
Society of Cardiovascular Anesthesiologists, Society for Cardiovascular
Angiography and Interventions, and Society of Thoracic Surgeons.
Circulation. 2008;118:e523–661
4. Guilherme L, Ramasawmy R, Kalil J. Rheumatic fever and rheumatic heart
disease: Genetics and pathogenesis. Scand J Immunol. 2007;66:199–207.
5. Akram MR, Chan T, McAuliffe S, Chenzbraun A. Non-rheumatic annular
mitral stenosis: Prevalence and characteristics. Eur J Echocardiogr.
2009;10:103–5.
6. Ozaydin M, Turker Y, Varol E, Alaca S, Erdogan D, Yilmaz N, et al. Factors
associated with the development of atrial fibrillation in patients with rheumatic
mitral stenosis. Int J Cardiovasc Imaging. 2010;26:547–52.
7. Kim JB, Ha JW, Kim JS, Shim WH, Kang SM, Ko YG, et al. Comparison of
long-term outcome after mitral valve replacement or repeated balloon mitral
valvotomy in patients with restenosis after previous balloon valvotomy. Am J
Cardiol. 2007;99:1571–4.
29
8. Aslanabadi N, Golmohammadi A, Sohrabi B, Kazemi B. Repeat percutaneous
balloon mitral valvotomy vs. mitral valve replacement in patients with
restenosis after previous balloon mitral valvotomy and unfavorable valve
characteristics.Clin Cardiol. 2011 Jun; 34(6):401-6.
30