Anda di halaman 1dari 7

Langkah 3 untuk BAB 3 (Lola)

Berkaitan dengan target MDGs terkait gizi kurang pada bayi balita yang sekarang telah
diturunkan menjadi salah satu indikator yang harus dicapai dalam SDGs, SDGs menargetkan
pada tahun 2030 akan menghilangkan kelaparan dan menjamin akses bagi semua orang,
khususnya orang miskin dan yang berada dalam kondisi rentan, termasuk bayi, terhadap
makanan yang aman, bergizi, dan cukup sepanjang tahun. Hal ini juga dikhususkan terkait gizi
masyarakat yaitu, menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi termasuk pada tahun 2025
mencapai target yang disepakati secara internasional untuk anak pendek dan kurus dibawah 5
tahun, dan memenuhi kebutuhan gizi remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui dengan
indikatornya yaitu stunting, malnutrisi pada anak usia kurang dari 5 tahun, anemia pada ibu
hamil dan ASI eksklusif pada bayi kurang dari 6 bulan (Kemenkes, 2017). Dalam MDGs
indikator untuk kelaparan ekstreem dianggap sudah berhasil, karena angka penurunan kelaparan
dipenjuru dunia dapat tercapai, tetapi dalam SDGs tidak hanya kuantitas dari kelaparan yang
perlu dicapai, tapi kualitas dari gizi. Pada SDGs permasalahan pemenuhan gizi pada bayi balita
tidak hanya difokuskan pada bayi balita tersebut saja, melainkan pada ibu bayi balita tersebut
sejak masa remaja (usia subur) hingga masa kehamilan sehingga diharapkan tidak melahirkan
bayi balita dengan gizi kurang (UNDP).
Target terkait gizi bayi balita diatas untuk pencapaiannya pemerintah Indonesia telah
mengintegrasikan kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-
2019 dengan sasaran yang ingin dicapai yaitu meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi
masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan
perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan, dengan salah satu sasaran pokoknya
adalah meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu dan anak. Langkah nyata yang dilakukan
pemerintah yaitu integrasi kedalam perencanaan, kebijakan, serta strategi ditingkat nasional dan
daerah (Bappenas, 2015). Langkah nyata tersebut dituangkan dalam Nawacita presiden Republik
Indonesia yaitu pada agenda ke 5 meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia yang
diwujudkan dalam Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PISPK) dan program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa masalah
gizi kurang dan gizi buruk pada bayi balita di Indonesia yaitu 17,7% dimana angka ini masih
belum mencapai target RPJMN 2015-2019 (Riskesdas, 2018). Hal ini sejalan dengan penelitian
Smeru 2014 dan Ardiyah 2015 yang menyebutkan bahwa masih banyak kejadian gizi kurang
pada bayi balita di Indonesia meskipun dalam era JKN dan program-program pemerintah terkait
peningkatan gizi seperti ASI eksklusif dan MP-ASI telah dijalankan. Dalam penelitian Smeru
dan Ardiyah disebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian gizi kurang pada
bayi balita yaitu kurang pengetahuan yang dilatarbelakangi oleh keyakinan ibu/ orangtua terkait
makanan bagi anaknya. Misalkan ASI eksklusif dianggap tidak cukup untuk memenuhi nutrisi
anaknya sehingga diberikan makanan lainnya pada usia bayi kurang dari 6 bulan. Selain itu susu
formula juga diyakini memiliki manfaat lebih baik dari ASI sehingga banyak ibu yang
memberikan bayinya susu formula dari pada ASI (Ardiyah, 2015, Smeru, 2014). Berhubungan
dengan JKN dalam penelitian Smeru 2014 disebutkan bahwa meskipun masyarakat di pedesaan
memiliki JKN dengan jaminan dari pemerintah, tetapi akses dari desa ke fasilitas kesehatan yang
memerlukan biaya transportasi yang cukup banyak dirasakan menjadi beban sehingga
masyarakat desa tidak menggunakan fasilitas kesehatan ataupun JKN yang ada (Smeru, 2014).
Sehingga dari hal diatas dapat kita lihat fenomena, bahwa sebenarnya pemerintah telah
mencanangkan kebijakan atau program untuk mengatasi gizi kurang pada bayi balita di
Indonesia, tetapi angka kejadian gizi kurang pada bayi balita masih tinggi, dimana salah satunya
karena kurang pengetahuan yang disebebkan oleh keyakinan keluarga ataupun hambatan askes
ke fasilitas kesehatan (dapat juga berupa kurang meratanya pembangunan kesehatan). Hambatan
inilah yang perlu diatasi salah satunya oleh profesi keperawatan sesuai dengan peran dan
fungsinya.
Dari fenomena diatas, kelompok memberikan masukan layak laksana dalam rangka
membantu mensukseskan pencapaian SDGs di Indonesia khususnya dalam bidang kesehatan
(agregat bayi balita gizi kurang) sesuai dengan kondisi sumber daya manusia Indonesia serta
program/ kebijakan pemerintah maupun daerah yaitu berupa penguatan dalam promosi kesehatan
(health promotion) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment). Sebenarnya profesi
keperawatan memiliki peluang yang sangat besar dalam mengatasi gizi kurang bayi balita
dengan penguatan pada promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini dapat kita
lihat bahwa dalam PISPK prinsip utamanya yaitu menerapkan paradigma sehat, dimana
paradigma sehat juga merupakan prinsip utama dalam paradigma keperawatan yang
mengutamakan promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif (Kemenkes,
2016). Terutama hal ini sangat sesuai dengan keperawatan komunitas dengan asuhan pada
komunitas/ populasi dari rentang sehat hingga sakit dengan mengedepankan promotif dan
preventif dalam mewujudkan paradigma sehat dimasyarakat. Selain itu keperawatan juga telah
dikuatkan dengan dasar hukum yaitu Kepmenkes RI No. 279 tahun 2006 tentang perkesmas atau
perawat kesehatan masyarakat dimana dijelaskan peran dan fungsi perawat untuk melakukan
asuhan keperawatan masyarakat dengan lebih menekankan pada promotif dan pemberdayaan
masyarakat dalam 3 level pencegahan yaitu primer, sekunder, dan tersier (Kemenkes, 2006).
Dengan adanya dasar hukum yang menaungi kegiatan keperawatan dalam melakukan
promosi kesehatan dan pemberdayaan pada masyarakat untuk mengatasi gizi kurang bayi dan
balita, perawat haruslah dapat melaksanakan dengan maksimal. Khususnya perawat komunitas
dapat melakukan perannya dengan maksimal dalam setiap level pencegahan. Pada pencegahan
primer perawat komunitas melakukan promosi kesehatan dapat berupa pendidikan kesehatan
terkait pentingnya pemenuhan gizi pada ibu semenjak usia subur hingga kehamilan agar tidak
melahirkan bayi dengan gizi kurang, untuk bayinya gizi tetap perlu diperhatiakn dengan ASI
eksklusif dan makanan tambahan yang tepat setelah usia 6 bulan ke atas. Perlindungan spesifik
juga perlu dilakukan seperti bayi harus terpenuhi ASI eksklusifnya selama 6 bulan dan
dilanjutkan selama 2 tahun ASI dengan makanan tambahan yang sesuai. Pada pencegahan
sekunder perawat mengaktifkan pemeriksaan antropometri baik dipuskesmas maupun posyandu
dengan pembedayaan kader. Pemeriksaan antropomentri dijelaskan penting untuk memantau
pertumbuhan bayi/ balita (screening), serta peran perawat sebagai case finding apabila ada
kejadian gizi buruk bayi balita serta penangana dan perawatannya yang tepat. Dalam pencegahan
tersier perawat berusaha membatasi/ mengurangi kecacatan atau komplikasi berbahaya pada bayi
balita yang mengalami gizi buruk agar tidak jatuh pada kondisi kematian, perawat melakukan
pemberdayaan kepada keluarga untuk merawat bayi balitanya yang mengalami gizi buruk.
(Kemenkes, 2006, Nies, 2019). Dalam peran perawat pada semua level pencegahan, perlu
diperhatikan wewenang dari masing-masing perawat komunitas, yaitu perawat dengan level
spesialis sebagai koordinator perkesmas yang akan membagi wewenang dan tugas serta
tanggung jawab bagi pelaksana dan penanggung jawab. Koordinator akan merencanakan asuhan
keperawatan pada kasus yang kompleks. Perawat penanggung jawab yaitu ners generalis akan
melakukan perencanaan dan asuhan keperawatan terhadap keluarga dan masyarakat. Perawat
pelaksana yaitu level vokasi akan melakukan asuhan keperawatan berdasarkan perencanaan dari
penanggung jawab dimana hal inimerupakan pelimpahan dan perawat pelaksana sudah
mendapatkan pelatihan/ bimbingan dari perawat menanggung jawab.
Selain dasar hukum diatas, juga terdapat Kepmenkes RI No. 908 tahun 2010 tentang
keperawatan keluarga yang menyatakan bahwa pelayanan keperawatan keluarga adalah satu area
pelayanan keperawatan yang dapat dilaksanakan di masyarakat ( keluarga) (Kemenkes, 2010).
Ini merupakan dasar hukum yang sangat jelas menunjukkan bahwa profesi perawat memiliki
wewenang dan kompetensi dalam melakukan asuhan keperawatan terhadap masyarakat terutama
keluarga apabila mengalami masalah bayi balita gizi kurang. Dasar hukum ini juga membedakan
profesi perawat dengan profesi lainnya, dimana apabila profesi lainnya yang terkait dalam
masalah kesehatan gizi ini seperti nutrisionis dan kesehatan masyarakat yang lebih berfokus pada
bayi balita yang mengalami gizi kurang, perawat dengan melakukan proses keperawatan dari
pengkajian hingga evaluasi dengan tidak hanya berfokus pada bayi balita yang mengalami gizi
kurang tetapi juga pada keluarga dan sumber daya dalam keluarga tersebut. Perawat juga akan
lebih mengkaji bagaimana peran keluarga dalam terjadinya gizi kurang pada bayi balita seperti
pola asuh yang digunakan, sumber daya yang dimiliki dan diberdayakan.
Hal diatas merupakan peran fungsi yang dapat dilakukan perawat komunitas dengan tetap
sejalan terhadap kebijakan dan program pemerintah, sehingga akan beriringan bersama untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat terutama agregat bayi balita gizi kurang. Masukan
layak laksana berupa penguatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan oleh perawat dengan dasar hukum yang sangat kuat tadi sebenarnya juga sangat
didukung oleh sumber daya keperawatan di Indonesia. Dalam catatan Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) tahun 2015 jumlah perawat di Indonesia 926.000 perawat, dengan
tingkat pertumbuhannya 100.000 lebih pertahunnya (JPNN.com, 2018). Hal ini lah yang
melatarbelakangi kebijakan di Sulawesi Tenggara tepatnya di Kabupaten Bombana untuk
menjalankan program 1 perawat 1 desa dengan tujuan utama untuk melakukan edukasi kesehatan
untuk pencegahan penyakit (Medianers, 2017). Menurut kelompok program 1 perawat 1 desa ini
merupakan terobosan yang perlu didukung dan sekarang PPNI sedang melakukan advokasi ke
presiden untuk menjadikan program nasional, karena program ini dapat meningkatkan efektifitas
peran perawat dalam promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam pelaksanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, dalam hal ini
membuat perilaku masyarakat menjadi perilaku sehat, menurut kelompok teori keperawatan
yang dapat diterapkan oleh perawat komunitas yaitu Health Beliefe Model (HBM) dan Health
Promotion Model (HPM). Cara kerja model HBM ini yaitu perawat meningkatkan perasaan
kerentanan dan keseriusan akan bahaya dari suatu masalah kesehatan (dalam hal ini gizi kurang
pada bayi balita) bagi masyarakat apabila tidak dilakukan pencegahan atau menghindari penyakit
(Nies, 2019). Sehingga menurut model ini, apabila perawat berhasil menyentuh kepercayaan/
keyakinan atau persepsi masyarakat terkait suatu masalah kesehatan, dimana perawat
meyakinkan bahwa masalah tersebut dapat membahayakan kesehatan masyakarat setempat,
maka masyarakat tersebut akan bertindak/ perilaku sesuai dengan tujuan dari perawat (perilaku
kesehatan). Sedangkan salah satu intervensi yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan
perasaan kerentanan dan keseriusan akan bahaya dalam model HBM ini, kita dapat
menggunakan HPM. Model HPM ini mengeksplorasi proses biopsikososial kompleks yang
memotivasi individu untuk terlibat dalam perilaku yang diarahkan untuk meningkatkan
kesehatan (Pender, 2015). HPM digunakan oleh perawat sebagai dasar dalam membantu klien
untuk meningkatkan kesehatan sehingga mendukung kualitas hidup dan kesejahteraan. HPM
bertujuan untuk menciptakan gaya hidup lebih sehat. HPM didasarkan pada teori perilaku yang
mengenalkan peran perilaku dalam pencegahan primer. Dalam konteks HPM, perawat
memberikan perhatian lebih untuk membantu masyarakat mengadopsi perilaku sehat. Motivasi
masyarakat untuk melakukan perilaku sehat didasarkan pada keinginan untuk mencegah penyakit
atau mencapai tingkat kesejahteraan dan aktualisasi yang lebih tinggi (persepsi positif terkait
kesehata) (Nies, 2019).
Daftar Pustaka

Ardiyah, F.O., Rohmawati, N., Ririanty, M. 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
Stunting pada anak balita di wilayah pedesaan dan perkotaan. E-Jurnal Pustaka
Kesehatan. 3(1). 163-170.
JPNN.com. 2018. Bertemu jokowi, PPNI usulkan 1 desa 1 perawat.
KEMENKES. Keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor
980/MENKES/SK/VII/2010 tentang pedoman penyelenggaraan pelayanan keperawatan
keluarga.
KEMENKES. Keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor
279/MENKES/SK/IV/2006 tentang pedoman penyelenggaraan upaya keperawatan
kesehatan masyarakat di Puskesmas.
KEMENKES. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2016 tentang
Pedoman penyelenggaraan program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Rencana pembangunan jangka menengah nasional 2015-2019: Buku I agenda
pembangunan nasional.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Pappenas. 2017. Ringkasan metadata
indikator Indonesia tujuan pembangunan berkelanjutan (tpb)/ sustainable development
goals (sdgs).
Nies, M., McEwen, M. 2018. Keperawatan kesehatan komunitas dan keluarga Ed.Indonesia 1.
Indonesia: Elsevier.
Pender, N., Murdaugh, C., Parsons, M.A. (2015). Health promotion in nursing practice, seventh
edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Suryahadi, et. al. 2017. Dari MDGs ke SDGs: Memetik pelajaran dan menyiapkan langkah
konkret. Buletin SMERU No. 2/2017.
UNDP. Sustainable Development Goals. Undp.org.
Wijaya, A. 2017. Sosok inisiator dibalik program satu perawat satu desa di Sulawesi Tenggara.
Medianers.

Anda mungkin juga menyukai