Anda di halaman 1dari 34

Perpajakan Kelas G

Pajak
Penghasilan
(PPh)
Presented by group 4
LATI FATUNNISA NUR J. - 042111233013
Anggota SRI MAFRIHATUN ANNISA - 042111233047
TARISASKIA - 042111233111

Kelompok : ATALIA ARELLA DAMITA - 042111233151


SYAHLA TABINA R. M. - 042111233175
FIDELA EUDORA YUMNA - 042111233199
HARIS HANDI PRASETYO - 042111233205
PRAMESTHI KURNIA R. - 042111233206
ADDINA SALMA AL ADIYA - 042111233258
KADEK AYU GINANTI S. - 042111233268
KELOMPOK 4
PAJAK
PENGHASILAN
(PPh)
PPh adalah pajak yang dibebankan atas suatu
penghasilan yang diperoleh wajib pajak, baik
yang berasal dari dalam negeri maupun luar
negeri.
PAJAK
PENGHASILAN
(PPh)
PPh termasuk dalam kategori sebagai pajak
subjektif. Artinya, pajak dikenakan karena ada
subjeknya, yakni yang telah memenuhi kriteria
yang telah ditetapkan dalam peraturan
perpajakan. Jadi, terdapat ketegasan bahwa
apabila tidak ada subjek ajaknya, maka jelas
tidak dapat dikenakan PPh.
Subyek, Obyek dan tarif PPh
serta pengecualian
UU NO. 36 TAHUN 2008

Subjek PPh
Sebagaimana disebutkan pula dalam UU 36/2008, subjek yang termasuk dalam PPh Pasal 24 adalah
Wajib Pajak dalam negeri yang terutang pajak atas seluruh penghasilan—termasuk penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri.

1. Subjek PPh Orang Pribadi (Subjek PPh OP Dalam Negeri dan Subjek PPh OP Luar Negeri)
2. Subjek PPh Warisan yang belum terbagi
3. Subjek PPh Badan
4. Subjek PPh Badan Usaha Tetap (BUT)
Subyek, Obyek dan tarif PPh
serta pengecualian
UU NO. 36 TAHUN 2008

Secara garis besar, objek pajak penghasilan dikelompokkan menjadi dua kategori, yang akan mengarah pada jenis-jenis
PPh yang menjadi kewajiban wajib pajak, yakni :
a. Penghasilan sebagai Objek Pajak
Objek PPh dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dirincikan sebagai berikut :
Penggantian atau imbalan, Hadiah, Laba usaha, Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, Penerimaan
kembali, Bunga, Dividen, Royalti, Sewa, Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala, Keuntungan karena pembebasan
utang, Keuntungan selisih kurs mata uang asing, Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva, Premi asuransi, Iuran, Selisih
lebih karena penilaian kembali aktiva, Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva, Imbalan bunga, Surplus Bank
Indonesia.

b. Penghasilan yang Dikenakan PPh Final


Sedangkan penghasilan yang dapat dikenakan pajak penghasilan bersifat final adalah :
Penghasilan berupa bunga deposito
Penghasilan berupa hadiah undian
Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta
Penghasilan tertentu lainnya
Subyek, Obyek dan tarif PPh

serta pengecualian
UU NO. 36 TAHUN 2008

Tarif dalam PPh digolongkan menjadi tarif 15% dan tarif 2% dilakukan pengenaan terhadap nilai DPP (Dasar Pengenaan

Pajak) atau jumlah bruto (total penghasilan yang dialokasikan sebagai pembayaran/sudah jatuh tempo dengan pemotong

pajak diantaranya badan pemerintahan, penyelenggara kegiatan, subjek pajak dalam negeri, BUT, perwakilan usaha luar

negeri dan OP yang ditetapkan DJP (Direktorat Jenderal Pajak).

Pajak PPh 23 dengan tarif 15% dilakukan pengenaan terhadap penghasilan bunga, dividen, royalti dan hadiah.
Pajak PPH 23 dengan tarif 2% dilakukan pengenaan terhadap penghasilan jasa dan sewa.

Bagi wajib pajak yang tidak terdapat kepemilikan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dilakukan pemotongan 100% lebih

besar dari tarif pajak PPh yang telah ditentukan.

Pada PPh 23 ada beberapa Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap penghasilan seperti bunga, royalti, jasa, dan hadiah

diluar yang sudah dipotong pada PPh 21, ada beberapa objek yang dikecualikan pada PPh 23 seperti:
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
3. Dividen yang didapatkan perseroan terbatas menjadi wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD dari penyertaan

modal dalam badan usaha yang dibangun dan berlokasi di Indonesia.


Biaya yang Boleh dan yang Tidak
Boleh dalam PPH Pasal 6

(1) Besarnya penghasilan kena pajak, ditentukan oleh penghasilan bruto dikurangi:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, meliputi biaya pembelian bahan, upah, dan gaji karyawan

termasuk bonus atau gratifikasi, honorarium, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, piutang yang tidak dapat ditagih, premi

asuransi, biaya administrasi, dan pajak, kecuali pajak penghasilan;


b. penyusutan atas biaya untuk memperoleh harta berwujud perusahaan dan amortisasi atas biaya untuk memperoleh hak

dan/atau biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
c. iuran kepada dana pensiun yang mendapat persetujuan Menteri Keuangan;
d. kerugian yang diderita karena penjualan atau pengalihan barang dan/atau hak yang dimiliki dan dipergunakan dalam

perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu;
e. Sisa Hasil Usaha Koperasi sehubungan dengan kegiatan usahanya yang semata-mata dari dan untuk anggota

(2) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak

kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

(3) Jika penghasilan bruto sesudah dikurangi biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian

tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan dalam:


a. 5 (lima) tahun, atau
b. lebih dari 5 (lima) tahun, tetapi tidak lebih dari 8 (delapan) tahun khusus untuk jenis-jenis usaha tertentu, berdasarkan

Keputusan Menteri Keuangan, terhitung mulai tahun pertama sesudah kerugian tersebut diderita.
Biaya yang Boleh dan yang Tidak
Boleh dalam PPH Pasal 9

(1) Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan dikurangkan:
a. pembayaran dividen atau pembagian laba lainnya dari perseroan atau badan lainnya kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk Pembagian Sisa Hasil Usaha dari Koperasi yang bukan pengembalian Sisa Hasil Usaha
sehubungan dengan jasa anggota, dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan biaya yang
dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, sekutu atau anggota;
b. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah;
c. premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa kecuali jika dibayarkan pihak pemberi kerja dan
premi yang demikian itu dianggap sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak;
d. pemberian kenikmatan perjalanan cuti, kenikmatan rekreasi, dan kenikmatan lainnya yang diperuntukkan bagi keperluan pegawai dari
Wajib Pajak, termasuk kenikmatan pemakaian kendaraan bermotor perusahaan dan kenikmatan perumahan, kecuali perumahan di
daerah terpencil berdasarkan keputusan Menteri Keuangan;
e. pembayaran yang melebihi kewajaran sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan, yang dibayarkan kepada pemegang saham, atau
pihak yang mempunyai hubungan istimewa;
f. harta yang dihibahkan, bantuan dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b;
g. Pajak Penghasilan;
h. biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau yang menjadi tanggungannya;
i. sumbangan.

(2) Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari setahun tidak
diperbolehkan dikurangkan sekaligus, melainkan dibebankan melalui amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (10).

Faktor Pengurang Zakat


UU No. 36 Tahun 2008 pasal 4

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :


bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Faktor Pengurang
Kompensasi Kerugian
UU No. 36 Tahun 2008 pasal 6

Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian,
kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan
mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai
dengan 5 (lima) tahun.
Faktor Pengurang Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP)
Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 101/PMK.010/2016

PTKP Indonesia adalah Rp 54 juta. Jika wajib pajak sudah


kawin, terdapat tambahan senilai Rp 4,5 juta.
Begitu juga jika wajib pajak memiliki tambahan tanggungan
untuk setiap anggota keluarga sedarah, dikenai tambahan
senilai Rp 4,5 juta.
Faktor Pengurang Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP)
Begitu juga jika wajib pajak memiliki tambahan tanggungan untuk setiap
anggota keluarga sedarah, dikenai tambahan senilai Rp 4,5 juta.

Berikut ini tarif PTKP mengacu pada aturan tersebut


TK/0 : Tidak Kawin dan Tidak ada Tanggungan
TK/1 : Tidak Kawin dan 1 Tanggungan

K/0 : Kawin dan Tidak ada Tanggungan


K/1 : Kawin dan 1 Tanggungan

PTKP K/I/0: penghasilan suami dan istri digabung dan tidak ada
tanggungan.
Harga perolehan/ harga penjualan dalam hal terjadi
jual beli, tukar menukar, pengalihan, peleburan,
penggabungan dan pemekaran

Undang-undang No. 10 Tahun 1994 menjelaskan bahwa pada umumnya dalam jual
beli Asset, harga perolehan Asset bagi pihak pembeli adalah harga yang
sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang
sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan
biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh Asset tersebut, seperti bea
masuk, biaya pengangkutan, biaya pemasangan, biaya asuransi waktu pemasangan,
biaya komisi, biaya balik nama dan lain-lain.
Harga perolehan/ harga penjualan dalam hal terjadi
jual beli, tukar menukar, pengalihan, peleburan,
penggabungan dan pemekaran

Dalam jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (4) UU PPh, maka bagi pihak pembeli nilai perolehannya adalah jumlah
yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya adalah jumlah
yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual
dapat menyebabkan harga, perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil
dibandingkan dengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa.
Harga perolehan/ harga penjualan dalam hal terjadi
jual beli, tukar menukar, pengalihan, peleburan,
penggabungan dan pemekaran

Adapun hubungan istimewa yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UU No. 36 Tahun
2008 adalah sebagai berikut.
1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain.
2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung.
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.
Harga perolehan/ harga penjualan dalam hal terjadi
jual beli, tukar menukar, pengalihan, peleburan,
penggabungan dan pemekaran

Praktik pengalihan Aktiva berupa harta berwujud. Hal ini bertujuan agar perusahaan
mencari keuntungan. Untuk keperluan pajak, DJP telah memberikan aturan terkait
pengalihan Aktiva berupa harta berwujud ini.

Ketentuan pengalihan harta berwujud diatur di beberapa pasal dalam Undang-


Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yaitu
Harga perolehan/ harga penjualan dalam hal terjadi
jual beli, tukar menukar, pengalihan, peleburan,
penggabungan dan pemekaran

Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh Pasal 10 ayat (1) UU PPh


Mengatur bahwa keuntungan karena Mengatur bahwa harga perolehan atau
penjualan atau karena pengalihan Asset harga penjualan dalam hal terjadi jual
merupakan objek pajak penghasilan, beli Asset yang tidak dipengaruhi
kecuali pengalihan Asset yang hubungan istimewa adalah jumlah yang
merupakan bantuan atau sumbangan, sesungguhnya dikeluarkan atau
harta hibahan, dan warisan diterima, sedangkan apabila terdapat
(pasal 4 ayat (3) huruf a dan b). hubungan istimewa adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima
Harga perolehan/ harga penjualan dalam hal terjadi
jual beli, tukar menukar, pengalihan, peleburan,
penggabungan dan pemekaran

Pasal 10 ayat (2) UU PPh Pasal 10 ayat (3) UU PPh


Mengatur bahwa nilai perolehan atau Mengatur bahwa nilai perolehan atau
nilai penjualan dalam hal terjadi tukar- pengalihan Asset yang dialihkan dalam
menukar Asset adalah jumlah yang rangka likuidasi, penggabungan,
seharusnya dikeluarkan atau diterima peleburan, pemekaran, pemecahan, atau
berdasarkan harga pasar. pengambilalihan usaha adalah jumlah

yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima berdasarkan harga pasar, kecuali
ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

Harga perolehan/ harga penjualan dalam hal terjadi


jual beli, tukar menukar, pengalihan, peleburan,
penggabungan dan pemekaran

Pasal 11 ayat (8) UU PPh


Mengatur bahwa jumlah nilai sisa buku
harta tersebut dibebankan sebagai
kerugian dan jumlah harga jual yang
diterima dibukukan sebagai penghasilan
pada tahun terjadinya pengalihan Asset
tersebut.

Harga perolehan/ harga penjualan dalam hal terjadi


jual beli, tukar menukar, pengalihan, peleburan,
penggabungan dan pemekaran

Apabila terjadi pengalihan Asset, penilaian Asset yang dialihkan dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan Asset
tersebut dapat dilakukan dalam rangka pengembangankan usaha berupa :

1. Penggabungan Usaha adalah penggabungan dari dua badan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya
salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung atau bergabung.

2. Peleburan adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha yang baru dan
melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut atau badan usaha yang lama.

3. Pemekaran usaha adalah pemisahan dari satu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan
badan usaha baru yang mengalihkan sebagian Assetnya dan kewajibannya kepada badan usaha baru tersebut, yang dilakukan
tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.
Harga perolehan/ harga penjualan dalam hal terjadi
jual beli, tukar menukar, pengalihan, peleburan,
penggabungan dan pemekaran

Nilai perolehan atau pengalihan Asset yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha ditentukan dari :

1. Jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar : Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa
buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan

2. Penggunaan Nilai Buku : Secara umum, penggabungan, peleburan, dan pemekaran usaha akan melibatkan pihak yang
mengalihkan harta dan pihak yang memperoleh harta. Sesuai Akuntansi Komersial, metode yang digunakan dalam konsolidasi
adalah :
1. Penyatuan kepentingan (pooling of interest)
2. Pembelian (purchase)
Harga perolehan/ harga penjualan dalam hal terjadi
jual beli, tukar menukar, pengalihan, peleburan,
penggabungan dan pemekaran

3. Sisa Kerugian Fiskal


Skema ganti rugi yang dilakukan oleh wajib pajak badan maupun wajib pajak orang pribadi yang berdasarkan pembukuannya
mengalami kerugian dan dihitung dari selisih kerugian dengan syarat yang sudah ditentukan oleh badan hukum.

4. Persetujuan Direktur Jenderal Pajak.


Jika pengalihan Asset menggunakan nilai buku ternyata tidak mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak, maka pengalihan
Asset harus dinilai dengan harga pasar dan atas keuntungan yang diperolehnya dikenakan PPh. Bagi Wajib Pajak yang
sebelum penggabungan, peleburan, atau pemekaran telah melakukan revaluasi Asset tetap, maka nilai buku yang dicatat
adalah nilai buku setelah dilakukan revaluasi.

5. Penyusutan dan Amortisasi.


Penyusutan dan amortisasi dihitung secara prorata(perhitungan bulanan) sampai dengan bulan dilakukannya pengalihan
Asset sedangkan, pihak yang menerima pengalihan Asset dihitung prorata sebanyak sisa bulan setelah bulan pengalihan
dengan menggunakan metode penyusutan dan amortisasi yang dianut Wajib Pajak yang bersangkutan.
Harga perolehan/ harga penjualan dalam hal terjadi
jual beli, tukar menukar, pengalihan, peleburan,
penggabungan dan pemekaran

6. Pajak Penghasilan Pasal 25.


Jika penggabungan atau peleburan usaha dilakukan dalam tahun pajak berjalan, maka PPh Pasal 25 yang membayar adalah Wajib Pajak
yang menerima pengalihan Asset dan tidak boleh melebih penjumlahan PPh Pasal 25 seluruh Wajib Pajak yang terkait sebelum
penggabungan atau peleburan usaha. Apabila Wajib Pajak yang menerima pengalihan Asset setelah penggabungan atau peleburan
mengalami penurunan usaha, maka Wajib Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan pengurangan PPh Pasal 25.

7. Kewajiban Menyampaikan SPT bagi wajib pajak.


Setiap Wajib Pajak berkewajiban menyampaikan SPT Masa atau Tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang melakukan pengalihan Asset.

8. Surat Ketetapan Pajak untuk pemeriksaan pengalihan harta dari perusahaan lama ke perusahaan baru.

9. Penjualan Saham di Bursa Efek Jakarta yang mengikuti ketentuan wajib pajak dan pemegang saham yang melakukan pengalihan

10. Pengecualian terhadap Wajib Pajak atas pengenaan PPh apabila pengalihan hartanya berupa tanah dan atau bangunan
Metode Penilaian persediaan

Mengacu pada Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, dalam
pasal 6 metode persediaan yang diperkenalkan dalam perpajakan, hanya terdapat 2
metode yang dapat digunakan yaitu metode rata-rata (average) maupun FIFO (First In
First Out)
Wajib pajak tentu akan memutuskan untuk memakai metode yang menghasilkan PPh
terutang yang lebih rendah.
1. FIFO : Mengasumsikan bahwa barang pertama yang dibeli adalah barang pertama yang
keluar dari gudang.
2. Average : Menggunakan biaya rata-rata item sepanjang tahun. Biaya rata-rata per unit
dihitung dengan membagi total biaya dengan jumlah total unit yang dibeli selama tahun
tersebut. Metode ini menggunakan persediaan barang yang ada di gudang tanpa
memperhatikan barang mana yang masuk pertama atau terakhir.
Perhitungan PPh dengan NPPN

Apa itu NPPN?


CONTOH SOAL
Secara umum, Standar Penghasilan Bersih (NPPN) adalah standar
yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung
penghasilan bersih selama satu tahun pajak berdasarkan Pasal
25/29 PPh terutang.
Perhitungan PPh dengan NPPN
Pak Tono merupakan petani jagung yang menggarap
sawah miliknya sendiri di daerah Sukabumi. Adapun
dalam tahun 2019, ia telah melakukan 2 kali masa panen
untuk tanaman jagungnya. Apabila tiap masa panen ia
mendapatkan pendapatan bruto Rp250.000.000. Bila Pak CONTOH
CONTOH SOAL
SOAL
Tono menggunakan perhitungan dengan norma
penghitungan penghasilan neto. Hitunglah berapa
besarnya penghasilan neto milik Pak Tono dan pajak
penghasilan terutangnya bila status Pak Tono adalah
menikah dan memiliki 1 anak?
Perhitungan PPh dengan NPPN
Berdasarkan ilustrasi di atas, maka penghasilan bruto dari
Bapak Tono adalah 2 kali dari Rp250.000.000. Adapun tarif
yang berlaku untuk penghitungan pajak penghasilan netonya
berdasarkan PER-17/2015 adalah 15%. Adapun penghitungan
CONTOH SOAL penghasilan netonya adalah sebagai berikut:

• Penghasilan Bruto = 2 x Rp250.000.000


= Rp500.000.000

• Penghasilan Neto = 15% x Rp500.000.000


= Rp75.000.000
Perhitungan PPh dengan NPPN
• Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/1) = Rp63.000.000

• Penghasilan Kena Pajak = Rp75.000.000 - Rp63.000.000


= Rp12.000.000

CONTOH SOAL
• PPh 21 Terutang = 5% x Rp12.000.000
= Rp6.000.000

Sehingga didapatkan hasil dari penghasilan neto milik Pak


Tono dan pajak penghasilan terutangnya dengan status Pak
Tono adalah menikah dan memiliki 1 anak adalah masing
masing sebesar Rp75.000.000 dan Rp6.000.000
Perhitungan PPh bagi

Pengusaha tertentu

Apa itu PPh Pengusaha Tertentu?


Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP-OPPT)
merupakan pedagang pengecer yang memiliki 1 atau lebih tempat
usaha. Dalam hal ini,, tempat domisili berbeda dengan kegiatan
usaha, bisa dalam satu wilayah KPP atau berbeda dengan wilayah
KPP.
Perhitungan PPh Pasal 25
WPOP Pengusaha tertentu

TEMPAT TINGGAL & TEMPAT USAHA


BERADA DALAM SATU KPP

Bayu memiliki tempat tinggal sekaligus tempat usaha sebagai pedagang


pengecer di KPP A dan tidak memilih untuk dikenai PPh final berdasarkan PP
23/2018 sehingga wajib mendaftar NPWP di KPP A.
Omzet usaha bayu sebesar Rp. 50 juta pada juni 2022. Terhadap Bayu hanya
dikenakan NPWP domisili, tidak perlu diterbitkan NPWP cabang.
Pembayarannya adalah 0.75% dari omzet.

# 0.75% x Rp. 50.000.000 = Rp. 375.000


Perhitungan PPh Pasal 25
WPOP Pengusaha tertentu

TEMPAT TINGGAL & TEMPAT USAHA


BERBEDA KPP

Bayu memiliki tempat tinggal di wilayah KPP A dan tempat usaha sebagai
pedagang pengecer di KPP B dan tidak memilih untuk dikenai PPh final
berdasarkan PP 23/2018 sehingga wajib mendaftar NPWP di KPP A sebagai
NPWP domisili dan mendaftarkan NPWP di KPP B sebagai NPWP Cabang/NPWP
Lokasi..
Di KPP A Bayu tidak memiliki kewajiban PPh Pasal 25. Bayu memiliki kewajiban
PPh pasal 25 di KPP B. Omzet usaha bayu sebesar Rp. 100 juta. Makan
pembayarannya adalah :

# 0.75% x Rp. 100.000.000 = Rp. 750.000


Perhitungan PPh Pasal 25
WPOP Pengusaha tertentu

TEMPAT TINGGAL & TEMPAT USAHA


DI LEBIH DARI SATU KPP

Bayu memiliki tempat tinggal di wilayah KPP A, 2 tempat usaha di KPP B,


dan 1 tempat usaha di KPP C. Bayu memilih untuk tidak dikenakan PPh final
berdasarkan PP 23/2018
KPP A Bayu mendapatkan NPWP Domisili dan tidak ada kewajiban PPh
Pasal 25
KPP B diterbitkan 2 NPWP cabang atas nama masing-masing tempat usaha
dan memiliki kewajiban PPh Pasal 25 sebesar 0.75% dari peredaran omzet
masing-masing tempat usaha
KPP C diterbitkan 1 NPWP cabang untuk 1 tempat usaha dan dikenakan PPh
Pasal 25 sebesar 0.75% dari omzet
Perhitungan PPh Pasal 25
WPOP Pengusaha tertentu

TEMPAT TINGGAL & TEMPAT USAHA


DI LEBIH DARI SATU KPP

Perhitungan PPh yang harus dibayar Bayu di masing-masing KPP :

LOKASI OMZET SEBULAN TARIF PPh Pasal 25


Usaha 1 di KPP B Rp. 50.000.000 Rp. 375.000
Usaha 2 di KPP B Rp. 100.000.000 Rp. 750.000
Usaha 1 di KPP C Rp. 200.000.000 Rp. 1.500.000

Anda mungkin juga menyukai