Pasal 4
(2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura;,
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00
Di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 250.000.000,00
Di atas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000,00
Di atas Rp 500.000.000,00
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah
Tarif Pajak
5%
15%
25%
30%
sebesar 28% (dua
(2b) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit
40%
(empat
puluh
persen)
dari
jumlah
keseluruhan
saham
yang
disetor
e. penyelenggara
kegiatan
sehubungan
dengan
persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan
Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 23
(1) Atas penghasilan, tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam
negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;.
2.
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3.
royalti; dan
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. dihapus;
c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
(1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harts, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
(2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif
pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan
hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang
d.
e.
f.
g.
diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
dihapus;
bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
dihapus; dan
h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan
yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 24
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang
terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pads ayat (1) adalah sebesar pajak
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi
penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan
ditentukan sebagai berikut
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan
saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham
atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta
gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau
sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah
negara tempat harta tersebut terletak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut
bertempat kedudukan atau berada;
e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
f.
Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri
selain bentuk usaha tetap, di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen)
dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
c.
d.
e.
f.
g.
h.
pengembalian utang;
royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
hadiah dan penghargaan;
pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/ atau
keuntungan karena pembebasan utang.
(1a) Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib
Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut
(beneficial owner).
(2) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur
dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada
perusahaan asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto.
(2a) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat
(4) bersifat final, kecuali:
a. pemotongan atas perighasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
b dan huruf c; dan
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha tetap.
Pajak
Penghasilan
adalah Undang-Undang
Nomor
Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang
Nomor
36
Perubahan
Keempat
telah
melebihi
jumlah
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun
Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun
Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan UndangUndang Pajak Penghasilan.
Pasal 4
(1)
(2)
Pasal 5
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan
dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 6
Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 7
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang
terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan
pelaksanaannya.
Pasal 8
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi
kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai
bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan
yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak
dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 10
Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai
berikut:
1.
Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas)
2.
bulan;
didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak
terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah
ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak
yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini
3.
bulan
pertama
Pasal 4 Ayat 2
PAJAK PENGHASILAN FINAL
bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan, bunga dari obligasi dan obligasi
negara, dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
masing-masing;
transaksi saham dan surat berha rga lainnya, transaksi derivatif perdagangan di
bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan
yang diterima oleh perusahaan modal usaha;
transaksi atas pengalihan aset dalam bentuk tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan sewa atas tanah dan / atau bangunan; dan
Bunga deposito dan jenis-jenis tabungan, Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan diskon
jasa giro, tarif sebesar 20% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
131 tahun 2000 dan turunannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.
04/2001.
Bunga dari kewajiban, dengan berbagai tarif dari 0% sampai 20%. Penjelasan lebih
lanjut dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2009.
Dividen yang diterima oleh Indonesia Wajib Pajak orang pribadi, tarif sebesar
10% sebagaimana diatur dalam Pasal 17 (2c).
Hadiah lotere / undian, tarif sebesar 25% sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 132 tahun 2000.
Transaksi penjualan saham pendiri, dan saham non-founder (bukan pendiri), tarif
sebesar 0,5% dan 0,1% masing-masing, sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 14 tahun 1997, yang derivatif-nya berupa turunan Menteri
Keuangan No 282/KMK.04/1997, yang SE-15/PJ.42/1997 dan SE-06/PJ.4/1997.
Jasa konstruksi, dengan berbagai tarif dari 2% sampai 6%. Penjelasan lebih lanjut
dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2008 dan turunannya
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 2009.
Sewa atas tanah dan / atau bangunan, dengan tarif 10% sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1996 dan turunannya Peraturan Pemerintah
Nomor 5 tahun 2002.
Pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan (termasuk usaha real estate), tarif
sebesar 5% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008.
Transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan yang diterima
oleh modal usaha, dengan tarif 0,1% sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 4 tahun 1995.
Contoh : Alice Kein memiliki tabungan di Bank ABC dengan saldo rata-rata bulan Oktober
2015 adalah Rp 450.000.000,00. Bunga yang diberikan oleh Bank ABC adalah 9% per
tahun, maka bunga yang diterima oleh Alice Kein atas tabungannya di Bank ABC pada bulan
Oktober 2015 adalah sebesar Rp 3.375.000,00.
Bunga tabungan yang diterima oleh Alice Kein dari Bank BCA termasuk penghasilan yang
dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh Bank BCA sebagai pihak yang membayarkan
penghasilan.
Besarnya pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:
20% x Rp3.375.000,00 = Rp675.000,00.
WP yang penghasilan dividennya dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final sebesar
10% dari bruto adalah WP OP dalam negeri . Maka, dari contoh kasus diatas, WP yang
penghasilan dividennya dipotong adalah Tuan Badrul Apin.
Penghasilan dividen yang diterima Tuan Badrul Apin
Rp 1.000.000.000,00 x 5%
= Rp 50.000.000,00
PPh 4 (2)
Rp 50.000.000,00 x 10%
= Rp 5.000.000,00
Contoh : PT. Barutama menjual tanah sebagai aktivanya sebesar Rp 50.000.000,00 maka
akan terhutang PPh pasal 25 sebesar 5% x Rp 50.000.000,00 yang bersifat final.
Idaman
mendapatkan
bunga
atas
obligasi
yang
diperdagangkan di bursa efek senilai Rp 100.000.000,00 dan membeli obligasi baru seharga
Rp 55.000.000,00 dengan nilai nominal Rp 50.000.000,00. Atas transaksi tersebut,
penghasilan yang timbul bagi PT. BTI adalah bunga sebesar Rp 100.000.000,00.
Sedangkan bagi penjual obligasi berupa premium sebesar Rp 5.000.000,00.
Pasal 21
PAJAK PENGHASILAN
Pegawai tetap.
Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah
kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
2. Jumlah penghasilan yang melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) sehari, yang
berlaku bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima upah harian,
upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif
yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta
rupiah).
3. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi bukan pegawai
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015
Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan.
4. Jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima
penghasilan di atas.
5. Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21 adalah jumlah penghasilan bruto.
Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris;
Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis dan seniman lainnya
Olahragawan;
Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi
jasa kepada suatu kepanitiaan;
Agen iklan;
Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya.
e. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas tidak merangkap sebagai Pegawai
Tetap pada perusahaan yang sama;
f.
Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dikenakan PKP sebesar penghasilan
neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Pegawai
tidak
tetap dikenakan
PKP
sebesar penghasilan
bruto
dikurangi
Bagi bukan pegawai yang disebutkan dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No.
PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c, PKP yang dikenakan sebesar50% (lima puluh
persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun atau
jaminan hari tua yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Setinggi-tingginya Rp
200.000,00
(dua
ratus
ribu
rupiah)
sebulan atau
Rp
Bila pemotong PPh Pasal 21 mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya, maka
besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah
dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut,
kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan dengan bagian gaji
atau upah pegawai tersebut maka besar penghasilan bruto adalah sebesar jumlah
yang dibayarkan;
Bila ia hanya melakukan penyerahan material atau barang, maka besarnya jumlah
penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material
atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa
dan material atau barang.
Besarnya PTKP per tahun untuk perhitungan PPh Pasal 21 berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan No. 122/PMK010/2015 dan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:
Rp 36.000.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak
orang pribadi dan istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.
Rp 3.000.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak
yang kawin;
Rp 3.000.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta
anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
untuk setiap keluarga.
1. Perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk Masa Pajak Juli s.d Desember 2015
dihitung dengan menggunakan PTKP baru.
2. PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari s.d Juni 2015 yang telah dihitung, disetor
dan dilaporkan dengan menggunakan PTKP lama dilakukan pembetulan dengan
menggunakan PTKP baru.
Kelebihan setor akibat pembetulan perhitungan PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari s.d Juni
2015 dikompensasikan terhadap PPh Pasal 21 Masa Pajak Juli s.d Desember 2015.
Sementara itu, perhitungan besarnya PTKP pegawai seperti yang diatur dalam Peraturan
DJP PER-32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:
Kecuali, untuk pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian
tahun kalender, ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun
kalender yang bersangkutan.
Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) untuk diri wajib pajak orang pribadi;
Rp 250.000,00 (dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk wajib pajak yang kawin, dan;
Rp 250.000,00 (dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga
sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus atau anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (orang) untuk setiap keluarga.
Bagi karyawati kawin, besarnya PTKP adalah sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
Bagi karyawati tidak kawin, besarnya PTKP adalah sebesar PTKP untuk dirinya
sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Bagi karyawati kawin yang suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan
dan menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah (kecamatan), maka
besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status
kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, jika penghasilan sehari belum melebihi
Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah);
Dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, jika penghasilan sehari sebesar atau melebihi
Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) tersebut merupakan jumlah yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto;
Bila pegawai tidak tetap memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan
kalender melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) maka jumlah tersebut dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto;
Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau
upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
PTKP sebenarnya adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah
sebesar PTKP per tahun Rp 36.000.000,00 dibagi 360 hari.
Bila pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas tersebut mengikuti program jaminan
atau tunjangan hari tua, maka iuran yang dibayar sendiri dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Berdasarkan Peraturan
Menteri
Keuangan
RI
Nomor
152/
PMK.010/2015 tentang
Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan
Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak
Penghasilan:
1. Penghasilan yang kurang dari 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per hari tidak dikenakan
pemotongan pajak penghasilan.
2. Ketentuan penghasilan tidak kena pajak itu tidak berlaku dalam hal:
2. Penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
sebulan; atau
3. Penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan
3. Ketentuan pada pasal 1 dan 2 tersebut tidak berlaku atas:
1. Penghasilan berupa honorarium
2. Komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.
Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif 20% lebih tinggi dari
mereka yang memiliki NPWP.
3. Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku
untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
4. Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima
penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama
sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, PPh Pasal 21
yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen)
lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulanbulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.
o
o
dengan
pensiun
yang
diterima
secara
sekaligus
berupa
uang
Penghasilan yang bukan merupakan objek pemotongan PPh pasal 21 ,ditegaskan dalam
pasal 8 peraturan dirjen pajak ,PER-31/PJ/2009 yang menyatakan bahwa tidak termasuk
penghasilan yg tidak dipotong PPh 21 :
1.
Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan asuransi kesehatan,asuransi kecelakaan,asuransi jiwa,asuransi dwi
2.
3.
4.
5.
pemerintah
yang
membayar
gaji,upah,honorarium,tunjangan
dan
Contoh:
Perhitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Terhadap Penghasilan Pegawai Tetap dengan
Gaji Bulanan
Ika adalah karyawati pada perusahaan PT. Sinar Unggul dengan status menikah dan
mempunyai tiga anak. Suami Ika merupakan pegawai negeri sipil di Dinas Kesehatan
Kabupaten Tangerang. Ika menerima gaji Rp 3.000.000,- per bulan. PT. Sinar Unggul
mengikuti program pensiun dan BPJS Kesehatan. Perusahaan membayar iuran pensiun
kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, sebesar Rp
40.000,- per bulan.
Ika juga membayar iuran pensiun sebesar Rp 30.000,- sebulan, di samping itu perusahaan
membayarkan iuran Jaminan Hari Tua karyawannya setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji,
sedangkan Ika membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 2,00% dari gaji.
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan
jumlah masing-masing sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji.
Pada bulan Juli 2016 di samping menerima pembayaran gaji, Ika juga menerima uang
lembur (overtime) sebesar Rp 2.000.000,00. Perhitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2016
adalah sebagai berikut:
Gaji
(i) Tunjangan Lainnya: lembur (overtime)
(ii) Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) 1.00%
Premi Jaminan Kematian 0.30%
Penghasilan bruto
Pengurangan
3.000.000,00
2.000.000,00
30.000,00
9.000,00
5.039.000,00
(iii) 251.950,0
0
60.000,00
30.000,00
-341.950,00
4.697.050,00
56.364.600,0
(v) Penghasilan neto setahun 12 x 4.697.050,00
(vi) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP): (TK/0)
untuk WP sendiri
0
36.000.000,00
36.000.000,0
0
20.364.600,0
0
20.364.600,0
0
1.018.200,00
84.850,00*
*Berlaku bagi WP dengan NPWP, tanpa NPWP maka perlu dikalikan 120% : Rp 84.850,00 x
120% = Rp 101.820,00
Penjelasan:
Diasumsikan gaji pokok sebesar Rp 3.000.000,00.
(i) Tunjangan lainnya seperti tunjangan transportasi, uang lembur, akomodasi, komunikasi, dan
tunjangan tidak tetap lainnya. Umumnya tunjangan tersebut dapat diberikan oleh
perusahaan atau tidak, tergantung dari kebijakan perusahaan itu sendiri.
(ii) Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) berkisar antara 0.24% - 1.74% sesuai kelompok
jenis usaha seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007.
(iii)Biaya Jabatan sebesar 5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,00
sebulan, atau Rp 6.000.000,00 setahun
(iv)
Iuran Pensiun ditentukan oleh lembaga keuangan yang pendiriannya disahkan dalam
Peraturan Menteri Keuangan dan ditunjuk oleh perusahaan.
(v) Jika pegawai merupakan pegawai lama (lebih dari satu tahun) atau pegawai baru yang
mulai bekerja pada bulan Januari tahun itu, maka penghasilan neto dikalikan 12 untuk
memperoleh nilai penghasilan neto setahun, namun jika pegawai merupakan pegawai
baru yang mulai bekerja pada bulan Mei misalkan, maka penghasilan neto setahun
dikalikan 8 (diperoleh dari penghitungan bulan dalam setahun: Mei-Desember = 8
bulan). Pada contoh ini diasumsikan pegawai merupakan pegawai baru yang mulai
bekerja pada bulan Januari.
(vi)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berfungsi untuk mengurangi penghasilan bruto,
agar diperoleh nilai Penghasilan Kena Pajak yang akan dihitung sebagai objek pajak
penghasilan
milik
wajib
pajak.
Sesuai
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
(vii)
Penghasilan Kena Pajak harus dibulatkan ke bawah hingga nominal ribuan penuh, atau
3 angka di belakang (ratusan rupiah) adalah 0. Contoh: 56.901.200,00 menjadi
56.901.000,00.
Perhitungan PPh Pasal 21 Terhadap Pegawai Tetap Yang Menerima Tunjangan Pajak
Bila sebuah perusahaan memberikan tunjangan pajak kepada pegawainya, maka
tunjangan pajak
4.500.000,00
25.000,00
4.525.000,00
226.250,00
25.000,00
(251.250,00)
4.273.750,00
51.285.000,00
36.000.000,00
(36.000.000,00)
15.285.000,00
764.250,00
63.688,00
*Berlaku bagi WP dengan NPWP, tanpa NPWP maka perlu dikalikan 120% : Rp 63.688,00 x
120% = Rp 76.425,00
Perhitungan PPh Pasal 21 Terhadap Bukan Pegawai Yang Menerima Penghasilan Tidak
Bersifat Berkesinambungan
Nasrun adalah konsultan hukum yang melakukan jasa hukum kepada PT. Cahaya Kurnia
dengan fee sebesar Rp 5.000.000,00.
Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:
5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 125.000,00
Bila Nasrun tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi
sebesar:
120% x 5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 150.000,00
Penjelasan:
Karena Nasrun bukan pegawai tetap di PT. Cahaya Kurnia, maka PKP yang dikenakan
sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto berdasarkan peraturan PER-32/PJ/2015 Pasal 3
huruf c sedangkan tarif PPh Pasal 21 untuk penghasilan tahunan sampai dengan Rp
50.000.000,00 adalah 5%.
Hidayat bekerja tidak tetap pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang
dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari gajinya adalah Rp 4000.000,00. Hidayat menikah
tetapi memiliki 1 anak. Tunjangan 200.000,00. Perhitungan pph 21 adalah sebagai berikut:
Gaji
4.000.000,00
Tunjangan
200.000,00
4.200.000,00
50.400.000,00
4.200.000,00
(vi) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP):
(K/1) untuk WP sendiri
42.000.000,00
(42.000.000,00)
8.400.000,00
420.000,00
35.000,00
Pasal 22
PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN
6. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
o
7. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya
kepada distributor di dalam negeri;
8. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
9. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
10. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul
untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
11. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan industri
hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
12. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
o
menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
2. Atas pembelian
barang
yang
dilakukan
oleh
DJPB,
Bendahara
Pemerintah,
BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir
bahan bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
o
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API =
0,5% x nilai impor.
7. Atas penjualan
o
Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp
10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle(mpv), minibus dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan
dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak
termasuk PPN dan PPnBM.
8. Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22.
Pengecualian Pemungutan Pajak Berdasarkan PPh Pasal 22
1. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh. Pengecualian tersebut, harus
dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
2. Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk:
o
yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga barang
tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor atau re-impor) dan Entrepot Produksi Untuk
Tujuan
Ekspor
(EPTE),
yaitu
tempat
penimbunan
barang
dagangan
karena
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun 1969 tentang
Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan PP Nomor
26 tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1973;
Pemungut Pajak dari pedagang pengumpul adalah WP Industri yang bergerak dalam ekspor
perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan. Pajak yang dipungut sebesar 0,5 % dari
harga pembelian (tidak termasuk PPN). PPh Pasal 22 tidak dipungut apabila pembelian
barang pertanian tersebut dilakukan terhadap petani atau kelompok tani.
Contoh : Perusahaan ban Ready membeli karet mentah dari pengepul senilai (DPP) Rp
200.000.000,00 dan oleh pengepul akan dipungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5 % x Rp
200.000.000,00. PPh 22 tersebut harus dilunasi dan dilaporkan oleh perusahaan ban Ready.
PPH PASAL 22 DIPUNGUT PENJUAL
PPh Industri Semen
Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut pada industri semen adalah sebesar 0,25% x DPP
PPN.
Contoh : PT. Kujang menjual semen kepada PT. Kuat Perkasa sebagai distributornya
dengan harga jual termasuk PPN sebesar Rp 440.000.000,00. Besarnya penghasilan yang
menjadi dasar perhitungan PPh 22 adalah :
Penjualan kotor dengan PPN
Rp 440.000.000,00
Rp 40.000.000,00
Rp 400.000.000,00
Rp
1.000.000,00
Rp 100.000.000,00
Rp
100.000,00
0,45% x Rp 600.000.000,00
Bukti pungut PPh Pasal 22 sebesar Rp 2.700.000,00 merupakan kredit pajak bagi PT. Auto
Jaya yang dapat mengurangi PPh yang terutang.
PPH PASAL 22 DIBAYAR PEMBELI
PPh Pembelian Import
Atas pengadaan barang yang dilakukan oleh WP dari luar pabean atau dari luar negeri akan
dikenakan PPh Pasal 22 Import yang besarnya adalah:
Contoh : PT. Yasuka mendatangkan bahan baku obat dari Belanda senilai 1,100 USD dan
kurs pajak pada saat itu adalah sebesar Rp 10.000,00 per USD, sedangkan kurs bank
berkaitan dengan transaksi tersebut adalah Rp 9.500,00. Besarnya PPN Impor dan PPh
Pasal 22 Impor yang harus dibayar oleh PT. Yasuka adalah 2,5% x 1,100 x Rp 10.000.
Pengecualian Pemungutan PPh 22 Impor
1.
Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas
(SKB).
2.
Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC (Direktorat Jenderal Bea Cukai).
3.
SPBU Swastanisasi
0,3% dari penjualan
0,3% dari penjualan
0,3% dari penjualan
0,3% dari penjualan
0,3% dari penjualan
0,3% dari penjualan
SPBU Pertamina
0,25% dari penjualan
0,25% dari penjualan
0,25% dari penjualan
Pasal 23
PENGHASILAN MODAL, JASA, ATAU HADIAH DAN PENGHARGAAN
Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga dan
royalti;
c.
Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21;
2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan
penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa
yang
atas
imbalan jasa
lainnya adalah
diuraikan
dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141PMK.03/2015 dan efektif mulai berlaku pada
tanggal 24 Agustus 2015. Berikut ini adalah daftar jasa lainnya tersebut:
a. Penilai (appraisal);
b. Aktuaris;
c. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
d. Hukum;
e. Arsitektur;
f.
g. Perancang (design);
h. Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali
yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);
i.
Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas);
j.
Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan
minyak dan gas bumi (migas);
Penebangan hutan;
m. Pengolahan limbah;
n. Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
o. Perantara dan/atau keagenan;
p. Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek,
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia
(KPEI);
q. Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
r.
s.
Mixing film;
t.
Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet,
baliho dan folder;
u. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
v. Pembuatan dan/atau pengelolaan website;
w. Internet termasuk sambungannya;
x. Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
y. Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV
Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
z. Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
aa. Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.
ab. Maklon;
ac. Penyelidikan dan keamanan;
ad. Penyelenggara kegiatan atau event organizer;
ae. Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau
media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
af. Pembasmian hama;
ag. Kebersihan atau cleaning service;
ah. Sedot septic tank;
ai. Pemeliharaan kolam;
hasil
pertanian,
perkebunan,
perikanan,
peternakan
dan/atau
perhutanan;
ax. Dekorasi;
ay. Pencetakan/penerbitan;
az. Penerjemahan;
ba. Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang
Pajak Penghasilan;
bb. Pelayanan pelabuhan;
bc. Pengangkutan melalui jalur pipa;
bd. Pengelolaan penitipan anak;
be. Pelatihan dan/atau kursus;
bf. Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
bg. Sertifikasi;
bh. Survey;
bi. Tester;
bj. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah).
5. Bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP akan dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh
Pasal 23.
6. Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk
dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak
termasuk:
Dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah dikenakan
pajak yang bersifat final.
Pengecualian PPh 23
Pemotongan PPh 23 dikecualikan atas:
1. Penghasilan yang dibayar atau berulang kepada bank;
2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib
pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a.
b.
c.
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan
kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
d.
e.
Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.
Contoh:
PT. Danangjaya, sesuai dalam tahun 2009 membagi dividen sebesar Rp 100.000.000,00
kepada PT. BTI yang mempunyai saham sebesar 10%. Atas pembayaran dividen dipotong
PPh Pasal 23 sebesar 15% x Rp 100.000.000,00.
Dividen yang bukan Merupakan Objek PPh 23
Dividen yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri,
koperasi, BUMN, atau BUMD dari pernyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia bukan merupakan Penghasilan Kena Pajak, dengan syarat:
yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
Harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.
Contoh: PT. Danangjaya dalam tahun 2009 juga membagi dividen sebesar Rp
300.000.000,00 kepada PT. Qorina Indah Cemerlang yang mempunyai saham sebesar 30%
kepada PT.DIC. Pembayaran dividen tersebut.\ tidak dipotong PPh Pasal 23.
PPH 23 ATAS BUNGA
Bunga simpanan pada koperasi yang diterima anggota koperasi perseorangan dipotong
PPh 23 sebesar 10% dari bruto.
Contoh PPh 23 Atas Bunga Simpanan Koperasi:
Koperasi Tri Bakti dalam tahun 2009 membayar bunga kepada anggotanya sebesar Rp
300.000.000,00. Atas pembayaran bunga tersebut, dipotong PPh 23 sebesar Rp
300.000.000,00 x 10%
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang yang
dibayarkan selain pada perbankan dan koperasi kepada anggotanya orang pribadi dipotong
PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto.
Contoh PPh 23 Atas Bunga Selain dari Bank atau Koperasi
PT. Norontoko membayar bunga sebesar Rp 10.000.000,00 atas utangnya kepada PT. Setia
Usaha. Atas pembayarna bunga tersebut, PT. Norontoko memotong PPh 23 sebesar RP
10.000.000,00 x 15%
PPH 23 ATAS ROYALTI
Sebesar 15% dari penghasilan kotor. Beberapa macam royalti:
1) Penggunaan hak atas harta tak berwujud.
2) Penggunaan hak atas harta terwujud.
3) Penggunaan informasi yang belum dipatenkan.
Contoh:
Kresna menulis buku yang diterbitkan oleh Andi Offset. Atas penggunaan hak untuk
menerbitkan buku tersebut, Andi Offset membayar royalti sebesar 20% dari nilai buku yang
terjual. Pada tahun 2008, nilai buku yang terjual adalah sebesar Rp 100.000.000,00. PPh
Pasal 23 yang dipotong adalah: 15% x Rp 20.000.000,00.
PPH 23 ATAS SEWA
PPh Sewa Tanah dan/atau Bangunan
Besarnya adalah 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan
bersifat final.
Tata cara pemotongan dan pembayaran:
-
Atas penghasilan sewa yang diterima atau diperoleh dari penyewa atau ditunjuk
Contoh:
PT. Barutama pada awal 2008 telah menyewa tanah dan bangunan kepada PT. Gunung
Muria Agung untuk kantor. Biaya sewa tersebut adalah dengan DPP sebesar Rp
50.000.000,00 dan biaya keamanan dan perawatan Rp 10.000.000,00 untuk 2 tahun. PPh
23 yang dipotong adalah sebesar 10% x Rp 60.000.000,00
PPh Sewa Selain Tanah dan/atau Bangunan
PPh 23 sebesar 2% dari penghasilan bruto.
Contoh:
PT. Harjuna menyewa truk pada CV. Antar Jasa untuk mengangkut produknya dari pabrik ke
gudang setiap bulannya dengan DPP sebesar Rp 100.000.000,00 dan biaya perawatan Rp
50.000.000,00 dalam setahun. Atas sewa truk tersebut dipotong PPh Pasa 23 sebesar: 2% c
Rp 150.000.000,00.
PPH 23 ATAS JASA
JASA TEKNIK
Besarnya PPh 23 adalah 2% dari penghasilan bruto tanpa PPN. Jasa Teknik yang dipotong
PPh 23 adalah yang dilakukan oleh BUT atau perseorangan atas nama badan usaha atau
BUT.
Contoh: PT. Maju Jaya meminta jasa dari PT. Grafindo Teknika untuk pemasangan peralatan
pabrik dengan imbalan jasa sebesar Rp 217.800.000,00. Imbalan tersebut tidak termasuk
PPN, namn di dalamnya termasuk pengadaan barang sebesar Rp 148.000.000,00.
Besarnya PPh Pasal 23 yang dipotong oleh PT. BTI adalah: 2% x (Rp 217.800.000,00 Rp
148.000.000.000,00)
JASA MANAJEMEN
Besarnya adalah 2% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.
Contoh: Agus Hartono bekerja pada Biro Konsultan Wicaksono ditempatkan oleh
perusahaannya pada PT. BTI dalam rangka aplikasi sistem pemasaran yang baru. Setiap
bulannya, PT. BTI membayar jasa sebesar Rp 20.000.000,00 kepada Biro Konsultan
Wicaksono. PPh 23 yang dipotong PT. BTI adalah 2% x Rp 20.000.000,00.
JASA KONSULTASI
Besarnya adalah 2% dari jumlah bruto atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun. (Termasuk Jasa Profesi, Jasa Konsultan (kecuali bidnag konstruksi), Jasa
Akuntansi dan pembukuan, Jasa Penilai, serta Jasa Akuaris). Jasa kepada tenaga ahli
kepada OP dipotong PPh 23 dengan tarif sesuai dengan PPh pasal 17.
Contoh : Biro Konsultan DW merupakan kumpulan akuntan yang memberikan jasa
konsultan pada PT. BTI dalam rangka aplikasi system pemasaran yang baru. Setiap
bulannya DW diberi jasa sebesar Rp 30.000.000,00. PPh Pasal 23 yang dipotong oleh PT.
BTI adalah: 2% x Rp 8.000.000,00.
PPH 23 ATAS KEGIATAN
PPH 23 ATAS HADIAH
Besarnya adalah 15% dari jumlah bruto tidak bersifat final.
Contoh : PT. Danurwendo memenangkan hadiah lomba kebersihan pabrik dengan
memperoleh hadiah senilai Rp 100.000.000,00. Atas hadiah tersebut dikenakan PPh Pasal
23 sebesar 15% x Rp 100.000.000,00 tidak bersifat final.
Pasal 24
PAJAK PENGHASILAN LUAR NEGERI
Pajak Penghasilan Pasal 24 (PPh Pasal 24) pada dasarnya adalah sebuah peraturan
yang mengatur hak wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri,
untuk mengurangi nilai pajak terhutang yang dimiliki di Indonesia. Sehingga, jumlah pajak
yang harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang telah mereka
bayar di luar negeri, asalkan nilai kredit pajak di luar negeri tidak melebihi hutang pajak yang
ingin dibayar di Indonesia.
Sumber penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk memotong hutang pajak
Indonesia adalah sebagai berikut:
1. pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari
pengalihan saham dan surat berharga lainnya;
2. penghasilan
berupa bunga,
royalti,
dan
sewa yang
berkaitan
dengan
berhubungan
dengan jasa,
pekerjaan,
dan
kegiatan;
5. pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri;
6. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan
pertambangan;
7. keuntungan dari pengalihan aset tetap;
8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk usaha
tetap (BUT).
Jika nilai pajak di luar negeri yang telah Anda gunakan sebagai kredit pajak di
Indonesia, telah berkurang atau dikembalikan kepada Anda, sehingga nilai kredit Anda
kurang untuk menutup pajak terhutang Anda di sini, maka Anda harus membayar jumlah
terhutang tersebut ke kantor pelayanan pajak Indonesia.
PAJAK LUAR NEGERI YANG DAPAT DIKREDITKAN
Contoh : OT. Rodondo mempunyai cabang BUT di Malaysia, dalam tahun 2008
mendapatkan laba kena pajak sebesar Rp 1.000.000.000,00 dengan tarif tax income di
Malaysia sebesar 40%. Atas laba kena pajak tersebut seluruhnya dibagikan dividen kepada
PT. Rodondo pusat di Indonesia dan dividen tersebut dikenakan pajak sebesar 25%. PPh 24
yang diperhitungkan adalah:
Penghasilan Kena Pajak
Tax Income 40% x Rp 1.000.000.000,00
Penghasilan setelah pajak
PPh atas dividen 25% x Rp 600.000.000,00
Penghasilan diterima langsung
BATAS MAKSIMUM PAJAK LUAR NEGERI YANG DAPAT DIKREDITKAN
PPh 24= (Jumlah Pengasilan dai Luar Negeri / Penghasilan Kena Pajak) x Total PPh
Terutang
Jumlah kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah paling tinggi sama dengan jumlah pajak
yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah tertentu.
TATA CARA PENGKREDITAN PAJAK LAR NEGERI
WP menyampaikan permohonan kepada Direktur Jendral Pajak dnegan melampirkan:
1) Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri.
2) Fotokopi SPT Pajak yang disampaikan di luar negeri.
3) Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Contoh Kasus:
PT. Seventeen yang berlokasi di Jakarta, selama tahun 2009 memperoleh penghasilan baik
dari usahanya dari dalam negeri ataupun beberapa cabangnya yang berada di luar negeri.
Penghasilan Netto dari dalam negeri Rp 150.000.000.000 sedangkan usahanya di luar
negeri, seperti Jepang memperoleh penghasilan Rp 300.000.000 dan di Korea memperoleh
penghasilan Rp 400.000.000 sedangkan di China mengalami rugi Rp 100.000.000. Pajak
yang telah dibayar diluar negeri sebesar 25% untuk Jepang, 30% untuk Korea dan 20%
untuk China. Berapa PPh Pasal 24 yang diperkenankan untuk dikreditkan dengan pajak
penghasilan yang harus dibayar di dalam negeri?
Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dapat dikreditkan di dalam negeri.
1. Mencari Penghasilan Kena Pajak (PKP):
Penghasilan Neto Dalan Negeri
Rp 150.000.000
Penghasilan Neto Luar Negeri:
- Jepang
Rp 300.000.000
- Korea
Rp 400.000.000
Jumlah Penghasilan Neto Luar Negeri Rp 700.000.000 +
Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Rp 850.000.000
2. Mencari Pajak Penghasilan Terutang dari jumlah PKP Sebesar Rp 850.000.000:
28% x Rp 850.000.000 = Rp 238.000.000
Pasal 26
PAJAK PENGHASILAN UNTUK WP LUAR NEGERI
Bisnis yang melakukan pembayaran untuk wajib pajak asing (subjek Pajak luar
negeri) dalam setiap jenis bentuk (gaji, bunga, dividen, royalti, dll), diwajibkan untuk
memotong pajak penghasilan Pasal 26 atas transaksi ini. Tarif umum untuk jenis pajak
adalah 20%, dan itu mungkin berbeda di bawah perjanjian pajak, dikenal sebagai P3B
(Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda).
PPh 26 dipotong atas:
1.
2.
Penghasilan yang diterima atau yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri dari Indonesia.
Penghasilan usaha yang diperoleh melalui BUT di Indonesia.
Undang-undang pajak penghasilan Indonesia menganut dua sistem
2. Pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang
menjankan usaha atau melalui kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia
3. Pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak Luar Negeri lainnya.
Dasar hukum pemotongannya bersumber pada pasal 26:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1. dividen, bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang, royalty, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah
dan penghargaan, pensiun dan pembayaran berkala lainnya. Besarnya tarif pemotongan
adalah 20% dari jumlah bruto.
2. penghasilan dari penjualan harga di Indonesia (termasuk capital gain) kecuali yang diatur
dalam pasal 4 ayat (2) Undang Undang Pajak Penghasilan, dan premi asuransi dan
premi reasuransi dibayarkan kepada perusahaan asuransi luarnegeri. Besarnya tariff
pemotongan adalah 20% dari perkiraan penghasilan neto.
Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk premi asuransi dan premi reasuransi yang
dibayarkan pada perusahaan asuransi luar negeri adalah sebagai berikut :
a. Atas premi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik
secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% dari jumlah premi yang
dibayar.
b. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia
kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui
pialang, sebesar 10% dari jumlah premi yang dibayar.
c. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di luar negeri baik secara
langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% dari jumlah premi yang dibayar.
3. Sebesar 20% bersifat final dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu BUT, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia maka tidak
dipotong PPh Pasal 26.
Ketentuan Tarif Pajak BUT Pemajakan terhadap BUT menggunakan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-undang PPh. Besarnya
tarif pajak untuk tahun pajak 2009 sebesar 20% dan mulai tahun pajak 2010 menjadi
sebesar 25% kecuali BUT tertentu yang penghasilannya dihitung dengan menggunakan
Norma Penghitungan Khusus, maka tarifnya adalah tarif khusus yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
(Besarnya tarif pemotongan adalah 20% dari jumlah bruto penghasilan yang diterima)
1. Suatu badan Subjek Pajak Dalam Negeri membayarkan royalti sebesar Rp
100.000.000,00.- kepada Wajib Pajak Luar Negeri, maka Subjek Pajak Dalam Negeri
tersebut bekewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar: 20% x Rp
100.000.000,00.- = Rp 2.000.000,00.-
2. Sahona adalah pegawai asing yang berada di Indonesia kurang dari 12 bulan, status
kawin mempunyai dua orang anak. Ia memperoleh gaji pada bulan maret 2003 sebesar
US$ 2.500,00.- sebulan. Kurs yang berlaku adalah Rp 8.500,00 per US$1,00.
Penghitungan PPh Pasal 26:
Penghasilan bruto utntuk gaji sebulan $2.500,00.- x Rp 8.500,00.- = Rp. 21.250.000
Penetapan tarif: 20% x Rp 21.250.000,00.- = Rp 4.250.000,00.PPh Pasal 26 atas gaji US$ 2.500 = Rp 4.250.000,00.(Besarnya tarif pemotongan adalah 20% dari perkiraan penghasilan netto.)
1. Perusahaan penyewaan gedung kantor, PT Ananda, mengasuransikan bangunan
bertingkat ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi selama
tahun 2002 sebesar Rp 1.000.000.000,00.
Perkiraan Penghasilan netto 50% x Rp 1.000.000.000,00. = Rp. 500.000.000
Besar PPH Pasal 26 adalah 20% x Rp 500.000.000,00 = Rp 100.000.000,00.
2. PT Ananda mengasuransikan bangunan bertingkat ke perusahaan asuransi didalam
negeri yaitu PT Aman sebesar Rp 1.000.000.000. kemudian PT Aman mereasuransikan
sebagian polis tersebut kepada asuransi luar negeri dengan membayar premi sebesar Rp
300.000.000.
Perkiraan Penghasilan netto : 10% x Rp 300.000.000 = Rp 30.000.000
Besar PPH pasal 26 adalah 20% x Rp 30.000.000 = Rp 6.000.000
(Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak dari BUT di Indonesia
dipotong pajak sebesar 20%)
a. Penghasilan Kena Pajak Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dalam tahun 2009 sebesar Rp
17.500.000,00.Pajak penghasilan terutang: 25% x Rp 17.500.000,00.- = Rp 4.375.000
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak Rp 13.125.000,Pajak penghasilan pasal 26 yang terutang adalah
20% x Rp. 13.125.000,- = Rp. 2.625.000,Namun, apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp 13.125.000.- tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
b. Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap
Rp20.500.000.000,00
Rp 5.125.000.000,00 (-)
Rp15.375.000.000,00
Rp 3.075.000.000,00
20% x Rp15.375.000.000
Contoh Kasus:
1. Suatu lembaga di Indonesia menganugerahi penghargaan kepada Tuan Bernard Liem
dari Belanda atas jasa-jasanya dalam membantu usaha pelestarian alam di Indonesia.
Pemberian penghargaan tersebut mencakup pula pemberian uang sebanyak Rp 120 juta.
Ketika Tuan Bernard Liem berada di Indonesia selama 5 hari, ia diundang ke beberapa
perguruan tinggi untuk menjadi narasumber (pembicara) dalam seminar. Ada tiga
seminar dimana ia mempresentasikan tiga makalahnya, dan Tuan Bernard Liem
menerima honorarium sebesar Rp 10 juta per seminar ditambah fasilitas transportasi dan
akomodasi. Atas penghasilan yang diterima Tuan Bernard Liem tersebut, berapa pajak
penghasilan pasal 26 yang wajib dipungut oleh Lembaga atau perguruan tinggi?
Hadiah atas penghargaan dan honorarium merupakan obyek pajak PPh Pasal 26
sehingga dikenakan pajak bersifat final.Pemotong PPh Pasal 26 adalah penyelenggara
pemberi hadiah penghargaan dan perguruan tinggi penyelenggara seminar.
a. Dipungut oleh Lembaga
Penghasilan berupa penghargaan senilai Rp 120.000.000
PPh pasal 26 = 20% x Rp 120.000.000 = Rp 24.000.000
b. Dipungut oleh Perguruan Tinggi penyelenggara seminar:
Penghasilan berupa honorarium= 3 x Rp 10.000.000
= Rp 30.000.000
PPh pasal 26 = 20% x Rp 30.000.000 = Rp 6.000.000
c. Jumlah PPh pasal 26 = Rp 24.000.000 + Rp 6.000.000
= Rp 30.000.000
2. CV. Awet Mulyo bergerak di bidang teknologi informasi dan menjadi agen tunggal produk
komputer lenovo. Selama tahun 2011 CV. Awet Mulyo berhasil meraih keuntungan
bersih (penghasilan kena pajak) sebesar Rp 3,2 milyar. Berdasarkan kesepakatan
dengan pihak kantor pusat lenovo, penghasilan setelah pajak wajib disetorkan ke kantor
pusat sebesar 60% dan sisanya menjadi haknya pemilik dan pengelola CV. Awet Mulyo.
Berdasarkan ketentuan pajak, penghasilan (keuntungan) bersih yang diperoleh CV. Awet
Mulyo, sebagai wajib pajak dalam negeri, dikenakan pajak menurut UU PPh pasal 17.
Sedangkan bagian keuntungan setelah dikurangi pajak yang disetorkan ke kantor pusat
di luar negeri dikenakan PPh pasal 26. Adapun kalkulasi dilakukan sebagai berikut:
CV. Awet Mulyo:
Keuntungan bersih (penghasilan kena pajak)
Rp 3.200.000.000
Rp
Rp 2.400.000.000
800.000.000 _
Sebagian keuntungan setelah pajak ini disetorkan ke Kantor pusat di luar negeri, yaitu
60% dari keuntungan setelah pajak. Bagian keuntungan ini diperlakukan sebagai
penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri sehingga atas
penghasilan tersebut dikenakan pajak 20%.Dalam hal ini, CV.Awet Mulyo wajib
memungut, menyetorkan dan melaporkan atas pemungutan pajak tersebut.
Kantor Pusat di Luar Negeri:
Penghasilan yang diterima = 60% x Rp 2.400.000.000
Rp 1.440.000.000
Rp 288.000.000 _
Rp 1.152.000.000
3. Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consult. Mike bertempat tinggal
kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri, dan mempunyai seorang anak. Dalam bulan
April 2009, Mike memperoleh gaji US$ 5,000 sebulan. Kurs yang berlaku adalah Rp.
10.500,00 per US$ 1.
Penghitungan PPh pasal 26 :
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan :
5,000 x Rp. 10.500,00 = Rp. 52.500.000,00
Penerapan tarif :
20% x Rp. 52.500.000,00 = Rp. 10.500.000,00
PPh pasal 26 atas gaji Mike bulan April 2009 adalah Rp. 10.500.000,00.
Peredaran
bruto
(omzet)
merupakan
jumlah
peredaran
bruto
semua
1. Pekerjaan dari jassa sehubungan dengan pekerjaan bebas, seperti misalnya: dokter,
advokat/pengacara, akuntan, notaris, PPAT, arsitek, pemain musik, pembawa acara, dan
sebagaimana diuraikan dalam penjelasan PP tersebut,
2. Penghasilan dari usaha yang dikenai PPh Final (Pasal 4 ayat (2)), seperti misalnya sewa
kamar kos, sewa rumah, jasa kontruksi (perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan),
PPh usaha migas dan lain sebagainya yang diatur berdasarkan Peraturan Pmerintah
tersendiri.
3. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.
Yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai PP No. 46 Tahun 2013 adalah:
1. Orang Pribadi, yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omzet)
yang tidak melebihi Rp.4.800.000.000,- dalam 1 tahun pajak.
2. Badan, tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima penghasilan dari
usaha dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp.4.800.000.000,- dalam 1
tahun pajak.
Yang tidak dikenai Pajak Penghasilan sesuai PP No. 46 Tahun 2013 adalah:
1. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang
menggunakan sarana yang dapat dibongkar pasang dan menggunakan sebagaian atau
seluruh tempat kepentingan umum. Misalnya pedagang keliling, pedagang asongan,
warung tenda di area kaki lima dan sejenisnya.
2. Badan yang belum beroperasi secara komersial atau yang dalam jangka waktu 1 tahun
setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto (omzet) melebihi
Rp.4.800.000.000,Pajak Penghasilan yang diatur oleh PP No. 46 Tahun 2013 termasuk dalam:
PPh Pasal 4 Ayat (2), bersifat FINAL
Setoran bulanan dimaksud merupakan PPh Pasal 4 ayat (2), bukan PPh pasal 25. Jika
penghasilan semata-mata dikenai PPh final, tidak wajib PPh Pasal 25.
Penyetoran dan Pelaporan PPh sesuai ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 adalah paling
lambat tanggal 15 bulan berikutnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Jika
SSP sudah validasi NTPN, wajib pajak tidak perlu melaporkan SPT masa PPh Pasal 4 ayat
(2) karena dianggap telah menyampaikan SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) sesuai tanggal
validasi NTPN. Penyetoran dimaksud dengan mencantumkan kode pada SSP sebagai
berikut:
Kode akun Pajak
: 411128
Penghasilan yang dibayar berdasarkan PP No. 46 Tahun 2013 dilaporkan dalam SPT
Tahunan PPh pada kelompok penghasilan yang dikenai pajak final dan/atau bersifat final.
Contoh penentuan peredaran bruto:
Rajesh merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat kegiatan usaha di
beberapa pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan
diketahui rincian peredaran usaha di tahun 2013 adalah sebagai berikut:
a. Pasar A sebesar Rp 80.000.000,00;
b. Pasar B sebesar Rp 250.000.000,00;
c. Pasar C sebesar Rp 400.000.000,00.
Dengan
demikian
dasar pengenaan
peredaran
Pajak
bruto
usaha
Penghasilan
perdagangan
yang
bersifat
tekstil
final
Rajesh
adalah
sebagai
sebesar
bruto
CV Andik
pada
Tahun
Pajak
2013
tidak
melebihi
Rp
peredaran
bruto
disetahunkan
di
tahun
2013
tidak
melebihi
Rp4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang
diperoleh di tahun 2014 dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini.
Contoh:
PT Daya Tangkap terdaftar 3 (tiga) bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini
pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Jumlah peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan tersebut adalah Rp150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah).
Peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan yang disetahunkan adalah: Rp150.000.000,00 x 12/3
= Rp600.000.000,00
Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 (tiga) bulan tersebut tidak melebihi Rp
4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang diperoleh
mulai pada bulan berlakunya Peraturan Pemerintah ini sampai dengan akhir tahun pajak
bersangkutan, dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini
Contoh:
Gatot Kaca terdaftar sebagai Wajib Pajak baru pada bulan November 2014. Pada bulan
November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah). Penghasilan bruto bulan November 2014 disetahunkan adalah: 12/1 x
Rp15.000.000,00 = Rp180.000.000,00
Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar sebagai Wajib
Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah), maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.
LAMPIRAN