1. Dasar Hukum
UU NOMOR 36 TAHUN 2008
Pasal 4 Ayat 1, huruf G
Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi
Pasal 4 Ayat 3, huruf F
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam
negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
-dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
-bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah modal yang disetor;
Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
royalti; dan
hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
dihapus;
sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan
jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21.
1a Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah
lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
PP 94 TAHUN 2010
Pasal 15 ayat 3
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
Pasal 16
Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang--Undang Pajak Penghasilan atau Pasal 26
Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
dilakukan pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan, maka atas Pajak
Penghasilan yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan.
Pasal 18
(1) Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf
a angka 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan dengan cara bagi hasil dipotong oleh pihak
yang wajib membayarkan.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 20
Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut berdasarkan tarif pemotongan atau pemungutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-
Undang Pajak Penghasilan, dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun
pajak yang bersangkutan setelah Wajib Pajak tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
PMK-251/PMK.03/2008
Pasal 1
(1) Atas penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan yang dibayarkan atau terutang kepada badan
usaha yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan, tidak dilakukan
pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
berupa bunga atau imbalan lain yang diberikan atas penyaluran pinjaman dan atau pemberian
pembiayaan, termasuk yang menggunakan pembiayaan berbasis syariah.
(3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga
keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha
dari Menteri Keuangan;
b. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang khusus didirikan untuk
memberikan sarana pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi,
termasuk PT (Persero) Permodalan Nasional Madani.
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP-50/PJ/1994
Pasal 1
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 yang selanjutnya disebut sebagai Pemotong Pajak
Penghasilan Pasal 23, adalah :
a. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut
adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 80/PMK.03/2010
Pasal 2 Ayat 6
(6) PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal
10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Objek Pajak
1. Penilai (appraisal);
2. Aktuaris;
3. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
4. Hukum;
5. Arsitektur;
6. Perencanaan kota dan arsitektur landscape;
7. Perancang (design);
8. Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali yang
dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);
9. Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas);
10. Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas
bumi (migas);
11. Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
12. Penebangan hutan;
13. Pengolahan limbah;
14. Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
15. Perantara dan/atau keagenan;
16. Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek, Kustodian Sentral
Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI);
17. Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
18. Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
19. Mixing film;
20. Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet, baliho
dan folder;
21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk perawatan,
pemeliharaan dan perbaikan.
22. Pembuatan dan/atau pengelolaan website;
23. Internet termasuk sambungannya;
24. Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
25. Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV Kabel, selain
yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai
izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
26. Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV
kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
27. Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.
28. Maklon;
29. Penyelidikan dan keamanan;
30. Penyelenggara kegiatan atau event organizer;
31. Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk
penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
32. Pembasmian hama;
33. Kebersihan atau cleaning service;
34. Sedot septic tank;
35. Pemeliharaan kolam;
36. Katering atau tata boga;
37. Freight forwarding;
38. Logistik;
39. Pengurusan dokumen;
40. Pengepakan;
41. Loading dan unloading;
42. Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau institusi pendidikan
dalam rangka penelitian akademis;
43. Pengelolaan parkir;
44. Penyondiran tanah;
45. Penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
46. Pembibitan dan/atau penanaman bibit;
47. Pemeliharaan tanaman;
48. Permanenan;
49. Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau perhutanan;
50. Dekorasi;
51. Pencetakan/penerbitan;
52. Penerjemahan;
53. Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak
Penghasilan;
54. Pelayanan pelabuhan;
55. Pengangkutan melalui jalur pipa;
56. Pengelolaan penitipan anak;
57. Pelatihan dan/atau kursus;
58. Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
59. Sertifikasi;
60. Survey;
61. Tester;
62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
Pemungut
Pemungut atau pemotong pph 23 adalah pengguna jasa iklan tersebut, sebagaimana dijelaskan pada
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 244/PMK.03/2008 pasal 1 ayat 1.
Pasal 1
(1) Imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c
angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dipotong Pajak
Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
Tarif dari pajak penghasilan (PPh Pasal 23) dikenakan atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau
jumlah bruto dari penghasilan. Di dalam PPh Pasal 23, terdapat dua jenis tarif yang
diberlakukan, yaitu 15% dan 2% tergantung dari objek pajaknya. Di bawah ini adalah tarif dan
objek pajak yang terkena PPh Pasal 23 yang berlaku di Indonesia.
PPh pasal 23/26 terakhir disetor tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir dan dilaporkan paling lambat paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir
Misal ada bukti potong PPh 23 yg belum disetor & lapor oleh pembeli JKP atas pembelian JKP
kepada penual JKP sbg penerima penghasilan :
Saat Terutang
Penentuan saat terutang PPh Pasal 23 dapat merujuk pada Pasal 15 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor
94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam
Tahun Berjalan (PP 94/2010) yang menyatakan bahwa:
“Pemotongan pajak penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan: 1) dibayarkannya penghasilan, 2)
disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau 3) jatuh temponya pembayaran penghasilan yang
bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.”
“Saat terutangnya PPh Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat
disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang
ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa
manajemen atau jasa lainnya).”
1. Untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan
dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
2. Untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham
yang berhak atas dividen (recording date).
Adapun yang dimaksud dengan “saat jatuh tempo pembayaran” adalah saat kewajiban untuk melakukan
pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak
atau perjanjian atau faktur.
Berdasarkan pengaturan tersebut, jelas bahwa saat terutang PPh Pasal 23 ditentukan
oleh keadaan yang terlebih dahulu terjadi antara saat pembayaran; disediakan untuk dibayarkan; atau
saat jatuh tempo pembayaran.
Lebih lanjut, untuk mengetahui kapankah saat terutang PPh Pasal 23 dapat merujuk pada Surat Direktur
Jenderal Pajak Nomor S-1506/PJ.22/1985 tentang Penegasan Lebih Lanjut atas PPh Pasal 23, yang pada
butir 2 menyatakan:
“Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada saat terjadinya pembayaran atau pada saat pembayaran
tersebut terutang (accrued).”
Selain itu pada butir 2 Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S - 1150/PJ.22/1985 tentang Potongan PPh
Pasal 23, menjelaskan bahwa:
"Istilah 'terutang' sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) hendaknya dibaca sebagai satu
kesatuan dalam hubungan kata-kata 'yang dibayarkan atau yang terutang'. Kata-kata tersebut adalah
sebagai kebalikan bagi kata-kata 'yang diterima atau diperoleh' sebagaimana diatur dalam Pasal 4
Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Apabila kata-kata 'yang diterima atau diperoleh' dalam Pasal 4 dilihat dari pihak yang mendapatkan
penghasilan (wajib pajak) maka kata-kata 'yang dibayarkan atau yang terutang' dalam Pasal 23 (juga
dalam Pasal 26) dilihat dari pihak yang memberikan penghasilan (pemotong pajak).
Berhubung dengan itu terutangnya PPh Pasal 23 itu harus dikaitkan pula dengan metode pembukuan dari
pemotong pajak, yaitu apakah pemotong pajak mempergunakan metode cash basis atau accrual basis.
Apabila pembukuan pemotong pajak mempergunakan metode accrual basis, maka berdasarkan accrual
basis itu, sewa tersebut telah merupakan biaya (apabila dilihat dari pihak wajib pajak yang mendapatkan
penghasilan sewa, yang mempergunakan metode accrual basis, sewa tersebut telah merupakan
penghasilan), maka PPh Pasal 23 atau Pasal 26 telah terutang.”
Mengacu pada ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam hal perusahaan Bapak menganut
metode pembukuan accrual basis, maka saat terutang PPh Pasal 23 adalah pada saat perusahaan
mengakui (accrued) biaya tersebut.
Untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan
dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) Tahunan. Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun
berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-
Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau
pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
Untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang
berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen
sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para
pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh" dividen tersebut diketahui, meskipun
dividen tersebut belum diterima secara tunai.
Sementara yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" adalah saat kewajiban untuk
melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam
kontrak atau perjanjian atau faktur. Saat Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada akhir bulan :
1. dibayarkannya penghasilan;
2. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
3. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan.
Dasar Hukum:
Pasal 23 Ayat (1) huruf a dan c Undang-undang Nomor 36 TAHUN 2008
Pasal 15, Pasal 16 Ayat (3) dan Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010
Formulir:
SPT Masa PPh Pasal 23/26
Bukti Pemotongan PPh Pasal 23
1. PPh pasal 23 bersifat final >>>diperlakukan sebagai biaya dalam SAK, dilakukan koreksi
fiskal dalam akuntansi fiskal.
2. PPh pasal 23 tidak final >>> dicatat sebagai uang muka pajak, yang pada akhir tahun pajak
diperlakukan sebagai kredit pajak (sebagai pengurang PPh terhutang pada akhir tahun pajak)
PT. Maju Makmur Mandiri pada tanggal 1 September 2015 melakukan pembayaran atas sewa
mobil yang disewanya dari CV. SB Rent sebesar Rp. 40 Juta untuk sewa mobil selama 4 bulan
(September 2015 s/d Desember 2015). Kedua perusahaan baik PT. MMM maupun CV. SB Rent
telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Bagaimana Jurnal untuk kedua
perusahaan tersebut?
Pembahasan :
Untuk contoh soal di atas maka PT. MMM harus memotoh PPh pasal 23 dengan tarif 2% dari
pembayaran persewaan mobil tersebut, dan pemotongan pajak oleh PT. MMM tersebut
merupakan kredit pajak bagi CV. SB Rent.
Sebaliknya bagi CV. SB Rent wajib memungut PPN sebesar 10% yang merupakan Pajak
Masukan bagi PT. MMM.
Jurnal :
PT. MMM
CV. SB Rent
Merujuk pada contoh soal 1 di atas, bagaimana jika PT. MMM belum dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak??
Pembahasan :
Bila PT. MMM belum dikukuhkan sebagai PKP, maka tidak ada mekanisme untuk
mengkreditkan PPN Masukan terhadap PPN Keluaran, sehingga PPN Masukan tersebut dapat
dibebankan sebagai biaya Fiskal.
Jurnal :
PT. MMM
Merujuk pada contoh soal 1 di atas lagi, jika CV. SB Rent belum menerima bukti potong atas
pemotongan pajak oleh PT. MMM, bagaimana jurnal CV. SB Rent??
Pembahasan :
Seringkali terjadi dilapangan, pajaknya sudah dipotong akan tetapi bukti potongnya belum dibuat
dan diserahkan ke penerima penghasilan. Untuk itu perlu bagi penerima penghasilan (CV. SB
Rent) untuk menciptakan kontrol untuk mendeteksi hal tersebut.
Bentuk kontrol tersebut bisa dibuat dalam jurnal penerimaan pembayaran sewa nya dengan
mengganti UM PPh pasal 23 dengan Piutang Sewa karena Bukti Potong nya belum diterima,
ketika Bukti Potong telah diterima baru dibuat jurnal penyesuaian (D - UM PPh pasal 23, K -
Piutang Sewa).
Jurnal :
CV. SB Rent
Merujuk pada soal 1 di atas, bagaimana jika CV. SB Rent tidak bersedia dipotong PPh Pasal
23??
Pembahasan :
Bila penerima penghasilan (CV. SB Rent) tidak mau dipotong pajak nya, PT. MMM tetap
berkewajiban untuk menyetorkan PPh Pasal 23 atas transaksi persewaan mobil tersebut. Bila PT.
MMM akan menanggung beban PPh Pasal 23 tersebut, maka dalam jurnalnya muncul Beban
PPh Pasal 23. Akan tetapi ketika akhir periode, Beban PPh Pasal 23 tersebut tidak dapat
dibebankan / non deductable expense (harus dikoreksi fiskal).
Jurnal :
Contoh 5 :Gross Up
Merujuk pada soal 1 di atas, bagaimana jika CV. SB Rent tidak bersedia dipotong PPh Pasal 23
dan PT. MMM meng-gross up nilai sewanya??
Pembahasan :
Jurnal :
PT. MMM
Pembahasan :
Sesuai dengan SE DJP Nomor 53/PJ/2009, PPh Pasal 23 dikenakan dari jasanya saja dan tidak
termasuk pengadaan bahannya. Sementara itu PPN dikenakan dari penyerahan barang & jasa
kena pajak (keseluruhannya).
Jurnal :
PT. MMM
Merujuk pada contoh soal 6 di atas, bagaimana jika PT. Kreasi Desain menerbitkan invoice yang
tidak dirinci antara jasa dan bahannya??
Pembahasan :
Kalau penerima penghasilan (PT. Kreasi Desain) menerbitkan invoice yang tidak dirinci, maka
pemberi penghasilan (PT. MMM) harus memotong PPh Pasal 23 dari nilai total tagihan.
Jurnal ;
PT. MMM
Misal pada tanggal 1 September 2015 PT. MMM membayar sewa gedung untuk gudang
penyimpanan produknya kepada PT. Estate Prima sebesar Rp. 150 juta untuk masa 3 tahun
(periode 1-09-15 s/d 31-10-18). Bagaimana pencatatan dari kedua perusahaan tersebut dala
mencatat transaksi sewa gudang tersebut dengan asumsi kedua perusahaan sudah PKP??
Pembahasan :
Pada dasarnya jurnal untuk kedua perusahaan sama dengan jurnal dalam contoh 1 di atas, yang
membedakan adalah jurnal bagi penerima penghasilan (PT. Estate Prima), karena sewa gedung /
bangunan merupakan objek PPh Pasal 4 (2) maka pemotongan pajak yang dilakukan oleh PT.
MMM bersifat Final, sehingga bagi PT. Estate Prima pemotongan tersebut bukanlahuang muka
PPh tetapi pelunasan PPh yang diakui sebagai beban PPh Final. Pada akhir periode beban PPh
Final tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya fiskal (Non deductable expense).
Jurnal :