Anda di halaman 1dari 56

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 36 TAHUN 2008


TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

Pasal 4
(2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura;,
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00
Di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 250.000.000,00
Di atas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000,00
Di atas Rp 500.000.000,00
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah

Tarif Pajak
5%
15%
25%
30%
sebesar 28% (dua

puluh delapan persen).


(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima
persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.

(2b) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit
40%

(empat

puluh

persen)

dari

jumlah

keseluruhan

saham

yang

disetor

diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya


dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(2c) Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen)
dan bersifat final.
(2d) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang
terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga
ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap bulan
yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak
tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).
Pasal 21
(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerjaa yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai
atau bukan pegawai;
b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran
lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas; dan

e. penyelenggara

kegiatan

yang melakukan pembayaran

sehubungan

dengan

pelaksanaan suatu kegiatan.


(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kantor perwakilan negara asing
dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan
adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya
pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun,
dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang
dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan
yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain
dengan Peraturan Pemerintah.
(5a) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib
Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh
persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan
Nomor Pokok Wajib Pajak.
(6) Dihapus.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 22
(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan:
a. bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran
atas penyerahan barang;
b. badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan
c. wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan
barang yang tergolong sangat mewah.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(3) Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diterapkan terhadap,
Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus

persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan
Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 23
(1) Atas penghasilan, tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam
negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;.
2.
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3.
royalti; dan
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. dihapus;
c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
(1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harts, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
(2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif
pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan
hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang
d.
e.
f.
g.

diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
dihapus;
bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
dihapus; dan

h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan
yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 24
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang
terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pads ayat (1) adalah sebesar pajak
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi
penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan
ditentukan sebagai berikut
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan
saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham
atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta
gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau
sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah
negara tempat harta tersebut terletak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut
bertempat kedudukan atau berada;
e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
f.

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;


penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan

adalah negara tempat lokasi penambangan berada;


g. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada;
dan
h. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha
tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.
(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian
dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menunit Undang-undang ini
harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian
itu dilakukan.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri
selain bentuk usaha tetap, di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen)
dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
c.
d.
e.
f.
g.
h.

pengembalian utang;
royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
hadiah dan penghargaan;
pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/ atau
keuntungan karena pembebasan utang.

(1a) Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib
Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut
(beneficial owner).
(2) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur
dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada
perusahaan asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto.
(2a) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat
(4) bersifat final, kecuali:
a. pemotongan atas perighasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
b dan huruf c; dan

b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha tetap.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
(1) Undang-Undang

Pajak

Penghasilan

adalah Undang-Undang

Nomor

Tahun

1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang

Nomor

36

Tahun 2008 tentang

Perubahan

Keempat

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.


(2) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha
tetap; dan
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun
Pajak.
(3) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa
yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang
menetap maupun tidak menetap; dan

b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang


tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
(4) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi
secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pasal 3
(1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen).
(2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan
pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir
sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
(3) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi
jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu
Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah
ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
(4) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak

telah

melebihi

jumlah

Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun
Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun
Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan UndangUndang Pajak Penghasilan.
Pasal 4
(1)

Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan


yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah

(2)

jumlah peredaran bruto setiap bulan.


Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Pasal 5
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan
dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 6

Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 7
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang
terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan
pelaksanaannya.
Pasal 8
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi
kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai
bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan
yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak
dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 10
Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai
berikut:
1.

didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum


Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan,
dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya

Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas)
2.

bulan;
didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak
terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah
ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak
yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini

3.

di bulan sebelum Peraturan Permerintah ini berlaku;


didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada

bulan

pertama

diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib


Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 11
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.

Pasal 4 Ayat 2
PAJAK PENGHASILAN FINAL

Pengertian mengenai PPh Pasal 4 (2):


PPh final memiliki arti bahwa jenis pajak ini harus diselesaikan atau dilunasi dalam masa
pajak yang sama seperti saat penghasilan diterima, dan tidak perlu dilaporkan lagi pada
akhir tahun pajak.
Ketika pajak final dikenakan atas transaksi antara perusahaan dan seorang individu, dimana
perusahaan bertindak sebagai penerima penghasilan tersebut, maka perusahaan wajib
menyelesaikan pajak ini saja.

Objek Pajak PPh Pasal 4 (2):


Seperti yang terdapat pada UU No 36 Tahun 2008, objek pajak PPh Pasal 4 (2) adalah
penghasilan atau pendapatan yang berupa :

bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan, bunga dari obligasi dan obligasi
negara, dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
masing-masing;

hadiah berupa lotere / undian;

transaksi saham dan surat berha rga lainnya, transaksi derivatif perdagangan di
bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan
yang diterima oleh perusahaan modal usaha;

transaksi atas pengalihan aset dalam bentuk tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan sewa atas tanah dan / atau bangunan; dan

pendapatan tertentu lainnya, sebagaimana diatur dalam atau sesuai dengan


Peraturan Pemerintah.

Tarif PPh 4 (2):

Bunga deposito dan jenis-jenis tabungan, Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan diskon
jasa giro, tarif sebesar 20% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
131 tahun 2000 dan turunannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.
04/2001.

Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota masing-masing,


dengan tarif sebesar 10% sebagaimana diatur dalam Pasal 17 (7) dan turunannya
Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2009.

Bunga dari kewajiban, dengan berbagai tarif dari 0% sampai 20%. Penjelasan lebih
lanjut dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2009.

Dividen yang diterima oleh Indonesia Wajib Pajak orang pribadi, tarif sebesar
10% sebagaimana diatur dalam Pasal 17 (2c).

Hadiah lotere / undian, tarif sebesar 25% sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 132 tahun 2000.

Transaksi derivatif dalam bentuk berjangka panjang yang diperdagangkan di bursa,


dengan tarif sebesar 2,5% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
17 tahun 2009.

Transaksi penjualan saham pendiri, dan saham non-founder (bukan pendiri), tarif
sebesar 0,5% dan 0,1% masing-masing, sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 14 tahun 1997, yang derivatif-nya berupa turunan Menteri
Keuangan No 282/KMK.04/1997, yang SE-15/PJ.42/1997 dan SE-06/PJ.4/1997.

Jasa konstruksi, dengan berbagai tarif dari 2% sampai 6%. Penjelasan lebih lanjut
dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2008 dan turunannya
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 2009.

Sewa atas tanah dan / atau bangunan, dengan tarif 10% sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1996 dan turunannya Peraturan Pemerintah
Nomor 5 tahun 2002.

Pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan (termasuk usaha real estate), tarif
sebesar 5% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008.

Transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan yang diterima
oleh modal usaha, dengan tarif 0,1% sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 4 tahun 1995.

PENGHASILAN BUNGA TABUNGAN (DEPOSITO)

Contoh : Alice Kein memiliki tabungan di Bank ABC dengan saldo rata-rata bulan Oktober
2015 adalah Rp 450.000.000,00. Bunga yang diberikan oleh Bank ABC adalah 9% per
tahun, maka bunga yang diterima oleh Alice Kein atas tabungannya di Bank ABC pada bulan
Oktober 2015 adalah sebesar Rp 3.375.000,00.
Bunga tabungan yang diterima oleh Alice Kein dari Bank BCA termasuk penghasilan yang
dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh Bank BCA sebagai pihak yang membayarkan
penghasilan.
Besarnya pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:
20% x Rp3.375.000,00 = Rp675.000,00.

PENGHASILAN BUNGA SIMPANAN


Contoh : Jamal (pedagang) menabung di Koperasi CO 25% dari laba bersih bulanannya.
Koperasi CO memberikan bunga 8% per tahun pada Jamal. Laba bersih rata-rata Jamal
adalah Rp 150.000.000,00 per bulan. Besarnya PPh final yang harus dipotong Koperasi CO
di bulan pertama adalah:
Bunga jualan Jamal = 25% x 150.000.000,00 x (8% / 12) = Rp 250.000,00
PPh final = 10% x Rp 250.000,00 = Rp 25.000,00

PENGHASILAN DARI DIVIDEN YANG DITERIMA


Contoh : PT. ABC pada tanggal 20 Agustus 2015 mengumumkan pembagian dividen dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pada tanggal 23 Oktober 2015 perusahaan
membagikan dividen tunai kepada para pemegang sahamnya, yang mana dividen tersebut
berasal dari cadangan laba yang ditahan. Total jumlah dividen yang dibagikan adalah
sebesar Rp.1.000.000.000,00. Susunan pemegang saham beserta prosentase kepemilikan
sahamnya adalah sebagai berikut :

WP yang penghasilan dividennya dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final sebesar
10% dari bruto adalah WP OP dalam negeri . Maka, dari contoh kasus diatas, WP yang
penghasilan dividennya dipotong adalah Tuan Badrul Apin.
Penghasilan dividen yang diterima Tuan Badrul Apin
Rp 1.000.000.000,00 x 5%

= Rp 50.000.000,00

PPh 4 (2)
Rp 50.000.000,00 x 10%

= Rp 5.000.000,00

PENGHASILAN BERUPA HADIAH UNDIAN


Contoh : Dadang mendapatkan hadiah undian berupa sebuah mobil BMW seharga Rp
500.000.000,00 dari BCA. Yang merupakan objek pajak yang terutang PPh sebesar 25% x
Rp 500.000.000,00 = Rp 125.000.000,00.

PENGHASILAN ATAS SEWA TANAH DAN / ATAU BANGUNAN


Contoh : Organisasi XYZ menyewa sebuah ruko dari Tuan AA untuk dijadikan kantor
dengan nilai sewa sebesar Rp 60.000.000.
PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh XYZ adalah:10% x Rp 60.000.000 = Rp 6.000.000

PENGHASILAN ATAS PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN / ATAU BANGUNAN

Contoh : PT. Barutama menjual tanah sebagai aktivanya sebesar Rp 50.000.000,00 maka
akan terhutang PPh pasal 25 sebesar 5% x Rp 50.000.000,00 yang bersifat final.

PENGHASILAN DARI TRANSAKSI SAHAM


Contoh

PT. Baruna Taqwa

Idaman

mendapatkan

bunga

atas

obligasi

yang

diperdagangkan di bursa efek senilai Rp 100.000.000,00 dan membeli obligasi baru seharga
Rp 55.000.000,00 dengan nilai nominal Rp 50.000.000,00. Atas transaksi tersebut,
penghasilan yang timbul bagi PT. BTI adalah bunga sebesar Rp 100.000.000,00.
Sedangkan bagi penjual obligasi berupa premium sebesar Rp 5.000.000,00.

PENGHASILAN DARI TRANSAKSI PENGHASILAN HARTA BERUPA TANAH DAN/ATAU


BANGUNAN
Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dikenakan PPh Pasal 4 (2)
adalah pada:
1) WP OP yang penghasilannya di atas PTKP.
2) WP OP yang penghasilannya di bawah PTKP dan harga tanah dan bangunannya di
atas Rp 60.000.000,00.
3) Yayasan atau organisasi sejenis.
4) WP Badan yang usaha pokoknya bukan pengalihan hak tanah dan bangunan.
Contoh:
1) Iqbal yang mmepunyai penghasilan di bawah PTKP menjual tanah dan bangunan
miliknya senilai Rp 70.000.000,00; atas penjualan tersebut, terdapat objek PPh Pasal
4 (2).

Pasal 21
PAJAK PENGHASILAN

Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, Pajak


Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi subyek pajak dalam negeri.

Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21


Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 terbaru adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan kena pajak yang berlaku bagi:

Pegawai tetap.

Penerima pensiun berkala.

Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah
kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, yang menerima


imbalan bersifat berkesinambungan.

2. Jumlah penghasilan yang melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) sehari, yang
berlaku bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima upah harian,
upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif
yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta
rupiah).
3. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi bukan pegawai
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015
Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan.
4. Jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima
penghasilan di atas.
5. Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21 adalah jumlah penghasilan bruto.

Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21


Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan peraturan Direktur
Jenderal Pajak PEr-32/PJ/2015 Pasal 3 adalah orang pribadi yang merupakan:
a. Pegawai;
b. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
c. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pemberian jasa, meliputi:

Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris;

Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis dan seniman lainnya

Olahragawan;

Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;

Pengarang, peneliti, dan penerjemah;

Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi
jasa kepada suatu kepanitiaan;

Agen iklan;

Pengawas atau pengelola proyek;

Pembawa pesanan atau menemukan langganan atau yang menjadi perantara;

Petugas penjaja barang dagangan;

Petugas dinas luar asuransi; dan/atau

Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya.

e. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas tidak merangkap sebagai Pegawai
Tetap pada perusahaan yang sama;
f.

Mantan pegawai; dan/atau

g. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan


keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
1. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
2. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
3. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu;
4. Peserta pendidikan dan pelatihan; atau
5. Peserta kegiatan lainnya.

Penghasilan Kena Pajak (PKP)


Penghasilan Kena Pajak (PKP) Penghasilan Pasal 21 menurut Peraturan Direktorat
Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:

Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dikenakan PKP sebesar penghasilan
neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Pegawai

tidak

tetap dikenakan

PKP

sebesar penghasilan

bruto

dikurangi

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Bagi bukan pegawai yang disebutkan dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No.
PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c, PKP yang dikenakan sebesar50% (lima puluh
persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.

PKP Pegawai Tetap


Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah
seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:

Biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya


Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp 6.000.000,00 (enam juta
rupiah) setahun;

Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun atau
jaminan hari tua yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

PKP Penerima Pensiun Berkala


Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal 21
adalah:

Seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun.

Sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto.

Setinggi-tingginya Rp

200.000,00

(dua

ratus

ribu

rupiah)

sebulan atau

Rp

2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun.

PKP Bukan Pegawai


Bila bukan pegawai seperti yang dimaksud dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No.
PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c namun ia memberikan jasa kepada pemotong PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26, maka:

Bila pemotong PPh Pasal 21 mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya, maka
besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah
dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut,
kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan dengan bagian gaji
atau upah pegawai tersebut maka besar penghasilan bruto adalah sebesar jumlah
yang dibayarkan;

Bila ia hanya melakukan penyerahan material atau barang, maka besarnya jumlah
penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material
atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa
dan material atau barang.

PKP Jasa Dokter


Untuk jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di
rumah sakit dan/atau klinik, maka jumlahnya adalah sebesar jasa dokter yang dibayar oleh
pasien sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Besarnya PTKP per tahun untuk perhitungan PPh Pasal 21 berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan No. 122/PMK010/2015 dan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:

Rp 36.000.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak
orang pribadi dan istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.

Rp 3.000.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak
yang kawin;

Rp 3.000.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta
anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
untuk setiap keluarga.

Waktu Pemberlakuan PTKP Baru


Berdasarkan Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak, meskipun diundangkan pada tanggal 29
Juni 2015, Peraturan Menteri Keuangan tersebut mulai berlaku sejak tahun pajak 2015,
sehingga menimbulkan konsekuensi sebagai berikut:

1. Perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk Masa Pajak Juli s.d Desember 2015
dihitung dengan menggunakan PTKP baru.
2. PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari s.d Juni 2015 yang telah dihitung, disetor
dan dilaporkan dengan menggunakan PTKP lama dilakukan pembetulan dengan
menggunakan PTKP baru.
Kelebihan setor akibat pembetulan perhitungan PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari s.d Juni
2015 dikompensasikan terhadap PPh Pasal 21 Masa Pajak Juli s.d Desember 2015.
Sementara itu, perhitungan besarnya PTKP pegawai seperti yang diatur dalam Peraturan
DJP PER-32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:

Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.

Kecuali, untuk pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian
tahun kalender, ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun
kalender yang bersangkutan.

PTKP Per Bulan


PTKP per bulan untuk perhitungan PPh Pasal 21 terbaru sebagaimana yang dimaksud
Pasal 10 ayat (2) huruf c adalah sebagai berikut:

Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) untuk diri wajib pajak orang pribadi;

Rp 250.000,00 (dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk wajib pajak yang kawin, dan;

Rp 250.000,00 (dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga
sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus atau anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (orang) untuk setiap keluarga.

PTKP Bagi Karyawati dan Karyawati Kawin


Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:

Bagi karyawati kawin, besarnya PTKP adalah sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;

Bagi karyawati tidak kawin, besarnya PTKP adalah sebesar PTKP untuk dirinya
sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

Bagi karyawati kawin yang suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan
dan menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah (kecamatan), maka
besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status
kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

PTKP Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas


Bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang penghasilannya tidak dibayar secara
bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah), maka berlaku ketentuan berikut ini:

Tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, jika penghasilan sehari belum melebihi
Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah);

Dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, jika penghasilan sehari sebesar atau melebihi
Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) tersebut merupakan jumlah yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto;

Bila pegawai tidak tetap memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan
kalender melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) maka jumlah tersebut dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto;

Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau
upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.

PTKP sebenarnya adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.

PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah
sebesar PTKP per tahun Rp 36.000.000,00 dibagi 360 hari.

Bila pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas tersebut mengikuti program jaminan
atau tunjangan hari tua, maka iuran yang dibayar sendiri dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.

Berdasarkan Peraturan

Menteri

Keuangan

RI

Nomor

152/

PMK.010/2015 tentang

Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan
Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak
Penghasilan:
1. Penghasilan yang kurang dari 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per hari tidak dikenakan
pemotongan pajak penghasilan.

2. Ketentuan penghasilan tidak kena pajak itu tidak berlaku dalam hal:
2. Penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
sebulan; atau
3. Penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan
3. Ketentuan pada pasal 1 dan 2 tersebut tidak berlaku atas:
1. Penghasilan berupa honorarium
2. Komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.

Tarif Pemotongan PPh Pasal 21


Tarif pemotongan PPh Pasal 21 dijelaskan pada Pasal 17 ayat (1) huruf a. Tarif berikut
berlaku pada Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP):

WP dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50.000.000,00 adalah 5%

WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp


250.000.000,00 adalah 15%

WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp


500.000.000,00 adalah 25%

WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500.000.000,00 adalah 30%

Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif 20% lebih tinggi dari
mereka yang memiliki NPWP.

Tarif PPh 21 Bagi Penerima Penghasilan yang Tidak Memiliki NPWP


1. Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP, dikenakan pemotongan PPh
Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib
pajak yang memiliki NPWP.
2. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(1) adalah sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam
hal yang bersangkutan memiliki NPWP.

3. Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku
untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
4. Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima
penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama
sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, PPh Pasal 21
yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen)
lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulanbulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.

Warga yang dikenakan PPh


o

Yang memiliki penghasian dan menurut ketentuan perpajakan di Indonesia memenuhi

o
o

persyaratan pembayaran pajak,maka mereka dikenakan hukum pajak di Indonesia


Untuk penduduk asli Indonesia pajak PPh pasal 21
Untuk penduduk asing dikenakan pajak pph pasal 26

Penghasilan yang dipotong PPH 21


Adapun rincian penghasilan jenis ini yang sebagaimana dijelaskan pasal 5 ayat 1 peraturan
dirjen pajak,PER-31/PJ/2009 :
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap,baik berupa penghasilan yang
bersifat teratur maupun tidak teratur
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang
pensiun atau sejenisnya
3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan

dengan

pensiun

yang

diterima

secara

sekaligus

berupa

uang

pesangon.uang manfaat pensiun,tunjangan hari tua/jaminan hari tua,dan pembayaran


lain sejenisnya
4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian,upah
mingguan,upah satuan,upah borongan,atau upah yang dibayarkan secara bulanan
5. Imbalan kepada bukan pegawai antara lain berupa honorarium,komisi,fee,dan imbalan
sejenisnya dengan nama dan bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan,jasa,dan kegiatan yang dilakukan
6. Imbalan kepada peserta kegiatan antara lain berupa uang saku,uang representasi,uang
rapat,honorarium,hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun,dan
imbalan sejenisnya dengan nama apapun

Penghasilan yang bukan merupakan objek pemotongan PPh pasal 21 ,ditegaskan dalam
pasal 8 peraturan dirjen pajak ,PER-31/PJ/2009 yang menyatakan bahwa tidak termasuk
penghasilan yg tidak dipotong PPh 21 :
1.
Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan asuransi kesehatan,asuransi kecelakaan,asuransi jiwa,asuransi dwi
2.

guna dan asuransi bea siswa.


Penerimaan dalam bentuk natural atau penerimaan dalam bentuk apapun
yang diberikan oleh wajib pajak atau pemerintah,kecuali penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5 PER-31/PJ/2009,pajak penghasilan yang ditanggung oleh
pemberi kerja,termasuk yang ditanggung oleh pemerintah,juga termasuk dalam

3.

pengertian penerimaan dalam bentuk kenikmatan


Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun dan pendirinya telah
disahkan oleh menteri keuangan,iuran tunjangan hari tua,kepada badan penyelenggara

4.

tunjangan hari tua


Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga

5.

amil Zakat yang dibentuk dan disahkan pemerintah


Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 3 huruf l UU pajak
penghasilan.

Pihak sebagai Pemotong PPh pasal 21


1. Pemberi kerja yang membayar gaji,upah,honorarium,tunjangan dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan
pegawai
2. Bendahara

pemerintah

yang

membayar

gaji,upah,honorarium,tunjangan

dan

pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan,jasa,atau kegiatan


3. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain
dengan nama apapun dalam rangka pensiun
4. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa,termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
5. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan
suatu kegiatan.s

Contoh:
Perhitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Terhadap Penghasilan Pegawai Tetap dengan
Gaji Bulanan
Ika adalah karyawati pada perusahaan PT. Sinar Unggul dengan status menikah dan
mempunyai tiga anak. Suami Ika merupakan pegawai negeri sipil di Dinas Kesehatan
Kabupaten Tangerang. Ika menerima gaji Rp 3.000.000,- per bulan. PT. Sinar Unggul

mengikuti program pensiun dan BPJS Kesehatan. Perusahaan membayar iuran pensiun
kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, sebesar Rp
40.000,- per bulan.
Ika juga membayar iuran pensiun sebesar Rp 30.000,- sebulan, di samping itu perusahaan
membayarkan iuran Jaminan Hari Tua karyawannya setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji,
sedangkan Ika membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 2,00% dari gaji.
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan
jumlah masing-masing sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji.
Pada bulan Juli 2016 di samping menerima pembayaran gaji, Ika juga menerima uang
lembur (overtime) sebesar Rp 2.000.000,00. Perhitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2016
adalah sebagai berikut:
Gaji
(i) Tunjangan Lainnya: lembur (overtime)
(ii) Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) 1.00%
Premi Jaminan Kematian 0.30%
Penghasilan bruto
Pengurangan

3.000.000,00
2.000.000,00
30.000,00
9.000,00
5.039.000,00
(iii) 251.950,0

1. Biaya Jabatan: 5% x 5.039.000,00 = 251.950,00


2. Iuran Jaminan Hari Tua (JHT) 2% dari gaji pokok
3. Iuran Pensiun

0
60.000,00
30.000,00
-341.950,00
4.697.050,00

Penghasilan neto sebulan

56.364.600,0
(v) Penghasilan neto setahun 12 x 4.697.050,00
(vi) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP): (TK/0)
untuk WP sendiri

0
36.000.000,00
36.000.000,0
0
20.364.600,0

Penghasilan Kena Pajak setahun


(vii) Pembulatan
PPh Terutang (lihat Tarif PPh Pasal 21)
5% x 50.000.000,00

0
20.364.600,0
0
1.018.200,00

PPh Pasal 21 bulan Juli = 1.018.200,00 : 12

84.850,00*

*Berlaku bagi WP dengan NPWP, tanpa NPWP maka perlu dikalikan 120% : Rp 84.850,00 x
120% = Rp 101.820,00
Penjelasan:
Diasumsikan gaji pokok sebesar Rp 3.000.000,00.
(i) Tunjangan lainnya seperti tunjangan transportasi, uang lembur, akomodasi, komunikasi, dan
tunjangan tidak tetap lainnya. Umumnya tunjangan tersebut dapat diberikan oleh
perusahaan atau tidak, tergantung dari kebijakan perusahaan itu sendiri.
(ii) Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) berkisar antara 0.24% - 1.74% sesuai kelompok
jenis usaha seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007.
(iii)Biaya Jabatan sebesar 5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,00
sebulan, atau Rp 6.000.000,00 setahun
(iv)

Iuran Pensiun ditentukan oleh lembaga keuangan yang pendiriannya disahkan dalam
Peraturan Menteri Keuangan dan ditunjuk oleh perusahaan.

(v) Jika pegawai merupakan pegawai lama (lebih dari satu tahun) atau pegawai baru yang
mulai bekerja pada bulan Januari tahun itu, maka penghasilan neto dikalikan 12 untuk
memperoleh nilai penghasilan neto setahun, namun jika pegawai merupakan pegawai
baru yang mulai bekerja pada bulan Mei misalkan, maka penghasilan neto setahun
dikalikan 8 (diperoleh dari penghitungan bulan dalam setahun: Mei-Desember = 8
bulan). Pada contoh ini diasumsikan pegawai merupakan pegawai baru yang mulai
bekerja pada bulan Januari.
(vi)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berfungsi untuk mengurangi penghasilan bruto,
agar diperoleh nilai Penghasilan Kena Pajak yang akan dihitung sebagai objek pajak
penghasilan

milik

wajib

pajak.

Sesuai

Peraturan

Menteri

Keuangan

Nomor

122/PMK.010/2015, terhitung 1 Januari 2015, PTKP yang berlaku adalah sebagai


berikut:

Untuk Wajib Pajak orang pribadi Rp 36.000.000,00 per tahun.

Tambahan Wajib Pajak kawin Rp 3.000.000,00 per tahun.

Tambahan untuk penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami Rp


3.000.000,00 per tahun.

Tambahan untuk anggota keluarga yang menjadi tanggungan (max 3 orang) @ Rp


3.000.000 per tahun.
Besarnya PTKP jika dilihat dari status perkawinan WP (TK = tidak kawin ; K = kawin) :

TK/0 = Rp 36.000.000 per tahun

K/0 = Rp 39.000.000 per tahun

K/1 = Rp 42.000.000 per tahun

K/2 = Rp 45.000.000 per tahun

K/3 = Rp 48.000.000 per tahun


Contoh:
WP sudah menikah dan memiliki 3 tanggungan anak, namun karena suami WP
menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP WP Ika adalah PTKP untuk
dirinya sendiri (TK/0).

(vii)

Penghasilan Kena Pajak harus dibulatkan ke bawah hingga nominal ribuan penuh, atau
3 angka di belakang (ratusan rupiah) adalah 0. Contoh: 56.901.200,00 menjadi
56.901.000,00.

Perhitungan PPh Pasal 21 Terhadap Pegawai Tetap Yang Menerima Tunjangan Pajak
Bila sebuah perusahaan memberikan tunjangan pajak kepada pegawainya, maka
tunjangan pajak

tersebut merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan dan

ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya.


Contoh perhitungan PPh Pasal 21:
Edward bekerja pada PT. Kartika Kawashima yang berstatus belum menikah dan tidak
mempunyai tanggungan dengan memperoleh gaji sebesar Rp 4.500.000,00 sebulan.
Tunjangan pajak yang diberikan kepada Edward adalah sebesar Rp 25.000,00. Iuran
pensiun yang dibayar oleh Edward adalah sebesar Rp 25.000,00 sebulan.
Perhitungan PPh Pasal 21 bulan September 2015 bagi Edward yang tidak menerima
penghasilan lain dari PT. Kartika Kawashima selain gaji adalah:
Gaji
Tunjangan Pajak
Penghasilan bruto sebulan
Pengurangan

4.500.000,00
25.000,00
4.525.000,00

1. Biaya Jabatan: 5% x 4.525.000,00 = 226.250,00


2. Iuran Pensiun

226.250,00
25.000,00
(251.250,00)
4.273.750,00
51.285.000,00

Penghasilan neto sebulan


Penghasilan neto setahun 12 x 4.273.750,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP): (TK/0) untuk
WP sendiri
Penghasilan Kena Pajak setahun
PPh Terutang (lihat Tarif PPh Pasal 21)
5% x 15.285.000,00

PPh Pasal 21 bulan September = 764.250,00 : 12

36.000.000,00
(36.000.000,00)
15.285.000,00
764.250,00

63.688,00

*Berlaku bagi WP dengan NPWP, tanpa NPWP maka perlu dikalikan 120% : Rp 63.688,00 x
120% = Rp 76.425,00
Perhitungan PPh Pasal 21 Terhadap Bukan Pegawai Yang Menerima Penghasilan Tidak
Bersifat Berkesinambungan
Nasrun adalah konsultan hukum yang melakukan jasa hukum kepada PT. Cahaya Kurnia
dengan fee sebesar Rp 5.000.000,00.
Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:
5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 125.000,00
Bila Nasrun tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi
sebesar:
120% x 5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 150.000,00
Penjelasan:
Karena Nasrun bukan pegawai tetap di PT. Cahaya Kurnia, maka PKP yang dikenakan
sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto berdasarkan peraturan PER-32/PJ/2015 Pasal 3
huruf c sedangkan tarif PPh Pasal 21 untuk penghasilan tahunan sampai dengan Rp
50.000.000,00 adalah 5%.

Pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai

Hidayat bekerja tidak tetap pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang
dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari gajinya adalah Rp 4000.000,00. Hidayat menikah
tetapi memiliki 1 anak. Tunjangan 200.000,00. Perhitungan pph 21 adalah sebagai berikut:
Gaji

4.000.000,00

Tunjangan

200.000,00

Penghasilan bruto sebulan

4.200.000,00

(v) Penghasilan bruto setahun 12 x

50.400.000,00

4.200.000,00
(vi) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP):
(K/1) untuk WP sendiri

42.000.000,00
(42.000.000,00)

Penghasilan Kena Pajak setahun

8.400.000,00

PPh Terutang (lihat Tarif PPh Pasal 21)


5% x 8.400.000,00
PPh Pasal 21 bulan Juli = 420.000,00 : 12

420.000,00
35.000,00

Pasal 22
PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22


Menurut hukum Indonesia, Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal
22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap
Wajib Pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang. Mengingat sangat
bervariasinya obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih
rumit dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun 23. Pada umumnya, PPh
Pasal 22 dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap menguntungkan,
sehingga baik penjual maupun pembelinya dapat menerima keuntungan dari perdagangan
tersebut. Karena itulah PPh Pasal 22 dapat dikenakan baik saat penjualan maupun
pembelian.

Pemungut dan Obyek PPh Pasal 22


Yang termasuk pemungut dan obyek pajak dalam hal ini adalah:
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas impor barang;
2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya,, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang;
3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS);
5. Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri
kertas, industri baja, dan industri otomotif yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan
Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;

6. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
o

PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan


Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya
Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT
Krakatau Steel (Persero);

Bank-bank Badan Usaha Milik Negara,berkenaan dengan pembayaran atas


pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.

7. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya
kepada distributor di dalam negeri;
8. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
9. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
10. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul
untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
11. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan industri
hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
12. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
o

mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan;


dan

menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.

Tarif PPh Pasal 22


1. Atas impor :
o

yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;

non-API = 7,5% x nilai impor;

yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.

2. Atas pembelian

barang

yang

dilakukan

oleh

DJPB,

Bendahara

Pemerintah,

BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)

3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal


Pajak, yaitu:
o

Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)

Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)

Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)

Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)

4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir
bahan bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
o

Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen


bersifat tidak final

5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API =
0,5% x nilai impor.
7. Atas penjualan
o

Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-

Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-

Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp
10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.

Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya


lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.

Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle(mpv), minibus dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan
dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak
termasuk PPN dan PPnBM.

8. Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22.
Pengecualian Pemungutan Pajak Berdasarkan PPh Pasal 22
1. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh. Pengecualian tersebut, harus
dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
2. Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk:
o

yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga barang
tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor atau re-impor) dan Entrepot Produksi Untuk

Tujuan

Ekspor

(EPTE),

yaitu

tempat

penimbunan

barang

dagangan

karena

pengimpornya tidak membayar bea masuk sebagaimana mestinya;


o

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun 1969 tentang
Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan PP Nomor
26 tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1973;

berupa kiriman hadiah;

untuk tujuan keilmuan.

3. Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja negara/daerah


yang meliputi jumlah kurang dari Rp 2.000.000,- (bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah).
4. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM,
benda-benda pos, dan telepon.

PPH PASAL 22 DIPUNGUT PEMBELI


Dipungut Bendaharawan
Dipungut oleh bendaharawan pemerintah atas transaksi pengadaan barang dari pemerintah
kepada rekanan yang dibayai dengan dana APBN/APBD, sebesar 1,5% dari harga kotor
tanpa PPN. Rekanan yang menjual barang akan mendapatkan bukti pungut PPh pasal 22,
sedangkan bendahawaran yang memungut harus membayar dan melaporkan PPh pasal 22
tersebut.
Contoh:
1) CV. Maju Jaya yang sudah mempunyai NPWP menjual komputer pada kantor
Pemkot Surakarta dengan DPP sebesar Rp 100.000.000,00. Atas transaksi tersebut
besarnya PPh 22 yang harus dipungut oleh bendaharawan pemkot Surakarta adalah
1,5% x Rp 100.000.000,00
2) Marabahan yang belum mempunyai NPWP menjual printer pada kantor Pemkot
Surakarta dengan DPP sebesar Rp 10.000.000,00. Atas transaksi tersebut besarnya
PPh 22 yang harus dipungut oleh bendaharawan pemkot Surakarta adalah 3% x Rp
10.000.000,00.
Tidak dipungut Bendaharawan
Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah tidak dipungut PPh Pasal 22 oleh Bendaharawan.
Dipungut oleh Produsen dan Eksportir atas Barang Pertanian

Pemungut Pajak dari pedagang pengumpul adalah WP Industri yang bergerak dalam ekspor
perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan. Pajak yang dipungut sebesar 0,5 % dari
harga pembelian (tidak termasuk PPN). PPh Pasal 22 tidak dipungut apabila pembelian
barang pertanian tersebut dilakukan terhadap petani atau kelompok tani.
Contoh : Perusahaan ban Ready membeli karet mentah dari pengepul senilai (DPP) Rp
200.000.000,00 dan oleh pengepul akan dipungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5 % x Rp
200.000.000,00. PPh 22 tersebut harus dilunasi dan dilaporkan oleh perusahaan ban Ready.
PPH PASAL 22 DIPUNGUT PENJUAL
PPh Industri Semen
Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut pada industri semen adalah sebesar 0,25% x DPP
PPN.
Contoh : PT. Kujang menjual semen kepada PT. Kuat Perkasa sebagai distributornya
dengan harga jual termasuk PPN sebesar Rp 440.000.000,00. Besarnya penghasilan yang
menjadi dasar perhitungan PPh 22 adalah :
Penjualan kotor dengan PPN

Rp 440.000.000,00

PPN (10/110) x Rp 440.000.000,00

Rp 40.000.000,00

Penjualan kotor tanpa PPN

Rp 400.000.000,00

PPh Pasal 22 yang dipungut adalah :


(0,25% x Rp 400.000.000,00 atau sebesar

Rp

1.000.000,00

PPh Industri Kertas


Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut pada industri kertas sebagai pabrikan, distributor
adalah sebesar 0,1% x DPP PPN.
Contoh: PT. Honggodentio sebagai distributor kertas, membeli produk kertas sebesar Rp
110.000.000,00 dari perusahaan kertas PT. ABC. Besarnya PPh Pasal 22 yang dipotong
oleh pabrikan adalah:
(Cara menghitung Penjualan kotor tanpa PPN sama dengan cara di atas)
Penjualan kotor tanpa PPN

Rp 100.000.000,00

PPh Pasal 22 sebesar 0,1% x Rp 100.000.000,00

Rp

100.000,00

PPh Industri Otomotif


Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut pada industri otomotif adalah sebesar 0,45% x DPP
PPN.
Contoh : PT. Auto Jaya sebagai distributor otomotif membeli produk Toyota dengan DPP
sebesar Rp 600.000.000,00 dari PT. Nova Indo sebagai APTM (Agen Tunggal Pemegang
Merek) Toyota. Besarnya PPh Pasal 22 adalah:

0,45% x Rp 600.000.000,00
Bukti pungut PPh Pasal 22 sebesar Rp 2.700.000,00 merupakan kredit pajak bagi PT. Auto
Jaya yang dapat mengurangi PPh yang terutang.
PPH PASAL 22 DIBAYAR PEMBELI
PPh Pembelian Import
Atas pengadaan barang yang dilakukan oleh WP dari luar pabean atau dari luar negeri akan
dikenakan PPh Pasal 22 Import yang besarnya adalah:

Sebesar 2.5% (yang menggunakan API)


Sebesar 7,5% (yang tidak mempunyai API)

Contoh : PT. Yasuka mendatangkan bahan baku obat dari Belanda senilai 1,100 USD dan
kurs pajak pada saat itu adalah sebesar Rp 10.000,00 per USD, sedangkan kurs bank
berkaitan dengan transaksi tersebut adalah Rp 9.500,00. Besarnya PPN Impor dan PPh
Pasal 22 Impor yang harus dibayar oleh PT. Yasuka adalah 2,5% x 1,100 x Rp 10.000.
Pengecualian Pemungutan PPh 22 Impor
1.

Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas
(SKB).

2.

Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC (Direktorat Jenderal Bea Cukai).

3.

Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor


kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.

PPh Produk Pertamina


Atas penjualan produk berupa premium, solar, premix super TT, minyak tanah, gas LPG,
dan pelumas dikenakan PPh Pasal 22 yang harus dipungut oleh Pertamina adalah sebesar:
Premium
Solar
Premix Super TT
Minyak Tanah
Gas LPG
Pelumnas

SPBU Swastanisasi
0,3% dari penjualan
0,3% dari penjualan
0,3% dari penjualan
0,3% dari penjualan
0,3% dari penjualan
0,3% dari penjualan

SPBU Pertamina
0,25% dari penjualan
0,25% dari penjualan
0,25% dari penjualan

Pasal 23
PENGHASILAN MODAL, JASA, ATAU HADIAH DAN PENGHARGAAN

Pengertian Pajak Penghasilan ( PPh ) Pasal 23


Menurut situs Dirjen Pajak, Pajak Penghasilan pasal 23 adalah pajak yang dikenakan
pada penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang
telah dipotong PPh Pasal 21.
Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi antara dua pihak. Pihak
yang menerima penghasilan atau penjual atau pemberi jasa akan dikenakan PPh pasal 23.
Pihak pemberi penghasilan atau pembeli atau penerima jasa akan memotong dan
melaporkan PPh pasal 23 tersebut kepada kantor pajak.
Berikut ini adalah daftar tarif dan objek PPh Pasal 23:
1. Tarif 15% dari jumlah bruto atas:
b.

Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga dan
royalti;

c.

Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21;

2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan
penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa

manajemen, jasa

konstruksi dan jasa konsultan.


4. Tarif 2% dari jumlah bruto

yang

atas

imbalan jasa

lainnya adalah

diuraikan

dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141PMK.03/2015 dan efektif mulai berlaku pada
tanggal 24 Agustus 2015. Berikut ini adalah daftar jasa lainnya tersebut:
a. Penilai (appraisal);
b. Aktuaris;
c. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
d. Hukum;
e. Arsitektur;
f.

Perencanaan kota dan arsitektur landscape;

g. Perancang (design);
h. Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali
yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);
i.

Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas);

j.

Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan
minyak dan gas bumi (migas);

k. Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;


l.

Penebangan hutan;

m. Pengolahan limbah;
n. Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
o. Perantara dan/atau keagenan;
p. Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek,
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia
(KPEI);
q. Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
r.

Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;

s.

Mixing film;

t.

Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet,
baliho dan folder;

u. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
v. Pembuatan dan/atau pengelolaan website;
w. Internet termasuk sambungannya;
x. Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
y. Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV
Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
z. Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
aa. Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.
ab. Maklon;
ac. Penyelidikan dan keamanan;
ad. Penyelenggara kegiatan atau event organizer;
ae. Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau
media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
af. Pembasmian hama;
ag. Kebersihan atau cleaning service;
ah. Sedot septic tank;
ai. Pemeliharaan kolam;

aj. Katering atau tata boga;


ak. Freight forwarding;
al. Logistik;
am.Pengurusan dokumen;
an. Pengepakan;
ao. Loading dan unloading;
ap. Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau institusi
pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
aq. Pengelolaan parkir;
ar. Penyondiran tanah;
as. Penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
at. Pembibitan dan/atau penanaman bibit;
au. Pemeliharaan tanaman;
av. Permanenan;
aw. Pengolahan

hasil

pertanian,

perkebunan,

perikanan,

peternakan

dan/atau

perhutanan;
ax. Dekorasi;
ay. Pencetakan/penerbitan;
az. Penerjemahan;
ba. Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang
Pajak Penghasilan;
bb. Pelayanan pelabuhan;
bc. Pengangkutan melalui jalur pipa;
bd. Pengelolaan penitipan anak;
be. Pelatihan dan/atau kursus;
bf. Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
bg. Sertifikasi;
bh. Survey;
bi. Tester;
bj. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah).
5. Bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP akan dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh
Pasal 23.
6. Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk
dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan

luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak
termasuk:

Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai


imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia
tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak
dengan pengguna jasa;

Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan


faktur pembelian);

Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan


kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan
perjanjian tertulis);

Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran


sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak
ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan
kepada pihak ketiga).

Jumlah bruto tersebut tidak berlaku:

Atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;

Dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah dikenakan
pajak yang bersifat final.

Pengecualian PPh 23
Pemotongan PPh 23 dikecualikan atas:
1. Penghasilan yang dibayar atau berulang kepada bank;
2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib
pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a.

Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;

b.

Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMB, kepemilikan saham pada badan yang


memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal
yang disetor;

c.

Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan
kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.

d.

SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;

e.

Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.

PPH 23 ATAS MODAL


PPH 23 ATAS DIVIDEN
Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi, merupakan
objek PPh Pasal 23. Besarnya PPh Pasal 23 atas dividen dibedakan menjadi:

Diterima OP sebesar 10% final dari bruto.


Diterima badan usaha sebesar 15% dari bruto.
Diterima pemegang polis dari asusransi sebesar 15% dari bruto.

Contoh:
PT. Danangjaya, sesuai dalam tahun 2009 membagi dividen sebesar Rp 100.000.000,00
kepada PT. BTI yang mempunyai saham sebesar 10%. Atas pembayaran dividen dipotong
PPh Pasal 23 sebesar 15% x Rp 100.000.000,00.
Dividen yang bukan Merupakan Objek PPh 23
Dividen yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri,
koperasi, BUMN, atau BUMD dari pernyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia bukan merupakan Penghasilan Kena Pajak, dengan syarat:

Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.


Bagi PT, BUMN, BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan

yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
Harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.

Contoh: PT. Danangjaya dalam tahun 2009 juga membagi dividen sebesar Rp
300.000.000,00 kepada PT. Qorina Indah Cemerlang yang mempunyai saham sebesar 30%
kepada PT.DIC. Pembayaran dividen tersebut.\ tidak dipotong PPh Pasal 23.
PPH 23 ATAS BUNGA
Bunga simpanan pada koperasi yang diterima anggota koperasi perseorangan dipotong
PPh 23 sebesar 10% dari bruto.
Contoh PPh 23 Atas Bunga Simpanan Koperasi:
Koperasi Tri Bakti dalam tahun 2009 membayar bunga kepada anggotanya sebesar Rp
300.000.000,00. Atas pembayaran bunga tersebut, dipotong PPh 23 sebesar Rp
300.000.000,00 x 10%
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang yang
dibayarkan selain pada perbankan dan koperasi kepada anggotanya orang pribadi dipotong
PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto.
Contoh PPh 23 Atas Bunga Selain dari Bank atau Koperasi

PT. Norontoko membayar bunga sebesar Rp 10.000.000,00 atas utangnya kepada PT. Setia
Usaha. Atas pembayarna bunga tersebut, PT. Norontoko memotong PPh 23 sebesar RP
10.000.000,00 x 15%
PPH 23 ATAS ROYALTI
Sebesar 15% dari penghasilan kotor. Beberapa macam royalti:
1) Penggunaan hak atas harta tak berwujud.
2) Penggunaan hak atas harta terwujud.
3) Penggunaan informasi yang belum dipatenkan.
Contoh:
Kresna menulis buku yang diterbitkan oleh Andi Offset. Atas penggunaan hak untuk
menerbitkan buku tersebut, Andi Offset membayar royalti sebesar 20% dari nilai buku yang
terjual. Pada tahun 2008, nilai buku yang terjual adalah sebesar Rp 100.000.000,00. PPh
Pasal 23 yang dipotong adalah: 15% x Rp 20.000.000,00.
PPH 23 ATAS SEWA
PPh Sewa Tanah dan/atau Bangunan
Besarnya adalah 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan
bersifat final.
Tata cara pemotongan dan pembayaran:
-

Atas penghasilan sewa yang diterima atau diperoleh dari penyewa atau ditunjuk

sebagai pemotong pajak, wajib dipotong pajak penghasilan oleh penyewa.


Penyewa bukan sebagai pemotong pajak, maka PPh terutang wajib dibayar sendiri
oleh OP atau badan yang menerima atau memperoleh penghsilan.

Contoh:
PT. Barutama pada awal 2008 telah menyewa tanah dan bangunan kepada PT. Gunung
Muria Agung untuk kantor. Biaya sewa tersebut adalah dengan DPP sebesar Rp
50.000.000,00 dan biaya keamanan dan perawatan Rp 10.000.000,00 untuk 2 tahun. PPh
23 yang dipotong adalah sebesar 10% x Rp 60.000.000,00
PPh Sewa Selain Tanah dan/atau Bangunan
PPh 23 sebesar 2% dari penghasilan bruto.
Contoh:
PT. Harjuna menyewa truk pada CV. Antar Jasa untuk mengangkut produknya dari pabrik ke
gudang setiap bulannya dengan DPP sebesar Rp 100.000.000,00 dan biaya perawatan Rp
50.000.000,00 dalam setahun. Atas sewa truk tersebut dipotong PPh Pasa 23 sebesar: 2% c
Rp 150.000.000,00.
PPH 23 ATAS JASA

JASA TEKNIK
Besarnya PPh 23 adalah 2% dari penghasilan bruto tanpa PPN. Jasa Teknik yang dipotong
PPh 23 adalah yang dilakukan oleh BUT atau perseorangan atas nama badan usaha atau
BUT.
Contoh: PT. Maju Jaya meminta jasa dari PT. Grafindo Teknika untuk pemasangan peralatan
pabrik dengan imbalan jasa sebesar Rp 217.800.000,00. Imbalan tersebut tidak termasuk
PPN, namn di dalamnya termasuk pengadaan barang sebesar Rp 148.000.000,00.
Besarnya PPh Pasal 23 yang dipotong oleh PT. BTI adalah: 2% x (Rp 217.800.000,00 Rp
148.000.000.000,00)
JASA MANAJEMEN
Besarnya adalah 2% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.
Contoh: Agus Hartono bekerja pada Biro Konsultan Wicaksono ditempatkan oleh
perusahaannya pada PT. BTI dalam rangka aplikasi sistem pemasaran yang baru. Setiap
bulannya, PT. BTI membayar jasa sebesar Rp 20.000.000,00 kepada Biro Konsultan
Wicaksono. PPh 23 yang dipotong PT. BTI adalah 2% x Rp 20.000.000,00.
JASA KONSULTASI
Besarnya adalah 2% dari jumlah bruto atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun. (Termasuk Jasa Profesi, Jasa Konsultan (kecuali bidnag konstruksi), Jasa
Akuntansi dan pembukuan, Jasa Penilai, serta Jasa Akuaris). Jasa kepada tenaga ahli
kepada OP dipotong PPh 23 dengan tarif sesuai dengan PPh pasal 17.
Contoh : Biro Konsultan DW merupakan kumpulan akuntan yang memberikan jasa
konsultan pada PT. BTI dalam rangka aplikasi system pemasaran yang baru. Setiap
bulannya DW diberi jasa sebesar Rp 30.000.000,00. PPh Pasal 23 yang dipotong oleh PT.
BTI adalah: 2% x Rp 8.000.000,00.
PPH 23 ATAS KEGIATAN
PPH 23 ATAS HADIAH
Besarnya adalah 15% dari jumlah bruto tidak bersifat final.
Contoh : PT. Danurwendo memenangkan hadiah lomba kebersihan pabrik dengan
memperoleh hadiah senilai Rp 100.000.000,00. Atas hadiah tersebut dikenakan PPh Pasal
23 sebesar 15% x Rp 100.000.000,00 tidak bersifat final.

Pasal 24
PAJAK PENGHASILAN LUAR NEGERI

Pajak Penghasilan Pasal 24 (PPh Pasal 24) pada dasarnya adalah sebuah peraturan
yang mengatur hak wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri,
untuk mengurangi nilai pajak terhutang yang dimiliki di Indonesia. Sehingga, jumlah pajak
yang harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang telah mereka
bayar di luar negeri, asalkan nilai kredit pajak di luar negeri tidak melebihi hutang pajak yang
ingin dibayar di Indonesia.
Sumber penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk memotong hutang pajak
Indonesia adalah sebagai berikut:
1. pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari
pengalihan saham dan surat berharga lainnya;
2. penghasilan

berupa bunga,

royalti,

dan

sewa yang

berkaitan

dengan

penggunaan harta-benda bergerak;


3. penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda tidak
bergerak;
4. penghasilan

berupa imbalan yang

berhubungan

dengan jasa,

pekerjaan,

dan

kegiatan;
5. pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri;
6. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan
pertambangan;
7. keuntungan dari pengalihan aset tetap;
8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk usaha
tetap (BUT).
Jika nilai pajak di luar negeri yang telah Anda gunakan sebagai kredit pajak di
Indonesia, telah berkurang atau dikembalikan kepada Anda, sehingga nilai kredit Anda
kurang untuk menutup pajak terhutang Anda di sini, maka Anda harus membayar jumlah
terhutang tersebut ke kantor pelayanan pajak Indonesia.
PAJAK LUAR NEGERI YANG DAPAT DIKREDITKAN
Contoh : OT. Rodondo mempunyai cabang BUT di Malaysia, dalam tahun 2008
mendapatkan laba kena pajak sebesar Rp 1.000.000.000,00 dengan tarif tax income di

Malaysia sebesar 40%. Atas laba kena pajak tersebut seluruhnya dibagikan dividen kepada
PT. Rodondo pusat di Indonesia dan dividen tersebut dikenakan pajak sebesar 25%. PPh 24
yang diperhitungkan adalah:
Penghasilan Kena Pajak
Tax Income 40% x Rp 1.000.000.000,00
Penghasilan setelah pajak
PPh atas dividen 25% x Rp 600.000.000,00
Penghasilan diterima langsung
BATAS MAKSIMUM PAJAK LUAR NEGERI YANG DAPAT DIKREDITKAN
PPh 24= (Jumlah Pengasilan dai Luar Negeri / Penghasilan Kena Pajak) x Total PPh
Terutang
Jumlah kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah paling tinggi sama dengan jumlah pajak
yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah tertentu.
TATA CARA PENGKREDITAN PAJAK LAR NEGERI
WP menyampaikan permohonan kepada Direktur Jendral Pajak dnegan melampirkan:
1) Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri.
2) Fotokopi SPT Pajak yang disampaikan di luar negeri.
3) Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Contoh Kasus:
PT. Seventeen yang berlokasi di Jakarta, selama tahun 2009 memperoleh penghasilan baik
dari usahanya dari dalam negeri ataupun beberapa cabangnya yang berada di luar negeri.
Penghasilan Netto dari dalam negeri Rp 150.000.000.000 sedangkan usahanya di luar
negeri, seperti Jepang memperoleh penghasilan Rp 300.000.000 dan di Korea memperoleh
penghasilan Rp 400.000.000 sedangkan di China mengalami rugi Rp 100.000.000. Pajak
yang telah dibayar diluar negeri sebesar 25% untuk Jepang, 30% untuk Korea dan 20%
untuk China. Berapa PPh Pasal 24 yang diperkenankan untuk dikreditkan dengan pajak
penghasilan yang harus dibayar di dalam negeri?
Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dapat dikreditkan di dalam negeri.
1. Mencari Penghasilan Kena Pajak (PKP):
Penghasilan Neto Dalan Negeri
Rp 150.000.000
Penghasilan Neto Luar Negeri:
- Jepang
Rp 300.000.000
- Korea
Rp 400.000.000
Jumlah Penghasilan Neto Luar Negeri Rp 700.000.000 +
Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Rp 850.000.000
2. Mencari Pajak Penghasilan Terutang dari jumlah PKP Sebesar Rp 850.000.000:
28% x Rp 850.000.000 = Rp 238.000.000

3. Mencari Pajak Yang Telah Dibayar Atas Penghasilan Di Luar Negeri:


Jepang : 25% x 300.000.000 = Rp 75.000.000
Korea : 30% x 400.000.000 = Rp 120.000.000
4. Mencari Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN):
KPLN Jepang : 300.000.000 / 850.000.000 x 238.000.000 = Rp 84.000.000
KPLN Korea : 400.000.000 / 850.000.000 x 238.000.000 = Rp 112.000.000
5.
PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan di Indonesia atas penghasilan di Jepang
sebesar:
Rp 75.000.000 (Pilih yang terendah)
PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan di Indonesia atas penghasilan di Korea sebesar:
Rp 112.000.000 (Pilih yang terendah)
6.
Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan di dalam negeri:
Rp 75.000.000 + Rp 112.000.000 = Rp 187.000.000

Pasal 26
PAJAK PENGHASILAN UNTUK WP LUAR NEGERI

Bisnis yang melakukan pembayaran untuk wajib pajak asing (subjek Pajak luar
negeri) dalam setiap jenis bentuk (gaji, bunga, dividen, royalti, dll), diwajibkan untuk
memotong pajak penghasilan Pasal 26 atas transaksi ini. Tarif umum untuk jenis pajak
adalah 20%, dan itu mungkin berbeda di bawah perjanjian pajak, dikenal sebagai P3B
(Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda).
PPh 26 dipotong atas:
1.
2.

Penghasilan yang diterima atau yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri dari Indonesia.
Penghasilan usaha yang diperoleh melalui BUT di Indonesia.
Undang-undang pajak penghasilan Indonesia menganut dua sistem
2. Pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang
menjankan usaha atau melalui kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia
3. Pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak Luar Negeri lainnya.
Dasar hukum pemotongannya bersumber pada pasal 26:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Undang-Undang Pajak Penghasilan PP Nomor 51 Tahun 1994


Tanggal 29 Desember 1994; KMK Nomor 602/KMK.04/1994
Tanggal 21 Desember 1994; KMK Nomor 624/KMK.04/1994
Tanggal 27 Desember 1994; KMK Nomor 649/KMK.04/1994
Tanggal 29 Desember 1994; KMK Nomor 634/KMK.04/1994
Tanggal 29 Desember 1994; Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 173/Pj./2002
Tanggal 3 April 2002.

Subjek Pajak PPh Pasal 26


1. Orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak Luar Negeri yang menerima atau
memperoleh penghasilan dengan nama dalam bentuk apa pun.
2. Sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
3. Dari Pemotong PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan.
4. Jasa atau kegitan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun
bukan pegawai
5. Penerima pensiun.
Besarnya tarif PPh pasal 26 dibedakan atas kelompok objek PPh pasal 26 sebagai
berikut :

1. dividen, bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang, royalty, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah
dan penghargaan, pensiun dan pembayaran berkala lainnya. Besarnya tarif pemotongan
adalah 20% dari jumlah bruto.
2. penghasilan dari penjualan harga di Indonesia (termasuk capital gain) kecuali yang diatur
dalam pasal 4 ayat (2) Undang Undang Pajak Penghasilan, dan premi asuransi dan
premi reasuransi dibayarkan kepada perusahaan asuransi luarnegeri. Besarnya tariff
pemotongan adalah 20% dari perkiraan penghasilan neto.
Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk premi asuransi dan premi reasuransi yang
dibayarkan pada perusahaan asuransi luar negeri adalah sebagai berikut :
a. Atas premi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik
secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% dari jumlah premi yang
dibayar.
b. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia
kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui
pialang, sebesar 10% dari jumlah premi yang dibayar.
c. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di luar negeri baik secara
langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% dari jumlah premi yang dibayar.
3. Sebesar 20% bersifat final dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu BUT, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia maka tidak
dipotong PPh Pasal 26.
Ketentuan Tarif Pajak BUT Pemajakan terhadap BUT menggunakan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-undang PPh. Besarnya
tarif pajak untuk tahun pajak 2009 sebesar 20% dan mulai tahun pajak 2010 menjadi
sebesar 25% kecuali BUT tertentu yang penghasilannya dihitung dengan menggunakan
Norma Penghitungan Khusus, maka tarifnya adalah tarif khusus yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.

(Besarnya tarif pemotongan adalah 20% dari jumlah bruto penghasilan yang diterima)
1. Suatu badan Subjek Pajak Dalam Negeri membayarkan royalti sebesar Rp
100.000.000,00.- kepada Wajib Pajak Luar Negeri, maka Subjek Pajak Dalam Negeri
tersebut bekewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar: 20% x Rp
100.000.000,00.- = Rp 2.000.000,00.-

2. Sahona adalah pegawai asing yang berada di Indonesia kurang dari 12 bulan, status
kawin mempunyai dua orang anak. Ia memperoleh gaji pada bulan maret 2003 sebesar
US$ 2.500,00.- sebulan. Kurs yang berlaku adalah Rp 8.500,00 per US$1,00.
Penghitungan PPh Pasal 26:
Penghasilan bruto utntuk gaji sebulan $2.500,00.- x Rp 8.500,00.- = Rp. 21.250.000
Penetapan tarif: 20% x Rp 21.250.000,00.- = Rp 4.250.000,00.PPh Pasal 26 atas gaji US$ 2.500 = Rp 4.250.000,00.(Besarnya tarif pemotongan adalah 20% dari perkiraan penghasilan netto.)
1. Perusahaan penyewaan gedung kantor, PT Ananda, mengasuransikan bangunan
bertingkat ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi selama
tahun 2002 sebesar Rp 1.000.000.000,00.
Perkiraan Penghasilan netto 50% x Rp 1.000.000.000,00. = Rp. 500.000.000
Besar PPH Pasal 26 adalah 20% x Rp 500.000.000,00 = Rp 100.000.000,00.
2. PT Ananda mengasuransikan bangunan bertingkat ke perusahaan asuransi didalam
negeri yaitu PT Aman sebesar Rp 1.000.000.000. kemudian PT Aman mereasuransikan
sebagian polis tersebut kepada asuransi luar negeri dengan membayar premi sebesar Rp
300.000.000.
Perkiraan Penghasilan netto : 10% x Rp 300.000.000 = Rp 30.000.000
Besar PPH pasal 26 adalah 20% x Rp 30.000.000 = Rp 6.000.000
(Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak dari BUT di Indonesia
dipotong pajak sebesar 20%)
a. Penghasilan Kena Pajak Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dalam tahun 2009 sebesar Rp
17.500.000,00.Pajak penghasilan terutang: 25% x Rp 17.500.000,00.- = Rp 4.375.000
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak Rp 13.125.000,Pajak penghasilan pasal 26 yang terutang adalah
20% x Rp. 13.125.000,- = Rp. 2.625.000,Namun, apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp 13.125.000.- tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
b. Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap

Rp20.500.000.000,00

di Indonesia dalam tahun 2013


Pajak Penghasilan: 25% x Rp20.500.000.000,00 =

Rp 5.125.000.000,00 (-)

Penghasilan Kena Pajak setelah pajak

Rp15.375.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang :

Rp 3.075.000.000,00

20% x Rp15.375.000.000
Contoh Kasus:
1. Suatu lembaga di Indonesia menganugerahi penghargaan kepada Tuan Bernard Liem
dari Belanda atas jasa-jasanya dalam membantu usaha pelestarian alam di Indonesia.

Pemberian penghargaan tersebut mencakup pula pemberian uang sebanyak Rp 120 juta.
Ketika Tuan Bernard Liem berada di Indonesia selama 5 hari, ia diundang ke beberapa
perguruan tinggi untuk menjadi narasumber (pembicara) dalam seminar. Ada tiga
seminar dimana ia mempresentasikan tiga makalahnya, dan Tuan Bernard Liem
menerima honorarium sebesar Rp 10 juta per seminar ditambah fasilitas transportasi dan
akomodasi. Atas penghasilan yang diterima Tuan Bernard Liem tersebut, berapa pajak
penghasilan pasal 26 yang wajib dipungut oleh Lembaga atau perguruan tinggi?
Hadiah atas penghargaan dan honorarium merupakan obyek pajak PPh Pasal 26
sehingga dikenakan pajak bersifat final.Pemotong PPh Pasal 26 adalah penyelenggara
pemberi hadiah penghargaan dan perguruan tinggi penyelenggara seminar.
a. Dipungut oleh Lembaga
Penghasilan berupa penghargaan senilai Rp 120.000.000
PPh pasal 26 = 20% x Rp 120.000.000 = Rp 24.000.000
b. Dipungut oleh Perguruan Tinggi penyelenggara seminar:
Penghasilan berupa honorarium= 3 x Rp 10.000.000
= Rp 30.000.000
PPh pasal 26 = 20% x Rp 30.000.000 = Rp 6.000.000
c. Jumlah PPh pasal 26 = Rp 24.000.000 + Rp 6.000.000
= Rp 30.000.000
2. CV. Awet Mulyo bergerak di bidang teknologi informasi dan menjadi agen tunggal produk
komputer lenovo. Selama tahun 2011 CV. Awet Mulyo berhasil meraih keuntungan
bersih (penghasilan kena pajak) sebesar Rp 3,2 milyar. Berdasarkan kesepakatan
dengan pihak kantor pusat lenovo, penghasilan setelah pajak wajib disetorkan ke kantor
pusat sebesar 60% dan sisanya menjadi haknya pemilik dan pengelola CV. Awet Mulyo.
Berdasarkan ketentuan pajak, penghasilan (keuntungan) bersih yang diperoleh CV. Awet
Mulyo, sebagai wajib pajak dalam negeri, dikenakan pajak menurut UU PPh pasal 17.
Sedangkan bagian keuntungan setelah dikurangi pajak yang disetorkan ke kantor pusat
di luar negeri dikenakan PPh pasal 26. Adapun kalkulasi dilakukan sebagai berikut:
CV. Awet Mulyo:
Keuntungan bersih (penghasilan kena pajak)

Rp 3.200.000.000

Pajak penghasilan: 25% x Rp 3.200.000.000

Rp

Keuntungan setelah pajak

Rp 2.400.000.000

800.000.000 _

Sebagian keuntungan setelah pajak ini disetorkan ke Kantor pusat di luar negeri, yaitu
60% dari keuntungan setelah pajak. Bagian keuntungan ini diperlakukan sebagai
penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri sehingga atas

penghasilan tersebut dikenakan pajak 20%.Dalam hal ini, CV.Awet Mulyo wajib
memungut, menyetorkan dan melaporkan atas pemungutan pajak tersebut.
Kantor Pusat di Luar Negeri:
Penghasilan yang diterima = 60% x Rp 2.400.000.000

Rp 1.440.000.000

PPh pasal 26 = 20% x Rp 1.440.000.000

Rp 288.000.000 _

Penghasilan bersih yang diterima Kantor Pusat

Rp 1.152.000.000

3. Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consult. Mike bertempat tinggal
kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri, dan mempunyai seorang anak. Dalam bulan
April 2009, Mike memperoleh gaji US$ 5,000 sebulan. Kurs yang berlaku adalah Rp.
10.500,00 per US$ 1.
Penghitungan PPh pasal 26 :
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan :
5,000 x Rp. 10.500,00 = Rp. 52.500.000,00
Penerapan tarif :
20% x Rp. 52.500.000,00 = Rp. 10.500.000,00
PPh pasal 26 atas gaji Mike bulan April 2009 adalah Rp. 10.500.000,00.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013, merupakan kebijkan pemerintah


yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib
pajak yang memiliki peredaran Bruto tertentu.
Kebijakan Pemerintah dengan pemberlakuan PP ini didasari dengan:
Maksud:
1. Untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan,
2. Mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi,
3. Mengedukasi masyarakat untuk transparansi,
4. Memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan
negara.
Tujuan:
1. Kemudahan bagi masyrakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan,
2. Meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi masyarakat,
3. Terciptanya kondisi kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
Objek pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan PP Nomor 46
Tahun 2013 ini adalah penghasilan dari USAHA yang diterima atau diperoleh wajib pajak
dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,- dalam 1 tahun
pajak.

Peredaran

bruto

(omzet)

merupakan

jumlah

peredaran

bruto

semua

gerai/counter/outlet atau sejenisnya baik pusat maupun cabangnya.


Pajak yang terhutang dan harus dibayar adalah:
1% dari jumlah peredaran bruto (omzet)
Objek pajak yang tidak dikenai pajak penghasilan sesuai ketentuan PP Nomor 46 Tahun
2013 ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut

1. Pekerjaan dari jassa sehubungan dengan pekerjaan bebas, seperti misalnya: dokter,
advokat/pengacara, akuntan, notaris, PPAT, arsitek, pemain musik, pembawa acara, dan
sebagaimana diuraikan dalam penjelasan PP tersebut,
2. Penghasilan dari usaha yang dikenai PPh Final (Pasal 4 ayat (2)), seperti misalnya sewa
kamar kos, sewa rumah, jasa kontruksi (perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan),
PPh usaha migas dan lain sebagainya yang diatur berdasarkan Peraturan Pmerintah
tersendiri.
3. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.
Yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai PP No. 46 Tahun 2013 adalah:
1. Orang Pribadi, yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omzet)
yang tidak melebihi Rp.4.800.000.000,- dalam 1 tahun pajak.
2. Badan, tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima penghasilan dari
usaha dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp.4.800.000.000,- dalam 1
tahun pajak.
Yang tidak dikenai Pajak Penghasilan sesuai PP No. 46 Tahun 2013 adalah:
1. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang
menggunakan sarana yang dapat dibongkar pasang dan menggunakan sebagaian atau
seluruh tempat kepentingan umum. Misalnya pedagang keliling, pedagang asongan,
warung tenda di area kaki lima dan sejenisnya.
2. Badan yang belum beroperasi secara komersial atau yang dalam jangka waktu 1 tahun
setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto (omzet) melebihi
Rp.4.800.000.000,Pajak Penghasilan yang diatur oleh PP No. 46 Tahun 2013 termasuk dalam:
PPh Pasal 4 Ayat (2), bersifat FINAL
Setoran bulanan dimaksud merupakan PPh Pasal 4 ayat (2), bukan PPh pasal 25. Jika
penghasilan semata-mata dikenai PPh final, tidak wajib PPh Pasal 25.
Penyetoran dan Pelaporan PPh sesuai ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 adalah paling
lambat tanggal 15 bulan berikutnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Jika
SSP sudah validasi NTPN, wajib pajak tidak perlu melaporkan SPT masa PPh Pasal 4 ayat
(2) karena dianggap telah menyampaikan SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) sesuai tanggal
validasi NTPN. Penyetoran dimaksud dengan mencantumkan kode pada SSP sebagai
berikut:
Kode akun Pajak

: 411128

Kode Jenis Setoran : 420

Penghasilan yang dibayar berdasarkan PP No. 46 Tahun 2013 dilaporkan dalam SPT
Tahunan PPh pada kelompok penghasilan yang dikenai pajak final dan/atau bersifat final.
Contoh penentuan peredaran bruto:
Rajesh merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat kegiatan usaha di
beberapa pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan
diketahui rincian peredaran usaha di tahun 2013 adalah sebagai berikut:
a. Pasar A sebesar Rp 80.000.000,00;
b. Pasar B sebesar Rp 250.000.000,00;
c. Pasar C sebesar Rp 400.000.000,00.
Dengan

demikian

dasar pengenaan

peredaran
Pajak

bruto

usaha

Penghasilan

perdagangan

yang

bersifat

tekstil
final

Rajesh
adalah

sebagai
sebesar

Rp730.000.000,00 (Rp80.000.000,00 + Rp250.000.000,00 + Rp400.000.000,00).


Contoh penentuan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final:
CV Andik memiliki usaha penjualan gerabah yang berdasarkan pembukuan atau catatan
pada Tahun Pajak 2013 (Januari 2013 sampai dengan Desember 2013), memiliki peredaran
bruto sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Dengan demikian, atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV Andik pada
tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen),
karena peredaran

bruto

CV Andik

pada

Tahun

Pajak

2013

tidak

melebihi

Rp

4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).


Contoh:
PT Maju Jaya menggunakan tahun kalender sebagai Tahun Pajak. Terdaftar sebagai Wajib
Pajak sejak bulan Agustus 2013. Peredaran bruto selama bulan Agustus 2013 sampai
dengan Desember 2013 adalah Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Peredaran bruto tahun 2013 disetahunkan adalah:
Rp150.000.000,00 x 12/5 = Rp360.000.000,00
Karena

peredaran

bruto

disetahunkan

di

tahun

2013

tidak

melebihi

Rp4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang
diperoleh di tahun 2014 dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini.
Contoh:

PT Daya Tangkap terdaftar 3 (tiga) bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini
pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Jumlah peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan tersebut adalah Rp150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah).
Peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan yang disetahunkan adalah: Rp150.000.000,00 x 12/3
= Rp600.000.000,00
Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 (tiga) bulan tersebut tidak melebihi Rp
4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang diperoleh
mulai pada bulan berlakunya Peraturan Pemerintah ini sampai dengan akhir tahun pajak
bersangkutan, dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini
Contoh:
Gatot Kaca terdaftar sebagai Wajib Pajak baru pada bulan November 2014. Pada bulan
November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah). Penghasilan bruto bulan November 2014 disetahunkan adalah: 12/1 x
Rp15.000.000,00 = Rp180.000.000,00
Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar sebagai Wajib
Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah), maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai